Anda di halaman 1dari 3

PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT BW DAN PUTUSAN MK

Roscoe Poundmenyatakan“Law is a tools ofsocial engineering”2.Hukum merupakan alat


untuk merekayasa masyarakat menuju perubahan kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik.
Perubahan masyarakat dengan menggunakan alat hukum adalah salah satu jalan untuk mencapai
tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan, kesejahteraan, dan kepastian hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 adalah salah satu praktek peradilan
hukum untuk meretas ketidak adilan dan ketiak pastian hukum yang terdapat atau
disebabkanoleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang di kenal juga dengan
Rule Breaking dalam istilah kajian Hukum Progresif Prof. Satjipto Rahadjo. Ketidak adilan yang
disebabkan oleh suatu peraturan (Undang-undang) bukan berati pembuat peraturan bermaksud
untuk mencederai keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat melaui peraturan tersebut, tapi
karenaadanya perubahan-perubahan pada kehidupan social-masyarakat.
Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah peraturan perundang-
undangan yang diretas melalui pengujian dalam peradilan konstitusi di mahkamah konstitusi
(Judicial Review) untuk adanya keadilan hukum (Legal Justice) dan Kepastian Hukum
(Certainty Law) bagi Pemohon secara khusus dan keseluruhan masyarakat secara umum.
Dengan penuh rasa sangat terdiskriminasi dan diperlakukan tidak adil oleh Pengembang
Rumah Susun di Jakarta dan PN Jakarta Timur karena Ike Farida dan Suaminya tidak diberikan
Hak umtuk memiliki Rumah Susun yang di belinya dari pengembang tersebut. Alasan
Pengembang dan PN Jakarta Timur untuk memutuskan tidak memberikan Hak milik atas rusun
yang dibelinya adalah karena suami dari Ike Farida adalah Orang Asingdan mereka tidak
mempunyai Perjanjian Perkawinan yang kemudian memuat hak kepemilikan harta diantara
mereka sebagai suami dan istri.
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan UU No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan yang menjadi landasan hukum pengembang dan Pengadilan untuk
memutuskan tidak memberikan hak milik rusun kepada Ike Farida dan suaminya tersebut
akhirnya diajukan oleh ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji materil (Juducial Review), terkhusus
Pasal 21 ayat (1), ayat (3) dan Pasal 36 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 35 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Peradilan yang menguji kembali sauatu atau
beberapa peraturan perundang-undangan jika dirasa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
dan/atau telah berdampak hadirnya ketidak adilan dan ketidak pastian hukum akhirnya menerima
permohonan pengajian dari Ike Farida dan mengabulkan beberapa permohonan yang ada
didalamnya. Keputusan ini diputuskan Hakim Konstitusi setelah meninjau kembali materi yang
ada dalam undang-undang tersebut dan dipertentangkan serta diselaraskan dengan Undang-
Undang Dasar 1945, Kondisi Sosial Masyarakat dan Konteks dari kasus yang sedang di tangani.
Menurut Cardozo, bahwa dalam hal ada aturan hukum namun terjadi pertentangan antara
kepastian hukum dengan keadilan dan kemanfaatan masyarakat, tugas Hakim adalah
menafsirkan aturan tersebut agar hukum tersebut dapat sesuai dengan keadaan-keadaan baru.
Dengan menafsirkan maka dapat dipertemukan antara kepentingan kepastian (putusan berdasar
hukum), dan kepentingan sosial dengan memberi makna baru terhadap hukum yangada. Dalam
kerangka yang lebih luas, aktualisasi aturan hukum dilakukan dengan menemukan hukum
(rechtsvinding, legalfinding) yang meliputi menemukan aturan hukum yang tepat, menafsirkan,
melakukan konstruksi, dan lain sebagainya.3
Kasus diatas terjadi disebabkanPertama, Ike Farida tidak bisa mendapatkan hak milik
karena Suaminya adalah orang asing, (UU No. 5 Tahun 1960 pasal 1)Kedua,Ike Farida dan
Suaminya tidak memiliki Perjanjian Perkawinan, (UU No. 1 Tahun 1974).
Masalah selain contoh diatas pasti akan telah dan akan terus terjadi jika tidak ada
pembaharuan peraturanyang disesuaikan dengan kondisi masyarakat terbaru. Jika kita analisa
keputrusan dari Mahkamah Konstitusi cukuplah tepat karena mengambil jalan tengah dengan
tidak menghancurkan banyak peraturan dengan tidak mengabulkan keseluruhan permohonan dari
