net/publication/368443833
CITATIONS READS
0 46
4 authors, including:
Ardiansyah Ardiansyah
IBLAM School of Law, Jakarta
10 PUBLICATIONS 1 CITATION
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Ardiansyah Ardiansyah on 11 February 2023.
PY
CO
G
IN
AD
RE
RE
AD
IN
G
CO
PY
PENGANTAR HUKUM TRANSAKSI
BISNIS TRANSNASIONAL
PY
CO
Dr. Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., M.A., AWP, CIQnR, CRMO.
G
Dr. Prita Amalia, S.H., M.H., AIIArb.
Mursal Maulana, S.H., M.H.
IN
Dr. Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., M.A., AWP, CIQnR, CRMO.
Dr. Prita Amalia, S.H., M.H., AIIArb.
Mursal Maulana, S.H., M.H.
Dr. Ardiansyah, S.H., M.H.
G
PENGANTAR HUKUM TRANSAKSI
BISNIS TRANSNASIONAL
IN
ISBN 978-623-6232-64-4
©2022
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
TANPA IZIN TERTULIS dari penerbit.
Prakata
PY
Bisnis Transnasional, yang terdiri atas Pengantar Hukum Transaksi Bisnis
Transnasional, Hukum Transaksi Bisnis Transnasional, Sumber Hukum Transaksi
Bisnis Transnasional (termasuk Kontrak Komersial Transnasional), Subjek Hukum
CO
Transaksi Bisnis Transnasional, Perjanjian dalam Bidang Hukum Transaksi
Bisnis Transnasional, Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum
Transaksi Bisnis Transnasional berdasarkan Convention on International Sales
of Goods (CISG) 1980, Aspek Hukum Transnasional dalam Kepabeanan, Konsep
Multimodal Planning sebagai Bentuk Transaksi Bisnis Transnasional, Hukum
G
Transaksi Bisnis Transnasional dan Hak Asasi Manusia, dan Penyelesaian
Sengketa dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional.
IN
Penulis
v
RE
AD
vi
IN
G
CO
PY
Daftar Isi
Prakata ...................................................................................................... v
Daftar Isi...................................................................................................... vii
PY
A. Fakta, Peran, Tantangan, dan Perkembangan Perusahaan
Transnasional serta Pengaturannya di Indonesia.................................... 9
BAB III SUMBER HUKUM TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL........ 21
A. Kontrak. CO
.................................................................................................. 22
B. Kebiasaan-Kebiasaan (Usages) dalam Transaksi Bisnis Transnasional.......... 25
C. Perjanjian Internasional (Multilateral dan Regional)............................... 27
D. Aturan-Aturan yang Dikeluarkan oleh Organisasi Internasional............. 33
G
E. Prinsip-Prinsip Hukum Umum............................................................... 34
BAB IV SUBJEK HUKUM DALAM TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL 35
IN
vii
C. Model Pengalihan Properti dan Fleksibilitas.......................................... 73
D. CISG dan Pengaruhnya dalam Hukum Nasional................................... 75
E. CISG dan Harmonisasi Hukum Regional............................................... 79
F. CISG sebagai Model Harmonisasi Hukum............................................. 85
PY
TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL....................................................... 109
A. Kegiatan Angkutan Multimoda.............................................................. 109
B. Jenis Kegiatan Multimoda...................................................................... 111
CO
C. Elemen Angkutan Multimoda................................................................ 112
D. Peraturan Terkait Angkutan Multimoda................................................. 113
E. Manfaat Angkutan Multimoda............................................................... 113
F. Mata Uang Lokal dalam Transaksi Bilateral........................................... 114
G. National Logistic Ecosystem (NLE)......................................................... 118
G
BAB IX HUKUM TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL DAN
IN
viii
BAB I
PY
PENGANTAR HUKUM TRANSAKSI BISNIS
TRANSNASIONAL
CO
Sebagai bagian pengantar dari buku ini, Penulis akan membahas secara ringkas
mengenai sejarah perkembangan, definisi, dan ruang lingkup Hukum Transaksi
G
Bisnis Transnasional. Dalam tiga dekade belakang ini, transaksi bisnis trans
nasional telah mengalami perkembangan yang signifikan. Terdapat beberapa
IN
regional, dan multilateral. Setiap bentuk kerja sama ini mempunyai tujuan
yang sama, yaitu untuk melancarkan kegiatan bisnis transnasional dan juga
mempercepat proses liberaliasi perdagangan.
Perkembangan tersebut telah menimbulkan tantangan baru dalam
perspektif hukum. Para pembuat kebijakan di setiap negara terus berupaya
untuk memastikan bahwa regulasi yang mengatur transaksi bisnis harus
merepresentasikan kepentingan para pelaku bisnis sehingga dapat memastikan
kegiatan transaksi bisnis berjalan sebagaimana mestinya. Untuk menjawab
tantangan tersebut, dalam beberapa tahun belakangan ini, eksistensi hukum
transaksi bisnis transnasional telah memainkan peranan yang sangat penting.
Ciri khas transaksi bisnis transnasional adalah adanya hubungan bisnis atau
komersial yang dilakukan antarlintas batas negara yang dilakukan oleh pelaku
usaha dengan mengikuti suatu sistem tertentu. Dalam transaksi bisnis transnasional,
eksistensi suatu sistem merupakan patron yang membentuk dan mengarahkan
kegiatan-kegiatan transaksi bisnis transnasional ke dalam tujuan-tujuan tertentu yang
diinginkan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hubungan transaksi bisnis yang
tertib, perlu dibuat aturan-aturan hukum. Landasan utama (rationale) pembentukan
aturan hukum ini adalah untuk menjamin agar transaksi bisnis transnasional
lebih terprediksi, kompetitif, dan tanpa diskriminasi serta berfungsi sebagai acuan
(guidance) yang berlaku secara umum yang harus ditaati, diawasi, dan diberlakukan
secara tegas untuk mengeliminasi dan mengurangi penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi dalam kegiatan transaksi bisnis transnasional.
PY
Dalam sistem ekonomi global dewasa ini, norma-norma hukum transaksi
bisnis transnasional telah memainkan peranan yang sangat penting. Norma-
norma hukum tersebut sering sekali digunakan dalam menyelesaikan permasalah-
permasahan hukum yang timbul dari aktivitas bisnis transnasional. Hal ini
CO
dapat dilihat dari semakin meningkatnya putusan-putusan arbitrase, di mana
para arbiter sering sekali merujuk pada norma-norma hukum transaksi bisnis
transnasional dalam putusan arbitrase. Misalnya, penggunaan ketentuan
UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UNIDROIT
Principles) dalam menafsirkan ketentuan kontrak-kontrak internasional.1 Arbitrase
G
diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat
agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai
IN
sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk
oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.2
Dalam buku ini, Penulis menggunakan terminologi Hukum Transaksi Bisnis
AD
PY
privat (bukan publik) yang mengatur kegiatan transaksi bisnis antarlintas batas
negara (cross-border transaction). Definisi tersebut tidak mencakup aspek-
aspek hukum ekonomi internasional dan perdagangan internasional yang
merupakan cabang dari hukum internasional publik. Hukum Transaksi Bisnis
CO
Transnasional mengatur hubungan transaksi bisnis yang bersifat Business-to-
Business (B2B). Meskipun demikian, subjek Hukum Transaksi Bisnis Transnasional
juga dapat mencakup negara. Dalam hal ini, negara dalam kapasitas sebagai
Jure Gestisionis (tindakan negara dalam aspek hukum privat).
G
3. Lex Mercatoria
IN
Lex Mercatoria atau yang dikenal juga sebagai ius non scriptum (ley merchant
dalam bahasa Inggris, droit de foires dalam bahasa Prancis, dan ius mercatorum
dalam bahasa Italia) merupakan aturan hukum tidak tertulis yang berdasarkan
AD
3 Misalnya, The UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration (1985/2006) yang
dikeluarkan oleh United Nations Comission on International Trade Law (UNCITRAL).
4 Misalnya, Uniform Customs and Practice for Documentary Credits yang dikeluarkan oleh
International Chamber of Commerce (ICC).
5 Misalnya, UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPIIC).
6 Roy Goode, et al., Transnational Commercial Law Text, Cases, and Materials, New York: Oxford
University Press, 2007, hlm. 5.
PY
sehari-hari bagi para praktisi hukum. Namun, untuk menghindari kebingungan,
kita harus secara tegas membedakan dua penggunaan terpisah dari istilah
‘hukum transnasional’.
Pertama, transnational law diartikan sebagai setiap aturan hukum yang
CO
terkait dengan transaksi bisnis yang bersifat transnasional. Dalam arti luas,
Hukum Transnasional (Transnational Law) telah dipopulerkan dan didefinisikan
oleh Philip Jessup sebagai hukum yang mengatur tindakan atau peristiwa
yang melampaui batas negara (all law which regulates actions or events that
G
transcend national frontiers). Dalam pandangannya, Jessup menyatakan bahwa
hukum nasional dan internasional merupakan bagian yang integral karena
IN
subjek hukum ini tidak hanya mencakup negara, tetapi juga non-state actors.9
Pendapat Jessup tidak terlepas dari kritik, sarjana lainnya menyatakan bahwa
hukum nasional dan internasional merupakan dua subjek yang berbeda. Hal
AD
aturan hukum nasional yang berbeda antara satu negara dan negara lain.
Perbedaan ini kemudian dikhawatirkan akan memengaruhi kelancaran
transaksi perdagangan dan hubungan bisnis itu sendiri.10 Roy Goode dalam
7 Berthold Goldman, “The Applicable Law: General Principles of Law—the Lex Mercatoria”,
dalam Contemporary Problems in International Arbitration, hlm. 113 dan 116.
8 Bernardo Cremades & Steven Plehn, “The New Lex Mercatoria and the Harmonization of the
Laws of the of International Commercial Transactions”, 2 B.U. INT’L L. REV, hlm. 32 dan 317.
9 Roger Cotterrell, “What is Transnational Law? Law and Society Inquiry”, Journal of the American
Bar Foundation, Volume 3, Issue 2, 2012.
10 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Rajawali Press, 2018, hlm. 29.
PY
An An Chandrawulan menginisiasi pembentukan Departemen Hukum Bisnis
Transnasional. Berikut ini akan dijabarkan sejarah dan perkembangan Hukum
Transaksi Bisnis Transnasional, mulai dari per kembangan awal Sebelum
Masehi (SM) hingga perkembangan kontemporer di abad ke-21.
CO
1. Sejarah Perkembangan Awal (1900 Sebelum Masehi)
Roy Goode dalam bukunya berjudul Transnational Commercial Law: Text,
Cases and Materials menyatakan bahwa perkembangan hukum transaksi
G
bisnis transnasional sudah berkembang sejalan dengan perkembangan hukum
bisnis, yaitu sejak 1900 SM. Berdasarkan telusuran Goode, perkembangan
IN
dari 1.000 tahun sebelum aturan tersebut digantikan oleh Rhodian Sea Laws
pada abad ke-7 atau 8 SM.
11 Contoh Perjanjian Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional adalah Hague
Visby Rules atau yang dikenal dengan International Convention for the Unification of Certain
Rules of Law relating to Bills of Lading.
PY
pengadilan mereka. Di Inggris, terdapat peraturan yang mengatur kegiatan
perdagangan atau yang dikenal dengan the law of merchant. Namun, hukum
Inggris memberikan kontribusi yang relatif kecil terhadap pengembangan
aturan hukum substantif dan terutama berkaitan dengan aspek prosedural.
PY
ketentuan law of merchant ke dalam sistem hukum nasional. Ketiga,
perkembangan di era modern di mana upaya unifikasi ketentuan-ketentuan
hukum perdagangan inter nasional dan terjadinya evolusi dari the law of
merchant sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan kontemporer. Dalam
CO
fase pertama, the law of merchant bersumber pada kebiasaan-kebiasaan para
pedagang dan tidak melibatkan institusi politik dalam pembentukan norma
tersebut. Aturan kebiasaan para pedagang tersebut berlaku secara universal.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kebiasaan tersebut
G
memiliki karakter transnasional.
Sarjana lainnya yang mencoba untuk menelusuri sejarah perkembangan
IN
kebiasaan dalam kegiatan transaksi bisnis atau yang berkaitan dengan aspek-
aspek komersial (international customs of commercial law). Dalam fase
kedua, Goldman menyatakan bahwa perkembangan hukum transaksi bisnis
transnasional sejalan dengan fenomena Legal Cosmopolitan. Fase ketiga,
perkembangan di awal era modern di mana negara-negara mulai melakukan
kodifikasi hukum, misalnya kodifikasi Colbert di Prancis pada tahun 1673 dan
kodifikasi aspek-aspek perdagangan maritim (maritime commerce) di tahun
1681. Fase keempat, merupakan fase di mana penerapan lex mercatoria yang
13 Dikutip dalam Nikitas E. Hatzimihail, “The Many Lives and Faces of Lex Mercatoria: History as
Genealogy on International Business Law”, Law and Contemporary Problem, 71(3), 2008.
PY
perdagangan, disiplin hukum transaksi bisnis transnasional telah mengalami
pergeseran paradigma. Kenneth C. Randall mengidentifikasi tiga perubahan
paradigma hukum transaksi bisnis transnasional.
1. Hukum transaksi bisnis transnasional tidak lagi bersifat desentralisasi. Dalam
CO
perkembangan tradisional, hukum transaksi bisnis transnasional sering
diidentikkan dengan hukum perdata internasional (private international
law/conflict of law). Pengidentikan tersebut dapat dilihat dari praktik-praktik
yang dilakukan oleh negara-negara terkait penyelesaian sengketa bisnis.
G
Ketika suatu sengketa transaksi bisnis transnasional timbul, pengadilan dari
salah satu pihak yang bersengketa akan menerapkan ketentuan hukum
IN
perdata internasional.
2. Dalam periode transisi menuju perkembangan kontemporer, masyarakat
internasional masih tetap mengakui hukum kebiasaan inter nasional,
AD
transnasional.
3. Perubahan paradigma dari desentralisasi menjadi sentralisasi, masyarakat
internasional cenderung berkerja sama dalam membentuk norma-norma
hukum baru dalam hukum transaksi bisnis transnasional. Beberapa organisasi
internasional yang bertujuan untuk mengharmonisasikan hukum transaksi
bisnis internasional, seperti UNCITRAL dan UNIDROIT telah berhasil
menciptakan norma hukum yang dapat diterima oleh sebagian besar negara
di dunia, seperti Convention in International Sales of Goods 1980.14
14 Kenneth C. Randall & John E. Norris, “A New Paradigm for International Business Transactions”,
Washington University Law Review, Volume 71, Issue 3, 1993
PY
TRANSNASIONALISASI HUKUM TRANSAKSI BISNIS
TRANSNASIONAL DI INDONESIA
CO
A. Fakta, Peran, Tantangan, dan Perkembangan Perusahaan
Transnasional serta Pengaturannya di Indonesia
G
Sebagai sebuah entitas yang berpengaruh secara signifikan dalam pertumbuhan
IN
Di era globalisasi ini, arus perdagangan barang dan jasa tidak hanya
dilakukan di dalam negeri saja, tetapi telah menjangkau transaksi ke seluruh
belahan bumi. Perbatasan negara tidak lagi menjadi hambatan dalam
melakukan transaksi. Kondisi tersebut selanjutnya menuntut para perusahaan
untuk berekspansi bisins tanpa terikat dalam tapal suatu negara (transnational
corporations) atau selanjutnya akan disebut dengan istilah perusahaan
transnasional. Dengan begitu, perusahaan transnasional dapat mengem
bangkan usahanya ke seluruh dunia, salah satunya dengan membuka cabang
perusahaan di negara lain.
PY
Perusahaan transnasional menimbulkan perhatian khusus sehubungan
dengan tren global baru-baru ini, karena mereka aktif di beberapa sektor
ekonomi nasional yang paling dinamis, seperti industri ekstraktif, teknologi
informasi, telekomunikasi, elektronik, pakaian, transportasi, perbankan dan
CO
keuangan, asuransi, dan perdagangan sekuritas.18 Peranannya di beberapa
negara industri dapat dilihat sebagai bentuk menyatunya berbagai ekonomi
serta menambah tingkat kebergantungan negara satu dengan lainnya.19
Sementara, bagi negara berkembang, diperoleh laporan bahwa besaran modal
dari perusahaan transnasional lebih besar apabila dibandingkan dengan modal
G
dari modal domestik dan negara industri.20
Meskipun Indonesia tergolong ke dalam negara berkembang21 dengan total
IN
demografi relatif tinggi atau urutan ke-4 sedunia,22 pasar modal berkembang
AD
16 Juajir Sumardi, Naskah Buku Hukum Perusahaan Transnasional dan Franchise, Jakarta: Arus
Timur, 2009, hlm. 17.
17 Ibid.
18 Khaydarali M. Yunusov et al., “The Roles and Responsibilities of Transnational Corporations with
Regard to Human Rights”, diakses dari https://www.corteidh.or.cr/tablas/r26746.pdf, pada tanggal
RE
PY
penting untuk kemajuan ekonomi negara di mana perusahaan tersebut
beroperasi.
Dalam perkembangannya, beberapa perusahaan transnasional men
jalankan usahanya melalui kantor cabang perusahaan di negara berkembang.
CO
Perusahaan transnasional menjalankan usahanya ke wilayah yang dinilai akan
lebih memberi keuntungan dengan tujuan memperluas wilayah pemasaran,
efisiensi biaya produksi, dan efisiensi upah tenaga kerja.26 Perusahaan trans
nasional beroperasi di dalam wilayah dari beberapa negara dengan tujuan
utama mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena kekuatan modal,
G
teknologi, dan keahlian yang dimilikinya, perusahaan itu dapat bergerak dari
suatu negara ke negara lainnya tanpa dapat dijangkau dengan kekuatan dan
IN
23 Muhammad Reza Syariffudin Zaki, “The Independence of the Trustee as an Organ Formed by the
Public Company”, Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 585, hlm. 607.
24 Muhammad Reza Syariffudin Zaki, Pemikiran Hukum, Ekonomi, dan Politik Internasional,
Surabaya: Pustaka SAGA, 2018, hlm. 136.
25 Sumantoro, Investment Law, Corporation in Investment, and the Indonesian Perspective, Bandung:
Binacipta, 1982, hlm. ix.
26 I Made Udiana, Rekonstruksi Pengaturan Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing, Denpasar:
Udayana University Press, 2011, hlm. 9.
27 Marcel Hendrapati dan Marthen Arie, “Perusahaan Transnasional dan Implikasinya dalam Hukum
Nasional Indonesia”, ERA HUKUM, No. 3, 1995, hlm. 80.
28 Ibid.
PY
Perusahaan transnasional tidak semuanya sejenis, baik dari aspek ukuran
atau sifat usaha. Perusahaan transnasional bidang bisnis ekstraktif mempunyai
sikap dan dampak yang berbeda dengan perusahaan transnasional produksi
barang kapital maupun dengan perusahaan transnasional produksi barang
CO
konsumsi. Dari perspektif tuan rumah, setiap jenis perusahaan transnasional
menjanjikan untung dan rugi yang berbeda.33 Kembali pada persoalan dari
perusahaan transnasional, kehadirannya tidak hanya memberi dampak positif,
tetapi juga dampak negatif, seperti intervensi perusahaan asing mengakibatkan
peraturan perekonomian di negara tempat perusahaan asing didirikan (host
G
country), penggelapan pajak, rusaknya lingkungan hidup, bahkan terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia (HAM).34 Hal-hal tersebut merupakan akibat
IN
dalam cakupan umum, sedangkan secara khusus atau dalam bidang bisnis
ialah menculnya persaingan. Keberadaan perusahaan transnasional pada satu
negara dapat memunculkan persaingan sengit, khususnya bagi pihak produsen
AD
baik antara produsen besar dengan produsen kecil, produsen besar domestik
dengan perusahaan produsen transnasional, dan antara produsen negara
berkembang dengan produsen negara maju. Keadaan demikian pada akhirnya
RE
PY
internasional, perusahaan transnasional akan memiliki legal capacity untuk
mengajukan gugatan, menyelenggarakan dan menciptakan perjanjian,
mempertahankan hak milik, serta memiliki kekebalan dan keistimewaan
(privileges dan immunities).37
CO
Aktivitas penanaman modal di beberapa negara berkembang tidak
dapat dihindarkan dengan alasan kebutuhan akan penanaman modal asing,
faktor pesatnya pertumbuhan perekonomian, serta persaingan perdagangan
internasional. Berkaitan dengan hal tersebut, Ida Bagus Wiyasa Putra
G
berp endapat:38
“Kebutuhan terhadap modal asing merupakan kebutuhan yang tidak dapat
IN
35 Bedjaoui, Menuju Tata Ekonomi Dunia Baru, Jakarta: Gunung Agung, 1985, hlm. 35.
36 Huala Adolf, Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO),
Bandung: Keni Media, 2010, hlm. 6.
37 Ibid., hlm. 647.
38 Ida Bagus Wiyasa Putra, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis
Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2000, hlm. 101.
39 Imam Prihandono, “Status dan Tanggung Jawab Multi-National Companies (MNCs) dalam Hukum
Internasional”, Global & Strategies, Th. II, No. 1, Januari-Juni, 2008, hlm. 71.
PY
suatu negara karena kehadirannya yang bersifat simbiosis mutualisme atau saling
memberi benefit.42 Akan tetapi, pada sisi lainnya, perusahaan transnasional
menjadi aktor pelanggaran hak asasi manusia dalam kegiatan bisnisnya. Hal
ini dikarenakan kegiatan perusahaan selalu berkaitan dengan hajat kehidupan
orang banyak. CO
Aturan dalam menguasasi hak lintas dalam dunia bisnis termasuk bisnis
transnasional dominan atau mayoritas inkonsisten antara satu dan lainnya.
Ditinjau dari aspek teoretis, sangat mungkin bagi negara untuk mengharmonisasi
peraturan atau kebijakan yang berlaku. Contohnya, menyelenggarakan perjanjian
G
multilateral atau memberikan kewenangan terhadap lembaga supranasional
agar mengumumkan seperangkat peraturan yang mengikat,43 karena pada
IN
Namun, ditinjau dari aspek praktis, langkah tersebut terhalangi karena tidak
sedikit negara kebangsaan taat pada hak kedaulatan masing-masing untuk
berkepentingan dengan perusahaan asing jika dinilai memang perlu. Terlebih,
RE
40 Muhadi Sugiono, Kritik Antonia Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta: Putraka
Pelajar, 1999, hlm. 4–7.
41 Imam Prihandono, Loc.Cit.
42 Lubis dan M. Buxbaum, Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang, Jakarta:
Yayasan Obor, 1986, hlm. 118.
43 Kuiin, Perusahaan Transnasional, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 175.
44 Muhammad Reza Syariffudin Zaki, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Kencana, 2021,
hlm. 17.
45 Kuiin, Loc.Cit.
PY
Transnational Corporations akan mengikat sebagai hukum (legally binding)
jika digunakan oleh hakim sebagai dasar hukum dalam memecahkan
sengketa internasional terkait perusahaan transnasional. Dengan kata lain,
tidak berkekuatan mengikat secara langsung, tetapi berkekuatan secara tidak
CO
langsung dan lebih berperan dalam membentuk unsur psikologis dalam hukum
kebiasaan internasional.47 Walaupun code of conduct ini tidak mempunyai
kekuatan mengikat, tetapi tidak berarti code of conduct ini tidak mempunyai
arti. Code of conduct dapat mempunyai arti sebab tidak sepenuhnya bergantung
pada masing-masing negara dan juga para pengusaha masing-masing negara.
G
Misalnya, code of conduct dari Organization of Economic and Development
(OECD) yang dianggap baik oleh banyak negara, maka hal ini dapat menjadi
IN
itu. Jika perusahaan tersebut tunduk secara sukarela pada peraturan dari code
of conduct dan pada suatu waktu timbul masalah, maka paling tidak, salah
satu keputusan pengadilan di negeri Belanda dapat digunakan sebagai suatu
RE
PY
hukum, globalisasi berhasil menimbulkan benturan antara hukum negara
pada satu sisi dengan hukum transnasional pada sisi lainnya. Oleh karena itu,
harmonisasi hukum nasional terhadap dinamika perkembangan hukum global
bersifat wajib dan bulat.55 Sebagai akibat dari proses globalisasi, meningkatnya
CO
pergaulan, dan perdagangan internasional, terdapat beberapa peraturan
hukum asing atau yang bersifat internasional akan dicantumkan dalam hukum
nasional suatu negara, khususnya pada kaidah hukum transnasional akan
lebih cepat diterima sebagai hukum nasional, karena hal tersebut merupakan
aturan main dalam berkomunikasi dengan perekonomian global. Dampaknya,
G
semakin mengikuti perkembangan global, maka hukum nasional akan semakin
menunjukkan sifat yang lebih transnasional, sehingga perbedaan dengan
IN
sistem hukum lain atau ciri khas negara akan semakin berkurang.56
Hukum komersial internasional sebagai pengungkit yang menyusun ulang
keadilan dalam bidang sengketa transnasional.57 Walaupun penerapan hukum
AD
50 Ibid.
51 David D. Caron et al., Practising Virtue: Inside International Arbitration, Oxford: Oxford University
Press, 2015, hlm. Pendahuluan.
RE
52 Peer Zumbansen, “Piercing the Legal Veil: Commercial Arbitration and Transnational Law”,
European Law Journal, 8(3), 2002, hlm. 422.
53 Thomas Stipanowich, “Reflections on the State and Future of Commercial Arbitration: Challenges,
Opportunities”, Juris legal Information Arbitration Law, 25(3–4), 2014, hlm. 363-366.
54 Shahla F. Ali, Loc.Cit.
55 Aditya Yuli Sulistyawan, “Urgensi Harmonisasi Hukum Nasional terhadap Perkembangan Hukum
Global Akibat Globalisasi”, Jurnal Hukum Progresif, 7(2), Oktober 2019, hlm. 172.
56 Supriyono, “Pengaruh Globalisasi terhadap Pembangunan Hukum dan Tantangan di Era Revolusi
Industri”, Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB, hlm. 112.
57 Ives Dezalaydan Bryant G. Garth, Dealing in Virtue. International Commercial Arbitration and
The Construction of a Transnational Legal Order, Chicago: The University of Chicago Press,
1996, hlm. 126.
PY
keputusan atau daftar kodifikasi yang statis atau terbuka. Dari perspektif ‘metode’
menunjukkan bahwa isi hukum transnasional berasal dari analisis hukum
komparatif, sehingga mengarahkan untuk menyelesaikan sengketa kepada
aturan yang paling banyak diterima.61 Pada akhirnya, hukum transnasional yang
CO
disaring melalui metode ini melakukan fungsi yang sangat mirip dengan sistem
hukum yang asli,62 yaitu yang terdiri atas empat karakteristik, yakni kelengkapan,
terstruktur, kemampuan untuk berkembang, dan prediktabilitas.63
Lebih lanjut, terkait perkembangan transaksi bisnis lintas batas, seiring
dengan era globalisasi, pada faktanya cukup berpengaruh terhadap pemerintah
G
saat hendak menentukan arah kebijakan. Hal tersebut terlihat dari ketentuan
kebijakan transfer pricing dan customs valuation yang berlaku pada setiap
IN
negara. Selain itu, dua hal tersebut memang merupakan aspek yang akan
timbul saat perusahaan transnasional bertransaksi lintas batas. Selain itu,
implementasi kebijakan khusus oleh satu negara pada skala nasional terkait
AD
59 Uwe Blaurock, “The Law of Transnational Commerce”, dalam Franco Ferrari (ed), The Unification
of International Commercial Law, 1998, hlm. 9.
60 Andreas F. Lowenfeld, “Lex Mercatoria: An Arbitrator’s View”, dalam Thomas E. Carbonneau (ed),
“Lex Mercatoria and Arbitration”, Kluwer Law International, 1998, hlm. 82.
61 Emmanuel Gaillard, “Transnational Law: A Legal System or a Method of Decision-Making”,
dalam Klaus Peter Berger (ed), “The Practice of Transnational Law”, Kluwer Law International,
2001, hlm. 57.
62 Ibid., hlm. 65.
63 Ibid., hlm. 59.
64 Cindy Kikhonia Febby, “Relasi Antara Transfer Pricing dan Customs Valuation”, 2017, diakses
dari https://news.ddtc.co.id/relasi-antara-transfer-pricing-dan-customs-valuation-9739, pada tanggal
23 Mei 2022 pukul 17:56 WIB.
PY
menerbitkan panduan “WCO Guide to Customs Valuation and Transfer Pricing”
yang bertujuan membantu otoritas bea cukai dalam penentuan kebijakan
penilaian pabean serta memberi penjelasan dalam rangka navigasi hubungan
antara transfer pricing dengan customs valuation. Selain itu, panduan WCO
yang pasti akan mengakomodir peraturan dan proses yang rasional, mengikuti
aturan dan prosedur normatif, dikembangkan dari aturan itu sendiri, dan tidak
mengikuti kehendak para pihak pelaksana hukum. Salah satu prinsip yang
AD
hakiki dari hukum yang pasti adalah menyediakan tolak ukur objektif, berupa
norma yang jelas dan tegas, yang mana arti, makna, dan maksudnya dapat
dipastikan secara intersubjektif.65
RE
PY
individu harus dipertimbangkan baik dari sudut pandang kegiatan utama
organisasi-organisasi ini maupun dari sudut pandang sifat produk dan volume
keluarannya. Tindakan legislatif dari satu negara bagian dapat mengizinkan
pelepasan dan distribusi jenis produk tertentu dan juga melarangnya. Misalnya,
CO
perusahaan Amerika “Philip Morris International” tidak memiliki kantor
perwakilan di Norwegia, di mana undang-undang paling ketat di dunia tentang
merokok, serta produksi dan distribusi produk tembakau. Oleh karena itu,
kegiatan perusahaan di negara-negara di mana ia memiliki anak perusahaan
atau perusahaan manufaktur harus dipertimbangkan dalam hal kepatuhan
G
terhadap hukum negara-negara tersebut.67
Di Indonesia sendiri, terdapat Undang-Undang No. 25 Tahun 2007
IN
PY
daya manusia khusus tenaga kerja Indonesia. Selain itu, sudah sewajibnya
perusahaan transnasional yang beroperasi di Indonesia melakukan pembinaan
dan pembimbingan terhadap perusahaan lokal melalui program tanggung
jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) sebagaimana telah
PY
SUMBER HUKUM TRANSAKSI
BISNIS TRANSNASIONAL
CO
Dalam bab ini, Penulis akan membahas sumber hukum transaksi bisnis
transnasional. Sebelum mengidentifikasi apa saja yang menjadi sumber hukum
G
transaksi bisnis transnasional, terlebih dahulu kita harus memahami pengertian
sumber hukum itu sendiri. Profesor Mochtar Kusumaatmadja mendefinisikan
IN
74 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni,
2003, hlm. 113.
pilihan hukum yang dipilih oleh para pihak. Pendekatan tradisional ini dirasakan
tidak lagi dapat menjawab permasalahan hukum kontemporer, sehingga dirasakan
perlunya suatu pendekatan yang lebih luas. Pendekatan tradisional dirasakan
sangat sempit, sehingga tidak dapat memberikan pilihan bagi para hakim dan
arbitrator dalam menentukan sumber hukum yang digunakan dalam sengketa-
sengketa transaksi bisnis transnasional. Setidaknya, terdapat lima sumber hukum
utama hukum transaksi bisnis transnasional, yaitu:
1. kontrak,
2. kebiasaan-kebiasaan (usages) dalam transaksi bisnis transnasional,
3. perjanjian internasional (multilateral dan regional),
4. aturan-aturan yang dikeluarkan oleh organisasi internasional, dan
5. prinsip-prinsip hukum umum.
