Anda di halaman 1dari 122

BAB V

PERKEMBANGAN DALAM HUKUM PERJANJIAN

A. Pengertian dan Sistem Hukum Perjanjian/Kontrak

Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu


contract of law sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
overeenscomstrecht. Menurut Salim (2003: 4) bahwa hukum kontrak adalah
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau
lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Definisi ini
didasarkan pada pendapat Van Dunne yang tidak hanya mengkaji kontrak
pada tahap kontraktual semata-mata, tetapi juga harus diperhatikan perbuatan
sebelumnya yaitu mencakup pracontractual dan post contractual.
Pracontractual merupakan penawaran dan penerimaan sedangkan post
contractual adalah pelaksanaan perjanjian. Dari definisi di atas dapat
dikemukakan bahwa unsur-unsur yang tercantum dalam kontrak adalah :
a. Adanya kaidah hukum
b. Subjek hukum
c. Adanya prestasi
d. Kata sepakat
e. Akibat hukum
Hukum kontrak diatur dalam Buku III KUH Perdata yang terdiri atas 18
bab dan 631 pasal. Dimulai pasal 1233 KUHPerdata sampai dengan Pasal
1864 KUH Perdata. Perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa,
persekutuan, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap
dan abadi, untung-untungan, pemberian kuasa, penanggung utang, dan
perdamaian merupakan perjanjian yang bersifat khusus, yang di dalam
berbagai kepustakaan hukum disebut dengan perjanjian nominaat. Perjanjian
nominaat adalah perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata. Diluar KUH
Perdata terdapat perjanjian lain seperti francise, beli sewa, joint venture,
production sharing, kontrak karya, leasing dan sebagainya dimana perjanjian
84

ini disebut perjanjian innominaat yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup
dan berkembang dalam masyarakat.
Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system),
artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang
sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Hal ini
dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1)
yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan
Menurut Pasal 1233 KUH Perdata : “Perikatan lahir karena suatu
perjanjian atau karena undang-undang”. Perikatan yang timbul karena undang-
undang selanjutnya dibagi lagiatas perikatan yang timbul semata mata karena
undang-undang dan perikatan yang timbul dari undang-undang dan perbuatan
manusia. Kemudian perikatan yang timbul dari undang-undang karena
perbuatan manusia dibagi lagi atas perbuatan menurut hukum dan perbuatan
melawan hukum. Para ahli hukum berpendapat bahwa sumber perikatan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1233 KUH Perdata kurang lengkap
karena masi hada sumber perikatan lain yaitu doktrin hukum yang tidak
tertulis dan keputusan hakim.
Dari kedua sumber perikatan itu, maka yang terpenting ialah perikatan
yang timbul karena perjanjian. Oleh karena para pihak mempunyai kebebasan
untuk membuat segala perikatan sepanjang tidak bertentangan dengan UU,
kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1338 ayat (1) jo 1337 KUHPerdata).
Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan pengertian perjanjian sebagai
berikut :”Perjanjian adalah segala perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”. Pengertian perjanjian
85

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1313 kurang lengkap dan mempunyai


kelemahan-kelemahan antara lain : (Abdulkadir Muhammad, 1982: 78)
a. Rumusan ini hanya cocok untuk perjanjian sepihak karena kata
“mengikatkan” hanya datang dari salah satu pihak.
b. Pengertian perjanjian terlalu luas, karena tidak disebutkan mengikatkan
diri terbatas dalam lapangan hukum kekayaan, sehingga dapat pula
mencakup perjanjian perkawinan dalam lapangan hukum keluarga.
c. Tanpa menyebut tujuan sehingga para pihak mengikatkan diri tidak jelas
untuk apa?
Dengan demikian pengertian perjanjian dapat dirumuskan sebagai berikut :
“perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih
saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan
hukum kekayaan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri perikatan atau perjanjian
ialah :
a. Para pihak (subjek) selalu dua orang atau lebih
b. Debitur wajib melaksanakan prestasi.
c. Prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan
d. Prestasi harus mungkin dan halal
e. Prestasi dapat berupa satu kali atau terus menerus seperti dalam
perjanjian sewa menyewa
f. Kadang-kadang perikatan atau perjanjian tidak berdiri sendiri artinya
masih harus diikuti dengan tindakan lain seperti dalam perjanjian
jual beli yang diiluti dengan lavering dan balik nama (mutasi).
g. Untuk memenuhi kewajibannya debitur bertanggung jawab menurut
Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.
h. Menimbulkan hak perorangan
i. Pada umumnya pemenuhan prestasi dapat dipaksakan melalui
pengadilan.
j. Terletak dalam lapangan hukum harta kekayaan.
86

Walaupun perikatan dan perjanjian mempunyai ciri-ciri yang sama,


namun ada perbedaannya. Perbedaannya bahwa perikatan adalah suatu
pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit.
Kita tidak dapat suatu perikatan, hanya dapat membayangkannya dalam alam
pikiran kita, tetapi kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun
mendengarkan perkataan-perkatannya (Subekti, 1979: 82). Oleh karena
perikatan disamping bersumber pada perjanjian juga bersumber pada undang-
undang maka bukan berarti pengertian perikatan lebih luas dari pengertian
perjanjian. Yang benar bahwa perjanjian adalah lebih luas dari perikatan
karena perjanjian itu sendiri berisi perikatan. Bahwa yang perlu diperhatikan
bahwa perikatan adalah suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) dan karena itu
tidak ada wujudnya, sedangkan yang keliahatan kalau ia berupa perjanjian
tertulis adalah perjanjiannya.

