Anda di halaman 1dari 105

SKRIPSI

FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SEDIAAN SALEP ANTIJERAWAT


EKSTRAK ETANOL DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L.) TERHADAP
Propionibacterium acnes

APRIASARI SUWARDI
D1B120129

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
2022

i
FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SEDIAAN SALEP ANTIJERAWAT
EKSTRAK ETANOL DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L.) TERHADAP
Propionibacterium acnes

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana


Farmasi Pada Program Studi S1- Farmasi
Fakultas Farmasi
Universitas Megarezky

Oleh

Apriasari Suwardi

D1B120129

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
2022

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul:

Formulasi dan Uji Aktivitas Sediaan Salep Antijerawat Ekstrak Etanol Daun Beluntas
(Pluchea indica L.) Terhadap Propionibacterium acnes

Disusun Oleh : Apriasari Suwardi

Nim : D1B120129

Jurusan : S1 Farmasi

Telah disetujui untuk diajukan ke ujian skripsi dan diuji oleh tim penguji. Berikut

kami yang bertanda tangan :

Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

apt. Muhammad Asri SR, S.Farm., M.Farm apt. Wahyuddin Jumardin, S.Farm
NIDN : 0918049001 NIDN : 0927118502

Mengetahui,
Ketua Prodi S1Farmasi
Universitas Megarezky Makassar

apt. Ahmad Irsyad Aliah, S. Farm.,M.Si.


NIDN : 092 709 970 1

iii
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MEGAREZKY

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi judul:
Formulasi dan Uji Aktivitas Sediaan Salep Antijerawat Ekstrak Etanol Daun Beluntas
(Pluchea indica L.) Terhadap Propionibacterium acnes

Oleh,

Apriasari Suwardi
NIM. D1B120129

Telah diperiksa dan dinyatakan sebagai Skripsi yang sah yang telah diperiksa
keasliannya.

TIM PENGUJI

No. Nama Penguji Tanda Tangan

1. apt.Muhammad Asri SR, S.Farm., M.Farm Ketua Penguji ( ……………. )

2. apt. Wahyuddin Jumardin, S.Farm Sekretaris Penguji ( ……………. )

3. apt. Imran Firman, S.Farm.,M.Si Penguji Utama ( …………… )

Mengesahkan,

Dekan, Fakultas Farmasi Ketua Program studi sarjana farmasi,


Universitas megarezky Fakultas farmasi

Dr. Jangga. S. Si., M.Kes., Apt. apt. Ahmad Irsyad Aliah, S. Farm., M.Si.
NIDN : 091 410 690 1 NIDN : 092 709 970 1

iv
KATA PENGANTAR

‫الرَّحْ َم ِن ال َّر ِحي ِْم هّللا ِ بِس ِْم‬

"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh"

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul "Formulasi Dan Uji

Aktivitas Sediaan Salep Antijerawat Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea indica

L.) Terhadap Propionibacterium acnes dengan baik. Skripsi ini merupakan

implementasi dari ilmu-ilmu yang telah penulis peroleh selama mengikuti pendidikan

S1 Farmasi. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Terkhusus penulis ucapkan banyak terimakasih kepada ayahanda Suwardi dan

Ibunda Hj. Sumartina serta dua saudara saya Muh. Ikbal dan Muh. Altaf

Ramadhan atas segala bentuk materil, dukungan, perhatian, pengorbanan dan

kasih sayang serta do'a restu yang luar biasa selama ini, hingga penulis dapat

meraih gelar sebagai Sarjana Farmasi.

2. Bapak Dr. H. Alimuddin.,S.H.,M.Kn., Selaku Pembina Yayasan Pendidikan

Islam Mega Rezky Makassar.

3. Ibu Hj. Suryani. S.H.,M.H.. Selaku Ketua Yayasan Pendidikan Islam Mega

Rezky Makassar.

4. Bapak Prof. Dr.,dr. Ali Aspar Mappahya, Sp.PD.Sp.JK(K). Selaku Rektor

Universitas Megarezky.

5. Bapak Dr. apt. Jangga, S.Si., M.Kes Selaku Dekan Rektor Universitas

Megarezky Makassar.

v
6. Bapak apt. Ahmad Irsyad Aliah, M.Si selaku Ketua Program Study S1 Farmasi.

7. Bapak apt. Muhammad Asri SR, S.Farm., M.Farm selaku pembimbing I yang

telah meluangkan waktunya untuk memberikan saran, bimbingan dan arahan

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak apt. Wahyuddin Jumardin, S.Farm Selaku pembimbing II yang telah

meluangkan waktunya dan banyak memberikan saran, bimbingan, dan arahan

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Bapak apt. Imran Firman, S.Farm., M.Si selaku Penguji yang selalu meluangkan

waktu dan sabar dalam menguji serta memberikan arahan kepada penulis.

10. Bapak dan Ibu Dosen serta Staf Universitas Megarezky Makassar yang telah

memberikan kemudahan bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan selama

ini.

11. Sahabat terbaikku terkhusus Irma Susila Ningsih, Nurfaidah, Riska Safitri,

Dewi Ratna, dan Serti yang selalu direpotkan seta telah menemani dan member

dukungan selama ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, untuk itu penulis mohon kritik dan saran yang membangun demi

kesempurnaan penulisan dimasa yang akan datang. Semoga Skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulis dan yang membutuhkan.

Makassar, Oktober 2022

Apriasari Suwardi

vi
vii

ABSTRAK

Apriasari Suwardi (D1B120129). Formulasi dan uji aktivitas sediaan salep


antijerawat ekstrak etanol daun beluntas (Pluchea indica L.) terhadap
Propionibacterium acnes (Dibimbing oleh Muhammad Asri SR dan Wahyuddin
Jumardin).

Beluntas (Pluchea indica L.) merupakan salah satu tanaman obat tradisional yang
cukup tersebar luas di Indonesia. Daun beluntas (Pluchea inidca L.) mengandung
alkaloid, flavonoid, tanin, dan minyak atsiri. Flavonoid dalam daun beluntas memiliki
aktivitas sebagai antibakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah
ekstrak daun beluntas (Pluchea indica L.) dapat diformulasikan menjadi sediaan salep
antijerawat yang stabil secara fisik dan kimia dan untuk mengetahui sediaan salep
antijerawat ekstrak etanol daun beluntas (Pluchea indica L.) dapat menghambat
bakteri Propionibacterium acnes. Metode penelitian ini menggunakan ekspermintal
laboratorium dengan merancang formulasi sediaan salep antijerawat terhadap
Propionibacterium acnes dengan metode difusi agar menggunakan teknik sumuran
untuk menentukan diameter zona hambat dan analisis data menggunakan uji
ANOVA. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sediaan salep
antijerawat ekstrak etanol daun beluntas (Pluchea indica L.) dapat diformulasikan
dalam bentuk sediaan salep antijerawat yang stabil secara fisik dan kimia dan uji
aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa sediaan salep antijerawat memiliki aktivitas
antibakteri terhadap Propionibacterium acnes.

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..…………………………………………………………...ii

HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………………..…………iii

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………...….v

ABSTAK ………………………..………………………………………………..vii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..viii

DAFTAR TABEL ……………….………………………………………………..x

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………..xi

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………..xii

BAB I
A. Latar Belakang …..……………………………………..……………………1
B. Rumusan Masalah ………………………...…………………………………3
C. Tujuan Penelitian ……………………………………..……………………..3
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………………..3
BAB II

A. Uraian Tanaman Beluntas (Pluchea indica L.) ……………………………..5


B. Simplisia …………………………………………………………………….9
C. Ekstraksi …………………………………………………………………….11
D. Kulit …………………………………………………………………………13
E. Jerawat ………………………………………………………………………19
F. bakteri ………………………………………………….…………………….25
G. Antbakteri ………………………………….….…………………………….27

H. Metode Pengujian Antibakteri….……………..…………………………..29

viii
ix

I. Salep……………………………………………...………………………..31

J. Kerangka Konsep…………………………………...……………………..34

K. Variabel…………………………………..…………...…………………...35

L. Hipotesis………………………………………………………………..…35
BAB III
A. Jenis Peneltian ………………………………………………………….…...36
B. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………………….…....36
C. Populasi Sampel ……… ……………………………………………….……36
D. Alat dan Bahan ……………………………………………………….……..36
E. Cara Kerja …………………………………………………………….……..37
BAB IV

A. Hasil Penelitia……………………………………………………………....44

B. Pembahasan ……….………………………………………………………. 47

BAB V

A. Kesimpulan ………………………………………………………………...55

B. Saran ……………………………………………………………………….55

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………56

LAMPIRAN ……………………………………………………………………..59

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Formulasi Sediaan Salep Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica L.) …38

Tabel 4.1 Hasil Rendamen …………………………………………………………44

Tabel 4.2.hasil Pengamatan Uji Organoleptis …………………………………….. 44

Tabel 4.3. Hasil Pengamatan pH ……………………………………………………45

Tabel 4.4. Hasil Pengamatan Homogenitas ……………………………………….. .45

Tabel 4.5. Hasil Pengamatan Daya Sebar …………………………………………..46

Tabel 4.6. Hasil Pengamatan Viskositas………………………………………...…..46

Tabel 4.7 Hasil Uji Diameter Zona Hambat ………………………………………...47

x
xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Daun Beluntas (Pluchea indica L.) ……………………………………5

xi
xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Kerja…………………………………………………….….….60

Lampiran 2. Perhitungan Bahan …………………………………………………….64

Lampiran 3. Gambar Penelitian ……………………………......................................67

Lampiran 4. Analisis Data ………………………………………………………….88

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jerawat adalah salah satu penyakit kulit yang disebabkan karena terjadinya

penyumbatan kelenjar minyak pada kulit dan disertai infeksi dan peradangan. Jerawat

umumnya muncul pada daerah wajah tetapi juga dapat muncul pada daerah kepala,

lengan atas ataupun punggung, jerawat dapat disebabkan oleh bakteri

Propionibacterium acnes. Bakteri Propionibacterium acnes merupakan salah satu

bakteri gram positif serta agen utama penyebab terjadinya inflamasi jerawat

(Cahyanta & Ardiyanti, 2018).

Propionibacterium acnes merupakan bakteri gram positif berbentuk batang

dan merupakan flora normal kulit yang juga berperan dalam pembentukan jerawat.

Propionibacterium acnes mengubah asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh

yang mengakibatkan sebum menjadi padat, jika sebum bertambah maka bakteri ini

juga bertambah banyak yang keluar dari kelenjar sebasea (Hafsari dkk, 2015).

Pengobatan jerawat dapat dilakukan dengan cara menurunkan inflamasi pada

kulit, menurunkan produksi sebum, dan juga menurunkan jumlah koloni

Propionibacterium acnes. Propionibacterium acnes dapat diturunkan dengan cara

memberikan suatu zat antibakteri seperti eritromisin, klindamisin, dan tetrasiklin.

Akan tetapi tingginya penggunaan antibiotik menjadi pemicu munculnya resintensi.

Oleh sebab itu untuk mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap antibakteri,

1
2

pengobatan jerawat dapat dilakukan dengan pemberian obat yang berasal dari alam

(Hafsari, 2015).

Bahan alam yang dapat digunakan untuk obat jerawat adalah daun beluntas

(Pluchea indica L.). Beluntas (Pluchea indica L.) merupakan salah satu tanaman obat

tradisional yang tersebar di Indonesia. Tanaman ini termasuk jenis semak atau

setengah semak yang tumbuh tegak dan memiliki tinggi mencapai 2 meter (Hafsari

dkk, 2015). Daun beluntas (Pluchea Indica L.) mengandung alkaloid, flavonoid,

tanin, natrium, dan minyak atsiri. Flavonoid dalam daun beluntas memiliki aktivitas

sebagai antibakteri (Yulia dkk, 2019).

Pada penelitian yang dilakukan Hafsari dkk (2015) diketahui bahwa ekstrak

etanol daun beluntas memiliki aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acnes

pada konsentrasi 1% sebesar 9 mm, 2 % sebesar 7,67 mm, 3% sebesar 8,67 mm, 4%

sebesar 8,83 mm, dan pada konsentrasi 5% sebesar 9 mm. Selanjutnya penelitian

yang dilakukan Suru dkk (2019) diketahui ekstrak etanol daun beluntas pada sediaan

krim dapat menghambat bakteri Propionibacterium acnes pada konsentrasi 5%

sebesar 6,16 mm, 10% sebesar 7,83 mm, dan pada konsentrasi 15% sebesar 10,16%.

Berdasarkan latar belakang di atasmaka melakukan penelitian tentang

formulasi dan uji aktivitas antibakteri sediaan salep ekstrak daun beluntas (Plucea

indica L.) terhadap bakteri Propionibacterium acnes. Bentuk sediaan salep dipilih

karena memiliki konsistensi yang cocok digunakan untup terapi penyakit kulit yang

disebabkan oleh bakteri, salep lebih banyak disukai karena lebih mudah diaplikasikan
3

dikulit, praktis, menimbulkan rasa dingin, melindungi daerah yang terluka dari daerah

luar dan mempermudah perbaikan kulit.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah ekstrak daun beluntas (Pluceha indica L.) dapat diformulasikan dalam

bentuk sediaan salep yang stabil secara fisik dan kimia?