PY
Hukum transaksi bisnis transnasional merupakan konvergensi dari beberapa
sistem hukum nasional. Meskipun demikian, sumber hukum transaksi bisnis
transnasional tidak hanya berasal dari produk legislasi maupun yurisprudensi-
CO
yurispridensi. Terkait sumber hukum, terdapat suatu pertanyaan mendasar,
apakah sumber hukum transaksi bisnis transnasional bersifat otonom atau
hanya sumber hukum yang dipilih para pihak semata? Roy Goode menyatakan
bahwa sumber hukum transaksi bisnis transnasional sangat bervariasi dari
setiap negara. Berikut ini adalah beberapa sumber hukum transaksi bisnis
G
transnasional.
IN
A. Kontrak
Kontrak merupakan sumber hukum terpenting dalam hukum transaksi bisnis
transnasional. Black’s Law Dictionary mendefinisikan kontrak sebagai “An
AD
dan kontrak internasional. Kontrak nasional tidak lain adalah kontrak yang
dibuat oleh dua individu (subjek hukum) dalam suatu wilayah negara yang tidak
ada unsur asingnya. Sedangkan, kontrak internasional adalah suatu kontrak
yang di dalamnya ada atau terdapat unsur asing (foreign element).76 Dalam
bisnis transnasional, kontrak memiliki peranan yang penting. Peran ini tampak
dari semakin meningkatnya transaksi dagang yang dewasa ini sudah lintas
75 Black’s Law Dictionary, St. Paul Minn, West Publ. (5th edition), 1949, hlm. 291–292.
76 Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional (Edisi Revisi), Bandung: Refika Aditama,
2010, hlm. 1.
PY
buatnya, kontrak terdiri atas Busines to Business (B2B) Contract, Business to
Consumer (B2C) Contract, dan Consumer to Consumer (C2C ) Contract.78
kontrak bilateral dan unilateral. Kontrak bilateral adalah kontrak yang bersifat
resiprokal dan kontrak unilateral adalah kontrak yang mana salah satu pihak
tidak dibebankan kewajiban untuk melakukan sesuatu.
AD
Terdapat beberapa prinsip dasar dalam hukum kontrak, antara lain sebagai
berikut.
RE
77 Ibid., hlm. 2.
78 Jan M. Smiths, Contract Law: A Comparative Introduction, Cheltenham: Edward Elgar Publishing,
2014, hlm. 6.
PY
3. Prinsip Informality
Prinsip ini adalah manifestasi dari ketentuan yang menyatakan bahwa kontrak
tidak harus selalu dalam bentuk tertulis. Jika para pihak telah menyatakan
CO
bahwa mereka akan mengikatkan diri berdasarkan niat mereka semata tampaknya
cukup dan pada prinsipnya tidak perlu membuat kontrak secara tertulis dengan
mengunjungi notaris ataupun menghadirkan para saksi.79
proses negosiasi, para pihak terikat pada prinsip iktikad baik. Dalam sistem
hukum Inggris, misalnya, selama kontrak belum ditandatangani, para pihak
tidak terikat satu sama lain dan tidak memiliki kewajiban apa pun terhadap
pihak lainnya.80
5. Prinsip Resiprositas
Prinsip ini mensyaratkan bahwa para pihak dalam kontrak harus melaksanakan
hak dan kewajibannya masing-masing secara timbal balik. Menurut prinsip
PY
bisnis transnasional. Badan peradilan dan juga forum arbitrase cenderung
merujuk pada ketentuan kontrak yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa
untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Oleh karena itu, tidaklah
pihak dengan tegas menyatakan secara tertulis. Ketentuan tersebut secara tegas
diatur dalam Pasal 9 Convention on International Sales of Goods (CISG) berikut.
AD
Article 9
(1) The parties are bound by any usage to which they have agreed and by any practices
which they have established between themselves.
(2) The parties are considered, unless otherwise agreed, to have impliedly made
RE
applicable to their contract or its formation a usage of which the parties knew
or ought to have known and which in international trade is widely known to, and
regularly observed by, parties to contracts of the type involved in the particular
trade concerned.
Berdasarkan hukum Indonesia, kebiasaan-kebiasaan yang berkembang
dari kegiatan transaksi bisnis transnasional juga telah diakui eksistensinya.
Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUHPerdata mengakui dengan tegas kekuatan
81 Larry A. DiMatteo, International Business Law and the Legal Environment: A Transactional
Approach, New York: Routledge, 2017, hlm. 7.
PY
hukum, tetapi harus dimasukkan dengan referensi tegas dalam letter of credit
komersial.
2. INCOTERM 2000
CO
Incoterms atau International Commercial Terms adalah istilah-istilah (seperangkat
kode tiga huruf) yang digunakan dalam perdagangan internasional untuk mengatur
agar tidak terjadi kesalahan interpretasi dalam pembuatan kontrak. Dalam
Incoterms ini, diatur syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengiriman atau
penyerahan barang.82 Berikut ini adalah beberapa istilah Incoterm yang sering
G
digunakan.
IN
F FCA Free Carrier Penjual menyerahkan barang yang sudah mendapat izin
ekspor kepada pengangkut yang ditunjuk pembeli di
tempat tujuan (sebutkan nama tempat)
FAS Free Alongside Penjual menyerahkan barang yang sudah mendapat izin
RE
PY
Dikeluarkan oleh FIDIC83
Federasi Insinyur Konsultasi Internasional, atau lebih dikenal sebagai FIDIC,
dibentuk pada tahun 1913 di Belgia. FIDIC telah lama terkenal dengan bentuk
(1995).
Pelaku bisnis dapat menghindari kesalahpahaman dengan mengikuti
AD
PY
internasional, Konvensi Wina 1986 tentang perjanjian internasional dan
organisasi internasional, dan Konvensi Wina 1978 tentang suksesi negara
terkait perjanjian internasional. Perjanjian internasional dianggap sebagai
sumber hukum terpenting. Dengan kata lain, dalam praktik negara-negara dewasa
CO
ini, tidak dapat disangkal lagi bahwa perjanjian internasional telah menduduki
tempat utama sebagai sumber hukum formil dari hukum internasional.87 Pasal 2
ayat (1) Vienna Convention on the Law of Treaties of 1969 (VCLT) mendefinisikan
perjanjian internasional sebagai:
G
““Treaty” means an international agreement concluded between states in written
form and governed by international law, whatever embodied in a single instrument or
IN
84 David R. Sotomonte, “The UN Convention on Contracts for the International Sale of Goods &
International Commercial Arbitration”, Revist@ e-mercatoria, 1(2), 2002.
85 Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa sumber hukum terdiri atas sumber hukum materil
dan sumber hukum formil. Dalam arti materil, sumber hukum mempersoalkan apa penyebab
hukum mengikat atau dasar berlakunya hukum. Dalam konteks hukum internasional, sumber
RE
hukum materil menyelidiki masalah apa yang pada hakikatnya menjadi dasar kekuatan mengikat
hukum internasional. Sumber hukum materil merupakan soal ekstra yuridis, yakni pada hakikatnya
merupakan persoalan falsafah. Sedangkan, dalam arti formil, sumber hukum diartikan sebagai
yang memberikan jawaban kepada pertanyaan di mana kita mendapatkan ketentuan hukum
yang dapat diterapkan sebagai suatu kaidah dalam satu persoalan yang konkret. Lihat dalam
Mochar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni,
2003, hlm. 113–114.
86 Dalam hukum internasional, perjanjian internasional mempunyai sebutan yang beragam, mulai
dari Treaty, Convention, International Agreement, Pact, General Act, Charter, Statute, Declaration,
dan Convenant.
87 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni, 2000, hlm. 2.
PY
Undang No. 24 Tahun 2000, yaitu:
a. Perjanjian tersebut harus berkarakter internasional (an international agreement).
b. Perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional
CO
(by subject of international law).
c. Perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional (governed by
international law).90
Secara umum, perjanjian internasional terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu
G
perjanjian multilateral, regional, dan bilateral. Perjanjian internasional mengatur
berbagai aspek hubungan antarnegara, mulai dari hubungan diplomatik, konsuler,
IN
88 Indonesia tidak meratifikasi VCLT 1969, tetapi norma yang terkandung dalam VCLT merupakan
derivasi dari hukum kebiasaan internasional (Customary International Law).
89 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
90 Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia,
Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 19–20.
91 Ibid., hlm. 80–82.
PY
instrumen hukum yang bersifat fakultatif (facultative instrument). Bentuk
kedua dari kategori sumber hukum ini sering disebut sebagai Soft Law atau
Model Law. Instrumen hukum tersebut tidak mengikat secara hukum, sehingga
tidak membutuhkan ratifikasi. Meskipun tidak mempunyai kekuatan hukum
CO
mengikat, sumber hukum ini telah banyak diadopsi oleh beberapa negara
guna melakukan pembaharuan hukum domestiknya. Contoh dari instrumen
tersebut adalah UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration
(1985).
Berikut ini adalah beberapa perjanjian internasional yang menjadi sumber
G
hukum transaksi bisnis transnasional.
IN
92 Ibid., hlm. 78. Profesor Huala Adolf selanjutya menyatakan bahwa selain dengan menandatangani
dan meratifikasi, terdapat cara lainnya bagi suatu negara untuk terikat kepada suatu perjanjian
internasional, yaitu melalui penundukan secara diam-diam. Biasanya, penundukan diri secara
diam-diam dilakukan antara lain karena negara tersebut tidak ingin secara tegas terikat terhadap
suatu perjanjian internasional (misalnya, RI yang tidak meratifikasi VCLT, tetapi Undang-Undang
No. 24 Tahun 2000 sebagian besar muatannya sama dengan Konvensi Wina tersebut). Akan
tetapi, penundukan secara diam-diam tidak akan berlaku apabila perjanjian internasional tersebut
secara tegas mensyaratkan demikian.
PY
dari kontrak.
d. Bagian IV mengatur tentang ketentuan penutup.
Indonesia sampai saat ini belum menjadi peserta CISG. Ratifikasi CISG
dirasakan dapat memberikan beberapa keuntungan, antara lain sebagai berikut.
CO
a. Banyak norma dan standar CISG yang belum terintegrasikan ke dalam
hukum Indonesia, padahal CISG secara de facto sudah menjadi “hukum
dagang internasional”. Indonesia belum memiliki hukum nasional tentang
kontrak dagang internasional; hukum jual beli yang termuat dalam
G
KUHPerdata belum siap menghadapi problem-problem berkaitan dengan
perdagangan internasional yang begitu kompleks.
IN
b. Ditinjau dari keluasan dan kedalaman substansi yang diatur di dalam CISG
mengenai kontrak jual beli barang internasional, maka ratifikasi atau aksesi
Indonesia pada CISG dapat berdampak positif, khususnya sebagai sumber
AD
93 Hikmahanto Juwana, Naskah Akademik tentang Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Kontrak Jual Beli
Barang Internasional (United Nations Convention on Contracts for International Sales of Goods),
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2013, hlm.
5-6
PY
a. Pasal 1: ruang lingkup berlakunya konvensi.
b. Pasal 2: keharusan suatu perjanjian abitrase (arbitration clause) dalam bentuk
tertulis.
c. Pasal 3: kekuatan mengikat putusan arbitrase asing.
CO
d. Pasal 4: syarat untuk mendapatkan pengakuan dan pelaksanaan.
e. Pasal 5: prosedur penolakan terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase.
f. Pasal 6: penundaan putusan.
g. Pasal 7: status konvensi terhadap perjanjian arbitrase lainnya.
G
h. Pasal 8–16: ketentuan penutup.
IN
PY
berkembang dan lebih tersistematis.
Dilip K. Das menyatakan bahwa perjanjian internasional regional dan
bilateral yang mengatur hubungan transaksi bisnis97 telah berkembang sejak
abad ke-16, yaitu ketika proposal penyatuan antara Inggris dan Skotlandia
CO
dibuat pada tahun 1547–1548. Selain itu, di Prancis, pembentukan Customs
Union di antara provinsi-provinsi dibentuk berdasarkan “Revoluntary
Government” pada tahun 1789–1790. Di Jerman, Zollverein dibentuk pada
tahun 1833–1834. Begitu juga halnya di Swiss, pada tahun 1860–1866,
Konfederasi Swiss dan Italia membentuk Custom Union yang kemudian
G
disusul oleh beberapa negara Eropa lainnya, seperti Custom Union antara
Norwegia dan Swedia (1874–1875), juga antara negara-negara Benelux (Belgia,
IN
97 Dilip K. Das menggunakan istilah RIA (Regional Integration Agreement) sebagai padanan kata
PTAs:
“RIA basically and traditionally implies discriminatory trade liberalization. Two or more economies,
under an RIA, can decide to lower trade barriers against one another vis-à-vis the rest of the
global economy. This could be variously described as preferential trade agreement, or reciprocal
preferential arrangement, or discriminatory trading arrangement”.
PY
modern. Prinsip hukum umum misalnya pacta sunt servanda, bona fides
(iktikad baik), rebus sic stantibus, dan adimplenti non est adiplendum yang
dikenal dalam hukum perjanjian.98
CO
G
IN
AD
RE
PY
SUBJEK HUKUM DALAM TRANSAKSI BISNIS
TRANSNASIONAL
CO
A. Subjek Hukum dalam Transaksi Bisnis Transnasional
G
Transaksi bisnis transnasional memberikan pengaruh ataupun dilakukan oleh
setiap orang dewasa ini. Berbagai produk yang digunakan oleh masyarakat
IN
saat ini tidak terlepas dari adanya transaksi bisnis transnasional yang terkadang
tanpa adanya suatu hubungan langsung antarinvididu, tetapi dilakukan oleh
beberapa perusahaan sebagai subjek hukum dalam transaksi bisnis trans-
AD
nasional. Misalnya saja, jual beli barang elektronik dari suatu brand terkenal
di luar negeri. Untuk sampai ke Indonesia, perusahaan yang memproduksi
barang tersebut bekerja sama dengan perusahaan lain yang berperan sebagai
distributor.
RE
PY
yaitu peran subjek hukum transnasional.100 Aktivitas negara dalam melakukan
perundingan-perundingan inter nasional telah menghasilkan berbagai per
janjian internasional yang jumlahnya semakin banyak, khususnya perjanjian
internasional yang berkaitan dengan aktivitas perdagangan dan ekonomi
CO
internasional. Negara sebagai subjek hukum yang sebenarnya menurut paham
klasik101 memiliki peran yang sangat besar dalam membuat berbagai perjanjian
99 Ruang lingkup hukum transaksi bisnis transnasional dan juga peran dari subjek hukum transaksi
bisnis transnasional ini terilhami dari salah satu paragraf dalam bab yang berjudul “The Actors:
G
The Nations and Institutions of International Business” dari buku karya Ralph H. Folsom et al.,
International Business Transaction: A Problem Oriented Coursebook, Saint Paul: West Academic
IN
Sunaryati Hartono, di bawah bimbingan Mochtar Kusumaatmadja, terdapat salah satu bagian
menarik mengenai perdebatan penggunaan istilah transnasional dan internasional terhadap suatu
permasalahan hukum yang dibahas, yaitu berkaitan dengan penanaman modal. Penanaman
modal merupakan salah satu bidang hukum yang memiliki karakteristik peristiwa hukum yang
melintasi batas-batas negara sehingga memiliki karakteristik “transnasional”. Namun demikian,
RE
dalam diskusi yang terjadi, Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa pendekatan yang
diberikan oleh Phillip Jessup mengenai transnasional terhadap suatu permasalahan tidak hanya
hukum internasional tetapi juga hukum nasional, serta tidak ada pembedaan antara hukum publik
dan privat. Namun, Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa untuk beberapa kondisi, tetap
perlu dibedakan untuk hukum internasional. Dengan demikian, dengan diskusi tersebut, berkaitan
dengan subjek hukum internasional merupakan subjek hukum transnasional, yang mungkin dalam
beberapa aspek memungkinkan adanya peran dari lebih satu subjek hukum khususnya dalam
permasalahan-permasalahan lintas batas negara. Lihat Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah
Transnasional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1972.
101 Lihat Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni,
hlm. 95–98. Negara merupakan subjek hukum internasional yang terutaman, negara dewasa ini
tidak merupakan satu-satunya subjek hukum internasional. Subjek hukum dalam pengertian hukum
PY
dari hukum internasional,103 beberapa literatur telah mempertimbangkan
untuk mengakui perusahaan transnasional sebagai subjek hukum ekonomi
internasional.
CO
internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Jika
ingin subjek hukum internasional demikian dapat disebut sebagai subjek hukum internasional
penuh. Negara merupakan subjek hukum internasional dalam arti ini. Negara adalah subjek hukum
internasional dalam arti yang klasik dan telah demikian sejak lahirnya hukum internasional. Dalam
kebanyakan buku hukum internasional, beberapa subjek hukum selain negara yang diberikan
G
penjelasan di antaranya Individu, Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, organisasi
internasional, pemberontak, dan pihak dalam sengketa. Walaupun individu dimasukkan sebagai
IN
subjek hukum internasional, tetapi masih terdapat perdebatan untuk memasukkan perusahaan
transnasional sebagai subjek hukum internasional.
102 Istilah yang digunakan untuk perusahaan transnasional masih beragam, tidak hanya perdebatan
mengenai transnasional atau multinasional saja. Beberapa sarjana juga menggunakan istilah yang
AD
PY
Berbeda dengan Huala Adolf, Fleur John melalui artikelnya yang berjudul
Invisibility of Transnational Corporation, yang selalu menjadi rujukan
Penulis dalam membahas perusahaan transnasional di berbagai kesempatan,
memberikan lebih dari satu peran dan kedudukan bagi perusahaan transnasional
CO
selain sebagai subjek hukum. Perusahaan transnasional juga berkedudukan
sebagai objek hukum dan juga sebagai peninjau dalam berbagai kebijakan atau
kegiatan yang dilakukan oleh organ-organ dalam organisasi internasional.106
Salah satunya karena terdapat beberapa peraturan yang dihasilkan oleh
organisasi internasional tersebut yang mengatur atau bersinggungan dengan
G
aktivitas perusahaan transnasional. Bahkan, dalam perkembangannya, perusahaan
transnasional juga memiliki kesempatan untuk hadir dalam berbagai perundingan
IN
104 Lihat Huala Adolf, Op.Cit., hlm. 62. Dalam memberikan batasan mengenai perusahaan
RE
PY
negara, sehingga dikenal dengan istilah “multinational” atau “transnational”.
Istilah multinasional sampai saat ini belum ada definisi yang jelas. Salah satu
definisinya adalah perusahaan yang berada di suatu negara tetapi memiliki
cabang, subsidiaries, ataupun afiliasinya di negara lain. Namun demikian,
CO
terdapat juga penjelasan lain mengenai multinational, yaitu harus adanya
kontrol dari lembaga atau perusahaan bisnis yang masuk dalam kategori
foreign business. Dengan demikian, terhadap perusahaan yang berada di suatu
negara saja tanpa adanya kontrol dari pihak lain, tetapi dia mendistribusikan
G
barangnya ke luar negeri, yang demikian tidak dapat dikatakan sebagai
perusahaan multinasional. Batasan lainnya yang dapat digunakan adalah
IN
108 Ralph H. Folsom, et al., International Business Transaction: A Problem Oriented Coursebook, Op.Cit.,
hlm. 12.
PY
menggunakan istilah transnational corporations atau perusahaan trans
nasional, yaitu sebagai perusahaan yang ada di dua atau lebih negara yang
menjalankan aktivitasnya di bawah pembuat keputusan dan antara satu dengan
CO
yang lainnya berpotensi memberikan pengaruh terhadap aktivitas yang lain,
khususnya berbagi pengetahuan, sumber daya, dan tanggung jawab.110
“The term transnational corporation means an enterprise, conprising entities in two
or more countries, regardless of the legal form and fields of activity of there entities,
which operates under a system a decision making, permitting coherent polities and a
G
common strategy through one or more decision making countries, in which the entities
are so linked, by ownership or otherwise, that one or more of them may be able to
IN
exercise a significant influence over the activities of others, and in particular to share
knowledge, resources, and responsibilities with the others.”
AD
and influence.111 Barcelona Traction, Light and Power Case merupakan salah
satu kasus yang dapat digunakan untuk menunjukkan sejauh mana kedudukan
perusahaan transnasional. Dalam kasus ini, perusahaan transnasional dianggap
PY
perusahaan dan kewarganegaraan dari pemiliki modal adalah sama-sama
tidak memiliki kapasitas untuk melaksanakan kewenangannya berdasarkan
hukum internasional. Hal inilah yang terkadang menjadi alasan dan dorongan
bagi perusahaan transnasional untuk membuat suatu peraturan yang bersifat
CO
global. Memberikan suatu kebebasan yang global terhadap perusahaan trans
nasional akan membuat suatu negara menjadi tidak mau dan tidak mampu
untuk melaksanakan kontrolnya terhadap perusahaan transnasional. Dengan
alasan dan kondisi tersebut, maka perusahaan transnasional dianggap sebagai
warga dari suatu negara secara terbatas, baik secara praktik maupun teori.112
G
Lebih lanjut, Fleur John juga berpendapat bahwa perusahaan trans
nasional itu tidak lebih dari suatu objek hukum, bukan subjek hukum. Hal ini
IN
PY
1. The OECD Code
Pada 21 Juli 1976, pemerintah dari beberapa negara anggota OECD
mendeklarasikan “Guidelines for Multinational Enterprises” dan tiga keputusan
CO
lainnya yang dikeluarkan oleh OECD Council, di antaranya berkaitan dengan
Decision on Inter-governmental Consultative Procedure in the Guidelines for
Multinational Enterprises. Panduan ini berisi hal-hal umum dan tidak terbatas
pada aktivitas multinational enterprises. Pada 13 Juli 1979, mereka melakukan
revisi untuk pertama kalinya, khususnya mengenai prosedur konsultasi.
G
2. The ILO Code
IN
mana MNE dapat melakukan percepatan ekonomi dan sosial, juga mengurangi
dan menyelesaikan segala permasalahan yang ada.
113 Pieter Sanders, “Implementing International Codes of Conduct for Multinational Enterprises”,
American Journal Comparative Law, 1982, hlm. 241–242. Berbagai tulisan mengenai perusahaan
transnasional sebagai subjek hukum sudah sering dilakukan sebagai salah satu fenomena yang
berkembang secara global. Pada tahun 1970, tidak hanya tulisan dalam bentuk artikel, buku,
perjanjian internasional, atau yang lainnya, tetapi penyusunan codes of conduct yang berlaku
bagi perusahaan transnasional menjadi sesuatu hal yang banyak dilakukan. Lihat Seymour
J. Rubin, “Transnational Corporations and International Codes of Conduct: A Study of the
Relationship between International Legal Cooperation and Economic Development”, Am. UL
Rev, 1981, hlm. 903.
4. The UN Code
Penyusunan UN Code telah dilakukan sejak tahun 1977. Sama halnya
dengan OECD Code, UN Code memiliki ruang lingkup yang umum. Dalam
mengimplementasikannya, Working Group akan melakukan laporan secara
PY
berkala dan juga progres mengenai komisi ini. Selanjutnya, Komisi TNC
akan melakukan laporan kepada ECOSOC. Namun demikian, berkaitan
dengan implementasinya, perlu dilakukan kontrol sejauh mana perusahaan
transnasional menjalankan sesuai dengan code of conduct ini.
CO
Meskipun dengan banyaknya code yang dibuat untuk mengatur aktivitas
perusahaan transnasional tersebut, tetapi implementasi menjadi masalah utama
selain karakternya yang secara khusus juga tidak memberikan keterikatan
secara hukum. Dengan demikian, hal ini menjadi hambatan untuk mengatur
G
aktivitas perusahaan transnasional.114 Dalam beberapa hal, Majelis Umum
PBB mengambil alih perhatian terhadap aktivitas perusahaan transnasional
IN
ini melalui Resolusi Majelis Umum. Namun, Majelis Umum pun memiliki
kekuatan yang terbatas, yaitu berdasarkan Pasal 10 dan 11 dari Piagam PBB.
Ketentuan PBB ini mengatur bahwa Majelis Umum hanya dapat membuat
AD
rekomendasi kepada semua negara anggota PBB dan juga kepada Dewan
Keamanan PBB. Dengan demikian, dampak dari suatu usaha regulasi
internasional ini hanya untuk menegaskan dan sepenuhnya hanya negara yang
berwenang untuk mengatur aktivitas perusahaan transnasionalnya melalui
RE
114 “One thing is certain about all the existing codes, and may also apply to those still being
developed: they are legally non binding. The OECD Codes says so expressly in introduction
observance of the guidelines is voluntary and non legally enforceable”. The RBP Code in stating
that “all the aspects of the principles and rules will be reviewed within 5 years, means that this
review will also encompass the voluntary character notion. The legal character of each of the
codes has been a much disputed issue between the industrialized countries and the developing
countries. For the UN Code this issue has not yet been settled but it is not to be expcted that it
will result in anything but a non binding code”. Ibid., hlm. 243.
115 Pembahasan mengenai perusahaan transnasional sebagai objek hukum dari peraturan internasional
disarikan dari salah satu bagian artikel Fleur John, Op.Cit., hlm. 897–899.
PY
Dengan demikian, apabila hukum internasional masih belum dapat menerima
perusahaan transnasional secara utuh, maka hal ini sepertinya menjadi alasan
yang sangat tepat untuk memberikan kedudukan perusahaan transnasional
CO
sebagai subjek hukum dalam transaksi bisnis transnasional.
Interaksi perusahaan transnasional dengan negara relevan dengan kedudukan
negara tidak hanya sebagai badan hukum publik atau yang dikenal dengan
jure imperii, tetapi juga kedudukan negara sebagai jure gestiones.117 Sebagai
G
116 Dalam kasus Texaco Overseas Petroleum Co and California Asiatic Oil Co v The Government of
the Libyan Arab Republic mendeskripsikan beberapa hal terkait perusahaan transnasional yang
IN
memiliki kapasitas secara internasional secara spesifik. Secara khusus, arbiter memosisikan
internationalization terhadap kontrak antara perusahaan transnasional dan negara, mewajibkan
para pihak untuk tunduk pada hukum internasional dalam hal penafsiran dan pelaksanaan
AD
jure gestiones. Dewasa ini, kedudukan negara sebagai jure gestiones semakin meningkat seiring
dengan semakin meningkatnya aktivitas negara dalam melakukan kegiatan komersial. Hal
ini berkembang khususnya pada awal abad ke-20. Dalam hal negara sebagai jure gestiones,
maka negara tidak dapat menerapkan konsep imunitas secara absolut atau lebih tepat dengan
konsep imunitas terbatas. Tentunya, hal ini diperkuat dalam negara sebagai jure gestiones,
maka negara melakukan kegiatan yang melibatkan subjek hukum lain. Sebagai contoh,
perusahaan swasta dalam kegiatan atau tindakan yang bersifat komersial (private acts). Jure
imperii adalah tindakan resmi negara dalam lingkup hukum publik dan kapasitasnya sebagai
negara yang berdaulat. Sedangkan, jure gestiones adalah tindakan negara untuk tindakan yang
sifatnya komersial (private acts). Tindakan jure gestiones dapat dianggap sebagai layaknya
perdagangan pada umumnya. Oleh karena itu, pada kapasitas negara sebagai jure gestiones,
apabila terdapat permasalahan hukum, maka juga terbuka kemungkinan di badan peradilan
PY
pembangunan infrastruktur sebagai salah satu aktivitas utamanya, maka bentuk
kesepakatan negara dalam membuat kontrak internasional dengan badan
umum maupun arbitrase. Terhadap negara yang melakukan tindakan private acts dapat
CO
dibebankan tanggung jawab perdata, misalnya tanggung jawab negara terhadap negara lain atau
pengusaha, sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban dalam pelaksanaan
perjanjian atau kontrak komersial. Dalam hal jure gestiones, suatu negara diperlakukan sebagai
halnya “orang perorangan” yang melakukan kegiatan atau transaksi komersial. Lihat Huala
Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Rajawali Press, 2002, hlm.
G
261. Lihat juga Alexander Orakhelashvili, Jurisdictional Immunity of States and General
International Law – Explaining the Jus Gestionis v. Jus Imperii Divide in T. Ruys, N. Angelet & L.
Ferro (eds), Cambridge handbook on Immunities and International Law. Cambridge: Cambridge
IN
hubungan hukum antara perusahaan multinasional di negara di mana induk perusahaan atau
produsen berada atau anak perusahaan dengan perusahaan di negara di mana penanaman
modal asing dilakukan. Perjanjian distributor ini biasanya dilakukan oleh anak perusahaan
dengan anak perusahaan dari perusahaan multinasional, tetapi biasa juga dilakukan dengan
perusahaan domestik. Misalnya, dalam perjanjian distribusi melalui perjanjian waralaba
RE
(franchise). Perjanjian produksi biasa dilakukan oleh perusahaan multinasional karena adanya
permintaan di luar negeri akan suatu produk yang dibuat di negara penanam modal dan untuk
mempermudah pemasaran di negara tertentu. Salah satu bentuk perjanjian produksi adalah
kontrak lisensi, yang mana dalam perjanjian produksinya diperjanjikan juga adanya pengalihan
teknologi paten dan know how kepada pengusaha lokal, yang akan terikat untuk menggunakan
teknologi tersebut bagi kepentingan dan untuk melindungi keuntungan bersaing produsen dalam
teknologi. Sedangkan, untuk perjanjian antara pemerintah dan swasta, salah satu implementasinya
adalah pada perjanjian konstruksi yang dilakukan oleh perusahaan negara atau swasta di negara
di mana modal perusahaan multinasional itu ditanam. Ciri khas dari kontrak-kontrak ini adalah
dibentuknya kontrak tersebut dalam bentuk BOO (Build Own Operate), BOT (Build Own Transfer),
atau BOOT (Build Own Operate and Transfer).
