ini disebut perjanjian innominaat yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup
dan berkembang dalam masyarakat.
Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system),
artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang
sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Hal ini
dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1)
yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan
Menurut Pasal 1233 KUH Perdata : “Perikatan lahir karena suatu
perjanjian atau karena undang-undang”. Perikatan yang timbul karena undang-
undang selanjutnya dibagi lagiatas perikatan yang timbul semata mata karena
undang-undang dan perikatan yang timbul dari undang-undang dan perbuatan
manusia. Kemudian perikatan yang timbul dari undang-undang karena
perbuatan manusia dibagi lagi atas perbuatan menurut hukum dan perbuatan
melawan hukum. Para ahli hukum berpendapat bahwa sumber perikatan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1233 KUH Perdata kurang lengkap
karena masi hada sumber perikatan lain yaitu doktrin hukum yang tidak
tertulis dan keputusan hakim.
Dari kedua sumber perikatan itu, maka yang terpenting ialah perikatan
yang timbul karena perjanjian. Oleh karena para pihak mempunyai kebebasan
untuk membuat segala perikatan sepanjang tidak bertentangan dengan UU,
kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1338 ayat (1) jo 1337 KUHPerdata).
Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan pengertian perjanjian sebagai
berikut :”Perjanjian adalah segala perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”. Pengertian perjanjian
85
Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya offer (penawaran) dan acceptance
(penerimaan). Offer adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan
seseuatu secara khusus pada masa yang akan datang. Penawaran ini ditujukan
kepada setiap orang. Yang berwenang mengajukan penawaran adalah setiap
orang yang layak dan memahami apa yang dimaksudkan. Ada 5 (lima) syarat
penawaran :
a. Adanya konsiderasi (prestasi)
b. Sesuai undang-undang
c. Under one of the special rules relating to the revocation of a unilateral
contract,
d. Under doctrine of promissory estoppel dan
e. By virtue of a sealed instrument.
Penawaran yang disampaikan kepada para khalayak akan menghasilkan dua
macam kontrak yaitu kontrak bilateral dan unilateral. Kontrak bilateral yaitu
kontrak yang diadakan antara dua orang dan kedua belah pihak harus
memenuhi janjinya. Sedangkan kontrak unilateral adalah penawaran yang
membutuhkan tindakan saja karena berisi satu janji dari satu pihak saja, Pada
prinsipnya penawaran tetap terbuka sepanjang belum berakhirnya waktu atau
belum dicabut. Suatu penawaran akan berakhir apabila :
- Si pemberi tawaran (penawaran) atau penerima tawaran sakit ingatan
atau meninggal dunia sebelum terjadi penerimaan penawaran.
- Penawaran dicabut dalam hal ini pihak penawar harus memberitahukan
sebelum penawaran diterima. Jika suatu penawaran ditentukan dalam
waktu tertentu maka penawaran tersebut tidak dapat dicabut sebelum
waktunya berakhir, dan
- Penerima tawaran tidak menerima tawaran, tetapi membuat suatu
contra penawaran.
Acceptance adalah kesepakatan dari pihak penerima dan penawar tawaran
untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh penawar. Penerimaan yang
harus disampaikan penerima tawaran kepada penawar tawaran. Penerimaan
itu harus bersifat absolut dan tanpa syarat atas tawaran itu. Penerimaan yang
91
C. Uraian
1. Pengertian Perjanjian Baku
Perjanjian baku telah dipakai secara luas di dalam praktek kehidupan
ekonomi di Indonesia. Di dalam perjanjian standar terdapat beberapa masalah
hukum antara lain :
- “Adanya”
- “kekuatan mengikatnya”
- “ketidakadilan yang dilakukan kepada debitur”
Sebagai suatu kenyataan ia harus diterima, akan tetapi dari segi negatifnya
harus diatasi, bagaimana solusinya ?
Menurut M.M. Djojodiguno , “Hukum adalah suatu proses penataan
yang terus menerus memperbaharui dirinya secara langsung oleh masyarakat
atau melalui penguasa untuk perbuatan dan tingkah laku anggota-anggotanya
dalam hubungan patembayan yang bertujuan untuk menjadi dasar dan
memelihara ketertiban, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.”
Hukum antara lain berfungsi mengabdi masyarakat, menjaga agar gerak
masyarakat berjalan dengan lancar, kepentingan-kepentingannya terpenuhi.
Jika kepentingan masyarakat berubah maka hukum harus diperbaharui dan
hukum yang tidak sesuai dengan tugas pengabdiannya harus dibuang atau
ditinggalkan.
Perjanjian baku dialihbahasakan dari istilah : Standaard contract (bahasa
Belanda), Standard voorwaarden (bhs Belanda), Standardvertrag (bahasa
Jerman), Standardized contract (bahasa Inggris). Pengertian Perjanjian
Standar menurut beberapa sarjana antara lain :
1) Menurut Hondius
“Perjanjian baku adalah konsep janji-janji tertulis disusun tanpa
membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah tak
terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu.”
110
Untuk materi ini kita haya membatasi perhatian hanya kepada perjanjian
baku sepihak (eenzijdige standaarddontract) saja. Perjanjian baku sepihak di
dalam keputusan Belanda dinamakan “perjanjian adhesi”. Contoh perjanjian
standar adalah tiket pengangkutan, formulir cuci cetak foto dan sebagainya.
Dari contoh formulir cetak foto terlihat adanya pengalian tanggung jawab
yang disebut dengan “klausula eksenorasi ’’ atau “ exennoratie clausul”.
Apakah klausula eksenorasi selalu dituangkan dalam perjanjian standar
atau dalam perjanjian standar memuat klausula eksenorasi? Klausula
eksenorasi selalu dituangkan dalam perjanjian standar tetapi tidak selalu
perjanjian standar memmuat klausula eksenorasi.
Dari contoh yang ada, dapat disimpulkan ciri-ciri perjanjian baku
sebagai berikut :
- Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya kuat.
- Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian.
- Terdorong oleh kebutuhan debitur terpaksa menerima perjanjian itu.
- Bentuk tertentu (tertulis).
- Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan kolektif.
Permasalahan dalam perjanjian standar :
1) Apakah dengan ciri-ciri perjanjian baku dapat dikatakan “perjanjian”
sebagaimana ditentukan dalam KUHPerdata (terutama apabila diikatkan
dengan Pasal 1320KUHPerdata)?
2) Apakah perjanjian standar dapat memungkinkan terjadinya
penyalahgunaan keadaan? (dihubungkan dengan ada tidaknya kata
sepakat)
“Sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah asas esensial dari
hukum perjanjian. Asas ini dinamakan asas konsensualisme yang menentukan
“adanya” (raison d’etre het beataanwaarde) perjanjian. Asas konsensualisme
yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti “kemauan”
(will) para pihak untuk saling berprestasi, adanya kamauan untuk saling
mengingatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen)
114
bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini bersumber pada nilai
norma.
Asas konsensualisem ini mempunyai hubungan erat dengan asas
kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas kekuatan mengikat yang
terdapat didalam Pasal 1338 KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak ini
berhubungan dengan kebebasan untuk menentukan :
- Isi perjanjian
- Dengan siapa perjanjian itu diadakan.
Meninjau masalah “ada” dan “kekuatan mengikatnya” perjanjian baku secara
teoritis yuridis, perjanjian ini tidak memenuhi elemen-elemen yang
dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata.
Pada dasarnya perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku
diadakan tidak memberikan kesepakatan pada debitur untuk mengadakan “real
bargaining” dengan pengusaha (kreditur), Bahwa didalam perjanjian baku
terjadi pelanggaran terhadap asas kebebasan kontrak. Tetapi ada beberapa ahli
hukum yang tidak memberiakn dukungan terhadap perjanjian baku ini yaitu :
1) SLUIJTER
Mengatakan perjanjian baku ini bukan perjanjian, sebab kedudukan
pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-
undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha didalam
perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian.
2) PITLO
Mengatakan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwangcontract).
C. URAIAN
1. Pendahuluan
Di dalam hukum perdata, benda lazimnya disebut sebagai objek hak
(zaak) yang berhadapan dengan subyek hak yaitu badan pribadi atau
(persoon). Hukum benda adalah hukum yang mengatur hubungan subjek
hukum dengan benda, yang menimbulkan hak kebendaan. Hukum benda
merupakan bagian dari Hukum harta kekayaan yang diatur dalam Buku II
KUH Perdata Pasal 499 sampai dengan Pasal 1232, meliputi pengertian benda
dan macam-macam benda serta pengertian hak kebendaan, macam-macam
hak kebendaan dan hukum waris.
Hukum benda yang termuat dalam Buku II BW adalah hukum yang
mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan benda, sedangkan hukum
perikatan yang termuat dalam Buku III BW (Pasal 1233 sampaii dengan Pasal
1864) adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang
dengan seseorang lain. Hubungan hukum antara orang dengan benda yang
diatur dalam pasal-pasal Buku II BW menimbulkan hak atas benda atau hak
kebendaan (zakelijk recht), yakni hak yang memberikan kekuasaan langsung
kepada seseorang yang berhak untuk menguasai sesuatu benda di dalam
tangan siapapun juga benda itu berada. Hak kebendaan tu bersifat mutlak yang
berarti bahwa hak seseorang atas benda itu dapat dipertahankan atau berlaku
terhadap siapapun juga dan setiap orang siapapun juga harus menghormatinya.
Jadi tidak setiap orang tidak boleh menganggu atau merintangi penggunaan da
penguasaan hak itu. Jadi pada zakelijk recht tetap ada hubungan yang
langsung antara orang yang berhak dengan benda bagaimanapun juga ada
campur tangan pihak lain (Wirjono Projodikoro, 1973: 13).
Hubungan hukum antara seseorang dengan seseorang yang diatur dalam
pasal-pasal buku III BW menimbulkan hak terhadap seseorang atau hak
60
cipta, hak paten dan lain-lain. Ketentuan tersebut memberi gambaran bahwa
segala yang dapat dimiliki manusia itulah benda, dengan demikian yang tidak
dapat dimiliki contohnya laut, bulan, bintang dan sebagainya bukanlah benda.
Apabila melihat ketentuan Pasal 580, 511 BW ternyata zaak (benda) disini
bukan hanya barang berwujud saja tetapi juga meliputi bunga,perutangan dan
penagihan, hak pakai hasil, hak pakai atas kebendaan bergerak, andil, obligasi.
Hal ini menunjukkan bahwa zaak dalam arti bagian daripada harta kekayaan
(vermogens bestanddeel).
Di luar KUH Perdata/BW (Buku II) perkataan zaak dipakai dalam arti
yang lain lagi, jadi bukan berarti benda yaitu sebagai berikut :
a. Kepentingan (belang),Pasa; 1354 KUH Perdata/BW mengatur
mengenai pengurusan kepentingan orang lain (zaakwarneming).
Zaakwarneming ada jika orang dengan sukarela, tanpa mendapat
pesanan untuk itu, menyelenggarakan zaak seorang lain dengan atau
tanpa diketahui orang ini dan sebagainya.
b. Perbuatan hukum (Rechtshandeling), Pasal 1792 BW mengatur
mengenai pemberian kuasa (lastgeving). Pemberian kuasa adalah
suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada
seseorang lain dan orang ini menerimanya, untuk melakukan sesuatu
zaak (perbuatan hukum) bagi pemberi kuasa.
c. Kenyataan Hukum (Rechtsfeit), Pasal 1263 BW tentang perutangan
dngan syarat menunda ialah perutangan yang tergantung atas suatu
kejadian yang akan datang dan tidak pasti atau dari suatu zaak
(kenyataan hukum) yang sudah terjadi, tetapi belum diketahui oleh
para pihak (F.X Suhardana, 2001: 149).
