Anda di halaman 1dari 177

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/368443833

Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional

Book · February 2023

CITATIONS READS

0 46

4 authors, including:

Ardiansyah Ardiansyah
IBLAM School of Law, Jakarta
10 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Disputes Settlement Mechanism on FTA / Trade in Goods Agreement View project

All content following this page was uploaded by Ardiansyah Ardiansyah on 11 February 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENGANTAR HUKUM TRANSAKSI
BISNIS TRANSNASIONAL

PY
CO
G
IN
AD
RE
RE
AD
IN
G
CO
PY
PENGANTAR HUKUM TRANSAKSI
BISNIS TRANSNASIONAL

PY
CO
Dr. Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., M.A., AWP, CIQnR, CRMO.
G
Dr. Prita Amalia, S.H., M.H., AIIArb.
Mursal Maulana, S.H., M.H.
IN

Dr. Ardiansyah, S.H., M.H.


AD
RE
PY
CO
RF.HKM.238.01.2022

Dr. Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., M.A., AWP, CIQnR, CRMO.
Dr. Prita Amalia, S.H., M.H., AIIArb.
Mursal Maulana, S.H., M.H.
Dr. Ardiansyah, S.H., M.H.
G
PENGANTAR HUKUM TRANSAKSI
BISNIS TRANSNASIONAL
IN

Editor: Risa Trisnadewi


Desain Sampul: Dwi Arin Fajriyani
Setting & Layout Isi: Sofian Ferdianto
AD

Sumber gambar sampul dan awal bab:


Diolah dari berbagai sumber

Diterbitkan & dicetak oleh PT Refika Aditama


Jl. Mengger Girang No. 98, Bandung 40254
RE

Telp. (022) 5205985


Email: refika_aditama@yahoo.co.id
Anggota Ikapi

Cetakan Kesatu, September 2022

ISBN 978-623-6232-64-4

©2022
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
TANPA IZIN TERTULIS dari penerbit.
Prakata

Perjalanan pemikiran terkadang harus melintasi sebuah perenungan panjang


(kontemplasi) dan pengujian atas realitas yang muncul di tengah-tengah
perjalanan itu. Penulis ingin mengucapkan syukur kepada Allah Swt., keluarga,
mentor, dan kerabat yang menjadi sumber kekuatan kami dalam menempuh
perjalanan intelektual ini.
Perkembangan hukum transaksi bisnis transnasional di dunia menuntut
adanya pengaturan yang semakin komprehensif untuk menghindari terjadinya
ketidakpastian hukum. Buku “Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional”
ini menyajikan kelengkapan sebuah pengantar mengenai Hukum Transaksi

PY
Bisnis Transnasional, yang terdiri atas Pengantar Hukum Transaksi Bisnis
Transnasional, Hukum Transaksi Bisnis Transnasional, Sumber Hukum Transaksi
Bisnis Transnasional (termasuk Kontrak Komersial Transnasional), Subjek Hukum
CO
Transaksi Bisnis Transnasional, Perjanjian dalam Bidang Hukum Transaksi
Bisnis Transnasional, Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum
Transaksi Bisnis Transnasional berdasarkan Convention on International Sales
of Goods (CISG) 1980, Aspek Hukum Transnasional dalam Kepabeanan, Konsep
Multimodal Planning sebagai Bentuk Transaksi Bisnis Transnasional, Hukum
G
Transaksi Bisnis Transnasional dan Hak Asasi Manusia, dan Penyelesaian
Sengketa dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional.
IN

Kepada Penerbit Refika Aditama yang telah bersedia menerbitkan naskah


ini, Penulis ucapkan terima kasih. Akhir kata, Penulis berharap buku ini dapat
menjadi referensi buku ajar bagi mahasiswa hukum, mahasiswa nonhukum,
AD

pemerintah, pelaku bisnis, konsultan, dan masyarakat. Penulis sadar bahwa


buku ini pasti memiliki kekurangan. Oleh karena itu, Penulis sangat terbuka
akan segala kritik, saran, dan masukan untuk penyempurnaan buku ini.
RE

Bandung, Agustus 2022

Penulis

v
RE
AD

vi
IN
G
CO
PY
Daftar Isi

Prakata ...................................................................................................... v
Daftar Isi...................................................................................................... vii

BAB I PENGANTAR HUKUM TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL..... 1


A. Batasan dan Ruang Lingkup Hukum Transaksi Bisnis Transnasional.......... 2
B. Sejarah dan Perkembangan Hukum Transaksi Bisnis Transnasional......... 5
C. Paradigma Hukum Transaksi Bisnis Transnasional Kontemporer........... 8
BAB II TRANSNASIONALISASI HUKUM TRANSAKSI BISNIS
TRANSNASIONAL DI INDONESIA............................................................. 9

PY
A. Fakta, Peran, Tantangan, dan Perkembangan Perusahaan
Transnasional serta Pengaturannya di Indonesia.................................... 9
BAB III SUMBER HUKUM TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL........ 21
A. Kontrak. CO
.................................................................................................. 22
B. Kebiasaan-Kebiasaan (Usages) dalam Transaksi Bisnis Transnasional.......... 25
C. Perjanjian Internasional (Multilateral dan Regional)............................... 27
D. Aturan-Aturan yang Dikeluarkan oleh Organisasi Internasional............. 33
G
E. Prinsip-Prinsip Hukum Umum............................................................... 34
BAB IV SUBJEK HUKUM DALAM TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL 35
IN

A. Subjek Hukum dalam Transaksi Bisnis Transnasional............................ 35


B. Kedudukan Perusahaan Transnasional sebagai Subjek Hukum
Transaksi Bisnis Transnasional............................................................... 39
AD

C. Pengaturan Perusahaan Transnasional dalam Hukum Nasional............. 46


BAB V PERJANJIAN DALAM BIDANG HUKUM TRANSAKSI BISNIS
TRANSNASIONAL....................................................................................... 51
RE

A. Perjanjian Internasional dalam Kerangka World Trade Organization (WTO). 57


B. Perjanjian Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis
Transnasional yang Dikeluarkan UNCITRAL......................................... 61
C. Perjanjian Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis
Transnasional yang Dikeluarkan UNIDROIT......................................... 64
BAB VI KONTRAK JUAL BELI BARANG INTERNASIONAL DALAM
HUKUM TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL BERDASARKAN
CONVENTION ON INTERNATIONAL SALES OF GOODS (CISG) 1980........... 69
A. Sejarah Singkat CISG............................................................................. 69
B. Studi Komparatif Hukum Penjualan Barang........................................... 71

vii
C. Model Pengalihan Properti dan Fleksibilitas.......................................... 73
D. CISG dan Pengaruhnya dalam Hukum Nasional................................... 75
E. CISG dan Harmonisasi Hukum Regional............................................... 79
F. CISG sebagai Model Harmonisasi Hukum............................................. 85

BAB VII HUKUM TRANSNASIONAL DARI ASPEK KEPABEANAN


DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS........................................... 89
A. Rules of Origin sebagai Aturan Inti Perdagangan Barang dalam ..Skema FTA 89
B. Permasalahan dalam Implementasi FTA oleh Kepabeanan.................... 92
C. Permasalahan Dispute Settlement pada FTA di ASIA............................. 96
D. Model Ideal Implementasi FTA oleh Kepabeanan.................................. 103

BAB VIII ASPEK DALAM KEGIATAN PEREKONOMIAN DALAM

PY
TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL....................................................... 109
A. Kegiatan Angkutan Multimoda.............................................................. 109
B. Jenis Kegiatan Multimoda...................................................................... 111
CO
C. Elemen Angkutan Multimoda................................................................ 112
D. Peraturan Terkait Angkutan Multimoda................................................. 113
E. Manfaat Angkutan Multimoda............................................................... 113
F. Mata Uang Lokal dalam Transaksi Bilateral........................................... 114
G. National Logistic Ecosystem (NLE)......................................................... 118
G
BAB IX HUKUM TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL DAN
IN

HAK ASASI MANUSIA................................................................................. 123


A. Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia Perusahaan Transnasional......... 123
B. Hak, Kewajiban, dan Pertanggungjawaban Hukum atas Pelanggaran
AD

Hak Asasi Manusia oleh Perusahaan Transnasional............................... 125


C. Peraturan mengenai Tindakan Perusahaan Transnasional
Terkait Hak Asasi Manusia.................................................................... 129
D. Yurisdiksi Negara terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh
RE

Perusahaan Transnasional..................................................................... 131

BAB X KASUS SENGKETA ANTARNEGARA DALAM FREE TRADE


AGREEMENT .................................................................................................. 135
A. Latar Belakang Sengketa antara Negara-Negara dalam FTA................... 135
B. Sengketa FTA di Amerika dan Uni-Eropa............................................... 138
C. Sengketa di Kanada (NAFTA) Memicu Ketegangan Politik dengan AS.......... 142
D. Sengketa FTA Eksportir Indonesia dan Negara Korea............................. 146

Daftar Pustaka............................................................................................. 151


Profil Penulis ............................................................................................... 162

viii
BAB I

PY
PENGANTAR HUKUM TRANSAKSI BISNIS
TRANSNASIONAL
CO
Sebagai bagian pengantar dari buku ini, Penulis akan membahas secara ringkas
mengenai sejarah perkembangan, definisi, dan ruang lingkup Hukum Transaksi
G
Bisnis Transnasional. Dalam tiga dekade belakang ini, transaksi bisnis trans­
nasional telah mengalami perkembangan yang signifikan. Terdapat beberapa
IN

faktor yang melatar­belakanginya, antara lain disebabkan oleh fenomena globalisasi,


liberalisasi perdagangan, dan juga perkembangan teknologi informasi yang
telah mengubah paradigma hubungan transaksi bisnis transnasional.
AD

Hubungan transaksi bisnis transnasional (transnational business transaction)


terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu.
Hingga sekarang ini, setidaknya hubungan transaksi bisnis tidak hanya dilakukan
oleh para individu, melainkan juga oleh negara melalui kerja sama secara bilateral,
RE

regional, dan multilateral. Setiap bentuk kerja sama ini mempunyai tujuan
yang sama, yaitu untuk melancarkan kegiatan bisnis transnasional dan juga
mempercepat proses liberaliasi perdagangan.
Perkembangan tersebut telah menimbulkan tantangan baru dalam
perspektif hukum. Para pembuat kebijakan di setiap negara terus berupaya
untuk memastikan bahwa regulasi yang mengatur transaksi bisnis harus
merepresentasikan kepentingan para pelaku bisnis sehingga dapat me­mastikan
kegiatan transaksi bisnis berjalan sebagaimana mestinya. Untuk menjawab
tantangan tersebut, dalam beberapa tahun belakangan ini, eksistensi hukum
transaksi bisnis transnasional telah memainkan peranan yang sangat penting.
Ciri khas transaksi bisnis transnasional adalah adanya hubungan bisnis atau
komersial yang dilakukan antarlintas batas negara yang dilakukan oleh pelaku
usaha dengan mengikuti suatu sistem tertentu. Dalam transaksi bisnis transnasional,
eksistensi suatu sistem merupakan patron yang membentuk dan mengarahkan
kegiatan-kegiatan transaksi bisnis transnasional ke dalam tujuan-tujuan tertentu yang
diinginkan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hubungan transaksi bisnis yang
tertib, perlu dibuat aturan-aturan hukum. Landasan utama (rationale) pembentukan
aturan hukum ini adalah untuk menjamin agar transaksi bisnis transnasional
lebih terprediksi, kompetitif, dan tanpa diskriminasi serta berfungsi sebagai acuan
(guidance) yang berlaku secara umum yang harus ditaati, diawasi, dan diberlakukan
secara tegas untuk mengeliminasi dan mengurangi penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi dalam kegiatan transaksi bisnis transnasional.

PY
Dalam sistem ekonomi global dewasa ini, norma-norma hukum transaksi
bisnis transnasional telah memainkan peranan yang sangat penting. Norma-
norma hukum tersebut sering sekali digunakan dalam menyelesaikan permasalah-
permasahan hukum yang timbul dari aktivitas bisnis transnasional. Hal ini
CO
dapat dilihat dari semakin meningkatnya putusan-putusan arbitrase, di mana
para arbiter sering sekali merujuk pada norma-norma hukum transaksi bisnis
transnasional dalam putusan arbitrase. Misalnya, penggunaan ketentuan
UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UNIDROIT
Principles) dalam me­nafsirkan ketentuan kontrak-kontrak internasional.1 Arbitrase
G
diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat
agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai
IN

sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk
oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.2
Dalam buku ini, Penulis menggunakan terminologi Hukum Transaksi Bisnis
AD

Transnasional yang didefinisikan sebagai disiplin ilmu hukum yang memuat


norma-norma hukum atau kaidah hukum, prinsip-prinsip, atau asas hukum
yang mengatur hubungan transaksi bisnis transnasional.
RE

A. Batasan dan Ruang Lingkup Hukum Transaksi Bisnis


Transnasional
Sebelum membahas batasan dan ruang lingkup Hukum Transaksi Bisnis
Transnasional, kita harus mengetahui terlebih dahulu terminologi dan definisi
yang akan digunakan. Berikut ini penjabarannya.

1 Bo Yuan, “A Law and Economic Approach to Norms in Transnational Commercal Transaction:


Incorporation and Internalization”, Erasmus Law Review, Agustus 2016, hlm. 1.
2 Muhammad Reza Syariffudin Zaki, Pengantar Ilmu Hukum dan Aspek Hukum dalam Ekonomi,
Jakarta: Penerbit Prenadamedia, Divisi Kencana, 2022, hlm. 57.

2 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


1. Hukum Transaksi Bisnis
Hukum Transaksi Bisnis merupakan disiplin ilmu hukum yang mengatur aspek-
aspek transaksi bisnis yang bersumber pada aturan-aturan hukum nasional,
perjanjian-perjanjian internasional, Model Law 3, kebiasaan-kebiasaan dalam
perdagangan internasional (international trade usage)4, Soft Law 5, dan kontrak
yang dibuat oleh para pihak dalam melakukan transaksi bisnis. Disiplin ilmu
hukum ini tidak mencakup aspek-aspek hukum perusahaan, hukum perlindungan
konsumen, dan aspek hukum publik lainnya, seperti aspek hukum persaingan
usaha.

2. Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Hukum Transaksi Bisnis Transnasional adalah disiplin ilmu hukum yang bersifat

PY
privat (bukan publik) yang mengatur kegiatan transaksi bisnis antarlintas batas
negara (cross-border transaction). Definisi tersebut tidak mencakup aspek-
aspek hukum ekonomi internasional dan perdagangan internasional yang
merupakan cabang dari hukum internasional publik. Hukum Transaksi Bisnis
CO
Transnasional mengatur hubungan transaksi bisnis yang bersifat Business-to-
Business (B2B). Meskipun demikian, subjek Hukum Transaksi Bisnis Transnasional
juga dapat mencakup negara. Dalam hal ini, negara dalam kapasitas sebagai
Jure Gestisionis (tindakan negara dalam aspek hukum privat).
G
3. Lex Mercatoria
IN

Lex Mercatoria atau yang dikenal juga sebagai ius non scriptum (ley merchant
dalam bahasa Inggris, droit de foires dalam bahasa Prancis, dan ius mercatorum
dalam bahasa Italia) merupakan aturan hukum tidak tertulis yang berdasarkan
AD

pada kebiasaan para pedagang (law of merchant). Profesor Ole Lando,


ahli hukum dari Denmark, menyatakan bahwa Lex Mecatoria terdiri atas
beberapa elemen, di antaranya Hukum Internasional Publik, Prinsip-Prinsip
Hukum Umum, Peraturan-Peraturan dalam Organisasi Internasional, Hukum
RE

Kebiasaan, Standar-Standar dalam Kontrak, dan juga Putusan-Putusan Arbitase


(arbitral award).6 Beberapa sarjana mencoba untuk memberikan definisi Lex
Mercatoria, antara lain sebagai berikut.

3 Misalnya, The UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration (1985/2006) yang
dikeluarkan oleh United Nations Comission on International Trade Law (UNCITRAL).
4 Misalnya, Uniform Customs and Practice for Documentary Credits yang dikeluarkan oleh
International Chamber of Commerce (ICC).
5 Misalnya, UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPIIC).
6 Roy Goode, et al., Transnational Commercial Law Text, Cases, and Materials, New York: Oxford
University Press, 2007, hlm. 5.

Bab I - Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 3


Berthold Goldman:
“A set of general principles and customary rules spontaneously referred to or elaborated
in the framework of international trade, without reference to a particular national
system of law. A regime for international trade, spontaneously and progressively
produced by the societas mercatorum.7”
Bernardo Cremades & Steven Plehn:
“A single autonomous body of law created by the international business community.8”
Roy Goode menyatakan bahwa penggunaan terminologi “transnasional”
sebagai karakter dalam kegiatan transaksi bisnis telah mengakibatkan per­
masalahan hukum dan konsekuensinya. Istilah ini sebenarnya merujuk pada
berbagai masalah yang saling terkait dan kompleks yang menjadi perhatian

PY
sehari-hari bagi para praktisi hukum. Namun, untuk menghindari kebingungan,
kita harus secara tegas membedakan dua penggunaan terpisah dari istilah
‘hukum transnasional’.
Pertama, transnational law diartikan sebagai setiap aturan hukum yang
CO
terkait dengan transaksi bisnis yang bersifat transnasional. Dalam arti luas,
Hukum Transnasional (Transnational Law) telah dipopulerkan dan didefinisikan
oleh Philip Jessup sebagai hukum yang mengatur tindakan atau peristiwa
yang melampaui batas negara (all law which regulates actions or events that
G
transcend national frontiers). Dalam pandangannya, Jessup menyatakan bahwa
hukum nasional dan inter­nasional merupakan bagian yang integral karena
IN

subjek hukum ini tidak hanya mencakup negara, tetapi juga non-state actors.9
Pendapat Jessup tidak terlepas dari kritik, sarjana lainnya menyatakan bahwa
hukum nasional dan internasional merupakan dua subjek yang berbeda. Hal
AD

tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan sumber hukum dan subjek hukum


dari masing-masing.
Kedua, transnational diartikan sebagai upaya unifikasi hukum (uniform
law). Adanya unifikasi hukum dirasakan sangat penting, mengingat adanya
RE

aturan hukum nasional yang berbeda antara satu negara dan negara lain.
Perbedaan ini kemudian dikhawatirkan akan memengaruhi kelancaran
transaksi perdagangan dan hubungan bisnis itu sendiri.10 Roy Goode dalam

7 Berthold Goldman, “The Applicable Law: General Principles of Law—the Lex Mercatoria”,
dalam Contemporary Problems in International Arbitration, hlm. 113 dan 116.
8 Bernardo Cremades & Steven Plehn, “The New Lex Mercatoria and the Harmonization of the
Laws of the of International Commercial Transactions”, 2 B.U. INT’L L. REV, hlm. 32 dan 317.
9 Roger Cotterrell, “What is Transnational Law? Law and Society Inquiry”, Journal of the American
Bar Foundation, Volume 3, Issue 2, 2012.
10 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Rajawali Press, 2018, hlm. 29.

4 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


pendapatnya menyatakan bahwa proses unifikasi hukum ini nantinya akan
melayani kebutuhan para pelaku bisnis dan koordinasi di sektor ekonomi.
Goode menyatakan bahwa upaya unifikasi ini identik dengan Lex Mercatoria.
Selain itu, uniform law juga diartikan sebagai proses unifikasi sumber hukum
internasional, misalnya perjanjian internasional11 dan kebiasaan internasional.

B. Sejarah dan Perkembangan Hukum Transaksi Bisnis


Transnasional
Sejarah perkembangan Hukum Transaksi Bisnis Transnasional tidak terlepas
dari sejarah perkembangan hukum bisnis. Di Indonesia, perkembangan disiplin
ilmu hukum Transaksi Bisnis Transnasional telah dipelopori oleh Fakultas
Hukum, Universitas Padjadjaran sejak tahun 2018. Pada saat itu, Profesor

PY
An An Chandrawulan menginisiasi pembentukan Departemen Hukum Bisnis
Transnasional. Berikut ini akan dijabarkan sejarah dan perkembangan Hukum
Transaksi Bisnis Transnasional, mulai dari per­ kembangan awal Sebelum
Masehi (SM) hingga perkembangan kontemporer di abad ke-21.
CO
1. Sejarah Perkembangan Awal (1900 Sebelum Masehi)
Roy Goode dalam bukunya berjudul Transnational Commercial Law: Text,
Cases and Materials menyatakan bahwa perkembangan hukum transaksi
G
bisnis transnasional sudah berkembang sejalan dengan perkembangan hukum
bisnis, yaitu sejak 1900 SM. Berdasarkan telusuran Goode, perkembangan
IN

hukum bisnis transnasional juga dilatarbelakangi oleh aktivitas perdagangan


internasional. Salah satu contohnya adalah kodifikasi the Rhodian Maritime
Code. Bangsa Yunani dan Romawi Kuno telah menggunakan aturan ini lebih
AD

dari 1.000 tahun sebelum aturan tersebut digantikan oleh Rhodian Sea Laws
pada abad ke-7 atau 8 SM.

2. Sejarah Perkembangan Abad 11–15


RE

Sejak abad ke 11 hingga 15, terdapat beberapa kompilasi hukum terkait


transaksi bisnis yang bersumber dari kebiasaan para pedagang, khususnya
di bidang kemaritiman. Di pertengahan abad ke-13 misalnya, Kerajaan
Inggris mengeluarkan the Black Book of Admiralty. Di abad ke-14 dan 15,
perkembangan hukum transaksi bisnis transnasional terus berkembang di
Eropa. Di Barcelona misalnya, terdapat suatu badan khusus yang mengadili
sengketa-sengketa di bidang maritim atau yang dikenal dengan Consulate of

11 Contoh Perjanjian Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional adalah Hague
Visby Rules atau yang dikenal dengan International Convention for the Unification of Certain
Rules of Law relating to Bills of Lading.

Bab I - Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 5


the Sea. Beberapa aturan kemaritiman telah dikembangkan di sana, misalnya
terkait hak dan kewajiban investor dalam pembuatan kapal laut dan larangan-
larangan bagi para pelaut saat berlayar.12

3. Perkembangan di Abad Pertengahan


Di abad pertengahan, khususnya di Eropa, hukum transaksi bisnis trans­nasional
terus berkembang karena urbanisasi dan pertumbuhan kelas pedagang,
pembentukan pengadilan bagi para pedagang, dan pem­bentukan konsuler
sehingga mengakibatkan kebutuhan akan instrumen komersial baru dalam
perdagangan internasional. Para penguasa Eropa, yang ingin menarik per­
dagangan internasional ke negara mereka, mem­berlakukan aturan khusus untuk
perlindungan para pedagang dan pengakuan atas kebiasaan serta yurisdiksi

PY
pengadilan mereka. Di Inggris, terdapat peraturan yang mengatur kegiatan
perdagangan atau yang dikenal dengan the law of merchant. Namun, hukum
Inggris memberikan kontribusi yang relatif kecil terhadap pengembangan
aturan hukum substantif dan terutama berkaitan dengan aspek prosedural.

4. Perkembangan di Abad ke-19 dan 20


CO
Di abad ke-19 dan 20, hukum transaksi bisnis transnasional terus mengalami
perkembangan secara global. Fenomena ini juga dikenal sebagai Inter­
nasionalisasi Hukum Transaksi Bisnis Transnasional. Pada saat itu, para
G
pelaku bisnis dari berbagai negara merasakan bahwa hukum nasional semata
tidak dapat menjawab permasalahan-permasalahan hukum yang timbul
IN

dari kegiatan transaksi bisnis antarlintas negara. Eksistensi Hukum Perdata


Internasional pada saat itu juga dirasakan masih belum memadai, sehingga
potensi untuk terjadinya forum shopping sangat besar. Namun, permasalahan
AD

tersebut dapat diatasi dengan dibentuknya perjanjian internasional di bidang


Hukum Perdata Internasional di bawah naungan the Hague Conference on
Private International Law. Selanjutnya, per­kembangan hukum transaksi bisnis
RE

transnasional dikenal dengan fenomena harmonisasi hukum.


Sejarah perkembangan hukum transaksi bisnis transnasional juga dapat
ditelusuri dari pendapat sarjana terkemuka di bidang hukum per­dagangan
internasional, Clive Schmitthoff, yaitu:
“The re-awakening of the international conscience has led to a new phase in the
development of the law of international trade. International commercial law has
developed in three stages. It arose in the Middle Ages in the form of the law merchant,
a body of truly international customary rules governing the cosmopolitan community

12 Roy Goode, Op.Cit., hlm. 12.

6 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


of international merchants who traveled through the civilized world from port to port
and fair to fair. The second phase began with the incorporation of the law merchant
into the national systems of law, a process which, though universal, was carried out
in the various countries at different times and for different reasons. The third phase is
contemporary; it aims at the unification of international trade law on an international
level and has given rise to a new law merchant which reflects the international spirit of
our time in the political and economic sphere.”13
Dalam pendapatnya tersebut, Clive Schmitthoff membagi per­kembangan
hukum transaksi bisnis transnasional ke dalam tiga fase. Pertama, perkembangan
di abad pertengahan dalam bentuk law of merchant atau aturan hukum yang
berkembang dari kebiasaan para pedagang. Kedua, perkembangan di awal
era modern di mana negara-negara mencoba untuk mengadopsi ketentuan-

PY
ketentuan law of merchant ke dalam sistem hukum nasional. Ketiga,
perkembangan di era modern di mana upaya unifikasi ketentuan-ketentuan
hukum perdagangan inter­ nasional dan terjadinya evolusi dari the law of
merchant sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan kontemporer. Dalam
CO
fase pertama, the law of merchant bersumber pada kebiasaan-kebiasaan para
pedagang dan tidak melibatkan institusi politik dalam pembentukan norma
tersebut. Aturan kebiasaan para pedagang tersebut berlaku secara universal.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kebiasaan tersebut
G
memiliki karakter transnasional.
Sarjana lainnya yang mencoba untuk menelusuri sejarah perkembangan
IN

hukum transaksi bisnis transnasional adalah Berthold Goldman. Goldman


merupakan pakar hukum yang lahir di Rumania dan menempuh pendidikan
hukumnya di Prancis. Berthold Goldman menyatakan bahwa terdapat empat
AD

fase perkembangan hukum transaksi bisnis transnasional. Fase pertama terjadi


di zaman Romawi Kuno. Goldmand merujuk pada ketentuan Ius Gentium
yang merupakan konsep hukum internasional di zaman Romawi. Pada
saat itu, Goldman menggagas sumber hukum yang dikenal dengan hukum
RE

kebiasaan dalam kegiatan transaksi bisnis atau yang berkaitan dengan aspek-
aspek komersial (international customs of commercial law). Dalam fase
kedua, Goldman menyatakan bahwa perkembangan hukum transaksi bisnis
transnasional sejalan dengan fenomena Legal Cosmopolitan. Fase ketiga,
perkembangan di awal era modern di mana negara-negara mulai melakukan
kodifikasi hukum, misalnya kodifikasi Colbert di Prancis pada tahun 1673 dan
kodifikasi aspek-aspek perdagangan maritim (maritime commerce) di tahun
1681. Fase keempat, merupakan fase di mana penerapan lex mercatoria yang

13 Dikutip dalam Nikitas E. Hatzimihail, “The Many Lives and Faces of Lex Mercatoria: History as
Genealogy on International Business Law”, Law and Contemporary Problem, 71(3), 2008.

Bab I - Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 7


termanifestasi dalam prinsip-prinsip hukum mulai diakui oleh pengadilan dan
forum penyelesaian sengketa lainnya.

C. Paradigma Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Kontemporer
Hukum transaksi bisnis transnasional merupakan disiplin ilmu hukum yang
bersifat dinamis dan terus mengalami evolusi dari waktu ke waktu. Secara
umum, hukum transaksi bisnis transnasional diartikan sebagai seperangkat
norma atau kaidah dan prinsip-prinsip hukum yang mengatur hubungan
transaksi bisnis antarsubjek hukum yang meliputi negara, individu, dan
perusahaan-perusahaan multinasional. Dengan berkembangnya teknologi
informasi dan komunikasi serta pesatnya laju globalisasi dan liberalisasi

PY
perdagangan, disiplin hukum transaksi bisnis transnasional telah mengalami
pergeseran paradigma. Kenneth C. Randall mengidentifikasi tiga perubahan
paradigma hukum transaksi bisnis transnasional.
1. Hukum transaksi bisnis transnasional tidak lagi bersifat desentralisasi. Dalam
CO
perkembangan tradisional, hukum transaksi bisnis transnasional sering
diidentikkan dengan hukum perdata internasional (private international
law/conflict of law). Pengidentikan tersebut dapat dilihat dari praktik-praktik
yang dilakukan oleh negara-negara terkait penyelesaian sengketa bisnis.
G
Ketika suatu sengketa transaksi bisnis trans­nasional timbul, pengadilan dari
salah satu pihak yang bersengketa akan menerapkan ketentuan hukum
IN

perdata internasional.
2. Dalam periode transisi menuju perkembangan kontemporer, masyarakat
internasional masih tetap mengakui hukum kebiasaan inter­ nasional,
AD

khususnya lex mercatoria dalam mengatur hubungan transaksi bisnis di


antara mereka. Selain itu, masyarakat internasional juga masih mengakui
eksistensi prinsip-prinsip hukum umum, seperti Pacta Sunt Servanda
sebagai prinsip hukum umum yang mendasari hubungan transaksi bisnis
RE

transnasional.
3. Perubahan paradigma dari desentralisasi menjadi sentralisasi, masyarakat
internasional cenderung berkerja sama dalam membentuk norma-norma
hukum baru dalam hukum transaksi bisnis transnasional. Beberapa organisasi
internasional yang bertujuan untuk mengharmoni­sasikan hukum transaksi
bisnis internasional, seperti UNCITRAL dan UNIDROIT telah berhasil
menciptakan norma hukum yang dapat diterima oleh sebagian besar negara
di dunia, seperti Convention in International Sales of Goods 1980.14

14 Kenneth C. Randall & John E. Norris, “A New Paradigm for International Business Transactions”,
Washington University Law Review, Volume 71, Issue 3, 1993

8 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


BAB II

PY
TRANSNASIONALISASI HUKUM TRANSAKSI BISNIS
TRANSNASIONAL DI INDONESIA
CO
A. Fakta, Peran, Tantangan, dan Perkembangan Perusahaan
Transnasional serta Pengaturannya di Indonesia
G
Sebagai sebuah entitas yang berpengaruh secara signifikan dalam pertumbuhan
IN

suatu negara, perusahaan berperan penting pula terhadap kehidupan masyarakat,


utamanya pada bidang ekonomi. Hal ini merupakan fakta bahwa perdagangan
internasional telah berperan sebagai tulang punggung bagi para negara
agar menjadi makmur, sejahtera, dan kuat.15 Korporasi dalam masa modern
AD

berperan penting dalam menopang perekonomian negara dan mempunyai


beberapa fungsi ekonomi, seperti menciptakan lapangan kerja, produsen,
penentu harga, devisa negara, dan lainnya.
RE

Di era globalisasi ini, arus perdagangan barang dan jasa tidak hanya
dilakukan di dalam negeri saja, tetapi telah menjangkau transaksi ke seluruh
belahan bumi. Perbatasan negara tidak lagi menjadi hambatan dalam
melakukan transaksi. Kondisi tersebut selanjutnya menuntut para perusahaan
untuk ber­ekspansi bisins tanpa terikat dalam tapal suatu negara (transnational
corporations) atau selanjutnya akan disebut dengan istilah perusahaan
transnasional. Dengan begitu, perusahaan transnasional dapat mengem­
bangkan usahanya ke seluruh dunia, salah satunya dengan membuka cabang
perusahaan di negara lain.

15 Huala Adolf, Op.Cit., hlm. 2.


Motivasi yang diperoleh perusahaan transnasional dari kedaulatan nasional
jauh lebih kecil, sehingga mereka dapat menciptakan ikatan yang jauh lebih
erat antarmanusia dan perusahaan dari berbagai kebangsaan, yang nantinya
pasti berguna dalam menguatkan kerja sama atau bahkan merupakan hal
yang wajar apabila berharap hal tersebut akan menjurus pada hubungan yang
lebih menguntungkan antara satu dengan yang lainnya.16 Kemampuan suatu
perusahaan transnasional dalam melakukan pemindahan modal, teknologi,
dan entrepreneurship yang melampaui batas negara dalam dunia yang semakin
mengglobal telah memberikan kemungkinan perusahaan transnasional
berperan sebagai alat utama dalam internasionalisasi pada bidang produksi.
Internasionalisasi produksi sendiri adalah salah satu aspek penting dalam
hubungan internasional saat ini.17

PY
Perusahaan transnasional menimbulkan perhatian khusus sehubungan
dengan tren global baru-baru ini, karena mereka aktif di beberapa sektor
ekonomi nasional yang paling dinamis, seperti industri ekstraktif, teknologi
informasi, telekomunikasi, elektronik, pakaian, transportasi, perbankan dan
CO
keuangan, asuransi, dan perdagangan sekuritas.18 Peranannya di beberapa
negara industri dapat dilihat sebagai bentuk menyatunya berbagai ekonomi
serta menambah tingkat kebergantungan negara satu dengan lainnya.19
Sementara, bagi negara berkembang, diperoleh laporan bahwa besaran modal
dari perusahaan transnasional lebih besar apabila dibandingkan dengan modal
G
dari modal domestik dan negara industri.20
Meskipun Indonesia tergolong ke dalam negara berkembang21 dengan total
IN

demografi relatif tinggi atau urutan ke-4 sedunia,22 pasar modal ber­kembang
AD

16 Juajir Sumardi, Naskah Buku Hukum Perusahaan Transnasional dan Franchise, Jakarta: Arus
Timur, 2009, hlm. 17.
17 Ibid.
18 Khaydarali M. Yunusov et al., “The Roles and Responsibilities of Transnational Corporations with
Regard to Human Rights”, diakses dari https://www.corteidh.or.cr/tablas/r26746.pdf, pada tanggal
RE

25 Mei 2022 pukul 16:41 WIB, hlm. 187.


19 Panglaykim, Perusahaan Multinasional dalam Bisnis Internasional, Jakarta: Analisa CSIS, 1983,
hlm. 33.
20 Mappangaja, Peranan Perusahaan Transnasional Ditinjau dari Segi Hukum Ekonomi Internasional,
Ujung Pandang: Fakultas Hukum Unhas, 1991, hlm. 66.
21 Muhammad Reza Syariffudin Zaki dan R. Syahputra, “Retalism mechanism in Indonesia and
European Union trade disputes regarding CPO commodity exports”, IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science, 729(1), hlm. 13.
22 Muhammad Reza Syariffudin Zaki, et al., “Public Stockholding Regulations and Domestic
Agricultural Subsidies in China, India, Brazil and Indonesia to Achieve Food Security in Sustainable
Development Goals”, The 1st Workshop on Multimedia Education, Learning, Assessment and its
Implementation in Game and Gamification in Conjunction with COMDEV, 2018, hlm. 3.

10 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


sangat pesat di dalamnya. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya perusahaan
atau emiten yang tercatat di bursa.23 Hal tersebut tidak berarti Indonesia
dengan mudah mencapai pertumbuhan ekonomi, karena berdasarkan data
yang diperoleh, beberapa tahun terakhir ini merupakan waktu yang sulit
bagi Indonesia guna mewujudkan per­tumbuhan perekonomian sebesar
6–7% disebabkan oleh lemahnya perekonomian negara adidaya.24 Namun,
diperoleh dorongan lain guna menanggulanginya, yaitu oleh peranan perusahaan-
perusahaan transnasional dengan penerimaan modal yang semakin meningkat.
Penanaman modal asing pada sebuah negara dilakukan dalam rangka
mengembangkan dan menciptakan perekonomian modern dan mekanisme
pasar yang luas bagi negara penerima modal bersangkutan.25 Mengingat hal
tersebut, peranan yang dimainkan perusahaan transnasional menjadi sangat

PY
penting untuk kemajuan ekonomi negara di mana perusahaan tersebut
beroperasi.
Dalam perkembangannya, beberapa perusahaan transnasional men­
jalankan usahanya melalui kantor cabang perusahaan di negara berkembang.
CO
Perusahaan transnasional menjalankan usahanya ke wilayah yang dinilai akan
lebih memberi keuntungan dengan tujuan memperluas wilayah pemasaran,
efisiensi biaya produksi, dan efisiensi upah tenaga kerja.26 Perusahaan trans­
nasional beroperasi di dalam wilayah dari beberapa negara dengan tujuan
utama mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena kekuatan modal,
G
teknologi, dan keahlian yang dimilikinya, perusahaan itu dapat bergerak dari
suatu negara ke negara lainnya tanpa dapat dijangkau dengan kekuatan dan
IN

yurisdiksi negara tertentu. Sedemikian tinggi mobilitasnya, sehingga tidak ada


satu negara pun yang menjadi tempat kedudukannya yang bersifat permanen.27
Oleh karena tujuan utama perusahaan transnasional di suatu negara adalah
AD

mencari keuntungan sebesar-besarnya, maka tidak mustahil perusahaan tersebut


menganut prinsip “machiavelisme” (tujuan menghalalkan segala macam cara).28
Perilaku perusahaan transnasional yang tidak menguntungkan lainnya, antara
RE

23 Muhammad Reza Syariffudin Zaki, “The Independence of the Trustee as an Organ Formed by the
Public Company”, Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 585, hlm. 607.
24 Muhammad Reza Syariffudin Zaki, Pemikiran Hukum, Ekonomi, dan Politik Internasional,
Surabaya: Pustaka SAGA, 2018, hlm. 136.
25 Sumantoro, Investment Law, Corporation in Investment, and the Indonesian Perspective, Bandung:
Binacipta, 1982, hlm. ix.
26 I Made Udiana, Rekonstruksi Pengaturan Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing, Denpasar:
Udayana University Press, 2011, hlm. 9.
27 Marcel Hendrapati dan Marthen Arie, “Perusahaan Transnasional dan Implikasinya dalam Hukum
Nasional Indonesia”, ERA HUKUM, No. 3, 1995, hlm. 80.
28 Ibid.

Bab II - Transnasionalisasi Hukum Transaksi Bisnis Transnasional di Indonesia 11


lain ketidakpaduan sistem hukum negara-negara penerima modal itu sendiri29
atau dengan kata lain, peningkatan kristalisasi hukum transnasional di bidang
penyelesaian sengketa lintas batas telah menjadi kenyataan baik dalam teori
hukum maupun dalam praktik komersial.30 Keunggulan-keunggulan global
dan semangat lembaga penyelesaian sengketa global secara tradisional di
pinggiran praktik hukum internasional, arbitrase komersial transnasional semakin
ditantang untuk lebih mencerminkan keragaman praktik dan perspektif di
seluruh wilayah.31 Arbitrase itu sendiri didefinisikan sebagai sebuah peradilan
guna mencapai perdamaian. Para pihak menyepakati agar perselisihan mereka
yang mencakup hak pribadi masing-masing sepenuhnya diperiksa dan diadili
oleh hakim yang netral, ditunjuk oleh para pihak itu sendiri, dan putusannya
akan mengikat bagi para pihak.32

PY
Perusahaan transnasional tidak semuanya sejenis, baik dari aspek ukuran
atau sifat usaha. Perusahaan transnasional bidang bisnis ekstraktif mempunyai
sikap dan dampak yang berbeda dengan perusahaan trans­nasional produksi
barang kapital maupun dengan perusahaan transnasional produksi barang
CO
konsumsi. Dari perspektif tuan rumah, setiap jenis perusahaan transnasional
menjanjikan untung dan rugi yang berbeda.33 Kembali pada persoalan dari
perusahaan transnasional, kehadirannya tidak hanya memberi dampak positif,
tetapi juga dampak negatif, seperti intervensi perusahaan asing mengakibatkan
peraturan perekonomian di negara tempat perusahaan asing didirikan (host
G
country), penggelapan pajak, rusaknya lingkungan hidup, bahkan terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia (HAM).34 Hal-hal tersebut merupakan akibat
IN

dalam cakupan umum, sedangkan secara khusus atau dalam bidang bisnis
ialah menculnya persaingan. Keberadaan perusahaan transnasional pada satu
negara dapat memunculkan persaingan sengit, khususnya bagi pihak produsen
AD

baik antara produsen besar dengan produsen kecil, produsen besar domestik
dengan perusahaan produsen transnasional, dan antara produsen negara
berkembang dengan produsen negara maju. Keadaan demikian pada akhirnya
RE

29 Ibid., hlm. 79.


30 Klaus Peter Berger, “The Creeping Codification of the Lex Mercatoria”, Kluwer Law International,
1999, hlm. 234.
31 Shahla F. Ali, Resolving Disputes in the Asia Pacific Region: International Arbitration and
Mediation in East Asia and the West, UK: Routledge, 2011, hlm. 3.
32 Muhammad Reza Syariffudin Zaki, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Penerbit
Prenadamedia, Divisi Kencana, 2021, hlm. 71.
33 Pieter Kuin, Perusahaan Trans Nasional, Jakarta: Gramedia, 1987, hlm. 57.
34 Erna Amalia, “Kedudukan Perusahaan Transnasional sebagai Subyek Hukum Internasional”, NJL, 5(2),
September 2021, hlm. 643.

12 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


dapat pula merusak suatu tatanan perekonomian dari negara berkembang.35
Sejalan dengan hal tersebut, Huala Adolf menyatakan bahwa:36
“...Perusahaan transnasional atau transnasional banyak dikecam telah mengembalikan
keuntungan-keuntungan dari kegiatan bisnisnya ke negara di mana perusahaan
induknya berada. Dampak lainnya adalah penanaman modal asing oleh perusahaan
transnasional atau transnasional dapat men­dominasi perusahaan-perusahaan lokal.
Sebagai akibatnya, mereka dapat memengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi atau
bahkan kebijakan politis dari negara penerima.”
Mengenai dampak negatif yang dapat timbul dari perusahaan trans­nasional,
upaya yang dilakukan hukum internasional adalah dengan mengklasifikasikan
perusahaan transnasional sebagai subjek hukum internasional agar perusahaan
transnasional dapat dibebankan tanggung jawab. Sebagai subjek hukum

PY
internasional, perusahaan transnasional akan memiliki legal capacity untuk
mengajukan gugatan, menyelenggarakan dan menciptakan perjanjian,
memper­­tahankan hak milik, serta memiliki kekebalan dan keistimewaan
(privileges dan immunities).37
CO
Aktivitas penanaman modal di beberapa negara berkembang tidak
dapat dihindarkan dengan alasan kebutuhan akan penanaman modal asing,
faktor pesatnya pertumbuhan perekonomian, serta persaingan perdagangan
internasional. Berkaitan dengan hal tersebut, Ida Bagus Wiyasa Putra
G
ber­­p endapat:38
“Kebutuhan terhadap modal asing merupakan kebutuhan yang tidak dapat
IN

dihindari oleh negara-negara berkembang. Pertama, karena mutlaknya arti penting


pembangunan ekonomi bagi negara-negara berkembang. Kedua, terbatasnya modal,
informasi, manajemen, keahlian dan teknologi untuk mengubah sumber daya ekonomi
AD

potensial menjadi sumber daya ekonomi produktif.”


Pernyataan tersebut menimbulkan perilaku race to the bottom, keadaan
di mana negara-negara berkembang mengundang perusahaan transnasional
RE

untuk melakukan foreign direct investment dengan cara berlomba memberikan


kemudahan dan kelonggaran aturan hukum seringan mungkin, dengan alasan
untuk memacu pertumbuhan ekonominya.39 Konsekuensi atas paradigma

35 Bedjaoui, Menuju Tata Ekonomi Dunia Baru, Jakarta: Gunung Agung, 1985, hlm. 35.
36 Huala Adolf, Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO),
Bandung: Keni Media, 2010, hlm. 6.
37 Ibid., hlm. 647.
38 Ida Bagus Wiyasa Putra, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis
Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2000, hlm. 101.
39 Imam Prihandono, “Status dan Tanggung Jawab Multi-National Companies (MNCs) dalam Hukum
Internasional”, Global & Strategies, Th. II, No. 1, Januari-Juni, 2008, hlm. 71.

Bab II - Transnasionalisasi Hukum Transaksi Bisnis Transnasional di Indonesia 13


ekonomi pembangunan ialah hadirnya investasi asing dan perusahaan
transnasional secara bebas dengan jumlah besar.40 Kondisi saat suatu negara
mengundang perusahaan transnasional untuk menanamkan modal akan
menimbulkan ketidakseimbangan posisi antara perusahaan transnasional
dengan host state. “Negara tuan rumah bukan hanya menjadi tidak mampu
mencegah timbulnya pelanggaran hukum, tapi justru turut melegalkan praktik-
praktik pelanggaran hak-hak buruh, perusakan lingkungan, dan pelanggaran
hak konsumen yang dilakukan oleh perusahaan transnasional”.41 Hal tersebut
dikarenakan kekuatan dari modal yang dimiliki perusahaan transnasional
mampu memengaruhi perekonomian dan sisi politik dengan host state.
Situasi demikian berdampak menjadi dilema bagi suatu negara. Pada satu sisi,
perusahaan transnasional meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan

PY
suatu negara karena kehadirannya yang bersifat simbiosis mutualisme atau saling
memberi benefit.42 Akan tetapi, pada sisi lainnya, perusahaan transnasional
menjadi aktor pelanggaran hak asasi manusia dalam kegiatan bisnisnya. Hal
ini dikarenakan kegiatan perusahaan selalu berkaitan dengan hajat kehidupan
orang banyak. CO
Aturan dalam menguasasi hak lintas dalam dunia bisnis termasuk bisnis
transnasional dominan atau mayoritas inkonsisten antara satu dan lainnya.
Ditinjau dari aspek teoretis, sangat mungkin bagi negara untuk mengharmonisasi
peraturan atau kebijakan yang berlaku. Contohnya, menyelenggarakan perjanjian
G
multilateral atau memberikan kewenangan terhadap lembaga supranasional
agar mengumumkan seperangkat peraturan yang mengikat,43 karena pada
IN

umumnya, transaksi bisnis internasional dilakukan melalui suatu kontrak


internasional yang memuat tujuan dan komitmen masing-masing pihak
yang terlibat serta ketentuan-ketentuan yang mengatur transaksi tersebut.44
AD

Namun, ditinjau dari aspek praktis, langkah tersebut terhalangi karena tidak
sedikit negara kebangsaan taat pada hak kedaulatan masing-masing untuk
berkepentingan dengan perusahaan asing jika dinilai memang perlu. Terlebih,
RE

dalam persoalan ini, kepentingan dan kebijaksanaan negara sangat berbeda.45

40 Muhadi Sugiono, Kritik Antonia Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta: Putraka
Pelajar, 1999, hlm. 4–7.
41 Imam Prihandono, Loc.Cit.
42 Lubis dan M. Buxbaum, Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang, Jakarta:
Yayasan Obor, 1986, hlm. 118.
43 Kuiin, Perusahaan Transnasional, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 175.
44 Muhammad Reza Syariffudin Zaki, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Kencana, 2021,
hlm. 17.
45 Kuiin, Loc.Cit.

14 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Menindaklanjuti ilustrasi tersebut, hal yang paling dikhawatirkan atau
ditakuti oleh perusahaan dan dapat menjadi suatu tantangan tersendiri adalah
kenyataan bahwa apabila suatu peraturan mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat, maka perusahaan transnasional tidak dapat mengenyampingkan
ketentuan tersebut ketika timbul atau dihadapkan dengan suatu masalah
bisnis. Keadaan demikian yang menyebabkan code of conduct dan ketentuan-
ketentuan yang terdapat di dalamnya tidak berkekuatan hukum mengikat,
tidak mengandung apa yang disebut legal obligation. Isinya hanya merupakan
pernyataan-pernyataan yang bersifat umum, berisi himbauan kepada negara,
baik home state maupun host state agar patuh terhadap ketentuan atau prinsip
yang berlaku dan termaktub di dalamnya.46
Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa Code of Conduct on

PY
Transnational Corporations akan mengikat sebagai hukum (legally binding)
jika digunakan oleh hakim sebagai dasar hukum dalam memecahkan
sengketa internasional terkait perusahaan transnasional. Dengan kata lain,
tidak berkekuatan mengikat secara langsung, tetapi berkekuatan secara tidak
CO
langsung dan lebih berperan dalam membentuk unsur psikologis dalam hukum
kebiasaan internasional.47 Walaupun code of conduct ini tidak mempunyai
kekuatan mengikat, tetapi tidak berarti code of conduct ini tidak mempunyai
arti. Code of conduct dapat mempunyai arti sebab tidak sepenuhnya bergantung
pada masing-masing negara dan juga para pengusaha masing-masing negara.
G
Misalnya, code of conduct dari Organization of Economic and Development
(OECD) yang dianggap baik oleh banyak negara, maka hal ini dapat menjadi
IN

hukum kebiasaan internasional.48


Di samping itu, terikatnya suatu perusahaan transnasional pada code of
conduct juga bergantung pada sikapnya sendiri untuk menaati code of conduct
AD

itu. Jika perusahaan tersebut tunduk secara sukarela pada peraturan dari code
of conduct dan pada suatu waktu timbul masalah, maka paling tidak, salah
satu keputusan pengadilan di negeri Belanda dapat digunakan sebagai suatu
RE

preseden. Keputusan tersebut antara lain menyatakan bahwa oleh karena


pimpinan perusahaan yang bersangkutan secara terbuka telah menyatakan
bahwa kebijaksanaan perusahaan berlandaskan pada code of conduct, maka
terhadap perusahaan tersebut, code of conduct itu telah berlaku sebagai
hukum.49 Dengan demikian, perusahaan yang telah menyatakan dirinya tunduk
secara sukarela pada peraturan-peraturan yang terdapat di dalam code

46 Marcel Hendrapati dan Marthen Arie, Op.Cit., hlm. 85.


47 Juajir Sumardi, Op.Cit., hlm. 13.
48 Marcel Hendrapati dan Marthen Arie, Loc.Cit.
49 Ibid.

Bab II - Transnasionalisasi Hukum Transaksi Bisnis Transnasional di Indonesia 15


of conduct tidak dapat menghindarkan dirinya dari kewajiban-kewajiban
yang diatur di dalamnya bilamana pada suatu saat timbul permasalahan,
terutama antara perusahaan transnasional dengan host state sebagai penerima
modal. Saat perusahaan transnasional hendak memasuki suatu negara untuk
menjalankan kegiatan-kegiatannya di negara tersebut, maka sebaiknya negara
setempat harus menentukan melalui hukum positif bahwa perusahaan
transnasional wajib patuh pada ketentuan dan prinsip pada code of conduct.50
Secara substantif, sebagai kontributor pembentukan hukum51 dalam konteks
transnasional dan menyadari akan persyaratan peraturan dan kondisi hukum
di luar negara,52 sistem hukum komersial swasta harus beradaptasi dan terlibat
dengan kekuatan hukum publik transnasional untuk memberikan inklusivitas
yang lebih besar dalam substansi, komposisi,53 dan praktik.54 Pada lapangan

PY
hukum, globalisasi berhasil menimbulkan benturan antara hukum negara
pada satu sisi dengan hukum transnasional pada sisi lainnya. Oleh karena itu,
harmonisasi hukum nasional terhadap dinamika perkembangan hukum global
bersifat wajib dan bulat.55 Sebagai akibat dari proses globalisasi, meningkatnya
CO
pergaulan, dan perdagangan inter­nasional, terdapat beberapa peraturan
hukum asing atau yang bersifat internasional akan dicantumkan dalam hukum
nasional suatu negara, khususnya pada kaidah hukum transnasional akan
lebih cepat diterima sebagai hukum nasional, karena hal tersebut merupakan
aturan main dalam berkomunikasi dengan perekonomian global. Dampaknya,
G
semakin mengikuti perkembangan global, maka hukum nasional akan semakin
menunjukkan sifat yang lebih transnasional, sehingga perbedaan dengan
IN

sistem hukum lain atau ciri khas negara akan semakin berkurang.56
Hukum komersial internasional sebagai pengungkit yang menyusun ulang
keadilan dalam bidang sengketa transnasional.57 Walaupun penerapan hukum
AD

50 Ibid.
51 David D. Caron et al., Practising Virtue: Inside International Arbitration, Oxford: Oxford University
Press, 2015, hlm. Pendahuluan.
RE

52 Peer Zumbansen, “Piercing the Legal Veil: Commercial Arbitration and Transnational Law”,
European Law Journal, 8(3), 2002, hlm. 422.
53 Thomas Stipanowich, “Reflections on the State and Future of Commercial Arbitration: Challenges,
Opportunities”, Juris legal Information Arbitration Law, 25(3–4), 2014, hlm. 363-366.
54 Shahla F. Ali, Loc.Cit.
55 Aditya Yuli Sulistyawan, “Urgensi Harmonisasi Hukum Nasional terhadap Perkembangan Hukum
Global Akibat Globalisasi”, Jurnal Hukum Progresif, 7(2), Oktober 2019, hlm. 172.
56 Supriyono, “Pengaruh Globalisasi terhadap Pembangunan Hukum dan Tantangan di Era Revolusi
Industri”, Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB, hlm. 112.
57 Ives Dezalaydan Bryant G. Garth, Dealing in Virtue. International Commercial Arbitration and
The Construction of a Transnational Legal Order, Chicago: The University of Chicago Press,
1996, hlm. 126.

16 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


komersial transnasional pada sengketa transnasional termasuk hukum
internasional publik dan privat telah dianggap sebagai peng­gambaran yang
lebih akurat,58 tetapi sebagian berpandangan tetap kontroversial mengingat
implikasi praktisnya. Hukum yang timbul dari praktik perdagangan internasional
tersebut selain telah digambarkan sebagai hukum komersial transnasional,
juga sebagai hukum komersial global yang independen atau “lex mercatoria
baru”.59
Lex mercatoria adalah sumber hukum yang terdiri atas kebiasaan, praktik,
konvensi, preseden, beberapa hukum nasional, alternatif untuk pencarian
konflik hukum yang sering terjadi, serta jalan keluar dari penerapan aturan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan dan penggunaan perdagangan internasional.60
Pendapat lain mengartikan lex mercatoria sebagai metode pengambilan

PY
keputusan atau daftar kodifikasi yang statis atau terbuka. Dari perspektif ‘metode’
menunjukkan bahwa isi hukum transnasional berasal dari analisis hukum
komparatif, sehingga mengarahkan untuk menyelesaikan sengketa kepada
aturan yang paling banyak diterima.61 Pada akhirnya, hukum transnasional yang
CO
disaring melalui metode ini melakukan fungsi yang sangat mirip dengan sistem
hukum yang asli,62 yaitu yang terdiri atas empat karakteristik, yakni kelengkapan,
terstruktur, kemampuan untuk berkembang, dan prediktabilitas.63
Lebih lanjut, terkait perkembangan transaksi bisnis lintas batas, seiring
dengan era globalisasi, pada faktanya cukup berpengaruh terhadap pemerintah
G
saat hendak menentukan arah kebijakan. Hal tersebut terlihat dari ketentuan
kebijakan transfer pricing dan customs valuation yang berlaku pada setiap
IN

negara. Selain itu, dua hal tersebut memang merupakan aspek yang akan
timbul saat perusahaan transnasional bertransaksi lintas batas. Selain itu,
implementasi kebijakan khusus oleh satu negara pada skala nasional terkait
AD

kepabeanan/cukai dan perpajakan dapat beragam.64 Adanya perbedaan antara

58 Shahla F. Ali, Transnational Commercial Law of Arbitration – Developments and Controversies,


Oxford Handbooks Online, 2019, hlm. 1.
RE

59 Uwe Blaurock, “The Law of Transnational Commerce”, dalam Franco Ferrari (ed), The Unification
of International Commercial Law, 1998, hlm. 9.
60 Andreas F. Lowenfeld, “Lex Mercatoria: An Arbitrator’s View”, dalam Thomas E. Carbonneau (ed),
“Lex Mercatoria and Arbitration”, Kluwer Law International, 1998, hlm. 82.
61 Emmanuel Gaillard, “Transnational Law: A Legal System or a Method of Decision-Making”,
dalam Klaus Peter Berger (ed), “The Practice of Transnational Law”, Kluwer Law International,
2001, hlm. 57.
62 Ibid., hlm. 65.
63 Ibid., hlm. 59.
64 Cindy Kikhonia Febby, “Relasi Antara Transfer Pricing dan Customs Valuation”, 2017, diakses
dari https://news.ddtc.co.id/relasi-antara-transfer-pricing-dan-customs-valuation-9739, pada tanggal
23 Mei 2022 pukul 17:56 WIB.

Bab II - Transnasionalisasi Hukum Transaksi Bisnis Transnasional di Indonesia 17


transfer pricing dan customs valuation sering menjadi sebuah perdebatan bagi
beberapa pihak. Perbedaan kepentingan ini yang menjadi tantangan bagi
perusahaan transnasional dalam bertransaksi secara global. Oleh karena itu,
diperlukan harmonisasi atas globalisasi bisnis yang berkelanjutan, yaitu antara
transfer pricing dan customs valuation.
Pada saat ini, standar internasional untuk transfer pricing di negara maju
ditetapkan oleh OECD, sedangkan customs valuation menerapkan ketentuan
kepabeanan yang ditetapkan oleh World Trade Organization (WTO). Dalam
beberapa waktu terakhir, sejumlah negara memperbarui kebijakan terkait
transfer pricing. Sementara, WTO terus menjalin kerja sama dengan World
Custom Organization (WCO) dalam mengakomodir kebijakan perdagangan
global. Kemudian, berdasarkan urgensinya, pada tanggal 24 Juni 2015, WCO

PY
menerbitkan panduan “WCO Guide to Customs Valuation and Transfer Pricing”
yang bertujuan membantu otoritas bea cukai dalam penentuan kebijakan
penilaian pabean serta memberi penjelasan dalam rangka navigasi hubungan
antara transfer pricing dengan customs valuation. Selain itu, panduan WCO

terlibat perdagangan global.


