Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Bank Konvensional adalah bank
yang melaksanakan kegiatan usaha, dengan cara konvesional yang dimana di
dalam kegiatannya memberi jasa pada lalu lintas pembayaran berdasar pada
prosedur serta ketentuan yang sudah ditetapkan. Sedangkan pengertian bank itu
sendiri adalah suatu lembaga yang memiliki peran sebagai lembaga keuangan antar
beberapa pihak yang memiliki dana lebih, serta lembaga yang memerlukan dana
dan yang mendukung lalu lintas pembayaran (PSAK No. 31). Regulator
mewajibkan perbankan meningkatkan kemampuannya dalam mengelola risiko
kredit dan meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana.  Melalui Surat
Edaran (SE)  BI Nomor 15/28/DPNP, regulator perbankan ini tampaknya ingin
meningkatkan kemampuan bank dalam menilai kualitas aset kredit. Untuk
meminimalkan potensi kerugian akibat dari debitur bermasalah,  bank harus 
melakukan restrukturisasi kredit pada debitur yang mengalami kesulitan
pembayaran pokok atau bunga. Yang terpenting adalah debitur masih memiliki
prospek usaha yang baik dan memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. Bank
harus memiliki pedoman restrukturisasi kredit, seperti melakukan analisa dan
dokumentasi masalah debitur. Sejalan dengan perkembangan standar akuntansi
keuangan, perbankan dituntut untuk menyiapkan laporan keuangan yang akurat,
komprehensif, dan mencerminkan kinerja bank secara utuh serta sesuai dengan
standar akuntansi internasional.

Mengacu pada roadmap Otoritas Jasa Keuangan (OJK), PSAK 71–Instrumen


Keuangan mulai efektif diterapkan oleh perbankan Indonesia pada 1 Januari 2020.
PSAK 71 mengadopsi International Financial Reporting Standards (IFRS) 9
menggantikan PSAK 55 yang diadopsi dari International Accounting Standard
(IAS) 39. Perbedaan yang paling mencolok antara PSAK 71 dan PSAK 55 yaitu
perhitungan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Dalam konteks
perbankan, CKPN merupakan cadangan yang dipersiapkan oleh bank untuk
menghadapi risiko kerugian penurunan nilai (impairment losses) aset seperti kredit
dan surat berharga. Setiap aset perbankan contohnya penyaluran kredit, terdapat
risiko kerugian penurunan nilai yang disebabkan debitur tidak bisa membayar
pinjaman. Pada PSAK 55, CKPN dihitung dengan metode incurred loss bersifat
backward-looking dimana CKPN dibentuk pada saat terdapat bukti objektif bahwa
debitur mengalami impairment seperti telat membayar angsuran kredit. Bukti –
bukti tersebut nantinya akan dikalkulasi oleh bank sebagai dasar evaluasi apakah
termasuk dalam kerugian penurunan yang perlu diakui. Setiap bank memiliki
kebijakan evaluasi yang berbeda – beda dalam membentuk CKPN. Selain itu,
karena bersifat backward-looking, maka penentuan risiko akan berdasarkan pada
data – data historis. Misalkan, dalam beberapa tahun terakhir kerugian dari bisnis
kartu kredit adalah 10%, maka bank akan membentuk CKPN sebesar 10% dari
bisnis kartu kredit.

Dalam PSAK 71, nantinya CKPN dihitung menggunakan metode expected loss
bersifat forwardlooking. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), metode
expected loss mewajibkan bank untuk memperkirakan estimasi risiko instrumen
keuangan sejak pengakuan awal menggunakan informasi forward-looking seperti
proyeksi pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat pengangguran, dan indeks harga
komoditas di setiap tanggal pelaporan. Pada PSAK 71, model penurunan nilai
(impairment) bertujuan untuk menyediakan informasi yang relevan dan real-time
sebagai dasar pengambilan keputusan. Sehingga, dalam PSAK 71, perhitungan
kerugian aset keuangan seperti kredit dalam CKPN tidak lagi menunggu hingga
terdapat bukti objektif. Namun, risiko aset – aset tersebut akan selalu diperbarui
dan diakui dari awal pengakuan hingga jatuh tempo terakhir. Bahkan, apabila
direntang waktu tersebut terdapat indikasi penurunan seperti peningkatan risiko
gagal bayar debitur. CKPN dalam PSAK 71 memiliki 3 stages berdasarkan tingkat
risiko dari rendah hingga tinggi. Kredit yang risiko tergolong kecil akan
dikategorikan dalam stage 1. Namun, apabila risiko kredit menunjukan kenaikan
yang signifikan, bank akan memindahkan ke dalam stage 2. Jika debitur
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban dan menyebabkan kredit macet
(nonperforming loans) termasuk kredit yang sedang direstrukturisasi, bank
mengategorikan dalam stage 3.

