Anda di halaman 1dari 14

Teori Akuntansi Bab 7 Kewajiban

BAB 7
KEWAJIBAN
Pengertian
Menurut FASB : Kewajiban adalah pengorbanan manfaat ekonomik masa datang
yang cukup pasti yang timbul dari keharusan sekarang suatu kesatuan usaha untuk
mentransferk aset atau menyediakan / menyerahkan jasa kepada kesatuan lain dimasa datang
sebagai akibat transaksi atau kejadian masa lalu.
Definisi FASB digunakan sebagai basis pembahasan karena definisi tersebut cukup
lengkap secara semantic. Artinya definisi tersebut telah mencakupi berbagai gagasan atau
kata kunci yang terkandung dalam beberapa definisi kewajiban oleh sumber – sumber lain.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kewajiban mempunyai tiga karakteristik utama yaitu :
1. Pengorbanan Manfaat Ekonomik
Untuk dapat disebut sebagai kewajiban, suatu objek harus memuat suatu tugas atau tanggung
jawab kepada pihak lain yang mengharuskan kesatuan usaha untuk melunasi, menunaikan
atau melaksanakan dengan cara mengorbankan manfaat ekonomik yang cukup pasti dimasa
datang. Pengorbanan manfaat ekonomik diwujudkan dalam bentuk transfer atau penggunaan
aset kesatuan usaha.
Transfer manfaat ekonomik kepada pemilik (pemegang saham) tida termasuk dalam
pengertian pengorbanan sumber ekonomik masa datang yang membentuk kewajiban karena
untuk menjadi kewajiban pengorbanan tersebut harus bersifat memaksa dan bukan atas dasar
kebijakan atau keleluasaan manajemen untuk memutuskan baik dalam hal jumlah rupiah
maupun dalam saat transfer.
Secara umum, keharusan mengorbankan sumber ekonomik masa datang tidak dapat menjadi
kewajiban kalau keharusan tersebut bersifat terbuka atau tidak pasti. Kesatuan usaha tidak
mempunyai keharusan untuk mentransfer aset ke pemilik kecuali dalam hal kesatuan usaha
dilikuidasi. Walaupun secara konseptual ekuitas juga merupakan kewajiban bagi perusahaan,
pengorbanan sumber ekonomiknya tidak cukup pasti baik dalam jumlah maupun saat
sehingga kewajiban harus dibedakan dan dilaporkan secara terpisah dengan ekuitas.

2. Keharusan Sekarang
Untuk dapat disebut sebagai kewajiban, suatu pengorbanan ekonomik masa datang harus
timbul akibat keharusan sekarang. Pengertian “sekarang” dalam hal ini mengacu pada dua hal
: waktu dan adanya. Waktu yang dimaksud adalah tanggal pelaporan (neraca). Artinya : pada
tanggal neraca kalau perlu atau kalau dipaksakan secara yuridis, etis, atau rasional
pengorbanan sumber ekonomik harus dipenuhi karena keharusan itu telah ada.
Keharusan kewajiban mencakupi keharusan kontraktual, keharusan konstruktif atau
bentukan, keharusan demi keadilan dan keharusan bergantung atau bersyarat.
 Keharusan Kontraktual
Keharusan yang timbul akibat perjanjian atau peraturan hukum yang di dalam nya kewajiban
bagi suatu kesatuan udaha di nyatakan secara eksplit atau implicit dan mengikat.
Contoh : utang pajak, utang bunga, utang usaha, utang wesel, dan utang obligasi
 Keharusan Konstruktif
Keharusan yang timbul akibat kebijakan kesatuan usaha dalam rangka menjalankan dan
memajukan usahanya untuk memenuhi apa yang disebut praktik usaha yang baik atau etika
bisnis dan bukan untuk memenuhi kewajiban yuridis.
Contoh : servis gratis sepeda motor yang dijanjikan oleh dealer sepeda motor, pengembalian
uang untuk barang yang ternyata cacat atau rusak, dan tunjangan hari raya
 Keharusan Demi Keadilan
Keharusan yang ada sekarang yang menimbulkan kewajiban bagi perusahaan semata – mata
karena panggilan etis atau moral daripada karena peraturan hukum atau praktik bisnis yang
sehat.
Contoh : kewajiban memberikan donasi untuk badan amal tiap akhir tahun dan kewajiban
member hadiah kepada penduduk yang tinggal di sekitar pabrik karena ketidaknyamanan
yang ditimbulkannya.
 Keharusan Bergantung atau bersyarat
Keharusan yang pemenuhannya tidak pasti karena bergantung pada kejadian masa datang
atau terpenuhinya syarat – syarat tertentu dimana datang.

3. Akibat Transaksi atau Kejadian Masa Lalu


Sama seperti definisi aset, criteria ini sebenarnya menyempurkan criteria keharusan sekarang
dan sekaligus sebagai tes pertama pengakuan suatu pos sebagai kewajiban tetapi tidak cukup
untuk mengakui secara resmi dalam system pembukuan. Untuk mengakui sebagai kewajiban,
selain definisi, criteria yang lain seoerti keterukuran, keberpautan, dan keterandalan juga
harus dipenuhi. Transaksi atau kejadian masa lalu adalah criteria untuk memenuhi definisi
tetapi bukan criteria untuk pengakuan. Jadi, adanya pengorbanan manfaat ekonomik masa
datang tidak cukup untuk mengakui suatu objek ke dalam kewajiban kesatuan usaha untuk
dilaporkan via statemen keuangan.