CO
juga berupaya memberi pendekatan secara konsisten bagi pelaku usaha yang

Perdagangan sebagai bentuk nyata kegiatan transaksi lintas batas harus


memiliki pengaturan yang bersifat aspiratif, memuat substansi yang secara
umum sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, baik lokal, nasional,
G
maupun internasional, sehingga dapat dipandang sebagai kristalisasi kehendak
dan kebutuhan masyarakat yang mengelola perdagangan lintas batas. Hukum
IN

yang pasti akan mengakomodir peraturan dan proses yang rasional, mengikuti
aturan dan prosedur normatif, dikembangkan dari aturan itu sendiri, dan tidak
mengikuti kehendak para pihak pelaksana hukum. Salah satu prinsip yang
AD

hakiki dari hukum yang pasti adalah menyediakan tolak ukur objektif, berupa
norma yang jelas dan tegas, yang mana arti, makna, dan maksudnya dapat
dipastikan secara intersubjektif.65
RE

Dasar hukum kegiatan korporasi skala transnasional dapat dianggap tidak


lengkap karena ketidaksempurnaan sistem hukum sebagian besar kekuatan
dunia mengenai masalah korporasi dan penentuan status hukumnya. Terdapat
berbagai teori hukum yang mengakui korporasi transnasional sebagai subjek
hukum internasional. Praktiknya, sistem hukum negara bagian di mana
perusahaan transnasional telah lulus pendaftaran negara atas kegiatan mereka
dan di mana tata kelola perusahaan dan badan pembiayaan berada yang

65 Susanti Mamiloto, “Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran Transaksi Perdagangan Lintas


Batas pada Daerah Perbatasan”, Lex Privatum, V(8), Oktober 2017, hlm. 50.

18 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


menentukan dalam kaitannya dengan aspek hukum dari kegiatan tersebut
dari organisasi-organisasi ini. Dengan kata lain, kegiatan korporasi berskala
transnasional terutama tunduk pada hukum negara tempat korporasi tersebut
didaftarkan dan dari mana aktivitasnya dikelola. Ini adalah tindakan legislatif
masing-masing negara yang mengatur semua masalah yang berkaitan dengan
menerima suntikan investasi ke dalam kegiatan mereka dan mengembangkan
kondisi untuk distribusi dana investasi dalam kondisi ekonomi negara bagian
di mana cabang-cabang asosiasi perusahaan ini terdaftar. Semua perselisihan
yang berkaitan dengan kegiatan asosiasi perusahaan transnasional yang
dianggap juga diselesaikan sesuai dengan hukum negara tempat perusahaan
tersebut terdaftar dan di mana cabang serta anak perusahaannya beroperasi.66
Aspek hukum dari aktivitas masing-masing perusahaan transnasional

PY
individu harus dipertimbangkan baik dari sudut pandang kegiatan utama
organisasi-organisasi ini maupun dari sudut pandang sifat produk dan volume
keluarannya. Tindakan legislatif dari satu negara bagian dapat mengizinkan
pelepasan dan distribusi jenis produk tertentu dan juga melarangnya. Misalnya,
CO
perusahaan Amerika “Philip Morris International” tidak memiliki kantor
perwakilan di Norwegia, di mana undang-undang paling ketat di dunia tentang
merokok, serta produksi dan distribusi produk tembakau. Oleh karena itu,
kegiatan perusahaan di negara-negara di mana ia memiliki anak perusahaan
atau perusahaan manufaktur harus dipertimbangkan dalam hal kepatuhan
G
terhadap hukum negara-negara tersebut.67
Di Indonesia sendiri, terdapat Undang-Undang No. 25 Tahun 2007
IN

tentang Penanaman Modal Asing sebagai peraturan yang mendukung


berdirinya perusahaan transnasional di Indonesia.68 Kemudian, terkait aspek
ketenagakerjaan, bagi para perusahaan transnasional dalam praktiknya
AD

terdapat kecenderungan timbul kompetisi antara penetapan kriteria keahlian


teknik tenaga kerja yang dilakukan di negara penerima modal dengan
perkembangan keahlian teknologi pada perusahaan transnasional. Sementara
RE

itu, pemerintah sendiri telah berupaya dengan menciptakan ketentuan berupa


sanksi terhadap perusahaan transnasional yang masih mempekerjakan tenaga
asing, padahal dapat digantikan dengan tenaga kerja Indonesia. Namun, pada
faktanya, perusahaan modal asing lebih memilih untuk dikenakan sanksi,

66 Anatoliy Kostruba, “Legal Aspect of Transnational Scale Corporations’ Activity in Terms of


Sustainable Development”, Rivista di Studi Sulla Sostenibilita, 2022, hlm. 56.
67 Greenhalgh-Cook A., “Transnational Elites”, International Encyclopedia of Human Geography,
2, hlm. 381–387.
68 Juajir Sumardi, Op.Cit., hlm. 38.

Bab II - Transnasionalisasi Hukum Transaksi Bisnis Transnasional di Indonesia 19


karena penggunaan tenaga kerja asing dinilai lebih memberi keuntungan.69
Operasional perusahaan transnasional apabila dilihat dari sisi ketenagakerjaan
cukup termasuk merugikan, karena pilihan yang diambil secara sepihak dan
tidak mempertimbangkan dampak terhadap tenaga kerja Indonesia. Dari
aspek kepemilikan saham pun, jumlah yang dimiliki pihak asing akan lebih
besar dibandingkan dengan pihak Indonesia.70
Selanjutnya terkait aspek manajemen, cara kepemimpinan sebaiknya
digabungkan dengan cara kepemimpinan Indonesia, dengan maksud guna
memperlancar operasional perusahaan transnasional. Dalam menjamin
proses transfer manajemen perusahaan transnasional terhadap tenaga kerja
Indonesia, diperlukan peraturan mengenai cara transfer manajemen tersebut.
Sederhananya, perlu untuk diselenggarakan pelatihan dan pengembangan sumber

PY
daya manusia khusus tenaga kerja Indonesia. Selain itu, sudah sewajibnya
perusahaan transnasional yang beroperasi di Indonesia melakukan pembinaan
dan pembimbingan terhadap perusahaan lokal melalui program tanggung
jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) sebagaimana telah

tentang Perseroan Terbatas.71


CO
diwajibkan dan termaktub dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

Terakhir, terkait aspek moralitas, baik perusahaan transnasional maupun


negara tuan rumah tempat beroperasinya perusahaan tersebut harus sadar
bahwa keberadaan perusahaan transnasional jangan sampai mematikan
G
perusahaan lain yang bermodal kecil. Persoalan ini patut mendapat perhatian
serius dari negara tempat beroperasinya perusahaan transnasional. Merupakan
IN

hal yang wajar apabila perusahaan transnasional diharuskan turut serta


bertanggung jawab dalam proses pembangunan negara tuan rumah.72 Apabila
seluruh organ dari perusahaan transnasional sadar akan keberadaannya pada
AD

suatu proses pembangunan di negara tempat perusahaan tersebut beroperasi,


maka ia akan berpartisipasi dalam mewujudkan kemakmuran yang diharapkan
negara tuan rumah. Oleh karena itu, sebelum dilakukan penanaman modal
RE

di Indonesia, pemerintah Indonesia harus menanamkan iktikad baik pada


perusahaan transnasional. Sebelum diberikan izin untuk beroperasi di
Indonesia, dilakukan proses pengenalan mengenai tujuan pembangunan yang
dilaksanakan di Indonesia.73

69 Ibid., hlm. 64.


70 Ibid., hlm. 65.
71 Ibid., hlm. 80.
72 Ibid., hlm. 81.
73 Ibid., hlm. 82.

20 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


BAB III

PY
SUMBER HUKUM TRANSAKSI
BISNIS TRANSNASIONAL
CO
Dalam bab ini, Penulis akan membahas sumber hukum transaksi bisnis
transnasional. Sebelum mengidentifikasi apa saja yang menjadi sumber hukum
G
transaksi bisnis transnasional, terlebih dahulu kita harus memahami pengertian
sumber hukum itu sendiri. Profesor Mochtar Kusumaatmadja mendefinisikan
IN

sumber hukum dalam beberapa pengertian. Pertama, sumber hukum diartikan


sebagai dasar berlakunya hukum. Dalam arti yang pertama, yang dipersoalkan
adalah apa sebabnya hukum ini mengikat. Sumber hukum dalam arti ini
AD

dinamakan sumber hukum dalam arti material, karena menyelidiki masalah


yang pada hakikatnya menjadi dasar kekuatan mengikatnya hukum. Kedua,
sumber hukum dalam arti formal. Dalam arti kedua ini, sumber hukum formal
RE

memberikan jawaban terhadap pertanyaan di mana kita mendapatkan ketentuan


hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam suatu persoalan yang
konkret.74
Berdasarkan definisi tersebut, dalam bab ini, Penulis akan membahas sumber
hukum formil dari hukum transaksi bisnis transnasional. Dalam pendekatan
tradisional, hak dan kewajiban para pihak dalam melakukan transaksi bisnis
transnasional ditentukan oleh salah satu hukum nasional atau berdasarkan

74 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni,
2003, hlm. 113.
pilihan hukum yang dipilih oleh para pihak. Pendekatan tradisional ini dirasakan
tidak lagi dapat menjawab permasalahan hukum kontemporer, sehingga dirasakan
perlunya suatu pendekatan yang lebih luas. Pendekatan tradisional dirasakan
sangat sempit, sehingga tidak dapat memberikan pilihan bagi para hakim dan
arbitrator dalam menentukan sumber hukum yang digunakan dalam sengketa-
sengketa transaksi bisnis transnasional. Setidaknya, terdapat lima sumber hukum
utama hukum transaksi bisnis transnasional, yaitu:
1. kontrak,
2. kebiasaan-kebiasaan (usages) dalam transaksi bisnis transnasional,
3. perjanjian internasional (multilateral dan regional),
4. aturan-aturan yang dikeluarkan oleh organisasi internasional, dan
5. prinsip-prinsip hukum umum.

PY
Hukum transaksi bisnis transnasional merupakan konvergensi dari beberapa
sistem hukum nasional. Meskipun demikian, sumber hukum transaksi bisnis
transnasional tidak hanya berasal dari produk legislasi maupun yurisprudensi-
CO
yurispridensi. Terkait sumber hukum, terdapat suatu pertanyaan mendasar,
apakah sumber hukum transaksi bisnis transnasional bersifat otonom atau
hanya sumber hukum yang dipilih para pihak semata? Roy Goode menyatakan
bahwa sumber hukum transaksi bisnis transnasional sangat bervariasi dari
setiap negara. Berikut ini adalah beberapa sumber hukum transaksi bisnis
G
transnasional.
IN

A. Kontrak
Kontrak merupakan sumber hukum terpenting dalam hukum transaksi bisnis
transnasional. Black’s Law Dictionary mendefinisikan kontrak sebagai “An
AD

Agreement between two or more persons which creates an obligation to do


or not to do a particular thing.”75 Berdasarkan sifat dan ruang lingkup hukum yang
mengikatnya, kontrak dapat dikategorikan dalam bentuk kontrak nasional
RE

dan kontrak internasional. Kontrak nasional tidak lain adalah kontrak yang
dibuat oleh dua individu (subjek hukum) dalam suatu wilayah negara yang tidak
ada unsur asingnya. Sedangkan, kontrak internasional adalah suatu kontrak
yang di dalamnya ada atau terdapat unsur asing (foreign element).76 Dalam
bisnis transnasional, kontrak memiliki peranan yang penting. Peran ini tampak
dari semakin meningkatnya transaksi dagang yang dewasa ini sudah lintas

75 Black’s Law Dictionary, St. Paul Minn, West Publ. (5th edition), 1949, hlm. 291–292.
76 Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional (Edisi Revisi), Bandung: Refika Aditama,
2010, hlm. 1.

22 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


batas. Transaksi-transaksi dagang demikian biasanya dituangkan dalam dokumen-
dokumen kontrak.77
Kontrak terdiri atas kontrak tertulis dan tidak tertulis. Selain itu, kontrak juga
diklasifikasikan dalam beberapa kategori, antara lain sebagai berikut.

1. Kontrak berdasarkan Para Pihak yang Membuatnya


(Berdasarkan Subjek)
Dalam transaksi bisnis transnasional, tentunya para pihak yang membuat
kontrak tidak semata hanya antara individu dengan individu. Kontrak bisa saja
dibuat oleh subjek yang berbeda, misalnya antara perusahaan multinasional
dengan individu, antara perusahaan multinasional dengan negara, ataupun
antara sesama perusahaan mutinasional. Berdasarkan para pihak yang mem­

PY
buatnya, kontrak terdiri atas Busines to Business (B2B) Contract, Business to
Consumer (B2C) Contract, dan Consumer to Consumer (C2C ) Contract.78

2. Kontrak berdasarkan Karakteristiknya


CO
Kontrak juga dapat diklasifikasi berdasarkan karakteristiknya. Dalam kontrak
jual beli barang, misalnya, para pihak menyepakati hak dan kewajibannya yang
berbeda dengan kontrak di sektor jasa. Pengkategorian kontrak berdasarkan
karakteristiknya disebut juga sebagai “specific contract”.
G
3. Kontrak berdasarkan Alasan Para Pihak untuk Mengikatkan Diri
Dalam kategori ketiga ini, kontrak diklasifikasikan dalam dua bentuk, yaitu
IN

kontrak bilateral dan unilateral. Kontrak bilateral adalah kontrak yang bersifat
resiprokal dan kontrak unilateral adalah kontrak yang mana salah satu pihak
tidak dibebankan kewajiban untuk melakukan sesuatu.
AD

Terdapat beberapa prinsip dasar dalam hukum kontrak, antara lain sebagai
berikut.
RE

1. Prinsip Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contact)


Prinsip ini didasarkan pada premis bahwa setiap pihak yang membuat kontrak
mempunyai kebebasan dalam menentukan substansi dari kontrak sesuai
dengan kehendaknya. Kebebasan tersebut tidak hanya terkait substansi kontrak
semata, melainkan juga kebebasan dalam menentukan para pihak dalam
pembuatan kontrak atau kebebasan dalam menentukan subjek dalam kontrak.
Terdapat beberapa pengecualian terhadap prinsip kebebasan berkontak, antara

77 Ibid., hlm. 2.
78 Jan M. Smiths, Contract Law: A Comparative Introduction, Cheltenham: Edward Elgar Publishing,
2014, hlm. 6.

Bab III - Sumber Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 23


lain terdapat dalam consumer contract dan employment contract. Hal
ini disebabkan oleh terdapatnya perbedaan kedudukan para pihak dalam
pelaksanaan kontrak tersebut, sehinga diperlukan proteksi untuk pihak yang
dianggap lemah dalam pelaksanaan kontrak.

2. Prinsip Pacta Sunt Servanda


Prinsip ini menyatakan bahwa para pihak harus melaksanakan kesepakatan-
kesepakatan yang telah diperjanjikan. Prinsip ini telah diakui secara universal.
UNIDROIT Principle of International Contract dalam Pasal 1.3 menyatakan
bahwa: “A contract validly entered into is binding upon the parties. It can only
be modified or terminated in accordance with its terms or by agreement or as
otherwise provided in these principle”.

PY
3. Prinsip Informality
Prinsip ini adalah manifestasi dari ketentuan yang menyatakan bahwa kontrak
tidak harus selalu dalam bentuk tertulis. Jika para pihak telah menyatakan
CO
bahwa mereka akan mengikatkan diri berdasarkan niat mereka semata tampaknya
cukup dan pada prinsipnya tidak perlu membuat kontrak secara tertulis dengan
mengunjungi notaris ataupun menghadirkan para saksi.79

4. Prinsip Iktikad Baik (Good Faith)


G
Prinsip ini dianggap penting karena dengan prinsip inilah, rasa percaya yang
sangat dibutuhkan dalam bisnis agar pembuatan kontrak dapat direalisasikan.
IN

Terdapat perbedaan penafsiran prinsip iktikad, baik dalam sistem hukum


kontinental maupun common law. Dalam sistem hukum kontinental, pendekatan
terhadap prinsip ini didasarkan pada filosofi dari kontrak yang menitikberatkan
AD

pada hubungan para pihak. Hubungan ini mensyaratkan kewajiban iktikad


baik, bukan saja ketika kontrak ditandatangani, tetapi juga sebelum kontrak
ditutup. Sedangkan, dalam sistem common law, tidak mengenal bahwa dalam
RE

proses negosiasi, para pihak terikat pada prinsip iktikad baik. Dalam sistem
hukum Inggris, misalnya, selama kontrak belum ditandatangani, para pihak
tidak terikat satu sama lain dan tidak memiliki kewajiban apa pun terhadap
pihak lainnya.80

5. Prinsip Resiprositas
Prinsip ini mensyaratkan bahwa para pihak dalam kontrak harus melaksanakan
hak dan kewajibannya masing-masing secara timbal balik. Menurut prinsip

79 Ibid., hlm. 11.


80 Huala Adolf, Op.Cit., hlm. 27–28.

24 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


ini, pelaksanaan kontrak harus memberikan keuntungan timbal balik. Larry
A. DiMatteo dalam bukunya yang berjudul International Business Law and
the Legal Environment: A Transactional Approach menyatakan bahwa kontrak
merupakan sumber hukum yang utama dalam transaksi bisnis transnasional:
“The primary source of law in international business transactions is the private contract
entered into by the business parties. The contract will be the primary source of law in
case of a dispute. At times, however, the contract may fail to provide a solution either
because it does not deal with the issue in dispute or because the parties interpret the
contract differently.” 81
Pernyataan DiMatteo tersebut dirasakan sangat tepat, khususnya dalam
perkembangan kontemporer di abad ke-21 ini, kontrak internasional telah
menjadi sumber hukum terpenting dalam penyelesaian-penyelesaian sengketa

PY
bisnis transnasional. Badan peradilan dan juga forum arbitrase cenderung
merujuk pada ketentuan kontrak yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa
untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Oleh karena itu, tidaklah

utama dalam hukum bisnis transnasional.


CO
berlebihan jika menyatakan bahwa kontrak merupakan sumber hukum yang

B. Kebiasaan-Kebiasaan (Usages) dalam Transaksi Bisnis


Transnasional
G
Berbeda dengan kontrak, kebiasaan-kebiasaan dalam transaksi bisnis transnasional
tidak mengikat secara otomatis. Kebiasaan tersebut akan mengikat jika para
IN

pihak dengan tegas menyatakan secara tertulis. Ketentuan tersebut secara tegas
diatur dalam Pasal 9 Convention on International Sales of Goods (CISG) berikut.
AD

Article 9
(1) The parties are bound by any usage to which they have agreed and by any practices
which they have established between themselves.
(2) The parties are considered, unless otherwise agreed, to have impliedly made
RE

applicable to their contract or its formation a usage of which the parties knew
or ought to have known and which in international trade is widely known to, and
regularly observed by, parties to contracts of the type involved in the particular
trade concerned.
Berdasarkan hukum Indonesia, kebiasaan-kebiasaan yang berkembang
dari kegiatan transaksi bisnis transnasional juga telah diakui eksistensinya.
Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUHPerdata mengakui dengan tegas kekuatan

81 Larry A. DiMatteo, International Business Law and the Legal Environment: A Transactional
Approach, New York: Routledge, 2017, hlm. 7.

Bab III - Sumber Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 25


mengikat kebiasaan-kebiasaan tersebut. Dalam tataran global, kebiasaan-
kebiasaan dalam transaksi bisnis transnasional yang mengikat telah berhasil
dikodifikasi oleh lembaga-lembaga atau badan-badan internasional, antara
lain sebagai berikut.

1. Uniform Custom for Documentary Credits (UCP) 600


UCP 600 merupakan aturan internasional yang mengatur tentang letter of credit.
Dikembangkan oleh International Chamber of Commerce (ICC) dan pertama
kali diterbitkan pada tahun 1933. Aturan ini sudah direvisi secara berkala
untuk mencerminkan pengalaman para praktisi letter of credit internasional.
Versi UCP saat ini, yang diterbitkan pada tahun 2007, adalah Publikasi ICC
No. 600, yang biasa disebut sebagai UCP 600. UCP tidak memiliki kekuatan

PY
hukum, tetapi harus dimasukkan dengan referensi tegas dalam letter of credit
komersial.

2. INCOTERM 2000
CO
Incoterms atau International Commercial Terms adalah istilah-istilah (seperangkat
kode tiga huruf) yang digunakan dalam perdagangan internasional untuk mengatur
agar tidak terjadi kesalahan interpretasi dalam pembuatan kontrak. Dalam
Incoterms ini, diatur syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengiriman atau
penyerahan barang.82 Berikut ini adalah beberapa istilah Incoterm yang sering
G
digunakan.
IN

E EXW Ex Works Penjual menyerahkan barang yang belum mendapat


izin ekspor di kediamannya atau di tempat lain yang
ditentukan (sebutkan nama tempat)
AD

F FCA Free Carrier Penjual menyerahkan barang yang sudah mendapat izin
ekspor kepada pengangkut yang ditunjuk pembeli di
tempat tujuan (sebutkan nama tempat)
FAS Free Alongside Penjual menyerahkan barang yang sudah mendapat izin
RE

Ship ekspor di samping kapal di pelabuhan tujuan (sebutkan


nama pelabuhan pengapalan)
FOB Free on Board Penjual menyerahkan barang melewati pagar kapal di
pelabuhan pengapalan yang disebut, barang sudah clear
for export (sebutkan nama pelabuhan pengapalan)

82 Direktorat Jenderal Pengembangan Nasional, “Incoterms”, diakses dari http://djpen.kemendag.


go.id/app_frontend/contents/98-incoterms pada tanggal 23 Mei 2022 pukul 10:14 WIB.

26 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


C CFR Cost and Penjual menyerahkan barang melewati pagar kapal di
Freight pelabuhan pengapalan yang disebut, barang sudah clear
for export dan biaya angkut ke pelabuhan tujuan sudah
ditanggung penjual (sebutkan nama pelabuhan tujuan)
CIF Cost, Insurance Sama dengan CFR tetapi penjual menanggung asuransi
and Freight dan membayar premi (sebutkan nama pelabuhan tujuan)
CPT Carriage Mirip dengan CFR tetapi barang diangkut ke tempat
Paid to tujuan tertentu (sebutkan nama tempat tujuan)
CIP Carriage and Hampir sama dengan CPT tetapi penjual menutup
Insurance asuransi terhadap risiko kerusakan selama perjalanan
Paid to (sebutkan nama tempat tujuan)

3. Bentuk-Bentuk Kontrak Standar di Bidang Konstruksi yang

PY
Dikeluarkan oleh FIDIC83
Federasi Insinyur Konsultasi Internasional, atau lebih dikenal sebagai FIDIC,
dibentuk pada tahun 1913 di Belgia. FIDIC telah lama terkenal dengan bentuk

proyek konstruksi internasional, khususnya:


CO
standar kontrak untuk digunakan antara pemberi kerja dan kontraktor pada

a. Conditions of Contract for Works of Civil Engineering Construction: The


Red Book (1987),
b. Conditions of Contract for Electrical and Mechanical Works including
G
Erection on Site: The Yellow Book (1987), dan
c. Conditions of Contract for Design-Build and Turnkey: The Orange Book
IN

(1995).
Pelaku bisnis dapat menghindari kesalahpahaman dengan mengikuti
AD

praktik standar, kebiasaan, dan penggunaan perdagangan untuk meminimalkan


risiko perselisihan hukum. Aturan-aturan hukum kebiasaan inilah yang sering
sekali digunakan para pihak dalam menyelesaikan sengketa bisnis mereka.
RE

C. Perjanjian Internasional (Multilateral dan Regional)


Fenomena globalisasi dan liberalisasi perdagangan telah mengakibatkan
meningkatnya hubungan kerja sama antarnegara, termasuk di dalamnya
peningkatan hubungan perdagangan internasional. Masyarakat internasional
terus melakukan hubungan diplomatik dan konsuler juga merundingkan
perjanjian-perjanjian internasional. Meningkatnya hubungan antarnegara telah
memengaruhi per­kembangan berbagai konvensi atau perjanjian internasional
dan instrumen hukum lainnya, seperti Model Law yang memberikan dampak

83 Ibid., hlm. 81.

Bab III - Sumber Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 27


besar di seluruh dunia. Mayoritas instrumen tersebut diinisiasi dan dipelopori
oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya oleh UNCITRAL
(organisasi yang telah terlibat dalam proyek harmonisasi hukum perdata
internasional sejak didirikan pada tahun 1966).84 Salah satu perjanjian
internasional yang dirundingkan di bawah naungan UNCITRAL adalah the
Convention on Contracts for the International Sale of Goods atau dikenal
dengan CISG 1980.
Sebelum membahas perjanjian-perjanjian internasional yang menjadi
sumber hukum bisnis transnasional, kita harus mengetahui terlebih dahulu
definisi perjanjian internasional. Sebagai sumber hukum formil85, perjanjian
internasional86 telah berkembang pesat dan terkodifikasi ke dalam berbagai
konvensi internasional, seperti Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian

PY
internasional, Konvensi Wina 1986 tentang perjanjian internasional dan
organisasi internasional, dan Konvensi Wina 1978 tentang suksesi negara
terkait perjanjian inter­nasional. Perjanjian internasional dianggap sebagai
sumber hukum terpenting. Dengan kata lain, dalam praktik negara-negara dewasa
CO
ini, tidak dapat disangkal lagi bahwa perjanjian internasional telah menduduki
tempat utama sebagai sumber hukum formil dari hukum internasional.87 Pasal 2
ayat (1) Vienna Convention on the Law of Treaties of 1969 (VCLT) mendefinisikan
perjanjian internasional sebagai:
G
““Treaty” means an international agreement concluded between states in written
form and governed by international law, whatever embodied in a single instrument or
IN

in two or more related instruments and whatever its particular designation,…”


AD

84 David R. Sotomonte, “The UN Convention on Contracts for the International Sale of Goods &
International Commercial Arbitration”, Revist@ e-mercatoria, 1(2), 2002.
85 Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa sumber hukum terdiri atas sumber hukum materil
dan sumber hukum formil. Dalam arti materil, sumber hukum mempersoalkan apa penyebab
hukum mengikat atau dasar berlakunya hukum. Dalam konteks hukum internasional, sumber
RE

hukum materil menyelidiki masalah apa yang pada hakikatnya menjadi dasar kekuatan mengikat
hukum internasional. Sumber hukum materil merupakan soal ekstra yuridis, yakni pada hakikatnya
merupakan persoalan falsafah. Sedangkan, dalam arti formil, sumber hukum diartikan sebagai
yang memberikan jawaban kepada pertanyaan di mana kita mendapatkan ketentuan hukum
yang dapat diterapkan sebagai suatu kaidah dalam satu persoalan yang konkret. Lihat dalam
Mochar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni,
2003, hlm. 113–114.
86 Dalam hukum internasional, perjanjian internasional mempunyai sebutan yang beragam, mulai
dari Treaty, Convention, International Agreement, Pact, General Act, Charter, Statute, Declaration,
dan Convenant.
87 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni, 2000, hlm. 2.

28 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Meskipun Indonesia tidak meratifikasi VCLT, Undang-Undang No. 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional88 mendefinisikan perjanjian
internasional yang cenderung identik dengan bunyi ketentuan Pasal 2 ayat (1)
VCLT. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 mengadopsi definisi perjanjian
internasional dalam Konvensi Wina tahun 1969 dengan sedikit modifikasi,
yaitu:
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang
diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak
dan kewajiban di bidang hukum publik.”89
Dari definisi tersebut, terdapat beberapa kriteria dasar atau parameter yang
harus dipenuhi oleh suatu dokumen perjanjian untuk dapat di­tetapkan sebagai
suatu perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969 dan Undang-

PY
Undang No. 24 Tahun 2000, yaitu:
a. Perjanjian tersebut harus berkarakter internasional (an international agreement).
b. Perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi inter­nasional
CO
(by subject of international law).
c. Perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional (governed by
international law).90
Secara umum, perjanjian internasional terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu
G
perjanjian multilateral, regional, dan bilateral. Perjanjian internasional mengatur
berbagai aspek hubungan antarnegara, mulai dari hubungan diplomatik, konsuler,
IN

pembentukan organisasi internasional, hingga per­janjian yang mengatur transaksi


bisnis transnasional. Dari muatan yang terkandung di dalamnya, perjanjian
internasional di bidang perdagangan pada umumnya memuat hal-hal seperti:
AD

(1) Liberalisasi Perdagangan, (2) Integrasi Ekonomi, (3) Harmonisasi Hukum,


(4) Unifikasi Hukum, dan (5) Model Hukum dan Legal Guide.91
Suatu perjanjian transaksi bisnis transnasional mengikat berdasarkan
kesepakatan para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu, sebagaimana
RE

halnya perjanjian internasional pada umumnya, perjanjian internasional


di bidang transaksi bisnis transnasional dan perdagangan internasional
hanya akan mengikat suatu negara apabila negara tersebut sepakat untuk
menandatangani atau meratifikasinya dan kemudian menjadi bagian dari

88 Indonesia tidak meratifikasi VCLT 1969, tetapi norma yang terkandung dalam VCLT merupakan
derivasi dari hukum kebiasaan internasional (Customary International Law).
89 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
90 Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia,
Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 19–20.
91 Ibid., hlm. 80–82.

Bab III - Sumber Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 29


hukum nasional negara tersebut.92 Sebagai sumber hukum internasional,
perjanjian internasional dalam realitanya tidak hanya mengatur hubungan
hukum publik semata. Hukum internasional juga mengacu pada aturan dan
norma transnasional yang dikembangkan secara historis untuk mengatur
tiga hubungan utama, yaitu: (1) hubungan antara dua negara, (2) hubungan
antara negara dan individu, dan (3) hubungan antara sesama non-state actors.
Perjanjian internasional sebagai sumber hukum transaksi bisnis transnasional
dalam buku ini khusunya berkaitan dengan perjanjian-perjanjian internasional
yang mengatur kegiatan transaksi bisnis transnasional.
Roy Goode mengategorikan sumber hukum ini ke dalam dua kategori.
Pertama, perjanjian Internasional yang secara hukum mempunyai kekuatan
mengikat (instrument intended to become legally binding). Kedua, instrumen-

PY
instrumen hukum yang bersifat fakultatif (facultative instrument). Bentuk
kedua dari kategori sumber hukum ini sering disebut sebagai Soft Law atau
Model Law. Instrumen hukum tersebut tidak mengikat secara hukum, sehingga
tidak membutuhkan ratifikasi. Meskipun tidak mempunyai kekuatan hukum
CO
mengikat, sumber hukum ini telah banyak diadopsi oleh beberapa negara
guna melakukan pembaharuan hukum domestiknya. Contoh dari instrumen
tersebut adalah UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration
(1985).
Berikut ini adalah beberapa perjanjian internasional yang menjadi sumber
G
hukum transaksi bisnis transnasional.
IN

1. The Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980


CISG merupakan perjanjian internasional yang mengatur tentang jual beli
barang internasional. Franco Ferrari, pakar hukum kontrak internasional,
AD

menyatakan CISG sebagai “the greatest legislative achievement aimed at


harmonizing private commercial law”. Terdapat beberapa pertimbangan
mengapa CISG dinobatkan sebagai perjanjian internasional tersukses yang
RE

bertujuan untuk mengharmonisasi hukum bisnis transnasional. Pertama,


karena CISG dapat diterima oleh beberapa negara di dunia dan telah diakui
sebagai best practice oleh para lawyer. Perjanjian ini mulai berlaku pada 1

92 Ibid., hlm. 78. Profesor Huala Adolf selanjutya menyatakan bahwa selain dengan menandatangani
dan meratifikasi, terdapat cara lainnya bagi suatu negara untuk terikat kepada suatu perjanjian
internasional, yaitu melalui penundukan secara diam-diam. Biasanya, penundukan diri secara
diam-diam dilakukan antara lain karena negara tersebut tidak ingin secara tegas terikat terhadap
suatu perjanjian internasional (misalnya, RI yang tidak meratifikasi VCLT, tetapi Undang-Undang
No. 24 Tahun 2000 sebagian besar muatannya sama dengan Konvensi Wina tersebut). Akan
tetapi, penundukan secara diam-diam tidak akan berlaku apabila perjanjian internasional tersebut
secara tegas mensyaratkan demikian.

30 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Januari 1988. CISG berupaya menjembatani kesenjangan antara sistem-sistem
hukum yang berbeda di dunia, terutama antara civil law (sub-tradisi Prancis
dan Jerman) dan common law (sub-tradisi Inggris dan Amerika), yaitu dengan
cara menyeragamkan hukum yang berlaku bagi jual beli barang internasional
(pembukaan CISG).93
CISG memuat 101 pasal yang terbagi atas empat bagian utama, yaitu sebagai
berikut.
a. Bagian I mengatur tentang ruang lingkup (Pasal 1–6) dan ketentuan umum
(Pasal 7–13).
b. Bagian II mengatur tentang aturan-aturan tentang pembentukan kontrak
jual beli barang internasional (Pasal 14–24).
c. Bagian III mengenai hak dan kewajiban penjual juga pembeli yang terbit

PY
dari kontrak.
d. Bagian IV mengatur tentang ketentuan penutup.
Indonesia sampai saat ini belum menjadi peserta CISG. Ratifikasi CISG
dirasakan dapat memberikan beberapa keuntungan, antara lain sebagai berikut.
CO
a. Banyak norma dan standar CISG yang belum terintegrasikan ke dalam
hukum Indonesia, padahal CISG secara de facto sudah menjadi “hukum
dagang internasional”. Indonesia belum memiliki hukum nasional tentang
kontrak dagang internasional; hukum jual beli yang termuat dalam
G
KUHPerdata belum siap menghadapi problem-problem berkaitan dengan
perdagangan internasional yang begitu kompleks.
IN

b. Ditinjau dari keluasan dan kedalaman substansi yang diatur di dalam CISG
mengenai kontrak jual beli barang internasional, maka ratifikasi atau aksesi
Indonesia pada CISG dapat berdampak positif, khususnya sebagai sumber
AD

asas-asas hukum kontrak jual beli barang internasional.


c. CISG dapat berfungsi sebagai sumber asas-asas hukum kontrak jual beli
barang internasional. CISG telah disusun dengan mendasarkan pada best
practices dalam transaksi-transaksi per­dagangan internasional, sehingga
RE

aksesi Indonesia pada CISG akan sangat berguna sebagai langkah


modernisasi hukum perjanjian Indonesia.
d. CISG bersifat fleksibel karena merupakan hasil kompromi akbar dari asas-
asas yang terkenal dalam tradisi-taradisi hukum terkenal di dunia.

93 Hikmahanto Juwana, Naskah Akademik tentang Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Kontrak Jual Beli
Barang Internasional (United Nations Convention on Contracts for International Sales of Goods),
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2013, hlm.
5-6

Bab III - Sumber Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 31


e. Aksesi Indonesia pada CISG juga diharapkan akan berdampak positif
untuk harmonisasi hukum kontrak jual beli regional di ASEAN.94

2. The Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign


Arbitral Award (Konvensi New York 1958)
Perjanjian internasional ini merupakan perjanjian internasional yang paling
penting, khususnya dalam hukum arbitrase komersial. Konvensi ini bertujuan
untuk menyederhanakan masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan-putusan
arbitrase asing. New York Convention telah diratifikasi oleh Indonesia melalui
Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981, tepatnya 22 tahun setelah perjanjian
internasional ini berlaku (entered into force). New York Convention terdiri atas
16 pasal, antara lain sebagai berikut.95

PY
a. Pasal 1: ruang lingkup berlakunya konvensi.
b. Pasal 2: keharusan suatu perjanjian abitrase (arbitration clause) dalam bentuk
tertulis.
c. Pasal 3: kekuatan mengikat putusan arbitrase asing.
CO
d. Pasal 4: syarat untuk mendapatkan pengakuan dan pelaksanaan.
e. Pasal 5: prosedur penolakan terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase.
f. Pasal 6: penundaan putusan.
g. Pasal 7: status konvensi terhadap perjanjian arbitrase lainnya.
G
h. Pasal 8–16: ketentuan penutup.
IN

3. The Cape Town Convention on International Interests in Mobile


Equipment 2001
Cape Town Convention merupakan perjanjian internasional yang mengatur
AD

tentang transaksi pendanaan untuk benda bergerak seperti pesawat terbang.


Secara umum, tujuan Cape Town Convention adalah untuk memudahkan
pendanaan dan mengeluarkan kerangka pendanaan yang efisien untuk benda-
RE

benda bergerak. Konvensi ini dipelopori oleh UNIDROIT yang merupakan


organisasi inter­nasional yang bertujuan untuk mengharmonisasi hukum perdata
internasional. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Keputusan
Pemerintah No. 8 Tahun 2007.96

94 Ibid., hlm. 64–65.


95 Huala Adolf, Dasar-Dasar, Prinsip & Filosofi Arbitrase, Bandung: Keni Media, 2014, hlm. 106–115.
96 Prita Amalia et al., “The Development of Private International Law: A New Concept of Mobile
Equipment under the Cape Town 2001”, Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues, Volume
22, Issue 4, 2019.

32 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Terdapat pula beberapa perjanjian internasional multilateral lainnya yang
menjadi sumber hukum bisnis transnasional, antara lain the United Nations
Convention on International Bills of Exchange and International Promissory
Notes (CIBN) dan Conventions on International Lease Financing and International
Factoring (CILF). Selain perjanjian internasional multilateral, terdapat juga
perjanjian-perjanjian internasional yang bersifat regional dan bilateral. Dalam
sejarah perkembangannya, perjanjian internasional regional dan bilateral mulai
digunakan oleh negara-negara dalam mengatur kegiatan transaksi bisnis
transnasional. Pembentukan perjanjian internasional regional dan bilateral
bertujuan untuk menghapus hambatan-hambatan dalam transaksi bisnis
transnasional. Versi awal perjanjian internasional dalam bentuk ini mulai
berkembang di abad ke-18. Kemudian, di abad ke-19, pembentukan terus

PY
berkembang dan lebih tersistematis.
Dilip K. Das menyatakan bahwa perjanjian internasional regional dan
bilateral yang mengatur hubungan transaksi bisnis97 telah berkembang sejak
abad ke-16, yaitu ketika proposal penyatuan antara Inggris dan Skotlandia
CO
dibuat pada tahun 1547–1548. Selain itu, di Prancis, pem­bentukan Customs
Union di antara provinsi-provinsi dibentuk berdasarkan “Revoluntary
Government” pada tahun 1789–1790. Di Jerman, Zollverein dibentuk pada
tahun 1833–1834. Begitu juga halnya di Swiss, pada tahun 1860–1866,
Konfederasi Swiss dan Italia membentuk Custom Union yang kemudian
G
disusul oleh beberapa negara Eropa lainnya, seperti Custom Union antara
Norwegia dan Swedia (1874–1875), juga antara negara-negara Benelux (Belgia,
IN

Luxembourg, dan Belanda) pada tahun 1944. Dalam perkembangan selanjutnya,


Treaty of Rome (1957) yang membentuk EEC merupakan pelopor pembentukan
perjanjian internasional regional dalam periode kontemporer.
AD

D. Aturan-Aturan yang Dikeluarkan oleh Organisasi


Internasional
RE

Salah satu organisasi internasional yang mempunyai peran penting dalam


pembentukan aturan-aturan hukum transaksi bisnis transnasional adalah
International Chamber of Commerce (ICC). Organisasi ini didirikan pada tahun
1919 dan bermarkas besar di Paris. ICC bertujuan untuk mempromosikan

97 Dilip K. Das menggunakan istilah RIA (Regional Integration Agreement) sebagai padanan kata
PTAs:
“RIA basically and traditionally implies discriminatory trade liberalization. Two or more economies,
under an RIA, can decide to lower trade barriers against one another vis-à-vis the rest of the
global economy. This could be variously described as preferential trade agreement, or reciprocal
preferential arrangement, or discriminatory trading arrangement”.

Bab III - Sumber Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 33


perdagangan internasional dan penanaman modal internasional sebagai
sarana untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi global. Organisasi ini juga
bertujuan untuk mendukung penyelesaian sengketa komersial melalui advokasi
kebijakan dan merumuskan aturan-aturan juga pedoman dalam kegiatan
bisnis. ICC telah berhasil merumuskan beberapa aturan terkait kegiatan bisnis
transnasional, antara lain Uniform Customs and Practice for Documentary
Credits (UCP 600) dan International Commercial Terms (Incoterms).

E. Prinsip-Prinsip Hukum Umum


Selain perjanjian internasional, sumber hukum internasional lainnya yang
menjadi sumber hukum transaksi bisnis transnasional adalah prinsip atau
asas hukum umum. Asas hukum umum adalah asas yang mendasari hukum

PY
modern. Prinsip hukum umum misalnya pacta sunt servanda, bona fides
(iktikad baik), rebus sic stantibus, dan adimplenti non est adiplendum yang
dikenal dalam hukum perjanjian.98

CO
G
IN
AD
RE

98 Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., hlm. 148–149.

34 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


BAB IV

PY
SUBJEK HUKUM DALAM TRANSAKSI BISNIS
TRANSNASIONAL
CO
A. Subjek Hukum dalam Transaksi Bisnis Transnasional
G
Transaksi bisnis transnasional memberikan pengaruh ataupun dilakukan oleh
setiap orang dewasa ini. Berbagai produk yang digunakan oleh masyarakat
IN

saat ini tidak terlepas dari adanya transaksi bisnis transnasional yang terkadang
tanpa adanya suatu hubungan langsung antarinvididu, tetapi dilakukan oleh
beberapa perusahaan sebagai subjek hukum dalam transaksi bisnis trans-
AD

nasional. Misalnya saja, jual beli barang elektronik dari suatu brand terkenal
di luar negeri. Untuk sampai ke Indonesia, perusahaan yang memproduksi
barang tersebut bekerja sama dengan perusahaan lain yang berperan sebagai
distributor.
RE

Selain itu, dalam pengembangan bisnis, perusahaan tersebut juga me­


mungkinkan untuk mendapatkan dukungan dari suatu perusahaan pembiayaan
atau perbankan yang sangat penting dalam pengembangan bisnisnya. Dalam
hal memasarkan produk, suatu perusahaan bekerja sama tidak hanya dengan
satu perusahaan distributor atau mitra, tetapi dimungkinkan bekerja sama
dengan beberapa perusahaan dengan jangkauan wilayah tertentu di dunia.
Siklus inilah yang secara standar ditempuh oleh suatu perusahaan untuk
melakukan aktivitasnya secara lintas batas sampai produk yang dihasilkan
dapat dipasarkan dan selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan
masyarakat di beberapa negara.99 Namun, tentu saja berbagai aktivitas tersebut
tidak terlepas dari kedudukan perusahaan tersebut sebagai warga negara suatu
negara yang juga memiliki keterikatan terhadap perjanjian internasional yang
dibuat oleh negaranya, baik dengan negara lain maupun kedudukannya sebagai
anggota dari suatu organisasi internasional. Dengan demikian, dalam membuat
berbagai kesepakatan dengan mitra perusahaan perlu untuk memperhatikan
hal-hal yang harus diperhatikan dalam kedudukannya sebagai perusahaan ketika
akan melakukan kerja sama atau melakukan aktivitas lintas batas negara.
Ilustrasi tersebut sangat menggambarkan bagaimana aktivitas transaksi bisnis
transnasional saat ini yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Hal tersebut pun merupakan ruang lingkup dari transaksi bisnis transnasional
dengan peran salah satu subjek hukum yang cukup penting selain negara,

PY
yaitu peran subjek hukum transnasional.100 Aktivitas negara dalam melakukan
perundingan-perundingan inter­ nasional telah menghasilkan berbagai per­
janjian internasional yang jumlahnya semakin banyak, khususnya perjanjian
internasional yang berkaitan dengan aktivitas perdagangan dan ekonomi
CO
internasional. Negara sebagai subjek hukum yang sebenarnya menurut paham
klasik101 memiliki peran yang sangat besar dalam membuat berbagai perjanjian

99 Ruang lingkup hukum transaksi bisnis transnasional dan juga peran dari subjek hukum transaksi
bisnis transnasional ini terilhami dari salah satu paragraf dalam bab yang berjudul “The Actors:
G
The Nations and Institutions of International Business” dari buku karya Ralph H. Folsom et al.,
International Business Transaction: A Problem Oriented Coursebook, Saint Paul: West Academic
IN

Publishing, 2015, hlm. 11.


100 Istilah transnasional merupakan istilah yang digunakan khususnya terhadap peristiwa-peristiwa
hukum yang melintasi batas negara. Dalam salah satu buku yang juga merupakan disertasi
AD

Sunaryati Hartono, di bawah bimbingan Mochtar Kusumaatmadja, terdapat salah satu bagian
menarik mengenai perdebatan penggunaan istilah transnasional dan internasional terhadap suatu
permasalahan hukum yang dibahas, yaitu berkaitan dengan penanaman modal. Penanaman
modal merupakan salah satu bidang hukum yang memiliki karakteristik peristiwa hukum yang
melintasi batas-batas negara sehingga memiliki karakteristik “transnasional”. Namun demikian,
RE

dalam diskusi yang terjadi, Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa pendekatan yang
diberikan oleh Phillip Jessup mengenai transnasional terhadap suatu permasalahan tidak hanya
hukum internasional tetapi juga hukum nasional, serta tidak ada pembedaan antara hukum publik
dan privat. Namun, Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa untuk beberapa kondisi, tetap
perlu dibedakan untuk hukum internasional. Dengan demikian, dengan diskusi tersebut, berkaitan
dengan subjek hukum internasional merupakan subjek hukum transnasional, yang mungkin dalam
beberapa aspek memungkinkan adanya peran dari lebih satu subjek hukum khususnya dalam
permasalahan-permasalahan lintas batas negara. Lihat Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah
Transnasional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1972.
101 Lihat Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni,
hlm. 95–98. Negara merupakan subjek hukum internasional yang terutaman, negara dewasa ini
tidak merupakan satu-satunya subjek hukum internasional. Subjek hukum dalam pengertian hukum

36 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


internasional yang selanjutnya diimplementasikan oleh subjek hukum lain, yang
dalam hal ini adalah individu dan badan hukum. Badan hukum di sini adalah
perusahaan, yang dalam konteks hukum transaksi bisnis transnasional juga
dikenal perusahaan transnasional atau juga dikenal perusahaan multinasional.
Perbedaan pandangan ini juga yang melatarbelakangi penulisan perusahaan
transnasional selalu disandingkan dengan perusahaan multinasional atau yang
dikenal dengan TNC/MNC.102
Dalam berbagai literatur hukum internasional, masih sangat jarang perusahaan
transnasional diakui atau disebut sebagai subjek hukum internasional. Perdebatan
dan perbedaan pendapat terjadi, apakah perusahaan transnasional merupakan
subjek hukum internasional atau merupakan objek dalam hukum internasional.
Namun demikian, dalam hukum ekonomi internasional yang merupakan cabang

PY
dari hukum internasional,103 beberapa literatur telah mempertimbangkan
untuk mengakui perusahaan transnasional sebagai subjek hukum ekonomi
internasional.

CO
internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Jika
ingin subjek hukum internasional demikian dapat disebut sebagai subjek hukum internasional
penuh. Negara merupakan subjek hukum internasional dalam arti ini. Negara adalah subjek hukum
internasional dalam arti yang klasik dan telah demikian sejak lahirnya hukum internasional. Dalam
kebanyakan buku hukum internasional, beberapa subjek hukum selain negara yang diberikan
G
penjelasan di antaranya Individu, Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, organisasi
internasional, pemberontak, dan pihak dalam sengketa. Walaupun individu dimasukkan sebagai
IN

subjek hukum internasional, tetapi masih terdapat perdebatan untuk memasukkan perusahaan
transnasional sebagai subjek hukum internasional.
102 Istilah yang digunakan untuk perusahaan transnasional masih beragam, tidak hanya perdebatan
mengenai transnasional atau multinasional saja. Beberapa sarjana juga meng­gunakan istilah yang
AD

beragam, di antaranya Berthold Goldman menggunakan istilah international companies, Robbins


dan Stobaugh menggunakan istilah multinational enterprises, Francois Rigaux menggunakan istilah
transnational group of corporations, sedangkan Paul H. Backer dan Peter Fischer menggunakan
istilah transnational enterprises. Lihat Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar,
RE

Bandung: Keni Media, 2010, hlm. 64.


103 Hukum ekonomi internasional merupakan cabang dari hukum internasional publik sesuai dengan
definisi hukum ekonomi internasional yang diberikan oleh Schwarzenberger, yaitu: “the branch
of international public law which is concerned with the ownership and exploitation of national
resources, production and distribution of goods, invisible international transactions of an
economic and financial character, currency, and finance, related services and organization of
the entities in such activities”. Selain Schwarzenberger, Louis Henkin juga memberikan definisi
serupa, yaitu: “all the international law and international agreements governing economic
transactions that cross states boundaries or otherwise have implications for more than one state
such as those involving movements of goods, funds, persons, intangibles, technology, vessel or
aircraft”. Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Op.Cit., hlm. 8.

Bab IV - Subjek Hukum dalam Transaksi Bisnis Transnasional 37


Salah satunya buku Hukum Ekonomi Internasional yang ditulis Huala Adolf.
Buku ini membahas mengenai perusahaan transnasional sebagai subjek
hukum ekonomi internasional dengan beberapa pertimbangan dan dasar
hukum, khususnya yang dikeluarkan oleh organisasi internasional. Beberapa
alasan yang digunakan adalah bahwa seharusnya perusahaan transnasional
ini dapat digolongkan ke dalam individu dengan arti juridical person. Lebih
lanjut, hal ini juga sesuai dengan definisi perusahaan yang disampaikan oleh
Hans Kelsen104, bahwa perusahaan adalah kumpulan individu yang memiliki
hak dan kewajiban yang berbeda. Selanjutnya, Huala Adolf juga menyatakan
bahwa perusahaan transnasional harus diberikan kedudukan tersendiri dibanding
individu atau badan hukum, karena perusahaan transnasional dianggap memiliki
personalitas yang lebih tinggi dibanding individu.105

PY
Berbeda dengan Huala Adolf, Fleur John melalui artikelnya yang berjudul
Invisibility of Transnational Corporation, yang selalu menjadi rujukan
Penulis dalam membahas perusahaan transnasional di berbagai kesempatan,
memberikan lebih dari satu peran dan kedudukan bagi perusahaan transnasional
CO
selain sebagai subjek hukum. Perusahaan transnasional juga berkedudukan
sebagai objek hukum dan juga sebagai peninjau dalam berbagai kebijakan atau
kegiatan yang dilakukan oleh organ-organ dalam organisasi internasional.106
Salah satunya karena terdapat beberapa peraturan yang dihasilkan oleh
organisasi internasional tersebut yang mengatur atau bersinggungan dengan
G
aktivitas perusahaan trans­nasional. Bahkan, dalam perkembangannya, perusahaan
transnasional juga memiliki kesempatan untuk hadir dalam berbagai perundingan
IN

dengan negara-negara. Namun, kemampuan perusahaan transnasional untuk


hadir dalam perundingan dengan beberapa negara ini menurut Francois Rigaux
tidak memberikan kedudukan perusahaan transnasional sebagai subjek hukum.107
AD

Dengan semakin berkembangnya transaksi bisnis transnasional, peran


perusahaan transnasional menjadi semakin penting. Bahkan, karena semakin

104 Lihat Huala Adolf, Op.Cit., hlm. 62. Dalam memberikan batasan mengenai perusahaan
RE

transnasional, Louis Henkin memberikan definisi perusahaan transnasional sebagai: “a group


of individuals treated by law as unity, namely as a person having rights and duties distinct from
those individuals composing it”.
105 Ibid., hlm. 63. Perusahaan transnasional memiliki personalitas yang lebih tinggi tingkatnya dari
sekedar individu. Oleh karena itu, perlakuan (hukum) terhadapnya perlu dibedakan dalam
mengkaji subjek hukum ekonomi internasional ini.
106 Fleur Johns, “The Invisibility of the Transnational Corporations: An Analysis of International Law
and Legal Theory”, Melbourne University Law Review, 1994, hlm. 893.
107 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Op.Cit., hlm. 63. Francois Rigaux adalah salah satu
sarjana yang secara tegas menyatakan bahwa perusahaan transnasional ini bukan merupakan
subjek hukum internasional, berdasarkan pendapat: “it must be emphasized that transnational
corporations are neither subjects nor quasi subjects of international law”.

38 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


aktifnya perusahaan transnasional yang memberikan dampak, Hukum Transaksi
Bisnis Transnasional pun semakin berkembang dan semakin diperlukan untuk
diketahui dalam praktik. Sebagai bagian dari buku Transaksi Bisnis Transnasional,
bab ini akan membahas kedudukan perusahaan transnasional sebagai subjek
hukum transaksi bisnis trans­nasional dengan mulai membahas pengertian dan
batasan perusahaan transnasional, untuk selanjutnya membahas perusahaan
transnasional di Indonesia dan juga pengaturannya dalam hukum nasional.

B. Kedudukan Perusahaan Transnasional sebagai Subjek


Hukum Transaksi Bisnis Transnasional
Aktivitas bisnis transnasional semakin luas dan hal ini tidak terlepas dari peran
perusahaan yang melakukan kegiatan perdagangan dan investasi di beberapa

PY
negara, sehingga dikenal dengan istilah “multinational” atau “transnational”.
Istilah multinasional sampai saat ini belum ada definisi yang jelas. Salah satu
definisinya adalah perusahaan yang berada di suatu negara tetapi memiliki
cabang, subsidiaries, ataupun afiliasinya di negara lain. Namun demikian,
CO
terdapat juga penjelasan lain mengenai multinational, yaitu harus adanya
kontrol dari lembaga atau perusahaan bisnis yang masuk dalam kategori
foreign business. Dengan demikian, terhadap perusahaan yang berada di suatu
negara saja tanpa adanya kontrol dari pihak lain, tetapi dia mendistribusikan
G
barangnya ke luar negeri, yang demikian tidak dapat dikatakan sebagai
perusahaan multinasional. Batasan lainnya yang dapat digunakan adalah
IN

mengenai kewarga­negaraan dari pemilik perusahaan. Ketika suatu perusahaan


ada di suatu negara tetapi sahamnya dimiliki oleh individu asing dalam jumlah
mayoritas, maka terhadap perusahaan yang demikian sangat mudah untuk
AD

dikatakan sebagai perusahaan multinasional.108


Beragamnya penggunaan istilah mengenai perusahaan yang memiliki
aktivitas batas negara ini membuat istilah tersebut belum ada yang baku.
Untuk tujuan penulisan bab ini mengenai subjek hukum dalam transaksi
RE

bisnis transnasional, maka selanjutnya Penulis akan menggunakan perusahaan


transnasional. Penulis setuju dengan beberapa pendapat bahwa kata multi­
nasional membuat seolah-olah perusahaan ini memiliki status nasionalitas di
beberapa negara, sedangkan transnasional menunjukkan aktivitas perusahaan
yang lintas negara dan juga berada di beberapa negara. Selain itu, istilah
perusahaan transnasional atau transnational corporations juga merupakan istilah
yang digunakan oleh PBB, tepatnya salah satu Komisi PBB mengenai perusahaan
transnasional (United Nations Commission on Transnational Corporations).

108 Ralph H. Folsom, et al., International Business Transaction: A Problem Oriented Coursebook, Op.Cit.,
hlm. 12.

Bab IV - Subjek Hukum dalam Transaksi Bisnis Transnasional 39


UNCITRAL (United Nations Commision on International Trade Law) juga
memberikan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan perusahaan trans­
nasional atau multinasional sebagai perusahaan yang melakukan kegiatan-
kegiatan komersial dan ekonomi lainnya untuk negara-negara lain melalui
perusahaan cabangnya di negara tersebut.109 Berikut adalah rumusan pengertian
yang diberikan UNCITRAL.
“The term multinational enterprise is used in a broad sense and includes enter­prises
which through branches, subsidiaries or affiliates or other establishments engage in a
substantial commercial or other economic activities in states (host states) other than the
state or states in which decision making and/or control is centered (the home state).”
Berbeda dengan UNCITRAL, istilah yang digunakan dalam Draft Code
of Conduct on Transnational Corporations sudah sangat jelas dan tegas

PY
menggunakan istilah transnational corporations atau perusahaan trans­
nasional, yaitu sebagai perusahaan yang ada di dua atau lebih negara yang
menjalankan aktivitasnya di bawah pembuat keputusan dan antara satu dengan
CO
yang lainnya berpotensi memberikan pengaruh terhadap aktivitas yang lain,
khususnya berbagi pengetahuan, sumber daya, dan tanggung jawab.110
“The term transnational corporation means an enterprise, conprising entities in two
or more countries, regardless of the legal form and fields of activity of there entities,
which operates under a system a decision making, permitting coherent polities and a
G
common strategy through one or more decision making countries, in which the entities
are so linked, by ownership or otherwise, that one or more of them may be able to
IN

exercise a significant influence over the activities of others, and in particular to share
knowledge, resources, and responsibilities with the others.”
AD

Walaupun perusahaan transnasional tidak diakui sebagai subjek hukum


internasional, tetapi perusahaan transnasional juga menyandang status the
most powerful agent for the internationalization of human society ataupun juga
dengan berbagai aktivitas yang telah dilakukannya sebagai worldwide power
RE

and influence.111 Barcelona Traction, Light and Power Case merupakan salah
satu kasus yang dapat digunakan untuk menunjukkan sejauh mana kedudukan
perusahaan transnasional. Dalam kasus ini, perusahaan transnasional dianggap

109 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Op.Cit., hlm. 66.


110 Ibid.
111 Perusahaan transnasional bukan merupakan suatu fenomena baru, apalagi di dunia politik.
Namun, beberapa dekade terakhir perannya menjadi semakin penting dan luas secara global.
Perusahaan transnasional diperhitungkan sebagai salah satu subjek hukum bukan negara di
dunia politik internasional. Dengan demikian, keberadaannya sangat penting, tidak hanya
secara ekonomi tetapi juga secara politis. Lihat Anders Uhlin, Transnational Corporations as
Global Political Actors: A Literature Review, California: Sage Publications, 1988, hlm. 231.

