Anda di halaman 1dari 20

1

I. ZAMAN KOMPENI

Kedatangan bangsa Belanda pada akhir abad ke-16 Masehi ke Indonesia adalah
dengan tujuan/maksud berdagang. Pada mulanya mereka adalah bagian dari pegawai dari
beberapa perseroan dagang partikelir, hingga pada tahun 1602 Masehi perseroan-perseoran
dagang terikat menjadi suatu badan dengan nama “Vereenigde Oost-Indische Compagnie”
(Perikatan Kompeni Hindia Timur), atau yang biasa disingkat dengan V.O.C. Pada tanggal
20 Maart tahun 1602 V.O.C. menerima hak (octrooi) untuk berdagang sendiri di Indonesia
dari Pemerintah negeri Belanda (Staten Generaal), serta hak-hak untuk mendirikan
benteng-benteng dan membuat perjanjian dengan Raja-raja Indonesia, oleh karenanya
V.O.C. mempunyai dua sifat:

1. Saudagar
2. Badan pemerintah, karena berhak mengurus susunan rumah tangganya sendiri serta
pengurusnya.

Pasal 35 dari octrooi tersebut diatas memberi kekuasaan pada V.O.C. untuk
mengangkat “Officieren van Justitie” (Pegawai Penuntut Pengadilan) untuk menjaga
ketertiban umum, kepolisian serta keadilan, badan ini menjadi hakim dalam hal perdata
maupun pidana berdasar atas perintah dari Pemerintah Tinggi Hindia (Hooge Regeering
van Indie) pada waktu pengangkatan Wali Negeri (Gouverneur General) yang pertama
serta Dewan Hindia Belanda (Raad van Indie) tanggal 27 November 1609. Petunjuk
pemerintahan menyebutkan bahwa Wali Negeri serta Dewan Hindia harus memutus
perkara dengan patut dan kejujuran hati sungguh-sungguh untuk kebaikan negeri serta
untuk keuntungan kompeni.

V.O.C. tidak mempunyai rancangan pekerjaan tatanegara dan tidak memerlukan


suatu teori tatanegara, tujuannya semata-mata hanya untuk memperoleh keuntungan
sebanyak-banyaknya. Ia mengadakan persatuan dagang untuk keuntungan sendiri yang
melarang perdagangan orang lain (monopoli) di kepulauan Indonesia, untuk menguatkan
persatuan dagang tersebut, V.O.C. membuat perjanjian-perjanjian dengan Raja-raja atau
orang-orang yang mempunyai kekuasaan di Indonesia.

V.O.C. seringkali terpaksa berperang melawan Portugis dan Spanyol, serta


melawan Raja-raja dengan senjata demi mencapai dan mempertahankan kedudukan
perdagangannya, daerah kekuasaannya pun semakin luas dengan perlawanan senjata
tersebut. Sifat ketatanegaraan V.O.C. semakin lama semakin nyata dengan mengakui
kedaulatannya atas daerah yang dikuasainya, akan tetapi hakekatnya V.O.C masih
berhaluan sebagai badan perniagaan, dan segala upaya yang telah dijalankannya sebagai
pemerintah semata-mata hanya dilakukan bila memang tidak merugikannya.

V.O.C. tidak akan memperdulikan dan mencampuri kehidupan (mundur majunya


kemakmuran) orang Indonesia, ia baru memperhatikan bila perhubungan mereka dengan
rakyat ini dapat mempengaruhi banyaknya bunga uang yang akan diterima, atau
kepentingannya atau kepentingan pegawainya yang memaksanya untuk campur tangan. B.
Schrieke menulis dalam karangannya “de Inlandse hoofden” (kepala-kepala anak negeri),
2

bahwa V.O.C. tinggal sebagai badan yang asing, yang sungguh-sungguh berada diluar
masyarakat jawa, serta sebenarnya V.O.C. serta masyarakat jawa tak meresap menjadi satu
dalam suatu susunan tatanegara.

Sikap V.O.C. Terhadap Hukum Adat

Peraturan kehakiman dizaman V.O.C. berbeda-beda antara tempat-tempat di pantai


laut yang dipergunakan sebagi pusat melakukan pemerintahan dengan daerah lain yang
masih masuk dalam kekuasaan V.O.C. Pada tempat pusat pemerintahan, untuk segala
golongan bangsa berlaku hukum Kompeni, yaitu hukum belanda yang terdiri dari hukum
(hukum barat) tatanegara, hukum seseorang (privaatrecht) dan hukum pidana. Diluar
tempat pusat pemerintahan, hukum adat tak tersentuh sedikitpun. Prof. Van Vollenhoven
(Guru Besar ilmu Hukum di Leiden) menamakan susunan ini sebagai suatu cara
mempersatukan yang sederhana, disamakan saja dengan oleh sebab sedikitpun orang tak
memikirkan tentang pemecahan soal ini dengan jalan yang lain, oleh sebab mereka
beranggapan sudah semestinya dalam suatu daerah yang dikuasai oleh V.O.C. bukan saja
susunannya (organisasi) akan tetapi juga hukum kompeni harus berlaku.

Susunan Pengadilan Dalam Zaman Pemerintahan V.O.C.

Setelah menaklukan Jakarta (daerah kekuasaan V.O.C. yang pertama), G. G. Jan


Pieterszoon Coen menetapkan batas-batas wilayah tersebut sebagai berikut:

1. Barat : sungai Cisadane;

2. Utara : pulau-pulau dilaut jawa;

3. Timur : sungai Citarum;

4. Selatan: laut (samudera) Hindia.

Pada prinsipnya, terhadap daerah-daerah yang dikuasainya ini, V.O.C. tidak mau mengakui
hukum yang lain, kecuali hukumnya sendiri. tidak ada perbedaan antara bangsa Indonesia
dengan bangsa Belanda dalam hal peraturan susunan pengadilan, keduanya termasuk di
dalam kekuasaan hukum badan-badan pengadilan Belanda yang bernama “Raad van
Justitie” dan “Schepenbank”. Coen telah menjalankan dasar yang isinya: “jika telah takluk
kebawah kedaulatan pemerintah (Belanda), maka pengadilan kepala anak negeri harus
diganti dengan pengadilan pegawai pemerintah belanda”.

Pada mulanya peraturan-peraturan hukum yang diberlakukan berdasarkan atas


hukum belanda tersebut dimuat di dalam berbagai plakkaten (pengumuman atau
maklumat) dan ordonnantien (undang-undang). Atas perintah G. G. Van Diemen
peraturan-peraturan tadi dihimpunkan di dalam suatu buku hukum (Wetboek), dijadikan
3

suatu codificatie yang bernama “ordonnantien en statuten van Batavia” (Peraturan tua
Kota Betawi) yang ditetapkan pada 5 Juli 1642 dan berisi peraturan perdata dan pidana.

