Anda di halaman 1dari 2

Keagenan dan Distributor

1. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 23/MPP/Kep/1/1998, menjelaskan


Distributor Utama adalah perorangan atau badan usaha yang bertindak atas namanya sendiri
yang ditunjuk oleh pabrik atau pemasok untuk melakukan pembelian, penyimpanan,
penjualan serta pemasaran barang dalam partai besar. Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa seorang distributor bertindak atas namanya sendiri, maka segala akibat
hukum atas perbuatannya menjadi tanggungjawab distributor sendiri karena tidak bertindak
sebagai kuasa produsen atau dalam kasus ini adalah PT Semesta Raya. Sedangkan Agen
merupakan perantara yang bertindak untuk dan atas nama pihak yang menunjuknya, maka
dalam kasus ini adalah PT Semesta Raya.
Maka, berdasarkan kasus diatas pihak yang bertanggunggugat atas ketidakmapuan
Distributor dalam pemenuhan permintaan barang pelanggan adalah Distributor itu sendiri.
Dalam perjanjian distributor pelanggan tidak dapat langsung melayangkan gugatan kepada
PT Semesta Raya, melainkan harus melayangkan gugatan kepada pihak Distributor terlebih
dahulu. Sedangkan dalam perjanjian keagenan antara PT Semesta Raya dengan agen, yang
bertanggunggugat adalah PT Semesta Raya selaku produsen. Maka, pelanggan dapat
melayangkan gugatan langsung kepada PT Semesta Raya.
2. Dalam hubungan hukum antara produsen dengan distributor, pemilik alat perlemkapan
rumah tangga ialah distributor. Hal ini karena distributor membeli sendiri barang-barang dari
prinsipalnya/produsen untuk kemudian dijual kepada pelanggan pada wilayah yang telah
diperjanjikan oleh produsen selaku prinsipal. Sedangkan dalam perjanjian keagenan, agen
hanya bertindak sebagai penyalur untuk memasarkan barang-barang produksi perusahaan
lain, maka secara yuridis barang yang dipasarkan oleh agen merupakan barang milik PT
Semesta Raya (Produsen).

Waralaba

1. Perbedaan antara kontrak lisensi dan waralaba yaitu pada kontrak waralaba (franchise)
pemilik merek (franchisor) memberikan pembekalan atau bimbingan kepada pembeli merek
terkait manajemen operasional bisnis. Pengawasan ini dilakukan berdasarkan Pasal 2 ayat
(2) Peraturan Menteri Perdagangan No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba
(Permendag 71/2019) yang mengatur syarat suatu produk usaha dapat dikatakan sebagai
waralaba, salah satunya apabila telah memenuhi adanya dukungan yang berkesinambungan.
Sedangkan dalam perjanjian lisensi, ruang lingkup pemilik hak untuk ikut andil dalam
operasional usaha sangat sempit. Dalam perjanjian lisensi, pemilik hak tidak memiliki
kewajiban untuk membimbing dan mengawasi penerima lisensi dalam menjalankan
operasional bisnisnya. Kemudian dasar hukum perjanjian lisensi diatur dalam PP Nomor 36
Tahun 2018, sedangkan perjanjian waralaba diatur dalam PP Nomor 42 Tahun 2007.
2. Pasal 1 angka 7 Permendag 71/2019 mengatur bahwa pemberi dan penerima waralab
berkewajiban untuk mendaftarkan dokumen waralaba dengan mengajukan permohonan
STPW. Suatu perjanjian yang sudah ditetapkan suatu formalitas atau bentuk cara tertentu
dinamakan perjanjian formal. Apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi
formalitas yang ditetapkan oleh undang-undang, maka ia batal demi hukum. Hal ini berlaku
pula pada perjanjian waralaba, apabila terdapat pengaturan yang megahruskan adanya
pendaftaran perjanjian waralaba, maka perjanjian waralaba yang tidak didaftarkan adalah
batal demi hukum.
Kontrak waralaba yang tidak didaftarkan maka tidak berhak mendapatkan fasilitas secara
selektif dari program pemerintah yang tersedia, hal ini diatur dalam Pasal 17 ayat (1)
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor : 12/MDAG/Per/3/2006. Namun, pemberlakukan
Permendag ini tidak terbatas hanya untuk perjanjian waralaba yang telah didafarkan saja,
sehingga bentuk perlindungan hukum bagi franchisee yang kontrak waralabanya tidak
didaftarakan juga dilaksanakan berdasarkan peraturan ini. Salah satunya mengenai larangan
pemutusan kontrak secara sepihak yang diatur dalam Pasal 7 bahwa jangka waktu perjanjian
waralaba (franchising) berlaku sekurang-kurangnya 5 tahun. Sehingga, dengan adanya
pengaturan ini franchisor tidak dapat melakukan pemutusan perjanjian waralaba sebelum
jangka waktu yang ditentukan. Selain itu, perlindungan hukum bagi franchisee terkait
pemutusan perjanjian juga diatur dalam Pasal 1239 hingga Pasal 1242 KUHPerdata, yang
mengatur bahwa untuk perikatan yang prestasinya berupa melakukan sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu, maka pihak kreditur, di samping memperoleh ganti rugi juga dapat
menuntut pelaksanaan perjanjian. Maka atas dasar tersebut, franchisee dapat menuntut
pelaksanaan perjanjian kepada franchisor.

Anda mungkin juga menyukai