40 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


sebagai individu suatu negara yang mendapatkan diplomatic protection dari
negaranya dan juga menimbulkan adanya tanggung jawab negara terhadap
perbuatan hukum yang dilakukan oleh perusahaan transnasional di negara
lain, khususnya apabila melanggar hukum internasional. Dalam kasus Barcelona
Traction, Mahkamah Internasional menolak oleh karena tidak adanya hubungan
yang jelas antara perusahaan transnasional dan negara tempat pendirian
perusahaan tersebut. Mahkamah berpendapat, kemungkinan hubungan antara
perusahaan transnasional dan negara tempat didirikan usaha akan menjadi
suatu kelemahan dan fakta menjadi suatu halangan terhadap penerapan hak
untuk melakukan perlindungan diplomatik oleh negara tempat didirikannya
perusahaan tersebut.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa negara tempat didirikannya

PY
perusahaan dan kewarganegaraan dari pemiliki modal adalah sama-sama
tidak memiliki kapasitas untuk melaksanakan kewenangannya berdasarkan
hukum internasional. Hal inilah yang terkadang menjadi alasan dan dorongan
bagi perusahaan transnasional untuk membuat suatu peraturan yang bersifat
CO
global. Memberikan suatu kebebasan yang global terhadap perusahaan trans­
nasional akan membuat suatu negara menjadi tidak mau dan tidak mampu
untuk melaksanakan kontrolnya terhadap perusahaan transnasional. Dengan
alasan dan kondisi tersebut, maka perusahaan transnasional dianggap sebagai
warga dari suatu negara secara terbatas, baik secara praktik maupun teori.112
G
Lebih lanjut, Fleur John juga berpendapat bahwa perusahaan trans­
nasional itu tidak lebih dari suatu objek hukum, bukan subjek hukum. Hal ini
IN

ditunjukkan dari berbagai peraturan yang dibuat oleh organisasi internasional,


apakah berbentuk codes, resolusi, deklarasi, rekomendasi, prinsip, report,
piagam, dan bentuk lainnya mengenai aktivitas perusahaan transnasional. Salah
AD

satunya adalah ECOSOC yang membuat usaha dalam membuat ketentuan


internasional, yaitu membuat Commision on Trans­­ national Corporations
(CTC) 1974 dan UNCTNC sebagai sekertariat dari komisi. Komisi memiliki
RE

tugas untuk mengembangkan beberapa ketentuan dan rekomendasi yang


akan diwakili oleh beberapa pemerintah dan perusahaan transnasional untuk
dilaksanakan oleh ECOSOC.
Pada tahun 1978, draf code of conduct pertama dikeluarkan dan draf
penggantinya dikeluarkan pada tahun 1983, 1988, dan 1990. Kesepakatan
mengenai final code tidak pernah tercapai dan upaya untuk membuat ketentuan
yang baru dan bersifat global mengenai perusahaan transnasional terhenti. Upaya
yang baru dimulai pada sidang ke-18 dari CTC pada April 1992 adalah untuk
mengembangkan prinsip etika dalam bentuk panduan secara internasional.

112 Fleur John, Op.Cit., hlm. 894.

Bab IV - Subjek Hukum dalam Transaksi Bisnis Transnasional 41


Namun demikian, terdapat dua faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan
upaya ini untuk mengatur aktivitas perusahaan transnasional. Salah satunya
berkaitan dengan kekuatan mengikat dari produk-produk hukum tersebut yang
merupakan soft law sehingga tidak memiliki daya mengikat, khususnya untuk
mengatur aktivitas perusahaan transnasional. Kurang mengikatnya dan mengikat
secara sukarela dari dokumen organisasi internasional ini telah menghalangi
keberhasilan dan kepentingan ketentuan ini. Secara lebih lanjut, tanggung jawab
dalam bernegosiasi dan mengimplementasikan dari dokumen ini dipengaruhi
dan dilakukan oleh subjek hukum inter­nasional klasik, yaitu negara.
Beberapa organisasi internasional yang terlibat dalam membuat peraturan
internasional dengan objek pengaturan perusahaan trans­nasional, di antaranya
The OECD Code, ILO Code, RBP Code, dan UN Code.113

PY
1. The OECD Code
Pada 21 Juli 1976, pemerintah dari beberapa negara anggota OECD
mendeklarasikan “Guidelines for Multinational Enterprises” dan tiga keputusan
CO
lainnya yang dikeluarkan oleh OECD Council, di antaranya berkaitan dengan
Decision on Inter-governmental Consultative Procedure in the Guidelines for
Multinational Enterprises. Panduan ini berisi hal-hal umum dan tidak terbatas
pada aktivitas multinational enterprises. Pada 13 Juli 1979, mereka melakukan
revisi untuk pertama kalinya, khususnya mengenai prosedur konsultasi.
G
2. The ILO Code
IN

Pada 16 November 1977, Governing Body dari International Labor Organization


di Geneva menyampaikan “Tripartite Declaration of Principles Concerning
Multinational Enterprises and Social Policy”. Dokumen ini merupakan hasil
AD

kolaborasi pemerintah, organisasi tenaga kerja, dan kelompok pegawai. Pada


bagian pengantar dari edisi pertama, Director General dari ILO menyatakan
bahwa panduan ini harus dapat memberikan kontribusi yang positif, yang
RE

mana MNE dapat melakukan percepatan ekonomi dan sosial, juga mengurangi
dan menyelesaikan segala permasalahan yang ada.

113 Pieter Sanders, “Implementing International Codes of Conduct for Multinational Enterprises”,
American Journal Comparative Law, 1982, hlm. 241–242. Berbagai tulisan mengenai perusahaan
transnasional sebagai subjek hukum sudah sering dilakukan sebagai salah satu fenomena yang
berkembang secara global. Pada tahun 1970, tidak hanya tulisan dalam bentuk artikel, buku,
perjanjian internasional, atau yang lainnya, tetapi penyusunan codes of conduct yang berlaku
bagi perusahaan transnasional menjadi sesuatu hal yang banyak dilakukan. Lihat Seymour
J. Rubin, “Transnational Corporations and International Codes of Conduct: A Study of the
Relationship between International Legal Cooperation and Economic Development”, Am. UL
Rev, 1981, hlm. 903.

42 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


3. The RBP Code
Pada tanggal 22 April 1980, di bawah UNCTAD (United Nation Commission
on Trade and Development), dibuatlah suatu code yang diberi judul “Set of
Principles and Rules for the Control of Restrictive Business Practices” dan juga
mengharapkan adanya adopsi dari Majelis Umum PBB. Ketentuan mengenai
perusahaan transnasional diatur dalam Sec. D dengan judul Principles and
Rules for Enterprises, Including Transnational Corporations.

4. The UN Code
Penyusunan UN Code telah dilakukan sejak tahun 1977. Sama halnya
dengan OECD Code, UN Code memiliki ruang lingkup yang umum. Dalam
mengimplementasikannya, Working Group akan melakukan laporan secara

PY
berkala dan juga progres mengenai komisi ini. Selanjutnya, Komisi TNC
akan melakukan laporan kepada ECOSOC. Namun demikian, berkaitan
dengan implementasinya, perlu dilakukan kontrol sejauh mana perusahaan
transnasional menjalankan sesuai dengan code of conduct ini.
CO
Meskipun dengan banyaknya code yang dibuat untuk mengatur aktivitas
perusahaan transnasional tersebut, tetapi implementasi menjadi masalah utama
selain karakternya yang secara khusus juga tidak memberikan keterikatan
secara hukum. Dengan demikian, hal ini menjadi hambatan untuk mengatur
G
aktivitas perusahaan transnasional.114 Dalam beberapa hal, Majelis Umum
PBB mengambil alih perhatian terhadap aktivitas perusahaan transnasional
IN

ini melalui Resolusi Majelis Umum. Namun, Majelis Umum pun memiliki
kekuatan yang terbatas, yaitu berdasarkan Pasal 10 dan 11 dari Piagam PBB.
Ketentuan PBB ini mengatur bahwa Majelis Umum hanya dapat membuat
AD

rekomendasi kepada semua negara anggota PBB dan juga kepada Dewan
Keamanan PBB. Dengan demikian, dampak dari suatu usaha regulasi
internasional ini hanya untuk menegaskan dan sepenuhnya hanya negara yang
berwenang untuk mengatur aktivitas perusahaan transnasionalnya melalui
RE

sistem hukum nasionalnya.115

114 “One thing is certain about all the existing codes, and may also apply to those still being
developed: they are legally non binding. The OECD Codes says so expressly in introduction
observance of the guidelines is voluntary and non legally enforceable”. The RBP Code in stating
that “all the aspects of the principles and rules will be reviewed within 5 years, means that this
review will also encompass the voluntary character notion. The legal character of each of the
codes has been a much disputed issue between the industrialized countries and the developing
countries. For the UN Code this issue has not yet been settled but it is not to be expcted that it
will result in anything but a non binding code”. Ibid., hlm. 243.
115 Pembahasan mengenai perusahaan transnasional sebagai objek hukum dari peraturan internasional
disarikan dari salah satu bagian artikel Fleur John, Op.Cit., hlm. 897–899.

Bab IV - Subjek Hukum dalam Transaksi Bisnis Transnasional 43


Dalam menjalankan aktivitasnya, perusahaan transnasional sering kali
membuat kesepakatan tidak hanya antarperusahaan transnasional atau dengan
subjek hukum privat saja. Dewasa ini, aktivitas perusahaan trans­ nasional
juga melakukan kesepakatan dengan negara yang dituangkan dalam kontrak
internasional. Sedikit banyak, hal inilah yang juga memberikan karakteristik
“internasional” bagi perusahaan transnasional, yang mana pada praktiknya,
ketika melakukan hubungan hukum dengan negara lain tidak terlepas dari
kedudukan negara subjek hukum internasional.116 Jumlah kesepakatan antara
perusahaan transnasional dengan negara seharusnya semakin bertambah
seiring dengan semakin bertambahnya perjanjian-perjanjian internasional
yang melibatkan negara dan interaksi dengan perusahaan transnasional
yang merupakan bagian dari implementasi perjanjian internasional tersebut.

PY
Dengan demikian, apabila hukum internasional masih belum dapat menerima
perusahaan transnasional secara utuh, maka hal ini sepertinya menjadi alasan
yang sangat tepat untuk memberikan kedudukan perusahaan transnasional
CO
sebagai subjek hukum dalam transaksi bisnis transnasional.
Interaksi perusahaan transnasional dengan negara relevan dengan kedudukan
negara tidak hanya sebagai badan hukum publik atau yang dikenal dengan
jure imperii, tetapi juga kedudukan negara sebagai jure gestiones.117 Sebagai
G
116 Dalam kasus Texaco Overseas Petroleum Co and California Asiatic Oil Co v The Government of
the Libyan Arab Republic mendeskripsikan beberapa hal terkait perusahaan transnasional yang
IN

memiliki kapasitas secara internasional secara spesifik. Secara khusus, arbiter memosisikan
internationalization terhadap kontrak antara perusahaan transnasional dan negara, mewajibkan
para pihak untuk tunduk pada hukum internasional dalam hal penafsiran dan pelaksanaan
AD

perjanjian. Karakteristik internationalization terdapat dalam kontrak apabila kontrak tersebut


mengandung prinsip hukum internasional, yaitu klausula mengenai penyelesaian sengketa
internasional melalui arbitrase atau kontrak tersebut merupakan kontrak baru dalam kategori
pembangunan ekonomi. Ibid., hlm. 901.
117 Dalam hukum internasional mengenai kedudukan negara ini, dikenal dengan jure imperii dan
RE

jure gestiones. Dewasa ini, kedudukan negara sebagai jure gestiones semakin meningkat seiring
dengan semakin meningkatnya aktivitas negara dalam melakukan kegiatan komersial. Hal
ini berkembang khususnya pada awal abad ke-20. Dalam hal negara sebagai jure gestiones,
maka negara tidak dapat menerapkan konsep imunitas secara absolut atau lebih tepat dengan
konsep imunitas terbatas. Tentunya, hal ini diperkuat dalam negara sebagai jure gestiones,
maka negara melakukan kegiatan yang melibatkan subjek hukum lain. Sebagai contoh,
perusahaan swasta dalam kegiatan atau tindakan yang bersifat komersial (private acts). Jure
imperii adalah tindakan resmi negara dalam lingkup hukum publik dan kapasitasnya sebagai
negara yang berdaulat. Sedangkan, jure gestiones adalah tindakan negara untuk tindakan yang
sifatnya komersial (private acts). Tindakan jure gestiones dapat dianggap sebagai layaknya
perdagangan pada umumnya. Oleh karena itu, pada kapasitas negara sebagai jure gestiones,
apabila terdapat permasalahan hukum, maka juga terbuka kemungkinan di badan peradilan

44 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


contoh, aktivitas negara dalam transaksi bisnis transnasional khususnya membuat
kesepakatan dengan perusahaan trans­ nasional dalam bidang penanaman
modal internasional. Beberapa bentuk aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan
transnasional dapat terbagi menjadi bentuk kontraktual (contractual forms),
kepemilikan berdasarkan grup atau kelompok perusahaan (equity based
corporate group), usaha patungan (joint venture), penggabungan nonformal
antara perusahaan multinasional dan perusahaan multinasional milik negara.118
Bentuk kontraktual yang dilakukan oleh perusahaan multinasional di antaranya
perjanjian distribusi (distribution agreement), perjanjian produksi (production
agreement), dan juga kerja sama antara perusahaan publik dan perusahaan
swasta. Untuk bentuk kerja sama antara perusahaan publik dan swasta atau
badan usaha, khususnya bagi negara yang sedang membangun dan menjadikan

PY
pembangunan infrastruktur sebagai salah satu aktivitas utamanya, maka bentuk
kesepakatan negara dalam membuat kontrak internasional dengan badan

umum maupun arbitrase. Terhadap negara yang melakukan tindakan private acts dapat
CO
dibebankan tanggung jawab perdata, misalnya tanggung jawab negara terhadap negara lain atau
pengusaha, sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban dalam pelaksanaan
perjanjian atau kontrak komersial. Dalam hal jure gestiones, suatu negara diperlakukan sebagai
halnya “orang perorangan” yang melakukan kegiatan atau transaksi komersial. Lihat Huala
Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Rajawali Press, 2002, hlm.
G
261. Lihat juga Alexander Orakhelashvili, Jurisdictional Immunity of States and General
International Law – Explaining the Jus Gestionis v. Jus Imperii Divide in T. Ruys, N. Angelet & L.
Ferro (eds), Cambridge handbook on Immunities and International Law. Cambridge: Cambridge
IN

University Press, 2019, hlm. 105–124.


118 An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Bandung: Keni Media, 2014, hlm.
49–50. Perjanjian distribusi merupakan perjanjian yang bentuknya paling sederhana dari
AD

hubungan hukum antara perusahaan multinasional di negara di mana induk perusahaan atau
produsen berada atau anak perusahaan dengan perusahaan di negara di mana penanaman
modal asing dilakukan. Perjanjian distributor ini biasanya dilakukan oleh anak perusahaan
dengan anak perusahaan dari perusahaan multinasional, tetapi biasa juga dilakukan dengan
perusahaan domestik. Misalnya, dalam perjanjian distribusi melalui perjanjian waralaba
RE

(franchise). Perjanjian produksi biasa dilakukan oleh perusahaan multinasional karena adanya
permintaan di luar negeri akan suatu produk yang dibuat di negara penanam modal dan untuk
mempermudah pemasaran di negara tertentu. Salah satu bentuk perjanjian produksi adalah
kontrak lisensi, yang mana dalam perjanjian produksinya diperjanjikan juga adanya pengalihan
teknologi paten dan know how kepada pengusaha lokal, yang akan terikat untuk menggunakan
teknologi tersebut bagi kepentingan dan untuk melindungi keuntungan bersaing produsen dalam
teknologi. Sedangkan, untuk perjanjian antara pemerintah dan swasta, salah satu implementasinya
adalah pada perjanjian konstruksi yang dilakukan oleh perusahaan negara atau swasta di negara
di mana modal perusahaan multinasional itu ditanam. Ciri khas dari kontrak-kontrak ini adalah
dibentuknya kontrak tersebut dalam bentuk BOO (Build Own Operate), BOT (Build Own Transfer),
atau BOOT (Build Own Operate and Transfer).

Bab IV - Subjek Hukum dalam Transaksi Bisnis Transnasional 45


usaha juga terdapat dalam skema kerja sama pembangunan infrastruktur atau
yang dikenal dengan Public Private Partnership (PPP).119

C. Pengaturan Perusahaan Transnasional dalam Hukum Nasional


Upaya pengaturan perusahaan transnasional bukan merupakan yang upaya
yang mudah. Banyak faktor yang memengaruhi upaya pengaturan tersebut, di
antaranya kemampuan perusahaan transnasional untuk memengaruhi negara
penerima modal ataupun negara pengirim, termasuk upaya-upaya mencegah
adanya pengaturan yang mengekang kebebasan berusaha perusahaan trans­
nasional. Beberapa faktor memengaruhi pengaturan perusahaan transnasional
di antaranya faktor bisnis, posisi tawar negara penerima modal, kepentingan
politik, dan lain-lain. Di satu sisi, negara-negara juga memiliki kepentingan

PY
untuk memastikan perusahaan transnasional memberikan keuntungan bagi
negaranya. Dengan demikian, beberapa faktor inilah yang menyebabkan
sifat pengaturannya mengikat atau tidak mengikat. Terdapat beberapa bentuk
pengaturan perusahaan transnasional ini, setelah sebelumnya dalam buku ini
CO
membahas pengaturannya dalam bentuk code of conduct, maka pengaturan
juga terdapat dalam bentuk hukum nasional, hukum bilateral, hukum regional,
dan hukum multilateral.120
Pengaturan perusahaan transnasional berdasarkan hukum nasional
G
merupakah salah satu implementasi teori kedaulatan ekonomi internal.121
IN

119 Di Indonesia, skema Public Private Partnership ini juga sudah dilakukan atau yang lebih dikenal
dengan Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU). Dalam hal ini, pemerintah melakukan
kesepakatan dengan badan usaha untuk melakukan pembangunan infrastruktur sebagai bentuk
AD

penyediaan layanan infrastruktur publik di Indonesia. Dasar hukum pelaksanaan skema KPBU di
Indonesia diatur dalam Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah
Badan Usaha. Hal ini juga merupakan praktik yang dilakukan oleh beberapa negara di ASEAN.
Lihat Prita Amalia dan Danrivanto Budhijanto, “The Role of Public Private Partnership to
Strenghten Sustainable Development in Indonesia”, Central European Journal of International
RE

and Security Studies, 12(4), 2018, hlm. 547–563.


120 An An Chandrawulan, Op.Cit., hlm. 183–184.
121 Kedaulatan ekonomi merupakan kewenangan dari negara dan juga persamaan kedudukan dalam
menjalankan hubungan ekonomi internasional. Dalam konteks negara kedaulatan, negara diartikan
sebagai kebebasan yuridis dari pihak lain dalam hubungannya dengan hubungan ekonomi
internasional dan juga berdasarkan prinsip persamaan antarnegara. Hal ini juga sesuai dengan
yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB mengenai persamaan kedaulatan negara. Ruang
lingkup kedaulatan dalam ekonomi internasional berkaitan dengan kewenangan negara untuk
mengatur sumber daya alamnya dan juga aturan main dalam hubungan ekonomi internasional.
Lebih lanjut, kedaulatan ekonomi adalah mengenai persamaan dan kebebasaan, baik hak
maupun kewajiban negara. Kedaulatan ekonomi internasional merupakan kewenangan negara
secara bebas dan atas dasar negara tersebut untuk mengatur negaranya dan untuk melaksanakan

46 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Berdasarkan teori ini, negara memiliki kewenangan untuk mengatur peristiwa
hukum yang terjadi di wilayah negaranya, termasuk salah satunya memastikan
keberadaan perusahaan transnasional untuk memberikan keuntungan khususnya
bagi pembangunan ekonomi nasional. Adanya kepentingan negara penerima
modal mengatur perusahaan transnasional di wilayah negaranya terkadang
menjadi salah satu hambatan bagi perusahaan transnasional dalam melakukan
aktivitasnya secara optimal. Dari sisi perusahaan transnasional, hal ini dianggap
sebagai kebijakan yang membatasi aktivitas perusahaan transnasional di
wilayah suatu negara. Namun demikian, perusahaan transnasional selalu
berupaya untuk memenuhi berbagai kebijakan yang dibuat oleh penerima
modal sebagai implementasi dari prinsip right to regulate122 yang dimiliki
oleh negara penerima modal. Saat ini, dalam perkembangannya, prinsip ini

PY
merupakan substansi yang dinegosiasikan dalam perjanjian penanaman modal
internasional. Berikut salah satu contoh rumusan klausulanya.123
Article 3 “Right to Regulate”

CO
“[a] a Contracting Party may adopt, maintain, or enforce any measure that it considers
appropriate to ensure that investment activity is undertaken in a manner sensitive to
healthy, safety or environmental concerns provided that such measures are consistent
with this agreement”.
G
kewenangan dan kekuatannya secara monopoli di wilayahnya. Ruang lingkup kedaulatan ekonomi
internal mencakup negara memiliki kedaulatan permanen atas sumber daya alam yang dimilikinya,
IN

negara memiliki kewenangan atas sumber daya non-alam atau aktivitas ekonominya di wilayah
yurisdiksinya, termasuk sumber daya manusia. Negara memiliki hak untuk memilih dan
melaksanakan sistem ekonominya, seperti economic self determination dan governance, negara
AD

dilarang untuk saling mengintervensi dan menggunakan kekerasan dalam melakukan hubungan
ekonomi internasionalnya. Ruang lingkup ini juga yang menjadi dasar kewenangan negara untuk
membuat berbagai pengaturan nasional di wilayah negaranya, termasuk juga pengaturan
bagaimana perusahaan transnasional dapat melakukan aktivitasnya di wilayah suatu negara,
khususnya berkaitan dengan kegiatan ekplorasi sumber daya alam. Asif Qureshi, Op.Cit., hlm. 51.
RE

122 Right to Regulate adalah salah satu prinsip yang saat ini semakin berkembang, khususnya dalam
bidang hukum penanaman modal asing. Salah satu prinsip yang juga selalu disandingkan
dengan adanya suatu situasi atau kondisi yang disebut sebagai indirect expropriation. Prinsip ini
saat ini merupakan substansi yang juga dapat diatur dalam suatu perjanjian penanaman modal
internasional, di mana negara diperbolehkan untuk mengaturnya dalam hukum nasional untuk
memastikan aktivitas penanaman modal atau implementasi dari perjanjian internasionalnya
tidak mendatangkan kerugian bagi negaranya, misalnya saja yang berkaitan dengan kesehatan
atau lingkungan. Lihat OECD Working Papers on International Investment, Indirect Expropriation
and Right to Regulate in International Investment Law, OECD, 2004, hlm. 8. Lihat juga David
Gaukrodger, “The Balance between Investor Protection and the Right to Regulate in Investment
Treaties: A Scoring Paper”, OECD Working Papers on International Investment, 2017, hlm. 7.
123 MAI Negotiating Text, hlm. 9.

Bab IV - Subjek Hukum dalam Transaksi Bisnis Transnasional 47


Dalam salah satu klausula yang tercantum dalam perjanjian penanaman
modal internasional tersebut, right to regulate diterapkan oleh negara untuk
dapat membuat ketentuan di negaranya untuk memastikan bahwa aktivitas
penanaman modalnya memperhatikan aspek kesehatan, keselamatan, dan
lingkungan. Aktivitas penanaman modal yang dilakukan oleh perusahaan
transnasional sebagai objek pengaturan memiliki karakteristik khusus. Terhadap
aktivitas ini, tidak dapat diterapkan suatu peraturan yang sangat rigid dan
kaku. Hal ini akan menjadi suatu kondisi yang kontraproduktif dengan aktivitas
perusahaan transnasional, yang salah satunya untuk menghasilkan keuntungan
yang tidak hanya untuk perusahaan itu sendiri saja, tetapi untuk negara penerima
modal juga. Namun demikian, peraturan yang dibuat juga tidak dapat dibuat
terlalu longgar tanpa adanya pertimbangan kepentingan suatu negara, karena

PY
akan merugikan negara penerima juga.
Salah satu strategi yang dapat digunakan dalam melakukan pengaturan
terhadap aktivitas perusahaan transnasional di suatu negara adalah dengan
memberikan insentif. Artinya, negara memberikan insentif sebagai bentuk
CO
apresiasi apabila perusahaan transnasional tersebut melakukan aktivitas di
negara tersebut dengan sangat memperhatikan dan patuh terhadap ketentuan
hukum nasional suatu negara. Bentuk-bentuk insentif lainnya dapat berbentuk
insentif pajak ataupun jaminan perlindungan terhadap aktivitas yang dilakukan
di wilayah suatu negara. An An Chandrawulan menyebut insentif ini sebagai
G
bentuk kompensasi yang diberikan oleh negara terhadap berbagai kebijakan
yang membatasi aktivitas perusahaan transnasional.124
IN

Pembatasan aktivitas perusahaan transnasional yang disebabkan oleh


peraturan hukum nasional berpotensi menimbulkan permasalahan hukum
bagi negara penerima modal, terlebih hal ini juga berpotensi terhadap adanya
AD

gugatan terhadap negara. Indonesia memiliki beberapa pengalaman harus


menghadapi gugatan di forum internasional yang disebabkan oleh peraturan
nasional yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dianggap membatasi ruang
RE

gerak dan bahkan melanggar komitmen dalam perjanjian internasional. Pada

124 Sebagai reaksi atas adanya persyaratan penanaman modal, perusahaan multinasioal biasanya
meminta kompensasi berupa, misalnya, insentif penanaman modal, keringanan pajak, atau
jaminan perlindungan terhadap penanaman modal yang dituangkan dalam suatu peraturan
perundang-undangan (regulatory heavens). Peraturan perundang-undangan tersebut diharapkan
dapat menyejahterakan negara melalui dibukanya peluang yang lebih besar bagi penanaman
modal asing. Akan tetapi, pengaturan nasional ternyata tidak selamanya memberi kesejahteraan
seperti yang diharapkan, tetapi sebaliknya, menimbulkan kerugian khususnya apabila peraturan
perundang-undangan tersebut dibuat oleh negara yang lemah. Kelemahan dari pengaturan
nasional adalah karena ruang lingkupnya terbatas di dalam wilayah suatu negara saja. An An
Chandrawulan, Op.Cit., hlm. 185.

48 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Juli 2014, PT Newmont Nusa Tenggara (NTT) yang merupakan perusahaan
tambang dan emas yang melakukan aktivitasnya di Indonesia mengajukan
gugatan ke arbitrase internasional, International Center for Settlement of
Investment Disputes (ICSID), atas adanya kebijakan mengenai pelarangan
ekspor konsentrat dan juga pengenaan ekspor bea keluar. PT NTT menilai
kebijakan ini melanggar kontrak karya. Namun demikian, dengan upaya negosiasi
yang dilakukan pemerintah pada saat itu, akhirnya PT NTT mencabut gugatan
terhadap Indonesia dan menempuh upaya negosiasi dengan pemerintah
Indonesia. PT NTT mengajukan gugatan terhadap Indonesia ke ICSID dengan
dasar Bilateral Investment Treaty (BIT) Indonesia dengan Belanda.125
Selain berkaitan dengan aktivitas penanaman modal, pemerintah Indonesia
juga menghadapi gugatan Uni Eropa pada tahun 2021 di forum World Trade

PY
Organization (WTO) yang disebabkan adanya kebijakan pemerintah Indonesia
mengenai larangan ekspor produk bijih nikel mentah. Gugatan ini didasari
adanya kebijakan pemerintah mengenai pelarangan ekspor nikel mentah
yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 11 Tahun 2019
CO
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral No. 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral
dan Batu Bara. Kebijakan ini lahir atas pertimbangan stok nikel dalam negeri
yang diperkirakan tinggal 700 juta ton. Dari sisa jumlah tersebut, diprediksi
akan habis dalam 8 tahun jika terus dilakukan penambangan. Menipisnya
G
jumlah nikel di alam membuat pemerintah mengambil langkah hilirisasi dan
industrialisasi bahan-bahan mentah Sumber Daya Alam yang dimiliki. Untuk
IN

itu, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menghentikan ekspor bijih nikel


per 2020. Atas kebijakan ini, Uni Eropa akhirnya menggugat Indonesia dengan
tuduhan bahwa pembatasan ini dirancang Indonesia untuk menguntungkan
AD

industri peleburan dan baja nirkarat sendiri.126


Negara Indonesia sampai saat ini masih menjadi negara tujuan bagi
perusahaan transnasional untuk menjalankan aktivitas bisnisnya. Aktivitas
RE

perusahaan transnasional di Indonesia dimulai sejak Indonesia mulai membuka


diri terhadap aktivitas penanaman modal asing, yaitu melalui Undang-Undang
No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang juga diikuti dengan
mulai beraktivitasnya PT Freeport di Indonesia dan selanjutnya diikuti dengan

125 Kementerian Perindustrian, “Newmont Cabut Gugatan Arbitrase di ICSIF”, diakses dari https://
kemenperin.go.id/artikel/9917/Newmont-Cabut-Gugatan-Arbitrase-di-ICSID pada tanggal 29
Juni 2022.
126 Idris Rusadi Putra, “Awal Mula Larangan Ekspor Nikel Indonesia Hingga Digugat Uni Eropa ke
WTO”, diakses dari https://www.merdeka.com/uang/awal-mula-larangan-ekspor-nikel-indonesia-
hingga-digugat-uni-eropa-ke-wto.html pada tanggal 28 Juni 2022

Bab IV - Subjek Hukum dalam Transaksi Bisnis Transnasional 49


perusahaan transnasional lainnya.127 Aktivitas perusahaan transnasional
di Indonesia memasuki berbagai sektor yang tentu saja memiliki peraturan-
peraturan khusus untuk men­dukung pengembangan dan bisnis sektor tersebut.
Namun demikian, terdapat beberapa peraturan nasional yang berkaitan dengan
perusahaan transnasional di Indonesia, baik dalam lingkup penanaman modal,
perdagangan, dan juga perusahaan. Khususnya setelah Indonesia pada tahun
2020 menerbitkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang
merupakan Omnibus Law di Indonesia.
Pemerintah Indonesia melakukan penyederhanaan regulasi dan birokrasi
dengan tujuan untuk meningkatkan investasi yang juga harus diketahui oleh
perusahaan transnasional ketika melakukan aktivitas di Indonesia. Beberapa
peraturan nasional tersebut di antaranya sebagai berikut.

PY
1. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
2. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
3. Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

CO
4. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
5. Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman
Modal jo. Peraturan Presiden No. 49 Tahun 2021 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman
Modal
G
6. Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko
IN

7. Peraturan pelaksana lainnya

Selain peraturan-peraturan tersebut, perusahaan transnasional perlu


AD

memper­timbangkan berbagai perjanjian-perjanjian internasional baik dalam


bentuk bilateral, regional, maupun multilateral yang mengikat Indonesia dan
telah diratifikasi. Hal ini penting untuk dijadikan pertimbangan, khususnya
pada saat perusahaan transnasional akan membuat kontrak internasional yang
RE

secara tidak langsung merupakan implementasi dari perjanjian internasional


tersebut.

127 Masuknya perusahaan multinasional di Indonesia telah terjadi sejak zaman kolonialisme dan
setelah Indonesia merdeka khususnya pada pemerintahan Orde Baru. Hal ini ditandai dengan
masuknya beberapa perusahaan, di antaranya Freeport Sulphur Co Incorporated, International
Tel & Tel (ITT), Toyo Menko (Jepang), Unilever (United Kingdom/Netherland), Good Year,
Singer Sewing Machine, Dumex (Denmark), BAT (Inggris), dan lain-lain. Lihat lebih lanjut pada
Ibid., hlm. 176.

50 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


BAB V

PY
PERJANJIAN DALAM BIDANG HUKUM
TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL
CO
Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum terpenting,
khususnya dalam bidang hukum transaksi bisnis transnasional. Roy Goode
G
dalam bukunya Trans­national Commercial Law memberikan pernyataan: “much
transnational commercial law is developed through treaties”.128 Hal ini juga
IN

sejalan dengan semakin aktifnya negara-negara dalam melakukan perundingan


dalam bidang kerja sama ekonomi internasional dan perdagangan internasional,
maka berbanding lurus dengan semakin berkembangnya perjanjian inter­
AD

nasional dalam bidang hukum transaksi bisnis transnasional. Aktivitas yang


dilakukan oleh para subjek hukum dalam bidang hukum transaksi bisnis
transnasional merupakan implementasi dari berbagai perjanjian internasional
yang ada.129 Dengan demikian, apabila kita meminjam terminologi yang biasa
RE

digunakan dalam ilmu ekonomi, yaitu makro dan mikro, maka bidang hukum
transaksi bisnis transnasional ini merupakan bagian mikro dari implementasi
Hukum Ekonomi Internasional dan Hukum Perdagangan Internasional.
Selain itu juga, implementasi perjanjian internasional dalam bidang
hukum transaksi bisnis transnasional juga dilakukan oleh subjek hukum.

128 Roy Goode, et al., Op.Cit., hlm. 1.


129 Ibid. “While these texts, grouped by some as international private law instruments, confer rights
to and among parties to private (transaction-parties), their legal status is firmly rooted in treaty
law, which deals with the right and obligation of states (states-parties)”.
Dalam hal ini, individu dan perusahaan yang merupakan subjek hukum
terbatas, 130 yaitu tergantung pada bagaimana negara sebagai subjek hukum
internasional memberikan kewenangan kepada subjek hukum lainnya melalui
instrumen hukum yang berlaku di negaranya, yaitu hukum nasional.131 Salah
satunya adalah melalui proses pengikatan diri terhadap perjanjian internasional,
baik melalui penandatanganan maupun ratifikasi perjanjian internasional. Hal
ini juga disampaikan oleh Asif Qureshi berikut ini.132
“Individuals are participants not only because they are ultimate beneficiaries of the
system, but also because they have rights and duties conferred upon them directly.
This is clear where such rights and duties are conferred through the instrument of
international agreements.”
Pernyataan ini memperkuat bahwa hak dan kewajiban yang dimiliki oleh

PY
individu sebagai subjek hukum, khususnya dalam transaksi bisnis transnasional,
juga tergantung pada bagaimana suatu perjanjian inter­nasional tersebut mem­
berikan kewenangan yang selanjutnya juga menjadi hukum nasional. Setelah
CO
pada bab sebelumnya membahas mengenai sumber hukum transaksi bisnis
transnasional dan subjek hukum, khususnya aktivitas perusahaan trans­nasional
dalam hukum transaksi bisnis transnasional, maka pada bab ini akan dibahas
beberapa perjanjian internasional dalam bidang hukum transaksi bisnis
transnasional secara lebih khusus. Pembahasan meliputi kekuatan mengikat
G
perjanjian internasional, permasalahan hukum yang timbul dalam konteks
interaksi perjanjian internasional dan hukum nasional, serta pembahasan
IN

130 Istilah individu sebagai subjek hukum terbatas dapat ditemukan dalam buku Hukum Internasional
yang ditulis oleh Mochtar Kusumaatmadja dan Etty Agoes. Dalam bukunya, disebutkan bahwa
AD

dalam arti yang terbatas, orang perorangan sudah cukup lama dapat dianggap sebagai subjek
hukum internasional. Lihat Mochtar Kusumatmadja dan Etty Agoes, Op.Cit., hlm. 103.
131 Individu atau manusia merupakan subjek hukum, yaitu pemegang atau pengemban dari hak dan
kewajiban. Lihat Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit
RE

Alumni, Bandung, 2000, hlm. 76. Hal ini juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen
yang dikutip Huala Adolf dalam buku Hukum Ekonomi Internasional, bahwa yang dimaksud
dengan individu adalah pengemban hak dan kewajiban (a bearer of rights and duties). Dalam
konteks hukum ekonomi internasional, individu yang terdiri atas individu dalam arti fisik dan
serangkaian pribadi hukum (juristic person), maka individu merupakan subjek hukum ekonomi
internasional, yang mana statusnya juga tergantung pada isi ketentuan perjanjian yang mem­
berikan kedudukannya tersebut. ICSID sebagai salah satu lembaga arbitrase internasional untuk
penanaman modal memberikan status individu sebagai subjek hukum yang termasuk juga
kemampuannya sebagai subjek hukum yang membuat kontrak atau perjanjian penanaman modal
dengan suatu negara (Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Op.Cit., hlm. 61).
132 Asif Qureshi and Andrea R. Ziegler, International Economic Law, Mytholmroyd: Sweet & Maxwell,
2007, hlm. 40.

52 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


beberapa perjanjian internasional yang merupakan lingkup hukum transaksi
bisnis transnasional dan juga tidak terlepas dari peran organisasi internasional.
Organisasi internasional tersebut di antaranya World Trade Organization (WTO),
UNCITRAL, dan UNIDROIT.
Perjanjian internasional yang dimaksud dalam bab ini adalah perjanjian
internasional yang sesuai dengan pengertian Vienna Convention on the Law of
Treaties 1969, yaitu suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis antara negara dan
mengatur hukum internasional.133 Namun demikian, saat ini jumlah perjanjian
internasional yang berkaitan dengan perdata internasional atau hukum transaksi
bisnis transnasional meningkat, yaitu suatu perjanjian internasional yang
mengatur transaksi bisnis transnasional antara subjek hukum lain, dalam hal
ini individu atau perusahaan, dibandingkan dengan hubungan antara negara

PY
dengan subjek hukum lain.134
Apabila dilihat dari kekuatan mengikatnya, suatu perjanjian internasional
ada yang bersifat soft law dan ada yang bersifat hard law. Perjanjian internasional
dalam hukum transaksi bisnis transnasional memiliki jenis perjanjian
CO
internasional, baik yang bersifat soft law dan juga hard law. Walaupun dalam
praktiknya, sesuai dengan karakteristik fleksibilitas dalam transaksi bisnis
transnasional, perjanjian internasional yang bersifat soft law lebih mudah
diterima oleh negara-negara dan dilihat sebagai suatu kebutuhan. Hal ini
menjadi salah satu keunggulan dari perjanjian internasional yang bersifat
G
soft law, yang mana para subjek hukum mengikatkan diri secara sukarela.135
Sedangkan, untuk perjanjian internasional yang bersifat hard law, biasanya
IN

suatu negara melalui suatu pertimbangan yang matang untuk terikat pada
perjanjian internasional tersebut, dengan tentu mengidentifikasi terlebih dahulu
kewajiban internasional yang timbul dari perjanjian internasional tersebut.
AD

133 Perjanjian internasional diatur dalam Vienna Convention 1969 yang mendefinisikan perjanjian
internasional sebagai: “an international agreement concluded between states in written form and
RE

governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related
instruments and whatever its particular designation”. Berdasarkan definisi tersebut, yang dimaksud
dengan perjanjian internasional adalah suatu persetujuan yang dibuat antarnegara dalam bentuk
tertulis dan diatur oleh hukum internasional. Prita Amalia, Industri Penerbangan Aspek Hukum
Pasca Cape Town Convention 2001, Bandung: Refika, 2015, hlm. 28.
134 Roy Goode et al., Loc.Cit. “Treaty practice is an important vehicle supplementing and developing thus
rules in Vienna 1969, and that is increasingly the case in the context of transaction focused international
private law treaties, where transaction parties, rather than state parties, are the key factors”.
135 “Nonbinding legal principles are often referred to as “soft law”. Defined by one commentator,
“‘soft law’ is understood as referring in general to instruments of normative nature with no legally
binding force and which are applied only through voluntary acceptance”. Soft law is generally
established legal rules that are not positive and therefore not judicially binding.”

Bab V - Perjanjian dalam Bidang Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 53


Hal ini dikarenakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional akan
berdampak pada timbulnya tanggung jawab negara.
Salah satu ciri perjanjian internasional yang bersifat hard law biasanya
mensyaratkan adanya ratifikasi atau pengesahan dalam perjanjian internasional,
sehingga memberikan kepastian hukum dan pada waktu yang sama menjadi
bagian dari hukum nasional. Sedangkan, untuk perjanjian internasional yang
bersifat soft law, biasanya sangat identik dengan perjanjian internasional yang
bertujuan untuk memberikan panduan atau guidance mengenai sesuatu hal
dan juga tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum. Keterikatan negara
terhadap perjanjian internasional yang bersifat demikian biasanya tidak
memiliki akibat hukum apabila di kemudian hari tidak menjalankan ketentuan
dalam perjanjian internasional tersebut. Saat ini, jumlah sumber hukum atau

PY
perjanjian internasional yang bersifat soft law juga meningkat sebagai suatu
perkembangan dalam hukum internasional, dari suatu komitmen negara
yang bersifat menimbulkan kewajiban secara hukum dan mengikat. Selain
itu, perbedaan antara soft law dan hard law juga semakin sulit dibedakan.136
CO
Beberapa perjanjian internasional yang memiliki sifat soft law di antaranya
model laws, a codification of custom and usage yang dibuat oleh international
nongovernmental organization, dan kontrak.137
Sifat dari suatu perjanjian internasional dalam bidang hukum transaksi
bisnis transnasional tergantung pada tujuan dari dibuatnya perjanjian inter­
G
nasional tersebut, apakah untuk melakukan unifikasi atau harmonisasi. Sesuai
dengan namanya, perjanjian internasional yang bertujuan untuk melakukan
IN

unifikasi hukum artinya menyeragamkan suatu hukum di semua negara.


Perjanjian internasional yang bertujuan untuk melakukan unifikasi hukum
biasanya mensyaratkan adanya pengikatan diri terhadap perjanjian internasional
AD

melalui penandatanganan atau ratifikasi bagi negara yang akan terikat.

136 Dinah Shelton, “Soft Law”, dalam David Armstrong (ed), Routledge Handbook of International
RE

Law, London, 2009, hlm. 68. “The conventional understanding of international law sees its “legal”
nature as deriving from the consent of states to binding obligations. However, states have engaged
in a host of other normative commitments through means such as declarations and General
Assembly resolutions that, while not having the binding force of formal treaties, may still have
law-like consequences of the kind that the term “soft law” has been coined to describe. In
practice, the distinction between “hard” and “soft” law may become increasingly blurred over time”.
137 Lihat Henry D. Gabriel, “The Advantages of Soft Law in International Commercial Law: The
Role of UNIDROIT, UNCITRAL, and the Hague Conference”, Brook. J. Int’l L., 34, 2009, hlm.
658–659. “The various soft law instruments in international commercial law include model
laws, a codification of custom and usage promulgated by an international nongovernmental
organization, the promulgation of international trade terms, model forms, contracts, restatements
by leading scholars and experts, or international conventions”.

54 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Sedangkan, untuk perjanjian internasional yang bertujuan untuk harmonisasi
hukum biasanya tidak disyaratkan adanya pengikatan diri terhadap perjanjian
internasional. Namun, negara-negara dapat menerapkan langsung perjanjian
internasional tersebut secara sukarela. Perjanjian internasional yang bertujuan
untuk melakukan harmonisasi hukum tidak bermaksud menyeragamkan hukum,
tetapi meng­harmonisasi atau menyelaraskan hukum di negara-negara tersebut.
Melalui uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjanjian internasional
yang tujuannya untuk menyeragamkan atau melakukan unifikasi hukum,
maka perjanjian internasionalnya bersifat hard law. Sedangkan, yang bertujuan
untuk melakukan harmonisasi hukum, maka perjanjian inter­nasional tersebut bersifat
soft law. Beberapa contoh yang bersifat hard law dalam Hukum Transaksi Bisnis
Transnasional di antaranya United Nation Convention International Sales of

PY
Goods (CISG) 1980. Perjanjian internasional ini termasuk pada perjanjian
internasional yang bersifat hard law dan bertujuan untuk menyeragamkan.
Indonesia saat ini belum menjadi negara anggota CISG 1980, walaupun konvensi
ini membuka kemungkinan dapat menggunakan konvensi sebagai pilihan
CO
hukum. Namun, ketika bertentangan dengan hukum nasional, maka berlaku
prinsip-prinsip pilihan hukum berdasarkan rezim hukum perdata inter­nasional.
Adapun contoh perjanjian internasional yang bersifat soft law dalam Hukum
Transaksi Bisnis Transnasional adalah UNIDROIT Principles of International
Commercial Contract, yaitu prinsip-prinsip yang dapat digunakan oleh para
G
pihak dalam menyusun kontrak internasionalnya. Hal ini juga merupakan
panduan yang dapat digunakan oleh para pihak dari berbagai negara, karena
IN

tidak ada hukum kontrak internasional yang bersifat seragam dan berlaku
untuk semua negara, sehingga UNIDROIT mengeluarkan suatu sumber
hukum yang bersifat panduan. Selain itu, produk-produk yang dikeluarkan
AD

oleh UNCITRAL yang berbentuk model law juga merupakan perjanjian


internasional yang bersifat soft law, karena sesuai dengan namanya yang
merupakan model pengaturan yang juga dapat diadopsi oleh negara-negara
RE

untuk menyusun hukum nasionalnya. Contohnya adalah UNCITRAL Model


Law on International Commercial Arbitration 1985/2006.
Permasalahan mengenai kekuatan mengikatnya suatu perjanjian internasional
terhadap negara dan selanjutnya subjek-subjek hukum lain menjadi sangat
penting dan khususnya ketika perjanjian internasional berinteraksi dengan
hukum nasional masing-masing negara. Hal ini berkaitan dengan hakikat
berlakunya perjanjian internasional yang memiliki dua paham, yaitu monisme
dan dualisme. Paham monisme melihat bahwa ketika ada hukum asing di suatu
negara, maka dianggap memiliki kesatuan sistem yang utuh dengan hukum
nasional. Dengan demikian, ketika suatu negara mengikatkan diri terhadap

Bab V - Perjanjian dalam Bidang Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 55


perjanjian internasional secara langsung, perjanjian internasional tersebut
berlaku di negara tersebut. Sedangkan, paham dualisme adalah ketika suatu
negara tidak melihat hukum internasional sebagai satu kesatuan dengan
hukum nasional. Dengan demikian, ketika ada perjanjian internasional yang
sudah diratifikasi oleh suatu negara belum dapat langsung dilaksanakan sebelum
adanya suatu implementing legislation atau peraturan pelaksana.
Terhadap paham monisme dan dualisme ini, biasanya suatu negara memilih
untuk menentukan salah satu paham saja. Di Indonesia, masih sering terjadi
perdebatan ketika sudah meratifikasi suatu perjanjian internasional, apakah
bisa langsung berlaku dan menjadi rujukan bagi hakim di pengadilan di
Indonesia untuk menjadikan perjanjian internasional tersebut sebagai dasar,
atau perlu peraturan pelaksana untuk dapat diterapkan di Indonesia. Sebelum

PY
adanya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
ketentuan mengenai perjanjian internasional di Indonesia merujuk pada Pasal
11 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu:138
“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan Perang, membuat
CO
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.”
Ketentuan ini belum dapat memberikan kejelasan mengenai politik hukum
perjanjian internasional Indonesia, apakah paham monisme atau dualisme,
begitu juga Undang-Undang No. 24 tentang Perjanjian Internasional. Namun
G
demikian, dalam buku Mochtar Kusumaatmadja yang berjudul Pengantar Hukum
Inter­nasional, terdapat penjelasan bahwa Indonesia akan langsung terikat pada
IN

perjanijan internasional yang telah ditanda­tanganinya tanpa perlu melakukan


proses transformasi ke dalam peraturan perundang-undangan.139 Pendapat Mochtar
Kusumaatmadja ini dapat dijadikan dasar bahwa Indonesia merupakan negara
AD

yang menganut aliran monisme primat hukum internasional. Hal ini perlu
dilakukan untuk mengantisipasi Indonesia yang kerap lalai dalam memproses
kewajiban internasional berdasarkan perjanjian internasional yang telah
diadakan ke dalam hukum nasional.
RE

138 Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm 8. Status perjanjian internasional di Indonesia masih
menimbulkan banyak perdebatan. Salah satunya karena ketentuan Pasal 11 UUD 1945 ini juga
tidak dapat dijadikan rujukan politik hukum Indonesia untuk perjanjian internasional, begitu
juga Pasca Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Lihat juga
Ibid., hlm. 103–104.
139 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 84. Lihat juga Prita Amalia, Industri
Penerbangan, Op.Cit., hlm. 95.

56 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Berikut adalah perbedaan paham monisme dan paham dualisme yang
dirumuskan oleh Damos Dumoli Agusman dalam bukunya Hukum Perjanjian
Internasional Kajian Teori dan Praktik di Indonesia.140
Tabel 5.1
Perbedaan Monisme dan Dualisme Perjanjian Internasional
Monisme Dualisme
Hukum internasional dan hukum nasional Hukum internasional dan hukum nasional
merupakan suatu kesatuan sistem. berlaku pada wilayah yang berbeda.
Aparat hukum menerapkan norma hukum Aparat hukum menerapkan hukum
internasional dalam statusnya sebagai internasional dalam statusnya sebagai
norma hukum internasional. norma hukum nasional.
Hukum internasional diinkorporasi dengan Hukum internasional ditransformasi ke

PY
hukum nasional. dalam hukum nasional.
Terbuka munculnya konflik antara Tidak mungkin terjadi konflik karena
internasional dan hukum nasional. wilayahnya berbeda.
Melahirkan primat hukum internasional
atau primat hukum nasional.
Sumber: Buku Hukum Perjanjian Internasional
CO
Pada bab ini, perjanjian internasional dalam hukum transaksi bisnis
transnasional akan terbagi berdasarkan bagaimana perjanjian internasional
G
yang mengikat negara memiliki pengaruh atau perlu dipertimbangkan, dalam hal
subjek hukum melakukan aktivitas dalam lingkup transaksi bisnis transnasional
IN

serta perjanjian internasional yang secara langsung memengaruhi hubungan


para pihak dalam melaksanakan kegiatan transaksi bisnis transnasional.
Perjanjian-perjanjian internasional inilah yang seharusnya perlu diketahui dan
AD

dipertimbangkan ketika para subjek hukum akan mengikatkan diri pada suatu
kontrak internasional yang mengatur hubungan para pihak. Alasan penting
lainnya adalah untuk memastikan bahwa kontrak internasional yang mengikat
para pihak dapat dilaksanakan dan sah menurut ketentuan prinsip-prinsip hukum
RE

kontrak internasional.

A. Perjanjian Internasional dalam Kerangka World Trade


Organization (WTO)
World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi perdagangan dunia
yang beranggotakan negara, dan menegosiasikan berbagai kebijakan perdagangan
internasional yang selanjutnya menghasilkan perjanjian internasional yang

140 Ibid., hlm. 97–98.

Bab V - Perjanjian dalam Bidang Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 57


berlaku bagi semua negara anggota. Tujuan dari WTO adalah untuk mengurangi
hambatan dalam perdagangan baik tarif maupun nontarif, sehingga para
pelaku usaha dapat lebih mudah dalam menjalankan usahanya.141 Saat ini,
jumlah negara anggota WTO berjumlah 164 negara, termasuk Indonesia yang
juga merupakan anggota WTO sejak tahun 1994 dengan mengikatkan diri
pada perjanjian internasional yang dikenal dengan Agreement Establishing
The WTO atau Marrakesh Agreement. Indonesia mengikatkan diri dan juga
meratifikasi perjanjian tersebut melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994
tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Sejak saat itu,
Indonesia terikat pada berbagai persetujuan atau perjanjian yang dikeluarkan
oleh (WTO), khususnya ketika Indonesia melakukan aktivitas perdagangan

PY
internasional dengan negara-negara anggota WTO.
Perjanjian internasional dalam kerangka WTO merupakan perjanjian
yang dibuat oleh negara-negara anggota yang secara tidak langsung juga
memengaruhi aktitivitas transaksi bisnis transnasional yang dilakukan oleh para
CO
pelaku usaha, misalnya dalam kegiatan ekspor-impor. Dengan demikian, alasan
inilah yang membuat Penulis perlu untuk membahas perjanjian internasional
dalam kerangka WTO sebagai salah satu perjanjian internasional dalam lingkup
hukum transaksi bisnis transnasional. Sebagai contoh, perusahaan eksportir
Indonesia akan melakukan perdagangan ekspor suatu komoditi barang ke luar
G
negeri, di antaranya pasar Eropa melalui kerja sama yang dilakukan dengan
mitra dagang di Eropa. Kedua belah pihak akan mengatur hubungan hukumnya
IN

melalui suatu kontrak yang mengikat para pihak. Maka dalam menjalankan
aktivitas bisnisnya tersebut, para pihak perlu mempertimbangkan apakah
ada kewajiban-kewajiban internasional yang mengikat negara yang harus
AD

diperhatikan. Sebagai contoh konkret, larangan untuk melakukan dumping142,

141 “The World Trade Organization (WTO) is the only global international organization dealing
RE

with the rules of trade between nations. At its heart are the WTO agreements, negotiated and
signed by the bulk of the world’s trading nations and ratified in their parliaments. The goal is to
help producers of goods and services, exporters, and importers conduct their business”. WTO,
“What is the WTO?”, diakses dari https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/whatis_e.htm,
pada tanggal 21 Juni 2022.
142 “Occurs when goods are exported at a price less than their normal value, generally meaning they
are exported for less than they are sold in the domestic market or third country market, or at less
than production cost”. Glossary Term, “Dumping”, diakses dari https://www.wto.org/english/
thewto_e/glossary_e/dumping_e.htm pada tanggal 21 Juni 2022.

58 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


yaitu menjual suatu barang ke luar negeri dengan nilai yang lebih rendah atau
less than normal value untuk menghasilkan pendapatan yang optimal.143
Perjanjian internasional dalam kerangka WTO memiliki karakteristik
tersendiri. Dalam buku Sekilas WTO yang diterbitkan oleh Direktorat Per­
dagangan, Komoditas, dan Kekayaan Intelektual Direktorat Jenderal Kerja Sama
Multilateral Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, dikemukakan
karakteristik perjanjian internasional dalam kerangka WTO. Dalam buku ini
pun digunakan istilah persetujuan dibandingkan dengan perjanjian internasional.
Karakteristik tersebut di antaranya sebagai berikut.144
1. Persetujuan tersebut umumnya dimulai dengan prinsip-prinsip umum seperti
yang terdapat dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan
General Agreement on Trade in Services (GATS). The Agreement in Trade

PY
Related Aspects of International Property Rights (TRIPs) juga memiliki
prinsip umum meskipun tidak memiliki annex.
2. Dalam persetujuan tersebut, terdapat pula beberapa persetujuan tambahan
dan annex berkenaan dengan persyaratan khusus (special requirement)
dari beberapa sektor atau isu tertentu.CO
3. Di samping berupa persetujuan dan lampiran yang menyertainya, terdapat
daftar (schedules) terperinci tentang komitmen negara-negara anggota
WTO untuk mengizinkan produk-produk dan usaha bidang jasa asing
memasuki pasar dalam negeri mereka. Dalam konteks GATT, daftar
G
tersebut berbentuk komitmen-komitmen tarif yang mengikat untuk barang
dan kombinasi antara tarif dan kuota untuk produk pertanian. Sedangkan
IN

untuk GATS, komitmennya tergantung dari banyaknya sektor jasa yang


dibuka untuk usaha jasa asing. Pemberlakuan prinsip Most Favoured Nation
(MFN) pada GATS juga terbatas pada sektor jasa yang dibuka tersebut.
AD

Dari karakteristik tersebut, maka dalam transaksi bisnis transnasional


khususnya yang berkaitan dengan perdagangan internasional, beberapa bagian
RE

143 Indonesia pernah melakukan gugatan kepada Korea atas tuduhan dumping terhadap produk
kertas Indonesia yang diekspor ke Korea. Indonesia dituduh melakukan dumping dengan menjual
harga kertas ke Korea dengan harga yang dinilai less than normal value. Kasus dengan nomor
DS312 merupakan salah satu contoh pengalaman Indonesia dituduh tidak patuh terhadap
perjanjian internasional dalam kerangka WTO, yaitu General Agreement on Tariff and Trade,
yaitu larangan untuk melakukan dumping dalam perdagangan internasional. Lihat “DS312: Korea –
Anti Dumping Duties Imports of Certain Paper from Indonesia”, diakses dari https://www.wto.org/
english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds312_e.htm pada tanggal 21 Juni 2022.
144 Febrian A. Ruddyard, Sekilas WTO World Trade Organization, Jakarta: Direktorat Perdagangan,
Komoditas, Kekayaan Intelektual dan Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia, 2018, hlm. 23.

Bab V - Perjanjian dalam Bidang Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 59


yang harus dipertimbangkan dalam perjanjian internasional dalam kerangka
WTO yaitu terdiri atas prinsip-prinsip umum, lampiran atau annex yang
merupakan persetujuan tambahan, dan juga daftar schedules yang berisi
komitmen negara-negara anggota WTO. Jenis perjanjian internasional dalam
kerangka WTO juga terdapat persetujuan yang plurilateral dibandingkan
dengan perjanjian multilateral yang lainnya. Dua perjanjian yang bersifat
plurilateral dalam kerangka WTO ini ialah Civil Aircraft dan Government
Procurement.145 Perjanjian plurilateral adalah perjanjian yang tidak ditanda-tangani
oleh semua anggota WTO.146 Perjanjian internasional dalam kerangka WTO
terdiri atas:
1. General Agreement of Tariff and Trade (GATT),
2. Agreement on Agriculture,

PY
3. Agreement on Textiles,
4. General Agreement in Services (GATS),
5. Trade Related Aspects of International Property Rights (TRIPs),
6. Trade Related Investment Measures (TRIMs),
CO
7. Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994,
8. Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (SCM),
9. Agreement on Technical Barrier to Trade (TBT),
10. Agreement on Import Licensing Procedures,
11. Trade Facilitation Agreement (TFA),
G
12. Rules of Origin,
13. Agreement on Sanitary and Phytosanitary (SPS Agreement),
IN

14. Trade Policy Review, dan


15. Dispute Settlement Understanding (DSU).
AD

Setidaknya, perjanjian-perjanjian tersebut yang memengaruhi aktivitas


transaksi bisnis transnasional para pihak, khususnya yang berkaitan dengan
kebijakan perdagangan internasional dalam hal pergerakan barang atau jasa
RE

145 Lihat Syukri dan Prita Amalia, “Implications of the Principle of Non Discrimination in The Indonesia-
European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement on Government Procurement
Chapter Toward Regulations of Domestic Product Use in Indonesia”, Transnational Business
Law Journal, 1(2), August 2020. “WTO GPA is excluded from multilateral agreements …
Indonesia as a country that is bound by the WTO Multilateral Agreement but not bound by the
WTO GPA Plurilateral Agreement”.
146 Ada empat persetujuan yang dinegosiasikan dalam putaran Tokyo yang hanya ditandatangani oleh
sebagian kecil anggota saja dan tidak bersifat mengikat bagi seluruh anggota WTO, yang disebut
perjanjian plurilateral. Empat persetujuan tersebut adalah Perdagangan Pesawat Sipil, Pengadaan/
Pembelian Pemerintah, Produk Susu Olahan dan Daging Olahan. Indonesia tidak menjadi pihak
dalam keempat persetujuan plurilateral tersebut. Febrian A. Ruddyard, Op.Cit., hlm. 43.