Hak – Kewajiban Tak Bersyarat

Konsep hak – kewajiban tak bersyarat menyatakan bahwa walaupun kontrak telah
ditandatangani, salah satu pihak tidak mempunyai kewajiban apapun sebelum pihak lain
memenuhi apa yang menjadi hak pihak lain. Jadi, konsep hak – kewajiban tak bersyarat
menyatakan “tidak ada hak tanpa kewajiban dan sebaliknya tidak ada kewjiban tanpa hak.
Kontrak – kontrak semacam ini dikenal dengan nama kontrak saling – mengimbangi tak
bersyarat atau kontrak eksekuatori.
Contoh : bila seseorang pembeli menandatangani order pembelian, pada saat itu pembeli
tidak mempunyai kewajiban apapun sampai barang yang dipesan datang dan dikuasai
pembeli walaupun jenis, kuantitas, harga, waktu pengiriman barang sudah jelas.
Masalah timbul dalam kontrak pembelian yang tidak dapat dibatalkan. Ada dua pendapatan
mengenai hal ini, pendapat pertama tetap memperlakukan kontrak tersebut sebagai
eksekutori.sehingga kewajiban tidak perlu diakui. Alasannya, aset atau manfaat ekonomik
masa datang belum dikuasai secara nyata. Pendapatan kedua, menganjurkan bahwa
kewajiban diakui pada saat penandatanganan kontrak bersamaan dengan aset yang terlibat.
Alasannya pada saat itu, pada dasarnya ketiga criteria kewajiban telah di penuhi.
Transaksi atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menandai saat, titik, atau tanggal
pengakuan hak dan kewajiban dalam suatu kontrak. Hukum perikatan atau kontrak juga
cukup kompleks untuk menentukan timbulnya hak dan kewajiban yuridis. Dalam Most
menunjukkan bahwa titik atau saat tersebut dapat berupa :
1. Tanggal kontraj ditandatangani
2. Tanggal objek kontrak telah diperoleh salah satu pihak
3. Tanggal objek kontrak telah siap digunakan oleh salah satu pihak
4. Tanggal objek kontrak telah dipisahkan untuk digunakan oleh pihak lain
5. Tanggal objek kontak telah diserahkan
6. Tanggal telah diterima / dibayarnya uang muka, bila ada
7. Dalam kasus kontrak konstruksi jangka panjang :
a. Suatu titik selama konstruksi berjalan
b. Pada saat konstruksi dimulai
Saat penentuan transaksi masa lampau perlu dipertimbangkan dengan seksama
memperhatikan kondisi yang melingkupi suatu kontraj. Most mengemukakan hal yang harus
dipertimbangkan untuk memilih saat yang tepat :
a. Pemenuhan definisi aset dan kewajiban
b. Kekuatan mengikat yaitu seberapa kuat bahwa pelaksanaan kontrak tidak dapat dibatalkan
c. Kebermanfaatan bagi keputusan

Karakteristik Pendukung
FASB menyebutkan beberapa karakteristik pendukung yaitu :
1. Keharusan membayar kas
Pelunasan kewajiban pada umumnya dilakukan dengan pembayaran kas.
Esensi kewajiban lebih terletak pada pengorbanan manfaat ekonomik masa datang daripada
terjadinya pengeluaran kas. Adanya pengeluaran kas merupakan hal penting untuk
mengaplikasikan definisi kewajiban karena dua hal :
a. Sebagai bukti adanya suatu kewajiban
b. Sebagai pengukur atribut atau besarnya kewajiban yang cukup objektif

2. Identitas terbayar jelas


Bila identitas terbayar sudah jelas, hal tersebut hanya menguatkan bahwa kewajiban memang
ada tetapi untuk menjadi kewajiban identitas terbayar tidak harus dapat ditentukan pada saat
keharusan terjadi.
Jadi, yang penting adalah bahwa keharusan sekarang pengorbanan sumber ekonomik dimasa
datang telah ada dan bukan siapa yang harus dilunasi atau dibayar. Akan tetapi, pada saat
pelunasan kewajiban, terbayar dengan sendirinya harus teridentifikasi.
3. Berkekuatan hukum
Keharusan melakukan pengorbanan manfaat ekonomik masa deatang tidak harus timbul dari
desakan pihak eksternal tetapi dari minat atau kebijakan internal manajemen. Itulah sebabnya
kewajiban mencakupi pengorbanan sumber ekonomik masa depan yang timbul akibat
keharusan konstruktif dan demi keadilan. Main pihak lain seperti utang usaha tidak harus di
dukung oleh dokumen yang berkekuatan hukum atau mempunyai daya paksa secara hukum
untuk memenuhi definisi kewajiban. Akan tetapi, demi keadilam dan kewajaran, perusahaan
harus membayar utang usaha tersebut. Pendapatan sewa tak terhak, laba kotor tangguhan, dan
beberapa pos lain yang timbuk dalam penyesuaian akhir tahun memenuhi criteria sebagai
kewajiban meskipun tidak dilandasi oleh daya paksa secara hukum dan bahkan bukan
merupakan keharusan pengorbanan sumber ekonomik. Itulah sebabnya, definisi kewajiban
APB memasukkan beberapa pos kredit tangguhan yang non keharusan sebagai kewajiban.
Laba kotor tangguhan adalah contoh kredit tangguhan yang bukan keharusan. Pos kredit
tangguhan yang merupakan keharusan misalnya adalah kredit pajak tangguhan.

Pengakuan, Pengukuran, dan Penilaian


Sebagai bayangan cermin aset, kewajiban juga harus diukur dan diakui pada saat
terjadinya. Kalau aset diukur atas dasar penghargaan sepakatan (kos), demikian juga
kewajiban. Jadi, kos sebagai pengukur tidak hanya diterapkan untuk aset pada saat
pemerolehan tetapi juga untuk kewajiban pada saat terjadinya. Sebagai ketentuan umum,
pengukuran kewajiban harus sejalan dengan pengukuran aset yang berkaitan.
Kalau aset yang direprentasi oleh kos mengalami tiga tahap perlakuan (pemerolehan,
pengolahan, dan penyerahan), kewajiban sebenarnya juga mengalami tiga tahap perlakuan
yaitu: penanggungan (pengakuan terjadinya), penelusuran, dan pelunasan (penyelesaian).
Dalam hal kewajiban, penelusuran berarti penentuan status dan jumlah rupiah (kos)
kewajiban pada setiap saat. Penentuan kos setiap saat (termasuk pada tanggal neraca) dapat
disebut dengan penilaian kewajiban.

Pengakuan
Pada prinsipnya, kewajiban diakui pada saat keharusan telah mengikat akibat
transaksi yang sebelumnya telah terjadi. Mengikatnya suatu keharusan harus dievaluasi atas
dasar kaidah pengakuan (recognition rules). kriteria pengakuan lebih berkaitan dengan
pedoman umum dalam rangka memenuhi karakteristik kualitatif informasi sehingga elemen
statemen keuangan hanya dapat diakui bila kriteria definisi, keberpautan, keterandalan, dan
keterukuran dipenuhi. Kriteria umum ini tidak operasional sehingga diperlukan kaidah
pengakuan sebagai penjabaran teknis kriteria pengakuan umum. Dalam hal kewajiban, kaidah
pengakuan berkaitan dengan saat atau apa yang menandai bahwa kewajiban dapan diakui
(dibukukan). Empat kaidah pengakuan untuk menandai pengakuan kewajiban yaitu:
1. Ketersediaan dasar hukum
Kaidah ini terkait dengan kualitas keterandalan dan keberpautan informasi. Faktur pembelian
(invoice) dan tanda penerimaan barang (receiving report) merupakan dasar hukum yang
cukup meyakinkan untuk mengakui kewajiban. Telah disebutkan bahwa ketersediaan dasar
hukum yang menimbulkan daya paksa hanya merupakan karateristik pendukung definisi
kewajiban. Jadi, kaidah ini tidak mutlak sehingga kewajiban juga dapat diakui bila terdapat
bukti substantif adanya keharusan konstruktif atau demi keadilan.

2. Keterterapan konsep dasar


Kaidah ini merupakan penjabaran teknis kriteria keterandalan. Keadaan-keadaan tertentu
yang menjadikan konsep konservatisma terterapkan dapat memicu pengakuan kewajiban.
Implikasi dianutnya konsep konservatisma adalah rugi dapat segera diakui tetapi tidak
demikian dengan untung. Ini berarti kewajiban dapat diakui segera sedangkan aset tidak.

3. Ketertentuan substansi ekonomik transaksi


Kaidah ini berkaitan dengan masalah relevansi informasi. Utang sewaguna (lease obligations)
dapat diakui pada saat transaksi meskipun tidak ada transfer hak milik dalam transaksi
sewaguna tersebut. Dalam hal ini, kewajiban dapat atau bahkan harus diakui kalau secara
substantif sewaguna tersebut sebenarnya adalah pembelian angsuran (yaitu memenuhi salah
satu kriteria kapitalisasi).

4. Keterukuran nilai kewajiban


Keterukuran merupakan salah satu syarat untuk mencapai kualitas keterandalan informasi.
Definisi kewajiban mengandung kata cukup pasti (probable) yang mengacu tidak hanya pada
terjadinya pengorbanan sumber ekonomik masa datang tetapi juga pada jumlah rupiahnya.

Yang menjadi masalah teknis adalah kapan keempat kaidah diatas dipenuhi. hal ini
berkaitan dengan penentuan saat (timing) pengakuan kewajiban. Pada umumnya saaat
pengakuan terjadi sangat jelas karena kebanyakan kewajiban timbul dari kontrak yang
menyebutkan secara tegas saat mengikatnya kontrak, jumlah rupiah pembayaran kewajiban,
dan saat pembayaran. Akan tetapi, untuk beberapa kasus, jumlah rupiah (kos) kewajiban
bergantung pada kejadian dimasa datang meskipun cukup pasti bahwa keharusan membayar
dimasa datang tidak dapat dihindari. Saat-saat mengakui kewajiban yaitu:
a. Pada saat penandatanganan kontrak bila pada saat itu hak dan kewajiban telah mengikat.
Dalam hal kontrak eksekutori, pengakuan menunggu sampai salah satu pihak memanfaatkan/
menguasai manfaat yang diperjanjikan atau memenuhi kewajibannya (to perform).
b. Bersamaan dengan pengakuan biaya bila barang dan jasa yang menjadi biaya belum dicatat
sebagai aset sebelumnya.
c. Bersamaan dengan pengakuan aset. Kewajiban timbul ketika hak untuk menggunakan
barang dan jasa diperoleh.
d. Pada akhirnya periode karena penggunaan asas akrual melalui proses penyesuaian.
Pengakuan ini menimbulkan pos utang atau kewajiban akrual (accrued liabilities).

Pengakuan Kewajiban Bergantung


Untuk keharusan bergantung (khususnya rugi bergantung yang menimbulkan
kewajiban), kaidah pengakuan keempat (keterukuran nilai kewajiban) dan pasti tidaknya
pengorbanan sumber ekonimik masa datang akan terjadi menimbulkan masalah pengakuan.
Kewajiban kontraktual, konstuktif , dan demi keadilan dalam beberapa kasus juga bersifat
bergantung terutama bila kewajiban tersebut melibatkan penaksiran jumlah masa datang yang
merugikan. FSAB memberikan contoh keadaan-keadaan kebergantungan rugi (loss
contingencies) yang berpontensi memicu pengakuan kewajiban sebagai berikut:
a. Ketertagihan piutang usaha.
b. Keharusan berkaitan dengan jaminan produk dan kerusakan produk.
c. Resiko rugi atau kerusakan properitas (fasilitas) kesatuan usahan akibat kebakaran, ledakan,
dan bahaya lainnya.
d. Ancaman pengambilalihan aset oleh pemerintah.
e. Persengketaan yang memberatkan atau menunggu keputusan.
f. Klaim atau pungutan yang telah diajukan/dikenakan atau yang mungkin (possible) terjadi.
g. Resiko rugi akibat bencana yang ditanggung oleh perusahaan asuransi kerugian dan
kecelakaan dan perusahaan reasuransi.
h. Jaminan terhadap utang pihak lain.
i. Keharusan bank komersial dalam ikatan standby letters of credit.
j. Perjanjian untuk membeli kembali piutang atau aset yang terkait yang telah dijual.
FSAB menetapkan bahwa rugi taksiran yang dapat terjadi kebergantungan rugi harus
diakru (to be accrued) dengan membebankannya ke pendapatan (sebagai biaya atau rugi) bila
kedua kondisi berikut dipenuhi:
a. Informasi yang tersedia sebelum penerbitan statemen keuangan menunjukkan bahwa suatu
aset cukup pasti telah turun nilainnya (impaired) atau suatu kewajiban cukup pasti telah
terjadi pada tanggal statemen keuangan. Pada tanggal statemen keuangan harus sudah dapat
disimpulkan bahwa kewajiban atau beberapa kejadian, yang menegaskan adanya rugi, cukup
pasti (probable) akan terjadi.
b. Jumlah rupiah rugi dapat diestimasi dengan cukup tepat (reasonably estimated).
Bila kondisi diatas tidak dipenuhi, jumlah rupiah rugi potensial harus tetap
diungkapkan dengan menjelaskan sfat dan implikasi kebergantungan tersebut. Ketentuan
tentang dpat diakrunya rugi potensial sebelum kejadian yang menegaskan terjadi dilandasi
oleh interpretasi tentang makna kewajiban dan asset serta konsep dasar penandingan
(matching) dan konservatisma.

Pengukuran
Pengakuan dilakukan setelah suatu kewajiban terukur dengan cukup pasti. Penentuan
kos kewajiban pada saat terjadi paralel dengan pengukuran asset. Terjadinya kewajiban pada
umumnya disertai dengan pemerolehan asset atau timbulmnya biaya. Pemerolehan asset
dapat berupa penguasaan barang dagangannya atau asset nonmoneter lainnya yang terjadi
dari transaksi pembelian. Pemerolehan asset dapat juga berupa kas yang terjadi dari transaksi
peminjaman (penerbitan obligasi) atau penerimaan uang muka untuk barang atau jasa. Oleh
karena itu pengukur yang paling objektif untuk menentuka kos kewajiban pada saat
terjadinya adalah penghargaan sepakatan (meansured considerations) dalam transaksi-
transaksi tersebut dan bukan jumlah rupiah pengorbanan ekonomik masa datang. Hal ini
berlaku khususnya untuk kewajiban jangka panjang.
Untuk kewajiban jangka pendek, kos penundaan dianggap tidak cukup material
sehingga jumlah rupiah kewajiban yang diakui akan sama denga jumlah rupiah pengorbanan
sumber ekonimik (kas) masa datang. Dengan kata lain, untuk kewajiban jangka pendek, kos
pendanaan (financing cost) atau kos penundaan (bunga sebagai nilai waktu uang) dianggap
material.
Penghargaan sepakatan suatu kewajiban merefleksi nilai setara tunai atau nilai
sekarang (current value) kewajiban yaitu jumlah rupiah pengorbanan sumber ekonomik
seandainya kewajiban dilunasi pada saat terjadinya. Dengan demikian, bisnis pencatatan
kewajiban adalah nilai setara tunai bukan nilai nominal utang.

Kewajiban Dalam Pembelian Kredit


Dasar pengukuran asset yang paling objektif adalah kos tunai (cash cost) atau kos
tunai implicit (implied cash cost). Karena kewajiba merupakan bayanga cermin asset,
pengukurannya juga mengikuti pengukuran asset.
Misalnya suatu perusahaan menandatangani kontrak pembelian mesin. Perusahaan
menyepakati harga kontrak mesin Rp 1.600.000 dan dibayar dalam delapan kali angsuran tiap
akhir triwulan sebesar Rp 200.000 tanpa menyebutkan adanya bunga secara eksplisit. Dalam
kasus ini sebenarnya harga nominal (kontrak) tersebut melebihi kos tunai implicit yaitu
jumlah rupiah yang diperlukan seandainya pembelian dilakukan secara tunai. Kalau mesin
tersebut dapat diperoleh juga dari toko yang sama dengan harga tunai Rp 1.465.000 maka
jumlah rupiah ini kos tunai implicit sedangkan selesih sebesar Rp 135.000 adlah setara
dengan bunga dan harus dibebankan terhadap pendapatan selama jangka waktu kontrak.
Bunga ini akhirnya akan menjadi biaya yang sesungguhnya terjadi atau nyata dan buka bunga
hipotetis. Dengan demikian, secara konseptual kewajiban harus diakui pada saat transaksi
sebagai berikut:
Mesin…………………… 1.465.000
Utang usaha…………….. 1.465.000
Secara teknisi pembukuan, dapat saja jumlah rupiah bunga dicatat untuk kepentingan internal
dan jumlah utang dicatat sebesar nominalnya sebagai berikut:
Mesin……………………….1.465.000
Bunga Tangguhan…………..135.000
Utang usaha…………………1.600.000
Bila cara diatas dilakukan, pelaporan kewajiban harus tetap menunjukkan nilai tunai
implisitnya dengan cara mengurangkan bunga tangguhan terhadap utang usaha. Bunga
tangguhan tidak dilaporkan sebagai asset. Kalau asset dan kewajiban dicatat dan dilaporkan
sebesar Rp 1.600.000 jelas kos asset dan kewajiban tercatat terlalu tinggi. Walaupun
demikian, kalau jangka waktu kontrak adalah pendek maka jumlah kelebihan kos adalah kecil
dan dapat diabaikan atas dasar konsep materialistas.

Diskon dan Premium Utang Obligasi


Nilai nominal atau jatuh tempo utang obligasi sering dianggap sebagai jumlah rupiah
kesepakatan pada saat penerbitan obligasi baik bagi penerbit maupun kreditor. Dasar
pengukuran demikian sebenarnya tidak tepat. Untuk suatu kontrak utang dengan ketentuan
pembayaran bunga periodik dan pokok pinajaman pada akhir jangka kontrak, pengukuran
jumlah rupiah (kos) utang dan asset untuk dasar pencatatan pertama kali yang tepat adalah
kos tunai implicit.
Dalam hal obligasi jangka panjang, jumlah rupiah uang yang diterima oleh penerbit
dan yang dibayarkan oleh kreditor pada saat penerbitan hanyalah merupakan bagian kecil dari
jumlah rupiah pembayaran masa datang (bunga periodik dan nominal obligasi). Pembayaran
masa datang ini sebenarnya terdiri atas dua unsure yaitu 1. Nilai sekarang pembayaran bunga
periodik dan nilai sekarang nominal obligasi dan 2. Bunga efektif yang terlibat dalam
penentuan harga obligasi tersebut.

Makna Harga Efektif Obligasi


Segera setelah transaksi terjadi maka “kesepakatan” dalam hubungannya dengan
obligasi tersebut mulai menunjukkan makna yang sebenarnya. Dengan telah mulai
berjalannya kesepakatan dalam transaksi obligasi diatas, bunga Rp. 100.000 tiap tahun mulai
terhimpun dan dibayar secara periodik sampai jauh tempo. Bersamaan dengan itu, jumlah
rupiah utang obligasi yang mula-mula tercatat akan berangsur-angsur berubah (bertambah)
menuju jumlah rupiah nilai jatuh tempo atau nominal.

Diskon Obligasi
Diskon obligasi yang belum diamortisasi bukan merupakan suatu rugi karena asset
yang diperoleh sebelumnya tidak ada yang berkurang atau menguap (dissipation). Diskon
obligasi sebenarnya merupakan bunga yang “belum dibayar”, yaitu bagian bunga efektif total
yang baru akan dibayar pada saat utang obligasi jatuh tempo.

Premium Obligasi
Sejalan dengan penalaran makna diskon obligasi yang dilandasi konsep dasar
penghargaan sepakatan, dapat disimpulkan bahwa premium yang dibayarkan investor untuk
obligasi merupakan unsure dari jumlah rupiah utang perusahaan. Bersamaan denga
berjalannya waktu mendekati jatuh tempo, jumlah rupiah bagian utang yang merupakan
premium harus diamortisasi secara sistematik dengan cara memisahkan dari penghargaan
sepakatan bagian yang diperhitungkan sebagai pembayaran “bunga” periodik. Mengartikan
premium obligasi sebagai “pendapatan tangguhan” (defferend income) jelas tidak tepat
karena secara konseptual pendapatan atau laba tidak timbul dari proses pemerolehan utang.
Pendapatan hanya timbul dari kegiatan pembentukan pendapatan (earning process). Atas
dasar konsep kontinuitas usaha, premium obligasi yang belum diamortisasi adalah benar-
benar merupakan utang dan jumlah amortisasi periodik adalah merupakan penyesuaian
(pengurang) terhadap biaya bunga dan bukannya merupakan elemen pendapatan. Tanpa
peneysuaian ini biaya bunga periodik akan menjadi tersaji lebih (overstated).
Dari segi yudiris, utang memang harus diukur sebesar nilai nomnalnya karena kalau
terjadi likuidasi hak menerima pelunasan yang melekat pada investor adalah sebesar nominal.
Pandangan yudiris yang tidak memperhatikan diskon dilandasi konsep pengukuran dengan
asumsi perusahaan likuidasi. Dalam keadaan likuidasi atau reorganisasi memang dapat
dijustifikasi pengukuran dengan menggunakan konsep yang berbeda dengan akuntasi. Akan
tetapi, secara umum akuntansi tidak harus mendasarkan diri pada konsep tersebut.

Kewajiban Moneter dan Nonmoneter


Kewajiban moneter adalah kewajiban yang pengorbanan sember ekonomik masa
datangnya berupa kas dengan jumlah rupiah ada saat yang pasti baik jumlah tunggal maupun
beberapa pembayaran secara berkala. Untuk kewajiban moneter jangka pendek, kewajiban
dapat diukur atas dasar nilai nominal (face value) berdasarkan konsep dasar materialitas.
Termasuk dalam pengertian kewajiban moneter adalah penerimaan dimuka (advances) yang
akan dikompensasi dengan pembelian barang dan jasa dimasa datang. Disebut kewajiban
moneter karena kalau pembelian barang dan jasa batal, uang muka tersebut harus
dikembalikan.
Kewajiban nonmoneter adalah keharusan untuk menyediakan barang dan jasa dengan
jumlah saat yang cukup pasti yang bisanya timbul karena penerimaan pembayaran dimuka
untuk barang dan jasa tersebut. Bila pembayaran dimuka penuh, kewajiban nonmoneter harus
diukur atas dasar pembayaran tersebut yang menunjukkan harga yang disepakati untuk
barang dan jasa. Pembayaran penuh dimuka tersebut sebenarnya mereprentasikan jumlah
untuk menutup kos barang dan jasa yang akan diserahkan dan laba. Jumlah yang digunakan
untuk menutup kos itulah yang murni merupaka kewajiban sedangkan jumlah untuk menutup
laba merupakan laba tangguhan (deferred income) yang tidak dapat disebut kewajiban karena
tidak memenuhi definisi kewajiban.
Bila kos barang dan jasa merupakan unsure yang dominan, pembayaran dimuka dapat
dianggap seluruhnya menimbulkan kewajiban (sebagai kewajiban lancar). Aka tetapi, kalau
kos merupakan unsure yang kecil dari seluruh harga jual barang dan jasa, pembayaran
dimuka dapat dianggap seluruhnya menumbulkan kredit atau pendapatan tagguhan atau
pendapatan tak terhak (unearned revenues) yang merupakan kewajiban non keharusan.
Perlakuan ini secara konseptual lebih didukung daripada pemisahan uang muka menjadi
komponen kos (merepresentasi kewajiban) dan laba. Arugumen yang didukung yaitu:
a. Keharusan menyerahkan barang dan jasa merupakan bagian dari operasi perusahaan secara
keseluruhan sehingga barang dan jasa dinyatakan dalam harga jual dari kaca mata kedua
pihak yang bertransaksi. Dengan demikian, pembayaran dimuka merupakan pendapatan
tangguhan yang menunggu penyerahan barang bukan jumlah untuk menutup kos barang dan
jasa.
b. Sebagai bagian dari operasi perusahaan secara keseluruhan, penerimaan uang muka lebih
tepat bila diperlakukan seluruhnya sebagai kewajiban. Ini merupakan konsekuensi argument a
diatas.
c. Laba secara automatis tercipta pada saat pendapatan telah diakui sehingga pemisahan antara
kewajiban dan laba tangguhan tidak ada manfaatnya karena keduanya sama-sama akan
dilaporkan disisi kredit dan bersifat kewajiban yang keduanya terselesaikan pada saat barang
atau jasa telah diserahkan.
d. Kas yang diterima tidak dapat dikaitkan dengan kos penyediaan barang/produk dan jasa yang
diberi uang muka karena beberapa komponen produk atau jasa pada umumnya sudah
diperoleh perusahaan bahkan beberapa komponen mungkin belum diperoleh perusahaan pada
saat penerimaan uang muka.
e. Penyerahan barang merupakan saat yang kritis untuk mengakui pendapatan daripada saat
penerimaan kas sehingga laba tidak dapat diakui pada saat penerimaan kas. Jadi, percuma
saja untuk memisahkan uang muka untuk mereprentasi kos dan laba.

Penilaian
Kalau pengukuran mengacu pada penentuan nilai keharusan sekarang (the value of
current obligation) pada saat terjadinya, penilaian mengacu pada penentuan nilai keharusan
sekarang pada setiap saat antara terjadinya kewajiban sampai dilunasinya kewajiban. Makin
mendekati saat jatuh tempo, nilai kewajiban akan makin mendekati nilai nominal (face value)
kewajiban.
Penilaian kewajiban pada saat tertentu adalah penentuan jumlah rupiah yang harus
dikorbankan seandainya pada saat tersebut kewajiban harus dilunasi. Dengan kata lain,
penilaian adalah penentuan nilai sekarang kewajiban. Untuk kewajiban moneter, nilai
sekarangnya biasanya ditentukan atas dasar aliran kas keluar dimasa dtang didiskonan dengan
tingkat bunga pasar sebagai tarif diskon.

Pelunasan
Pelunasan adalah tindakan atau upaya yang segaja dilakukan oleh kesatuan usaha
untuk memenuhi (to satisfy) kewajiban pada saatnya dan dalam kondisi normal usaha (in due
course of business) sehingga bebas dari kewajiban tersebut. Pelunasan biasanya merupakan
pemenuhan secara langsung kepada pihak yang berpiutang. Pelunasan menjadikan kewajiban
tersebut hapus, tiada, atau lenyap (extinguished) secara langsung (kewajiban langsung
didebit).
Perlunasan secara langsung disebut juga perlunasan secara yudiris karena kewajiban
kepada pihak yang berpiutang secara yudiris hapus melalui transaksi langsung yang benar-
benar terjadi. Perlunasan secara tidak langsung terjadi apabila kesatuan usaha melakukan
tindakan yang mengarah ke perlunasan misalnya dengan pembentukan dan khusus untuk
perlunasan (sinking fund) baik dikelola sendiri atau melalui wali amanat (trust agency).
Pembentukan atau penyisihan dana semacam ini menjadikan kesatuan usaha secara substantif
menempati keadaan yang disebut pembatalan atau pembebasan secara substansif (in
substance defeasance).
Masalah akuntansi ysng berkaitan dengan perlunasan langsung maupun tidak
langsung adalah penentuan kapan kewajiban telah dapat dikatakan hapus atau lenyap
sehingga jumlah rupiahnya dapat diakui dari sistem pembukuan. FSAB memberikan
pedoman tentang saat pelenyapan (extiguishment) kewajiban. Pada mulanya FSAB
menentukan criteria lenyapan suatu kewajiban sebagai berikut:
a. Debitor membayar/melunasi kreditor dan bebas dari semua keharusan yang berkaitan dengan
utang.
b. Debitor telah dibebaskan secara hukum dari statusnya sebagai penanggung utang utama baik
oleh keputusan pengadilan maupun oleh kreditor dan dapat dipastikan bahwa debitor tidak
akan diharuskan untuk melakukan pembayaran dimasa datang yang berkaitan dengan utang
dengan penjaminan dalam bentuk apapun.
c. Debitor menaruh kas atau asset lainnya yang tidak dapat ditarik kembali dalam suatu
perwalian yang semata-mata digunakan untuk perlunasan pembayaran bunga serta pokok
suatu pinjaman tertentu dan sangat kecil kemungkinan bagi debitor untuk diharuskan lagi
melakukan pembayaran dimasa dtang yang berkaitan dengan pinjaman tersebut.
FSAB berargumen pendekatan ini tidak tepat sebagai basis untuk pengembangan
standar yang berkaitan dengan peleyapan dan pengakuan kewajiban. Dengan pendekatan ini,
transaksi-transaksi yang tidak cukup mempunyai substansi ekonomik dapat membenarkan
pengakuan kewajiban dan pengakuan untung yang dipandang FSAB tidak menyimbolkan
secara tepat realitas kegiatan yang ada. FSAB menerapkan pendekatan komponen-keuangan.
Dengan pendekatan ini, berbagai transaksi yang berkaitan dengan suatu kewajiban tertentu
dapat dianggap terpisah dan independen sehingga berbagai asset atau kewajiban yang terlibat
harus diperlakukan sebagai komponen-komponen terpisah. FSAB menetapkan bahwa suatu
kewajiban dapat dikatakan lenyap kalau salah satu dari kondisi berikut dipenuhi:
a. Debobitor membayar kreditor dan terbebaskan dari keharusan yang melekat pada kewajiban.
Membayar kreditor mencakupi penyerahan kas, asset financial lain, barang, atau jasa atau
penebusan sekuritas utang oleh debitor untuk menghapus utang atau untuk menahannya
sebagai utang obligasi treasuri.
b. Debitor telah dibebaskan secara hukum dari statusnya sebagai penanggung utang utama baik
oleh keputusan pengadilan maupun kreditor.
Transfer Aset Finansial
Untuk melunasi kewajiban, suatu entitas dapat mentransfer asset financial termasuk
kas, barang, atau jasa. Bila kewajiban telah dilunasi dengan mentransfer secara penuh kas,
barang, atau jasa ke debitor maka pada saat itu pelunasan dianggap tuntas. Debitor tidak lagi
terlibat dengan asset atau kreditor secara financial. Perlunasan kewajiban dengan asset
financial juga dapat bersifat tuntas bila penyerahan asset financial bersifat tak bersyarat dan
dianggap sebagai penjualan. Artinya, asset finasial dianggap dijual secara tunai dan kas yang
diterima seketika itu pula dianggap untuk melunasi kewajiban.
Kalau pelunasan kewajiban dilakukan dengan transferan asset financial yang
menimbulkan keterlibatan berlanjut (continuing involvement) pentransferan (transferor)
dengan asset transferan (transferred assets) atau tertransfer (transferee). Dalam hal ini
kewajiban tidak lenyap secara tuntas atau ada kewajiban baru yang berkaitan dengan asset
transferan.

Perlunasan Sebelum Jatuh Tempo


Bila kewajiban dilunasi pada saat jatuh tempo, nilai jatuh tempo (nominal) dengan
sendirinya merefleksi nilai sekarang (saat pelunasan) kewajiban sehingga tidak ada selisih
antara jumlah rupiah yang dibayar dan nilai nominal. Nilai jatuh tempo juga akan sama
dengan nilai buku atau nilai bawaan (carrying value) kewajiban karena proses amortisasi
selisih antara nominal dan nilai pasar pada saat penerbitan utang (misalnya obligasi). Selama
beredar, nilai pasar atau nilai sekarang kewajiban berfluktuasi mengikuti tingkat bunga yang
berlaku tetapi pada umumnya fluktuasi tersebut tidak diakui dalam pembukuan debitor.
Penarikan kembali obligasi yang beredar adalah suatu transaksi yang mempengaruhi
kontrak debitor atau kreditor tetapi transaksi ini sangat berbeda dengan transaksi aliran
kegiatan operasi dan transaksi penggunaan asset (investasi). Dengan demikian, terdapat
pandangan bahwa untung atau rugi yang berasal dari transaksi tersebut harus dilaporkan
sebagai suatu penyesusian modal. Bergantung pada sifatnya untung atau rugi dapat
dilaporkan sebagai pos diner atau pos ekstraordiner. Kriteria untuk menentukan hal ini adalah
apakah pos tersebut merupakan akibat dari transaksi atau kejadian yang mempunyai sifat
sebagai berikut:
a. Sangat berbeda dengan kegiatan operasi rutin kesatuan usaha
b. Tidak diharapkan akan sering terjadi
c. Berpengaruh material terhadap operasi perusahaan secara keseluruhan
APB berargumen bahwa sifat semula pelunasan utang sebelum jatuh tempo pada
dasarnya sama. Untuk perlunasan dengan pendanaan sebenarnya terdapat tiga perlakuan
alternative untuk selisih yaitu:
a. Selisih diamortisasi selama sisa umur semula utang yang ditarik kembali
b. Selisih diamortisasi selama umur utang baru yang diterbitkan
c. Selisih diakui pada saat penarikan dan dilaporkan distatemen laba rugi tahun bersangkutan
Perlunasan utang sebelum jatuh tempo sama sifatnya dengan perlunasan pada saat
jatuh tempo tanpa memperhatikan cara untuk melaksanakan hal tersebut (dengan pendanaan
kembali atau tidak). Untung atau rugi dapat dilaporkan sebagai pos ordiner atau ektraordiner
tergantung pada penilaian terhadap kondisi yang melingkupi transaksi.

Utang Terkonversi
Instrument financial pada dasarnya merupakan alat pembayaran atau pinjaman
sehingga dapat digunakan oleh pemegangnya untuk melunasi utang. Utang terkontroversi
atau convertible (convertible debt) merupakan salah satu instrument financial tersebut.
Sekuritas utang semacam ini biasanya mempunyai status sebagai kewajiban dan ekuitas
sekaligus. Artinya, pemegang instrument mempunyai hak istimewa untuk mengubah status
utang menjadi ekuitas setiap saat selama hak tersebut masih berlaku (belum habis). Instumen
semacam ini merupakan salah satu bentuk dari apa yang disebut sekuritas hibrida (hybrid
securities).
Contoh yang paling sering dijumpai dalam praktik adalah obligasi terkonversi. Obligasi
terkontroversi pada umumnya diterbitkan untuk menarik para investor karena mereka dapat
menggeser resiko atau mengubah status sekuritas menjadi lebih menguntungkan. Hak
konversi digunakan untuk menarik investor untuk mengimbangi tingkat bunga nominal yang
terlalu rendah dibandingka tingkat bunga umum. Harga perdana biasanya jauh lebih tinggi
dari obligasi biasa dengan tingkat resiko yang sama. Jadi, investor bersedia membeli hak
konversi dalam bentuk bunga yang lebih rendah dari bunga obligasi setara yang dijual secara
terpisah. Obligasi terkonversi biasanya mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Tingkat bunga nominal jauh dibawah tingkat bunga pasar untuk obligasi biasanya yg setara
2. Harga konversi yang ditetapkan lebih tinggi dari harga pasar saham biasa
3. Harga konversi tidak pernah menurun selama masa hak konversi kecuali karena penyesuaian
yang diperlukan akibat pengambilan hak yang melekat pada saham biasa seperti dalam hal
terjadi poemecahan saham atau dividen saham
Hal diatas menjadi karakteristik obligasi terkontroversi karena pada umumnya
perusahaan penerbit merupakan perusahaan yang agresif dan sedang berkembang sehingga
memerlukan dana yang cukup murah. Bila prospek perusahaan sangat baik, obligasi
terkontroversi masih tetap menarik bagi investor. Walaupun harga konversi cukup tinggi pada
saat ditawarkan, pada saatnya harga saham dapat menjadi lebih tinggi dari harga konversi dan
prediksi kenaikan harga saham dapat menjadi cukup pasti memicu investor untuk
mengkonversi obligasinya. Karakteristik obligasi terkontroversi menimbulkan masalah
akuntansi pada saat pengakuan, pengkonversian, dan perlunasan.
Pendukung alokasi berargumen bahwa karena utang terkonversi mengandung sifat
utang dan ekuitas, kedua komponen harus diakui secara terpisah. Pandangan ini didasarkan
atas pemikiran sebagai berikut:
a. Hak konversi mempunyai nilai ekonomik sehingga tidak berbeda dengan sifat hak opsi atau
waran. Oleh karena itu, nilai tersebut harus dilaporkan secara terpisah dengan nilai utang
sejalan dengan perlakua hak opsi atau waran. Analogi dengan goodwill, nilai hak konversi
secara logis juga harus dipisahkan. Bila tidak dipisahkan, akan terjadi inkonsistensi perlakuan
akuntansi.
b. Pada saat penerbitan hak konversi atau nilai utang obligasi biasa (tanpa hak konversi) dapat
diukur secara cukup andal sehingga tidak ada kesulitan teknis untuk mengimplementasi
pemisahan tersebut. Nilai ionformasional pemisahan jauh lebih penting dari masalah
kepraktisan sehingga kepraktisan tidak relevan sebagai basis penolakan pemisahan.
c. Tujuan penerbitan utang terkonversi yang sebenarnya adalah pendanaan dengan ekuitas.
Sifat utang semata-mata untuk melindungi investor dari keadaan jelek yang dapat menimpa
perusahaan (dalam likuidasi, utang diprioritaskan). Oleh karena itu, pelunasan utang bukan
merupakan hal yang diharapkan oleh penerbit.
Sementara itu, pendukung semata-mata utang mengajukan argument sebaliknya.
Dasar pikiran yang melandasi perlakuan sebagai utang semata-mata dapat dikemukakan
sebagai berikut:
a. Utang obligasi terkonversi merupakan sekuritas hibrida sehingga harus dipandang sebagai
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hak kontroversi tidak independen terhadap utang
obligasi.
b. Penilaian hak konversi akan bersifat subjektif karena ketidakterpisahan kedua komponen
(utang dan hak konversi). Alasannya adalah adanya ketidakpastian dalam hal saat
pengambilan hak konversi dan nilai saham pada saat konversi. Kesulitan praktis akan lebih
terasa bila tidak ada sekuritas sejenis yang dijual secara bebas tanpa hak konversi.
Jadi, ketidakterpisahkan dan kepraktisan menjadi ladasan pikiran untuk memperlukan
utang terkonversi semata-mata sebagai utang. Hal ini menjadi bisnis opini APB yang
memandang nilai obligasi dan hak konversi sebagai satu kesatuan. Walaupun demikian, APB
lebih menekankan alasannya pada ketidakterpisahan daripada kepraktisan.
Perdebatan mengenai perlakuan sekuritas hibrida timbul karena pembedaan elemen
kewajiban dan ekuitas secara definisional sehingga selalu timbul masalah klasifikasi terhadap
sekuritas hibrida atau instumen keuangan. Salah satu pemecahan masalah ini adalah
mendefinisi ekuitas dalam arti luas yang mencangkupi utang/kewajiban kemudian
mengklasifikasi ekuitas menjadi beberapa kelas atas dasar hak-hak yang melekat pada tiap
kelas.
Masih ada masalah apabila instrument financial harus diakui dan dilaporkan via
statemen keuangan utama karena selain memenuhi definisi, suatu pos atau objek juga harus
memenuhi kriteria pengakuan yang lain yaitu terukur (meansureable), terandalkan (reliable),
dan berpaut (relevant). Oleh karena itu cara lain untuk mengatasi masalah instrument
keuangan adalah bukan dengan pengakuan melainkan dengan pengungkapan (disclosures).

Pembebasan Substantif
Pada mulanya, FASB menetapkan bahwa kewajiban dapat dianggap lenyap bila
kreditor menaruh kas atau lainnya misalnya obligasi pemerintah yang tidak dapat ditarik
kembali dalam satu perwalian dan aliran kas dari aset tersebut akan cukup untuk pelunasan
pembayaran bunga serta pokok pinjaman.
Bila telah dicapai saat sehingga debitor sehingga tidak perlu lagi melakukan
pembayaran di masa datang yang berkaitan dengan pinjaman tersebut, maka pada saat
tersebut secara substansif debitor sudah bebas dari kewajiban sehingga dapat mengakui
kewajiban dan aset dalam perwalian meskipun utang belum jatuh waktu. Bila debitor
membentuk dana pelunasan utang obligasi, pada saat debitor sudah tidak perlu lagi
membayar atau menyetor kas ke dana tersebut karena kas yang telah disetor dan pendapatan
dari dana tersebut sudah pasti akan cukup untuk menutup utang pada saat jatuh tempo, maka
pada saat itu kewajiban debitor secara substantive dianggap lenyao meskipun kewajiban
belum jatuh tempo. Jadi, pada saat tidak ada lagi keharusan membayar, telah terjadi
pembebasan substantif.
Dalam standar ini FASB menegaskan bahwa pada saat terjadi pembebasan substantif,
kewajiban tidak dapat dihapus karena kejadian tersebut tidak memenuhi karakteristik atau
criteria kritis sebagai berikut :
a. Debitor tidak hanya sendirinya menjadi bebas dari kewajiban secara hukum hanya lantaran
perusahaan menempatkan aset ke dalam suatu perwalian.
b. Untuk pelunasan kewajiban, sumber dana tidak dibatasi hanya dari dana yang ditempatkan
dalam perwalian.
c. Kreditor tidak mempunyai kekuasaan untuk menggunakan secara bebas aset dalam perwalian
dan juga tidak dapat menghentikan atau membatalkan perwalian tersebut.
d. Kreditor ataupun agennya bukan merupakan pihak yang terikat dalam kontrak pembentukan
dana pembebasan utang.
Alasan lain yang sering dikemukakan adalah pengawakan kewajiban pada saat
tercapainya pembebasan substantive sama saja dengan mengkompensasi kewajiban dengan
aset. Kritik lain adalah pengawaakuan kewajiban pada saat terjadinya pembebasan
substantive dapat dimanfaatkan oleh debitor untuk melakukan manajemen laba dan
peningkatan kinerja secara kosmetik. Hal ini dapat dilakukan karena keuntungan bagi debitor
sebagai berikut :
a. Kewajiban dihapus dari neraca sehingga rasio kewajiban – ekuitas membaik
b. Laba tahun berjalan akan meningkat dengan jumlah untung yang terjadi dalam
pengawaakuan kewajiban
c. Untung pengawaakuan kewajiban tidak dikenai pajak karena untung tersebut sebenarnya
belum terealisasi sehingga perusahaan dapat menghemat atau menunda pajak dan
meningkatkan profitabilitas secara cukup berarti pada saat pembebasan substantive
d. Bila aset berupa obligasi pemerintah, perusahaan dapat menghemat pajak karena untuk
perhitungan pajak pendapatan bunga obligasi pemerintah dapat dikompensasi oleh biaya
bunga utang
e. Pembebasan substantive memungkinkan perusahaan untuk memperlakukan kewajiban
jangka seperti mengelola surat – surat berharga di sisi aset.

Penyajian
Secara umum, kewajiban disajikan dalam neraca atas dasar urutan kelancarannya
sejalan dengan penyajian aset. PSAK No. 1 (pasal 39) menggariskan bahwa aset lancer
disajikan urut menurut urutan likuidiats sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh
tempo. Ini berarti kewajiban jangka pendek disajikan lebih dahulu daripada kewajiban jangka
panjang. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pembaca untuk mengevaluasi likuiditas
perusahaan.
PSAK No. 1 menentukan bahwa semua kewajiban yang tidak memenuhi criteria
sebagai kewajiban jangka pendek harus diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang.
Suatu kewajiban diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka pendek bila (paragraph 44) :
a. Diperkirkan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal opersi perusahaan
b. Jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan dari tanggal neraca
Suatu kewajiban tetap dapat diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang bila
kewajiban tersebut tidak akan dilunasi tetapi didanai kembali atau diperbarui. Paragraf 47
menyebutkan bahwa kewajiban berbunga jangka panjang tetap diklasifikasikan sebagai
kewajiban jangka panjang, walaupun kewajiban tersebut akan jatuh tempo dalam jangka
waktu dua belas bulan sejak tanggal neraca, apabila :
a. Kesepakatan awal perjanjian pinjaman untuk jangka waktu lebih dari dua belas bulan
b. Perusahaan bermaksud membiayai kembali kewajibannya dengan pendanaan jangka pnjang

Hak Mengkompensasi
Ada kalanya hak mengontra diperbolehkan bila kondisi tertentu dipenuhi. kondisi ini
biasanya berkaitan dengan apa yang disebut sebagai kontrak bersyarat dan kontrak
pertukaran. Kontrak bersyarat adalah kontrak yang hak dan kewajibannya bergantung pada
timbulnya kejadian masa datang tertentu yang belum tentu terjadi dan dapat mengubah saat
penerimaan, penyerahan, atau pertukaran jumlah rupiah atau instrument keuangan. Contoh
kontrak ini adalah futures contracts dan forward purchase – sale contracts. Kontrak
pertukaran adalah kontrak yang mewajibkan adanya pertukaran aset dan kewajiban dimasa
datang dan bukan hanya transfer aset dari satu pihak aja. Contoh kontrak ini adalah interest
rate swaps dan currency swaps.
Dalam FASB Interpretation No. 39,45 FASB mendefinisi hak mengontra sebagai
berikut (paragraph 5) :
Hak mengintra adalah hak yuridis debitor, lantaran kontrak antara lainnya, untuk menghapus
semua atau sebagian utang kepada pihak lain dengn cara mengkompensasi utang tersebut
dengan jumlah yang pihak lain berutang kepada debitor. Hak mengontra dikatakan ada
bilamana semua kondisi berikut dipenuhi :
a. Tiap pihak dari dua pihak yang berkontrak utang kepada yang lain suatu jumlah rupiah
tertentu
b. Pihak pelapor mempunyai hak mengontra jumlah yang diutangnya dengan jumlah yang
diutang pihak lain
c. Pihak pelapor memang berniat untuk mengontra

d. Hak mengontra terpaksakan secara hukum

Anda mungkin juga menyukai