PY
untuk memastikan perusahaan transnasional memberikan keuntungan bagi
negaranya. Dengan demikian, beberapa faktor inilah yang menyebabkan
sifat pengaturannya mengikat atau tidak mengikat. Terdapat beberapa bentuk
pengaturan perusahaan transnasional ini, setelah sebelumnya dalam buku ini
CO
membahas pengaturannya dalam bentuk code of conduct, maka pengaturan
juga terdapat dalam bentuk hukum nasional, hukum bilateral, hukum regional,
dan hukum multilateral.120
Pengaturan perusahaan transnasional berdasarkan hukum nasional
G
merupakah salah satu implementasi teori kedaulatan ekonomi internal.121
IN
119 Di Indonesia, skema Public Private Partnership ini juga sudah dilakukan atau yang lebih dikenal
dengan Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU). Dalam hal ini, pemerintah melakukan
kesepakatan dengan badan usaha untuk melakukan pembangunan infrastruktur sebagai bentuk
AD
penyediaan layanan infrastruktur publik di Indonesia. Dasar hukum pelaksanaan skema KPBU di
Indonesia diatur dalam Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah
Badan Usaha. Hal ini juga merupakan praktik yang dilakukan oleh beberapa negara di ASEAN.
Lihat Prita Amalia dan Danrivanto Budhijanto, “The Role of Public Private Partnership to
Strenghten Sustainable Development in Indonesia”, Central European Journal of International
RE
PY
merupakan substansi yang dinegosiasikan dalam perjanjian penanaman modal
internasional. Berikut salah satu contoh rumusan klausulanya.123
Article 3 “Right to Regulate”
CO
“[a] a Contracting Party may adopt, maintain, or enforce any measure that it considers
appropriate to ensure that investment activity is undertaken in a manner sensitive to
healthy, safety or environmental concerns provided that such measures are consistent
with this agreement”.
G
kewenangan dan kekuatannya secara monopoli di wilayahnya. Ruang lingkup kedaulatan ekonomi
internal mencakup negara memiliki kedaulatan permanen atas sumber daya alam yang dimilikinya,
IN
negara memiliki kewenangan atas sumber daya non-alam atau aktivitas ekonominya di wilayah
yurisdiksinya, termasuk sumber daya manusia. Negara memiliki hak untuk memilih dan
melaksanakan sistem ekonominya, seperti economic self determination dan governance, negara
AD
dilarang untuk saling mengintervensi dan menggunakan kekerasan dalam melakukan hubungan
ekonomi internasionalnya. Ruang lingkup ini juga yang menjadi dasar kewenangan negara untuk
membuat berbagai pengaturan nasional di wilayah negaranya, termasuk juga pengaturan
bagaimana perusahaan transnasional dapat melakukan aktivitasnya di wilayah suatu negara,
khususnya berkaitan dengan kegiatan ekplorasi sumber daya alam. Asif Qureshi, Op.Cit., hlm. 51.
RE
122 Right to Regulate adalah salah satu prinsip yang saat ini semakin berkembang, khususnya dalam
bidang hukum penanaman modal asing. Salah satu prinsip yang juga selalu disandingkan
dengan adanya suatu situasi atau kondisi yang disebut sebagai indirect expropriation. Prinsip ini
saat ini merupakan substansi yang juga dapat diatur dalam suatu perjanjian penanaman modal
internasional, di mana negara diperbolehkan untuk mengaturnya dalam hukum nasional untuk
memastikan aktivitas penanaman modal atau implementasi dari perjanjian internasionalnya
tidak mendatangkan kerugian bagi negaranya, misalnya saja yang berkaitan dengan kesehatan
atau lingkungan. Lihat OECD Working Papers on International Investment, Indirect Expropriation
and Right to Regulate in International Investment Law, OECD, 2004, hlm. 8. Lihat juga David
Gaukrodger, “The Balance between Investor Protection and the Right to Regulate in Investment
Treaties: A Scoring Paper”, OECD Working Papers on International Investment, 2017, hlm. 7.
123 MAI Negotiating Text, hlm. 9.
PY
akan merugikan negara penerima juga.
Salah satu strategi yang dapat digunakan dalam melakukan pengaturan
terhadap aktivitas perusahaan transnasional di suatu negara adalah dengan
memberikan insentif. Artinya, negara memberikan insentif sebagai bentuk
CO
apresiasi apabila perusahaan transnasional tersebut melakukan aktivitas di
negara tersebut dengan sangat memperhatikan dan patuh terhadap ketentuan
hukum nasional suatu negara. Bentuk-bentuk insentif lainnya dapat berbentuk
insentif pajak ataupun jaminan perlindungan terhadap aktivitas yang dilakukan
di wilayah suatu negara. An An Chandrawulan menyebut insentif ini sebagai
G
bentuk kompensasi yang diberikan oleh negara terhadap berbagai kebijakan
yang membatasi aktivitas perusahaan transnasional.124
IN
124 Sebagai reaksi atas adanya persyaratan penanaman modal, perusahaan multinasioal biasanya
meminta kompensasi berupa, misalnya, insentif penanaman modal, keringanan pajak, atau
jaminan perlindungan terhadap penanaman modal yang dituangkan dalam suatu peraturan
perundang-undangan (regulatory heavens). Peraturan perundang-undangan tersebut diharapkan
dapat menyejahterakan negara melalui dibukanya peluang yang lebih besar bagi penanaman
modal asing. Akan tetapi, pengaturan nasional ternyata tidak selamanya memberi kesejahteraan
seperti yang diharapkan, tetapi sebaliknya, menimbulkan kerugian khususnya apabila peraturan
perundang-undangan tersebut dibuat oleh negara yang lemah. Kelemahan dari pengaturan
nasional adalah karena ruang lingkupnya terbatas di dalam wilayah suatu negara saja. An An
Chandrawulan, Op.Cit., hlm. 185.
PY
Organization (WTO) yang disebabkan adanya kebijakan pemerintah Indonesia
mengenai larangan ekspor produk bijih nikel mentah. Gugatan ini didasari
adanya kebijakan pemerintah mengenai pelarangan ekspor nikel mentah
yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 11 Tahun 2019
CO
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral No. 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral
dan Batu Bara. Kebijakan ini lahir atas pertimbangan stok nikel dalam negeri
yang diperkirakan tinggal 700 juta ton. Dari sisa jumlah tersebut, diprediksi
akan habis dalam 8 tahun jika terus dilakukan penambangan. Menipisnya
G
jumlah nikel di alam membuat pemerintah mengambil langkah hilirisasi dan
industrialisasi bahan-bahan mentah Sumber Daya Alam yang dimiliki. Untuk
IN
125 Kementerian Perindustrian, “Newmont Cabut Gugatan Arbitrase di ICSIF”, diakses dari https://
kemenperin.go.id/artikel/9917/Newmont-Cabut-Gugatan-Arbitrase-di-ICSID pada tanggal 29
Juni 2022.
126 Idris Rusadi Putra, “Awal Mula Larangan Ekspor Nikel Indonesia Hingga Digugat Uni Eropa ke
WTO”, diakses dari https://www.merdeka.com/uang/awal-mula-larangan-ekspor-nikel-indonesia-
hingga-digugat-uni-eropa-ke-wto.html pada tanggal 28 Juni 2022
PY
1. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
2. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
3. Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
CO
4. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
5. Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman
Modal jo. Peraturan Presiden No. 49 Tahun 2021 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman
Modal
G
6. Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko
IN
127 Masuknya perusahaan multinasional di Indonesia telah terjadi sejak zaman kolonialisme dan
setelah Indonesia merdeka khususnya pada pemerintahan Orde Baru. Hal ini ditandai dengan
masuknya beberapa perusahaan, di antaranya Freeport Sulphur Co Incorporated, International
Tel & Tel (ITT), Toyo Menko (Jepang), Unilever (United Kingdom/Netherland), Good Year,
Singer Sewing Machine, Dumex (Denmark), BAT (Inggris), dan lain-lain. Lihat lebih lanjut pada
Ibid., hlm. 176.
PY
PERJANJIAN DALAM BIDANG HUKUM
TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL
CO
Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum terpenting,
khususnya dalam bidang hukum transaksi bisnis transnasional. Roy Goode
G
dalam bukunya Transnational Commercial Law memberikan pernyataan: “much
transnational commercial law is developed through treaties”.128 Hal ini juga
IN
digunakan dalam ilmu ekonomi, yaitu makro dan mikro, maka bidang hukum
transaksi bisnis transnasional ini merupakan bagian mikro dari implementasi
Hukum Ekonomi Internasional dan Hukum Perdagangan Internasional.
Selain itu juga, implementasi perjanjian internasional dalam bidang
hukum transaksi bisnis transnasional juga dilakukan oleh subjek hukum.
PY
individu sebagai subjek hukum, khususnya dalam transaksi bisnis transnasional,
juga tergantung pada bagaimana suatu perjanjian internasional tersebut mem
berikan kewenangan yang selanjutnya juga menjadi hukum nasional. Setelah
CO
pada bab sebelumnya membahas mengenai sumber hukum transaksi bisnis
transnasional dan subjek hukum, khususnya aktivitas perusahaan transnasional
dalam hukum transaksi bisnis transnasional, maka pada bab ini akan dibahas
beberapa perjanjian internasional dalam bidang hukum transaksi bisnis
transnasional secara lebih khusus. Pembahasan meliputi kekuatan mengikat
G
perjanjian internasional, permasalahan hukum yang timbul dalam konteks
interaksi perjanjian internasional dan hukum nasional, serta pembahasan
IN
130 Istilah individu sebagai subjek hukum terbatas dapat ditemukan dalam buku Hukum Internasional
yang ditulis oleh Mochtar Kusumaatmadja dan Etty Agoes. Dalam bukunya, disebutkan bahwa
AD
dalam arti yang terbatas, orang perorangan sudah cukup lama dapat dianggap sebagai subjek
hukum internasional. Lihat Mochtar Kusumatmadja dan Etty Agoes, Op.Cit., hlm. 103.
131 Individu atau manusia merupakan subjek hukum, yaitu pemegang atau pengemban dari hak dan
kewajiban. Lihat Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit
RE
Alumni, Bandung, 2000, hlm. 76. Hal ini juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen
yang dikutip Huala Adolf dalam buku Hukum Ekonomi Internasional, bahwa yang dimaksud
dengan individu adalah pengemban hak dan kewajiban (a bearer of rights and duties). Dalam
konteks hukum ekonomi internasional, individu yang terdiri atas individu dalam arti fisik dan
serangkaian pribadi hukum (juristic person), maka individu merupakan subjek hukum ekonomi
internasional, yang mana statusnya juga tergantung pada isi ketentuan perjanjian yang mem
berikan kedudukannya tersebut. ICSID sebagai salah satu lembaga arbitrase internasional untuk
penanaman modal memberikan status individu sebagai subjek hukum yang termasuk juga
kemampuannya sebagai subjek hukum yang membuat kontrak atau perjanjian penanaman modal
dengan suatu negara (Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Op.Cit., hlm. 61).
132 Asif Qureshi and Andrea R. Ziegler, International Economic Law, Mytholmroyd: Sweet & Maxwell,
2007, hlm. 40.
PY
dengan subjek hukum lain.134
Apabila dilihat dari kekuatan mengikatnya, suatu perjanjian internasional
ada yang bersifat soft law dan ada yang bersifat hard law. Perjanjian internasional
dalam hukum transaksi bisnis transnasional memiliki jenis perjanjian
CO
internasional, baik yang bersifat soft law dan juga hard law. Walaupun dalam
praktiknya, sesuai dengan karakteristik fleksibilitas dalam transaksi bisnis
transnasional, perjanjian internasional yang bersifat soft law lebih mudah
diterima oleh negara-negara dan dilihat sebagai suatu kebutuhan. Hal ini
menjadi salah satu keunggulan dari perjanjian internasional yang bersifat
G
soft law, yang mana para subjek hukum mengikatkan diri secara sukarela.135
Sedangkan, untuk perjanjian internasional yang bersifat hard law, biasanya
IN
suatu negara melalui suatu pertimbangan yang matang untuk terikat pada
perjanjian internasional tersebut, dengan tentu mengidentifikasi terlebih dahulu
kewajiban internasional yang timbul dari perjanjian internasional tersebut.
AD
133 Perjanjian internasional diatur dalam Vienna Convention 1969 yang mendefinisikan perjanjian
internasional sebagai: “an international agreement concluded between states in written form and
RE
governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related
instruments and whatever its particular designation”. Berdasarkan definisi tersebut, yang dimaksud
dengan perjanjian internasional adalah suatu persetujuan yang dibuat antarnegara dalam bentuk
tertulis dan diatur oleh hukum internasional. Prita Amalia, Industri Penerbangan Aspek Hukum
Pasca Cape Town Convention 2001, Bandung: Refika, 2015, hlm. 28.
134 Roy Goode et al., Loc.Cit. “Treaty practice is an important vehicle supplementing and developing thus
rules in Vienna 1969, and that is increasingly the case in the context of transaction focused international
private law treaties, where transaction parties, rather than state parties, are the key factors”.
135 “Nonbinding legal principles are often referred to as “soft law”. Defined by one commentator,
“‘soft law’ is understood as referring in general to instruments of normative nature with no legally
binding force and which are applied only through voluntary acceptance”. Soft law is generally
established legal rules that are not positive and therefore not judicially binding.”
PY
perjanjian internasional yang bersifat soft law juga meningkat sebagai suatu
perkembangan dalam hukum internasional, dari suatu komitmen negara
yang bersifat menimbulkan kewajiban secara hukum dan mengikat. Selain
itu, perbedaan antara soft law dan hard law juga semakin sulit dibedakan.136
CO
Beberapa perjanjian internasional yang memiliki sifat soft law di antaranya
model laws, a codification of custom and usage yang dibuat oleh international
nongovernmental organization, dan kontrak.137
Sifat dari suatu perjanjian internasional dalam bidang hukum transaksi
bisnis transnasional tergantung pada tujuan dari dibuatnya perjanjian inter
G
nasional tersebut, apakah untuk melakukan unifikasi atau harmonisasi. Sesuai
dengan namanya, perjanjian internasional yang bertujuan untuk melakukan
IN
136 Dinah Shelton, “Soft Law”, dalam David Armstrong (ed), Routledge Handbook of International
RE
Law, London, 2009, hlm. 68. “The conventional understanding of international law sees its “legal”
nature as deriving from the consent of states to binding obligations. However, states have engaged
in a host of other normative commitments through means such as declarations and General
Assembly resolutions that, while not having the binding force of formal treaties, may still have
law-like consequences of the kind that the term “soft law” has been coined to describe. In
practice, the distinction between “hard” and “soft” law may become increasingly blurred over time”.
137 Lihat Henry D. Gabriel, “The Advantages of Soft Law in International Commercial Law: The
Role of UNIDROIT, UNCITRAL, and the Hague Conference”, Brook. J. Int’l L., 34, 2009, hlm.
658–659. “The various soft law instruments in international commercial law include model
laws, a codification of custom and usage promulgated by an international nongovernmental
organization, the promulgation of international trade terms, model forms, contracts, restatements
by leading scholars and experts, or international conventions”.
PY
Goods (CISG) 1980. Perjanjian internasional ini termasuk pada perjanjian
internasional yang bersifat hard law dan bertujuan untuk menyeragamkan.
Indonesia saat ini belum menjadi negara anggota CISG 1980, walaupun konvensi
ini membuka kemungkinan dapat menggunakan konvensi sebagai pilihan
CO
hukum. Namun, ketika bertentangan dengan hukum nasional, maka berlaku
prinsip-prinsip pilihan hukum berdasarkan rezim hukum perdata internasional.
Adapun contoh perjanjian internasional yang bersifat soft law dalam Hukum
Transaksi Bisnis Transnasional adalah UNIDROIT Principles of International
Commercial Contract, yaitu prinsip-prinsip yang dapat digunakan oleh para
G
pihak dalam menyusun kontrak internasionalnya. Hal ini juga merupakan
panduan yang dapat digunakan oleh para pihak dari berbagai negara, karena
IN
tidak ada hukum kontrak internasional yang bersifat seragam dan berlaku
untuk semua negara, sehingga UNIDROIT mengeluarkan suatu sumber
hukum yang bersifat panduan. Selain itu, produk-produk yang dikeluarkan
AD
PY
adanya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
ketentuan mengenai perjanjian internasional di Indonesia merujuk pada Pasal
11 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu:138
“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan Perang, membuat
CO
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.”
Ketentuan ini belum dapat memberikan kejelasan mengenai politik hukum
perjanjian internasional Indonesia, apakah paham monisme atau dualisme,
begitu juga Undang-Undang No. 24 tentang Perjanjian Internasional. Namun
G
demikian, dalam buku Mochtar Kusumaatmadja yang berjudul Pengantar Hukum
Internasional, terdapat penjelasan bahwa Indonesia akan langsung terikat pada
IN
yang menganut aliran monisme primat hukum internasional. Hal ini perlu
dilakukan untuk mengantisipasi Indonesia yang kerap lalai dalam memproses
kewajiban internasional berdasarkan perjanjian internasional yang telah
diadakan ke dalam hukum nasional.
RE
138 Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm 8. Status perjanjian internasional di Indonesia masih
menimbulkan banyak perdebatan. Salah satunya karena ketentuan Pasal 11 UUD 1945 ini juga
tidak dapat dijadikan rujukan politik hukum Indonesia untuk perjanjian internasional, begitu
juga Pasca Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Lihat juga
Ibid., hlm. 103–104.
139 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 84. Lihat juga Prita Amalia, Industri
Penerbangan, Op.Cit., hlm. 95.
PY
hukum nasional. dalam hukum nasional.
Terbuka munculnya konflik antara Tidak mungkin terjadi konflik karena
internasional dan hukum nasional. wilayahnya berbeda.
Melahirkan primat hukum internasional
atau primat hukum nasional.
Sumber: Buku Hukum Perjanjian Internasional
CO
Pada bab ini, perjanjian internasional dalam hukum transaksi bisnis
transnasional akan terbagi berdasarkan bagaimana perjanjian internasional
G
yang mengikat negara memiliki pengaruh atau perlu dipertimbangkan, dalam hal
subjek hukum melakukan aktivitas dalam lingkup transaksi bisnis transnasional
IN
dipertimbangkan ketika para subjek hukum akan mengikatkan diri pada suatu
kontrak internasional yang mengatur hubungan para pihak. Alasan penting
lainnya adalah untuk memastikan bahwa kontrak internasional yang mengikat
para pihak dapat dilaksanakan dan sah menurut ketentuan prinsip-prinsip hukum
RE
kontrak internasional.
PY
internasional dengan negara-negara anggota WTO.
Perjanjian internasional dalam kerangka WTO merupakan perjanjian
yang dibuat oleh negara-negara anggota yang secara tidak langsung juga
memengaruhi aktitivitas transaksi bisnis transnasional yang dilakukan oleh para
CO
pelaku usaha, misalnya dalam kegiatan ekspor-impor. Dengan demikian, alasan
inilah yang membuat Penulis perlu untuk membahas perjanjian internasional
dalam kerangka WTO sebagai salah satu perjanjian internasional dalam lingkup
hukum transaksi bisnis transnasional. Sebagai contoh, perusahaan eksportir
Indonesia akan melakukan perdagangan ekspor suatu komoditi barang ke luar
G
negeri, di antaranya pasar Eropa melalui kerja sama yang dilakukan dengan
mitra dagang di Eropa. Kedua belah pihak akan mengatur hubungan hukumnya
IN
melalui suatu kontrak yang mengikat para pihak. Maka dalam menjalankan
aktivitas bisnisnya tersebut, para pihak perlu mempertimbangkan apakah
ada kewajiban-kewajiban internasional yang mengikat negara yang harus
AD
141 “The World Trade Organization (WTO) is the only global international organization dealing
RE
with the rules of trade between nations. At its heart are the WTO agreements, negotiated and
signed by the bulk of the world’s trading nations and ratified in their parliaments. The goal is to
help producers of goods and services, exporters, and importers conduct their business”. WTO,
“What is the WTO?”, diakses dari https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/whatis_e.htm,
pada tanggal 21 Juni 2022.
142 “Occurs when goods are exported at a price less than their normal value, generally meaning they
are exported for less than they are sold in the domestic market or third country market, or at less
than production cost”. Glossary Term, “Dumping”, diakses dari https://www.wto.org/english/
thewto_e/glossary_e/dumping_e.htm pada tanggal 21 Juni 2022.
PY
Related Aspects of International Property Rights (TRIPs) juga memiliki
prinsip umum meskipun tidak memiliki annex.
2. Dalam persetujuan tersebut, terdapat pula beberapa persetujuan tambahan
dan annex berkenaan dengan persyaratan khusus (special requirement)
dari beberapa sektor atau isu tertentu.CO
3. Di samping berupa persetujuan dan lampiran yang menyertainya, terdapat
daftar (schedules) terperinci tentang komitmen negara-negara anggota
WTO untuk mengizinkan produk-produk dan usaha bidang jasa asing
memasuki pasar dalam negeri mereka. Dalam konteks GATT, daftar
G
tersebut berbentuk komitmen-komitmen tarif yang mengikat untuk barang
dan kombinasi antara tarif dan kuota untuk produk pertanian. Sedangkan
IN
143 Indonesia pernah melakukan gugatan kepada Korea atas tuduhan dumping terhadap produk
kertas Indonesia yang diekspor ke Korea. Indonesia dituduh melakukan dumping dengan menjual
harga kertas ke Korea dengan harga yang dinilai less than normal value. Kasus dengan nomor
DS312 merupakan salah satu contoh pengalaman Indonesia dituduh tidak patuh terhadap
perjanjian internasional dalam kerangka WTO, yaitu General Agreement on Tariff and Trade,
yaitu larangan untuk melakukan dumping dalam perdagangan internasional. Lihat “DS312: Korea –
Anti Dumping Duties Imports of Certain Paper from Indonesia”, diakses dari https://www.wto.org/
english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds312_e.htm pada tanggal 21 Juni 2022.
144 Febrian A. Ruddyard, Sekilas WTO World Trade Organization, Jakarta: Direktorat Perdagangan,
Komoditas, Kekayaan Intelektual dan Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia, 2018, hlm. 23.
PY
3. Agreement on Textiles,
4. General Agreement in Services (GATS),
5. Trade Related Aspects of International Property Rights (TRIPs),
6. Trade Related Investment Measures (TRIMs),
CO
7. Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994,
8. Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (SCM),
9. Agreement on Technical Barrier to Trade (TBT),
10. Agreement on Import Licensing Procedures,
11. Trade Facilitation Agreement (TFA),
G
12. Rules of Origin,
13. Agreement on Sanitary and Phytosanitary (SPS Agreement),
IN
145 Lihat Syukri dan Prita Amalia, “Implications of the Principle of Non Discrimination in The Indonesia-
European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement on Government Procurement
Chapter Toward Regulations of Domestic Product Use in Indonesia”, Transnational Business
Law Journal, 1(2), August 2020. “WTO GPA is excluded from multilateral agreements …
Indonesia as a country that is bound by the WTO Multilateral Agreement but not bound by the
WTO GPA Plurilateral Agreement”.
146 Ada empat persetujuan yang dinegosiasikan dalam putaran Tokyo yang hanya ditandatangani oleh
sebagian kecil anggota saja dan tidak bersifat mengikat bagi seluruh anggota WTO, yang disebut
perjanjian plurilateral. Empat persetujuan tersebut adalah Perdagangan Pesawat Sipil, Pengadaan/
Pembelian Pemerintah, Produk Susu Olahan dan Daging Olahan. Indonesia tidak menjadi pihak
dalam keempat persetujuan plurilateral tersebut. Febrian A. Ruddyard, Op.Cit., hlm. 43.
PY
khususnya dalam pengembangan bidang hukum perdagangan selama lebih dari
50 tahun ini. Salah satu tugas dari UNCITRAL adalah melakukan modernisasi
dan harmonisasi peraturan-peraturan dalam kegiatan bisnis transnasional.
UNCITRAL didirikan pada tahun 1966 melalui Resolusi Majelis Umum 2205
CO
(XXI) tanggal 17 Desember 1966.148 Dalam pendirian komisi ini, Majelis Umum
PBB menyadari adanya perbedaan hukum nasional dalam mengatur aktivitas
perdagangan internasional dan berpotensi menjadi hambatan untuk aliran
perdagangan, sehingga keberadaan UNCITRAL adalah untuk berperan
G
secara aktif dalam menurunkan dan menghilangkan hambatan-hambatan
IN
147 Indonesia memiliki Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang juga mengatur
tentang perdagangan luar negeri. Dalam undang-undang tidak menggunakan istilah Perdagangan
Internasional namun menggunakan istilah perdagangan luar negeri. Undang-undang ini juga tidak
AD
memberikan batasan apa yang dimaksud dengan perjanjian perdagangan internasional. Walaupun
dalam melakukan kegiatan perdagangan pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional
melalui perjanjian perdagangan internasional. Salah satu peraturan yang memberikan batasan
tentang Perjanjian Perdagangan Internasional adalah Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2017
tentang Tim Perunding Perjanjian Perdagangan Internasional yang diatur dalam Pasal 1 yaitu
RE
perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang dibuat secara tertulis untuk meningkatkan akses
pasar serta dalam rangka melindungi dan mengamankan kepentingan nasional. Prita Amalia dan
Garry Gumelar Prataman, Hukum Perjanjian Perdagangan Internasional Kerangka Konseptual dan
Ratifikasi di Indonesia, Bandung: Keni Media, hlm. 17-21
148 The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) was established by
the General Assembly in 1966 (Resolution 2205 (XXI) of 17 December 1966). In establishing
the Commission, the General Assembly recognized that disparities in national laws governing
international trade created obstacles to the flow of trade, and it regarded the Commission as the
vehicle by which the United Nations could play a more active role in reducing or removing these
obstacles. UNCITRAL, “About UNCITRAL”, diakses dari https://uncitral.un.org/en/about. Lihat
juga Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Op. Cit., hlm. 44-47
PY
11. International Transport of Goods
UNCITRAL sangat aktif dalam membuat berbagai instrumen hukum transaksi
bisnis transnasional, baik dalam bentuk hard law maupun soft law. Organisasi
ini juga sangat berperan dalam melakukan upaya harmonisasi dan unifikasi
CO
hukum. Beberapa produk hukum yang dihasilkan dapat berupa legislative
texts atau nonlegislative texts. Selain itu, juga ada produk hukum yang berupa
legislative guides dan non-legislative guides. Beberapa produk hukum yang
berupa legislative texts di antaranya sebagai berikut.
G
1. United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods
2. Convention on the Limitation Period in International Sale of Goods
IN
Promissory Notes
5. United Nations Convention on The Carriage of Goods by Sea
6. United Nations Convention on the Use of Electronic Communications in
International Contracts 2005
RE
149 https://uncitral.un.org/en/texts, beberapa ketentuan mengenai lingkup tersebut terbagi ada yang
berbentuk legislative texts, non legislative texts, legislative guides dan non legislative guides.
PY
2. UNCITRAL Model Law on International Credit Transfers 1992
3. UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce 1996
4. UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency 1997
5. UNCITRAL Model Law on Electronic Sigantures 2001
CO
6. UNCITRAL Model Law on Public Procurement 2012
7. UNCITRAL Model Law on International Commercial Mediation and
International Settlement Agreements Resulting From Mediation with
Guide to Enactment and Use 2018
G
Salah satu manfaat dari model law yang dibuat oleh UNCITRAL adalah
dapat menjadi panduan atau guidance oleh negara-negara untuk menyusun
IN
pihak sebagai pilihan hukum atau model law walaupun negara tersebut tidak
meratifikasinya dan belum menjadi negara anggota.150
150 Konvensi CISG 1980 dapat digunakan sebagai model law untuk membentuk suatu produk
hukum yang mengatur hukum kontrak jual beli barang yang sifatnya internasional. Konvensi
ini digunakan dari sudut kontrak jual beli yang sifatnya transnasional atau dengan kata lain
nuansanya adalah globally accepted international sales of goods. Pembentukan produk hukum
ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi, menganalisis, dan menyerap prinsip-prinsip hukum
yang terkandung dalam CISG, yang pada dasarnya diterima oleh para pelaku usaha internasional.
Marko Cahya Sutanto, Prospek Penggunaan United Nations Convention on Contracts for the
International Sale of Goods (CISG), Bandung: Alumni, 2019, hlm. 338.
PY
dengan dasar perjanjian multilateral yang dikenal dengan UNIDROIT Statute.152
151 Argentina, Australia, Austria, Belanda, Belgium, Bolivia, Brazil, Bulgaria, Kanada, Chili, Cina,
CO
Kolombia, Kroasia, Kuba, Siprus, Republik Ceko, Denmark, Mesir, Estonia, Federasi Rusia, Finlandia,
Prancis, Jerman, Holy See (Tahta Suci), Hungaria, India, Iran, Irak, Irlandia, Israel, Italia, Jepang,
Luxembourg, Malta, Meksiko, Nikaragua, Nigeria, Norwegia, Pakistan, Paraguay, Polandia,
Portugal, Republik Korea, Romania, San Marino, Slovakia, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol,
Swedia, Swiss, Tunisia, Turki, Inggris, Amerika Serikat, Uruguay, Venezuela, Yugoslavia (Federal
Republic of Yugoslavia), Yunani, dan Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun
G
2008 tentang Pengesahan Statute of the International Institute for the Unification of Private Law
(Statuta Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata). UNIDROIT, “Membership”,
IN
PY
publikasi terkait tindakan dan kegiatan yang dilakukan UNIDROIT, yaitu sebagai
berikut.154
1. The Uniform Law Review
Publikasi ini terdiri atas Unification of Law dan Uniform Law Cases yang
CO
keduanya pada tahun 1973 dijadikan satu publikasi, yaitu Year Book
and Uniform Law Cases dan dikeluarkan enam bulan sekali. Publikasi ini
dibuat untuk memublikasikan kegiatan yang dilakukan UNIDROIT dan
untuk membantu dalam hal menyosialisasikan tujuan dari UNIDROIT
dalam melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum. Setelah mengalami
G
perubahan, maka edisi terbaru terbit pada tahun 1996 bersamaan dengan 70
tahun keberadaan organisasi internasional ini.
IN
153 John Goldring, “Globalisation, National Sovereignty and The Harmonisation of Laws”, Uniform
Law Review, 1998, hlm. 437.
154 Mestre, Frederique, “Promoting the Unification Process The Publications of UNIDROIT,
International Legal Info”, 1999.
PY
dari Majelis Umum. UNIDROIT juga mengundang negara anggota untuk
merujuk kepada perpustakaan yang disediakan dan akan ditransmisikan
secara elektronik.
