Anda di halaman 1dari 3

TUGAS TERSTRUKTUR/FORUM DISKUSI

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

Matakuliah : FILSAFAT HUKUM


Fak/ Prodi : Magister Hukum NIM : 201017400128
Semester : II (Dua) Shift : REGULER B
Nama : Aziz Imam Hanafi Kelas : 01S2HM003

Sifat Tugas : Open Book Ruang : V.335

Pemberantasan korupsi akhirnya menemui ajalnya. Pada hari ini Pimpinan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) resmi

mengumumkan nasib sejumlah pegawai pasca melewati Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Setelah

rapat lintas kementerian dan lembaga itu, diputuskan bahwa 51 pegawai KPK tetap dipaksa untuk

keluar dari lembaga antirasuah. Mencermati hasil kesepakatan tersebut, maka dapat ditarik beberapa

kesimpulan. Pertama, sejumlah lembaga negara yang mengikuti proses pembahasan hari ini telah

melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Betapa tidak, sejak awal sudah ditegaskan

bahwa penyelenggaraan TWK yang diikuti seluruh pegawai KPK bersifat ilegal. Sebab, TWK

diselundupkan secara sistematis oleh Pimpinan KPK melalui Peraturan Komisi Pemberantasan

Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 (Perkom 1/2021). Padahal, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019

dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tidak mengamanatkan metode seleksi untuk alih

status kepegawaian KPK. Kedua, putusan untuk mengeluarkan 51 pegawai KPK secara terang

benderang menghiraukan putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diketahui, dalam putusannya,

MK sudah mengumumkan bahwa pengalihan status kepegawaian KPK tidak boleh melanggar hak-

hak pegawai. Kemudian, jika tes tersebut dimaknai dengan metode seleksi, bukankah hal itu

menimbulkan dampak kerugian bagi pegawai KPK? Lagi pun mesti dipahami bahwa putusan MK

bersifat final dan mengikat serta tidak bisa ditafsirkan lain. Ketiga, substansi pertanyaan dalam TWK

yang diinisiasi oleh Pimpinan KPK bersama lembaga lain bertentangan dengan hak asasi manusia.

Merujuk pada beberapa pemberitaan yang beredar luas di tengah masyarakat, pertanyaan-pertanyaan

TWK menyentuh ranah privasi warga negara. Dapat dibayangkan, perihal kehidupan pribadi,

pandangan politik, dan Agama turut dijadikan dasar penilaian. Bahkan, proses wawancara juga

dilakukan secara tidak profesional. Hal itu dapat merujuk kepada fakta bahwa panitia penyelenggara

tidak menyediakan alat rekam saat dilakukan proses tanya jawab dengan pegawai KPK berlangsung.
Keempat, kebijakan Pimpinan KPK untuk memasukkan TWK dalam Peraturan Perkom 1/2021 telah

melanggar kode etik. Merujuk pada Peraturan Dewan Pengawas Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode

Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat banyak ketentuan yang saling

bertentangan. Mulai dari poin Integritas, Sinergi, Keadilan, Profesionalisme, dan Kepemimpinan.

Berlandaskan pada pelanggaran itu, maka beberapa waktu lalu sejumlah pegawai KPK melaporkan

seluruh Pimpinan KPK ke Dewan Pengawas.

Kelima, konsep TWK terlihat ahistoris dengan kondisi sebenarnya. Beberapa waktu terakhir

sejumlah pegawai KPK menyebutkan rangkaian seleksi “Indonesia Memanggil” dan sejumlah

pelatihan yang didapatkan pasca terpilih menjadi pegawai lembaga antirasuah itu. Dalam penjelasan

ditemukan fakta bahwa saat terpilih menjadi pegawai, mereka turut melewati program induksi

selama 48 hari yang di dalamnya juga terdapat materi wawasan kebangsaan dan bela negara. Jadi,

TWK itu jelas tidak dibutuhkan lagi untuk diterapkan, apalagi dijadikan batu uji untuk menilai

wawasan kebangsaan pegawai KPK.

Keenam, pernyataaan Pimpinan KPK dan Kepala BKN patut dianggap sebagai upaya

pembangkangan atas perintah Presiden Joko Widodo. Patut diingat, beberapa waktu lalu Presiden

telah menegaskan bahwa TWK tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan sejumlah pegawai

KPK. Namun, faktanya dua lembaga itu malah menganggap pernyataan Presiden sebagai angin lalu

semata. Padahal, berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan

bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan

tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN. Selain itu, akibat perubahan

UU KPK, khususnya Pasal 3, lembaga antirasuah tersebut merupakan lembaga negara dalam rumpun

kekuasaan eksekutif. Jadi, pada dasarnya, tidak ada alasan bagi dua lembaga itu mengeluarkan

kebijakan administrasi yang bertolak belakang dengan pernyataan Presiden.

Ketujuh, putusan untuk memberhentikan sejumlah pegawai KPK terkesan terburu-buru tanpa

didahului dengan melakukan mekanisme evaluasi secara menyeluruh atas penyelenggaraan TWK.

Sejak polemik TWK ini menguak ke tengah publik, terdapat sejumlah elemen dan organisasi yang

mengkaji keabsahan pemberhentian pegawai KPK. Mulai dari masyarakat sipil, organisasi

keagamaan, mantan Pimpinan KPK, bahkan puluhan guru besar telah mengeluarkan sikap penolakan

penyelenggaraan TWK dan hasilnya dengan berbagai alasan yang logis dan berdasar hukum. Untuk

menegaskan berbagai pelanggaran, sejumlah pegawai yang dinyatakan tidak lolos TWK juga

mendatangi beberapa lembaga negara, diantaranya: Ombudsman dalam konteks perbuatan

maladminstrasi dan Komnas HAM.

Kedelapan, patut diduga ada sejumlah kelompok yang bersekongkol dengan Pimpinan KPK untuk

memberhentikan pegawai-pegawai KPK. Indikasi ini menguat tatkala para pendengung (buzzer)
memenuhi media sosial dan diikuti pula dengan upaya peretasan kepada pihak-pihak yang

mengkritisi TWK. Namun, isu yang dibawa oleh para buzzer terlihat usang dan tidak pernah bisa

menunjukkan bukti konkret, misalnya tuduhan taliban dan radikalisme di KPK.

Atas sejumlah permasalahan itu, Indonesia Corruption Watch mendesak agar:

Dewan Pengawas segera menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik seluruh Pimpinan KPK

terkait pemberhentian pegawai dalam Tes Wawasan Kebangsaan;

Presiden Joko Widodo memanggil, meminta klarifikasi, serta menegur Kepala BKN dan seluruh

Pimpinan KPK atas kebijakan yang telah dikeluarkan perihal pemberhentian 51 pegawai KPK;

Presiden Joko Widodo membatalkan keputusan Pimpinan KPK dan Kepala BKN dengan tetap

melantik seluruh pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara;

Anda mungkin juga menyukai