1. Sumbur Hukum Kontrak


Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu sumber hukum materiil dam sumber hukum formal (Algra, dkk, 1975:
74). Sumber hukum materiil ialah tempat dari mana hukum itu diambil
Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan
hukum, misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi sosial ekonomi,
tradisi, hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional dan keadaan
geografis. Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh kekuatan
hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan
hukum formal itu berlaku. Sumber hukum formil meliputi undang-undang,
perjanjian antarnegara,yurisprudensi, dan kebiasaan. Sumber hukum kontrak
yang berasal dari undang-undang antara lain :
a. Algemene Bepalingan van Wetgeving (AB)
b. KUH Perdata (BW)
c. KUHD
d. UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
87

e. UU No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi


Sumber hukum lain adalah traktat yaitu suatu perjanjian yang dibuat antara
dua negara atau lebih dalam bidang keperdataan khususnya kontrak. Ini erat
kaintannya dengan perjanjian internacional. Contohnya : perjanjian bagi hasil
yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia
Company tentang perjanjian bagi hasil tembaga dan emas. Sedangkan
yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk yudikatif yang
berisi kaidah dan peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang
berperkara contohnya putusan HR 1919 tentang pengertian perbuatan
melawan hukum (Salim, 2003: 15-17).

2. Kata Sepakat, Penawaran dan Penerimaan Penawaran


 Menurut Hukum Kontrak Indonesia
Dalam hukum Eropa Kontinental, syarat sahnya perjanjian diatur dalam
Pasal 1320 KUH Perdata atau Pasal 1365 NBW Belanda. Syarat sah perjanjian
dalam KUH Perdata adalah (Salim, 2003: 33-34) :
a. Kesepakatan (Toesteming) kedua belah pihak
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang
atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai adalah pernyataannya,
karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara
terjadinya persesuaian pernyataan kehendak yaitu dengan :
1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;
2) Bahasa yang sempurna secara lisan;
3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan;
4) Bahasa isyarat asal dapat diterima pihak lawan;
5) Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan
(Sudikno Mertokusumo, 1987: 7).
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata mngatakan
bahwa perjanjian adalah satu perbuatan yang bersisi dua (een tweezijdige
rechtshandeling) untuk menimbulkan persesuaian kehendak guna
melahirkan akibat hukum. Yang dimaksudkan dengan satu perbuatan
88

hukum yang bersisi dua ialah penawaran aanbod,offer) dan penerimaan


(aanvaarding, acceptance). Penawaran dan penerimaan itu masing-masing
pada hakekatnya adalah perbuatan hukum. Sejak abad 19 kebebasan
berkontrak digerogoti karena adanya campur tangan pemerintah dan
masyarakat. Maka timbullah pendapat bahwa kewajiban yang timbul dari
perjanjian itu makin lama tidak ditentukan oleh kata sepakat, tetapi
ditentukan oleh apa yang dianggap layak atau patut oleh masyarakat. Oleh
karena itu yang penting dalam suatu perjanjian ialah itikad baik dan bukan
kata sepakat. Hal ini tampak apabila ada kehendak yang bebas. Itikad baik
merupakan dasar kehidupan bersama. Pada hakekatnya yang menyebabkan
perjanjian itu mengikat bukanlah kata sepakat melainkan itikad yang
terdapat dalam janji yang diberikan dalam tahap prakontraktual. Sifat
yuridis suatu perjanjian terletak pada pernyataan prakontraktual para pihak
dan bukan pada isi perjanjian.
Bicara tentang persesuaian kehandak, yaitu sepakat mereka yang
mengikatkan diri, timbullah masalah apabila antara keterangan atau
pernyataan (kehendak) dengan kehendaknya sendiri. Kalau perjanjian hal
itu atas dasar apa dan kalau tidak terjadi perjanjian apa akibatnya.?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh tiga teori yaitu :
- Teori kehendak ;
- Teori pernyataan atau keterangan dan ;
- Teori kehendak
Persesuaian kehendak yang menimbulkan perjanjian terjadi pada
hakekatnya kalau penawaran pihak yang satu sampai pada pihak yang lain
dan penerimaan pihak yang lain sampai pada pihak yang satu. Kapan
momentum terjadinya persesuaian kehendak itu ? Pertanyaan ini dijawab
oleh teori 1) teori ungkapan, 2) teori pengiriman, 3) teori pengetahuan, 4)
teori penerimaan.
b. Kecakapan Bertindak
Kacakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan
89

menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan


perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana ditentukan oleh undang-
undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan
hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah
berumur 21 tahun dann atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang
untuk melakukan perbuatan hukum :
- Anak di bawah umur (minderjarigheid).
- Orang yang ditaruh di bawah pengampuan dan
- Istri (Pasal 1330 KUH Perdata)Akan ttapi dalam perkembangannya
istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam
Pasal 31 UU No 1 Tahun 1974 jo SEMA No 3 Tahun 1963.
c. Adanya Objek Perjanjian (Onderwerp der Overeenskomst)
Bahwa objek perjanjian adaah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah
apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur
Prestasi berupa memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat
sesuatu
d. Adanya causa yang halal
Dalam pasal 1320 KUH Perdatatidak dijelaskan pengertian orzaak (causa
yang halal). Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa
yang terlarang. Suatu sebab sudah terlarang apabila bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
 Menurut Hukum kontrak Amerika
Di dalam hukum kontrak Amerika ditentukan empat syarat sahnya kontrak
yaitu:
1) Adanya offer dan acceptance (Penawaran dan penerimaan)
2) Meeting of Minds (Persesuaian kehendak)
3) Consideration (Konsiderasi)
4) Competent Parties and Legal Subject Matter (kamampuan hukum
para pihak dan pokok persoalan yang sah)
Ad. 1,
90

Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya offer (penawaran) dan acceptance
(penerimaan). Offer adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan
seseuatu secara khusus pada masa yang akan datang. Penawaran ini ditujukan
kepada setiap orang. Yang berwenang mengajukan penawaran adalah setiap
orang yang layak dan memahami apa yang dimaksudkan. Ada 5 (lima) syarat
penawaran :
a. Adanya konsiderasi (prestasi)
b. Sesuai undang-undang
c. Under one of the special rules relating to the revocation of a unilateral
contract,
d. Under doctrine of promissory estoppel dan
e. By virtue of a sealed instrument.
Penawaran yang disampaikan kepada para khalayak akan menghasilkan dua
macam kontrak yaitu kontrak bilateral dan unilateral. Kontrak bilateral yaitu
kontrak yang diadakan antara dua orang dan kedua belah pihak harus
memenuhi janjinya. Sedangkan kontrak unilateral adalah penawaran yang
membutuhkan tindakan saja karena berisi satu janji dari satu pihak saja, Pada
prinsipnya penawaran tetap terbuka sepanjang belum berakhirnya waktu atau
belum dicabut. Suatu penawaran akan berakhir apabila :
- Si pemberi tawaran (penawaran) atau penerima tawaran sakit ingatan
atau meninggal dunia sebelum terjadi penerimaan penawaran.
- Penawaran dicabut dalam hal ini pihak penawar harus memberitahukan
sebelum penawaran diterima. Jika suatu penawaran ditentukan dalam
waktu tertentu maka penawaran tersebut tidak dapat dicabut sebelum
waktunya berakhir, dan
- Penerima tawaran tidak menerima tawaran, tetapi membuat suatu
contra penawaran.
Acceptance adalah kesepakatan dari pihak penerima dan penawar tawaran
untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh penawar. Penerimaan yang
harus disampaikan penerima tawaran kepada penawar tawaran. Penerimaan
itu harus bersifat absolut dan tanpa syarat atas tawaran itu. Penerimaan yang
91

belum disampaikan pemberi tawaran, belum berlaku sebagai penerimaan


penawaran.
Ad. 2.
Penawaran dan penerimaan antara kedua belah pihak dapat menghasilkan
bentuk luar dari sebuah kontrak, tetapi tidak berarti bahwa kontrak itu
dikatakan sah. Yang harus diperhatikan supaya kontrak itu dikatakan sah
adalah metting of mind, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara
para pihak tentang objek kontrak. Apabila objeknya jelas maka kontraknya
dikatakan sah. Persesuaian kehendak itu harus dilakukan secara jujur, tetapi
apabila kontrak itu dilakukan dengan adanya penipuan (fraud), kesalahan
(mistake), paksaan (durress), dan penyalahgunaan keadaan (undue influence)
maka kontrak itu menjadi tidak sah dan kontrak itu dapat dibatalkan (Jess S
Rafhael, 1962: 15).
Ad. 3
Supaya kontrak dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan mengikat
haruslah didukung dengan konsiderasi (concideration). Menurut sejarahnya
bahwa doktrin konsiderasi sudah berumur ratusan tahun. Ini tidak dianggap
sebagai unsur penting untuk membuat kontrak. Dulu semua hak yang
dilaksanakan dibagi menjadi sejumlah kategori yang terbatas. Untuk
pelanggaran masing-masing kategori pengadilan menyediakan formulir yang
dikenal sebagai surat perintah (writ). Setelag berbagai macam writ ada,
pengadilan enggan untuk menggandakannya. Yang tersisa dalam kontrak
adalah writ perjanjian. Writ ini baru dapat dilaksanakan hanya setelah dibuat
secara tertulis dan dibuat di atas segel oleh para pihak yang mengadakan
kontrak. Kontrak yang dibuat dengan writ dinamakan perjanjian (kovenan)
dan bersifat mengikat para pihak. Kendati demikian sejalan dengan
pertumbuhan perdagangan dan perniagaan, desakan untuk pelaksanaan
kontrak yang sah tidak perlu dibuat di atas segel. Untuk itu pengadilan
memeriksa writ yang ada untuk melihat apakah bisa digunakan atau tidak.
Mengenai pengertian konsiderasi itu sendiri belum ada kesepakatan para ahli.
Ada ahli yang mengartikan bahwa konsiderasi merupakan motive atau alasan
92