Di dalam praktiknya hukum yang telah disebut diatas hanya dapat dijalankan di
kota Jakarta (Batavia) dan sekitarnya saja, karena hal-hal sebagai berikut:

1. Kesukaran dalam perhubungan lalu lintas;

2. Di dalam daerah yang dikuasai V.O.C. tidak terdapat jalan-jalan Raja yang menuju
kota Jakarta, sehingga orang-orang segan untuk menyerahkan perkaranya kepada
badan-badan pengadilan Belanda di Jakarta;

3. Kesukaran terhadap saksi-saksi yang harus dihadapkan di kota Jakarta.

Pada tahun 1677 Priangan bagian tengah (Bandung, Sumedang, Prakanmuncang)


jatuh ke tangan V.O.C., maka sesuai resolutie 31 Mei 1686, bahwa segala perkara pidana
yang terjadi di daerah itu, yaitu diluar lingkungan jawatan Jakarta, setelah dipermaklumkan
pada dan diperintahkan oleh Hoge Tafel (Badan Pengadilan Tinggi) ini dimajukan untuk
diperiksa pada Raad van Justitie, akan tetapi segala perkara perdata langsung dalam
pemeriksaan permulaan dimajukan pada Heeren Schepenen (Badan pengadilan untuk
perkara perdata). Akan tetapi resolutie tersebut hanyalah cita-cita belaka, resolutie tersebut
hanyalah memuat peraturan yang mati, oleh karena hal-hal yang disebutkan oleh De Haan,
yaitu: (1) besar luasnya lingkungan hukum yang baru dari pada badan-badan pengadilan
Jakarta, (2) susahnya alat lalu lintas, (3) sulitnya mengetahui bahasa saksi orang Sunda,
maka nyatalah kehendak untuk menjalankan pengadilan Kompeni juga ditanah Preager,
hampir sama cepat hilangnya seperti lahirnya.

Di dalam daerah yang termasuk di dalam lingkungan kekuasaan V.O.C., susunan


pengadilan V.O.C. untuk bangsa Indonesia berdasar atas hukum Belanda, akan tetapi
keadaan memaksa V.O.C. untuk membiarkan bangunan-bangunan asli yang telah ada, oleh
karena V.O.C. tak dapat menjalankan kemauannya di dalam praktik.

Gecommitteerde Tot En Over De Zaken Van Den Inlander (yang berkuasa dalam
perkara anak negeri)

Sejak berdirinya kota Jakarta, V.O.C. menetapkan agar supaya golongan-golongan


bangsa-bangsa bumiputera, jika kemudian disuruh tinggal dalam kampong-kampung yang
terpisah-pisah, dibawah pimpinan kepala-kepala sendiri-sendiri, yang biasanya diangkat
dari antara mereka, perkara-perkara yang kecil-kecil serta perkara pewarisan yang amat
sulit itu disuruh selesaikan oleh kepala-kepala itu menurut adat…(putusan kepala-kepala
disini, dapatlah bangsa Indonesia memninta perbandingan/pertimbangan dari Juru
Pengemukakan Belanda, yaitu juru perantaraan antara bangsa Indonesia serta G. G.)

Voordrager atau opziener atau luitenant atau conducteur voor den Inlander
menurut De Haan adalah prototype (rupa permulaan) dari Gecommitteerde. Voordrager
4

dalam pengadilan sipil (perdata), resolutie 1 oktober 1754 menetapkan, bahwa segala
perselisihan rumah tangga beserta juga perkara yang bersangkutan dengan agama dan yang
lain-lain serupa itu, yang selamanya diselesaikan olehya serta oleh kapitan bangsa
bumiputera dan lagi oleh kepala-kepala kampung dsb. Termasuk di dalam kekuasaan
hukum Gecommitteerde. Jadi, berdasar aturan tersebut Gegommitteerde menjalankan
pengadilan sipil dalam perkara-perkara kecil, dan dalam perkara yang berhubungan dengan
agama. Berdasar bunyi resolutie tersebut juga, maka kepala-kepala kampung tak lagi
mempunyai kekuasaan hukum.

Selaras dengan kekuasaan hukum voordrager di dalam pengadilan pidana,


Gecommitteerde menjabat jawatan (juga menjadi) hakim kepolisian; kekuasaannya dalam
jawatan ini yaitu mendenda hingga sejumlah empat real sejumlah delapan dan lagi
menghukum hingga seratus kali pukul.

Pengadilan yang dilakukan oleh Gecommitteerde hanyalah untuk orang-orang


Indonesia yang tinggal di kota Jakarta dan sekitarnya, namun Gecommitteerde memiliki
pengaruh-pengaruh besar terhadap daerah lain selain Jakarta, yaitu Priangan.

Keadaan memaksa V.O.C. untuk menyimpang yang menyebutkan bahwa antara


bangsa Indonesia dan Belanda diberlakukan hukum Belanda untuk daerah Jakarta dan
sekitarnya, sehingga kekuasaan hukum diberikan pada “Gecommitteerde tot en over de
zaken van den Inlander”.

Susunan Pengadilan di Daerah Priangan

Resolutie 31 Mei 1686 memperluaskan daerah kekuasaan hukum badan-badan


pengadilan di kota Jakarta dengan daerah yang jatuh di tangan V.O.C. pada tahun 1677
(Priangan bagian tengah termasuk di dalam daerah kekuasaan hukum badan-badan
pengadilan tadi), meskipun demikian resolutie 21 Desember 1708 menetapkan untuk
segenap Priangan (barat, tengah, dan timur) bahwa bupati-bupati beserta ombol-ombolnya
(yaitu pegawai-pegawai asli dibawah perintah bupati) akan tetap mengadili anak buahnya
bangsa Jawa dalam perkara sipil dan pidana, dan juga bangsa Bumiputera yang merantau
di dalam daerahnya dan berbuat kesalahan ditempat itu; pegawai-pegawai kita tak akan
campur tangan dengan mereka ditempat itu dan hanya mengamat-amati supaya segala
sesuatu yang diperlakukan menurut hukum serta adat Jawa, yang lebih setuju dengan tabiat
mereka itu.

Resolutie diatas menunjukkan dengan tegas, bahwa di dalam daerah ini pengadilan
asli masih berlaku. Isi resolutie ini sesuai dengan undang-undang Couper (Reglement van
Couper) dari tahun 1684, yaitu surat pengangkatan baru yang diberikan oleh V.O.C.
kepada bupati-bupati Priangan. Di dalamnya terdapat peraturan, bahwa bupati tadi akan
memerintah dan memimpin menurut hak-hak istimewa, hukum serta kebiasaan dari mereka
itu sendiri, dengan begitu dapat dikatakan bahwa dengan resolutie diatasn maka lenyaplah
kekuasaan hukum badan-badan pengadilan Belanda di kota Jakarta.
5

Resolutie tersebut tidak diberitahukan oleh V.O.C. kepada Raad van Justitie dan
Schepenen yang berakibat, badan-badan pengadilan tadi masihlah dapat memandang
Priangan sebagai daerah kekuasaan hukumnya dan dengan demikian timbullah
pertentangan didalam peraturan lapangan pengadilan. V.O.C. malah memperpanjangnya
dengan resolutie 8 April 1712 mengulangi pokok yang termaktub di dalam resolutie 1708,
yaitu bahwa kepala-kepala rakyat Priangan semenjak tahun 1677, ketika daerah-daerah ini
dibiarkan saja oleh susuhunan mataram karena tak berdaya…selalu memutus perkara
dengan sendirinya. Di lain sisi, resolutie 21 Maart 1766 mempertahankan kekuasaan
hukum Schepenen di dalam daerah Priangan, oleh karena di dalamnya terdapat peraturan,
bahwa sekarang segala perkara-perkara dari daerah hulu-hulu (Priangan) masuk dalam
kekuasaan jawatan Schepenen dari kota ini dan bahwa malah daerah-daerah yang lebih
jauh letaknya (dari sumedang) bukan saja dalam perkara sipil tetapi juga dalam perkara
pidana, masuk kekuasaan Schepenbank.

