Anda di halaman 1dari 18

URAIAN MATERI

BAB I - PENDAHULUAN
Tanpa disadari setiap orang dalam kesehariannya telah melakukan
berbagai perjanjian yang menciptakan hubungan hukum (perikatan).
Misalkan, ketika naik taksi ataupun bis ke kampus, ini merupakan perjanjian
jasa. Taksi/bus dengan pembayaran tertentu berjanji memberikan jasanya
mengantar penumpang sampai tempat tujuan, penumpang berjanji dengan
diterimanya jasa taksi/bus mengantarnya ketempat tujuan, memberikan
sejumlah uang sebagai pembayaran. Adanya perjanjian ini menimbulkan
perikatan antara penumpang dengan jasa angkutan taksi/bis tersebut,
penumpang dengan memberikan uang pembayaran memiliki hak menuntut
jasa taksi/bis sampai ketempat tujuan, dan taksi/bis wajib memenuhi tuntutan
tersebut dan demikian juga sebaliknya. Membeli makanan di kantin berarti
melakukan perjanjian jual beli. Kantin berjanji memberikan makanan yang
dipesan dengan sejumlah pembayaran, pembeli dengan menerima makanan
pesanan berjanjin memberikan sejumlah pembayaran. Dengan perjanjian jual
beli ini timbul perikatan antara penjual dan pembeli. Penjual berhak menuntut
pembayaran (atas makanan yang diberikan) dan pembeli wajib memenuhi
tuntutan tersebut (membayar sejumlah uang). Roda ekonomi, bisnis,
perdagangan, misalkan lisensi paten, ekspor komoditi, pengadaan
barang/jasa oleh pemerintah, real estate, perhotelan, penerbangan dan
banyak lainnya seluruhnya didasarkan perjanjian dan menimbulkan perikatan.
Demikian halnya misalkan pencemaran lingkungan oleh industri, pemalsuan
merk dagang, upah buruh/pekerja di bawah standar minimum, kecelakaan
kerja, adalah perbuatan-perbuatan (manusia) menimbulkan perikatan, pihak
yang menderita kerugian berhak menuntut ganti kerugian sedang pihak
lainnya wajib memenuhi tuntutan membayar ganti rugi atas kerugian yang
timbul karena kesalahannya tersebut. Beberapa contoh tersebut kiranya
dapat menunjukkan bahwa perikatan, baik yang timbul dari janji maupun yang
timbul karena undang-undang merupakan bidang hukum yang amat penting.
Hukum Perikatan diatur dalam ketentuan Buku III KUHPERDATA,
namun ketentuan buku III tersebut tidak memberikan rumusan tentang
Perikatan. Menurut para ahli, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi
di antara 2 orang atau lebih di bidang harta kekayaan, di mana pihak yang
satu berhak untuk menuntut sesuatu dari pihak lain dan pihak lainnya wajib
memenuhi tuntutan tersebut.
Sumber perikatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1233
KUHPerdata adalah perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang timbul
dari perjanjian merupakan hubungan hukum yang terjadi karena kehendak
para pihaknya sendiri, mereka memang menginginkan terjadinya hubungan
hukum tersebut. Sedangkan perikatan yang timbul karena ketentuan undang-
undang adalah hubungan hukum yang terjadi bukan karena kehendak atau
kesepakatan para pihak namun hubungan hukum tersebut diberikan oleh
undang-undang.
Dalam Pasal 1352 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “perikatan-
perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang
saja dan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”. Perikatan
yang timbul akibat perbuatan orang menurut Pasal 1353 KUHPerdata
dibedakan atas perbuatan orang yang menurut hukum (legal) dan perbuatan
melanggar hukum. Perbuatan orang yang menurut hukum diatur dalam Pasal
1354 KUHPerdata mengenai zaakwarneming dan perikatan alam (wajar)
yang diatur dalam Pasal 1359 KUHPerdata. Sedangkan perbuatan manusia
yang melawan hukum diatur oleh Pasal 1365 KUHPerdata.
Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Pemahaman perjanjian menurut
Pasal 1313 KUHPerdata tersebut hanya mencerminkan perjanjian sepihak,
karenanya oleh Subekti definisi tersebut diperbaiki, perjanjian adalah suatu
peristiwa di mana seseorang atau dua orang saling berjanji untuk melakukan
sesuatu hal tertentu. Dengan adanya pihak yang mengikatkan diri pada pihak
lain timbullah suatu hubungan hukum yang disebut dengan perikatan. Oleh
karena itu perikatan lebih luas daripada perjanjian. Hukum perdata
memedakan perikatan atas beberapa macam perikatan, antara lain:
1. Perikatan bersyarat;
2. Perikatan dengan ketetapan waktu;
3. Perikatan mana suka (alternatif);
4. Perikatan tanggung menanggung (solider);
5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi;
6. Perikatan dengan ancaman hukuman.

BAB II - Buku III KUHPERDATA


Buku III KUHPerdata mengatur harta kekayaan yang bersifat relatif,
yaitu harta kekayaan yang hanya dapat dipertahankan terhadap orang-orang
yang terikat dalam suatu hubungan hukum, ini berbeda dengan Buku II
KUHperdata yang mengatur harta kekayaan yang sifatnya absolut, artinya
dapat dipertahankan terhadap semua orang yang melanggarnya. Buku ke III
KUHPerdata menganut sistem terbuka di mana para pihak diberi kebebasan
dalam membuat perjanjian dan perjanjian itu berlaku bagi mereka sendiri.
Kebebasan untuk membuat perjanjian dapat disimpulkan antara lain dari
Pasal 1338: 1 KUHPerdata yang menyatakan: “Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya”.
Sistem terbuka dan sifat relatif dari Buku III KUHPerdata tersebut berbeda
dengan Buku II KUHPERDATA yang menganut sistem tertutup serta besifat
absolut dan memaksa. Dengan kebebasan berkontrak maka ketentuan Buku
III KUHPerdata hanya bersifat mengatur, yaitu digunakan bila para pihak tidak
menentukan sendiri dan bersifat pelengkap (optional law), yaitu melengkapi
perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap
Sistem terbuka yang tercermin dalam kebebasan berkontrak yang
dianut oleh Buku III KUHPerdata bukanlah tanpa batas. Kebebasan
berkontrak tersebut dibatasi oleh kepatutan, ketertiban umum dan undang-
undang. KUHPerdata sebagai undang-undang juga memberikan batasan
terhadap kebebasan berkontrak, hal ini terlihat dari isi/pengaturan pasal-
pasalnya, tidak semua pasal dalam Buku III bersifat mengatur, tetapi ada juga
yang bersifat memaksa dalam arti tidak diperbolehkan adanya kebebasan
berkontrak, misalnya Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat
sahnya perjanjian, juga Pasal 1491 KUHPerdata yang mengatur tentang

