Anda di halaman 1dari 15

D.

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL INDONESIA DAN HUKUM ANTAR


GOLONGAN (SEJARAH HPI INDONESIA)

Menurut van brakel, sebelum hukum perdata internasional hubungan –hubungan yang
mengandung unsur asing diatur oleh hukum interlokal hukum antar-tempat.

Dalam hukum Romawi kuno hubungan semacam itu diatur oleh iusgentium. Ius
gentium ini sesungguhnya hanya merupakan hukum yang dipergunakan oleh hakim yang
khusus mengadili perkara antara orang Roma dengan orang asing. Hakim ini dinamakan
praetor paregrinis.

Di indonesia oleh van vollenhoven hukum yang harus berlaku bagi hubungan antara
orang-orang dari berbagai suku bangsa dinamakan “intergentielrecht”. Yang juga
mengandung kata “gens” atau”suku”.

Sampai kepada ulrik huber (1636-1694) ahli-ahli belanda masih berpegang pada pendapat,
bahwa hukum perdata internasional merupakan ius gentium yang sekunder yang juga
mengikat semua negara, di samping merupakan ius gentium yang primer.

Menurut ulrik huber hukum perdata internasional bersumber pada permufakatan (teori
konsensus) bangsa-bangsa di dunia maka oleh sebab itu HPI merupakan ius gentium. Akan
tetapi di samping itu hukum perdata internasional juga merupakan hukum positif, karena
menyangkut hubungan yang terjadi akibat perbuatan manusia.

Barulah johannes voet yang benar-benar menekankan bahwa berlakunya hukum asing
itu tidak berlaku secara otomatis, atau karena diharuskan oleh hukum internasional.
Sebaliknya, berlakunya hukum asing terdorong oleh adanya sopan-santun (excomitate) yang
berlaku dalam pergaulan antara manusia sedunia.

Sekalipun johannes voet mengakui pula, bahwa pertimbangan-pertimbangan


kegunaan juga ikut menentukan berlaku tidaknya suatu kaedah hukum asing, namun katanya
hal ini adalah sesuai dengan perikemanusian dan keadilan.

Maka pada saat orang belanda menginjakkan kakinya ke bumi indonesia, hukum
perdata internasional baru mulai berkembang sungguh-sungguh di negeri belanda. Kata van
brakel.
Menurut kollewijn belanda pada waktu itu menggunakan politik luar negeri sebagai
berikut:

Jika suatu daerah ditaklukkan dengan kekerasan, seperti halnya dengan wilayah jakarta, maka
hukum setempat harus di dihapuskan dan diganti dengan huku belanda. Tetapi di daerah di
mana terjadi perundingan perdamaian, seperti di cerebon, jogjakarta, dan surakarta (dengan
“kontrak panjang” dan kemudian dengan “kontrak pendek”), maka sampai batas-batas
tertentu hukum setempat masih dihormati oleh pemerintah belanda.

Tetapi karena perkawinan rakyat pada waktu itu masih sangat kuat, maka pengawasan
pemerintah V.O.C. hanya terbatas, sehingga hukum adat masih tetap berlaku.

Dengan demikian, maka juga pemerintah daendels (1808-1811) masih tetap mengakui
berlakunya hukum asli nagi rakyat indonesia. Politik ini bahkan di perkuat oleh raffles, yang
mengikuti politik pemerintahan inggris di daerah jajahannya di india, yang membiarkan
penduduk aslinya dalam hukumnya sendiri.

Setelah belanda kembali berkuasa atas wilayah indonesia, maka keadaan hukum ini
tetap dipertahankan, sampai di undangkannya indische staatsregeling pada tahun 1925, yang
antara lain memuat pasal 131 dan 163 yang membagi-bagi penduduk indonesia ke dalam
golongan eropah, timur asing, dan bumiputera.

V.O.C. dalam pasal 35 anggaran dasarnya diberi wewenang oleh kerajaan belanda
untuk mengadakan perjanjian internasional dengan raja-raja indonesia. Perjanjian mulanya
semata-mata merupakan perjanjian dagang biasa lalu bertujuan untuk menjamin monopoli
dagang. Akan tetapi kemudian V.O.C. makin lama maka bertindak sebagai pemerintah dan
menghendaki pengakuan raja-raja indonesia bahwa V.O.C. merupakan pemerintah yang syah.
Sebagaimana diketahui, perjanjian semacam ini dikenal dengan nama kontrak panjang, yang
kemudian menjadi kontrak pendek.

Isi perjanjian itu berbeda-beda, tetapi semuanya mempunyai satu corak yang sama,
yaitu berisi pengakuan raja-raja indonesia terhadap kedaulatan pemerintah belanda.

Lama-lama perjanjian-perjanjian itu:

1. Larangan surat-menyurat dengan raja indonesia yang lain.


2. Kewajiban untuk memberantas perampokan.

3. Larangan untuk memasukkan orang asing lain dari pada orang belanda ke dalam wilayah
kerajaan, tanpa izin pemerintah belanda.