60 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


lintas batas, khususnya dengan negara-negara anggota WTO. Khususnya, berkaitan
dengan perdagangan internasional, maka bentuk yang demikian, Penulis me­
masukkannya ke dalam definisi perjanjian perdagangan internasional.147

B. Perjanjian Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis


Transnasional yang Dikeluarkan UNCITRAL
Perjanjian internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional tidak
terlepas dari peran UNCITRAL (United Nations Commission on International
Trade Law) dalam membuat berbagai produk hukum dengan tujuan baik
melakukan unifikasi maupun harmonisasi hukum. UNCITRAL merupakan
bagian dari PBB yang salah satu fokusnya adalah dalam bidang hukum
perdagangan internasional. Suatu badan yang bersifat universal dengan anggota

PY
khususnya dalam pengembangan bidang hukum perdagangan selama lebih dari
50 tahun ini. Salah satu tugas dari UNCITRAL adalah melakukan modernisasi
dan harmonisasi peraturan-peraturan dalam kegiatan bisnis transnasional.
UNCITRAL didirikan pada tahun 1966 melalui Resolusi Majelis Umum 2205
CO
(XXI) tanggal 17 Desember 1966.148 Dalam pendirian komisi ini, Majelis Umum
PBB menyadari adanya perbedaan hukum nasional dalam mengatur aktivitas
perdagangan internasional dan berpotensi menjadi hambatan untuk aliran
perdagangan, sehingga keberadaan UNCITRAL adalah untuk berperan
G
secara aktif dalam menurunkan dan menghilangkan hambatan-hambatan
IN

147 Indonesia memiliki Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang juga mengatur
tentang perdagangan luar negeri. Dalam undang-undang tidak menggunakan istilah Perdagangan
Internasional namun menggunakan istilah perdagangan luar negeri. Undang-undang ini juga tidak
AD

memberikan batasan apa yang dimaksud dengan perjanjian perdagangan internasional. Walaupun
dalam melakukan kegiatan perdagangan pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional
melalui perjanjian perdagangan internasional. Salah satu peraturan yang memberikan batasan
tentang Perjanjian Perdagangan Inter­nasional adalah Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2017
tentang Tim Perunding Perjanjian Perdagangan Internasional yang diatur dalam Pasal 1 yaitu
RE

perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang dibuat secara tertulis untuk meningkatkan akses
pasar serta dalam rangka melindungi dan mengamankan kepentingan nasional. Prita Amalia dan
Garry Gumelar Prataman, Hukum Perjanjian Perdagangan Internasional Kerangka Konseptual dan
Ratifikasi di Indonesia, Bandung: Keni Media, hlm. 17-21
148 The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) was established by
the General Assembly in 1966 (Resolution 2205 (XXI) of 17 December 1966). In establishing
the Commission, the General Assembly recognized that disparities in national laws governing
international trade created obstacles to the flow of trade, and it regarded the Commission as the
vehicle by which the United Nations could play a more active role in reducing or removing these
obstacles. UNCITRAL, “About UNCITRAL”, diakses dari https://uncitral.un.org/en/about. Lihat
juga Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Op. Cit., hlm. 44-47

Bab V - Perjanjian dalam Bidang Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 61


tersebut. Beberapa produk hukum yang dibuat oleh UNCITRAL terdiri atas
beberapa hal, di antaranya sebagai berikut.149
1. International Commercial Arbitration
2. International Commercial Mediation
3. International Sale of Goods (CISG) and Related Transactions
4. Procurement and Public Private Partnership (PPP)
5. Micro, Small and Medium Sized Enterprises
6. Electronic Commerce
7. Insolvency
8. Security Interest
9. Online Dispute Resolution
10. International Payments

PY
11. International Transport of Goods
UNCITRAL sangat aktif dalam membuat berbagai instrumen hukum transaksi
bisnis transnasional, baik dalam bentuk hard law maupun soft law. Organisasi
ini juga sangat berperan dalam melakukan upaya harmonisasi dan unifikasi
CO
hukum. Beberapa produk hukum yang dihasilkan dapat berupa legislative
texts atau nonlegislative texts. Selain itu, juga ada produk hukum yang berupa
legislative guides dan non-legislative guides. Beberapa produk hukum yang
berupa legislative texts di antaranya sebagai berikut.
G
1. United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods
2. Convention on the Limitation Period in International Sale of Goods
IN

3. United Nations Convention on Independent Guarantees and Stand by Letters


of Credit
4. United Nations Convention on International Bills of Exhange and International
AD

Promissory Notes
5. United Nations Convention on The Carriage of Goods by Sea
6. United Nations Convention on the Use of Electronic Communications in
International Contracts 2005
RE

7. United Nations Convention on The Liability of Operators of Transport


Terminals in International Trade
8. United Nations Convention on The Assignment of Receivables in International
Trade
9. United Nations Convention on International Settlement Agreements
Resulting from Mediation (Singapore Convention on Mediation)

149 https://uncitral.un.org/en/texts, beberapa ketentuan mengenai lingkup tersebut terbagi ada yang
berbentuk legislative texts, non legislative texts, legislative guides dan non legislative guides.

62 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Sedangkan, produk hukum yang bersifat non-legislative texts biasanya sumber
hukum yang sifatnya tidak mengikat. Beberapa contoh di antaranya sebagai
berikut.
1. UNCITRAL Arbitration Rules
2. UNCITRAL Conciliation Rules
3. UNCITRAL Mediation Rules
4. UNCITRAL Legal Guide on International Countertrade Transactions
Instrumen hukum yang bersifat legislative guides biasanya berupa model
law dan rules. Instrumen ini merupakan isntrumen yang tidak mengikat negara
anggota dan negara bebas untuk mengikuti atau tidak mengikuti legislative
guides tersebut. Beberapa contoh model law di antaranya sebagai berikut.
1. UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985/ 2006

PY
2. UNCITRAL Model Law on International Credit Transfers 1992
3. UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce 1996
4. UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency 1997
5. UNCITRAL Model Law on Electronic Sigantures 2001
CO
6. UNCITRAL Model Law on Public Procurement 2012
7. UNCITRAL Model Law on International Commercial Mediation and
International Settlement Agreements Resulting From Mediation with
Guide to Enactment and Use 2018
G
Salah satu manfaat dari model law yang dibuat oleh UNCITRAL adalah
dapat menjadi panduan atau guidance oleh negara-negara untuk menyusun
IN

hukum nasional. Namun demikian, dalam praktiknya juga dimungkinkan untuk


merujuk pada UNCITRAL Model Law sebagai pilihan hukum yang mengikat
para pihak dan dituangkan dalam kontrak di antara mereka. Hal inilah yang
AD

selanjutnya dapat menjadikan model law sebagai pilihan hukum. Kondisi


lainnya yang mungkin terjadi adalah bilamana suatu negara belum
meratifikasi suatu konvensi tetapi menggunakan konvensi sebagai hukum
para pihak. Sebagai contoh, UNCISG yang masih dapat digunakan oleh para
RE

pihak sebagai pilihan hukum atau model law walaupun negara tersebut tidak
meratifikasinya dan belum menjadi negara anggota.150

150 Konvensi CISG 1980 dapat digunakan sebagai model law untuk membentuk suatu produk
hukum yang mengatur hukum kontrak jual beli barang yang sifatnya internasional. Konvensi
ini digunakan dari sudut kontrak jual beli yang sifatnya transnasional atau dengan kata lain
nuansanya adalah globally accepted international sales of goods. Pembentukan produk hukum
ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi, menganalisis, dan menyerap prinsip-prinsip hukum
yang terkandung dalam CISG, yang pada dasarnya diterima oleh para pelaku usaha internasional.
Marko Cahya Sutanto, Prospek Penggunaan United Nations Convention on Contracts for the
International Sale of Goods (CISG), Bandung: Alumni, 2019, hlm. 338.

Bab V - Perjanjian dalam Bidang Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 63


C. Perjanjian Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis
Transnasional yang Dikeluarkan UNIDROIT
The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT)
merupakan intergovernmental organization yang berkedudukan di Roma
dan memiliki peran dalam mengembangkan dan memberikan metode untuk
modernisasi, harmonisasi, dan koordinasi hukum perdata, khususnya dalam
transaksi bisnis transnasional antara negara dan sekelompok negara untuk
menyusun instrumen hukum, prinsip, dan regulasi dalam mencapai tujuan
tersebut. Saat ini, anggota UNIDROIT terdiri atas 63 negara anggota151 yang
terdiri atas lima benua dan negara dengan berbagai latar belakang sistem hukum,
ekonomi, dan politik serta berbeda latar belakang budaya. Didirikan pada tahun
1926 saat masa Liga Bangsa Bangsa dan kembali didirikan pada tahun 1940

PY
dengan dasar perjanjian multilateral yang dikenal dengan UNIDROIT Statute.152

151 Argentina, Australia, Austria, Belanda, Belgium, Bolivia, Brazil, Bulgaria, Kanada, Chili, Cina,

CO
Kolombia, Kroasia, Kuba, Siprus, Republik Ceko, Denmark, Mesir, Estonia, Federasi Rusia, Finlandia,
Prancis, Jerman, Holy See (Tahta Suci), Hungaria, India, Iran, Irak, Irlandia, Israel, Italia, Jepang,
Luxembourg, Malta, Meksiko, Nikaragua, Nigeria, Norwegia, Pakistan, Paraguay, Polandia,
Portugal, Republik Korea, Romania, San Marino, Slovakia, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol,
Swedia, Swiss, Tunisia, Turki, Inggris, Amerika Serikat, Uruguay, Venezuela, Yugoslavia (Federal
Republic of Yugoslavia), Yunani, dan Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun
G
2008 tentang Pengesahan Statute of the International Institute for the Unification of Private Law
(Statuta Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata). UNIDROIT, “Membership”,
IN

diakses dari http://www.unidroit.org/about-unidroit/membership. Lihat juga Huala Adolf, “Dampak


Pengesahan Statuta UNIDROIT”, Jurnal Ilmu Hukum Padjadajaran Jilid XXXIII, Vol. 1, April
2009, hlm. 1. Sebagai suatu organisasi internasional, UNIDROIT memiliki status sebagai subjek
AD

hukum internasional. Statusnya ini tampak dari karakteristik berikut.


1. UNIDROIT bertanggung jawab kepada pemerintah-pemerintah peserta dari anggota yang
telah mengaksesi Statute UNIDROIT.
2. UNIDROIT berhak menikmati kapasitas hukum di dalam wilayah setiap negara anggotanya
yang diperlukan dan yang memungkinkannya untuk melaksanakan fungsi-fungsinya
RE

serta untuk mewujudkan maksud-maksudnya.


3. UNIDROIT memiliki hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan yang berhak dinikmati
oleh lembaga dan organ-organ serta pejabat-pejabatnya wajib ditetapkan dalam perjanjian-
perjanjian yang akan dibuat dengan pemerintah-pemerintah peserta.
Karakteristik UNIDROIT tersebut telah menunjukkan dengan jelas kedudukan UNIDROIT sebagai
subjek hukum perdagangan internasional, yaitu organisasi perdagangan internasional, yaitu organisasi
antarpemerintah yang independen.
152 UNIDROIT, “Purpose”, diakses dari https://www.unidroit.org/about-unidroit/. Lihat juga Prita
Amalia, “Unidroit (The International Institute for the Unification of Private Law) sebagai Organisasi
Perdagangan Internasional dalam Harmonisasi Perdagangan Internasional”, dalam Eddy Damian,
Dinamika Hukum dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bandung: FH UNPAD dan Penerbit Alumni,
2021.

64 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Peran UNIDROIT dalam hal ini memiliki tujuan untuk menyeragamkan
dan mengharmonisasikan hukum yang berdampak pada transaksi privat
antarindividu yang berbeda negara dengan tetap mempertimbangkan kedaulatan
negara. Unifikasi dan harmonisasi hukum merupakan salah satu tujuan dari
UNIDROIT yang selalu diungkapkan oleh Malcolm Evans sebagai suatu cara
yang akan mendatangkan keuntungan dari perdagangan bebas barang dan
jasa. Tipe unifikasi dan harmonisasi hukum yang sepeti ini akan mem­bantu
aktivitas dari manusia di saat komunikasi semakin mudah dari satu negara ke
negara lain, tanpa melanggar hak dari suatu komunitas nasional untuk membuat
hukum yang mencerminkan pandangan politiknya sebagai pandangan terbaik
dari komunitasnya.153
Dalam menjalankan fungsinya, UNIDROIT menghasilkan beberapa dokumen

PY
publikasi terkait tindakan dan kegiatan yang dilakukan UNIDROIT, yaitu sebagai
berikut.154
1. The Uniform Law Review
Publikasi ini terdiri atas Unification of Law dan Uniform Law Cases yang
CO
keduanya pada tahun 1973 dijadikan satu publikasi, yaitu Year Book
and Uniform Law Cases dan dikeluarkan enam bulan sekali. Publikasi ini
dibuat untuk memublikasikan kegiatan yang dilakukan UNIDROIT dan
untuk membantu dalam hal menyosialisasikan tujuan dari UNIDROIT
dalam melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum. Setelah mengalami
G
perubahan, maka edisi terbaru terbit pada tahun 1996 bersamaan dengan 70
tahun keberadaan organisasi internasional ini.
IN

2. Congress organized by UNIDROIT


Salah satu pencapaian tujuan dari Statute UNIDROIT adalah diseleng­
garakannya kongres terkait unifikasi dan harmonisasi hukum perdata
AD

internasional. Kongres ini dilaksanakan untuk mendiskusikan isu terkait


unifikasi dan harmonisasi hukum. Kongres pertama dilaksanakan pada
tahun 1950, kedua 1976, ketiga 1987, keempat 1996 yang dilaksanakan
RE

dengan mengeluarkan UNIDROIT Principles, dan kelima dilaksanakan


pada tahun 1998 di Amerika.
3. Diplomatic Conference for the Adoption of UNIDROIT Instruments
Forum ini adalah yang terpenting dalam pembuatan konvensi internasional
terkait pentingnya Travaux Preparatoires yang berisi komentator
dan pendapat hakim dari penafsiran dan penerapan ketentuan yang

153 John Goldring, “Globalisation, National Sovereignty and The Harmonisation of Laws”, Uniform
Law Review, 1998, hlm. 437.
154 Mestre, Frederique, “Promoting the Unification Process The Publications of UNIDROIT,
International Legal Info”, 1999.

Bab V - Perjanjian dalam Bidang Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 65


terdapat dalam konvensi tersebut. Kegiatan ini merupakan kegiatan
pengumpulan bahan, yang berasal dari paper yang dikumpulkan oleh
para delegasi dari berbagai organ dalam suatu konferensi.
4. Digest of Legal Activities of International Organizations and Other
Institutions
Terdapat publikasi yang diedit oleh Sekretariat UNIDROIT dan dipublikasi-
kan oleh penerbit Oceana, yang menyediakan informasi terkait kegiatan
yang melibatkan 28 organisasi dan lembaga lainnya dan keterlibatannya
dalam harmonisasi hukum.
5. Proceedings and Papers of UNIDROIT
Merupakan koleksi tahunan yang disiapkan oleh Sekretariat UNIDROIT
yang berisi kertas kerja dan laporan dari study groups dan juga laporan

PY
dari Majelis Umum. UNIDROIT juga mengundang negara anggota untuk
merujuk kepada perpustakaan yang disediakan dan akan ditransmisikan
secara elektronik.
6. Publication of International Instruments Prepared by UNIDROIT
CO
UNIDROIT memiliki dua instrumen hukum yang sangat prestisius, yaitu
UNIDROIT Principles of International Commercial Contract dan
UNIDROIT Guide to International Franchise Arrangement. Instrumen
ini tidak seperti instrumen lainnya yang memerlukan ratifikasi dari suatu
negara supaya bisa mengikat, tetapi publikasi ini terkait dengan instrumen
G
yang mengikat secara soft law sebagai suatu bentuk prinsip dan guidelines
yang dihasilkan dari UNIDROIT Governing Council sebagai bentuk
IN

diseminasi yang disiapkan oleh badan ini.

Dalam melaksanakan fungsinya, UNIDROIT memiliki perhatian khusus


AD

terhadap beberapa bidang termasuk juga mengeluarkan produk hukum yang


dapat dijadikan acuan sebagai sumber hukum. Bidang tersebut di antaranya
pertanian, pasar modal, prosedur perdata, kontrak, properti budaya, secured
transactions, serta hukum dan teknologi. Produk hukum yang dibuat oleh
RE

UNIDROIT dapat berupa konvensi dan protokol, model law, prinsip-prinsip


hukum, serta legal dan panduan kontrak.155 Produk hukum yang dibuat oleh
UNIDROIT merupakan beberapa perjanjian internasional yang dibuat oleh
negara dan beberapa sangat berkaitan langsung dengan Hukum Transaksi Bisnis
Transnasional, di antaranya sebagai berikut.
1. UNIDROIT Principles of International Commercial Contract 2016
2. UNIDROIT Convention on International Interest in Mobile Equipment
2001 dan protokol yang terdiri atas:

155 UNIDROIT, “Instruments”, diakses dari https://www.unidroit.org/instruments/.

66 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


a. Protocol on Matters Spesific to Aircraft Equipment 2001,
b. Luxembourg Protocol on Matters Spesific to Railway Rolling Stock
2007,
c. Protocol on Matters Spesific to Space Assets 2012, dan
d. Protocol on Matters Spesific to Mining, Agriculture, and Construction
Equipment 2019.
3. UNIDROIT Convention on International Financial Leasing 1988
4. UNIDROIT Convention on Interantional Factoring 1988
Salah satu perjanjian internasional dengan bentuk model law yang
dibuat oleh UNIDROIT adalah UNIDROIT Model Law on Leasing 2008.156
Perjanjian internasional yang dibuat oleh UNIDROIT serta dalam lingkup
Hukum Transaksi Bisnis Transnasional dan telah diratifikasi Indonesia adalah

PY
konvensi yang berkaitan dengan benda bergerak atau mobile equipment,
yaitu UNIDROIT Convention on International Interest in Mobile Equipment
2001 atau yang dikenal dengan Cape Town Convention 2001. Konvensi
ini merupakan konvensi payung yang menjadi dasar dikeluarkan dan
CO
diberlakukannya empat protokol berbeda sesuai dengan benda bergerak yang
diatur, yaitu pesawat udara, space assets, railway rolling stock, serta mining,
agriculture, dan construction (MAC).157 Pendekatan ini merupakan metode
baru dalam hukum inter­nasional yang disebut oleh Mark Sundhal sebagai The
G
Cape Town Approach.158 Indonesia telah meratifikasi konvensi sekaligus aircraft
protocol melalui Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2007 tentang Pengesahan
IN

Convention on International Interest in Mobile Equipment (Konvensi tentang


Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak) beserta Protocol to
the Convention on International Interest in Mobile Equipment on Matters
AD

Specific to Aircraft Equipment (Protokol pada Konvensi tentang Kepentingan


Internasional dalam Peralatan Bergerak mengenai Masalah-Masalah Khusus
pada Peralatan Pesawat Udara).159 Selain melalui Peraturan Presiden, Indonesia
juga mengadopsi ketentuan Cape Town Convention 2001 pada Pasal 71–82
RE

Undang-Undang No. 1 Tahun 2009.160

156 Roy Goode, Op.Cit., hlm. 355.


157 Prita Amalia et al., “The Development of Private International Law: A New Concept of Mobile
Equipment under the Cape Town Convention 2001”, Op.Cit., hlm. 1.
158 J.S. Mark, “The Cape Town Approach: A New Method of Making International Law”, Columbia
Journal of Transnational Law, 44(2), 2006, hlm. 339–358.
159 Prita Amalia, Industri Penerbangan di Indonesia., Op.Cit., hlm. 103.
160 Prita Amalia, “Indonesia’s Report: The Implementation of The Cape Town Convention 2001”
dalam Souichirou Kozuka, Implementing the Cape Town Convention and the Domestic Laws on
Secured Transactions, Springer, 2016, hlm. 109.

Bab V - Perjanjian dalam Bidang Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 67


PY
CO
G
IN
AD
RE

68 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


BAB VI

PY
KONTRAK JUAL BELI BARANG INTERNASIONAL
DALAM HUKUM TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL
BERDASARKAN CONVENTION ON
CO
INTERNATIONAL SALES OF GOODS (CISG) 1980
G
Dalam bahasan pada bab ini, digunakan pendekatan per­bandingan hukum
IN

(comparative law approach) untuk menggambarkan eksistensi berbagai model


hukum yang mengatur penjualan barang dan klasifikasinya berdasarkan dua
karakteristik utama, yaitu pengalihan properti (transfer of property) dan adanya
AD

kepastian atau fleksibilitas. Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis


United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods
(CISG) atau Konvensi PBB tentang Kontrak untuk Penjualan Barang Internasional
yang berlaku 1 Januari 1988. Kemudian, dibahas mengenai bagaimana CISG
RE

memengaruhi beberapa sistem nasional dan dapat memengaruhi upaya


harmonisasi regional di masa mendatang.

A. Sejarah Singkat CISG


CISG terkenal sebagai jembatan antara pendekatan vertikal dan horizontal;
menggabungkan pihak pemegang otonomi dan praktik komersial, penyatuan
hukum antara negara-negara civil law dan common law, dan solusi dari gagasan
hukum yang rumit sehingga setiap praktisi perdagangan dapat dengan mudah
menerapkannya dan dapat dengan mudah diakses untuk perdagangan
internasional di seluruh dunia. Adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa
semakin banyaknya negara yang sekarang meratifikasi konvensi tersebut.161
CISG memiliki sejarah panjang. Sebelum dibentuk, hukum penjualan
domestik menjadi satu-satunya sumber hukum bagi perdagangan inter­
nasional. Hukum penjualan domestik tidak cukup untuk menutupi perselisihan
internasional yang berkaitan dengan transaksi lintas batas karena sifat
internasional dari transaksi internasional tersebut.
Pada tahun 1920, Institut Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata
(International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT))
mengodifikasikan Uniform Law on the International Sale of Goods (ULIS)
dan Uniform Law on the Formation of Contracts for the International Sale
of Goods (ULFIS) pada tahun 1964. Pencapaian kedua undang-undang ini

PY
adalah memangkas biaya dan mengurangi kerugian dari forum shopping di
antara pedagang internasional (forum shopping didefinisikan sebagai praktik
memilih yurisdiksi pengadilan yang memiliki aturan atau undang-undang yang
paling menguntungkan untuk kasus yang dihadapi).162 Namun, undang-undang
CO
ini sangat radikal terhadap undang-undang penjualan domestik dan hanya
diterapkan di Benua Eropa, yang tidak lagi relevan karena ekspansi aktivitas
perdagangan internasional. Mereka juga gagal mendapatkan kepercayaan
dari masyarakat internasional dan dikritik karena memberikan kesan yang
kuat untuk lebih memilih hukum dan praktik, yang membuat dunia Barat maju
G
berpijak pada tradisi hukum sipil.163 Oleh karena tidak semua masalah transaksi
lintas batas dapat diselesaikan dalam sistem ini, mereka akhirnya menyerupai
IN

solusi alternatif.
Pada tahun 1977, kelompok kerja UNCITRAL melakukan upaya kajian
sampai CISG selesai pada bulan September. Dua puluh satu negara telah
AD

menandatangani dan menunjukkan iktikad mereka untuk meratifikasi dan


enam puluh dua negara telah mengadopsi CISG ke dalam undang-undang
nasional mereka.164 Banyak negara telah mengadopsi CISG tidak lama setelah
RE

diluncurkan. Hal ini menunjukkan bahwa CISG sebagai dasar untuk lex
mercatoria modern yang memberikan kepastian hukum bagi hukum perdata

161 UNCITRAL, Thirty-five Years of Uniform Sales Law: Trends and Perspectives, 2015.
162 J.P. Ewert & D. Weslow, “Fetatures: Forum Shopping in Europe and the United States”, International
Trademark Association Bulletin, 66, hlm. 9.
163 A. Srivastava, “Modern Law of International Trade: Comparative Export Trade and International
Harmonization”, in International Law and the Global South, 2011, https://doi.org/10.1007/978
-981-15-5475-9.
164 E.A. Farnsworth, “The Vienna Convention: History and Scope”, Symposium/Inter­national Sale of
Goods, 18(1), 1984.

70 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


internasional.165 CISG juga terkenal dengan pandangan non-monopolistiknya.
Alih-alih men­ciptakan kekuasaan absolut yang melarang transaksi tertentu atau
membatalkan kontrak terlarang dan mendahului hukum domestik, CISG meng­
hormati pengaturan kontrak para pihak. Para pihak memiliki seluruh keputusan
termasuk (opt-in) atau tidak termasuk (opt-out) CISG secara keseluruhan atau
sebagian dari perjanjian mereka, sehingga kontrak mereka mengatasi ketentuan
hukum seragam yang bertentangan.166 Ini menjawab masalah dalam kontrak yang
gagal ditangani oleh para pihak, seperti pelanggaran kontrak, dan melanggar
aturan penjualan domestik, seperti Uniform Commercial Code Amerika Serikat.167
Sejak berdirinya CISG hingga saat ini, 94 negara anggota telah mengadopsi
konvensi ini. Portugal adalah anggota terbaru (mulai berlaku pada 1 Oktober
2021) (UNCITRAL, 2020), membuat CISG diterapkan ke semua negara anggota

PY
UE Inggris setelah Brexit. Penerapan CISG berasal dari berbagai sistem hukum di
dunia. Padahal, perlu dicatat bahwa dalam praktiknya, beberapa pengacara
di negara-negara anggota CISG terkadang memilih untuk tidak menyertakan
CISG dalam kontrak mereka. Misalnya, di Amerika Serikat, antara 55–71%
CO
pengacara memilih untuk tidak ikut serta, di Jerman sekitar 45% pengacara
secara mencolok memilih tidak ikut ketika menasihati klien mereka, dan
55% pengacara Australia melakukan hal yang sama. Sebaliknya, CISG
menunjukkan trennya pada pengacara Cina karena kekuatan tawar ekonomi
Cina dalam perdagangan global dan kesulitan dalam akses ke hukum Cina; itu
G
seperti kekuatan yang kuat dalam pilihan hukum.168
IN

B. Studi Komparatif Hukum Penjualan Barang


Sejarah hukum menyajikan dua jenis fenomena, yaitu lahirnya suatu model asli
AD

legislatif dan perpaduan model yang sudah ada sebelumnya, yang diasimilasi
oleh sistem hukum yang berbeda dari yang menghasilkannya.169 Pertama,
kelahiran model baru, hal ini agak jarang terjadi. Di sisi lain, perpaduan
model jauh lebih sering dan telah dipelajari secara ekstensif dalam studi
RE

165 Joseph D. Matera, Comment: The United Nations Convention on Contracts for the International
Sale of Goods (“CISG”) and Geneva Pharmaceuticals Technology Corp. v. Barr Laboratories,
Inc./Apothecon, Inc. v. Barr Laboratories, Inc., The U.S. District Court for the Southern. 16 Pace
International Law Review, 2004, hlm. 165–174.
166 F. De Ly, “Sources of International sales Law: An Eclectic Model”, Journal of Law and Commerce,
25(1), 2005, hlm. 1–12.
167 Ibid.
168 L. Spagnolo, “A Glimpse Through the Kaleidoscope: Choices of Law and the CISG
(Kaleidoscope Part I)”, Vindobona Journal, 13, 2009a, hlm.135–156.
169 Angelo Chianale, “The CISG as a Model Law: A Comparative Law Approach”, Sing. J. Legal Stud.,
2016, hlm. 29.

Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 71
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
perbandingan hukum. Para sarjana telah mengidentifikasi berbagai metode
untuk sirkulasi model, yaitu pengenaan oleh kekuatan dominan seperti halnya
KUHPerdata Prancis (French Civil Code) setelah kemenangan Napoleon, atau
untuk hukum nasional Eropa yang diekspor ke negara koloni. Contoh kasusnya
adalah Undang-Undang Penjualan Barang Inggris (English Sale of Goods
Act (SOGA)), yang diadopsi di seluruh Persemakmuran; dan adopsi spontan
melalui sistem hukum negara peniru, ketika model tersebut memiliki prestise
yang membuatnya tampak sebagai sistem terbaik yang tersedia. Demikian juga
dalam kasus hukum Romawi di Eropa abad pertengahan atau KUHPerdata
Jerman tahun 1900 (German Civil Code of 1900), yang diadopsi ke berbagai
sistem hukum di Swiss, Turki, dan Jepang, sebagai hasil dari pengaruh yang
diberikan oleh sarjana Jerman di lingkungan universitas.

PY
Menyangkut sistem hukum Barat, panorama model asli mengenai penjualan
barang dapat sangat disederhanakan. Model dominan tradisional yang berevolusi
antara abad ke-18 dan ke-20 dan diasimilasi oleh sistem lain adalah sebagai berikut.
1. Hukum penjualan barang Prancis, berdasarkan pengalihan properti antara
CO
para pihak dengan efek kontrak. Sistem ini dikembangkan oleh ahli hukum
Prancis sebelum pengenalan Code, diilustrasikan secara komprehensif
oleh Pothier dan akhirnya dimasukkan ke dalam Pasal 1138 dan 1583 dari
Code Civil. Model ini berasimilasi ke dalam hukum Belgia, Italia, Polandia,
Portugis, Bulgaria, Quebec, dan Louisiana. Ini juga muncul di SOGA 1893
G
mengenai aturan untuk transfer properti, identifikasi barang yang dijual,
dan penentuan harga. Pada gilirannya, SOGA 1893 dianggap pada
IN

waktunya sebagai model otonom Common Law dan berasimilasi baik di


banyak negara di Persemakmuran atau terkena pengaruh Common Law
Inggris (Australia, Selandia Baru, Kanada, India, Hong Kong, Singapura
AD

dan Nigeria), dan US, melalui Uniform Commercial Code.


2. Undang-undang penjualan barang Jerman, yang mengharuskan barang
dikirim untuk transfer properti. Model ini muncul dalam hukum Jerman,
RE

dalam varian yang meng­ilustrasikan pengiriman abstrak (BGB 929), dan


dalam hukum Austria, dalam varian yang mengilustrasikan pengiriman
berdasarkan suatu penyebab (ABGB 380, 425). Aturan yang menghubungkan
pengiriman dengan transfer kepemilikan barang ditransplantasikan dalam
Code Civil Swiss, Spanyol, dan Yunani. Terlebih lagi, model Jerman dan
Austria, yang mendapatkan prestise yang cukup besar di Eropa, berasimilasi
dengan berbagai sistem setelah disintegrasi negara-negara Sosialis (Estonia,
Lituania, Latvia, Slovenia, Slovakia, dan Republik Ceko).

CISG muncul di kancah dunia pada tahun 1980 dan merayakan hari jadinya
yang ke-40 pada tahun 2020. Dalam konteks hukum perbandingan, disarankan

72 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


untuk memverifikasi apakah CISG benar-benar dapat menggantikan model baru
untuk penjualan barang. Telah banyak diilustrasikan bahwa kerangka aturan CISG
berasal dari Common Law Inggris (misalnya, tanggung jawab atas pelanggaran
kontrak dan pemutusan kontrak yang diberikan dalam kondisi yang
membatasi), dari American Common Law (misalnya, kewajiban penjual dan
hak untuk menyelesaikan (kewajiban) jika penyelesaian dimungkinkan tanpa
penundaan dan ketidaknyamanan yang tidak wajar bagi pembeli), dari sistem
Prancis (misalnya, cara harga ditetapkan, pengurangan harga sebagai pemulihan
kontrak, prestasi khusus sebagai ganti rugi umum untuk pelanggaran kontrak,
dan uji perkiraan untuk jumlah kerusakan), dan dari sistem Jerman (misalnya,
kewajiban pembeli untuk memberi tahu barang yang rusak dan periode waktu
tambahan untuk prestasi yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam

PY
beberapa kasus).170 CISG dikembangkan pada tingkat keseragaman hukum
global. Oleh karena itu, di luar sistem nasional dan disajikan sebagai model baru,
yang berisi ringkasan aturan yang konsisten yang mengatur penjualan barang.

CO
C. Model Pengalihan Properti dan Fleksibilitas
Berbagai model penjualan barang dapat dinilai dan dibandingkan ber­dasarkan
berbagai aspek karakteristik. Dua hal berikut secara khusus layak mendapat
perhatian.
G
1. Pengalihan Properti
IN

Seperti yang Penulis jelaskan sebelumnya, oposisi klasik, yang dipelajari secara
ekstensif dalam perbandingan hukum, membedakan antara berbagai model
berdasarkan aturan yang digunakan untuk transfer properti. Di satu sisi, terdapat
AD

sistem di mana transfer properti terjadi ketika kontrak disepakati, bahkan jika
pengiriman barang yang dijual dan/atau pembayaran harga terjadi kemudian.
Model ini diadopsi oleh hukum Prancis sebelum Revolusi dan diilustrasikan
secara komprehensif dalam karya Pothier (Robert Joseph Pothier, 1699–1772).
RE

Code Civil Prancis tahun 1804 mengadopsinya dan menyebarkannya dalam


sistem lain yang berasal dari hukum Prancis. Ini juga muncul dalam aturan bahasa
Inggris yang ditetapkan dalam SOGA 1893 (Bagian II: Efek Kontrak, Pengalihan
Properti antara Penjual dan Pembeli),171 terutama melalui sistem hukum Louisiana
Prancis (Code Civil tahun 1808) dan karya Yehuda Philip Benjamin.172

170 Ulrich Magnus, “The Vienna Sales Convention (CISG) between Civil and Common Law-Best of
all Worlds”, J. Civ. L. Stud. 3, 2010, hlm. 67.
171 Ibid.
172 Judah Philip Benjamin, A Treatise on the Law of Sale of Personal Property: With References to the
American Decisions and to the French Code and Civil Law, Sweet and Maxwell, limited, 1906.

Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 73
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
Di sisi lain, terdapat sistem di mana properti ditransfer setelah kontrak
penjualan ditetapkan berdasarkan pengiriman. Model ini adalah karakteristik
hukum Jerman (dengan pengiriman abstrak) dan hukum Austria (dengan
pengiriman kausal). Namun, pertentangan antara model penjualan berdasarkan
cara properti barang yang dijual ditransfer telah dikritik oleh Penulis per­
bandingan hukum terkemuka.173 Pada akhirnya, kita dapat melihat bahwa
mengidentifikasi saat properti ditransfer (setelah kontrak atau pengiriman)
termasuk dalam ranah formulasi umum, sedangkan solusi dari berbagai
masalah praktis termasuk dalam ranah aturan operasional. Dengan demikian,
ditemukan bahwa bahkan sistem hukum dengan formula umum yang kontras
dapat berbagi aturan operasional yang identik.
Pertentangan antara model ini mencuat dari perspektif hukum positif

PY
dengan diundangkannya CISG, karena tidak mengandung aturan apa pun
tentang transfer properti. Akibatnya, ketika muncul pertanyaan yang harus
diselesaikan berdasarkan kepemilikan, hakim harus merujuk pada hukum
domestik yang berlaku sesuai dengan aturan konflik yang biasa. Tidak adanya
CO
aturan yang tepat dalam CISG mengenai transfer properti tidak boleh dianggap
sebagai celah. Itu adalah pilihan yang disengaja oleh para penyusun konvensi,
sehingga mereka tidak perlu mengambil sikap mengenai aspek yang sangat sensitif
dari penjualan bergerak yang diselesaikan secara berbeda dalam sistem yang
disebutkan di atas. Hal ini tanpa diragukan lagi memfasilitasi adopsi CISG oleh
G
sistem hukum yang mengadopsi satu solusi atau yang lain untuk penjualan domestik.
IN

2. Kepastian atau Fleksibilitas


Pertentangan lain yang sangat signifikan, tetapi jarang dianalisis oleh sarjana
perbandingan hukum, adalah pertanyaan tentang kepastian atau fleksibilitas.
AD

Tingkat kepastian tertentu dikaitkan dengan undang-undang penjualan yang


menjamin prediktabilitas maksimum dari solusi yang diminta dari hakim dan
arbiter. Ini menyiratkan bahwa aturan hukum harus setepat mungkin dan
RE

harus menghindari celah, arahan umum untuk para pihak, atau kesenjangan
interpretasi untuk keputusan kasus. Di sisi lain, setiap undang-undang penjualan
yang berisi klausul umum, seperti prinsip iktikad baik, mengikat pihak-pihak
yang berkontrak dengan perilaku, yang legitimasinya diputuskan setelah peristiwa
oleh hakim atau arbiter, dianggap fleksibel.
Dalam pengertian ini, sistem yang menempati titik-titik ekstrem per­
tentangan adalah hukum penjualan barang Inggris, yang dianggap sebagai

173 Rodolfo Sacco, “Legal Formants: A Dynamic Approach to Comparative Law (Installment II of II)”,
The American Journal of Comparative Law, 39(2), 1991, hlm. 343–401.

74 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


benteng kepastian, dan hukum Jerman, yang dianggap sangat fleksibel. Secara
khusus, dalam hukum penjualan barang Inggris, tidak ada kewajiban untuk
bertindak dengan iktikad baik. Sedangkan, dalam hukum Jerman, iktikad baik
dan parameter kewajaran terkandung dalam seluruh spektrum hubungan
kontrak. Salah satu hasilnya adalah konfigurasi yang berbeda dari kekuasaan
hakim, yaitu ketika sistem hukum sangat fleksibel, hakim umumnya diberikan
wewenang yang lebih besar untuk menafsirkan isi kontrak, termasuk hak
untuk memodifikasi klausul apa pun yang dianggap bertentangan dengan
iktikad baik. Di bawah CISG, iktikad baik hanya bertindak sebagai prinsip
interpretatif dari konvensi itu sendiri, yaitu mengikuti tradisi Common Law
Inggris, CISG tidak mengakui kewajiban umum untuk bertindak dengan iktikad
baik yang pelanggarannya dapat menyebabkan wanprestasi.174 Ini berarti

PY
bahwa “pengadilan tidak boleh menerapkan prinsip iktikad baik pada kontrak
inter­nasional kapan pun prinsip itu akan berlaku untuk situasi domestik”.175
Ketegangan antara kepastian dan keadilan diselesaikan oleh CISG yang
mendukung prinsip kepastian. Banyak Penulis menunjukkan bahwa solusi ini
CO
adalah yang terbaik untuk menurunkan biaya transaksi terkait ketidakpastian
dan dapat mencegah bisnis untuk memilih keluar dari CISG.

D. CISG dan Pengaruhnya dalam Hukum Nasional


G
Sampai dengan tahun 2020, CISG telah ada selama 40 tahun dan telah
diratifikasi oleh 83 negara. Negara-negara perdagangan global penting yang
IN

telah mendaftar baru-baru ini termasuk Jepang efektif 1 Agustus 2009, Turki
efektif 1 Agustus 2011, dan Brazil efektif 1 April 2014. CISG dianggap sebagai
hukum seragam internasional yang sangat sukses.176 Untuk beberapa waktu
AD

sekarang, para sarjana juga telah mencatat dampak yang dimiliki CISG pada
berbagai sistem hukum, mengenai penjualan barang dan kewajiban hukum
dan hukum kontrak secara umum.177
Pengaruh pada sistem nasional dapat dirasakan pada pengadilan melalui
RE

doktrin, praktik hukum, dan penemuan hukum. Adalah fakta yang diketahui
bahwa hakim Belanda telah menggunakan CISG dalam berbagai keputusan
untuk menafsirkan hukum nasional, misalnya dalam hal-hal yang berkaitan
dengan pembentukan kontrak, pelanggaran kontrak, dan ketidaksesuaian

174 Steven D. Walt, “The Modest Role of Good Faith in Uniform Sales Law”, BU Int’l LJ, 33, 2015, hlm.
37.
175 Ole Lando, “CISG and Its Followers: A Proposal to Adopt Some International Principles of
Contract Law”, Am. J. Comp. L., 53, 2005, hlm. 379.
176 Ibid.
177 Franco Ferrari, The CISG and Its Impact on National Legal Systems, Walter de Gruyter, 2009.

Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 75
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
barang yang dijual.178 Namun, dalam konteks ini, analisis CISG sebagai model
perbandingan hukum terbatas pada fenomena di tingkat legislatif.
1. Kasus negara-negara Skandinavia sudah diketahui dengan baik. Sayangnya,
keinginan untuk harmonisasi hukum pada tingkat regional belum
dikoor­dinasikan secara efisien dengan memanfaatkan CISG. Hasilnya,
sekarang agak rumit dan tidak mewakili contoh sukses dari pendekatan
internasional yang seragam untuk penjualan barang. Awal abad ke-20,
negara-negara Skandinavia mengadopsi versi undang-undang penjualan
yang hampir identik (Nordic Sales Acts), memperkenalkan semacam
undang-undang seragam yang mengatur penjualan antara pihak-pihak
yang memiliki tempat bisnis mereka di Denmark, Finlandia, Islandia,
Norwegia, dan Swedia. Ketika mereka mengadopsi CISG, negara-negara

PY
ini mengecualikan penerapan konvensi untuk kasus-kasus penjualan
Nordik. Namun, semua negara Skandinavia, kecuali Denmark, merevisi
undang-undang penjualan barang nasional mereka, membawanya sejalan
dengan sebagian besar dari isi CISG, yaitu Finlandia pada tahun 1988,
CO
Norwegia pada tahun 1989, Swedia pada tahun 1991, dan Islandia pada
tahun 2000. Norwegia dan Islandia secara khusus memasukkan aturan
CISG ke dalam undang-undang penjualan barang nasional mereka, dengan
hasil bahwa hukum nasional juga berlaku untuk penjualan internasional
(dengan aturan yang identik dengan CISG, kecuali untuk beberapa
G
perbedaan, seperti pembentukan kontrak). Ini menghasilkan situasi yang
kompleks, karena penerapan simultan dari CISG dan hukum nasional.
IN

Pada 1 November 2014, CISG menjadi berlaku langsung di Norwegia,


alih-alih hukum nasional yang terinspirasi olehnya.
2. Di Eropa, CISG memengaruhi reformasi hukum kontrak di Estonia, yaitu
AD

Law of Obligations Act (Undang-Undang Hukum Kewajiban) yang


diberlakukan pada 1 Juli 2002. Undang-undang baru hampir secara
identik mengubah sifat mengikat dari penggunaan dan praktik, interpretasi
RE

objektif dari deklarasi niat, kebebasan bentuk, mitigasi bahaya, dan


larangan penyalahgunaan hak.
3. Ekonomi terkecil di dunia, Kepulauan Tokelau, telah mengadopsi aturan
CISG sebagai hukum domestik, baik untuk penjualan barang maupun
untuk hukum kontrak umum. Tokelau adalah wilayah otonom Selandia
Baru (penduduk pulau-pulau tersebut telah dua kali memilih menentang
kemerdekaan) yang terdiri atas tiga atol karang kecil (total 10 kilometer
persegi), dihuni oleh 1.400 orang, dengan ketinggian maksimum 4 meter

178 Sonja A. Kruisinga, “The Impact of Uniform Law on National Law: Limits and Possibilities: CISG
and Its Incidence in Dutch Law”, online, 2009, hlm. 132.

76 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


di atas permukaan laut, tanpa bandara atau pelabuhan komersial. Selandia
Baru meratifikasi CISG, efektif 1 Oktober 1995, tetapi mengecualikan
penerapan konvensi ke Tokelau. Kepulauan kecil ini terutama diatur oleh
undang-undang dan bea cukai setempat. Undang-Undang Penjualan Barang
Selandia Baru 1908 tidak berlaku di sana (Tokelau Act 1948). Dewan Tetua
akhirnya mengadopsi Aturan Kontrak 2004 yang menggunakan aturan
CISG, tidak hanya untuk penjualan domestik dan internasional saja, tetapi
untuk hukum kontrak secara umum juga.
4. Bahkan dalam ekonomi terbesar di dunia, Cina, CISG pada dasarnya telah
menjadi bagian dari hukum domestik. Penjabaran Undang-Undang Kontrak
Tahun 1999 didukung oleh aturan CISG. Kita dapat melihat kesamaan yang
sangat kuat dalam aturan tentang kesimpulan kontrak, tanggung jawab

PY
vendor untuk ketidaksesuaian barang, transfer risiko, dan pengiriman
barang yang dijual. Kemudian, bahkan pendekatan teoretis para ahli
hukum Tiongkok dipengaruhi oleh CISG dan oleh prinsip-prinsipnya:
“Modernisasi hukum kontrak tidak hanya berarti seperangkat aturan huruf
CO
hitam yang dimodernisasi, tetapi juga pemahaman, ide, atau teori hukum
kontrak yang dimodernisasi”. Pada tahun 2013, penghapusan, oleh Cina,
reservasinya terhadap Pasal 11 CISG dalam bentuk tertulis dari kontrak
menyebabkan penyelarasan lebih lanjut dari hukum domestik dengan
aturan CISG. Akhirnya juga, para penyusun KUHPerdata Tiongkok yang
G
baru dapat menemukan di CISG, sumber hukum yang sangat penting baik
untuk penjualan barang maupun hukum kontrak secara umum.
IN

Dalam beberapa sistem hukum, reformasi hukum nasional untuk penjualan


barang telah dimulai atau telah disarankan, karena mereka dianggap usang
AD

dan tidak sesuai dengan kebutuhan perdagangan modern. Dalam beberapa


kasus, penggantiannya dengan aturan CISG juga telah disarankan.
1. Misalnya, di Selandia Baru, Undang-Undang Penjualan Barang 1908 tidak
lagi dipertimbangkan sejalan dengan waktu, terutama di mana solusi
RE

kontrak yang bersangkutan dan beberapa sarjana ingin aturan CISG diadopsi
langsung ke dalam hukum domestik.
2. Kasus Australia bahkan lebih kompleks.26 Australia adalah federasi dan
berbagai negara bagian telah mengadopsi aturan hukum kontrak Inggris
dan penjualan barang dengan berbagai cara. Hal ini menciptakan dalam
bisnis domestik untuk penjualan bisnis masalah biaya informasi yang
sepenuhnya mirip dengan yang muncul dalam perdagangan internasional.
Terlebih lagi, luasnya wilayah tersebut menimbulkan masalah khusus
pengangkutan barang dan pengiriman jarak jauh yang ditangani oleh CISG.

Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 77
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
3. Situasinya serupa di Nigeria—ekonomi terbesar di Afrika—yang belum
meratifikasi CISG. Pada sebuah lokakarya pada tanggal 2 September
2014, Komisi Reformasi Hukum Nigeria mulai mempertimbangkan
reformasi Undang-Undang Penjualan Barang 1893, yang masih mereproduksi
hukum Inggris lama tanpa inovasi substansial. Sekarang, ada seruan agar
reformasi mengambil CISG sebagai model hukum.179
4. Untuk waktu yang lama, Jepang tidak meratifikasi CISG. Sementara itu,
aturan CISG secara bertahap menjadi lebih akrab bagi komunitas hukum
dan mereka datang untuk memodifikasi interpretasi hukum nasional. Ini
tampaknya terjadi di bidang penghindaran kontrak. Di Jepang, sebagai
aturan umum, pihak yang terluka dapat menghindari penjualan apa pun
jenisnya atau seberapa penting pelanggaran itu. Pengecualian terhadap

PY
prinsip ini, yang tersebar di sekitar KUHPerdata, sekarang ditafsirkan
dalam terang CISG sebagai prinsip itu sendiri, sehingga pembatasan peng­
hindaran terhadap kasus-kasus pelanggaran mendasar menjadi bagian
dari hukum domestik.28 Reformasi hukum kewajiban Jepang yang sedang
CO
berlangsung dapat meningkatkan tingkat penerimaan prinsip dan aturan
CISG dalam sistem hukum Jepang. Menurut beberapa sarjana, “[t]dia isi
[CISG] bisa dibilang jauh lebih baik daripada hukum penjualan Jepang”.180
5. Turki meratifikasi CISG pada tahun 2010 (efektif 1 Agustus 2011). Turkish
Code of Obligations di Turki yang baru (efektif 1 Juli 2012) secara mendalam
G
mereformasi undang-undang kontrak, masih didasarkan pada model
Swiss yang diadopsi pada tahun 1920-an. Perubahan yang sangat penting
IN

menginvestasikan aturan tentang berlalunya risiko kerusakan yang tidak


disengaja atau kerusakan barang yang dijual. Code lama menghubungkan
bagian risiko dengan kesimpulan kontrak. Code baru (Pasal 208) mengikuti
AD

solusi CISG (Pasal 67 dan 68). Risiko dan manfaat atas barang yang dijual
lulus kepada pembeli pada saat pengalihan kepemilikan. Perubahan
aturan ini secara tegas dibenarkan dengan menyebutkan aturan CISG.181
RE

179 Hiroo Sono, “Japan’s Accession to the CISG: The Asia Factor”, Pace Int’l L. Rev, 20, 2008, hlm. 105.
180 Noboru Kashiwagi, “Accession by Japan to the Vienna Sales Convention (CISG)”, Zeitschrift
für Japanisches Recht, 13(25), 2008, hlm. 207–214.
181 Seda İrem ÇAKIRCA, “Passing of Risk According to the United Nations Convention on Contracts
for the International Sale of Goods and the New Turkish Code of Obligations from a Comparative
Perspective”, Ankara Hacı Bayram Veli Üniversitesi Hukuk Fakültesi Dergisi, 16(4), 2012, hlm.
91–116.

78 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


E. CISG dan Harmonisasi Hukum Regional
1. Negara-Negara Eropa: Studi Kasus CESL
Sejarah CISG bersinggungan dengan berbagai upaya harmonisasi hukum regional
tentang penjualan barang internasional.182 Evolusi proyek Eropa terjadi dengan
sangat signifikan. Pada bulan Oktober 2011, Komisi Eropa mengusulkan
undang-undang Eropa seragam baru tentang penjualan barang, yang bermaksud
untuk menyelesaikan masalah yang timbul dari keragaman undang-undang
kontrak nasional ini (draf Peraturan tentang Undang-Undang Penjualan Eropa
Umum (Common European Sales Law (CESL))).183 Pada 26 Februari 2014,
Parlemen Eropa menyetujui rancangan tersebut pada pembacaan pertamanya,
dengan memperkenalkan beberapa perubahan pada teks-teks tersebut.

PY
CESL harus mengatur penjualan kepada konsumen dan bisnis. Penjualan
lintas batas ke bisnis saat ini berada di bawah CISG (semua negara anggota Uni
Eropa (UE), kecuali Inggris, Irlandia, Malta, dan Portugal adalah pihak dalam
CISG). Oleh karena itu, CESL yang diusulkan dimaksudkan untuk menjadi rezim
CO
hukum kontrak kedua yang seragam. Itu tidak mengubah hukum nasional
dan harus diterapkan secara sukarela, dengan persetujuan para pihak dalam
penjualan internasional (ini adalah undang-undang keikutsertaan). CESL kemudian
akan menghapus pilihan baru antara sistem hukum yang dapat dibuat oleh
para pihak secara bebas, yaitu hukum nasional mana pun, baik dari anggota
G
UE atau negara bagian lain. Proposal Komisi Eropa adalah bahwa CISG dan
CESL harus hidup berdampingan dalam penjualan internasional bisnis ke
IN

bisnis. CISG tetap menjadi rezim default untuk penjualan barang internasional,
sedangkan CESL dapat dipilih secara eksplisit oleh para pihak. Akan tetapi,
jelas bahwa keberadaan dua sistem hukum seragam yang berbeda yang
AD

mengatur penjualan internasional dapat membingungkan bisnis, membuat


negosiasi tentang hukum yang berlaku lebih sulit, dan dengan demikian
meningkatkan biaya transaksi.
Baik CISG maupun CESL tidak mencakup seluruh perihal kontrak untuk
RE

penjualan barang. Seperti yang ditunjukkan oleh Komisi Eropa, CESL sedikit
lebih luas karena juga mencakup cacat dalam persetujuan, kewajiban untuk
menginformasikan, keadilan dan validitas persyaratan standar. Namun, setiap
pertanyaan yang berkaitan dengan hal-hal yang masih belum tercakup oleh
CESL memerlukan penelitian tentang hukum yang berlaku di bawah aturan

182 Bruno Zeller, “Recent Developments of the CISG: Are Regional Developments the Answer to
Harmonisation?”, Vindobona Journal of International Commercial Law and Arbitration, 18(1), 2014,
hlm. 111–128.
183 Ulrich Magnus, “CISG and CESL”, Liber Amicorum Ole Lando, 2012, hlm. 225–255.

Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 79
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
konflik yang biasa. Dalam hal ini, situasinya mirip dengan hal-hal yang tidak
dicakup oleh CISG.
Aturan Jerman yang mengatur iktikad baik juga muncul dalam proyek CESL
Eropa. Pasal 2 CESL menetapkan prinsip umum untuk bertindak dalam “iktikad
baik dan transaksi yang adil”. Ini adalah kewajiban hukum para pihak dan
pelanggarannya dapat menyebabkan tanggung jawab kontraktual dan me­
nimbulkan ganti kerugian.184 Selain itu, hakim diizinkan melakukan diskresi untuk
memastikan bahwa praktik komersial yang baik diterapkan (misalnya, Pasal
89.2 CESL memberi hakim kewenangan untuk “mengadaptasi kontrak”, dalam
kondisi tertentu, dalam kasus berubahnya fakta-fakta yang ada). Ketegangan
antara kepastian dan keadilan diselesaikan oleh CESL yang mendukung
prinsip keadilan. Banyak Penulis yang menunjukkan bahwa solusi ini dapat

PY
meningkatkan biaya transaksi terkait ketidakpastian dan dapat mencegah
bisnis untuk memilih CESL.
CESL dimaksudkan untuk menciptakan “dalam hukum nasional masing-
masing negara anggota rezim hukum kontrak kedua untuk kontrak dalam ruang
CO
lingkupnya” (Resital (9)). Pada akhirnya, kita bisa berakhir dengan tiga sistem
untuk penjualan barang bergerak, yaitu hukum nasional, hukum seragam
CESL, dan CISG. Banyak sarjana yang percaya bahwa solusi serupa untuk
harmonisasi regional diramalkan akan gagal. Mengambil berbagai kritik atas hal
tersebut, Komisi Eropa telah menarik proyek CESL, berniat untuk menggantinya
G
dengan peraturan yang berfokus pada e-commerce dan ditakdirkan untuk
men­ciptakan pasar tunggal digital di Eropa.
IN

2. Negara-Negara Asia Tenggara


Mesin harmonisasi regional telah kuat digerakkan di Asia dan Pasifik. Pada
AD

tahun 2009, komunitas negara-negara yang dikenal sebagai Perhimpunan


Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) (Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos,
Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam) menyetujui
RE

Perjanjian Perdagangan Barang ASEAN.34 Perjanjian per­dagangan bebas


juga berlaku dengan India (AIFTA), Cina (ACFTA), Korea Selatan (ASKFTA),
Jepang (sebagai kemitraan ekonomi: AJCEPT), serta Australia dan Selandia Baru
(AANZFTA). Perjanjian-perjanjian ini memperluas wilayah perdagangan bebas
jauh di luar perbatasan komunitas negara-negara ASEAN, dan membayangkan
implementasi bertahap dari perdagangan bebas barang antara negara-negara
yang meratifikasi, menghilangkan bea cukai dan hambatan proteksionis. Namun,

184 Dalam usulan komisi “’iktikad baik dan adil berurusan’ berarti standar perilaku yang ditandai
dengan kejujuran, keterbukaan, dan pertimbangan untuk kepentingan pihak lain dalam transaksi”
(Pasal 2(b) (aturan ini diubah dengan lebih fleksibel oleh Parlemen: Amandemen 37)).

80 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


perjanjian tersebut tidak berisi aturan yang akan diterapkan pada kontrak
perdagangan internasional, tetapi terbatas pada mendorong standardisasi regional
yang kuat.
Negara-negara yang telah bergabung ke dalam ATIGA menetapkan tujuan
perjanjian dalam Pembukaan perjanjian berikut ini.
a. BERKEINGINAN untuk bergerak maju dengan mengembangkan Perjanjian
Perdagangan Barang ASEAN yang komprehensif, yang dibangun di atas
komitmen berdasarkan perjanjian ekonomi ASEAN yang ada untuk
menyediakan kerangka hukum untuk mewujudkan arus bebas barang di
kawasan.
b. MEYAKINI bahwa Perjanjian Perdagangan Barang ASEAN yang komprehensif
akan meminimalkan hambatan dan memperdalam hubungan ekonomi di

PY
antara negara-negara anggota, menurunkan biaya bisnis, meningkatkan
perdagangan, investasi, dan efisiensi ekonomi, menciptakan pasar yang
lebih besar dengan peluang yang lebih besar dan skala ekonomi yang
lebih besar untuk bisnis negara-negara anggota dan menciptakan dan
CO
mempertahankan area investasi yang kompetitif...185
Perjanjian untuk perdagangan bebas barang hanya akan dapat mencapai
tujuannya secara penuh jika disertai dengan peraturan penjualan internasional
yang seragam. Hal ini telah mendorong sejumlah sarjana terkenal untuk
G
meloloskan proyek yang dikenal sebagai Principles of Asian Contract Law
(Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Asia) (PACL), tetapi ini akan memerlukan
IN

waktu pengembangan yang lama dan dapat menghadapi hambatan politik


untuk implementasinya. Seperti yang digarisbawahi oleh Singapore Academy
of Law, “ASEAN adalah mikrokosmos dari sistem hukum dunia yang berbeda,
AD

setiap upaya untuk menyelaraskan hukum perdagangan internasional dari


awal adalah tugas yang luar biasa.”186187 CISG sudah menjadi instrumen yang
cocok untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh perjanjian ATIGA itu sendiri.
Pembukaan CISG menyatakan bahwa mengadopsi aturan seragam yang mengatur
RE

kontrak untuk penjualan barang internasional dan mempertimbangkan sistem


sosial, ekonomi, dan hukum yang berbeda akan berkontribusi pada penghapusan
hambatan hukum dalam perdagangan internasional dan mempromosikan
pengembangan perdagangan internasional.
Inilah tujuan yang ingin dicapai oleh perjanjian perdagangan bebas Asia.
Beberapa negara yang menandatangani perjanjian perdagangan bebas juga

185 Ibid.
186 Shiyuan Han, “Principles of Asian Contract Law: An Endeavor of Regional Harmonization of
Contract Law in East Asia”, Vill. L. Rev., 58, 2013, hlm. 589.
187 Jungjoon Ka, “Introduction to PACL”, 2014, hlm. 55–65.

Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 81
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
telah meratifikasi CISG (Jepang, Singapura, Australia, Selandia Baru, dan Cina).
Jika negara-negara lain juga meratifikasi CISG, wilayah perdagangan bebas di
Asia Tenggara akan segera memiliki hukum instrumen yang diperlukan untuk
memfasilitasi sirkulasi barang.188 Lebih lanjut, negara-negara Asia Tenggara
dapat mengejar tujuan meng­adopsi hukum regional yang seragam. Sekali lagi,
CISG akan menjadi sumber aturan yang cocok untuk harmonisasi regional
undang-undang tentang pen­jualan barang bergerak. Antara lain, banyak aturan
CISG yang mendorong para pihak untuk mempertahankan kontrak (misalnya,
hak untuk menyelesaikan secara damai), daripada memulai litigasi: “merupakan
pendekatan yang lebih Asia dan konsensual daripada pendekatan konfrontatif
Barat”. Dalam pengertian ini, CISG juga dapat memulihkan sensitivitas hukum
spesifik dari sistem Asia.