Pertentangan diatas mempunyai pengaruh besar terhadap pengadilan asli,


teristimewa terhadap pengadilan pidana. Gecommitteerde yang melingkungi segala urusan
mengenai bangsa Indonesia, membawa akibat bagi Gecommitteerde untuk campur tangan
dengan pengadilan asli. Pertentangan ini memberikan kesempatan kepada Gecommitteerde
untuk mengutamakan salah satu dari kedua peraturan itu menurut keperluan saat
(menentukan suatu perkara akan diadili oleh badan pengadilan Belanda di kota Jakarta atau
oleh badan pengadilan asli). Perkara-perkara yang menurut Gecommitterde cukup penting
akan dikirim ke Jakarta dengan pertimbangan kesukaran dengan beberapa hal, yaitu:

1. kesukaran untuk mendatangkan saksi-saksi ke Jakarta dan untuk menjalankan atau


menyuruh menjalankan keputusan hakim pada tempat kejahatan itu dilakukan,
oleh Schepenen, banyaknya seluk beluk pengadilan Schepenen;

2. Jika Gecommitterde menganggap bahwa surat-surat bukti yang diserahkan cukup


kekuatannya untuk memberi hukuman dengan keputusan hakim, barulah ia
menyerahkan si terdakwa pada Schepenen (jika tak terdapat bukti yang cukup,
maka Gecommitterde berikhtiar supaya mendapat keputusan administrasi dari
Pemerintah).

Priangan bagian timur berlaku resolutie 1708, disamping itu terdapat peraturan
istimewa tentang susunan pengadilan yang termuat di dalam instructie pada 22 Maart
1706, yang oleh V.O.C. diberikan kepada Pangeran Aria Cirebon. Namun, dalam instructie
tersebut terdapat aturan yang berlawanan dengan resolutie 1708. Dalam instructie
ditetapkan bahwa bupati-bupati di dalam daerah Priangan Timur harus melarang masuk
daerahnya lebih-lebih orang jahat dan perampok atau…Perwata…serta segala musuh dari
Kompeni dan kerajaan Cirebon, atau mencerahkan mereka itu hidup atau mati pada
Pangeran Cirebon atau pada Penguasa Kompeni di kota Cirebon; jika tidak demikian,
maka mereka sendiri akan dihukum dan dipecat dari jawatannya. Resolutie 1708
menentukan sebaliknya: …terhadap rakyatnya bangsa Jawa serta bangsa Indonesia yang
merantau yang berbuat jahat dalam daerahnya…
6

Mr. Idema di dalam karangannya Overzicht van de Indische Rechts en


Staatkundige Geschiedenis bahwa kompeni sedapat-dapatnya hanya campur tangan dalam
hal perkara pidana. Hal tersebut dikarenakan kepentingan V.O.C. yang membutuhkan
ketentraman umum di dalam masyarakat. V.O.C. tidak turut campur dalam hukum sipil,
karena hukum sipil umumnua hanya mengenai perhubungan antara seseorang atau
golongan satu dengan yang lain, tak mengenai kepentingan negeri, oleh karena itu perkara-
perkara sipil umumnya tak akan mengganggu kepentingan V.O.C. Pemerintah V.O.C.
terpaksa mengindahkan hukum adat sipil, oleh karena hukum tu yang diturut oleh rakyat
dalam kehidupannya sehari-hari. Hal tersebut dibuktikan dengan undang-undang V.O.C.
yang bernama Statuten van Batavia 1642 yang berbunyi: “Bagaimanapun juga bahwa
yang akan diperhatikan dan diturut yaitu berlakunya hukum Barat dalam hal perkara
pewarisan orang Kristen, orang Tionghoa dan orang yang beragama kuno serta orang Islam
(jadi kebanyakan bangsa Indonesia) tinggal tetap…pada kebiasaan serta adat tentang hal
itu, yang terpakai pada mereka”.

Dalam Pepakem Cirebon: hukuman pukulan, hukuman dengan cap bakar,


perantaian, yang nyata bahwa penetapan itu dialirkan dari hukum Kompeni. Sedangkan
sesungguhnya suatu kejahatan, berdasar hukum Jawa harus dihukum dengan denda akan
tetapi “sekarang” menurut pepakem dengan hukum badan.

Pada tahun 1705 timbullah banyak keraguan terhadap isi hukum yang berlaku di
dalam lapangan hukum waris, sebagai yang dibuktikan oleh memorie Chastelein. Memori
Chastelein ini mendorong V.O.C utuk mengadakan suatu compendium (kitab hukum)
tentang hak mewarisi dan pewarisan serta pencampuran harta benda antara laki-isteri dan
lagi perkawinan dalam kalangan bangsa Indonesia. Dengan Resolutie 1754 oleh G. G.
Mossel diberikan perintah kepada opsir-opsir serta kepala-kepala dari golongan bangsa
Indonesia agar supaya mereka menuliskan hukum sipil serta adat yang berlaku untuk
mereka dan menyerahkannya pada Gecommitteerde Freijer, yang menjadikannya suatu
karangan yang nyata, dibagi dalam bab dengan nama yang selaras dengan isinya untuk
menjadi peperangan pada Pemerintah. Setelah selesai Freijer dengan pembentukan buku
hukumnya, maka buah fikirannya dipertimbangkan kepada kapitan-kapitan orang
Indonesia serta penghulu-penghulu beserta ulama-ulama Islam, dan setelah diadakan
beberapa perubahan, maka diterimalah compendium Freijer tentang hukum Islam hal soal
kawin dan waris oleh pemerintah V.O.C. dalam tahun 1760. Tujuan daripada compendium
ini tak lain adalah untuk memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid).

Karena dalam praktik tidak sesuai dengan compendium tersebut, maka V.O.C.
menetapkan resolutie tanggal 12 Mei 1786 bahwa disini (Jakarta) selain dari pada jika
diizinkan oleh pemerintah, tak boleh dilakukan hukum Islam atau hukum Tionghoa. Surat
Boedelmeesteren (suatu badan yang mengurus warisan yang terlantar dari oranorang yang
tak beragama kristen) kepada pemerintah V.O.C. menerangkan bahwa:

1. Surat-surat wasiat orang Islam tidak jarang demikian rupanya, hingga bukan saja ia
menyimpang dari hukum negeri ini akan tetapi juga berlainan benar dari hukumnya
sendiri atau al Qur’an. Oleh karena itu dimajukan permohonan kepada pemerintah
7

V.O.C. supaya hukum mereka itu disahkan dan ditetapkan menurut itu
(Compendium Freijer), dan tentang hal ini diadakan suatu peraturan, yang memuat
bahwa mereka wajib berpegang teguh pada hukum mereka sendiri dalam hal itu.

2. Supaya dianjurkan pada notaris-notaris di kota ini, jika membuat surat wasiat untuk
orang yang bukan beragama Kristen, harus memperhatikan hal ini dengan teliti.

Resolutie 27 November 1804, pemerintah V.O.C mengabulkan permohonan tadi, dan


kepada notaries-notaris diperintahkan supaya jika orang Islam membuat surat wasiat, harus
memperhatikan dengan teliti penetapan wasiat itu jangan menyimpang dari hukum Islam,
jika hukum ini diakui pemerintah dan oleh sebab itu berlaku pada tempat ini.