untuk membuat kontrak (Blacklaw Dictionary, 1983: 277). Jesse S Raphael


mengartikan konsiderasi adalah :
“Penghentian hak (sah) oleh satu pihak dengan imbalan janji dari pihak
lain. Jika seorang membuat janji dengan menghentikan salah satu hak
dari yang mendapat janji, janji tadi secara sah mengikat karena ditunjang
oleh konsiderasi.” (Jesse S Raphael, 1962: 18).
Pendapat lain mengatakan bahwa konsiderasi yaitu prestasi, yaitu sebagai
sesuatu yang diberikan, dijanjikan, atau dilakukan secara timbal balik.
Perbuatan, sikap tidak berbuat atau janji dari masing-masing pihak adalah
harga bagi yang telah dibeli oleh pihak lainnya (Abdulkadir Muhammad,
1986: 99).
Ad. 4.
Competent parties adalah kemampuan dan kecakapan dari subyek hukum
untuk melakukan kontrak. Sedangkan legal subject matter yaitu keabsahan
dari pokok persoalan. Di dalam sistem hukum Amerika pengadilan
membedakan kemampuan tentang legalitas dari seorang untuk membuat
kontrak. Masing-masing negara bagian tidak sama ada yang menentukan 21
tahun untuk semua jenis kelamin ada juga yang menentukann 21 tahun untuk
laki-laki dan 18 tahun untuk perempuan. Sedangkan yang tidak wenang
membuat kontrak adalah orang di bawah umur dan orang gila.

3. Momentum Terjadinya Kontrak


Bahwa dalam perjanjian, antara penawaran dan akseptasi, selalu ada
selang suatu jangka waktu tertentu, bisa singkat tetapi bisa juga memakan
waktu lama. Pada prinsipnya penawaran menjadi batal, kalau ditolak pihak
lain, dan sebelum diakseptir oleh pihak lain, penawaran tersebut dapat ditarik
kembali. Pendapat tersebut dapat menimbulkan masalah yaitu apakah dalam
hal sesudah akseptasi, tetapi sebelum jawaban tersebut sampai pada pihak
yang menawarkan dan orang yang menawarkan mengirimkan verita misal
melalui telegram, yang menyatakan penarikan kembali penawarannya maka
ada lahir perjanjian atau tidak ¿ Ini semua bergantung dari jawaban kapan kita
93

dapat menganggap telah terjadi/lahir perjanjian. Ketetapan mengenai kapan


perjanjian timbul mempunyai arti yang penting bagi :
- Penentuan risiko
- Kesempatan penarikan kembali penawaran.
- Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa.
- Menentukan tempat terjadinya perjanjian (J. Satrio, 2001: 255).
Di dalam KUH Perdata tidak disebutkan secara jelas tentang momentum
terjadinya kontrak. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata hanya disebutkan cukup
dengan adanya konsesnsus para pihak. Mengenai penetapan
lahirnya/timbulnya perjanjian telah menimbulkan beberapa teori yaitu :
a. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)
Menurut teori pernyataan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak
yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.
Jadi dilihat dari pihak yang menerima yaitu pada saat baru menjatuhkan
ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi.
Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap terjadinya
kesepakatan secara otomatis.
b. Teori Pengiriman (Verzendtheorie)
Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menerima penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini,
bagaimana hal ini bisa diketahui. Bisa saja, walau sudah dikirim tetapi tidak
diketahui oleh pihak yang menawarkan.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)
Untuk mengatasi kelemahan teori pengiriman, orang lalu menggeser saat
lahirnya perjanjian sampai pada jawaban akseptasi diketahui oleh orang
yang menawarkan. Pada saat surat jawaban diketahui isinya oleh orang
yang menawarkan maka perjanjian itu ada. Teori ini sebenarnya yang
paling sesuai dengan prinsip bahwa perjanjian lahir atas dasar pertemuann
dua kehendak yang dinyatakan (pernyataan kehendak) dan kedua
pernyataan kehendak itu harus dapat dimengerti oleh pihak yang lain.
d. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie).
94

Sebagai jawaban atas kekurangan teori pengetajuan muncullah teori lain


yaitu teori penerimaan. Disini saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah
surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka, menentukan saat
lahirnya sepakat, yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat
si penerima surat.
Pada uraian diatas dikemukakan bahwa momentum terjadinya perjanjian
yaitu pada saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara
kreditur dan debitur. Namun ada kalanya tidak ada persesuaian antara
pernyataan dan kehendak. Ada tiga teori yang menjawab ketidaksesuaian
antara kehendak dan pernyataan yaitu : (Salim, 2003: 41-42).
a. Teori kehendak (wilstheorie)
Menurut teori ini bahwa perjanjian terjadi apabila ada persesuaian antara
kehendak dan pernyataan, Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah
yang menyebabkan terjadinya perjanjian. Kelemahan teori ini
menimbulkan kesulitan apabila tidak ada persesuaiann antara kehendak
dan pernyataan.
b. Teori pernyataan (verklaringtheorie)
Menurut teori pernyataan, kehendak merupakan proses batiniah yang tidak
diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian
adalah pernyataan.
c. Teori kepercayaan (vertrowenstheorie)
Menurut teori ini tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi
pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan
perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar
dikehendaki. Kelemahan ini teori kepercayaan itu sulit dinilai.
Ada tiga alternatif pemecahan dari kesulitan yang dihadapi dari ketiga
teori di atas sebagai berikut :
1) Dengan tetap dipertahankannya teori kehendak, yaitu menganggap
perjanjian itu terjadi apabila tidak ada persesuaian antara kehendak
dan pernyataan. Pemecahannya : akan tetapi pihak lawan berhak
mendapat ganti rugi karena pihak lawan mengharapkannya.
95

2) Dengan tetap beroegang pada teori kehendak, hanya dalam


pelaksanaannya kurang ketat, yaitu dengan menganggap kehendak
itu ada.
3) Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjiann baku (standart
contract).

