I. ZAMAN KOMPENI
Kedatangan bangsa Belanda pada akhir abad ke-16 Masehi ke Indonesia adalah
dengan tujuan/maksud berdagang. Pada mulanya mereka adalah bagian dari pegawai dari
beberapa perseroan dagang partikelir, hingga pada tahun 1602 Masehi perseroan-perseoran
dagang terikat menjadi suatu badan dengan nama “Vereenigde Oost-Indische Compagnie”
(Perikatan Kompeni Hindia Timur), atau yang biasa disingkat dengan V.O.C. Pada tanggal
20 Maart tahun 1602 V.O.C. menerima hak (octrooi) untuk berdagang sendiri di Indonesia
dari Pemerintah negeri Belanda (Staten Generaal), serta hak-hak untuk mendirikan
benteng-benteng dan membuat perjanjian dengan Raja-raja Indonesia, oleh karenanya
V.O.C. mempunyai dua sifat:
1. Saudagar
2. Badan pemerintah, karena berhak mengurus susunan rumah tangganya sendiri serta
pengurusnya.
Pasal 35 dari octrooi tersebut diatas memberi kekuasaan pada V.O.C. untuk
mengangkat “Officieren van Justitie” (Pegawai Penuntut Pengadilan) untuk menjaga
ketertiban umum, kepolisian serta keadilan, badan ini menjadi hakim dalam hal perdata
maupun pidana berdasar atas perintah dari Pemerintah Tinggi Hindia (Hooge Regeering
van Indie) pada waktu pengangkatan Wali Negeri (Gouverneur General) yang pertama
serta Dewan Hindia Belanda (Raad van Indie) tanggal 27 November 1609. Petunjuk
pemerintahan menyebutkan bahwa Wali Negeri serta Dewan Hindia harus memutus
perkara dengan patut dan kejujuran hati sungguh-sungguh untuk kebaikan negeri serta
untuk keuntungan kompeni.
bahwa V.O.C. tinggal sebagai badan yang asing, yang sungguh-sungguh berada diluar
masyarakat jawa, serta sebenarnya V.O.C. serta masyarakat jawa tak meresap menjadi satu
dalam suatu susunan tatanegara.
Pada prinsipnya, terhadap daerah-daerah yang dikuasainya ini, V.O.C. tidak mau mengakui
hukum yang lain, kecuali hukumnya sendiri. tidak ada perbedaan antara bangsa Indonesia
dengan bangsa Belanda dalam hal peraturan susunan pengadilan, keduanya termasuk di
dalam kekuasaan hukum badan-badan pengadilan Belanda yang bernama “Raad van
Justitie” dan “Schepenbank”. Coen telah menjalankan dasar yang isinya: “jika telah takluk
kebawah kedaulatan pemerintah (Belanda), maka pengadilan kepala anak negeri harus
diganti dengan pengadilan pegawai pemerintah belanda”.
suatu codificatie yang bernama “ordonnantien en statuten van Batavia” (Peraturan tua
Kota Betawi) yang ditetapkan pada 5 Juli 1642 dan berisi peraturan perdata dan pidana.
Di dalam praktiknya hukum yang telah disebut diatas hanya dapat dijalankan di
kota Jakarta (Batavia) dan sekitarnya saja, karena hal-hal sebagai berikut:
2. Di dalam daerah yang dikuasai V.O.C. tidak terdapat jalan-jalan Raja yang menuju
kota Jakarta, sehingga orang-orang segan untuk menyerahkan perkaranya kepada
badan-badan pengadilan Belanda di Jakarta;
Gecommitteerde Tot En Over De Zaken Van Den Inlander (yang berkuasa dalam
perkara anak negeri)
Voordrager atau opziener atau luitenant atau conducteur voor den Inlander
menurut De Haan adalah prototype (rupa permulaan) dari Gecommitteerde. Voordrager
4
dalam pengadilan sipil (perdata), resolutie 1 oktober 1754 menetapkan, bahwa segala
perselisihan rumah tangga beserta juga perkara yang bersangkutan dengan agama dan yang
lain-lain serupa itu, yang selamanya diselesaikan olehya serta oleh kapitan bangsa
bumiputera dan lagi oleh kepala-kepala kampung dsb. Termasuk di dalam kekuasaan
hukum Gecommitteerde. Jadi, berdasar aturan tersebut Gegommitteerde menjalankan
pengadilan sipil dalam perkara-perkara kecil, dan dalam perkara yang berhubungan dengan
agama. Berdasar bunyi resolutie tersebut juga, maka kepala-kepala kampung tak lagi
mempunyai kekuasaan hukum.