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 2


kewajiban penjual untuk menanggung kenikmatan tentram dan cacad
tersembunyi. Pasal-pasal yang bersifat mengatur yang bisa disimpangi
berdasarkan kebebasan berkontrak selalu mencantumkan kata-kata
“…kecuali para pihak menentukan lain” atau “…sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.” Tanpa adanya kata-kata tersebut berarti isi pasal
merupakan keharusan. Demikian juga batasan kebebasan berkontrak juga
diberikan dalam peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur perjannjiannya.
Buku III KUHPerdata disusun berbadarkan suatu sistematika, yaitu
sebagai berikut:
1. Bagian Umum (Bab I - IV); dan
2. Bagian khusus (Bab V - Bab XVIII) yang mengatur perjanjian-perjanjian
bernama (nominaat). Perjanjian bernama (nominaat) adalah perjanjian-
perjanjian yang mempunyai nama dan diatur dalam ketentuan Buku III
KUHPerdata dan KUHDagang. Ada 10 perjanjian bernama dalam
KUHPerdata, antara lain perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,
perjanjian tukar- menukar.
Di luar perjanjian bernama (nominaat), ada pula perjanjian-perjanjian yang
tidak mempunyai nama khusus dan tidak diatur di dalam KUHPerdata
(innominaat), namun timbul dalam praktek karena adanya kebutuhan
masyarakat, seperti perjanjian leasing, franchising, sewa beli dan lain
sebagainya. Meskipun tidak diatur dalam ketentuan Buku III KUHPerdata,
perjanjian innominaat tetap harus tunduk pada aturan umum Buku III
KUHPerdata berdasarkan Pasal 1319 KUHPerdata. Pasal ini menyatakan
bahwa perjanjian apa saja, baik yang diatur secara khusus dalam
KUHPerdata maupun yang tidak ada pengaturannya dalam KUHPerdata
tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dari Buku III KUHPerdata.

BAB III - SYARAT SAHNYA PERJANJIAN


Menurut Pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya suatu perjanjian harus
dipenuhi empat syarat, yaitu:
1. Kata Sepakat;
2. Kecakapan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Causa atau sebab yang halal.
Syarat kata sepakat dan kecakapan disebut syarat subjektif karena terkait
dengan subyek perjanjian, sedangkan syarat suatu hal tertentu dan causa
yang halal disebut sebagai syarat obkjektif karena terkait dengan objek
perjanjian.
Sepakat artinya setuju, seia sekata atau ada persesuaian kehendak
mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian. Pengertian sepakat dilukiskan
sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara para pihak. Kata sepakat
menjadi cacat dalam hal kesepakatan diberikan dengan tidak bebas, yaitu
terjadi kekhilafan, paksaan dan penipuan.
Untuk syarat kecakapan, pada asasnya setiap orang yang dewasa
atau akil baligh serta sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Pasal
1330 KUHPerdata menyebutkan bahwa tidak cakap antara lain orang yang
belum dewasa, di bawah pengampuan, dilarang melakukan perikatan-
perikatan tertentu serta orang perempuan. Namun sejak berlakunya SEMA

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 3


No. 3 Tahun 1963 jo UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perempuan
sudah dianggap cakap untuk mengadakan perjanjian. Harus diingat bahwa
subjek hukum bukan hanya orang, tetapi juga badan hukum. Karenanya
untuk mengukur kecakapan suatu badan hukum, perlu diperhatikan kapasitas
orang yang bertindak mewakili badan hukum tersebut, apakah dia berwenang
atau tidak. Untuk itu harus diperhatikan peraturan perundang-undangan yang
mengatur badan hukum tersebut.
Syarat suatu hal tertentu, artinya bahwa objek perjanjian paling tidak
harus dapat ditentukan baik jenis, berat maupun jumlahnya. Sedangkan yang
dimaksud dengan causa yang halal bukan motif mengapa orang mengadakan
perjanjian, namun isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan,
kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1337
KUHPerdata.
Dengan dibuatnya perjanjian secara sah dalam arti memenuhi
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian yang dibuat mempunyai
kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihaknya (Pacta sunt
servada). Karena perjanjian memiliki kekuatan mengikat, maka para pihak
tidak dapat membatalkan perjanjian itu secara sepihak tanpa persetujuan dari
pihak lain (Pasal 1338: 2 KUHPerdata).
Dalam hal syarat subjektif tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian
dapat dimintakan pembatalannya. Dalam hal kesepakatan diberikan oleh
subjek yang tidak cakap, pihak yang mengajukan pembatalan adalah orang
tua atau wali dari pihak yang belum dewasa, pengampu dari orang yang di
bawah pengampuan. Sedangkan dalam hal kesepakatan diberikan tidak
dengan bebas, maka pembatalan diajukan oleh pihak yang memberikan
kesepakatan dengan tidak bebas (pihak yang khilaf, pihak yang ditipu, pihak
yang mengalami paksaan). Bila perjanjian tersebut tidak diajukan
pembatalannya, maka perjanjian dianggap tetap berlangsung. Berbeda
dengan syarat subjektif, bila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian
tersebut batal demi hukum, artinya dari awal perjanjian dianggap tidak pernah
ada. Dengan demikian tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim.
Pihak yang telah menerima prestasi harus mengembalikan apa yang telah
diterimanya.
Bila menilik ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, secara umum pada
asasnya perjanjian telah ada/lahir pada detik tercapainya kata sepakat, ini
adalah asas konsesulisme. Perjanjian yang lahir semata-mata cukup dengan
kata sepakat saja di antara para pihak dinamakan perjanjian materiil. Namun
demikian terhadap asas umum ini terdapat pengecualian, yaitu bila
KUHPerdata atau peraturan perundangan internnya menetapkan suatu
formalitas tertentu, misalnya harus di buat tertulis atau dalam bentuk notariil.
Bila formalitas ini tidak terpenuhi ancamannya adalah perjanjian tersebut
batal demi hukum. Perjanjian-perjanjian tersebut biasa disebut perjanjian
formil/formal. Ada juga perjanjian riil, yaitu perjanjian yang lahir bukan
semata-mata karena adanya sepakat tapi disertai penyerahan barangnya
secara nyata.