Terjadi kerancuan dalam menggunakan istilah “zaak” dalam
KUHPerdata karena “zaak” dapat berarti benda berwujud atau dapat juga
berarti bagian dari harta kekayaan. Selain itu terdapat dua arti “zaak” adalah:
1) Di lapangan hukum kebendaan dengan dilakukannya penyerahan
benda maka pada umumnya dapat menjadi objek hak milik.
Misalnya kamar yang disewakan, jika dianggap bagian dari rumah
62
mempunyai wewenang untuk itu dan asal tidak mengganggu hak orang
lain, kesemuanya dengan tidak mengurangi kemungkinan akan
pencabutan hak milik untuk kepentingan umum dengan pembayaran
pengganti kerugian yang layak dan menurut ketentuan undang-undang.
Dengan hak milik meru[akan hak yang paling utama jika dibandingakan
dengan hak yang lain. Pengertian hak milik dalam Pasal 570 KUH
Perdata ini hanya berlaku untuk benda bergerak, karena hak milik atas
barang tak bergerak berupa tanah dan segala sesuatu yang melekat pada
tanah itu telah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria No 5 Tahun
1960 (Djaja S Meliala, 2007: 29).
Di dalam sejarahnya hak milik adalah hak yang tak dapat diganggu
gugat (doir inviolable et sacre), akan tetapi dalam perkembangannya
sifat tak dapat diganggu gugat tidak dapat dipertahankan karena ada
beberapa pembatasan hukum misalnya oleh hukum administrasi negara,
hukum tetangga, tidak boleh menimbulkan gangguan bagi orang lain,
tidak boleh melakukan penyalahgunaan hak (misbruik van recht),
pelanggaran terhadap hal-hak tersebut dapat dikenai sanksi.
Pasal 571 KUH Perdata dan Pasal 574 KUHPerdata memberikan
lagi dua hak kepada pemilik suatu benda yaitu :
- Untuk benda berupa tanah, hak untuk memanfaatkan tanah
tersebut secara vertikal, yaitu untuk memperoleh hak atas
tanaman atau bangunann di atasnya serta untuk memperoleh
harta karun yang terletak di bawah tanah tersebut.
- Hak milik dipertahankan dalam kedudukannya sebagai pemilik,
dalam hal benda tersebut lepas dari penguasaannya (hak
revindicatie).
Pasal 584 KUH Perdata mengatur 5 (lima) cara untuk memperoleh hak
milik atas benda yaitu pemilikan/pendakuan, perlekatan, lampau
waktu/daluwarsa, pewarisan dan penyerahan/levering. Sifat memperoleh
hak milik dapat dilakukan secara originair (occupatio) dan derivatief
(traditio). Mengenai hapusnya hak milik dapat terjadi karena :
67
- Orang lain memperoleh hak milik itu dengan salah satu cara
untuk memperoleh hak milik.
- Musnahnya benda
- Pemilik melepaskan haknya atas benda tersebut.
2) Bezit
Menurut pasal 529 KUH Perdata yang dimaksud dengann bezit
adalah kedudukan berkuasa ialah kedudukan seseorang yang menguasai
suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri maupun dengan perantaraan
orang lain dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang
yang memiliki kebendaan itu. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan
bahwa bezit adalah kewenangan untuk mempertahankan atau menikmati
benda yang dikuasainya sebagaimana layaknya seorang pemilik. Dengan
demikian atas suatu benda yang tidak diketahui pemiliknya secara pasti,
seorang pemegang kedudukan berkuasa dapat dianggap sebagai pemilik
dari kebendaan tersebut (Djuhaendah Hasan, 1996: 62).
Terhadap benda bergerak berwujud berlaku asas sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1977 (1) KUH Perdata : ”pemegang benda
bergerak adalah pemilik dari benda itu”. Sedangkan untuk benda tidak
bergerak hanya mengakui pihak yang namanya terdaftar dalam daftar
pemegang hak sajalah yang merupakan pemilik dari benda tidak
bergerak tersebut.
Syarat adanya bezit yaitu harus ada hubungan antara orang yang
bersangkutan dengan bendanya (corpus) dan hubungan itu harus
dikehendaki oleh orang tersebut (animus). Selain itu bezit mempunyai
dua fungsi yaitu polisionil dan zakenrechtelijk.
3) Hak Memungut Hasil dan Hak Pakai
Hak memungut hasil adalah hak kebendaan yang mengambil hasil dari
barang milik orang lain seakan-akan ia sendiri pemiliknya dengan
kewajiban memelihara barang tersebut sebaik-baiknya (Pasal 756 KUH
Perdata). Hak memungut hasil dapat diperoleh karena undang-undang
68
yaitu hak atas tanah yang terdapatdalam UUPA yakni hak milik,
hak guna usaha dan hak guna bangunan.
b. Yang ditunjuk oleh UU No 16 Tahun 1985 tentang rumah susun
yaitu :
- Rumah susun yang berdiri di atas tanah hak milik, hak gunan
bangunan dan hak pakai dan yang diberikan oleh negara, dan
- Hak milik atas satuan rumah susun yang bengunannya berdiri di
atas tanah hak-hak yang disebut di atas.
c. Yang ditunjuk oleh UU Hak Tanggungan (Pasal 4 ayat (2)
d. Hak pakai atas tanah hak milik yang akan diatur kemudian dengan
peraturan pemerintah (Pasal 4 ayat (3) UUHT)
Disamping itu objek hak tanggungan tidak hanya tanahnya saja tetapi
dapat juga berikut dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanah
seperti yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat 4 UU Hak Tanggungan
berikut penjelasannya yang menyatakanbahwa objek hak tanggungan
adalah hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang
telah ada atau yang akan ada yang merupakan milik pemegang hak atas
tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Hak tanggungan ini
juga dapat dibebankan terhadap hak pakai atas tanah negara yang
menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut
sifatnya dapat dipindahtangankan. (Pasal 4 ayat 7 UUHT).