4. Intrepretasi dalam Kontrak


Penafsiran tentang kontrak diatur dalam Pasal 1342 sampai dengan Pasal
1351 KUH perdata. Pada dasarnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak
haruslah dapat dimengerti dan dipahami isinya. Namun dalam kenyataannya
banyak kontrak yang isinya tidak dimengerti oleh para pihak. Dari uraian di
atas dapat dikemukakan bahwa isi perjanjian dibedakan menjadi dua macam
yaitu : (Salim, 2003, 34)
(1) Kata-katanya jelas dan
(2) Kata-katanya tidak jelas,sehingga menimbulkan bermacam–macam
penafsian .
Dalam Pasal 1342 KUH Perdata disebutkan bahwa apabila kata-katanya jelas
maka tidak diperkenankan untuk menyimpang dari dengan jalan
penafsiran.Ini berarti bahwa para pihak harulah melaksanakan isi kontrak
tersebut dengan itikad baik. Apabila kata-katanya tidak jelas, dapat dilakukan
penafsiran terhadap isi kontrak yang dibuat para pihak (Salim, 2003: 34)
sebagai berikut :
1) Jika kata- kata dalam kontrak memberikan berbagai macam penafsiran
maka harus menyelidiki maksud para pihak yang membuat perjanjian
(pasal 1343 KUHPerdata).
2) Jika suatu janji memberikan berbagai penafsiran, maka harus
diselidiki pengertian yang memungkinkan perjanjian itu dapat
dilaksanakan (Pasal 1344 KUHPerdata).
3) Jika kata-kata dalam perjanjian diberikan 2 macam pengertian maka
harus dipilih pengertian yang paling selera dengan sifat perjanjian
(Pasal 1345 KUHPerdata). Apabila terjadi keraguan-keraguan, maka
96

harus ditafsirkan menurut kebiasaan dalam negeri atau tempat


dibuatnya perjanjian (pasal 1346 KUHPerdata).
4) Jika ada keraguan-keraguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian
orang yang meminta diperjanjikan sesuatu hal, dan keuntungan orang
yang mengingatkan dirinay untuk itu (Pasal 1345 KUHPerdata).

6. Fungsi Kontrak dan Biaya Dalam Pembuatan Kontrak


Fungsi kontrak dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu fungsi yuridis
dan fungsi ekonomis fungus yuridis kontrak adalah fungsi dapat memberikan
kepastian hukum bagi para pihak. Sedangkan fungsi ekonomis adalah
menggetakan (hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih
rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.
Pada dasarnya setiap pembuatan perjanjian memerlukan biaya. Biaya-
biaya itu meliputi: (Salim, 2003: 35-36).
1. Biaya penelitian, meliputi biaya penentuan hak milik yang diinginkan dan
biaya penentuan bernegoisasi ;
2. Biaya negoisasi, meliputi penyimpanan, biaya penulisan kontrak, dan biaya
tawar menawar dalam uraian yang rinci;
3. Biaya monitoring, yaitu biaya yang menyelidikan tentang objek ;
4. Biaya pelaksanaan, meliputi biaya persidangan dan arbutrase;
5. Biaya kekeliruan hukum, yang merupakan biaya sosial. Biaya ini akan
muncul apabila hakim membuat kesalahan dalam memutus suatu kasus.
Hal ini akan membuat kesalahan pada kasus-kasus berikutnya.
BAB VII
PERJANJIAN BAKU (STANDAR)

C. Uraian
1. Pengertian Perjanjian Baku
Perjanjian baku telah dipakai secara luas di dalam praktek kehidupan
ekonomi di Indonesia. Di dalam perjanjian standar terdapat beberapa masalah
hukum antara lain :
- “Adanya”
- “kekuatan mengikatnya”
- “ketidakadilan yang dilakukan kepada debitur”
Sebagai suatu kenyataan ia harus diterima, akan tetapi dari segi negatifnya
harus diatasi, bagaimana solusinya ?
Menurut M.M. Djojodiguno , “Hukum adalah suatu proses penataan
yang terus menerus memperbaharui dirinya secara langsung oleh masyarakat
atau melalui penguasa untuk perbuatan dan tingkah laku anggota-anggotanya
dalam hubungan patembayan yang bertujuan untuk menjadi dasar dan
memelihara ketertiban, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.”
Hukum antara lain berfungsi mengabdi masyarakat, menjaga agar gerak
masyarakat berjalan dengan lancar, kepentingan-kepentingannya terpenuhi.
Jika kepentingan masyarakat berubah maka hukum harus diperbaharui dan
hukum yang tidak sesuai dengan tugas pengabdiannya harus dibuang atau
ditinggalkan.
Perjanjian baku dialihbahasakan dari istilah : Standaard contract (bahasa
Belanda), Standard voorwaarden (bhs Belanda), Standardvertrag (bahasa
Jerman), Standardized contract (bahasa Inggris). Pengertian Perjanjian
Standar menurut beberapa sarjana antara lain :
1) Menurut Hondius
“Perjanjian baku adalah konsep janji-janji tertulis disusun tanpa
membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah tak
terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu.”
110

2) Mariam Darus Badrulzaman


Perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.
3) Soedikno Mertokusumo
Perjanjian baku adalah perjanjian yang secara apriori dibuat oleh salah
satu pihak (Pihak penyusun).