4. Bersetujuan bahwa orang-orang eropah dan timur asing tidak kan diadili oleh pengadilan
asli.

5. Bahwa raja akan mengizinkan pasukan dan pemakaian mata uang belanda di wilayah
hukumnya.

6. bahwa raja akan menyerahkan sebagian dari hasil produksi dan ekspornya kepada belanda.

7. Akhirnya dengan suatu “ganti-rugi” kepada raja, pengadilan dan pemerintahan atas orang-
orang indonesiapun ditarik lansung ke bawah pemerintahan belanda.

Dengan demikian sebenarnya raja tak mempunyai kekuasaan apa-apa lagi, karena
terjadi “inlijving”, seperti di lombok.

Maka hubungan antara pemerintah belanda dan raja indonesia bukan lagi merupakan
perjanjian internasional dalam arti yang sesungguhnya, akan tetapi telah menjadi quasi
internasional. Alexandrowicz menamakan perjanjian semacam ini “unequal contracts”.

Jika hubungan antara dua negara negara merupakan hubungan internasioanal, maka
hubungan antara warganegaranya merupakan hubungan perdata internasional.

Karena hubungan belanda-indonesia dalam akad ke-18 dan 19 merupakan hubungan


quasi internasional, maka hubungan antara orang belanda dan orang indonesia merupakan
hubungan perdata quasi internasional.

Dan sesudah aceh ditaklukkan oleh belanda para permulaan akad ke-20 ini, maka
hubungan quasi internasional inipun berubah menjadi hubungan kolonial. Sejalan dengan itu
hubungan-hubungan hukum quasi internasional menjadi hubungan hukum angtar golongan,
oleh karena sejak undang-undang 10 pebruari 1910 (S. 1910 – 296) orang indonesia
memperoleh status sebagai kaulanegara belanda. Lagi pula, sebagaimana diterangkan oleh
supomo yang di pakai sebagai dasarnuntuk melaksanakan hak-hak di indonesia adalah
kedudukan sebagai penduduk negara.
Menurut pasal 160 ayat 2 indesche staatsregeling S. 1925-415 jo. 557) “penduduk”
hindia belanda adalah “mereka yang dengan syah bertempat tinggal di indonesia. Sedang
menurut kollewujn “penduduk” indonesia adalah semua orang yang mencari nafkahnya di
indonesia sekalipun ia kelak, sesudah ia kaya, atau sesudah ia pensiun, kembali ke asalnnya.
Dengan demikian jelasnya bahwa arti “penduduk” berbeda dengan pengertian “orang yang
bertanah air” atau “orang yang mempunyai domiecile” menurut hukum inggris. Dan sudah
jelas, bahwa pengertian “kewarganegaraan”.

Hubungan-hubungan antara ketiga golongan penduduk yang disebut oleh pasal 163
indische staatsregeling (IS), yaitu antara golongan penduduk eropa, bumi putera, dan timur
asing. Tentu sudah lama terjadi sebelum adanya pasal 163 IS itu. Tetapi corak hukum antar
golongan tidak tampak, oleh karena biasanya pada waktu itu orang-orang indonesia di anggap
(diharuskan) tunduk pada hukum berat. (ic pasal 1603-1603 BW. Tahun 1848) bagi penduduk
indonesia.

Tetapi, terutama perkawinan campuran yang membawa kesukaran-kesukaran,


sehingga sesungguhnyalah perkawinan campuran antara orang belanda dan orang indonesia
(disamping persoalan-persoalan dibidang hukum tanah) yang benar-benar mengakibatkan
perkembangan hukum antar golongan di indonesia.

Hukum antar golongan adalah hukum kolonial dan hanya di kenal di negeri-negeri
yang pernah menjadi jajahan. Hal ini dapat diketahui, oleh karena di perancis persoalan-
persoalan hukum antar golongan dinamakan “droit kolonial”. Juga di jerman orang berbicara
tentang “das kolonial recht”. Sedangkan kollewin sendiri mengatakan bahwa “masalah-
maslah hukum anatar golongan terdapat di hampir semua daerah jajahan”.

Kiranya ia menambah kata hampir “hanya oleh karena dalam sistem hukum inggris,
yang sekalipun juga memiliki daerah jajahan, kaidah-kaidah hukum antar golongan di
selesaikan menurut cara yang sama dengan kaidah-kaidah hukum perdata internasional biasa,
hal mana disebabkan oleh:

1. Dipergunakan pergantian “domicile” dalam hukum perdata internasional inggris


umtuk menentukan hukum personil yang berlaku bagi seseorang. Sedangkan
“domicile” ini bersamaan dengan pengertian “suku atau tempat asal” dalam hukum
india dan malaysia, misalnya.
2. karena hukum inggris dinyatakan berlaku bagi sebagian besar hubungan-hubungan
hukum terutama dilapangan hukum perjanjian. Tetapi di bidang hukum yang
menyangkut status seseorang (hukum perkawinan, keluarga, waris) rakyat jajahannya
dibiarkan dalam hukumnya sendiri.