Apabila debitue cedera janji, pemegang hak tanggungan pertama
mempunyai hak untul menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambilpelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Selanjutnya ekskusi hak
tanggungan diatur dalam Pasal 20 dan 21 UUHT.
Mengenai hapusnya hak tanggungan diatur dalam Pasal 18
UUHT sebagai berikut :
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan.
b. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan.
73
5. Penyerahan (Lavering)
76
Penyerahan adalah cara memperoleh hak milik yang penting dan paling
sering dilakukan dalam masyarakat. Hak milik atas benda dapat diperoleh
melalui penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan
hak milik dan dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap
kebendaan itu. Dengan demikian ada 2 (dua) syarat untuk memperoleh hak
milik berdasarkan penyerahan (Kartini Mulyadi & Gunawan Widjaja, 2004:
78) yaitu :
a. Adanya peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik misalnya
jual beli, tukar menukar, hibah dan lain-lain.
b. Dilakukannya penyerahan itu sendiri oleh seorang yang berhak untuk
berbuat bebas terhadap kebendaan yang akan dialihkan tersebut.
Dalam hubungannya dengan Pasal 584 KUHPerdata maka hanya
seorang pemilik sajalah yang dapat mengalihkan hak milik atas suatu benda,
Ketentuan ini adalah merupakan pelaksanaan dari suatu asas hukum yang
disebut asas Nemoplus Yuris yang berarti seseorang hanya boleh mengalihkan
aoa yang menjadi haknya dan tidak boleh melebihi apa yang menjadi haknya.
Ketentuan tentang penyerahan(levering) ini diatur dalam Pasal 612,613,616
KUHPerdata). Penyerahan benda bergerak yang berwujud dilakukan dengan
penyerahan nyata (feitelijke levering) yaitu penyerahan dari tangan ke tangan
tetapi ada kalanya penyerahan itu yakni tidak perlu dilakukan yakni dalam hal
Pasal 612 ayat (2) KUH Perdata yaitu : (Kartini Mulyadi & Gunawan
Widjaja, 2004: 185)
a. Penyerahan dalam bentuk traditio brevi manu yang berarti
penyerahan tangan pendek. Misalnya seorang penyewa yang telah
menguasai kebendaan yang diperjualbelikan kemudian membeli
kebendaan yang semula disewa olehnya tersebut. Oleh karenanya
penyerahan fisik sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 612 ayat (1)
KUH Perdata tidak lagi diperlukan.
b. Penyerahan dalam bentuk traditio longa manu atau penyerahan
secara tangan panjang. Dalam hal ini kebendaan yang
diperjualbelikan berada di tangan seorang pihak ketiga yang dengan
77
yakni setelah adanya penyerahan. Kesalahan juga terjadi dalam Pasal 1471
KUH Perdata yang menyatakan bahwa jual beli barang orang lain adalah batal
dan dapat memberikan dasar untuk penggantian biaya, kerugian dan bunga
jika si pembeli tidak telah mengetahui bahwa barang-barang itu kepunyaan
orang lain. Perjanjian jual beli atas benda yang masih milik orang lain
seyoguanya tidak perlu dilarang karena sifat perjanjian menurut KUH Perdata
hanya obligatoir saja yakni dengan perjanjian tersebut baru menimbulkan hak
dan kewajiban dan belum memindahkan hak milik, karenanya yang penting
adalah pada waktu dilakukan penyerahan benda hak milik sudah harus
menjadii milik penjual (Munir Fuady, 2005: 176).
Jika dalam sistem KUH Perdata mengenal dua tahap dalam suatu
transaksi yakni tahap perjanjian obligatoir dan tahap penyerahan,
bagaimanakah hubungan antara kedua tahap tersebut jika misalnya perjanjian
obligatoirnya tidak sah atau batal, apakah penyerahan hak juga ikut batal.
Untuk itu dalam ilmu hukum dikenal dua teori sebagai berikut :
a) Teori Kausal
Dalam teori kausal bahwa titel kepemilikan atas benda baru sah jika
dilakukan oleh pemilik yang sah dan dilakukan secara sah pula. Dengan
demikian sahnya kepemilikan bergantung pada sahnya penyerahan benda,
sahnya penyerahan benda bergantung pada sahnya perjanjian obligatoir.
Jadi antara perjanjian obligatoir dan perjanjian riil (penyerahan)
mempunyai hubungan keabsahan. Hubungan antara keduanya merupakan
hubungan sebab akibat maka konsekuensinya kalau sebabnya tidak sah
maka akibat yang muncul juga tidak sah. Hal itu berarti bahwa menurut
teori kausal agar penyerahan menjadikan yang menerima penyerahan
sebagai pemilik dari benda yang diserahkan kepadanya maka rechtitelnya
harus sah. Kalau hubungan hukum yang menjadi dasar penyerahan tidak
sah sehingga batal atau dibatalkan maka penyerahan yang dilakukan
sebagai pelaksanaan rechtitel adalah juga tidak sah sehingga penyerahan
itu tidak berhasil menjadikan yang menerima penyerahan sebagai pemilik.
Contoh :
79
C. URAIAN
1. Pendahuluan
Keluarga mempunyai peranan penting sebagai kelompok sosial dan
masyarakat terkecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak, akan tetapi
tidak tertutup kemungkinan adanya orang tua yang belum memiliki anak
setelah lama berkeluarga berusaha mengangkat anak sebagai pengganti anak
kandungnya, atau ada orang tua yang ingin mengangkat anak orang lain
sebagai bentuk kepedulian sosial meskipun mereka memiliki anak kandung.
Biasanya mereka mengangkat anak-anak saudara mereka untuk yang kurang
mampu secara ekonomi, meskipun demikian banyak juga pengangkatan anak
yang dilakukan meskipun tidak ada hubungan persaudaraan antara anak
angkat dengan calon orang tua angkat. Dalam kenyataan ketiga unsur
tersebut tidak selalu terpenuhi sehingga kadang-kadang dalam satu keluarga
tidak mempunyai anak.
UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM telah mencantumkan tentang hak
anak,pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga dan
Negara untuk memberikan perlindungan pada anak. Hal ini berarti orang tua
tidak akan menelantarkan atau menyia-nyiakan anaknya. Kondisi ekonomi
sosial yang kurang mendukung sangat mempengarhi kondisi perekonomian
keluarga dan berdampak pada kesejahteraan rakyat Indonesia.Dalam
kenyataannya masih banyak kita jumpai anak-anak terlantar, yatim piatu dan
anak penyandang cacat dengan permasalahan mereka yang kompleks
sehingga memerlukan penanganan, pembinaan dan perlindungan baik dari
pemerintah maupun masyarakat. Salah satu solusi untuk menangani
permasalahan anak dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang
tua yang mampu untuk melaksanakan pengangkatan anak. Tujuan
pengangkatan anak adalah untuk kepentingan terbaik bagi anak, dan harus
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau
38
2. Pengertian Adopsi
Pengangkatan anak disebut juga adopsi yaitu “penciptaan hubungan
orang tua-anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak
mempunyai hubungan (keluarga)”, (The creation of a parent child
relationship by judicial order betwen two parties who usually unrelated)
(Black Law Dictionary, 2001: 20). Pengangkatan anak dalam istilah Arab
disebut tabanni atau tabanni ath-thifl, yaitu menjadikan seseorang sebagai
anak (Ahmad Mukhtar, tt: 178). Menurut Aris Gosita (1989: 44),
pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk
dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri, berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama dan sah menurut hukum
yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.
41
dari harta warisan tersebut. Wasiat wajibah adalah dimana seseorang dalam
hal ini baik ayah angkat maupun anak angkat hanya mendapat 1/3 (sepertiga)
dari harta warisan anak angkatnya atau ayah angkatnya.
(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dmaksud
dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang
bersangkutan.
Definisi Pengangkatan Anak menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 adalah sebagai berikut : ”Pengangkatan
Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan, seorang anak dari
lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat”. Dari definisi diatas,
dapat kita ketahui bahwa pengangkatan anak, haruslah mengandung unsur-
unsur sebagai berikut :
a) Merupakan suatu perbuatan hukum;
b) Diimana perbuatan tersebut harus mengalihkan seorang anak;
c) Dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak
tesebut;
d) Anak tersebut harus tinggal kedalam keluarga orang tua angkat.
Mengenai jenis pengangkatan anak terdiri atas 2 (dua) macam yakni :
1) Pengangkatan anak antar warga negara Indonesia; dan
2) Pengangkatan anak antara warga negara Indonesia dengan warga negara
Asing.
Menurut UU No 62 Tahun 1958 Pasal 2 disebutkan bahwa anak asing
yang belum berumur 5 tahun yang diangkat oleh seorang WNI memperoleh
kewarganegaraan RI apabila pengangkatan itu dinyatakan sah oleh Pengadilan
Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat anak itu. Pasal 5 ayat (2)
UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan berbunyi anak WNI yang
belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA
berdasarkan penetapan Pengadilan yang tetap diakui sebagai WNI.
Asing, maka :
a) Memperoleh ijin tertulis dari pemerintah Negara asal Pemohon melalui
kedutaan atau perwakilan negara pemohon melalui kedutaan atau
perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia;
b) Memperoleh ijin dari Menteri;
c) Melalui Lembaga Pengasuhan Anak;
d) Orang tua Warga Negara Asing tersebut telah bertempat tinggal di
Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun;
e) Mendapat persetujuan tertulis dari Pemerintah Negara pemohon;
f) Membuat pernyataan tertulis bahwa akan melaporkan perkembangan
anak kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui
Perwakilan Republik Indonesia setempat;
g) Memenuhi syarat-syarat seperti yang termuat dalam persyaratan
pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia.
Apabila Anak Warga Negara Asing VS Orang Tua Warga Negara
Indonesia
a) Memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah Republik Indonesia;
dan
b) Memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah Negara Asal Anak.
Tata Cara Pengangkatan Anak antar WNI maupun antara WNI dengan WNA
sebagai berikut :
1. Tata Cara Pengangkatan Anak antar Warga Negara
Indonesia
a. Melengkapi syarat-syarat pengangkatan anak;
b. Mengajukan pengajuan permohonan Penetapan Pengangkatan Anak ke
Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) atau ke Pengadilan
Negeri (bagi yang beragama Non Islam);
c. Setelah Majelis Hakim mempelajari berkas tersebut, Majelis akan
mengeluarkan Penetapan;
d. Kemudian Pengadilan akan meneruskan Salinan Penetapan tersebut
kepada Instansi terkait seperti Dephukham, Depsos, Deplu, Depkes,
51
kandungnya secara serta merta menjadi gugur atau hapus dengan sendirinya
(Fauzan, 2007: 45).
Namun setelah lahirnya UU No 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama
memiliki kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa dan mengadili
perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam. Menurut
hukum Islam pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan hukum atau
hubungan nasab dengan orang tua kandungnya. Anak angkat dalam hukum
Islam juga tidak menjadikan anak angkat sebagai anak kandung sehingga
dipersamakan hak-hak dan kewajiban seperti anak kandung dari orang tua
angkatnya. Beberapa akibat hukum lain dari pengangkatan anak menurut
Hukum Islam adalah :
a. Anak angkat tetap dipanggil (bin/binti) dengan nama ayah atau orang tua
kandungnya.
b. Orang tua angkat tidak menjadi wali nikah anak angkatnya jika anak
angkat perempuan.
c. Anak angkat tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya dan anak
angkat dapat memperoleh harta warisan orang tua angkatnya melalui
lembaga wasiat yang jumlahnya tidak melebihi sepertiga harta warisan.
d. Anak angkat boleh dinikahi orang tua angkatnya.
Langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintahnya terkait dengan
kemungkinan pencatatan akta kelahiran anak angkat yang telah ditetapkan
Pengadilan Agama adalah dengan membuat catatan pinggir pada akta
kelahiran anak bahwa anak yang bersangkutan sekarang telah menjadi anak
angkat dari X misalnya sehingga kewajiban serta perwalian anak beralih
menjadi tanggung jawab orang tua angkatnya.
Suatu perbuatan hukum akan selalu menimbulkan akibat hukum pula
dari perbuatan itu. Dalam perbuatan hukum berupa pengangkatan anak,
mempunyai konsekuensi terhadap harta benda, keluarga yang dilakukan
dengan tanpa suatu bukti tertulis bahwa telah benar-benar dilakukan suatu
perbuatan hukum. Hal ini akan menimbulkan permasalahan terutama
53
8. Penutup
Adanya Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan
pengangkatan anak yang mencakup ketentuan umum, jenis pengangkatan
anak, syarat-syarat pengangkata anak, tata cara pengangkatan anak dan
bimbingan, pengawasan dan pelaporan dalam pelaksanaan pengangkatan
anak, pengawasan pelaksanaan pengangkatan anak yang dimaksudkan agar
pengangkatan anak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan
kepentingan terbaik bagi anak.
Menyangkut kewenangan Pengadian Negeri dan Pengadilan Agama
dalam menetapkan pengangkatan anak sebenarnya tidak ada dualisme.
Pengadilan Agama hanya berwenang mengurusi adopsi anak di kalangan umat
Islam. Di luar adopsi menurut hukum Islam, kewenangan ada di tangan PN,
termasuk adopsi antar negara (intercountry adoption). Kewenangan
Pengadilan Agama menetapkan asal usul anak malah sudah disinggung dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sejak 1991. Pasal 103 KHI menyebutkan
bahwa asal usul anak dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau bukti lain.
Jika akta kelahiran atau bukti lain tidak ada, maka yang berwenang
menetapkan asal usul anak adalah Pengadilan Agama.
Menurut ketentuan umum dalam kompilasi Hukum Islam Pasal 171
bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari
orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
Atas dasar pengertian tersebut jelaslah bahwa yang dilarang menurut Hukum
Islam adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal. Dari
sini terlihat adanya titik persilangan menurut ketentuan hukum adat, yang
menghilangkan atau memutuskan kedudukan anak angkat dengan orang tua
kandungnya sendiri. Hal ini bersifat prinsip dalam lembaga Adopsi karena
adanya ketentuan yang menghilangkan hak-hak ayah kandung dan dapat
merombak ketentuan-ketentuan mengenai waris.
55
ini disebut perjanjian innominaat yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup
dan berkembang dalam masyarakat.
Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system),
artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang
sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Hal ini
dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1)
yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan
Menurut Pasal 1233 KUH Perdata : “Perikatan lahir karena suatu
perjanjian atau karena undang-undang”. Perikatan yang timbul karena undang-
undang selanjutnya dibagi lagiatas perikatan yang timbul semata mata karena
undang-undang dan perikatan yang timbul dari undang-undang dan perbuatan
manusia. Kemudian perikatan yang timbul dari undang-undang karena
perbuatan manusia dibagi lagi atas perbuatan menurut hukum dan perbuatan
melawan hukum. Para ahli hukum berpendapat bahwa sumber perikatan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1233 KUH Perdata kurang lengkap
karena masi hada sumber perikatan lain yaitu doktrin hukum yang tidak
tertulis dan keputusan hakim.
Dari kedua sumber perikatan itu, maka yang terpenting ialah perikatan
yang timbul karena perjanjian. Oleh karena para pihak mempunyai kebebasan
untuk membuat segala perikatan sepanjang tidak bertentangan dengan UU,
kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1338 ayat (1) jo 1337 KUHPerdata).
Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan pengertian perjanjian sebagai
berikut :”Perjanjian adalah segala perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”. Pengertian perjanjian
85
Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya offer (penawaran) dan acceptance
(penerimaan). Offer adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan
seseuatu secara khusus pada masa yang akan datang. Penawaran ini ditujukan
kepada setiap orang. Yang berwenang mengajukan penawaran adalah setiap
orang yang layak dan memahami apa yang dimaksudkan. Ada 5 (lima) syarat
penawaran :
a. Adanya konsiderasi (prestasi)
b. Sesuai undang-undang
c. Under one of the special rules relating to the revocation of a unilateral
contract,
d. Under doctrine of promissory estoppel dan
e. By virtue of a sealed instrument.
Penawaran yang disampaikan kepada para khalayak akan menghasilkan dua
macam kontrak yaitu kontrak bilateral dan unilateral. Kontrak bilateral yaitu
kontrak yang diadakan antara dua orang dan kedua belah pihak harus
memenuhi janjinya. Sedangkan kontrak unilateral adalah penawaran yang
membutuhkan tindakan saja karena berisi satu janji dari satu pihak saja, Pada
prinsipnya penawaran tetap terbuka sepanjang belum berakhirnya waktu atau
belum dicabut. Suatu penawaran akan berakhir apabila :
- Si pemberi tawaran (penawaran) atau penerima tawaran sakit ingatan
atau meninggal dunia sebelum terjadi penerimaan penawaran.
- Penawaran dicabut dalam hal ini pihak penawar harus memberitahukan
sebelum penawaran diterima. Jika suatu penawaran ditentukan dalam
waktu tertentu maka penawaran tersebut tidak dapat dicabut sebelum
waktunya berakhir, dan
- Penerima tawaran tidak menerima tawaran, tetapi membuat suatu
contra penawaran.
