Anda di halaman 1dari 37

I.

JUDUL PROPOSAL PENELITIAN

PENEGAKAN HUKUM KOMUNITAS GAY TERINFEKSI HIV

DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENULARAN PADA

KOMUNITAS REMAJA DI KABUPATEN CIREBON

II. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Kasus HIV dan AIDS di Kabupaten Cirebon1 dari tahun ke tahun

terus meningkat. Kasus pertama ditemukan pada tahun 2000 yaitu sebanyak

3 kasus pada kelompok risiko wanita pekerja seks. Kasus ini pun terus

berkembang seiring dengan semakin intensifnya program penanggulangan

yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan, Komisi Penanggulangan AIDS dan

LSM penggiat HIV dan AIDS. Secara berturut-turut penemuan kasusnya

tahun 2001 (6 kasus), 2002 (68 kasus), 2003 (23 kasus), 2004 (35 kasus),

2005 (11 kasus), 2006 (13 kasus), 2007 (59 kasus), 2008 (110 kasus), 2009

(101 kasus), 2010 (75 kasus), 2011 (56 kasus), 2012 (136 kasus), 2013 (137

kasus), 2014 (199 kasus), 2015 (170 kasus), 2016 (129 kasus) dan 2017

sampai dengan bulan Nopember tercatat 189 kasus, sehingga dalam kurun

waktu 17 tahun total 1.517 kasus. Lebih jelasnya kenaikan kasus

sebagaimana grafik dibawah ini.

1 Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Bidang P2P; Laporan Tahunan HIV/AIDS Tahun 2016

1
GRAFIK KUMULATIF PENEMUAN KASUS HIV
DI KABUPATEN CIREBON TAHUN 2000 s.d. 2017
1,600 1,517

1,400 1,328
1,199
1,200
KASUS KUMULATIF 1,029
1,000
830
800 693
557
600 501
426
400 325
215 199 170 189
143 156 136 137
200 74
68 97 132 110 101 75 129
3 6
3 23 35 11 13 59 56

-
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
TAHUN

Gambar 1 : Grafik Penemuan Kasus per Tahun dan Kumulatif HIV dari tahun 2000 -2017
di Kabupaten Cirebon

Saat ini jumlah gay di Kabupaten Cirebon Hasil Estimasi KPA,

Dinkes dan PKBI tahun 2017 diperkiraan ada 1.896, sedangkan kasus HIV

pada komunitas Gay dari tahun 2013 sampai dengan 2017 terjadi

peningkatan kasus yang sangat fantastis, dimana pada tahun 2013 tecatat

hanya 8 kasus, tahun 2014 (2 kasus), tahun 2015 (26 kasus), tahun 2016 (15

kasus) dan meningkat tajam pada tahun 2017 sebanyak 44 kasus atau 2,32%

kalau dilihat dari tingkat prevalensi, untuk lebih jelasnya sebagimana

tampak pada grafik berikut ini.

2
100 95

90

80

70

60
51
50

40
36

30

20 8 44
10
10
26
8 2 15
0
2013 2014 2015 2016 2017

Jlm Total

Gambar 2. Tren Kasus HIV pada Komunitas Gay dari Tahun 2013 s.d. 2017

Gay adalah kelompok yang ekslusif karena Laki-laki yang

berhubungan seks dengan laki-laki atau LSL menjadi terminologi yang

populer dalam konteks HIV dan AIDS. Kelompok ini merupakan bagian

masyarakat yang tersembunyi (hidden). Kelompok LSL sangat sulit

terjangkau oleh program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.

Perilaku mereka sangat berisiko terhadap penularan HIV/AIDS, misalnya

bergonta-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom dan pelicin,

serta melakukan oral dan anal seks.2

Saat ini satu dari tujuh gay atau LSL hidup dengan HIV dan hanya

25% dari mereka yang berusia di atas 40 tahun. Menurut Malonzo & Felix

dalam Laporan Penelitian ntegrasi Penanggulangan HIV dan AIDS, Gay

2
Laporan Penelitian Integrasi Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan Studi
Kasus: Intervensi pada Lelaki Berhubungan Seks dengan Lelakidi Kota Surabaya, 2016, Hal. 2

3
atau LSL dan biseksual menyumbang 70% dari total kasus HIV positif.

Artinya bahwa saat ini LSL yang positif HIV didominasi oleh mereka yang

masih berusia produktif dan dalam kategori seksual aktif. Hal ini

memungkinkan kemudahan dalam proses penularan HIV/AIDS ke orang

lain melalui transmisi seksual (hubungan seksual). Menurut Komisi

Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), data statistik dan hasil

pemodelan matematik menunjukkan bahwa jalur utama penularan HIV di

Indonesia dewasa ini dan ke depan adalah melalui transmisi seksual.3

Permasalahan remaja yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi,

sering kali berakar dari kurangnya informasi, pemahaman dan kesadaran

untuk mencapai keadaan sehat secara reproduksi. Banyak sekali hal-hal

yang berkaitan dengan hal ini, mulai dari pemahaman mengenai perlunya

pemeliharaan kebersihan alat reproduksi, pemahaman mengenai proses-

proses reproduksi serta dampak dari perilaku yang tidak bertanggung jawab

seperti kehamilan tak diinginkan, aborsi, penularan penyakit menular

seksual termasuk HIV.

Pemerintah tentunya tidak tinggal diam dengan permasalahan yang

timbul pada remaja, hal tersebut disikapi dengan diterbitkannya regulasi

yang tentunya untuk menyelamatkan geenerasi penerus bangsa. Pasal 1

Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak menyatakan bahwa Anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

3
Ibid, hal 3

4
kandungan. Ayat (12) Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang

wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga,

masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah. Ayat (15a)

Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau

penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,

atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Dari uraian yang telah dikemukakan diatas Penulis sangat tertarik

untuk melakukan penelitian dengan judul Penegakan Hukum Komunitas

Gay Terinfeksi HIV dalam Upaya Pencegahan Penularan pada Komunitas

Remaja di Kabupaten Cirebon.

III. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah pemahaman hukum Komunitas Gay HIV-AIDS

terhadap upaya pencegahan penularan Komunitas Remaja di Kabupaten

Cirebon?

2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap komunitas Gay HIV-AIDS

dalam upaya pencegahan penularan Komunitas Remaja di Kabupaten

Cirebon?

IV. KERANGKA PEMIKIRAN

Gay di Kabupaten Cirebon merupakan sebuah fenomena unik

dimana keberadaannya pun sangat tertutup. Aktifitas social mereka sangat

5
terbatas hanya dikalangan mereka saja sehingga sangat jarang menunjukan

status sosialnya di lungkungan yang terbuka.

Kasus HIV pada Gay merupakan dampak dari perilaku seks

menyimpang yang berisiko, dimana dalam hal ini perlu pengkajian lebih

dalam menyikapi fenomena ini, dengan demikian secara metodologi

penelitian hukum, hermeneutika hukum ini secara filosofis mempunyai

tugas ontologis, yaitu menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihindari

antara teks dan pernbaca, masa lalu dan sekarang, yang memungkinkan

untuk memahami kejadian yang pertama kali (genuin). Terdapat juga

dimensi demistifikasi terhadap hermeneutika hukum. Hukum intinya adalah

aktivitas pembentukan aturan (rule-governed).