Resolutie diatas menunjukkan dengan tegas, bahwa di dalam daerah ini pengadilan
asli masih berlaku. Isi resolutie ini sesuai dengan undang-undang Couper (Reglement van
Couper) dari tahun 1684, yaitu surat pengangkatan baru yang diberikan oleh V.O.C.
kepada bupati-bupati Priangan. Di dalamnya terdapat peraturan, bahwa bupati tadi akan
memerintah dan memimpin menurut hak-hak istimewa, hukum serta kebiasaan dari mereka
itu sendiri, dengan begitu dapat dikatakan bahwa dengan resolutie diatasn maka lenyaplah
kekuasaan hukum badan-badan pengadilan Belanda di kota Jakarta.
5
Resolutie tersebut tidak diberitahukan oleh V.O.C. kepada Raad van Justitie dan
Schepenen yang berakibat, badan-badan pengadilan tadi masihlah dapat memandang
Priangan sebagai daerah kekuasaan hukumnya dan dengan demikian timbullah
pertentangan didalam peraturan lapangan pengadilan. V.O.C. malah memperpanjangnya
dengan resolutie 8 April 1712 mengulangi pokok yang termaktub di dalam resolutie 1708,
yaitu bahwa kepala-kepala rakyat Priangan semenjak tahun 1677, ketika daerah-daerah ini
dibiarkan saja oleh susuhunan mataram karena tak berdaya…selalu memutus perkara
dengan sendirinya. Di lain sisi, resolutie 21 Maart 1766 mempertahankan kekuasaan
hukum Schepenen di dalam daerah Priangan, oleh karena di dalamnya terdapat peraturan,
bahwa sekarang segala perkara-perkara dari daerah hulu-hulu (Priangan) masuk dalam
kekuasaan jawatan Schepenen dari kota ini dan bahwa malah daerah-daerah yang lebih
jauh letaknya (dari sumedang) bukan saja dalam perkara sipil tetapi juga dalam perkara
pidana, masuk kekuasaan Schepenbank.
Priangan bagian timur berlaku resolutie 1708, disamping itu terdapat peraturan
istimewa tentang susunan pengadilan yang termuat di dalam instructie pada 22 Maart
1706, yang oleh V.O.C. diberikan kepada Pangeran Aria Cirebon. Namun, dalam instructie
tersebut terdapat aturan yang berlawanan dengan resolutie 1708. Dalam instructie
ditetapkan bahwa bupati-bupati di dalam daerah Priangan Timur harus melarang masuk
daerahnya lebih-lebih orang jahat dan perampok atau…Perwata…serta segala musuh dari
Kompeni dan kerajaan Cirebon, atau mencerahkan mereka itu hidup atau mati pada
Pangeran Cirebon atau pada Penguasa Kompeni di kota Cirebon; jika tidak demikian,
maka mereka sendiri akan dihukum dan dipecat dari jawatannya. Resolutie 1708
menentukan sebaliknya: …terhadap rakyatnya bangsa Jawa serta bangsa Indonesia yang
merantau yang berbuat jahat dalam daerahnya…
6
Pada tahun 1705 timbullah banyak keraguan terhadap isi hukum yang berlaku di
dalam lapangan hukum waris, sebagai yang dibuktikan oleh memorie Chastelein. Memori
Chastelein ini mendorong V.O.C utuk mengadakan suatu compendium (kitab hukum)
tentang hak mewarisi dan pewarisan serta pencampuran harta benda antara laki-isteri dan
lagi perkawinan dalam kalangan bangsa Indonesia. Dengan Resolutie 1754 oleh G. G.
Mossel diberikan perintah kepada opsir-opsir serta kepala-kepala dari golongan bangsa
Indonesia agar supaya mereka menuliskan hukum sipil serta adat yang berlaku untuk
mereka dan menyerahkannya pada Gecommitteerde Freijer, yang menjadikannya suatu
karangan yang nyata, dibagi dalam bab dengan nama yang selaras dengan isinya untuk
menjadi peperangan pada Pemerintah. Setelah selesai Freijer dengan pembentukan buku
hukumnya, maka buah fikirannya dipertimbangkan kepada kapitan-kapitan orang
Indonesia serta penghulu-penghulu beserta ulama-ulama Islam, dan setelah diadakan
beberapa perubahan, maka diterimalah compendium Freijer tentang hukum Islam hal soal
kawin dan waris oleh pemerintah V.O.C. dalam tahun 1760. Tujuan daripada compendium
ini tak lain adalah untuk memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid).