Klasifikasi CKPN PSAK 71 sebagai berikut :


1. Stage 1 (performing)
Tidak ada peningkatan risiko kredit dan aset keuangan. Contohnya, pinjaman
yang tidak pernah terlambat dalam pembayaran. Expected credit loss (ECL)
diperkirakan dalam waktu 12 bulan (12-months).
2. Stage 2 (under-performing)
Risiko kredit dan aset keuangan meningkat signifikan. Contohnya, pinjaman
yang telah terlambat dalam pembayaran > 30 hari, tapi belum masuk dalam
kriteria Stage 3. Expected credit loss (ECL) diperkiran hingga waktu jatuh
tempo akhir (lifetime).
3. Stage 3 (non-performing)
Kredit dan aset keuangan yang mengalami penurunan nilai dengan tajam
disertai riwayat keterlambatan pembayaran. Expected credit loss (ECL) diakui
hingga waktu jatuh tempo akhir (lifetime).

Dalam Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI), Cadangan Kerugian


Penurunan Nilai adalah cadangan yang wajib dibentuk bank jika terdapat bukti
obyektif mengenai penurunan nilai atas aset keuangan atau kelompok aset
keuangan sebagai akibat dari satu atau lebih peristiwa yang terjadi setelah
pengakuan awal aset tersebut (peristiwa yang merugikan) dan berdampak pada
estimasi arus kas masa depan. Fungsi CKPN adalah untuk meminimalisir
terjadinya kredit atau pembiayaan macet di kemudian hari. Oleh karenanya agar
terhindar dari kerugian, maka bank harus menyisihkan sejumlah dana. Penyisihan
kerugian kredit (pembiayaan) terjadi apabila debitur tidak dapat membayar
tunggakan kreditnya, maka pihak bank yang akan mengambil alih kekurangan atas
jaminan kredit (pembiayaan) debitur tersebut.

Selama krisis ekonomi, seperti pandemi Covid-19 seperti saat ini, portofolio kredit
bermasalah Non Performing Loan (NPL) perbankan berpeluang mengalami
peningkatan secara signifikan. Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 6 / 10 /
PBI / 2004 tanggal April 2004 mengenai Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan
Bank Umum, menetapkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPL) yakni sebesar 5%.
Non performing loan (NPL) adalah kondisi pinjaman di mana peminjam gagal
bayar dan tidak melakukan pembayaran pokok atau bunga terjadwal untuk
beberapa waktu atau bisa disebut kredit bermasalah yang merupakan salah satu
kunci untuk menilai kualitas kinerja bank.

Di dalam perbankan, suatu pinjaman komersial dianggap bermasalah atau macet


ketika peminjam tidak melakukan pembayaran bunga atau pokoknya dalam waktu
90 hari atau lebih. Sementara itu, pada jenis pinjaman konsumen, pinjaman
dikategorikan sebagai Non Performing Loan (NPL) jika tidak dibayar selama 180
hari. Jika tidak diatasi, hal ini dapat meningkatkan risiko kelangsungan usaha bank
dan pada akhirnya memunculkan risiko sistemik di sektor perbankan dan keuangan
secara keseluruhan. Tak hanya itu, meningkatnya NPL ini jika dibiarkan secara
terus menerus akan memberikan pengaruh negatif pada bank. Dampak negatif
tersebut salah satunya adalah mengurangi jumlah modal yang dimiliki oleh bank
maka kemungkinan bank mengalami kesulitan dalam menyalurkan kredit kembali
juga semakin besar. Selain itu, semakin kecil persentase NPL-nya, maka laba yang
diperoleh bank akan semakin stabil. Suku bunga memang merupakan salah satu
sumber income bank yang mana jika bank tidak lagi menerima angsuran sesuai
dengan jangka waktu yang telah ditentukan, maka dikhawatirkan hal ini akan terus
memperburuk kondisi bank. Melihat kasus seperti ini, maka pihak bank memang
dituntut untuk melakukan analisa kredit sehingga bisa melakukan seleksi klien
mana yang pantas untuk menerima dana pinjaman dari bank.

Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah salah satu indikator kesehatan permodalan


bank yang merupakan rasio kecukupan modal yang berguna untuk
menampung risiko kerugian yang kemungkinan dihadapi bank. Capital Adequacy
Ratio  menunjukkan sejauh mana bank mengandung resiko (kredit, pernyataan,
surat berharga, tagihan) yang ikut dibiayai oleh dana masyarakat.  Semakin
tinggi Capital Adequacy Ratio, maka semakin bank kemampuan terkait dalam
menanggung resiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang beresiko. Jika
nilai Capital Adequacy Ratio  tinggi, maka bank dapat membiayai kegiatan
operasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas.
Peningkatan Capital Adequacy Ratio dapat meningkatkan keamanan nasabah yang
secara tidak langsung dapat meningkatkan kepercayaan nasabah pada bank
tersebut, yang kemudian dapat berdampak positif pada peningkatan
profitabilitas bank. Capital Adequacy Ratio (CAR) menunjukkan seberapa besar
modal bank telah memadai kebutuhannya dan sebagai dasar untuk menilai prospek
kelanjutan usaha bank bersangkutan. Perusahaan yang mempunyai modal optimal
akan menghasilkan tingkat pengembalian yang optimal pula sehingga bukan hanya
perusahaan yang memperoleh keuntungan, tapi para pemegang saham pun ikut
memperoleh keuntungan tersebut.

Loan to deposit ratio adalah rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) yang


digunakan untuk menilai likuiditas bank dengan membandingkan total pinjaman
bank dengan total simpanannya untuk periode yang sama. Likuiditas bank
merupakan kemampuan suatu bank untuk membayar kewajibannya saat jatuh
tempo. Jika kemampuan likuiditas bank tinggi, maka rasa kepercayaan masyarakat
dapat dengan mudah diperhatikan. Singkatnya loan to deposit ratio adalah alat
ukur penilaian suatu bank yang dinyatakan dalam persentase. Apabila rasio
perbandingannya terlalu tinggi, artinya bank tersebut meminjamkan seluruh dana
yang dimiliknya, dengan demikian bank tersebut relatif tidak likuid. Sebaliknya
bila rasionya terlalu rendah, sebuah bank disebut likuid dengan kelebihan kapasitas
dana yang siap dipinjamkan. LDR seringkali digunakan sebagai indikasi untuk
menilai kesehatan keuangan perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Dengan menghitung jumlah rasio LDR, maka dapat diketahui pula kemampuan
sebuah bank dalam mendapatkan dan mempertahankan nasabah. Apabila
penerimaan dana sebuah bank terus meningkat, maka sumber-sumber dana baru
dan nasabah baru berhasil didapatkan. Bagi investor, LDR sangat penting sebagai
indikasi yang digunakan untuk mengetahui apakah bank tersebut dioperasikan
dengan baik. Apabila penerimaan dana sebuah bank tidak meningkat, bahkan
menunjukkan penurunan, maka bank tersebut hanya memiliki sedikit dana untuk
dikreditkan.

Kebijakan mengenai LDR ini diatur dalam PBI No. 15/15/PBI/2013 Tentang Giro
Wajib Minimum Bank Umum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum
Konvensional. Namun sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.
17/11/PBI/2015 tanggal 26 Juni 2015, formula loan to deposit ratio (LDR) diubah
dengan mengikutsertakan surat-surat berharga ke dalam perhitungan LDR,
sehingga namanya diganti menjadi loan to funding ratio (LFR).Kebijakan
penyesuaian ketentuan GWM-LFR itu diubah dengan memperluas komponen
pendanaan agar mendorong penyaluran kredit ke sektor Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM) lebih besar.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti lebih lanjut akan meneliti mengenai pengaruh
Non-Performing Loan, Capital Adequacy Ratio, dan Loan to Deposit Ratio
terhadap Cadangan Kerugian Penurunan Nilai suatu perusahaan dengan judul
“Faktor yang Memengaruhi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai sebagai
Penerapan PSAK 71 pada Bank Konvensional yang Tercatat di Bursa Efek
Indonesia Tahun 2016-2020”.