Kadang-kadang dikatakan bahwa aturan formal dan doktrin hukum

menyajikan kepastian dan stabilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat sipil.

Hermeneutika mencari cara untuk menggantikan pandangan hukum

formalistis ini, walaupun tidak secara total. Dalil hermeneutika menjelaskan

bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah

dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya fakta-fakta, termasuk

dalam paradigma dari teori penemuan hukum modern dewasa ini, dengan

demikian, jika objek penafsiran/kajian itu berupa teks hukum, doktrin

hukum, asas hukum, atau norma hukum, maka esensinya ia adalah

Hermeneutika Hukum4

4
Mahfud, Hermeneutika Hukum dalam Metode Penelitian Hukum Kanun Jurnal Ilmu Hukum No.
63, Th. XVI (Agustus, 2014), hlmn. 209-220. Hermeneutika merupakan aliran filsafat yang
mempelajari hakikat hal mengerti/memahami sesuatu: Sesuatu yang dimaksudkan di sini dapat

6
Hukum sebagai konsep yang modern berfungsi untuk melakukan

suatu perubahan sosial, selain itu tidak hanya mengukuhkan pola-pola

kebiasaan yang telah ada tetapi juga berorientasi pada tujuan-tujuan yang

diinginkan yaitu menciptakan pola perilaku yang baru.

Hukum selalu dibatasi oleh lingkungan dimana ia berada, oleh

karena itu selalu terjadi pertentangan antara das Sollen (apa yang

seharusnya) dengan das Sein (apa yang senyatanya). Pembuat, pelaksana

hukum serta masyarakat selalu terlibat dalam proses penegakan hukum

dalam mewujudkan tujuan hukum menjadi nyata.

Komponen-komponen yang terlibat dalam penegakan hukum

diantaranya adalah personel, information, budget, facilities substantive law,

procedural law, decision rules and decision habits. Sedangkan faktor yang

menyebabkan perubahan undang-undang yaitu factor personal dan

perubahan kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik serta factor pemegang

peran terhadap pembuat undang-undang terhadap birokrasi penegakan.

Dari hal tesebut menunjukkan bahwa tingkah laku seseorang tidak

hanya ditentukan oleh hukum tetapi juga oleh kekuatan-kekuatan lain yang

muncul dalam lingkungan5.

berupa; teks (dokumen resmi negara), naskah-naskah kuno, lontar, norma, peristiwa, pemikiran
dan wahyu atau kitab suci, yang kesemuanya ini merupakan objek penafsiran hermeneutika
5
Jurnal Penelitian yang dilaporkan oleh Sri R. Mulyani, pengumpulan data dilakukan dengan
metode survei melalui penyebaran kuesioner pada 73 mahasiswa IPB. Pemilihan sampel dilakukan
secara accidental sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa 78% mahasiswa IPB menolak
keberadaan kaum gay di Indonesia. Faktor dominan yang membentuk seseorang menjadi gay
menurut 23,5% mahasiswa IPB yaitu faktor trauma. Pencegahan utama melalui institusi agama
menurut 80,56% mahasiswa IPB. Sikap generasi muda dalam menghadapi kaum gay yaitu
melakukan pendekatan emosional untuk kembali menjadi manusia normal, menolak dengan tegas,
dan menganggap kaum gay sebagai social disease.
S. Campbel dalam Jurnal Ilmiah Imron Muttaqin, menunjukkan bahwa kaum LGBT secara individu
mempunyai kerentanan khusus terhadap penyakit seksual menular seperti HIV-AIDS, diskriminasi
dan pemahaman yang buruk terhadap kesehatan seksual mereka dan hal ini menimbulkan
keprihatinan kesehatan masyarakat bagi komunitas LGBT pada populasi yang lebih luas.

7
Dalam teori penegakan hukum6 dikemukakan bahwa suatu proses

dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma secara

nyata sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat yang

berhubungan dengan hukum. Penegakan hukum merupakan suatu persoalan

yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Perkataan penegakan hukum

mempunyai konotasi menegakkan, melaksanakan ketentuan di dalam

masyarakat, sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan hukum

merupakan suatu proses berlangsungnya perwujudan konsep-konsep yang

abstrak menjadi kenyataan. Proses penegakan hukum dalam kenyataanya

memuncak pada pelaksanaanya oleh para pejabat penegak hukum itu

sendiri.

Menurut Soerjono Soekanto7 dalam Salim dan Erlies Septiana

Nurbani menyatakan bahwa Penegakan hukum adalah kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-

Qomarouzzam5 dalam Jurnal Ilmihnya menyimpulkan bahwa Islam sangat melarang dan melaknat
Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), karena hal ini dipandang tidak sesuai dengan
kodrat penciptaan manusia yang diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan melalui pernikahan.
Oleh karenanya, prilaku menyimpang LGBT termasuk perbuatan jarimah (tindak pidana/kriminal)
dalam Islam. Dan untuk sanksi pidananya dapat diklasifikasikan tiga, yaitu pertama pelaku
homoseksual (al-Liwath/as-Sihaq) dapat dikategorikan jarimah zina dan hukuman (‘uqubah) nya
adalah sama dengan hukuman had zina, yaitu apabila ia ghair muhshan maka didera (cambuk)
seratus kali ditambah dengan pengasingan selama satu tahun, dan apabila ia muhshan maka ia
dirajam (dilempar dengan batu) sampai mati. Kedua, terhadap pelaku biseksual tidak dapat
dikategorikan sebagai jarimah zina yang dikenai hukuman had melainkan hanya tergolong pada
perbuatan maksiat yang diancam dengan hukuman ta'zir, yaitu hukumannya diberikan
kewenangannya pada pemerintah, hukuman tersebut dapat dalam bentuk penjara, denda atau
lainnya. Ketiga terhadap transgender (khuntsa mukhannats atau, bila pelakunya hanya menyerupai
(tasyabbuh) lain jenis, baik dalam berbicara, berbusana, maupun dalam berbuat, maka sanksi
pidananya adalah berbentuk ta’zir dengan cara diusir dari tempat tinggalnya. Akan tetapi bila
transgender (khuntsa mukhannats atau tersebut melakukan hubungan seksual maka hukumannya
disamakan dengan jarimah hudud zina.

6 Amiruddin dan Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. Edisi Revisi, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta. Hlmn. 218-232
7
Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, Rajagrafindo, Cetakan ke-4, 2016, Hlmn. 307

8
kaedah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai

rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk mencipkatan, memelihara,

dan mempertahankan kedamainan pergaulan hidup.

Gay selama ini dipandang sebuah fenomena penyimpangan perilaku

seksual, sehingga risiko terjadinya penularan penyakit seksual sangat tinggi

karena hubungan seks yang mereka lakukan sesama jenis mengandung

risiko yang sangat besar. Anal seks adalah sebuat perialku seks di komunitas

mereka selain oral seks.

Nilai-nilai yang ada di komunitas gay sungguh sangat miris, dimana

ada sekelompok yang membuat strategi-strategi di dalam perekrutan dalam

anggota baru komunitasnya. Hal ini terungkap disalah satu group media

social. Sasaran mereka adalah komunitas remaja yang ada di lingkungan

sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, sehingga gerakan-

gerakan mereka cukup ekslusif. Para gay yang sudah dewasa dan berduit

secara sengaja berlomba-lomba dalam komunitasnya untuk mendapatkan

“brondong”. Brondong ini dipelihara dalam artian dipenuhi semua

kebutuhanya mulai dari makan, minum, pakaian bahkan sarana komunikasi

pun dilengkapi dengan maksud dan tujuan agar mereka menjadi pemuas

seks semata.

Secara kasat mata gay saat ini banyak dijumpai di Salon, Mall,

Agency Modeling, Perancang Pakain Modeling, dan biasanya menampilkan

dirinya saat ada event fashion show atau bahkan sekarang secara sengaja

tampil di media televisi dengan harapan mereka bisa eksis dan diakui

keberadaanya oleh masyarakat. Peneliti sendiri pernah beberapakali di

9
inbox melalui medsos menanyakan status ke gay an, alamat tempat tinggal,

dominan seksnya apakah top atau bottom, bahkan gay itu menawarkan diri

bahwa dia dominan bottom.

Pemerintah dengan kewenangannya harus cepat bergerak dengan

aksi-aksi dan strategi nyata dan mengena kepada sasaran dengan tujuan

untuk mengendalikan fenomena social ini.

Dalam pelaksanaan penegakan hukum perlu adanya suatu

penyuluhan hukum guna untuk mencapai tingkat kesadaran hukum yang

tinggi dalam masyarakat sehingga masyarakat dapat menghayati hak dan

kewajiban asasi masyarakat dalam rangka tegaknya hukum, tegaknya

keadilan, ketertiban hukum, kepastian hukum dan terbentuknya sikap dan

perilaku yang taat pada hukum.

Sedangkan di dalam Teori Interaksionisme Simbolik8 fungsi

simbolik dari hukum adalah untuk memberikan pedoman umum mengenai

bagaimana orang harus berperilaku. Kadang-kadang simbol-simbol ini

dipergunakan supaya kita mendapatkan suatu pedoman nyata (sebagai

informasi) bagi perilaku-perilaku dari organ-organ masyarakat bagian-

bagian dari organisasi masyarakat, termasuk didalamnya setiap individu

yang menjadi anggota masyarakat yang mana pedoman ini dimaksudkan

untuk mengimplementasikan hukum.

Interaksionisme simbolis dapat memisahkan satu dari berbagai

system dan dari berbagai lingkungan sosial, didalamnya terdapat hukum

8
Lihat Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi Revisi,
Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-9, 2016, Hal. 230-232

10
yang memainkan fungsi simbolis yang bersama-sama atau kadang-kadang

juga sebagai pengganti dari fungsi-fungsi yang lainnya. Dari sudut pandang

ini, interkasionisme adalah sebagai perspektif komplementer atau

pelengkap, akan tetapi mendapat perbedaan di dalam metodologinya, yang

mana untuk interaksionisme simbolis, ia menggunakan metodologi yang

berdasarkan kepada suatu observasi terhadap kesadaran diri para

pesertanya. Jika penyimpangan itu dibentuk melalui proses-proses sosial

tersebut dicerminkan di dalam kesadaran dari kelompok-kelompok yang

menjadi target penelitian.

Dengan semakin meningkatnya kasus HIV pada komunitas gay,

seolah-olah hukum dan kebijakan terjadi kemandulan dalam

implementasinya, sehingga kasusnya setiap tahun terus bertambah.

Alternative pemecahan saat ini sudah sangat mendesak untuk

menanggulanginya.

Hukum progresif yang ditawarkan oleh Bagawan Hukum Prof.

Satjipto Rahardjo dalam Endang Sutrisno9 mengungkapkan bahwa hukum

progresif menjadi pilihan yang sepatutnya harus dilakukan mengingat

karakter hukum ini telah membiarkan dirinya terbuka terhadap perubahan

dan cair, sehingga apapun perubahan yang terjadi hukum progresif mampu

menangkap dan mencerna perubahan perubahan tersebut. Selalu berproses

dan tidak final adalah ciri yang melekat di dalamnya, proses dalam upaya

mencari kebenaran-kebenaran; kebenaran tentang makna keadilan,

9 Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisas, In Media, 2015, hlm. 48-49.

11
kepastian, ketertiban, kesejahteraan, keamanan yang selalu bersinggungan

dengan kebutuhan masyarakat.

Hukum hanyalah salah satu sub system dari system social yang

cakupannya lebih besar hingga hukum tidaklah berada dalam ruang yang

hampa tetapi senantiasa berinteraksi dengan sub-sub system social lainnya

yang ada dalam tatanan masyarakat10.

Kasus gay akhirnya masuk ke wilayah hukum, hal ini kalau kita lihat

saat ini masyarakat sudah mulai geram dengan regulasi yang ada terutama

dalam pasal 292 KUHP tentang pencabulan sesama jenis11 yaitu orang

dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa

dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus

disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima

tahun. Seperti halnya kasus Saipul Jamil12 yang rame diberitkan di media,

didakwa dengan Pasal 292 frasa “yang belum dewasa” dan frasa “sedang

10 Ibid, hlm. 58.

11
Setelah ditunggu hampir setahun, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan
pengujian pasal perzinaan, pemerkosaan dan pencabulan sesama jenis (kesusilaan) dalam KUHP.
Dalam putusan bernomor 46/PUU-XIV/2016 yang dibacakan secara bergantian oleh majelis MK di
ruang sidang MK Jakarta, Kamis (14/12), intinya MK beralasan pengujian permohonan Guru Besar
IPB Euis Sunarti dkk ini masuk wilayah kewenangan pembentuk undang-undang (UU). Sejak Juni
tahun lalu, 12 pemohon yang dimotori Euis Sunarti mempersoalkan Pasal 284 KUHP (perzinaan),
Pasal 285 KUHP (pemerkosaan), dan Pasal 292 KUHP (pencabulan sesama jenis). Euis Sunarti dkk
meminta MK memperluas makna larangan perzinaan, pemerkosaan, dan homoseksual (hubungan
sesama jenis) agar sesuai jiwa Pancasila, konsep HAM, nilai agama yang terkandung dalam UUD
1945. Misalnya, memperluas makna perzinaan yang tak hanya terbatas salah satu pasangan atau
keduanya terikat perkawinan (27 BW), tetapi termasuk hubungan badan bagi pasangan yang tidak
terikat pernikahan (free sex). Sebab, penafsiran secara a contrario Pasal 284 KUHP bermakna
persetubuhan suka sama suka di luar perkawinan bukan tindak pidana (praktik prostitusi).diakses
melalui internet http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a32af7a950cd/dalih-wewenang-
pembentuk-uu--mk-tolak-perluasan-pasal-kesusilaan

12http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt576aa6ec11654/ketua-majelis-perkara-saipul-jamil-
bantah-komunikasi-dengan-panitera

12
diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa” dalam Pasal

292 KUHP13 menunjukan negara hanya memberi kepastian perlindungan

hukum terhadap korban yang diketahuinya yang diduga belum dewasa atau

tidak memberi perlindungan terhadap korban yang telah dewasa.

