Anda di halaman 1dari 5

PENEMUAN DAN PENAFSIRAN HUKUM

A. Penemuan Hukum
Menurut Sudikno Mertokusumo penemuan hukum dalam arti sempit adalah:
“suatu penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan
memutus suatu perkara”.

Penemuan hukum dalam arti luas, bahwa hakim bukan sekedar menerapkan
peraturan hukum yang sudah jelas dengan mencocokan kasus yang ditangani,
melainkan sudah lebih luas. Hakim dalam membuat keputusan sudah memperluas
makna sutu ketentuan undang-undang.

Beberapa pakar hukum memberikan gambaran jelas mengenai penemuan


hukum adalah sebagai berikut;
1. Van Eikema Hommes, menyatakan bahwa penemuan hukum lazimnya
diartikan ebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas
hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-
peristiwa konkret.
2. Paul Scholten. menyatakan bahwa penemuan hukum adalah sesuatu
yang ain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya.
Kadang-kadang dan bahkan sering terjadi peraturannya harus ditemukan
baik dengan jalan interpensi maupun dengan jalan analogi ataupun
rechtsvervijning.1

Ajaran tentang penemuan hukum ini menjawab pertanyaan mengenai


interpretasi atau penafsiran undang-undang, interpretasi restriktif atau ekstensif,
penyempitan hukum dan analogi.

Pada dasarnya setiap orang melakukan penemuan hukum. Setiap orang selalu
berhubungan dengan orang lain, hubungan diatur oleh hukum dan setiap orang akan
berusaha menemukan hukumnya untuk dirinya sendiri.Penemuan hukum terutama
dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Penemuan
hukum oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuwan hukumpun
mengadakan menemuan hukum. Penemuan hukum oleh hakim disebut hukum
sedangkan penemuan hukum oleh ilmuwan disebut doktrin.2

Dalam penemuan hukum ada yang disebut aliran progresif yaitu hukum dan
peradilan merupakan alat untuk perubahan sosial dan aliran konservatif yaitu hukum
dan peradilan hanyalah untuk mencegah kemrosotan moral dan nilai-nilai lain.3

1 Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada,2013) hlm. 165-166

2 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 2007) hlm. 163

3 Van Gerven dan Leijten, Theorie en praktijk van de rechtsvinding, hal.5,15


Di Indonesia penemuan hukum itu harus juga dilakukan, karena adanya asa
bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alas an hukumnya tidak ada,
di samping itu juga ada beberapa ketentuan yang dapat dijadikan alasan/dasar hukum
penemuan hukum di Indonesia. Dasar-dasar hukumnya adalah sebagai berikut;

1. Pasal 16 ayat (1) UU Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa, Pengadilan


tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkarabyang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
2. Pasal 28 UU Kekuasaan Kehakiman, bahwa hakim sebagai penegak
hukum wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup di dalam masyarakat. Hakim dalam menjatuhkan putusan wajib
memerhatikan dan menghormati nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
3. Untuk mengisi kekosongan hukum. Untuk suatu perkara yang tidak
ada aturannya, hakim tetap wajib untuk memeriksa dan memutus perkara
tersebut dengan menggunakan metode analogi terhadap suatu kasus yang
mirip dengan perkara yang diperiksa.

Dengan dasar hukum diatas, ada 3 dasar pemikiran untuk melakukan


penemuan hukum oleh hakim, yaitu:

1. Karena peraturan tidak ada, tetapi esesi perkaranya sama dengan suatu
peraturan lain sehingga dapat diterapkan pada perkara tersebut.
2. Peraturan memang ada, tetapi kurang jelas sehingga hakim perlu
menafsirkannya.
3. Peraturan juga sudah ada, tetapi sudh tidak sesuai lagi dengan kondisi
dan kebutuhan warga masyarakat.4

Penemuan hukum bisa dilakukan dengan dua metode yaitu metode interpretasi
atau penafsiran dan metode konstruktif.

a. Metode interpretasi atau penafsiran yaitu, metode penemuan hukum


yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang
agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa
tertentu. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui
makna undang-undang. Interpretasi adalah metode penemuan hukum
dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada
peristiwanya.
b. Metode konstruktif yaitu, metode penemuan hukum apabila dalam
mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara secara khusus
mengenai peristiwa yang terjadi.

B. MACAM-MACAM CARA PENAFSIRAN

4 Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada,2013) hlm.166-167
a. Dalam pengertian subyektif dan obyektif.
Dalam pengertian subyektif, apabila ditafsirkan seperti yang dikehendaki oleh
pembuat undang-undang
Dalam penfertian obyektif, apabila penafsirannya lepas daripada pendapat
pembuat undang-undang dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari.
b. Dalam pengertian sempit dan luas.
Dalam pengetian sempit (restriktif), yakni apabila dalil yang ditafsirkan diberi
pengertian sangat dibatasi misalnya mata uang (pasal 1756 KUHPer)
pengertiannya hanya uang logam saja dan barang diartikan benda yang dapat
dilihat dan diraba saja.
Dalam pengertian secara luas (ekstensif), ialah apabila dalil yang ditafsirkan
diberi pengertian seluas-luasnya.
Contoh:
- Pasal 1756 KUHPer alinea kedua tentang mata uang juga diartikan
uang kertas.
- Barang (pasal 362 KUHPer) yang dulu hanya diartikan benda dapat
dilihat dan diraba sekarang juga termasuk aliran listrik (Arret Hoge Raad
Belanda tanggal 23 Mei 1931)
Yang termasuk penafsiran dalam arti luas adalah penafsiran analogis.

Dilihat dari sumbernya penafsiran dapat bersifat:

- Otentik, yaitu penafsiran seperti yang diberikan oleh pembuat undang-


undang seperti yang dilampirkan pada undang-undang sebagai penjelas.
Penafsiran otentik mengikat umum
- Diktrinair atau ilmiah, yaitu penafsiran yang didapat dalam buku-buku
dan lain-lain hasil karya para ahli. Hakim tidak terikat karena penafsiran ini
hanya mempunyai nilai teoretis.
- Hakim, penafsiran yang bersumber dari hakim (peradilan) hanya
mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus
tertentu (pasal 1917 ayat (1) KUHPer)5

C. METODE PENAFSIRAN
1. Macam-macam metode penafsiran
Di dalam ilmu hukum metode penafsiran adalah penafsiran menurut:
a. Penafsiran tata bahasa (gramatikal), yaitu cara penafsiran berdasarkan
pada bunyi ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada arti perkataan-
perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam dalam kalimat-kalimat
yang dipakai oleh undang-undang yang dianut ialah semata-mata arti
perkataan menurut tatabahasa aatau menurut kebiasaan, yakni arti dalam
pemakaian sehari-hari.
b. Penafsiran sahih (autentik, resmi), ialah penafsiran yang pasti terhadap
arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh Pembuat Undang-Undang,
misalnya Pasal 98 KUHP: “malam” berarti waktu antara matahari terbenam

5 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika,2007) hlm. 97-98


dan matahari terbit; pasal 101 KUHP: “ternak” berarti hewan yang berkuku
satu, hewan memamah biak dan babi.
c. Penafsiran historis, yaitu:
- Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah
terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari
memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat
menyurat antara menteri dengan komisi DPR yang bersangkutan.
- Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentukan
undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu, misalnya didenda f
25,- sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonesia, sebab harga barang
lebih mendekati pada waktu KUHP itu dibuat.
d. Penafsiran sistematis (dogmatis) penafsiran menilik susunan yang
berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang
maupun dengan undang-undang yang lain misalnya “asas monogamy” tersebut
di pasal 27 KUHS menjadi dasar pasal-pasal 34, 60, 64, 86, KUHS dan 279
KUHS.
e. Penafsiran Nasional, ialah penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan
system hukum yang berlaku misalnya hak milik pasal 570 KUHS sekarang
harus ditafsirkan menurut hak milik system hukum Indonesia (Pancasila)
f. Penafsiran teleologis (sosiologi), yaitu penafsiran dengan mengingat
maksud dan tujuan undang-undang itu. Ini penting sebab kebutuhan-
kebutuhan berubah menurut masa sedabgkan bunyi undang-undang tetap sama
g. Penafsiran ekstensip, yaitu memberi tafsiran dengan memperluas arti
kata-kata peraturan tersebut sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkan.
h. Penafsiran restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi arti kata-kata
dalam peraturan tersebut.
i. Penafsiran analogis, yaitu memberi tafsiran pada sesuatu peraturan
hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan
asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat
dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.6
j. Penafsiran a Contrario, yaitu suatu cara penafsiran yang didasarkan
pada perlawanan pengertian antara soal-soal yang diatur dalam suatyu pasal
undang-undang.
Contoh:
- Pasal 34 KUHPer menyatakan bahwa, sesorang perempuan tidak boleh
kawin lagi sebelum lewat jangka waktu 300 hari sesudah perceraian dari
suami pertama.
Berdasarkan suatu argument a contrario (kebalikan) maka dapat dikatakan
bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku bagi seorang laki-laki sebab
dimungkinkan adanya kehamilan bekas istri dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, asas tersebut menjadi dasar kontruksi seorang laki-laki tidak dapat
hamil. Jadi, pasal 34 KUPer tidak berlaku bagi laki-laki.

6 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia


Dalam hukum islam juga dikenal dengan masa idah bagi istri tetapi berbeda
dengan pasal 34 KUHPer, yaitu hanya 3 kali suci (haid). Sehingga tak sampai
menunggu 300 hari.7

2. Penerapan metode-metode penafsiran


Pembuat undang-undang tidak mentapkan suatu system tertentu yang
harus dijadikan pedoman bagi hakim dalam menafsirkan undang-undan. Oleh
karenanya hakim bebas melakukan penafsiran hukum.
Dalam melaksanakan penafsiran peraturan perundang-undangan
pertama selalu dilakukan penafsiran gramatikal, karena pada hakikatnya untuk
memahami teks peraturan perundang-undangan harus dimengerti lebih dahulu
arti kata-katanyaa. Apabila perlu dilanjutkan dengan penafsiran otentik atau
penafsiran resmi yang ditafsirkan oleh pembuat undang-undang itu sendiri,
kemudian dilanjutkan dengan penafsiran historis dan sosiologis.
Sedapat mungkin semua metode penafsiran supaya dilakukan, agar
didapat makna-makna yang tepat. Apabila semua metode tersebut tidak
menghasilkan makna yang sama, maka wajib diambil mretode penafsiran yang
membawa keadilan setinggi-tingginya, karena memang keadilan itulah yang
dijadikan sasaran pembuat undang-undang pada waktu mewujudkan undang-
undang yang bersangkutan.8

7 Sutrisno, Memahami Selayang Pandang Ilmu Hukum (Semarang: UNNES PRESS, 2011) hlm. 105-
106

8 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafka, 2007) hlm. 99

Anda mungkin juga menyukai