Anda di halaman 1dari 26

JUMAT, 30 NOVEMBER 2012

PERJANJIAN BERNAMA DAN PERJANJIAN TIDAK BERNAMA

BAB I

PENDAHULUAN

Perjanjian dinamakan juga persetujuan atau Overeenkomsten yaitu “ suatu kata


sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka, yang bertujuan
mengikat kedua belah pihak “ (Wirjono Projodikoro).

Pasal 1313 KUHPerdata mengemukakan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan


dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”

A.  Pengertian Perjanjian Bernama dan Dasar Hukumnya

Perjanjian Bernama (benoemd overeenkomst) atau perjanjian khusus adalah


perjanjian yang memiliki nama sendiri. Perjanjian tersebut diberi nama oleh pembuat
undang-undang dan merupakan perjanjian yang sering di temui di masyarakat.

Secara garis besar, perjanjian yang diatur/dikenal di dalam KUHPer adalah sebagai
berikut: Perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, kerja, persekutuan perdata,
perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi, untung-
untungan, pemberian kuasa, penanggung utang dan perdamaian. Dalam teori ilmu hukum,
perjanjian-perjanjian diatas disebut dengan perjanjian nominaat. Dasar hukum perjanjian
bernama terdapat dalam Bab V sampai Bab XVIII Buku Ke Tiga KUHPerdata.

 Pasal 1457 KUHPerdata“Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana


pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang
lain untuk membayar harga yang dijanjikan.”
 Pasal 1541 KUHPerdata“Tukar menukar ialah suatu persetujuan dengan mana
kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu barang secara
timbal balik sebagai ganti suatu barang lain.”
 Pasal 1548 KUHPerdata“Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan
mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang
kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang
disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis
barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.”
 Pasal 1601 KUHPerdata“Selain persetujuan untuk menyelenggarakan
beberapa jasa yang diatur oleh ketentuanketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-
syarat yang diperjanjikan, dan bila ketentuanketentuan yang syarat-syarat ini tidak
ada, persetujuan yang diatur menurut kebiasaan, ada dua macam persetujuan, dengan
mana pihak kesatu mengikatkan diri untuk mengerjakan suatu pekerjaan bagi pihak
lain dengan menerima upah, yakni: perjanjian kerja dan perjanjian pemborongan
kerja.
 Pasal 1618 KUHPerdata“Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana
dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan,
dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya”
 Pasal 1653 KUHPerdata“Selain persekutuan perdata sejati, perhimpunan
orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu
diadakan oleh kekuasaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan
hukum itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu
maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan”
 Pasal 1666 KUHPerdata“Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana
seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat
menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang
itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahanpenghibahan antara orang-orang
yang masih hidup.”
 Pasal 1694 KUHPerdata“Penitipan adalah terjadi apabila seseorang
menerima sesuatu barang dari orang lain dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya
dan mengembalikannya dalam ujud asalnya”
 Pasal 1740 KUHPerdata“Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana
pihak yang satu menyerahkan suatu barang untuk dipakai dengan cuma-cuma kepada
pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima barang itu setelah memakainya
atau setelah lewat waktu yang ditentukan, akan mengembalikan barang itu.”
 Pasal 1754 KUHPerdata“Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian, yang
menentukan pihak pertama menyerahkansejumlah barang yang dapat habis terpakai
kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang
sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.”
 Pasal 1770 KUHPerdata“Perjanjian bunga abadi ialah suatu persetujuan
bahwa pihak yang memberikan pinjaman uang akan menerima pembayaran bunga atas
sejumlah uang pokok yang tidak akan dimintanya kembali.”
 Pasal 1774 KUHPerdata“Suatu persetujuan untung-untungan ialah suatu
perbuatan yang hasilnya, yaitu mengenaiuntung ruginya, baik bagi semua pihak
maupun bagi sementara pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti.

Demikian adalah: persetujuan pertanggungan;nbunga cagak hidup; perjudian dan


pertaruhan. Persetujuan yang pertama diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Dagang.

 Pasal 1792 KUHPerdata“Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang


berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk
melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.”
 Pasal 1820 KUHPerdata“Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana
pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan
debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya.”
 Pasal 1851 KUHPerdata“Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi
bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah
pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah
timbulnya suatu perkara bila dibuat secara tertulis.”

B.  Pengertian Perjanjian Tidak Bernama dan Dasar Hukumnya

Perjanjian tidak bernama, adalah perjanjian-perjanjian yang belum ada


pengaturannya secara khusus di dalam Undang-Undang, karena tidak diatur dalam
KUHPerdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Lahirnya perjanjian
ini didalam prakteknya adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan
perjanjian atau partij otonomi.

Tentang perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yaitu
yang berbunyi: ”semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang
tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat
dalam bab ini dan bab yang lain”.

Di luar KUHPerdata dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint


venture, kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak karya, beli sewa,
kontrak rahim, dan lain sebaginya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjianinnominaat,
yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan
masyarakat. Keberadaan perjanjian baik nominaat maupuninnominaat tidak terlepas
dari adanya sistem yang berlaku dalam hukum perjanjian itu sendiri.

Leasing sebenarnya berasal dari kata lease yang berarti menyewakan. Di


Indonesia, leasing lebih sering diistilahkan dengan nama “sewa guna usaha”. Sewa
Guna Usaha adalah suatu perjanjian dimana lessor menyediakan barang (asset) dengan
hak penggunaan oleh lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk suatu jangka
waktu tertentu. Secara umum leasing artinya equipment funding, yaitu pembiayaan
peralatan atau barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan
baik secara langsung maupun tidak.