6. Publication of International Instruments Prepared by UNIDROIT
CO
UNIDROIT memiliki dua instrumen hukum yang sangat prestisius, yaitu
UNIDROIT Principles of International Commercial Contract dan
UNIDROIT Guide to International Franchise Arrangement. Instrumen
ini tidak seperti instrumen lainnya yang memerlukan ratifikasi dari suatu
negara supaya bisa mengikat, tetapi publikasi ini terkait dengan instrumen
G
yang mengikat secara soft law sebagai suatu bentuk prinsip dan guidelines
yang dihasilkan dari UNIDROIT Governing Council sebagai bentuk
IN
PY
konvensi yang berkaitan dengan benda bergerak atau mobile equipment,
yaitu UNIDROIT Convention on International Interest in Mobile Equipment
2001 atau yang dikenal dengan Cape Town Convention 2001. Konvensi
ini merupakan konvensi payung yang menjadi dasar dikeluarkan dan
CO
diberlakukannya empat protokol berbeda sesuai dengan benda bergerak yang
diatur, yaitu pesawat udara, space assets, railway rolling stock, serta mining,
agriculture, dan construction (MAC).157 Pendekatan ini merupakan metode
baru dalam hukum internasional yang disebut oleh Mark Sundhal sebagai The
G
Cape Town Approach.158 Indonesia telah meratifikasi konvensi sekaligus aircraft
protocol melalui Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2007 tentang Pengesahan
IN
PY
KONTRAK JUAL BELI BARANG INTERNASIONAL
DALAM HUKUM TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL
BERDASARKAN CONVENTION ON
CO
INTERNATIONAL SALES OF GOODS (CISG) 1980
G
Dalam bahasan pada bab ini, digunakan pendekatan perbandingan hukum
IN
PY
adalah memangkas biaya dan mengurangi kerugian dari forum shopping di
antara pedagang internasional (forum shopping didefinisikan sebagai praktik
memilih yurisdiksi pengadilan yang memiliki aturan atau undang-undang yang
paling menguntungkan untuk kasus yang dihadapi).162 Namun, undang-undang
CO
ini sangat radikal terhadap undang-undang penjualan domestik dan hanya
diterapkan di Benua Eropa, yang tidak lagi relevan karena ekspansi aktivitas
perdagangan internasional. Mereka juga gagal mendapatkan kepercayaan
dari masyarakat internasional dan dikritik karena memberikan kesan yang
kuat untuk lebih memilih hukum dan praktik, yang membuat dunia Barat maju
G
berpijak pada tradisi hukum sipil.163 Oleh karena tidak semua masalah transaksi
lintas batas dapat diselesaikan dalam sistem ini, mereka akhirnya menyerupai
IN
solusi alternatif.
Pada tahun 1977, kelompok kerja UNCITRAL melakukan upaya kajian
sampai CISG selesai pada bulan September. Dua puluh satu negara telah
AD
diluncurkan. Hal ini menunjukkan bahwa CISG sebagai dasar untuk lex
mercatoria modern yang memberikan kepastian hukum bagi hukum perdata
161 UNCITRAL, Thirty-five Years of Uniform Sales Law: Trends and Perspectives, 2015.
162 J.P. Ewert & D. Weslow, “Fetatures: Forum Shopping in Europe and the United States”, International
Trademark Association Bulletin, 66, hlm. 9.
163 A. Srivastava, “Modern Law of International Trade: Comparative Export Trade and International
Harmonization”, in International Law and the Global South, 2011, https://doi.org/10.1007/978
-981-15-5475-9.
164 E.A. Farnsworth, “The Vienna Convention: History and Scope”, Symposium/International Sale of
Goods, 18(1), 1984.
PY
UE Inggris setelah Brexit. Penerapan CISG berasal dari berbagai sistem hukum di
dunia. Padahal, perlu dicatat bahwa dalam praktiknya, beberapa pengacara
di negara-negara anggota CISG terkadang memilih untuk tidak menyertakan
CISG dalam kontrak mereka. Misalnya, di Amerika Serikat, antara 55–71%
CO
pengacara memilih untuk tidak ikut serta, di Jerman sekitar 45% pengacara
secara mencolok memilih tidak ikut ketika menasihati klien mereka, dan
55% pengacara Australia melakukan hal yang sama. Sebaliknya, CISG
menunjukkan trennya pada pengacara Cina karena kekuatan tawar ekonomi
Cina dalam perdagangan global dan kesulitan dalam akses ke hukum Cina; itu
G
seperti kekuatan yang kuat dalam pilihan hukum.168
IN
legislatif dan perpaduan model yang sudah ada sebelumnya, yang diasimilasi
oleh sistem hukum yang berbeda dari yang menghasilkannya.169 Pertama,
kelahiran model baru, hal ini agak jarang terjadi. Di sisi lain, perpaduan
model jauh lebih sering dan telah dipelajari secara ekstensif dalam studi
RE
165 Joseph D. Matera, Comment: The United Nations Convention on Contracts for the International
Sale of Goods (“CISG”) and Geneva Pharmaceuticals Technology Corp. v. Barr Laboratories,
Inc./Apothecon, Inc. v. Barr Laboratories, Inc., The U.S. District Court for the Southern. 16 Pace
International Law Review, 2004, hlm. 165–174.
166 F. De Ly, “Sources of International sales Law: An Eclectic Model”, Journal of Law and Commerce,
25(1), 2005, hlm. 1–12.
167 Ibid.
168 L. Spagnolo, “A Glimpse Through the Kaleidoscope: Choices of Law and the CISG
(Kaleidoscope Part I)”, Vindobona Journal, 13, 2009a, hlm.135–156.
169 Angelo Chianale, “The CISG as a Model Law: A Comparative Law Approach”, Sing. J. Legal Stud.,
2016, hlm. 29.
Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 71
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
perbandingan hukum. Para sarjana telah mengidentifikasi berbagai metode
untuk sirkulasi model, yaitu pengenaan oleh kekuatan dominan seperti halnya
KUHPerdata Prancis (French Civil Code) setelah kemenangan Napoleon, atau
untuk hukum nasional Eropa yang diekspor ke negara koloni. Contoh kasusnya
adalah Undang-Undang Penjualan Barang Inggris (English Sale of Goods
Act (SOGA)), yang diadopsi di seluruh Persemakmuran; dan adopsi spontan
melalui sistem hukum negara peniru, ketika model tersebut memiliki prestise
yang membuatnya tampak sebagai sistem terbaik yang tersedia. Demikian juga
dalam kasus hukum Romawi di Eropa abad pertengahan atau KUHPerdata
Jerman tahun 1900 (German Civil Code of 1900), yang diadopsi ke berbagai
sistem hukum di Swiss, Turki, dan Jepang, sebagai hasil dari pengaruh yang
diberikan oleh sarjana Jerman di lingkungan universitas.
PY
Menyangkut sistem hukum Barat, panorama model asli mengenai penjualan
barang dapat sangat disederhanakan. Model dominan tradisional yang berevolusi
antara abad ke-18 dan ke-20 dan diasimilasi oleh sistem lain adalah sebagai berikut.
1. Hukum penjualan barang Prancis, berdasarkan pengalihan properti antara
CO
para pihak dengan efek kontrak. Sistem ini dikembangkan oleh ahli hukum
Prancis sebelum pengenalan Code, diilustrasikan secara komprehensif
oleh Pothier dan akhirnya dimasukkan ke dalam Pasal 1138 dan 1583 dari
Code Civil. Model ini berasimilasi ke dalam hukum Belgia, Italia, Polandia,
Portugis, Bulgaria, Quebec, dan Louisiana. Ini juga muncul di SOGA 1893
G
mengenai aturan untuk transfer properti, identifikasi barang yang dijual,
dan penentuan harga. Pada gilirannya, SOGA 1893 dianggap pada
IN
CISG muncul di kancah dunia pada tahun 1980 dan merayakan hari jadinya
yang ke-40 pada tahun 2020. Dalam konteks hukum perbandingan, disarankan
PY
beberapa kasus).170 CISG dikembangkan pada tingkat keseragaman hukum
global. Oleh karena itu, di luar sistem nasional dan disajikan sebagai model baru,
yang berisi ringkasan aturan yang konsisten yang mengatur penjualan barang.
CO
C. Model Pengalihan Properti dan Fleksibilitas
Berbagai model penjualan barang dapat dinilai dan dibandingkan berdasarkan
berbagai aspek karakteristik. Dua hal berikut secara khusus layak mendapat
perhatian.
G
1. Pengalihan Properti
IN
Seperti yang Penulis jelaskan sebelumnya, oposisi klasik, yang dipelajari secara
ekstensif dalam perbandingan hukum, membedakan antara berbagai model
berdasarkan aturan yang digunakan untuk transfer properti. Di satu sisi, terdapat
AD
sistem di mana transfer properti terjadi ketika kontrak disepakati, bahkan jika
pengiriman barang yang dijual dan/atau pembayaran harga terjadi kemudian.
Model ini diadopsi oleh hukum Prancis sebelum Revolusi dan diilustrasikan
secara komprehensif dalam karya Pothier (Robert Joseph Pothier, 1699–1772).
RE
170 Ulrich Magnus, “The Vienna Sales Convention (CISG) between Civil and Common Law-Best of
all Worlds”, J. Civ. L. Stud. 3, 2010, hlm. 67.
171 Ibid.
172 Judah Philip Benjamin, A Treatise on the Law of Sale of Personal Property: With References to the
American Decisions and to the French Code and Civil Law, Sweet and Maxwell, limited, 1906.
Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 73
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
Di sisi lain, terdapat sistem di mana properti ditransfer setelah kontrak
penjualan ditetapkan berdasarkan pengiriman. Model ini adalah karakteristik
hukum Jerman (dengan pengiriman abstrak) dan hukum Austria (dengan
pengiriman kausal). Namun, pertentangan antara model penjualan berdasarkan
cara properti barang yang dijual ditransfer telah dikritik oleh Penulis per
bandingan hukum terkemuka.173 Pada akhirnya, kita dapat melihat bahwa
mengidentifikasi saat properti ditransfer (setelah kontrak atau pengiriman)
termasuk dalam ranah formulasi umum, sedangkan solusi dari berbagai
masalah praktis termasuk dalam ranah aturan operasional. Dengan demikian,
ditemukan bahwa bahkan sistem hukum dengan formula umum yang kontras
dapat berbagi aturan operasional yang identik.
Pertentangan antara model ini mencuat dari perspektif hukum positif
PY
dengan diundangkannya CISG, karena tidak mengandung aturan apa pun
tentang transfer properti. Akibatnya, ketika muncul pertanyaan yang harus
diselesaikan berdasarkan kepemilikan, hakim harus merujuk pada hukum
domestik yang berlaku sesuai dengan aturan konflik yang biasa. Tidak adanya
CO
aturan yang tepat dalam CISG mengenai transfer properti tidak boleh dianggap
sebagai celah. Itu adalah pilihan yang disengaja oleh para penyusun konvensi,
sehingga mereka tidak perlu mengambil sikap mengenai aspek yang sangat sensitif
dari penjualan bergerak yang diselesaikan secara berbeda dalam sistem yang
disebutkan di atas. Hal ini tanpa diragukan lagi memfasilitasi adopsi CISG oleh
G
sistem hukum yang mengadopsi satu solusi atau yang lain untuk penjualan domestik.
IN
harus menghindari celah, arahan umum untuk para pihak, atau kesenjangan
interpretasi untuk keputusan kasus. Di sisi lain, setiap undang-undang penjualan
yang berisi klausul umum, seperti prinsip iktikad baik, mengikat pihak-pihak
yang berkontrak dengan perilaku, yang legitimasinya diputuskan setelah peristiwa
oleh hakim atau arbiter, dianggap fleksibel.
Dalam pengertian ini, sistem yang menempati titik-titik ekstrem per
tentangan adalah hukum penjualan barang Inggris, yang dianggap sebagai
173 Rodolfo Sacco, “Legal Formants: A Dynamic Approach to Comparative Law (Installment II of II)”,
The American Journal of Comparative Law, 39(2), 1991, hlm. 343–401.
PY
bahwa “pengadilan tidak boleh menerapkan prinsip iktikad baik pada kontrak
internasional kapan pun prinsip itu akan berlaku untuk situasi domestik”.175
Ketegangan antara kepastian dan keadilan diselesaikan oleh CISG yang
mendukung prinsip kepastian. Banyak Penulis menunjukkan bahwa solusi ini
CO
adalah yang terbaik untuk menurunkan biaya transaksi terkait ketidakpastian
dan dapat mencegah bisnis untuk memilih keluar dari CISG.
telah mendaftar baru-baru ini termasuk Jepang efektif 1 Agustus 2009, Turki
efektif 1 Agustus 2011, dan Brazil efektif 1 April 2014. CISG dianggap sebagai
hukum seragam internasional yang sangat sukses.176 Untuk beberapa waktu
AD
sekarang, para sarjana juga telah mencatat dampak yang dimiliki CISG pada
berbagai sistem hukum, mengenai penjualan barang dan kewajiban hukum
dan hukum kontrak secara umum.177
Pengaruh pada sistem nasional dapat dirasakan pada pengadilan melalui
RE
doktrin, praktik hukum, dan penemuan hukum. Adalah fakta yang diketahui
bahwa hakim Belanda telah menggunakan CISG dalam berbagai keputusan
untuk menafsirkan hukum nasional, misalnya dalam hal-hal yang berkaitan
dengan pembentukan kontrak, pelanggaran kontrak, dan ketidaksesuaian
174 Steven D. Walt, “The Modest Role of Good Faith in Uniform Sales Law”, BU Int’l LJ, 33, 2015, hlm.
37.
175 Ole Lando, “CISG and Its Followers: A Proposal to Adopt Some International Principles of
Contract Law”, Am. J. Comp. L., 53, 2005, hlm. 379.
176 Ibid.
177 Franco Ferrari, The CISG and Its Impact on National Legal Systems, Walter de Gruyter, 2009.
Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 75
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
barang yang dijual.178 Namun, dalam konteks ini, analisis CISG sebagai model
perbandingan hukum terbatas pada fenomena di tingkat legislatif.
1. Kasus negara-negara Skandinavia sudah diketahui dengan baik. Sayangnya,
keinginan untuk harmonisasi hukum pada tingkat regional belum
dikoordinasikan secara efisien dengan memanfaatkan CISG. Hasilnya,
sekarang agak rumit dan tidak mewakili contoh sukses dari pendekatan
internasional yang seragam untuk penjualan barang. Awal abad ke-20,
negara-negara Skandinavia mengadopsi versi undang-undang penjualan
yang hampir identik (Nordic Sales Acts), memperkenalkan semacam
undang-undang seragam yang mengatur penjualan antara pihak-pihak
yang memiliki tempat bisnis mereka di Denmark, Finlandia, Islandia,
Norwegia, dan Swedia. Ketika mereka mengadopsi CISG, negara-negara
PY
ini mengecualikan penerapan konvensi untuk kasus-kasus penjualan
Nordik. Namun, semua negara Skandinavia, kecuali Denmark, merevisi
undang-undang penjualan barang nasional mereka, membawanya sejalan
dengan sebagian besar dari isi CISG, yaitu Finlandia pada tahun 1988,
CO
Norwegia pada tahun 1989, Swedia pada tahun 1991, dan Islandia pada
tahun 2000. Norwegia dan Islandia secara khusus memasukkan aturan
CISG ke dalam undang-undang penjualan barang nasional mereka, dengan
hasil bahwa hukum nasional juga berlaku untuk penjualan internasional
(dengan aturan yang identik dengan CISG, kecuali untuk beberapa
G
perbedaan, seperti pembentukan kontrak). Ini menghasilkan situasi yang
kompleks, karena penerapan simultan dari CISG dan hukum nasional.
IN
178 Sonja A. Kruisinga, “The Impact of Uniform Law on National Law: Limits and Possibilities: CISG
and Its Incidence in Dutch Law”, online, 2009, hlm. 132.
PY
vendor untuk ketidaksesuaian barang, transfer risiko, dan pengiriman
barang yang dijual. Kemudian, bahkan pendekatan teoretis para ahli
hukum Tiongkok dipengaruhi oleh CISG dan oleh prinsip-prinsipnya:
“Modernisasi hukum kontrak tidak hanya berarti seperangkat aturan huruf
CO
hitam yang dimodernisasi, tetapi juga pemahaman, ide, atau teori hukum
kontrak yang dimodernisasi”. Pada tahun 2013, penghapusan, oleh Cina,
reservasinya terhadap Pasal 11 CISG dalam bentuk tertulis dari kontrak
menyebabkan penyelarasan lebih lanjut dari hukum domestik dengan
aturan CISG. Akhirnya juga, para penyusun KUHPerdata Tiongkok yang
G
baru dapat menemukan di CISG, sumber hukum yang sangat penting baik
untuk penjualan barang maupun hukum kontrak secara umum.
IN
kontrak yang bersangkutan dan beberapa sarjana ingin aturan CISG diadopsi
langsung ke dalam hukum domestik.
2. Kasus Australia bahkan lebih kompleks.26 Australia adalah federasi dan
berbagai negara bagian telah mengadopsi aturan hukum kontrak Inggris
dan penjualan barang dengan berbagai cara. Hal ini menciptakan dalam
bisnis domestik untuk penjualan bisnis masalah biaya informasi yang
sepenuhnya mirip dengan yang muncul dalam perdagangan internasional.
Terlebih lagi, luasnya wilayah tersebut menimbulkan masalah khusus
pengangkutan barang dan pengiriman jarak jauh yang ditangani oleh CISG.
Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 77
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
3. Situasinya serupa di Nigeria—ekonomi terbesar di Afrika—yang belum
meratifikasi CISG. Pada sebuah lokakarya pada tanggal 2 September
2014, Komisi Reformasi Hukum Nigeria mulai mempertimbangkan
reformasi Undang-Undang Penjualan Barang 1893, yang masih mereproduksi
hukum Inggris lama tanpa inovasi substansial. Sekarang, ada seruan agar
reformasi mengambil CISG sebagai model hukum.179
4. Untuk waktu yang lama, Jepang tidak meratifikasi CISG. Sementara itu,
aturan CISG secara bertahap menjadi lebih akrab bagi komunitas hukum
dan mereka datang untuk memodifikasi interpretasi hukum nasional. Ini
tampaknya terjadi di bidang penghindaran kontrak. Di Jepang, sebagai
aturan umum, pihak yang terluka dapat menghindari penjualan apa pun
jenisnya atau seberapa penting pelanggaran itu. Pengecualian terhadap
PY
prinsip ini, yang tersebar di sekitar KUHPerdata, sekarang ditafsirkan
dalam terang CISG sebagai prinsip itu sendiri, sehingga pembatasan peng
hindaran terhadap kasus-kasus pelanggaran mendasar menjadi bagian
dari hukum domestik.28 Reformasi hukum kewajiban Jepang yang sedang
CO
berlangsung dapat meningkatkan tingkat penerimaan prinsip dan aturan
CISG dalam sistem hukum Jepang. Menurut beberapa sarjana, “[t]dia isi
[CISG] bisa dibilang jauh lebih baik daripada hukum penjualan Jepang”.180
5. Turki meratifikasi CISG pada tahun 2010 (efektif 1 Agustus 2011). Turkish
Code of Obligations di Turki yang baru (efektif 1 Juli 2012) secara mendalam
G
mereformasi undang-undang kontrak, masih didasarkan pada model
Swiss yang diadopsi pada tahun 1920-an. Perubahan yang sangat penting
IN
solusi CISG (Pasal 67 dan 68). Risiko dan manfaat atas barang yang dijual
lulus kepada pembeli pada saat pengalihan kepemilikan. Perubahan
aturan ini secara tegas dibenarkan dengan menyebutkan aturan CISG.181
RE
179 Hiroo Sono, “Japan’s Accession to the CISG: The Asia Factor”, Pace Int’l L. Rev, 20, 2008, hlm. 105.
180 Noboru Kashiwagi, “Accession by Japan to the Vienna Sales Convention (CISG)”, Zeitschrift
für Japanisches Recht, 13(25), 2008, hlm. 207–214.
181 Seda İrem ÇAKIRCA, “Passing of Risk According to the United Nations Convention on Contracts
for the International Sale of Goods and the New Turkish Code of Obligations from a Comparative
Perspective”, Ankara Hacı Bayram Veli Üniversitesi Hukuk Fakültesi Dergisi, 16(4), 2012, hlm.
91–116.
PY
CESL harus mengatur penjualan kepada konsumen dan bisnis. Penjualan
lintas batas ke bisnis saat ini berada di bawah CISG (semua negara anggota Uni
Eropa (UE), kecuali Inggris, Irlandia, Malta, dan Portugal adalah pihak dalam
CISG). Oleh karena itu, CESL yang diusulkan dimaksudkan untuk menjadi rezim
CO
hukum kontrak kedua yang seragam. Itu tidak mengubah hukum nasional
dan harus diterapkan secara sukarela, dengan persetujuan para pihak dalam
penjualan internasional (ini adalah undang-undang keikutsertaan). CESL kemudian
akan menghapus pilihan baru antara sistem hukum yang dapat dibuat oleh
para pihak secara bebas, yaitu hukum nasional mana pun, baik dari anggota
G
UE atau negara bagian lain. Proposal Komisi Eropa adalah bahwa CISG dan
CESL harus hidup berdampingan dalam penjualan internasional bisnis ke
IN
bisnis. CISG tetap menjadi rezim default untuk penjualan barang internasional,
sedangkan CESL dapat dipilih secara eksplisit oleh para pihak. Akan tetapi,
jelas bahwa keberadaan dua sistem hukum seragam yang berbeda yang
AD
penjualan barang. Seperti yang ditunjukkan oleh Komisi Eropa, CESL sedikit
lebih luas karena juga mencakup cacat dalam persetujuan, kewajiban untuk
menginformasikan, keadilan dan validitas persyaratan standar. Namun, setiap
pertanyaan yang berkaitan dengan hal-hal yang masih belum tercakup oleh
CESL memerlukan penelitian tentang hukum yang berlaku di bawah aturan
182 Bruno Zeller, “Recent Developments of the CISG: Are Regional Developments the Answer to
Harmonisation?”, Vindobona Journal of International Commercial Law and Arbitration, 18(1), 2014,
hlm. 111–128.
183 Ulrich Magnus, “CISG and CESL”, Liber Amicorum Ole Lando, 2012, hlm. 225–255.
Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 79
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
konflik yang biasa. Dalam hal ini, situasinya mirip dengan hal-hal yang tidak
dicakup oleh CISG.
Aturan Jerman yang mengatur iktikad baik juga muncul dalam proyek CESL
Eropa. Pasal 2 CESL menetapkan prinsip umum untuk bertindak dalam “iktikad
baik dan transaksi yang adil”. Ini adalah kewajiban hukum para pihak dan
pelanggarannya dapat menyebabkan tanggung jawab kontraktual dan me
nimbulkan ganti kerugian.184 Selain itu, hakim diizinkan melakukan diskresi untuk
memastikan bahwa praktik komersial yang baik diterapkan (misalnya, Pasal
89.2 CESL memberi hakim kewenangan untuk “mengadaptasi kontrak”, dalam
kondisi tertentu, dalam kasus berubahnya fakta-fakta yang ada). Ketegangan
antara kepastian dan keadilan diselesaikan oleh CESL yang mendukung
prinsip keadilan. Banyak Penulis yang menunjukkan bahwa solusi ini dapat
PY
meningkatkan biaya transaksi terkait ketidakpastian dan dapat mencegah
bisnis untuk memilih CESL.
CESL dimaksudkan untuk menciptakan “dalam hukum nasional masing-
masing negara anggota rezim hukum kontrak kedua untuk kontrak dalam ruang
CO
lingkupnya” (Resital (9)). Pada akhirnya, kita bisa berakhir dengan tiga sistem
untuk penjualan barang bergerak, yaitu hukum nasional, hukum seragam
CESL, dan CISG. Banyak sarjana yang percaya bahwa solusi serupa untuk
harmonisasi regional diramalkan akan gagal. Mengambil berbagai kritik atas hal
tersebut, Komisi Eropa telah menarik proyek CESL, berniat untuk menggantinya
G
dengan peraturan yang berfokus pada e-commerce dan ditakdirkan untuk
menciptakan pasar tunggal digital di Eropa.
IN
184 Dalam usulan komisi “’iktikad baik dan adil berurusan’ berarti standar perilaku yang ditandai
dengan kejujuran, keterbukaan, dan pertimbangan untuk kepentingan pihak lain dalam transaksi”
(Pasal 2(b) (aturan ini diubah dengan lebih fleksibel oleh Parlemen: Amandemen 37)).
PY
antara negara-negara anggota, menurunkan biaya bisnis, meningkatkan
perdagangan, investasi, dan efisiensi ekonomi, menciptakan pasar yang
lebih besar dengan peluang yang lebih besar dan skala ekonomi yang
lebih besar untuk bisnis negara-negara anggota dan menciptakan dan
CO
mempertahankan area investasi yang kompetitif...185
Perjanjian untuk perdagangan bebas barang hanya akan dapat mencapai
tujuannya secara penuh jika disertai dengan peraturan penjualan internasional
yang seragam. Hal ini telah mendorong sejumlah sarjana terkenal untuk
G
meloloskan proyek yang dikenal sebagai Principles of Asian Contract Law
(Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Asia) (PACL), tetapi ini akan memerlukan
IN
185 Ibid.
186 Shiyuan Han, “Principles of Asian Contract Law: An Endeavor of Regional Harmonization of
Contract Law in East Asia”, Vill. L. Rev., 58, 2013, hlm. 589.
187 Jungjoon Ka, “Introduction to PACL”, 2014, hlm. 55–65.
Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 81
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
telah meratifikasi CISG (Jepang, Singapura, Australia, Selandia Baru, dan Cina).
Jika negara-negara lain juga meratifikasi CISG, wilayah perdagangan bebas di
Asia Tenggara akan segera memiliki hukum instrumen yang diperlukan untuk
memfasilitasi sirkulasi barang.188 Lebih lanjut, negara-negara Asia Tenggara
dapat mengejar tujuan mengadopsi hukum regional yang seragam. Sekali lagi,
CISG akan menjadi sumber aturan yang cocok untuk harmonisasi regional
undang-undang tentang penjualan barang bergerak. Antara lain, banyak aturan
CISG yang mendorong para pihak untuk mempertahankan kontrak (misalnya,
hak untuk menyelesaikan secara damai), daripada memulai litigasi: “merupakan
pendekatan yang lebih Asia dan konsensual daripada pendekatan konfrontatif
Barat”. Dalam pengertian ini, CISG juga dapat memulihkan sensitivitas hukum
spesifik dari sistem Asia.
PY
3. Studi Kasus Harmonisasi Hukum OHADA di Afrika
Organisasi pourl’ Harmonisation en Afrique du Droit des Affaires (OHADA)
didirikan di Afrika, dengan perjanjian yang ditandatangani pada 17 Oktober
CO
1993 dan direvisi pada tahun 2008. Tujuh belas negara Afrika Tengah saat
ini menjadi anggota OHADA (Benin, Burkina Faso, Kamerun, Republik
Afrika Tengah, Pantai Gading, Republik Kongo, Komoro, Gabon, Guinea,
Guinea-Bissau, Guinea Khatulistiwa, Mali, Niger, Republik Demokratik
Kongo, Senegal, Chad, dan Togo). Tujuan organisasi ini adalah untuk
G
memperbaiki ketidakpastian hukum dan yuridis yang ada di antara negara-
negara penandatangan, karena keterbelakangan banyak teks hukum, yang
IN
188 Gary F. Bell, “Harmonisation of Contract Law in Asia – Harmonising Regionally or Adopting
Global Harmonisations-The Example of the CISG”, Sing J. Legal Stud., 2005, hlm. 362.
189 Marcel Fontaine, “Law Harmonization and Local Specificities–A Case Study: OHADA and the
Law of Contracts”, Uniform Law Review, 18(1), 2013, hlm. 50–64.
PY
Hukum Prancis, seperti yang telah kita lihat, menghubungkan transfer properti ke
kontrak sederhana, terlepas dari pengiriman atau pembayaran harga. Undang-
undang seragam Afrika tidak menghindari kebutuhan untuk memberikan
aturan khusus tentang transfer properti, tetapi mengadopsi aturan Jerman,
CO
yang menghubungkan transfer properti dengan pengiriman barang yang dijual
(AUDCG Pasal 283 dan AURDCG Pasal 275). Namun, adopsi keputusan yang
tepat mengenai transfer properti tidak mengubah aturan yang diterapkan, yang
tetap menjadi milik CISG. Perjalanan risiko, misalnya, terjadi dengan pengiriman
(CISG, Pasal 69), kecuali bahwa hukum seragam OHADA memperkenalkan
G
media logis dari berlalunya properti (AUDCG Pasal 285 dan AURDCG Pasal
277: “Le transfert de propriété entraîne le transfert des risques à l’acheteur”).
IN
Tiga ekonomi penting bergabung dengan CISG baru-baru ini, yaitu Jepang
(2009), Turki (2011), dan Brazil (2014), sementara Afrika Selatan tidak sampai
sekarang. Kita dapat menganalisis konsekuensi dari menjadi peserta CISG,
ketika negara yang meratifikasi adalah ekonomi terkemuka regional. Kasus
Turki sangat menarik. Negara ini memainkan peran politik, budaya, dan
ekonomi terkemuka dalam Dewan Kerjasama Negara-Negara Berbahasa Turki
(the Cooperation Council of Turkic-Speaking States (CCTS)), yang didirikan
pada tahun 2009 (Perjanjian Nakhchivan). Negara-negara anggota CCTS
adalah Azerbaijan, Kazakhstan, Kirgistan, Turki, sementara Turkmenistan
dan Uzbekistan dianggap sebagai kemungkinan anggota masa depan. Hanya
Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 83
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
Kirgistan (efektif 1 Juni 2000) dan Uzbekistan (efektif 1 Desember 1997),
setelah pembubaran Uni Soviet, sudah menjadi pihak dalam CISG.