PY
3. Studi Kasus Harmonisasi Hukum OHADA di Afrika
Organisasi pourl’ Harmonisation en Afrique du Droit des Affaires (OHADA)
didirikan di Afrika, dengan perjanjian yang ditandatangani pada 17 Oktober
CO
1993 dan direvisi pada tahun 2008. Tujuh belas negara Afrika Tengah saat
ini menjadi anggota OHADA (Benin, Burkina Faso, Kamerun, Republik
Afrika Tengah, Pantai Gading, Republik Kongo, Komoro, Gabon, Guinea,
Guinea-Bissau, Guinea Khatulistiwa, Mali, Niger, Republik Demokratik
Kongo, Senegal, Chad, dan Togo). Tujuan organisasi ini adalah untuk
G
memperbaiki ketidakpastian hukum dan yuridis yang ada di antara negara-
negara penandatangan, karena keter­belakangan banyak teks hukum, yang
IN

mencerminkan periode kolonial dan tidak lagi mencerminkan situasi ekonomi


saat ini dan hubungan internasional.189
Pada tahun 1997, negara-negara penandatangan mengadopsi undang-undang
AD

seragam yang mengatur hukum komersial (Acte Uniforme relatif au Droit


Commercial Général), yang dimodifikasi dan dimodernisasi pada tahun 2010
(Acte Uniforme Révisé portant sur le Droit Commercial Général). Undang-
RE

undang ini mengatur juga mengenai penjualan barang antarperusahaan


dan tidak termasuk penjualan kepada konsumen (AUDCG, Pasal 202–203;
AURDCG, Pasal 234–235). Klausul hukum seragam mengikuti aturan CISG
dengan sangat rinci, dengan hanya perbedaan marjinal.
Sangat menarik untuk dicatat bahwa negara-negara anggota OHADA hampir
semuanya adalah bekas koloni Prancis (satu-satunya pengecualian adalah

188 Gary F. Bell, “Harmonisation of Contract Law in Asia – Harmonising Regionally or Adopting
Global Harmonisations-The Example of the CISG”, Sing J. Legal Stud., 2005, hlm. 362.
189 Marcel Fontaine, “Law Harmonization and Local Specificities–A Case Study: OHADA and the
Law of Contracts”, Uniform Law Review, 18(1), 2013, hlm. 50–64.

82 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Guinea-Bissau bekas koloni Portugis, Guinea Khatulistiwa bekas koloni
Spanyol, dan Kamerun yang sistem hukum campurannya berasal dari Prancis
atau Inggris), yang mengambil inspirasi mereka dari model Prancis untuk
mengatur hukum domestik. Terlepas dari ini, negara-negara ini—kebanyakan
dari mereka Francofil dan dengan budaya hukum Prancis—telah mengadopsi
pendekatan CISG untuk penjualan barang domestik, termasuk beberapa
aturan khas yang berasal dari Common Law Inggris (misalnya, pembentukan
kontrak dan penarikan juga penerimaan proposal, yaitu AUDCG Pasal 211 dan
AURDCG Pasal 242).
Di sisi lain, warisan sejarah dan budaya Eropa anehnya muncul dalam
kaitannya dengan transfer properti. Seperti yang kita lihat sebelumnya, sistem
hukum perdata umumnya menetapkan kapan properti diteruskan ke pembeli.

PY
Hukum Prancis, seperti yang telah kita lihat, menghubungkan transfer properti ke
kontrak sederhana, terlepas dari pengiriman atau pembayaran harga. Undang-
undang seragam Afrika tidak menghindari kebutuhan untuk memberikan
aturan khusus tentang transfer properti, tetapi mengadopsi aturan Jerman,
CO
yang menghubungkan transfer properti dengan pengiriman barang yang dijual
(AUDCG Pasal 283 dan AURDCG Pasal 275). Namun, adopsi keputusan yang
tepat mengenai transfer properti tidak mengubah aturan yang diterapkan, yang
tetap menjadi milik CISG. Perjalanan risiko, misalnya, terjadi dengan pengiriman
(CISG, Pasal 69), kecuali bahwa hukum seragam OHADA memperkenalkan
G
media logis dari berlalunya properti (AUDCG Pasal 285 dan AURDCG Pasal
277: “Le transfert de propriété entraîne le transfert des risques à l’acheteur”).
IN

Teks AUDCG diadopsi sebagai hukum domestik oleh sejumlah negara


penandatangan. Misalnya, dalam KUH Perdata Senegal, penjualan barang
diatur oleh pasal 202-288, yang mereproduksi kata demi kata teks hukum
AD

seragam AUDCG. 42 CISG dengan demikian telah menjadi hukum nasional


untuk penjualan barang di negara-negara yang telah mendaftar ke OHADA.

4. Harmonisasi Hukum pada Tingkat Regional


RE

Tiga ekonomi penting bergabung dengan CISG baru-baru ini, yaitu Jepang
(2009), Turki (2011), dan Brazil (2014), sementara Afrika Selatan tidak sampai
sekarang. Kita dapat menganalisis konsekuensi dari menjadi peserta CISG,
ketika negara yang meratifikasi adalah ekonomi terkemuka regional. Kasus
Turki sangat menarik. Negara ini memainkan peran politik, budaya, dan
ekonomi terkemuka dalam Dewan Kerjasama Negara-Negara Berbahasa Turki
(the Cooperation Council of Turkic-Speaking States (CCTS)), yang didirikan
pada tahun 2009 (Perjanjian Nakhchivan). Negara-negara anggota CCTS
adalah Azerbaijan, Kazakhstan, Kirgistan, Turki, sementara Turkmenistan
dan Uzbekistan dianggap sebagai kemungkinan anggota masa depan. Hanya

Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 83
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
Kirgistan (efektif 1 Juni 2000) dan Uzbekistan (efektif 1 Desember 1997),
setelah pembubaran Uni Soviet, sudah menjadi pihak dalam CISG.
Pada CCTS, terdapat pernyataan: menciptakan kondisi yang menguntungkan
untuk perdagangan dan investasi; bertujuan untuk pertumbuhan ekonomi
yang komprehensif dan seimbang, pembangunan sosial dan budaya; dan
mempromosikan pertukaran informasi hukum yang relevan dan meningkatkan
kerja sama hukum. CCTS juga bekerja untuk meningkatkan pembangunan
ekonomi di semua wilayah negara anggota. Jelas bahwa Turki adalah negara
terkemuka di CCTS. Oleh karena itu, adopsi CISG oleh Turki tentu akan
memiliki efek yang lebih luas. Semua negara anggota CCTS, yang bukan
merupakan pihak dalam CISG, akan dirangsang untuk meratifikasinya. Peran
utama Turki dalam harmonisasi regional menengah ini akan dibantu dengan

PY
mengadopsi CISG dan menentukan adhesi baru pada konvensi.190
Di kawasan Asia Pasifik, banyak negara yang tidak meratifikasi CISG sampai
sekarang, yaitu Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina,
Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Penerapan CISG di Hong Kong masih dalam
CO
pembahasan.191 Aksesi Jepang ke CISG pada tahun 2009 dapat memengaruhi
negara-negara ini karena peran ekonomi utama yang dimainkan oleh Jepang di
kawasan ini. Perdagangan internasional antara Jepang dan ekonomi regional
lainnya dapat didorong oleh meluasnya penggunaan CISG. Filipina, misalnya,
saat ini sedang mempersiapkan keanggotaan CISG.192
G
Dalam dua kasus ini, aksesi ke CISG oleh ekonomi kuat regional (Turki
dan Jepang) dapat membawa adopsi undang-undang penjualan barang yang
IN

seragam di bawah pimpinan ekonomi yang kuat. Negara-negara lain akan


merasakan tekanan dan mungkin akan memutuskan untuk mengadopsi alat
hukum penjualan untuk perdagangan barang internasional.193 Kasus Brazil
AD

berbeda. Semua negara bagian Amerika Selatan sudah menanda­ tangani CISG
(dengan satu-satunya pengecualian Venezuela). Dengan aksesinya sendiri ke
CISG, Brazil mencapai tingkat hukum seragam yang sama yang sudah ada di
RE

190 William P. Johnson, “Turkey’s Accession to the CISG: The Significance for Turkey and for Sales
Transactions with US Contracting Parties”, Ankara Law Review, 8, 2011.
191 Ulrich G. Schroeter, “The Status of Hong Kong and Macao under the United Nations Convention
on Contracts for the International Sale of Goods”, Pace. Int’l L. Rev., 16, 2004, hlm. 307.
192 Rosario Elena A. Laborte-Cuevas, “The Philippines’ Perspective on United Nations Convention
on Contracts of International Sales of Goods”, Victoria University of Wellington, diakses
darihttp://www.victoria.ac.nz/law/nzacl/pdfs/special%20issues/hors%20serie%20vol%20xix/
rosario%20elena%20a.%201aborte-cuevas%20for%20printing.doc.

193 Akan tetapi, harus diakui bahwa aksesi Cina ke CISG pada tahun 1988 dan meningkatnya peran
utama ekonomi Tiongkok di kawasan Asia sampai sekarang tidak memiliki pengaruh pada ratifikasi
oleh negara-negara ASEAN lainnya.

84 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


negara-negara Amerika Selatan lainnya.194 Ini akan membantu perdagangan
barang regional Brazil dan akan menurunkan biaya transaksi untuk bisnis Brazil.
Dalam hal ini, ekonomi yang kuat di kawasan ini tidak memimpin penyatuan
regional, melainkan mengikuti tren yang sudah ada di negara-negara tetangga.
Akhirnya, kita dapat mengingat bahwa hanya enam negara Afrika Selatan
yang mengadopsi CISG (Madagaskar, Gabon, Uganda, Zambia, Republik Kongo,
dan Burundi). Republik Afrika Selatan adalah ekonomi pertama di benua itu,
tetapi bukan merupakan pihak dari CISG. Peran utama Afrika Selatan telah
membuat beberapa orang mendesak untuk mengadopsi CISG sebagai alat
“untuk menyatukan hukum penjualan yang berlaku di wilayah Afrika selatan”.
Sekali lagi, CISG dapat tampak sangat berguna untuk mencapai keseragaman
dalam hukum perdagangan dalam skala regional jarak menengah, di bawah

PY
kepemimpinan negara yang paling maju secara ekonomi.

F. CISG sebagai Model Harmonisasi Hukum


Dalam 40 tahun masa berlakunya, CISG telah melalui proses yang menentukan.
CO
Kemanfaatannya telah menjadi sumber hukum dari banyak keputusan, baik
dari pengadilan nasional maupun majelis arbitrase dan output akademik
yang sangat luas. Hasil dari semua ini adalah untuk mencegah risiko ketidak­
seragaman dalam interpretasi dan penerapan konvensi. CISG sekarang dapat
G
dianggap sebagai badan hukum yang otonom dan konsisten, sepenuhnya
mampu menjembatani kesenjangan legislatif dan berkembang untuk memenuhi
IN

persyaratan baru perdagangan internasional dan domestik. Ini telah secara


definitif memperoleh status model hukum yang mengatur penjualan barang.
Manakah faktor-faktor yang telah menjadikan CISG sebagai model untuk
AD

hukum penjualan barang yang akan digunakan oleh pembuat undang-undang


nasional untuk mengatur bahkan penjualan domestik? Jawabannya terletak
pada tiga fitur CISG, yaitu prestise (pamor), keseimbangan intrinsiknya, dan
derogabilitasnya (pengesampingannya).
RE

CISG telah memiliki prestise yang signifikan menurut analisis perbandingan


hukum yang disebutkan di awal bab ini, dalam konteks regulasi perdagangan
internasional. Otoritas UNCITRAL dan semakin banyaknya negara yang mendaftar
tentu membuat semakin menarik bagi negara-negara untuk meratifikasi konvensi.
Jelas saja, prestise suatu model diakui oleh masing-masing sistem nasional di­
bandingkan dengan aturannya sendiri. Ini menjelaskan mengapa Kepulauan
Tokelau mengadopsi CISG sepenuhnya dan juga menjelaskan mengapa

194 Dolganova, Iulia, and Marcelo Boff Lorenzen, “A Case for Brazil’s Adhesion to the 1980 UN
Convention on Contracts for the International Sale of Goods”, VINDOBONA J. INT’L COM. L. &
ARB, 13, 2009, hlm. 351–366.

Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 85
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
Inggris tidak meratifikasi konvensi, yang tidak dianggap sebagai model yang
lebih baik daripada Undang-Undang Penjualan Barang domestik. Namun,
pamor saja tidak cukup untuk menjelaskan mengapa CISG juga bisa menjadi
model yang ideal untuk hukum domestik maupun harmonisasi hukum tingkat
regional.
Salah satu aspek yang sangat penting adalah keseimbangan internal yang
ditawarkan CISG menurut para ahli hukum dari seluruh belahan dunia. Di
bidang berbagai model undang-undang penjualan barang, CISG menghindari
untuk menempati titik-titik pertentangan ekstrem yang ditunjukkan di awal
dan menawarkan solusi yang sering kali menjadi penengah. Hal ini juga
telah menyelamatkannya dari konflik ideologis, misalnya pertentangan antara
model Prancis dan model Jerman, yang masih dirasakan sampai sekarang dalam

PY
proses legislatif Uni Eropa. Ada kemungkinan bahwa hampir semua sistem
hukum di dunia, dengan pengecualian yang relevan dari negara-negara Islam
tertentu, memasukkan beberapa karakteristik Common Law Inggris atau civil
Law Eropa dalam hukum nasional mereka. Pada akhirnya, penjualan barang
CO
adalah sektor di mana aturan-aturan sistem hukum Barat telah dinyatakan paling
efektif dan di mana kasus-kasus aturan atau prinsip non-Barat kurang penting.
Eklektisisme CISG memungkinkan para ahli hukum dari setiap sistem
nasional untuk memahami dan menghargai aturan konvensi yang dibagikan
dengan sistem mereka sendiri daripada menggarisbawahi perbedaannya.
G
Ahli hukum nasional dengan demikian cenderung menghargai kompatibilitas
sistemnya sendiri dengan CISG dan menempatkan setiap konflik antara CISG
IN

dan sistem domestik di tempat kedua. Misalnya, Laporan Akademi Hukum


Singapura, persiapan untuk mendaftar ke CISG, menggarisbawahi bahwa CISG
berakar pada Common Law. Bahkan, pengalaman negara-negara OHADA
AD

sangat informatif. Sistem yang berasal dari hukum Prancis telah dengan mudah
memasukkan semua aturan CISG, termasuk aturan yang berasal dari Common
Law dan dari sistem Jerman.
RE

Tidak adanya aturan tentang transfer properti merupakan keuntungan


dari CISG sebagai model untuk penjualan barang. Ketidakhadiran ini
memungkinkan aturan konvensi diterima tanpa memaksa sistem penerima
untuk memutuskan solusi mana yang akan diadopsi untuk transfer properti.
Akhirnya, implementasi CISG tampaknya memenuhi kebutuhan semua sistem.
Pertama-tama, kita dapat menyebutkan prinsip kebebasan berkontrak yang
merupakan kerangka kerja bantalan konvensi,195 atau norma yang mem­
berikan kewajiban khusus jika terjadi pelanggaran kontrak, hanya jika hak lex

195 Ole Lando, “CISG and Its Followers: A Proposal to Adopt Some International Principles of
Contract Law”, Am. J. Comp. L., 53, 2005, hlm. 385.

86 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


fori memberikan pemulihan itu dalam kasus tertentu yang akan diputuskan,
atau kriteria interpretasi konvensi sesuai dengan prinsip-prinsip yang menjadi
dasarnya (CISG, Pasal 7), yang memberi CISG instrumen yang efektif untuk
beradaptasi dengan keadaan baru dan untuk berkembang, terlepas dari hukum
nasional.
Meskipun kesimpulan akhir atas CISG adalah sebuah model hukum
yang cukup ideal, apa yang mungkin diharapkan di masa depan harus
mulai mempertimbangkan masalah yang tidak dicakup oleh CISG. Ada dua
konteks di mana CISG tidak berlaku. Pertama, mengenai penjualan kepada
konsumen, yang hampir selalu memainkan aturan wajib hukum domestik
dan oleh karena itu, menuntut pengaturan legislatif yang berbeda. Contoh,
proyek CESL Eropa, yang menghubungkan penjualan dan penjualan komersial

PY
dengan konsumen dalam satu teks, menunjukkan bahwa solusi serupa tidak
dapat dipertahankan. Konteks kedua di mana CISG tidak berlaku berasal dari
Pasal 2 dan 3. Saham perusahaan dan instrumen keuangan, kapal, hovercraft
dan pesawat terbang, dan listrik semuanya dikecualikan; kontrak yang terkait
CO
dengan barang yang akan diproduksi dikecualikan, jika pembeli di bawah
mengambil untuk memasok sebagian besar bahan atau jika bagian utama dari
kewajiban pihak yang melengkapi barang terdiri atas pasokan tenaga kerja atau
layanan lainnya. Namun, di sini CISG masih dapat dipilih oleh pihak-pihak
yang berkontrak, mungkin bersama dengan aturan lain yang didedikasikan
G
untuk aspek-aspek tertentu (diambil dari instrumen hukum lunak atau dari sistem
nasional individu).
IN

Selain itu, ada juga masalah kontraktual yang tidak tercakup oleh
aturan CISG. Validitas kontrak penjualan internasional adalah salah
satunya, serta hak pihak ketiga, atau tanggung jawab atas kematian atau cedera
AD

pribadi.196 Dalam kasus ini, hakim harus merujuk pada hukum nasional yang
berlaku di bawah aturan konflik hukum yang umum. Dalam bahasan ini, model
hukum (bukan konvensi) yang disiapkan oleh UNCITRAL untuk diadopsi oleh
RE

negara-negara pihak dalam CISG dapat membantu mengurangi kelemahan


yang berasal dari penerapan hukum domestik.197
Perspektif CISG sebagai model yang tersedia untuk berbagai tingkat
reformasi jauh lebih menarik. Pertama-tama, CISG dapat digunakan sebagai
model untuk reformasi, tidak hanya dari hukum penjualan barang, tetapi
juga—lebih umum—hukum kontrak. Pembentukan kontrak dan pemulihan

196 Peter Schlechtriem, “Requirements of Application and Sphere of Applicability of the CISG”,
Victoria U. Wellington L. Rev., 36, 2005, hlm. 781.
197 Michael J. Dennis, “The Guiding Role of the CISG and the UNIDROIT Principles in Harmonising
International Contract Law”, Uniform Law Review, 19, 2014.

Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 87
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
untuk pelanggaran kontrak, misalnya, mudah disesuaikan dengan aturan
kontrak umum. Evolusi hukum Tiongkok adalah contoh penting dari hal
ini. Sangat menarik untuk dicatat bahwa ini merujuk sekali lagi pada proses
historis, di mana aturan penjualan barang Romawi menjadi cetak biru untuk
aturan yang mengatur kontrak secara umum dalam sejarah hukum Eropa
kontinental.198 Kedua, CISG merupakan model yang berguna bagi negara-
negara yang bermaksud untuk mereformasi hukum domestik mereka, yang
mengatur penjualan barang. Ini tampaknya lebih signifikan sampai sekarang
untuk negara-negara dengan masa lalu kolonial, yang karenanya telah
mengimpor model Eropa ke dalam sistem domestik mereka, seperti Undang-
Undang Penjualan Barang Inggris, sering kali tanpa mengasimilasi perubahan
apa pun yang diperkenalkan dalam sistem aslinya.

PY
Pengaruh yang menentukan dari CISG dapat diekspresikan dalam hal
harmonisasi hukum di tingkat regional, yang mungkin akan semakin penting di
masa depan. Bahkan, adopsi konvensi perdagangan bebas merupakan pra-kondisi
untuk harmonisasi struktur yuridis. Integrasi ekonomi regional akan berlanjut
CO
di masa depan, menciptakan bidang integrasi yang semakin luas. Kasus negara-
negara di Asia Tenggara adalah contoh yang jelas dari hal ini. Oleh karena
itu, negara-negara yang tertarik perlu segera menyelaraskan undang-undang
tentang hukum perdagangan komersial, yang ingin disederhanakan oleh
integrasi ekonomi. Kadang-kadang, mungkin tidak perlu untuk mereformasi.
G
Untuk area Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), misalnya,
CISG sudah menjadi hukum yang berlaku seragam dari tiga negara pendiri
IN

(Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko). Dalam konteks ini, perlu untuk
menghindari munculnya interpretasi ‘regional’ dari CISG.199 Namun, dalam
kebanyakan kasus, negara-negara akan dapat menggunakan CISG sebagai
AD

model untuk menyelaraskan hukum, bahkan di bidang hukum kontrak


yang lebih luas. Netralitas dalam kaitannya dengan berbagai solusi nasional
dan di atas semua itu, netralitas sehubungan dengan pilihan legislatif yang
RE

sensitif secara politik atau ideologis, merupakan karakteristik mendalam dari


CISG yang membuatnya sangat cocok sebagai basis untuk berbagai upaya
harmonisasi hukum di tingkat regional.

198 Oliver Antić, “Alan Watson: Legal Transplants. An Approach to Comparative Law (The University
of Georgia Press, Athens and London, 1993)”, Анали Правног факултета у Београду, 45(4-6),
1997, hlm. 549–564.
199 Ulrich G. Schroeter, “The Status of Hong Kong and Macao under the United Nations Convention
on Contracts for the International Sale of Goods”, Pace. Int’l L. Rev., 16, 2004, hlm. 307.

88 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


BAB VII

PY
HUKUM TRANSNASIONAL DARI ASPEK KEPABEANAN
DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS
CO
A. Rules of Origin sebagai Aturan Inti Perdagangan Barang
dalam Skema FTA
G
1. Aspek Yuridis
IN

Preferential Rules of Origin (selanjutnya disebut ‘RoO’) mengatur tarif preferensi


(tarif bea masuk istimewa) yang diberikan sesuai dengan FTA. Oleh karena
tarif preferensial sesuai dengan FTA hanya berlaku untuk barang-barang yang
AD

berasal dari negara contracting party, negara-negara yang ingin menikmati


manfaat dari tarif preferensial harus memenuhi serangkaian prosedur yang
dirancang untuk menentukan negara asal suatu produk. RoO preferensial berisi
aturan dan prosedur yang menentukan asal produk tertentu dan dirancang untuk
RE

memberikan tarif preferensial.200


Perjanjian perdagangan bebas dalam Free Trade Agreement (FTA)
menetapkan bea masuk yang besarnya diatur secara khusus. Besaran bea
masuk barang impor dari sesama negara yang telah mengikat perjanjian FTA
ditetapkan tersendiri, terpisah dari Peraturan Menteri Keuangan tentang tarif
bea masuk pada umumnya. Tarif tersebut disebut tarif preferensi yang
secara umum lebih rendah dibanding tarif umum.201 Berdasarkan Pasal 13 ayat

200 WTO, “Regional trade agreements and preferential trade arrangements”, WTO Portal, diakses dari
ttps://www.wto.org/english/tratop_e/region_e/rta_pta_e.htm pada 20 Agustus 2020.
201 Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional, Jakarta: Fikahati Aneska, 2012, hlm. 133.
(2) Undang-Undang Kepabenan untuk bisa diimplemen­tasikan sebagai hukum
positif, penjanjian FTA harus terlebih dahulu diatur dalam PMK tentang
besaran tarif dan tata cara pengenaan tarif preferensi. Sedangkan, Perpres
Pengesahan FTA adalah pengesahan perjanjian yang belum memiliki kekuatan
(legal effect) yang mengikat bagi warga negara sampai dengan adanya
national legislation (domestic law) yang berfungsi sebagai implementing
legislation atas pemberian tarif bea masuk FTA atas importasi. Begitu juga
jika dilihat dari perjanjian FTA, pemberian tarif oleh importing party dilakukan
berdasarkan hukum domestik (in accordance with the domestic laws).

2. Prosedur Pemeriksaan Keasalan Barang oleh Kepabeanan


Chapter 3 dari Specific Annex K. Revised Kyoto Convention mengatur tentang
pengawasan bukti asal barang. Contracting parties dari preferential trade

PY
agreement serta pihak-pihak yang terlibat dalam non-preferential rules of
origin harus memberikan bantuan administratif untuk memastikan pemenuhan
rules of origin. Pemberian bantuan dilakukan dengan asas timbal balik, pihak
CO
yang diminta hanya akan memenuhi ketentuan jika dari pihak yang meminta
dapat memberikan bantuan yang sama.202 Pejabat yang berwenang di negara
pengimpor dapat meminta pejabat yang berwenang di negara pengekspor
(atau negara yang tertera dalam bukti dokumen asal) untuk melakukan verifikasi
terhadap bukti asal barang. Alasan permintaan di antaranya adanya keraguan
G
mengenai keaslian dokumen, keraguan mengenai keakuratan informasi dalam
dokumen, atau secara acak (tetapi harus seminimal mungkin).203
IN

Revised Kyoto Convention serta berbagai perjanjian perdagangan preferensial


menetapkan persyaratan untuk permintaan verifikasi. Pejabat yang berwenang
diminta untuk melakukan pengawasan yang diperlukan dan menjawab
AD

permintaan tersebut dengan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pejabat


yang berwenang yang meminta serta memberikan informasi lain yang dianggap
relevan.204 Revised Kyoto Convention serta berbagai perjanjian perdagangan
preferensial menetapkan tenggat waktu untuk meminta verifikasi dan tenggat
RE

waktu untuk menjawab permintaan verifikasi. Permintaan untuk kontrol atau


verifikasi dengan sendirinya tidak akan menghalangi pengeluaran barang, asalkan
tidak dikenakan larangan atau pembatasan impor dan tidak ada kecurigaan
penipuan.205

202 World Customs Organization, Rules of Origin – Handbook, Rules of Origin - Manual/Handbook
(wcoomd.org), hlm. 19.
203 Ibid.
204 Ibid.
205 Ibid.

90 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Menurut undang-undang negara pengimpor dan pemberi preferensi, barang
dapat dikeluarkan setelah pembayaran bea masuk preferensi atau setelah
pembayaran bea masuk MFN. Dalam kasus pertama, perbedaan antara tarif
preferensial dan tarif MFN mungkin disebabkan oleh jawaban negatif atas
permintaan verifikasi (ini mungkin tergantung pada evaluasi iktikad baik dari
importir). Dalam kasus kedua, perbedaan antara dua tarif dapat diganti jika
jawaban positif atas permintaan verifikasi. Sanksi yang berkaitan dengan
bukti dokumenter palsu tergantung pada undang-undang nasional.206 Suatu
pengimporan dari negara yang terikat perjanjian perdagangan bebas dengan
Indonesia akan dikenai tarif preferensi bila barang impor diyakini benar-benar
berasal dari negara anggota FTA bersangkutan. Ketentuan tentang keasalan barang
diatur secara umum dalam WTO Agreemenet on Rules of Origin (RoO).207

PY
SKA merupakan dokumen yang diterbitkan oleh otoritas di negara produsen
atau eksportir barang melalui prosedur yang telah ditentukan. Hanya instansi
dan pejabat tertentu yang dapat menerbitkannya. Nama instansi, nama pejabat,
dan spesimen tanda tangannya disampaikan ke negara peserta FTA lainnya
CO
dan digunakan sebagai bahan untuk memastikan keabsahan SKA. SKA harus
diajukan bersamaan dengan pengajuan PIB.208 Atas pengajuan itu, pejabat
Bea dan Cukai akan melakukan penelitian yang meliputi pemeriksaan kriteria
origin, kriteria pengiriman langsung, dan procedural provisions. Apabila terdapat
syarat yang tidak dipenuhi, maka tarif preferensi tidak diberikan. Importir harus
G
membayar bea masuk sesuai tarif MFN.
Masing-masing perjanjian FTA memiliki cara/prosedur yang tidak
IN

sepenuhnya seragam dalam penerbitan dan penanganan/pemeriksaan SKA.


Secara umum, sebagai upaya untuk meneliti kebenaran/keabsahan SKA, pejabat
Bea dan Cukai dapat melakukan konfirmasi kepada negara penerbit SKA.
AD

Tindakan untuk melakukan hal-hal yang dianggap perlu semacam itu disebut
sebagai retroactive check. Negara penerbit SKA memiliki batasan waktu
tertentu untuk merespons retroactive check. Negara penerbit wajib memberikan
RE

jawaban dalam waktu 90 hari (tidak seragam untuk semua perjanjian FTA)
sejak menerima permintaan retroactive check. Apabila tidak ada jawaban
atau jawaban melewati jangka waktu tersebut, maka dapat menjadi alasan
untuk tarif preferensi tidak diberikan.

206 Ibid.
207 Joseph A. Lanasa III, An evaluation of the uses and importance of rules of origin, and the
effectiveness of the Uruguay Round’s Agreement on rules of origin in harmonizing and regulating
them, No. 1, Jean Monnet Chair, 1996.
208 Beberapa negara lain peserta FTA membolehkan penyerahan SKA setelah pemberitahuan impor.
Meskipun pernah mendapat komplain, Ditjen Bea Cukai Indonesia telah menegaskan bahwa tata
laksana ini wajib ditaati importir.

Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 91
Apabila jawaban retroactive check telah disampaikan, maka Bea Cukai
harus memberitahukan langkah yang diambil selanjutnya kepada negara
penerbit SKA. Dalam hal jawaban retroactive check masih belum memuaskan,
maka disediakan mekanisme verification visit. Pihak berwenang di negara
pengimpor melakukan verifikai langsung ke negara pengekspor. Pelaksanaan
retroactive check dan verification visit memerlukan waktu hingga tiba pada
keputusan akhirnya. Selama menunggu proses retroactive check, belum ada
peraturan yang jelas mengatur bagaimana tata laksana pengeluaran barang
impornya. Apakah bea masuk diper­hitungkan berdasarkan tarif preferensi atau
tarif MFN.
Prosedur penerbitan dan penerimaan SKA diatur dengan Operational
Certification Procedures (OCP) masing-masing perjanjian FTA. Sekalipun

PY
substansi dari masing-masing OCP kurang lebih sama, tetapi terdapat beberapa
prosedur di dalam OCP yang memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan itu,
misalnya, dalam hal jangka waktu penerbitan SKA dihitung dari saat pengapalan.
OCP pada dasarnya mengatur seluruh prosedur dari mulai penerbitan, verifikasi,
CO
penyampaian ceritificate of origin, verifikasi oleh administrasi pabean di negara
importir, sampai dengan fleksibilitas dalam skema FTA.209
Pejabat Bea dan Cukai yang menerima SKA meneliti keabsahan atau
kebenarannya, terutama didasarkan pada ketentuan dalam masing-masing OCP.
Pada prinsipnya, semua OCP mengatur prosedur penerbitan dan penerimaan
G
SKA. Namun, terdapat beberapa hal khusus dalam tiap-tiap OCP tersebut.
Meskipun keberadaan SKA sudah dimulai sejak perjanjian AFTA tahun
IN

1992, tetapi permasalahan terkait SKA baru mengemuka setelah perjanjian


FTA semakin banyak, terutama setelah adanya ACFTA. Persoalan tentang
keabsahan dan kebenaran SKA semakin marak sejak tahun 2009. Apabila
AD

SKA diragukan, berarti tarif preferensi tidak dapat diberikan dan importir
harus melunasi kekurangan bea masuk yang seharusnya dibayar, yaitu sebesar
selisih antara tarif preferensi dengan tarif umum yang berlaku.
RE

B. Permasalahan dalam Implementasi FTA oleh Kepabeanan


1. Kelemahan pada Prosedur Verifikasi oleh Kepabeanan
Dalam proses penanganan surat keterangan asal, terdapat dua instansi yang
paling berperan, yaitu issuing dan receiving authority. Pada umumnya, peran
penting administrasi pabean dalam pelaksanaan skema FTA yang berbasis

209 Dedi Abdul Hadi, Modul Operational Certification Procedure, Jakarta: Pusdiklat Bea dan Cukai,
2013, hlm. 2.

92 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


penghapusan dan penurunan tarif bea masuk adalah sebagai receiving authority
sendiri. Ketentuan prosedural biasanya berada di dalam lampiran dari
suatu perjanjian pembentuk skema FTA, yaitu dalam dokumen OCP. Poin
penting dari OCP adalah saat penerbitan certificate of origin, oleh issuing
authority, yang merupakan dokumen pendukung origin (ke-asal-an) dari suatu
produk sampai dengan penyerahannya kepada administrasi pabean di negara
importir (disebut receiving authority).
Kewenangan otoritas bea cukai negara pengimpor dalam memutuskan
apakah tarif preferensial diberikan atau tidak tanpa persetujuan bersama
para pihak terkait, menjadi penyebab sengketa antara otoritas bea cukai dan
perusahaan atau antara eksportir dan importir. Verifikasi dilakukan dengan
verifikasi langsung (verification visit) atau verifikasi tidak langsung (retroactive

PY
check). Verifikasi langsung (verification visit) dilakukan oleh otoritas pabean
negara pengimpor dengan memverifikasi eksportir atau produsen negara
pengekspor secara langsung. Adapun verifikasi tidak langsung (retroactive check)
CO
dilakukan dengan eksportir atau produsen negara eksportir diverifikasi melalui
otoritas pabean negara pengekspor sebelum hasil verifikasi diberitahukan kepada
negara pengimpor.
Untuk melakukan verifikasi, otoritas kepabeanan negara pengimpor meminta
informasi terkait bahan baku atau manufaktur dari eksportir atau produsen negara
G
pengekspor, baik secara langsung maupun tidak langsung, sebelum dapat
menyimpulkan apakah RoO terpenuhi atau tidak. Hal ini menjadi ruang besar
IN

terjadinya sengketa karena pemahaman dan penerapan RoO. Beberapa masalah


utama yang dialami dalam prosedur verifikasi RoO meliputi hal-hal berikut ini.
1. Otoritas bea cukai harus mengeluarkan sejumlah besar dana untuk
AD

mengunjungi pihak lain untuk melakukan verifikasi.210


2. Adanya perbedaan dalam interpretasi dan pemahaman RoO antarnegara
pengekspor dan pengimpor.211
RE

3. Efektivitas verifikasi tidak dapat dipastikan jika tidak ada kerja sama yang
baik antara otoritas bea cukai dalam hal verifikasi tidak langsung.212

210 M. Izam, Rules of Origin and Trade Facilitation in Preferential Trade Agreements in Latin America.
Santiago, Chile: United Nations, Economic Commission for Latin America and the Caribbean , 2003.
211 F.P. Cantin and A.F. Lowenfeld, “Rules of Origin, the Canada-US FTA, and the Honda Case”, The
American Journal of International Law, 87(3), 1993, hlm. 375–390.
212 Commission of the European Communities, Green Paper on the Future of Rules of Origin in
Preferential Trade Arrangements, Brussels: European Commission, 2003.

Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 93
Studi dan penelitian telah menunjukkan bahwa RoO preferensial ini
telah menyebabkan perselisihan. Namun, prosedur penyelesaian sengketa
di bawah FTA tidak dapat diprediksi atau tidak transparan dalam konteks
perselisihan yang sensitif secara politis.213 Selanjutnya, prosedur verifikasi,
yang mengharuskan otoritas Bea Cukai negara pengimpor untuk mendapatkan
informasi yang diperlukan secara langsung atau tidak langsung dari negara
pengekspor, memerlukan biaya keuangan yang cukup besar. Prosedur verifikasi
sering dianggap tidak efektif oleh pembatasan anggaran tersebut dalam
kunjungan verifikasi. Untuk mengompensasi kelemahan ini dalam prosedur
pasca-verifikasi, negara-negara cenderung meningkatkan pengetatan inspeksi
pra-ekspor dalam prosedur sertifikasi.214 Namun, dengan demikian, eksportir
dihadapkan pada inspeksi pra-ekspor yang ketat, termasuk pemeriksaan post-

PY
audit.215 Hal ini meningkatkan ketidakpastian perusahaan atas tanggung jawab
mereka di bawah RoO dan mengurangi penggunaan FTA, yang sering berakhir
dalam perselisihan.

Banyaknya Sengketa FTA


CO
2. Ketidakseragaman Pemahaman Rules of Origin (RoO) Memicu

Meskipun RoO preferensial adalah aturan inti dalam perdagangan barang dengan
skema perjanjian FTA, ketentuan tersebut berpotensi memicu perselisihan,
G
karena banyanyaknya aturan yang kompleks dan ambigu serta ketidakjelasan
dalam mendefinisikan tanggung jawab dan risiko para pihak yang terkait.
IN

Upaya telah dilakukan untuk harmonisasi aturan untuk menyelesaikan masalah


RoO preferensial, tetapi model preferensial RoO216 yang diharapkan terhenti,
dan para contracting party FTA dibiarkan menyusun RoO preferensial dalam
AD

masing-masing perjanjian FTA.217


Prosedur yang rumit tersebut, dengan adanya perkembangan global
FTA, telah menjadikan prosedur perdagangan barang dalam skema RoO
preferensial semakin rumit dan semrawut, sehingga disebut spaghetti bowl
RE

effect.218 Hal ini memicu sengketa yang tidak berujung sehubungan dengan

213 F.P. Cantin and A.F. Lowenfeld, Loc.Cit.


214 Commission of the European Communities, Loc.Cit.
215 M. Manchin and A. Pelkmans-Balaoing, “Rules of Origin and the Web of East Asian Free Trade
Agreements”, World Bank Policy Research Working Paper, Washington DC: World Bank, 2007,
hlm. 1–29.
216 Annex D.1 and D.3 of the International Convention on the Simplification and Harmonization
of Customs procedures (Kyoto Convention)
217 Dalam disertasi ini, perjanjian preferensial mencakup FTA bilateral atau plurilateral.
218 J. Bhagwati, U.S. trade policy: The infatuation with FTAs, in C. Barfield (Ed.), The Dangerous
Obsession with Free Trade Areas, New York: AEI, 1995, hlm. 1–20.

94 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


interpretasi dan penerapan aturan RoO preferensial. Tidak jelas siapa yang
harus dipersalahkan di antara eksportir dan importir, atau otoritas negara
eksportir dan otoritas negara importir, mengenai risiko dan tanggung jawab
terkait, karena Certificate of Origin (CoO) untuk produk tertentu dikeluarkan
oleh negara manufaktur produk. Sedangkan, ketentuan tarif preferensial dan
pengenaan tarif bea masuknya dieksekusi oleh negara pengimpor pada importir,
dengan demikian menimbulkan terjadinya ketidakpastian. Ketidakpastian
tersebut adalah alasan utama mengapa tarif preferensial FTA banyak tidak
digunakan oleh perusahaan.219
Perselisihan internasional mengenai ketentuan negara asal di­khawatirkan
akan meningkat lebih banyak lagi dengan meningkatnya volume perdagangan
internasional yang ditujukan untuk prefential treatment (seperti skema FTA).

PY
Namun, relatif sedikit penelitian yang dikhususkan terkait prosedur penyelesaian
sengketa mengenai RoO di bawah FTA. Oleh karena tidak ada negara anggota
yang akan menerapkan atau menerapkan tarif preferensial yang ditentukan
dalam FTA, mengingat tidak adanya sistem penyelesaian sengketa yang efektif
CO
dan adil, maka sistem penyelesaian sengketa adalah kunci untuk memastikan
kepatuhan yang tepat dari penerapan tarif preferensi dalam FTA serta penegakan
aturan FTA yang diharapkan. Selain itu, banyak kasus yang dihasilkan dalam
menyelesaikan kasus sengketa akan lebih memberikan dasar untuk meningkatkan
RoO preferensial. Dikarenakan jumlah keberatan yang diajukan kepada panel
G
arbitrase FTA sangat rendah karena ketentuan negara asal bersifat esoteris
(sangat spesialis) dan teknisnya sangat kompleks dan catatan resmi yang
IN

diungkapkan hanya secara terbatas, sebuah studi mendalam tentang prosedur


penyelesaian sengketa di bawah FTA belum dilakukan secara memadai
sampai saat ini.220 Oleh karena itu, sangat perlu untuk melakukan studi tentang
AD

prosedur penyelesaian sengketa dengan pemahaman tentang karakteristik


dominan perselisihan terkait RoO preferensial untuk menerapkan perlakuan
preferensi FTA dan meningkatkan prosedur penegakannya.
RE

Prosedur penyelesaian sengketa FTA telah dikritik karena tidak efektif,


sehingga harus ditinjau. Berkenaan dengan sengketa tarif preferensial, entitas
sektor swasta, seperti perusahaan, adalah pemangku kepentingan utama.
Dikarenakan prosedur penyelesaian sengketa FTA tidak memungkinkan akses
sektor swasta, bagaimanapun juga, banyak perselisihan dan konflik yang

219 Jisoo Yi, “A Study on the Dispute Settlement Procedure for the Preferential Rules of Origin”,
Journal of Arbitration Studies, 26(3), 2016, hlm. 25.
220 Avraham Azrieli, “Improving Arbitration under the U.S.-Israel Free Trade Agreement: A
Framework for a Middle-East Free Trade Zone”, St. John’s Law Review, 67(2), 1993, 187–263.

Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 95
dihasilkan dari RoO preferensial akhirnya diselesaikan melalui litigasi.221 Desain
ketentuan FTA tentang penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga (extra
judicial body), seperti panel dan lembaga arbitrase, digunakan untuk
mengurangi ketegangan politik. Namun sayangnya, belum ada aturan
prosedural inisiasi sengketa sampai dengan eksekusi resolusi yang mengikat;
tidak adanya transparansi yang memberikan peluang pengajuan sengketa
pelaku bisnis; dan publikasi hasil putusan akhir yang mengikat para pihak
untuk proses eksekusi akhir dengan memastikan keterlibatan publik. Secara
khusus, Penulis menekankan pentingnya memberikan sektor swasta akses ke
forum penyelesaian sengketa, mengingat perusahaan, produsen, dan eksportir
adalah pihak atau penerima manfaat nyata dari FTA.222

PY
C. Permasalahan Dispute Settlement pada FTA di Asia
1. Terbatasnya Akses Sektor Swasta ke dalam Sistem
Penyelesaian Sengketa FTA dan WTO
CO
Sebagian besar FTA Asia menyediakan yurisdiksi eksklusif untuk FTA demi
mencegah konflik masalah hukum. Contoh yang tipikal adalah Article 139
FTA Jepang-Singapura yang menetapkan: “Setelah Pihak yang mengajukan
gugatan telah meminta pembentukan suatu majelis arbitrase berdasarkan Bab
G
ini atau panel berdasarkan Pasal 6 Kesepahaman tentang Aturan dan Prosedur
yang Mengatur Penyelesaian Perselisihan, dalam Lampiran 2 Perjanjian WTO
IN

sehubungan dengan sengketa tertentu, arbitrase pengadilan atau panel yang


dipilih harus digunakan untuk mengesampingkan prosedur lain untuk sengketa
tertentu itu”. Mengikuti model ini, sebagian besar FTA Asia mengadopsi
AD

ketentuan yurisdiksi eksklusif.223 Dalam hal ini, dicatat bahwa Article 139.3
dari FTA Jepang-Singapura mencakup ketentuan: “Namun, ini tidak berlaku jika
hak atau kewajiban yang terpisah dan berbeda secara substansial berdasarkan
RE

perjanjian internasional yang berbeda sedang diperdebatkan”. Dengan kata lain,


Jepang dan Singapura secara eksplisit menyetujui yurisdiksi duplikasi antara
FTA dan WTO dengan perjanjian formal. Ketentuan ini, bagaimanapun, tidak
diadopsi oleh FTA berikutnya, termasuk oleh Jepang dan oleh negara-negara
Asia lainnya.

221 Jisoo Yi, Op.Cit., hlm. 17.


222 Ibid., hlm. 12.
223 Dukgeun Ahn, “Dispute Settlement Systems in Asian FTAs: Issues and Problems”, Asian J. WTO
& Int’l Health L & Pol’y, 8, 2013, hlm. 421.

96 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Sistem penyelesaian sengketa WTO adalah sistem penyelesaian sengketa
pemerintah-terhadap-pemerintah (G to G) untuk sengketa terkait hak-hak
dan kewajiban-kewajiban anggota WTO. Dengan demikian, Sekretariat
WTO, observer WTO, organisasi internasional, dan pemerintahan regional
atau lokal tidak bisa menginisiasi persidangan penyelesaian sengketa di
WTO.224 Ada beberapa kasus yang dibawa kepada WTO, yaitu sengketa dari
pemerintah atas pengaruh dari industri atau perusahaan. Sistem hukum dari
beberapa anggota WTO secara eksplisit menyediakan kemungkinan bagi
asosiasi-asosiasi industri dan/atau perusahaan-perusahaan untuk membawa
pelanggaran kewajiban WTO oleh anggota WTO yang lain untuk diperhatikan
oleh pemerintahnya dan ‘memengaruhi’ pemerintahnya untuk memulai proses
penyelesaian sengketa WTO melawan anggota tersebut. Asosiasi industri dan

PY
perusahaan individual memiliki akses tidak langsung kepada sistem ini.225
Ruang lingkup penyelesaian sengketa FTA umumnya diberikan secara flexible
sebagai “penghindaran dan penyelesaian perselisihan antara para pihak mengenai
penafsiran atau penerapan”, artinya “terbatas pada penyelesaian perselisihan
CO
antara para pihak mengenai interpretasi atau aplikasi FTA”. Pasal 133 FTA
Jepang-India, Pasal 204 FTA Jepang-Peru, Pasal 116 FTA Jepang-Vietnam,
Pasal 184 FTA Cina-Selandia Baru, Pasal 141 FTA Cina-Kosta Rika, dan Pasal
14.2 FTA Korea-UE semuanya menunjukkan hal yang sama. Oleh karena
ketentuan ini hanya mencakup “interpretasi dan penerapan” FTA, dipahami
G
bahwa sistem penyelesaian sengketa hanya membahas “pelanggaran” (violation)
oleh negara-negara.226
IN

2. Prosedur Panel dan Banding Bersifat Rahasia dan Tidak


Transparan bahkan Tidak Pernah Digunakan di ASEAN
AD

FTA Asia menggunakan general panel procedures yang diadopsi untuk FTA
baru-baru ini. Misalnya, setiap negara FTA menunjuk satu panelis dari negara
mereka sendiri dan harus menyetujui panelis ketiga yang akan memimpin
RE

panel arbitrase. Musyawarah majelis arbitrase biasanya bersifat rahasia. Berbeda


dengan prosedur panel WTO yang memungkinkan dissenting opinions jika
perlu, beberapa FTA, seperti FTA Korea-EU, secara khusus melarang publikasi
dissenting opinion. Untuk mempromosikan penyelesaian sengketa tanpa litigasi,
para pihak diizinkan untuk mengakhiri proses panel kapan saja dengan
kesepakatan bersama. Berbeda dengan sistem penyelesaian sengketa WTO,

224 Ibid.
225 Peter Van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization: Text, Cases and
Materials, Cambridge University Press, Cambridge, 2005, hlm. 202–203.
226 Dukgeun Ahn, Loc.Cit.

Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 97
sistem penyelesaian sengketa FTA biasanya tidak memiliki proses banding.
Pengecualian langka adalah MERCOSUR dan ASEAN. Sistem peninjauan
banding ASEAN, yang sangat mirip dengan sistem penyelesaian sengketa
WTO, diperkenalkan oleh ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement
Mechanism 2004, tetapi belum pernah dilaksanakan. Apakah model ini akan
diadopsi dalam negosiasi RCEP, di mana ASEAN memainkan peran kunci,
masih harus dilihat.227
Jangka waktu penyelesaian sengketa FTA biasanya lebih pendek dari
prosedur penyelesaian sengketa WTO. Banyak FTA menetapkan 30 hingga
60 hari untuk konsultasi dan 90 hingga 120 hari untuk mengeluarkan laporan
panel setelah pembentukan panel. Garis waktu penyelesaian sengketa ini telah
diadopsi oleh banyak FTA Asia, seperti: Korea-UE, Cina-Selandia Baru, Jepang-

PY
Singapura, dan India-Korea. Kerangka waktu yang lebih lama, bagaimanapun,
biasanya diadopsi dalam FTA yang melibatkan Amerika Serikat. Misalnya,
KORUS FTA menetapkan 225 hari untuk mengeluarkan laporan panel setelah
CO
pembentukan panel. Akan tetapi, timeline ini mungkin lebih lanjut tertunda
oleh prosedur pra-panel dan proses pemilihan panelis. Meskipun sebagian
besar elemen prosedural secara substansial distandarisasi di seluruh FTA dan FTA
Asia tidak menunjukkan penyim­pangan yang signifikan dari praktik normal,
meningkatnya keragaman di FTA Asia dapat menimbulkan kekhawatiran
G
mengenai perkembangan sistem penyelesaian sengketa yang konsisten.228
IN

3. Eksekusi Putusan Sengketa


Sementara FTA Asia mengikuti praktik umum untuk prosedur penyelesaian
sengketa, mereka menunjukkan pendekatan yang berbeda untuk proses
AD

mengenai tahap eksekusi. Secara garis besar, banyak FTA di Asia mencoba
untuk mengadopsi praktik yang mapan di bawah sistem WTO. Para pihak
pertama-tama akan berusaha untuk menyelesaikan non-implementasi dengan
RE

pengaturan kompensasi dan kemudian meng­gunakan panel arbitrase mengenai


kegagalan untuk mematuhi putusan, periode implementasi yang sesuai, dan
tingkat penangguhan mengenai kewajiban. Akan tetapi, beberapa FTA, seperti
FTA Korea-AS dan FTA Cina, baru-baru ini mengadopsi prosedur implementasi
jenis ”NAFTA”. Mereka memungkinkan pihak-pihak yang mengeluh untuk
terlibat dalam pembalasan tanpa keputusan panel kepatuhan dan juga
meninggalkan tugas perbaikan untuk ”pembalasan berlebihan” kepada pihak-
pihak yang merespons.

227 Ibid.
228 Ibid.

98 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


a. Eksekusi “Tipe WTO”
Dalam kasus ketidakpatuhan oleh tergugat, penggugat harus mengajukan
permohonan kepada panel kepatuhan (compliance panel) untuk menentukan
apakah tindakan penerapan konsisten dengan putusan DSB. Penggugat hanya
akan diberi wewenang untuk menangguhkan konsesi ketika compliance panel
memutuskan bahwa responden gagal sepenuhnya mematuhi rekomendasi
DSB. Mayoritas FTA Asia mengadopsi praktik WTO yang mapan ini untuk
tahap implementasi. Misalnya, Pasal 14 FTA Korea-UE menetapkan bahwa
jika ada ketidaksepakatan tentang periode waktu yang wajar untuk mematuhi
putusan tersebut, pihak yang mengajukan keluhan akan mengajukan permintaan
kepada panel asli untuk menentukan lamanya periode tersebut. Selain itu, di
mana ada ketidaksepakatan mengenai adanya langkah-langkah kepatuhan atau

PY
konsistensi langkah-langkah tersebut dengan komitmen kepatuhan, pihak yang
mengajukan keluhan dapat meminta secara tertulis agar panel asli memutuskan
masalah ini.
Jika pihak yang merespons gagal memberi tahu langkah-langkah kepatuhan
CO
yang diambil sebelum berakhirnya periode implementasi, atau jika panel
kepatuhan aturan itu adalah kegagalan pihak yang menanggapi untuk
melaksanakan putusan, dan pihak yang mengajukan keluhan berhak untuk
menangguhkan kewajiban. Perlu dicatat bahwa dalam menangguhkan kewajiban,
G
pihak yang mengeluh dapat memilih untuk menaikkan tarif-tarifnya ke tingkat
yang diterapkan pada anggota WTO lainnya. Volume perdagangan akan
IN

ditentukan sedemikian rupa, sehingga volume perdagangan dikalikan dengan


kenaikan tarif sama dengan nilai pembatalan atau penurunan nilai yang
disebabkan oleh pelanggaran tersebut.
AD

Jenis proses implementasi ini telah diadopsi dalam, antara lain, FTA Jepang-
India, FTA Cina-Singapura, FTA Cina-Selandia Baru, dan FTA Korea-India.229
Perlu dicatat bahwa FTA Cina-Selandia Baru menetapkan ketergantungan
pada sistem WTO untuk pemilihan panel FTA. Pasal 189.4 menetapkan
RE

bahwa jika ada anggota majelis arbitrase yang belum ditunjuk atau ditunjuk
dalam waktu 30 hari setelah pembentukan pengadilan, salah satu pihak dapat
meminta agar Direktur Jenderal WTO menunjuk anggota dalam waktu 30 hari
sejak permintaan itu. Selain itu, Pasal 189.5 menetapkan bahwa semua arbiter
mematuhi Aturan Perilaku WTO untuk DSU. Apakah Direktur Jenderal WTO
mungkin atau dapat terlibat dalam proses pemilihan panel untuk FTA Cina-
Selandia Baru harus dikonsep, meskipun sangat tidak mungkin.

229 Ram Upendra Das & Rajan Sudesh Ratna, Perspectives on Rules of Origin: Analytical and Policy
Insights from the Indian Experience, United Kingdom: Palgrave Macmillan, 2011.

Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 99
b. Eksekusi “Tipe NAFTA”
Tidak seperti praktik WTO, pemerintah AS menekankan fungsi pembalasan
untuk mempercepat implementasi jika terjadi ketidakpatuhan. Pendekatan
ini dikodifikasikan dalam Bab 20 NAFTA. Pasal 2019.1 NAFTA menetapkan
bahwa jika panel menentukan bahwa suatu tindakan tidak konsisten dengan
kewajiban hukum NAFTA atau menyebabkan pembatalan atau penurunan
nilai, dan pihak tergugat tidak menyetujui resolusi yang saling memuaskan,
pihak penggugat dapat menangguhkan penerapan manfaat dengan efek yang
setara. Atas permintaan tertulis dari pihak yang menanggapi, panel akan
dibentuk untuk menentukan apakah tingkat manfaat yang ditangguhkan oleh
pihak yang mengeluh secara nyata berlebihan.
Proses “jenis NAFTA” untuk fase implementasi ini diadopsi dalam FTA

PY
AS-Australia. Pasal 21.11 menetapkan bahwa jika para pihak tidak dapat
menyetujui kompensasi dalam waktu 30 hari setelah negosiasi atau pihak
yang mengajukan gugatan menganggap bahwa pihak tergugat telah gagal
mematuhi ketentuan perjanjian kompensasi atau penyelesaian, maka pihak
CO
yang mengajukan gugatan dapat setiap saat memberikan pem­beritahuan tertulis
untuk menangguhkan penerapan manfaat dengan efek yang setara. Jika
pihak yang tergugat menganggap bahwa tingkat manfaat yang diusulkan
untuk ditangguhkan secara nyata berlebihan atau jika telah menghilangkan
G
ketidaksesuaian atau pembatalan atau ketidaksetaraan, maka dapat meminta
panel untuk berkumpul kembali untuk mempertimbangkan masalah ini. Jika
IN

panel menentukan bahwa tingkat manfaat yang diusulkan untuk ditangguhkan


secara nyata berlebihan, maka itu akan menentukan tingkat manfaat yang
dianggapnya memiliki efek yang setara. Ketentuan non-implementasi ini
AD

diadopsi dalam FTA Korea-AS (KORUS FTA) tanpa modifikasi apa pun. Pasal
22.13.2 dari KORUS FTA pada dasarnya sama dengan ketentuan dalam FTA
AS-Australia.
Elemen menarik dari sistem penyelesaian sengketa FTA ”tipe NAFTA”
RE

adalah mekanisme penggunaan pembayaran moneter untuk menyelesaikan


perselisihan. Pihak penggugat tidak dapat menangguhkan manfaat jika
pihak tergugat memberikan pemberitahuan tertulis kepada pihak penggugat
bahwa mereka akan membayar annual monetary assessment. Dimulai selambat-
lambatnya sepuluh hari setelah pihak tergugat mem­berikan pemberitahuan
tertulis, para pihak harus berkonsultasi dengan maksud untuk mencapai
kesepakatan tentang jumlah pembayaran. Sistem penyelesaian moneter ini
telah diadopsi dalam format yang sama oleh banyak FTA baru-baru ini, termasuk
AS-Australia dan KORUS.

100 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Selain itu, juga dicatat bahwa dalam kasus perselisihan tenaga kerja atau
lingkungan, FTA ”tipe NAFTA” menetapkan batas untuk kompensasi moneter.
Misalnya, dalam Pasal 22.16.2 FTA AS-Chili, jumlah penilaian moneter
tahunan tidak boleh melebihi $15 juta yang disesuaikan dengan inflasi. Ini
juga diadopsi dengan sedikit modifikasi dalam FTA berikutnya, seperti AS-
Singapura, AS-Australia, AS-Maroko, dan AS-Bahrain. Oleh karena bab
tenaga kerja dan lingkungan ditambahkan setelah negosiasi asli disimpulkan,
dalam kasus KORUS FTA, ketentuan khusus ini tidak disertakan. Sebaliknya,
kedua belah pihak menegaskan kembali untuk menggunakan penyelesaian
sengketa “hanya dalam kasus-kasus dengan manfaat di mana efek perdagangan
atau investasi dapat ditetapkan”. Sistem penyelesaian sengketa “jenis NAFTA”
dapat menyebabkan kontroversi serius di antara beberapa pihak yang

PY
tidak terbiasa dengan mekanisme penyelesaian moneter seperti itu untuk
penyelesaian sengketa perdagangan internasional.230

4. Dukungan Sekretariat Tidak Memadai


CO
Hal ini sebenarnya diakui oleh anggota WTO dan para ahli bahwa sekretariat
hukum WTO telah memainkan peranan penting dalam mendukung dan
mengembangkan yurisprudensi WTO. Terlepas dari pemahaman konsensual
seperti itu, sangat sedikit FTA yang memberikan dukungan sekretariat untuk
mengelola sistem penyelesaian sengketa. Memang membingungkan mengapa
G
begitu sedikit FTA yang kurang memperhatikan praktik infrastruktur penting
ini untuk menerapkan sistem FTA. Menganalisis sering kali sejumlah besar
IN

pengajuan dokumenter, mengelola dengar pendapat lisan, menemukan fakta,


dan menangani pendapat ahli, selain mengadakan musyawarah panel, semuanya
cenderung menimbulkan tantangan yang menakutkan bagi panelis untuk
AD

menunda prosedur penyelesaian sengketa terlalu sering.