Karena dalam praktik tidak sesuai dengan compendium tersebut, maka V.O.C.
menetapkan resolutie tanggal 12 Mei 1786 bahwa disini (Jakarta) selain dari pada jika
diizinkan oleh pemerintah, tak boleh dilakukan hukum Islam atau hukum Tionghoa. Surat
Boedelmeesteren (suatu badan yang mengurus warisan yang terlantar dari oranorang yang
tak beragama kristen) kepada pemerintah V.O.C. menerangkan bahwa:
1. Surat-surat wasiat orang Islam tidak jarang demikian rupanya, hingga bukan saja ia
menyimpang dari hukum negeri ini akan tetapi juga berlainan benar dari hukumnya
sendiri atau al Qur’an. Oleh karena itu dimajukan permohonan kepada pemerintah
7
V.O.C. supaya hukum mereka itu disahkan dan ditetapkan menurut itu
(Compendium Freijer), dan tentang hal ini diadakan suatu peraturan, yang memuat
bahwa mereka wajib berpegang teguh pada hukum mereka sendiri dalam hal itu.
2. Supaya dianjurkan pada notaris-notaris di kota ini, jika membuat surat wasiat untuk
orang yang bukan beragama Kristen, harus memperhatikan hal ini dengan teliti.
Kitab lain yang dibuat pada zaman V.O.C. ialah pepakem Tjerbon pada tahun 1758.
Pepakem ini mengumpulkan undang-undang hukum Jawa yang kuno seperti Raja Niscaya,
undang-undang Mataram. Jaya Lengkara, Kutara Manawa serta Adilulah, dalam praktik
kitab hukum ini sedikitpun tak terpakai karena tak selaras dengan hukum adat yang hidup
dalam masyarakat.
Pemandangan Umum
V.O.C. menemui ajalnya pada tanggal 1 Januari 1800, yang dianggap akibat dari
tergabungnya dua macam sifat V.O.C. sebagai badan perniagaan dan badan pemerintah.
Anggaran dasar tatanegara negeri Belanda 1798 menentukan bahwa octrooi V.O.C. jatuh
ke tangan negeri Belanda (Bataafsche Republiek), pemerintahan inilah yang akan
melakukan pemerintahan atas jajahan-jajahan V.O.C. dan terhadap daerah Indonesia
pmerintahan diserahkan kepada Sidang dari pada harta benda serta penempatan-
penempatan di Asia (Raad der Aziatische bezittingen en etablissementen) yang disingkat
Aziatische Raad.
Pasal 86 charter 1804: Susunan pengadilan untuk bangsa bumiputera akan tetap
tinggal menurut hukum serta adat mereka. Pemerintah Hindia akan menjaga dengan alat-
alat yang pantas, supaya dalam daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah sedapat-
dapatnya tersapu segala perbuatan sewenang-wenang yang masuk dengan diam-diam, yang
berlawanan dengan hukum serta adat anak negeri; lagi pula diikhtiarkan supaya anak
negeri mendapat keadilan dengan cepat dan baik, dengan menambah jumlah banyaknya
pengadilan-pengadilan negeri atau pengadilan pembantu; kemudian ditentang segala
9
pengaruh yang buruk dari kekuasaan politik apapun juga. Mackay: “dalam penetapan
susunan anggota dari badan-badan pengadilan untuk orang bumiputera,nyata Daendels
memperhatikan apa yang dikemukakan oleh panitia dari tahun 1802…”
2. Daerah kekuasaan hukum Schepenen adalah paling luas. Menurut Daendels salah
satu dari kekecewaan susunan pengadilan V.O.C. adalah bahwa lingkungan
kekuasaan hukum terlalu luas, dan hal ini tak selaras dengan dasar-dasar charter
untuk mendapat keadilan dengan cepat.