Pada CCTS, terdapat pernyataan: menciptakan kondisi yang menguntungkan
untuk perdagangan dan investasi; bertujuan untuk pertumbuhan ekonomi
yang komprehensif dan seimbang, pembangunan sosial dan budaya; dan
mempromosikan pertukaran informasi hukum yang relevan dan meningkatkan
kerja sama hukum. CCTS juga bekerja untuk meningkatkan pembangunan
ekonomi di semua wilayah negara anggota. Jelas bahwa Turki adalah negara
terkemuka di CCTS. Oleh karena itu, adopsi CISG oleh Turki tentu akan
memiliki efek yang lebih luas. Semua negara anggota CCTS, yang bukan
merupakan pihak dalam CISG, akan dirangsang untuk meratifikasinya. Peran
utama Turki dalam harmonisasi regional menengah ini akan dibantu dengan
PY
mengadopsi CISG dan menentukan adhesi baru pada konvensi.190
Di kawasan Asia Pasifik, banyak negara yang tidak meratifikasi CISG sampai
sekarang, yaitu Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina,
Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Penerapan CISG di Hong Kong masih dalam
CO
pembahasan.191 Aksesi Jepang ke CISG pada tahun 2009 dapat memengaruhi
negara-negara ini karena peran ekonomi utama yang dimainkan oleh Jepang di
kawasan ini. Perdagangan internasional antara Jepang dan ekonomi regional
lainnya dapat didorong oleh meluasnya penggunaan CISG. Filipina, misalnya,
saat ini sedang mempersiapkan keanggotaan CISG.192
G
Dalam dua kasus ini, aksesi ke CISG oleh ekonomi kuat regional (Turki
dan Jepang) dapat membawa adopsi undang-undang penjualan barang yang
IN
berbeda. Semua negara bagian Amerika Selatan sudah menanda tangani CISG
(dengan satu-satunya pengecualian Venezuela). Dengan aksesinya sendiri ke
CISG, Brazil mencapai tingkat hukum seragam yang sama yang sudah ada di
RE
190 William P. Johnson, “Turkey’s Accession to the CISG: The Significance for Turkey and for Sales
Transactions with US Contracting Parties”, Ankara Law Review, 8, 2011.
191 Ulrich G. Schroeter, “The Status of Hong Kong and Macao under the United Nations Convention
on Contracts for the International Sale of Goods”, Pace. Int’l L. Rev., 16, 2004, hlm. 307.
192 Rosario Elena A. Laborte-Cuevas, “The Philippines’ Perspective on United Nations Convention
on Contracts of International Sales of Goods”, Victoria University of Wellington, diakses
darihttp://www.victoria.ac.nz/law/nzacl/pdfs/special%20issues/hors%20serie%20vol%20xix/
rosario%20elena%20a.%201aborte-cuevas%20for%20printing.doc.
193 Akan tetapi, harus diakui bahwa aksesi Cina ke CISG pada tahun 1988 dan meningkatnya peran
utama ekonomi Tiongkok di kawasan Asia sampai sekarang tidak memiliki pengaruh pada ratifikasi
oleh negara-negara ASEAN lainnya.
PY
kepemimpinan negara yang paling maju secara ekonomi.
194 Dolganova, Iulia, and Marcelo Boff Lorenzen, “A Case for Brazil’s Adhesion to the 1980 UN
Convention on Contracts for the International Sale of Goods”, VINDOBONA J. INT’L COM. L. &
ARB, 13, 2009, hlm. 351–366.
Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 85
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
Inggris tidak meratifikasi konvensi, yang tidak dianggap sebagai model yang
lebih baik daripada Undang-Undang Penjualan Barang domestik. Namun,
pamor saja tidak cukup untuk menjelaskan mengapa CISG juga bisa menjadi
model yang ideal untuk hukum domestik maupun harmonisasi hukum tingkat
regional.
Salah satu aspek yang sangat penting adalah keseimbangan internal yang
ditawarkan CISG menurut para ahli hukum dari seluruh belahan dunia. Di
bidang berbagai model undang-undang penjualan barang, CISG menghindari
untuk menempati titik-titik pertentangan ekstrem yang ditunjukkan di awal
dan menawarkan solusi yang sering kali menjadi penengah. Hal ini juga
telah menyelamatkannya dari konflik ideologis, misalnya pertentangan antara
model Prancis dan model Jerman, yang masih dirasakan sampai sekarang dalam
PY
proses legislatif Uni Eropa. Ada kemungkinan bahwa hampir semua sistem
hukum di dunia, dengan pengecualian yang relevan dari negara-negara Islam
tertentu, memasukkan beberapa karakteristik Common Law Inggris atau civil
Law Eropa dalam hukum nasional mereka. Pada akhirnya, penjualan barang
CO
adalah sektor di mana aturan-aturan sistem hukum Barat telah dinyatakan paling
efektif dan di mana kasus-kasus aturan atau prinsip non-Barat kurang penting.
Eklektisisme CISG memungkinkan para ahli hukum dari setiap sistem
nasional untuk memahami dan menghargai aturan konvensi yang dibagikan
dengan sistem mereka sendiri daripada menggarisbawahi perbedaannya.
G
Ahli hukum nasional dengan demikian cenderung menghargai kompatibilitas
sistemnya sendiri dengan CISG dan menempatkan setiap konflik antara CISG
IN
sangat informatif. Sistem yang berasal dari hukum Prancis telah dengan mudah
memasukkan semua aturan CISG, termasuk aturan yang berasal dari Common
Law dan dari sistem Jerman.
RE
195 Ole Lando, “CISG and Its Followers: A Proposal to Adopt Some International Principles of
Contract Law”, Am. J. Comp. L., 53, 2005, hlm. 385.
PY
dengan konsumen dalam satu teks, menunjukkan bahwa solusi serupa tidak
dapat dipertahankan. Konteks kedua di mana CISG tidak berlaku berasal dari
Pasal 2 dan 3. Saham perusahaan dan instrumen keuangan, kapal, hovercraft
dan pesawat terbang, dan listrik semuanya dikecualikan; kontrak yang terkait
CO
dengan barang yang akan diproduksi dikecualikan, jika pembeli di bawah
mengambil untuk memasok sebagian besar bahan atau jika bagian utama dari
kewajiban pihak yang melengkapi barang terdiri atas pasokan tenaga kerja atau
layanan lainnya. Namun, di sini CISG masih dapat dipilih oleh pihak-pihak
yang berkontrak, mungkin bersama dengan aturan lain yang didedikasikan
G
untuk aspek-aspek tertentu (diambil dari instrumen hukum lunak atau dari sistem
nasional individu).
IN
Selain itu, ada juga masalah kontraktual yang tidak tercakup oleh
aturan CISG. Validitas kontrak penjualan internasional adalah salah
satunya, serta hak pihak ketiga, atau tanggung jawab atas kematian atau cedera
AD
pribadi.196 Dalam kasus ini, hakim harus merujuk pada hukum nasional yang
berlaku di bawah aturan konflik hukum yang umum. Dalam bahasan ini, model
hukum (bukan konvensi) yang disiapkan oleh UNCITRAL untuk diadopsi oleh
RE
196 Peter Schlechtriem, “Requirements of Application and Sphere of Applicability of the CISG”,
Victoria U. Wellington L. Rev., 36, 2005, hlm. 781.
197 Michael J. Dennis, “The Guiding Role of the CISG and the UNIDROIT Principles in Harmonising
International Contract Law”, Uniform Law Review, 19, 2014.
Bab VI - Kontrak Jual Beli Barang Internasional dalam Hukum Transaksi Bisnis Transnasional 87
berdasarkan Convention on International Sales of Goods (CISG) 1980
untuk pelanggaran kontrak, misalnya, mudah disesuaikan dengan aturan
kontrak umum. Evolusi hukum Tiongkok adalah contoh penting dari hal
ini. Sangat menarik untuk dicatat bahwa ini merujuk sekali lagi pada proses
historis, di mana aturan penjualan barang Romawi menjadi cetak biru untuk
aturan yang mengatur kontrak secara umum dalam sejarah hukum Eropa
kontinental.198 Kedua, CISG merupakan model yang berguna bagi negara-
negara yang bermaksud untuk mereformasi hukum domestik mereka, yang
mengatur penjualan barang. Ini tampaknya lebih signifikan sampai sekarang
untuk negara-negara dengan masa lalu kolonial, yang karenanya telah
mengimpor model Eropa ke dalam sistem domestik mereka, seperti Undang-
Undang Penjualan Barang Inggris, sering kali tanpa mengasimilasi perubahan
apa pun yang diperkenalkan dalam sistem aslinya.
PY
Pengaruh yang menentukan dari CISG dapat diekspresikan dalam hal
harmonisasi hukum di tingkat regional, yang mungkin akan semakin penting di
masa depan. Bahkan, adopsi konvensi perdagangan bebas merupakan pra-kondisi
untuk harmonisasi struktur yuridis. Integrasi ekonomi regional akan berlanjut
CO
di masa depan, menciptakan bidang integrasi yang semakin luas. Kasus negara-
negara di Asia Tenggara adalah contoh yang jelas dari hal ini. Oleh karena
itu, negara-negara yang tertarik perlu segera menyelaraskan undang-undang
tentang hukum perdagangan komersial, yang ingin disederhanakan oleh
integrasi ekonomi. Kadang-kadang, mungkin tidak perlu untuk mereformasi.
G
Untuk area Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), misalnya,
CISG sudah menjadi hukum yang berlaku seragam dari tiga negara pendiri
IN
(Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko). Dalam konteks ini, perlu untuk
menghindari munculnya interpretasi ‘regional’ dari CISG.199 Namun, dalam
kebanyakan kasus, negara-negara akan dapat menggunakan CISG sebagai
AD
198 Oliver Antić, “Alan Watson: Legal Transplants. An Approach to Comparative Law (The University
of Georgia Press, Athens and London, 1993)”, Анали Правног факултета у Београду, 45(4-6),
1997, hlm. 549–564.
199 Ulrich G. Schroeter, “The Status of Hong Kong and Macao under the United Nations Convention
on Contracts for the International Sale of Goods”, Pace. Int’l L. Rev., 16, 2004, hlm. 307.
PY
HUKUM TRANSNASIONAL DARI ASPEK KEPABEANAN
DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS
CO
A. Rules of Origin sebagai Aturan Inti Perdagangan Barang
dalam Skema FTA
G
1. Aspek Yuridis
IN
200 WTO, “Regional trade agreements and preferential trade arrangements”, WTO Portal, diakses dari
ttps://www.wto.org/english/tratop_e/region_e/rta_pta_e.htm pada 20 Agustus 2020.
201 Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional, Jakarta: Fikahati Aneska, 2012, hlm. 133.
(2) Undang-Undang Kepabenan untuk bisa diimplementasikan sebagai hukum
positif, penjanjian FTA harus terlebih dahulu diatur dalam PMK tentang
besaran tarif dan tata cara pengenaan tarif preferensi. Sedangkan, Perpres
Pengesahan FTA adalah pengesahan perjanjian yang belum memiliki kekuatan
(legal effect) yang mengikat bagi warga negara sampai dengan adanya
national legislation (domestic law) yang berfungsi sebagai implementing
legislation atas pemberian tarif bea masuk FTA atas importasi. Begitu juga
jika dilihat dari perjanjian FTA, pemberian tarif oleh importing party dilakukan
berdasarkan hukum domestik (in accordance with the domestic laws).
PY
agreement serta pihak-pihak yang terlibat dalam non-preferential rules of
origin harus memberikan bantuan administratif untuk memastikan pemenuhan
rules of origin. Pemberian bantuan dilakukan dengan asas timbal balik, pihak
CO
yang diminta hanya akan memenuhi ketentuan jika dari pihak yang meminta
dapat memberikan bantuan yang sama.202 Pejabat yang berwenang di negara
pengimpor dapat meminta pejabat yang berwenang di negara pengekspor
(atau negara yang tertera dalam bukti dokumen asal) untuk melakukan verifikasi
terhadap bukti asal barang. Alasan permintaan di antaranya adanya keraguan
G
mengenai keaslian dokumen, keraguan mengenai keakuratan informasi dalam
dokumen, atau secara acak (tetapi harus seminimal mungkin).203
IN
202 World Customs Organization, Rules of Origin – Handbook, Rules of Origin - Manual/Handbook
(wcoomd.org), hlm. 19.
203 Ibid.
204 Ibid.
205 Ibid.
PY
SKA merupakan dokumen yang diterbitkan oleh otoritas di negara produsen
atau eksportir barang melalui prosedur yang telah ditentukan. Hanya instansi
dan pejabat tertentu yang dapat menerbitkannya. Nama instansi, nama pejabat,
dan spesimen tanda tangannya disampaikan ke negara peserta FTA lainnya
CO
dan digunakan sebagai bahan untuk memastikan keabsahan SKA. SKA harus
diajukan bersamaan dengan pengajuan PIB.208 Atas pengajuan itu, pejabat
Bea dan Cukai akan melakukan penelitian yang meliputi pemeriksaan kriteria
origin, kriteria pengiriman langsung, dan procedural provisions. Apabila terdapat
syarat yang tidak dipenuhi, maka tarif preferensi tidak diberikan. Importir harus
G
membayar bea masuk sesuai tarif MFN.
Masing-masing perjanjian FTA memiliki cara/prosedur yang tidak
IN
Tindakan untuk melakukan hal-hal yang dianggap perlu semacam itu disebut
sebagai retroactive check. Negara penerbit SKA memiliki batasan waktu
tertentu untuk merespons retroactive check. Negara penerbit wajib memberikan
RE
jawaban dalam waktu 90 hari (tidak seragam untuk semua perjanjian FTA)
sejak menerima permintaan retroactive check. Apabila tidak ada jawaban
atau jawaban melewati jangka waktu tersebut, maka dapat menjadi alasan
untuk tarif preferensi tidak diberikan.
206 Ibid.
207 Joseph A. Lanasa III, An evaluation of the uses and importance of rules of origin, and the
effectiveness of the Uruguay Round’s Agreement on rules of origin in harmonizing and regulating
them, No. 1, Jean Monnet Chair, 1996.
208 Beberapa negara lain peserta FTA membolehkan penyerahan SKA setelah pemberitahuan impor.
Meskipun pernah mendapat komplain, Ditjen Bea Cukai Indonesia telah menegaskan bahwa tata
laksana ini wajib ditaati importir.
Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 91
Apabila jawaban retroactive check telah disampaikan, maka Bea Cukai
harus memberitahukan langkah yang diambil selanjutnya kepada negara
penerbit SKA. Dalam hal jawaban retroactive check masih belum memuaskan,
maka disediakan mekanisme verification visit. Pihak berwenang di negara
pengimpor melakukan verifikai langsung ke negara pengekspor. Pelaksanaan
retroactive check dan verification visit memerlukan waktu hingga tiba pada
keputusan akhirnya. Selama menunggu proses retroactive check, belum ada
peraturan yang jelas mengatur bagaimana tata laksana pengeluaran barang
impornya. Apakah bea masuk diperhitungkan berdasarkan tarif preferensi atau
tarif MFN.
Prosedur penerbitan dan penerimaan SKA diatur dengan Operational
Certification Procedures (OCP) masing-masing perjanjian FTA. Sekalipun
PY
substansi dari masing-masing OCP kurang lebih sama, tetapi terdapat beberapa
prosedur di dalam OCP yang memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan itu,
misalnya, dalam hal jangka waktu penerbitan SKA dihitung dari saat pengapalan.
OCP pada dasarnya mengatur seluruh prosedur dari mulai penerbitan, verifikasi,
CO
penyampaian ceritificate of origin, verifikasi oleh administrasi pabean di negara
importir, sampai dengan fleksibilitas dalam skema FTA.209
Pejabat Bea dan Cukai yang menerima SKA meneliti keabsahan atau
kebenarannya, terutama didasarkan pada ketentuan dalam masing-masing OCP.
Pada prinsipnya, semua OCP mengatur prosedur penerbitan dan penerimaan
G
SKA. Namun, terdapat beberapa hal khusus dalam tiap-tiap OCP tersebut.
Meskipun keberadaan SKA sudah dimulai sejak perjanjian AFTA tahun
IN
SKA diragukan, berarti tarif preferensi tidak dapat diberikan dan importir
harus melunasi kekurangan bea masuk yang seharusnya dibayar, yaitu sebesar
selisih antara tarif preferensi dengan tarif umum yang berlaku.
RE
209 Dedi Abdul Hadi, Modul Operational Certification Procedure, Jakarta: Pusdiklat Bea dan Cukai,
2013, hlm. 2.
PY
check). Verifikasi langsung (verification visit) dilakukan oleh otoritas pabean
negara pengimpor dengan memverifikasi eksportir atau produsen negara
pengekspor secara langsung. Adapun verifikasi tidak langsung (retroactive check)
CO
dilakukan dengan eksportir atau produsen negara eksportir diverifikasi melalui
otoritas pabean negara pengekspor sebelum hasil verifikasi diberitahukan kepada
negara pengimpor.
Untuk melakukan verifikasi, otoritas kepabeanan negara pengimpor meminta
informasi terkait bahan baku atau manufaktur dari eksportir atau produsen negara
G
pengekspor, baik secara langsung maupun tidak langsung, sebelum dapat
menyimpulkan apakah RoO terpenuhi atau tidak. Hal ini menjadi ruang besar
IN
3. Efektivitas verifikasi tidak dapat dipastikan jika tidak ada kerja sama yang
baik antara otoritas bea cukai dalam hal verifikasi tidak langsung.212
210 M. Izam, Rules of Origin and Trade Facilitation in Preferential Trade Agreements in Latin America.
Santiago, Chile: United Nations, Economic Commission for Latin America and the Caribbean , 2003.
211 F.P. Cantin and A.F. Lowenfeld, “Rules of Origin, the Canada-US FTA, and the Honda Case”, The
American Journal of International Law, 87(3), 1993, hlm. 375–390.
212 Commission of the European Communities, Green Paper on the Future of Rules of Origin in
Preferential Trade Arrangements, Brussels: European Commission, 2003.
Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 93
Studi dan penelitian telah menunjukkan bahwa RoO preferensial ini
telah menyebabkan perselisihan. Namun, prosedur penyelesaian sengketa
di bawah FTA tidak dapat diprediksi atau tidak transparan dalam konteks
perselisihan yang sensitif secara politis.213 Selanjutnya, prosedur verifikasi,
yang mengharuskan otoritas Bea Cukai negara pengimpor untuk mendapatkan
informasi yang diperlukan secara langsung atau tidak langsung dari negara
pengekspor, memerlukan biaya keuangan yang cukup besar. Prosedur verifikasi
sering dianggap tidak efektif oleh pembatasan anggaran tersebut dalam
kunjungan verifikasi. Untuk mengompensasi kelemahan ini dalam prosedur
pasca-verifikasi, negara-negara cenderung meningkatkan pengetatan inspeksi
pra-ekspor dalam prosedur sertifikasi.214 Namun, dengan demikian, eksportir
dihadapkan pada inspeksi pra-ekspor yang ketat, termasuk pemeriksaan post-
PY
audit.215 Hal ini meningkatkan ketidakpastian perusahaan atas tanggung jawab
mereka di bawah RoO dan mengurangi penggunaan FTA, yang sering berakhir
dalam perselisihan.
Meskipun RoO preferensial adalah aturan inti dalam perdagangan barang dengan
skema perjanjian FTA, ketentuan tersebut berpotensi memicu perselisihan,
G
karena banyanyaknya aturan yang kompleks dan ambigu serta ketidakjelasan
dalam mendefinisikan tanggung jawab dan risiko para pihak yang terkait.
IN
effect.218 Hal ini memicu sengketa yang tidak berujung sehubungan dengan
PY
Namun, relatif sedikit penelitian yang dikhususkan terkait prosedur penyelesaian
sengketa mengenai RoO di bawah FTA. Oleh karena tidak ada negara anggota
yang akan menerapkan atau menerapkan tarif preferensial yang ditentukan
dalam FTA, mengingat tidak adanya sistem penyelesaian sengketa yang efektif
CO
dan adil, maka sistem penyelesaian sengketa adalah kunci untuk memastikan
kepatuhan yang tepat dari penerapan tarif preferensi dalam FTA serta penegakan
aturan FTA yang diharapkan. Selain itu, banyak kasus yang dihasilkan dalam
menyelesaikan kasus sengketa akan lebih memberikan dasar untuk meningkatkan
RoO preferensial. Dikarenakan jumlah keberatan yang diajukan kepada panel
G
arbitrase FTA sangat rendah karena ketentuan negara asal bersifat esoteris
(sangat spesialis) dan teknisnya sangat kompleks dan catatan resmi yang
IN
219 Jisoo Yi, “A Study on the Dispute Settlement Procedure for the Preferential Rules of Origin”,
Journal of Arbitration Studies, 26(3), 2016, hlm. 25.
220 Avraham Azrieli, “Improving Arbitration under the U.S.-Israel Free Trade Agreement: A
Framework for a Middle-East Free Trade Zone”, St. John’s Law Review, 67(2), 1993, 187–263.
Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 95
dihasilkan dari RoO preferensial akhirnya diselesaikan melalui litigasi.221 Desain
ketentuan FTA tentang penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga (extra
judicial body), seperti panel dan lembaga arbitrase, digunakan untuk
mengurangi ketegangan politik. Namun sayangnya, belum ada aturan
prosedural inisiasi sengketa sampai dengan eksekusi resolusi yang mengikat;
tidak adanya transparansi yang memberikan peluang pengajuan sengketa
pelaku bisnis; dan publikasi hasil putusan akhir yang mengikat para pihak
untuk proses eksekusi akhir dengan memastikan keterlibatan publik. Secara
khusus, Penulis menekankan pentingnya memberikan sektor swasta akses ke
forum penyelesaian sengketa, mengingat perusahaan, produsen, dan eksportir
adalah pihak atau penerima manfaat nyata dari FTA.222
PY
C. Permasalahan Dispute Settlement pada FTA di Asia
1. Terbatasnya Akses Sektor Swasta ke dalam Sistem
Penyelesaian Sengketa FTA dan WTO
CO
Sebagian besar FTA Asia menyediakan yurisdiksi eksklusif untuk FTA demi
mencegah konflik masalah hukum. Contoh yang tipikal adalah Article 139
FTA Jepang-Singapura yang menetapkan: “Setelah Pihak yang mengajukan
gugatan telah meminta pembentukan suatu majelis arbitrase berdasarkan Bab
G
ini atau panel berdasarkan Pasal 6 Kesepahaman tentang Aturan dan Prosedur
yang Mengatur Penyelesaian Perselisihan, dalam Lampiran 2 Perjanjian WTO
IN
ketentuan yurisdiksi eksklusif.223 Dalam hal ini, dicatat bahwa Article 139.3
dari FTA Jepang-Singapura mencakup ketentuan: “Namun, ini tidak berlaku jika
hak atau kewajiban yang terpisah dan berbeda secara substansial berdasarkan
RE
PY
perusahaan individual memiliki akses tidak langsung kepada sistem ini.225
Ruang lingkup penyelesaian sengketa FTA umumnya diberikan secara flexible
sebagai “penghindaran dan penyelesaian perselisihan antara para pihak mengenai
penafsiran atau penerapan”, artinya “terbatas pada penyelesaian perselisihan
CO
antara para pihak mengenai interpretasi atau aplikasi FTA”. Pasal 133 FTA
Jepang-India, Pasal 204 FTA Jepang-Peru, Pasal 116 FTA Jepang-Vietnam,
Pasal 184 FTA Cina-Selandia Baru, Pasal 141 FTA Cina-Kosta Rika, dan Pasal
14.2 FTA Korea-UE semuanya menunjukkan hal yang sama. Oleh karena
ketentuan ini hanya mencakup “interpretasi dan penerapan” FTA, dipahami
G
bahwa sistem penyelesaian sengketa hanya membahas “pelanggaran” (violation)
oleh negara-negara.226
IN
FTA Asia menggunakan general panel procedures yang diadopsi untuk FTA
baru-baru ini. Misalnya, setiap negara FTA menunjuk satu panelis dari negara
mereka sendiri dan harus menyetujui panelis ketiga yang akan memimpin
RE
224 Ibid.
225 Peter Van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization: Text, Cases and
Materials, Cambridge University Press, Cambridge, 2005, hlm. 202–203.
226 Dukgeun Ahn, Loc.Cit.
Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 97
sistem penyelesaian sengketa FTA biasanya tidak memiliki proses banding.
Pengecualian langka adalah MERCOSUR dan ASEAN. Sistem peninjauan
banding ASEAN, yang sangat mirip dengan sistem penyelesaian sengketa
WTO, diperkenalkan oleh ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement
Mechanism 2004, tetapi belum pernah dilaksanakan. Apakah model ini akan
diadopsi dalam negosiasi RCEP, di mana ASEAN memainkan peran kunci,
masih harus dilihat.227
Jangka waktu penyelesaian sengketa FTA biasanya lebih pendek dari
prosedur penyelesaian sengketa WTO. Banyak FTA menetapkan 30 hingga
60 hari untuk konsultasi dan 90 hingga 120 hari untuk mengeluarkan laporan
panel setelah pembentukan panel. Garis waktu penyelesaian sengketa ini telah
diadopsi oleh banyak FTA Asia, seperti: Korea-UE, Cina-Selandia Baru, Jepang-
PY
Singapura, dan India-Korea. Kerangka waktu yang lebih lama, bagaimanapun,
biasanya diadopsi dalam FTA yang melibatkan Amerika Serikat. Misalnya,
KORUS FTA menetapkan 225 hari untuk mengeluarkan laporan panel setelah
CO
pembentukan panel. Akan tetapi, timeline ini mungkin lebih lanjut tertunda
oleh prosedur pra-panel dan proses pemilihan panelis. Meskipun sebagian
besar elemen prosedural secara substansial distandarisasi di seluruh FTA dan FTA
Asia tidak menunjukkan penyimpangan yang signifikan dari praktik normal,
meningkatnya keragaman di FTA Asia dapat menimbulkan kekhawatiran
G
mengenai perkembangan sistem penyelesaian sengketa yang konsisten.228
IN
mengenai tahap eksekusi. Secara garis besar, banyak FTA di Asia mencoba
untuk mengadopsi praktik yang mapan di bawah sistem WTO. Para pihak
pertama-tama akan berusaha untuk menyelesaikan non-implementasi dengan
RE
227 Ibid.
228 Ibid.
PY
konsistensi langkah-langkah tersebut dengan komitmen kepatuhan, pihak yang
mengajukan keluhan dapat meminta secara tertulis agar panel asli memutuskan
masalah ini.
Jika pihak yang merespons gagal memberi tahu langkah-langkah kepatuhan
CO
yang diambil sebelum berakhirnya periode implementasi, atau jika panel
kepatuhan aturan itu adalah kegagalan pihak yang menanggapi untuk
melaksanakan putusan, dan pihak yang mengajukan keluhan berhak untuk
menangguhkan kewajiban. Perlu dicatat bahwa dalam menangguhkan kewajiban,
G
pihak yang mengeluh dapat memilih untuk menaikkan tarif-tarifnya ke tingkat
yang diterapkan pada anggota WTO lainnya. Volume perdagangan akan
IN
Jenis proses implementasi ini telah diadopsi dalam, antara lain, FTA Jepang-
India, FTA Cina-Singapura, FTA Cina-Selandia Baru, dan FTA Korea-India.229
Perlu dicatat bahwa FTA Cina-Selandia Baru menetapkan ketergantungan
pada sistem WTO untuk pemilihan panel FTA. Pasal 189.4 menetapkan
RE
bahwa jika ada anggota majelis arbitrase yang belum ditunjuk atau ditunjuk
dalam waktu 30 hari setelah pembentukan pengadilan, salah satu pihak dapat
meminta agar Direktur Jenderal WTO menunjuk anggota dalam waktu 30 hari
sejak permintaan itu. Selain itu, Pasal 189.5 menetapkan bahwa semua arbiter
mematuhi Aturan Perilaku WTO untuk DSU. Apakah Direktur Jenderal WTO
mungkin atau dapat terlibat dalam proses pemilihan panel untuk FTA Cina-
Selandia Baru harus dikonsep, meskipun sangat tidak mungkin.
229 Ram Upendra Das & Rajan Sudesh Ratna, Perspectives on Rules of Origin: Analytical and Policy
Insights from the Indian Experience, United Kingdom: Palgrave Macmillan, 2011.
Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 99
b. Eksekusi “Tipe NAFTA”
Tidak seperti praktik WTO, pemerintah AS menekankan fungsi pembalasan
untuk mempercepat implementasi jika terjadi ketidakpatuhan. Pendekatan
ini dikodifikasikan dalam Bab 20 NAFTA. Pasal 2019.1 NAFTA menetapkan
bahwa jika panel menentukan bahwa suatu tindakan tidak konsisten dengan
kewajiban hukum NAFTA atau menyebabkan pembatalan atau penurunan
nilai, dan pihak tergugat tidak menyetujui resolusi yang saling memuaskan,
pihak penggugat dapat menangguhkan penerapan manfaat dengan efek yang
setara. Atas permintaan tertulis dari pihak yang menanggapi, panel akan
dibentuk untuk menentukan apakah tingkat manfaat yang ditangguhkan oleh
pihak yang mengeluh secara nyata berlebihan.
Proses “jenis NAFTA” untuk fase implementasi ini diadopsi dalam FTA
PY
AS-Australia. Pasal 21.11 menetapkan bahwa jika para pihak tidak dapat
menyetujui kompensasi dalam waktu 30 hari setelah negosiasi atau pihak
yang mengajukan gugatan menganggap bahwa pihak tergugat telah gagal
mematuhi ketentuan perjanjian kompensasi atau penyelesaian, maka pihak
CO
yang mengajukan gugatan dapat setiap saat memberikan pemberitahuan tertulis
untuk menangguhkan penerapan manfaat dengan efek yang setara. Jika
pihak yang tergugat menganggap bahwa tingkat manfaat yang diusulkan
untuk ditangguhkan secara nyata berlebihan atau jika telah menghilangkan
G
ketidaksesuaian atau pembatalan atau ketidaksetaraan, maka dapat meminta
panel untuk berkumpul kembali untuk mempertimbangkan masalah ini. Jika
IN
diadopsi dalam FTA Korea-AS (KORUS FTA) tanpa modifikasi apa pun. Pasal
22.13.2 dari KORUS FTA pada dasarnya sama dengan ketentuan dalam FTA
AS-Australia.
Elemen menarik dari sistem penyelesaian sengketa FTA ”tipe NAFTA”
RE
PY
tidak terbiasa dengan mekanisme penyelesaian moneter seperti itu untuk
penyelesaian sengketa perdagangan internasional.230
Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 101
depan untuk elaborasi lebih lanjut. Dalam hal ini, dicatat bahwa FTA Korea-
UE tidak mencakup ketentuan apa pun mengenai dukungan institusional untuk
prosedur penyelesaian sengketa.231
PY
di masa depan. Secara khusus, karena hampir setengah dari peserta dalam
TPP dan RCEP tumpang tindih, pendekatan yang berbeda dari FTA Asia
dapat menyebabkan inkonsistensi dalam proses peradilan untuk sengketa
CO
perdagangan internasional. Selain itu, ASEAN mengadopsi Protocol on
Enhanced Dispute Settlement Mechanism pada tahun 2004, yang juga
mencakup unsur-unsur baru, seperti peninjauan banding dan pendanaan
untuk mekanisme penyelesaian sengketa.
