BAB I
PENDAHULUAN
Secara garis besar, perjanjian yang diatur/dikenal di dalam KUHPer adalah sebagai
berikut: Perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, kerja, persekutuan perdata,
perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi, untung-
untungan, pemberian kuasa, penanggung utang dan perdamaian. Dalam teori ilmu hukum,
perjanjian-perjanjian diatas disebut dengan perjanjian nominaat. Dasar hukum perjanjian
bernama terdapat dalam Bab V sampai Bab XVIII Buku Ke Tiga KUHPerdata.
Tentang perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yaitu
yang berbunyi: ”semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang
tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat
dalam bab ini dan bab yang lain”.
Leasing sebagai salah satu bentuk perjanjian tidak bernama sampai saat ini tidak
ada undang-undang khusus yang mengaturnya. Pengaturan leasing baru terdapat pada
tingkat Keputusan Menteri Keuangan dan peraturan-peraturan lain dibawahnya.
Ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai pegangan yang pasti adalah Surat
Keputusan Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. KEP 122/MK/IV/2/1974,
No.32/M/SK/2/1974, dan No. 30/Kpb/I/74 tanggal 7 Februari 1974.
PEMBAHASAN
A. Perjanjian Kredit (Perjanjian Tidak Bernama) dengan Perjanjian Pinjam Meminjam
(Perjanjian Bernama)
Dari perumusan Pasal 1313 KUH Perdata, dapat disimpulkan bahwa perjanjian atau
persetujuan dalam pasal tersebut adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Dengan
demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian melahirkan
perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber lainnya, yaitu undang-
undang.
Mirip dengan pendapat Subekti adalah pendapat Marhais Abdul Hay[3], yang
mengatakan bahwa perjanjian kredit identik dengan perjanjian pinjam meminjam, dan
dikuasai oleh ketentuan bab XIII dari buku III KUH Perdata.
a. Sifat konsensual dari suatu perjajian kredit merupakan ciri pertama yang
membedakannya dari perjanjian pinjam meminjam uang yang bersifat
riil. Perjanjian kredit adalah perjanjian loan of money menurut hukum
Inggris yang dapat bersifat riil maupun konsensual, tetapi bukan
perjanjian peminjaman uang menurut hukum Indonesia yang bersifat
riil. Bagi perjanjian kredit, yang jelas-jelas mencantumkan syarat-syarat
tangguh, tidak dapat dibantah lagi bahwa perjanjian itu merupakan
perjanjian yang konsensual sifatnya. Setelah perjanjian kredit
ditandatangani oleh bank dan nasabah debitur, nasabah debitur belum
berhak menggunakan atau melakukan penarikan kredit. Atau sebaliknya,
setelah ditandatangani kredit oleh kedua belah pihak, belumlah
menimbulkan kewajiban bagi bank untuk menyediakan kredit
sebagaimana yang diperjanjikan. Hak nasabah debitur untuk dapat
menarik atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit, masih
bergantung pada terpenuhinya semua syarat yang ditentukan di dalam
perjanjian kredit.
b. Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur tidak dapat
digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan tertentu oleh
nasabah debitur, seperti yang dilakukan oleh peminjam uang atau
debitur pada perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit,
kredit harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam
perjanjian, dan pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu dapat
menimbulkan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit
secara sepihak dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh baki
debet atauoutstanding kredit. Hal ini berarti, nasabah debitur bukan
merupakan pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya berdasarkan
perjanjian kredit itu, sebagaimana bila seandainya perjanjian kredit itu
adalah perjanjian peminjaman uang. Dengan kata lain, perjanjian kredit
bank tidak mempunyai ciri yang sama dengan perjanjianpinjam
meminjam atau perjanjian pinjam mengganti. Oleh karena itu, pada
perjanjian kredit bank, tidak berlaku ketentuan-ketentuan ke XIII buku
III KUH Perdata.
Dalam praktiknya, perjanjian kredit ini disetujui oleh bank hanya berdasarkan
kepercayaan bahwa debitur akan segera melunasi utangnya pada waktunya tertentu
yang telah ditentukan. Oleh karena itu, bank sebelum menyepakati suatu perjanjian
kredit harus memiliki keyakinan mengenai kesanggupan, kemampuan, dan kemauan
debitur untuk melunasi utangnya. untuk memperoleh keyakinan tersebut, bank harus
melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan
prospek usaha debitur. Namun sekalipun bank telah melakukan penilaian yang ketat
terhadap para calon debiturnya, kredit yang diberikan selalu mengandung risiko.
Risiko yang mungkin akan dihadapi, terutama oleh pihak perbankan selaku
kreditur adalah apa yang biasa sdikenal dengan istilah kredit macet. Yakni suatu
keadaan dimana seorang nasabah atau debitur tidak mampu membayar lunas kredit
bank pada waktunya[9]. Keadaan yang demikian dalam hukum perdata disebut
wanprestasi atau ingkar janji. Sebagaimana telah diketahui bahwa kredit merupakan
perjanjian pinjam uang, maka debitur yang tidak dapat membayar lunas utangnya
setelah jangka waktunya habis, adalah wanprestasi.
Kredit macet mempunyai dampak negatif bagi kedua belah pihak. Bagi nasabah,
dalam hal ini nasabah yang masih beritikad baik, artinya kredit macet terjadi bukan
disengaja, kredit macet berarti ia harus menanggung beban kewajiban yang cukup berat
terhadap bank. Karena bunga tetap dihitung terus selama kredit belum dilunasi.
Mengingat setiap pinjaman dari bank (konvensional) mengandung bunga,
maka jumlah kewajiban nasabah semakin lama akan semakin bertambah besar.
Sedangkan bagi bank, dampaknya lebih serius karena selain dana yang disalurkan
untuk kredit berasal dari masyarakat, kredit macet juga mengakibatkan bank
kekurangan dana sehingga mempengaruhi kegiatan usaha bank. Bank yang terganggu
kesehatannya, akan sulit melayani permintaan nasabah, seperti permohonan kredit,
penarikan tebungan, dan deposito. Keadaan yang demikian akan mempengaruhi
kepercayaan masyarakat terhadap bank hingga manjadi berkurang. Bahkan bukannya
tidak mungkin izin usaha bank dicabut pemerintah dan dilikuidasi.
B. Perjanjian Beli Sewa (Perjanjan Tidak Bernama) dengan Perjanjian Jual Beli
(Perjanjian Bernama)
Definisi ketiga yang menyatakan bahwa beli sewa merupakan campuran jual
beli dan sewa menyewa. Pendapat ini di kemukakan oleh R. Soebekti. Menurut R.
Soebekti, beli sewa adalah sebenarnya suatu macam jual beli, setidak-tidaknya
mendekati jual beli dari pada sewa-menyewa, meskipun ia merupakan campuran
keduanya dan karenanya di beri judul sewa-menyewa.
Dengan demikian, beli sewa merupakan perjanjian jual beli, bukan konstruksi
sewa menyewa, dalam perjanjian beli sewa maka pembeli sewa hanya bertindak
sebagai penyewa belaka.
Sejak terjadinya kesepakatan barang itu dapat langsung menjadi hak milik dari
pembeli, kemudian barang tersebut dapat di alihkan kepada pihak lain sebelum
terjadinya pelunasan terakhir, apabila barang tidak di alihkan oleh si pembeli sewa
maka pembeli sewa dapat di golongkan telah melakukan tindakan penggelapan barang.
Saat peralihan hak milik dapat di sepakati antara kedua belah pihak, dan
dalam praktek hak milik berakhir setelah pembayaran angsuran telah lunas.
Hal yang seperti ini di pandang sangat kurang memenuhi rasa keadilan
karena terlalu menguntungkan pihak penjual, sedangkan pihak pembeli sangat
dirugikan.
Oleh karena itu, sebaiknya klausula yang mengenai status uang yang
seperti ini hendaknya di tiadakan, agar tidak semata-mata merugikan pihak
pembeli.
Jika perjanjian di buat dengan akta di bawah tangan, maka akta atas
permintaan pembeli tersebut harus di buat rangkap dua dan satu eksemplar di
serahkan kepada pembeli. Bila mana tidak di buat rangkap dua, maka penjual
harus menyerahkan copy yang otentik atau copy yang di tandatangani oleh
penjual.
5) Klausul Pemeliharaan
Bila suatu ketika barang yang sudah berada dalam penguasaan pembeli,
musnah atau hilang maka penjual tetap mempunyai hak untuk menuntut
pembayaran atas barang tersebut. Jika si pembeli tidak mau membayar
angsuran dengan alasan barangnya sudah tidak ada lagi, tentu si penjual
berhak mengajukan gugatan ke pengadilan dengan dasar wanprestasi.
6) Klausul Risiko
Dalam perjanjian beli sewa, barang sudah beralih kepada pembeli sejak
penanda tanganan kontrak, sehingga di syaratkan bahwa risiko ada pada
pembeli. Dalam kenyataannya selama masa angsuran ada penundaan peralihan
hak sehingga pembeli pada saat itu belum menjadi pemilik. Dengan ketentuan
adanya suatu syarat penundaan peralihan hak, sehingga dengan demikian
seharusnya risiko tentunya ada pada pemilik, sesuai dengan asas bahwa risiko
ada pada pemilik, tetapi umumnya dalam perjanjian beli sewa risiko
dibebankan kepada pembeli sejak saat penandatanganan perjanjian.
Dari kalangan para ahli hukum sampai sekarang belum ada persamaan pendapat
mengenai perjanjian beli sewa. Subekti mengatakan bahwa perjanjianbeli sewa adalah
suatu pengembangan dari perjanjian jual beli, sedangkan Wirjono Prodjodikoro
mengemukakan bahwa perjanjian beli sewa lebih condong pada perjanjian sewa-
menyewa.
Apabila selama harga barang belum dibayar lunas, maka barang itu tetap
menjadi milik penjual. Hal ini pula yang menjadi jaminan bagi penjual bahwa pembeli
tidak akan mengalihkan barangnya kepada orang lain, karena Pasal 372 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana memberikan batasan bahwa apabila terjadi pengalihan barang
yang bukan miliknya dapat dianggap telah melakukan penggelapan. Sebaliknya dalam
perjanjian jual-beli dengan angsuran, hak milik atas barang/obyek jual beli telah beralih
dari penjual kepada pembeli bersamaan dengan dilakukannya penyerahan barang
kepada pembeli, walaupun pembayaran dapat dilakukan dengan cara angsuran dalam
jangka waktu tertentu seperti yang telah disepakati dan ditentukan. Dengan demikian
pembeli telah mempunyai hak mutlak atas obyek jual-beli dan bebas melakukan
perbuatan hukum memindah tangankan barang tersebut kepada pihak lain. Apabila
pembeli tidak melunasi cicilan harga barang tersebut, penjual dapat menuntut
pembayaran sisa hutang yang merupakan sisa harga barang.
2. Persamaan dan perbedaan antara perjanjian beli sewa dengan jual beli secara angsuran
[2] Subekti. 1982. Jaminan – Jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum Indonesia. Bandung : Alumni, hlm 3.
[3] Marhais Abdul Hay. 1975. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung : Pradnya Paramita, hlm 67.
[5] Djuhaendah Hasan. 1996. Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lain yang melekat pada Tanah
dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal. Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm 174.
[6] Ibid, hal 174.
[7] Sutan Remy Sjahdeini. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam
Perjajian Kredit Bank. Jakarta : Institut Bankir Indonesia, hlm 158 – 160.
[8] Ibid, hlm 14.
[9] Gatot Supramono, 1995. Perbankan dan Masalah Kredit, suatu Tinjauan Yuridis. Jakarta : Djambatan, hal. 92.
[12] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur 1981), Halaman 65