2. Konsentrasi berapakah daun beluntas (Pluchea indica L.) yang memiliki aktivitas

terhadap bakteri Propionibacetrium acnes?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui apakah ekstrak daun beluntas (Pluchea indica L.) dapat

diformulasikan dalam bentuk sediaan salep yang stabil secara fisik dan kimia.

2. Untuk mengetahui Konsentrasi berapakah daun beluntas (Pluchea indica L.) yang

memiliki aktivitas terhadap bakteri Propionibacetrium acnes.

D. Manfaat Penelitian

1. Mahasiswa

Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan

serta dapat dijadikan sebagai referensi mengenai pengobatan alternatif

pengobatan menggunakan bahan alam yang ada disekitar kita.

2. Pembaca

Diharapkan bagi pembaca untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan

yang berkaitan dengan kombinasi ekstrak daun beluntas (Pluchea indica L.) dapat
4

dikembangkan produk yang kedepannya dapat digunakan dan bermanfaat sebagai

antibakteri.

3. Masyarakat

Untuk memberi wawasan krepada masyarakat tentang tanaman-tanaman

yang memiliki khasiat atau kegunaan sebagai obat tradisional tetapi juga bisa

digunakan sebagai antijerawat.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Tanaman

1. Morfologi Tanaman Beluntas (Pluchea indica L.)

Tanaman beluntas (Pluchea Indica L.) adalah tanaman perdu, tinggi

tanaman ini mencapai 2 meter, tumbuh didaerah yang kering di tanah berbatu dan

keras. Batang beluntas berkayu, tegak, bulat, daun tunggal, daun berbentuk bulat

telur, daunnya bergerigi atau rata, ujung runcing, berbulu halus, panjang 3,8 – 6,4

cm, dan untuk lebar daun 2 – 4 cm, bertulang menyirip dengan warna hijau muda,

berbau harum dan memiliki rasa yang getir (Maftuha, 2015).

2. Klasifikasi Beluntas (Pluchea indica L.)

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Ordo : Asterales

Family : Asteraceae

Genus : Pluchea

Spesies : Pluchea indica L.

(Wahyuni dkk, 2016).

5
6

Gambar 1.1 Daun Beluntas (Pluchea indica L.)

Tanaman ini berasal dari suku Asteraceae. Namanya berbeda-beda sesuai

daerah tempat tumbuh. Di Sumatera dikenal dengan nama beluntas, di Sunda

dikenal dengan nama baluntas, dan di Makassar masyarakat sekitarnya menyebut

dengan nama lamutasa. Sedangkan di Timor orang menyebut dengan lenabou

(Maftuha, 2015).

3. Kandungan Daun Beluntas

Daun beluntas mengandung alkaloid, flavonoid, tanin, kalium, natrium,

kalsium, minyak atsiri, aluminium, dan magnesium, sedangkan akar daun

beluntas mengandung flavonoid dan tanin (Pramita, 2013).

a. Alkaloid

Alkaloid memiliki mekanisme penghambatan dengan cara mengganggu

komponen enyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding

sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut. Selain

itu, didalam senyawa alkaloid terdapata gugus basa yang mengandung

nitrogen akan bereaksi dan mempengaruhi DNA bakteri. Reaksi ini

mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dan susunan asam amino,


7

sehingga akanmenimbulkan kerusakan dan mendorong terjadinya lisis sel

bakteri yang akan menyebabkna kematian sel (Gunawan, 2009).

b. Tanin

Tanin mempunyai efek farmakologis dan fisiologis yang berasal dari senyawa

kompleks.Pembentukan ini didasari dari rantai hidrogen dan interaksi

hidrofobik antara tanin dan protein. Tanin merupakan senyawa aktif yang

memiliki aktifitas antibakteri. Mekanisme kerja dari senyawa ini adalah

menghambat aktifitas beberapa enzim untuk menghambat rantai ligan

dibeberapa reseptor. Mekanisme kerja tanin sebagai antimikroba berhubungan

dengan kemampuan tanin dalam menginaktivasi adesin sel mikroba (molekul

yang menempel pada sel inang) yang terdapat pada dinding sel. Tanin dalam

konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan

pada konsentrasi tinggi tanin bekerja sebagai antimikroba dengan cara

mengkoagulasi atau mengumpulkan protoplasma kuman, sehingga terbentuk

ikatan yang stabil dengan protein kuman dan pada saluran pencernaan,tanin

juga diketahui mampu menggugurkan toksin (Sudirman, 2014).

c. Minyak Atsiri

Minyak atsiri memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.

Proses denaturasi protein melibatkan perubahan dalam stabilitas molekul

protein dan menyebabkan perubahan struktur protein dan terjadi proses

koagulasi. Protein yang mnegalami proses denaturasi akan kehilangan


8

aktifitas fisiologi dan dinding sel akan meningkatkan permbeabilitas sel

sehingga akan terjadi kerusakan (Sudirman, 2014).

d. Flavonoid

Flavonoid mempunyai aktivitas antibakteri karena flavonoid mempunyai

kemampuan berinteraksi dengan DNA bakteri dan menghambat fungsi

membran sitoplasma bakteri dengan mengurangi fluiditas dari membran

dalam dan membran luar sel bakteri, akhirnya terjadinya kerusakan

permeabilitas dinding sel bakteri membran dan membran tidak berfungsi

sebagaimana mestinya, termasuk untuk melakukan perlekatan dengan

substrat. Hasil interaksi tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan

permbeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom dan lisosom (Sudirman, 2014).

4. Manfaat Daun Beluntas

Manfaat tanaman beluntas yang sering digunakan sebagai obat tradisional

adalah daun beluntas. Daun beluntas mengandung senyawa flavonoid dan

alkaloid yang berkhasiat sebagai antibakteri. Pengobatan tradisional

menggunakan daun beluntas dengan cara sebagai lalapan ataupun meminum

rebusan air daun beluntas. Tanaman beluntas sering dijadikan sebagai tanaman

pagar dihalaman rumah masyarakat (Maftuha, 2015).

Daun beluntas memiliki aktivitas antimikroba terhadap berbagai macam

bakteri. Flavonoid dalam daun beluntas memiliki aktivitas antibakteri terhadap

Propionibacterium sp. Tanaman beluntas berkhasiat untuk menngkatkan nafsu


9

makan, membantu pencernaan, peluru keringat, penyengar, dan pereda demam

(Pramita, 2013).

B. Simplisia

1. Pengertian Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum

mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang

telah dikeringkan (Depkes RI, 1989).

2. Tahap-tahap Pembuatan Simplisia

a) Pengumpulan Bahan Baku

Tahap pengumpulan bahan baku sangat menentukan kualitas baku.

Faktor yang paling berperan dalam tahapan ini adalah masa panen dan

lingkungan tempat tumbuh.

b) Sortasi Basah

Sortasi basah adalah pemelihan panen ketika tanaman masih segar.

Sortasi basah dilakukan terhadap tanah dan kerikil, rumput-rumputan, bahan

tanaman lain atau bagian-bagian lain dan tanaman yang tidak digunakan, dan

bagian tanaman yang rusak (dimakan ulat dan sebagainya).

c) Pencucian

Pencucian simplisia dilakukan untuk membersihkan kotoran yang

melekat, terutama bahan-bahan yang berasal dan dalam tanah dan juga bahan-

bahan yang tercemar pestisida. Pencucian bisa dilakukan dengan


10

menggunakan air mengalir yang berasal dari sumber mata air, sumur, PAM,

dan mata air yang lain.

d) Perajangan

Proses ini untuk mempermudah proses pengeringan. Jika ukuran

simplisia cukup kecil dan tipis, maka pada proses ini dapat diabaikan.

e) Pengeringan

Proses pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air sehingga

bahan tersebut tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri, menghilangkan

aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut kandungan zat aktif,

memudahkan dalam hal pengelolaan proses selanjutnya.

f) Sortasi kering

Sortasi kering adalah pemilihan bahan setelah mengalarni proses

pengeringan. Pemilihan di lakukan terhadap bahan-bahan yang terlalu gosong,

bahan yangrusak akibat terlindas roda kendaraan (misalnya dikeringkan di

tepi jalan raya), atau dibersihkan dari kotoran hewan.

g) Pengepakan dan penyimpanan

Simplisia perlu ditempatkan dalam suhu wadah tersendiri agar tidak

salingbercampur antara simplisia satu dengan yang lainnya. Selanjutnya,

wadah-wadah yang berisi simplisia menggunakan wadah yang inert atau tidak

mudah bereaksidengan bahan lain, tidak beracun bagi bahan yang

diwadahinya maupun bagi manusia yang menanganinya, mampu melindungi

bahan simplisia dari cemaran mikroba, kotoran, dan serangga. Mampu


11

melindungi bahan simplisia daripenguapan kandungan aktif dan melindungi

bahan simplisia dari pengaruhcahaya, oksigen, dan uap air (Melinda, 2014).

C. Ekstrak

1. Definisi Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses penarikan senyawa dari tumbuh-tumbuhan

dengan menggunakan pelarut tertentu. Ekstraksi dilakukan dengan berbagai

metode yang sesuai dengan sifat dan tujuan ekstraksi. Proses ekstraksi digunakan

sampel dalam keadaan segar atau yang telah dikeringkan, tergantung pada sifat

tumbuhan dan senyawa yang akan diisolasi (Wilda, 2013).

2. Metode Ekstraksi

Berikut ini jenis-jenis ekstraksi :

a. Ekstraksi cara dingin

Metode ini artinya tidak ada proses pemanasan selama proses ekstraksi

berlangsung, tujuannya adalah untuk mengindari rusaknya senyawa yang

dimaksud rusak karena pemanasan. Jenis ekstraksi dingin adalah maserasi dan

perkolasi.

a) Maserasi

Maserasi adalah perendaman bahan alam yang dikeringka

(simplisia) dalam suatu pelarut. Metode ini dapat menghasilkan ekstrak

dalam jumlah banyak, serta bisa terhindar dari perubahan kimia senyawa-

senyaw tertentu karena pemanasan (Pratiwi, 2009).


12

b) Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan jalan

melewatkan pelarut yang sesuai secara lambat pada simplisia dalam suatu

percolator. Perkolasi bertujuan supaya zat berkhasita tertarik seluruhnya

dan biasanya dilakukan untuk zat berkhasiat yang tahan ataupun tidak

tahan pemanasan.

b. Ekstraksi cara panas

Metode ini melibatkan panas dalam prosesnya. Dengan adanya panas

akan mempercepat proses penyarian dibandingkan cara dingin. Metode

ekstraksi cara panas terbagi sebagai berikut :

a) Reflux

Metode ini digunakan apabila dalam sintesis tersebut

menggunakan pelarut yang volatile. Pada kondisi ini jika dilakukan

pemanasan biasa maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan

sampai selesai. Prinsip dari metode reflux adalah pelarut volatile yang

digunakan akan menguap pada suhu tinggi, namun akan didinginkan

dengan kondenson sehingga pelarut yang tadinya dalam bentuk uap akan

mengembun pada kondenson dan turun lagi kedalam wadah reaksi hingga

pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung.


13

b) Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperature ruangan yaitu secara umum

dilakukan pada temperatur 40-50̊ C (Rahmawati, 2015).

c) Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru

yang umunya dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu

dengan jumlah pelarut yang relative konstan dengan adanya perlindungan

balik (Meilisa, 2009).

D. Kulit

1. Definisi Kulit

Kulit merupakan bagian tubuh yang bersentuhan langsung dengan

kosmetik khususnya kulit muka menjadi fokus perhatian utama.Kulit juga

merupakan lapisanterluar dari tubuh manusia. la menjadi bagian tubuh yang

abersentuhan langsungdengan lingkungan, sehingga fungsi utama kulit tidak lain

adalah sebagai perlindungan (Muliyawan dan Suriana, 2013).

2. Struktur Kulit

Struktur kulit terdiri dari :

a) Epidermis

Epidermis merupakan lapisan paling luar kulit dan terdiri atas epitel

berlapisgepeng dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari jaringan

epitel, tidak mempunyai pembuluh darah maupun limfa. Oleh karena itu
14

semua nutrien danoksigen diperoleh dari kapiler pada lapisan dermis. Epitel

berlapis gepeng padaepidermis ini tersusun oleh banyak lapis sel yang disebut

keratinosit. Epidermis terdiri atas 5 lapisan yaitu, dari dalam ke luar, stratum

basal, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum

korneum. Terdapat empat jenissel epidermis, yaitu: keratinosit, melanosit, sel

langerhans, dan sel merkel.

b) Dermis

Dermis terdiri atas stratum papilaris dan stratum retikularis, batas

antara kedua lapisan tidak tegas, serat antaranya saling menjalin. Terdapat 4

jenis sel dermis,yaitu sel-sel jaringan ikat seperti fibroblas, sel lemak,

makrofag dan sel mast.

c) Hipodermis

Sebuah lapisan subkutan di bawah retikularis dermis disebut

hypodermis berupa jaringan ikat lebih longgar dengan serat kolagen halus

terorientasi terutamasejajar terhadap permukaan kulit, dengan beberapa di

antaranya menyatu dengandermis.