Ike Farida.Sehingga secara sempit keputusan ini hanya memberi kesempatan lebih bagi mereka
yang belum mempunyai Perjanjian Perkawinan dengan memperpanjang waktu pembuatan
perjanjian perkawinan dan memperluas kewenangan lembaga yang membuatanya (Petugas
Pencatat Perkawinan dan Notaris).
Memang jika kita lihat ketentuan yang terdapat di dalam KUHPerdata maupun UU
Perkawinan kitatidakakan mendapatkan pengertian yang jelas mengenaiperjanjian perkawinan.
Oleh karena itu banyak para ahli yang memberikan pengertian apayang dimaksud dengan
perjanjian perkawinan. Sebagaimana disebutkan R. SoetojoPrawirohamidjojo yang menyatakan
bahwa perjanjian kawin (Huwdlijkse Voorwaarden)adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat
oleh calon suami istri sebelum atau pada saatperkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-
akibat perkawinan terhadap hartakekayaan mereka.4
Menurut ketentuan Pasal 147 KUHPerdata, dengan ancaman kebatalan, perjanjian
perkawinan harus dibuat denganakta notaris dan dibuat sebelum perkawinan berlangsungPasal
148 KUHPerdata menentukan bahwasepanjang perkawinan berlangsung dengancara apapun juga
perjanjian perkawinan tidak dapat diubah. Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor1 Tahun
1974, Perjanjian Perkawinan dapatdibuat pada waktu atau sebelum
perkawinandilangsungkanelaras dengan asaskebebasan berkontrak sebagaimana diaturdalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Di manasumber dari kebebasan berkontrak adalahkebebasan
individu sehingga yang merupakantitik tolaknya adalah kepentingan individupula.Dengan
demikian dapat dipahami bahwakebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk
berkontrak.
Ketentuan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang khusus mengatur
tentang Perjanjian Perkawinan dan Pasal 35 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang khusus
mengatur tentang Harta Bersama, dimaksudkan oleh pembuat undang-undang agar dapat
memberikan kepastian hukum yang berkeadilan kepada para pihak dalam mengarungi mahligai
rumah tangga. Pasangan suami isteri yang telah mengikatkan diri ke dalam suatu tali pernikahan,
pada perjalanannya tidak sedikit yang berakhir dengan perceraian, karena itu UU mengatur
bagaimana melindungi kedua belah pihak khusus yang berkaitan dengan harta benda yang ada
pada saat perkawinan maupun harta banda sebagai hasil usaha bersama dalam perkawinan.
Bahkan sesungguhnya Perjanjian Perkawinan juga dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan hukumkepada para pihak ke tiga, yang memiliki hubungan kepentingan dengan
harta benda para pihak dalam perkawinan.
Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa
perjanjian perkawinan dibuat oleh kedua belah pihak secara tertulis dan dicatatkan, pada waktu
atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kepastian
kepada kedua belah pihak.
Karena harta bersama sebagai harta yang dihasilkan setelah atau selama perkawinan telah
diatur dalam Pasal 35 yang menyebut kan “(i) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama bersama, (ii) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”
Dengan adanya putusan MK terkait dengan ekstensifikasi waktu pembuatan perjanjian
perkawinan, telah memberikan politik hukum baru danimplikasi positif terhadap pelaku
perkawinan yang pada awal pernikahan belum memiliki perjanjian perkawinan.Dengan tidak
melihat kewarganegaraan pelaku perkawinan, perjanjian perkawinan dapat dilangsungkan
kapanpun.
Mahkamah menyatakan bahwa di dalam kehidupan suatu keluarga atau rumah tangga,
selain masalah hak dan kewajiban sebagai suami dan istri, masalah harta benda juga merupakan
salah satu faktor yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai perselisihan atau ketegangan
dalam suatu perkawinan, bahkan dapat menghilangkan kerukunan antara suami dan istri dalam
kehidupan suatu keluarga.

1
Mahasiswa Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Semester XIII UIN Sunan Gunung
Djati Bandung
2
Roscoe Pound, Lihat dalam Bernard L. Tanya, Et.Al Teori Hukum Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Genta Paublishing Yogjakarta 2010.
3
Oly Viana Agustine, “Legal Policy on Marriage Agreement after Constitutional Court
Decision No. 69/PUU-XII/2015 to Creating Harmony in Marriage”. Rechts Vinding. Vol 6 No.
2, April 2017
4
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 1988).

Anda mungkin juga menyukai