Gecommitterde diganti nama menjadi Prefect dan nama ini ditukar pula dengan
Landdrost (oleh peraturan 28 Grasmmaand (April) 1810), dengan ini maka diadakanlah
persamaan tentang nama (titulatuur) untuk kepala-kepala pemerintah daerah (gewestelijke
bestuurshoofden) di Ommelanden (bekas drossard) dan di kabupaten daerah Jakarta serta
Priangan (bekas Gecommitterde). Prefect berlaku untuk seluruh Jawa, jadi pemerintah
daerah di Jawa Barat, Tengah, dan Timur diganti dengan Landdrost.
Daendels berpahaman didasarkan pada pasal 86 dari Charter 1804, bahwa daerah
kekuasaan hukum yang luas akan menghalang-halangi pengadilan yang cepat dan baik,
untuk itu maka selanjutnya didirikanlah Landraad di Surabaya dan diserahkan padanya
daerah Landraad Semarang bagian timur. Susunan Landraad di Semarang dirubah sebagai
berikut: Pengadilan Negeri (Landraad) di Semarang terdiri atas anggota-anggota dari
Landgericht dan atas seorang bupati dari daerah Timur serta seorang bupati dari daerah
Barat.
Di dalam tiap-tiap kabupaten (Jawa tengah dan Jawa Timur) didirikan suatu
Vredegericht terdiri dari bupati, beberapa pegawai-pegawai dibawahnya dan penghulu.
Vredegericht mengadili perkara-perkara kecil yaitu dalam perselisihan perkara
perkawinan, penganiayaan, tak membayar hutang, dsb. dengan kesempatan meminta
banding pada landgerichten.
Daendels menentukan bahwa jika orang-orang yang tidak asli (tidak lahir di tanah
Jawa) melakukan kejahatan, maka Raad van Justitie lah yang berhak mengadili. Raad van
Justitie juga akan mengadili kejahatan-kejahatan yang melanggat ketentraman umum.
Pada masa Daendels, hukum adat akan diperlakukan untuk bangsa Indonesia, hanya
hukum adat haruslah tidak dipakaikan jika hukum ini berlawanan dengan perintah yang
diberi kemudian atau perintah umum ataupun bertentangan dengan dasar-dasar utama dari
keadilan dan kepatutan ataupun jika oleh karenannya dalam perkara hukum siksa tak
tercapai kepentingan yang besar dari keamanan umum. hukum. Hukum adat akan tak akan
diberlakukan bila:
1. Jika oleh karena itu, sipenjahat dapat menarik diri dari hukumannya; oleh sebab itu
keadilan harus dituntut atas nama pemerintah jika hal ini tak dilakukan atau tak
dapat dilakukan oleh orang biasa;
2. Jika hukuman yang ditetapkan dalam hukum itu tidak sebanding dengan kejahatan
itu ataulpun tak cukup untuk menjaga keamanan umum; dalam hal ini pengadilan
harus menetapkan hukuman menurut keadaan perkara;
3. Jika menurut acara yang terdapat dalam hukum itu tak mungkin terdapat bukti atau
keinsyafan hakim; maka pengadilan diberi kuasa untuk menambah perbaikan dalam
acara perkara bumiputera menurut pemufakatan dan menurut contoh dari hukum
umum serta praktik, jika ia mungkin dilakukan.
Juga ditentukan bahwa pada masa yang akan datang pada Landraad-landraad serta
Landgerechten di Jawa tak boleh dipakai hukuman-hukuman yang berat dan hukuman
badan selain dari pada dibakar, ditikam dengan keris, dicap dengan bakar, dirantai,
hukuman bekerja pada perkerjaan negeri.
Daendels tidak membuat perubahan yang penting dalam hukum penduduk yang
berasal dari Negeri Belanda, dan juga tidak dalam hukum anak negeri. Segala hukum
penduduk tetap tinggal seperti sedia kala dan umumnya dilakukan untuk bangsa
bumiputera hukumnya sendiri serta acara hukum yang biasa dipakainya, akan tetapi dalam
menurut keadilan perkara pidana tak akan diperlakukan lagi dakwa orang yang menjadi
korban atau keluarganya yang diharuskan oleh hukum Jawa. Dalam hal ini orang boleh
menyimpang (dalam praktik tuntutan dilakukan oleh badan-badan pengadilan). Banyak
keberatan dan sangkalan dari pegawai bangsa Indonesia yang dibuktikan oleh De Haan
dengan peristiwa, diantaranya Jaksa menolak untuk mengadakan tuntutan, sebab seorang
anggota dari keluarga siterbunuh masih belum sampai umur. Dari putusan-putusan
Daendels hampir semua mengenai hukum adat pidana, hal ini tak lain karena perubahan-
perubahan tersebut ditujukan pada kepastian ketertiban umum.