3. Fungsi Kulit

Kulit mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut :

a) Fungsi Proteksi

Kulit melindungi bagian dalam tubuh manusia terhadap gangguan fisik

maupunmekanik, misalnya tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimiawi,


15

seperti zat-zatiritan, gangguan panas atau dingin, gangguan sinar radiasi atau

ultraviolet, jamur, bakteri atau virus (Wasitaatmadja, 1997).

b) Fungsi Absorpsi

Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan, maupun benda

padat, tetapicairan yang mudah menguap lebih mudah diserap kulit.

Kemampuan absorpsi kulit ini tergantung pada tebal tipisnya kulit, hidrasi,

kelembaban udara (Wasitaatmadja,1997).

c) Fungsi Pengindera (Sensori)

Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.

Badan ruffini yang terletak di dermis, menerima rangsangan dingin dan

rangsangan panas diperankan oleh badan krause (Wasitaatmadja, 1997).

d) Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (Thermoregulasi)

Kulit melakukan peran ini dengan cara mengeluarkan keringat. Pada

keadaansuhu tubuh meningkat, kelenjar keringat mengeluarkan banyak

keringat ke permukaan kulit (Wasitaatmadja, 1997).

e) Pengeluaran (Ekskresi)

Kelenjar-kelenjar pada kulit mengeluarkan zat sisa metabolisme dalam

tubuh misalnya NaCl, urea, dan sedikit lemak (Wasitaatmadja, 1997).

f) Fungsi Pembentukan Pigmen

Jumlah melanosit serta jumlah dan besarnya melanin yang terbentuk

menentukan warna kulit. Melanin dibuat dari sejenis protein, tirosin, dengan
16

bantuan enzim tirosinase, ion Cu dan oksigen oleh sel melanosit di dalam

melanosom (Wasitaatmadja, 1997).

g) Fungsi Keratinasi

Keratinisasi dimulai dari sel basal, bermitosis ke atas berubah bentuk

lebih poligonal, yaitu sel spinosum, terangkat ke atas menjadi lebih gepeng,

dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke

atas lebih gepeng dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan

akhirnya sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya

mengering menjadikeras, gepeng, tanpa inti yang disebut sel tanduk

(Wasitaatmadja, 1997).

h) Sintesis Vitamin D

Kulit dapat membentuk vitamin D dari bahan baku 7-dehidroksi

kolesterol dengan bantuan sinar matahari. Namun produksi ini masih lebih

rendah dari kebutuhan tubuh sehingga diperlukan tambahan vitamin D dari

luar melaluimakanan (Wasitaatmadja, 1997).

4. Jenis-Jenis Kulit

Jenis kulit yang pada umum dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:

a) Kulit kering

Kulit kering adalah kulit dengan kadar air yang kurang atau rendah.

Ciri-ciri fisik yang tampak pada kulit kering, yaitu kulit tampak kusam dan

bersisik, mulai tampak kerut-kerutan, dan pori-pori sangat kecil, sehingga

tidak terlihat (Muliyawan &Suriana, 2013).


17

b) Kulit berminyak

Kulit berminyak yaitu kulit yang memiliki kandungan air dan minyak

yangtinggi. Secara fisik, kulit jenis ini memiliki ciri-ciri adalah kulit

bertekstur kasar dan berminyak, ukuran pori-pori besar dan kelihatannya,

mudah kotor dan sangat rentan berjerawat (Muliyawan &Suriana, 2013).

c) Kulit normal

Kulit normal adalah kulit yang memiliki kadar air tinggi dan kadar

minyak rendah sampai normal. Ciri-ciri fisik yang dimiliki oleh kulit normal

adalah penampilan kulit tampak segar dan cerah, bertekstur halus dan tegang,

pori-pori tampak, namun tidak terlalu besar, dan terkadang pada dahi, hidung,

dan dagu terlihat berminyak (Muliyawan &Suriana, 2013).

d) Kulit campuran

Kulit kombinasi memiliki ciri-ciri, seperti daerah bagian tengah atau

dikenal juga dengan istilah daerah T (dahi, hidung, dan dagu) kadang

berminyak atau normal. Sementara bagian kulit lain, cenderung lebih normal

bahkan kering. Kulit jenis ini bisa dimiliki oleh semua umur. Akan tetapi,

sering ditemukan pada usia 35 tahun ke atas (Muliyawan &Suriana, 2013).

E. Jerawat

1. Pengertian Jerawat

Jerawat (acne) adalah kondisi abnormal kulit kesalahan produksi minyak

(sebaceous gland) yang menyebabkan penyumbatan saluran rambut dan pori pori
18

kulit. Daerah yang mudah terkena jerawat adalah di muka, dada, punggung, dan

tubuh bagian atas lengan (Fauzi &Nurmalina, 2012).

Acne vulgaris (AV) adalah penyakit peradangan menahun unit

pilosebasea, dengan gambaran klinis biasanya polimorfik yang terdiri atas

berbagai kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul, nodul, dan jaringan parut.

Komedo adalah lesi utama jerawat. Lesi komedo berupa papula datar atau sedikit

lebih tinggi dengan permukaan sentral melebar yang diisi dengan keratin yang

hitam (komedo terbuka atau blackhead). Komedo tertutup (whitehead) biasanya

berukuran 1 mmdan berwarna kekuningan. Papul dan pustule berukuran 1-5 mm

disebabkan oleh peradangan, sehingga terjadi eritema dan edema. Komedo ini

dapat membesar menjadi nodular dan menyatu menjadi plak yang fluktuatif,

membentuk saluransinus, dan mengeluarkan nanah kekuningan. Penderita

biasanya mengeluh akibat erupsi kulit pada pada tempat-tempat predileksi, yakni

muka, bahu, leher, dada, punggung bagian atas dan lengan bagian atas oleh

karena kelenjar sebasea padadaerah yang aktif (Sibero dkk, 2019).

Penyebabnya multifactor namun secara pasti masih belum diketahui.

Beberapa etiologi diduga turut berperan adalah hipersekresi sebum, hiper

keratinisasi, koloni Propionibakterium acnes (P.acnes), dan inflamasi. Beberapa

faktor lain juga dianggap turut berperan dalam pemicu terjadinya acne vulgaris

seperti faktor intrinsik yaitu genetik, ras, hormonaldan faktor ekstrinsik yaitu

stres, iklim, suhu, kelembaban, kosmetik, diet dan obat-

obatan. Data prevalensi dunia mengatakan penderita AV 80 – 85% terjadi


19

padaremaja dengan puncak insidens usia 15 – 18 tahun, 12% pada wanita usia >

25 tahundan 3% pada usia 35 – 44 tahun. Acne vulgaris yang berat terlihat pada

laki-laki. Berdasarkan data nasional dalam catatan kelompok studi dermatologi

kosmetika Indonesia terdapat peningkatan dari 60% penderita. Acne vulgaris pada

tahun 2006 menjadi 80% pada tahun 2007. Insiden jerawat 80-100% pada usia

dewasa muda,yaitu 14-17 tahun pada wanita, dan 16-19 tahun pada pria (Sibero,

dkk, 2019).

2. Klasifikasi Jerawat

Ada beberapa macam klasifikasi acne berdasarkan ada tidaknya peradangan :

a) Tingkat I

Di mana lesi utama terdiri dari komedo dan tidak dijumpai peradangan.

b) Tingkat II

Lesi terdiri dari komedo dan pustula kecil dan adanya proses peradangan pada

lubang folikel.

c) Tingkat III

Lesi terdiri dari komedo, pustula kecil, dan ada kecenderungan yang lebih

dalam.

3. Penyebab Jerawat

Beberapa hal yang dikenali sebagai faktor-faktor penyebab kesalahan jerawat:

a) Kelenjar Minyak Yang Terlalu Aktif

Kelenjar minyak dirangsang untuk menghasilkan minyak oleh

hormon, khususnya hormon pria yang disebut androgen (wanita juga memiliki
20

hormon ini, tetapi lebih sedikit dari pria). Pada masa remaja, hormon

androgen menjadi aktif dan merangsang kelenjar minyak pada kulit,

menyebabkan mengingkatnya produksi minyak. Akibat produksi minyak

berlebih, pori-pori tersumbat sehingga menimbulkan bintik-bintik yang

biasanya berwarna hitam. Selama masa stres, kelenjar adrenal memproduksi

peningkatan kadar hormon ini, menyebabkan pembesaran yang lebih besar

dari kelenjar minyak. Selama pubertas, kelenjar minyak menjadi berlebih

dalam menanggapi perubahan hormonal. Oleh karena itulah pada remaja (di

masa pubertas) rawan sekali terjangkit jerawat (Fauzi &Nurmalina, 2012).

b) Terlalu Banyak Terpapar Sinar Matahari

Beraktivitas di bawah sinar matahari membuat tubuh berkeringat,

kelenjar minyak pun jadi lebih aktif. Tumpukan minyak inilah yang membuat

jerawatmuncul di wajah. Selalu gunakan sunblock, topi, atau payung untuk

melindungiwajah dari sinar matahari (Muliyawan &Suriana, 2013).

c) Aktivitas Bakteri Kulit

Bakteri Propionibacterium acnes (P. Acnes), yang sering diduga

sebagai penyebab jerawat, pada dasarnya adalah bagian normal dari

permukaan kulit. Mereka menjaga kulit dari terserang oleh bakteri berbahaya.

Ketika minyakter perangkap dalam folikel rambut, bakteri P. Acnes akan

berkembang biak di pori-pori kulit yang terblokir. Mereka menghasilkan

bahan kimia yang mengubah komposisi minyak, yang membuatnya lebih

mengiritasi kulit dan menyebabkan peradangan (Fauzi & Nurmalina, 2012)


21

d) Peradangan

Kulit yang meradang ditandai dengan warna kemerahan, bengkak,

panas dan tidak nyaman. Peradangan pada kulit terjadi karena sistem

kekebalan tubuh bertindak untuk melepaskan diri dari zat asing. Dalam kasus

jerawat, zat asing ini adalah bakteri atau senyawa menjengkelkan yang

mereka hasilkan (Fauzi &Nurmalina, 2012).

e) Stres

Banyaknya keluhan kesehatan serta kecantikan dan pola hidup yang

tidak sehat bisa mengundang jerawat (Muliyawan & Suriana, 2013).

f) Hormon

Hormon yang tidak seimbang terutama saat usia pubertas bisa

membuat jerawat muncul di wajah (Muliyawan & Suriana, 2013).

g) Makanan

Mengonsumsi beberapa makanan yang salah, misalnya cokelat, susu,

gula, kafein, dan daging yang berlemak. Walaupun sebenarnya menjaga

kebersihan wajah lebih penting menghindari makanan tertentu (Muliyawan

&Suriana, 2013).

h) Penyumbatan Pori-Pori Kulit

Orang dengan kulit berminyak memiliki kelenjar minyak yang terlalu

aktif dan overdosis minyak. Jerawat terjadi ketika beberapa pori-pori (di mana

minyak biasanya mengalir dari kelenjar minyak untuk mencapai permukaan

kulit) menjadi tersumbat sehingga minyak terjebak dalam pori-pori kulit. Pori-
22

pori yang tersumbat oleh sel-sel kulit yang telah ditumpahkan dari lapisan pori

kulit menjadi berkumpul bersama-sama. Sebuhan komedo akan berkembang

karena penyumbatan pori-pori kulit (Fauzi & Nurmalina, 2012).

4. Patogenesis Jerawat

Munculnya jearwat di wajah atau bagian tubuh lainnya bias menjadi beberapa

tahap:

a) Tahap 1

Munculnya komedo atau benjolan kecil di kulit sebenarnya

menjadi tanda awal akan timbul jerawat. Penanganan yang tepat pada fase ini

bisa mencegah jerawat tumbuh semakin parah. Caranya yaitu dengan

membersihkan komedo secara teratur.

b) Tahap 2

Whitehead komedo semakin banyak.

c) Tahap 3

Jerawat semakin berkembang menjadi tonjolan kecil berwarna

merah yang terasa sakit bila disentuh.

d) Tahap 4

Muncul papula pada jerawat. Papula adalah luka karena luka yang

diakibatkan jerawat. Jerawat pada fase ini masih disebut dengan jerawat

ringan dan bisa sembuh dengan sendirinya, dengan syarat jangan memencet

atau mengganggu jerawat ini.