Perhatian terhadap hukum antar golongan juga timbul sebagai akibat


kemajuan pesat di bidang hukum perdata internasional pada abad ke-19, sebab ada
sebagian ahli hukum belanda yang ingin mempergunakan kaidah-kaidah hukum
perdat internasional bagi persoal-persoalan hukum antar golongan, seperti andre de la
porte.

Tetapi misalnya van den bergh yang sangat legistis berpendapat, bahwa
undang-undang hukum bagi setiap golongan penduduk, sehingga masih masing-
masing hanya dapat tunduk pada hukumnya sendiri. Yang berarti bahwa kaidah
hukum asing hanya dapat berlaku terhadap orang lain dari golongan apabila undnag-
undnag memperolehkannya. Dengan perkataan lain, van den bergh tidak mengakui
pilihan hukum di luar undang-undang.

Berbeda dengan neder burgh, yang berpendapat bahwa apa yang bagi hukum
perdata internasioal hanya merupakan utopi belaka, yaitu untuk mencapai unifikasi
hukum, bagi hukum antar golongan merupakan kemungkinan.

Naderburgh, selain menghendaki agar hukum rakyatb indonesia di hormati


selama masyarakat indonesia asli sendiri tidak menunjukkan kebutuhannya yang lain,
mengidamkan pula suatu hukum indonesia yang merupakan paduan harmonis antar
sistem hukum adat sistem hukum barat di indonesia, inilah yang disebut oleh kollowin
sebagai “utopi dalam hukum perdata internasional yang hendak dicapai di indonesia”.
(HP)

Apabila hukum internasional kita ambil dalam arti luas yaitu termasuk
pengertian hukum bangsa-bangsa, maka dapat dikatakan bahwa sejarah hukum
internasional telah tua sekali. Sebaliknya apabila kita gunakan isitilah ini dalam
artinya yang sempit yakni hukum yang terutama mengatur hubungan antara negara-
negara maka hukum internasional baru berusia beberapa ratus tahun.

Hukum internasional modern sebgai suatu sistem yang mengatur hubungan


antar negara-negara, lahir dengan masyarakat internasional yang di dasarkan atas
negara-negara nasional. Sebagai titik saat lahirnya negara-negara nasional yang
modern biasanya diambil saat di tandatanganinya perjanjian perdamaian westphalia
yang mengakhiri perang 30 tahun di eropa.

Akan tetapi sebelum menguraikan sejarah hukum internasional modern,


marilah kita kembali pada zaman dahulu kala dan melihat dimana sajasudah terdapat
ketentuan yang mengatur hubungan antara raja-raja atau bangsa-bangsa.

Dalam lingkungan kebudayaan india kuno telah terdapat kaidah dan lembaga
hukum yang mengatur hubungan antara kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja.
Menurut penyelidikan yang di adakan oleh bannerjce pada masa beberapa abad
sebelum masehi, kerajaan-kerajaan india sudah mengadakan hubungan satu sama lain
yang di atur oleh adat kebiasaan. Adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara
raja-rja yangb dinamakan desa dharma. Salah seorang pujangga yang terkenal pada
waktu itu ialah kautilya dan canakya yang menurut perkiraan adalah penulis buku arta
sastra. Gautamasutra yang berasal dari abad VI sebelum masehi dan merupakan salah
satu karya di bidang hukum yang tertua telah menyebutkan tentang hukum kerajaan di
samping hukum kasta dan keluarga. Buku undang-undnag manu (abad ke V sesudah
masehi) juga menyebutkan tentang hukum kerajaan. Walaupun hukum yang mengatur
hubungan antara raja-raja pada waktu itu tidak dapat disamakan dengan hukum
internasional zaman sekarang karena tidak ada pemisahan dengan agama dan soal
kemasyarakatan dan negara, namun tulisan-tulisan pada waktu itu sudah menunjukkan
adanya ketentuan atau kaidah yang mengatur hubungan antara raja-raja atau kerajaan
demikian. Hukum bangsa-bangsa pada zaman india kuno sudah mengenal ketentuan
yang mengatur kedudukan dan hak istimemwa diplomat atau utusan raja yang
dinaakan duta. Juga sudah terdapat ketentuan yang mengatur perjanjian, hak dan
kewajiban raja. Akan tetapi ketentuan yang agak jelas terutama terdapat bertalian
dengan hukum yang mengatur perang. Hukum india kuno misalnya sudah
mengadakan perbedaan yang tegas antara combatant dan non-kombatant. Juga
ketentuan mengenai perlakuan tawanan perang dan cara melakukan perang sudah di
atur dengan jelas. Bagaimanapun juga melihat bukti-bukti yang telah ditemukan oleh
para sarjana dapatlah dikatakan bahwa di india kuno telah ada semacam hukum yang
dapat dinamakan hukum-hukum bangsa.
Lingkungan kebudayaan lain pada zaman kuno yang sudah mengenal
semacam hukum-hukum bangsa ialah kebudayaan yahudi. Orang yahudi sebagai
mana terbukti dari buku-buku kuno mereka antara lain kitab perjanjian lama, sudah
mengenal ketentuan perjanjian, perlakuan terhadap orang asing dan cara melakukan
perang. Akan tetapi dalam hukum perang masih dibedakan perlakuan terhadap
meraka yang di anggap musuh bebuyutan. Terhadap musuh demikian diperbolehkan
diadakan penyimpangan dari hukum perang.