BAB IV – SAAT TERJADINYA SEPAKAT DAN TEMPAT TERJADINYA


PERJANJIAN

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 4


Dalam hukum, mengetahui secara pasti kapan terjadinya sepakat
merupakan hal yang penting. Diketahuinya saat terjadi sepakat berarti
mengetahui saat telah lahir perjanjian. Lahirnya perjanjian membawa
konsekuensi terciptanya hubungan hukum di antara para pihak. Untuk
mengetahui kapan kata sepakat terjadi (karenanya perjanjian itu lahir), dapat
diuji berdasarkan beberapa teori:
1. Teori kehendak
2. Teori pernyataan
3. Teori kepercayaan
Menurut teori kehendak, kesepakatan telah tercapai bila kehendak
pihak yang satu diterima oleh pihak lainnya. Bila dipakai teori pernyataan
maka sepakat telah dianggap terjadi bila pernyataan pihak yang satu diterma
oleh pihak lainnya. Sedangkan dilihat berdasarkan teori kepercayaan,
pernyataan pihak yang satu yang diterima oleh pihak lain itu haruslah
pernyataan yang secara logika masuk akal. Di samping teori-teori tersebut,
dikenal juga Mail-box theorie. Teori ini melihat sepakat berdasakan dua
elemen, penawaran (offer - yang memberikan offer disebut offeror) dan
penerimaan (acceptance - pihak yang menerima penawaran disebut offeree),
yaitu:
1. Teori ucapan
2. Teori pengiriman
3. Teori penerimaan
4. Teori pengetahuan
Menurut teori kehendak sepakat telah terjadi saat offeree menyiapkan surat
jawaban bahwa dia menerima penawaran. Berdasarkan teori pengiriman,
sepakat telah terjadi saat offeree mengirimkan surat penerimaan penawaran.
Selanjutnya berdasarkan teori penerimaan, maka sepakat dianggap telah ada
saat surat jawaban offeree sampai pada/diterima oleh offeror. Sedangkan
berdasarkan teori pengetahuan, sepakat dikatakan terjadi saat offeror
membaca surat penerimaan penawaran yang dikirim oleh offeree.

BAB IV - UNSUR-UNSUR PERJANJIAN

Isi suatu perjanjian pada dasarnya harus memenuhi 3 unsur, yaitu unsur
esensialia, unsur naturalia serta unsur accidentalia.
1. Unsur essensialia
Unsur ini merupakan bagian dari perjanjian yang harus ada, unsur ini
menentukan esensi dari perjanjian dan menentukan adanya perjanjian
sekaligus membedakan antara perjanjian yang satu dengan lainnya.
Tanpa unsur essensialia perjanjiannya tidak pernah ada. Karena
dianggap tidak pernah ada, maka perjanjian tanpa essensialia tidak
mengikat. Sebagai contoh, essensi dalam perjanjian tukar menukar
adalah barang dengan barang; essensi dalam jual beli adalah barang
dan harga sedangkan dalam sewa menyewa, essensinya adalah
barang, harga dan jangka waktu.
2. Unsur naturalia
Merupakan bagian dari perjanjian yang diatur oleh perundang-
undangan, dengan demikian bagian ini tidak tampak jelas dalam
perjanjian namun selalu dianggap ada. Artinya, secara serta merta

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 5


unsur naturalia dianggap ada atau otomatis ada dalam perjanjian.
Misalnya, dalam perjanjian jual beli penjual harus menjamin cacad
tersembunyi. Walaupun tidak tercantum dalam perjanjian, jika barang
yang dijual mengandung cacad tersembunyi, penjual bertanggung
jawab memberikan ganti kerugian atau memberi penggantian barang.
Demikian juga itikad baik merupakan usnsur naturalia dalam perjanjian
3. Unsur Accidentalia
Merupakan bagian perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak ketika
undang-undang tidak mengaturnya. Karena tidak diatur oleh undang-
undang maka harus dimuat secara tegas dalam perjanjian. Misalnya
pilihan hukum dan pilihan penyelesaian sengketa (pilihan forum).
Dalam setiap perjanjian ketiga unsur tersebut harus ada, setidaknya ada
unsur essensialia karena merupakan pokok dari perjanjian, tanpa ada unsur
ini, tidak ada perjanjiannya.

Bab V - MOU (MEMORANDUM OF UNDERSTANDING)

Isitilah MOU (Memorandum of Understanding) sering diterjemahkan


dengan isitlah nota kesepahaman, perjanjian pendahuluan, gentlemen
agreement atau preliminary agreement. Istilah tersebut sebenarnya tidak
dikenal dalam hukum konvensional Indonesia, namun sering dipraktekkan
demi alasan praktis.
Pada hakikatnya MOU merupakan perjanjian pendahuluan yang akan
diikuti dengan perjanjian lain yang lebih rinci. Isinya pun hanya mengenai hal-
hal yang pokok saja sebagai ikatan dasar di mana para pihak bermaksud
untuk melakukan komitmen awal dan belum membuat perjanjiannya secara
detil. Mengenai detilnya perjanjian baru akan dibicarakan dikemudian hari,
sedangkan aspek-aspek lainnya relatif sama dengan perjanjian-perjanjian
pada umumnya. Secara garis besar MOU mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Demi alasan praktis pada umumnya isinya dibuat ringkas;
2. Hanya memuat pokok-pokok atau garis besar saja;
3. Hanya bersifat pendahuluan saja, yang akan diikuti dengan perjanjian
yang lebih rinci;
4. Terbatas jangka waktunya. Jika tidak diikuti dengan penandatanganan
suatu perjanjian yang lebih rinci, maka MOU tersebut akan batal
kecuali diperpanjang oleh para pihak;
5. Biasanya dibuat dalam bentuk di bawah tangan;
6. Tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk
membuat dan menandatangani perjanjian yang lebih rinci setelah
penandatangan MOU;
7. Isinya lebih menentukan daripada bentuknya, namun jika isinya sudah
mewajibkan untuk melakukan suatu kewajiban maka hal itu sudah
mengikat para pihak.
Dewasa ini ada 2 (dua) pendapat yang berbeda mengenai kedudukan
MOU, yaitu:
1. Pendapat yang menyatakan bahwa MOU sebagai Gentlemen
Agreement.
Artinya: kekuatan mengikat MOU tidak sama dengan perjanjian,
walaupun MOU dituangkan dalam suatu akta yang paling kuat seperti