Fenomena terbaru pada FTA adanya duplikasi menimbulkan masalah
G
yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk penyelesaian sengketa. Misalnya,
jika Cina dan Korea memiliki sengketa perdagangan mengenai tindakan
IN
Ini bukan situasi yang unik hanya untuk Cina dan Korea saja. Banyak negara
ASEAN saat ini terlibat dalam beberapa FTA—dan akan terlibat dalam lebih
banyak FTA—dengan mitra dagang yang sama.232
RE
231 Ibid.
232 Ibid.
PY
kepada pejabat pabean. Setelah diberikan putusan advance ruling, importir
menyampaikan pada pemberitahuan pabean pada tahap impor, sehingga
tidak ada penelitian nilai pabean lebih lanjut yang perlu dilakukan, sehingga
CO
mempercepat prosedur pengeluaran dan meminimalkan potensi dispute.233
Dalam WCO Guidelines on Customs Infrastructure for Tariff Classification,
Valuation and Origin, terdapat petunjuk bahwa sengketa akan merugikan
administrasi Bea Cukai dan komunitas perdagangan dari segi biaya dan tenaga.
Sengketa dapat muncul pada berbagai tahap, misalnya berkenaan dengan pra-
G
customs clearance, pada tahap customs clearance, atau tahap post-customs
clearance. Jika perselisihan muncul pada tahap pra-customs clearance dan
IN
ditangani pada saat itu, hal ini akan membantu menghindari konflik di kemudian
hari. Namun, jika sengketa muncul pada tahap importasi, adanya keterlambatan
arus barang yang disebabkan dalam proses penyelesaian sengketa tidak akan
AD
233 Luc De Wulf & Jose B. Sokol, Customs Modernization Handbook, Washington DC: The World
Bank, 2005, hlm. 147.
234 WCO, Loc.Cit.
235 WCO, Glossary of International Customs Terms, October 2017.
Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 103
kepada pemohon sebelum transaksi impor atau ekspor barang yang dicakup
oleh aplikasi yang menetapkan perlakuan yang harus diberikan anggota terhadap
barang pada saat transaksi impor/ekspor, untuk jangka waktu tertentu.236 Lebih
lanjut, advance rulings juga diatur dalam Article 3 WTO Agreement on Trade
Facilitation (Trade Facilitation Agreement). Ketentuan yang diatur adalah sebagai
berikut.237
a. Bea Cukai harus memberikan keputusan tertulis atas permintaan masyarakat
mengenai klasifikasi tarif atau asal barangnya (atau hal-hal lain yang
dijelaskan dalam paragraf 9 (b) Trade Facilitation Agreement sebelum
importasi).
b. Putusan tersebut akan mengikat Bea Cukai dan tetap berlaku untuk jangka
waktu yang wajar.
PY
c. Masyarakat berhak untuk diberitahu jika Bea Cukai mengambil tindakan
tertentu yang merugikan kepentingannya (seperti penolakan untuk menge
luarkan keputusan atau keputusan untuk mencabut atau memodifikasi
putusan).
CO
d. Bea Cukai harus memublikasikan informasi tentang proses putusannya.
236 Ibid.
237 WTO, Trade Facilitation Agreement Advance Ruling, Article 3 | TFAF - Trade Facilitation Agreement
Facility (tfafacility.org), diakses 1 November 2021.
238 WCO, Technical Guidelines on Advance Rulings for Classification, Origin and Valuation, 2018,
hlm. 8.
239 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2011, hlm. 93.
PY
jenis contoh, berdasarkan kriteria asal, yaitu CTC, nilai tambah, dan proses
manufaktur. Dengan langkah-langkah untuk memfasilitasi penggunaan sistem
advance ruling tersebut, jumlah putusan awal telah meningkat di tahun 2012
sebanyak 539 putusan dan tahun 2013 sebanyak 718 putusan.241
CO
3. Model Penegakan Hukum yang Ideal atas Kasus Pelanggaran
Origin Criteria
a. Studi Komparatif di Australia
G
Australian Customs and Border Protection Service (ACBPS) bertanggung jawab
untuk mengimplementasikan aspek-aspek terkait kepabeanan dari perjanjian
IN
perdagangan bebas yang telah disepakati dan terlibat erat dalam negosiasi
prosedur terkait kepabeanan dari perjanjian-perjanjian ini. Bagian ini memberikan
saran kebijakan perdagangan berkualitas tinggi tentang kebijakan perdagangan
AD
terkait kepabeanan, termasuk kebijakan tarif, penilaian, dan asal barang.242 ACBPS
telah menemukan kasus di mana klasifikasi tarif yang diberikan pada deklarasi
impor berbeda dari klasifikasi tarif yang diberikan pada bukti dokumenter
yang digunakan untuk mendukung klaim asal.243
RE
1) Kasus Posisi
Sebuah barang diimpor ke Australia di bawah salah satu perjanjian per
dagangan bebas Australia (FTA). Importir Australia mengklaim perlakuan tarif
preferensial untuk barang tersebut, mengklaim barang tersebut berasal, dan
memenuhi aturan asal yang berlaku untuk barang tersebut. Klaim importir
240 WCO, Guide to Counter Origin Irregularities (Excluding Fraud), 2015, hlm. 11.
241 Ibid., hlm. 13.
242 Ibid., hlm. 11.
243 Ibid.
Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 105
tersebut didukung oleh pernyataan asal oleh produsen yang menyatakan bahwa
kriteria preferensi produk tertentu (PSR) asal telah terpenuhi. Saat melengkapi
deklarasi impor, importir memberikan klasifikasi tarif yang berbeda dengan
yang tercantum pada deklarasi asal (karena importir tidak setuju dengan
klasifikasi tarif pada deklarasi asal). PSR untuk klasifikasi tarif barang pada
saat deklarasi asal adalah perubahan tariff subheading (CTSH) atau kandungan
nilai regional (RVC) 40%. ACBPS memilih untuk melakukan verifikasi terhadap
barang tersebut. Sebagai bagian dari proses verifikasi, ACBPS meminta informasi
dari produsen untuk mendukung klaim bahwa barang tersebut berasal, yaitu
memenuhi aturan CTSH atau RVC 40%.
Melalui informasi yang diberikan oleh produsen, ditemukan bahwa 87%
bahan yang digunakan dalam pembuatan barang tidak berasal. Oleh karena
PY
itu, barang gagal memenuhi aturan RVC 40%. Selanjutnya, ditemukan tidak
ada perubahan yang signifikan dalam pergerakan klasifikasi tarif (CTC) dalam
produksi barang, yaitu barang tersebut gagal memenuhi aturan CTSH. Oleh
karena itu, barang dengan menggunakan PSR yang relevan untuk barang yang
CO
diklasifikasikan pada deklarasi asal, tidak memenuhi aturan, tidak berasal,
dan oleh karena itu tidak dapat mengklaim perlakuan tarif preferensial di bawah
FTA. Selanjutnya, verifikasi ACBPS menegaskan bahwa klasifikasi tarif yang
berbeda telah diberikan pada deklarasi asal dan deklarasi impor yang sesuai.
ACBPS memutuskan klasifikasi HS yang benar adalah klasifikasi yang diberikan
G
pada deklarasi impor. PSR untuk klasifikasi tarif pada deklarasi impor adalah
CTSH dengan ketentuan minimal 50% berat bahan aktif berasal atau RVC
IN
40% atau aturan proses reaksi kimia. Berdasarkan informasi yang diberikan
oleh produsen, ACBPS menentukan kualitas yang baik di bawah aturan proses
reaksi kimia. Ahli kimia tarif ACBPS mengonfirmasi bahwa ’reaksi kimia’ telah
AD
tarif yang benar dan untuk mengidentifikasi kriteria preferensi yang benar.
ACBPS menerima klaim asal dan mengizinkan perlakuan tarif preferensial.
Perbedaan klasifikasi tarif antara deklarasi impor dan bukti dokumen
pendukungnya harus diperlakukan berdasarkan kasus per kasus. Fokusnya
harus pada apakah barang yang diimpor memenuhi aturan asal di bawah FTA.
PY
dan Sistem Preferensi Umum (GSP) yang ada, Jepang menghadapi berbagai
penyimpangan terkait asal preferensi. Pada tahun-tahun awal, penyimpangan
tipikal yang terdeteksi adalah kesalahan mengenai Surat Keterangan Asal
(Certificate of Origin (CO)) yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang dari
CO
negara pengekspor. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungannya
telah bergeser ke arah penyimpangan terkait status asal barang. Dengan
mempertimbangkan perubahan terbaru dalam sistem sertifikasi asal, Bea Cukai
Jepang telah berfokus pada, dan mendeteksi penyimpangan terkait status asal
barang, tidak hanya dengan memeriksa PPK dan dokumen lainnya (seperti,
G
faktur dan lain-lain) saja, tetapi juga dengan menerapkan manajemen risiko.
IN
bawah salah satu EPA Jepang. Bea Cukai menerima informasi dari sumber
luar bahwa dalam proses pembuatan Surimi, fosfat yang tidak tersedia di
negara A telah digunakan sebagai pengawet. Bea Cukai meminta importir
untuk memberikan informasi lebih lanjut tentang Surimi. Importir memberi
RE
Bea Cukai daftar bahan. Bea Cukai memeriksa dokumen dan menemukan
bahwa bahan yang bersangkutan (yaitu, fosfat) termasuk dalam daftar. Oleh
karena itu, Bea Cukai meragukan status asal bahan ini dan meminta negara
pengekspor untuk melakukan verifikasi terkait status asalnya, sesuai dengan
ketentuan EPA terkait. Sebagai hasil dari verifikasi, ditemukan bahwa fosfat
yang digunakan dalam proses produksi tidak memenuhi origin. Bea Cukai
menetapkan bahwa Surimi bukan barang asal, dan oleh karena itu, perlakuan
244 Ibid.
Bab VII - Hukum Transnasional dari Aspek Kepabeanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas 107
tarif preferensial ditolak. Importir membuat amandemen deklarasi bea masuk
dan membayar jumlah yang diperlukan.
2) Studi Kasus SKA yang Diduga Tidak Benar
Importir mengimpor Kaleng Pelat Timah dari negara L dan memberikan sertifikat
asal kepada Bea Cukai saat mengklaim perlakuan istimewa. Seorang petugas
Bea Cukai di bagian izin membandingkan sertifikat asal dengan daftar segel
yang terdaftar di Bea Cukai Jepang, tetapi tidak dapat menemukan segel yang
sama dalam daftar. Oleh karena itu, pejabat tersebut meragukan keaslian
surat keterangan asal. Oleh karena itu, Bea Cukai meminta negara pengekspor
untuk melakukan verifikasi terhadap keaslian surat keterangan asal. Dari hasil
verifikasi, diketahui bahwa surat keterangan asal yang diberikan oleh importir
tersebut palsu. Bea Cukai menetapkan bahwa persyaratan untuk perlakuan
PY
tarif preferensial belum dipenuhi. Oleh karena itu, perlakuan tarif preferensial
ditolak.
3) Strategi Jepang Menangani Masalah FTA
CO
Untuk mencegah dan mendeteksi penyimpangan asal, bagian Bea Cukai,
bagian PCA, bagian RoO, Pusat RoO, dan Markas bekerja sama satu sama
lain. Ketika ada keraguan tentang status asal atau keabsahan bukti asal, bagian
Bea Cukai berbagi informasi mengenai keraguan ini dengan bagian PCA dan
G
bagian RoO melalui sistem komputerisasi. Bagian RoO membagikan informasi
yang diterimanya dengan Pusat RoO, dan Pusat RoO memberi tahu Kantor Pusat.
IN
Jika Bea Cukai tidak dapat menentukan, setelah audit post-clearance, apakah
barang tersebut memenuhi syarat untuk perlakuan tarif preferensial atau tidak,
Bea Cukai dapat meminta negara pengekspor—melalui Kantor Pusat—untuk
AD
melakukan verifikasi. Ini adalah alur dasar operasi yang digunakan oleh Bea
Cukai Jepang untuk mengidentifikasi penyimpangan asal. Sangat penting
bahwa Bea Cukai regional, Pusat RoO, dan Markas Besar bekerja sama
satu sama lain untuk memastikan prosedur izin yang tepat. Selanjutnya,
RE
PY
ASPEK DALAM KEGIATAN PEREKONOMIAN DALAM
TRANSAKSI BISNIS TRANSNASIONAL
CO
A. Kegiatan Angkutan Multimoda
G
Angkutan multimoda merupakan angkutan barang yang paling sedikit memakai
dua moda angkutan yang berbeda, tetapi berdasar pada satu perjanjian atau
IN
kontrak dan satu tempat diterimanya barang oleh badan usaha angkutan
multimoda ke tempat yang telah ditentukan untuk penyerahan barang kepada
penerima barang.245 Hal tersebut termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor
AD
8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda (PP No. 8 Tahun 2011). Pendapat
lain mengatakan bahwa pengangkutan multimoda terdiri atas pengangkutan
melalui jalur darat menggunakan kendaraan bermotor atau melalui rel yang
menggunakan kereta api. Pengangkutan multimoda merupakan gabungan
RE
moda pengangkutan darat melalui jalan raya dan moda rel kereta api yang
dengan seiring berjalannya waktu dikembangkan melalui jalur perairan.
Terakhir, merambah pula ke jalur udara. Pengangkutan multimoda demikian
akan menjadi lebih efektif dan efisien dalam penyelenggaraan pengangkutan
niaga di Indonesia.246
245 Wahyu Wibowo dan Irwan Chairuddin, “Sistem Angkutan Multimoda dalam Mendukung Efisiensi
Biaya Logistik di Indonesia”, Jurnal Manajemen Transportasi & Logistik, 4(1), 2017, hlm. 28
246 Muhammad Abdulkadir, Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di Indonesia
dalam Perspektif Hukum Bisnis Indonesia pada Era Globalisasi Ekonomi, Jakarta: Genta Press,
2007, hlm. 24–26.
Pada gambar berikut, dapat dilihat ilustrasi proses angkutan multimoda.
Penjual (seller) mengirimkan produk/barang kepada pembeli (buyer) melalui
carrier yang terdiri atas beberapa transportasi dalam perjalanannya.
PY
Sumber: Konferensi Nasional Hukum Bisnis BINUS University (2021)
Gambar 8.1 Konsep angkutan multimoda
CO
Rangkaian dalam kegiatan angkutan multimoda dimulai sejak diterimanya
barang oleh badan usaha angkutan multimoda dari pengguna jasa hingga
diserahkannya barang kepada penerima barang sebagaimana telah diperjanjikan
sebelumnya. Peran transportasi multimoda sendiri adalah sebagai sebuah
indikator yang penting dalam melaksanakan sistem logistik karena mampu
G
menjadi tulang punggung pengingkatan utilitas barang, baik dalam hal
transportasi bahan mentah, bahan pengolahan, maupun distribusi barang
IN
247 Tulus Irpan et al., “Kajian Peningkatan Peranan Transportasi Multimoda dalam Mewujudkan Visi
Logistik Indonesia 2025”, Jurnal Manajemen Bisnis Transportasi dan Logistik, 3(1), 2016, hlm. 83.
248 Puslitbang Transportasi Antarmoda, “Jurnal Transportasi Multimoda”, Jurnal Transportasi Multimoda,
17(1), 2019, hlm. 40.
PY
simpanan barang-barang.
b. Sortasi atau melakukan pemisahan terhadap barang menjadi beberapa
golongan atau kelompok berdasarkan bentuk, tekstur, berat, dan warna.
c. Pengepakan atau proses, cara, dan perbuatan mengepak atau mengepakkan.
CO
d. Penandaan atau proses, cara, dan perbuatan menandai.
e. Pengukuran atau proses untuk menentukan besaran, dimensi, atau kapasitas.
Lazimnya dilakukan berdasarkan suatu standar atau satuan ukur dan
penimbangan atau perbuatan menimbang.
f. Stuffing atau proses muatan (barang) masuk ke dalam kontainer dan stripping
G
atau dilakukannya pengeluaran produk dari dalam peti kemas dengan
IN
2. Pengangkutan
AD
a. Darat, yaitu jenis kegiatan ekonomi berupa penyediaan jasa angkut produk
atau orang di darat, seperti yang dilakukan oleh perusahaan bus dan taksi
(land transportation).
b. Kereta api, yaitu jenis kegiatan ekonomi atau dalam hal ini angkutan produk
RE
3. Transhipment point
a. Warehousing, merupakan istilah gudang, sehingga apa yang dimaksud dengan
warehousing adalah pergudangan.
Bab VIII - Aspek dalam Kegiatan Perekonomian dalam Transaksi Bisnis Transnasional 111
b. Bongkar muat, yaitu penempatan atau pemindahan muatan dari darat ke
atas kapal, juga sebaliknya.
c. Tally, yaitu perhitungan, jumlah, atau hitungan.
d. Kepabeanan, yaitu seluruh hal yang berkaitan dengan pengawasan lalu
lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea
masuk dan keluar.
e. Karantina
f. Stuffing atau proses muatan (barang) masuk ke dalam kontainer dan proses
dilakukannya pengeluaran barang dari dalam peti kemas dengan
menggunakan tenaga manusia atau alat mekanis.
g. Pengurusan dokumen
PY
4. Main Haul
a. Darat, yaitu jenis kegiatan di bidang ekonomi berupa penyediaan
jasa angkutan barang atau orang di darat, seperti yang dilakukan oleh
CO
perusahaan bus dan taksi (land transportation).
b. Kereta api, yaitu jenis kegiatan ekonomi atau dalam hal ini angkutan barang
menggunakan kereta api, tepatnya gerbong.
c. Laut, yaitu usaha pelayaran niaga yang bergerak dalam bidang penyediaan
jasa angkutan muatan laut. Permasalahan yang sering terjadi dalam
G
transportasi laut adalah kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan atau
kesalahan dalam pengangkutan barang yang disebabkan oleh kelalaian
IN
pengangkut.249
d. Pesawat terbang, yaitu kegiatan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau
AD
lebih dari satu, dari bandar udara satu ke bandar udara lainnya.
249 Nirmala Many, Muhammad Reza Syariffudin Zaki, dan Cecilia Elisabeth Agatha, “Marine Casualty
Caused by Ever Judger in Balikpapan Bay: Human Error or Technical Factors?”, Advances in
Social Science, Education and Humanities Research, Vol. 585, hlm. 582.
250 Nirmala, “Mengenal Transportasi Multimoda di Indonesia”, 2017, diakses dari https://business-
law.binus.ac.id/2017/05/31/mengenal-transportasi-multimoda-di-indonesia/ pada tanggal 22
Mei 2022 pukul 16:55 WIB.
PY
yang mengatur angkutan multimoda.
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (Pasal 165)
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Pasal
147–148) CO
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Pasal 50–55)
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Pasal
187–191)
G
5. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda
6. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyeleng
IN
251 Endro Tri Susdarwono, “Pembangunan Pengangkutan Multimoda sebagai Penunjang Kemandirian
Industri Pertahanan Indonesia: Akselerasi Pembangunan Industri Pertahanan”, Kajen, 4(1), April
2020, hlm. 10.
Bab VIII - Aspek dalam Kegiatan Perekonomian dalam Transaksi Bisnis Transnasional 113
satu dokumen kontrak. Di samping itu, pada angkutan multimoda terdapat
tagihan (billing) yang terpisahkan sendiri untuk setiap kontrak, tetapi pada
multimoda hanya ada satu tagihan. Manfaat lain yang diperoleh, yaitu terdapat
perbedaan syarat dan tingkat pertanggungjawaban (liability) yang berbeda di
setiap lini tahapan kegiatan, sehingga consignor harus dihadapkan dengan
para penanggung jawab angkutan yang berbeda. Apabila dirangkum, berikut
merupakan manfaat angkutan multimoda.252
1. Efisiensi waktu pada transhipment point.
2. Efisiensi pengangkutan (lebih cepat, rugi atas jarak, dan modal).
3. Pengurangan beban dokumentasi, formalitas, dan birokrasi.
4. Hemat biaya terutama biaya asuransi.
5. Efisiensi karena hanya berurusan dengan satu agen sebagai penanggung
PY
jawab.
6. Penurunan harga barang.
7. Peningkatan daya saing produk ekspor di pasar global.
Fund (IMF) berperan sebagai acuan standar nilai mata uang di dunia. Negara-
negara menggunakan dolar AS sebagai salah satu mata uang untuk melakukan
transaksi perdagangan, jasa, maupun investasi.253 Mata uang lokal merupakan
AD
alat nilai tukar yang digunakan untuk suatu proses jual-beli terhadap suatu
barang yang bernilai. Nilai tukar atau kurs asing (foreign exchange rate) sendiri
adalah nilai mata uang satu negara relatif terhadap nilai mata uang negara
lain. Oleh karena nilai tukar ini berdasar pada dua mata uang, maka titik
RE
252 Nirmala, “Mengapa Harus Angkutan Multimoda?”, 2017, diakses dari https://business-law.
binus.ac.id/2017/06/30/mengapa-harus-angkutan-multimoda/ pada tanggal 22 Mei 2022 pukul
17:00 WIB.
253 Hafsah Supadi, “The Use of Local Currency Settlement in Trade among Indonesia, Malaysia and
Thailand”, JOM FISIP, Vol. 8, Edisi II, 2021, hlm. 3.
254 Dio Putra Perdana et al., “Pengaruh Pelemahan Nilai Tukar Mata Uang Lokal (IDR) terhadap Nilai
Ekspor”, Jurnal Administrasi Bisnis (JAB), 17(2), hlm. 2.
PY
mengubah beberapa ketentuan dalam PBI 22/12/PBI/2020 dengan membuat
peraturan baru, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/9/PBI 2021 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/12/PBI/2020. Bank
CO
Indonesia menyatakan bahwa penggunaan LCS memberi manfaat secara
langsung terhadap pelaku usaha, di antaranya sebagai berikut.
1. Biaya konversi transaksi dalam valuta asing lebih efisien.
2. Tersedianya alternatif pembiayaan perdagangan dan investasi langsung
dalam mata uang lokal.
G
3. Tersedianya diversifikasi eksposur mata uang yang digunakan dalam
penyelesaian transaksi di luar negeri.
IN
dengan negara mitra.256 Dengan kata lain, dalam transaksi bisnis antara
dan/atau oleh perusahaan transnasional.
terhadap dolar AS.257 Kerangka kerja sama tersebut akan mengurangi transaksi
valuta asing terhadap rupiah karena kuotasi harga secara langsung antara
rupiah dengan mata uang negara mitra. Dengan demikian, kesulitan yang
dialami Indonesia beberapa tahun terakhir ini dalam mencapai pertumbuhan
255 Bank Indonesia, “Local Currency Settlement (LCS) & Appointed Cross Currency Dealer (ACCD)”,
diakses dari https://bicara131.bi.go.id/knowledgebase/article/KA-01093/en-us, pada tanggal 21
Mei 2022 pukul 12:09 WIB.
256 Agatha Olivia Victoria, “Regulasi LCS Akan Terbit, Transaksi RI-Tiongkok Tak Perlu Pakai Dolar”,
2021, diakses dari https://katadata.co.id/agustiyanti/finansial/60d5b1623a6ad/regulasi-lcs-akan-
terbit-transaksi-ri-tiongkok-tak-perlu-pakai-dolar, pada tanggal 23 Mei 2022 pukul 12:59 WIB.
257 Ibid.
Bab VIII - Aspek dalam Kegiatan Perekonomian dalam Transaksi Bisnis Transnasional 115
ekonomi sebesar 6–7% karena lesunya perekonomian negara adidaya258 tidak
akan terulang kembali. Terlebih, besar harapan terhadap pasar berbasis mata
uang lokal di Indonesia berkembang akan mendorong diversifikasi atas mata
uang dan memperluas akses para pelaku usaha. Seiring peningkatan perdagangan
internasional, terjadi pula peningkatan dalam penggunaan valuta asing. Selalu
berubahnya nilai tukar valuta asing dapat dipengaruhi oleh beberapa hal. Salah
satunya tingkat inflasi, kemudian tingkat pendapatan masyarakat atau suku
bunga, dan kontrol pemerintah atas perekonomian, termasuk juga harapan atau
perkiraan masyarakat terhadap perekonomian di masa yang akan datang.259
Daya beli mata uang suatu negara yang berbeda dengan negara lain juga
akan memberi kesempatan luas bagi para pihak tertentu untuk mengambil
keuntungan sebanyak-banyaknya, atau lebih dikenal dengan istilah international
PY
arbitrage. Pada dasarnya, para international arbitrageurs berusaha “membeli
komoditi dengan harga serendah mungkin untuk kemudian dijual dengan
harga setinggi mungkin”. Dengan begitu, seorang arbitrageurs dapat dianggap
CO
mengharapkan agar terjadi ketidakstablian dan perbedaan nilai tukar antarmata
uang tetap tinggi. Dampak dari penerapan the law of one price adalah
perd agangan barang dan jasa, termasuk komoditi lain antarnegara harus
mempunyai biaya transaksi yang sama nilainya di seluruh negara-negara di
dunia. Oleh karena itu, nilai tukar antara mata uang domestik dan komoditi
G
domestik harus memiliki kesamaan dengan komoditi luar negeri atau dengan
IN
kata lain, satu unit mata uang dalam negeri seharusnya mempunyai nilai daya
beli yang sama di seluruh negara-negara di dunia.260
Selain LCS, dapat pula digunakan metode BSCA atau Bilateral Swap
AD
PY
Guna cakupan penggunaan mata uang lokal rupiah lebih luas lagi,
khususnya dengan para negara mitra, Indonesia perlu melakukan peningkatan
ekspor produk manufaktur agar mempunyai market share yang lebih besar
CO
dalam perdagangan global. Dengan demikian, peran Indonesia terhadap
perdagangan dunia akan lebih besar dan mempunyai posisi bargaining
power lebih baik terhadap negara mitra dagang. Peningkatan kekuatan
LCS Indonesia dan negara mitra dagang harus terus dilaksanakan dengan
memperluas cakupan jenis transaksi, sehingga terjadi peningkatan penggunaan
G
rupiah, pengurangan volatilitas (ukuran perubahan statistik suatu harga
sekuritas dalam periode tertentu), NTR, dan peningkatan efisiensi dari suatu
IN
261 Yelery A., “China’s Bilateral Currency Swap Agreements: Recent Trends”, China Report, 52(2),
2016, hlm. 145–146.
Bab VIII - Aspek dalam Kegiatan Perekonomian dalam Transaksi Bisnis Transnasional 117
Nomor 18/7/PBI/2016 tentang Transaksi Bank kepada Bank Indonesia dalam
Rangka Bilateral Currency Swap Arrangement.
PY
informasi yang terdiri atas seluruh proses logistik terkait serta mengaitkan
beberapa sistem logistik yang telah ada sebelumnya.262
NLE juga termasuk ke dalam upaya nyata dari pemerintah dalam mendukung
program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka mengurangi dampak
CO
negatif Covid-19 terhadap perekonomian. Latar belakang dibangunnya sistem
NLE adalah dengan berorientasi pada kerja sama antara instansi pemerintah
dan swasta melalui penerapan tiga strategi utama, di antaranya sebagai berikut.
1. Menciptakan regulasi yang efisien dan standar pelayanan yang prima
G
dengan implementasi simplifikasi serta penghapusan repetisi dan duplikasi
dari proses bisnis.
IN
262 Warta Bea Cukai, “National Logistic Ecosystem untuk Layanan Logistik Indonesia yang Lebih
Efisien”, 52(11), 2020, hlm. 14.
PY
NLE bertujuan untuk meningkatkan kinerja logistik Indonesia (mengurangi
biaya logistik Indonesia yang cenderung tinggi dan meningkatkan reliability
and timeliness terkait pelayanan di bidang logistik). Penataan NLE dilaksanakan
CO
berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2020.263 Sedangkan, untuk
cakupan NLE itu sendiri terbagi ke dalam empat bagian, yakni sebagai berikut.
Tabel 8.1
Cakupan NLE Domestik Internasional
G
Cakupan National
No. Logistic Ecosystem Penjelasan
IN
(NLE)
1. Inbound Mengacu pada transportasi, penyimpanan dan pengiriman
barang, mencakup juga kegiatan distribusi bahan mentah
untuk menghasilkan produk dan jasa yang diperjualbelikan,
AD
4. Free Trade Area NLE pun akan mencakup Free Trade Area atau prototype dari
(Batam) program NLE yang dinamakan Batam Logistic Ecosystem.
263 Budhy Prianto, “Desentralisasi: Sebuah Kajian Awal tentang Reformasi Governance Menuju Welfare
State”, Spirit Publik, 10(2), hlm. 118.
Bab VIII - Aspek dalam Kegiatan Perekonomian dalam Transaksi Bisnis Transnasional 119
NLE merupakan program yang ditargetkan rampung pada tahun 2024 sesuai
Inpres No. 5 Tahun 2020. Namun demikian, hasil penataan logistik nasional
diharapkan dapat diterapkan secara berkelanjutan untuk mendukung sistem
logistik nasional.264 Berbeda dengan Tabel 8.1 tersebut, berikut merupakan
cakupan NLE Hulu-Hilir.
Tabel 8.2
Cakupan NLE Hulu-Hilir
No. Cakupan NLE Penjelasan
1. Supplier Penjual atau pemasok barang
2. Transport Pengiriman barang dari supplier menuju warehouse
3. Warehouse Penyimpanan barang diterima dari supplier
PY
4. Departures Pengiriman barang yang sudah didata di warehouse
5. Air/Sea Proses pengangkutan barang menuju tujuan dilakukan melalui
Companies laut atau udara
6.
7.
Arrival Port
Transport
CO
Sampainya barang di pelabuhan tujuan
Pengiriman barang dari pelabuhan menuju warehouse
8. Warehouse Penyimpanan barang dari pelabuhan dan pendataan sebelum
dikirim ke konsumen
G
9. Transport Pengiriman barang ke konsumen akhir dari warehouse di
IN
tempat tujuan
10. End Costumers Penerimaan barang oleh konsumen
AD
Sebagai suatu program, terdapat ruang lingkup yang dimiliki oleh NLE dan
para pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu sebagai berikut.
RE
264 Ibid.
PY
Layanan Pelabuhan (Manifes Barang dan
Manifes Pengangkut)
Perizinan (Logistik, IRSM, dan Lartas)
3. Tata Ruang One Billing
CO
One System
One Gate
4. Pembayaran Platform Pembayaran
G
Perbankan
IN
Tabel 8.4
Pihak yang Terlibat dalam NLE
No. Ruang Lingkup Kolaborator
AD
Bab VIII - Aspek dalam Kegiatan Perekonomian dalam Transaksi Bisnis Transnasional 121
No. Ruang Lingkup Kolaborator
3. Tata Ruang Kementerian Perhubungan
Kementerian Keuangan
Kementerian BUMN
4. Pembayaran Bank Indonesia
Kementerian Keuangan
PY
CO
G
IN
AD
RE
PY
HUKUM TRANSAKSI BISNIS
TRANSNASIONAL DAN HAK ASASI MANUSIA
CO
A. Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia Perusahaan
Transnasional
G
Kehadiran perusahaan transnasional selain memberikan dampak positif
IN
265 Sefriani, “Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional terhadap Pelanggaran HAM dalam Perspektif
Hukum Internasional”, UNISIA, XXX(65), September 2017, hlm. 292–293.