Keberatan notarispun karena pada kenyataannya kebanyakan orang Islam yang


membuat wasiat dihadapannya tidak memilih untuk menggunakan pembagian menurut
hukum Islam ataupun sebagaimana yang diuraikan dalam Al Qur’an, maka dengan
resolutie 27 November 1804 dicabut oleh pemerintah V.O.C.

Disamping kitab hukum Freijer, terdapatlah kitab Mogharraer 1750, untuk


keperluan Pengadilan Negeri (Landraad) yang didirikan di Semarang (pendirian badan
pengadilan ini terjadi setelah Mataram menyerahkan Kabupaten pesisir sebelah Barat pada
V.O.C. tahun 1746, kabupaten pesisir sebelah timur telah diserahkan pada tahun 1743).
Hukum yang dipakai oleh Pengadilan Negeri di Semarang juga hukum adat, agar
Landraad mengetahui hukum adat tersebut, maka diadakanlah upaya compendia, hingga
akhirnya pada tahun 1750 lahirlah satu buku hukum yang disebutkan dengan nama lengkap
kitab hukum perihal hukum-hukum Jawa…(yang banyak dimuat dalam kitab ini adalah
hukum pidana Islam)

Kitab lain yang dibuat pada zaman V.O.C. ialah pepakem Tjerbon pada tahun 1758.
Pepakem ini mengumpulkan undang-undang hukum Jawa yang kuno seperti Raja Niscaya,
undang-undang Mataram. Jaya Lengkara, Kutara Manawa serta Adilulah, dalam praktik
kitab hukum ini sedikitpun tak terpakai karena tak selaras dengan hukum adat yang hidup
dalam masyarakat.

V.O.C. menganggap kedudukan hukum adat lebih rendah dibandingkan dengan


hukum Belanda, hal ini terbukti dengan resolutie 30 November 1747: “…bahwa bahkan
pengadilan ini berhak untuk mengadili perkara-perkara jika mungkin terjadi ada perkara-
perkara sipil atau pidana antara orang-orang Jawa, akan tetapi segala perkara yang
tercampur…antara orang Jawa dan Belanda…masihlah selamanya tinggal dalam
kekuasaan Raad van Justitie Semarang.
8

II. MASA PEMERINTAHAN G. G. DAENDELS

Pemandangan Umum

V.O.C. menemui ajalnya pada tanggal 1 Januari 1800, yang dianggap akibat dari
tergabungnya dua macam sifat V.O.C. sebagai badan perniagaan dan badan pemerintah.
Anggaran dasar tatanegara negeri Belanda 1798 menentukan bahwa octrooi V.O.C. jatuh
ke tangan negeri Belanda (Bataafsche Republiek), pemerintahan inilah yang akan
melakukan pemerintahan atas jajahan-jajahan V.O.C. dan terhadap daerah Indonesia
pmerintahan diserahkan kepada Sidang dari pada harta benda serta penempatan-
penempatan di Asia (Raad der Aziatische bezittingen en etablissementen) yang disingkat
Aziatische Raad.

Charter (regeeringsreglement) voor de Aziatische bezittingen van de Bataafsche


Republiek disahkan pemerintah Belanda pada 27 September 1804. Rancangan Charter
merupakan buah fikiran dari panitia yagn dilangsungkan pada 11 November 1802. Namun,
charter ini tidak dapat lanjut dilakukan karena penggantian susunan pemerintah di negeri
Belanda, yaitu susunan pemerintah Bataafsche Republiek dihapuskan dan diganti oleh
susunan pemerintah kerajaan (Koninkrijk Holand) dibawah Raja Lodewijk Napoleon.
Charter ini memiliki pengaruh besar bagi Daendels yang diangkat oleh Lodewijk
Napoleon tersebut sebagai G. G., pengaruh tersebut ialah sebagai berikut:

1. Di dalam instructie kepada Daendels, tanggal 9 Februari 1807, pasal 26 memuat: Ia


istimewa akan berikhtiar menyelidiki pada tempat-tempat itu…apakah peraturan
pemerintah yang diusulkan panitia itu dapat diambil semua atau sebagian sebagai
dasar undang-undang pemerintahan buat harta benda kita di Asia, apa harus pula
patut diadakan perobahan di dalamnya.

2. Daendels tak mempunyai pengalaman sedikitpun tentang urusan jajahan, di dalam


charter tersebut terdapat peraturan-peraturan lengkap dalam lapangan jajahan dan
dalamnya dijelmakan angan-angan masa itu. Daendels akan mempelajari dan
mencoba mamahami isi charter dan surat resmi (officiele stukken) yang
berhubungan dengan charter ini, misalnya instructie untuk G. G.

Susunan Pengadilan Pada Masa Pemerintahan Daendels

Pasal 86 charter 1804: Susunan pengadilan untuk bangsa bumiputera akan tetap
tinggal menurut hukum serta adat mereka. Pemerintah Hindia akan menjaga dengan alat-
alat yang pantas, supaya dalam daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah sedapat-
dapatnya tersapu segala perbuatan sewenang-wenang yang masuk dengan diam-diam, yang
berlawanan dengan hukum serta adat anak negeri; lagi pula diikhtiarkan supaya anak
negeri mendapat keadilan dengan cepat dan baik, dengan menambah jumlah banyaknya
pengadilan-pengadilan negeri atau pengadilan pembantu; kemudian ditentang segala
9

pengaruh yang buruk dari kekuasaan politik apapun juga. Mackay: “dalam penetapan
susunan anggota dari badan-badan pengadilan untuk orang bumiputera,nyata Daendels
memperhatikan apa yang dikemukakan oleh panitia dari tahun 1802…”

Kekuasaan hukum schepenen bertentangan dengan dasar yang termuat di dalam


pasal 86 charter 1804 karena:

1. Schepenen melakukan hukum Belanda, sedang pasal 86 menentukan bahwa bangsa


Indonesia akan diadili menurut hukum adat.

2. Daerah kekuasaan hukum Schepenen adalah paling luas. Menurut Daendels salah
satu dari kekecewaan susunan pengadilan V.O.C. adalah bahwa lingkungan
kekuasaan hukum terlalu luas, dan hal ini tak selaras dengan dasar-dasar charter
untuk mendapat keadilan dengan cepat.

Tanggal 15 Maart 1808 lingkungan kekuasaan hukum dari Schepenen dalam


pemeriksaan pertama ditetapkan terbatas pada lingkungan yang kecil disekeliling kota.
Terhadap daerah lingkungan (Ommelanden) kekuasaan hukum diserahkan kepada
Drossaard (diwaktu V.O.C. Drossaard adalah jaksa) yang akan melakukan pemeriksaan
pertama dalam perkara pidana serta sipil.

Di bawah Drossaard (yang kemudian diganti dengan nama Landdrost dengan


putusan tanggal 28 Grasmaand (April) 1810) terdapat Schouten yang berkewajiban untuk
menuntut segala orang jahat, menangkapnya dan jika perlu juga untuk mendapat
keterangan buat sementara, jika Drossaard tidak ada ditempatnya, asal saja jika telah ada
kemungkinan ia memberitahukannya kepada Drossaard. Dengan peraturan ini, maka
kekuasaan hukum Gecommitteerde di dalam daerah Ommelanden lenyap. Selanjutnya,
berdasar putusan Maart 1808 tersebut Gecommitteerde hanya akan menunjukkan
perhatiannya terhadap urusan pertanian serta kepolisian dalam Kabupaten daerah Jakarta
serta daerah Priangan.