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 6


akta notaris. Pengikat dalam MOU hanya merupakan pengikatan moral
semata, tidak bersifat memaksa secara hukum dan pihak yang
wanpretasi tidak dapat digugat ke pengadilan. Sanksi yang
dijatuhkannya hanya bersifat sanksi moral saja.
2. Pendapat yang mengatakan Agreement is Agreement.
Pendapat ini mengatakan bahwa sekali suatu perjanjian dibuat maka
apapun bentuknya, lisan maupun tulisan, pendek atau panjang,
lengkap/rinci atau hanya pokok-pokoknya saja, tetap merupakan
perjanjian. Kekuatan mengikatnya sama seperti layaknya suatu
perjanjian. Sehingga seluruh ketentuan perjanjian yang diatur dalam
Buku III KUHPerdata berlaku dan dapat diterapkan pada MOU. Jika
perjanjian itu hanya mengatur hal-hal yang pokok saja, maka
mengikatnya pun pada hal-hal yang pokok tersebut. Jika ditentukan
jangka waktunya maka mengikatnya hanya untuk waktu tersebut.
Walaupun para pihak tidak dapat dipaksa untuk membuat perjanjian
yang lebih rinci akan tetapi dalam jangka waktu MOU itu berlangsung,
para pihak tidak boleh membuat perjanjian yang sama dengan pihak
lain. Apabila hal itu disebutkan secara tegas dalam MOU dan
kemudian terjadi pelanggaran, maka bagi yang melanggar dapat
digugat ke pengadilan atas dasar wanprestasi.

BAB VI – PERJANJIAN BAKU (STANDARD CONTRACT)

Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris


standard contract. Standard contract merupakan perjanjian yang telah
ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini ditentukan
secara sepihak oleh pihak yang posisinya lebih kuat.
Hondius berpendapat bahwa syarat-syarat baku adalah syarat-syarat
tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang
jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya lebih dulu. Mariam Darus
Badrulzaman menyatakan bahwa standar kontrak merupakan perjanjian yang
dibakukan. Adapun ciri-cirinya adalah:
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisinya
(ekonominya) kuat;
2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama
menentukan isi perjanjiannya;
3. Terdorong kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
4. Bentuknya tertentu (tertulis);
5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.

Dari uraian di atas, jelas bahwa pada dasarnya perjanjian baku


merupakan perjanjian yang sudah distandarisasikan isinya oleh pihak yang
ekonominya kuat, sedangkan pihak lain hanya diminta untuk menolak atau
menerima isinya saja. Konsep perjanjian baku ini oleh Vera Bolger disebut
sebagai “take it or leave it”.
Mariam Darus Badrulzaman membagi perjanjian baku atas beberapa
jenis:
1. Perjanjian baku sepihak, yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh
salah satu pihak yang kuat posisinya;

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 7


2. Perjanjian baku timbal balik, yaitu perjanjian yang isinya ditentukan
oleh kedua belah pihak.
3. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah, yaitu perjanjian yang
isinya ditentukan terhadap perbuatan hukum tertentu;
4. Perjanjian baku dikalangan profesi tertentu seperti notaris dan advokat.

Sluitjer dan Mariam Darus Badulzaman menyatakan bahwa perjanjian


baku tidak memiliki kekuatan mengikat karena beberapa alasan:

1. Bertentangan dengan asas konsensualisme sebagaimana diatur oleh


Pasal 1320 KUHPerdata karena tidak ada unsur sepakat atau seia
sekata, hanya satu pihak yaitu yang posisi ekonominya lebih kuat
yang dapat menyatakan kehendaknya. Tidak ada kesempatan bagi
pihak lain untuk melakukan tawar menawar, dia tidak bebas dalam
menyampaikan kesepakatannya.
2. Selain itu juga perjanjian baku bertentangan dengan asas kebebasan
berkontrak sebagaimana diatur oleh Pasal 1338: 1 KUHPerdata karena
salah satu pihak tidak memiliki kebebasan dalam menentukan isi
perjanjian, dia hanya bisa take it or leave it terhadap syarat-syarat
yang telah ditetapkan salah satu pihak.
3. Dalam perjanjian baku biasanya terdapat klausul-klausul eksonerasi, di
mana pihak yang kedudukan ekonominya lebih kuat membatasi atau
melepaskan diri dari tanggungjawabnya dalam memberikan ganti
kerugian baik karena wanprestasi maupun karena perbuatan melawan
hukum.

Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan tegas


melarang 8 macam perjanjian baku yang berisi klausula eksonerasi. Di
samping itu juga dilarang perjanjian baku yang letak, bentuk,
pengungkapannya tidak mudah dibaca, tidak jelas dan sukar dimengerti.

Beberapa pandangan mengatakan bahwa perjanjian baku meskipun


bertentangan dengan asas konsensualitas dan kebebasan berkontrak serta
memuat klausula eksonerasi, tetap mengikat secara hukum, dengan alasan:
1. Menurut Pitlo, perjanjian baku mengikat karena masyarakat
membutuhkannya
2. Stein menyatakan bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan
mengikat berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan bahwa
para pihak mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut. Dengan
diterimanya dokumen perjanjian, berarti secara sukarela telah setuju
dengan isi perjanjian tersebut.
3. Dalam pandangan Asser Rutten, setiap orang yang menandatangani
perjanjian bertanggung jawab terhadap isi dari apa yang
ditandatanganinya. Jika seseorang memberikan tandatangan pada
perjanjian baku, tandatangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa
yang menandatanganinya mengetahui dan menghendaki isi perjanjian
baku tersebut. Tidak mungkin seseorang menandatangani sesuatu
yang tidak diketahui isinya dan tidak diinginkannya.