23

e) Tahap 5

Peradangan semakin parah. Pada fase ini, biasanya untuk

menyembuhkan jerawat yang diperlukan obat-obatan yang diresepkan oleh

dokter.

f) Tahap 6

Muncul nanah pada jerawat.

g) Tahap 7

Peradangan pada jerawat makin hebat dan membuat jerawat tampak matang

dan siap pecah. Setelah jerawat pecah dengan sendirinya akan menimbulkan

bekas luka dan akan mengalami proses penyembuhan jerawat.

5. Pencegahan Jerawat

Penanggulangan jerawat termasuk usaha untuk mencegah terjadinya

jerawat (preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat yang terjadi (kuratif).

Keduausaha tersebut harus dijalankan mengingat bahwa kelainan ini terjadi akibat

pengaruh berbagai faktor (multifaktorial) yang kadang-kadang tidak dapat

dihindari oleh penderita, misalnya ras, genetik musim dan hormonal.

1) Usaha Pencegahan Jerawat (Preventif)

a. Menghindari perubahan isi dan jumlah lipid sebum, dapat dilakukan

dengan cara:

a) Diet rendah lemak dan karbohidrat, meskipun pendapat ini masih

diperdebatkan, tetapi dapat dianjurkan.


24

b) Melakukan perawatan kulit atau perlindungan kulit kotoran dan jasad

rengik yang dapat memecah lipid sebum dengan cara yang baik dan

benar.

b. Menghindari kejadian faktor lain penyebab acne:

a) Hidup teratur, sehat, istirahat, dan cukup olahraga sesuai dengan

kondisi tubuh.

b) Pemakaian kosmetika secukupnya, tidak berlebihan jumlah maupun

lamanya.

c) Menjauhi hal-hal yang dapat menyebabkan kegiatan minyak terpacu,

misalnya minuman keras, rokok, lingkungan yang tidak sehat dan

lainnya.

d) Menghindari faktor lingkungan baik di tempat kerja atau di rumah

yang dapat menyebabkan terjadinya akne, misalnya polusi debu, sabun

cuci, dan sebagainya.

c. Memberikan informasi yang cukup pada penderita mengenai penyakit

maupun obat yang dipakai.

2) Usaha Menghilangkan Jerawat (Kuratif)

a. Pengobatan topical

Prinsip pengobatan topikal adalah mencegah pembentukan

komedo (jerawat ringan), ditujukan untuk mengatasi menekan peradangan

dan kolonisasi bakteri, serta penyembuhan lesi jerawat dengan pemberian


25

bahan iritan dan antibakteri topikal seperti sulfur, resorsinol, asam

salisilat, benzoil peroksida, asam azelat, tetrasiklin, eritromisin dan

klindamisin.

b. Pengobatan sistemik

Pengobatan sistemik ditujukan untuk penderita jerawat sedang

sampai berat dengan prinsip menekan aktivitas bakteri, menekan reaksi

radang, menekan produksi sebum dan mempengaruhi keseimbangan

hormonal. Golongan obatsistemik misalnya pemberian antibiotik

(tetrasiklin, eritromisin dan klindamisin) (Situmorang, 2021).

F. Uraian Bakteri

1. Propionibacterium Acnes

a. Klasifikasi Propionibacterium acnes

Kingdom : Bacteria

Phylum : Actinobacteria

Class : Actinomycetales

Oreder : Propionibacteriae

Family : Propionibacteriaceae

Genus : Propionibacterium

Pada acne vulgaris, ketika terjadi akumulasi sebum pada unit pilosebasea,

maka akan memfasilitasi Propionibacterium acnes untuk berproliferasi, karena

trigliserida yang terdapat pada sebum akan diubah dengan bantuan enzim lipase

yang dihasilkan oleh Propionibacterium acnes menjadi digliserida,


26

monogliserida, dan asam lemak bebas, kemudian ketiga zat tersebut diubah

menjadi gliserol yang akan digunakan untuk metabolism Propionibacterium

acnes. Unit pilosebasea yang terinfeksi oleh Propionibacterium acnes akan

menyebabkan timbulnya respon inflamasi, sehingga gambaran klinis yang timbul

berupa papula, pustule, nodul, dan kista (Narulita, 2017).

Genus Propionibacterium ini termasuk bakteri gram positif, berbentuk

batang dengan panjang bervariasi antara 1-1,5 μm, sel tunggal, berpasangan atau

rantai pendek dengan konfigurasi yang berbeda-beda, nonmotil, tidak membentuk

spora, anaerob tetapi toleran terhadap O2, katalase positif, dan dapat

menfermentasi glukosa menghasilkan asam propionate dan asetat dalam jumlah

yang banyak.

Propionibacterium juga dapat memfermentasi laktosa, sukrosa, fruktosa,

galaktosa, dan beberapa pentose, tetapi kemampuan tersebut bergantung dari

spesies. Suhu pertumbuhan bakteri ini pada 30-37 0C dan beberapa spesies

membentuk pigmen. Salah satu spesies dari propionibacterium ini adalah

Propionibacterim acnes.

Propionibacterium acnes merupakan bakteri flora normal pada kulit,

biasanya bakteri ini terdapat pada folikel sebasea. Tidak hanya itu,

Propionibacterium acnes juga dapat ditemukan pada jaringan manusia, paru-paru,

dan jaringan prostat. Kulit merupakan habitat utama dari Propionibacterium

acnes, namun dapat juga diisolasi dari rongga mulut, saluran pernafasan bagian

atas, saluran telinga eksternal, konjungtiva, usus besar, uretra, dan vagina.
27

Propionibacterium acnes termasuk bakteri gram positif, pleomorfik, dan

bersifat anaerob aerotoleran. Propionibacterium acnes memiliki lebar 0,5-0,8 μm

dan panjang 3-4 μm, bakteri ini berbentuk batang dengan ujung meruncing atau

kokoid (bulat).

G. Antibakteri

Antibakteri merupakan zat atau obat untuk membasmi jasad renik yang

diperoleh dari sintesis atau berasal dari senyawa non organic. Bakteriostatik yaitu

mikroba yang hanya menghambat pertumbuhan mikroorganisme, dan bakterisidal

adalah antimikroba yang dapat membunuh mikroorganisme.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibakteri dapat dibagi menjadi 5 cara,

yaitu:

a. Penghambatan terhadap sintesis dinding sel

Bakteri mempunyai lapisan luar yang kaku yaitu dinding sel yang

mengelilingi secara lengkap sitoplasma membrane sel. Dinding sel berisi polimer

mucopoptida kompleks (peptidoglikan) yang secara kimia berisi polisakarida dan

campuran rantai polipeptida yang tinggi, polosakarida ini berisi gula amino N-

acetylglucosamine dan asam acetylmuramic (hanya ditemui pada bakteri) (Jawetz

dkk, 2005). Dinding ini mempertahankan bentuk mikroorganisme dan pelindung

sel bakteri dari perbedaan tekanan osmotic didalam dan diluar sel yang tinggi. Sel

yang aktif secara kontinyu mensintesis peptidoglikan yang baru dan

menempatkan pada posisi yang tepat pada amplop sel. Antibakteri bereaksi

dengan satu atau banyak enzim yang dibutuhkan pada proses sintesis sehingga
28

menyebabkan pembentukan dinding sel yang lemah dan menyebabkan

pemecahan osmotik (Talaro, 2008).

b. Penghambatan terhadap fungsi membran sel

Sitoplasma semua sel hidup dibatasi oleh membran sitoplasma yang

berperan sebagai barrier permeabilitas selektif, memiliki fungsi transport aktif,

kemudian mengontrol komposisi internal sel. Jika fungsi integritas dari membran

sitoplasma dirusak akan menyebabkan keluarnya makromolekul dan ion dari sel,

yang kemudian sel rusak atau terjadi kematian (Jawetz dkk, 2005). Sitoplasma

semua sel hidup dibatasi oleh membran sitoplasma yang berperan sebagai barrier

permeabilitas selektif dan mengontrol komposisi internal sel. Antibakteri

berikatan dengan membran fospolipid yang menyebabkan pemecahan protein dan

basa nitrogen sehingga membran bakteri pecah yang menyebkan kematian bakteri

(Talaro, 2008).

c. Penghambatan trhadap sintesis protein (penghambatan translasi dan transkripsi

material genetik)

DNA, RNA dan protein memgang peranan sangat penting didalam proses

kehidupan normal sel. Hal ini menunjukkan bahwa ganguan apapun yang terjadi

pada pembentukan atau pada fungsi zat-zat tersebut dapat mengakibatkan

kerusakan total pada sel (Pelczar dkk, 1986). Kebanyakan obat menghambat

translasi atau sintesis protein, bereaksi dengan ribosom mRNA. Mekanisme

kerjanya antara lain dengan menghalangi terikatnya RNA pada tempat spesifik

ribosom, selama pemanjangan rantai peptide (Pelczar dkk, 1986).


29

d. Penghambatan terhadap sintesis asam nukleat

Pembentukan DNA dan RNA bakteri merupakan perjalanan yang panjang

dan membutuhkan enzim dibeberapa proses. Pembentukan DNA dan RNA sangat

penting dan berefek dalam metaboisme protein. Antibakteri menginteferensi

sintesis asam nukleat dengan menghambat sintesis nukleitida, menghambat

replikasi, atau menghentikan transkripsi. Obat berikatan sangat kuat pada enzim

DNA Dependent RNA Polymerase bakteri, sehingga menghambat sintesis RNA

bakteri. Resistensi pada obat-obat uni terjadi akibat perubahan pada RNA

Polymerase akibat mutasi kromsom yang sangat sering terjadi (Talaro, 2008;

Jawetz dkk, 2005)

e. Penghambat kerja enzim

Setiap enzim yang ada didalam sel merupakan sasaran potensial baik

bekerjanya suatu penghambat. Penghambatan ini dapat mengakibatkan

terganggunya metabolism dan matinya sel (Pelczar dan Can, 1988).

H. Metode Pengujian Antibakteri

1. Metode Difusi

a. Metode disc diffusion

Merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menentukan

aktifitas agen mikroba dengan cara meletakkan piringan yang berisi agen

antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme


30

yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan

adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada

permukaan media agar.

b. Ditch-plate technique

Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang diletakkan

pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri

pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji digoreskan kearah parit

yang berisi agen antimikroba.

c. Cup-plate technique

Metode ini seruoa dengan metode disc diffusion, dimana dibuat sumur

pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur

tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji.

2. Metode dilusi

a. Metode dilusi cair (broth dilution)

Metode ini mengukur MIC (Minimum inhibitor Concentration atau

kadar hambat minimum, KHM) dan MBC (Minimum Bactericidal

Cocentration atau kadar bunuh minimum, KBM). Cara yang dilakukan adalah

dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang

ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar

terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ataupun

ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut

selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji
31

ataupun agern antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24 jam/ media cair yang

tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM.

b. Metode dilusi padat (Solid dilution test)

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan

media padat. Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen

antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji

(Narulita, 2017).

I. Salep

1. Definisi Salep

Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan

sebagai obat luar. Bahan obatnya harus larut atau terdispersi homogen dalam

dasar salep yang baik (FI. Ed III) (Anief, 2006)

2. Persyaratan Salep

Dalam pembuatan salep harus diperhatiakn beberapa hal yaitu:

a. Pemerian, tidak boleh tengik

b. Kadar, kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mengandung obat keras

atau obat narkotik, kadar bahan obatnya adalah 10%

c. Dasar salep, kecuali dinyatakan lain , sebagai bahan dasar salep (basis salep)

dipilih tergantung sifat bahan obat dan tujuan pemakaian salep.


32

Dasar-dasar salep digolongkan kedalam 4 kelompok besar:

a) Dasar salep hidrokarbon

Dasar salep hidrokarbon (dasar bersifat lemak) bebas air, preparat

yang berair mungkin dapat dicampurkan hanya dalam jumlah sedikit saja, bila

lebih banyak sukar bercampur. Dasar hidrokarbon terutama dipakai untuk

efek emolien. Dasar salep tersebut bertahan pada kulit untuk waktu yang lama

dan tidak memungkinkan larinya lembab ke udara dan sukar dicuci. Kerjanya

sebagai bahan penutup saja.Tidak mengering atau tidak ada perubahan dengan

berjalannya waktu (Yankhendri, 2012).

b) Dasar salep absorpsi

Dasar salep absorpsi dapat dibedakan menjadi dua tipe:

- Yang memungkinkan percampuran larutan berair, hasil dari pembentukan

emulsi air dan minyak (misalnya petrolatum hidrofilik dan lanolin

anhidrida).

- Yang sudah menjadi emulsi air minyak (dasar emulsi), memungkinkan

bercampurnya sedikit penambahan jumlah larutan berair (misalnya lanolin

dan cold cream). Dasar salep ini berguna sebagai emolien walaupun tidak

menyediakan derajat penutupan seperti yang dihasilkan dasar salep

berlemak. Seperti dasar berlemak, dasar salep dasar salep absorpsi tidak

mudah dihilangkan dari kulit dengan pencucian air (Yankhendri, 2012).