Artinya, setiap jenis perbuatan cabul “sesama jenis” baik dewasa ataupun

belum dewasa seharusnya dapat dipidana (lesbian, gay, biseksual, dan

transgender atau LGBT).

Hukum sebagai institusi social melayani kebutuhan sosisl

kemasyarakatan, sehingga sudah sepantasnya masyarakat harus merasa

aman, sehat, dan sejahtera. Dalam hal ini pemerintah harus responsive

melihat gejala social yang terjadi di dalam masyarakat. Dimana dengan

semakin meningkatnya kasus HIV pada kelompok gay sudah menjadi

keresahan orang tua yang mempunyai anak usia remaja.

Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan

kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan tidak oleh pejabat

melainkan oleh rakyat. Syarat untuk mengemukakannya secara otentik

memerlukan upaya-upaya khusus yang akan memungkinkan hal ini

dilakukan. Dengan demikian, diperlukan jalur-jalur baru untuk partisipasi.

Hukum dengan mudah berubah menjadi institusi yang melayani diri

sendiri, bukan lagi melayani manusia. Hukum tidak lagi bisa diandalkan

sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan

13Ibid. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a32af7a950cd/dalih-wewenang-pembentuk-
uu--mk-tolak-perluasan-pasal-kesusilaan

13
substantif...Tanda bahaya tentang terkikisnya otoritas tersebut dan

macetnya keadilan substantif, telah menjadi fokus kritik terhadap hukum14.

Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan HIV di Kabupaten

Cirebon sampai dengan saat ini hanya sebatas pembentukan Komisi

Penanggulangan AIDS dan juga Peraturan Daerah yang sampai sekarang

masih dalam Rancangan Peraturan Daerah. Seyogyanya gejala social atau

perubahan social pada tatatanan kemasyarakat harus menekankan

pendekatan dengan mendasarkan hukum sebagai doktrin, undang-undang

dan sebagai lembaga, menelaah hal berlakunya dalam kehidupan bersama

dan dampak social hukumnya.

Pemerintah15 harus segera merumuskan kebijakan sebagai sarana

untuk mewujudkan rasa aman, nyaman dan berkeadilan sehingga dapat

memberikanpengaruh yang besar dalam penanggulangan HIV di komunitas

gay.

14
Philippe Nonet & Philip Selznick. Hukum Responsif, Pilihan di Masa Transisi. Penerjemah
Rafael Edy Bosco. Jakarta: Ford Foundation-HuMa, 2003
Nonet dan Selznick menunjukan kepada dilema pelik di dalam institusi-institusi antara integritas
dan keterbukaan. Integritas berarti suatu institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap
terikat kepada prosedur-prosedur dan cara-cara kerja yang membedakannya dari institusi-institusi
lain. Mempertahankan integritas dapat mengakibatkan isolasi institusional. Institusi akan terus
berbicara dalam bahasanya sendiri, menggunakan konsep-konsepnya sendiri dengan cara-caranya
sendiri yang khas yang mungkin sudah tidak dapat dimengerti sendiri-ahli hukum berbicara dengan
ahli hukum dan kegiatan institusi akan kehilangan relevansi sosialnya. Di lain pihak keterbukaan
yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai
dalam masyarakat pada umumnya dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya,
namun tak mengandung arti khusus, aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan
kekuatan-kekuatan dalam lingkungan sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan
untuk dilema ini dan mencoba mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas.

15Lihat Nakamura dan Smallwood dalam Denzin hlmn 718 mendefinisikan kebijakan adalah
sebuah kebijakan dapat dipandang sebagai sederet instruksi dari pembuat kebijakan kepada
pelaksana kebijakan yang menjabarkan tujuan-tujuan tersebut.

14
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

merupakan kebijakan pemerintah untuk menyehatkan masyarakat, bahkan

dengan bergulirnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013

tentang Penanggulangan HIV-AIDS dan IMS sudah Nampak bahwa jika

seseorang terinfeksi HIV sudah selayaknya ikut menjaga jangan sampai

menularkan ke orang lain. Namun kebijakan ini belum dibarengi dengan

sanksi-sanksi hukumnya jika senyatanya secara sengaja menularkan.

Seolah-olah sia-sia belaka apapun program yang bagus digulirkan tetapi

tidak dibaringi dengan sanksi hukum yang nyata. Begitu juga dengan

regulasi perlindungan hukum terhadapa anak dan remaja sebagaiaman

amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan

peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang luas, meliputi

struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait

dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya

hukum (legal structure). Hal ini sesuai dengan Lawrence Friedman, unsur-

unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure),

substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture)16.

Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta

lembaga-lembaga terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan,

16
Lawrence Friedman, “American Law”, London: W.W. Norton & Company, 1984, hlm. 6

15
Komisi Judisial, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) dan lain-lain.

Peneliti mencoba menuangkan kerangka pemikiran dalam penelitian

ini dengan menggunakan pendekatan social-legal dan teori-teori seperti

hermeneutic, interaksinalisme simbolik, teori kritis, teori responsive, teori

hukum progresif, teori konflik dan kebijkan public dalam bentuk regulasi-

regulasi sehingga diharapkan dapat menurunkan kasus penularan HIV pada

komunitas gay terutama mencegah penyebaran dikalangan remaja.

16
Pemahaman dan
Kesadaran Hukum
Komunitas Gay HIV

Regulasi :
1. UU No. 36 Th. 2009
tentang Kesehatan
Komunitas Gay 2. UU No. 35 Th. 2014
Tentang Perubahan Penegakan
Terinfeksi
Atas UU No. 23 Hukum
HIV/AIDS
Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
3. KUHP
4. Permenkes No. 21
Th. 2013 tetang
penanggulangan
HIV-AIDS dan IMS

Teori hukum
hermeneutic,
interaksinalisme
simbolik, teori kritis,
teori responsive, teori
hukum progresif, teori
konflik dan kebijkan
public

Gambar 3. Kerangka Pemikiran

V. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dari peneilitian ini adalah sebagai

berikut :

17
a. Untuk mengkaji dan menganalisis pemahaman hukum Komunitas Gay

HIV-AIDS terhadap upaya perlindungan kesehatan Komunitas Remaja

di Kabupaten Cirebon.

b. Untuk mengkaji dan menganalisis penegakan hukum terhadap

komunitas Gay HIV-AIDS dalam upaya perlindungan kesehatan

Komunitas Remaja di Kabupaten Cirebon.

VI. KEGUNAAN PENELITIAN

a. Kegunaan Teoretis :

Mendorong para peneliti atau penulis hukum kesehatan lain untuk

mengkaji bahwa hasil kajian ini dimaksudkan bermanfaat untuk

membangun khazanah keilmuan serta sebagai bahan masukan dan

tambahan pustaka pada perpustakaan.

b. Kegunaan Praktis :

Dalam ranah praktis penelitian ini memberikan gambaran bagi para

akademisi dan masyarakat pada umumnya untuk lebih bijak dalam

menyikapi keadaan social dan bisa bersikap toleransi terhadap orang-

orang yang mungkin mempunyai kelainan kelamin baik dari segi fisik

maupun mental, untuk lenih jelasnya adalah sebagai berikut:

1. Kegunaan untuk Dinas kesehatan

Sebagai bahan pembuatan kebijakan lebih lanjut dalam hal

penanggulangan HIV khususnya pada komunitas gay dan remaja,

sehingga penularan bisa dicegah lebih dini melalui langkah-langkah

strategis.

18
2. Kegunaan untuk LSM Penggiat HIV

Sebagai bahan untuk membuat langkah pemetaan dan penjangkauan

pada komunitas Gay sehingga lebih efektif dan efisien. Para kader bisa

bekerja lebih masif dalam menemukan tempat-tempat komunitas gay

dan remaja yang terindikasi masuk ke kelompok rentan penularan HIV.

3. Kegunaan untuk Komunitas Gay

Dengan penelitian ini komunitas Gay dapat mengetahui lebih jauh

mengenai Per-Undang-Undangan yang berkaitan dengan HIV terutama

peran sertanya dalam pencegahan penularannya.

4. Kegunaan untuk Dokter dan Konselor

Sebagai bahan konseling kepada Komunitas Gay dan Remaja,

sehingga mereka dapat mengetahui dan memahami penyakit HIV

terutama dari persfektif hukumnya.

VII. METODE PENELITIAN

1. Paradigma

Dalam penelitian ini Penulis menggunakan

paradigma/pendekatan hermeneutik. Menurut Soetandyo

Wignjosoebroto dalam Alef Musyahadah17, pendekatan hermeneutik

bertujuan untuk memahami interaksi para aktor yang tengah terlibat atau

melibatkan diri di/ke dalam suatu proses sosial, termasuk proses-proses

sosial yang relevan dengan permasalahan hukum. Asumsi pendekatan

17Alef Musyahadah R, Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan Hukum Bagi
Hakim Untuk Menunjang Keadilan Gender, JurnalUNSOED

19
hermeneutik bahwa setiap bentuk dan produk perilaku antar manusia

termasuk produk hukum baik yang in abstracto maupun in concreto

akan selalu ditentukan oleh interpretasi yang dibuat dan disepakati para

pelaku yang tengah terlibat dalam proses itu, yang tentu saja

memberikan keragaman maknawi pada fakta yang sedang dikaji sebagai

objek. Pendekatan ini dengan strategi metodologiknya to learn from the

people mengajak menggali dan meneliti makna-makna hukum dari

perspektif penegak hukum yang terlibat dalam pengguna dan atau

pencari keadilan18. Metode dan cara menafsirkannya dilakukan secara

holistik dan komprehensif dalam bingkai keterkaitan antara teks,

konteks dan kontekstualisasinya.

Pendekatan hermeneutika yang merupakan metode penemuan

hukum dengan cara interpretasi dapat digunakan sebagai alternative

dalam memahami makna hakiki “teks” atau “sesuatu”. Menurut JJ. H.

Bruggink, dalam hal ini ditampilkan lingkaran hermeneutikal yaitu

berupa proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta sebab

dalil hermeneutika menyatakan bahwa orang harus mengkualifikasi

fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-

kaidah dalam cahaya fakta-fakta, termasuk dalam paradigma dari Teori

Penemuan Hukum dewasa ini19.

18 M. Syamsudin, “Pemaknaan Hakim Tentang Korupsi dan Implikasinya Pada Putusan: Kajian
Perspektif Hermeneutika Hukum”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 22 No. 3, Oktober 2010,
Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, hlm. 501.
19
Marthinus Mambaya, “Hermeneutika Hukum (Sebuah Alternatif Penemuan Hukum Bagi
Hakim)”, Jurnal Hukum, Vol. XVII Edisi Khusus 2007, Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Islam Sultan Agung, hlm. 96.

20
Berbasis pada interpretasi teks hukum dan pemaknaan falsafati

hukum, pendekatan hermeneutika membuka kesempatan bagi hakim

tidak hanya berkutat dengan paradigma positivis dengan penafsiran

gramatikal dan otentiknya, yang selama ini dianggap melanggengkan

pemikiran patriarkhi. Kajian hermeneutic hukum mengajak para

pengkaji hukum agar menggali dan meneliti makna-makna hukum dari

persperktif para pengguna dan/atau para pencari keadilan sehingga

kajian hermeneutic ini perlu bagi hakim yang dalam kesehariannya

bertugas memaknai hukum, agar putusannya dapat memenuhi tuntutan

keadilan masyarakat. Letak penting dan kebaruan hermeneutika hukum

terutama bagi hakim yaitu pada saat hakim menemukan hukum baik saat

melakukan interpretasi hukum maupun konstruksi hukum. Pada saat

melakukan interpretasi atas teks hukum/peraturan perundang-undangan

yang dijadikan dasar pertimbangannya serta interpretasi atas peristiwa

dan fakta hukumnya itu sendiri.

Paradigma yang dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini adalah

paradigma fakta sosial dengan teori Interkasionisme Simbolik. Teori ini

berangkat dari pemikiran Weberian perihal kegiatan kegiatan interpretif

terhadap subjek individu. Teori Interaksionis Simbolik menggunakan

perspektif fenomonologi yang menempatkan pandangan bahwa

keadaran manusia dan makna subjektif merupakan focus untuk

memahami tindakan social. Dengan focus individu ini, Interkasionisme

Simbolik berusaha menganalisis interkasi individu pada tataran mikro20.

20 Agus Salim, Ibid. Hlm. 268

21
Menurut Herbert Blumer yang dikutip Edgar F. Borgatta & Marie L.

Borgotta dalam Agus Salim21 sebagai pencetus gagasan Interkasionisme

Simbolik, menyatakan tiga premis utama yaitu, “The first premise is that

we act in term of the meaning that object and event have for us. The

second is that meaning arises out of social interaction: those engagedin

various domains of everyday life construct its meaning. The third

premise is that meaning are transformed in the process of interaction”.

Dalam hal ini, Interkasionisme Simbolik menitik beratkan pada

peristiwa mikro dalam kejadian keseharian, yaitu mengadakan

pemahaman terhadap peristiwa interaksi yang melibatkan objek dan

kejadian yang sedang berlangsung, baik yang berlangsung keseharian

maupun berlangsung di dalam proses interaksi22.

Hal terpenting dalam menentukan paradigma terletak pada 3 (tiga)

dimensi yaitu dimensi ontology (dipilihnya teori), epistemology

(dipilihnya metode), dan dimensi methodology (dipilihnya analisis)23.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum kualitatif-naturalistik.

Metode ini dipilih karena peneliti ingin mengetahui situasi dan kondisi

di komunitas gay yang sebenarnya secara alamiah tentang keseharian

21 Ibid, Hlm. 268


22
Ibid, Hlm. 268
23 Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Wacana, Bandung, 2006. Hlm 54 : Hal

terpenting dalam menentukan paradigma terletak pada 3 (tiga) dimensi yaitu dimensi ontology
(dipilihnya teori), epistemology (dipilihnya metode), dan dimensi methodology (dipilihnya
analisis)

22
mereka dan juga tentang pemahaman hukum serta interaksi diantara

individu sehingga terinfeksi HIV.

Penelitian kualitatif menekankan sifat realita yang dibangun secara

sosial, hubungan yang intim antara peneliti dengan yang diteliti dan

kendala situasional yang membentuk penyelidikan. Penelitian kualitatif

menekan bahwa sifat peneliti itu penuh dengan nilai (value-laden).,

sehingga mereka mencoba menjawab pertanyaan yang menekankan

bagaimana pengalaman sosial diciptakan dan diberi arti

3. Pendekatan

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan socio-legal

research non empiris yang mengkaji “law as it is in (human) actions”

dengan pendekatan interaksional/mikro dengan analisis kualitatif

melalui wawancara mendalam (In-depth Interview). Pendekatan

sosiologi hukum merupakan pendekatan yang menganalisis tentang

bagaimana reaksi dan interkasi yang terjadi ketika sistem norma itu

bekerja didalam masyarakat24. Hukum sebagai fakta sosial bersifat

sosilogis, empiric, non-doktrinal dan non-normatif. Menurut Schuyt

dalam Amirudin25 sosiologi hukum adalah mengungkapkan sebab-

musabab ketimpangan antara tata-tertib masyarakat yang dicita-citakan

dengan tertib masyakarat.

Penggunaan metode pendekatan ini disebabkan masalah yang akan

diteliti tersebut berhubungan erat antara law in books dengan law in

24
Ibid, Hlm. 23
25
Lihat Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi Revisi,
Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-9, 2016. Hal. 206

23
action dimana hukum dilihat tidak hanya sebagai law in books tetapi

juga sebagai law in action. Pendekatan ini dimaksudkan untuk

melakukan penjelasan atas permasalahan yang diteliti beserta hasil

penelitian yang diperoleh, baik dari aspek hukumnya maupun realitas

yang terjadi dalam masyarakat. Diharapkan dengan metode ini

permasalahan gay secara factual dapat terungkap.

Dalam penegakan hukum, faktor hukum (subtance), aparat penegak

hukum, sarana atau fasilitas pendukung penegakan hukum, masyarakat,

dan budaya memberikan pengaruh implementasinya dilapangan. Proses

penegakan hukum (tahapan pembuatan hukumnya, pemberlakuan dan

penegakannya) harus dijalankan dengan baik tanpa pengaruh

kepentingan individu dan kelompok. Hukum kemudian diberlakukan

dan ditegakkan sebagai sarana untuk merealisasikan kepentingan dan

tujuan serta untuk melindungi kepentingan individu, masyarakat, serta

bangsa dan negara.

Secara juridis dan ideologis, instansi penegak hukum dan aparat

penegak hukum di Indonesia merupakan suatu kesatuan sistem yang

terintegrasi dalam membangun satu misi penegakan hukum. Meskipun

penegakan hukum secara prinsip adalah satu, namun secara substantif

penegakan hukum, penyelesaian perkara akan melibatkan seluruh in-

tegritas kepribadian para aparat penegak hukum yang terlibat di

dalamya. Keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam

melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan

hukum dijalankan itu dibuat.

24
Menurut Chambliss & Seidman untuk masyarakat modern di dalam

membicarakan penerapan hukum pada masyarakat-masyarakat yang

kompleks mereka mengatakan, bahwa ciri pokok yang membedakan

masyarakat primitip dan transisional dengan masyarakat kompleks

adalah birokrasi. Masyarakat modern bekerja melalui organisasi-

organisasi yang disusun secara formal dan birokratis dengan maksud

untuk mencapai rasionalitas secara maksimal dalam pengambilan

keputusan serta efisiensi kerja yang berjalan secara otomatis.

Menurut Schuyt, tujuan hukum yang kemudian harus diwujudkan

oleh organ-organ pelaksananya itu adalah sangat umum dan kabur

sifatnya, ia menunjuk pada nilai-nilai keadilan, keserasian dan kepastian

hukum. Sebagai tujuan-tujuan yang harus diwujudkan oleh hukum

dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena kekaburan dalam tujuan yang

hendak dilaksanakan oleh hukum inilah, maka sekalipun organisasi-

organisasi yang dibentuk itu bertujuan untuk mewujudkan apa yang

menjadi tujuan hukum, organ-organ ini dipakai untuk mengembangkan

pendapatnya/penafsirannya sendiri mengenai tujuan hukum itu. Dengan

demikian maka organisasi-organisasi ini, seperti Pengadilan, kepolisian,

legislatif dsb, melayani kehidupannya sendiri, serta mengajar, tujuan-

tujuannya sendiri pula. Melalui proses ini terbentuklah suatu kultur,

yang selanjutnya akan memberikan pengarahan pada tingkah laku

organisasi-organisasi serta pejabatnya sehari-hari itu.

Dalam kebijakan public maka implementasi penegakan hukum

menurut David Easton mendefinisikan public policy sebagai “The

25
authoritative allocation of value for the whole society, but it turns out

that only theg overnment can authoritatively act on the ‘whole’ society,

and everything the government choosed do or not to do result in the

allocation of values.” Maksudnya, public policy tidak hanya berupa apa

yang dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi juga apa yang tidak

dikerjakan oleh pemerintah karena keduanya sama-sama membutuhkan

alasan-alasan yang harus dipertanggungjawabkan. Laswell dan Kaplan

juga mengartikan kebijakan publik sebagai a projected program of

goal,value, and practice atau sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-

nilai dalam praktek-praktek yang terarah26.

Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan

bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan

atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan

tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi

kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya

tertuang dalam ketentuanketentuan atau peraturan perundang-undangan

yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan

memaksa.

26
David Easton sebagaimana dikutip Leo Agustino memberikan definisi kebijakan publik sebagai
“ the autorative allocation of values for the whole society”. Definisi ini menegaskan bahwa hanya
pemilik otoritas dalam sistem politik (pemerintah) yang secara syah dapat berbuat sesuatu pada
masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai. Hal ini disebabkan karena pemerintah
termasuk ke dalam “authorities in a political system” yaitu para penguasa dalam sistem politik yang
terlibat dalam urusan sistem politik sehari-hari dan mempunyai tanggungjawab dalam suatu maslaha
tertentu dimana pada suatu titik mereka diminta untuk mengambil keputusan di kemudian hari
kelak diterima serta mengikat sebagian besar anggota masyarakat selama waktu tertentu.

26
4. Lokasi Penelitian

Kabupaten Cirebon dengan jumlah penduduk 2.272.898 orang

merupakan terbesar di wilayah 3 cirebon dan secara geografis

merupakan daerah yang cukup berpotensi terjadinya kasus HIV, karena

merupakan daerah penyangga Ibu Kota, ditambah lagi dengan akses

yang sangat mudah dan cepat melalui Tol Cipali. Cirebon juga

merupakan destinasi wisata, baik wisata kuliner, wisata batik, dan juga

wisata religi. Dengan hal tersebut maka tidak heran jika Cirebon sedang

menuju ke era Kota Metropolitan, sehingga dengan segala potensi dan

letak yang strategis sangat memungkinkan penyebaran komunitas gay

dan infeksi HIV dapat terjadi dengan sangat mudah dan cepat juga.

Jumlah estimasi komunitas gay yang mencapai 1.896 orang

merupakan tantangan yang sangat berat terhadap risiko terinfeksi HIV,

sehingga sangat cocok untuk dilakukan penelitian secara medalam.