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 8


BAB VII – PERSONALIA PERJANJIAN

Personalia perjanjian adalah pihak-pihak yang tersangkut dalam suatu


perjanjian. Pihak-pihak dalam perjanjian diatur dalam Pasal 1315, 1317, 1318
dan 1340 KUHPerdata. Pada asasnya suatu perjanjian berlaku bagi pihak-
pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri. Asas ini merupakan asas
kepribadian (Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata).
Menurut Pasal 1340 KUHPerdata perjanjian-perjanjian yang dibuat
tidak boleh membawa kerugian ataupun memberikan manfaat pada pihak
ketiga. Atau dengan kata lain perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh
membawa kerugian ataupun memberikan manfaat pihak ketiga kecuali yang
diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata tentang Janji untuk Pihak ketiga
(Derden Beding). Janji untuk Pihak ketiga merupakan satu-satunya
pengecualian terhadap asas kepribadian. Pasal 1340 KUHPerdata
menegaskan bahwa janji untuk pihak ketiga sebagai satu-satunya
kemungkinan bagi pihak ketiga untuk memperoleh manfaat dari suatu
perjanjian. Derden beding (janji untuk pihak ketiga) adalah suatu perjanjian di
mana salah satu pihak memperjanjikan kepentingan pihak ketiga dalam
perjanjian yang dibuatnya. Bagi siapa pun yang memperjanjikan sesuatu
seperti itu tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga tersebut telah
menyatakan kehendaknya untuk mempergunakannya.
Asas pribadian dapat diperluas keberlakuannya meliputi pihak-pihak
yang memperoleh hak dengan alas hak umum (ahli waris) dan pihak-pihak
yang memperoleh hak dengan alas hak khusus (misalnya penerima hibah).
Pasal 1318 KUHPerdata menyatakan bahwa apabila seseorang membuat
suatu perjanjian, maka orang itu dianggap mengadakan perjanjian bagi ahli
warisnya.
Pasal 1316 KUHPerdata tentang perjanjian garansi dan perjanjian
penanggungan (borgtocht) meskipun melibatkan pihak ketiga namun
bukanlah suatu pengecualian dari asas kepribadian. Perjanjian garansi
adalah suatu perjanjian di mana salah satu pihak menjamin dengan
menjanjikan bahwa pihak ketiga akan berbuat sesuatu. Perjanjian
penanggungan, pihak ketiga menanggung bahwa debitur akan memenuhi
prestasinya. Perjanjian garansi berbeda dengan perjanjian penanggungan
(borgtocht). Perjanjian garansi merupakan perjanjian yang berdiri sendiri,
sedangkan perjanjian penanggungan merupakan perjanjian accesoir
(perjanjian tambahan).
Meskipun kreditur telah mendapatkan hak atas jaminan khusus yang
diberikan debitur atas hutangnya, kreditur demi hukum memiliki hak atas
harta debitur yang tidak dijaminkan secara khusus. Jaminan umum ini diatur
dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua harta
debitur, bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
akan ada merupakan jaminan terhadap perikatan-perikatan yang dibuat
seseorang (jaminan umum). Jaminan umum tersebut disebut sebagai haftung,
yaitu harta kekayaan debitur yang dapat menjadi jaminan bagi hutang-
hutangnya. Haftung ada untuk menjamin schuld seorang debitur atau
kewajiban debitur. Sehubungan dengan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut
maka Pasal 1341 KUHPerdata yang memberikan hak pada kreditur untuk
dapat membatalkan perjanjian yang dibuat oleh debitur jika perjanjian itu
merugikan kreditur (actio pauliana). Tindakan actio pauliana inipun bukan

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 9


pengecualian dari asas kepribadian. Untuk mengajukan actio pauliana,
diperlukan syarat-syarat antara lain:
1. Pembatalan diminta oleh kreditur;
2. Perjanjian yang dibuat debitur merugikan kreditur;
3. Perbuatan debitur tidak diwajibkan;
4. Debitur dan pihak lawan keduanya mengetahui bahwa perbuatan itu
merugikan kreditur.

BAB VIII – PELAKSANAAN PERJANJIAN

Dalam pelaksanaan perjanjian, pada umumnya yang dituntut adalah


pemenuhan prestasi. Ada tiga macam prestasi dalam perjanjian, yaitu:
1. Memberikan atau menyerahkan sesuatu (prestasi ini misalnya terdapat
dalam jual beli, tukar menukar, sewa menyewa).
2. Berbuat sesuatu atau melakukan suatu pekerjaan (prestasi ini
misalnya terdapat dalam perjanjian kerja, perjanjian jasa).
3. Tidak berbuat sesuatu (prestasi ini misalnya terdapat dalam perjanjian
lisensi di mana licensee dilarang menggunakan nama dagang atas
namanya sendiri).
Dalam hal terjadi wanprestasi, berdasarkan Pasal 1267 KUHPerdata pihak
yang dirugikan dapat memilih apabila itu masih dimungkinkan untuk
memaksa pihak lain untuk memenuhi perjanjian atau ia menuntut
pembatalan perjanjian disertai dengan penggantian biaya, kerugian dan
bunga. Eksekusi riel terjadi jika kreditur berdasarkan kuasa yang diberikan
oleh hakim mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan/apa yang menjadi
haknya dengan biaya dari debitur. Dapat tidaknya prestasi yang dijanjikan
dieksekusi secara riel tergantung pada macam atau jenis prestasinya. Untuk
prestasi berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu, berdasarkan Pasal 1240
dan 1241 KUHPerdata eksesusi riel dapat dilakukan. Untuk prestasi berbuat
sesuatu, eksekusi riel dikecualikan jika prestasinya sifatnya “sangat pribadi”.
Bagi prestasi memberikan sesuatu tidak ada pengaturan tegas dalam
KUHPerdata. Para ahli dan yurisprudensi berpandangan untuk barang
bergerak yang tidak tertentu, eksekusi riel tidak bisa dilakukan. Sedangkan
untuk barang bergerak tertentu (sudah ditunjuk/sudah dipilih) maka bisa
dilakukan eksekusi riel. Bila barangnya tidak bergerak, yurisprudensi
berpandangan bahwa eksekusi riel tidak dimungkinkan.
Pasal 1339 KUHPerdata menetapkan bahwa suatu perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan dalam perjanjian,
tetapi juga segala hal yang diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang
undang. Pemahaman atas pasal ini adalah, bahwa dalam setiap perjanjian,
aturan undang-undang, kebiasaan serta kepatutan selalu otomatis mengikat
para pihaknya, meskipun aturan undang-undang, kebiasaan dan kepatutan
tadi tidak diatur khusus dalam pasal-pasal perjanjiannya. Dalam hal
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat berbeda dengan aturan undang-
undang, berdasarkan yurisprudensi kasus “penyewa dan pemilik rumah”,
harus didahulukan ketentuan undang-undang. Tetapi bila kebiasaan tersebut

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 10


sudah merupakan standar clausula di masyarakat, maka berdasarkan
yurisprudensi “kasus jual beli ternak”, ketentuan standar yang didahulukan.
Untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian melalui Pasal 1338: 3
KUHPerdata, hakim diberi kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan
perjanjian. Artinya, hakim diberi kewenangan untuk menyimpang dari isi
perjanjian bila pelaksanaan isi perjanjian itu bertentangan dengan itikad baik.
Penerapan itikad baik atau kepatutan dapat dijelaskan melalui putusan
Mahkamah Agung, 11 Mei 1955 dalam perkara gadai tanah.
Hal lain yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan perjanjian adalah
masalah penafsiran. Pada umumnya setiap perjanjian terdiri dari serangkaian
kata-kata. Untuk menentukan isi perjanjian maka para pihak perlu
menetapkan secara cermat apa yang dimaksud oleh masing-masing pihak
baik melalui perkataan maupun tulisan. Tindakan berupa menetapkan secara
cermat maksud dari para pihak biasa dikenal dengan sebutan menafsirkan
perjanjian. Penafsiran perjanjian hanya dibolehkan bila kata-kata dalam
perjanjian tidak jelas; jika kata-kata dalam perjanjian jelas, maka tidak
dibolehkan menyimpang dengan cara penafsiran.

BAB IX – WANPRESTASI

Dalam hal debitur tidak melaksanakan apa yang menjadi kewajiban


(memenuhi prestasinya), maka debitur dapat dikatakan wanprestasi.
Wanprestasi debitur dibedakan atas 4 macam yaitu:
1. Tidak melakukan apa yang diperjanjikan;
2. Melakukan perjanjian tetapi terlambat;
3. Melakukan perjanjian tapi tidak sesuai;
4. Melakukan hal- hal yang tidak diperjanjikan (dilarang).
Dalam hal terjadi wanprestasi, perlu dilakukan teguran kepada debitur
yang lalai. Teguran ini dimaksudkan untuk mengingatkan debitur bahwa ia
masih mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan. Pasal 1243
KUHPerdata menyatakan mengatur bahwa penggantian biaya rugi dan bunga
karena tidak dipenuhinya perikatan, baru mulai diwajibkan bila debitur setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam jangka waktu tertentu
telah dilampauinya. Jika dengan somasi (teguran) ini pihak debitur tidak juga
memenuhi prestasinya maka debitur dapat dinyatakan lalai. Teguran ini
diperlukan terutama bagi perjanjian di mana tidak ditentukan jangka waktu
pelaksanaan prestasi. Teguran tidak diperlukan terhadap perjanjian yang
dengan tegas mencantumkan jangka waktu pelaksanaan perstasi, dan untuk
perjanjian yang prestasinya untuk tidak berbuat sesuatu. Cara melakukan
somasi (teguran) menurut Pasal 1328 KUHPerdata adalah dengan suatu
surat perintah, yaitu peringatan resmi dari juru sita pengadilan. Sekarang ini
lazim juga dilakukan secara lisan asalkan cukup tegas mendesak debitur
melakukan prestasi.
Akibat dari wanprestasi debitur, maka hukuman yang dijatuhkan pada
debitur dapat berupa:
1. Membayar ganti rugi;
Ganti rugi meliputi biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah seluruh
ongkos-ongkos yang sudah dikeluarkan oleh kreditur. Rugi adalah

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 11


hilang atau rusaknya barang kepunyaan kreditur. Sedangkan bunga
adalah hilangnya keuntungan yang sudah dihitung oleh kreditur. Dalam
hal para pihak tidak memperjanjikan adanya bunga maka berlaku
ketentuan bunga yang ada dalam undang undang atau yang biasa
dikenal dengan sebutan bunga moratoir (bunga kelalaian).
Untuk dapat menerapkan bunga moratoir perlu diperhatikan 4
(empat) syarat, yaitu:
a. Prestasinya terlambat;
b. Prestasinya menyerahkan sejumlah uang;
c. Besarnya 6 % pertahun;
d. Berlaku sejak diajukannya gugatan.
Sebagai perlindungan pada debitur dari kesewenang-wenangan
kreditur dalam menuntut ganti rugi, undang-undang memberikan
pembatasan ganti rugi seperti diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248
KUHPerdata, yang meliputi kerugian yang sudah dapat diduga dan
merupakan akibat langsung dari wanprestasi.
2. Pembatalan perjanjian
Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali
pada keadaan semula sebelum perjanjian dibuat. Dengan kata lain
perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Oleh karena itu, jika
ada pembayaran atau penyerahan barang maka dapat diminta kembali.
Masalah pembatalan perjanjian akibat wanrestasi diatur dalam
Pasal 1266 KUHPerdata tentang perikatan bersyarat. Undang-undang
memandang kelalaian debitur sebagai suatu syarat batal yang
dianggap selalu dicantumkan dalam setiap perjanjian. Namun
pembatalan perjanjian itu tidaklah secara otomatis, melainkan
dimintakan kepada hakim.
3. Peralihan resiko;
Resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian tang terjadi di luar
kesalahan salah satu pihak yang menimpa objek perjanjian. Resiko
juga sering dikatakan sebagai akibat adanya keadaan memaksa.
Persoalan resiko secara umum diatur dalam Pasal 1237 KUHPerdata.
Pengaturan resiko untuk perjanjian timbal balik dapat dilihat dalam
bagian khusus Buku III KUHPerdata antara lain dalam Pasal 1460
KUHPerdata tentang resiko jual beli, Pasal 1545 KUHPerdata tentang
resiko tukar menukar dan Pasal 1553 KUHPerdata tentang resiko
sewa menyewa.
4. Membayar biaya perkara.
Berdasarkan ketentuan hukum acara, pihak yang dinyatakan kalah
diwajibkan untuk membayar biaya perkara. Debitur yang lalai dan
digugat oleh kreditur ke pengadilan sudah pasti wajib membayar biaya
perkara jika ia dinyatakan kalah dalam perkara itu.
Berdasarkan Pasal 1267 KUHPerdata, ada beberapa hal yang dapat
dituntut oleh kreditur sehubungan dengan adanya kelalaian debitur, yaitu:
1. Pemenuhan perjanjian;
2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
3. Ganti rugi;
4. Pembatalan perjanjian;
5. Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 12


Meskipun debitur dapat dinyatakan lalai dan dituntut untuk membayar
ganti rugi, akan tetapi debitur masih mungkin untuk mengajukan pembelaan
diri agar terbebas dari hukuman. Bentuk-bentuk pembelaan diri debitur antara
lain:
1. Mendalilkan adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeur);
Keadaan memaksa adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti rugi. Keadaan memaksa diatur dalam Pasal
1244 dan 1245 KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan-ketentuan
tersebut, yang harus membuktikan adanya keadan memaksa adalah
debitur, dan jika debitur dapat membuktikan hal itu maka ia dapat
dibebaskan dari kewajiban untuk membayar ganti rugi.
Keadaan memaksa dapat dibedakan antara keadaan memaksa
yang absolut, yaitu suatu keadaan memaksa di mana setiap orang
sudah pasti tidak dapat memenuhi prestasinya. Serta keadaan
memaksa yang relatif, yaitu keadaan memaksa dimana prestasinya
masih mungkin dilakukan tapi dengan pengorbanan yang besar.
2. Mendalilkan bahwa kreditur juga lalai (Exceptio non adimpleti
contractus)
Debitur dapat mendalilkan bahwa tidak terlaksananya prestasi itu
karena kreditur juga lalai dalam melaksanakan prestasinya. Karena
kreditur juga lalai, maka debitur dapat bebas dari kewajiban membayar
ganti rugi. Wanprestasi dari pihak kreditur disebut mora kreditoris.
3. Mendalilkan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut
ganti rugi (rechtsverwerking)
Debitur dapat mendalilkan bahwa kreditur tidak menggunkan haknya
untuk menuntut ganti rugi. Oleh karena itu debitur tidak dapat dijatuhi
sanksi membayar ganti rugi.

BAB X – BERAKHIRNYA PERJANJIAN DAN HAPUSNYA PERIKATAN

Hapusnya perikatan berbeda dengan berakhirnya perjanjian. Secara


umum perjanjian dapat berakhir karena jangka waktunya ditentukan oleh para
pihak atau oleh undang undang, adanya putusan hakim, tujuan perjanjiannya
tercapai, meninggalnya salah satu pihak, dan para pihak sepakat untuk
mengakhiri perjanjian.
Menurut ketentuan Pasal 1381 KUHPerdata, ada 10 (sepuluh)
hapusnya perikatan, yaitu:
1. Pembayaran
Pembayaran bukan hanya berupa penyerahan sejumlah uang tapi juga
penyerahan barang. Apabila ada pihak ketiga yang melakukan
pembayaran pada kreditur untuk melunasi hutang debitur, maka
hapuslah hubungan hukum antara debitur dan kreaditur. Akan tetapi
pada saat yang sama hubungan hukum tersebut beralih kepada pihak
ketiga. Perbuatan hukum berupa pembayaran oleh pihak ketiga dikenal
dengan istilah subrograsi. Jadi pembayaran itu tidak melenyapkan
perikatannya, melainkan menggeser kedudukan kreditur yang lama
kepada kreditur yang baru.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti penyimpanan atau penitipan

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 13


Hal ini terjadi dalam suatu perjanjian di mana kreditur tidak mau
menerima prestasi yang dilakukan debitur. Jika kreditur menolak, maka
debitur melakukan penawaran pembayaran tunai. Apabila dengan
penawaran itu kreditur masih menolak maka debitur dapat menitipkan
uang atau barangnya pada pengadilan. Seluruh biaya penitipan wajib
dipikul oleh debitur.
3. Pembaharuan utang (novasi)
Menurut Pasal 1413 KUHPerdata, novasi utang dapat dilakukan
dengan 3 cara, yaitu:
a. Membuat perjanjian baru untuk mengganti perjanjian yang lama;
b. Menunjuk debitur baru untuk menggantikan debitur yang lama;
c. Menunjuk kreditur baru untuk menggantikan kreditur yang lama.
4. Perjumpaan utang (kompensasi)
Merupakan suatu cara penghapusan utang dengan jalan
mempertemukan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal
balik.
5. Pencampuran utang
Hal ini terjadi bila kreditur dan debitur ada pada satu orang. Misalnya
debitur menikah dengan krediturnya, maka terjadilah pencampuran
harta perkawinan yang menyebabkan perikatannya hapus.
6. Pembebasan utang
Apabila kreditur secara tegas menyatakan tidak menghendaki
pemenuhan prestasi dari debitur dan menyatakan melepaskan haknya
untuk menuntut ganti rugi, maka hapuslah perikatannya.
7. Musnahnya barang yang terutang
Jika barang yang menjadi obyek perjanjian musnah, maka hapuslah
perikatannya sepanjang musnahnya barang itu bukan karena
kesalahan debitur dan debitur tidak dalam keadaan lalai.
8. Kebatalan atau pembatalan
Kebatalan terjadi dalam hal perjanjian tidak memenuhi syarat objektif.
Sedangkan pembatalan adalah dalam hal tidak terpenuhinya syarat
subjektif. Pembatalan ini harus diajukan ke muka hakim.
9. Berlakunya suatu syarat batal
Terkait dengan perikatan bersyarat khususnya mengenai syarat batal,
maka perikatannya hapus jika syarat yang diberikan terjadi/terpenuhi.
10. Lewatnya waktu (daluarsa)
Perikatan yang dibuat oleh kreditur dan debitur hapus dengan lewatnya
waktu yang ditetapkan oleh para pihak. Apabila dilakukan pembayaran
sedangkan waktunya sudah lampau, maka pembayaran itu tidak dapat
dituntut kembali meskipun dilakukan di muka hakim.

BAB IX - PERIKATAN YANG BERSUMBER DARI UNDANG-UNDANG

Berbeda dengan perikatan yang lahir hari perjanjian, di mana adanya


hubungan hukumnya memang sengaja diciptakan dan dikehandaki oleh para
pihaknya; hubungan hukum dalam perikatan yang lahir dari undang-undang
timbul bukan karena kehendak para pihaknya, melainkan diberikan oleh
undang-undang.

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 14


Pasal 1353 KUHPerdata menyebutkan bahwa: perikatan-perikatan
yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit
dari perbuatan halal atau perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad).
Perikatan yang lahir dari undang undang akibat perbuatan orang yang
sesuai menurut hukum (halal) diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata tentang
pengurusan secara sukarela (zaakwarneming) dan perikatan wajar (naturlijke
verbintenis) dan pembayaran yang tidak diwajibkan yang diatur dalam Pasal
1359 KUHPerdata. Sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang
karena perbuatan manusia yang melawan hukum diatur dalam Pasal 1365
KUHPerdata.
1. Perikatan yang lahir dari undang undang karena perbuatan manusia
yang halal.
a. Zaakwarneming (pengurusan secara sukarela) diatur dalam Pasal
1354 KUHPerdata, berdasarkan pasal tersebut disimpulkan bahwa
unsur-unsur zaakwarneming, antara lain:
1) Sukarela;
2) Tidak mendapat perintah;
3) Mewakili urusan orang lain;
4) Dengan atau tanpa sepengetahuan orang lain;
5) Memikul kewajiban seperti orang yang mendapat kuasa.

Hal yang penting untuk diperhatikan dalam zaakwarneming adalah


unsur ke 3, mewakili urusan orang lain. Untuk membuktikan bahwa
perbuatan tersebut adalah mewakili urusan orang lain, harus
dipenuhi 2 syarat, yaitu bahwa tindakan mewakili tersebut memang
perlu/penting dilakukan serta membawa faedah bagi pihak yang
diwakili.
b. Perikatan wajar (naturlijke verbintenis)
Pasal 1359: 2 KUHPerdata, menyatakan bahwa: “Terhadap
perikatan-perikatan bebas, yang secara sukarela telah dipenuhi,
tidak dapat dilakukan penuntutan kembali”. Perikatan wajar adalah
perikatan di mana kreditur tidak mempunya hak untuk menuntut
pelaksanaan prestasi walaupun dengan bantuan hakim. Sebaliknya
debitur tidak mempunyai kewajiban hukum untuk memenuhi
prestasinya dan jika debitur memenuhi kewajibannya sifatnya
hanya merupakan kewajiban moral, seperti misalnya pembayaran
bunga yang tidak diwajibkan. Hal ini dapat dilihat dari adanya
perkataan “sukarela” yang menunjukan bahawa pemenuhan
prestasi yang dilakukan debitur adalah karena kewajiban moral dan
bukan karena kewajiban hukum.
c. Pembayaran utang yang tidak diwajibkan
Pasal 1359: 1, menyebutkan bahwa “tiap-tiap pembayaran
memperkirakan adanya suatu utang; apa yang telah dibayarnya
dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali”. Pembayaran tak
terhutang terjadi dalam hal ada orang yang menyangka dirinya
berutang padahal ia tidak mempunyai hutang atau hutang itu
sebetulnya sudah dilunasi, atau ada orang yang melakukan
pembayaran padahal yang merima pembayaran itu bukan orang
yang tepat, maka timbul perikatan di mana pihak yang melakukan

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 15


pembayaran dengan tidak wajib, berhak menuntut kembali
pembayaran tersebut dan pihak lain wajib mengembali.
2. Perikatan yang lahir dari undang undang karena perbuatan manusia
yang melawan hukum, diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang
menyebutkan, bahwa: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, syarat-syarat atau unsur-unsur
perbuatan melawan hukum yang harus dipenuhi, antara lain:
a. Harus ada perbuatan;
b. Perbuatan itu harus melawan hukum;
c. Ada kerugian;
d. Ada kesalahan;
e. Ada hubungan kausal (hubungan sebab akibat) antara perbuatan
melawan hukum itu dengan kerugiaan.
Pengertian perbuatan dalam perbuatan melawan hukum
meliputi tindakan/berbuat (aktif) maupun perbuatan diam/tidak berbuat
(pasif), meliuti juga perbuatan yang disengaja maupun karena
kekurang hati-hatian atau kelalaian.
Pengertian melawan hukum pada awalnya diartikan secara
sempit, sebagai melanggar undang-undang, yaitu melanggar hak
subjektif orang lain atau melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan kewajiban hukum pelaku. Pandangan melawan hukum dalam
arti sempit antara lain terlihat dalam perkara Zutphense Waterleiding,
Arrest HR 10 Juni 1910 dan perkara Singernaaimachine, Arrest HR 6
Januari 1905. Sejak tahun 1919 dengan Lindenbaum-Cohen, Arrest
HR 13 Januari, melawan hukum diartikan luas, bukan saja melanggar
hak subjektif orang lain dan melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan kewajiban pelaku, namun juga bertentangan dengan
kesusilaan, kepatutan serta sikap hati-hati yang selajaknya dimiliki
seseorang dalam pergaulan di masyarakat.
Unsur kerugian dalam perbuatan melawan hukum bisa meliputi
kerugian materil maupun kerugian yang sifatnya tidak dapat diukur
dengan uang (immateril).
Dalam perbuatan melawan hukum, harus dibuktikan bahwa
perbuatan tersebut dilakukan karena kesalahan, artinya orang yang
melakukan dapat diminta pertanggungjawabannya. Pengertian
kesalahan meliputi kesengajaan maupun kelalaian/kekurang hati-
hatian.
Terakhir harus dibuktikan bahwa kerugian yang timbul
merupakan sebab dari perbuatan yang melanggar hukum. Ada
beberapa teori yang dipergunakan dalam menentukan hubungan
sebab akibat, antara lain:
a. Teori conditio sine qua non (von bury).
Menurut teori semua rangkaian kejadian dibelakang akibat
dianggap sebagai penyebab timbulnya akibat
b. Teori adequate (von cries)
Teori ini menyatakan bahwa hanya satu sebab yang dianggap
menimbulkan akibat, yaitu sebab yang secara logika paling masuk
akal.

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 16


DAFTAR PUSTAKA

Badrulsaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni, 1994.

____________. Kitab Undang Undang Hukum Perdata – Buku III Tentang


Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Bandung: Alumni, 1996.

Badrulsaman, Mariam Darus dkk. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung:


Citra Aditya Bakti, 2001.

Fuady, Munir. Hukum Bisnis Teori dan Praktek, Buku 2. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1999.

____________. Hukum Bisnis Teori dan Praktek, Buku 4. Bandung : PT Citra


Aditya Bakti, 2002.

____________. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis).


Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001.

____________. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Buku


Kedua. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001.

HS, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUHPerdata. Jakarta: Sinar


Grafika, 2003.

Muhamad, Abdul Kadir. Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992.

Mulyadi, Kartini & Gunawan Widjaja. Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir
Dari Perjanjian). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

____________. Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Undang


Undang). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005.

____________. Hukum Perikatan : Perikatan Pada Umumnya. Jakarta : PT


Raja Grafindo Persada, 2003.

Macintyre, Ewan. Business Law. England: Pearson Education Limited, 2010.

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 17


Satrio, J. Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya). Bandung : Alumni,
1999.

____________. Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Undang


Undang). Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1994.

____________. Hukum Perjanjian. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992.

Subekti, R. Aneka Perjanjian. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995.

_____________. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa, 2002.

Modul Mata Kuliah Hukum Perikatan. FH Universitas Trisakti Page 18

Anda mungkin juga menyukai