1.2 Batasan Masalah


Penelitian ini dilakukan pada Bank Konvensional yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia tahun 2016-2020. Variabel terikat (dependen) yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Cadangan Kerugian Penurunan Nilai, sedangkan variabel
bebas (independen) yang digunakan adalah Non-Performing Loan, Capital
Adequacy Ratio, dan Loan to Deposit Ratio.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan paparan latar belakang yang sudah dijelaskan, maka dapat diketahui
rumusan masalah pada penelitian ini yakni sebagai berikut :
1. Apakah terdapat pengaruh Non-Performing Loan terhadap Cadangan
Kerugian Penurunan Nilai ?
2. Apakah terdapat pengaruh Capital Adequacy Ratio terhadap Cadangan
Kerugian Penurunan Nilai ?
3. Apakah terdapat pengaruh Loan to Deposit Ratio terhadap Cadangan
Kerugian Penurunan Nilai ?
4. Apakah terdapat pengaruh Non-Performing Loan, Capital Adequacy Ratio,
dan Loan to Deposit Ratio secara simultan terhadap Cadangan Kerugian
Penurunan Nilai ?

1.4 Tujuan Penulisan


Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh pengaruh Non-
Performing Loan terhadap Cadangan Kerugian Penurunan Nilai.
2. Untuk mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh Capital Adequacy Ratio
terhadap Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
3. Untuk mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh Loan to Deposit Ratio
terhadap Cadangan Kerugian Penurunan Nilai.
4. Untuk mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh Non-Performing Loan,
Capital Adequacy Ratio, dan Loan to Deposit Ratio secara simultan terhadap
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai.

1.5 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi Perusahaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi
sebagai bahan kajian mengenai Non-Performing Loan, Capital Adequacy
Ratio, dan Loan to Deposit Ratio terhadap Cadangan Kerugian Penurunan
Nilai suatu perusahaan dan dapat memberikan masukan berupa saran-saran
serta sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan dan perumusan
kebijaksanaan kepada manajemen perusahaan.
2. Bagi Peneliti
Untuk menerapkan metode atau ilmu yang diperoleh selama perkuliahan dan
melatih untuk menganalisa permasalahan yang ada serta mencari
penyelesaiannya.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan referensi bagi pihak
akademis dan dapat berkontribusi terhadap literatur terkait penelitian tentang
pengaruh Non-Performing Loan, Capital Adequacy Ratio, dan Loan to Deposit Ratio
terhadap Cadangan Kerugian Penurunan Nilai.
4. Bagi Pembaca
Dapat digunakan sebagai bahan pengetahuan serta sebagai perbandingan dan
sumber acuan untuk bidang kajian yang sama.

1.6 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan pada penelitian ini terdiri atas lima bab, masing-masing
uraian yang secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi gambaran dari bab-bab selanjutnya yang
dirangkum dalam latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika
penulisan.

BAB II TELAAH PUSTAKA


Dalam bab ini berisi kajian teori yang mendasari pembahasan secara
terperinci yang memuat tentang pengertian standar akuntansi, PSAK
71, cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), non-performing loan
(NPL), capital adequacy ratio (CAR), loan to deposit ratio (LDR) dan
bahasan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang mendukung penelitian
saat ini.

BAB III METODE PENELITIAN

Dalam bab ini berisi metode penelitian yang dipakai untuk menjawab
masalah dan tujuan penelitian serta analisis terhadap hipotesis. Metode
penelitian menjelaskan objek yang diteliti, populasi dan prosedur
penentuan sampel, prosedur pengumpulan data, identifikasi variabel,
sumber dan jenis data, cara pengambilan dan pengolahan data dengan
menggunakan alat- alat analisis yang ada.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini berisi dua bagian utama yaitu hasil pengumpulan data
dari objek yang diteliti seperti gambaran umum objek penelitian
berikut data penelitiannya dan pembahasan analisis atas hasil
pengumpulan data tersebut.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


Dalam Bab akhir ini berisi tentang kesimpulan yakni uraian secara
ringkas dan jelas yang didasarkan pada hasil penelitian yang telah
dilakukan dan telah dibahas dari bab sebelumnya. Selain itu juga
terdapat saran yang akan diberikan oleh penulis dimana saran tersebut
berisikan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai