Anda di halaman 1dari 5

Nama : ANIS NAWANG WULAN SARI

NIM : 8111418056

Matakuliah : Hukum Adat

SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT INDONESIA I

Sejarah politik hukum adat Indonesia tidak lepas dari masa penjajahan, terutama masa
penjajahan Belanda. Selain itu juga tidak lepas dengan negara lain yang pernah menjajah Indonesia
yaitu Jepang, Portugis, Spanyol, Inggris dan Perancis. Sejarah hukum adat Indonesia terbagi
menjadai beberapa masa yakni:

A. ZAMAN KOMPENI

Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada akhir abad ke-16 Masehi adalah dengan
maksud untuk berdagang. Mereka adalah bagian dari pegawai beberapa perseroan dagang
partikelir yang kemudian di tahun 1602 Masehi perseroan-perseroan bergabung menjadi suatu
badan yang sering disebut V.O.C. Pada 20 Maret 1602 V.O.C menerima hak dari pemerintahan
Belanda untuk berdagang sendiri di Indonesia serta hak-hak untuk mendirikan benteng-
benteng dan membuat perjanian dengan Raja-raja Indonesia. V.O.C tidak mempunyai
rancangan pekerjaan tatanegara dan tidak memerlukan suatu teori tatanegara, dengan tujuan
hanya untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Peraturan kehakiman dizaman
V.O.C. berbeda-beda antara tempat-tempat di pantai laut yang dipergunakan sebagi pusat
melakukan pemerintahan dengan daerah lain yang masih masuk dalam kekuasaan V.O.C, salah
satunya yaitu Jakarta. Pada pusat pemerintahan berlaku Hukum Kompeni, dan diluar pusat
pemerintahan hokum adat tak pernah tersentuh sedikitpun. Setelah menakhlukkan Jakarta,
mereka juga membatasi wilayah-wilayahnya yaitu: Barat (sungai Cisadane),Utara (pulau-
pulau dilaut jawa), Timur (sungai Citarum), Selatan (laut /samudera Hindia). Semua tempat
yang dikuasai V.O.C tidak memberlakukan hokum yang lain kecuali hukmnya sendiri yaitu
hokum Belanda yang dimuat di dalam berbagai plakkaten (pengumuman atau maklumat) dan
ordonnantien (undang-undang), tetapi dalam praktiknya hokum tersebut hanya dapat
dijalankan di kota Jakarta saja. Selain itu V.O.C juga menetapkan terhadap semua golongan
Bumiputera jika kemudian disuruh tinggal di kampung-kampung terpisah-pisah, di bawah
pimpinan kepala sendiri-sendiri, perkara-perkara lecil serta perkara pewarisan maka itu disuruh
selesaikan oleh kepala-kepala itu menurut adat dan Indonesia juga dapat meminta
perbandingan/pertimbangan dari juru pengemuka Belanda.

B. MASA PEMERINTAHAN G.G. DAENDELS


Menurut pasal 86 Charter 1804 Susunan pengadilan untuk bangsa bumiputera akan tetap
tinggal menurut hukum serta adat mereka sedangkan Kekuasaan hukum schepenen bertentangan
dengan dasar yang termuat di dalam pasal 86 charter 1804, karena berbanding terbalik dengan
pasal tersebut, schepenen melakukan Hukum Belanda dan kekuasann hokum Schepenen paling
luas sedangkan menurut Deandels salah satu dari kekecewaan susunan pengadilan V.O.C. adalah
bahwa lingkungan kekuasaan hukum terlalu luas, dan hal ini tak selaras dengan dasar-dasar charter
untuk mendapat keadilan dengan cepat. Daendels berpahaman didasarkan pada pasal 86 dari
Charter 1804, bahwa daerah kekuasaan hukum yang luas akan menghalang-halangi pengadilan
yang cepat dan baik, maka selanjutnya didirikan Landraad di Surabaya kemudian diserahkan
kepada Landraad Semarang bagian timur. Dimana kekuasaan Landraad ialah untuk memutuskan
hukuman mati yaitu perampokan rumah-rumah agama, chianat, merusakkan kubur serta
pembunuhan oleh orang Jawa atas orang Jawa yang lain. Kejahatan dari pada bupati-bupati, jaksa,
keluarga mereka serta penduduk terkemuka yang lain, diputus dalam sidang Landraad ini juga. Di
dalam tiap-tiap kabupaten (Jawa tengah dan Jawa Timur) didirikan suatu Vredegericht Daendels
menentukan bahwa jika orang-orang yang tidak asli (tidak lahir di tanah Jawa) melakukan
kejahatan, maka Raad van Justitie lah yang berhak mengadili. Raad van Justitie juga akan
mengadili kejahatan-kejahatan yang melanggar ketentraman umum.