Pasal 1 ayat 1 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia


No.1169/KMK.01/1991 memberikan definisi leasing, yaitu: “Sewa-guna usaha
(leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa-guna-usaha
tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala”

Leasing sebagai salah satu bentuk perjanjian tidak bernama sampai saat ini tidak
ada undang-undang khusus yang mengaturnya. Pengaturan leasing baru terdapat pada
tingkat Keputusan Menteri Keuangan dan peraturan-peraturan lain dibawahnya.
Ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai pegangan yang pasti adalah Surat
Keputusan Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. KEP 122/MK/IV/2/1974,
No.32/M/SK/2/1974, dan No. 30/Kpb/I/74 tanggal 7 Februari 1974.

Leasing merupakan perjanjian yang lahir dari praktek kehidupan masyarakat


berdasarkan prinsip asas kebebasan berkontrak. Leasing sebagai salah satu lembaga
hukum perjanjian merupakan perjanjian in-nominat (perjanjian tidak bernama) dimana
ketentuan mengenai perjanjian tersebut tidak diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Meskipun demikian, leasing tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan
umum mengenai perjanjian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Bab
I dan Bab II KUHPerdata, hal ini seperti yang ditentukan dalam pasal 1319
KUHPerdata.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Lembaga


Leasing merupakan suatu hal baru untuk Indonesia diakui oleh Mahkamah Agung. Asas
kebebasan berkontrak yang menjadi dasar untuk diperkayanya lembaga-lembaga hukum
dalam sistem di Indonesia yang tumbuh dalam praktek ini. Putusan Mahkamah Agung Reg.
131K/Pdt/1987 tertanggal 14 November 1988 telah memperkembangkan berbagai
lembaga-lembaga baru dalam sistem hukum di Indonesia, karena dalam praktek banyak
dipergunakan sehari-hari di Indonesia, Pengadilan juga mengakui keabsahannya.

Dalam putusannya Mahkamah Agung mempertimbangkan sebagai berikut: “Bahwa


walaupun Lembaga Leasing tidak diatur dalam KUHPerdata, namun dengan sistem
terbukayang dianut oleh KUHPerdata tersebut di mana terdapat asas Kebebasan
Berkontrak, maka pihak-pihak bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja selama tidak
bertentangan dengan pasal 1320 KUHPerdata “; Jadi Mahkamah Agung secara tegas
mendukung adanya asas kebebasan berkontrak. Segala perjanjian yang tidak dilarang
adalah diperbolehkan.[1]
BAB II

PEMBAHASAN
A.  Perjanjian Kredit (Perjanjian Tidak Bernama) dengan Perjanjian Pinjam Meminjam
(Perjanjian Bernama)

Dari perumusan Pasal 1313 KUH Perdata, dapat disimpulkan bahwa perjanjian atau
persetujuan dalam pasal tersebut adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Dengan
demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian melahirkan
perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber lainnya, yaitu undang-
undang.

Terhadap perjanjian kredit terdapat beberapa pandangan, yaitu : Subekti


mengatakan bahwa, dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, pada
hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam. Sebagaimana diatur
oleh KUH Perdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769. [2]

Mirip dengan pendapat Subekti adalah pendapat Marhais Abdul Hay[3], yang
mengatakan bahwa perjanjian kredit identik dengan perjanjian pinjam meminjam, dan
dikuasai oleh ketentuan bab XIII dari buku III KUH Perdata.

Mariam Darus Badrulzaman[4] tidak sependapat dengan Subekti dan Marhais


Abdul Hay, karena berdasarkan kenyataan perjanjian kredit itu memiliki identitas
sendiri yang berbeda dengan perjanjian pinjam uang.

Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Djuhaendah Hasan[5] yang menyatakan


perjanjian kredit tidak tepat dikuasai oleh ketentuan bab XIII buku III KUH Perdata,
sebab antara perjanjian pinjam meminjam dengan perjanjian kredit terdapat beberapa
perbedaan.

Perbedaan antara perjanjian pinjam meminjam dengan perjanjian kredit terletak


pada beberapa hal, antara lain:[6]
1.      Perjanjian kredit selalu bertujuan, dan tujuan tersebut biasanya berkaitan
dengan program pembangunan. Biasanya dalam pemberian kredit sudah
ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima tersebut,
sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam tidak ada ketentuan
tersebut, dan debitur dapat menggunakan uangnya secara bebas.

2.      Dalam perjanjian kredit, sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah


bank atau lembaga pembiayaan dan tidak dimungkinkan diberikan oleh
individu. Sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam, pemberian
pinjaman dapat oleh individu.

3.      Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan


perjanjian pinjam meminjam. Bagi perjanjian pinjam meminjam,
berlaku ketentuan umum dari buku III bab XIII KUH Perdata.
Sedangkan bagi perjanjian kredit, akan berlaku ketentuan dalam UU
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Paket Kebijakan Pemerintah
dalam Bidang Ekonomi terutama Bidang Perbankan, Surat Edaran Bank
Indonesia ( SEBI ) dan sebagainya.

4.      Pada perjanjian kredit, telah ditentukan bahwa pengembalian uang


pinjaman harus disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil.
Sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam, hanya berupa bunga
saja dan bunga ini pun baru ada jika diperjanjikan.

5.      Pada perjanjian kredit, bank harus mempunyai keyakinan akan


kemampuan debitur untuk melakukan pengembalian kredit yang
diformulasikan dalam bentuk jaminan, baik materiil, maupun immateriil.
Sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam, jaminan merupakan
pengamanan bagi kepastian perlunasan hutang, dan ini pun ada apabila
diperjanjikan, juga jaminan itu hanya merupakan jaminan secara fisik
atau materiil saja.
Pendapat lain dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini[7], yaitu bahwa
perjanjian kredit bukanlah perjanjian riil seperti halnya perjanjian pinjam meminjam.
Perjanjian kredit mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan perjanjian pinjam
meminjam. Ciri-ciri pembeda itu adalah :

a.       Sifat konsensual dari suatu perjajian kredit merupakan ciri pertama yang
membedakannya dari perjanjian pinjam meminjam uang yang bersifat
riil. Perjanjian kredit adalah perjanjian loan of money menurut hukum
Inggris yang dapat bersifat riil maupun konsensual, tetapi bukan
perjanjian peminjaman uang menurut hukum Indonesia yang bersifat
riil. Bagi perjanjian kredit, yang jelas-jelas mencantumkan syarat-syarat
tangguh, tidak dapat dibantah lagi bahwa perjanjian itu merupakan
perjanjian yang konsensual sifatnya. Setelah perjanjian kredit
ditandatangani oleh bank dan nasabah debitur, nasabah debitur belum
berhak menggunakan atau melakukan penarikan kredit. Atau sebaliknya,
setelah ditandatangani kredit oleh kedua belah pihak, belumlah
menimbulkan kewajiban bagi bank untuk menyediakan kredit
sebagaimana yang diperjanjikan. Hak nasabah debitur untuk dapat
menarik atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit, masih
bergantung pada terpenuhinya semua syarat yang ditentukan di dalam
perjanjian kredit.

b.      Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur tidak dapat
digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan tertentu oleh
nasabah debitur, seperti yang dilakukan oleh peminjam uang atau
debitur pada perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit,
kredit harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam
perjanjian, dan pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu dapat
menimbulkan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit
secara sepihak dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh baki
debet atauoutstanding kredit. Hal ini berarti, nasabah debitur bukan
merupakan pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya berdasarkan
perjanjian kredit itu, sebagaimana bila seandainya perjanjian kredit itu
adalah perjanjian peminjaman uang. Dengan kata lain, perjanjian kredit
bank tidak mempunyai ciri yang sama dengan perjanjianpinjam
meminjam atau perjanjian pinjam mengganti. Oleh karena itu, pada
perjanjian kredit bank, tidak berlaku ketentuan-ketentuan ke XIII buku
III KUH Perdata.

c.       Yang membedakan perjanjian kredit bank dari perjanjian peminjaman


uang adalah mengenai syarat cara penggunaanya. Kredit bank hanya
dapat digunakan menurut cara tertentu, yaitu dengan menggunakan Cek
atau perintah pemindahbukuan. Cara lai hampir dapat dikatakan tidak
mungkin atau tidak diperbolehkan. Pada perjanjian peminjaman uang
biasa, uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditur ke
dalam kekuasaan mutlak nasabah debitur. Kredit selalu diberikan dalam
bentuk rekening koran yang penarikan dan penggunaannya selalu berada
dalam pengawasan bank.

Selanjutnya, Remy Sjahdeini menyimpulkan bahwa perjanjian kredit memiliki


pengertian secara khusus, yakni : “perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan
nasabah sebagai debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, yang mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau
pembagian hasil keuntungan.”[8]

Dari pengertian perjanjian kredit di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian


kredit merupakan kesepakatan yang dibuat antara bank selaku kreditur dengan nasabah
selaku debitur mengenai pinjaman dana untuk dijadikan modal dalam suatu usaha yang
akan dijalankan debitur, dengan pengembalian dana tersebut pada waktunya yang
ditentukan disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan yang diperoleh
dari hasil usaha debitur.

Dalam praktiknya, perjanjian kredit ini disetujui oleh bank hanya berdasarkan
kepercayaan bahwa debitur akan segera melunasi utangnya pada waktunya tertentu
yang telah ditentukan. Oleh karena itu, bank sebelum menyepakati suatu perjanjian
kredit harus memiliki keyakinan mengenai kesanggupan, kemampuan, dan kemauan
debitur untuk melunasi utangnya. untuk memperoleh keyakinan tersebut, bank harus
melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan
prospek usaha debitur. Namun sekalipun bank telah melakukan penilaian yang ketat
terhadap para calon debiturnya, kredit yang diberikan selalu mengandung risiko.

Risiko yang mungkin akan dihadapi, terutama oleh pihak perbankan selaku
kreditur adalah apa yang biasa sdikenal dengan istilah kredit macet. Yakni suatu
keadaan dimana seorang nasabah atau debitur tidak mampu membayar lunas kredit
bank pada waktunya[9]. Keadaan yang demikian dalam hukum perdata disebut
wanprestasi atau ingkar janji. Sebagaimana telah diketahui bahwa kredit merupakan
perjanjian pinjam uang, maka debitur yang tidak dapat membayar lunas utangnya
setelah jangka waktunya habis, adalah wanprestasi.

Kredit macet mempunyai dampak negatif bagi kedua belah pihak. Bagi nasabah,
dalam hal ini nasabah yang masih beritikad baik, artinya kredit macet terjadi bukan
disengaja, kredit macet berarti ia harus menanggung beban kewajiban yang cukup berat
terhadap bank. Karena bunga tetap dihitung terus selama kredit belum dilunasi.
Mengingat setiap pinjaman dari bank (konvensional) mengandung bunga,
maka jumlah kewajiban nasabah semakin lama akan semakin bertambah besar.
Sedangkan bagi bank, dampaknya lebih serius karena selain dana yang disalurkan
untuk kredit berasal dari masyarakat, kredit macet juga mengakibatkan bank
kekurangan dana sehingga mempengaruhi kegiatan usaha bank. Bank yang terganggu
kesehatannya, akan sulit melayani permintaan nasabah, seperti permohonan kredit,
penarikan tebungan, dan deposito. Keadaan yang demikian akan mempengaruhi
kepercayaan masyarakat terhadap bank hingga manjadi berkurang. Bahkan bukannya
tidak mungkin izin usaha bank dicabut pemerintah dan dilikuidasi.

B.  Perjanjian Beli Sewa (Perjanjan Tidak Bernama) dengan Perjanjian Jual Beli
(Perjanjian Bernama)

Prjanjian beli sewa berasal dari kata huurkop dalam bahasa Belanda atauhire


purchase dari bahasa Inggris). Para ahli berbeda pandangan tentang definisi atau
pengertian beli sewa, dari berbagai pandangan atau dapat di bagi menjadi 3 (tiga)
macam definisi yang membahas tentang beli sewa yaitu:
Definisi pertama berpendapat bahwa beli sewa sama dengan jual beli
angsuran; Definisi kedua berpendapat bahwa beli sewa sama dengan sewa menyewa;
Definisi ketiga berpendapat bahwa beli sewa sama dengan jual beli.[10]

Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor


34/KP/II/80 tentang perijinan beli sewa (hire purchase) jual beli dengan angsuran, dan
sewa (renting) di sebutkan pengertian sewa beli. Beli sewa adalah jual beli barang
dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap
pembayaran yang di lakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga yang telah di
sepakati bersama dan di ikat dalam suatu perjanjian, suatu hak milik atas
barang  tersebut beralih dari penjual kepada pembeli setelah harganya di bayar lunas
oleh pembeli kepada penjual.[11]

Bila di perhatikan unsur atau elemen perjanjian beli sewa menurut keputusan


bersama tersebut adalah :

1.          Adanya jual beli barang.


2.          Penjualan dengan memperhitungkan setiap pembayaran.
3.          Objek beli sewa diserahkan kepada pembeli.
4.          Momentum peralihan hak milik setelah pelunasan terakhir.

Hire Purchase Act 1965 mengkonstruksikan beli sewa sebagai perjanjian sewa


menyewa dengan hak opsi dari si penyewa untuk membeli barang yang di sewanya.

Menurut Wirjono Prodjodikoro sewa beli adalah pokoknya persetujuan di


namakan sewa menyewa barang dengan akibat bahwa si penerima tidak menjadi
pemilik, melainkan pemakai belaka, baru kalau uang sewa telah dibayar, berjumlah
sama dengan harga pembelian, si penyewa beralih menjadi pembeli yaitu barangnya
menjadi miliknya.[12]
Berdasar definisi tersebut di atas, pengertian beli sewa di konstruksikan sama
dengan perjanjian sewa menyewa barang, dalam arti bahwa si pembeli hanya pemakai
belaka, tetapi kalau harganya sama, maka si penyewa menjadi pembeli.

Definisi ketiga yang menyatakan bahwa beli sewa merupakan campuran jual
beli dan sewa menyewa. Pendapat ini di kemukakan oleh R. Soebekti. Menurut R.
Soebekti, beli sewa adalah sebenarnya suatu macam jual beli, setidak-tidaknya
mendekati jual beli dari pada sewa-menyewa, meskipun ia merupakan campuran
keduanya dan karenanya di beri judul sewa-menyewa.

Dengan demikian, beli sewa merupakan perjanjian jual beli, bukan konstruksi
sewa menyewa, dalam perjanjian beli sewa maka pembeli sewa hanya bertindak
sebagai penyewa belaka.

Sejak terjadinya kesepakatan barang itu dapat langsung menjadi hak milik  dari
pembeli, kemudian barang tersebut dapat di alihkan kepada pihak lain sebelum
terjadinya pelunasan terakhir, apabila barang tidak di alihkan oleh si pembeli sewa
maka pembeli sewa dapat di golongkan telah melakukan tindakan penggelapan barang.

Dengan demikian, di katakan bahwa dalam undang-undang di hubungkan


dengan pendapat para ahli melihat sewa beli dalam konstruksi yuridis yang berbeda
satu dengan lainnya. beli sewa merupakan gabungan dari 2 (dua)  macam konstruksi
hukum yaitu konstruksi hukum sewa menyewa dan jual beli, apabila barang yang di
jadikan objek beli sewa tidak mampu dib ayar oleh si pembeli sewa sebagaimana di
perjanjikan, maka barang itu dapat di beli oleh penjual sewa.

Untuk lebih memahami makna perjanjian beli sewa harus di pelajari secara


mendalam apa saja klausul-klausul yang terdapat di dalam perjanjian (tertulis)-nya.  Di
dalam perjanjian beli sewa terdapat beberapa klausul.[13]

1)   Klausula Penundaan Peralihan Hak


Dalam beli sewa, klausul penundaan peralihan hak, ini merupakan suatu
karakter utama, hal ini berhubungan langsung dengan proses peralihan hak
milik. Dalam proses peralihan hak milik tidak disyaratkan adanya suatu bentuk
hukum, akan tetapi peralihan hak milik tersebut berlangsung tanpa melalui
proses apapun yaitu terjadi dengan sendirinya. Hak milik beralih kepada
pembeli bila ia telah memenuhi semua kewajibannya berdasarkan persetujuan
pembelian (uit hoofde van de koopovereenkomst).

Saat peralihan hak milik dapat di sepakati antara kedua belah pihak, dan
dalam praktek hak milik berakhir setelah pembayaran angsuran telah lunas.

Penyerahan barang biasanya di lakukan dengan suatu pernyataan saja,


karena barangnya sudah berada di dalam kekuasaan si pembeli dalam
kedudukannya sebagai penyewa cara penyerahan ini di namakantraditio
brevimanu.

2)   Klausul Menggugurkan (Verval Clausule)

Pada umumnya syarat yang tercantum pada perjanjian beli sewaadalah


syarat menggugurkan atau jatuh tempo. Syarat ini merupakan akibat adanya
syarat tentang hak milik yang belum beralih kepada pembeli atau dengan kata
lain adanya syarat penundaan peralihan hak, sehingga keadaan demikian
membawa akibat bahwa selama masa pembayaran angsuran hak milik masih
di tangan penjual.

Apabila pembeli tidak membayar sesuai kewajibannya penjual dapat


menarik kembali, karena status dari barang tersebut adalah sewa sehingga
penjual dapat mudah menarik kembali barangnya, keadaan ini merupakan ciri
atau karakter sewa beli yaitu syarat yang menggugurkan (verval clausule),
dimana jika terjadi wan prestasi dari pembeli, penjual dapat menarik barang
dengan mudah karena status barang adalah sewa.
Adapun akibat dari perjanjian sewa beli, jika pembayaran macet maka
perjanjian menjadi putus dan penyewa harus mengembalikan barangnya
sedangkan uang pembayaran (angsuran) dalam jangka waktu tersebut tidak
perlu di kembalikan baik sebagian atau keseluruhan. Inilah yang di
sebut verval clausule atau syarat yang menggugurkan.

Sebagai konsekuensi dari sewa-menyewa, verval clausule tersebut


masuk akal (rasional). Pembayaran dalam jangka waktu sesuai dengan
perjanjian sebagai tanda sewa dan tanda ini berlaku sebanding dengan
kenikmatan barang.

Pembayaran pembelian sebagai tanda sewa tidak dapat di lakukan,


karena kenikmatan barangnya tidak dapat di kembalikan.

Adanya verval clausule sangat merugikan penyewa atau pembeli, hal ini


di sebabkan karena antara harga pembayaran dan kenikmatan tidak sebanding.

Bagi pihak penjual keadaan ini sangat menguntungkan, terutama jika


angsuran telah di bayar sampai pada waktu hampir selesai pembayaran
terakhir.

3)   Status uang yang telah di bayarkan pembeli kepada penjual

Sepanjang pembeli masih mengangsur atau belum melunasi pembayaran


maka uang tersebut telah di bayarkan kepada penjual apabila terjadi
wanprestasi umumnya tidak di kembalikan meskipun barang telah di tarik.

Dengan demikian status uang selama pembayaran angsuran di anggap


hangus atau hilang karena status barang sebagai barang yang di sewa. Di lain
pihak status uang tersebut dapat di anggap pula sebagai uang ganti rugi
pemakaian atas barang yang di nikmati kegunaannya.
Apabila perjanjian beli sewa di konstruksikan sebagai perjanjian jual
beli, maka sudah tentu status uang tersebut sebagai uang pembayaran atas
pembelian barang objek perjanjian tersebut. Dengan demikian uang yang telah
di bayarkan sebelumnya di perhitungkan sebagai pembayaran barang namun
oleh karena ternyata uang yang sudah di bayarkan adalah sebagai uang sewa,
maka dengan demikian uang tersebut dianggap hangus dan tidak dapat diminta
baik untuk sebagian maupun seluruhnya.

Hal yang seperti ini di pandang sangat kurang memenuhi rasa keadilan
karena terlalu menguntungkan pihak penjual, sedangkan pihak pembeli sangat
dirugikan.

Oleh karena itu, sebaiknya klausula yang mengenai status uang yang
seperti ini hendaknya di tiadakan, agar tidak semata-mata merugikan pihak
pembeli.

Bagi penjual klausula tersebut di pandang sebagai perlindungan yang


sangat efektif, sebab jika status barang dalam perjanjian tidak sebagai sewa,
maka penjual sudah tidak mempunyai kekuasaan apapun terhadap barang atau
dengan perkataan lain penjual tidak memiliki hak istimewa (privilege)
sebagaimana di atur dalam pasal 1144 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa
penjual barang-barang bergerak yang masih belum di bayarkan, dapat
melaksanakan hak istimewanya atas harga pembelian barang-barang itu, jika
barang-barangnya berada di tangan si berutang tidak peduli apakah ia menjual
barang-barang itu dengan penundaan waktu atau dengan tunai.

4)   Klausul Larangan Memindahtangankan Objek Perjanjian (verreemdigs


clausule)

Adanya syarat bahwa selama masa pembayaran angsuran hak milik


masih ada di tangan penjual, mengakibatkan pembeli selama itu belum
menjadi pemilik, oleh karena itu, maka selama periode pembayaran angsuran
atau selama masa mengangsur, pembeli tidak dapat menjual atau
menggadaikan atau memindah tangankan barang (objek perjanjian) tersebut.
Apabila terjadi pemindah tanganan objek perjanjian sewa beli selama masa
angsuran, maka dapat di anggap sebagai penggelapan. Selain itu di dalam
masa angsuran pembeli juga di wajibkan untuk memelihara barang yang di
belinya dan tidak boleh menyalahgunakannya ataupun mengubahnya.

Pitlo dalam salah satu bukunya memberikan pengertian tentang sewa


beli atau (huurkop), dia menyatakan bahwa beli sewa adalah salah satu bentuk
pembelian dengan pembayaran angsuran, dimana para pihak bersepakat bahwa
si penjual membatasi hak kepemilikan (walaupun sebenarnya hak milik
berpindah). Pembatasan ini dapat di buat sampai sebelum waktu lunasnya
pembayaran angsuran umpamanya sebagian dari harga penjualan dilunasi.

Pitlo menegaskan pendapatnya bahwa untuk sahnya suatu pranata beli


sewa (huur koop) maka di perlukan sebuah akta, baik akta otentik maupun
akta di bawah tangan, tanpa akta semacam ini tidak dapat di batalkan beli
sewa, tetapi pembelian dengan pembayaran cicilan atau jual beli dengan
angsuran (koop op afbetaling). Apabila kemudian ada perubahan atas isi akta
berdasarkan kesepakatan keduabelah pihak, maka perubahan tersebut harus
pula di adakan dengan akta.

Jika perjanjian di buat dengan akta di bawah tangan, maka akta atas
permintaan pembeli tersebut harus di buat rangkap dua dan satu eksemplar di
serahkan kepada pembeli. Bila mana tidak di buat rangkap dua, maka penjual
harus menyerahkan copy yang otentik atau copy yang di tandatangani oleh
penjual.

5)   Klausul Pemeliharaan

Dalam kurun waktu pembayaran angsuran, maka pembeli di wajibkan


untuk memelihara dan merawat barang sebagaimana barang tersebut adalah
miliknya.
Selama keadaan pembayaran angsuran pembeli dapat menggunakan
objek perjanjian dan tidak menyewakan kepada orang lain. Selain itu si
pembeli bertanggung jawab atas keselamatan barang objek perjanjian.

Bila suatu ketika barang yang sudah berada dalam penguasaan pembeli,
musnah atau hilang maka penjual tetap mempunyai hak untuk menuntut
pembayaran atas barang tersebut. Jika si pembeli tidak mau membayar
angsuran dengan alasan barangnya sudah tidak ada lagi, tentu si penjual
berhak mengajukan gugatan ke pengadilan dengan dasar wanprestasi.

6)   Klausul Risiko

Dalam perjanjian beli sewa, barang sudah beralih kepada pembeli sejak
penanda tanganan kontrak, sehingga di syaratkan bahwa risiko ada pada
pembeli. Dalam kenyataannya selama masa angsuran ada penundaan peralihan
hak sehingga pembeli pada saat itu belum menjadi pemilik. Dengan ketentuan
adanya suatu syarat penundaan peralihan hak, sehingga dengan demikian
seharusnya risiko tentunya ada pada pemilik, sesuai dengan asas bahwa risiko
ada pada pemilik,  tetapi umumnya dalam perjanjian beli sewa risiko
dibebankan kepada pembeli sejak saat penandatanganan perjanjian.

Umumnya dalam perjanjian beli sewa dalam point-point yang tertuang


dalam akta selalu di sebutkan bahwa risiko ada pada pihak pembeli, karena hal
tersebut sangat rasional karena sejak penanda tanganan perjanjian barang
sudah di serahkan kepada pembeli sekaligus berada dalam penguasaannya.

Apabila risiko di bebankan kepada penjual dengan alasan hak milik


masih di tangannya selama masa mengangsur, sedangkan barang telah di
tangan pembeli, keadaan yang demikian tentunya dapat menimbulkan kerugian
pada penjual, apabila pembeli kurang memperhatikan terhadap barang, dengan
kurang pemeliharaan atau perawatan mengakibatkan barang menjadi rusak
keadaan demikian di anggap bahwa hal tersebut sudah memberikan
keuntungan bagi pembeli. Selain itu bila risiko di bebankan kepada si penjual
hal ini dapat memberikan kesempatan pada pembeli untuk bertindak sesuka
hati kepada barang atau dengan kata lain pengalihan risiko dapat
mengakibatkan rasa tanggung jawab atas pemeliharaan dan perawatan barang
menjadi berkurang, sedangkan bila risiko di bebankan kepada pembeli tentu ia
akan penuh tanggung jawab dan kehati-hatian dalam pemeliharaan dan
perawatan barang tersebut.

Dari kalangan para ahli hukum sampai sekarang belum ada persamaan pendapat
mengenai perjanjian beli sewa. Subekti mengatakan bahwa perjanjianbeli sewa adalah
suatu pengembangan dari perjanjian jual beli, sedangkan Wirjono Prodjodikoro
mengemukakan bahwa perjanjian beli sewa lebih condong pada perjanjian sewa-
menyewa.

Apabila di lihat dari prinsip-prinsip dalam KUH Perdata, perjanjian beli


sewa asalnya adalah persetujuan sewa-menyewa dan persetujuan jual-beli yang
pengaturannya telah di atur dalam KUH Perdata. Akan tetapi kedua bentuk perjanjian
tersebut kurang dapat memenuhi kebutuhan dalam masyarakat, sehingga akhirnya
timbul dengan sendirinya dalam praktek, persetujuan yang belum di atur dalam KUH
Perdata, yakni perjanjian sewa beli. Dalam praktek, ada dua bentuk perjanjian yang
menguasai kehidupan masyarakat, yaitu perjanjianbeli sewa dan perjanjian jual beli
secara angsuran.[14]

Dalam perjanjian beli sewa (huurkoop), penjual (pemilik obyek beli sewa)


belum menyerahkan hak milik atas barang yang di jualnya kepada pembeli, selama
pembeli belum melunasi harga barang dalam jangka waktu tertentu seperti yang telah di
sepakati bersama.

Apabila selama harga barang belum dibayar lunas, maka barang itu tetap
menjadi milik penjual. Hal ini pula yang menjadi jaminan bagi penjual bahwa pembeli
tidak akan mengalihkan barangnya kepada orang lain, karena Pasal 372 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana memberikan batasan bahwa apabila terjadi pengalihan barang
yang bukan miliknya dapat dianggap telah melakukan penggelapan. Sebaliknya dalam
perjanjian jual-beli dengan angsuran, hak milik atas barang/obyek jual beli telah beralih
dari penjual kepada pembeli bersamaan dengan dilakukannya penyerahan barang
kepada pembeli, walaupun pembayaran dapat dilakukan dengan cara angsuran dalam
jangka waktu tertentu seperti yang telah disepakati dan ditentukan. Dengan demikian
pembeli telah mempunyai hak mutlak atas obyek jual-beli dan bebas melakukan
perbuatan hukum memindah tangankan barang tersebut kepada pihak lain. Apabila
pembeli tidak melunasi cicilan harga barang tersebut, penjual dapat menuntut
pembayaran sisa hutang yang merupakan sisa harga barang.

Dalam praktek, pelaku usaha/penjual umumnya merasa lebih aman untuk


melakukan perjanjian sewa beli daripada melakukan perjanjian jual beli dengan cicilan.
Terlebih lagi apabila dikaitkan dengan alasan untuk mencari pembeli sebanyak-
banyaknya dengan mengutamakan segi keamanan dengan adanya jaminan yang
memberikan hak kepada penjual untuk menguasai obyek/barang sampai dilakukannya
pelunasan pembayaran atas barang tersebut oleh pembeli. Dalam hal ini penjual
menuntut adanya tanggung jawab pembeli untuk melunasi pembayaran, sebelum hak
milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli.

1.      Persamaan dan perbedaan antara perjanjian beli sewa dengan jual beli

Ada beberapa persamaan antara perjanjian beli sewa dengan perjanjian jual beli,


yaitu:

a.    Beli sewa dan jual-beli merupakan suatu perikatan yang bersumber pada


perjanjian. Untuk sahnya suatu perjanjian harus di penuhi syarat sahnya
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
b.    Dalam perjanjian beli sewa dan jual-beli, penjual pada sewa beli dan jual
beli mempunyai kewajiban untuk menanggung adanya kenikmatan
tenteram dan damai serta adanya cacat tersembunyi.
c.    Dalam perjanjian beli sewa dan jual-beli ada kewajiban untuk
menyerahkan suatu barang atau benda tertentu.
d.   beli sewa dan jual-beli bertujuan untuk memperoleh dan mengalihkan hak
milik.

Adapun perbedaan-perbedaan dari perjanjian beli sewa dan perjanjian


jual-beli antara lain:
a)    Perjanjian jual beli biasanya merupakan suatu perjanjian dimana pihak
penjual mengikatkan diri untuk menyerahkan hak miliknya atas barang
jual-beli kepada pihak pembeli yang berkewajiban untuk membayar harga
pembelian (Pasal 1457 KUH Perdata), sedangkan dalam perjanjian beli
sewa, pembeli diperbolehkan mengangsur atau mencicil harga barang
tersebut dalam beberapa kali angsuran dan hak milik (meskipun barang
berada dalam penguasaan pembali) tetap berada di tangan penjual.
b)   Walaupun pengaturan mengenai beli sewa belum diatur dalam ketentuan
hukum tertulis, tetapi dapat dikatakan bahwa barang sewa beli tersebut
haruslah dapat ditentukan jenis dan harganya. Hal ini berbeda dengan
perjanjian jual beli yang menentukan bahwa masing-masing pihak
diperbolehkan mengadakan perjanjian jual-beli walaupun barang yang
menjadi obyek perjanjian belum ada (Pasal 1334 Ayat (1) KUH Perdata).
c)    Pengertian penyerahan dalam perjanjian jual-beli pada umumnya adalah
penyerahan nyata dan penyerahan yuridis, sedangkan pengertian
penyerahan dalam perjanjian beli sewa adalah penyerahan nyata, dan
belum penyerahan secara yuridis.

2.      Persamaan dan perbedaan antara perjanjian beli sewa dengan jual beli secara angsuran

Antara perjanjian beli sewa dan perjanjian jual beli secara angsuran


terdapat beberapa persamaan sebagai berikut:

a.    Pada prinsipnya baik perjanjian beli sewa maupun perjanjian jual-beli


secara angsuran adalah suatu cara pembelian barang bukan tunai, dimana
keduaduanya tumbuh dalam praktek sehari-hari dalam masyarakat dan
belum diatur dalam KUH Perdata maupun dalam Undang-Undang
lainnya.
b.    Baik perjanjian beli sewa maupun perjanjian jual-beli secara angsuran,
keduanya bertujuan untuk mendapatkan sejumlah pembeli yang lebih
banyak, dengan pembayaran harga barangnya dilakukan secara angsuran
dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
c.    Menurut Pasal 314 juncto 749 KUHD, jual beli kapal yang terdaftar
dalam daftar kapal (20 m³ atau lebih) tidak termasuk dalam perjanjian beli
sewa dan perjanjian jual-beli secara angsuran.
d.   Baik perjanjian beli sewa maupun perjanjian jual beli dengan angsuran
keduanya merupakan bentuk khusus yang rimbul dari perjanjian jual beli
biasa.

Di samping persamaan-persamaan tersebut di atas, perjanjian beli


sewa dan perjanjian jual beli dengan angsuran memiliki beberapa perbedaan
sebagai berikut:

a)    Penyerahan barang pada perjanjian beli sewa tidak menimbulkan


peralihan hak milik. Hak milik baru berpindah pada waktu dibayarnya
angsuran yang terakhir. Penyerahan hak milik di lakukan cukup dengan
menunjukkan bukti pembayaran terakhir, sebab sejak semula memang
barangya sudah di kuasai pembeli. Sedangkan pada perjanjian jual beli
dengan angsuran, penyerahan barang telah menimbulkan perpindahan hak
milik atas barang kepada pembeli walaupun uang pembayarannya belum
lunas.
b)   Dalam perjanjian beli sewa, selama pembayaran harga barang belum di
lunasi maka pembeli di larang untuk menjual atau mengalihkan hak atas
barangnya kepada orang lain. Hal ini merupakan jaminan bahwa barang
tidak akan hilang atau rusak selama di kuasai pembeli. Seandainya
pembeli tidak bertanggung jawab sebagaimana mestinya atas barang
tersebut, maka pembeli dapat di anggap telah melakukan tindak pidana
penggelapan sebagaimana di atur dalam Pasal 372 KUHP. Sebaliknya,
dalam perjanjian jual beli secara angsuran, karena hak milik telah
berpindah kepada pembeli sejak di lakukannya perjanjian jual beli yang
disertai dengan penyerahan barang maka pembeli bebas melakukan
perbuatan hukum apapun atas barang tersebut. Apabila sebelum angsuran
lunas barang tersebut telah berpindah tangan atau musnah atau rusak,
maka pembeli hanya dapat dituntut untuk melunasi sisa hutangnya yang
berkaitan dengan sisa pembayaran sesuai dengan tanggung jawabnya.
c)    Perjanjian beli sewa merupakan hasil perpaduan dari jual-beli dengan
sewamenyewa. Hal ini dapat disimpulkan dari penggunaan kata “sewa”
dan “beli” (ada istilah penjual-sewa dan pembeli sewa), sedangkan
perjanjian jual-beli secara angsuran merupakan bentuk khusus dari
perjanjian jual beli biasa.

