PENDAHULUAN
Dalam PSAK 71, nantinya CKPN dihitung menggunakan metode expected loss
bersifat forwardlooking. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), metode
expected loss mewajibkan bank untuk memperkirakan estimasi risiko instrumen
keuangan sejak pengakuan awal menggunakan informasi forward-looking seperti
proyeksi pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat pengangguran, dan indeks harga
komoditas di setiap tanggal pelaporan. Pada PSAK 71, model penurunan nilai
(impairment) bertujuan untuk menyediakan informasi yang relevan dan real-time
sebagai dasar pengambilan keputusan. Sehingga, dalam PSAK 71, perhitungan
kerugian aset keuangan seperti kredit dalam CKPN tidak lagi menunggu hingga
terdapat bukti objektif. Namun, risiko aset – aset tersebut akan selalu diperbarui
dan diakui dari awal pengakuan hingga jatuh tempo terakhir. Bahkan, apabila
direntang waktu tersebut terdapat indikasi penurunan seperti peningkatan risiko
gagal bayar debitur. CKPN dalam PSAK 71 memiliki 3 stages berdasarkan tingkat
risiko dari rendah hingga tinggi. Kredit yang risiko tergolong kecil akan
dikategorikan dalam stage 1. Namun, apabila risiko kredit menunjukan kenaikan
yang signifikan, bank akan memindahkan ke dalam stage 2. Jika debitur
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban dan menyebabkan kredit macet
(nonperforming loans) termasuk kredit yang sedang direstrukturisasi, bank
mengategorikan dalam stage 3.
Selama krisis ekonomi, seperti pandemi Covid-19 seperti saat ini, portofolio kredit
bermasalah Non Performing Loan (NPL) perbankan berpeluang mengalami
peningkatan secara signifikan. Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 6 / 10 /
PBI / 2004 tanggal April 2004 mengenai Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan
Bank Umum, menetapkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPL) yakni sebesar 5%.
Non performing loan (NPL) adalah kondisi pinjaman di mana peminjam gagal
bayar dan tidak melakukan pembayaran pokok atau bunga terjadwal untuk
beberapa waktu atau bisa disebut kredit bermasalah yang merupakan salah satu
kunci untuk menilai kualitas kinerja bank.
Kebijakan mengenai LDR ini diatur dalam PBI No. 15/15/PBI/2013 Tentang Giro
Wajib Minimum Bank Umum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum
Konvensional. Namun sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.
17/11/PBI/2015 tanggal 26 Juni 2015, formula loan to deposit ratio (LDR) diubah
dengan mengikutsertakan surat-surat berharga ke dalam perhitungan LDR,
sehingga namanya diganti menjadi loan to funding ratio (LFR).Kebijakan
penyesuaian ketentuan GWM-LFR itu diubah dengan memperluas komponen
pendanaan agar mendorong penyaluran kredit ke sektor Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM) lebih besar.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti lebih lanjut akan meneliti mengenai pengaruh
Non-Performing Loan, Capital Adequacy Ratio, dan Loan to Deposit Ratio
terhadap Cadangan Kerugian Penurunan Nilai suatu perusahaan dengan judul
“Faktor yang Memengaruhi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai sebagai
Penerapan PSAK 71 pada Bank Konvensional yang Tercatat di Bursa Efek
Indonesia Tahun 2016-2020”.
Dalam bab ini berisi metode penelitian yang dipakai untuk menjawab
masalah dan tujuan penelitian serta analisis terhadap hipotesis. Metode
penelitian menjelaskan objek yang diteliti, populasi dan prosedur
penentuan sampel, prosedur pengumpulan data, identifikasi variabel,
sumber dan jenis data, cara pengambilan dan pengolahan data dengan
menggunakan alat- alat analisis yang ada.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini berisi dua bagian utama yaitu hasil pengumpulan data
dari objek yang diteliti seperti gambaran umum objek penelitian
berikut data penelitiannya dan pembahasan analisis atas hasil
pengumpulan data tersebut.