33

c) Dasar salep yang dapat dibersihkan dengan air

Dasar salep yang dapat dibersihkan dengan air merupakan emulsi

minyak dalam air yang dapat dicuci dari kulit dan pakaian dengan air. Atas

dasar ini bahan tersebut sering dikatakan sebagai bahan dasar salep “tercuci

air”. Dasar salep ini nampaknya seperti krim dapat diencerkan dengan air atau

larutan berair.Dari sudut pandang terapi mempunyai kemampuan untuk

mengabsopsi cariran serosal yang keluar dalam kondisi dermatologi.

d) Dasar salep larut dalam air

Tidak seperti dasar salep yang tidak larut dalam air, yang mengandung

kedua-duanya, kimponen yang larut maupun yang tidak larut dalam air , dasar

yang larut dalam air hanya mengandung kimponen yang arut dalam air.

Tetapi, seperti dasar salep yang dapat dibersihkan dengan air basis yang larut

dalam air dapat dicuci dengan air. Basis yang larut dalam air biasanya disebut

sebagai greaseless karena tidak mengandung bahan berlemak. Karena dasar

salep ini sangat mudah melunak dengan penambahan air (Ansel, 1989).
34

J. Kerangka Konsep

Daun beluntas mengandung


Daun Beluntas
senyawa flavonoid,
(Pluchea indica L.)
alkaloid, tanin, minyak
atsiri

Ekstrak etanol daun beluntas


(Pluchea indica L.)

Uji organoleptis, pH,


homogenitas, uji daya
sebar, uji viskositas,
Pembuatan sediaan salep cycling test
antijerawat ekstrak etanol
daun beluntas (Pluchea
Uji aktivitas antibakteri
indica L.)
ekstrak etanol daun
beluntas (Pluchea indica
L.) terhadap bakteri
Propionibacterium acnes
35

K. Variabel

1. Variabel Bebas

Variabel Bebas pada penlitian ini adalah ektrak daun beluntas

(Pluchea indica L.).

2. Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah kestabilan fisik sediaan dan

uji aktivitas terhadap bakteri Propionibacterium acnes.

L. Hipotesis

Ekstrak etanol daun beluntas (Pluchea indica L.) dapat diformulasikan

menjadi sediaan salep yang memenuhi persyaratan uji organoleptis, pH,

homogenitas, uji daya sebar, viskositas, uji cycling test dan mampu menghambat

pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain/jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium yang

betujuan untuk memformulasikan sediaan salep antijerawat ekstrak etanol daun

beluntas (Pluchea indica L.) dan uji aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium

acnes dengan metode difusi agar menggunakan sumuran untuk menentukan diameter

zona hambat.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Agustus sampai September 2022 di

Laboratorium Fitokimia, Teknologi Sediaan Farmasi dan Laboratorium Mikrobiologi,

Fakultas Farmasi Universitas Megarezky Makassar.

C. Populasi dan Sampel

Tanaman yang digunakan adalah tanaman beluntas (Pluchea indica L.),

dimana sampel yang akan digunakan pada penelitian ini adalah daun beluntas yang

diperoleh di Desa Maccini Kacamatan Lalabata Kabupaten Soppeng.

D. Alat dan Bahan

1. Alat

Adapun alat yang akan digunakan pada penelitian ini adalah alat pengukur

pH, batang pengaduk, blender, cawan porselin, cawan petri, gelas ukur, kaca

36
37

arloji, lumpang, pencadang, penjepit, sudip, sendok tanduk, spoit, timbangan

elektrik, water bath, wadah salep.

2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk simplisia

daun beluntas (Pluchea Indica L.), etanol 96%, medium NA, Aquadest, bakteri

Propionibacterium acnes, PEG 400, PEG 4000, Nipagin, dan Oleum Citri.

E. Cara Kerja

1. Pengambilan sampel

Pengambilan sampel daun beluntas (Pluchea indica L.) dilakukan pada

pagi hari pukul 09.00-11.00 WITA, karena pada pagi hari hingga siang hari

terjadi proses fotosintesis diperoleh, sampel di ambil di Kacamatan Lalabata

Kabupaten Soppeng.

2. Pembuatan ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica L.) menurut Zarwindah

& Fauziah (2020).

Serbuk simplisia diekstraksi dengan cara maserasi dengan menggunakan

pelarut etanol 96% sebanyak 500 g serbuk simplisia. Serbuk daun beluntas dan

pelarut yang telah tercampur kemudian ditutup rapat dan terlindungi dari sinar

matahari kemudian di diamkan selama kurang lebih 3 x 24 jam untuk proses

ekstraksi. Filtrat dan residu dipisahkan dengan menggunakan corong yang telah

dialasi dengan kain dan kertas saring. Setelah diperoleh filtrat kemudian di

evaporasi dengan suhu 40̊ C hingga ekstrak mengental.


38

3. Formula Salep

Jumlah (gram) b/b


Bahan Kegunaan
K(-) F1 F2 F3 Range

Ekstrak
daun Zat aktif - 5% 10% 15%
beluntas

PEG 400 Basis 60% 60% 60% 60% 60%

PEG 4000 Basis 40% 40% 40% 40% 40%

Nipagin Pengawet 0.05% 0.05% 0.05% 0.05% 0.02-0.3%

Oleum Pengaroma qs qs qs qs
Citri
Jumlah ad 20 g

Tabel 3.1. Formula Salep Antijerawat

Keterangan :

K(-) : Formulasi salep tanpa ekstrak daun beluntas

FI : Formulasi salep dengan ekstrak daun beluntas 5%

FII : Formulasi salep adengan ekstrak daun beluntas 10%

FIII : Formulasi salep dengan ekstrak daun beluntas 15%

K (+) : Salep guci pusaka

4. Alasan Penggunaan Bahan

a. Polietilen glikol (PEG)

Polietilen glikol (PEG) adalah polimer dari etilnoksida dan air.

Polietilen glikol (PEG) dikenal juga dengan nama lain macrogol, carbowax,
39

pluracol E, poly-G, polyglicol E (Voiht, 1984). Polietilen glikol banyak

digunakan sebagai pelarut dan pembawa dalam sediaan farmasi dan kosmetik,

khususnya untuk zat-zat yang tidak stabil atau tidak larut dalam air (Loden,

2009).

Polietilen glikol 400 adalah polietilen glikol H(O-CH2-CH2)n OH

dimana harga n antara 8,2 dan 9,1. Pemerian: cairan kental jernih, tidak

berwarna atau praktik tidak berwarna, bau khas lemah, agak higroskopik.

Kelarutan: larut dalam air, dalam etanol (95%) P, dalam aseton, dalam glikol

laindan dalam hidrokarbon aromatik, praktis tidak larut dalam eter dan dalam

hidrokarbon alifatik. Kandungn lembab: sangat higroskopik, titik beku 4-8°C

(Depkes RI, 1979).

PEG 4000 berupa serbuk licin putih atau putih kuning seperti gading;

praktis tidak berbau; tidak berasa. Mudah larut dalam air,dalam etanol (95%)

P dan dalam kloroform P; praktis tidak larut dalam eter P (Depkes RI, 1979).

Penggunaan basis salep PEG sebagai zat tambahan, mempunyai

banyak keuntungan antara lain sifat PEG yang tidak merangsang, tidak

menghambat pertukaran gas dan keringat, serta mudah dicuci dengan air

sehingga dapat dapat dioleskan pada permukaan kulit (Depkes RI, 1979).

Tujuan dari kombinasi PEG 400 dengan PEG 4000 adalah untuk

menurunkan titik lebur PEG 4000 sehingga didapatkan sediaan yang

kompatibel. Formula resmi basis polietilen glikol menurut USP memerlukan


40

kombinasi 40% polietilen glikol 4000 (padat) dan 60% polietilen glikol 400

(cair)(Ansel, 2005).

b. Nipagin

Metilparaben memiliki sinonim nipagin, berfungsi sebagai pengawet.

Metilparaben berupa serbuk hablur kecil, tidak berwarna, atau putih; tidak

berbau atau berbau khas lemah. Kelarutan larut dalam 500 bagian air, dalam

benzena dan dalam karbon tetraklorida; mudah larut dalam etanol dan eter

(Depkes RI, 1979).

Metil paraben banyak digunakan sebagai bahan pengawet antimikroba

dalam kosmetik, produk makanan, dan juga formulasi farmasi dengan

konsentrasi 0.02 – 0.3 % (Rowe dkk, 2009).

c. Oleum Citri

Oleum citri berfungsi sebagai pengaroma untuk memperbaiki bau dari

salep, karena selain tidak mengiritasi kulit oleum citri juga berkhasiat untuk

jerawat.

5. Cara Pembuatan Salep menurut Cahyanta & Ardiyanti (2018)

Salep dibuat dengan cara melarutkan nipagin dengan PEG-400 kemudian

meleburkan PEG-4000 dan campuran PEG-400 dan nipagin diatas tangas air dan

diaduk sampai dingin. Tambahkan ekstrak daun beluntas kedalam campuran basis

dan aduk sampai homogen. Setelah campuran homogen tambahkan oleum citri

sedikit demi sedikit kedalam campuran tersebut. Kemudian di simpan didalam

wadah salep dan dilakukan pengujian salep.


41

6. Penetapan Fisik Sediaan

Penetapan fisik sediaan salep diantaranya meliputi uji organoleptis, uji pH,

homogenitas, uji sebar, dan uji lekat

a. Uji organoleptis

Pengujian dilakukan dengan cara mengamati tekstur, bau, dan warna

secara visual (Naibaho, 2013).

b. Uji pH

Sebanyak 0,5 gram sampel diencerkan dengan 5 ml air suling,

kemudian celupkan pH ke sediaan dan dicatat hasilnya (Yulistia dkk, 2016).

c. Uji homogenitas

Sebanyak 0,1 gram salep dioeskan diatas kaca objek atau sekeping

kaca kemudian diamati apakah terbentuk partikel kasar atau tidak.

d. Uji Daya Sebar

Sebnayak 0,5 gram sampel diletakkan diatas palt kaca, biarkan 1 menit

dan ukur diamtere sebar salep, kemudian di tambah dengan beban tambahan

200 gram dan didiamkan selama 1 menit, lalu ukur diameter sebarnya

(Yulistia dkk, 2016).

e. Uji viskositas

Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan alat viscometer

brookfield dengan spindle no 4 dengan kecepatan 50 rpm. Uji viskositas

dilakukan untuk mengukur kekentalan suatu sediaan Persyaratan viskositas

yang baik yaitu 2000-4000 Cp (Rohana dkk, 2019).


42

f. Cycling Test

Salah satu cara mempercepat evaluasi kestabilan fisik adalah dengan

metode cycing test ini dilakukan dengan 6 siklus. Sediaan disimpan pada suhu

4̊ C selama 12 jam lalu dikeluarkan dan ditempatkan pada suhu 40̊ C. Proses

ini dhitung 1 siklus. Keadaan fisik sediaan dibandingkan selama percobaab

dengan sediaan sebelumnya (Suru dkk, 2019).

7. Uji Aktivitas Antbakteri Ekstrak Daun Beluntas

a. Sterilisasi Alat-alat

Alat-alat yang akan digunakan pada uji aktivitas antibakteri terlebih

dahulu dicuci bersih kemudian dikeringkan dan disterilkan dalam autoklaf

pada suhu 121̊ C selama 15 menit (Putri dkk, 2020).

b. Pembuatan Media Nutrient Agar

Media pertumbuhan dibuat dengan melarutkan NA dalam aquadest

dengan dipanaskan. Didistribusi sesuai kebutuhan dalam tabung reaksi dan

ditutup dengan kapas lalu dilapisi plastic. Selanjutnya disterilisasi dalam

autoklaf pada suhu 121̊ C selama 15 menit (Cahyanta & Ardiyanti, 2018).

c. Pembuatan Suspensi Bakteri

Media yang telah mengeras diambil dan digoreskan bakteri secara

streak plate (gores) dan diinkubasi selama 24 jam. Suspensi bakteri dibuat

dengan cara mengambil beberapa kiloni tunggal yang telah dikultur

dimasukkan ke dalam NaCl 0,9 sebanyak 3 ml lalu dicampur hingga homogen


43

pada tabung reaksi ditandai dengan cairan berubah menjadi keruh sesuai

standar kekeruhan Mcfarland (Widyawati dkk, 2017).

d. Pengujian Aktivitas Antibakteri

Uji antibakteri menggunakan sumuran, disiapkan cawan petri,

dimasuikan NA kedalam cawan petri sebanyak 20 mL sebagai dasar tempat

penyimpanan pencadang, setelah NA memadat. Dituangkan campuran

suspense kedalam media yang berisi medium NA yang sudah disterilkan

kemudian dibuat lubang masing-masing cawan petri 3 lubang. Diambil

sediaan formulasi salep antijerawat dengan masing-masing konsentrasi

5%,10%,15%, kontrol negatif dan kontrol positif pada lubang sumuran yang

dibuat. Kemudian diinkubasi selama 1x24 jam pada syhu 37̊C kemudian

diukur rata-rata diameter zona hambatmya menggunakan jangka sorong

(Widyawati dkk, 2017).