12
Daendels menganggap bahwa hukum asli dipulau Jawa terdiri atas hukum Islam.
Van Vollenhoven: pada kira-kira tahun 1800 diantara bangsa Sunda sendiri seperti ada
timbul perjuangan hebat untuk mengecilkan arti hukum penduduk asli untuk keperluan
hukum agama…dan dalam tahun 1807, 1808, dan 1809 pegawai-pegawai tinggi dari
pemerintah juga banyak mengeluarkan fikirannya tentang hukm anak negeri seperti hukum
itu sama saja dengan hukum Islam atau dengna peraturan dari Qur’an.
13
BAB III
Sejak tahun 1807 Lord Minto (wali negeri Inggris di India) mengadakan persiapan
expeditie kepulau Jawa, dengan tangan kanannya Thomas Stamford Raffles (pegawai
Oost-Indische Compagnie) yang diangkat sebagai politiek-agent untuk melakukan
penyelidikan-penyelidiakan dengan maksud mengumpulkan bahan-bahan yang berguna
untuk tercapainya maksud menaklukan pulau Jawa, khususnya berkenaan dengan tabiat
penduduk.
langsung dengan rakyat jelata. Raffles hendak menghubungkan badan pemerintahan yang
terdiri dari orang Barat dengan penduduk dengan jalan melangkahi kepala-kepala anak
negeri. Kehendak ini dipengaruhi oleh aliran-aliran fikiran yang berdasar kemanusiaan
yang semenjak akhir abad ke-18 berkembang di Eropa.
Raffles adalah orang yang banyak berteori dalam berbagai rupa, bahkan seringkali
menentangi maksud panitia-Mackenzie, hal ini menyebabkan peraturan yang dibuat
Raffles kebanyakan tak bersandar pada keadaan yang nyata di masyarakat, akibatnya
peraturan-peraturan tadi hanyalah sebagai peraturan di atas kertas yang tak berlaku (doode
letter).
d. Pada court of Justice di dalam perkara pidana diadakan Jury yang terdiri atas
12 orang Eropa, yang dipillih oleh magistrate, yang bertugas menimbang
keadaan kejadian-kejadian.
15
c. Perkara pidana yang tak masuk di dalam politiezaken diadili oleh Court of
Circuit (ommegaande rechtbanken= pengadilan yang berpindah-pindah),
merupakan kelanjutan Ambulant Landgericht.
2. District Court atau Bopati’s Court, hanya memiliki kekuasaan di dalam lapangan
sipil, merupakan kelanjutan dari vedegericht pemerintahan Daendels.
b. Perkara sipil yang melebihi 50 ropy, dan tentang perkara ini ada kesempatan
untuk naik appel pada luitenant-gouverneur.
d. Court of Circuit:
3) jury tak lagi terdiri dari orang-orang Eropa, akan tetapi orang-orang
Indonesia
16
Raffles bependapat bahwa hanyalah hukum adat yang selaras dengan kepentingan
bangsa Indonesia, hukum adat diberlakukan dengan syarat tak boleh bertentangan dengan
the universal and acknowledged principles of natural justice atau dengan the
acknowledged principles of substantial justice.
Peraturan Raffles yang mengenai berlakunya hukum adat pidana didalam praktik
menimbulkan pengadilan sewenang-wenang. De Haan menunjukkan bagaimana besar
keberatannya orang Jawa terhadap hukum pidana yang dimasukkan oleh orang Inggris
dalam pengadilan. Pada tanggal 30 Maart 1829 Nic. Engelhard menulis pada De Kock,
bahwa Diponegoro hanya hendak mengadakan pembicaraan, jika di daerah-daerah
kerajaan Jawa Tengah dilakukan kembali hukum pidana yang berlaku sebelum tahun 1811.