2. Aspek-aspek Hukum Mengenai Perjanjian Baku


Menurut Soedikno Mertokusumo, perjanjian standar ini istilah awalnya
disebut contract de adhesion. Para pihak dalam perjanjian ini adalah pihak
penyusun yang lebih unggul baik dari segi ekonomi maupun psikologis dan
pihak adherent. Dari perjanjian tersebut terlihat bahwa kedudukan penyusun
dan adherent tidak seimbang karena yang membuat adalah salah satu pihak
yaitu pihak penyusun, selanjutnya pihak adherent biasanya tinggal
menandatangani yang istilahnya dikatakan sebagai stikken of slikken :
tercekik/menelan sedangkan Adherent sama dengan mengikat.
Soedikno Mertokusumo mengatakan bahwa perjanjian standar ini
merupakan perjanjian yang tidak berperikemanusiaan dan memungkinkan
penyalahgunaan. Pembukaan perjanjian tersebut diperuntukan bagi hubungan
–hubungan hukum (rechts verhoudingen) “sejenis” bagi mereka yang
membutuhkannya.
Contoh perjanjian standar/baku :
Membuka rekening di bank, mencuci pakaian di binatu, perjanjian
asuransi, perjanjian pengangkutan,mengirimkan surat melalui titipan kilat,
mencetak foto dll, dimana debitur akan menerima tanda terima yang berisi
perjanjian baku.
Walaupun dikatakan perjanjian standar dilihat dari segi negatifnya
merupakan perjanjian yang tidak berperikemanusiaan dan memungkinkan
penyalahgunaan keadaan namun perjanjian standar tetap dubutuhkan oleh
masyarakat. Mengapa? Alasannya :
 Kelahiran perjanjian baku antara lain :
111

Merupakan akibat dari perubahan susunan masyarakat. Masyarakat


sekarang bukan lagi merupakan kumpulan individu tetapi merupakan
kumpulan dari sejumlah ikatan kerjasama (organisasi). Perjanjian baku
lazimnya dibuat oleh organisasi perusahaan (menurut F.A.J Gras)
 Latar belakang timbulnya perjanjian baku karena perubahan keadaan
sosial ekonomi masyarakat. Perusahaan besar, perusahaan semi
pemerintah atau perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam
suatu organisasi yang untuk kepentingannya mereka menentukan syarat-
syarat tertentu secara sepihak. Pihak lawan (waderpartij) yang pada
umumnya mempunyai kedudukan yang lemah karena ketidaktahuannya
hanya menerima apa yang disodorkan hanya menerima apa yang
disodorkan (menurut Pitlo).
 Tujuan pembuatan perjanjian standar ini adalah untuk menghemat biaya,
waktu, tenaga, prosedur dan penyederhanaannya.
Perjanjian baku biasanya dibuat dalam bentuk formulir dengan
bermacam-macam bentuk, ada yang panjang terdiri dari beberapa lembar
folio, ada yang hanya terdiri dari satu lembar folio dan ada pula yang lebih
kecil dari itu. Hurufnya dicetak kecil yang kadang-kadang diperlukan
kacamata untuk membacanya.
Pada asasnya bentuk sebuah perjanjian adalah bebas dan terikat pada
bentuk tertentu. Tetapi dalam prakteknya perjanjian baku tumbuh sebagai
perjanjian yang tertulis, dalam bentuk formulir.
Alasannya :
 Perbuatan-perbuatan hukum sejenis yang selalu terjadi secara berulang-
ulang dan teratur yang mengakibatkan banyak orang, menimbulkan
kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian tersebut terlebih dahulu
dan kemudian dibakukan dst, dicetak dalam jumlah banyak sehingga
mudah menyediakannya setiap saat jika masyarakat membutuhkan. Disini
terlihat sifat konfeksi/massal.
112

Perjanjian massal ini diperuntukan bagi setiap debitur yang melibatkan


perjanjian sejenis itu tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antara debitur
yang satu dengan yang lainnya
Sehubungan dengan sifat missal dan kolektif perjanjian baku VERA
BOLGER menamakannya sebagai “take it or leave it.” ANSON, menyatakan
pula bahwa :
“The standard form contract is the rule. He must either accept the terms
of this contract in toto or go without.”
Jika debitur menyetujui salah satu syarat-syaratnya, maka debitur hanya
mungkin bersikap menerima atau tidak menerima sama sekali; kemungkinan
untuk mengadakan perubahan “isi” sama sekali tidak ada.
F.A.J GRAS dalam penelitiannya selama 3 tahun terhadap perjanjian
baku melalui pendekatan sosiologi hukum menyimpulkan bahwa perjanjian ini
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat modern yang mempergunakan
“organisasi” dan “planning” sebagai pola hidup. Perjanjian ini isinya
direncanakan terlebih dahulu oleh pihak yang berkepentingan (pihak
penyusun) karena mereka mengharapkan agar apa yang dikehendakinya akan
menjadi kenyataan sehingga perjanjian baku ini tidak lain merupakan
rasionalisasi hubungan-hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat
modern.
Dengan menggunakan perjanjian baku ini pengusaha akan memperoleh
efisiensi waktu, tenaga dan biaya.
Dari gejala-gejala perjanjian baku yang terdapat di masyarakat , menurut
Mariam Darus perjanjian ini dapat dibedakan dalam empat jenis :
a) Perjanjian baku sepihak
b) Perjanjian baku timbal balik
c) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah
d) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notasi atau advokat
yang di dalam kepusatakan Belanda jenis keempat ini disebut contract
model.
113