Pada masa Daendels hukum adat diberlakukan untuk bangsa Indonesia dan tidak akan
diberlakukan apabula hukum tersebut bertentangan dengan dasar-dasar utama dari keadilan dan
kepatutan ataupun jika oleh karenannya dalam perkara hukum siksa tak tercapai kepentingan yang
besar dari keamanan umum. Daendels tidak membuat perubahan yang penting dalam hukum
penduduk yang berasal dari Negeri Belanda, dan juga tidak dalam hukum anak negeri. Segala
hukum penduduk tetap tinggal seperti sedia kala dan umumnya dilakukan untuk bangsa
bumiputera hukumnya sendiri serta acara hukum yang biasa dipakainya, akan tetapi dalam
menurut keadilan perkara pidana tak akan diperlakukan lagi dakwa orang yang menjadi korban
atau keluarganya yang diharuskan oleh hukum Jawa. Daendels menganggap bahwa hukum asli
dipulau Jawa terdiri atas hukum Islam. Pada masa pemerintahan Daendels terjadi kekecewaan
dalam lapangan keuangan serta tindakan kesewenang-wenangan terhadap penduduk Indonesia
sehingga Deandels digantikan dengan Jenderal Wilhem Janssens sebagai G. G.

C. MASA PEMERINTAHAN INGGRIS: LUITENANT-GOUVERNEUR THOMAS


STAMFORD RAFFLES

Raffles bependapat bahwa hanyalah hukum adat yang selaras dengan kepentingan bangsa
Indonesia, hukum adat diberlakukan dengan syarat tak boleh bertentangan dengan the universal
and acknowledged principles of natural justice atau dengan the acknowledged principles of
substantial justice. Peraturan Raffles yang mengenai berlakunya hukum adat pidana didalam
praktik menimbulkan pengadilan sewenang-wenang. Reaffles mengira bahwa hukum adat tak lain
adalah hukum islam maka dari itu dia mencela peraturan dalam pemerintahan Belanda (Daendels).
Raffles menganggap hukum adat tak mempunyai derajat yang setinggi derajat Eropa, hukum adat
dianggap baik untuk bangsa Indonesia, akan tetapi tak patut jika diperlakukan atas orang Eropa.
D. MASA 1816-1848

Luitenant Gouverneur John Fendall (pengganti Raffles) berhenti dari jabatannya dengan
dikeluarkannya proclamatie tanggal 19 Agustus 1816, yang diantaranya berisi tentang:
Diberikannya kekuasaan atas nama raja Belanda untuk melakukan kekuasaan tinggi, mengatur dan
menjalankan pemerintahan dalam segala bagian-bagiannya, Untuk mempertahankan
(gehandhaafd) peraturan-peraturan pemerintah Inggris sementara waktu.

Pada tanggal 11 Februari 1817 dibentuklah suatu panitia, yang terdiri dari tiga ahli hukum,
yaitu Mr H.W. Muntinghe, Mr P.S. Maurisse dan Mr P. Merkus, dengan kewajiban untuk membuat
rancangan tentang susunan pengadilan serta kepolisian. . Perubahan-perubahan peraturan tentang
acara perkara sipil dan pidana untuk sementara waktu bertujuan: Agar acara menjadi lebih singkat;
lebih banyak jaminan tentang kemerdekaan diri dan jaminan menentang perbuatan sewenang-
wenang.

SEJARAH HUKUM ADAT INDONESIA II

A. Usaha-usaha pemerintah Belanda untuk menjalankan politik hukum terhadap


bangsa Indonesia di dalam lapangan hukum

Masa ini dimulai dengan pengangkatan Mr G. C. Hageman sebagai ketua dari Hoog
Gerechtshof van N.I. pada bulan Juli 1830. Mr. Hageman berusaha untuk membuat persatuan
buku hukum tidak sampai terlaksana karena tempo Mr. Hageman yang diberikan untuk
melaksanakan misi ini yang sudah berakhir. Selama tahun 1832-1837 terjadi perubahan-perubahan
kitab-kitab undang-undang yang dianggap perlu, bahwa buku-buku hukum yang telah
diperbaharui akan berlaku pada tanggal 1 Oktober 1838. Dengan putusan tertanggal 31 Oktober
1837 dibentuklah suatu panitia yang terdiri dari Mr. C. J. Scholten van Oud-Haarlem, ketua dar
Hoog Gerechtshof van N.I., sebagai ketua dan Mr. A. A. van Vloten dan Mr. P. Meyer sebagai
anggota. Pada tahun 1838 panitia ini dibubarkan karena Mr. Scholten jatuh sakit dan terpaksa
kembali ke Belanda. Dengan Firman Raja tertanggal 15 Agustus 1839, maka dibentukalah panitia
yang kedua di negeri Belanda, yang terdiri atas Mr. Scholten sebagai ketua dan Mr. I. Schneither
sebagai anggota dengan tujuan pembentukan yaitu mengadakan rencana yang perlu agar hukum-
hukum negeri Belanda yang baru berlaku di Hindia serta mengusulkan hal-hal yang dianggap
penting. Mr. Scholten tak ingin untuk menodai hukum adat sipil, namun hal ini tidak diuraikan
dalam penjelasan (MVT yang menyertai rencana-rencana panitia). Pemerintah agung mengangkat
anggota luar biasa yang dianggap tahu akan keadaan di Indonesia, yaitu J. Van Der Vine, olehnya
dikemukakan keberatan-keberatan yang bersandar pada anggapan, bahwa hukum Belanda akan
janggal buat suatu negeri yang mempunyai penduduk berjuta-juta manusia yang beragama bukan
nasrani dan bukan menyembah berhala yang mempunyai berbagai agama serta adat istiadat
sedangkan penduduknya yang beragama islam sangat besar dan sangat setia pada pada sendi-sendi
agamanya serta undang-undang dan adat kebiasaan mereka yang tertulis, sehingga
diberlakukannya hukum Belanda berarti suatu pelanggaran atas hak-hak, adat istiadat dari pada
golongan pneduduk yang bukan bangsa Eropah, serta suatu pemecahan dari beberapa banyak
bangunan hukum, undang-undang serta adat-adat yang berlainan satu dengan yang lain berhubung
dengan tempat atau daerah ataupun golongan manusia (orang-orang) di Hindia. 2 hal yang perlu
diperhatikan dalam rencana panitia yang diketuai oleh Mr. Scholten yaitu mengenai rancangan
susunan pengadilan yang diusulkan dan mengenai lapangan perniagaan. Alasan dipertahankannya
hukum adat oleh Van Der Vinne yaitu bukanlah ersandar atas hukum adatlah yang selaras denagn
kebutuhan hukum bangsa Indonesia, melainkan hal inin merupakan akibat ingkar dari pada
keberatan Van Der Vinne untuk melakukan hukum eropa atas orang-orang Indonesia, dan pokok
alas an dari keberatan ini pada hakekatnya bukanlah bersandar pada hak terpakainya hukum asing
yang bertumbuh dalam keadaban lain melainkan pada keadaan keuangan Belanda.

B. Pengitaban Hukum (Codificate)


Pada tahun 1854 Mr S. Keyzer mendesak agar supaya diadakan pelukisan atau pengitaban dari
hukum bumiputera dan adat, yang bagi Jawa semua bahan-bahan itu sudah cukup adanya. Mr.
Keyzer menganggap hukum adat sebagai suatu hukum Islam yang sudah dikurangi. Mengadakan
persamaan hukum Eropa dengan hukum Bumiputera akan sangat membahayakan kita di Hindia-
Belanda, akan tetapi mengadakan persamaan dari seluruh hukum asli adalah perlu sekali dan harus
disertai dengan pembukaan, karena hukum asli sama dengan hukum islam. Pada tahun 1852 Van
den Bossche mendapat tugas untuk merancang suatu pengitaban hukum adat bagi Palembang, yang
pada tahun 1854 berhasil selesai dan rancangan tersebut disebut dengan Sembur Cahaya (yang
berarti lichtstraal), sembur cahaya tersebut hanya memuat hukum Palembang tua yang
dikumpulkan oleh Van Den Bossche.

C. Akibat perundang-undangan (Wetgevingsnaspel) di bawah Duymaar van Twist


November 1851 G. G. A. J. Duymaar van Twist (1851-1856) diperintahkan untuk mengadakan
penyelidikan sementara terhadap perhubungan-perhubungan agraria (agrarische verhoudingen) di
Cirebon dan tidak lama setelah itu di Banyumas. Mr P. A. van der Lith mengutarakan dalam
tulisannya “de Gids” dimana ia mengutarakan anjuran yang kuat supaya mengakui dan
mengadakan penyelidikan terhadap pranata-pranata hukum adat. Ia membicarakan mengenai
perlunya dualism, karena pranata hukum yang bersumber dari sejarahlah yang dapat menetap pada
suatu bangsa dan bersedia menghadapi kesukaran dan pertentangan-pertentangan. Dalam tahun
1900 Menteri J. T. Cremer merumuskan buah pikirannya untuk memperbaiki hukum perdata
orang-orang Indonesia itu dalam suasana hukum perdata Gubernemen. Atas inisiatifnya sendiri, ia
mengusulkan agar hukum adat perdata digunakan kepada seluruh masyarakat Indonesia.