Raffles mengira bahwa hukum adat tak lain adalah hukum Islam. Raffles sangat
mencela peraturan dalam pemerintahan Belanda yaitu Daendels yang mengesahkan
hukuman seperti membakar hidup-hidup, serta menikam dengan keris, dari sini dapat
disimpulkan bahwa Raffles menganggap hukum adat tak mempunyai derajat yang setinggi
derajat Eropa, hukum adat dianggap baik untuk bangsa Indonesia, akan tetapi tak patut jika
diperlakukan atas orang Eropa.
17
BAB IV
MASA 1816-1848
Pada tanggal 11 Februari 1817 dibentuklah suatu panitia, yang terdiri dari tiga ahli
hukum, yaitu Mr H.W. Muntinghe, Mr P.S. Maurisse dan Mr P. Merkus, dengan kewajiban
untuk membuat rancangan tentang susunan pengadilan serta kepolisian. Berdasar atas
rancangan panitia tersebut yang selesai pada 30 Oktober 1817, maka oleh Commissarissen-
General diadakan beberapa aturan didalam lapangan “justitie”, yang semuanya
diumumkan dengan putusan 10 Januari 1819 no 6, Stbl. 1819 no 20. Perubahan-perubahan
peraturan tentang acara perkara sipil dan pidana untuk sementara waktu bertujuan:
18
2. Lebih banyak jaminan tentang kemerdekaan diri dan jaminan menentang perbuatan
sewenang-wenang.
Susunan Pengadilan untuk Bangsa Indonesia Ten Platten Lande (diluar kota-kota
besar)
a. Pidana: segala kejahatan yang dilakukan oleh bumiputera, orang Cina dan
bangsa-bangsa yang lain yang masuk bangsa Hindia, kecuali kejahatan-
kejahatan yang termasuk didalam kekuasaan hukum pengadilan yang
berpindah-pindah.
b. Sipil:
lain; jika jumlah yang diperkarakan lebih dari jumlah tersebut, maka
yang dituntut bangsa bumiputra akan diadukan pada Landraad, akan
tetapi bangsa Asing diadukan pada Raad van Justitie.
Susunan Pengadilan untuk Bangsa Indonesia di Dalam Kota dan Sekitarnya (Stad en
Voorstenden) Batavia, Semarang, dan Surabaya
1. Perbedaan antara susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia pada satu pihak
dikota-kota Batavia, Semarang dan Surabaya, pada lain pihak di daerah-daerah luar
kota itu, dihilangkan dengan publicatie tertanggal 27 Januari 1824, Stbl. 1824 no 4
dari G. G. tersebut (G. G. dari 1819-1824), dengan peraturan ini, maka hukum adat
bangsa Indonesia ditiga kota tersebut diakui kembali.
Berhubungan dengan politik pemerintah pada saat itu tentang hak tanah (agrarische
politiek) pemerintah Belanda membutuhkan tenaga untuk kepentingan tempat perpusatan
pertanian, maka oleh Commissaris-General Du bus de Gisignies dengan Stbl. 1828 no 16
dipermaklumkan peraturan yang mengenai hukuman kerja paksa (dwangarbeid), yang
hanya berlaku untuk bangsa Indonesia. Orang-orang Indonesia yang dihukum dengan
hukuman kerja paksa (veroordeeleden tot dwangabeid), dibagi di dalam dua golongan,
yaitu:
2. Golongan orang-orang hukuman kerja pakasa, dengan diberi makan tak memakai
upah atau memakai upah, dipergunakan untuk member tenaga kepada tempat
perpusatan pertanian (landbouwetablissementen) yang diusahakan oleh pemerintah,
jika hukuman yang dijatuhkan lebih dari satu tahun, dan terhadap daerah diluar
pulau Jawa, jika keputusan hakim juga memuat hukuman dibuang diluar daerah
yang didiami (bannissement=verbanning). Tempat hukuman disebut dengan
werkplaatsen.
1. Hukuman kerja paksa dengan rantai disertai hukuman pembuangan diluar daerah
Jawa dan Madura;
2. Hukuman kerja paksa dengan rantai disuatu tempat dipulau Jawa, yang ditunjukkan
oleh pemerintah;
3. Hukuman kerja paksa dengan memakai upah atau tidak, disertai dengan hukuman
buangan diluar daerah Jawa dan Madura;
4. Hukuman kerja paksa dengan memakai upah atau tidak, disuatu tempat dipulau
Jawa, yang ditunjukkan pemerintah;
5. Hukuman buangan diluar daerah pulau Jawa untuk orang-orang Indonesia yang
ternama.