Gecommitterde diganti nama menjadi Prefect dan nama ini ditukar pula dengan
Landdrost (oleh peraturan 28 Grasmmaand (April) 1810), dengan ini maka diadakanlah
persamaan tentang nama (titulatuur) untuk kepala-kepala pemerintah daerah (gewestelijke
bestuurshoofden) di Ommelanden (bekas drossard) dan di kabupaten daerah Jakarta serta
Priangan (bekas Gecommitterde). Prefect berlaku untuk seluruh Jawa, jadi pemerintah
daerah di Jawa Barat, Tengah, dan Timur diganti dengan Landdrost.

Terhadap daerah Priangan dengan putusan 8 Agustus 1808 diadakan Landgerecht


yang berpindah-pindah (Ambulant Landgerecht) yang terdiri dari Landdrost sebagai ketua
dan bupati, Hoogepriester (yaitu Hoofdpangoeloe) dan dua opzieners semuanya dari
kabupaten di dalam mana kejahatan terjadi dan perkara diperiksa. Badan pengadilan ini
hanya memutus perkara pidana, menurut pasal 10 dari aturan Ambulant Landgerecht,
badan pengadilan ini wajib untuk berlaku menurut serta adat bumiputera, yang hingga
waktu ini diikuti sebagai peraturan, jika menetapkan hukuman atas sesuatu kejahatan, dan
jika keadaan dapat dan boleh mengizinkannya.
10

Daendels berpahaman didasarkan pada pasal 86 dari Charter 1804, bahwa daerah
kekuasaan hukum yang luas akan menghalang-halangi pengadilan yang cepat dan baik,
untuk itu maka selanjutnya didirikanlah Landraad di Surabaya dan diserahkan padanya
daerah Landraad Semarang bagian timur. Susunan Landraad di Semarang dirubah sebagai
berikut: Pengadilan Negeri (Landraad) di Semarang terdiri atas anggota-anggota dari
Landgericht dan atas seorang bupati dari daerah Timur serta seorang bupati dari daerah
Barat.

Kekuasaan hukum Landraad ialah untuk memutuskan hukuman mati, yaitu


perampokan rumah-rumah agama, chianat, merusakkan kubur serta pembunuhan oleh
orang Jawa atas orang Jawa yang lain. Kejahatan dari pada bupati-bupati, jaksa, keluarga
mereka serta penduduk terkemuka yang lain, diputus dalam sidang Landraad ini juga.

Di dalam tiap-tiap kabupaten (Jawa tengah dan Jawa Timur) didirikan suatu
Vredegericht terdiri dari bupati, beberapa pegawai-pegawai dibawahnya dan penghulu.
Vredegericht mengadili perkara-perkara kecil yaitu dalam perselisihan perkara
perkawinan, penganiayaan, tak membayar hutang, dsb. dengan kesempatan meminta
banding pada landgerichten.

Daendels menentukan bahwa jika orang-orang yang tidak asli (tidak lahir di tanah
Jawa) melakukan kejahatan, maka Raad van Justitie lah yang berhak mengadili. Raad van
Justitie juga akan mengadili kejahatan-kejahatan yang melanggat ketentraman umum.

Daendels menetapkan melalui putusan tertanggal 28 September 1808, bahwa


kejahatan perampasan dan pembakaran, bersama-sama, dan juga pembakaran, dengan
sendirian dilakukan, dalam lingkungan jawatan bekas pemerintahan daerah pantai laut
Jawa, pada masa yang akan datang akan diperiksa dan diputus di Semarang dan di
Surabaya oleh suatu panitia yang anggota-anggotanya istimewa diangkat dari Raad-raad
van Justitie daerah itu, dibantu oleh Fiscaal, dan pada daerah prefecture yang lain oleh
prefect serta anggota-anggota yang lain dari Landgerecht.

Merajalelanya kejahatan-kejahatan diatas dapat dijelaskan melalui consideran dari


putusan Daendels saat membentuk Pengadilan istimewa tersebut, yaitu dikarenakan
kejahatan-kejahatan tersebut tidak diancam dengan hukuman pada saat pemerintahan
V.O.C.

Beberapa kekecewaan terhadap beracara Pengadilan Landraad Semarang


diantaranya adalah jika orang yang menjadi korban atau keluarga dari korban itu, tak boleh
meminta keadilan ataupun belum cukup umur untuk memintanya menurut hukum. Atas
kekecewaan ini Daendels memutuskan bahwa jika menurut adat, seorang penjahat ditarik
dari pada hukum yang semestinya ditanggungnya, yaitu dalam keadaan-keadaan jika orang
yang menjadi korban atau keluarga si korban tak boleh meminta keadilan ataupun belum
cukup umur untuk melakukan, demikian menurut hukum Jawa, maka fiscal pada Landraad
di Semarang dan Surabaya dan pada Landgerecht prefecture-prefecture tanah Jawa,
berkewajiban meminta keadilan atas nama pemerintah tinggi.
11

Pada masa pemerintahan V.O.C tersebut penduduk takut dengan pengaduannya


untuk menerima pembalasan dendam dari yang diadukan jika orang tersebut bebas kembali
atau dari keluarganya.

Hukum yang Dilakukan di Waktu Pemerintahan Daendels

Pada masa Daendels, hukum adat akan diperlakukan untuk bangsa Indonesia, hanya
hukum adat haruslah tidak dipakaikan jika hukum ini berlawanan dengan perintah yang
diberi kemudian atau perintah umum ataupun bertentangan dengan dasar-dasar utama dari
keadilan dan kepatutan ataupun jika oleh karenannya dalam perkara hukum siksa tak
tercapai kepentingan yang besar dari keamanan umum. hukum. Hukum adat akan tak akan
diberlakukan bila:

1. Jika oleh karena itu, sipenjahat dapat menarik diri dari hukumannya; oleh sebab itu
keadilan harus dituntut atas nama pemerintah jika hal ini tak dilakukan atau tak
dapat dilakukan oleh orang biasa;

2. Jika hukuman yang ditetapkan dalam hukum itu tidak sebanding dengan kejahatan
itu ataulpun tak cukup untuk menjaga keamanan umum; dalam hal ini pengadilan
harus menetapkan hukuman menurut keadaan perkara;

3. Jika menurut acara yang terdapat dalam hukum itu tak mungkin terdapat bukti atau
keinsyafan hakim; maka pengadilan diberi kuasa untuk menambah perbaikan dalam
acara perkara bumiputera menurut pemufakatan dan menurut contoh dari hukum
umum serta praktik, jika ia mungkin dilakukan.

Juga ditentukan bahwa pada masa yang akan datang pada Landraad-landraad serta
Landgerechten di Jawa tak boleh dipakai hukuman-hukuman yang berat dan hukuman
badan selain dari pada dibakar, ditikam dengan keris, dicap dengan bakar, dirantai,
hukuman bekerja pada perkerjaan negeri.