3.      Persamaan dan perbedaan antara perjanjian beli sewa dengan sewa-menyewa


Ada beberapa persamaan antara perjanjian beli sewa dengan sewa-
menyewa, yaitu:

a.    Perjanjian beli sewa dan sewa-menyewa merupakan suatu perikatan yang


bersumber pada perjanjian dan untuk sahnya perjanjian harus memenuhi
syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
b.    Adanya kewajiban untuk menyerahkan barang oleh penjual padabeli
sewa dan pihak yang menyewakan dalam sewa-menyewa.
c.    Penjual dalam beli sewa dan penyewa dalam sewa-menyewa
berkewajiban untuk memelihara barang yang sudah dalam penguasaannya
sebagai bapak rumah tangga yang baik.
d.   Penjual dalam beli sewa dan pihak yang menyewakan dalam sewa-
menyewa berkewajiban untuk memberikan kenikmatan tenteram dan
damai serta tidak adanya cacat tersembunyi pada barang yang dijual
pada beli sewa dan yang disewakan pada sewa-menyewa.

Selanjutnya perbedaan-perbedaan antara perjanjian beli sewadengan


sewa-menyewa antara lain:

a)    Pengertian sewa-menyewa hanya untuk memberi kenikmatan atas benda


atau barang yang disewakan. Oleh karena itu dalam sewa-menyewa tidak
hanya pemegang hak milik atas barang saja yang dapat menyewakan,
tetapi dapat pula dilakukan oleh pemegang hak yang lain, misalnya
pemegang hak memungut hasil, sedangkan pada sewa beli yang
mempunyai tujuan untuk mengalihkan hak milik, penjual harus benar-
benar pemegang hak milik dari barang beli sewa.
b)   Undang-Undang memberi kemungkinan bentuk perjanjian sewa-menyewa
di adakan secara tertulis atau lisan, sedangkan perjanjian sewa beli
menurut kebiasaan harus di lakukan secara tertulis.
c)    Risiko dalam perjnjian sewa-menyewa di atur dalam Pasal 1553 KUH
Perdata, yaitu bila barang yang disewa itu musnah, karena suatu peristiwa
di luar kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian sewa-menyewa batal
demi hukum, dan risikonya harus di pikul oleh pihak yang menyewakan
sebagai pemilik barang atau rumah.
C.  Penyelesaian Perjanjian Tidak Bernama

1)      Melihat ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat memaksa (dwingen);

2)      Melihat ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah ditentukan oleh


para pihak (isi perjanjian);

3)      Melihat ketentuan-ketentuan dalam Buku III pada bagian umum;

4)      Melihat ketentuan-ketentuan khusus yang diperlakukan secara analogis;

5)      Apabila ketentuan-ketentuan diatas tidak dapat terselesaikan, maka


dapat mendasarkan pada kebiasaan-kebiasaan, kebiasaan ini dapat dibagi
2, yaitu:

a)      Pasal 1347, yaitu tentang standar klausula artinya bahwa


kebiasaan yang selamanya telah diperjanjikan;

b)      Pasal 1339, yaitu tentang penggunaan kebiasaan


setempat yang berlaku (gewoonte);[15]
[1] Gautama, Sudargo. Himpunan Jurisprudensi Indonesia Yang Penting Untuk Praktek Sehari-hari (Landmark
Decisions) Jilid 3. Bandung:  Citra Aditya Bakti, 1992.

[2] Subekti. 1982. Jaminan – Jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum Indonesia. Bandung : Alumni, hlm 3.

[3] Marhais Abdul Hay. 1975. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung : Pradnya Paramita, hlm 67.

[4] Mariam Darus Badrulzaman. 1983. Perjanjian Kredit Bank. Bandung : Alumni, hlm 11.

[5] Djuhaendah Hasan. 1996. Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lain yang melekat pada Tanah
dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal. Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm 174.

[6] Ibid, hal 174.

[7] Sutan Remy Sjahdeini. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam
Perjajian Kredit Bank. Jakarta : Institut Bankir Indonesia, hlm 158 – 160.

[8] Ibid, hlm 14.

[9] Gatot Supramono, 1995. Perbankan dan Masalah Kredit, suatu Tinjauan Yuridis. Jakarta : Djambatan, hal. 92.

[10] Bahan Kuliah Hukum Kontrak Ridwan Khairandy.


[11]Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/KP/II/80 tentang perijinan beli sewa.. 01 februari
1980.

[12] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur 1981), Halaman 65

[13] Op. Cit. Bahan Kuliah Hukum Kontrak Ridwan Khairandy.

[14] Loc.cit. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu.

[15] Bahan Kuliah Hukum Kontrak Ridwan Khairandy. Loc. Cit

Diposting oleh Putro Wicaksono di 05.08 

Anda mungkin juga menyukai