D. Masa 1880-1829 merupakan juga masa ethnologi hukum adat


Hasil-hasil pekerjaan G. A. Wilken (1847-1891) diterbitkan dalam masa 1880 hingga 1891,
yaitu tahun ia meninggal. Sebagai pegawai Pangrehpraja F. A. Liefrinck melanjutkan
penyelidikan tentang hukum adat, namun hasil pekerjaannya di daerah sudah lebih dahulu
diterbitkan dalam tahun 1886 dan 1887 dalam majalah Indische Gids, yaitu hasil penyelidikan
mengenai pajak tanah raja di Bali. Hasil penyelidikan tentang susunan desa juga desa juga
diterbitkan pada tahun 1889 “Brijdrage tot de kennis van het eiland Bali” yang artinya sumbangan
bagi pengetahuan tentang Bali. V. d. Berg, yang seperti Keyzer memberikan pelajaran hukum
Islam dengan penyimpangan-penyimpangannya, mengumumkan antara tahun 1892 dan 1901
hasil-hasil penyelidikannya dalam karangan-karangan majalah, yang dengan hebatnya ditentang
oleh Snouck Hugronje dalam bukunya De Atjehers. Pada tahun 1892 Menteri jajahan Mr W. K.
Baron van Dedem membentuk suatu panitia negara untuk memperbaharui hukum perdata dan
pidana Hindia Belanda. Pada tahun 1895 panitia ini sudah selesai dengan suatu rancangan
kekuasaan peradilan (rechtsbedeling) dalam perkara-perkara sipil orang-orang Bumiputera
Keristen (sedang Baron van Dedem itu sendiri dalam tahun 1894 telah menulis surat Hindia
Belanda, mencela penetapan hak milik negara untuk Sumatera. tahun 1897 Nederburgh datang
dengan suatu rencana penyatuan hukum di Hindia Belanda. Janganlah adat terpecah-pecah,
janganlah kitab undang-undang dipotong-potong, melainkan satu peraturan bagi semua orng
Timur Asing dan satu rancangan bagi semua orang Bumiputera, dalam tahun 1905 ia
memperjuangkan hal itu dengan sekuat-kuatnya. Permulaan abad ke-20 adalah saat ditemukannya
hukum adat kedua kalinya, penemuan yang lebih mendalam lagi, yang tidak hanya mengumpulkan
dan mengatur kenyataan-kenyataan saja, melainkan mulai mengerti dan paham akan ketimuran
dalam kenyataan-kenyataan itu.
Ketiga factor yang berjalan hampir bersamaan, membelokkan penyelidikan hukum adat
kearah yang baru, yaitu:
1. Pekerjaan dari ethnologi yang lebih muda, yang bagi Indonesia dipropagandakan
oleh Van Ossenbruggen.
2. Suatu usul undang-undang dalam tahun 1904 untuk memperbaharui pasal-pasal 75,
dan 109 R.R.
3. Keputusan dan tindakan pemerintah Hindia Belanda untuk turut mengatur dalam
urusan penyelenggaraan desa (dorpswezen), penyelenggaraan swapraja
(landschappen) dan hukum tanah.
Dalam masa ini abad ke-20 timbullah keadaan yang menguntungkan, penyelidikan
terhadap daerah-daerah dan golongan-golongan bangsa, yang dalam adat kebiasaan jauh berbeda
dari orang-orang Barat, sehingga dalam hal ini orang harus mengakui sifatnya yang khusus
ketimuran. Tidak adanya kesempurnaan dalam bentuk rancangan kitab undang-undang ini yang
mengandung banyak pengecualian, bukanlah karena kekurangan kecakapan tekhnis
penyusunannya. Rancangan kitab undang-undang Cowan adalah berpangkal kepada keputusan
pemerintah tahun 1913, yang tidak dicetak, akan tetapi yang mengatakan keinginan, bahwa
pemerintah menghendaki suatu kitab undang-undang dikemudian hari, yang sedapat-dapatnya
merupakan hukum Eropa dan sebanyak-banyaknya mendekati kitab undang-undang Negeri
Belanda 1838. Dalam tahun 1922 Raad van Justitie dan dalam tahun 1924 Hooggerechtshof dapat
menyetujui seluruh rancangan kitab undang-undang itu. Pengganti Mr Cowan, yaitu Mr Rutgers
harus memberitahukan kepada pemerintah, bahwa menurut pendapatnya meneruskan pelaksanaan
kitab undang-undang kesatuan itu tidaklah mungkin. Dalam tahun 1926 pemerintah memberikan
tugas kepala kontrolir Vergouwen, Hasil-hasil penyelidikan Vergouwen mengenai hali itu
diumumkan dalam Medelingen Binnelands Bestur.

Anda mungkin juga menyukai