Lingkungan kebudayaan lainnya yang juga sudah mengenal aturan yang


mengatur hubungan antara sebagai kumpulan manusia ialah lingkungan kebudayaan
yunani yang sebagai mana kita ketahui hidup dalam negara-negara kota. Menurut
hukum negara-negara kota ini, penduduk di golongkan dalam dua golongan yaitu
orang yunani dan orang luar yang di anggap sebagai orang-orang biadab. Masyarakat
yunani sudah mengenal ketentuan mengenai perwasitan dan diplomasi yang tinggi
tingkat perkembanganya. Mereka juga menggunkan wakil-wakil dagang yang
melakukan banyak tugas yang sekarang dilaksanakan oleh konsul. Akan tetapi
sumbangan yang paling berharga dari kebudayaan yunani unutk hukum internasioanal
waktu itu ialah konsep hukum alam yaitu hukum yang berlaku secara mutlak
dimanapun juga dan yang berasal dari rasio atau akal manusia. Konsep hukum alam
ini ialah konsep yang telah dikembangkan oleh ahli filsafat yang hidup dalam abad III
sebelum masehi. Dari yunani, pelajaran hukum alam ini diteruskan ke roma dan
romalah yang memperkenalkan kepada dunia. Sebagai mana kita ketahui, pelajaran
hukum alam ini telah memainkan alam penting dalam sejarah hukum internasioanal
dan setelah terdesak untuk beberapa waktu oleh ajaran kaum positifis, mengalami
kebangunan kembali setelah perang dunia ke II. Hukum internasioanal sebagai hukum
yang mengatur hubungan antar kerajaan-kerajaan tidak mengalami perkembangan
yang pesat pada zaman romawi. Hal ini mungkin mengherankan apalagi bila di ingat
bahwa semasa kerajaan romawi telah dikenal suatu sistem hukum yang tinggi tingkat
perkembangannbanya. Tidak berkembangnya hukum bangsa-bangsa yang mengatur
hubungan antara bangsa-bangsa di sebabkan karena masyarakat dunia merupakan satu
imperio yaitu imperiom roma. Yang menguasi seluruh wilayah dalam lingkungan
kebudayaan romawi dengan demikian tidak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan
terpisah dengan sendirinya tak ada pula kesempatan bagi hukum bangsa-bangsa yang
mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan demikian. Walaupun demekian hukum
romawi ini sangat penting bagi perkembangan hukum internasional selanjutnya.
Selain pengertian hukum bangsa-bangsa itu sendiri yang berasal dari pengertian ius
gentium dalam bahasa latin, hukum romawi telah menyumbangkan banyak sekali asas
atau konsep yang kemudian di terima dalam hukum internasional. Konsep hukum
romawi yang berasal dari hukum perdata kemudian memegang peranan penting dalam
hukum internasional ialah konsep seperti occupatio, servitut dan bona bona fides.
Juga asas “pacta sunt serdanda” merupakan warisan kebudayaan romawi yang
berharga.

Tidaklah salah kalau dikatakan bahwa hukum romawi yang menjadi dasar sebagian
besar sistem hukum di eropa khususnya negara eropa barat. Kemudian mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan hukum internasional.

Walaupun menurut anggapan umum selama abad pertengahan tidak dikenal satu
sistem oraganiasasi masyarakat nasional yang terdiri dari negara-negara merdeka,
namun menurut berbagai penyelidikan yang terakhir anggapan tadi ternyata tidak
seluruhnya benar. Memang benar selama abad pertengah dunia barat dikuasai oleh
satu sistem fiodal yang berpuncak pada kaisar sedangkan kehidupan gereja berpuncak
pada paus sebagai kepala gereja katolik roma. Masyarakat eropa waktu itu merupakan
satu masyarakat kristen yang terdiri dari beberapa negara yang berdaulat dan tahta
suci. Masyarakat eropa inilah ynag menjadi pewaris kebudayaan romawi dan yunani.