5. Instrumen Penelitian

Adapun instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah

buku catatan, alat tulis dan alat perekam suara, sarana ini digunakan

pada saat melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dan

observasi lapangan, sehingga data-data dapat terdokumentasi dengan

baik sesuai dengan tujuan dari penelitian ini. Tidak menutup

kemungkinan jika ada informan yang tidak mau bertata muka maka

sarana komunikasi telepon genggam yang bias merekam suara.

27
6. Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini terbagi atas 2 (dua) kategori yaitu:

a. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh dari Informan melalui wawancara dengan

menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam (Indepth interview).

Informan dalam hal penelitian ini adalah Gay secara individu yang telah

terinfeksi HIV atau ODHA, Pasangan gay, KPA, LSM penggiat HIV,

Dokter, penanggungjwab program HIV Dinas Kesehatan.

b. Data Sekunder

sedangkan data sekunder adalah data yang bersumber dari Laporan

Tahunan HIV-AIDS di Kabupaten Cirebon dan dokumen-dokumen

yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Literatur hukum Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29

Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV-AIDS, dan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana serta dokumen lain yang masih terkait.

7. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu melalui

penelaahan data sekunder yang berasal dari Peraturan atau Perundang-

undangan tentang Kesehatan dan HIV/AIDS serta pengumpulan data

primer melalaui wawancara kepada informan dalam hal ini adalah Gay

yang sudah terinfeksi HIV beserta pasangannya jika mau, Komisi

Penanggulangan AIDS (KPA), LSM penggiat HIV seperti Perkumpulan

28
Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), penanggungjwab program HIV

Dinas Kesehatan dengan cara melalui wawancara mendalam (In-depth

Interview).

Setelah itu dilanjutkan dengan melakukan observasi dan

pengamatan untuk melihat pola perilaku yang bersifat empiris dari

informan dalam lingkungannya sehari-hari, hal ini dilakukan untuk

melihat tingkat konsistensi dari jawaban pada saat wawacara mendalam.

Observasi menurut Adler & Adler dan Denzin & Lincoln dalam Agus

Salim27 menyebut dua prinsip pokok yang mencirikan teknik observasi

dalam tradisi kualitatif. Pertama, observer kualitatif tidak boleh

mencampuri urusan subjek penelitian. Oleh keduanya dikatakan, “…of

the hallmarks of qualitative obervastion has tardisionally been its

noninterventionism”. Kedua, observer harus menjaga sisi ilmiah dari

subjek peneliti. Dikatakan bahwa, “Qualitative observation is

fundamentally naturalistic in essence, it occurs in the natural context of

occurrence, among the actors who would naturally be participating in

the interaction, and follows the natural system of everyday life”.

Observasi dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah

pemilihan setting. Bila periset sudah mendapatkan setting yang sesuai

dengan kepentingan studinya, dalam hal ini peneliti mendapatkan satu

orang gay yang sudah terinfeksi HIV sehingga peneliti dapat langsung

memulai pengumpulan data. Akan tetapi biasanya terdapat tahapan kecil

27
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Edisi Kedua, Peneribit Tiara Wacana,
Cetakan ke1, 2006. Hlm. 14

29
yang harus dilewati, yakni memperoleh “izin masuk” (entrée) ke dalam

setting.

8. Penentuan Informan

Dalam penentuan informan dengan metode purposive sampling dan

snowball sampling. Informan dalam penelitian ini adalah :

1. Gay yang teinfeksi HIV-AIDS

2. LSM Penggiat HIV-AIDS

3. Komisi Penanggulan AIDS (KPA)

4. Pengelola Program HIV Dinas Kesehatan

Jumlah informan disesuaikan dengan permasalahan yang ada pada

saat dilapangan. Dalam hal ini, peneliti meminta seorang informan

untuk menunjuk orang lain yang dapat memberikan informasi, dan

kemudian informan ini diminta juga untuk menunjuk orang lain lagi,

dan demikian seterusnya sampai mendapatkan informasi yang

diperlukan dengan cara berurutan dan serial.

Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data

dengan pertimbangan tertentu, dalam penelitian ini adalah gay sudah

terinfeksi HIV, hal ini karena informan tersebut dianggap paling tahu

tentang apa yang penulis harapkan. Snowball sampling adalah teknik

pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit,

lama-lama menjadi besar. Hal ini karena sampel yang awal belum

mampu memberikan data yang memuaskan. Dengan demikian sumber

data akan semakin besar seperti bola salju yang mengelinding28.

28
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2011 Hlm.

30
9. Analisis Data

Aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif

dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya

sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu reduksi data, penyajian

data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi sebagai suatu yang jalin

menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data

dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun wawasan umum yang

disebut analisis, hal ini seperti yang dikemukan oleh Miles dan

Huberman29.

Tiga hal utama itu dapat dilihat pada Gambar dibawah ini. Dalam

pandangan ini tiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan

data ini sendiri merupakan proses siklus dan interaktif.

Peneliti harus bergerak di antara empat sumbu kumparan itu selama

pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik diantara kegiatan

reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan/verifikasi selama sisa

waktu penelitianya. Pengkodean data, misalnya (reduksi data), menjurus

kearah gagasan-gagasan baru guna dimasukkan ke dalam suatu matriks

(penyajian data). Pencatatan data mempersyaratkan reduksi data

selanjutnya. Begitu matriks terisi, kesimpulan awal dapat ditarik, tetapi

hal itu menggiring pada pengambilan keputusan (misalnya) untuk

menambah kolom lagi pada matriks itu untuk dapat menguji kesimpulan

tersebut.

29 Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif. Hlm. 19-20

31
Pengumpulan
Data Penyajian
Data

Reduksi Data
Kesimpulan
penggambaran/verifika
si

Gambar 4
Komponen Dalam Analisis Data (Interactive Model)
Sumber: Sugiyono, Metode Penelitian Kuatitatif, Kualitatif dan R&D, Hlm .247

10. Validasi Data

Proses selanjutnya adalah validasi data. Untuk memvalidasi data

penulis menggunakan triangulasi sebagai teknik untuk mengecek

keabsahan data dengan cara membandingkan hasil wawancara terhadap

objek penelitian30

Nasution mengemukakan bahwa triangulasi dapat dilakukan dengan

menggunakan teknik yang berbeda yaitu wawancara, observasi dan

dokumen. Triangulasi ini selain digunakan untuk mengecek kebenaran

data juga dilakukan untuk memperkaya data. Masih menurut Nasution,

selain itu triangulasi juga dapat berguna untuk menyelidiki validitas

tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi bersifat reflektif31.

30
Moloeng, lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosda.
31
Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito.

32
Miles & Huberman dalam Denzin32 membedakan empat macam

triangulasi diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber,

metode, penyidik dan teori. Pada penelitian ini, dari keempat macam

triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan teknik pemeriksaan

dengan memanfaatkan sumber.

Menurut Patton dalam Nasution33 triangulasi dengan sumber artinya

membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu

informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam

penelitian kualitatif. Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka

ditempuh langkah-langkah sebagai berikut :

a) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil

wawancara

b) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan

apa yang dikatakan secara pribadi.

c) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi

penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

d) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai

pendapat dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas.

e) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan.

