Pemberantasan korupsi akhirnya menemui ajalnya. Pada hari ini Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) resmi
mengumumkan nasib sejumlah pegawai pasca melewati Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Setelah
rapat lintas kementerian dan lembaga itu, diputuskan bahwa 51 pegawai KPK tetap dipaksa untuk
keluar dari lembaga antirasuah. Mencermati hasil kesepakatan tersebut, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan. Pertama, sejumlah lembaga negara yang mengikuti proses pembahasan hari ini telah
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Betapa tidak, sejak awal sudah ditegaskan
bahwa penyelenggaraan TWK yang diikuti seluruh pegawai KPK bersifat ilegal. Sebab, TWK
diselundupkan secara sistematis oleh Pimpinan KPK melalui Peraturan Komisi Pemberantasan
Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 (Perkom 1/2021). Padahal, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019
dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tidak mengamanatkan metode seleksi untuk alih
status kepegawaian KPK. Kedua, putusan untuk mengeluarkan 51 pegawai KPK secara terang
MK sudah mengumumkan bahwa pengalihan status kepegawaian KPK tidak boleh melanggar hak-
hak pegawai. Kemudian, jika tes tersebut dimaknai dengan metode seleksi, bukankah hal itu
menimbulkan dampak kerugian bagi pegawai KPK? Lagi pun mesti dipahami bahwa putusan MK
bersifat final dan mengikat serta tidak bisa ditafsirkan lain. Ketiga, substansi pertanyaan dalam TWK
yang diinisiasi oleh Pimpinan KPK bersama lembaga lain bertentangan dengan hak asasi manusia.
Merujuk pada beberapa pemberitaan yang beredar luas di tengah masyarakat, pertanyaan-pertanyaan
TWK menyentuh ranah privasi warga negara. Dapat dibayangkan, perihal kehidupan pribadi,
pandangan politik, dan Agama turut dijadikan dasar penilaian. Bahkan, proses wawancara juga
dilakukan secara tidak profesional. Hal itu dapat merujuk kepada fakta bahwa panitia penyelenggara
tidak menyediakan alat rekam saat dilakukan proses tanya jawab dengan pegawai KPK berlangsung.
Keempat, kebijakan Pimpinan KPK untuk memasukkan TWK dalam Peraturan Perkom 1/2021 telah
melanggar kode etik. Merujuk pada Peraturan Dewan Pengawas Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat banyak ketentuan yang saling
bertentangan. Mulai dari poin Integritas, Sinergi, Keadilan, Profesionalisme, dan Kepemimpinan.
Berlandaskan pada pelanggaran itu, maka beberapa waktu lalu sejumlah pegawai KPK melaporkan
Kelima, konsep TWK terlihat ahistoris dengan kondisi sebenarnya. Beberapa waktu terakhir
sejumlah pegawai KPK menyebutkan rangkaian seleksi “Indonesia Memanggil” dan sejumlah
pelatihan yang didapatkan pasca terpilih menjadi pegawai lembaga antirasuah itu. Dalam penjelasan
ditemukan fakta bahwa saat terpilih menjadi pegawai, mereka turut melewati program induksi
selama 48 hari yang di dalamnya juga terdapat materi wawasan kebangsaan dan bela negara. Jadi,
TWK itu jelas tidak dibutuhkan lagi untuk diterapkan, apalagi dijadikan batu uji untuk menilai
Keenam, pernyataaan Pimpinan KPK dan Kepala BKN patut dianggap sebagai upaya
pembangkangan atas perintah Presiden Joko Widodo. Patut diingat, beberapa waktu lalu Presiden
telah menegaskan bahwa TWK tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan sejumlah pegawai
KPK. Namun, faktanya dua lembaga itu malah menganggap pernyataan Presiden sebagai angin lalu
semata. Padahal, berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan
tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN. Selain itu, akibat perubahan
UU KPK, khususnya Pasal 3, lembaga antirasuah tersebut merupakan lembaga negara dalam rumpun
kekuasaan eksekutif. Jadi, pada dasarnya, tidak ada alasan bagi dua lembaga itu mengeluarkan
Ketujuh, putusan untuk memberhentikan sejumlah pegawai KPK terkesan terburu-buru tanpa
didahului dengan melakukan mekanisme evaluasi secara menyeluruh atas penyelenggaraan TWK.
Sejak polemik TWK ini menguak ke tengah publik, terdapat sejumlah elemen dan organisasi yang
mengkaji keabsahan pemberhentian pegawai KPK. Mulai dari masyarakat sipil, organisasi
keagamaan, mantan Pimpinan KPK, bahkan puluhan guru besar telah mengeluarkan sikap penolakan
penyelenggaraan TWK dan hasilnya dengan berbagai alasan yang logis dan berdasar hukum. Untuk
menegaskan berbagai pelanggaran, sejumlah pegawai yang dinyatakan tidak lolos TWK juga
Kedelapan, patut diduga ada sejumlah kelompok yang bersekongkol dengan Pimpinan KPK untuk
memberhentikan pegawai-pegawai KPK. Indikasi ini menguat tatkala para pendengung (buzzer)
memenuhi media sosial dan diikuti pula dengan upaya peretasan kepada pihak-pihak yang
mengkritisi TWK. Namun, isu yang dibawa oleh para buzzer terlihat usang dan tidak pernah bisa
Dewan Pengawas segera menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik seluruh Pimpinan KPK
Presiden Joko Widodo memanggil, meminta klarifikasi, serta menegur Kepala BKN dan seluruh
Pimpinan KPK atas kebijakan yang telah dikeluarkan perihal pemberhentian 51 pegawai KPK;
Presiden Joko Widodo membatalkan keputusan Pimpinan KPK dan Kepala BKN dengan tetap