Disamping masyarakat eropa barat, pada waktu itu terdapat dua masyarakat besar lain
yang termasuk lingkungan kebudayaan ynag berlainan yaitu: kekaisaran byzantium
dan dunia islam. Kekaisaran byzantium pada waktu itu seedang dalam keadaan
menurun mempraktekkan diplomasi untuk mempertahankan supremasinya. Oleh
sebab itu praktek diplomasi merupakan sumbangan yang terpenting dari lingkungan
kebudayaan ini kepada perkembangan hukum internasional. Sumbangan yang
terpenting dari dunia islam dari abad pertengahan terletak di bidang hukum perang.

Perdamaian bespalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum


internasional modern, bahkan di anggap sebagai suatu peristiwa yang meletakkan
dasar masyarakat internasional modern yang di dasarkan atas negara-negara nasioonal
sebabnya ialah karena dengan perdamain prespalia ini adalah tercapai hal sebagai
berikut: (1) selain mengakhiri perang 30 tahun, perjanjian wespalia telah menungukan
perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di eropa. (2)
perjanjian perdamian itu mengakhiri untuk selama-lamanya uasai kaisar romawi yang
suci untuk menegakkan kembali imperium roma yang suci. (3) hubungan antara
negara-negara di lepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan di dasarkan atas
kepentingan nasional negara itu masing-masing. Dan (4) kemerdekaan negeri
nederland swiss negara-negara kecil di jerman di akui dalam perjanjian wespalia itu.

Dengan demiakian perjanjian wespalia telah meletakkan dasar bagi susunan


masyarakat internasional yang baru, baik mengenal bentuknya yaitu didasarkan atas
negara-negara nasional (tidak lagi di dasrkan tas kerajaan-kerajaan) maupun
mengenai hakekat negara-negara itu dan pemerintahannya yakni pemisahan
kekuasaan negara dan pemerintah dan pengaruh gereja.

Akan tetapi keliru sekali kalu kita menganggap perjanjian wespalia ini sebagai suatu
peristiwa yang merencanakan suatu zaman baru dalam sejarah masyarakat
inetrnasional yang tidak ada hubungannya dengan masa lampau. Kiranya lebih tepat
untuk memandang perjanjian ini sebagai titik puncak satu proses yang sudah di mulai
pada zaman abad pertengahan yaitu gerakan reformasi dan sekularisasi kehidupan
manusia, khususnya berebutan kekuasan dunia antara gereja dan negara. Dengan
demikian kita dapat kita dapat menempatkan perjanjain wespalia ini dlam keseluruhan
rangka kejadian sejarah. Jikia tidak, kita mungkin menarik kesimpulan yang keliru.
Antara lain dapat terjadi anggapan bahwa sebelum perjanjian wespalia tidak terdapat
negara-negara nasional. Sebagai mana diketahui, ini tidak benar karena disamping
perbagian kerajaan kecil terdapat tiga negara besar di eropa barat yakni inggris,
prancis, dan spanyol disamping beberapa yang ada di pingggiran masyarakat kristen
eropa seperti negeri sekandinava dan rusia.

Apakah ciri masyarakat internasional yang terdapat di eropa barat yang dasarnya
diletakkan oleh perjanjian westphali? Ciri-ciri pokok yang membedakan organisasi
atau susunan masyarakat internasional yang baru ini dari susunan masyarakat kristen
eropa pada zaman abad pertengahan yang di dasarkan atas sistem feodalisme adalah
sebagai berikut:

(1) Negara yang merupakan satuan teritorial yang berdaulat. Setiap negara dalam
batas wilayahnya mempunyai kekuasaan tertinggi yang eksklusif.
(2) Hubungan nasional satu dengan yang lainnya di dasarkan atas kemrdekaan dan
persamaan derajat.

(3) Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti


seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan paus sebagai kepala gereja.

(4) Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak


mengambil oper pengertian lembaga hukum perdata hukum romawi.

(5) Negara mengakui adanya hukum inetrnasional sebagai hukum yang mengatur
hubungan anatar negara-negara tetapi menekankan peranan yang besar yang
dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini (lihat nomor 7
dibawah ini)

(6) Tidak adanya mahkamah (internasional) dan kekkuasaan polisi internasional


untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum internasional.

(7) Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan


beralih dari anggapan mengenai doktrin belum justum sebagai ajaran “perang
suci” ke arah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara
penggunaan kekerasan (di samping represaille) dalam penyelesaian sengketa
untuk mencapai tujuan kepentingan nasional (perang yang benar).

dasar-dasar yang diletakkan dalam perjanjian westphalia di ats diperteguh lagi dalam
perjanjian utrecht, yang penting artinya dilihat dari sudut politik internasioanal pada waktu
itu karena menerima asas “keseimbangan kekuatan” sebagai asas politik internasional.

