MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an dan Hadis
(Teori dan Aplikasi)
Oleh:
Ahmad Muzakki Kholis
23203011111
Dosen Pengampu:
Dr. H. Hamim Ilyas, M.Ag.
NIP: 19610401 198803 1 002
Al-Qur’an al-Karim merupakan mukjizat Islam yang abadi dan mukjizatnya selalu
diperkuat dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Penafsiran al-Qur'an dimulai sejak al-Qur'an
disampaikan oleh Nabi Muhammad ﷺkepada umatnya. Ini adalah kebenaran sejarah yang tidak
dapat disangkal oleh siapa pun, termasuk sejarawan Barat dan Timur, Muslim dan non-
Muslim. Al-Qur'an berbicara banyak tentang persoalan kehidupan manusia, salah satu masalah
yang dibahas adalah hukum pernikahan. Dalam al-Qur’an ada Surat an-Nahl ayat 72, An-Nūr
ayat 32 dan ar-Rum ayat 21 yang berisi tentang anjuran untuk menikah, dimana perlu
pengkajian ulang apabila dihadapkan pada masa modern. Salah satunya masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah anjuran untuk menikah yang masyhur dalam Surat An-Nūr
ayat 32.
Surat An-Nūr ayat 32 pada umumnya mengandung perintah untuk melangsungkan
pernikahan. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah adalah wajib bagi yang mampu
melaksanakannya. Bahkan dalam ayat ini Allah akan menjanjikan kekayaan bagi orang yang
kurang mampu yang memiliki niat untuk melaksanakan pernikahan. Namun, pada konteks
zaman sekarang bahwa seseorang yang hendak melaksanakan pernikahan harus memiliki
modal materi yang memadai, sedangkan dalam al-Qur’an menegaskan bahwa boleh saja
melakukan pernikahan dalam keadaan tidak mampu. Demikian seperti hasil penelitian yang
dilakukan oleh Eddy Fadlyana dan Shinta Larasati yang menyimpulkan bahwa seseorang yang
melakukan pernikahan dini memiliki kecenderungan terhadap minimnya kecukupan materi
atau bisa dikatakan miskin.1 Selain itu, yang perlu dikaji ulang yaitu mengenai janji Allah
dalam Surat An-Nūr ayat 32 ini bahwa Allah akan memampukan atau memberikan kekayaan
dari karunia-Nya bagi orang yang menempuh jalan pernikahan. Padahal dalam kenyataannya
tidak sedikit dari pasangan suami istri yang sudah lama menikah tetapi ekonomi mereka masih
sulit atau belum kaya.
Atas dasar permasalahan yang ada, makalah ini hendak sedikit mengkaji terkait tafsir
Q.S. An-Nūr ayat 32, mengapa al-Qur’an mengajurkan menikah walau dalam keadaan tidak
1
Eddy Fadlyana dan Shinta Larasati, “Pernikahan Dini dan Permasalahannya”, Jurnal Sari Pediatri,
Vol.20, No.2, Agustus 2009, hlm. 136.
1
2
mampu serta bagaimana implementasi terkait janji Allah yang akan memberikan kecukupan
materi bagi mereka yang menikah menurut Muhammad Ali aṣ-Ṣabuni.
a. Bagaimana tafsir pada Surat An-Nūr ayat 32 menurut Muhammad Ali aṣ-Ṣabuni?
b. Bagaimana pemahaman anjuran untuk menikah dalam keadaan tidak mampu?
c. Bagaimana implementasi janji Allah yang akan memberikan kekayaan bagi mereka yang
menikah?
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam kitab Rawāi’ al-Bayān, aṣ-Ṣabuni mengutip dari Tafsīr al-Kasysyāf karya al-
Zamakhsyari bahwa al-Suyuṭī meriwayatkan dari Abdullah bin Ṣabih dari bapaknya, ia
2
An-Nūr 24: 32.
Muhammad Ali aṣ-Ṣabuni, Ṣafwah at-Tafāsīr Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, jilid 2, cetakan ke-15, (Kairo:
3
3
4
berkata: Aku adalah budak milik Khuwaiṭib bin ‘Abdul ‘Izza. Aku meminta untuk
kemerdekaan, tetapi dia menolak. Kemudian Allah menurunkan ayat:5
ْ ُ ْ ُ َ َ ْ ُ ُ َ ْ َ ْ َ َ َ َّ َ ٰ ْ َ ْ ُ َ ْ َ َ ْ َّ َ
٣٣ … وال ِذين يبتغون ال ِكتب ِِما ملكت ايمانكم فك ِاتبوهم
َ ْ َ َ ْ ُ ٰ َ َ ْ ُ ْ ُ ََ
٣٣ … ولا تك ِرهوا فتي ِتكم على ال ِبغا ِۤء
Mengutip dari kitab Tafsīr al-Qurṭubī bahwa ada riwayat lain bahwa sesungguhnya
‘Abdullah bin Ubay bin Salūl memaksa mereka untuk zina (melacur) dan memukul mereka
(apabila menolak). Salah satu dari mereka berkata: Jika perbuatan itu baik, maka sungguh
kami telah banyak melakukan itu, dan jika perbuatan itu buruk, maka sungguh kami harus
meninggalkannya. Maka turunlah ayat tersebut.7
5
Muhammad Ali aṣ-Ṣabuni, Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Āyat al-Ahkām min al-Qur’ān, jilid 2, cetakan ke
2, (Damsyik: Maktabah Al-Ghazali, 1977), hlm. 179.