Seperti kebanyakan FTA lainnya, FTA Asia biasanya tidak memerlukan
pembentukan sekretariat hukum. Pengecualiannya adalah FTA yang melibatkan
RE

Amerika Serikat yang “menunjuk kantor yang bertanggung jawab untuk


memberikan bantuan administratif kepada panel”. Ketentuan ini termasuk,
misalnya, dalam FTA Singapura-AS dan KORUS FTA. Namun, itu hanya
menetapkan bahwa masing-masing pihak “harus” menunjuk kantor untuk
bantuan administratif. Banyak masalah seperti peran apa yang seharusnya
dilakukan kantor ini, apakah dan bagaimana dua kantor dari masing-masing
pihak harus bekerja sama, dan kapan bantuan mereka harus diberikan, selain
masalah lain, tidak ditangani dan bahkan tidak disebutkan sebagai topik masa

230 Dukgeun Ahn, Loc.Cit.

Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 101
depan untuk elaborasi lebih lanjut. Dalam hal ini, dicatat bahwa FTA Korea-
UE tidak mencakup ketentuan apa pun mengenai dukungan institusional untuk
prosedur penyelesaian sengketa.231

5. Berbagai Kontradiksi dan Kelemahan pada Penyelesaian


Sengketa FTA
a. Adanya Duplikasi Forum dan Tumpang Tindih
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, ada dua jalur sistem
penyelesaian sengketa yang diadopsi di FTA Asia. Mengingat Trans-Pacific
Partnership Agreement (TPP) didorong oleh Amerika Serikat dan Regional
Comprehensive Economic Partnership (RECP) berpusat di ASEAN, akan
ada kontroversi mengenai model mana yang harus diikuti dalam negosiasi

PY
di masa depan. Secara khusus, karena hampir setengah dari peserta dalam
TPP dan RCEP tumpang tindih, pendekatan yang berbeda dari FTA Asia
dapat menyebabkan inkonsistensi dalam proses peradilan untuk sengketa
CO
perdagangan internasional. Selain itu, ASEAN mengadopsi Protocol on
Enhanced Dispute Settlement Mechanism pada tahun 2004, yang juga
mencakup unsur-unsur baru, seperti peninjauan banding dan pendanaan
untuk mekanisme penyelesaian sengketa.
Fenomena terbaru pada FTA adanya duplikasi menimbulkan masalah
G
yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk penyelesaian sengketa. Misalnya,
jika Cina dan Korea memiliki sengketa perdagangan mengenai tindakan
IN

antidumping, kedua negara mungkin memiliki praktis empat alternatif peradilan


yang berbeda untuk menyelesaikan perselisihan, yaitu sistem penyelesaian
sengketa di bawah FTA Cina-Korea, FTA Cina-Jepang-Korea, RCEP, dan WTO.
AD

Ini bukan situasi yang unik hanya untuk Cina dan Korea saja. Banyak negara
ASEAN saat ini terlibat dalam beberapa FTA—dan akan terlibat dalam lebih
banyak FTA—dengan mitra dagang yang sama.232
RE

b. Masalah Forum Shopping


Pendekatan yang berbeda untuk penyelesaian sengketa di FTA yang berbeda
meningkatkan masalah forum shopping. Selain itu, tidak adanya tinjauan
banding, kurangnya sekretariat hukum untuk mendukung penyelesaian sengketa,
dan aturan pemilihan panel untuk menunjuk warga negara mereka sendiri
di FTA dapat memperburuk masalah yurisdiksi yang tidak konsisten. Ironisnya,
ketidakmampuan banyak FTA untuk benar-benar menangani proses penyelesaian
sengketa mengurangi potensi pengembangan yurisdiksi yang kontradiktif

231 Ibid.
232 Ibid.

102 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


atau tidak konsisten di antara FTA. Akan tetapi, peningkatan kapasitas
hukum secara bertahap dan lebih banyak pengalaman penyelesaian sengketa
di bawah sistem WTO akan segera membuat negara-negara Asia lebih baik
dimanfaatkan untuk secara aktif dan strategis terlibat dalam sistem penyelesaian
sengketa FTA.

D. Model Ideal Implementasi FTA oleh Kepabeanan


1. Penerapan Advance Ruling untuk Memfasilitasi Importir
Penerapan advance ruling memfasilitasi importir dengan advance ruling pada
proses penelitian nilai pabean dapat mempercepat prosedur penilaian dan
mengurangi potensi dispute. Keputusan advance ruling dapat diperoleh
sebelumnya ketika importir mengajukan dokumentasi terkait transaksi

PY
kepada pejabat pabean. Setelah diberikan putusan advance ruling, importir
menyampaikan pada pemberitahuan pabean pada tahap impor, sehingga
tidak ada penelitian nilai pabean lebih lanjut yang perlu dilakukan, sehingga
CO
mempercepat prosedur pengeluaran dan meminimalkan potensi dispute.233
Dalam WCO Guidelines on Customs Infrastructure for Tariff Classification,
Valuation and Origin, terdapat petunjuk bahwa sengketa akan merugikan
administrasi Bea Cukai dan komunitas perdagangan dari segi biaya dan tenaga.
Sengketa dapat muncul pada berbagai tahap, misalnya berkenaan dengan pra-
G
customs clearance, pada tahap customs clearance, atau tahap post-customs
clearance. Jika perselisihan muncul pada tahap pra-customs clearance dan
IN

ditangani pada saat itu, hal ini akan membantu menghindari konflik di kemudian
hari. Namun, jika sengketa muncul pada tahap importasi, adanya keterlambatan
arus barang yang disebabkan dalam proses penyelesaian sengketa tidak akan
AD

diinginkan oleh Bea Cukai maupun perdagangan.234 Advance rulings diatur


dalam standar the Revised Kyoto Convention tentang binding rulings (General
Annex, Standard 9.9) serta dalam WTO Agreement on Rules of Origin (assessments
on origin). Administrasi Bea Cukai dapat merujuk pada advance rulings sebagai
RE

“preliminary decisions”, “binding tariff information”, atau “binding origin


information”.235
Berdasarkan petunjuk WCO, penyelesaian sengketa praimportasi dapat
dilakukan melalui mekanisme advance rulings. Definisi dari advance rulings
adalah keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang

233 Luc De Wulf & Jose B. Sokol, Customs Modernization Handbook, Washington DC: The World
Bank, 2005, hlm. 147.
234 WCO, Loc.Cit.
235 WCO, Glossary of International Customs Terms, October 2017.

Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 103
kepada pemohon sebelum transaksi impor atau ekspor barang yang dicakup
oleh aplikasi yang menetapkan perlakuan yang harus diberikan anggota terhadap
barang pada saat transaksi impor/ekspor, untuk jangka waktu tertentu.236 Lebih
lanjut, advance rulings juga diatur dalam Article 3 WTO Agreement on Trade
Facilitation (Trade Facilitation Agreement). Ketentuan yang diatur adalah sebagai
berikut.237
a. Bea Cukai harus memberikan keputusan tertulis atas permintaan masyarakat
mengenai klasifikasi tarif atau asal barangnya (atau hal-hal lain yang
dijelaskan dalam paragraf 9 (b) Trade Facilitation Agreement sebelum
importasi).
b. Putusan tersebut akan mengikat Bea Cukai dan tetap berlaku untuk jangka
waktu yang wajar.

PY
c. Masyarakat berhak untuk diberitahu jika Bea Cukai mengambil tindakan
tertentu yang merugikan kepentingannya (seperti penolakan untuk menge­
luarkan keputusan atau keputusan untuk mencabut atau memodifikasi
putusan).
CO
d. Bea Cukai harus memublikasikan informasi tentang proses putusannya.

Dalam Technical Guidelines on Advance Rulings for Classification, Origin


and Valuation juga diatur tentang hak masyarakat untuk melakukan keberatan
atas putusan advance rulings. Penerbitan advance rulings disertai dengan
G
notifikasi hak untuk mengajukan upaya hukum (a notification of the right of
review and appeal of the advance ruling).238
IN

2. Studi Komparatif Advance Ruling di Jepang


Selanjutnya, diuraikan pendekatan perbandingan (comparative approach)239
AD

berdasarkan international best practice untuk mendapatkan contoh penerapan


advance ruling di negara Jepang sebagaimana dimuat dalam World Customs
Organization, Guide to Counter Origin Irregularities (Excluding Fraud) 2015.
Diketahui bahwa Bea Cukai Jepang mendorong penggunaan advance ruling
RE

yang berlaku selama 3 tahun. Untuk meningkatkan transparansi penentuan


asal barang, ringkasan putusan advance ruling yang dikeluarkan tersedia
untuk umum di situs web Bea Cukai (dapat diakses oleh publik). Masyarakat

236 Ibid.
237 WTO, Trade Facilitation Agreement Advance Ruling, Article 3 | TFAF - Trade Facilitation Agreement
Facility (tfafacility.org), diakses 1 November 2021.
238 WCO, Technical Guidelines on Advance Rulings for Classification, Origin and Valuation, 2018,
hlm. 8.
239 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2011, hlm. 93.

104 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


dapat merujuk ke situs web dan mendapatkan informasi tentang kasus serupa
yang akan mengarah pada klaim perlakuan tarif preferensial yang tepat.240
Semua informasi tentang advance ruling yang dikeluarkan disimpan
dalam sistem internal yang disebut Customs Intelligence Database System
(CIS). Petugas Bea Cukai dapat mencari dan mengambil data tentang advance
ruling yang dikeluarkan menggunakan kode HS spesifik, deskripsi barang,
kata kunci, dan sebagainya. Untuk memudahkan importir dan pengguna jasa
untuk menggunakan sistem advance ruling, Bea Cukai Jepang menyediakan
formulir aplikasi dan persyaratan data, yang dipublikasikan di situs web Bea Cukai.
Selain itu, buku panduan telah diunggah ke situs web, menjelaskan prosedur
advance ruling dan memberikan contoh terperinci tentang persyaratan data
dan dokumen apa yang harus diberikan importir kepada Bea Cukai. Ada tiga

PY
jenis contoh, berdasarkan kriteria asal, yaitu CTC, nilai tambah, dan proses
manufaktur. Dengan langkah-langkah untuk memfasilitasi penggunaan sistem
advance ruling tersebut, jumlah putusan awal telah meningkat di tahun 2012
sebanyak 539 putusan dan tahun 2013 sebanyak 718 putusan.241
CO
3. Model Penegakan Hukum yang Ideal atas Kasus Pelanggaran
Origin Criteria
a. Studi Komparatif di Australia
G
Australian Customs and Border Protection Service (ACBPS) bertanggung jawab
untuk mengimplementasikan aspek-aspek terkait kepabeanan dari perjanjian
IN

perdagangan bebas yang telah disepakati dan terlibat erat dalam negosiasi
prosedur terkait kepabeanan dari perjanjian-perjanjian ini. Bagian ini mem­berikan
saran kebijakan perdagangan berkualitas tinggi tentang kebijakan perdagangan
AD

terkait kepabeanan, termasuk kebijakan tarif, penilaian, dan asal barang.242 ACBPS
telah menemukan kasus di mana klasifikasi tarif yang diberikan pada deklarasi
impor berbeda dari klasifikasi tarif yang diberikan pada bukti dokumenter
yang digunakan untuk mendukung klaim asal.243
RE

1) Kasus Posisi
Sebuah barang diimpor ke Australia di bawah salah satu perjanjian per­
dagangan bebas Australia (FTA). Importir Australia mengklaim perlakuan tarif
preferensial untuk barang tersebut, mengklaim barang tersebut berasal, dan
memenuhi aturan asal yang berlaku untuk barang tersebut. Klaim importir

240 WCO, Guide to Counter Origin Irregularities (Excluding Fraud), 2015, hlm. 11.
241 Ibid., hlm. 13.
242 Ibid., hlm. 11.
243 Ibid.

Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 105
tersebut didukung oleh pernyataan asal oleh produsen yang menyatakan bahwa
kriteria preferensi produk tertentu (PSR) asal telah terpenuhi. Saat melengkapi
deklarasi impor, importir memberikan klasifikasi tarif yang berbeda dengan
yang tercantum pada deklarasi asal (karena importir tidak setuju dengan
klasifikasi tarif pada deklarasi asal). PSR untuk klasifikasi tarif barang pada
saat deklarasi asal adalah perubahan tariff subheading (CTSH) atau kandungan
nilai regional (RVC) 40%. ACBPS memilih untuk melakukan verifikasi terhadap
barang tersebut. Sebagai bagian dari proses verifikasi, ACBPS meminta informasi
dari produsen untuk mendukung klaim bahwa barang tersebut berasal, yaitu
memenuhi aturan CTSH atau RVC 40%.
Melalui informasi yang diberikan oleh produsen, ditemukan bahwa 87%
bahan yang digunakan dalam pembuatan barang tidak berasal. Oleh karena

PY
itu, barang gagal memenuhi aturan RVC 40%. Selanjutnya, ditemukan tidak
ada perubahan yang signifikan dalam pergerakan klasifikasi tarif (CTC) dalam
produksi barang, yaitu barang tersebut gagal memenuhi aturan CTSH. Oleh
karena itu, barang dengan menggunakan PSR yang relevan untuk barang yang
CO
diklasifikasikan pada deklarasi asal, tidak memenuhi aturan, tidak berasal,
dan oleh karena itu tidak dapat mengklaim perlakuan tarif preferensial di bawah
FTA. Selanjutnya, verifikasi ACBPS menegaskan bahwa klasifikasi tarif yang
berbeda telah diberikan pada deklarasi asal dan deklarasi impor yang sesuai.
ACBPS memutuskan klasifikasi HS yang benar adalah klasifikasi yang diberikan
G
pada deklarasi impor. PSR untuk klasifikasi tarif pada deklarasi impor adalah
CTSH dengan ketentuan minimal 50% berat bahan aktif berasal atau RVC
IN

40% atau aturan proses reaksi kimia. Berdasarkan informasi yang diberikan
oleh produsen, ACBPS menentukan kualitas yang baik di bawah aturan proses
reaksi kimia. Ahli kimia tarif ACBPS mengonfirmasi bahwa ’reaksi kimia’ telah
AD

terjadi dalam produksi yang memenuhi persyaratan aturan proses.


2) Solusi
Deklarasi asal baru diselesaikan oleh produsen untuk mencerminkan klasifikasi
RE

tarif yang benar dan untuk mengidentifikasi kriteria preferensi yang benar.
ACBPS menerima klaim asal dan mengizinkan perlakuan tarif preferensial.
Perbedaan klasifikasi tarif antara deklarasi impor dan bukti dokumen
pendukungnya harus diperlakukan berdasarkan kasus per kasus. Fokusnya
harus pada apakah barang yang diimpor memenuhi aturan asal di bawah FTA.

b. Studi Komparatif di Jepang


Bea Cukai Jepang terdiri atas kantor pusat di Kementerian Keuangan dan sembilan
Bea Cukai regional. Setiap Bea Cukai regional memiliki bagian khusus yang
menangani aturan asal (RoO). Bagian RoO mengawasi pembuatan kebijakan

106 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


serta administrasi, hal-hal aturan asal, dan Pusat RoO mengoordinasikan operasi
lapangan praktis. Secara khusus, bagian RoO di kantor pusat bertanggung
jawab atas: (1) masalah kebijakan, termasuk negosiasi Perjanjian Kemitraan
Ekonomi, (2) masalah undang-undang dan peraturan, (3) implementasi undang-
undang yang berkaitan dengan aturan asal, dan (4) koordinasi dengan negara
lain dan departemen pemerintah. Pusat Nasional RoO, yang berlokasi di Tokyo,
bertanggung jawab untuk: (1) memastikan penerapan aturan asal barang yang
benar dan seragam, (2) koordinasi keseluruhan sistem verifikasi, dan (3) pelatihan
untuk pejabat Bea Cukai dan sektor swasta. Bagian RoO khusus di Bea Cukai
regional melakukan layanan tingkat lapangan untuk mengelola pertanyaan dan
masalah asal.
Dalam menerapkan empat belas Perjanjian Kemitraan Ekonomi (EPA)

PY
dan Sistem Preferensi Umum (GSP) yang ada, Jepang menghadapi berbagai
penyimpangan terkait asal preferensi. Pada tahun-tahun awal, penyimpangan
tipikal yang terdeteksi adalah kesalahan mengenai Surat Keterangan Asal
(Certificate of Origin (CO)) yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang dari
CO
negara pengekspor. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungannya
telah bergeser ke arah penyimpangan terkait status asal barang. Dengan
mempertimbangkan perubahan terbaru dalam sistem sertifikasi asal, Bea Cukai
Jepang telah berfokus pada, dan mendeteksi penyimpangan terkait status asal
barang, tidak hanya dengan memeriksa PPK dan dokumen lainnya (seperti,
G
faktur dan lain-lain) saja, tetapi juga dengan menerapkan manajemen risiko.
IN

1) Studi Kasus Origin Criteria244


Sebuah perusahaan yang mengimpor Surimi beku (ikan cincang) mengklaim
perlakuan tarif preferensial sebagai “barang yang diperoleh sepenuhnya” di
AD

bawah salah satu EPA Jepang. Bea Cukai menerima informasi dari sumber
luar bahwa dalam proses pembuatan Surimi, fosfat yang tidak tersedia di
negara A telah digunakan sebagai pengawet. Bea Cukai meminta importir
untuk memberikan informasi lebih lanjut tentang Surimi. Importir memberi
RE

Bea Cukai daftar bahan. Bea Cukai memeriksa dokumen dan menemukan
bahwa bahan yang bersangkutan (yaitu, fosfat) termasuk dalam daftar. Oleh
karena itu, Bea Cukai meragukan status asal bahan ini dan meminta negara
pengekspor untuk melakukan verifikasi terkait status asalnya, sesuai dengan
ketentuan EPA terkait. Sebagai hasil dari verifikasi, ditemukan bahwa fosfat
yang digunakan dalam proses produksi tidak memenuhi origin. Bea Cukai
menetapkan bahwa Surimi bukan barang asal, dan oleh karena itu, perlakuan

244 Ibid.

Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 107
tarif preferensial ditolak. Importir membuat amandemen deklarasi bea masuk
dan membayar jumlah yang diperlukan.
2) Studi Kasus SKA yang Diduga Tidak Benar
Importir mengimpor Kaleng Pelat Timah dari negara L dan memberikan sertifikat
asal kepada Bea Cukai saat mengklaim perlakuan istimewa. Seorang petugas
Bea Cukai di bagian izin membandingkan sertifikat asal dengan daftar segel
yang terdaftar di Bea Cukai Jepang, tetapi tidak dapat menemukan segel yang
sama dalam daftar. Oleh karena itu, pejabat tersebut meragukan keaslian
surat keterangan asal. Oleh karena itu, Bea Cukai meminta negara pengekspor
untuk melakukan verifikasi terhadap keaslian surat keterangan asal. Dari hasil
verifikasi, diketahui bahwa surat keterangan asal yang diberikan oleh importir
tersebut palsu. Bea Cukai menetapkan bahwa persyaratan untuk perlakuan

PY
tarif preferensial belum dipenuhi. Oleh karena itu, perlakuan tarif preferensial
ditolak.
3) Strategi Jepang Menangani Masalah FTA
CO
Untuk mencegah dan mendeteksi penyimpangan asal, bagian Bea Cukai,
bagian PCA, bagian RoO, Pusat RoO, dan Markas bekerja sama satu sama
lain. Ketika ada keraguan tentang status asal atau keabsahan bukti asal, bagian
Bea Cukai berbagi informasi mengenai keraguan ini dengan bagian PCA dan
G
bagian RoO melalui sistem komputerisasi. Bagian RoO membagikan informasi
yang diterimanya dengan Pusat RoO, dan Pusat RoO memberi tahu Kantor Pusat.
IN

Jika Bea Cukai tidak dapat menentukan, setelah audit post-clearance, apakah
barang tersebut memenuhi syarat untuk perlakuan tarif preferensial atau tidak,
Bea Cukai dapat meminta negara pengekspor—melalui Kantor Pusat—untuk
AD

melakukan verifikasi. Ini adalah alur dasar operasi yang digunakan oleh Bea
Cukai Jepang untuk mengidentifikasi penyimpangan asal. Sangat penting
bahwa Bea Cukai regional, Pusat RoO, dan Markas Besar bekerja sama
satu sama lain untuk memastikan prosedur izin yang tepat. Selanjutnya,
RE

Bea Cukai Jepang memiliki cara untuk melawan penyimpangan asal.

108 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


BAB VIII

PY
ASPEK DALAM KEGIATAN PEREKONOMIAN DALAM
TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL
CO
A. Kegiatan Angkutan Multimoda
G
Angkutan multimoda merupakan angkutan barang yang paling sedikit memakai
dua moda angkutan yang berbeda, tetapi berdasar pada satu perjanjian atau
IN

kontrak dan satu tempat diterimanya barang oleh badan usaha angkutan
multimoda ke tempat yang telah ditentukan untuk penye­rahan barang kepada
penerima barang.245 Hal tersebut termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor
AD

8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda (PP No. 8 Tahun 2011). Pendapat
lain mengatakan bahwa pengangkutan multimoda terdiri atas pengangkutan
melalui jalur darat menggunakan kendaraan bermotor atau melalui rel yang
menggunakan kereta api. Pengangkutan multimoda merupakan gabungan
RE

moda pengangkutan darat melalui jalan raya dan moda rel kereta api yang
dengan seiring berjalannya waktu dikembangkan melalui jalur perairan.
Terakhir, merambah pula ke jalur udara. Pengangkutan multimoda demikian
akan menjadi lebih efektif dan efisien dalam penyelenggaraan pengangkutan
niaga di Indonesia.246

245 Wahyu Wibowo dan Irwan Chairuddin, “Sistem Angkutan Multimoda dalam Mendukung Efisiensi
Biaya Logistik di Indonesia”, Jurnal Manajemen Transportasi & Logistik, 4(1), 2017, hlm. 28
246 Muhammad Abdulkadir, Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di Indonesia
dalam Perspektif Hukum Bisnis Indonesia pada Era Globalisasi Ekonomi, Jakarta: Genta Press,
2007, hlm. 24–26.
Pada gambar berikut, dapat dilihat ilustrasi proses angkutan multimoda.
Penjual (seller) mengirimkan produk/barang kepada pembeli (buyer) melalui
carrier yang terdiri atas beberapa transportasi dalam perjalanannya.

PY
Sumber: Konferensi Nasional Hukum Bisnis BINUS University (2021)
Gambar 8.1 Konsep angkutan multimoda

CO
Rangkaian dalam kegiatan angkutan multimoda dimulai sejak diterimanya
barang oleh badan usaha angkutan multimoda dari pengguna jasa hingga
diserahkannya barang kepada penerima barang sebagaimana telah diperjanjikan
sebelumnya. Peran transportasi multimoda sendiri adalah sebagai sebuah
indikator yang penting dalam melaksanakan sistem logistik karena mampu
G
menjadi tulang punggung pengingkatan utilitas barang, baik dalam hal
transportasi bahan mentah, bahan pengolahan, maupun distribusi barang
IN

yang biasa dikonsumsi. Akan tetapi, pada praktiknya, peran demikian


belum berjalan optimal.247 Pada dasarnya, pola tanggung jawab dari sebuah
perusahaan multimoda serupa dengan perusahaan pengangkutan pelayaran,
AD

yang diharuskan untuk mengasuransikan juga pembayaran ganti rugi jika


terjadi kerusakan bahkan kehilangan barang.248 Lebih lanjut, terkait tanggung
jawab pada angkutan multimoda diatur pula dalam Pasal 2 ayat (4) PP No. 8
Tahun 2011 yang berbunyi:
RE

“(4) Dalam menyelenggarakan kegiatan angkutan multimoda sebagaimana dimaksud


pada ayat (3) badan usaha angkutan multimoda bertanggung jawab terhadap
kegiatan penunjang angkutan multimoda yang meliputi pengurusan:
a. Transportasi;
b. Pergudangan;
c. Konsolidasi muatan;

247 Tulus Irpan et al., “Kajian Peningkatan Peranan Transportasi Multimoda dalam Mewujudkan Visi
Logistik Indonesia 2025”, Jurnal Manajemen Bisnis Transportasi dan Logistik, 3(1), 2016, hlm. 83.
248 Puslitbang Transportasi Antarmoda, “Jurnal Transportasi Multimoda”, Jurnal Transportasi Multimoda,
17(1), 2019, hlm. 40.

110 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


d. Penyediaan ruang muatan; dan/atau
e. Kepabeanan untuk angkutan multimoda ke luar negeri dan ke dalam negeri.”

B. Jenis Kegiatan Multimoda


Suatu angkutan multimoda terdiri atas empat kegiatan, yang masing-masing
kegiatan terdiri atas berbagai kegiatan atau rangkaian, antara lain sebagai berikut.
1. Pergudangan
a. Warehousing inventory, yang mana warehouse merupakan istilah gudang
sehingga apa yang dimaksud dengan warehousing adalah pergudangan,
sedangkan inventory adalah stok atau simpanan barang-barang. Dengan
demikian, warehousing inventory merupakan pergudangan untuk stok atau

PY
simpanan barang-barang.
b. Sortasi atau melakukan pemisahan terhadap barang menjadi beberapa
golongan atau kelompok berdasarkan bentuk, tekstur, berat, dan warna.
c. Pengepakan atau proses, cara, dan perbuatan mengepak atau mengepakkan.
CO
d. Penandaan atau proses, cara, dan perbuatan menandai.
e. Pengukuran atau proses untuk menentukan besaran, dimensi, atau kapasitas.
Lazimnya dilakukan berdasarkan suatu standar atau satuan ukur dan
penimbangan atau perbuatan menimbang.
f. Stuffing atau proses muatan (barang) masuk ke dalam kontainer dan stripping
G
atau dilakukannya pengeluaran produk dari dalam peti kemas dengan
IN

menggunakan tenaga manusia atau alat mekanis.

2. Pengangkutan
AD

a. Darat, yaitu jenis kegiatan ekonomi berupa penyediaan jasa angkut produk
atau orang di darat, seperti yang dilakukan oleh perusahaan bus dan taksi
(land transportation).
b. Kereta api, yaitu jenis kegiatan ekonomi atau dalam hal ini angkutan produk
RE

menggunakan kereta api, tepatnya gerbong.


c. Laut, yaitu dilakukannya usaha pelayaran niaga yang bergerak dalam bidang
penyediaan jasa angkutan muatan laut.
d. Pesawat, yaitu kegiatan dilakukan dengan menggunakan pesawat udara
untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan
atau lebih, dari bandar udara satu ke bandar udara lainnya.

3. Transhipment point
a. Warehousing, merupakan istilah gudang, sehingga apa yang dimaksud dengan
warehousing adalah pergudangan.

Bab VIII - Aspek dalam Kegiatan Perekonomian dalam Transaksi Bisnis Transnasional 111
b. Bongkar muat, yaitu penempatan atau pemindahan muatan dari darat ke
atas kapal, juga sebaliknya.
c. Tally, yaitu perhitungan, jumlah, atau hitungan.
d. Kepabeanan, yaitu seluruh hal yang berkaitan dengan pengawasan lalu
lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea
masuk dan keluar.
e. Karantina
f. Stuffing atau proses muatan (barang) masuk ke dalam kontainer dan proses
dilakukannya pengeluaran barang dari dalam peti kemas dengan
menggunakan tenaga manusia atau alat mekanis.
g. Pengurusan dokumen

PY
4. Main Haul
a. Darat, yaitu jenis kegiatan di bidang ekonomi berupa penyediaan
jasa angkutan barang atau orang di darat, seperti yang dilakukan oleh
CO
perusahaan bus dan taksi (land transportation).
b. Kereta api, yaitu jenis kegiatan ekonomi atau dalam hal ini angkutan barang
menggunakan kereta api, tepatnya gerbong.
c. Laut, yaitu usaha pelayaran niaga yang bergerak dalam bidang penyediaan
jasa angkutan muatan laut. Permasalahan yang sering terjadi dalam
G
transportasi laut adalah kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan atau
kesalahan dalam pengangkutan barang yang disebabkan oleh kelalaian
IN

pengangkut.249
d. Pesawat terbang, yaitu kegiatan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau
AD

lebih dari satu, dari bandar udara satu ke bandar udara lainnya.

C. Elemen Angkutan Multimoda


RE

Guna melangsungkan pengiriman melalui angkutan multimoda, terdapat


beberapa hal yang diperlukan, di antaranya sebagai berikut.250
1. Angkutan barang yang terdiri atas lebih dari satu moda dan berbeda.
2. Dokumen perjanjian (kontrak).

249 Nirmala Many, Muhammad Reza Syariffudin Zaki, dan Cecilia Elisabeth Agatha, “Marine Casualty
Caused by Ever Judger in Balikpapan Bay: Human Error or Technical Factors?”, Advances in
Social Science, Education and Humanities Research, Vol. 585, hlm. 582.
250 Nirmala, “Mengenal Transportasi Multimoda di Indonesia”, 2017, diakses dari https://business-
law.binus.ac.id/2017/05/31/mengenal-transportasi-multimoda-di-indonesia/ pada tanggal 22
Mei 2022 pukul 16:55 WIB.

112 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


3. Dari tempat diterimanya barang (point of origin).
4. Ke suatu tempat yang telah ditentukan (point of destination).
5. Cakupannya sejak diterima barang (consignor) hingga diserahkannya
barang kepada penerima (consignee).
6. Dilakukan oleh suatu badan usaha angkutan multimoda (operator).

D. Peraturan Terkait Angkutan Multimoda


Berdasarkan peran angkutan multimoda di Indonesia sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, semakin tampak bahwa keberadaan transportasi di
tengah-tengah masyarakat pada akhirnya dapat meningkatkan per­ekonomian
nasional. Untuk itu, agar keberadaan transportasi multimoda ini berhasil guna,
diperlukan regulasi yang mengaturnya.251 Berikut merupakan beberapa regulasi

PY
yang mengatur angkutan multimoda.
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (Pasal 165)
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Pasal
147–148) CO
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Pasal 50–55)
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Pasal
187–191)
G
5. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda
6. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyeleng­
IN

garaan dan Pengusahaan Angkutan Multimoda


7. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 20 Tahun 2013
tentang Syarat dan Ketentuan Minimum Jasa Layanan (Standard Trading
AD

Conditions-STC) di Bidang Angkutan Multimoda


8. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 49 Tahun 2005 tentang Sistem
Transportasi Nasional (SISTRANAS)
RE

E. Manfaat Angkutan Multimoda


Manfaat dalam menggunakan angkutan multimoda adalah dapat diperolehnya
suatu kemudahan. Hal ini mengingat pada transportasi unimoda di setiap
tahapnya, kegiatan diatur dalam dokumen kontrak terpisah sehingga dapat
mempersulit eksporter (consignor). Sementara itu, pada angkutan multimoda,
rangkaian tahapan kegiatan dengan moda yang berbeda hanya menggunakan

251 Endro Tri Susdarwono, “Pembangunan Pengangkutan Multimoda sebagai Penunjang Kemandirian
Industri Pertahanan Indonesia: Akselerasi Pembangunan Industri Pertahanan”, Kajen, 4(1), April
2020, hlm. 10.

Bab VIII - Aspek dalam Kegiatan Perekonomian dalam Transaksi Bisnis Transnasional 113
satu dokumen kontrak. Di samping itu, pada angkutan multimoda terdapat
tagihan (billing) yang terpisahkan sendiri untuk setiap kontrak, tetapi pada
multimoda hanya ada satu tagihan. Manfaat lain yang diperoleh, yaitu terdapat
perbedaan syarat dan tingkat pertanggungjawaban (liability) yang berbeda di
setiap lini tahapan kegiatan, sehingga consignor harus dihadapkan dengan
para penanggung jawab angkutan yang berbeda. Apabila dirangkum, berikut
merupakan manfaat angkutan multimoda.252
1. Efisiensi waktu pada transhipment point.
2. Efisiensi pengangkutan (lebih cepat, rugi atas jarak, dan modal).
3. Pengurangan beban dokumentasi, formalitas, dan birokrasi.
4. Hemat biaya terutama biaya asuransi.
5. Efisiensi karena hanya berurusan dengan satu agen sebagai penanggung

PY
jawab.
6. Penurunan harga barang.
7. Peningkatan daya saing produk ekspor di pasar global.

F. Mata Uang Lokal dalam Transaksi BilateralCO


Mata uang berperan besar sebagai alat pembayaran dalam transaksi per­
dagangan ekspor dan impor. Lazimnya, mata uang yang digunakan mengacu
pada mata uang internasional, seperti dolar AS, Euro, dan Pounds­ terling.
G
Dolar AS sebagai salah satu mata uang internasional yang disepakati oleh
World Trade Organization (WTO), World Bank, dan International Monetary
IN

Fund (IMF) berperan sebagai acuan standar nilai mata uang di dunia. Negara-
negara menggunakan dolar AS sebagai salah satu mata uang untuk melakukan
transaksi perdagangan, jasa, maupun investasi.253 Mata uang lokal merupakan
AD

alat nilai tukar yang digunakan untuk suatu proses jual-beli terhadap suatu
barang yang bernilai. Nilai tukar atau kurs asing (foreign exchange rate) sendiri
adalah nilai mata uang satu negara relatif terhadap nilai mata uang negara
lain. Oleh karena nilai tukar ini berdasar pada dua mata uang, maka titik
RE

seimbangnya ditentukan oleh permintaan dan penawaran dari kedua mata


uang yang dimaksud.254

252 Nirmala, “Mengapa Harus Angkutan Multimoda?”, 2017, diakses dari https://business-law.
binus.ac.id/2017/06/30/mengapa-harus-angkutan-multimoda/ pada tanggal 22 Mei 2022 pukul
17:00 WIB.
253 Hafsah Supadi, “The Use of Local Currency Settlement in Trade among Indonesia, Malaysia and
Thailand”, JOM FISIP, Vol. 8, Edisi II, 2021, hlm. 3.
254 Dio Putra Perdana et al., “Pengaruh Pelemahan Nilai Tukar Mata Uang Lokal (IDR) terhadap Nilai
Ekspor”, Jurnal Administrasi Bisnis (JAB), 17(2), hlm. 2.

114 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Guna mendorong penggunaan mata uang lokal yang lebih luas, Bank
Indonesia (BI) menerapkan kerangka kerja sama Local Currency Settlement
(LCS). Hal tersebut dilaksanakan dalam penyelesaian transaksi perdagangan
dan investasi langsung dengan berbagai negara mitra.255 Hal ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/12/
PBI/2020 tentang Penyelesaian Transaksi Bilateral Meng­gunakan Mata Uang
Lokal melalui Bank, yang berbunyi:
“Penyelesaian Transaksi Bilateral menggunakan Mata Uang Lokal atau Local Currency
Settlement yang selanjutnya disingkat LCS adalah penyelesaian transaksi yang
dilakukan secara bilateral oleh pelaku usaha di Indonesia dan negara mitra dengan
menggunakan mata uang masing-masing negara.”
Sebagai keberlanjutan PBI tersebut, pada tahun 2021, Bank Indonesia

PY
mengubah beberapa ketentuan dalam PBI 22/12/PBI/2020 dengan membuat
peraturan baru, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/9/PBI 2021 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/12/PBI/2020. Bank
CO
Indonesia menyatakan bahwa penggunaan LCS memberi manfaat secara
langsung terhadap pelaku usaha, di antaranya sebagai berikut.
1. Biaya konversi transaksi dalam valuta asing lebih efisien.
2. Tersedianya alternatif pembiayaan perdagangan dan investasi langsung
dalam mata uang lokal.
G
3. Tersedianya diversifikasi eksposur mata uang yang digunakan dalam
penyelesaian transaksi di luar negeri.
IN

4. Tersedianya alternatif instrumen lindung nilai dalam mata uang lokal,


sedangkan tujuan LCS sendiri adalah guna mendorong mata uang lokal
dalam transaksi kegiatan perdagangan dan investasi antara Indonesia
AD

dengan negara mitra.256 Dengan kata lain, dalam transaksi bisnis antara
dan/atau oleh perusahaan transnasional.

Dengan begitu, transaksi kedua negara diharapkan tidak bergantung lagi


RE

terhadap dolar AS.257 Kerangka kerja sama tersebut akan mengurangi transaksi
valuta asing terhadap rupiah karena kuotasi harga secara langsung antara
rupiah dengan mata uang negara mitra. Dengan demikian, kesulitan yang
dialami Indonesia beberapa tahun terakhir ini dalam mencapai pertumbuhan

255 Bank Indonesia, “Local Currency Settlement (LCS) & Appointed Cross Currency Dealer (ACCD)”,
diakses dari https://bicara131.bi.go.id/knowledgebase/article/KA-01093/en-us, pada tanggal 21
Mei 2022 pukul 12:09 WIB.
256 Agatha Olivia Victoria, “Regulasi LCS Akan Terbit, Transaksi RI-Tiongkok Tak Perlu Pakai Dolar”,
2021, diakses dari https://katadata.co.id/agustiyanti/finansial/60d5b1623a6ad/regulasi-lcs-akan-
terbit-transaksi-ri-tiongkok-tak-perlu-pakai-dolar, pada tanggal 23 Mei 2022 pukul 12:59 WIB.
257 Ibid.

Bab VIII - Aspek dalam Kegiatan Perekonomian dalam Transaksi Bisnis Transnasional 115
ekonomi sebesar 6–7% karena lesunya perekonomian negara adidaya258 tidak
akan terulang kembali. Terlebih, besar harapan terhadap pasar berbasis mata
uang lokal di Indonesia ber­kembang akan mendorong diversifikasi atas mata
uang dan memperluas akses para pelaku usaha. Seiring peningkatan perdagangan
internasional, terjadi pula peningkatan dalam penggunaan valuta asing. Selalu
berubahnya nilai tukar valuta asing dapat dipengaruhi oleh beberapa hal. Salah
satunya tingkat inflasi, kemudian tingkat pendapatan masyarakat atau suku
bunga, dan kontrol pemerintah atas perekonomian, termasuk juga harapan atau
perkiraan masyarakat terhadap perekonomian di masa yang akan datang.259
Daya beli mata uang suatu negara yang berbeda dengan negara lain juga
akan memberi kesempatan luas bagi para pihak tertentu untuk mengambil
keuntungan sebanyak-banyaknya, atau lebih dikenal dengan istilah international

PY
arbitrage. Pada dasarnya, para international arbitrageurs berusaha “membeli
komoditi dengan harga serendah mungkin untuk kemudian dijual dengan
harga setinggi mungkin”. Dengan begitu, seorang arbitrageurs dapat dianggap
CO
mengharapkan agar terjadi ketidakstablian dan perbedaan nilai tukar antarmata
uang tetap tinggi. Dampak dari penerapan the law of one price adalah
per­d agangan barang dan jasa, termasuk komoditi lain antarnegara harus
mempunyai biaya transaksi yang sama nilainya di seluruh negara-negara di
dunia. Oleh karena itu, nilai tukar antara mata uang domestik dan komoditi
G
domestik harus memiliki kesamaan dengan komoditi luar negeri atau dengan
IN

kata lain, satu unit mata uang dalam negeri seharusnya mempunyai nilai daya
beli yang sama di seluruh negara-negara di dunia.260
Selain LCS, dapat pula digunakan metode BSCA atau Bilateral Swap
AD

Currency Arrangement yang memfasilitasi pertukaran bilateral komoditas


dan perdagangan denominasi lokal. Negara penandatangan masing-masing
dapat menggunakan mata uang nasional mereka sendiri untuk penyelesaian
perdagangan dengan menjaga dolar keluar dari gambar. Utang atau aset
RE

berdenominasi langsung dikonversi ke dalam denominasi utang atau aset mata


uang lain, membantu menghindari risiko nilai tukar dan mengurangi biaya.
Tanpa dolar sebagai mata uang perantara, BCSA adalah cara yang dijamin
untuk membantu manufaktur, pembeli, dan pedagang lokal untuk mengontrol
nilai tukar jangka panjang dan menjaga aktivitas perdagangan tetap aman

258 Reza Zaki, Loc.Cit.


259 J. Madura, International Financial Management, 5th edition, New York: Prentice Hall International,
Inc., 1997, hlm. 24.
260 D. Salvatore, Ekonomi Internasional, Edisi kelima, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997, hlm. 27.

116 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


secara finansial. Perusahaan internasional yang memiliki kewajiban rupiah
sangat terpengaruh oleh apresiasi rupiah yang pada gilirannya meningkatkan
beban utang. Hal ini menyebabkan beberapa efek pengaliran dan memicu
kerusakan siklus perdagangan.
Produsen Indonesia dapat langsung melakukan transaksi dalam rupiah dan
Bank Indonesia di negara mitra dapat berperan sebagai perantara. Pengaturan
seperti itu sangat cocok untuk ekonomi yang hampir tidak memiliki kapasitas
cadangan devisa dan dipengaruhi oleh pasar mata uang yang bergejolak.
Dengan demikian, BCSA bekerja secara efektif dalam membiarkan pembeli
luar negeri mengunci nilai tukar. Indonesia memiliki banyak keuntungan dari
jaringan perjanjian BCSA. Alur lintasan singkat ber­dasarkan wilayah tentang
bagaimana Indonesia menyusun strategi BCSA-nya di seluruh dunia.

PY
Guna cakupan penggunaan mata uang lokal rupiah lebih luas lagi,
khususnya dengan para negara mitra, Indonesia perlu melakukan peningkatan
ekspor produk manufaktur agar mempunyai market share yang lebih besar
CO
dalam perdagangan global. Dengan demikian, peran Indonesia terhadap
perdagangan dunia akan lebih besar dan mempunyai posisi bargaining
power lebih baik terhadap negara mitra dagang. Peningkatan kekuatan
LCS Indonesia dan negara mitra dagang harus terus dilaksanakan dengan
memperluas cakupan jenis transaksi, sehingga terjadi peningkatan penggunaan
G
rupiah, pengurangan volatilitas (ukuran perubahan statistik suatu harga
sekuritas dalam periode tertentu), NTR, dan peningkatan efisiensi dari suatu
IN

pasar. Ekonom CORE memiliki pandangan bahwa dibutuhkan pula BCSA


dalam mendorong penggunaan mata uang lokal guna stabilitas keuangan
keuangan regional maupun global.
AD

Oleh karena Indonesia bertujuan untuk menginternasionalkan perdagangan


dan investasinya, Indonesia juga harus mempertimbangkan risiko yang terlibat
karena menggunakan pengaturan saat ini untuk meningkatkan jangkauan
global investasinya. Penandatanganan perjanjian BCSA mem­­bantu perdagangan
RE

dan investasi bilateral serta mendorong internasionalisasi rupiah dan ‘de-


dolarisasi’. Perjanjian tersebut juga memberikan dukungan likuiditas dan
mendorong pengembangan pasar luar negeri rupiah. Indonesia secara selektif
mengejar kesepakatan BCSA dengan negara-negara yang memegang posisi
kunci di wilayah geografis tertentu dan memiliki kecenderungan politik yang
kuat untuk mendukung upaya Indonesia dalam memecahkan ‘perangkap
dolar’.261 Pengaturan BCSA sendiri diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia

261 Yelery A., “China’s Bilateral Currency Swap Agreements: Recent Trends”, China Report, 52(2),
2016, hlm. 145–146.

Bab VIII - Aspek dalam Kegiatan Perekonomian dalam Transaksi Bisnis Transnasional 117
Nomor 18/7/PBI/2016 tentang Transaksi Bank kepada Bank Indonesia dalam
Rangka Bilateral Currency Swap Arrangement.

G. National Logistic Ecosystem (NLE)


National Logistic Ecosystem (NLE) adalah ekosistem logistik yang menye­
laraskan antara arus lalu lintas barang (flow of goods) dan dokumen internasional
(flow of documents), sejak kedatangan sarana pengangkut (kapal/pesawat),
barang keluar dari pelabuhan hingga tiba di gudang. NLE merupakan sistem
yang memiliki orientasi kepada kerja sama, baik antarinstansi pemerintah
maupun swasta, melalui pertukaran data, simplifikasi proses, menghapus
repetisi, dan dilakukannya duplikasi. Ini juga didukung oleh sistem teknologi

PY
informasi yang terdiri atas seluruh proses logistik terkait serta mengaitkan
beberapa sistem logistik yang telah ada sebelumnya.262
NLE juga termasuk ke dalam upaya nyata dari pemerintah dalam mendukung
program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka mengurangi dampak
CO
negatif Covid-19 terhadap perekonomian. Latar belakang dibangunnya sistem
NLE adalah dengan berorientasi pada kerja sama antara instansi pemerintah
dan swasta melalui penerapan tiga strategi utama, di antaranya sebagai berikut.
1. Menciptakan regulasi yang efisien dan standar pelayanan yang prima
G
dengan implementasi simplifikasi serta penghapusan repetisi dan duplikasi
dari proses bisnis.
IN

2. Mengolaborasikan layanan pemerintah dengan platform para pelaku usaha


pada bidang logistik.
3. Menciptakan penataan ruang logistik yang tepat didukung oleh sistem
AD

teknologi informasi yang mampu menciptakan kolaborasi digital atau


seluruh proses digital logistik.
Pendapat lain menyatakan bahwa NLE berfokus pada empat hal berikut.
RE

1. Simplifikasi proses bisnis layanan pemerintah.


2. Kolaborasi platform pemerintah dan swasta.
3. Kemudahan transaksi dan fasilitasi pembayaran.
4. Penataan sistem dan tata ruang kepelabuhanan.

Terkait NLE sebagai suatu program Penye­lamatan Ekonomi Nasional (PEN),


diatur dalam beberapa regulasi berikut.

262 Warta Bea Cukai, “National Logistic Ecosystem untuk Layanan Logistik Indonesia yang Lebih
Efisien”, 52(11), 2020, hlm. 14.

118 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang berbunyi: “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2020 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang
Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Rangka
Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi
Corona Virus Desease 2019 (Covid- 19) dan/atau Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional

PY
NLE bertujuan untuk meningkatkan kinerja logistik Indonesia (mengurangi
biaya logistik Indonesia yang cenderung tinggi dan meningkatkan reliability
and timeliness terkait pelayanan di bidang logistik). Penataan NLE dilaksanakan
CO
berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2020.263 Sedangkan, untuk
cakupan NLE itu sendiri terbagi ke dalam empat bagian, yakni sebagai berikut.
Tabel 8.1
Cakupan NLE Domestik Internasional
G
Cakupan National
No. Logistic Ecosystem Penjelasan
IN

(NLE)
1. Inbound Mengacu pada transportasi, penyimpanan dan pengiriman
barang, mencakup juga kegiatan distribusi bahan mentah
untuk menghasilkan produk dan jasa yang diperjualbelikan,
AD

dan memfasilitasi end to end dalam rangka importasi.


2. Outbond Rangkaian kegiatan yang melibatkan distribusi produk yang
sudah jadi ke tangan konsumen dan memfasilitasi end to end
dalam rangka eksportasi.
RE

3. Domestic Logistik domestik termasuk inbound dan outbond yang


dilakukan untuk transaksi dalam negeri, atau dapat
dikatakan, logistik ini memfasilitasi pergerakan dalam negeri.

4. Free Trade Area NLE pun akan mencakup Free Trade Area atau prototype dari
(Batam) program NLE yang dinamakan Batam Logistic Ecosystem.

263 Budhy Prianto, “Desentralisasi: Sebuah Kajian Awal tentang Reformasi Governance Menuju Welfare
State”, Spirit Publik, 10(2), hlm. 118.

Bab VIII - Aspek dalam Kegiatan Perekonomian dalam Transaksi Bisnis Transnasional 119
NLE merupakan program yang ditargetkan rampung pada tahun 2024 sesuai
Inpres No. 5 Tahun 2020. Namun demikian, hasil penataan logistik nasional
diharapkan dapat diterapkan secara ber­kelanjutan untuk mendukung sistem
logistik nasional.264 Berbeda dengan Tabel 8.1 tersebut, berikut merupakan
cakupan NLE Hulu-Hilir.
Tabel 8.2
Cakupan NLE Hulu-Hilir
No. Cakupan NLE Penjelasan
1. Supplier Penjual atau pemasok barang
2. Transport Pengiriman barang dari supplier menuju warehouse
3. Warehouse Penyimpanan barang diterima dari supplier

PY
4. Departures Pengiriman barang yang sudah didata di warehouse
5. Air/Sea Proses pengangkutan barang menuju tujuan dilakukan melalui
Companies laut atau udara
6.
7.
Arrival Port
Transport
CO
Sampainya barang di pelabuhan tujuan
Pengiriman barang dari pelabuhan menuju warehouse
8. Warehouse Penyimpanan barang dari pelabuhan dan pendataan sebelum
dikirim ke konsumen
G
9. Transport Pengiriman barang ke konsumen akhir dari warehouse di
IN

tempat tujuan
10. End Costumers Penerimaan barang oleh konsumen
AD

Sebagai suatu program, terdapat ruang lingkup yang dimiliki oleh NLE dan
para pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu sebagai berikut.
RE

264 Ibid.

120 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Tabel 8.3
Ruang Lingkup NLE
No. Ruang Lingkup
1. Platform Transportasi
Shipping
Ke Pelabuhan
Warehousing
Depo
End to End
2. Proses Bisnis Pemeriksaan Terpadu via SSm

PY
Layanan Pelabuhan (Manifes Barang dan
Manifes Pengangkut)
Perizinan (Logistik, IRSM, dan Lartas)
3. Tata Ruang One Billing
CO
One System
One Gate
4. Pembayaran Platform Pembayaran
G
Perbankan
IN

Tabel 8.4
Pihak yang Terlibat dalam NLE
No. Ruang Lingkup Kolaborator
AD

1. Platform Kementerian Perhubungan


Kementerian Perdagangan
Kementerian Keuangan
RE

2. Proses Bisnis Kementerian Perhubungan


Kementerian Perdagangan
Kementerian Keuangan
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Kementerian Pertanian
Pemerintah Daerah
19 Lembaga Lainnya

Bab VIII - Aspek dalam Kegiatan Perekonomian dalam Transaksi Bisnis Transnasional 121
No. Ruang Lingkup Kolaborator
3. Tata Ruang Kementerian Perhubungan
Kementerian Keuangan
Kementerian BUMN
4. Pembayaran Bank Indonesia
Kementerian Keuangan

PY
CO
G
IN
AD
RE

122 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


BAB IX

PY
HUKUM TRANSAKSI BISNIS
TRANSNASIONAL DAN HAK ASASI MANUSIA
CO
A. Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia Perusahaan
Transnasional
G
Kehadiran perusahaan transnasional selain memberikan dampak positif
IN

terhadap perkembangan suatu negara, dalam hal ini bidang perekonomian,


yaitu pengelolaan sumber daya alam host state, pemerataan pembangunan,
peningkatan kegiatan ekspor, peningkatan penerimaan pajak, penyediaan
AD

lapangan pekerjaan, pem­berian teknologi baru, serta peningkatan kualitas


sumber daya manusia host state, kehadiran perusahaan transnasional juga pada
kenyataannya dapat mengakibatkan beragam persoalan serius terhadap host
state.265 Tidak terkecuali dialami oleh Indonesia. Dalam fakta hukum yang
RE

terjadi, ketika melakukan kegiatan perdagangan internasional, Indonesia


dihadapkan pada sengketa dengan negara lain.266 Salah satu persoalan yang
dimaksud ialah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.267

265 Sefriani, “Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional terhadap Pelanggaran HAM dalam Perspektif
Hukum Internasional”, UNISIA, XXX(65), September 2017, hlm. 292–293.
266 Muhammad Reza Syariffudin Zaki, “Analysis of Halal Standards in Disputes on Chicken Meat
Imports between Indonesia and Brazil at the World Trade Organization (WTO)”, Advances in
Social Sciences, Education and Humanities Research, Vol. 659, hlm. 124.
267 Sefriani, Loc.Cit.
Universitas Harvard telah mengategorikan pelanggaran hak asasi manusia
oleh perusahaan transnasional, di antaranya sebagai berikut.268
1. Pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya, yaitu pelanggaran
terhadap hak memperoleh keadaan atau situasi kerja yang adil dan
menguntungkan, misalnya upah yang adil. Dengan demikian, pelanggaran
yang dimaksud ialah dengan membayar upah yang sangat rendah, meng­
gunakan kerja paksa, atau memaksa karyawan untuk bekerja dalam kondisi
berbahaya tanpa perlindungan yang memadai.
2. Pelanggaran hak-hak sipil dan politik, yaitu pelanggaran terhadap hak untuk
hidup, bebas dari penyiksaan, bebas dari penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang, juga hak untuk mendapatkan peradilan yang adil.
3. Pelanggaran terhadap hak-hak yang dilindungi oleh hukum humaniter

PY
internasional. Dalam hukum humaniter internasional (HHI), terdapat
beberapa per­kembangan yang perlu mendapat perhatian.269 Pelanggaran
yang dimaksud adalah tindakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
dan kejahatan perang, atau perbuatan kekerasan massal dan tersistematis.
CO
Apabila Universitas Harvard mendasarkan pelanggaran oleh perusahaan
transnasional pada ruang lingkup atau jenis pelanggaran hak asasi manusia,
maka beberapa pakar hukum internasional maupun hak asasi manusia dan
lembaga internasional mengategorikannya berdasarkan cara maupun tingkat
G
keterlibatan perusahaan transnasional terhadap pelanggaran hak asasi manusia
yang terjadi. Salah satunya adalah Surya Deva, seorang tokoh dalam hukum hak
IN

asasi manusia. Surya Deva menyatakan bahwa dalam praktiknya, pelanggaran


hak asasi manusia yang dilakukan perusahaan transnasional dapat terjadi dalam
berbagai macam cara, baik secara langsung, membantu melakukan pelanggaran,
AD

gagal dalam mencegah pelanggaran, bungkam terhadap suatu pelanggaran,


atau bahkan beroperasi di negara yang melanggar hak asasi manusia.270 Selain
itu, terdapat pula Anita Ramasastri, seorang anggota kelompok kerja PBB untuk
bisnis dan hak asasi manusia yang menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi
RE

manusia yang dilakukan perusahaan transnasional dapat dibedakan menjadi


dua bentuk berikut ini.

268 Ibid., hlm. 294–295.


269 Muhammad Reza Syariffudin Zaki dan Andrey Sujatmoko, “Hubungan Taliban dan Cina dalam
Perspektif Internasional”, terAs LAW REVIEW: JURNAL HUKUM HUMANITER DAN HAM, 3(1),
hlm. 46.
270 Surya Deva, “Human Right Violations by Multinational Corporations and International Law:
Where from Here?”, Connecticut Journal of International Law, hlm. 8–10.

124 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


1. Pelanggaran hak asasi manusia dengan keterlibatan perusahaan secara
langsung (direct complicity), yaitu pabila perusahaan berpartisipasi melalui
bantuan dalam melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan bantuan
itu berkontribusi pada pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan
oleh orang lain. Dalam hal ini, tidak dibutuhkan syarat bahwa hasil
kejahatan diinginkan oleh perusahaan, tetapi cukup dengan seharusnya
perusahaan mengetahui akibat yang mungkin timbul atas bantuan yang
diberikan.
2. Pelanggaran hak dengan keterlibatan perusahaan secara tidak langsung
(indirect complicity), sering juga disebut dengan keterlibatan guna
memperoleh keuntungan (beneficiary corporate complicity). Dalam
hal ini, perusahaan tidak melakukan kejahatan internasional yang dimaksud

PY
(perpetrator) sendiri atau secara langsung, tetapi perusahaan memperoleh
keuntungan dari pelanggaran yang dilakukan oleh negara tuan rumah.
Biasanya, pelanggaran ini terjadi pada perusahaan yang memiliki kontrak
kerja sama (partnership or joint ventures) dengan pemerintah tuan rumah
CO
(host government) dan atas proyek tertentu yang merupakan kerja sama
perusahaan dengan pemerintah tuan rumah tersebut.

International Council of Human Rights Policy juga secara rinci


mengategorikan empat kondisi keterlibatan perusahaan transnasional dalam
G
pelanggaran hak asasi manusia pada suatu negara, di antaranya sebagai
berikut.
IN

1. Perusahaan aktif membantu (active participation).


2. Joint venture
3. Keadaan di mana perusahaan mendapat keuntungan dari kondisi yang
AD

tercipta akibat pelanggaran hak asasi manusia, bahkan sekalipun perusahaan


tidak memberi bantuan pada perpetrator.
4. Perusahaan silent/inactive dalam menghadapi pelanggaran hak asasi manusia.
Perusahaan menyadari terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, tetapi
RE

tidak ada usaha atau upaya dalam mencegah atau menghentikannya.

B. Hak, Kewajiban, dan Pertanggungjawaban Hukum


atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh Perusahaan
Transnasional
Pada umumnya, perusahaan transnasional tidak berhak dan berkewajiban
berdasarkan hukum internasional atau tidak mempunyai legal standing untuk
berperkara di International Court of Justice (ICJ), karena telah diatur secara tegas
dalam Pasal 34 ayat (1) Statuta ICJ bahwa hanya negara yang dapat menjadi

Bab IX - Hukum Transaksi Bisnis Transnasional dan Hak Asasi Manusia 125
pihak dalam berperkara di depan Mahkamah. Akan tetapi, pada hal tertentu,
perusahaan transnasional dapat membuat persetujuan dengan pemerintah
pada suatu negara dengan menerapkan prinsip hukum internasional
atau prinsip hukum umum dalam kegiatan transaksi mereka dan bukan
diatur oleh hukum nasional pada suatu negara.271 Steven R. Ratner, profesor
bidang hukum yang berfokus pada pertanggungjawaban pelanggaran hak asasi
manusia, menyatakan bahwa kedekatan hubungan antara perusahaan dengan
pemerintah dapat dijadikan faktor dalam pertanggungjawaban perusahaan.
Menurut pendapatnya, perusahaan dapat bertindak selaku government agent,
complicit with government, dan commander.272
Dalam hukum pidana dan terhadap tindakan umumnya, lebih di­tekankan
pada sanksi dibandingkan kelalaian atau kelambanan, seperti tindakan diam

PY
terhadap terjadinya suatu ketidakadilan. Walaupun begitu, hukum pidana
tetap mengenal tanggung jawab bagi kelambanan. Kesunyian tidak selalu
netral dan dapat dikategorikan sebagai tindakan aktif membantu. Seorang
penonton tindakan atau perbuatan kejahatan dapat didakwa atas membantu
CO
dan bersekongkol apabila status atau keberadaannya berperan sebagai dukungan
bagi pelaku dalam men­jalankan pelanggaran hak asasi manusia.273
Hadirnya perusahaan transnasional dengan kekuatan ekonomi tertentu
dapat menjadi pendorong host state dalam melakukan pelanggaran hak asasi
manusia. Dalam sistem civil law, kewajiban menyelamatkan orang dalam
G
keadaan bahaya menjadi sangat relevan untuk diterapkan pada perusahaan
yang tidak melakukan tindakan apa pun dalam mencegah penderitaan orang
IN

yang seharusnya berada di bawah perlindungan.274 Dengan demikian, perusahaan


berkewajiban melindungi pekerjanya dari pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan pemerintah, termasuk penangkapan atau pemenjaraan sewenang-
AD

wenang. Pada saat perusahaan transnasional mendapat keuntungan ekonomi,


misalnya dari penduduk lokal yang dilanggar hak asasi manusianya oleh
pemerintah, perusahaan berkewajiban untuk bertindak guna mencegah
RE

terjadinya kerugian (injury).275


Dalam English Tort Law, ditegaskan bahwa seseorang diwajibkan meng-
awasi pihak lain yang memiliki hubungan khusus dengannya, atau dengan

271 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Bandung: Alumni, 2011, hlm. 56.
272 Steven R. Ratner, “Corporations and Human Rights: A Theory of Legal Responsibility”, The Yale
Law Journal, 111(3), hlm. 499–504.
273 Sefriani, Op.Cit., hlm. 297.
274 Ibid.
275 Ibid.