Sekulariasi kekuasaan negara dan pemerintahan serta menghilangnya pengaruh atau


kekuasaan gereja sebagai satu kekuasaan spiritual yang memberikan bimbingan kepada
negara dalam hubungan antara mereka satu sama lain, menimbulkan kebutuhan akan suatu
sandaran baru yang mengatasi kekuasaan nasional masing-masing negara. Dengan demikian,
adanya ajaran hukum alam dalam ajaran hukum internasional yang telah disekulerkan
sebagaimana diajarkan oleh hugo grotius memenuhi suatu kebutuhan yang sangat dirasakan
pada waktu itu. Sukses hugo grotius, penulis karya de jure belli ac paris yang terbit pada
waktu terjadinya perang tiga puluh tahun yang melahirkan sistem organisasi masyarakat
negara-negara yang baru di eropa pada waktu itu, selain disebabkan oleh nilai intrinsiknya
yang tinggi juga disebabkan karena ajaran hugo grotius itu sesuai sekali dengan panggilan
zaman. Sebagaimana diketahui, grotius mendasarkan sistem hukum internasionalnya atas
berlakunya hukum alam. Akan tetapi hukum alam telah dilepaskannya dari pengaruh
keagamaan dan kegerejaan. Di samping itu ajaran grotius juga menarik karena ia memberikan
tempat penting kepada negara-negara nasional. Tulisannya juga menonjol karena banyak di
dasarkan atas praktek negara dan perjanjian antar negara yang disebutnya sebagai sumber
hukum internasional di samping hukum alam yang diilhami oleh akal manusia, ia juga telah
meletakkan dasar bagi sistematik pembahasan hukum internasioanl yang untuk sebagian
besar masih dianut hingga sekarang. Tidaklah mengherankan apabila hugo grocius lebih-
lebih dari para sarjana sebelumnya, dianggap sebagai bapak hukum internasional. Ia bukan
sarjana yang pertama yang menulis tentang hukum internasional. Sebelumnya telah ada
franscisco vittoria, biarawan dominikah yang berkebangsaan spanyol yang dalam abad ke
XIV menulis buku relectio de indis. Di dalamnya ia menulis tentang hubungan spanyol dan
portugis dengan orang indian di amerika. Tulisan francisco penting karena untuk pertama
kalinya dikemukakan bahwa negara dalam tingkah lakunya tidak bisa bertindak sehendak
hatinya. Dengan semikian, maka hukum bangsa-bangsa yang ia namakan “ius intergentes”
tidak hanya terbatas pada dunia kristen eropa, melainkan meliputi seluruh umat manusia.
Bagi masa itu ajaran vittoria ini merupakan suatu pendirian yang berani.

Seorang penulis lain yang berkebangsaan spanyol ialah seorang yasult bernama francisco
suarez yang menulis “de legibus ae deo legislatore (on laws god as legislator) yang
mengemukakan adanya suatu hukum atau kaidah obyektif yang harus dituruti oleh negara-
negara dalam hubungan antara mereka. Dengan demikian francisco suerez meletakkan dasar
suatu ajaran hukum internasional yang meliputi seluruh umat manusia. Penulis lain dari
zaman ini antara lain balthazar ayala (1546-1584) dan alberico (1552-1608). Kecuali gentilis
yang mengadakan pemusahan antara etika agama dan hukum para penulis yang baru disebut
tadi dan yang tersebut terdahulu, dalam menulis berbagai karya mengenai hukum
internasional masih mendasarkan ajaran mereka atas falsafah keagamaan. Dengan perkataan
lain tidak ada pemisahan antara hukum, etika, dan teologi. Singkatnya berlainan dan hugo
groutius cara berpikir mereka masih menggambarkan keadaan dan suasana berpikir
masyarakat abad pertengahan.

Para penulis yang terkemuka sesudah hugo grotius pada abad XVII dan XVIII yang besar
pengaruhnya atas perkembangan hukum internasional sebagai suatu ilmu ialah zouche (1590-
1660) guru besar hukum perdata di oxford. Pufendorf (1673-1743) seorang ahli hukum
belanda, christian wolf (1609-1764) seorang ahli hukum dan ahli filsafat jerman, dan von
martens (1756-1821) seorang guru besar hukum yang berbangsa jerman dan emmerich vattel
(1714-1767) seorang ahli hukum dan diplomat yang berkebangsaan swiss.

Sudah menjadi kebiasaan menggolongkan para serjana hukum terkemuka sesudah grotius
dalam pemuka aliran hukum dan alirin positivist menurut purendorf hukum inter nasional itu
merupakan bagian dari hukum alam yang sebagai hukum yang berpangkal pada akal manusia
mengatur kehidupan manusia kapan saja dan diman saja ia berada, pakah ia hidup
berorganisasi dalam negara atau tidak.

Christian wolf mekemukakan tiori mengenia civitas maxima yang sebagai suatu negara dunia
meliputi negara-negara didunia.