6
Ibid., hlm. 180.
7
Ibid.
5
ٰ ْ َ ٰ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َ َ ْ َّ ْ َ َ َ َ ْ ْ ُ ْ َ َ ْ ّٰ
الطف ِل ال ِذين لم يظهروا على عور ِت ِ ال ا ِو ِ الرج ِ الت ِب ِعين غي ِر ا ِولى ال ِارب ِة ِمن
َ ُّ َ ً ْ َ ّٰ َ ْ ُ ْ ُ َ َّ َ ْ ْ َ ْ ْ ُ َ َ َ ْ ُ َّ ُ ْ َ َ ْ ْ َ َ َ
اّٰلل ج ِميعا ايه ِ الن َسا ِۤءَّۖولا يض ِربن ِبارج ِل ِهن ِليعلم ما يخ ِفين ِمن ِزين ِت ِهنْۗ وتوبوْٓا ِالى ِ
َّ
َ ْ ُ ُْ ْ ُ ََ َ ُْ ْ ُْ
٣١ المؤ ِمنون لعلكم تف ِلحون
8
Eko Zulfikar, “Tinjauan Tafsir Ahkam tentang Hukum Pernikahan dalam Al-Qur’an Surat Al-Nur Ayat
32-33”, Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol.5, No.2, Desember 2020, hlm. 214.
9
An-Nūr 24: 30-31.
10
Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Āyat al-Ahkām min al-Qur’ān, hlm. 181.
6
Sedangkan Wincen Herlena dan Muh. Muads Hasri dalam penelitian dengan studi
Ma’na Cum Maghza-nya menyebutkan bahwa Q.S. An-Nūr ayat 32 ini memiliki
munasabah dengan ayat berikutnya11, yakni Q.S. An-Nūr ayat 33:12
َ ْ ُ َ ْ َ َ ْ َّ َ ْ َ ْ ُ ّٰ ُ ُ َ ْ ُ ّٰ َ ً َ َ ْ ُ َ َ َ ْ َّ َْ ََْْ
وليستع ِف ِف ال ِذين لا ِيجدون ِنكاحا حتى يغ ِنيهم اّٰلل ِمن فض ِلهْۗوال ِذين يبتغون
ّٰ َّ ْ ْ ُ ْ ُ ٰ َّ ً ْ َ ْ ْ ْ ُ ْ َ ْ ْ ُ ْ ُ َ َ ْ ُ ُ َ ْ َ ْ َ َ َ َّ َ ٰ ْ
اّٰلل
ِ ال ِ ال ِكتب ِِما ملكت ايمانكم فك ِاتبوهم ِان ع ِلمتم ِفي ِهم خيرا واتوهم ِمن م
َ َ َ ْ ُ َ ْ َ ً ُّ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ ُ ٰ َ َ ْ ُ ْ ُ َ َ ْ ُ ٰ ٰ ْ َّ
ي اتىكمْۗولا تك ِرهوا فتي ِتكم على ال ِبغا ِۤء ِان اردن تحصنا ِلتبتغوا عرض ْٓ ال ِذ
ٌ ْ َّ ٌ ْ ُ َ َّ َ ْ ْ َ ْ َ ّٰ َّ َ َّ ُّ ْ ْ ُّ ْ َ َ َ ْ ُّ ٰ َْ
٣٣ اه ِهن غفور ر ِحيم ِ ن بع ِد ِاكر ْۢ وة الدنياْۗومن يك ِرههن ف ِان اّٰلل ِم
ِ الحي
Ayat di atas melanjutkan dari ayat 32 yang berisi anjuran untuk menikah dengan
memberikan pilihan, yakni apabila belum mampu maka hendaknya ia bersabar hingga
diberikan kesanggupan oleh Allah. Ayat ini juga melanjutkan suruhan bagi pemilik budak
untuk memerdekakan budaknya melalui perjanjian dan melarang untuk melakukan praktek
pelacuran.
2.1.4 Tafsir
ُ ْ ٰ ََْ ُ ََْ
ْ
﴾﴿وان ِكحوا الايامى ِمنكم
“Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu…”
Maksudnya adalah nikahkanlah lelaki dan perempuan yang belum kawin dari
kalangan laki-laki dan perempuan yang merdeka. Aṭ-Ṭabarī dalam kitab Tafsir aṭ-Ṭabarī
berkata: ayāmā adalah laki-laki atau perempuan yang tidak mempunyai pasangan.13 Dalam
kitab Lisān al-‘Arab kata ayāmā adalah bentuk jamak dari ayyimun yang berarti laki-laki
atau perempuan yang belum menikah. Aṣ-Ṣabuni mengatakan bahwa kata ayāmā termasuk
dalam arti duda, janda, jejaka dan perawan.14 Dalam kitab Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kathir
11
Wincen Herlena dan Muh. Muads Hasri, “Tafsir QS. An-Nūr 24:32 tentang Anjuran Menikah (Studi
Analisis Hermeneutika Ma’na Cum Maghza),” Jurnal Tafsere, Vol.8, No.2, 2020, hlm. 10.
12
An-Nūr 24: 33.
13
Ṣafwah at-Tafāsīr Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, hlm. 308.
14
Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Āyat al-Ahkām min al-Qur’ān, hlm. 176.
7
dikatakan bahwa ini adalah perintah untuk melangsungkan pernikahan dan sebagian ulama
menyatakan hukumnya wajib menikah bagi yang telah mampu dan membutuhkan pada
pernikahan.15
ُ َ ُ ّٰ َ
﴾الص ِل ِح ْي َن ِم ْن ِع َب ِادكم واِ ماۤىِٕكم
ْ َ ْ ﴿و
“…dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik
laki-laki maupun perempuan.”
Maksudnya adalah nikahkanlah juga orang yang bertaqwa dan saleh dari budak laki-
laki dan budak perempuanmu. Al-Baiḍowi mengatakan kenapa dikhususkan kepada yang
saleh karena agamanya lebih nyata dan mereka berhak untuk diperhatikan, dan ini
menunjukkan bahwa taqwa dan saleh itu penting bagi manusia.16 Kata ‘ibādikum berarti
budak laki-laki. Mujahid membacanya dengan lafaz min ‘abīdikum. Kebanyakan redaksi
menggunakan ‘ibādun dengan makna hamba-hamba sahaya. Apabila disandarkan pada
lafaz Allah maka ia mempunyai arti makhluk atau hamba-hamba Allah.17
18 ْ ُ ْ َ ٰٓ َ ْ ُ َ ْ َ َ ْ َّ َ َ ٰ ْ ُ
ادي ال ِذين اسرفوا على انف ِس ِهم… الآية ِ قل ي ِعب
ْ َ ْ ُ ّٰ ُ ْ ُ َ َ َ ُ ْ ُ ْ ُ َّ ْ
﴾﴿ ِان يكونوا فقراۤء يغ ِن ِهم اّٰلل ِمن فض ِله
“Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan
karunia-Nya.”
Maksudnya adalah jika mereka yang kamu nikahkan adalah orang miskin dan fakir
maka kefakiran itu jangan sampai mencegahmu untuk menikahkan mereka, sebab karunia
Allah akan mencukupi mereka.19 Ibnu Mas’ud dalam kitab Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kathir
15
Muhammad Ali aṣ-Ṣabuni, Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kathir, jilid 2, (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim,
1981), hlm. 602.
16
Ṣafwah at-Tafāsīr Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, hlm. 308.
17
Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Āyat al-Ahkām min al-Qur’ān, hlm. 176.
18
Az-Zumar 39: 53.
19
Ṣafwah at-Tafāsīr Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, hlm. 308.
8
berkata: Carilah kekayaan dalam pernikahan. Dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah
ﷺbersabda:20
َ َ َ َ َ ُ ُ ُ َ َ ُ ْ َ َ َ َ ْ ُ ُ ُ َّ ُ ُ ْ َ َّ َ َ ٌّ َ ٌ َ َ َ
ازى
ِ الغو اءد الأ يدرِ ي ب اتكمالو افف عال يدرِ ي حاك
ِ الن : مه اّٰلل عون
ِ ثلاثة حق على
21
َّ َ فى
اّٰلل
ِ يل ب
ِ ِ س ِ
ّٰ
﴾اّٰلل َو ِاس ٌع َع ِل ْي ٌم
ُ ﴿ َو
20
Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kathir, hlm. 603.
21
HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i.
22
Ṣafwah at-Tafāsīr Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, hlm. 308.
23
Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Āyat al-Ahkām min al-Qur’ān, hlm. 184.
9
Hukum menikah itu sendiri ikhtilaf menurut para ulama. Namun, ikhtilaf tersebut
sebatas pada kebutuhan pribadi masing-masing. Aṣ-Ṣabuni mengutip dari kitab Tafsīr al-
Qurṭubī bahwa menurut al- Qurṭubī hukum menikah ada dua yakni sunah dan wajib namun
tergantung kondisi fisik seseorang. Menikah adalah sunah apabila ia memiliki kekuatan
untuk bersabar, bisa menahan diri, dan tidak ada kekhawatiran akan terjerumus ke dalam
zina walaupun ia sudah punya keinginan untuk menikah dan mampu melaksanakannya.
Sedangkan hukum menikah menjadi wajib apabila ia ia tidak bisa bersabar, takut
terjerumus zina dan tidak bisa menahan diri. Tetapi jika ia adalah seorang yang tidak
mampu hendaknya ia menahan diri dan bila perlu menempuh jalan berpuasa karena puasa
mempunyai kekuatan untuk mengurangi nafsu syahwat.24
Dengan demikian, ayat ini hendak memberitahukan kepada kita bahwasanya
pernikahan Islam bertujuan untuk menghindari kerusakan, sebagai sarana memperoleh
keturunan yang baik dan memberikan jalan bagi kebutuhan biologis manusia dengan cara
menganjurkan pihak perempuan agar tidak menolak pinangan yang datang dari lelaki yang
baik, baik perangai dan akhlaknya, hanya karena miskin sebab sejatinya harta dan
kekayaan itu datang dan pergi. Bagi para laki-laki hendaknya jangan menunda urusan
pernikahannya karena menunggu kaya. Alangkah baiknya apabila ia berani mengambil
langkah untuk menikah dengan niat mencari ridlo Allah dan menjaga kesucian dirinya
karena pernikahan adalah salah satu pembuka pintu rezeki sebagaimana janji Allah yang
akan memberikan kecukupan bagi siapa saja yang menempuh jalan pernikahan.
24
Ibid., hlm. 187.
10
dari zina, bertambahnya ahli keluarga dari keluarga suami dan istri serta meningkatnya
rasa tanggung jawab dan semangat untuk mencari nafkah bagi keluarga.25
Adapun ketika kita dihadapkan dengan pertanyaan seputar kekayaan setelah
menikah berupa: Kami melihat banyak orang yang miskin menikah, tapi mereka tetap
miskin. Bahkan kami melihat ada orang yang kaya menikah justru menjadi miskin? Aṣ-
Ṣabuni menjawab bahwa Allah berjanji akan memampukan hamba-Nya dalam segi
ekonomi bagi orang yang menikah dengan syarat yakni “Jika Allah berkehendak”.26 Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. At-Taubah ayat 28:27
َ َ ْ ْ َ ْ ُ ّٰ ُ ُ ْ ْ ُ َ ْ َ َ
٢٨ …فسوف يغ ِنيكم اّٰلل ِمن فض ِلهْٓ ِان شاۤء
25
Siti Arifah Syam, “Perluasan Rezeki bagi Orang Menikah menurut Surah An-Nūr ayat 32 (Studi Kasus
bagi Mahasiswa UIN Sumatera Utara Medan yang Telah Menikah,” Skripsi diterbitkan oleh UIN Sumatera Utara
Medan (2018), hlm. 64-69.
26
Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Āyat al-Ahkām min al-Qur’ān, hlm. 182.
27
At-Taubah 9: 28.
28
Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Āyat al-Ahkām min al-Qur’ān, hlm. 182.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
11
DAFTAR PUSTAKA
Fadlyana, Eddy dan Shinta Larasati, “Pernikahan Dini dan Permasalahannya”, Jurnal Sari
Pediatri, Vol.20, No.2, Agustus 2009.
Herlena, Wincen dan Muh. Muads Hasri, “Tafsir QS. An-Nūr 24:32 tentang Anjuran Menikah
(Studi Analisis Hermeneutika Ma’na Cum Maghza),” Jurnal Tafsere, Vol.8, No.2, 2020.
Ṣabuni, Muhammad Ali aṣ-, Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kathir, 3 jilid, Beirut: Dar al-Qur’an al-
Karim, 1981.
______________________, Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Āyat al-Ahkām min al-Qur’ān, 2 jilid,
cetakan ke 2, Damsyik: Maktabah Al-Ghazali, 1977.
______________________, Ṣafwah at-Tafāsīr Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, 3 jilid, cetakan ke-
15, Kairo: Dar Ash-Shabuni, 2019.
Syam, Siti Arifah, “Perluasan Rezeki bagi Orang Menikah menurut Surah An-Nūr ayat 32
(Studi Kasus bagi Mahasiswa UIN Sumatera Utara Medan yang Telah Menikah,” Skripsi
diterbitkan oleh UIN Sumatera Utara Medan (2018),
Zulfikar, Eko, “Tinjauan Tafsir Ahkam tentang Hukum Pernikahan dalam Al-Qur’an Surat Al-
Nur Ayat 32-33”, Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol.5, No.2, Desember 2020.
12
LAMPIRAN
13
14