Daendels tidak membuat perubahan yang penting dalam hukum penduduk yang
berasal dari Negeri Belanda, dan juga tidak dalam hukum anak negeri. Segala hukum
penduduk tetap tinggal seperti sedia kala dan umumnya dilakukan untuk bangsa
bumiputera hukumnya sendiri serta acara hukum yang biasa dipakainya, akan tetapi dalam
menurut keadilan perkara pidana tak akan diperlakukan lagi dakwa orang yang menjadi
korban atau keluarganya yang diharuskan oleh hukum Jawa. Dalam hal ini orang boleh
menyimpang (dalam praktik tuntutan dilakukan oleh badan-badan pengadilan). Banyak
keberatan dan sangkalan dari pegawai bangsa Indonesia yang dibuktikan oleh De Haan
dengan peristiwa, diantaranya Jaksa menolak untuk mengadakan tuntutan, sebab seorang
anggota dari keluarga siterbunuh masih belum sampai umur. Dari putusan-putusan
Daendels hampir semua mengenai hukum adat pidana, hal ini tak lain karena perubahan-
perubahan tersebut ditujukan pada kepastian ketertiban umum.
12

Daendels menganggap bahwa hukum asli dipulau Jawa terdiri atas hukum Islam.
Van Vollenhoven: pada kira-kira tahun 1800 diantara bangsa Sunda sendiri seperti ada
timbul perjuangan hebat untuk mengecilkan arti hukum penduduk asli untuk keperluan
hukum agama…dan dalam tahun 1807, 1808, dan 1809 pegawai-pegawai tinggi dari
pemerintah juga banyak mengeluarkan fikirannya tentang hukm anak negeri seperti hukum
itu sama saja dengan hukum Islam atau dengna peraturan dari Qur’an.
13

BAB III

MASA PEMERINTAHAN INGGRIS: LUITENANT-GOUVERNEUR THOMAS


STAMFORD RAFFLES

Kekecewaan terhadap pemerintahan Daendels di dalam lapangan keuangan serta


tindakan sewenang-wenang terhadap penduduk negeri menyebabkan digantikannya
Daendels dengan Jenderal Wilhem Janssens sebagai G. G. yang penyerahan kekuasaan
dilakukan pada 16 Mei 1811. G. G Janssens menghadapi masalah yang genting saat
pemerintahannya karrena ancaman bahaya penaklukan (verovering) dari fihak Inggris.

Sejak tahun 1807 Lord Minto (wali negeri Inggris di India) mengadakan persiapan
expeditie kepulau Jawa, dengan tangan kanannya Thomas Stamford Raffles (pegawai
Oost-Indische Compagnie) yang diangkat sebagai politiek-agent untuk melakukan
penyelidikan-penyelidiakan dengan maksud mengumpulkan bahan-bahan yang berguna
untuk tercapainya maksud menaklukan pulau Jawa, khususnya berkenaan dengan tabiat
penduduk.

Hasil dari penyelidikan tersebut, ditulis dalam beberapa memories yang


disampaikan kepada Lord Minto, diantaranya bahwa daya pemerintahan yang murah hati
dan sabar terhadap anak negeri, agar mereka terikat hatinya kepada pemerintahan Inggris,
dan pengaruh Inggris harus diperkuat benar dikepulauan itu, agar Inggris tetap kuat
kedudukannya disana, walaupun mungkin jajahan ini dikembalikan jika perdamaian Eropa
telah tercapai. Usul ini mendapat persetujuan, Mei 1811 berangkatlah expeditie Inggris dari
Malaka dengan dikepalai Lord Minto sendiri. Pada tanggal 18 September telah menyerah
Belanda dengan capitulatie yang ditandatangani oleh G. G. Janssens di Salatiga.

Sebelumnya, 11 September 1811 telah diumumkan proclamatie yang memuat


dasar-dasar dari pemerintahan baru, yang akan dilangsungkan oleh fihak Inggris, pada
tanggal ini juga diumumkan pengangkatan Raffles sebagai Luitenant-Gouverneur, dalam
proklamasi ini tergambar pengaruh usul Raffles untuk melakukan politik murah hati dan
sabar (eene milde, verzoenende politiek). Untuk memenuhi hal-hal yang termuat di dalam
proclamaties, Raffles membentuk panitia yang dikepalai colonel Mackenzie untuk
mengadakan penyelidikan atas masyarakat Indonesia di pulau Jawa (hasilnya akan
digunakan dasar untk melakukan perubahan-perubahan).

Sifat-Sifat Politik Raffles

Muntinghe (tangan kanan Raffles dalam membentuk pemerintahan baru) menulis


tentang Raffles “bahwa segala perbuatannya bermaksud untuk memperkuat dan
memperluaskan kekuasaan Barat dan menolak segala pengaruh yang berbahaya atau
merugikan dari pemerintahan Islam (yang dimaksud disini adalah kepala-kepala bangsa
Indonesia (volkshoofden), terutama bupati-bupati); kekuasaan Barat harus dihubungkan
14

langsung dengan rakyat jelata. Raffles hendak menghubungkan badan pemerintahan yang
terdiri dari orang Barat dengan penduduk dengan jalan melangkahi kepala-kepala anak
negeri. Kehendak ini dipengaruhi oleh aliran-aliran fikiran yang berdasar kemanusiaan
yang semenjak akhir abad ke-18 berkembang di Eropa.

Perasaan nasionalisme Raffles yang keterlaluan hingga Raffles menutup mata


memandang segala bangunan-bangunan yang terdapat didalam masyarakat Inggris, dan
susunan-susunan yang dilangsungkan oleh bangsa Inggris di dalam jajahannya. Di dalam
pemerintahan baru, Raffles melihat segala hal dengan kaca mata hukum Inggris.

Raffles adalah orang yang banyak berteori dalam berbagai rupa, bahkan seringkali
menentangi maksud panitia-Mackenzie, hal ini menyebabkan peraturan yang dibuat
Raffles kebanyakan tak bersandar pada keadaan yang nyata di masyarakat, akibatnya
peraturan-peraturan tadi hanyalah sebagai peraturan di atas kertas yang tak berlaku (doode
letter).

Susunan Pengadilan di Waktu Pemerintahan Inggris

Perubahan berkenaan dengan susunan pengadialn bangsa Indonesia, dimuat dalam


maklumat (proclamatie) tanggal 21 Januari 1812, juga instructie yang bertalian dengan
proclamatie yang dihimpunkan dalam Code of Provisional Regulations for the Judicial and
Police Departements at Batavia, Semarang and Surabaya.

I. Susunan pengadilan untk bangsa Indonesia di dalam stad en ommelanden:

a. Di dalam masing-masing tiga kota di atas dilangsungkan Court of Justice untuk


perkara sipil dan criminal (Raad van Justitie pada masa Daendels), di Batavia
badan peradilan ini berlaku juga sebagai Supreme Court of Justice terhadap
Court of Justice yang lain, yaitu sebagai badan pengadilan yang lain yang
memeriksa perkara perbandingan.

b. Di tiap-tiap kota didirikan badan-badan pengadilan yang dibentuk semacam


Court of request for small debts Inggris untuk mengadili perkara-perkara sipil
yang kecil.

c. Disamping Court of Justice dibentuklah badan-badan pengadilan yang


dilakukan oleh Magistrate di masing-masing kota, magistratuur mempunyai
kekuasaan kepolisian (politioneele Jurisdictie), pengadilan tentang perkara
pelanggaran-pelanggaran kecil (politiezaken).

d. Pada court of Justice di dalam perkara pidana diadakan Jury yang terdiri atas
12 orang Eropa, yang dipillih oleh magistrate, yang bertugas menimbang
keadaan kejadian-kejadian.
15

II. Susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia di desa-desa (ten plattelande), di


dalam daerah ini diadakan tiga macam pengadilan

a. Landdrost’s Courts (Resident Court), merupakan kelanjutan dari


Landgerichten di masa Daendels.

b. Landdrost sebagai magistrate mempunyai kekuasaan untuk melakukan


hakim kepolisian …untuk segala bangsa.

c. Perkara pidana yang tak masuk di dalam politiezaken diadili oleh Court of
Circuit (ommegaande rechtbanken= pengadilan yang berpindah-pindah),
merupakan kelanjutan Ambulant Landgericht.