Zouche, pynkersoek dan fons martens adalah positvist yang mementingkan praktek negara
sebagai sumber hukum sebagai mana terjelma dalam adat kebiasaan dan perjanjian-
perjanjian, walaupun mereka tidak secara mutelak menulak hukum alam. Fons martens
terutama terkenal karena receuil des traites, suatu kumpulan perjanjian yang masih
merupajkan suatu kumpulan yang berharga hingga sekarang.

Emerich vattel tidak dapat di golongkan baik golongan hukum alam maupun golongan
pisitivist dan masih dikenal sebagai seorang ecclectic yakni orang yang memilih segi-segi
baik dari kedua aliran tersebut diatas. Hal lain yang menyebabkan emerich vattel menonjol
diantara yang lain ialah caranya menulis dan menerangkan masalah hukum internasional
yang jellas.

Tidaklah mengherankan bahwa emirich vattel merupakan serjana hukum yang tulisannya
paling cepat banyak pengaruhnya pada perkembangan hukum internasional dikemudian hari,
terutama di Amerika serikat. Tulisan-tulisan serjana ini penting karena mengandung banyak
kebiasaan dan perjanjian antar negara yang berharga sebagai sumber atau bukti hukum.
Karya-karya serjana hukum ini penting pula karena besar sumbangannya dalam menjelaskan
pengertian,mengembangkan konsep dan pembahasan persoalan hukum inter nasional secar
sistematis. Bekat karya para serjana hukum terkemuka ini, hukum internasional tidak saja
sebagai suatu cabang ilmu hukum tetapi juga sebagai suatu sistem positif dan mendapatkan
bentuk yang semakin hari semakin jellas. Pengaruh mereka sedemikian besarnya sehingga
sering tulisan-tulisan mereka disebut langsung didalm pertimbangan badan pengadilan dan
arbitrase kemudian.
Masyrakat internasional yang diletakkan dasar-dasarnya dalam perjanjian westphalia terus
bertambah kuat dan ternyata sanggup mengatasi berbagai kejadian penting di bidang politik
pada akhir abad XVIII dan selama abad XIX yaitu renolusi prancis dan amerika dan usah
negara-negara besar mengambil ke agamaan dan kekuasaan dari kerajaan-kerajaan besar di
eropa. Revolusi yang merupakan penjemaan pergeseran kekuasaan pemerintah dari tangan
raja ke tangan rakyat dan mencanangkan demokrasi dalam bentuknya yang modern, tidak
membahayakan sistem masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara
nasional. Revolusi prancis dan amerika yang melahirkan ide pemerintah rakyat dan hak
menentukan nasib sendiri tidak mengubah sendi-sendi sistem organisasi masyarakat
internasional yang berlaku. Rovolusi ini menambah satu sagi yaitu segi kerakyatan kepada
sifat pemerintah negara yang ada pada waktu itu dicirikan oleh kebangsaan, sehingga negara-
negara nasional yang tadinya masih dikuasi raja-raja menjadi negara nasional kerakyatan.

Yang berbaya bagi sistem negara nasional sebagai organisasi masyarakat pada waktu itu ialah
percobaan kerajaan-kerajaan besar di eropa mengembaliakn hegemony mereka. Usaha ini
yang mula-mula nampaknya berhasil setelah kegagalan petualangan politik napoleon dan
diadakan kongres vienna tahun 1815 yang disusul dengan the holly alliance antara raja-raja
australia, prusia dan rusia, ternyata tidak brhasil menahan arus kemajuan negara-negara
nasional pada abad XIX, sedangkan di benua Amerika maksud kerajaan-kerajaan eropa yang
tergabung dalam the holy alliance untuk menanamkan kembali hegemony kerajaan-kerajaan
di eropa disambut dengan monroe doctrine. Abad XIX yang penuh dengan peperana di eropa
dapat dinamakan abad dimana negara nasional mencapai tingkat kedewasaannya dan puncak
kejayaannya.

Kejadian yang penting di lihat dari sudut perkembangan hukum internasional ialah
konperensi perdamaian tahun 1856 dan konperensi jenawa tahun 1864, ynag melapori
kenperensi perdamaian den haag tahun 1899 yang sangat penting artinya dalam hukum
internasioanal. Dalam semua konperensi perdamain itu untuk pertama kalinya suatu
konperensi internasioanal di pergunakan secara sadar untuk melahirkan konvensi
internasioanl yang membentuk perjanjian yang berlaku secara umum dan direncanakan untuk
diadakan secara berkala. Konpernsi perdamaian den haag pertama pada tahun 1899 di susun
oleh konperensi perdamaian den haag II pada tahun 1907 yang menghasilkan banyak
konfensi internasional yang penting artinya bagi perkembangan hukum internasioanl
terutama di bidang hukum perang. Konperensi perdamain den haag tahun 1899 dan 1907 juga
membentuk mahkamah arbitrase permanen.
Dengan konperensi perdamaian den haag tahun 1899 dan 1907 masyarakat internasional yang
didasarkan atas negara-negara kebangsaan menuntut tahap pertama dari pertumbuhan yaitu
masa memperjuangkan hak hidup negara kebangsaan yang dimulai sejak diadakannya
perjanjian westphalia tahun 1647 dan dimasukilah tahap kedua masyarakat internasional yaitu
masa konsolidasi.