8. Pengamatan dan Pengolahan Data

Pada peneltian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara melihat hasil

penelitian tentang formulasi dan uji aktivitas antbakteri salep antijerawat ekstrak

daun beluntas (Pluchea Indica L.) terhadap bakteri Propionibacterium acnes yang

disajikan dalam bentuk tabel dengan menggunakan metode paired-test dengan

metode ANOVA.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Hasil Ekstraksi Daun Beluntas (Pluchea indica L.)

Berat ekstrak daun beluntas (Pluchea indica L.) yang diperoleh dengan ekstraksi

Tabel 4.1.Hasil Rendamen

Sampel Jenis Berat Berat Rendamen


Pelarut Sampel (g) Ekstrak (%)
Kental (g)
Ekstrak Daun Etanol 96% 500 27,38 5,47
Beluntas

2. Hasil evaluasi sediaan salep ekstrakdaun beluntas (Pluchea indica L.)


didapatkan sebagai berikut :

a. Uji Organoleptis

Tabel 4.2.Hasil Pengamatan Uji Organoleptis

Bentuk Warna Bau


FormulaS Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah
alep Cycling Cycling Cycling Cycling Cycling Cycling
test test Test Test test test
K (-) Semi Semi Putih Putih Khas Khas
Padat Padat Basis Basis

FI Semi Semi Hijau Hijau Minyak Minyak


Padat Padat Lemon Lemon

FII Semi Semi Minyak Minyak


Hijau Tua Hijau Tua
Padat Padat Lemon Lemon

44
45

FIII Semi Semi Hijau Hijau Minyak Minyak


Padat Padat Kehitaman Kehitaman Lemon Lemon
Keterangan:
K (-) : Kontrol negatif (formula salep tanpa ektrak)
FI : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 5 %
FII : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 10 %
FIII : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 15 %

b. Uji pH
Tabel 4.3.Hasil Pengamatan pH

Pengamatan pH
Formula
Sebelum Setelah
Salep Range
Cycling test Cycling test
K (-) 5.6 5.8
FI 5.5 5.7
pH 4,5 - 6,5
FII 5.3 5.4
FIII 5.1 5.3
Keterangan:
K (-) : Kontrol negatif (formula salep tanpa ekstrak)
FI : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 5 %
FII : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 10 %
FIII : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 15 %

c. Uji Homogenitas

Tabel 4.4.Hasil Pengamatan Homogenitas

Formula Sebelum Sesudah


Salep Cycling test Cycling test
K (-) Homogen Homogen

FI Homogen Homogen

FII Homogen Homogen

FIII Homogen Homogen


Keterangan:
K (-) : Kontrol negatif (formula salep tanpa ekstrak)
FI : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 5 %
FII : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 10 %
FIII : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 15 %
46

d. Uji Daya Sebar

Tabel 4.5.Hasil Pengamatan Daya Sebar

Formula Sebelum Sesudah


Range
Salep Cycling test Cycling test
K (-) 6 cm 6,5 cm
FI 5,7 cm 6,5 cm
FII 5,4 cm 6,4 cm 5-7 cm
FIII 5,4 cm 6,3 cm
Keterangan:
K (-) : Kontrol negatif (formula salep tanpa ekstrak)
FI : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 5 %
FII : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 10%
FIII : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 15 %

e. Uji Viskositas
Tabel 4.6.Hasil Pengamatan Viskositas

Pengamatan viskositas
Formula
Sebelum Sesudah
Salep Range
Cycling test Cycling test
K (-) 2320 Cp 2110 Cp
FI 2510 Cp 2380 Cp
2000-4000 Cp
FII 2629 Cp 2520 Cp
FIII 3800 Cp 3559 Cp

Keterangan :
K (-) : Kontrol negatif (formula salep tanpa ekstrak)
FI : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 5 %
FII : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 10 %
FIII : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 15 %
47

3. Hasil Zona Hambat Sediaan

Tabel 4.7.Hasil Uji Diameter Daya Hambat

Tabel 1.Hasil pengamatan diameter zona hambat sediaan salep antijerawat


Diameter zona hambat
Formula Salep Kategori
Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3 Rata-rata

K (-) 0 0 0 0 Tidak ada

FI 10,6 10,7 10,7 10.6 Kuat

FII 14,2 13,5 13,2 13,6 Kuat

FIII 16,7 16,2 15,5 16,2 Kuat

Kontrol (+) 17,8 17,1 17,2 17,3 Kuat

Keterangan :
K (-) : Kontrol negatif (formula salep tanpa ekstrak)
FI : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 5 %
FII : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 10 %
FIII : Salep antijerawat dengan konsentrasi ekstrak sebanyak 15 %
K (+) : Kontrol positif (Salep Herbal Pusaka)

Kriteria daya hambat Hapsari, 2015 :

< 5 mm = Lemah

5-10 mm = Sedang

10-20 mm = Kuat

>21 mm = Sangat kuat

B. Pembahasan

Antibakteri merupakan zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau

bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba


48

yang merugikan. Mikroorganisme dapat menimbulkan penyakit pada makhluk

hidup lain karena memiliki kemampuan menginfeksi, mulai dari infeksi

ringan sampai infeksi berat bahkan kematian. Oleh karena itu, pengendalian

yang tepat perlu dfilakukan agar mikroorganisme tidak menimbulkan

kerugian.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ekstrak daun

beluntas (Pluchea indica L.). Penelitian ini bertujuan untuk menemukan

tingkat aktivitas antibakteri pada formula salep ekstrak etanol daun beluntas

(Pluchea indica L.). Pada tahap awal dilakukan yaitu pengolahan sampel daun

beluntas (Pluchea indica L.)

Tahap selanjutnya yaitu pembuatan ekstrak daun beluntas (Pluchea

indica L.) dengan metode maserasi. Penggunaan metode maserasi dipilih

karena pengerjaan yang praktis dan alat yang digunakan sederhana dan mudah

serta tidak menggunakan suhu tinggi yang memungkinkan dapat merusak

suatu senyawa-senyawa kimia yang dimiliki daun beluntas (Pluchea indica

L.) terutama senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri yang terdapat dalam

sampel, beserta jumlah maserat yang diperoleh banyak. Hasil maserasi

tersebut didapatkan ekstrak kental yaitu 27,38 gram dengan hasil rendamen

5,47%.

Dalam penelitian ini pelarut yang digunakan adalah etanol 96%.

Penggunaan pelarut yang sesuai dalam melakukan ekstraksi sangat penting

karena dengan pemilihan pelarut yang benar dapat mengikat zat-zat katif yang
49

terkandung dalam sampel tersebut. Pemilihan etanol 96% dikarenakan pelarut

etanol 96% lebih aman dalam penanganan dibandingkan pelarut organik

lainnya. Dipilih etanol karena etanol tidak beracun dan berbahaya, selain itu

juga mempunyai kepolaran tinggi sehingga mudah melarutkan senyawa resin,

lemak, minyak, karbohidrat dan senyawa organik lainnya seperti flavonoid.

Etanol terbukti memiliki aktivitas yang tinggi dalam menarik flavonoid dan

fenolik, serta memiliki kandungan air yaitu 4% sehingga memudahkan dalam

proses penguapan.

Tahap selanjutnya dilakukan pembuatan formula sediaan di

Laboratorium Teknologi Sediaan Farmasi. Formulasi sediaan dibagi menjadi

4 kelompok yaitu, Kontrol negatif (basis) adalah salep yang tidak

mengandung ekstrak etanol daun beluntas (Pluchea indica L.), FI adalah

salep antijerawat dengan penambahanekstrak daun beluntas 5%, FII adalah

salep antijerawat dengan penambahan ekstrak daun beluntas 10%, dan FIII

adalah salep antijerawat dengan penambahan ekstrak daun beluntas 15 %.

Formulasi sediaan salep antijerawat terdiri dari bahan aktif dan bahan

tambahan. Bahan aktif berupa ekstrak etanol daun beluntas yang berkhasiat

sebagai antiacne. Basis salep yang digunakan adalah PEG-400 dan PEG-4000,

basis tersebut termasuk basis larut air. Penggunaan basis salep PEG sebagai

zat tambahan, mempunyai banyak keuntungan antara lain sifat PEG yang

tidak merangsang, tidak menghambat pertukaran gas dan keringat, serta

mudah dicuci dengan air sehingga dapat dapat dioleskan pada permukaan
50

kulit. Basis PEG ini juga dapat melepaskan zat aktif dengan baik

dibandingkan basis yang larut minyak, selain itu juga basis ini cocok untuk

kulit yang berjerawat karena tidak mengandung minyak. Kombinasi PEG-400

dan PEG-4000 bertujuan menurunkan titik lebur PEG-4000 sehingga

didapatkan sediaan yang kompatibel.

Tahap selanjutnya adalah pengujian stabilitas fisik pada dua suhu yaitu

suhu rendah 4ºC dan suhu tinggi 40ºC, perbedaan suhu ini dilakukan dengan

tujuan untuk membandingkan kestabilan fisik dari sediaan pada kondisi yang

berbeda. Penyimpanan dilakukan dengan menggunakan alat oven 40ºC dan

kulkas dengan suhu 4ºC selama 12 hari atau 6 siklus. Pengujian stabilitas

berupa organoleptis ,pH, homogenitas, daya sebar, dan viskositas.

Pengujian organoleptis dilakukan untuk melihat sifat fisik sediaan

dengan mengamati ada tidaknya perubahan terhadap bentuk, warna dan bau

dari sediaan yang terjadi selama penyimpanan (Putri dkk. 2019). Hasil

pengamatan sebelum dan sesudah dilakukan cycling test ini organoleptis

sediaan salep ekstrak daun beluntas didapatkan hasil seperti tabel 4.2. Hasil

pengamatan organoleptis sediaan salep, sebelum dilakukan cycling test pada

kontrol (-) bentuk setengah padat salep, dengan warna putih dan bau khas

basis. Pada formula I bentuk setengah padat salep, dengan warna hijau dan

bau khas oleum citri. Pada formula II bentuk setengah padat salep, warna

hijau tua dan bau khas oleum citri. Pada formula III bentuk setengah padat

salep, warna hijau kehitaman dan bau khas oleum citri . Sedangkan setelah
51

cycling test tidak terjadi perubahan bentuk, warna maupun bau dari keempat

formula tersebut. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sediaan tetap

stabil setelah dilakukan pengujian cycling test.

Pengujian selanjutnya yaitu uji pH yang dilakukan dengan

menggunakan pH meter, pH sediaan salep sebaiknya mendekati pH normal

kulit yaitu antara 4,5-6,5 atau sesuai dengan nilai pH kulit manusia agar tidak

merubah fisiologis kulit, karena pH yang terlalu asam dapat menyebabkan

iritasi pada kulit sedangkan jika pH terlalu basa dapat menyebabkan kulit

bersisik. Berdasarkan tabel 4.3 hasil pengamatan uji pH sediaan salep

antijerawat pada keempat formula didapatkan hasil pada kontrol (-) pH

sediaan adalah 5,6 namun setelah cycling test menungkat menjadi 5,8. FI pH

sedian adalah 5,5 dan setelah cycling test meningkat menjadi 5,7. FII pH

sediaan adalah 5,3 dan setelah cycling test meningkat mnejdai 5,4. Pada FIII

pH seduiaan adalah 5,1 dan setelah cycling test meningkat menjadi 5, 3.

Perubahan nilai pH dapat dipengaruhi oleh bahan yang terdekomposisi oleh

suhu, atau faktor lingkungan saat pembuatan dan penyimpanan (Putri dkk.,

2019). Dari keempat formula tersebut memenuhi parameter formula salep

yang baik untuk kulit berkisar 4,5-6,5.

Pengujian selanjutnya yaitu pengujian homogenitas pada keempat

sediaan salep memberikan hasil yang baik yaitu homogen dan stabil sebelum

dilakukan cycling test dan setelah cycling test. Dari hasil pengujian
52

homogenitas dapat dikatakan stabil karena semua sediaan menunjukkan tidak

adanya butiran atau partikel kasar pada sediaan.