32 Denzin dan Licoln, Handbook of Qualitative Research. Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2009 Hlmn.
592
33
Ibid

33
VIII. JADWAL PENELITIAN

Penelitian ini direncanakan selesaikan dalam jangka waktu 3 (tiga)

bulan terhitung mulai bulan Desember 2017 sampai dengan bulan Januari

2018, dengan rincian sebagai berikut :

Tabel 2 Jadwal Penelitian Tesis

Alokasi Waktu (Bulan)


1 2 3
NO KEGIATAN
Desember Januari- Februari
Februari
1 Tahap Persiapan :
Seminar Usulan Proposal X
Pengesahan Proposal X
Pengurusan Izin Penelitian X
2 Penelitian Lapangan :
Penjajagan Wilayah Studi
X
Intensif
Pengumpulan Data X
Pengolahan dan Analisis Data X
Tahap Pelaporan Hasil
3
Kegiatan :
Sidang Hasil Penelitian X X
4 Penulisan Tesis :
Sidang Tesis X

34
IX. DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU :

Agus Salim, 2006.Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Wacana, Bandung.


Amiruddin dan Zainal Asikin, 2016. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi
Revisi, Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-9
Buss, David M. 2000. The Dangerous Passion :Why Jealousy Is as Necessary as
Love and Sex. New York : The Free Press
Caroll, Jamell L. 2005 Sexuality Now. Embaracing Diversity. Belmont : Thomson
Wadsworth
Denzin-K-Norman, 2009. Lincoln-S-Yvonna, Hanbook of Qualitative Research,
Terjemahan Dariyanto dkk, Pustaka Pelajar, Cetakan ke I
Erwin, Muhamad; 2015, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis terhadap Hukum dan
Hukum Indonesia (dalam Dimensi Ide dan Aplikasi); PT. Rajagrafindo
Persada, Cetakan ke-4, Depok.
Hendrick, Susan S & Clyde Hendrick. 1992. Liking, Loving and Relating.
California : Brooks/Cole Publishing Company
Master, William H. Johnson, Virginia E. Kolodny. 1992. Human Sexuality. Forth
Edition. New York: Harper Colins Publishers
Miles-B-Matthew, Huberman-Michael-A, 2014. Analisis Data Kualitatif Buku
Sumber tentang Metode-Metode Baru, PenterjemahTjetjep Rohendi
Rohi, Universitas Indonesia
Moloeng, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosda.
Moleong, Lexi J, 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarta,
Bandung
Nasution, Az, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Dana
Widya, Jakarta.
Nasution, S, 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsit, Bandung.
Nasution. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Tarsito : Bandung
Papalia, Sally Wendkos Olds, Ruth Duskin F. (2007) Human Development. Tenth
Edition.New York: Mc Graw Hill Companies
Ritzer, George; 2013.Eksplorasi dalam Teori Sosial, Dari Metateori sampai
Rasionalisasi, Pustaka Belajar; Yogyakarta, Cetakan Pertama,
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani; 2016. Penerapan Teori Hukum pada
Penelitian Tesis dan Disertasi; PT. Rajagrafinso Persada; Cetakan ke-
4; Depok.

35
Salovey, Peter. 1999. The Psychology of Jealousy and Envy. New York : Guilford
Press
Savin-William, Ritch C. & Cohen, Kenneth M. 1996. The Lives of Lesbian, Gays
and Bisexual. Children to Adult. Belmont : Thomson Wadsworth
Sugiono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta,
Bandung,
Surtaman dan Philips Dillah. 2015; Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung.
Sutrisno, Endang; 2015. Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi; Edisi 2. In Media,
Utsman, Sabian, 2016. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara
Hukum & Masyarakat, Cetakan ke-3, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Zainudin Ali; 2016.Metode Penelitian Hukum; Sinar Grafika, Cetakan Ke-6;
Jakarta

JURNAL ILMIAH :
M. Syamsudin, “Pemaknaan Hakim Tentang Korupsi dan Implikasinya Pada
Putusan: Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum”, Jurnal Mimbar
Hukum, Vol. 22 No. 3, Oktober 2010, Yogyakarta: Fakultas Hukum
UGM, hlm. 501.
Mahfud, Hermeneutika Hukum dalam Metode Penelitian Hukum Kanun Jurnal
Ilmu Hukum No. 63, Th. XVI (Agustus, 2014),
Marthinus Mambaya, “Hermeneutika Hukum (Sebuah Alternatif Penemuan
Hukum Bagi Hakim)”, Jurnal Hukum, Vol. XVII Edisi Khusus 2007,
Semarang: Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, hlm. 96.
Mulyani Sri R.;, Juanda Anne M;., D, Febi;, S. Agus, “Tinjauan Psikososial,
Agama, Hukum Dan Budaya Terhadap Keberadaan Kaum Gay Di
Indonesia ( Kasus : Mahasiswa Institut Pertanian Bogor), Jurnal,
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia
IPB
Muttaqin, Imron,; “Membaca Strategi Eksistensi LGBT di Indonesia”. Program
Studi Manajemen Pendidikan Uin Maulana Malik Ibrahim Malang.
Hlm. 83.
Qomarauzzaman, “Sanksi Pidana Pelaku LGBT dalam Perspektif Fiqh Jinayah”,
Dosen Fakultas Syariah Program Studi Ahwal Syakhsiyah, Sekolah
Tinggi Agama Islam Swasta (STAIS), Mempawah.
Sulaiman, Hukum Responsif: Hukum Sebagai Institusi Sosial
Melayani Kebutuhan Sosial Dalam Masa Transisi (Responsive Law:
Law as a Social Institutions to Service of Social Need in Transition)
Turiman, Memahami Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo
Dalam Paradigma "Thawaf" (Sebuah Komtemplasi Bagaimana
Mewujudkan Teori Hukum Yang Membumi /Grounded Theory Meng-
Indonesia)

36
Winarsih, “The Relation Of Sexual Behaviour Amongst Gay Community And The Outbreak
Of Hiv/Aids” (A Qualitative Descriptive Study Of Gay Community In
Surakarta), Sebelas Maret University

PERUNDANG-UNDANGAN :
------------------- Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
------------------- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
------------------- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak
------------------- Permenkes nomor 21 tahun 2013 tetang penanggulangan HIV-
AIDS dan IMS
------------------ Laporan Penelitian HIV Tahun 2016; Integrasi Penanggulangan
HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan Studi Kasus: Intervensi pada
Lelaki Berhubungan Seks dengan Lelaki di Kota Surabaya
------------------ Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Bidang P2P; Laporan
Tahunan HIV/AIDS Tahun 2016, 2017

SEARCHING INTERNET :
http://blogbudi15.blogspot.co.id/2012/05/menguak-fenomena-lsl-laki-laki-
yang.html; diakses tanggal 24 April 2017.
Dijkstra, Pieternel, Hinke A. K, et al. Sex differences in the events that
elicitjealousy among homosexual.
http://www.unc.edu/courses/2006spring/spcl/091p/016/JealousyInduct
ion Tanggal Akses : 1 Juli 2017 Waktu Akses : 14:02:07 WIB
Pines, Ayala Malakh. (1998) Romantic Jealousy. New York: Guilford Press Preifer,
Susan.M, Paul T.P.Wong. Multidimensional Jealousy.
http://spr.sagepub.com/cgi/reprint/6/2/181 Tanggal Akses : 1 Juli 2017
Waktu Akses : 14:05:35 WIB

37

Anda mungkin juga menyukai