Dalam masa (periode) yang berakhir dengan diadakan konperensi perdamaian den haag tahun
1907 diatas tadi, telah terjaid tiga hal penting yang dapat kita anggap sebagai ciri konsolidasi
masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara kebangsaan.

Pertama, negara sebagai kesatuan politik teritorial yang terutama di dasarkan atas kebangsaan
telah menjadi kenyataan. Jika dalam tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional,
yaitu sedudah terjadinya perjanjian westphalia, kekuasaan riil dalam negara masih berada
dalam tangan raja, maka setelah terjadinya revolusi prancis dan berbagai pergolakan yang
terjadi di eropa yang mengakibatkan berpindahnya kekuasaan dari tangan raja ketangan
rakyat dibanyak negara, maka negara kebangsaan telag benar-benar jadi negara nasional
dalam arti yang sebenar-benarnya dan bukan lagi kerajaan dengan wajah baru.

Kedua, ialah diadakannya berbagai konperensi internasional yang dimadsudkan sebagai


konperensi untuk mengadakan perjanjian internasioanal yang bersifat umum dan meletakkan
kaidah hukum yang berlaku secar universal lepas dari kenyataan bahwa masalah yang diatur
oleh konperensi internasioanal itu terutama terletak di bidang hukum perang dan netralitas,
kejadian ini dan terutama madsud mengadakan konperensi perjanjian secara berkala
merupakan satu langkah maju ke arah suatu masyarakat internasional sebagai suatu
masyarakat hukum. Sebabnya ialah karena konperensi-koperensi yang menetapkan perjanjian
internasional yang bersifat umum dan berlaku secar universal ini sedikit banyak memnuhi
fungsi legislatuf dari masyarakat internasional. Konperensi perdamaiyan ini dapat di anggap
sebagai pelopor dari usaha dikemudian hari yang lebih terarah lagi kepada pembentukan
hukum internasional melalui berbagai perjanjian yaitunusaha kodivikasi hukum internasional
dalam rangka liga bangsa-bangsa dan kemudian lagi dari PBB.

Ketiga, dibentuknya mahkaamah internasional arbitrase permanen yang merupakan suatu


kejadian penting dalam mewujudakn suatu masyarakat (hukum) internasional. Dengan
dibentuknya mahkamah arbitrase permanen dihidupkan kembali suatu lembaga penyelesaian
pertokaian antara bangsa-bangsa yang telah merupakan suatu lembaga yang ampuh dalam
masyarakat bangsa-bangsa pada abad pertengahan. Lembaga ( institut ) arbitrase sebagai satu
cara penyelesaian persengketaan antat bangsa-bangsa banyak berkurang artinya sejak
pertengahan kedua abad XVII dan dalam abad XVIII dan XIX yaitu dalam masa tumbuhnya
negara-negara kebangsaan. Seperti diketahuai sesudah perjanjian wetsphalia dan dengan
bangunya negara-negara kebangsaan, perang telah bertambah penting sebagai suatu cara
penyelesaian sengketa internasional dan cara membela kepentingan nasional. Tidaklah
mengherankan bahwa dalam masa ( periode ) ini di eropa banyak sekali terjadi perang dan
bahwa arbitrase sebagi suatu lembaga penyelesaian persengketaan hampir dilupakan. Karena
itu pembemtuksn mahkamah arbitrase permanen yang kemudian dalam tahun 1921 yang
disusun oleh pembentukan suatu mahkamh unternasional permanen, yang merupakan satu
mahkamah untuk mengadili perkara-perkara internasional menurut hukum, merupakan
kejadian yang penting. Dibentuknya bebagai lembaga wewenang menyelesaikan
persengketaan internasional tampa penggunaan kekerasan senjata, merupakan satu tanda
bahwa masyarakat internasional telah memasuki tahap kedewasaannya. Dilihat dalam rangka
perkembangan masyarakat internasional yang di dasarkan atas negara-negara kebangsaan
sebagai satu masyarakat hukum, kejadian ini penting karena dalam dibentuknya mahkamah
arbitrase internasional dan mahkamah internasional permanen ini telah di ambil langkah
pertama dalam merealisasikan kekuasaan pradilan sebagai salah satu fungsi yang esensial
dalam satu masyarakat hukum.

Apabila kita mengadakan invertarisasi ciri-ciri internasional sudah diadakannya koperensi


den haag pada tahun 1907, tidak dapat kita bantah bahwa di bandingkan dengan keadaanya
pada waktu sesudah (baru) diadakannya perjanjian westphalia terdapat kemajuan yang tidak
sedikit.

Anda mungkin juga menyukai