Acceptance adalah kesepakatan dari pihak penerima dan penawar tawaran
untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh penawar. Penerimaan yang
harus disampaikan penerima tawaran kepada penawar tawaran. Penerimaan
itu harus bersifat absolut dan tanpa syarat atas tawaran itu. Penerimaan yang
91
C. Uraian
1. Pengertian Perjanjian Baku
Perjanjian baku telah dipakai secara luas di dalam praktek kehidupan
ekonomi di Indonesia. Di dalam perjanjian standar terdapat beberapa masalah
hukum antara lain :
- “Adanya”
- “kekuatan mengikatnya”
- “ketidakadilan yang dilakukan kepada debitur”
Sebagai suatu kenyataan ia harus diterima, akan tetapi dari segi negatifnya
harus diatasi, bagaimana solusinya ?
Menurut M.M. Djojodiguno , “Hukum adalah suatu proses penataan
yang terus menerus memperbaharui dirinya secara langsung oleh masyarakat
atau melalui penguasa untuk perbuatan dan tingkah laku anggota-anggotanya
dalam hubungan patembayan yang bertujuan untuk menjadi dasar dan
memelihara ketertiban, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.”
Hukum antara lain berfungsi mengabdi masyarakat, menjaga agar gerak
masyarakat berjalan dengan lancar, kepentingan-kepentingannya terpenuhi.
Jika kepentingan masyarakat berubah maka hukum harus diperbaharui dan
hukum yang tidak sesuai dengan tugas pengabdiannya harus dibuang atau
ditinggalkan.
Perjanjian baku dialihbahasakan dari istilah : Standaard contract (bahasa
Belanda), Standard voorwaarden (bhs Belanda), Standardvertrag (bahasa
Jerman), Standardized contract (bahasa Inggris). Pengertian Perjanjian
Standar menurut beberapa sarjana antara lain :
1) Menurut Hondius
“Perjanjian baku adalah konsep janji-janji tertulis disusun tanpa
membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah tak
terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu.”
110
Untuk materi ini kita haya membatasi perhatian hanya kepada perjanjian
baku sepihak (eenzijdige standaarddontract) saja. Perjanjian baku sepihak di
dalam keputusan Belanda dinamakan “perjanjian adhesi”. Contoh perjanjian
standar adalah tiket pengangkutan, formulir cuci cetak foto dan sebagainya.
Dari contoh formulir cetak foto terlihat adanya pengalian tanggung jawab
yang disebut dengan “klausula eksenorasi ’’ atau “ exennoratie clausul”.
Apakah klausula eksenorasi selalu dituangkan dalam perjanjian standar
atau dalam perjanjian standar memuat klausula eksenorasi? Klausula
eksenorasi selalu dituangkan dalam perjanjian standar tetapi tidak selalu
perjanjian standar memmuat klausula eksenorasi.
Dari contoh yang ada, dapat disimpulkan ciri-ciri perjanjian baku
sebagai berikut :
- Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya kuat.
- Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian.
- Terdorong oleh kebutuhan debitur terpaksa menerima perjanjian itu.
- Bentuk tertentu (tertulis).
- Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan kolektif.
Permasalahan dalam perjanjian standar :
1) Apakah dengan ciri-ciri perjanjian baku dapat dikatakan “perjanjian”
sebagaimana ditentukan dalam KUHPerdata (terutama apabila diikatkan
dengan Pasal 1320KUHPerdata)?
2) Apakah perjanjian standar dapat memungkinkan terjadinya
penyalahgunaan keadaan? (dihubungkan dengan ada tidaknya kata
sepakat)
“Sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah asas esensial dari
hukum perjanjian. Asas ini dinamakan asas konsensualisme yang menentukan
“adanya” (raison d’etre het beataanwaarde) perjanjian. Asas konsensualisme
yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti “kemauan”
(will) para pihak untuk saling berprestasi, adanya kamauan untuk saling
mengingatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen)
114
bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini bersumber pada nilai
norma.
Asas konsensualisem ini mempunyai hubungan erat dengan asas
kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas kekuatan mengikat yang
terdapat didalam Pasal 1338 KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak ini
berhubungan dengan kebebasan untuk menentukan :
- Isi perjanjian
- Dengan siapa perjanjian itu diadakan.
Meninjau masalah “ada” dan “kekuatan mengikatnya” perjanjian baku secara
teoritis yuridis, perjanjian ini tidak memenuhi elemen-elemen yang
dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata.
Pada dasarnya perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku
diadakan tidak memberikan kesepakatan pada debitur untuk mengadakan “real
bargaining” dengan pengusaha (kreditur), Bahwa didalam perjanjian baku
terjadi pelanggaran terhadap asas kebebasan kontrak. Tetapi ada beberapa ahli
hukum yang tidak memberiakn dukungan terhadap perjanjian baku ini yaitu :
1) SLUIJTER
Mengatakan perjanjian baku ini bukan perjanjian, sebab kedudukan
pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-
undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha didalam
perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian.
2) PITLO
Mengatakan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwangcontract).
A. Uraian Materi
1. Pengertian Hukum Perdata
Pada dasarnya menurut isinya hukum dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
macam yaitu hukum publik dan hukum privat (hukum perdata). Apakah
hukum perdata, apabila kita melihat definisi hukum perdata di berbagai buku
tentang hukum perdata maka kita akan menemukan berbagai pendapat dari
berbagai sarjana yang masing-masing berbeda. Namun perbedaan tersebut
tidak berarti ada pertentangan yang tajam melainkan menunjukkan adanya
perbedaan penekanan dan bukan perbedaan yang prinsipiil.
Kata perdata bersal dari kata pradoto (bahasa jawa kuno) yang berarti
bertengkar atau berselisish sehingga secara letterlijk dapat dikatakan bahwa
hukum perdata berarti hukum pertengkaran atau hukum
perselisihan.Beberapa pakar memberikan pengertian hukum perdata sebagai
berikut :
a. Sri Sudewi Masjchoen : “Hukum perdata ialah hukum yang mengatur
kepentingan antara warga negara yang satu dengan warga negara yang
lain”.
b. Sudikno Mertokusumo mengartikan hukum perdata : “hukum antar
perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perorangan yang
satu terhadap yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan dalam
pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan masing-masing
pihak”.