266 Muhammad Reza Syariffudin Zaki, “Analysis of Halal Standards in Disputes on Chicken Meat
Imports between Indonesia and Brazil at the World Trade Organization (WTO)”, Advances in
Social Sciences, Education and Humanities Research, Vol. 659, hlm. 124.
267 Sefriani, Loc.Cit.
Universitas Harvard telah mengategorikan pelanggaran hak asasi manusia
oleh perusahaan transnasional, di antaranya sebagai berikut.268
1. Pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya, yaitu pelanggaran
terhadap hak memperoleh keadaan atau situasi kerja yang adil dan
menguntungkan, misalnya upah yang adil. Dengan demikian, pelanggaran
yang dimaksud ialah dengan membayar upah yang sangat rendah, meng
gunakan kerja paksa, atau memaksa karyawan untuk bekerja dalam kondisi
berbahaya tanpa perlindungan yang memadai.
2. Pelanggaran hak-hak sipil dan politik, yaitu pelanggaran terhadap hak untuk
hidup, bebas dari penyiksaan, bebas dari penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang, juga hak untuk mendapatkan peradilan yang adil.
3. Pelanggaran terhadap hak-hak yang dilindungi oleh hukum humaniter
PY
internasional. Dalam hukum humaniter internasional (HHI), terdapat
beberapa perkembangan yang perlu mendapat perhatian.269 Pelanggaran
yang dimaksud adalah tindakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
dan kejahatan perang, atau perbuatan kekerasan massal dan tersistematis.
CO
Apabila Universitas Harvard mendasarkan pelanggaran oleh perusahaan
transnasional pada ruang lingkup atau jenis pelanggaran hak asasi manusia,
maka beberapa pakar hukum internasional maupun hak asasi manusia dan
lembaga internasional mengategorikannya berdasarkan cara maupun tingkat
G
keterlibatan perusahaan transnasional terhadap pelanggaran hak asasi manusia
yang terjadi. Salah satunya adalah Surya Deva, seorang tokoh dalam hukum hak
IN
PY
(perpetrator) sendiri atau secara langsung, tetapi perusahaan memperoleh
keuntungan dari pelanggaran yang dilakukan oleh negara tuan rumah.
Biasanya, pelanggaran ini terjadi pada perusahaan yang memiliki kontrak
kerja sama (partnership or joint ventures) dengan pemerintah tuan rumah
CO
(host government) dan atas proyek tertentu yang merupakan kerja sama
perusahaan dengan pemerintah tuan rumah tersebut.
Bab IX - Hukum Transaksi Bisnis Transnasional dan Hak Asasi Manusia 125
pihak dalam berperkara di depan Mahkamah. Akan tetapi, pada hal tertentu,
perusahaan transnasional dapat membuat persetujuan dengan pemerintah
pada suatu negara dengan menerapkan prinsip hukum internasional
atau prinsip hukum umum dalam kegiatan transaksi mereka dan bukan
diatur oleh hukum nasional pada suatu negara.271 Steven R. Ratner, profesor
bidang hukum yang berfokus pada pertanggungjawaban pelanggaran hak asasi
manusia, menyatakan bahwa kedekatan hubungan antara perusahaan dengan
pemerintah dapat dijadikan faktor dalam pertanggungjawaban perusahaan.
Menurut pendapatnya, perusahaan dapat bertindak selaku government agent,
complicit with government, dan commander.272
Dalam hukum pidana dan terhadap tindakan umumnya, lebih ditekankan
pada sanksi dibandingkan kelalaian atau kelambanan, seperti tindakan diam
PY
terhadap terjadinya suatu ketidakadilan. Walaupun begitu, hukum pidana
tetap mengenal tanggung jawab bagi kelambanan. Kesunyian tidak selalu
netral dan dapat dikategorikan sebagai tindakan aktif membantu. Seorang
penonton tindakan atau perbuatan kejahatan dapat didakwa atas membantu
CO
dan bersekongkol apabila status atau keberadaannya berperan sebagai dukungan
bagi pelaku dalam menjalankan pelanggaran hak asasi manusia.273
Hadirnya perusahaan transnasional dengan kekuatan ekonomi tertentu
dapat menjadi pendorong host state dalam melakukan pelanggaran hak asasi
manusia. Dalam sistem civil law, kewajiban menyelamatkan orang dalam
G
keadaan bahaya menjadi sangat relevan untuk diterapkan pada perusahaan
yang tidak melakukan tindakan apa pun dalam mencegah penderitaan orang
IN
271 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Bandung: Alumni, 2011, hlm. 56.
272 Steven R. Ratner, “Corporations and Human Rights: A Theory of Legal Responsibility”, The Yale
Law Journal, 111(3), hlm. 499–504.
273 Sefriani, Op.Cit., hlm. 297.
274 Ibid.
275 Ibid.
PY
perusahaan transnasional tersebut. Maksud dari personalitas hukum sendiri adalah
yang menentukan hak-hak dan kewajiban yang dimiliki subjek hukum.277 Secara
yuridis, perusahaan transnasional pada abad ke-21 telah dipertimbangkan
untuk dianggap sebagai manusia biasa yang memiliki hak dan kewajiban
CO
(artifical person) yang diciptakan oleh hukum dan secara nyata mempunyai hak
dalam proses hukum yang melampaui garis suatu negara.278
Dalam lingkup pengadilan internasional, telah dilakukan proses peradilan
berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia oleh perusahaan transnasional
sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum. Namun, keterbatasan yurisdiksi
G
yang diberikan pada pengadilan-pengadilan menyebabkan pertanggung-
jawaban atas tindakan pelanggaran perusahaan baru dimintakan sebatas pada
IN
276 Ibid.
277 Jawahir Tantowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika
Aditama, 2006, hlm. 104.
278 An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Transnasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan
Internasional dan Hukum Penanaman Modal, Bandung: Alumni, 2011, hlm. 180–181.
279 Sefriani, Op.Cit., hlm. 303.
280 Ibid., hlm. 295.
Bab IX - Hukum Transaksi Bisnis Transnasional dan Hak Asasi Manusia 127
Dalam hasil penelitiannya, Ratner pada dasarnya menemukan beberapa
hambatan dalam memperluas primary rules hak asasi manusia terhadap
perusahaan transnasional, di antaranya sebagai berikut281
1. Fakta bahwa norma terkait hak asasi manusia umumnya mengikat atau
ditujukan pada suatu negara. Misalnya, kewajiban yang termaktub dalam
ICCPR tidak mencakup aktivitas sebuah perusahaan transnasional.
2. Terdapat perbedaan sifat dan fungsi antara negara dan perusahaan.
Rezim hukum hak asasi manusia menghendaki keseimbangan antara
kebebasan individu dengan kepentingan negara. Dengan demikian, apabila
dianalogikan pada perusahaan, harus ada keseimbangan antara kebebasan
individu dengan kepentingan bisnis atau perusahaan.
3. Lebih terbatasnya ruang lingkup pertanggungjawaban individu membuat
PY
penerapannya secara konseptual menurut Ratner lebih mudah daripada
penerapan primary rules pertanggungjawaban negara pada perusahaan.
Pengakuan perusahaan sebagai judicial person atau legal person baik
dalam hukum nasional maupun internasional akan mendukung gagasan
CO
memperlakukannya sama dengan natural person. Dengan demikian,
perusahaan akan bertanggung jawab terhadap kejahatan internasional
yang sama seperti yang berlaku pada individu.
Akan tetapi, telah diakui oleh Ratner bahwa keterbatasan ruang lingkup
G
pertanggungjawaban individu tidak cukup untuk diberlakukan pada perusahaan
transnasional. Perusahaan transnasional menurutnya digambarkan sebagai entity
IN
yang kurang dari negara, tetapi lebih dari individu, sehingga menjadi tantangan
untuk mengonstruksi kedua teori, yaitu down from state responsibility dan up
from individual responsibility yang telah ada. Selain itu, untuk mengembangkan
AD
primary rules dan secondary rules yang baru, khusus untuk menjerat
perusahaan transnasional yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.282
Selain hambatan-hambatan tersebut, hal yang perlu diperhatikan terkait
pertanggungjawaban perusahaan trans-nasional atas pelanggaran HAM ialah
RE
kondisi perusahaan transnasional yang bagaimana atau seperti apa yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang dilakukannya.
Hal ini mengingat bahwa pada saat ini, argumen pembelaan perusahaan
transnasional yang menyatakan tindakannya dilakukan atas permintaan tuan
rumah sudah tidak relevan lagi. Hal tersebut dikarenakan kolaborasi antara
perusahaan transnasional dengan pihak repressive governments. Perusahaan
transnasional tidak dalam keadaan perang dan memiliki kebebasan untuk
PY
hukum nasional.285
Pendapat lain mengatakan, adanya kasus pelanggaran HAM oleh
perusahaan transnasional yang diajukan ke pengadilan internasional pasca-
Perang Dunia II menunjukkan bahwa perusahaan transnasional dapat
CO
dimintakan pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia yang
telah dilakukannya. Walaupun pada saat itu pihak yang diberi hukuman
baru sebatas pemimpin perusahaan dalam bentuk tanggung jawab individual
(individual responsibility), tetapi bukan berarti pengadilan internasional pada
saat itu menyimpulkan perusahaan transnasional bukan merupakan subjek
G
hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawaban.
IN
transnasional dan tindakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia, tetapi
hingga saat ini, seluruh instumen berikut belum menjadi instrumen yang
mengikat secara hukum (legally binding instrument).
Bab IX - Hukum Transaksi Bisnis Transnasional dan Hak Asasi Manusia 129
Pada hukum internasional, peraturan terkait perusahaan transnasional dan
hak asasi manusia dapat ditemukan dalam Code of Conduct on Transnational
Corporations, the Tripartite Declaration, dan the Global Compact. Akan tetapi,
beberapa peraturan secara lebih dalam mengatur tentang tindakan perusahaan
transnasional yang berhubungan dengan hak asasi manusia, seperti pertauran-
peraturan berikut ini.
PY
asasi manusia terhadap perusahaan transnasional walaupun tidak sepenuhnya.
Akan tetapi, the norms tidak diakui sebagai instrumen yang mengikat. Dalam
putusannya, OHCHR berpendapat bahwa: “the commission has indicated
that the draft norms contain “useful elements and ideas for consideration by
CO
the Commission” but, as a draft proposal, it has no legal standing” (komisi
telah mengindikasi bahwa draft norms mengandung “elemen-elemen berguna
dan ide-ide yang dapat digunakan untuk konsiderasi untuk komisi” tetapi,
sebagai berkas proposal, tidak memiliki kedudukan hukum).
G
2. The United Nations Guiding Principles on Business and Human
Rights (‘UNGP’)
IN
Instrumen ini didukung oleh Dewan HAM PBB dalam resolusinya. Melalui
instrumen ini, konsep respect, protect, dan remedy diusulkan dan telah menjadi
dasar bagi tindakan negara atapun pelaku bisnis dalam menggabungkan
AD
kewajiban terhadap kedua belah pihak, baik negara dan/atau pelaku usaha.
PY
merupakan penjelasan lebih lengkap mengenai host state dan home state.
1. Host State
Host state mempunyai yurisdiksi terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang
CO
terjadi di negaranya melalui prinsip yurisdiksi teritorial, yaitu suatu prinsip
yurisdiksi yang telah digunakan secara umum dalam skala internasional.
Lowe, dalam tulisan Sara L. Leck, berpendapat bahwa: “terkait negara mana
yang memiliki yurisdiksi terhadap suatu tindakan tergantung pada pemahaman
G
terhadap suatu tindakan atau kegiatan tersebut”.288 Dengan begitu, dapat
dipahami bahwa jika negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap pelanggaran
IN
286 Danwood Mzikenge Chirwa, “The Doctrine of State Responsibility as a Potential Means of Holding
Private Actors Accountable for Human Rights”, Melbourne Journal of International Law, hlm. 4.
287 Paul F. Diehl dan Charlotte Ku, The Dynamics of International Law, Cambridge: Cambridge
University Press, hlm. 33.
288 Vaughan Lowe, Jurisdiction in International Law, Oxford: Oxford University Press, 2006, hlm. 355,
dan dikutip oleh Sara L. Leck, “Home State Responsibility and Local Communities; The Case
of Global Mining”, Yale Human Rights and Development Journal, Vol. 11, Iss. 1, Article 10,
Koneticut, hlm. 14.
289 Dina Anggraini dan Ida Bagus Ranawijaya, “Yurisdiksi Negara terhadap Pelanggaran Hak Asasi
Manusia oleh Perusahaan Transnasional”, Kertha Negara, 7(6), 2019, hlm. 9–10.
Bab IX - Hukum Transaksi Bisnis Transnasional dan Hak Asasi Manusia 131
teritorialnya.290 Aplikasi yurisdiksi teritorial merupakan hak dan kewajiban negara
pada waktu yang bersamaan berdasarkan hak asasi manusia internasional.291
Penerapannya tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, hanya ber
dasarkan pada pertimbangan sistem hukum lebih memadai atau lebih tepat
dalam menyelesaikan kasus tersebut, tetapi harus berdasarkan terdapat suatu
hubungan.292
2. Home State
Home state juga mempunyai yurisdiksi dalam kasus pelanggaran hak
asasi manusia oleh perusahaan transnasional melalui prinsip yurisdiksi
ekstrateritorial yang tidak asing dalam hukum internasional. Jeffrey T. Gayton
dalam jurnalnya menjelaskan prinsip yurisdiksi ekstrateritorial sebagai
PY
yurisdiksi negara terhadap individu atau aktivitas di luar batas wilayahnya.293
Ekstrateritorial sendiri dapat dibedakan menjadi dua jenis.294
a. Klaim ekstrateritorial secara regional (diterapkan kepada individu atau
aktivitas di dalam area yang spesifik di luar wilayah teritorial negara)
CO
atau global (diterapkan kepada individu atau aktivitas terlepas dari lokasi
mereka di luar wilayah teritorial negara).
b. Klaim secara eksklusif (tidak ada aktor lain yang mempunyai yurisdiksi
atas individu atau aktivitas tersebut) atau dibagi (aktor lain mungkin mem-
punyai yurisdiksi juga).
G
Prinsip ini telah digunakan dalam skala internasional secara umum
IN
walaupun lebih banyak dan sering digunakan oleh Amerika Serikat, negara di
Uni Eropa, dan Kanada dalam memutus kasus pelanggaran hak asasi manusia
oleh perusahaan transnasional. Dasar penerapan yurisdiksi ekstrateritorial
AD
dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti sistem hukum yang berlaku dan
perjanjian internasional.295 Oliver de Schutter membagi dasar penerapan
RE
PY
(lex loci damni)
faute, verschulden, atau breach of duty). Elemen lainnya (duty of care dan
tatbestand) berfungsi sebagai mekanisme pengawasan, secara khusus di
dalam area seperti pertanggungjawaban pemerintahan, kerusakan mental, dan
AD
omissions.300
296 Ibid.
297 Ibid., hlm. 204–207.
RE
298 OECD, “OECD Guidelines for Multinational Enterprises: 2003 Annual Meeting of the National
Contact Points”, report on Annual Meeting of National Contact Points, 23–24 Juni 2003, hlm.
26, diakses dari www.oecd.org/dataoecd/3/47/15941397.pdf pada tanggal 22 Mei 2022 pukul
02:17 WIB.
299 David Barnden dan Jorge Daniel Tailant, “Investment Nexus and Financial Institutions in
the Implementation of the OECD Guidelines for Multinational Enterprises”, Jurnal Center for
Human Rights and Environment, 2007, hlm. 15.
300 Cees van Dam, “Tort Law and Human Rights: Brother in Arms on the Role of Tort Law in the Area
of Business and Human Right”, Journal of Education, Teaching and Leaning, 2011, hlm. 237.
Bab IX - Hukum Transaksi Bisnis Transnasional dan Hak Asasi Manusia 133
Beralih pada penghambat dalam penerapan yurisdiksi teritorial yang
terbesar adala forum non-conveniens, yaitu suatu prinsip yang mendasari
tindakan pengadilan dalam menolak kasus karena pengadilan tersebut
memutuskan bahwa pengadilannya bukanlah forum yang tepat bagi kasus
tersebut.301 Dalam putusan Friday, pengadilan Belanda berpendapat bahwa
walaupun begitu, batasan forum non-conveniens tidak lagi berperan dalam
hukum perdata internasional. Apabila kembali mengacu pada pendapat
Cees van Dam, isu terpenting dalam kerangka tuntutan terhadap perusahaan
transnasional untuk keterlibatannya dalam pelanggaran hak asasi manusia
adalah pertanggungjawaban terhadap kelalaian, yang mana tidak terpengaruh
apakah korporasi berkewajiban dalam pencegahan pihak ketiga.
PY
CO
G
IN
AD
RE
301 Daniel J. Dorward, “The Forum Non Conveniens Doctrine and the Judicial Protection of
Multinational Corporations from Forum Shopping Plaintiffs”, University of Pennsylvania Journal
of International Economic Law, 19(1), 1998, hlm. 158.
PY
KASUS SENGKETA ANTARNEGARA DALAM
FREE TRADE AGREEMENT
CO
A. Latar Belakang Sengketa antara Negara-Negara dalam FTA
Preferential Rules of Origin (selanjutnya disebut RoO) mengatur tarif preferensi
G
(tarif bea masuk istimewa) yang diberikan sesuai dengan FTA. Oleh karena
tarif preferensial sesuai dengan FTA hanya berlaku untuk barang-barang
IN
yang berasal dari negara contracting party, maka negara-negara yang ingin
menikmati manfaat dari tarif preferensial harus memenuhi serangkaian
prosedur yang dirancang untuk menentukan negara asal suatu produk. RoO
AD
preferensial berisi aturan dan prosedur yang menentukan asal produk tertentu
dan dirancang untuk memberikan tarif preferensial.302 Meskipun RoO preferensial
adalah aturan inti dalam perdagangan barang dengan skema perjanjian FTA,
ketentuan tersebut berpotensi memicu perselisihan, karena banyaknya aturan
RE
302 WTO, “Regional Trade Agreements and Preferential Trade Arrangements”, WTO Portal, diakses dari
https://www.wto.org/english/tratop_e/region_e/rta_pta_e.htm pada tanggal 20 Agustus 2020.
303 Annex D.1 and D.3 of the International Convention on the Simplification and Harmonization of
Customs procedures (Kyoto Convention)
304 Dalam disertasi ini, perjanjian preferensial mencakup FTA bilateral atau plurilateral.
Prosedur yang rumit tersebut, dengan adanya perkembangan global
FTA, telah menjadikan prosedur perdagangan barang dalam skema RoO
preferensial semakin rumit dan semrawut, sehingga disebut spaghetti bowl
effect.305 Hal ini memicu sengketa yang tidak berujung sehubungan dengan
interpretasi dan penerapan aturan RoO preferensial. Tidak jelas siapa yang
harus dipersalahkan di antara eksportir dan importir, atau otoritas negara eksportir
dan otoritas negara importir, mengenai risiko dan tanggung jawab terkait. Hal
tersebut karena certificate of origin (CoO) untuk produk tertentu dikeluarkan
oleh negara manufaktur produk, sedangkan ketentuan tarif preferensial dan
pengenaan tarif bea masuknya dieksekusi oleh negara pengimpor pada
importir. Dengan demikian, hal ini menimbulkan terjadinya ketidakpastian.
Ketidakpastian tersebut adalah alasan utama mengapa tarif preferensial FTA
PY
banyak tidak digunakan oleh perusahaan.306
Perselisihan internasional mengenai ketentuan negara asal dikhawatirkan
akan meningkat lebih banyak lagi dengan meningkatnya volume perdagangan
internasional yang ditujukan untuk preferential treatment (seperti skema FTA).
CO
Namun, relatif sedikit penelitian yang dikhususkan terkait prosedur penyelesaian
sengketa mengenai RoO di bawah FTA. Oleh karena tidak ada negara anggota
yang akan menerapkan atau menerapkan tarif preferensial yang ditentukan
dalam FTA, mengingat tidak adanya sistem penyelesaian sengketa yang
efektif dan adil, sistem penyelesaian sengketa adalah kunci untuk memastikan
G
kepatuhan yang tepat dari penerapan tarif preferensi dalam FTA serta
penegakan aturan FTA yang diharapkan. Selain itu, banyak kasus yang
IN
asal negara bersifat esoteris (sangat spesialis) dan teknisnya sangat kompleks
juga catatan resmi yang diungkapkan hanya secara terbatas, sebuah studi
mendalam tentang prosedur penyelesaian sengketa di bawah FTA belum
RE
dilakukan secara memadai sampai saat ini. 307 Dengan demikian, sangat
diperlukan untuk melakukan studi tentang prosedur penyelesaian sengketa
dengan pemahaman tentang karakteristik dominan perselisihan terkait RoO
preferensial untuk menerapkan perlakuan preferensi FTA dan meningkatkan
prosedur penegakannya.
305 J. Bhagwati, U.S. Trade Policy: The Infatuation with FTAs, in C. Barfield (Ed.), The Dangerous
Obsession with Free Trade Areas, New York: AEI, 1995, hlm. 1–20.
306 Jisoo Yi, Op.Cit., hlm. 25.
307 Avraham Azrieli, “Improving Arbitration under the U.S.-Israel Free Trade Agreement: A Framework
for a Middle-East Free Trade Zone”, St.John’s Law Review, 67(2), 1993, hlm. 187–263.
PY
keuangan yang cukup besar. Prosedur verifikasi sering dianggap tidak efektif
oleh pembatasan anggaran tersebut dalam kunjungan verifikasi. Untuk
mengompensasi kelemahan ini dalam prosedur pasca-verifikasi, negara-
negara cenderung meningkatkan pengetatan inspeksi pra-ekspor dalam
CO
prosedur sertifikasi.310 Namun, dengan demikian, eksportir dihadapkan pada
inspeksi pra-ekspor yang ketat termasuk pemeriksaan post-audit.311 Hal ini
meningkatkan ketidakpastian perusahaan atas tanggung jawab mereka di
bawah RoO dan mengurangi penggunaan FTA, yang sering berakhir dalam
perselisihan.
G
Desain ketentuan FTA tentang penyelesaian sengketa melalui pihak
ketiga (extra judicial body), seperti panel dan lembaga arbitrase, digunakan
IN
pelaku bisnis; dan publikasi hasil putusan akhir yang mengikat para pihak
untuk proses eksekusi akhir dengan memastikan keterlibatan publik. Secara
khusus, Penulis menekankan pentingnya memberikan sektor swasta akses ke
RE
PY
argumen Honda Kanada untuk bagian mesinnya. Namun, Bea Cukai AS
menolak pemberian tarif preferensi untuk Honda Civics yang diproduksi di
Kanada dengan mesin dan komponen lain yang diimpor dari Jepang. Oleh
karena itu, Honda Kanada dikeluarkan dari tarif FTA di AS dan sebaliknya, itu
CO
diberikan tagihan retroaktif sebesar 17 juta dolar.
Masalah utama dalam perselisihan ini adalah perbedaan dalam pemahaman
teknis tentang roll-up dan roll-down dari biaya bahan baku dan alokasi biaya
langsung dan tidak langsung yang wajar.313 Insiden itu telah menjadikan
RoO preferensial sebagai hambatan terbesar dalam sengketa perdagangan
G
antara Kanada dan AS. Oleh karena jumlah kasus produsen mobil asing yang
beroperasi di Kanada tidak memenuhi syarat untuk tarif preferensial di AS mulai
IN
Oleh karena persyaratan dukumen yang diperlukan tidak jelas, aturan tersebut
menuntut begitu banyak dokumentasi yang mencakup hampir seluruh tahap
proses manufaktur dan produksi. Pada tahun 2007, Bea Cukai AS mengenakan
denda besar-besaran sebesar $42 juta untuk suku cadang mobil yang diimpor
dari Meksiko pada tahun 1996, dengan alasan bahwa Ford menolak untuk
mematuhi permintaan yang menuntut dokumentasi terkait tarif preferensial
di bawah NAFTA. CBP meminta catatan manufaktur terkait suku cadang
PY
bahwa mereka menolak kasus ini setelah penilaian ulang RoO preferensial
NAFTA. Insiden tersebut menunjukkan bahwa aturan yang ambigu terkait
dokumentasi, sehingga bahkan petugas Bea Cukai gagal memahaminya secara
konsisten. Ini juga menunjukkan potensi biaya yang sangat besar yang dapat
CO
dikeluarkan dalam RoO preferensial yang mewajibkan besarnya beban
dokumentasi pada proses manufaktur. Oleh karena itu, hal ini memaksa kita
untuk memperkirakan betapa sulitnya mematuhi kewajiban dokumentasi
dan menikmati tarif bea masuk FTA atas barang impor yang dihasilkan untuk
entitas sektor swasta di negara-negara berkembang selain di AS, mengingat
G
beban biaya terkait dan ketidakseimbangan informasi.
IN
Union Uni Eropa. Berbeda dengan sistem verifikasi di AS, di Eropa dilakukan
secara normal ketika otoritas Bea Cukai di negara pengekspor memverifikasi
sertifikat asal eksportir melalui otoritas pabean negara pengimpor. Verifikasi
RE
PY
FTA yang diberikan oleh EC, bahkan jika tanggung jawab bukti untuk sertifikasi
asal yang salah jatuh pada eksportir, dan, oleh karena itu, importir dapat
diizinkan untuk meminta eksportir untuk pembayaran atas kerugian ekonomi
yang ditimbulkan pada importir, yang menikmati bebas bea berdasarkan niat
CO
baik. Ini juga memutuskan bahwa otoritas pabean negara pengekspor tidak
bertanggung jawab secara hukum atas penjelasan hasil verifikasi pasca-asal
kepada importir, karena pemberitahuan hasil verifikasi pos bertujuan untuk
memungkinkan pemerintah negara pengimpor untuk membuat penilaian
tentang legalitas penerapan perlakuan istimewa.
G
Seperti yang ditunjukkan oleh kasus ini, importir tidak dapat memperoleh
informasi yang akurat tentang hasil verifikasi asal, dan mungkin terlibat dalam
IN
PY
dan dilakukan perbaikan sistem penyediaan informasi dalam prosedur
penyelesaian sengketa. Hal ini juga menunjukkan bahwa para pihak harus dapat
menengahi benturan kepentingan pada aturan yang saling bertentangan, dan
pada akhirnya sampai pada kesepakatan yang efektif melalui keterlibatan
kelompok ahli.316 CO
Kasus terakhir pada verifikasi post origin tidak langsung menunjukkan
bahwa mengingat probabilitas sengketa yang tinggi di antara importir
dan eksportir dalam verifikasi post-origin, Prosedur Persetujuan Bersama
G
(MAP) harus diterapkan pada prosedur penyelesaian sengketa. Hal ini karena
penyelesaian sengketa sesuai dengan prosedur yang disebutkan di atas pasti
IN
dapat melalui proses litigasi yang panjang, dan bahwa prosedur penyelesaian
sengketa yang lebih terbuka mungkin diperlukan mengingat lemahnya kerja
sama di antara otoritas Bea Cukai yang berbeda. Oleh karena itu, aturan
AD
PY
terjadi antara AS dan Kanada. Banyaknya sengketa di Pengadilan Kanada terkait
aturan asal barang NAFTA sebagaimana perjanjian perdagangan bebas lainnya,
disampaikan keprihatinan penulis Jean-Marc Clément dalam artikelnya yang
berjudul “Proving FTA Preferential Tariff Eligibility: The Evidentiary Burden in
CO
Canada”.319 Seperti halnya dengan sebagian besar perjanjian perdagangan
bebas, importir hanya mengklaim kelayakan tarif preferensial pada saat
impor. Klaim ini nantinya dapat diverifikasi oleh administrasi pabean untuk
menentukan apakah klaim tersebut sah. Untuk membuktikan hak tarif
G
preferensial memerlukan pengumpulan dan penyajian fakta dan dokumen
relevan yang mendukung klaim. Akan tetapi, berapa banyak bukti yang
IN
318 Song-Za Choi, “A Comparison of Korea and China’s FTA Dispute Settlement Agreement with
ASEAN”, Journal of Arbitration Studies, 23(1), 2013, hlm. 25–53.
319 Jean-Marc Clément, “Proving FTA Preferential Tariff Eligibility: The Evidentiary Burden in Canada”,
Global Trade and Customs Journal, 15(3/4), 2020.
PY
bahan, lembar biaya, daftar semua pemasok bahan, bahkan pernyataan tertulis
dari produsen ban yang membuktikan asal ban. DeRonde menjelaskan bahwa
mereka telah membuat klaim kelayakan NAFTA berdasarkan “pengetahuan”
mereka sendiri, bahwa barang tersebut memenuhi syarat dan dasar yang sah,
CO
yang secara khusus diizinkan oleh NAFTA. Namun, CBSA menolak memberikan
hak tarif preferensial NAFTA, karena importir tidak mampu menyajikan semua
dokumen yang mereka minta. Akhirnya, Pengadilan Perdagangan Internasional
Kanada (CITT) memutuskan mendukung DeRonde.
Putusan Pengadilan Kanada tersebut sejalan dengan fakta yang telah
G
disajikan, yaitu bahwa pabrik Amerika Utara di mana ban telah diproduksi
secara nyata telah diidentifikasi dalam tanda yang terukir di ban itu sendiri;
IN
320 DeRonde Tire Supply Inc. v President of the Canada Border Services Agency, CITT AP-2011-014
(July 29, 2015).
PY
Dalam kasus yang lebih baru, yaitu antara Maples Industries, Inc. dan Presiden
Badan Layanan Perbatasan Kanada321, aturan klasifikasi tarif digunakan untuk
menolak penerapan rules of origin NAFTA yang kurang dikenal, yaitu bahan
antara (intermediate materials). Maples Industries adalah produsen karpet
CO
yang berbasis di AS. Itu telah menyertifikasi kelayakan NAFTA dari karpet
yang telah diekspor ke Kanada. CBSA memberi tahu mereka bahwa verifikasi
NAFTA akan dilakukan di fasilitas mereka untuk memvalidasi klaim.
Sebagaimana diizinkan oleh NAFTA, Maples menggunakan bahan
yang diproduksi sendiri untuk menggantikan bahan non-origin sebenarnya
G
yang bersumber dari pemasok asing untuk memenuhi ketentuan Schedule 1
Specific Rule of Origin. Aturan ini hanya menjelaskan persyaratan pergeseran
IN
tarif, dari klasifikasi tarif bahan baku ke klasifikasi tarif karpet jadi. Bahan
yang diproduksi sendiri adalah bahan yang dibuat oleh produsen pada tahap
peralihan dari siklus produksi, sebelum produk jadi dibuat. CBSA mengambil
AD
posisi bahwa bahan yang diproduksi sendiri (kain berumbai) memiliki karakter
penting dari barang jadi (karpet), karenanya tidak ada perubahan tarif sama
sekali, sebuah proposisi yang dibantah oleh Maples. Pengadilan menolak
RE
PY
benar berlangsung di Meksiko dan telah dilakukan oleh produsen Meksiko.