11 Februari 1814 raffles mengumumkan proclamatie yang memuati Regulations for


the more effectual administration of justice in the provincial court of Java, yang terdiri dari
173 pasal. Dasar dari peraturan tersebut adalah perluasan kekuasan magistrates atas
kepala-kepala rakyat Indonesia, dan untuk memudahkan pengawasan resident maka antara
pegawai-pegawai Eropa dan pegawai-pegawai asli diadakan susunan pegawai yang
bertingkat-tingkat (Ambtelijke hierarchie). Susunan pengadilan yang dilangsungkan oleh
Raffles pada 1814 adalah sebagai berikut:

1. Division’s court, yang mengadili pelanggaran-pelanggaran kecil, dan perkara sipil


yang tak melebihi 20 ropyen, dan tentang perkara sipil adalah kesempatan untuk
appel pada Bopati Court.

2. District Court atau Bopati’s Court, hanya memiliki kekuasaan di dalam lapangan
sipil, merupakan kelanjutan dari vedegericht pemerintahan Daendels.

3. Resident Court, adapun kekuasaannya adalah sebagai berikut:

a. Memutus perkara pidana yang tak diperkuatkan dengan ancaman hukuman


mati, dan yang tak termasuk didalam kekuasaan hukum division’s court.

b. Perkara sipil yang melebihi 50 ropy, dan tentang perkara ini ada kesempatan
untuk naik appel pada luitenant-gouverneur.

c. Mengadili di dalam tingkatan kedua perkara sipil pada bopati’s Court.

d. Court of Circuit:

1) hanya mengadili perkara kejahatan yang diancam dengan hukuman


mati

2) hanya satu hakim yang melakukan pekerjaan court of circuit

3) jury tak lagi terdiri dari orang-orang Eropa, akan tetapi orang-orang
Indonesia
16

Raffles bependapat bahwa hanyalah hukum adat yang selaras dengan kepentingan
bangsa Indonesia, hukum adat diberlakukan dengan syarat tak boleh bertentangan dengan
the universal and acknowledged principles of natural justice atau dengan the
acknowledged principles of substantial justice.

Peraturan Raffles yang mengenai berlakunya hukum adat pidana didalam praktik
menimbulkan pengadilan sewenang-wenang. De Haan menunjukkan bagaimana besar
keberatannya orang Jawa terhadap hukum pidana yang dimasukkan oleh orang Inggris
dalam pengadilan. Pada tanggal 30 Maart 1829 Nic. Engelhard menulis pada De Kock,
bahwa Diponegoro hanya hendak mengadakan pembicaraan, jika di daerah-daerah
kerajaan Jawa Tengah dilakukan kembali hukum pidana yang berlaku sebelum tahun 1811.

Raffles mengira bahwa hukum adat tak lain adalah hukum Islam. Raffles sangat
mencela peraturan dalam pemerintahan Belanda yaitu Daendels yang mengesahkan
hukuman seperti membakar hidup-hidup, serta menikam dengan keris, dari sini dapat
disimpulkan bahwa Raffles menganggap hukum adat tak mempunyai derajat yang setinggi
derajat Eropa, hukum adat dianggap baik untuk bangsa Indonesia, akan tetapi tak patut jika
diperlakukan atas orang Eropa.
17

BAB IV

MASA 1816-1848

Menurut perjanjian yang ditetapkan pada Conventie di London antara negeri


Inggris dan Belanda, tanggal 13 Agustus 1814, maka semua jajahan Belanda diwaktu
perang kedua negara ini yang sebelumnya diduduki oleh Inggris, kecuali Kaap de Goede
Hoop, Demarary, Essequebo dan Berbice, akan dikembalikan kepada negeri Belanda.

Untuk melaksanakan perjanjian tersebut diangkatlah tiga Commissarissen-General,


Mr C. Th. Elout, G.A.G. Ph. Baron van der Capellen dan A.A. Buyskes, sebagai pedoman
dan dasar kekuasaan kepada tiga pembesar tersebut diberikanlah suatu Undang-undang
tentang kebijaksanaan pemerintah, susunan pengadilan, pertanian dan perdagangan dalam
daerah jajahan di Asia yang ditetapkan pada tanggal 3 Januari 1815. Dalam instructie 3
januari tersebut diberikanlah juga perintah istimewa yang merupakan perintah tambahan
pada 23 September 1815 (menjalankan kekuasaan tinggi Hindia Belanda).

Luitenant Gouverneur John Fendall (pengganti Raffles) berhenti dari jabatannya


dengan dikeluarkannya proclamatie tanggal 19 Agustus 1816, yang diantaranya berisi
tentang:

1. Diberikannya kekuasaan atas nama raja Belanda untuk melakukan kekuasaan


tinggi, mengatur dan menjalankan pemerintahan dalam segala bagian-bagiannya.

2. Untuk mempertahankan (gehandhaafd) peraturan-peraturan pemerintah Inggris


sementara waktu. (perintah untuk mempertahankan juga dapat dilihat pada pasal 25
instructie 3 Januari 1815)

Terhadap lapangan kehakiman Commissarissen-General berpendapat, bahwa ia


akan mungkinlah dengan segera mengadakan perubahan-perubahan yang pasti tetap
(definitif). Namun, karena pemerintah-agung di negeri Belanda baru sibuk berdaya-upaya
untuk memenuhi pasal 100 Ned. Grondwet yang berbunyi: “akan diadakan suatu kitab
undang-undang umum, tentang hukum sipil, hukum pidana tentang perdagangan, serta
tentang susunan pengadilan dan acara perkara” belum terselesaikan, maka
Commissaressen-General berpendapat lebih baik menunggu peraturan yang akan diadakan
dinegeri Belanda.

Pada tanggal 11 Februari 1817 dibentuklah suatu panitia, yang terdiri dari tiga ahli
hukum, yaitu Mr H.W. Muntinghe, Mr P.S. Maurisse dan Mr P. Merkus, dengan kewajiban
untuk membuat rancangan tentang susunan pengadilan serta kepolisian. Berdasar atas
rancangan panitia tersebut yang selesai pada 30 Oktober 1817, maka oleh Commissarissen-
General diadakan beberapa aturan didalam lapangan “justitie”, yang semuanya
diumumkan dengan putusan 10 Januari 1819 no 6, Stbl. 1819 no 20. Perubahan-perubahan
peraturan tentang acara perkara sipil dan pidana untuk sementara waktu bertujuan:
18

1. Agar acara menjadi lebih singkat;

2. Lebih banyak jaminan tentang kemerdekaan diri dan jaminan menentang perbuatan
sewenang-wenang.

Maksud Commissarissen-General ialah untuk melanjutkan peraturan-peraturan


Inggris dengan sendi-sendinya, hanya dengan perubahan-perubahan yang dianggap perlu
(dapat dilihat pada considerans Stbl. 1819 no 20). “Bahwa setelah kekuasaan Belanda
ditanam kembali, amak Commissarissen-General menjaga sedapat-dapatnya supaya
berpegang teguh pada peraturan yang ada, dan hanya membuat peraturan yagn penting-
penting untuk sementara waktu, dalam menunggu ketetapan dari undang-undang baru
tentang susunan pengadilan dinegeri Belanda” (Encyclopedie van Ned-Indie).