Pengujian selanjutnya yaitu pengujian daya sebar. Daya sebar salep

bertujuan untuk mengetahui luas sebaran sediaan salep yang dibuat, semakin

besar daya sebar semakin bagus sediaannya. Suatu sediaan salep diharapkan

mampu menyebar dengan mudah ditempat pemberian, tanpa menggunakan

tekanan yang berarti. Semakin mudah dioleskan maka luas permukaan kontak

obat dengan kulit semakin besar, sehingga absorbsi obat ditempat pemberian

semakin optimal. Sediaan salep dikatakan baik apabila daya menyebarnya

besar (diameter), diameter penyebaran salep yang baik antara 5-7 cm (Sawiji,

2021). Berdasarkan tabel 4.5 hasil pengamatan daya sebar sediaan salep pada

keempat formula didapatkan hasil kontrol (-) sebelum cycling test adalah 6

dan setelah cycling test menjadi 6,5. Pada FI sebelum cycling test didapatkan

5,7 dan setelah cycling test menjadi 6,5. Pada FII sebelum cycling test 5,4 dan

setelah cycling test menjadi 6,4. Pada FIII didapatkan 5,4 dan setelah cycling

test 6,3. Pada masing-masing mengalami peningkatan atau perubahan sebelum

dan setelah cycling test. Hal ini dapat disebabkan karena peningkatan daya

sebar berbanding lurus dengan nilai viskositas yang ditunjukkan pada setiap

formula. Viskositas salep tersebut semakin menurun selama penyimpanan

sehingga tahanan cairan untuk mengalir semakin berkurang sehingga daya

sebar salep meningkat (Musdalifah, 2022). Berdasarkan hasil sebelum dan


53

sesudah cycling test dapat menunjukkan formula sediaan salep memenuhi

syarat daya sebar yang baik yaitu 5-7 cm.

Pengujian selanjutnya dilakukan yaitu pengujian viskositas.

Berdasarkan tabel 4.6 Hasil pengamatan viskositas sediaan salep keempat

formula didapatkan hasil pada kontrol (-) sebelum cycling test 2320 Cp dan

setelah cycling test menjadi 2110 Cp. Pada FI didapatkan 2510 Cp dan setelah

cycling test menjadi 2380 Cp. Pada FII didapatkan hasil 2629 dan setelah

cycling test menjadi 2520 Cp.Ppada FIII sebelum cycling test 3800 Cp dan

setelah cycling test menjadi 3559 Cp. Mengalami penurunan setelah cycling

test dikarenakan dipengaruhi adanya perubahan suhu dari 4oC ke 40oC selama

6 siklus. Penurunanviskositas selama penyimpanan diduga terjadi karena

adanya kenaikan ukuran partikel yang menyebabkan luas permukaannya

semakin kecilyang kemudian mengakibatkan viskositas menurun. Semakin

besar viskositas maka daya menyebarnya menjadi semakin kecil. Salep yang

mempunyai viskositas yang rendah akan memudahkan saat pemakaian serta

pengambilan dari wadah menjadi lebih mudah karena konsistensinya lunak

(Sawiji dkk, 2021). Dari keempat formula menunjukkan viskositas sediaan

salep masih sesuai dengan syarat ketentuan yaitu 2000-4000 Cp.

Pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas sediaan salep ekstrak etanol daun

beluntas (Pluchea indica L.) sebagai antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri

Propionibacterium acnes dan dengan metode difusi cara sumuran. Pengujian

dialkukan dengan perlakuan pada 6 cawan petri dengan 3 replikasi, media yang sudah
54

diberikan suspensi bakteri ditambahkan ekstrak daun beluntas dengan 5%, 10%, dan

15%.

Hasil pengamatan diameter daya hambat sediaan salep antijerawat

pada pengujian aktivitas antibakteri terhadap bakteri propionibacterium acnes

yaitu pada formula I dengan diameter 10,6 mm dimana menunjukkan bahwa

formula tersebut memiliki potensi antibakteri kategori kuat. Formula II

memiliki zona hambat 13,6 mm dengan kategori kuat. Formula III memiliki

zona hambat 16, 2 mm dengan kategori kuat, pada kontrol negatif tidak

memiliki zona hambat, dan pada kontrol positif memiliki zona hambat 17,3

mmtermasuk kedalam kategori kuat.

Berdasarkan hal tersebut, hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa

aktivitas antibakteri dalam menghambat bakteri Propionibacterium acnes pada

sediaan salep antijerawat ekstrak etanol daun beluntas (Pluchea indica L.)

adalah formula ke III pada konsentrasi 15% dengan zona hambat 16,2 mm.

Kontrol (+) yang digunakan pada penelitian ini adalah Salep Pusaka

yang mengandung Curcuma Domestica Val. Kunyit (Curcuma Domestica

Val) merupakan salah satu tanaman berkhasiat yang sering digunakan

masyarakat untuk pengobatan tradisinal terutama pada bagian rimpangnya.

Masyarakat Indonesia sering menggunakan rimpang kunyit sebagai obat

antiradang, antidiare, antibakteri, luka, antijamur dan infeksi. Curcuma

Domestica Val memiliki kandungan senyawa seperti alkaloid, flavonoid,

kurkumin, saponin, tannin, dan terpenoid. Golongan senyawa kurkuminoid


55

memiliki kandungan yang berkasiat aebagai antibakteri, antidirae, dan

antipiretik. Senyawa kurkumin sama seperti senyawa kimia lain seperti

alkaloid, flavonoid steroid fenol yang termasuk kedalam hasil metabolit

sekunder (Wijayakusuma, 20008).


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Ekstrak etanol daun beluntas (Pluchea indica L.) dapat diformulasikan menjadi

sediaan salep antijerawat yang stabil secara fisik dan kimia.

2. Konsentrasi sediaan salep ekstrak etanol daun beluntas (Pluchea indica L.) yang

dapat menghambat bakteri Propionibacterium acnes terdapat pada variasi

konsentrasi yaitu pada formula I, II, dan III dan termasuk kategori kuat.

B. Saran

Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut untuk

mengetahui aktivitas antibakteri salep antijerawat ekstrak daun beluntas (Pluchea

indica L.) dalam menghambat pertumbuhan bakteri dengan sediaan lainnya.

55
56

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 2006. Ilmu Meracik obat Teori & Praktik. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta

Ansel, H. C., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Sarida
Ibrahim, Asmanizar, Aisyah, Edisi keempat. Jakarta, UI Press

Cahyanta, A. N., & Ardiyanti, N. Y. 2018.Uji Aktivitas Salep Antijerawat Ekstrak


Daun Binahong (Anredera Curdifolia (Ten)Steenis) Terhadap Bakteri
Propionibacterium Acnes

Departemen Kesehatan RI. 1989. Material Medica Indonesia. Jilid V. Jakarta.


Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan

Fauzi, A., R. & Nurmalina, R. 2012.Merawat Kulit dan Wajah. Jakarta : Kelompok
Gramedia. Halaman 13, dan 81

Hafsari, A.R., Cahyanto. T., Suwarjo, T., Lestari. R. I. 2015. Uji Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea Indica L.) Terhadap Propionibacterium
Acnes Penyebab Jerawat. Teknologi Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung
Jati. Bandung

Jawetz, E., Melnick, J., L., & Adelberg E, A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran.
Terjemahan dari Medical Mikrobiology oleh Mudihardi, Mertaniasih,
Kuntaman, Alimsardjono. Salemba Medika. Surabaya

Maftuha, A. 2015. Pengaruh Infusa Daun Beluntas (Pluche Indica L.) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus Epidermidis. Fakultas Matematika dan
Ilmu Pendidikan Alam. Universitas Negeri Semarang

Muliyawan, D., & Suriyana N. 2013.A-Z Tentang Kosmetik. Jakarta : PT. Elex Media
Kumputindo

Naibaho, D. H., Yamkan, V.Y., Weni, Wiyono. 2013. Pengaruh Basis Salep Ekstrak
Daun Kemangi (Ocinum sanchum L.) pada Kulit Punggung Kelinci yang
dibuat Infeksi Staphylococcus aureus. Jurnal Ilmiah Farmasi. UNSTRAT
57

Narulita, W. 2017. Uji Efektifitas Daun Binahong dalam Menghambat Pertumbuhan


Bakteri Propionibacterium Acnes Secara In Vitro. Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan. Universitas Islam Negeri Raden Lampung. Lampung

Putri, R., Hardiansah, R., & Supriyanta J. 2020.Formulasi dan Evaluasi Fisik Salep
Antijerawat ekstrak Etanol 96% Daun Pepaya (Carica Papaya L.) Terhadap
Bakteri Propionibacterium acnes

Pramita, P., E. 2013. Daya Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea
Indica L.) dan Daun Kemangi (oeinum basilium L.) Terhadap staphylococcus
Epidermidis ATCC 12228

Pelczar, M. J., & Chan, E. C. S. 1986.Dasar- dasar Mikrobiologi. Universitas


Indonesia. UI Press. Jakarta

Rohana, Stevani, Dewi R. 2019. Formulasi Sediaan Hand Sanitizer dari Ekstrak Biji
Pangi (Pangium edule Reinw). Media Farmasi, 15 (2), 199-200

Sibero, H. T., Putra, I. W., & Anggraini, D. I. 2019.Tatalaksana Terkini Acne


Vulgaris. Kedokteran Universitas Lampung 3 (2) : 313-320

Situmorang, S. M. 2021. Formulasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Nanogel Asam


Asetat Terhadap Bakteri Propionibacterium Acnes dan Staphylococcus
Epidermidis

Suru, E., Yamlean, P.V., & Astuty, W. 2019.Formulasi dan Uji Efektivitas Krim
Antbakteri Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea Indica L.) Terhadap
Bakteri Propionibacterium Acnes. FMIPA UNSRAT. Manado

Talaro, K. P. 2008. Foundation in Microbiology. Ed ke 6. Mcgraw-hill

Wahyuni, D. K., Ekasar, W., Witono, J.R., & Purnobasuki. 2015. Toga Indonesia
(1rd ed). Surabaya. Airlangga Universitas Press

Wasitaatmadja, S. M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Universitas Indonesia.


Jakarta

Widyawati, L. Ayu, B., mustariani, A., & Purmafitria, E. 2017.Formulasi Sediaan


Gel Hand Sanitizer Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona Muricata Linn)
Sebagai Antibakteri Staphylococcus Aureus. Jurnal Famasetis, 6 (2), 47-57
58

Yanhendri, S., W., Y. 2012. Berbagai Bentuk Sediaan Topikal dalam Dermatologi.
Cermin Dunia Kedokteran. 194 (36) : 423-30

Yulistia, B. S., Tri, A., Nur, R. 2016. Formulasi Sediaan Salep Ekstrak Etanol Daun
Alpukat Sebagai antiacne. Jurnal. Akademi Farmasi Indonesia

Yulia, W. 2019.Aktivitas Antibakteri Losion Antijerawat yang Mengandung Ekstrak


Daun Beluntas (Pluchea Indica L.) Terhadap Bakteri Propionibacterium
acnes
59

Lampiran 1
Skema Penelitian

Simplisia Daun Beluntas (Pluchea indica L. )

Maserasi dengan etanol


96%
Ekstrak Cair

Ekstrak cair dipekatkan


menggunakan evaporator
Ekstrak Kental

Pembuatan Formulasi Salep

F1 FII FIII Kontrol Kontrol


5% 10% 15% (-) (+)

Pengujian Sediaan Salep Pengujian Aktivitas


Antbakteri
Secara Fisika Secara Kimia

Uji organoleptis Uji pH


Uji Homogenitas
Uji Daya sebar
Uji Daya viskositas
Cycling Tes

Ket:

FI : Konsentrasi 5% ekstrak daun beluntas


Analisis Hasil

FII : konsentrasi 10% ekstrak daun beluntas


Pembahasan
FIII : konsentrasi 15% ekstrak daun beluntas

Kontrol (-) : Formulasi salep tanpa ekstrak Kesimpulan


daun beluntas (Pluchea indica L.)
Kontrol (+) : Salep guci pusaka
60

1. Pengolahan Sampel

Dipetik daun beluntas


(Pluchea indica L.)

Disortasi basah untuk memisahkan dari kotoran

Dicuci dibawah air mengalir

Dilakukan perajangan

Dilakukan pengeringan dengan cara diangin-anginkan

Dihasilkan sampel kering

Diserbukkan
61

2. Ekstraksi Daun Beluntas (Pluchea indica L.)

Ditimbang serbuk daun beluntas


(Pluchea indica L.)

Dimaserasi serbuk daun beluntas


menggunakan pelarut etanol 96%
sebanyak 1,5 L

Dibiarkan selama 3 x 24 jam

Disaring

Dimasukkan filtrat kedalam


rotary evaporator

Dipekatkan ekstrak dengan


menggunakan kipas angin

Ekstrak kental
62

3. Skema Pengujian Aktivitas Antibakteri

Dimasukkan media NA kedalam cawan


petri sebanyak 15 mL hingga memadat

Dituang campuran suspense kedalam


medium NA

Dibuat lubang sumuran pada masing-


masing cawan petri

Diambil sediaan salep dengan masing-


masing konsentrasi 5%, 10%, 15%, kontrol
(-), kontrol (+) diletakkan pada lubang
sumuran

Diinkubasi selama 1x24 jam pada suhu 37°


C

Diukur diameter zona hambatnya


menggunakan jangka sorong
63

Lampiran 2. Perhitungan

1. Perhitungan Rendemen Ekstrak

Perhitungan rendemen ekstrak daun beluntas (Pluchea indica L.)

bobot ekstrak
Rendemen = x 100%
bobot serbuk

27,38 g
= x 100%
500 g

= 5,47%

2. Perhitungan bahan Sediaan

a. Kontrol (-) salep tanpa ekstrak daun beluntas dengan bobot salep 20 g

0.05
1. Nipagin : 0.05 % ¿ x 20 g = 0.01 g
100

Basis : Bobot salep – total bahan selain basis

: 20 g - 0.01 g = 19.99 g

60
2. PEG 400 : 60% ¿ x 19.99 = 11.99 g
100

40
3. PEG 4000 : 40% ¿ x 19.99 = 8 g
100

b. Formulasi FI Konsentrasi 5 % dengan bobot salep 20 g

5
1. Ekstrak daun beluntas : 5 % ¿ x 20 g = 1 g
100

0.05
2. Nipagin : 0.05 % ¿ x 20 g = 0.01 g
100

Basis : Bobot salep – total bahan selain basis


64

: 20 g – 1.01 g = 18.99 g

60
3. PEG 400 : 60% ¿ x 18.99 = 11.39 g
100

40
4. PEG 4000 : 40% ¿ x 18.99 = 7.59 g
100

c. Formulasi FII Konsentrasi 10 % dengan bobot salep 20 g

10
1. Ekstrak daun beluntas : 10 % ¿ x 20 g =2g
100

0.05
2. Nipagin : 0.05 % ¿ x 20 g = 0.01 g
100

Basis : Bobot salep – total bahan selain basis

: 20 g – 2.01 g = 17.99 g

60
3. PEG 400 : 60% ¿ x 17.99 = 10.79 g
100

40
4. PEG 4000 : 40% ¿ x 17.99 = 7.19 g
100

d. Formulasi FIII Konsentrasi 15 % dengan bobot salep 20 g

15
1. Ekstrak daun beluntas : 15 % ¿ x 20 g = 3 g
100

0.05
2. Nipagin : 0.05 % ¿ x 20 g = 0.01 g
100

Basis : Bobot salep – total bahan selain basis

: 20 g – 3.01 g = 16.99g
65

60
3. PEG 400 : 60% ¿ x 16.99 = 10.19 g
100

40
4. PEG 4000 : 40% ¿ x 16.99 = 6.79 g
100

3. Perhitungan Pembuatan Media NA

Rumus perhitungan :

g x vol
g =
1000 ml

Dimana :

a. g adalah jumlah gram yang akan ditimbang

b. g adalah jumlah gram yang tertera pada media dalam 1000 ml

aquadest

c. vol adalah volume media yang akan dibuat

Jadi :

20 x 100
Medium NA (Nutrient Agar) =
1000 ml

=2g

4. Perhitungan Pengukuran Diameter Zona Hambat

Rata-rata Diameter Zona Hambat

(17,8 mm+17,1 mm+17,2 mm)


K(+) = =17,3mm
3

(10,6 mm+10,7 mm+ 10,7 mm)


FI = =10,6 mm
3
66

(14,2 mm+13,5 mm+13,2 mm)


FII = =13,6 mm
3

(16,7 mm+16,2 mm+15,5 mm)


FIII = =16,2 mm
3

Lampiran 3. Gambar Penelitian

Gambar 1. Pengolahan Sampel Daun Beluntas (Pluchea indica L.)

Gambar. Pengambilan sampel Gambar. Pencucian sampel


daun beluntas (Pluchea indica daun beluntas (Pluchea indica
L.) L.)

Gambar.
Gambar.Pengeringan
Penghalusansampel
sampel
daundaun
beluntas (Pluchea indica
beluntas (Pluchea indica
L.) L.)
67

Gambar. Penimbangan simplisia


daun beluntas (Pluchea indica
L.)

Gambar. Proses maserasi daun


beluntas (Pluchea indica L.)

Gambar. Penyaringan daun Gambar. Proses penguapan


beluntas (Pluchea indica L.) mengunakan alat rotary
evaporator

Gambar. Hasil ekstrak kental


daun beluntas (Pluchea indica
L.)
68

Gambar 2. Hasil Uji Orientasi Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica L.)
69

Gambar. Hasil uji orientasi


Daun Beluntas (Pluchea indica
L.) pada Replikasi I

Gambar. Hasil uji orientasi


Daun Beluntas (Pluchea indica
L.) pada replikasi II
70

Gambar. hasil uji orientasi


ekstrak daun beluntas (Pluchea
indica L.) pada replikasi III

Gambar. Pengukuran diameter


zona hambat 5% daun beluntas
(Pluchea indica L.)

Gambar. Pengukuran diameter Gambar. Pengukuran diameter


zona hambat 10% daun beluntas zona hambat 15% daun beluntas
(Pluchea indica L.) (Pluchea indica L.)
71

Gambar 3. Pembuatan Formula Sedian Salep Antijerawat

Gambar. Hasil penimbangan Gambar. Penimbangan ekstrak


bahan salep beluntas

Gambar.
Gambar.Penyaringan
Peleburanekstrak
PEG 4000
diatas hot plate
Gambar.
Gambar.Pencampuran
Pembuatan bahan
sediaan
kedalam
salep lumpang
ekstrak daun beluntas
72

Gambar 4. Hasil Evaluasi Sediaan Salep

1. Uji organoleptis

Gambar. Bentuk sediaan


Setelah cycling test
73

Gambar. Bentuk sediaan Gambar. Bau sediaan Sebelum


Sebelum cycling test cycling test

Gambar. warna sediaan Sebelum


cycling test

Gambar. Bau sediaan Sebelum


cycling test

Gambar. warna sediaan


Sebelum cycling test
74

2. Uji pH

Gambar. K (-) uji pH sediaan


Sebelum cycling test

Gambar. K (-) uji pH sediaan


setelah cycling test
75

Gambar. FI uji pH sediaan


Sebelum cycling test

Gambar. FI uji pH sediaan


setelah cycling test

Gambar. FII uji pH sediaan


Sebelum cycling test
76

Gambar. FII uji pH sediaan


setelah cycling test

Gambar. FIII uji pH sediaan


Sebelum cycling test

Gambar. FIII uji pH sediaan


setelah cycling test

3. Uji Homogenitas

Gambar. K (-) uji homogenitas


sediaan Setelah cycling test
77

Gambar. K (-) uji homogenitas


sediaan Sebelum cycling test

Gambar. FI uji homogenitas


sediaan Sebelum cycling test
78

Gambar. FI uji homogenitas


sediaan Setelah cycling test

Gambar. FII uji homogenitas


sediaan Sebelum cycling test
79

Gambar. FII uji homogenitas


sediaan Setelah cycling test

Gambar. FIII uji homogenitas


sediaan Sebelum cycling test

Gambar. FIII uji homogenitas


sediaan Setelah cycling test

5. Uji Daya Sebar

Gambar. K (-) uji daya sebar


sediaan Setelah cycling test
80

Gambar. K (-) uji daya sebar


sediaan Sebelum cycling test

Gambar. FI uji daya sebar


sediaan Sebelum cycling test

Gambar. FI uji daya sebar


sediaan Setelah cycling test
81

Gambar. FII uji daya sebar


Gambar. FII uji daya sebar sediaan Setelah cycling test
sediaan Sebelum cycling test

Gambar. FIII uji daya sebar


sediaan Sebelum cycling test
82

Gambar. FIII uji daya sebar


sediaan Setelah cycling test

6. Uji Viskositas

Gambar. K (-) uji viskositas


sediaan Sebelum cycling test

Gambar. K (-) uji viskositas


sediaan Setelah cycling test
83

Gambar. FI uji viskositas


sediaan Sebelum cycling test

Gambar. FI uji viskositas


sediaan Setelah cycling test

Gambar. FII uji viskositas


sediaan Sebelum cycling test

Gambar. FII uji viskositas


sediaan Setelah cycling test
84

Gambar. FIII uji viskositas


sediaan Sebelum cycling test

Gambar. FIII uji viskositas


sediaan Setelah cycling test

7. Uji Aktivitas Bakteri Sediaan Salep Antijerawat

Gambar. Sterilisasi alat didalam Gambar. Suspensi bakteri


oven propionibacterium acnes
85

Gambar. Memasukkan sediaan


kedalam lubang sumuran

Gambar. Pembuatan media


Nutrient Agar (NA)

.
.

Gambar. Sterilisasi NA
Gambar. Penuangan campuran didalam autoclave
media dan suspensi bakteri
kedalam cawan petri

Gambar. Kontrol positif salep


herbal “Pusaka” (Curcuma D
Rizoma)
86

Gambar. Proses inkubasi


8. Hasil Pengujian Aktivitas Antbakteri
didalam oven 1 x 24 jam
Sediaan Salep Antjerawat Ekstrak Etanol
Beluntas (Pluchea indica L.) Terhadap Bakteri Propionibacterium acnes

Gambar.
Gambar. Replikasi
Replikasi3 sediaan salep
1 sediaan Gambar. Replikasi 2 sediaan
konsentrasi 5%, 10%,15%
salep konsentrasi 5%, 10%,15% salep konsentrasi 5%, 10%,15%
87

Gambar. Replikasi 1 kontrol (+)


dan kontrol (-)
88

Gambar. Replikasi 2 kontrol (+)


dan Gambar.
kontrol (-)
Replikasi 3 kontrol (+)
dan kontrol (-)

Lampiran 4. Analisis Data

1. UJI PH
Normalitas

Paired T-Test

2. DAYA SEBAR
89

Normalitas

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Sebelum Cycling .283 4 . .863 4 .272


Sesudah Cycling .283 4 . .863 4 .272

a. Lilliefors Significance Correction

Paired T-Test

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig.

Mean Std. Std. Error 95% Confidence Interval of (2-

Deviation Mean the Difference tailed

Lower Upper )

Sebelum
Cycling -
Pair 1 -.80000 .21602 .10801 -1.14374 -.45626 -7.407 3 .005
Sesudah
Cycling

3. DATA VISKOSITAS

Normalitas

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Sebelum Cycling .359 4 . .801 4 .104


Sesudah Cycling .326 4 . .860 4 .261

a. Lilliefors Significance Correction


90

Paired T-tes

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig. (2-

Mean Std. Std. Error 95% Confidence Interval tailed)

Deviation Mean of the Difference

Lower Upper

Sebelum
Cycling -
Pair 1 172.50000 63.07932 31.53966 72.12673 272.87327 5.469 3 .012
Sesudah
Cycling

5. Uji Daya Hambat

Normalitas

Tests of Normalitya

Formula Kolmogorov-Smirnovb Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Formula I .385 3 . .750 3 .000

Formula II .269 3 . .949 3 .567


Zona Hambat
Formula III .211 3 . .991 3 .817

Formula Kontrol Positif .337 3 . .855 3 .253

a. Zona Hambat is constant when Formula = Formula Kontrol Positif. It has been omitted.
91

b. Lilliefors Significance Correction

Homogenitas

Test of Homogeneity of Variances


Zona Hambat

Levene Statistic df1 df2 Sig.

3.425 4 10 .052

Anova

ANOVA
Zona Hambat

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 580.089 4 145.022 937.644 .000


Within Groups 1.547 10 .155
Total 581.636 14

Post Hoc

Multiple Comparisons
Dependent Variable: Zona Hambat
Tukey HSD

(I) Formula (J) Formula Mean Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
Difference (I-
Lower Bound Upper Bound
J)

Formula I -10.66667* .32111 .000 -11.7235 -9.6099

Formula II -13.63333* .32111 .000 -14.6901 -12.5765


Formula Kontrol
Positif
Formula III -16.13333* .32111 .000 -17.1901 -15.0765

Formula Kontrol Positif -17.36667* .32111 .000 -18.4235 -16.3099


92

Formula Kontrol Positif 10.66667* .32111 .000 9.6099 11.7235

Formula II -2.96667* .32111 .000 -4.0235 -1.9099


Formula I
Formula III -5.46667* .32111 .000 -6.5235 -4.4099

Formula Kontrol Positif -6.70000* .32111 .000 -7.7568 -5.6432

Formula Kontrol Positif 13.63333* .32111 .000 12.5765 14.6901

Formula I 2.96667* .32111 .000 1.9099 4.0235


Formula II
Formula III -2.50000* .32111 .000 -3.5568 -1.4432

Formula Kontrol Positif -3.73333* .32111 .000 -4.7901 -2.6765

Formula Kontrol Positif 16.13333* .32111 .000 15.0765 17.1901

Formula I 5.46667* .32111 .000 4.4099 6.5235


Formula III
Formula II 2.50000* .32111 .000 1.4432 3.5568

Formula Kontrol Positif -1.23333* .32111 .021 -2.2901 -.1765

Formula Kontrol Positif 17.36667* .32111 .000 16.3099 18.4235

Formula I 6.70000* .32111 .000 5.6432 7.7568


Formula Kontrol
Positif
Formula II 3.73333* .32111 .000 2.6765 4.7901

Formula III 1.23333* .32111 .021 .1765 2.2901

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Anda mungkin juga menyukai