126 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


kata lain, ia memiliki hak untuk mengontrol pihak tersebut. Perusahaan
transnasional yang telah membuat kontrak kerja sama dengan pihak pemerintah
berhak dan berkewajiban mengawasi tindakan pemerintah, terlebih yang
mengandung kekerasan. Perusahaan transnasional yang tidak berbuat apa-
apa dan terdapat kaitannya dengan korban serta pemerintah di luar lingkup
pengaruhnya (sphere of influence) tidak dapat dikenakan sanksi, baik secara
perdata maupun pidana. Dengan kata lain, jika terjadi pelanggaran hak asasi
manusia pada satu negara tetapi tidak ditemukan faktor perolehan keuntungan,
partisipasi baik secara langsung maupun tidak, tidak menimbulkan adanya
pertanggungjawaban dari perusahaan transnasional tersebut.276
Dalam memberi batasan pertanggungjawaban pada perusahaan trans­
nasional, terlebih dahulu dilihat personalitas hukum (legal personality) dari

PY
perusahaan transnasional tersebut. Maksud dari personalitas hukum sendiri adalah
yang menentukan hak-hak dan kewajiban yang dimiliki subjek hukum.277 Secara
yuridis, perusahaan transnasional pada abad ke-21 telah dipertimbangkan
untuk dianggap sebagai manusia biasa yang memiliki hak dan kewajiban
CO
(artifical person) yang diciptakan oleh hukum dan secara nyata mempunyai hak
dalam proses hukum yang melampaui garis suatu negara.278
Dalam lingkup pengadilan internasional, telah dilakukan proses peradilan
berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia oleh perusahaan transnasional
sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum. Namun, keterbatasan yurisdiksi
G
yang diberikan pada pengadilan-pengadilan menyebabkan pertanggung-
jawaban atas tindakan pelanggaran perusahaan baru dimintakan sebatas pada
IN

pimpinan-pimpinan perusahaan. Persoalan secara teknis adalah keterbatasan


yurisdiksi yang diamanatkan instrumen pembentukan pengadilan tersebut
timbul karena yang diajukan sebagai terdakwa bukanlah suatu perusahaan,
AD

melainkan seorang pimpinan sebagai individu.279 Selain faktor tersebut,


hambatan lain dalam meminta pertanggungjawaban kepada perusahaan
transnasional atas pelanggaran HAM yang dilakukannya adalah terkait jenis
RE

pelanggaran yang dapat diajukan ke pengadilan internasional baru sebatas


pelanggaran yang mendapat pelindungan oleh hukum humaniter internasional.280

276 Ibid.
277 Jawahir Tantowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika
Aditama, 2006, hlm. 104.
278 An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Transnasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan
Internasional dan Hukum Penanaman Modal, Bandung: Alumni, 2011, hlm. 180–181.
279 Sefriani, Op.Cit., hlm. 303.
280 Ibid., hlm. 295.

Bab IX - Hukum Transaksi Bisnis Transnasional dan Hak Asasi Manusia 127
Dalam hasil penelitiannya, Ratner pada dasarnya menemukan beberapa
hambatan dalam memperluas primary rules hak asasi manusia terhadap
perusahaan transnasional, di antaranya sebagai berikut281
1. Fakta bahwa norma terkait hak asasi manusia umumnya mengikat atau
ditujukan pada suatu negara. Misalnya, kewajiban yang termaktub dalam
ICCPR tidak mencakup aktivitas sebuah perusahaan transnasional.
2. Terdapat perbedaan sifat dan fungsi antara negara dan perusahaan.
Rezim hukum hak asasi manusia menghendaki keseimbangan antara
kebebasan individu dengan kepentingan negara. Dengan demikian, apabila
dianalogikan pada perusahaan, harus ada keseimbangan antara kebebasan
individu dengan kepentingan bisnis atau perusahaan.
3. Lebih terbatasnya ruang lingkup pertanggungjawaban individu membuat

PY
penerapannya secara konseptual menurut Ratner lebih mudah daripada
penerapan primary rules pertanggungjawaban negara pada perusahaan.
Pengakuan perusahaan sebagai judicial person atau legal person baik
dalam hukum nasional maupun internasional akan mendukung gagasan
CO
memperlakukannya sama dengan natural person. Dengan demikian,
perusahaan akan bertanggung jawab terhadap kejahatan internasional
yang sama seperti yang berlaku pada individu.

Akan tetapi, telah diakui oleh Ratner bahwa keterbatasan ruang lingkup
G
pertanggungjawaban individu tidak cukup untuk diberlakukan pada perusahaan
trans­nasional. Perusahaan transnasional menurutnya digambarkan sebagai entity
IN

yang kurang dari negara, tetapi lebih dari individu, sehingga menjadi tantangan
untuk mengonstruksi kedua teori, yaitu down from state responsibility dan up
from individual responsibility yang telah ada. Selain itu, untuk mengembangkan
AD

primary rules dan secondary rules yang baru, khusus untuk menjerat
perusahaan transnasional yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.282
Selain hambatan-hambatan tersebut, hal yang perlu diperhatikan terkait
pertanggungjawaban perusahaan trans-nasional atas pelanggaran HAM ialah
RE

kondisi perusahaan transnasional yang bagaimana atau seperti apa yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang dilakukannya.
Hal ini mengingat bahwa pada saat ini, argumen pembelaan perusahaan
transnasional yang menyatakan tindakannya dilakukan atas permintaan tuan
rumah sudah tidak relevan lagi. Hal tersebut dikarenakan kolaborasi antara
perusahaan transnasional dengan pihak repressive governments. Perusahaan
transnasional tidak dalam keadaan perang dan memiliki kebebasan untuk

281 Steven R. Ratner, Loc.Cit., hlm. 492–494.


282 Ibid., hlm. 496.

128 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


menentukan kehendak perusahaan untuk berkolaborasi dengan pemerintah
host state atau tidak.283
Pada saat ini, hukum internasional belum mampu membebankan tanggung
jawab hukum kepada korporasi secara langsung dan masih dibutuhkan wewenang
negara dalam menjatuhkan sanksi hukum sebagai perantara. Hukum internasional
masih belum beranjak dari penggunaan teori klasik penganut paham “negara-
sentris”.284 Hukum internasional biasanya bersifat soft law, tidak mengatur
bagaimana penegakan hukum atas perusahaan transnasional, tetapi berupa
prinsip dan kewajiban perusahaan transnasional. Dalam hukum internasional,
dikatakan jika perusahaan transnasional melanggar kewajiban itu saat berkegiatan
di negara penerima, maka harus tunduk pada peraturan yang berlaku di negara
penerima tersebut, sehingga mekanisme penegakan hukumnya melalui peraturan

PY
hukum nasional.285
Pendapat lain mengatakan, adanya kasus pelanggaran HAM oleh
perusahaan transnasional yang diajukan ke pengadilan internasional pasca-
Perang Dunia II menunjukkan bahwa perusahaan transnasional dapat
CO
dimintakan pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia yang
telah dilakukannya. Walaupun pada saat itu pihak yang diberi hukuman
baru sebatas pemimpin perusahaan dalam bentuk tanggung jawab individual
(individual responsibility), tetapi bukan berarti pengadilan internasional pada
saat itu menyimpulkan perusahaan transnasional bukan merupakan subjek
G
hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawaban.
IN

C. Peraturan mengenai Tindakan Perusahaan Transnasional


Terkait Hak Asasi Manusia
AD

Instrumen berikut ini merupakan instrumen yang paling sering digunakan


untuk mengatur tindakan perusahaan transnasional terkait tindakan yang
berkaitan dengan hak asasi manusia. Menjadi catatan penting, walaupun
terdapat pemikiran menciptakan instrumen yang mengikat bagi perusahaan
RE

transnasional dan tindakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia, tetapi
hingga saat ini, seluruh instumen berikut belum menjadi instrumen yang
mengikat secara hukum (legally binding instrument).

283 Sefriani, Op.Cit., hlm. 302.


284 Wahyunto, dkk., “Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit di
Indonesia”, diakses dari http://perkebunan.litbang.pertanian.go.id/?p=7977 pada tanggal 21 Mei
2022 pukul 16:48 WIB.
285 Ayu Nurul Alfia et al., “Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional dalam Kebakaran Hutan di Riau
dalam Perspektif Hukum Internasional”, Diponegoro Law Journal, 5(3), 2016, hlm. 7.

Bab IX - Hukum Transaksi Bisnis Transnasional dan Hak Asasi Manusia 129
Pada hukum internasional, peraturan terkait perusahaan transnasional dan
hak asasi manusia dapat ditemukan dalam Code of Conduct on Transnational
Corporations, the Tripartite Declaration, dan the Global Compact. Akan tetapi,
beberapa peraturan secara lebih dalam mengatur tentang tindakan perusahaan
transnasional yang berhubungan dengan hak asasi manusia, seperti pertauran-
peraturan berikut ini.

1. The United Nations Norms on the Responsibility of Transnational


Corporations and Other Business Enterprises with Regards to
Human Rights (The Norms)
Pasal 1 ayat (1) the norms menjejakkan sebuah perubahan di mana terdapat sebuah
kebijakan yang memberi ruang bagi pembebanan pertanggungjawaban hak

PY
asasi manusia terhadap perusahaan transnasional walaupun tidak sepenuhnya.
Akan tetapi, the norms tidak diakui sebagai instrumen yang mengikat. Dalam
putusannya, OHCHR berpendapat bahwa: “the commission has indicated
that the draft norms contain “useful elements and ideas for consideration by
CO
the Commission” but, as a draft proposal, it has no legal standing” (komisi
telah mengindikasi bahwa draft norms mengandung “elemen-elemen berguna
dan ide-ide yang dapat digunakan untuk konsiderasi untuk komisi” tetapi,
sebagai berkas proposal, tidak memiliki kedudukan hukum).
G
2. The United Nations Guiding Principles on Business and Human
Rights (‘UNGP’)
IN

Instrumen ini didukung oleh Dewan HAM PBB dalam resolusinya. Melalui
instrumen ini, konsep respect, protect, dan remedy diusulkan dan telah menjadi
dasar bagi tindakan negara atapun pelaku bisnis dalam menggabungkan
AD

kewajiban terhadap kedua belah pihak, baik negara dan/atau pelaku usaha.

3. Legally Binding Instrument to Regulate, in International


Human Rights Law, Other Activities of Transnational
RE

Corporations and Other Business Enterprises (The Norms)


Instrumen terbaru yang mengatur terkait perusahaan transnasional dan hak
asasi manusia, substansinya yang lebih spesifik terkait permasalahan hak asasi
manusia yang timbul akibat proyek perusahaan transnasional. Di samping itu,
terdapat suatu aturan tentang statute of limitation atau peraturan pembatasan
pada Pasal 6 yang mengatur bahwa suatu pembatasan tidak dapat diterapkan
terhadap kejahatan yang diakui oleh hukum internasional.

130 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


D. Yurisdiksi Negara terhadap Pelanggaran Hak Asasi
Manusia oleh Perusahaan Transnasional
Terkait yurisdiksi dalam kegiatan transaksi bisnis oleh perusahaan transnasional,
istilah “negara” terbagi menjadi dua maksud, yaitu host state dan home state.
Home state atau negara asal adalah negara di mana suatu perusahaan
trans­­nasional didirikan. Negara tersebut yang nantinya dimengerti sebagai
nasionalitas dari entitas tersebut. Menurut putusan di ICJ, negara yang menjadi
nasionalitas suatu perusahaan transnasional dilihat dari negara di mana entitas
bisnis tersebut didirikan. Sedangkan, home state diartikan sebagai negara di
mana perusahaan transnasional menjalankan bisnisnya286, atau dengan kata
lain, negara di mana suatu pelanggaran hak asasi manusia terjadi.287 Berikut

PY
merupakan penjelasan lebih lengkap mengenai host state dan home state.

1. Host State
Host state mempunyai yurisdiksi terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang
CO
terjadi di negaranya melalui prinsip yurisdiksi teritorial, yaitu suatu prinsip
yurisdiksi yang telah digunakan secara umum dalam skala internasional.
Lowe, dalam tulisan Sara L. Leck, berpendapat bahwa: “terkait negara mana
yang memiliki yurisdiksi terhadap suatu tindakan tergantung pada pemahaman
G
terhadap suatu tindakan atau kegiatan tersebut”.288 Dengan begitu, dapat
dipahami bahwa jika negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap pelanggaran
IN

hak asasi manusia perusahaan transnasional merupakan negara di mana


pelanggaran tersebut terjadi.289
Penjelasan tersebut memberi pengertian bahwa penerapan yurisdiksi
AD

teritorial merupakan suatu upaya hukum pertama dan utama dalam


penyelesaian kasus. Chirwa dalam jurnalnya berpendapat bahwa prinsip
tersebut mewajibkan negara agar melaksanakan tes kelayakan dalam men-
cegah dan menanggapi suatu pelanggaran hak asasi manusia dalam batasan
RE

286 Danwood Mzikenge Chirwa, “The Doctrine of State Responsibility as a Potential Means of Holding
Private Actors Accountable for Human Rights”, Melbourne Journal of International Law, hlm. 4.
287 Paul F. Diehl dan Charlotte Ku, The Dynamics of International Law, Cambridge: Cambridge
University Press, hlm. 33.
288 Vaughan Lowe, Jurisdiction in International Law, Oxford: Oxford University Press, 2006, hlm. 355,
dan dikutip oleh Sara L. Leck, “Home State Responsibility and Local Communities; The Case
of Global Mining”, Yale Human Rights and Development Journal, Vol. 11, Iss. 1, Article 10,
Koneticut, hlm. 14.
289 Dina Anggraini dan Ida Bagus Ranawijaya, “Yurisdiksi Negara terhadap Pelanggaran Hak Asasi
Manusia oleh Perusahaan Transnasional”, Kertha Negara, 7(6), 2019, hlm. 9–10.

Bab IX - Hukum Transaksi Bisnis Transnasional dan Hak Asasi Manusia 131
teritorialnya.290 Aplikasi yurisdiksi teritorial merupakan hak dan kewajiban negara
pada waktu yang bersamaan berdasarkan hak asasi manusia internasional.291
Penerapannya tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, hanya ber­
dasarkan pada pertimbangan sistem hukum lebih memadai atau lebih tepat
dalam menyelesaikan kasus tersebut, tetapi harus berdasarkan terdapat suatu
hubungan.292

2. Home State
Home state juga mempunyai yurisdiksi dalam kasus pelanggaran hak
asasi manusia oleh perusahaan transnasional melalui prinsip yurisdiksi
ekstrateritorial yang tidak asing dalam hukum internasional. Jeffrey T. Gayton
dalam jurnalnya menjelaskan prinsip yurisdiksi ekstrateritorial sebagai

PY
yurisdiksi negara terhadap individu atau aktivitas di luar batas wilayahnya.293
Ekstrateritorial sendiri dapat dibedakan menjadi dua jenis.294
a. Klaim ekstrateritorial secara regional (diterapkan kepada individu atau
aktivitas di dalam area yang spesifik di luar wilayah teritorial negara)
CO
atau global (diterapkan kepada individu atau aktivitas terlepas dari lokasi
mereka di luar wilayah teritorial negara).
b. Klaim secara eksklusif (tidak ada aktor lain yang mempunyai yurisdiksi
atas individu atau aktivitas tersebut) atau dibagi (aktor lain mungkin mem-
punyai yurisdiksi juga).
G
Prinsip ini telah digunakan dalam skala internasional secara umum
IN

walaupun lebih banyak dan sering digunakan oleh Amerika Serikat, negara di
Uni Eropa, dan Kanada dalam memutus kasus pelanggaran hak asasi manusia
oleh perusahaan transnasional. Dasar penerapan yurisdiksi ekstrateritorial
AD

dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti sistem hukum yang berlaku dan
perjanjian internasional.295 Oliver de Schutter membagi dasar penerapan
RE

290 Danwood Mzikenge Chirwa, Op.Cit., hlm. 26.


291 Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Human Rights and Transnantional Corporations and other
Business Enterprises, A/HRC/RES/17/4, 2011; UN Economic and Social Council, Report of United
Nations Commissioner on Human Rights on the Responsibilities of Transnational Corporations
and related Business Enterprises with regard to Human Rights, E/CN.4/2005/91, 2005.
292 Dina Anggraini dan Ida Bagus Ranawijaya, Op.Cit., hlm. 10.
293 Jeffrey T. Gayton, “From Here to Extraterritoriality: The United States Within and Beyond Borders”,
workpaper in International Studies Association Conference, 1997, hlm. 3.
294 Dina Anggraini dan Ida Bagus Ranawijaya, Op.Cit., hlm. 12.
295 Veronique van Der Plancke et al., “Corporate Accountability for Human Right Abuses: A Guide
for Victims and NGOs on Resouces Mechanism”, Jurnal International Federation of Human
Rights, 2010, hlm. 202–203.

132 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


yurisdiksi ekstrateritorial menjadi dua, yaitu sistem hukum Amerika Serikat296
dan sistem hukum Uni Eropa.297
Tabel 9.1
Penerapan Yurisdiksi Ekstrateritorial
No. Amerika Serikat Uni Eropa
1. Pengadilan ditentukan berdasarkan Pengadilan negara tempat perusahaan
hukum internasional berdomisili
2. Pengadilan ditentukan berdasarkan Pengadilan negara tempat kejadian
hukum pengadilan yang mengadili (lex tersebut terjadi
fori)
3. Pengadilan ditentukan berdasarkan Pengadilan negara tempat cabang atau
hukum pengadilan suatu kejadian terjadi agen perusahaan berdomisili

PY
(lex loci damni)

Suatu yurisdiksi ekstrateritorial negara dapat menjadi sesuatu yang konkret


CO
jika didasari terhadap hubungan yang konkret. Cara menentukan hubungan
antara anak perusahaan dan induk perusahaan adalah dengan the ‘sphere of
influence’ and supply chains (lingkaran pengaruh dan rantai pasokan),298 the
principles of ‘investment nexus’ (prinsip “hubungan investasi”),299 dan
the nature of business activities (sifat aktivitas bisnis). Selain dari penentu
G
nexus, dipaparkan oleh Cees van Dam bahwa fitur umumnya adalah apabila
tergugat telah bertindak sebagai “orang yang pantas” (yang dianggap sebagai
IN

faute, verschulden, atau breach of duty). Elemen lainnya (duty of care dan
tatbestand) berfungsi sebagai mekanisme pengawasan, secara khusus di
dalam area seperti pertanggungjawaban pemerintahan, kerusakan mental, dan
AD

omissions.300

296 Ibid.
297 Ibid., hlm. 204–207.
RE

298 OECD, “OECD Guidelines for Multinational Enterprises: 2003 Annual Meeting of the National
Contact Points”, report on Annual Meeting of National Contact Points, 23–24 Juni 2003, hlm.
26, diakses dari www.oecd.org/dataoecd/3/47/15941397.pdf pada tanggal 22 Mei 2022 pukul
02:17 WIB.
299 David Barnden dan Jorge Daniel Tailant, “Investment Nexus and Financial Institutions in
the Implementation of the OECD Guidelines for Multinational Enterprises”, Jurnal Center for
Human Rights and Environment, 2007, hlm. 15.
300 Cees van Dam, “Tort Law and Human Rights: Brother in Arms on the Role of Tort Law in the Area
of Business and Human Right”, Journal of Education, Teaching and Leaning, 2011, hlm. 237.

Bab IX - Hukum Transaksi Bisnis Transnasional dan Hak Asasi Manusia 133
Beralih pada penghambat dalam penerapan yurisdiksi teritorial yang
terbesar adala forum non-conveniens, yaitu suatu prinsip yang mendasari
tindakan pengadilan dalam menolak kasus karena pengadilan tersebut
memutuskan bahwa pengadilannya bukanlah forum yang tepat bagi kasus
tersebut.301 Dalam putusan Friday, pengadilan Belanda berpendapat bahwa
walaupun begitu, batasan forum non-conveniens tidak lagi berperan dalam
hukum perdata internasional. Apabila kembali mengacu pada pendapat
Cees van Dam, isu terpenting dalam kerangka tuntutan terhadap perusahaan
transnasional untuk keterlibatannya dalam pelanggaran hak asasi manusia
adalah pertanggungjawaban terhadap kelalaian, yang mana tidak terpengaruh
apakah korporasi berkewajiban dalam pencegahan pihak ketiga.

PY
CO
G
IN
AD
RE

301 Daniel J. Dorward, “The Forum Non Conveniens Doctrine and the Judicial Protection of
Multinational Corporations from Forum Shopping Plaintiffs”, University of Pennsylvania Journal
of International Economic Law, 19(1), 1998, hlm. 158.

134 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


BAB X

PY
KASUS SENGKETA ANTARNEGARA DALAM
FREE TRADE AGREEMENT
CO
A. Latar Belakang Sengketa antara Negara-Negara dalam FTA
Preferential Rules of Origin (selanjutnya disebut RoO) mengatur tarif preferensi
G
(tarif bea masuk istimewa) yang diberikan sesuai dengan FTA. Oleh karena
tarif preferensial sesuai dengan FTA hanya berlaku untuk barang-barang
IN

yang berasal dari negara contracting party, maka negara-negara yang ingin
menikmati manfaat dari tarif preferensial harus memenuhi serangkaian
prosedur yang dirancang untuk menentukan negara asal suatu produk. RoO
AD

preferensial berisi aturan dan prosedur yang menentukan asal produk tertentu
dan dirancang untuk memberikan tarif preferensial.302 Meskipun RoO preferensial
adalah aturan inti dalam perdagangan barang dengan skema perjanjian FTA,
ketentuan tersebut berpotensi memicu perselisihan, karena banyaknya aturan
RE

yang kompleks dan ambigu juga ketidakjelasan dalam mendefinisikan tanggung


jawab dan risiko para pihak yang terkait. Upaya telah dilakukan untuk harmonisasi
aturan dalam menyelesaikan masalah RoO preferensial, tetapi model preferensial
RoO303 yang diharapkan terhenti dan para contracting party FTA dibiarkan
menyusun RoO preferensial dalam masing-masing perjanjian FTA.304

302 WTO, “Regional Trade Agreements and Preferential Trade Arrangements”, WTO Portal, diakses dari
https://www.wto.org/english/tratop_e/region_e/rta_pta_e.htm pada tanggal 20 Agustus 2020.
303 Annex D.1 and D.3 of the International Convention on the Simplification and Harmonization of
Customs procedures (Kyoto Convention)
304 Dalam disertasi ini, perjanjian preferensial mencakup FTA bilateral atau plurilateral.
Prosedur yang rumit tersebut, dengan adanya perkembangan global
FTA, telah menjadikan prosedur perdagangan barang dalam skema RoO
preferensial semakin rumit dan semrawut, sehingga disebut spaghetti bowl
effect.305 Hal ini memicu sengketa yang tidak berujung sehubungan dengan
interpretasi dan penerapan aturan RoO preferensial. Tidak jelas siapa yang
harus dipersalahkan di antara eksportir dan importir, atau otoritas negara eksportir
dan otoritas negara importir, mengenai risiko dan tanggung jawab terkait. Hal
tersebut karena certificate of origin (CoO) untuk produk tertentu dikeluarkan
oleh negara manufaktur produk, sedangkan ketentuan tarif preferensial dan
pengenaan tarif bea masuknya dieksekusi oleh negara pengimpor pada
importir. Dengan demikian, hal ini menimbulkan terjadinya ketidakpastian.
Ketidakpastian tersebut adalah alasan utama mengapa tarif preferensial FTA

PY
banyak tidak digunakan oleh perusahaan.306
Perselisihan internasional mengenai ketentuan negara asal di­khawatirkan
akan meningkat lebih banyak lagi dengan meningkatnya volume perdagangan
internasional yang ditujukan untuk preferential treatment (seperti skema FTA).
CO
Namun, relatif sedikit penelitian yang dikhususkan terkait prosedur penyelesaian
sengketa mengenai RoO di bawah FTA. Oleh karena tidak ada negara anggota
yang akan menerapkan atau menerapkan tarif preferensial yang ditentukan
dalam FTA, mengingat tidak adanya sistem penyelesaian sengketa yang
efektif dan adil, sistem penyelesaian sengketa adalah kunci untuk memastikan
G
kepatuhan yang tepat dari penerapan tarif preferensi dalam FTA serta
penegakan aturan FTA yang diharapkan. Selain itu, banyak kasus yang
IN

dihasilkan dalam menyelesaikan kasus sengketa akan lebih memberikan dasar


untuk meningkatkan RoO preferensial. Oleh karena jumlah keberatan yang
diajukan kepada panel arbitrase FTA sangat rendah karena ketentuan negara
AD

asal negara bersifat esoteris (sangat spesialis) dan teknisnya sangat kompleks
juga catatan resmi yang diungkapkan hanya secara terbatas, sebuah studi
mendalam tentang prosedur penyelesaian sengketa di bawah FTA belum
RE

dilakukan secara memadai sampai saat ini. 307 Dengan demikian, sangat
diperlukan untuk melakukan studi tentang prosedur penyelesaian sengketa
dengan pemahaman tentang karakteristik dominan perselisihan terkait RoO
preferensial untuk menerapkan perlakuan preferensi FTA dan meningkatkan
prosedur penegakannya.

305 J. Bhagwati, U.S. Trade Policy: The Infatuation with FTAs, in C. Barfield (Ed.), The Dangerous
Obsession with Free Trade Areas, New York: AEI, 1995, hlm. 1–20.
306 Jisoo Yi, Op.Cit., hlm. 25.
307 Avraham Azrieli, “Improving Arbitration under the U.S.-Israel Free Trade Agreement: A Framework
for a Middle-East Free Trade Zone”, St.John’s Law Review, 67(2), 1993, hlm. 187–263.

136 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Prosedur penyelesaian sengketa FTA telah dikritik karena tidak efektif
sehingga harus ditinjau. Berkenaan dengan sengketa tarif preferensial, entitas
sektor swasta, seperti perusahaan, adalah pemangku kepentingan utama. Oleh
karena prosedur penyelesaian sengketa FTA tidak memungkinkan akses sektor
swasta, bagaimanapun, banyak perselisihan dan konflik yang dihasilkan
dari RoO preferensial akhirnya diselesaikan melalui litigasi.308 Studi telah
menunjukkan bahwa RoO preferensial ini telah me­nyebabkan perselisihan.
Namun, prosedur penyelesaian sengketa di bawah FTA tidak dapat diprediksi
atau tidak transparan dalam konteks perselisihan yang sensitif secara politis.309
Selanjutnya, prosedur verifikasi, yang mengharuskan otoritas Bea Cukai
negara pengimpor untuk mendapatkan informasi yang diperlukan secara
langsung atau tidak langsung dari negara pengekspor, memerlukan biaya

PY
keuangan yang cukup besar. Prosedur verifikasi sering dianggap tidak efektif
oleh pembatasan anggaran tersebut dalam kunjungan verifikasi. Untuk
mengompensasi kelemahan ini dalam prosedur pasca-verifikasi, negara-
negara cenderung meningkatkan pengetatan inspeksi pra-ekspor dalam
CO
prosedur sertifikasi.310 Namun, dengan demikian, eksportir dihadapkan pada
inspeksi pra-ekspor yang ketat termasuk pemeriksaan post-audit.311 Hal ini
meningkatkan ketidakpastian perusahaan atas tanggung jawab mereka di
bawah RoO dan mengurangi penggunaan FTA, yang sering berakhir dalam
perselisihan.
G
Desain ketentuan FTA tentang penyelesaian sengketa melalui pihak
ketiga (extra judicial body), seperti panel dan lembaga arbitrase, digunakan
IN

untuk mengurangi ketegangan politik. Namun sayangnya, belum ada aturan


prosedural inisiasi sengketa sampai dengan eksekusi resolusi yang mengikat;
tidak adanya transparansi yang memberikan peluang pengajuan sengketa
AD

pelaku bisnis; dan publikasi hasil putusan akhir yang mengikat para pihak
untuk proses eksekusi akhir dengan memastikan keterlibatan publik. Secara
khusus, Penulis menekankan pentingnya memberikan sektor swasta akses ke
RE

forum penyelesaian sengketa, mengingat perusahaan, produsen, dan eksportir


adalah pihak atau penerima manfaat nyata dari FTA.312

308 Jisoo Yi, Op.Cit., hlm. 17.


309 F.P. Cantin and A.F. Lowenfeld, Op.Cit., hlm. 375–390.
310 Commission of the European Communities, Loc.Cit.
311 M. Manchin and A. Pelkmans-Balaoing, Op.Cit., hlm. 1–29.
312 Jisoo Yi, Op.Cit., hlm. 12.

Bab X - Kasus Sengketa Antarnegara dalam Free Trade Agreement 137


B. Sengketa FTA di Amerika dan Uni-Eropa
1) Kasus Honda di Bawah FTA Kanada-AS
Dengan terbentuknya FTA Kanada-AS pada tahun 1989, Honda Civics yang
dibuat di Kanada menjadi memenuhi syarat untuk mendapat tarif FTA ketika
mesinnya yang diproduksi di AS diimpor kembali ke Kanada sesuai dengan
RoO preferensial. Sementara, Honda Civics yang diproduksi di Kanada
dilengkapi dengan mesin impor menjadi memenuhi syarat untuk penerapan
preferensial juga ketika mereka diimpor oleh Amerika Serikat. Honda Kanada
berpendapat bahwa mesin impor memenuhi syarat untuk perlakuan istimewa
karena muatan konten regional melebihi 50% dari nilai konten regional yang
ditentukan dalam RoO preferensial. Otoritas Bea Cukai di Kanada menerima

PY
argumen Honda Kanada untuk bagian mesinnya. Namun, Bea Cukai AS
menolak pemberian tarif preferensi untuk Honda Civics yang diproduksi di
Kanada dengan mesin dan komponen lain yang diimpor dari Jepang. Oleh
karena itu, Honda Kanada dikeluarkan dari tarif FTA di AS dan sebaliknya, itu
CO
diberikan tagihan retroaktif sebesar 17 juta dolar.
Masalah utama dalam perselisihan ini adalah perbedaan dalam pemahaman
teknis tentang roll-up dan roll-down dari biaya bahan baku dan alokasi biaya
langsung dan tidak langsung yang wajar.313 Insiden itu telah menjadikan
RoO preferensial sebagai hambatan terbesar dalam sengketa perdagangan
G
antara Kanada dan AS. Oleh karena jumlah kasus produsen mobil asing yang
beroperasi di Kanada tidak memenuhi syarat untuk tarif preferensial di AS mulai
IN

meningkat, kekhawatiran bahwa semakin banyak perusahaan akan merelokasi


operasi mereka ke negara tetangga telah meningkat juga, sehingga menjadikannya
masalah politik yang panas antara kedua negara.314
AD

2) Amerika Serikat v. Ford Motor Company


Pemenuhan ketentuan RoO preferensial sering menuntut terlalu banyak
dokumen dan catatan, sehingga membuat pemanfaatan FTA tidak praktis.
RE

Oleh karena persyaratan dukumen yang diperlukan tidak jelas, aturan tersebut
menuntut begitu banyak dokumentasi yang mencakup hampir seluruh tahap
proses manufaktur dan produksi. Pada tahun 2007, Bea Cukai AS mengenakan
denda besar-besaran sebesar $42 juta untuk suku cadang mobil yang diimpor
dari Meksiko pada tahun 1996, dengan alasan bahwa Ford menolak untuk
mematuhi permintaan yang menuntut dokumentasi terkait tarif preferensial
di bawah NAFTA. CBP meminta catatan manufaktur terkait suku cadang

313 F.P. Cantin and A.F. Lowenfeld, Loc.Cit.


314 Jisoo Yi, Op.Cit., hlm. 25.

138 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


mobil Ford yang diimpor dari Meksiko. Ford berpendapat bahwa catatan
tersebut berasal dari produsen asing yang dokumentasinya harus dikelola
oleh eksportir. Ford Motor Company membalas permintaan tersebut, dengan
mengatakan bahwa catatan ini tidak diperlukan untuk disimpan sesuai dengan
kriteria penentuan negara asal yang berlaku untuk produk, dan menambahkan
bahwa CBP tidak konsisten dalam masalah ini.
Dalam gugatan yang diajukan di Meksiko, pengadilan menolak gugatan Ford
untuk menolak pengaduan tersebut. Pengadilan pada dasarnya memutuskan
bahwa ‘catatan pendukung’ yang ditentukan dalam sertifikat asal NAFTA
termasuk catatan yang diminta oleh CBP. Namun, CBP menolak kasus ini
secara permanen tanpa menjatuhkan denda pada Ford Motor Company pada
tanggal mosi untuk penilaian ringkasan akan diajukan. CBP menjelaskan

PY
bahwa mereka menolak kasus ini setelah penilaian ulang RoO preferensial
NAFTA. Insiden tersebut menunjukkan bahwa aturan yang ambigu terkait
dokumentasi, sehingga bahkan petugas Bea Cukai gagal memahaminya secara
konsisten. Ini juga menunjukkan potensi biaya yang sangat besar yang dapat
CO
dikeluarkan dalam RoO preferensial yang mewajibkan besarnya beban
dokumentasi pada proses manufaktur. Oleh karena itu, hal ini memaksa kita
untuk memperkirakan betapa sulitnya mematuhi kewajiban dokumentasi
dan menikmati tarif bea masuk FTA atas barang impor yang dihasilkan untuk
entitas sektor swasta di negara-negara berkembang selain di AS, mengingat
G
beban biaya terkait dan ketidakseimbangan informasi.
IN

3) Kasus Pascoal dan Filhos Ld. v. Fazenda Pública


RoO preferensial yang ditentukan dalam FTA yang ditandatangani oleh Uni Eropa
menerapkan sebagian besar RoO preferensial yang berlaku untuk Customs
AD

Union Uni Eropa. Berbeda dengan sistem verifikasi di AS, di Eropa dilakukan
secara normal ketika otoritas Bea Cukai di negara pengekspor memverifikasi
sertifikat asal eksportir melalui otoritas pabean negara pengimpor. Verifikasi
RE

pasca-impor menyiratkan beragam masalah potensial. Masalah pertama


adalah bagaimana risiko terkait sertifikasi asal dapat didistribusikan (secara
hukum) dan bagaimana masalah ‘kerja sama administratif’ antara otoritas Bea
Cukai dari negara-negara yang bersangkutan dapat diselesaikan.
Pascoal, sebuah perusahaan yang beroperasi di Portugal dan me­rupakan
negara anggota Uni Eropa, menyerahkan SKA yang menyatakan bahwa ikan
cod yang diimpornya lebih dari empat kali berasal dari Greenland sebelum
diizinkan oleh otoritas Bea Cukai Portugis untuk mengimpornya tanpa dikenakan
tarif apa pun. Pemerintah Portugal kemudian meminta untuk melakukan
verifikasi asal barang pasca-impor. Bertentangan dengan isi sertifikat asal,

Bab X - Kasus Sengketa Antarnegara dalam Free Trade Agreement 139


Greenland memberi tahu otoritas Portugis bahwa barang yang diekspor
gagal memenuhi aturan negara asal. Dengan demikian, pemerintah Portugis
memberi tahu Pascoal bahwa perusahaan akan dikenakan biaya tambahan.
Pascoal mengajukan keberatan ke Pengadilan Bea Cukai, tetapi dengan mudah
ditolak. Perusahaan kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tributario
de Segunda Instância. Setelah mengajukan banding, Pascoal menuntut bahwa
bagaimana seharusnya risiko (tanggung jawab) dibebankan secara benar
dalam sertifikasi asal dan prosedur pascaverifikasi, juga sejauh mana kerja
sama harus dilakukan di antara otoritas Bea Cukai yang berpartisipasi dalam
verifikasi pos impor.
Menanggapi klaim ini, pengadilan memutuskan bahwa eksportir tidak
dapat dikenakan biaya tambahan yang dibebankan pada implementasi tarif

PY
FTA yang diberikan oleh EC, bahkan jika tanggung jawab bukti untuk sertifikasi
asal yang salah jatuh pada eksportir, dan, oleh karena itu, importir dapat
diizinkan untuk meminta eksportir untuk pembayaran atas kerugian ekonomi
yang ditimbulkan pada importir, yang menikmati bebas bea berdasarkan niat
CO
baik. Ini juga memutuskan bahwa otoritas pabean negara pengekspor tidak
bertanggung jawab secara hukum atas penjelasan hasil verifikasi pasca-asal
kepada importir, karena pem­beritahuan hasil verifikasi pos bertujuan untuk
memungkinkan pemerintah negara pengimpor untuk membuat penilaian
tentang legalitas penerapan perlakuan istimewa.
G
Seperti yang ditunjukkan oleh kasus ini, importir tidak dapat mem­peroleh
informasi yang akurat tentang hasil verifikasi asal, dan mungkin terlibat dalam
IN

prosedur penyelesaian sengketa tambahan dengan eksportir sebagai akibat


dari kerugian ekonomi yang berasal dari batas kerja sama yang tidak jelas di
antara otoritas Bea Cukai lainnya. Menurut studi typology origin irregularity
AD

WCO,315 otoritas kepabeanan negara pengimpor sering mengalami kesulitan


dalam mendapatkan bantuan yang diperlukan dari negara pengekspor, dan
28% dari yang dipertanyakan mengatakan dalam survei bahwa kerja sama
RE

administrasi tidak sepenuhnya direalisasikan. Pada tahun 2010, 330 dari


426 verifikasi pasca-impor di negara-negara maju, tetapi 93 dari 96 sisanya
tidak memenuhi ketentuan verifikasi pasca-impor, karena tidak mendapat
tanggapan dari negara pengekspor. Hal ini menjadikan tidak terpenuhinya
hasil verifikasi (tidak dapat membuktikan asal barang), terlepas dari interpretasi
dan penerapan RoO atau niat penipuan oleh eksportir. Kasus-kasus seperti itu
menunjukkan bahwa masalah struktural melekat dalam verifikasi pasca-impor
melalui kerja sama administrasi konvensional.

315 WCO, Typology Origin Irregularity, 2013.

140 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


4) Lesson Learn atas Sengketa FTA di Amerika dan Uni-Eropa
Kasus Honda Kanada di AS menunjukkan bahwa kesulitan dalam interpretasi
yang konsisten dari RoO preferensial dapat meningkat menjadi sengketa
perdagangan, dan akhirnya menjadi perselisihan politik di antara negara-
negara. Perbaikan yang dihasilkan dari RoO preferensial di NAFTA yang
dipicu oleh kasus ini menunjukkan bahwa para pihak harus dapat menerima
pendapat ahli mengenai prosedur penyelesaian sengketa yang berasal dari
RoO preferensial, serta perlunya prosedur penyelesaian sengketa canggih
yang dapat mengurangi ketegangan politik tersebut. Kasus Ford Motor
Company menunjukkan bahwa jika terjadi kesulitan dalam menegakkan
RoO preferensial, karena ketidakseimbangan informasi dan sulitnya upaya
pembuktian, maka seharusnya dimungkinkan untuk mencapai kesepakatan

PY
dan dilakukan perbaikan sistem penyediaan informasi dalam prosedur
penyelesaian sengketa. Hal ini juga menunjukkan bahwa para pihak harus dapat
menengahi benturan kepentingan pada aturan yang saling ber­tentangan, dan
pada akhirnya sampai pada kesepakatan yang efektif melalui keterlibatan
kelompok ahli.316 CO
Kasus terakhir pada verifikasi post origin tidak langsung menunjukkan
bahwa mengingat probabilitas sengketa yang tinggi di antara importir
dan eksportir dalam verifikasi post-origin, Prosedur Persetujuan Bersama
G
(MAP) harus diterapkan pada prosedur penyelesaian sengketa. Hal ini karena
penyelesaian sengketa sesuai dengan prosedur yang disebutkan di atas pasti
IN

dapat melalui proses litigasi yang panjang, dan bahwa prosedur penyelesaian
sengketa yang lebih terbuka mungkin diperlukan mengingat lemahnya kerja
sama di antara otoritas Bea Cukai yang berbeda. Oleh karena itu, aturan
AD

penyelesaian sengketa untuk prosedur penyelesaian tarif preferensial harus


mengakui hak upaya hukum entitas sektor swasta secara lebih luas, dan supaya
penerapan MAP dapat direkomendasikan untuk penyelesaian sengketa
di antara perusahaan swasta, sehingga memastikan konsiliasi dan mediasi
RE

sebelum kasus meningkat menjadi sengketa politik.317


Pelajaran dari seluruh kasus ini, yaitu penting untuk memasukkan klausul
yang akan menjamin penegakan yang mengikat dari keputusan prosedur
penyelesaian sengketa FTA. Hal ini mengingat fakta bahwa kasus-kasus
terkait RoO preferensial masih mengikuti proses litigasi yang tidak efisien
karena kekuatan yang mengikat dari putusan peradilan. Dalam mereformasi
prosedur penyelesaian sengketa di bawah FTA, perbedaan budaya dalam
contracting party harus diperhitungkan. Terutama, di tengah upaya nasional
316 Jisoo Yi, Loc.Cit.
317 Ibid.

Bab X - Kasus Sengketa Antarnegara dalam Free Trade Agreement 141


untuk membentuk mega FTA dengan negara-negara Asia di bawah TPP dan
RCEP, sangat penting bahwa mencerminkan sikap Asia pada perselisihan dalam
membangun prosedur MAP yang lebih dapat diprediksi serta praktis di bawah
FTA. Prosedur semacam itu akan menarik lebih banyak perusahaan untuk
memanfaatkan FTA bahkan dalam situasi di mana margin preferensi telah
terpinggirkan dengan pengurangan keseluruhan tarif MFN di dunia.318

C. Sengketa di Kanada (NAFTA) Memicu Ketegangan Politik


dengan AS
Meskipun Kanada adalah penandatangan banyak perjanjian perdagangan
bebas, North American Free Trade Agreement (NAFTA) sejauh ini adalah yang
paling populer dan banyak digunakan mengingat jumlah perdagangan yang

PY
terjadi antara AS dan Kanada. Banyaknya sengketa di Pengadilan Kanada terkait
aturan asal barang NAFTA sebagaimana perjanjian perdagangan bebas lainnya,
disampaikan keprihatinan penulis Jean-Marc Clément dalam artikelnya yang
berjudul “Proving FTA Preferential Tariff Eligibility: The Evidentiary Burden in
CO
Canada”.319 Seperti halnya dengan sebagian besar perjanjian perdagangan
bebas, importir hanya mengklaim kelayakan tarif preferensial pada saat
impor. Klaim ini nantinya dapat diverifikasi oleh administrasi pabean untuk
menentukan apakah klaim tersebut sah. Untuk membuktikan hak tarif
G
preferensial memerlukan pengumpulan dan penyajian fakta dan dokumen
relevan yang mendukung klaim. Akan tetapi, berapa banyak bukti yang
IN

diperlukan untuk melepaskan beban itu? Di Kanada, selalu ada ketidaksinkronan


antara apa yang dianggap perlu oleh Canada Border Services Agency (CBSA)
dalam proses verifikasi origin dan apa yang menurut pengadilan sah selama
AD

persidangan. Berikut adalah ilustrasi dari ketidaksinkronan itu dan bagaimana


biasanya diselesaikan oleh pengadilan Kanada.
Terlihat sederhana, importir dan eksportir hanya perlu membuktikan apa
yang diperlukan untuk menunjukkan pemenuhan ketentuan FTA. Pada
RE

kenyataannya, administrasi pabean dalam konteks verifikasi terlalu berlebihan


meminta dokumen untuk pembuktian. CBSA dikatakan memiliki kebiasaan
menanyakan hal yang sama persis di setiap verifikasi origin barang impor
yang dilakukan pemeriksaan, terlepas dari bagaimana seharusnya impor
barang dapat memenuhi syarat. CBSA selalu meminta catatan produsen,
tagihan biaya bahan, pasokan sumber bahan, dan lain-lain. Kadang-kadang,

318 Song-Za Choi, “A Comparison of Korea and China’s FTA Dispute Settlement Agreement with
ASEAN”, Journal of Arbitration Studies, 23(1), 2013, hlm. 25–53.
319 Jean-Marc Clément, “Proving FTA Preferential Tariff Eligibility: The Evidentiary Burden in Canada”,
Global Trade and Customs Journal, 15(3/4), 2020.

142 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


sebagian besar informasi ini tidak diperlukan untuk membuktikan hak tarif
bea masuk preferensial.

1. Kasus DeRonde Tire Supply Inc. vs Canada Border Services


Agency
Salah satu contoh sengketa pembuktian RoO dapat ditemukan dalam kasus
DeRonde.320 Pada tahun 2009, CBSA memutuskan untuk melakukan verifikasi
asal barang pada FTA NAFTA. Barang tersebut berupa ban truk baru yang telah
diekspor ke Kanada oleh DeRonde Tire Supply Inc., pemasok ban yang berbasis
di AS. Eksportir AS telah menyertifikasi ban yang berasal dari NAFTA dan
memberikan Sertifikat Asal kepada importir Kanada yang mengajukan klaim
tarif preferensi NAFTA pada saat izin. CBSA telah meminta salinan tagihan

PY
bahan, lembar biaya, daftar semua pemasok bahan, bahkan pernyataan tertulis
dari produsen ban yang membuktikan asal ban. DeRonde menjelaskan bahwa
mereka telah membuat klaim kelayakan NAFTA berdasarkan “pengetahuan”
mereka sendiri, bahwa barang tersebut memenuhi syarat dan dasar yang sah,
CO
yang secara khusus diizinkan oleh NAFTA. Namun, CBSA menolak memberikan
hak tarif preferensial NAFTA, karena importir tidak mampu menyajikan semua
dokumen yang mereka minta. Akhirnya, Pengadilan Perdagangan Internasional
Kanada (CITT) memutuskan mendukung DeRonde.
Putusan Pengadilan Kanada tersebut sejalan dengan fakta yang telah
G
disajikan, yaitu bahwa pabrik Amerika Utara di mana ban telah diproduksi
secara nyata telah diidentifikasi dalam tanda yang terukir di ban itu sendiri;
IN

penandaan ini merupakan persyaratan dari Departemen Perhubungan AS.


Untuk kepentingan pembuktian di pengadilan, maka telah sah terbukti bahwa
produksi ban dibuat seluruhnya di Amerika Utara sebagaimana persyaratan
AD

NAFTA. DeRonde selanjutnya membuktikan, melalui saksi ahli, bahwa asumsi


status non-origin dari semua bahan yang digunakan untuk pembuatan ban,
telah sesuai dengan ketentuan specific tariff shift rule yang ditentukan
RE

dalam Schedule 1 NAFTA Rules of Origin Regulations. Akan tetapi, yang


lebih penting, pengadilan meyakini bahwa DeRonde telah melepaskan beban
pembuktiannya dan menunjukkan keseimbangan kemungkinan bahwa ban
tersebut berasal dari negara NAFTA dan berhak atas tarif preferensial.
Terlepas dari ketidakmampuan DeRonde untuk memberikan dokumen
yang memadai guna mendukung ketentuan origin NAFTA, CBSA juga
mengajukan segudang tuduhan lainnya, bahwa produk tersebut berpotensi
digabungkan dengan barang non-origin lain saat dalam penyimpanan. Sertifikat

320 DeRonde Tire Supply Inc. v President of the Canada Border Services Agency, CITT AP-2011-014
(July 29, 2015).

Bab X - Kasus Sengketa Antarnegara dalam Free Trade Agreement 143


Origin dianggap tidak sah karena seharusnya menunjukkan bahwa ban tersebut
telah diproduksi hanya dengan bahan origin (sehingga dokumen tersebut
dianggap palsu oleh CBSA). Foto-foto dari label pada ban yang disampaikan
sebagai bukti dianggap masih meragukan, apakah menggambarkan hal yang
sebenarnya atas barang yang diimpor pada saat itu. Semua tuduhan semacam
itu, meskipun secara hipotesis bisa benar, dibuat tanpa bukti nyata atau
bahkan indikasi bahwa itu mungkin benar. Sebaliknya, kesaksian saksi
selama persidangan adalah satu-satunya yang diperlukan pengadilan untuk
mengesampingkan. Pernyataan yang dapat dipercaya yang dibuat oleh saksi
yang kredibel sudah cukup untuk meyakinkan pengadilan.

2. Maples Industries, Inc. v. Canada Border Services Agency

PY
Dalam kasus yang lebih baru, yaitu antara Maples Industries, Inc. dan Presiden
Badan Layanan Perbatasan Kanada321, aturan klasifikasi tarif digunakan untuk
menolak penerapan rules of origin NAFTA yang kurang dikenal, yaitu bahan
antara (intermediate materials). Maples Industries adalah produsen karpet
CO
yang berbasis di AS. Itu telah menyertifikasi kelayakan NAFTA dari karpet
yang telah diekspor ke Kanada. CBSA memberi tahu mereka bahwa verifikasi
NAFTA akan dilakukan di fasilitas mereka untuk mem­validasi klaim.
Sebagaimana diizinkan oleh NAFTA, Maples menggunakan bahan
yang diproduksi sendiri untuk menggantikan bahan non-origin sebenarnya
G
yang bersumber dari pemasok asing untuk memenuhi ketentuan Schedule 1
Specific Rule of Origin. Aturan ini hanya menjelaskan persyaratan pergeseran
IN

tarif, dari klasifikasi tarif bahan baku ke klasifikasi tarif karpet jadi. Bahan
yang diproduksi sendiri adalah bahan yang dibuat oleh produsen pada tahap
peralihan dari siklus produksi, sebelum produk jadi dibuat. CBSA mengambil
AD

posisi bahwa bahan yang diproduksi sendiri (kain berumbai) memiliki karakter
penting dari barang jadi (karpet), karenanya tidak ada perubahan tarif sama
sekali, sebuah proposisi yang dibantah oleh Maples. Pengadilan menolak
RE

argumen CBSA setelah pemeriksaan yang cermat terhadap aturan klasifikasi


tarif yang berlaku untuk bahan perantara. Ini tampaknya menjadi tren baru
dan jelas merupakan indikasi pelanggaran bahwa CBSA menggunakan semua
cara yang mereka miliki menolak asal barang dari NAFTA.

3. MRP Retail Inc. Putusan Canadian International Trade


Tribunal, AP-2006-005 (September 27, 2007)
Terakhir, mari kita sebutkan keputusan lama yang menjadi preseden penting
dalam pembenaran asal NAFTA, yaitu antara MRP Retail Inc. dan Presiden

321 Canadian International Trade Tribunal, AP-2014-009 (July 18, 2016)

144 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Badan Layanan Perbatasan Kanada. Kasus ini menggambarkan poin bahwa
sertifikat asal tidak dapat dengan mudah dibatalkan untuk menolak tarif
preferensi NAFTA. Fakta-faktanya adalah bahwa MRP Retail adalah importir
pakaian dari Kanada. Perusahaan itu membeli t-shirt dari California Sunshine,
sebuah perusahaan pakaian yang berbasis di California. California Sunshine
melakukan pemotongan (cutting) berbagai bahan t-shirt, yang kemudian dikirim
ke Meksiko untuk dijahit, dan dikembalikan ke AS untuk dicetak, kemudian
dijual dan dikirim ke MRP di Kanada.
CBSA sekali lagi mempersoalkan banyak kesalahan pengisian dalam
Certificate of Origin NAFTA, untuk alasan menolak tarif preferensial.
Disebutkan bahwa sertifikat itu secara keliru mengidentifikasi California
Sunshine sebagai “produser” t-shirt ketika bagian dari produksi benar-

PY
benar berlangsung di Meksiko dan telah dilakukan oleh produsen Meksiko.
Disebutkan juga bahwa kolom “blanket period” telah dikosongkan, sehingga
keterkaitan sertifikat dengan periode importasi yang sedang ditinjau. Pengadilan
membuat dua klarifikasi yang sangat penting. Pertama, produsen dapat
CO
mengalihkan beberapa pekerjaan selama seluruh proses manufaktur dapat
dikontrol setiap saat. Kedua, meskipun Proof of Origin of Imported Goods
Regulation mensyaratkan adanya Certificate of Origin sebagai prasyarat
untuk mendapatkan tarif preferensial NAFTA, dokumen itu sendiri tidak
pernah ditentukan oleh peraturan dan dengan demikian, tidak dapat dengan
G
mudah ditolak untuk kesalahan pengisian dari penyelesaian. Dalam Putusan
Pengadilan, bahkan jika California Sunshine bukan produsernya, persyaratan
IN

untuk menunjukkan sertifikat yang sah tetap dapat dipenuhi. Hal yang sama
berlaku untuk tidak adanya tanggal di kolom periode selimut (blanket period).
AD

4. Analisis atas Kasus Sengketa di Kanada (NAFTA)


Meskipun pengadilan telah memberi isyarat dengan sangat jelas bahwa origin
NAFTA dan pemenuhan tarif preferensial adalah sesuatu yang ditunjukkan pada
RE

pembuktian yang berimbang, CBSA tetap mengharapkan beban pembuktian


yang jauh lebih tinggi. Pihak berwenang Kanada masih ingin mempersoalkan
setiap kemungkinan teori ketidaklayakan dan berharap untuk mendapatkan
bukti tanpa keraguan sebelum menge­sampingkan asumsi mereka. Terlebih lagi,
prosedur verifikasi NAFTA saat ini masih mengharapkan tingkat detail yang
sama dan dokumen lengkap untuk melanjutkan analisis origin barang impor
yang berfungsi sebagai syarat untuk mendapatkan tarif BM NAFTA. Mengingat
ketidak­sinkronan yang jelas antara keputusan otoritas pabean Kanada dan
Putusan Pengadilan, diperkirakan lebih banyak kasus gugatan ke pengadilan

Bab X - Kasus Sengketa Antarnegara dalam Free Trade Agreement 145


guna mendapatkan tarif FTA.322 Sengketa perdagangan yang melibatkan AS
dan Kanada merupakan masalah yang perlu diselesaikan sehingga tidak
mengabaikan tatanan sistem perdagangan internasional. Ketegangan antara
kedua negara memper­lihatkan bagaimana ketegangan dua paradigma besar
dalam ekonomi politik internasional, yakni internasionalisme liberal dan
merkantilisme. Dalam praktiknya, sejumlah negara mengharapkan keterbukaan
pasar yang bebas (free trade for open market), tetapi realitasnya, negara
melakukan proteksi untuk melindungi kepentingan nasionalnya.323

D. Sengketa FTA Eksportir Indonesia dan Negara Korea


Tidak tersedianya akses bagi pihak eksportir Indonesia pada prosedur
penyelesaian sengketa FTA menimbulkan kerugian bagi Indonesia. Hal

PY
ini karena putusan pengadilan lokal di negara mitra FTA telah merugikan
eksportir Indonesia dengan tidak diberikannya tarif bea masuk FTA secara
sepihak tanpa melalui konsultasi dengan pihak Indonesia sebagai otoritas
yang mengeluarkan surat keterangan asal barang dan pihak eksportir yang
berkepentingan dengan tarif bea masuk FTA. CO
1. Kasus Ekspor Kaleng Indonesia dengan Bea Cukai Korea324
Importir D di Korea menandatangani kontrak dengan Perusahaan T di Indonesia
untuk memperdagangkan “barang yang bersangkutan” (ingot timah). Tambang
G
timah dan smelter yang memproduksi barang tersebut berlokasi di Pulau Bangka,
Indonesia. Dikarenakan tidak ada kapal dengan rute reguler yang langsung
IN

menuju Korea dari Pelabuhan Muntok di Pulau Banka, maka barang-barang


tersebut disimpan di gudang berikat di Singapura untuk kemudian dikirim ke
Korea melalui kapal. Berkenaan dengan pengapalan, barang yang bersangkutan
AD

transit melalui negara ketiga, Singapura. Importir menyerahkan dua lembar


B/L ke pabean Korea, bukan satu lembar through B/L. B/L pertama yang
diterbitkan di Indonesia menyebutkan bahwa perusahaan gudang berikat di
RE

Singapura sebagai penerima barang dan Singapura sebagai tujuan. B/L kedua,
yang diterbitkan di Singapura menetapkan pelabuhan Korea sebagai tujuan,
eksportir di Singapura sebagai pengirim, dan Importir D sebagai penerima
barang. Bea Cukai Korea mengecualikan aplikasi tarif preferensial sesuai

322 Jean-Marc Clément, Loc.Cit.


323 Laode Muhamad Fathun, “Proteksionisme Sengketa Dagang dalam Perdagangan Inter­nasional:
Pendekatan Negosiasi Studi Kasus: Proteksionisme AS terhadap Impor Daging Kanada”, Jurnal
Asia Pacific Studies, Vol. 1, 2017, hlm. 9.
324 Jai-Sik Kim & Soyean Kim, “Direct Transport Rules in Regional Trade Agreements and Suggestions,
Journal of International Trade & Commerce, 13(2), 2017, hlm. 1–19.