Dari kedua definisi ini dapat dilihat bahwa hukum perdata diberi arti
mengatur kepentingan/perlindungan antara orang yang satu dengan orang
yang lain. Di dalam ilmu hukum kita mengenal subyek hukum bukan hanya
orang (manusia) tetapi juga badan hukum. Oleh karenanya dapat diartikan
bahwa hukum perdata adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum
yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan dalam pergaulan masyarakat
(Salim HS 2003: 6).
2
3. Tentang Orang
a. Subyek Hukum
Subjek hukum adl pendukung hak dan kewajiban. Pendukung hak
dan kewajiban itu disebut orang. Orang dalam arti hukum terdiri dari
manusia pribadi, dan badan hukum. Manusia pribadi adalah subjek hukum
dalam arti bilogis, sebagai gejala alam, sebagai makhluk budaya yang
berakal, berperasaan dan berkehendak. Badan Hukum adl subjek hukum
dalam arti yuridis, sebagai gejala dalam hidup bermasyarakat, sebagai
badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, mempunyai hak dan
kewajiban seperti manusia pribadi. Dalam perkembangan perundang-
undangan sekarang ini, yang dinamakan subyek hukum itu bukan lagi
dalam pengertian yang tradisional (konvensional) yaitu manusia dan badan
hukum, tetapi manusia dan korporasi.
Perbedaan prinsip Badan Hukum dgn manusia pribadi;
7
A. Uraian Materi
1. Hukum Perkawinan
a. Pengertian dan Syarat- syarat Perkawinan
Pengertian perkawinan menurut pasal 26 KUH Perdata berbunyi :
“Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-
hubungan perdata”. Dari pasal tersebut diketahui bahwa perkawinan
hanya semata-mata merupakan perjanjian perdata, tidak ada kaitannya
dengan agama yang dianut oleh para pihak sebagaimana dinyatakan
dalam Psal 81 KUHPerdata. Pasal 81 KUH Perdata menyebutkan :”Tidak
ada suatu upacara keagamaan boleh dilakukan, sebelum kedua belah
pihak kepada pejabat agama mereka membuktikan, bahwa perkawinan di
hadapan pegawai pencatat sipil telah berlangsung”. Oleh karena itu dulu
melangsungkan perkawinan cukup di hadapan pegawai pencatat sipil.
Berbeda dengan KUH Perdata, UU No 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan merumuskan pengertian perkawinan dalam Pasal 1 sebagai
berikut : “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “.
Selanjutnya Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 berbunyi sebagai berikut
: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa untuk menentukan sah tidaknya suatu perkawinan
adalah agama yang dianut oleh calon mempelai (Subekti, 1990: 3).
Namun demikian perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Beberapa asas hukum yang dianut dalam UU Perkawinan ini
adalah :
1) Asas persetujuan kedua belah pihak
21
Tahun 1946 tentang Pencatatan NTR di luar Jawa dan Madura, untuk
perkawinan yang dilangsungkan menurut agama Islam pun sebenarnya
diharuskan mempunyai kutipan Akta Nikah. Namun Pasal 7 ayat 2
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan dalam hal perkawinan tidak
dapat dibuktikan dengan akta nikah dapat diajukan itsbat nikahnya ke
Pengadilan Agama.
b. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
Pencegahan dan pembatalan perkawinan dapat dilakukan jika para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Tentang pencegahan dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 59 s/d Pasal
70 dan dalam UU No 1 Tahun 1974 (diatur dalam Pasal 13 s/d Pasal 21).
Orang-orang yang dapat mencegah perkawinan sebagaimana diatur dalam
Pasal 14 s/d Pasal 16 UU No 1 Tahun 1974 adalah :
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dank e bawah
dari salah seorang calon mempelai ;
2) Saudara dari salah seorang calon mempelai ;
3) Wali nikah dari salah seorang calon mempelai ;
4) Wali dari salah seorang calon mempelai ;
5) Pengampu dari salah seorang calon mempelai ;
6) Pihak-pihak yang berkepentingan ;
7) Suami atau istri dari salah seorang calon mempelai ;
8) Pejabat yang ditunjuk (Riduan Syahrani, 1992: 93).
Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah
hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan
juga kepada Pegawai Pencatat Perkawinan (Pasal 17 ayat (1) UU No 1
Tahun 1974).
Apabila pencegahan perkawinan telah terlanjur diajukan ke
pengadilan namun masih dimungkinkan untuk ditarik kembatli atau dapat
dicabut dengan putusan pengadilan (Pasal 18 UU No 1 Tahun 1974).
Akibat adanya pencegahan perkawinan maka perkawinan tidak dapat
23
terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil
manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu
kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki
hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat
dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan
hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan
kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak
dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap
lelaki tersebut sebagai bapaknya. Apalagi jika berdasarkan
perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan
bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu. Anak
dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya
ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian
adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai
bapak," katanya. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur atau
administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan
perlindungan hukum.
3. Perkawinan Campuran
Sebelum berlakunya Undang-undang Perkawinan, tentang perkawinan
campuran ini diatur dalam Peraturan Perkawinan Campuran (regeling op de
Gemende Huwelijken, disingkat GHR) Stb 1898 Nomor 158.
Pasal 1 GHR : perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang
yang di Indoesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan.
Pasal 2 GHR: Seorang perempuan (istri) yag melakukan perkawinan
campuran, selama pernikahan itu belum putus, maka si perempuan (istri)
tunduk kepada hukum yang berlaku untuk suaminya baik hukum publik
maupun hukum sipil.
Pasal 6 (1) GHR : Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang
berlaku untuk si suami, kecuali ijin dari kedua belah pihak calon mempelai
yang selalu harus ada.
Pasal 7 ayat (2) GHR : Perbedaan agama, bangsa atau asal usul sama sekali
bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan itu.
Setelah berlakunya Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974,
pengertian perkawinan campuran diatur dalam Pasal 57 sebagai berikut : yang
dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
33