Susunan Pengadilan untuk Bangsa Indonesia Ten Platten Lande (diluar kota-kota
besar)

Commissarissen yang melanjutkan susunan pengadilan yang dilangsungkan oleh


Raffles juga memiliki empat macam badan peradilan untuk bangsa Indonesia ten platen
lande, yaitu:

1. Districtsgerechten, yaitu kehakiman district (kelanjutan dari Division’s Court),


hanya berhak untuk memberikan pertimbangan.

2. Regentschapsraden, yaitu pengadilan bupati (kelanjutan dari Bopati’s atau District


Court), sesuai dengan peraturan Raffles, pengadilan ini hanya memiliki kekuasan
hukum dalam lapangan pengadilan sipil (pasal 55 tentang perkara-perkara yang
jumlahnya diperkirakan tak kurang dari f 20 dan tak lebih dari f 50). Terhadap
semua putusan dari badan pengadilan ini ada kesempatan untuk naik appel
(banding) pada Landraden (pasal 67).

3. Landraden, yaitu Landraad-pengadilan negeri (kelanjutan dari Resident’s Court),


pengadilan ini berwenang mengadili:

a. Pidana: segala kejahatan yang dilakukan oleh bumiputera, orang Cina dan
bangsa-bangsa yang lain yang masuk bangsa Hindia, kecuali kejahatan-
kejahatan yang termasuk didalam kekuasaan hukum pengadilan yang
berpindah-pindah.

b. Sipil:

1) segala perselisihan yang jumlah harganya lebih dari f 50 diantara


orang bumiputera

2) perkara-perkara yang di dalamnya tersangkur seorang bumiputera


maupun sebagai yang dituntut maupun sebagai penuntut, dan
biarpun pihak yang lain seorang Eropa, Cina atau bangsa asing yang
19

lain; jika jumlah yang diperkarakan lebih dari jumlah tersebut, maka
yang dituntut bangsa bumiputra akan diadukan pada Landraad, akan
tetapi bangsa Asing diadukan pada Raad van Justitie.

4. Ommegaande Rechtbanken, yaitu pengadilan berpindah-pindah (kelanjutan dari


Court of Circuit), hanya mengadili perkara pidana yaitu kejahatan-kejahatan besar,
dalam susunan pengadilan ini tak ada lagi jury.

Susunan Pengadilan untuk Bangsa Indonesia di Dalam Kota dan Sekitarnya (Stad en
Voorstenden) Batavia, Semarang, dan Surabaya

Hingga tahun 1848 susunan pengadilan yang diadakan oleh Commissarissen-


General pada garis besarnya tetap, perubahan-perubahan setelah Commissarissen-General
meletakkan jabatannya dan digantikan oleh G. G. Van der Capellen adalah sebagai berikut:

1. Perbedaan antara susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia pada satu pihak
dikota-kota Batavia, Semarang dan Surabaya, pada lain pihak di daerah-daerah luar
kota itu, dihilangkan dengan publicatie tertanggal 27 Januari 1824, Stbl. 1824 no 4
dari G. G. tersebut (G. G. dari 1819-1824), dengan peraturan ini, maka hukum adat
bangsa Indonesia ditiga kota tersebut diakui kembali.

2. Oleh Commissaris-Generaal Du Bus de Gisignies (1826-1830) dengan putusan


tertanggal 8 Oktober 1829, Stbl. 1829 no 98, ditentukan bahwa dimasa yang akan
datang, maka untuk sementara waktu, bupati-bupati serta kepala-kepala anak negeri
yang lain, sebelum diadakan peraturan yang tetap, akan diadili oleh Raad van
Justitie dari ketiga daerah Semarang, Jakarta dan Surabaya, dalam perkara sipil dan
pidana untuk pemeriksaan pertama kali, dan jika dalam perkara sipil mereka boleh
meminta perbadingan (appel) pada Hooggrechtshof.

Commissarissen-General di dalam Reglement enz. 1819 diadakan aturan yang


bermaksud untuk melenyapkan kekecewaan yang melekat pada hukuman menurut hukum
adat pidana, yaitu pasal 120 yang berbunyi sebagai berikut: hukuman yang kejam dan
hukuman yang mencacati badan, tak boleh dijatuhkan, dan jika kepala jaksa serta kepala
penghulu menasihatkan supaya hukuman tersebut dilakukan, maka Residen harus
memberitahukan larangan yang diperintahkan itu pada mereka.
20

Berhubungan dengan politik pemerintah pada saat itu tentang hak tanah (agrarische
politiek) pemerintah Belanda membutuhkan tenaga untuk kepentingan tempat perpusatan
pertanian, maka oleh Commissaris-General Du bus de Gisignies dengan Stbl. 1828 no 16
dipermaklumkan peraturan yang mengenai hukuman kerja paksa (dwangarbeid), yang
hanya berlaku untuk bangsa Indonesia. Orang-orang Indonesia yang dihukum dengan
hukuman kerja paksa (veroordeeleden tot dwangabeid), dibagi di dalam dua golongan,
yaitu:

1. Golongan orang-orang hukuman perantaian (veroordeelden tot Kettingarbeid),


dipekerjakan pada pekerjaan negeri (openbare weken) di Jakarta dan di Surabaya.
Tempat hukuman disebut dengan tuchtplaatsen.

2. Golongan orang-orang hukuman kerja pakasa, dengan diberi makan tak memakai
upah atau memakai upah, dipergunakan untuk member tenaga kepada tempat
perpusatan pertanian (landbouwetablissementen) yang diusahakan oleh pemerintah,
jika hukuman yang dijatuhkan lebih dari satu tahun, dan terhadap daerah diluar
pulau Jawa, jika keputusan hakim juga memuat hukuman dibuang diluar daerah
yang didiami (bannissement=verbanning). Tempat hukuman disebut dengan
werkplaatsen.

Menurut peraturan tertanggal 21 Agustus 1828, Stbl. No 62 yang diumumkan Du


Bus, hukuman kerja paksa dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Hukuman kerja paksa dengan rantai disertai hukuman pembuangan diluar daerah
Jawa dan Madura;

2. Hukuman kerja paksa dengan rantai disuatu tempat dipulau Jawa, yang ditunjukkan
oleh pemerintah;

3. Hukuman kerja paksa dengan memakai upah atau tidak, disertai dengan hukuman
buangan diluar daerah Jawa dan Madura;

4. Hukuman kerja paksa dengan memakai upah atau tidak, disuatu tempat dipulau
Jawa, yang ditunjukkan pemerintah;

5. Hukuman buangan diluar daerah pulau Jawa untuk orang-orang Indonesia yang
ternama.

Anda mungkin juga menyukai