146 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


dengan AKFTA dan mengenakan tarif dasar pada barang yang bersangkutan,
dengan alasan bahwa dokumentasi yang diserahkan tidak memenuhi direct
transport requirements. Sebagai tanggapan, Importir D mengajukan gugatan
di pengadilan (Putusan Pengadilan Tinggi Seoul Korea, 2013). Dalam hal ini,
Importir D menyerahkan dua classic bill of lading sebagai ganti through B/L.
Isu utamanya adalah apakah preferential tariff treatment dapat dikecualikan
ketika through B/L tidak diajukan. Tidak seperti perjanjian lainnya, AKFTA
membatasi through B/L sebagai satu-satunya bukti dokumenter untuk kepatuhan
terhadap direct transport requirements (Lampiran, Pasal 19) dan hukum yang
berlaku (Undang-Undang Kepabeanan FTA Korea, Pasal 10(2)), yang menyatakan
bahwa pemberian tarif BM FTA dapat dikecualikan jika importir tidak menyerahkan
bukti dokumenter untuk menunjukkan kepatuhan terhadap negara asal dan

PY
direct transport requirement. Putusan pengadilan (Putusan Pengadilan Tinggi
Seoul Korea, 2013) menyatakan bahwa sudah sepatutnya pabean menolak
gugatan Importir D atas pemberian tarif BM FTA apabila tidak diajukan melalui
B/L, karena bill of lading yang diajukan tidak dapat dianggap sebagai through B/L.
CO
Apakah BL tertentu memenuhi syarat sebagai “through B/L” adalah
pertanyaan fakta. 325 Untuk menentukan secara akurat apakah dokumen
pengangkutan diakui sebagai B/L melalui B/L sebagaimana ditentukan dalam
AKFTA, perlu untuk menetapkan standar khusus untuk verifikasi dan untuk
meninjau dokumen bukti yang sesuai. Berkenaan dengan standar verifikasi
G
khusus untuk menentukan apakah suatu dokumen merupakan through B/L,
harus mengacu pada peraturan yang berlaku di Singapura, karena negara tersebut
IN

menangani banyak pengiriman barang transshipment. Menurut Singapore


Regulation of Imports and Exports Act (Chapter 272A, Sect. 3), sebuah dokumen
akan diakui sebagai a through B/L jika kondisi berikut dipenuhi, yaitu pelabuhan
AD

bongkar muat yang ditentukan dalam B/L untuk barang tersebut, pertama, di
luar Singapura dan harus, kedua, tanpa penerima barang di Singapura.
Melihat bill of lading yang dalam hal ini menurut standar di atas, B/L
RE

pertama menetapkan lokasi di Indonesia sebagai pelabuhan pengapalan dan


Singapura sebagai tujuan. Tidak ada komentar tambahan yang menyatakan
bahwa barang asal dijadwalkan untuk di-transshipment setelah tiba di
Singapura. Selain itu, penerima barang yang dimaksud adalah perusahaan
gudang berikat di Singapura. Oleh karena itu, dua bill of lading klasik yang
diajukan tidak dapat lulus uji dua cabang untuk dipertimbangkan sebagai
B/L hingga B/L. Meskipun keputusan pengadilan tidak didasarkan pada

325 C.S. Donovan & J.M. Haley, “Who Done It and Who’s Gonna Pay-rights of Shippers and
Consignees against Non-Ocean Carriers Performing Part of a Contract of Carriage Covered by a
Through Bill of Lading”, Journal of International Law and Practice, Vol. 7, 1998, hlm. 415.

Bab X - Kasus Sengketa Antarnegara dalam Free Trade Agreement 147


standar khusus tersebut, sulit untuk menemukan masalah dengan keputusan
pengadilan. Sederhananya, meskipun barang hanya melewati negara ketiga,
itu adalah kasus di mana importir tidak memenuhi direct transport requirement.
Implikasi dari kasus ini tidak harus dilihat dari perspektif hukum, tetapi
dari praktik transportasi.326 Oleh karena Singapura berstatus sebagai hub-
transshipping dan pergudangan untuk perdagangan regional, ada banyak kasus
di mana produk dari Indonesia dan Malaysia diekspor melalui gudang berikat
di Singapura sebelum mencapai negara tujuan akhir. Namun, barang-barang
tersebut harus memenuhi persyaratan bahwa untuk menerima pemberian tarif
BM FTA di bawah RTA Asia, through B/L harus diserahkan. Jika tidak, aplikasi
untuk perlakuan istimewa dapat ditolak dengan mengimpor.

2. Kasus Ekspor Minyak Indonesia dengan Bea Cukai Korea

PY
Sebuah perusahaan penyulingan minyak, Perusahaan K, membeli “barang
yang dipesan” (minyak mentah) dari perusahaan Indonesia, Perusahaan Q,
dan mengimpornya melalui Singapura ke Korea. Ketika Importir K melaporkan
CO
barangnya ke pabean dan mengklaim tarif bea masuk sesuai dengan AKFTA,
Importir K menyerahkan dua lembar B/L, yang mencantumkan rincian
transshipment sebagai bukti dokumen untuk memenuhi direct transport
requirements, bukan through B/L. Dalam menentukan bahwa bill of lading
untuk setiap tahap pengangkutan tidak dapat dianggap through B/L, bea cukai
G
Korea menolak pemberian tarif Bea Masuk FTA. Importir tidak setuju dengan
keputusan yang dibuat oleh Bea Cukai dan mengajukan gugatan ke Korean
IN

Tax Tribunal (Korean Tax Tribunal Decision, 2015).


Mengenai transaksi ini, pengangkut pertama (Perusahaan Pelayaran D) dan
pengangkut kedua (Perusahaan Pelayaran E) saling berkonsultasi mengenai
AD

seluruh jalur pengangkutan dan lokasi transshipment pada saat barang yang
bersangkutan dikirim untuk ekspor. Kedua perusahaan pelayaran tersebut
kemudian menandatangani kontrak pengangkutan berupa pengiriman
yang berurutan. Akibatnya, dua bill of lading yang berisi informasi rinci
RE

transshipment diterbitkan. Kedua bill of lading tidak hanya menyebutkan


negara keberangkatan, negara transit, dan negara tujuan akhir, keduanya juga
menyatakan bahwa penerima barang adalah Importir K di Korea. Mereka
bahkan menggunakan nomor referensi yang sama untuk dua bill of lading.
Dengan demikian, B/L pertama yang diterbitkan oleh Perusahaan Pelayaran
D dari negara pengekspor, Indonesia, menyatakan rute dari pelabuhan

326 H. Lim & A. Choo, The Use of Free Trade Agreements by Manufacturing and Services Firms in
Singapore, in L.Y. Ing and S. Urata (Eds.), The Use of FTAs in ASEAN: Survey-based Analysis
(ERIA Research Project Report, No. 2013-5), Jakarta: ERIA, 2015, hlm. 215–242.

148 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


pelayaran di Indonesia melalui negara transit, Singapura, ke pelabuhan tujuan
di Korea. Namun, Perusahaan Pelayaran D hanya bertanggung jawab atas
jalur pengangkutan yang sebenarnya dari Indonesia ke Singapura. Setelah itu,
B/L kedua yang diterbitkan oleh Perusahaan Pelayaran E dari Singapura juga
memuat informasi rinci tentang transshipment dan jalur pengangkutan dari
Singapura ke pelabuhan di Korea.
Dalam dua bill of lading, yang pertama dikeluarkan untuk jalur angkutan
antara Indonesia dan Singapura dan yang kedua untuk jalur antara Singapura
dan Korea. Namun, setiap B/L mencantumkan secara rinci seluruh rute
pengangkutan dari lokasi pemberangkatan hingga tujuan akhir, pelabuhan
transshipment, tanggal transshipment, nama kapal, dan tanggal kedatangan.
Ketika barang benar-benar tiba di Korea seperti yang tercantum dalam B/L,

PY
maka konsisten dengan fakta pengiriman. Dalam kasus serupa sebelumnya,
pengadilan (Keputusan Pengadilan Administrasi Seoul, Korea, 2012) menafsirkan
arti through B/L sebagai “B/L yang dikeluarkan oleh pengangkut pertama untuk
bertanggung jawab atas semua rute pengangkutan ketika pengangkut melibatkan
CO
beberapa tahap pengangkutan laut atau sebagai alternatif menggunakan
sarana pengangkutan lain seperti angkutan jalan raya, kereta api atau udara
untuk membawa barang ke suatu tujuan”. Definisi ini mengasumsikan dokumen
pengangkutan tunggal dan Tax Tribunal (Korean Tax Tribunal Decision, 2015)
juga mengadopsi definisi ini dalam keputusannya atas kasus ini.
G
Sementara, definisi tersebut cocok untuk menafsirkan B/L multimodal, itu
tidak sesuai untuk through B/L. Tentu saja, B/L multimodal dapat dimasukkan
IN

sebagai jenis khusus dari through B/L, tetapi ruang lingkup dari through B/L
lebih luas daripada B/L multimodal. Dengan demikian, B/L multimodal tidak
dapat didefinisikan sebagai satu-satunya bentuk dari through B/L. Menurut
AD

prinsip kebebasan berkontrak, kontrak pengangkutan dapat dibuat tergantung


pada jenis sarana transportasi atau cakupan tanggung jawab yang dipikul oleh
banyak pengangkut untuk transportasi antarmoda.327 Oleh karena itu, putusan
RE

pengadilan yang didasarkan pada definisi through B/L dan menyatakan bahwa
pengangkut pertama harus bertanggung jawab atas seluruh kaki angkut
adalah tidak tepat. Bentuk khas dari through B/L dapat didefinisikan sebagai
dokumen pengangkutan tunggal yang berisi semua informasi, seperti lokasi
keberangkatan, lokasi transit, tujuan akhir, dan pengangkut ikutan.
Dalam menentukan apakah suatu dokumen tertentu merupakan bukti yang
sah untuk memenuhi direct transport requirement, dokumen yang paling tepat
yang secara jelas mengungkapkan bukti tersebut adalah through B/L dalam

327 Raimondas Burkovskis, “Efficiency of Freight Forwarder’s Participation in the Process of


Transportation”, Transport, 23(3), 2008, hlm. 208–213.

Bab X - Kasus Sengketa Antarnegara dalam Free Trade Agreement 149


bentuk yang semestinya. Namun, jika bukan itu masalahnya, keputusan akhir
harus didasarkan pada kebenaran substantif328, selama teks hukum AKFTA tidak
secara jelas menyebutkan bahwa “dokumen pengangkutan tunggal” diperlukan.
Dalam hal ini, dua bill of lading disajikan karena masing-masing pengangkut
mengeluarkan B/L untuk kaki pengangkutnya sendiri. Dari segi bentuk, itu
bukan dokumen transportasi tunggal. Dengan kata lain, meskipun B/L pertama
memuat informasi tentang negara keberangkatan, negara transit, dan negara
tujuan akhir, termasuk transshipment, tetapi tidak lengkap dalam hal menjadi
tipikal through B/L. Namun, ketidak­lengkapan ini sudah dilengkapi dengan
B/L kedua, yang memuat rincian transshipment.
Mempertimbangkan kebenaran substantif daripada bentuk, bukti yang
diajukan dapat diakui memenuhi direct transport requirement.329 Dengan

PY
demikian, dua bill of lading dalam hal ini, dalam praktiknya, cukup untuk
membuktikan pengangkutan berturut-turut dari barang-barang identik dan
masuk akal untuk menganggapnya sebagai bukti pengangkutan langsung atau
dokumentasi pendukung seperti yang didefinisikan dalam perjanjian. Jika
CO
tarif BM FTA ditolak hanya karena dokumen tidak identik dengan through
B/L yang diterbitkan di negara pengekspor sebagaimana didefinisikan dalam
perjanjian, ini akan mengakibatkan penerapan hukum yang ketat terhadap
formalitas. Selain itu, perjanjian FTA bertujuan untuk menghilangkan bea
masuk dan peraturan perdagangan restriktif lainnya pada hampir semua
G
perdagangan barang antara Republik Korea dan negara anggota ASEAN.330
Hal ini juga bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan partisipasi negara-
IN

negara anggota dalam kerja sama ekonomi dan untuk memperluas ekspor
mereka (Agreement on AKFTA, Kata Pengantar). Mempertimbangkan tujuan
tersebut, berdasarkan kebenaran substantif, pihak pabean diharapkan
AD

mengetahui bahwa dokumen yang diserahkan dapat memenuhi direct transport


requirement meskipun bukan merupakan dokumen pengangkutan tunggal.
Solusi yang lebih mendasar adalah bahwa perwakilan AKFTA harus merundingkan
RE

kembali klausul terkait pengiriman langsung dan mengubah aturan yang berlaku.

328 R.S. Summers, “Formal Legal Truth and Substantive Truth in Judicial Fact-finding: Their Justified
Divergence in Some Particular Cases”, Law and Philosophy, Vol. 18, 1998, hlm. 5.
329 Ibid.
330 Sang-Hyun Han, “A Study on Comparison and Directions of the Origin Certification System in
Free Trade Agreement”, Journal of International Trade & Commerce, 6(4), 2010, hlm. 167–190.

150 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Daftar Pustaka

Buku
Abdulkadir, Muhammad. 2007. Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan
Niaga di Indonesia dalam Perspektif Hukum Bisnis Indonesia pada Era
Globalisasi Ekonomi. Jakarta: Genta Press.
Adolf, Huala. 2002. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta:
Rajawali Press.
___________. 2010. Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional (Edisi Revisi).
Bandung: Refika Aditama.
___________. 2010. Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar. Bandung:

PY
Keni Media.
___________. 2010. Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan
Internasional (WTO). Bandung: Keni Media.

Media.
CO
___________. 2014. Dasar-Dasar, Prinsip & Filosofi Arbitrase. Bandung: Keni

___________. 2018. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Rajawali Press.


Agusman, Damos Dumoli. 2010. Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori
dan Praktik Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
G
Amalia, Prita dan Garry Gumelar Prataman. Hukum Perjanjian Perdagangan
Internasional Kerangka Konseptual dan Ratifikasi di Indonesia. Bandung:
IN

Keni Media.
Amalia, Prita. 2015. Industri Penerbangan Aspek Hukum Pasca Cape Town
Convention 2001. Bandung: Refika Aditama.
AD

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung:


Alumni.
Armstrong, David (Ed.). 2009. Routledge Handbook of International Law. London.
Barfield, C. (Ed.). 1995. The Dangerous Obsession with Free Trade Areas. New
RE

York: AEI.
Bedjaoui. 1985. Menuju Tata Ekonomi Dunia Baru. Jakarta: Gunung Agung.
Bossche, Peter san den. 2008. The Law and Policy of the WTO. Ed. 2. New York:
Cambridge University Press.
Budiono, Herlin. 2006. Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia:
Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia. Bandung:
Rafika Aditama.
Caron, David D., et al. 2015. Practising Virtue: Inside International Arbitration.
Oxford: Oxford University Press.

Daftar Pustaka 151


Chandrawulan, An An. 2011. Hukum Perusahaan Transnasional, Liberalisasi
Hukum Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal.
Bandung: Alumni.
___________. 2014. Hukum Perusahaan Multinasional. Bandung: Keni Media.
Damian, Eddy. 2021. Dinamika Hukum dalam Pembangunan Berkelanjutan.
Bandung: FH UNPAD dan Penerbit Alumni.
Darwin, Arfiansyah dan Purjono. 2017. Practical Guidebook on Free Trade
Agreement: Memahami Untuk Memanfaatkan. Jakarta: Pro Insani Cendikia.
Diehl Paul F. & Charlotte Ku. The Dynamics of International Law. Cambridge:
Cambridge University Press.
DiMatteo, Larry A. 2017. International Business Law and the Legal Environment:
A Transactional Approach. New York: Routledge.

PY
Folsom, Ralph H. et al. 2015. International Business Transaction: A Problem
Oriented Coursebook. Saint Paul: West Academic Publishing.
Garth, Ives Dezalaydan Bryant G. 1996. Dealing in Virtue: International
Commercial Arbitration and The Construction of a Transnational Legal
CO
Order. Chicago: The University of Chicago Press.
Goldman, Berthold. Contemporary Problems in International Arbitration.
Goode, Roy et al. 2007. Transnational Commercial Law Text, Cases, And
Materials. New York: Oxford University Press.
Hadi, Dedi Abdul. 2013. Modul Free Trade Agreement. Jakarta: Pusdiklat Bea
G
dan Cukai.
___________. 2013. Modul Operational Certification Procedure. Jakarta: Pusdiklat
IN

Bea dan Cukai.


Hartono, Sunaryati. 1972. Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman
Modal Asing di Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
AD

Juwana, Hikmahanto. 2013. Naskah Akademik tentang Ratifikasi Konvensi


PBB mengenai Kontrak Jual Beli Barang Internasional (United Nations
Convention on Contracts for International Sales of Goods). Badan Pembinaan
RE

Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.


Kozuka, Souichirou. 2016. Implementing the Cape Town Convention and The
Domestic Laws on Secured Transactions. Springer.
Kuiin. 1983. Perusahaan Transnasional. Jakarta: Gramedia.
Kuin, Pieter. 1987. Perusahaan Trans Nasional. Jakarta: Gramedia.
Kusumaadmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum
Internasional. Bandung: Alumni.
Kusumaatmadja, Mochtar dan Arief Sidharta. 2000. Pengantar Ilmu Hukum.
Bandung: Penerbit Alumni.

152 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Lowe, Vaughan. 2006. Jurisdiction in International Law. Oxford: Oxford
University Press.
Lubis dan M. Buxbaum. 1986. Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara
Berkembang. Jakarta: Yayasan Obor.
Madura, J. 1997. International Financial Management. 5th Edition. New York:
Prentice Hall International, Inc.
Manchin, M. & Pelkmans-Balaoing A. 2007. Rules of Origin and the Web of East
Asian Free Trade Agreements. World Bank Policy Research Working Paper.
Washington DC: World Bank.
Mappangaja. 1991. Peranan Perusahaan Transnasional Ditinjau dari Segi Hukum
Ekonomi Internasional. Ujung Pandang: Fakultas Hukum Unhas.
Mauna, Boer. 2011. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam

PY
Era Dinamika Global. Bandung: Alumni.
Panglaykim. 1983. Perusahaan Multinasional dalam Bisnis Internasional. Jakarta:
Analisa CSIS.
Putra, Ida Bagus Wiyasa. 2000. Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional dalam
CO
Transaksi Bisnis Internasional. Bandung: Refika Aditama.
Qureshi, Asif. 2007. International Economic Law. Mytholmroyd: Sweet &
Maxwell.
Ruddyard, Febrian A. Sekilas WTO World Trade Organization. Jakarta: Direktorat
Perdagangan, Komoditas, Kekayaan Intelektual dan Direktorat Jenderal
G
Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Ruys, T., N. Angelet, & L. Ferro (Eds). Cambridge Handbook on Immunities and
IN

International Law.
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Smiths, Jan M. 2014. Contract Law: A Comparative Introduction. Cheltenham:
AD

Edward Elgar Publishing.


Soenandar, Taryana. 2004. Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum
Kontrak dan Penyelesaian Bisnis Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
RE

Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonia Gramsci terhadap Pembangunan Dunia


Ketiga. Yogyakarta: Putraka Pelajar.
Sumantoro. 1982. Investment Law, Corporation in Investment, and the Indonesian
Perspective. Bandung: Bina Cipta.
Sumardi, Juajir. 2009. Naskah Buku Hukum Perusahaan Transnasional dan
Franchise. Jakarta: Arus Timur.
Sutanto, Marko Cahya. 2019. Prospek Penggunaan United Nations Convention
on Contracts for the International Sale of Goods (CISG). Bandung: Alumni.
Tantowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar. 2006. Hukum Internasional Kontemporer.
Bandung: Refika Aditama.

Daftar Pustaka 153


Udiana, I Made. 2011. Rekonstruksi Pengaturan Penyelesaian Sengketa Penanaman
Modal Asing. Denpasar: Udayana University Press.
Uhlin, Anders. 1988. Transnational Corporations as Global Political Actors: A
Literature Review. California: Sage Publications.
Wijaya, Gunawan. 2001. Lisensi (Seri Hukum Bisnis). Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Zaki, Muhammad Reza Syariffudin.2018. Pemikiran Hukum, Ekonomi, dan
Politik Internasional. Surabaya: Pustaka SAGA.
___________. 2021. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Penerbit
Prenadamedia, Divisi Kencana.
___________. 2022. Pengantar Ilmu Hukum dan Aspek Hukum dalam Ekonomi.
Jakarta: Penerbit Prenadamedia, Divisi Kencana.

PY
Jurnal
Adolf, Huala. 2009. “Dampak Pengesahan Statuta UNIDROIT”. Jurnal Ilmu
Hukum Padjadajaran, Jilid XXXIII Vol. 1.
CO
Alfia, Ayu Nurul et al. 2016. “Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional
dalam Kebakaran Hutan di Riau dalam Perspektif Hukum Internasional”.
Diponegoro Law Journal, 5(3).
Amalia, Erna. 2021. “Kedudukan Perusahaan Transnasional sebagai Subyek
Hukum Internasional”. NJL, 5(2).
G
Amalia, Prita dan Danrivanto Budhijanto. 2018. “The Role of Public Private
Partnership to Strenghten Sustainable Development in Indonesia”. Central
IN

European Journal of International and Security Studies, 12(4).


Amalia, Prita et al. 2019. “The Development of Private International Law: A New
Concept of Mobile Equipment under the Cape Town 2001”. Journal of Legal,
AD

Ethical and Regulatory Issues, Volume 22, Issue 4.


Anggraini, Dina dan Ida Bagus Ranawijaya. 2019. “Yurisdiksi Negara terhadap
Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh Perusahaan Transnasional”. Kertha
Negara, 7(6).
RE

Azrieli, Avraham. 1993. “Improving Arbitration under the U.S.-Israel Free Trade
Agreement: A Framework for a Middle-East Free Trade Zone”. St.John’s Law
Review, 67(2).
Barnden, David & Jorge Daniel Tailant. 2007. “Investment Nexus and Financial
Institutions in The implementation of The OECD Guidelines for Multnational
Enterprises”. Jurnal Center for Human Rights and Environment.
Berger, Klaus Peter. 1999. “The Creeping Codification of the Lex Mercatoria”.
Kluwer Law International.
Burkovskis, Raimondas. 2008. “Efficiency of freight forwarder’s participation in
the process of transportation”. Transport, 23(3).

154 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Cantin, F.P. and A.F. Lowenfeld. 1993. “Rules of origin, the Canada-US FTA, and
the Honda case”. The American Journal of International Law, 87(3).
Chirwa, Danwood Mzikenge. “The Doctrine of State Responsibility as a
Potential Means of Holding Private Actors Accountable for Human
Rights”. Melbourne Journal of International Law.
Choi, Song-Za. 2013. “A Comparison of Korea and China’s FTA Dispute Settlement
Agreement with SEAN”. Journal of Arbitration Studies, 23(1).
Clément, Jean-Marc. 2020. “Proving FTA Preferential Tariff Eligibility: The
Evidentiary Burden in Canada”. Global Trade and Customs Journal, 15(3/4).
Cotterrell, Roger. 2012. “What is Transnational Law? Law and Society Inquiry”.
Journal of the American Bar Foundation, Volume 3, Issue 2.
Cremades, Bernardo & Steven Plehn. “The New Lex Mercatoria and

PY
the Harmonization of the Laws of the of International Commercial
Transactions”. 2 B.U. INT’L L. REV.
Dam, Cees van. 2011. “Tort Law and Human Rights: Brother in Arms on the Role
of Tort Law in the Area of Business and Human Right”. Journal of Education,
Teaching and Leaning. CO
Deva, Surya. “Human Right Violations by Multinational Corporations and
International Law: Where from Here?”. Connecticut Journal of International
Law.
Dewanto. Wisnu Aryo. 2013. “Problematika keberlakuan dan Status Hukum
G
Perjanjian Internasional”. Jurnal Yudisial.
Donovan, C.S. and J.M. Haley. 1998. “Who Done It and Who’s Gonna Pay-rights
IN

of Shippers and Consignees against Non-Ocean Carriers Performing Part


of a Contract of Carriage Covered by a Through Bill of Lading”. Journal of
International Law and Practice, 7.
AD

Dorward, Daniel J. 1998. “The Forum Non Conveniens Doctrine and the Judicial
Protection of Multinational Corporations from Forum Shopping Plaintiffs”.
University of Pennsylvania Journal of International Economic Law, 19(1).
RE

Fathun, Laode Muhamad. 2017. “Proteksionisme Sengketa Dagang dalam


Perdagangan Internasional: Pendekatan Negosiasi Studi Kasus: Protek­
sionisme AS terhadap Impor Daging Kanada”. Jurnal Asia Pacific Studies, 1.
Ferrari, Franco (Ed.). 1998. The Unification of International Commercial Law.
Gabriel, Henry D. 2009. ”The Advantages of Soft Law in International Commercial
Law: The Role of UNIDROIT, UNCITRAL, and the Hague Conference”.
Brook. J. Int’l L, 34.
Goldring, John. 1998. “Globalisation, National Sovereignty and the Harmonisation
of Laws”. Uniform Law Review.
Greenhalgh-Cook, Andrew. “Transnational Elites”. International Encyclopedia of
Human Geography, 2.

Daftar Pustaka 155


Han, Sang-Hyun. 2010. “A Study on Comparison and Directions of the Origin
Certification System in Free Trade Agreement”. Journal of International Trade
& Commerce, 6(4).
Hatzimihail, Nikitas E. 2008. “The Many Lives and Faces of Lex Mercatoria:
History as Genealogy on International Business Law”. Law and Contemporary
Problem, 71(3).
Hendrapati, Marcel dan Marthen Arie. 1995. “Perusahaan Transnasional dan
Implikasinya dalam Hukum Nasional Indonesia”. ERA HUKUM, No. 3.
Irpan, Tulus et al. 2016. “Kajian Peningkatan Peranan Transportasi Multimoda
dalam Mewujudkan Visi Logistik Indonesia 2025”. Jurnal Manajemen Bisnis
Transportasi dan Logistik, 3(1).
Johns, Fleur. 1994. “The Invisibility of the Transnational Corporations: An Analysis
of International Law and Legal Theory”. Melbourne University Law Review.

PY
Kim, Jai-Sik & Soyean Kim. 2017. “Direct Transport Rules in Regional Trade
Agreements and Suggestions”. Journal of International Trade & Commerce,
13(2).

International.
CO
Klaus Peter Berger (Ed). 2001. “The Practice of Transnational Law”. Kluwer Law

Kostruba, Anatoliy. 2022. “Legal Aspect of Transnational Scale Corporations’


Activity in Terms of Sustainable Development”. Rivista Di Studi Sulla
Sostenibilita.
G
Leck, Sara L. “Home State Responsibility and Local Communities: The Case of
Global Mining”. Yale Human Rights and Development Journal, Vol. 11, Iss.
IN

1, Article 10, Koneticut.


Lowenfeld, Andreas F. 1998. “Lex Mercatoria: An Arbitrator’s View” dalam
Thomas E. Carbonneau (Ed.), “Lex Mercatoria and Arbitration”. Kluwer Law
AD

International.
Mamiloto, Susanti. 2017. “Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran Transaksi
Perdagangan Lintas Batas pada Daerah Perbatasan”. Lex Privatum, V(8).
Many, Nirmala, Muhammad Reza Syariffudin Zaki, dan Cecilia Elisabeth Agatha.
RE

“Marine Casualty Caused by Ever Judger in Balikpapan Bay: Human Error or


Technical Factors?”. Advances in Social Science, Education and Humanities
Research, 585.
Perdana, Dio Putra et al. “Pengaruh Pelemahan Nilai Tukar Mata Uang Lokal
(IDR) terhadap Nilai Ekspor”. Jurnal Administrasi Bisnis (JAB), 17(2).
Plancke, Veronique van der et al. 2010. “Corporate Accountability for Human
Righ Abuses: A Guide for Victims and NGOs on Resouces Mechanism”.
Jurnal International Federation of Human Rights.
Prianto, Budhy. “Desentralisasi: Sebuah Kajian Awal tentang Reformasi
Governance Menuju Welfare State”. Spirit Publik, 10(2).

156 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Prihandono, Imam. 2008. “Status dan Tanggung Jawab Multi-National Companies
(MNCs) dalam Hukum Internasional”. Global & Strategies, Th. II, No. 1,
Januari-Juni.
Puslitbang Transportasi Antarmoda. 2019. “Jurnal Transportasi Multimoda”. Jurnal
Transportasi Multimoda, 17(1).
Randall, Kenneth C. & John E. Norris. 1993. “A New Paradigm for International
Business Transactions”. Washington University Law Review, Vol. 71, Issue 3.
Ratner, Steven R. “Corporations and Human Rights: A Theory of Legal
Responsibility”. The Yale Law Journal, 111(3).
Rubin, Seymour J. 1981. “Transnational Corporations and International Codes
of Conduct: A Study of the Relationship between International Legal
Cooperation and Economic Development”. Am. UL Rev.

PY
Sanders, Pieter. 1982. “Implementing International Codes of Conduct for
Multinational Enterprises”. American Journal Comparative Law.
Sefriani. 2017. “Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional terhadap Pelanggaran
HAM dalam Perspektif Hukum Internasional”. UNISIA, XXX(65).
CO
Shahla F. Ali. 2011. Resolving Disputes in the Asia Pacific Region: International
Arbitration and Mediation in East Asia and the West. UK: Routledge.
Soenarno. 2011. Modul Pengantar Nilai Pabean. Jakarta: Badan Pendidikan dan
Pelatihan Keuangan Pusdiklat Bea dan Cukai.
Sotomonte, David R. 2002. “The UN Convention on Contracts for the International
G
Sale of Goods & International Commercial Arbitration”. Revist@ e-mercatoria,
1(2).
IN

Stipanowich, Thomas. 2014. “Reflections on the State and Future of Commercial


Arbitration: Challenges, Opportunities”. Juris legal Information Arbitration
Law, 25(3-4).
AD

Sulistyawan, Aditya Yuli. 2019. “Urgensi Harmonisasi Hukum Nasional terhadap


Perkembangan Hukum Global Akibat Globalisasi”. Jurnal Hukum Progresif,
7(2).
RE

Summers, R.S. 1998. “Formal Legal Truth and Substantive Truth in Judicial Fact-
finding: Their Justified Divergence in Some Particular Cases”. Law and
Philosophy, 18.
Supadi, Hafsah. 2021. “The Use of Local Currency Settlement in Trade among
Indonesia, Malaysia And Thailand”. JOM FISIP, Vol. 8, Edisi II.
Supriyono. “Pengaruh Globalisasi terhadap Pembangunan Hukum dan Tantangan
di Era Revolusi Industri”. Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB.
Susdarwono, Endro Tri. 2020. “Pembangunan Pengangkutan Multimoda
sebagai Penunjang Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia: Akselerasi
Pembangunan Industri Pertahanan”. Kajen, 4(1).

Daftar Pustaka 157


Syukri dan Prita Amalia. 2020. “Implications of the Principle of Non Discrimination
in the Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership
Agreement on Government Procurement Chapter toward Regulations of
Domestic Product Use in Indonesia”. Transnational Business Law Journal,
1(2).
Warta Bea Cukai. 2020. “National Logistic Ecosystem untuk Layanan Logistik
Indonesia yang Lebih Efisien”. 52(11).
Wibowo, Wahyu dan Irwan Chairuddin. 2017. “Sistem Angkutan Multimoda
dalam Mendukung Efisiensi Biaya Logistik di Indonesia”. Jurnal Manajemen
Transportasi & Logistik, 4(1).
Yelery, A. 2016. “China’s Bilateral Currency Swap Agreements: Recent Trends”.
China Report, 52(2).

PY
Yi, Jisoo. 2016. “A Study on the Dispute Settlement Procedure for the Preferential
Rules of Origin”. Journal of Arbitration Studies, 26(3).
Yuan, Bo. 2016. “A Law and Economic Approach to Norms in Transnational
Commercal Transaction: Incorporation and Internalization”. Erasmus Law
Review. CO
Zaki, Muhammad Reza Syariffudin dan Andrey Sujatmoko. “Hubungan Taliban
dan Cina dalam Perspektif Internasional”. terAs LAW REVIEW: JURNAL
HUKUM HUMANITER DAN HAM, 3(1).
Zaki, Muhammad Reza Syariffudin dan R. Syahputra. “Retalism mechanism in
G
Indonesia and European Union trade disputes regarding CPO commodity
exports”. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 729(1).
IN

Zaki, Muhammad Reza Syariffudin et al. “Public Stockholding Regulations and


Domestic Agricultural Subsidies in China, India, Brazil and Indonesia to
Achieve Food Security in Sustainable Development Goals”. The 1st Workshop
AD

on Multimedia Education, Learning, Assessment and its Implementation in


Game and Gamification in Conjunction with COMDEV 2018.
Zaki, Muhammad Reza Syariffudin. “Analysis of Halal Standards in Disputes
RE

on Chicken Meat Imports detween Indonesia and Brazil at the World


Trade Organization (WTO)”. Advances in Social Sciences, Education and
Humanities Research, 659.
___________. “The Independence of the Trustee as an Organ Formed by the
Public Company”. Advances in Social Science, Education and Humanities
Research, 585.
Zumbansen, Peer. 2002. “Piercing the Legal Veil: Commercial Arbitration and
Transnational Law”. European Law Journal, 8(3).

158 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Peraturan
A Handbook on WTO Customs Valuation Agreement - World Trade Organization
Asean Customs Valtuation Guide
Canadian International Trade Tribunal, AP-2014-009 (July 18, 2016)
CISG Convention 1980
General Agreement on Tariff and Trade
International Convention for the Unification of Certain Rules of Law relating
to Bills of Lading
Kyoto Convention
The UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration (1985/2006)
Uniform Customs and Practice for Documentary Credits
UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPIIC)

PY
WTO Valuation Agreement
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
CO
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2017 tentang Tim Perunding Perjanjian
Perdagangan Internasional

Internet
G
Ali, Shahla F. 2019. “Transnational Commercial Law of Arbitration – Developments
and Controversies”. Oxford Handbooks Online.
IN

Bank Indonesia. “Local Currency Settlement (LCS) & Appointed Cross Currency
Dealer (ACCD)”. Diakses dari: https://bicara131.bi.go.id/knowledgebase/
article/KA-01093/en-us.
AD

CISG. Diakses dari: http://www.cisg.law.pace.edu/cisg.


Direktorat Jenderal Pengembangan Nasional. “Incoterms”. Diakses dari: http://
djpen.kemendag.go.id/app_frontend/contents/98-incoterms.
RE

Farnsworth, E. Allan. Diakses dari: http://www.cisg.law.pace.edu/cisg/biblio/


farnsworth1.html.
Febby, Cindy Kikhonia. 2017. “Relasi antara Transfer Pricing dan Customs
Valuation”. Diakses dari: https://news.ddtc.co.id/relasi-antara-transfer
-pricing-dan-customs-valuation-9739.
Glossary Term. “Dumping”. Diakses dari: https://www.wto.org/english/thewto_e/
glossary_e/dumping_e.htm.

Daftar Pustaka 159


Kementerian Perindustrian. 2014. “Newmont Cabut Gugatan Arbitrase di
ICSIF”. Diakses dari: https://kemenperin.go.id/artikel/9917/Newmont
-Cabut-Gugatan-Arbitrase-di-ICSID.
Nirmala. 2017. “Mengapa Harus Angkutan Multimoda?”. Diakses dari: https://
business-law.binus.ac.id/2017/06/30/mengapa-harus-angkutan-multimoda/.
___________. 2017. “Mengenal Transportasi Multimoda di Indonesia”. Diakses
dari: https://business-law.binus.ac.id/2017/05/31/mengenal-transportasi
-multimoda-di-indonesia/.
OECD. 2003. “OECD Guidelines for Multinational Enterprises: 2003
Annual Meeting of the National Contact Points”. Report on Annual
Meeting of National Contact Points. Diakses dari www.oecd.org/
dataoecd/3/47/15941397.pdf.

PY
Putra, Idris Rusadi. 2021. “Awal Mula Larangan Ekspor Nikel Indonesia hingga
Digugat Uni Eropa ke WTO”. Diakses dari: https://www.merdeka.com/
uang/awal-mula-larangan-ekspor-nikel-indonesia-hingga-digugat-uni-
eropa-ke-wto.html.
CO
UNCITRAL. “About UNCITRAL”. Diakses dari: https://uncitral.un.org/en/about.
UNIDROIT. “Instruments”. Diakses dari: https://www.unidroit.org/instruments/.
___________. “Membership”. Diakses dari: http://www.unidroit.org/about-unidroit/
membership.
___________. “Purpose”. Diakses dari: https://www.unidroit.org/about-unidroit/.
G
Victoria, Agatha Olivia. 2021. “Regulasi LCS akan Terbit, Transaksi RI-
Tiongkok Tak Perlu Pakai Dolar”. Diakses dari: https://katadata.co.id/
IN

agustiyanti/finansial/60d5b1623a6ad/regulasi-lcs-akan-terbit-transaksi
-ri-tiongkok-tak-perlu-pakai-dolar.
Wahyunto, dkk. “Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Perkebunan
AD

Kelapa Sawit di Indonesia”. Diakses dari: http://perkebunan.litbang.


pertanian.go.id/?p=7977.
WTO. “Regional Trade Agreements and Preferential Trade Arrangements”.
RE

Diakses dari: https://www.wto.org/english/tratop_e/region_e/rta_pta_e.htm.


___________. “What is the WTO?”. Diakses dari: https://www.wto.org/english/
thewto_e/whatis_e/whatis_e.htm.
___________. 2007. “DS312 Korea-Anti Dumping Duties Imports of Certain
Paper from Indonesia”. Diakses dari: https://www.wto.org/english/tratop_e/
dispu_e/cases_e/ds312_e.htm.
Yunusov, Khaydarali M. et al. “The Roles and Responsibilities of Transnational
Corporations with Regard to Human Rights”. Diakses dari: https://www.
corteidh.or.cr/tablas/r26746.pdf.

160 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Lainnya
Black’s Law Dictionary. 1949. St. Paul Minn: West Publ (5th edition).
Commission of the European Communities. 2003. Green Paper on the Future
of Rules of Origin in Preferential Trade Arrangements.
DeRonde Tire Supply Inc. v. President of the Canada Border Services Agency.
CITT AP-2011-014 (July 29, 2015).
Dewan Hak Asasi Manusia PBB. 2011. Human Rights and Transnantional
Corporations and other Business Enterprises, A/HRC/RES/17/4.
Gaukrodger, David. 2017. “The Balance between Investor Protection and
the Right to Regulate in Investment Treaties: A Scoring Paper”. OECD
Working Papers on International Investment.
Gayton, Jeffrey T. 1997. “From Here to Extraterritoality: The United States Within

PY
and Beyond Borders”. Workpaper in International Studies Association
Conference.
Ing, L.Y. and S. Urata (Eds.). 2015. The Use of FTAs in ASEAN: Survey-based
Analysis (ERIA Research Project Report, No. 2013-5). Jakarta: ERIA.
MAI Negotiating Text CO
Mestre, Frederique. 1999. “Promoting the Unification Process the Publications
of UNIDROIT, International Legal Info”.
OECD Working Papers on International Investment, Indirect Expropriation and
G
Right to Regulate in International Investment Law 2004
Taufiqurrahman. 2008. “Karakter Pilihan Hukum di Bidang Kontrak Jual-Beli
IN

Barang Internasional dalam Kerangka Pembaruan Hukum Nasional”.


Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, Malang.
AD

Tokyo Round Codes


UN Economic and Social Council. 2005. Report of United Nations Commissioner
on Human Rights on the Responsibilities of Transnational Corporations and
related Business Enterprises with regard to Human Rights, E/CN.4/2005/91.
RE

WCO. 2013. Typology Origin Irregularity.

Daftar Pustaka 161


Profil Penulis

Dr. Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., M.A., AWP, CIQnR, CRMO.
Muhammad Reza Syariffudin Zaki adalah Dosen Hukum
Universitas Bina Nusantara (Binus), Sekolah Tinggi Hukum
Militer, IBLAM School of Law, serta Dosen Tamu di Tunghai
University, Taiwan. Penulis menempuh studi S-1 Hukum
Perdagangan Internasional di Universitas Gadjah Mada, S-2
Hubungan Internasional (Diplomasi Perdagangan Dunia)
di Universitas Gadjah Mada, dan S-3 Hukum Perdagangan

PY
Internasional di Universitas Padjadjaran. Penulis menyelesaikan
pendidikan S-3 sebelum usia 30 tahun dengan waktu yang singkat.
Mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM ini pernah menjadi Peneliti di Pusat Studi
Perdagangan Dunia UGM. Penulis juga berpengalaman menjadi Delegasi Harvard
CO
World Model United Nations (HWMUN) Belanda, Stockholm Model United Nations
(SMUN) Swedia, Co-Chairman Indonesia Model WTO, dan Pembicara Simposium
Internasional Southeast Asian Investment Market and Legal System Forum di Taiwan.
Penulis aktif sebagai ahli di Mahkamah Konstitusi RI dan Pengadilan Negeri. Selain
sebagai akademisi, Penulis juga aktif dalam kegiatan sosial menjadi Ketua Yayasan
G
Rumah Imperium dan Koordinator Umum Forum Putra Daerah Membangun yang
tersebar di 34 provinsi. Selain itu, aktif sebagai Pengurus Harian Indonesian Society
IN

of International Law Lecturers (ISILL), Ikatan Auditor Teknologi Indonesia, dan Ketua
Dewan Penasihat Perhimpunan Mahasiswa Fakultas Hukum Seluruh Indonesia
(PERMAHI). Penulis meraih penghargaan, seperti Tokoh Muda versi Koran Media
AD

Indonesia, Tokoh Filantropi Milenial versi Koran TEMPO, Sosok Majalah Garuda
Indonesia, Wakil Rektor Termuda di Indonesia versi Good News from Indonesia,
Rector’s Award Binus University, serta Milenial Inspiration Award dari Universitas
Budi Luhur dan Satyalancana Dwidya Sistha dari Presiden Republik Indonesia.
RE

Penulis juga diliput di sejumlah media, seperti Kompas, Detik, Republika,


Pikiran Rakyat, Liputan6, Kompas TV, DAAI TV, SINDO, Metro TV, TEMPO, Media
Indonesia, Babe, Todayline, dan lain-lain. Penulis menulis sejumlah karya buku, artikel,
prosiding, monograf, hingga jurnal baik nasional maupun internasional terindeks
SINTA dan Scopus. Beberapa karya buku Penulis antara lain: Pemikiran Hukum, Politik,
dan Ekonomi Internasional (Pustaka SAGA); Hukum Pariwisata Syariah di ASEAN,
Hukum Perdagangan Internasional, Pengantar Ilmu Hukum dan Aspek Hukum dalam
Ekonomi (Prenadamedia: Divisi Kencana); Desa Butuh Lo Sob (KPG); dan Percikan
Gagasan Hukum (Business Law BINUS). Penulis memiliki keahlian pada bidang
Hukum Internasional, Hukum Ekonomi/Perdagangan Internasional, Hukum Investasi

162 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Internasional, Hukum Kekayaan Intelektual, Hukum Bisnis, Hukum Perdata Internasional,
Hukum Penyelesaian Sengketa, dan Hukum Korporasi. Penulis juga seorang YouTuber
yang sering mengulas persoalan hukum, politik, ekonomi, kepemimpinan, dan sosial di
“Ruang Zaki Channel”. Penulis dapat dihubungi di alamat email: rezaszaki@gmail.com;
Facebook: Reza Zaki II; Instagram, Tiktok, dan Twitter: @rezaszaki.

Dr. Prita Amalia, S.H., M.H., AIIArb.


Prita Amalia, lahir di Bandung pada tahun 1984, merupakan
Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
sejak tahun 2006. Penulis meraih gelar Doktor pada tahun 2020
dengan predikat cumlaude, dengan disertasi berjudul “Investor
State Dispute Settlement dalam Penyelesaian Sengketa Jaminan

PY
Internasional pada Pesawat Udara untuk Pembangunan Ekonomi
Indonesia”. Jenjang S-1 dan S-2 diselesaikan di Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran dengan predikat cumlaude juga dan
menjadi wisudawan terbaik pada tahun 2005.
CO
Saat ini, Penulis merupakan Dosen pada Departemen Hukum Bisnis Transnasional
dan merupakan Kepala Departemen pada Departemen Hukum Bisnis Transnasional.
Penulis aktif melakukan penelitian dalam bidang Hukum Arbitrase Nasional dan
Internasional, Hukum Penanaman Modal Internasional, Hukum Perdagangan
Internasional, Hukum Ekonomi Internasional, Aircraft Financing based on Cape Town
G
Convention 2001, dan Hukum Infrastruktur khususnya Public Private Partnership
(PPP). Penelitian sering kali dilakukan dengan melibatkan kerja sama dengan instansi
IN

dalam dan luar negeri. Selain mengajar dan meneliti, Penulis juga aktif dalam berbagai
kegiatan organisasi, yaitu di KADIN Indonesia Bidang Perhubungan, Masyarakat
Hukum Udara, University Network for Indonesia Infrastructure Development (UNIID),
AD

dan Perkumpulan Ahli Profesional (PAP) KPBU Indonesia.


Penulis merupakan Tim Panel Ahli Kementerian Perhubungan RI untuk KPBU
Bandar Udara dan tercatat sebagai member dari Institut Arbiter Indonesia (IArbI). Penulis
RE

aktif dalam melakukan beberapa kajian bersama Kementerian Luar Negeri RI dan PT
Penjaminan Infrastruktur Indonesia. Berbagai publikasi baik jurnal maupun buku telah
dihasilkan baik nasional maupun internasional, di antaranya Industri Penerbangan
Nasional, Aspek Hukum Pasca Cape Town Convention 2001 (Penerbit Refika); The
Force Strategic Infrastructure: The Role of Public Private Partnership to Strengthen
Sustainable Development in Indonesia, Indonesia’s Report: The Implementation of
the Cape Town Convention 2001 (Springer); The Development of Private International
Law: A New Concept of Mobile Equipment under the Cape Town Convention 2001;
Third Party in International Commercial Arbitration, Indonesia Perspective.

Profil Penulis 163


Mursal Maulana, S.H., M.H.
Mursal Maulana, memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di
Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala pada tahun 2014
dan menyelesaikan Program Studi Magister Hukum (M.H.) di
Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran pada tahun 2017.
Sejak tahun 2018 sampai sekarang, Penulis menjadi Dosen tetap
di Departemen Hukum Bisnis Transnasional, Fakultas Hukum,
Universitas Padjadjaran dengan mengajar beberapa mata kuliah,
seperti Hukum Perdagangan Internasional, Hukum Penanaman
Modal Internasional, Hukum Kontrak Internasional, Perbandingan Hukum Kontrak,
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta Hukum Ekonomi Internasional.
Selain itu, Penulis juga merupakan Peneliti pada Pusat Studi Hukum Perdagangan

PY
Internasional dan Arbitrase, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran. Berikut adalah
beberapa tulisan yang telah dipublikasi dan konferensi yang telah diikuti.
Buku


CO
“Hukum Perdagangan Internasional dan Fasilitasi Perdagangan” (2020, Keni Media)
“Kompilasi Tulisan Para Arbiter, Akademisi dan Praktisi tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa” (2021, Fikahati Aneska)
Jurnal
G
• “Legal Issues Regarding Imposition of E-Form D as a Basis for Determination of
Preferential Tariff in ATIGA”, Jurnal Perspektif Bea dan Cukai, 4(2), 2020.
IN

• “How International Law Work A Rational Choice Theory”, Padjadjaran Journal of


International Law, 1(1), 2017.
• “Book Review: The International Law on Foreign Investment”, Padjadjaran Journal
AD

of Law, 5(2): 402–407, 2018.


• “UNCITRAL Technical Notes on Online Dispute Resolution as Soft Law Instrument
for Online Dispute Resolution”, Indonesia Arbitratrion Quarterly Newsletter, 13(1),
March 2021.
RE

International Conference
• WTO’s Trade Facilitation Agreement: Challenges & Implementation Problem
in Indonesia: International Law Conference (I-NLAC) 2019, Legal Challenge on
Indistrial Revolution 4.0
• Singapore International Arbitration Centre Academy, Kuala Lumpur, 2019
• Asia Pacific Regional Arbitration Group (APRAG) Conference 2020: “Innovation
and Challenges Facing the Arbitration Industry, Bangkok, 15–17 January 2020.
Kontak: +62-852-75243550 / mursal.maulana@unpad.ac.id

164 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


Dr. Ardiansyah, S.H., M.H.
Informasi Umum
Nama : Ardiansyah
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta/27 Agustus 1980
Pekerjaan : Pejabat Fungsional Ahli Muda
DJBC, Kemenkeu
Dosen STIH IBLAM
(NIDN 9848410021)

Pendidikan Formal
1. Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Jayabaya, 2018

PY
2. Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, STIH “IBLAM”, Jakarta, lulus tahun 2016
3. Program Sarjana Ilmu Hukum Universitas Jakarta, Jakarta, lulus tahun 2013
4. Program Diploma III Keuangan Spesialisai Bea dan Cukai Sekolah Tinggi Akuntansi

CO
Negara (STAN), Jakarta, lulus tahun 2001
5. SMUN 1 Bekasi, Bekasi, lulus tahun 1998
Pengalaman Organisasi/Penugasan
1. Anggota Tim Penyusun dan Pengembangan Desain Pembelajaran dengan Metode
G
Blended Learning Pada Pusdiklat Bea dan Cukai T.A 2019 (Keputusan Kepala
Pusdiklat Bea dan Cukai Nomor:KEP-3/PP.5/2019 tanggal 07 Januari 2019)
IN

2. Peserta Secondment Program Sinergi DJP, DJBC, dan DJA di Lingkungan Kementerian
Keuangan berupa kegiatan magang/internship di Direktorat Keberatan dan Banding,
Direktorat Jenderal Pajak (Surat Perintah Kepala Biro Sumber Daya Manusia
AD

Kementerian Keuangan Nomor Prin-49/SJ.5/2019 tanggal 11 April 2019)


3. Anggota Joint Tim Reformasi Perpajakan dan Penguatan Reformasi Kepabeanan dan
Cukai tahun 2018 (Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KMK-453/KMK.01/2018
tanggal 06 Juni 2018)
RE

4. Mentor Pembinaan Mental pada Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A
Tanjung Priok (Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A
Tanjung Priok Nomor KEP-1014/KPU.01/2020 tanggal 21 Februari 2020)
5. Fasilitator pada Customs Excise English Community (CEEC) pada Kantor Pelayanan
Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok
6. Ikatan Alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (IKANAS-STAN)
7. Asosiasi Dosen ISILL (Indonesian Society of International Law Lecturer)

Profil Penulis 165


Pelatihan dan Lokakarya
1. Pelatihan Brevet Pajak A, B, dan C, Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI), Jakarta, 2020
2. Pelatihan Teknis Ahli Hukum Ahli Hukum Tingkat Lanjutan, Pusdiklat Bea Cukai,
Jakarta, 2020
3. Workshop Penyusunan Konsep Keputusan Keberatan, Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai, 2020
4. Pelatihan Penyusunan Perjanjian Internasional, Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan, Jakarta, 2019
5. Lokakarya Proses Bisnis Perpajakan Khusus Pegawai DJBC, Pusdiklat Pajak, Jakarta,
2019
6. World Customs Organization (WCO) Training on Trainer Expert on Rules Of Origin
(ROO), Bandung, 2018

PY
7. Diklat Legal Drafting, Pusdiklat Keuangan Umum, Jakarta, 2018
8. Workshop on Key Aspects of Good Regulatory Practice, American National
Standards Insitute, Jakarta, 2017;
9. Training of English Trainers (ToT for English Trainers), Pusdiklat Keuangan Umum,
Jakarta, 2017 CO
10. Diklat Legal English, Pusdiklat Keuangan Umum, Jakarta, 2017
11. Revenue Package on Customs Valuation Workshop, Japan Customs, Jakarta, 2016
12. Document Examination: Principles and Application Course, Department of
G
Immigration and Border Protection, Brisbane, Australia, 2016
13. English Language Studies, The University of Queensland, Brisbane, Australia, 2016
IN

14. Authorized Economic Operator Workshop, Japan Customs and Tariff Bureau,
Jakarta, 2014
15. ASEAN Regional Workshop on Customs Valuation and Post Clearance Audit, Jakarta,
AD

2013
16. Customs Valuation Workshop, Japan Customs and Tariff Bureau, Jakarta, 2013
17. Workshop Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2013
Pengalaman Mengajar/Narasumber
RE

1. Mengajar mata kuliah Hukum Internasional, Hukum Pajak, Hukum Perdata


Internasional, dan Transaksi Bisnis Internasional, pada Program S-1 Ilmu Hukum
STIH “IBLAM”, Jakarta, 2016–sekarang.
2. Narasumber/presenter topik “Burden of Proof of Customs Valuation Disputes
in Indonesian Tax Court” pada the 10th UUM International Legal Conference:
“Law, Government and Society: Addressing the Challenges of IR 4.0” on 29th -
30th November 2019 at the Parliament of Malaysia.
3. Mengajar mata pelajaran “Proses Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak”
pada Pada Diklat Teknis Substantif Spesialis (DTSS) Keberatan dan Banding,
Pusdiklat Bea dan Cukai, 2017.

166 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional


4. Mengajar mata pelajaran “Pengantar Teknis Perdagangan Internasional”, dan
“Pengawasan Kepabeanan dan Cukai” pada Program Diploma I Spesialisasi
Kepabeanan dan Cukai, Politeknik Keuangan Negara STAN, 2017.
5. Narasumber pada In-House Training (IHT) Pegawai DJP Direktorat Keberatan
Banding tahun 2019, dengan tema “Proses Bisnis Expor dan Impor”.
6. Narasumber pada Lokakarya Identifikasi dan Klasifikasi Barang Direktorat Audit
Kepabeanan dan Cukai, Pusdiklat Bea dan Cukai, 2018.
7. Mengajar mata pelajaran “Banding dan Gugatan” pada Lokakarya Identifikasi
dan Klasifikasi Barang Direktorat Audit Kepabeanan dan Cukai, Pusdiklat Bea
dan Cukai, 2018.
8. Narasumber pada Program Peningkatan Keterampilan dan Pengetahuan (P2KP)
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tahun 2017 dengan tema “Kapita Selekta

PY
Tugas dan Fungsi Subdit Banding”.
9. Narasumber pada Program Peningkatan Keterampilan dan Pengetahuan (P2KP)
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tahun 2017 dengan tema “Implementasi
Jabatan Fungsional Keberatan Banding DJBC”.
CO
10. Narasumber pada Program Peningkatan Keterampilan dan Pengetahuan (P2KP)
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tahun 2018 dengan tema “Royalty sebagai
Unsur Nilai Pabean (Studi Kasus Pengadilan Pajak)”.
11. Mengajar mata pelajaran “Tinjauan Umum tentang Hukum: Pokok-Pokok Hukum
Pajak” pada Diklat Litigasi, Pusdiklat Keuangan Umum, 2016.
G
12. Mengajar mata pelajaran “Statistik Banding Nilai Pabean, List-List Kasus Nilai
Pabean dan Legal Drafting Perubahan PMK 160” pada Workshop Keberatan dan
IN

Banding, Pusdiklat Bea dan Cukai, 2015.


13. Mengajar mata pelajaran “Statistik Banding FTA, Bedah Kasus Fta Dan Legal
Drafting FTA” pada Workshop Keberatan dan Banding, Pusdiklat Bea dan
AD

Cukai, 2015.
14. Mengajar mata pelajaran “Formal Keberatan, Banding dan Gugatan Gelar Sengketa
Pengadilan Pajak” pada Workshop Keberatan dan Banding, Pusdiklat Bea dan Cukai,
RE

2015.
Publikasi dan Karya Ilmiah
1. “Legal protection and Tax Treaty Position for Tax Payers against Double Taxation
Based on Inviting Laws”. Budapest International Research and Critics Institute-
Journal (BIRCI-Journal), 2022.
2. “A Comparative Study of the Implementation of Alternative Disputes Resolution
(ADR) in Tax and Customs Disputes in Indonesia”. Journal Evidence of Law, 1(1),
55–69, 2022.
3. “Application of the Load of Proof in Customs Value Disputes Reviewing from
Customs Law and Tax Law (Analysis of the Decision of the Supreme Court

Profil Penulis 167


Number 1965/B/PK/PJK/2018)”. Budapest International Research and Critics
Institute-Journal (BIRCI-Journal), 2022.
4. “Mewujudkan Efektifitas Penyelesaian Sengketa Rules of Origin dalam Skema FTA di
Masa Pandemi Covid-19”. Prosiding Konferensi Nasional Hukum Bisnis 2021, 2021.
5. “Implementation of the Beneficial Owner Concept for the Utilization of the
Indonesian-Netherlands Tax Treaty (Study of Tax Disputes Relating to Interest
Payments)”. IBLAM LAW REVIEW, 1(3), 2021.
6. “Kedudukan WTO Valuation Agreement dan Perjanjian Internasional yang Mengatur
Nilai Pabean Ditinjau dari Teori Keberlakuan Hukum”. IBLAM LAW REVIEW, 1(2),
2021.
7. “Redesain Mekanisme Pembuktian Nilai Pabean oleh Administrasi Kepabeanan
sesuai Ketentuan WTO (Studi Sengketa di Pengadilan Pajak)”, IBLAM LAW REVIEW,

PY
1(1), 2021, 115–131.
8. “Burden of Proof of Customs Valuation Disputes in Indonesian Tax Court”. International
Journal of Law, Government and Communication, 5, 2020, 100–111. http://www.
ijlgc.com/PDF/IJLGC-2020-20-09-08.pdf.
CO
9. “BOOK OF EXTENDED ABSTRACTS: THE 10th UUM INTERNATIONAL LEGAL
CONFERENCE 2019 (UUMILC 2019): LAW, GOVERNMENT & SOCIETY:
ADDRESSING THE CHALLENGES OF IR 4.0”
10. Artikel Ilmiah: “Studi Komparatif Hukum Pembuktian di Pengadilan Pajak dan
Peradilan Lainnya: Indirect Evidence sebagai Alternatif Alat Bukti”, Warta Bea Cukai,
G
Edisi December 2014, https://www.beacukai.go.id/berita/warta-bea-cukai-volume-
46-nomor-12-desember-2014.html.
IN

11. Tesis: “Pembuktian Nilai Transaksi Barang Impor dalam Hukum Kepabeanan dan
Hukum Pembuktian di Pengadilan Pajak”, STIH IBLAM, Januari 2016.
AD

Penghargaan/Prestasi
1. Penghargaan World Customs Organization (WCO) Certificate of Merit tahun
2018 diberikan kepada pegawai Bea Cukai yang telah berjasa dalam membuat
sistem yang dapat menumbuhkan ekonomi melalui transparansi aturan yang baik
RE

(Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-227/BC/2018).


2. Lulusan/wisudawan terbaik Program Magister Ilmu Hukum STIH “IBLAM” School of
Law tahun 2016 dengan IPK 3,96.
3. Duta Transformasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tahun 2015 (Keputusan
Dirjen Bea dan Cukai Nomor: KEP-177/BC/2015 tanggal 20 November 2015)
4. Satyalancana Karya Satya 10 Tahun (penghargaan yang diberikan kepada Pegawai
Negeri Sipil yang telah berbakti selama 10 tahun lebih secara terus-menerus dengan
menunjukkan kecakapan, kedisiplinan, kesetiaan, dan pengabdian, sehingga
dapat dijadikan teladan bagi setiap pegawai lainnya) sesuai Keputusan Presiden
RI Nomor KEPPRES RI - 78/TK/TAHUN 2012 tanggal 18 September 2012.

168 Pengantar Hukum Transaksi Bisnis Transnasional

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai