Anda di halaman 1dari 13

MATKUL HUKUM PENINTESIER OLEH :

RAD CLOUD DIRGANTORO K.SH.M


BAB 2
Penindakan (opvoedende maatregel {
Dalam hal seorang anak di bawah umur melakukan suatu tindak pidana, maka
hakim dapat menyerahkan anak itu kepada negara atau lembaga yang ditunjuk
untuk dididik paksa sampai usia tertentu (sebagai anak negara). Dalam hal ini
hakim memandang bahwa ter-hadap si anak lebih tepat dijatuhkan tindakan
daripada pemidanaan. Demikian pula jika anak tadi diserahkan kembali
kepada orang tua/ walinya untuk dididik, karena hakim memandang si anak
masih da-pat diperbaiki oleh orang tua/walinya, sehingga tidak memidana
atau menempatkan si anak untuk dididik paksa. Dalam UU No. 7 Drt. 1955
tentang Tindak Pidana Ekonomi dikenal tindakan tata ter-tib berupa
penempatan perusahaan di bawah pengampuan, pemba-yaran uang jaminan,
pembayaran uang sebagai pencabutan keun-tungan, dan mengerjakan apa
yang dilalaikan tanpa hak, meniada-kan apa yang dilakukan tanpa hak dan
perbaikan akibat tindak pida-na. Selain itu, dalam UU No. 23 Tahun 1997
tentang Lingkungan Hidup lebih banyak lagi tindakan perbaikan yang
dicantumkan, yaitu pembayaran keuntungan yang diperoleh dari tindak

23 Hal ini diistilahkan oleh S.R. Sianturi sebagai syarat penuntutan dan
syarat pemidanaan
(lihat S.R. Sianturi, Ibid., hal. 212, 213).
pidana, penu-tupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, perbaikan akibat
tindak pidana, mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak,
meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan menempatkan peru-sahaan
di bawah pengampuan.

Sebagaimana disinggung pada halaman 1, istilah pidana dan pemi- danaan


merupakan suatu terminologi yang dipergunakan untuk meng- gantikan istilah
hukuman pidana atau penghukuman pidana, utamanya dalam rangka
membedakannya dari hukuman di bidang hukum lain. Da-lam rangka hukum
pidana dapat disingkat dengan pemakaian kedua isti-lah pertama (pidana dan
pemidanaan), sedang untuk bidang hukum lain dapat dipakai istilah hukuman
atau penghukuman, sebab yang disebut belakangan ini cakupannya lebih luas
daripada pidana dan pemidana-an, misalnya hukuman perdata, hukuman
administrasi, dan hukuman disiplin.

Seiring dengan itu, nampaknya kurang tepat apabila terminologi strafrecht


diterjemahkan sebagai hukum hukuman atau penitentier recht sebagai hukum
mengenai hukuman dan penghukuman. Juga perlu un-tuk diperhatikan bahwa
pengertian strafrecht harus dibedakan dari pe-ngertian hukum penitensier.
Oleh sebab itu, untuk tidak mengacaukan pemahaman, istilah penitentier
recht tidak diterjemahkan sebagai hu-kum tentang penghukuman, tetapi
diindonesiakan sebagai hukum peni-tensier.

Membicarakan pemberian pidana dalam kaitan dengan hukum peni- tensier


juga merupakan hal yang selalu menarik, karena sebagaimana dikatakan oleh
Prof. Sudarto, masalah pemberian pidana dapat dipan-dang mempunyai dua
arti, ialah:

a. dalam arti umum menyangkut pembentuk undang-undang ialah yang


menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto);

b. dalam arti konkrit ialah yang menyangkut berbagai badan atau jawatan
yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum
pidana itu (pemberian pidana in concreto).24

Pemaknaan di atas tidak luput dari perhatian hukum penitensier, sebab


berkaitan erat dengan masalah pengancaman pidana (yang secara abstrak
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan pidana dan merupakan
24 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Op.cit., hal. 50, 51.
kewenangan dari legislatif) dan penjatuhan serta pelaksana-an pidana (yang
bersifat konkrit dan selain merupakan kewenangan ha-kim, juga
menyangkut kinerja pihak lain dalam sistem peradilan pidana, misalnya
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan lembaga-lembaga
pemasyarakatannya dalam melaksanakan pidana).

Pemahaman tentang hukum penitensier sangat penting karena seja- tinya inti
dari hukum pidana adalah hukum penitensier, artinya mempe- lajari hukum
penitensier tak lain menelusuri hakikat hukum pidana.

3. Hubungan Hukum Penitensier dengan Ilmu-ilmu Lainnya

Hukum penitensier merupakan bagian dari hukum positif, sebab di- kandung
oleh peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan- ketentuan
tentang pemberian “ganjaran” berupa pemutusan hakim (pi- dana dan
tindakan) agar si pelaku “bertobat” (menyesal) dari kelakuan ti- dak senonoh
atas tindakan jahat yang dilakukannya. Hukum penitensier membicarakan
pengaturan masa kini mengenai tujuan, usaha dan orga- nisasi yang
berfungsi untuk membuat pelaku tindak pidana bertobat/jera dan kembali ke
masyarakat sebagai warga yang berguna.

Penologi adalah suatu ilmu (logos) yang mempelajari perihal penal (pidana).
Penologi yang disebut juga sebagai politik kriminil (criminele politiek, control
of crime) tidak hanya mempelajari ketentuan yang ada dalam
perundangan saja dan pada suatu tempat/negara tertentu, mela- inkan juga
mempelajari masalah penal tanpa batas wilayah dan tanpa batas waktu.
Penologi tidak hanya mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pidana,
tetapi juga yang ada di luar pidana. Selain itu penologi merupakan “anak
kandung” dari Kriminologi yang mempelajari keja-hatan (kausa, akibat dan
penanggulangannya) secara ilmiah.

Secara singkat hubungan antara hukum penitensier dengan Pe-nologi dapat


ditinjau dari segi waktu, tempat dan keadaan. Hukum Pe-nitensier membatasi
diri hanya membahas ketentuan-ketentuan hukum positif, yang pada intinya
adalah: “apa yang berlaku kini?” Sedangkan Penologi lebih luas cakupannya,
yaitu sebagai logi/logos (ilmu pengeta-huan), karena itu pertanyaannya
adalah: “apa yang berlaku dahulu, kini dan yang akan datang?” Dengan
demikian terlihat bahwa cakupan Penologi tidak hanya terbatas pada suatu
perundangan tertentu dan tidak hanya meliputi suatu
negara pada kurun waktu tertentu.

Selain itu, dalam menunjang pemahaman tentang Hukum Peniten-sier, juga


dibutuhkan Psikologi, sebab dengan demikian akan dapat di-pahami mengapa
seseorang melakukan tindak pidana ditinjau dari sudut kejiwaannya. Selain itu,
juga dibutuhkan Sosiologi, sebab dalam mempe- lajari Hukum Penitensier
perlu memahami berbagai aspek sosiologis yang mendasari dibuatnya suatu
ketentuan yang bersanksi pidana.

C. Peraturan Perundang-undangan tentang Hukum Penitensier

Pada dasarnya banyak peraturan-peraturan perundangan yang berisi aspek-


aspek hukum penitensier, sebab di dalam peraturan perundang- undangan
tersebut memuat ketentuan pidananya. Bukan hanya per-aturan yang bersifat
pidana saja yang memuat ketentuan pidana, tetapi banyak peraturan yang
bersifat perdata, administrasi dan sebagainya, pun memberikan ruang bagi
keberadaan sanksi pidana untuk menegak-kan peraturan tersebut. Dalam
peraturan yang bersifat administrasi, contohnya UU No. 22 Tahun 1997
tentang Narkotika, diatur sanksi pidananya. Demikian pula dalam UU No. 42
Tahun 1999 tentang Ja-minan Fidusia, walaupun Fidusia merupakan masalah
keperdataan namun untuk memperkuat nama kelembagaan, moralitas
individu dan sosial serta tujuan untuk melindungi pihak-pihak yang beritikad
baik, baik orang perseorangan maupun korporasi, maka dalam undang-
undang ini dimuat ketentuan pidana bagi para pelanggar undang-undang
tersebut. Undang-undang No.

23 Tahun 1997 tentang Ling-kungan Hidup bahkan sekaligus memiliki


beberapa sifat, sebab berisi as-pek perdata, administrasi dan pidana.
Dikatakan bersifat perdata, antara lain karena dimungkinkan adanya
gugatan class action; bersifat adminis-trasi karena perizinan suatu bidang
usaha harus melalui badan peme-rintah, dan berkaitan dengan pidana apabila
terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan, dapat dilakukan penyelidikan,
penyidikan, pe-nuntutan hingga pemeriksaan di sidang pengadilan.

Berbagai peraturan perundang-undangan yang berisikan hukum pe- nitensier


(ada yang sudah tidak berlaku), antara lain:

1. Ketentuan pidana di KUHP


Pada prinsipnya terdapat di Bab II Buku I KUHP. Namun selain itu dapat
dijumpai juga di bab-bab lainnya. Dalam hal ini perlu dicam-kan berbagai
perubahan yang diadakan terhadap KUHP sejak ada-nya UU No. 1 Tahun 1946
yang dikukuhkan oleh UU No. 73 Ta-hun 1958 untuk diberlakukan di seluruh
daerah Indonesia.25

2. Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana di luar

KUHP, misalnya:

a. UU No. 7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;

b. UU No. 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan


Beberapa Pasal dalam KUHP bertalian dengan Perluasan berla- kunya
Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Pe- nerbangan dan
Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Pener- bangan;

c. UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap;

d. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi seba-gaimana


diubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2001 ten-tang Perubahan
atas UU No. 31 Tahun 1999 dan dilengkapi dengan UU No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberan-tasan Tindak Pidana Korupsi;

e. UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

(Money Laundering), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25

Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2002;

f. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga;

g. dan sebagainya.

3. Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan non-pidana di


luar KUHP, misalnya:

a. UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah


dengan UU No. 10 Tahun 1998;

b. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

c. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;


d. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup;

e. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

f. UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;

g. dan sebagainya.

25 Lebih lanjut periksa S.R. Sianturi, Asas-asas …, Op.cit., hal. 52—54.


4. Stb. 1926-486 dan Stb. 1926-487: Ordonansi Pelaksanaan Pida-na

Bersyarat (Uitvoerings Ordonnantie op de Voorwaardeeling);

5. Stb. 1917-749: Ordonansi Pembebasan Bersyarat (Ordonnantie op de


voorwaardelijke in vrijheidstelling);

6. UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menggantikan Stb.

1917-708 tentang Gestichten Reglement (Reglemen Penjara);

7. UU No. 20 Tahun 1946 tentang Pidana Tutupan;

8. UU No. 2 Pnps 1964: Pelaksanaan Pidana Mati;

9. UU No. 1 Drt 1951: “Delik Adat;”

10. Stb.1917-741: Reglemen (Peraturan) Pendidikan Paksa (Dwang-


opvoedings Regeling);

11. Stb.1936-160:Verordening tentang Lembaga Kerja Paksa Negara;

12. Stb. 1897-54: Reglemen Orang Gila (Reglement op het krank-


zinningenwezen in Indonesia);

13. UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (pengganti UU No. 3 Ta-hun

1950);

14. Ketentuan tentang Amnesti dan Abolisi;

15. Keppres No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi (menggantikan Keppres

No. 5 Tahun 1987);

16. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;

17. Forum Previligiatum: Pasal 106 UU RIS No. 22 Tahun 1951.

D. Lembaga hukum untuk Hukum Penitensier

1. Lembaga Pemidanaan:

a. pidana mati, penjara, kurungan, denda, dan pidana tambahan;


b. pidana tutupan (UU No. 20 Tahun 1946);

c. pidana bersyarat;

d. pemberatan dan pengurangan pidana;

e. tempat menjalani pidana (UU No. 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan menggantikan Stb. 1917-708).

2. Lembaga Penindakan:

a. Dwang-opvoedings Reglement/Lembaga Pendidikan Paksa (Stb.

1917-741);
b. Afzonderlijke opsluiting/Lembaga Penutupan secara terpisah (Stb.

1917-708 Pasal 35);

c. Landswerkinrichting/Kerja Paksa Negara (Stb.1936-160). d. Reglemen Orang Gila (Stb. 1897-54);

e. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;

f. Pembebasan bersyarat;

g. Ijin bagi terpidana untuk di luar tembok setelah jam kerja (Pasal 20 ayat (1) KUHP dan UU No. 12
Tahun 1995);

h. Hak Pistole (Pasal 23 KUHP; Stb. 1917-708);

i. Grasi, amnesti, abolisi, dan remisi.26

Anda mungkin juga menyukai