Disebutkan juga bahwa kolom “blanket period” telah dikosongkan, sehingga
keterkaitan sertifikat dengan periode importasi yang sedang ditinjau. Pengadilan
membuat dua klarifikasi yang sangat penting. Pertama, produsen dapat
CO
mengalihkan beberapa pekerjaan selama seluruh proses manufaktur dapat
dikontrol setiap saat. Kedua, meskipun Proof of Origin of Imported Goods
Regulation mensyaratkan adanya Certificate of Origin sebagai prasyarat
untuk mendapatkan tarif preferensial NAFTA, dokumen itu sendiri tidak
pernah ditentukan oleh peraturan dan dengan demikian, tidak dapat dengan
G
mudah ditolak untuk kesalahan pengisian dari penyelesaian. Dalam Putusan
Pengadilan, bahkan jika California Sunshine bukan produsernya, persyaratan
IN
untuk menunjukkan sertifikat yang sah tetap dapat dipenuhi. Hal yang sama
berlaku untuk tidak adanya tanggal di kolom periode selimut (blanket period).
AD
PY
ini karena putusan pengadilan lokal di negara mitra FTA telah merugikan
eksportir Indonesia dengan tidak diberikannya tarif bea masuk FTA secara
sepihak tanpa melalui konsultasi dengan pihak Indonesia sebagai otoritas
yang mengeluarkan surat keterangan asal barang dan pihak eksportir yang
berkepentingan dengan tarif bea masuk FTA. CO
1. Kasus Ekspor Kaleng Indonesia dengan Bea Cukai Korea324
Importir D di Korea menandatangani kontrak dengan Perusahaan T di Indonesia
untuk memperdagangkan “barang yang bersangkutan” (ingot timah). Tambang
G
timah dan smelter yang memproduksi barang tersebut berlokasi di Pulau Bangka,
Indonesia. Dikarenakan tidak ada kapal dengan rute reguler yang langsung
IN
Singapura sebagai penerima barang dan Singapura sebagai tujuan. B/L kedua,
yang diterbitkan di Singapura menetapkan pelabuhan Korea sebagai tujuan,
eksportir di Singapura sebagai pengirim, dan Importir D sebagai penerima
barang. Bea Cukai Korea mengecualikan aplikasi tarif preferensial sesuai
PY
direct transport requirement. Putusan pengadilan (Putusan Pengadilan Tinggi
Seoul Korea, 2013) menyatakan bahwa sudah sepatutnya pabean menolak
gugatan Importir D atas pemberian tarif BM FTA apabila tidak diajukan melalui
B/L, karena bill of lading yang diajukan tidak dapat dianggap sebagai through B/L.
CO
Apakah BL tertentu memenuhi syarat sebagai “through B/L” adalah
pertanyaan fakta. 325 Untuk menentukan secara akurat apakah dokumen
pengangkutan diakui sebagai B/L melalui B/L sebagaimana ditentukan dalam
AKFTA, perlu untuk menetapkan standar khusus untuk verifikasi dan untuk
meninjau dokumen bukti yang sesuai. Berkenaan dengan standar verifikasi
G
khusus untuk menentukan apakah suatu dokumen merupakan through B/L,
harus mengacu pada peraturan yang berlaku di Singapura, karena negara tersebut
IN
bongkar muat yang ditentukan dalam B/L untuk barang tersebut, pertama, di
luar Singapura dan harus, kedua, tanpa penerima barang di Singapura.
Melihat bill of lading yang dalam hal ini menurut standar di atas, B/L
RE
325 C.S. Donovan & J.M. Haley, “Who Done It and Who’s Gonna Pay-rights of Shippers and
Consignees against Non-Ocean Carriers Performing Part of a Contract of Carriage Covered by a
Through Bill of Lading”, Journal of International Law and Practice, Vol. 7, 1998, hlm. 415.
PY
Sebuah perusahaan penyulingan minyak, Perusahaan K, membeli “barang
yang dipesan” (minyak mentah) dari perusahaan Indonesia, Perusahaan Q,
dan mengimpornya melalui Singapura ke Korea. Ketika Importir K melaporkan
CO
barangnya ke pabean dan mengklaim tarif bea masuk sesuai dengan AKFTA,
Importir K menyerahkan dua lembar B/L, yang mencantumkan rincian
transshipment sebagai bukti dokumen untuk memenuhi direct transport
requirements, bukan through B/L. Dalam menentukan bahwa bill of lading
untuk setiap tahap pengangkutan tidak dapat dianggap through B/L, bea cukai
G
Korea menolak pemberian tarif Bea Masuk FTA. Importir tidak setuju dengan
keputusan yang dibuat oleh Bea Cukai dan mengajukan gugatan ke Korean
IN
seluruh jalur pengangkutan dan lokasi transshipment pada saat barang yang
bersangkutan dikirim untuk ekspor. Kedua perusahaan pelayaran tersebut
kemudian menandatangani kontrak pengangkutan berupa pengiriman
yang berurutan. Akibatnya, dua bill of lading yang berisi informasi rinci
RE
326 H. Lim & A. Choo, The Use of Free Trade Agreements by Manufacturing and Services Firms in
Singapore, in L.Y. Ing and S. Urata (Eds.), The Use of FTAs in ASEAN: Survey-based Analysis
(ERIA Research Project Report, No. 2013-5), Jakarta: ERIA, 2015, hlm. 215–242.
PY
maka konsisten dengan fakta pengiriman. Dalam kasus serupa sebelumnya,
pengadilan (Keputusan Pengadilan Administrasi Seoul, Korea, 2012) menafsirkan
arti through B/L sebagai “B/L yang dikeluarkan oleh pengangkut pertama untuk
bertanggung jawab atas semua rute pengangkutan ketika pengangkut melibatkan
CO
beberapa tahap pengangkutan laut atau sebagai alternatif menggunakan
sarana pengangkutan lain seperti angkutan jalan raya, kereta api atau udara
untuk membawa barang ke suatu tujuan”. Definisi ini mengasumsikan dokumen
pengangkutan tunggal dan Tax Tribunal (Korean Tax Tribunal Decision, 2015)
juga mengadopsi definisi ini dalam keputusannya atas kasus ini.
G
Sementara, definisi tersebut cocok untuk menafsirkan B/L multimodal, itu
tidak sesuai untuk through B/L. Tentu saja, B/L multimodal dapat dimasukkan
IN
sebagai jenis khusus dari through B/L, tetapi ruang lingkup dari through B/L
lebih luas daripada B/L multimodal. Dengan demikian, B/L multimodal tidak
dapat didefinisikan sebagai satu-satunya bentuk dari through B/L. Menurut
AD
pengadilan yang didasarkan pada definisi through B/L dan menyatakan bahwa
pengangkut pertama harus bertanggung jawab atas seluruh kaki angkut
adalah tidak tepat. Bentuk khas dari through B/L dapat didefinisikan sebagai
dokumen pengangkutan tunggal yang berisi semua informasi, seperti lokasi
keberangkatan, lokasi transit, tujuan akhir, dan pengangkut ikutan.
Dalam menentukan apakah suatu dokumen tertentu merupakan bukti yang
sah untuk memenuhi direct transport requirement, dokumen yang paling tepat
yang secara jelas mengungkapkan bukti tersebut adalah through B/L dalam
PY
demikian, dua bill of lading dalam hal ini, dalam praktiknya, cukup untuk
membuktikan pengangkutan berturut-turut dari barang-barang identik dan
masuk akal untuk menganggapnya sebagai bukti pengangkutan langsung atau
dokumentasi pendukung seperti yang didefinisikan dalam perjanjian. Jika
CO
tarif BM FTA ditolak hanya karena dokumen tidak identik dengan through
B/L yang diterbitkan di negara pengekspor sebagaimana didefinisikan dalam
perjanjian, ini akan mengakibatkan penerapan hukum yang ketat terhadap
formalitas. Selain itu, perjanjian FTA bertujuan untuk menghilangkan bea
masuk dan peraturan perdagangan restriktif lainnya pada hampir semua
G
perdagangan barang antara Republik Korea dan negara anggota ASEAN.330
Hal ini juga bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan partisipasi negara-
IN
negara anggota dalam kerja sama ekonomi dan untuk memperluas ekspor
mereka (Agreement on AKFTA, Kata Pengantar). Mempertimbangkan tujuan
tersebut, berdasarkan kebenaran substantif, pihak pabean diharapkan
AD
kembali klausul terkait pengiriman langsung dan mengubah aturan yang berlaku.
328 R.S. Summers, “Formal Legal Truth and Substantive Truth in Judicial Fact-finding: Their Justified
Divergence in Some Particular Cases”, Law and Philosophy, Vol. 18, 1998, hlm. 5.
329 Ibid.
330 Sang-Hyun Han, “A Study on Comparison and Directions of the Origin Certification System in
Free Trade Agreement”, Journal of International Trade & Commerce, 6(4), 2010, hlm. 167–190.
Buku
Abdulkadir, Muhammad. 2007. Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan
Niaga di Indonesia dalam Perspektif Hukum Bisnis Indonesia pada Era
Globalisasi Ekonomi. Jakarta: Genta Press.
Adolf, Huala. 2002. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta:
Rajawali Press.
___________. 2010. Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional (Edisi Revisi).
Bandung: Refika Aditama.
___________. 2010. Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar. Bandung:
PY
Keni Media.
___________. 2010. Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan
Internasional (WTO). Bandung: Keni Media.
Media.
CO
___________. 2014. Dasar-Dasar, Prinsip & Filosofi Arbitrase. Bandung: Keni
Keni Media.
Amalia, Prita. 2015. Industri Penerbangan Aspek Hukum Pasca Cape Town
Convention 2001. Bandung: Refika Aditama.
AD
York: AEI.
Bedjaoui. 1985. Menuju Tata Ekonomi Dunia Baru. Jakarta: Gunung Agung.
Bossche, Peter san den. 2008. The Law and Policy of the WTO. Ed. 2. New York:
Cambridge University Press.
Budiono, Herlin. 2006. Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia:
Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia. Bandung:
Rafika Aditama.
Caron, David D., et al. 2015. Practising Virtue: Inside International Arbitration.
Oxford: Oxford University Press.
PY
Folsom, Ralph H. et al. 2015. International Business Transaction: A Problem
Oriented Coursebook. Saint Paul: West Academic Publishing.
Garth, Ives Dezalaydan Bryant G. 1996. Dealing in Virtue: International
Commercial Arbitration and The Construction of a Transnational Legal
CO
Order. Chicago: The University of Chicago Press.
Goldman, Berthold. Contemporary Problems in International Arbitration.
Goode, Roy et al. 2007. Transnational Commercial Law Text, Cases, And
Materials. New York: Oxford University Press.
Hadi, Dedi Abdul. 2013. Modul Free Trade Agreement. Jakarta: Pusdiklat Bea
G
dan Cukai.
___________. 2013. Modul Operational Certification Procedure. Jakarta: Pusdiklat
IN
PY
Era Dinamika Global. Bandung: Alumni.
Panglaykim. 1983. Perusahaan Multinasional dalam Bisnis Internasional. Jakarta:
Analisa CSIS.
Putra, Ida Bagus Wiyasa. 2000. Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional dalam
CO
Transaksi Bisnis Internasional. Bandung: Refika Aditama.
Qureshi, Asif. 2007. International Economic Law. Mytholmroyd: Sweet &
Maxwell.
Ruddyard, Febrian A. Sekilas WTO World Trade Organization. Jakarta: Direktorat
Perdagangan, Komoditas, Kekayaan Intelektual dan Direktorat Jenderal
G
Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Ruys, T., N. Angelet, & L. Ferro (Eds). Cambridge Handbook on Immunities and
IN
International Law.
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Smiths, Jan M. 2014. Contract Law: A Comparative Introduction. Cheltenham:
AD
PY
Jurnal
Adolf, Huala. 2009. “Dampak Pengesahan Statuta UNIDROIT”. Jurnal Ilmu
Hukum Padjadajaran, Jilid XXXIII Vol. 1.
CO
Alfia, Ayu Nurul et al. 2016. “Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional
dalam Kebakaran Hutan di Riau dalam Perspektif Hukum Internasional”.
Diponegoro Law Journal, 5(3).
Amalia, Erna. 2021. “Kedudukan Perusahaan Transnasional sebagai Subyek
Hukum Internasional”. NJL, 5(2).
G
Amalia, Prita dan Danrivanto Budhijanto. 2018. “The Role of Public Private
Partnership to Strenghten Sustainable Development in Indonesia”. Central
IN
Azrieli, Avraham. 1993. “Improving Arbitration under the U.S.-Israel Free Trade
Agreement: A Framework for a Middle-East Free Trade Zone”. St.John’s Law
Review, 67(2).
Barnden, David & Jorge Daniel Tailant. 2007. “Investment Nexus and Financial
Institutions in The implementation of The OECD Guidelines for Multnational
Enterprises”. Jurnal Center for Human Rights and Environment.
Berger, Klaus Peter. 1999. “The Creeping Codification of the Lex Mercatoria”.
Kluwer Law International.
Burkovskis, Raimondas. 2008. “Efficiency of freight forwarder’s participation in
the process of transportation”. Transport, 23(3).
PY
the Harmonization of the Laws of the of International Commercial
Transactions”. 2 B.U. INT’L L. REV.
Dam, Cees van. 2011. “Tort Law and Human Rights: Brother in Arms on the Role
of Tort Law in the Area of Business and Human Right”. Journal of Education,
Teaching and Leaning. CO
Deva, Surya. “Human Right Violations by Multinational Corporations and
International Law: Where from Here?”. Connecticut Journal of International
Law.
Dewanto. Wisnu Aryo. 2013. “Problematika keberlakuan dan Status Hukum
G
Perjanjian Internasional”. Jurnal Yudisial.
Donovan, C.S. and J.M. Haley. 1998. “Who Done It and Who’s Gonna Pay-rights
IN
Dorward, Daniel J. 1998. “The Forum Non Conveniens Doctrine and the Judicial
Protection of Multinational Corporations from Forum Shopping Plaintiffs”.
University of Pennsylvania Journal of International Economic Law, 19(1).
RE
PY
Kim, Jai-Sik & Soyean Kim. 2017. “Direct Transport Rules in Regional Trade
Agreements and Suggestions”. Journal of International Trade & Commerce,
13(2).
International.
CO
Klaus Peter Berger (Ed). 2001. “The Practice of Transnational Law”. Kluwer Law
International.
Mamiloto, Susanti. 2017. “Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran Transaksi
Perdagangan Lintas Batas pada Daerah Perbatasan”. Lex Privatum, V(8).
Many, Nirmala, Muhammad Reza Syariffudin Zaki, dan Cecilia Elisabeth Agatha.
RE
PY
Sanders, Pieter. 1982. “Implementing International Codes of Conduct for
Multinational Enterprises”. American Journal Comparative Law.
Sefriani. 2017. “Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional terhadap Pelanggaran
HAM dalam Perspektif Hukum Internasional”. UNISIA, XXX(65).
CO
Shahla F. Ali. 2011. Resolving Disputes in the Asia Pacific Region: International
Arbitration and Mediation in East Asia and the West. UK: Routledge.
Soenarno. 2011. Modul Pengantar Nilai Pabean. Jakarta: Badan Pendidikan dan
Pelatihan Keuangan Pusdiklat Bea dan Cukai.
Sotomonte, David R. 2002. “The UN Convention on Contracts for the International
G
Sale of Goods & International Commercial Arbitration”. Revist@ e-mercatoria,
1(2).
IN
Summers, R.S. 1998. “Formal Legal Truth and Substantive Truth in Judicial Fact-
finding: Their Justified Divergence in Some Particular Cases”. Law and
Philosophy, 18.
Supadi, Hafsah. 2021. “The Use of Local Currency Settlement in Trade among
Indonesia, Malaysia And Thailand”. JOM FISIP, Vol. 8, Edisi II.
Supriyono. “Pengaruh Globalisasi terhadap Pembangunan Hukum dan Tantangan
di Era Revolusi Industri”. Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB.
Susdarwono, Endro Tri. 2020. “Pembangunan Pengangkutan Multimoda
sebagai Penunjang Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia: Akselerasi
Pembangunan Industri Pertahanan”. Kajen, 4(1).
PY
Yi, Jisoo. 2016. “A Study on the Dispute Settlement Procedure for the Preferential
Rules of Origin”. Journal of Arbitration Studies, 26(3).
Yuan, Bo. 2016. “A Law and Economic Approach to Norms in Transnational
Commercal Transaction: Incorporation and Internalization”. Erasmus Law
Review. CO
Zaki, Muhammad Reza Syariffudin dan Andrey Sujatmoko. “Hubungan Taliban
dan Cina dalam Perspektif Internasional”. terAs LAW REVIEW: JURNAL
HUKUM HUMANITER DAN HAM, 3(1).
Zaki, Muhammad Reza Syariffudin dan R. Syahputra. “Retalism mechanism in
G
Indonesia and European Union trade disputes regarding CPO commodity
exports”. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 729(1).
IN
PY
WTO Valuation Agreement
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
CO
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2017 tentang Tim Perunding Perjanjian
Perdagangan Internasional
Internet
G
Ali, Shahla F. 2019. “Transnational Commercial Law of Arbitration – Developments
and Controversies”. Oxford Handbooks Online.
IN
Bank Indonesia. “Local Currency Settlement (LCS) & Appointed Cross Currency
Dealer (ACCD)”. Diakses dari: https://bicara131.bi.go.id/knowledgebase/
article/KA-01093/en-us.
AD
PY
Putra, Idris Rusadi. 2021. “Awal Mula Larangan Ekspor Nikel Indonesia hingga
Digugat Uni Eropa ke WTO”. Diakses dari: https://www.merdeka.com/
uang/awal-mula-larangan-ekspor-nikel-indonesia-hingga-digugat-uni-
eropa-ke-wto.html.
CO
UNCITRAL. “About UNCITRAL”. Diakses dari: https://uncitral.un.org/en/about.
UNIDROIT. “Instruments”. Diakses dari: https://www.unidroit.org/instruments/.
___________. “Membership”. Diakses dari: http://www.unidroit.org/about-unidroit/
membership.
___________. “Purpose”. Diakses dari: https://www.unidroit.org/about-unidroit/.
G
Victoria, Agatha Olivia. 2021. “Regulasi LCS akan Terbit, Transaksi RI-
Tiongkok Tak Perlu Pakai Dolar”. Diakses dari: https://katadata.co.id/
IN
agustiyanti/finansial/60d5b1623a6ad/regulasi-lcs-akan-terbit-transaksi
-ri-tiongkok-tak-perlu-pakai-dolar.
Wahyunto, dkk. “Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Perkebunan
AD
PY
and Beyond Borders”. Workpaper in International Studies Association
Conference.
Ing, L.Y. and S. Urata (Eds.). 2015. The Use of FTAs in ASEAN: Survey-based
Analysis (ERIA Research Project Report, No. 2013-5). Jakarta: ERIA.
MAI Negotiating Text CO
Mestre, Frederique. 1999. “Promoting the Unification Process the Publications
of UNIDROIT, International Legal Info”.
OECD Working Papers on International Investment, Indirect Expropriation and
G
Right to Regulate in International Investment Law 2004
Taufiqurrahman. 2008. “Karakter Pilihan Hukum di Bidang Kontrak Jual-Beli
IN
Dr. Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., M.A., AWP, CIQnR, CRMO.
Muhammad Reza Syariffudin Zaki adalah Dosen Hukum
Universitas Bina Nusantara (Binus), Sekolah Tinggi Hukum
Militer, IBLAM School of Law, serta Dosen Tamu di Tunghai
University, Taiwan. Penulis menempuh studi S-1 Hukum
Perdagangan Internasional di Universitas Gadjah Mada, S-2
Hubungan Internasional (Diplomasi Perdagangan Dunia)
di Universitas Gadjah Mada, dan S-3 Hukum Perdagangan
PY
Internasional di Universitas Padjadjaran. Penulis menyelesaikan
pendidikan S-3 sebelum usia 30 tahun dengan waktu yang singkat.
Mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM ini pernah menjadi Peneliti di Pusat Studi
Perdagangan Dunia UGM. Penulis juga berpengalaman menjadi Delegasi Harvard
CO
World Model United Nations (HWMUN) Belanda, Stockholm Model United Nations
(SMUN) Swedia, Co-Chairman Indonesia Model WTO, dan Pembicara Simposium
Internasional Southeast Asian Investment Market and Legal System Forum di Taiwan.
Penulis aktif sebagai ahli di Mahkamah Konstitusi RI dan Pengadilan Negeri. Selain
sebagai akademisi, Penulis juga aktif dalam kegiatan sosial menjadi Ketua Yayasan
G
Rumah Imperium dan Koordinator Umum Forum Putra Daerah Membangun yang
tersebar di 34 provinsi. Selain itu, aktif sebagai Pengurus Harian Indonesian Society
IN
of International Law Lecturers (ISILL), Ikatan Auditor Teknologi Indonesia, dan Ketua
Dewan Penasihat Perhimpunan Mahasiswa Fakultas Hukum Seluruh Indonesia
(PERMAHI). Penulis meraih penghargaan, seperti Tokoh Muda versi Koran Media
AD
Indonesia, Tokoh Filantropi Milenial versi Koran TEMPO, Sosok Majalah Garuda
Indonesia, Wakil Rektor Termuda di Indonesia versi Good News from Indonesia,
Rector’s Award Binus University, serta Milenial Inspiration Award dari Universitas
Budi Luhur dan Satyalancana Dwidya Sistha dari Presiden Republik Indonesia.
RE
PY
Internasional pada Pesawat Udara untuk Pembangunan Ekonomi
Indonesia”. Jenjang S-1 dan S-2 diselesaikan di Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran dengan predikat cumlaude juga dan
menjadi wisudawan terbaik pada tahun 2005.
CO
Saat ini, Penulis merupakan Dosen pada Departemen Hukum Bisnis Transnasional
dan merupakan Kepala Departemen pada Departemen Hukum Bisnis Transnasional.
Penulis aktif melakukan penelitian dalam bidang Hukum Arbitrase Nasional dan
Internasional, Hukum Penanaman Modal Internasional, Hukum Perdagangan
Internasional, Hukum Ekonomi Internasional, Aircraft Financing based on Cape Town
G
Convention 2001, dan Hukum Infrastruktur khususnya Public Private Partnership
(PPP). Penelitian sering kali dilakukan dengan melibatkan kerja sama dengan instansi
IN
dalam dan luar negeri. Selain mengajar dan meneliti, Penulis juga aktif dalam berbagai
kegiatan organisasi, yaitu di KADIN Indonesia Bidang Perhubungan, Masyarakat
Hukum Udara, University Network for Indonesia Infrastructure Development (UNIID),
AD
aktif dalam melakukan beberapa kajian bersama Kementerian Luar Negeri RI dan PT
Penjaminan Infrastruktur Indonesia. Berbagai publikasi baik jurnal maupun buku telah
dihasilkan baik nasional maupun internasional, di antaranya Industri Penerbangan
Nasional, Aspek Hukum Pasca Cape Town Convention 2001 (Penerbit Refika); The
Force Strategic Infrastructure: The Role of Public Private Partnership to Strengthen
Sustainable Development in Indonesia, Indonesia’s Report: The Implementation of
the Cape Town Convention 2001 (Springer); The Development of Private International
Law: A New Concept of Mobile Equipment under the Cape Town Convention 2001;
Third Party in International Commercial Arbitration, Indonesia Perspective.
PY
Internasional dan Arbitrase, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran. Berikut adalah
beberapa tulisan yang telah dipublikasi dan konferensi yang telah diikuti.
Buku
•
•
CO
“Hukum Perdagangan Internasional dan Fasilitasi Perdagangan” (2020, Keni Media)
“Kompilasi Tulisan Para Arbiter, Akademisi dan Praktisi tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa” (2021, Fikahati Aneska)
Jurnal
G
• “Legal Issues Regarding Imposition of E-Form D as a Basis for Determination of
Preferential Tariff in ATIGA”, Jurnal Perspektif Bea dan Cukai, 4(2), 2020.
IN
International Conference
• WTO’s Trade Facilitation Agreement: Challenges & Implementation Problem
in Indonesia: International Law Conference (I-NLAC) 2019, Legal Challenge on
Indistrial Revolution 4.0
• Singapore International Arbitration Centre Academy, Kuala Lumpur, 2019
• Asia Pacific Regional Arbitration Group (APRAG) Conference 2020: “Innovation
and Challenges Facing the Arbitration Industry, Bangkok, 15–17 January 2020.
Kontak: +62-852-75243550 / mursal.maulana@unpad.ac.id
Pendidikan Formal
1. Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Jayabaya, 2018
PY
2. Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, STIH “IBLAM”, Jakarta, lulus tahun 2016
3. Program Sarjana Ilmu Hukum Universitas Jakarta, Jakarta, lulus tahun 2013
4. Program Diploma III Keuangan Spesialisai Bea dan Cukai Sekolah Tinggi Akuntansi
CO
Negara (STAN), Jakarta, lulus tahun 2001
5. SMUN 1 Bekasi, Bekasi, lulus tahun 1998
Pengalaman Organisasi/Penugasan
1. Anggota Tim Penyusun dan Pengembangan Desain Pembelajaran dengan Metode
G
Blended Learning Pada Pusdiklat Bea dan Cukai T.A 2019 (Keputusan Kepala
Pusdiklat Bea dan Cukai Nomor:KEP-3/PP.5/2019 tanggal 07 Januari 2019)
IN
2. Peserta Secondment Program Sinergi DJP, DJBC, dan DJA di Lingkungan Kementerian
Keuangan berupa kegiatan magang/internship di Direktorat Keberatan dan Banding,
Direktorat Jenderal Pajak (Surat Perintah Kepala Biro Sumber Daya Manusia
AD
4. Mentor Pembinaan Mental pada Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A
Tanjung Priok (Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A
Tanjung Priok Nomor KEP-1014/KPU.01/2020 tanggal 21 Februari 2020)
5. Fasilitator pada Customs Excise English Community (CEEC) pada Kantor Pelayanan
Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok
6. Ikatan Alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (IKANAS-STAN)
7. Asosiasi Dosen ISILL (Indonesian Society of International Law Lecturer)
PY
7. Diklat Legal Drafting, Pusdiklat Keuangan Umum, Jakarta, 2018
8. Workshop on Key Aspects of Good Regulatory Practice, American National
Standards Insitute, Jakarta, 2017;
9. Training of English Trainers (ToT for English Trainers), Pusdiklat Keuangan Umum,
Jakarta, 2017 CO
10. Diklat Legal English, Pusdiklat Keuangan Umum, Jakarta, 2017
11. Revenue Package on Customs Valuation Workshop, Japan Customs, Jakarta, 2016
12. Document Examination: Principles and Application Course, Department of
G
Immigration and Border Protection, Brisbane, Australia, 2016
13. English Language Studies, The University of Queensland, Brisbane, Australia, 2016
IN
14. Authorized Economic Operator Workshop, Japan Customs and Tariff Bureau,
Jakarta, 2014
15. ASEAN Regional Workshop on Customs Valuation and Post Clearance Audit, Jakarta,
AD
2013
16. Customs Valuation Workshop, Japan Customs and Tariff Bureau, Jakarta, 2013
17. Workshop Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2013
Pengalaman Mengajar/Narasumber
RE
PY
Tugas dan Fungsi Subdit Banding”.
9. Narasumber pada Program Peningkatan Keterampilan dan Pengetahuan (P2KP)
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tahun 2017 dengan tema “Implementasi
Jabatan Fungsional Keberatan Banding DJBC”.
CO
10. Narasumber pada Program Peningkatan Keterampilan dan Pengetahuan (P2KP)
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tahun 2018 dengan tema “Royalty sebagai
Unsur Nilai Pabean (Studi Kasus Pengadilan Pajak)”.
11. Mengajar mata pelajaran “Tinjauan Umum tentang Hukum: Pokok-Pokok Hukum
Pajak” pada Diklat Litigasi, Pusdiklat Keuangan Umum, 2016.
G
12. Mengajar mata pelajaran “Statistik Banding Nilai Pabean, List-List Kasus Nilai
Pabean dan Legal Drafting Perubahan PMK 160” pada Workshop Keberatan dan
IN
Cukai, 2015.
14. Mengajar mata pelajaran “Formal Keberatan, Banding dan Gugatan Gelar Sengketa
Pengadilan Pajak” pada Workshop Keberatan dan Banding, Pusdiklat Bea dan Cukai,
RE
2015.
Publikasi dan Karya Ilmiah
1. “Legal protection and Tax Treaty Position for Tax Payers against Double Taxation
Based on Inviting Laws”. Budapest International Research and Critics Institute-
Journal (BIRCI-Journal), 2022.
2. “A Comparative Study of the Implementation of Alternative Disputes Resolution
(ADR) in Tax and Customs Disputes in Indonesia”. Journal Evidence of Law, 1(1),
55–69, 2022.
3. “Application of the Load of Proof in Customs Value Disputes Reviewing from
Customs Law and Tax Law (Analysis of the Decision of the Supreme Court
PY
1(1), 2021, 115–131.
8. “Burden of Proof of Customs Valuation Disputes in Indonesian Tax Court”. International
Journal of Law, Government and Communication, 5, 2020, 100–111. http://www.
ijlgc.com/PDF/IJLGC-2020-20-09-08.pdf.
CO
9. “BOOK OF EXTENDED ABSTRACTS: THE 10th UUM INTERNATIONAL LEGAL
CONFERENCE 2019 (UUMILC 2019): LAW, GOVERNMENT & SOCIETY:
ADDRESSING THE CHALLENGES OF IR 4.0”
10. Artikel Ilmiah: “Studi Komparatif Hukum Pembuktian di Pengadilan Pajak dan
Peradilan Lainnya: Indirect Evidence sebagai Alternatif Alat Bukti”, Warta Bea Cukai,
G
Edisi December 2014, https://www.beacukai.go.id/berita/warta-bea-cukai-volume-
46-nomor-12-desember-2014.html.
IN
11. Tesis: “Pembuktian Nilai Transaksi Barang Impor dalam Hukum Kepabeanan dan
Hukum Pembuktian di Pengadilan Pajak”, STIH IBLAM, Januari 2016.
AD
Penghargaan/Prestasi
1. Penghargaan World Customs Organization (WCO) Certificate of Merit tahun
2018 diberikan kepada pegawai Bea Cukai yang telah berjasa dalam membuat
sistem yang dapat menumbuhkan ekonomi melalui transparansi aturan yang baik
RE