Untuk materi ini kita haya membatasi perhatian hanya kepada perjanjian
baku sepihak (eenzijdige standaarddontract) saja. Perjanjian baku sepihak di
dalam keputusan Belanda dinamakan “perjanjian adhesi”. Contoh perjanjian
standar adalah tiket pengangkutan, formulir cuci cetak foto dan sebagainya.
Dari contoh formulir cetak foto terlihat adanya pengalian tanggung jawab
yang disebut dengan “klausula eksenorasi ’’ atau “ exennoratie clausul”.
Apakah klausula eksenorasi selalu dituangkan dalam perjanjian standar
atau dalam perjanjian standar memuat klausula eksenorasi? Klausula
eksenorasi selalu dituangkan dalam perjanjian standar tetapi tidak selalu
perjanjian standar memmuat klausula eksenorasi.
Dari contoh yang ada, dapat disimpulkan ciri-ciri perjanjian baku
sebagai berikut :
- Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya kuat.
- Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian.
- Terdorong oleh kebutuhan debitur terpaksa menerima perjanjian itu.
- Bentuk tertentu (tertulis).
- Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan kolektif.
Permasalahan dalam perjanjian standar :
1) Apakah dengan ciri-ciri perjanjian baku dapat dikatakan “perjanjian”
sebagaimana ditentukan dalam KUHPerdata (terutama apabila diikatkan
dengan Pasal 1320KUHPerdata)?
2) Apakah perjanjian standar dapat memungkinkan terjadinya
penyalahgunaan keadaan? (dihubungkan dengan ada tidaknya kata
sepakat)
“Sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah asas esensial dari
hukum perjanjian. Asas ini dinamakan asas konsensualisme yang menentukan
“adanya” (raison d’etre het beataanwaarde) perjanjian. Asas konsensualisme
yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti “kemauan”
(will) para pihak untuk saling berprestasi, adanya kamauan untuk saling
mengingatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen)
114

bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini bersumber pada nilai
norma.
Asas konsensualisem ini mempunyai hubungan erat dengan asas
kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas kekuatan mengikat yang
terdapat didalam Pasal 1338 KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak ini
berhubungan dengan kebebasan untuk menentukan :
- Isi perjanjian
- Dengan siapa perjanjian itu diadakan.
Meninjau masalah “ada” dan “kekuatan mengikatnya” perjanjian baku secara
teoritis yuridis, perjanjian ini tidak memenuhi elemen-elemen yang
dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata.
Pada dasarnya perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku
diadakan tidak memberikan kesepakatan pada debitur untuk mengadakan “real
bargaining” dengan pengusaha (kreditur), Bahwa didalam perjanjian baku
terjadi pelanggaran terhadap asas kebebasan kontrak. Tetapi ada beberapa ahli
hukum yang tidak memberiakn dukungan terhadap perjanjian baku ini yaitu :
1) SLUIJTER
Mengatakan perjanjian baku ini bukan perjanjian, sebab kedudukan
pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-
undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha didalam
perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian.
2) PITLO
Mengatakan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwangcontract).

Walaupun secara teoritis yuridis perjanajian baku ini tidak memenuhi


ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun
kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalan dengan arah yang berlawanan
dengan hukum. Apakah kebutuhan masyarakat harus menghindarkan diri
terhadap hukum? Untuk memecahkan masalah diatas ada beberapa sarjana
yang mengemukakan alasan untuk menerima perjanjian baku yang
115

motivasinya tidak lain untuk melayani kebutuhan masyarakat dan bukan


sebaliknya. Beberapa sarjana yang berpendapat menerima perjanjian baku:
1) STEIN
Bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian , berdasarkan fiksi
adanya kemauan dan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada
perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu berarti ia
secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut .
2) ASSER RUTTEN
“setiap orang yang mendatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi
dan apa yang ditandatanganinya .jika orang membubuhkan tanda tangan
pada suatu formulir perjanjian baku , tanda tangan itu membangkitkan
kepercayaan bahwa yang bertada tangan mengetaui dan menghendaki isi
formulir yang ditandatangani . tidak mungkin seseorang menda tangani apa
yang tidak diketahui sisnya”.
3) HONDIUS
Perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat , berdasrkan kebiasaan
yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.
Adanya yang dikemukakan oleh Stein , Asser dan Hondius sebagai alasan
untuk menerima perjanjian baku hukum berfungsi untuk melayani kebutuhan
masyarakat dan bukan sebaliknya .
Di Perancis, Salleiles adalah seorang pelopor atau di perancis yang
mempertahankan eksisensi perjanjian standar .bahwa perjanjian standar bukan
merupakan perjanjian biasa tetapi merupaka hubungan hukum (sui generis)
yaitu perjanjian yang lain dari pada yang lain sehingga tidak perlu lagi di
permasalahkan ada tindakannya kata sepakat. bagi penulis di Perancis
menganggep perjanjian standar bukan merupakan masalah segingga perjanjian
standar bisa diterima dalam lalu lintas hukum .
Pendapatan lain, di dalam perjanjian standar ada kata sepakatnya yakni
yang terdapat di dalam salah satu bagaiannya yaitu perjanjian pokok karena
disitu disebutkan ada para pihak dan ada kata sepakat. sedangkan syarat-syarat
umumnya (klausula eksonerasi) yang menentukan secara apiori adalah si
116

penyusun. dengan demikian di dalam syarat umumnya tidak terdapat di dalam


syarat umum tidak ada kata sepakat namun syarat nmumnya tidak berdiri
sendiri .

3. Penerapan perjanjian baku terhadap kontrak-kontrak


Sutan Ramy Sjahdenini mengenali sah tindaknya dan prokontra
perjanjian baku menyatakan : “Keabsahan berkaku perjanjian baku tidak perlu
lagi dipersolahkan oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan
kenyataan yaitu dengan telah dipekainya perjanjian kbaku secara meluas
dalam dunia disnis sejak lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan itu terbentuk
karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri.Dunia
bisnis tidak dapat berlangsung tanpa perjajian baku. Perjanjian baku
diperlukan oleh dan karena itu diterima oleh masyarakat .
R. Subekti menyatakan :
“Semua perikatan yang telah dibuat berdasarkan kesepakatan bersama
diantaran para pihak, yang sama-sama cakap bertindak ,mengenai suatu obyek
yang tertentu , berdasarkan atas causa yang halal adalah mengikat secara sah
bagi pihak -pihak yang bersangkutan sebagaimana layaknya suatu undangan –
undangan .”
Dengan diakuinya asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme
tersebut , berarti manusia diakui harkatnya sebagai subyek yang terhormat
yang dapat memelihara atau memegang teguh kata- kata atua janjianya
Pengaturan isi perjanjian tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak ,
akan tetapi perlu diawasi pemerintah seagai pengemang kepentingan individu
dan kepentingan masyarakat .melalui penerobosan hukum perjanjian oleh
pemerintah terjadi pergeseran hukum perjanjian ke bidang hukum publik .
melalui campur tangan pemerintah ini terjadi pemasyarakatan
(vermaatschappeljking) hukum perjanjian. Menurut Mariam Darus , hukum
perdata sebagai induk hukum perjanjian adalah hukum yang mengatur
kepentingan . Rumusan ini mendorong kita untuk membahas bagaimana
system hubungan individu dan masyarakat di mana hukum Perdata Nasional .
117

- Di Indonesia yang primar adalah masyarakat , individu terikat dalam


masyarakat , hukum bertujuan mencapai kepentingan individu yang
selaras , serasi dan seimbang dengan kepentingan masyarakat.
- Di brat yang primair adalah individu , individu terlepas dari masyarakat
hukum bertujuan untuk mencapai kepentingan individu.
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam
hukum perjanjian . kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendakan bebas,
pancaran hak asai manusia . Di dalam perjanjian nasional , asas kebebasan
berkontrak yang bertanggung jawab ini tetap perlu di pertahan kan . Dengan
asa ini sifat manusia yang universal dapat dipelihara yaitu “ pengembangan
kepribadaian“ untuk mencapai dan batin yang serasi , selaras dan
keseimbangan kepentingan masyarakat.
Permasalahan lain dalam Pejanjian Baku tersebut , apakah asas
konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak tersebut masih dipenuhi ?Isi
perjanjian baku yang sangat menonjol yang perlu mendapat perhatian khusus
adalah yang berkaitan dengan “pembatasan pertanggung jawaban” dari
kreditur. Dalam perpustakaan asing hal ini dinamakan “ exonnerasi klausule”
(Belanda ) atau “exempton clause ” (Inggris).
Menurut Johanes Gunawan,berhubung kontrak baku telah dirancang,
dibuat, ditetapkan, digandakan, serta disebarluaskan secara sepihak oleh salah
satu pihak, sedangkan pihak lainnya hanya menerima atau menolak (take or
leave it), tidak mengherankan bila kontrak baku acapkali mengandung
klausula baku (klausula eksonerasi) yang berisi ketentuan dan persyaratan
yang :
a. mengurangi atau menghapuskan tanggung jawab pembuat kontrak atas
akibat hukum tertentu, misalnya ganti rugi akibat wanprestasi.
b. membatasi atau menghapuskan kewajiban tertentu pembuat kontak.
c. menciptakan kewajiban tertentu yang kemudian dibebankan kepada pihak
lain, misalnya menciptakan kewajiban memberi ganti rugi kepada pihak
ketiga yang terbukti mengalami kerugian.
118

Di dalam perjanjian baku tersebut klausul dari perjanjian telah


ditetapkan sebelumnya secara sepihak oleh pihak yang satu yaitu pihak yang
umumnya dapat dikatakan sebagai pihak yang menentukan karena mempunyai
bargaining position yang jauh diatas pihak lainnya, baik dalam kedudukan
ekonomis maupun pengetahuan atau pengalaman yang menyangkut obyek
perjanjian, sedangkan pihak yang lema (adherent) tidak diajak merundingkan
persyaratan dari perjanjian tersebut. Malah pada umumnya pihak yang
lainnya tersebut sewaktu dibuatnya perjanjian tersebut tidak memahami sama
sekali klausul yang termuat dalam perjanjian baku tersebut selain karena
tidak/belum pernah membaca perjanjian tersebut, bahkan kadang-kadang
tidak ikut menandatangani perjanjian baku tersebut (misalnya perjanjian
Angkutan Penumpang Pesawat Udara).
Klausula baku yang merupakan klausula eksonerasi jelas telah
merugikan pihak penutup kontrak atau penerima penawaran, karena ia harus
bertanggung jawab atas akibat hukum tertentu dan memikul kewajiban
tertentu yang menurut hukum bukan merupakan tanggung jawab atau
kewajibannya. Pada banyak system hukum klausula baku misalnya di dalam
buku VI Pasal 236 dan 237 KUH Perdata Baru Negeri Belanda (Nieuw
Nederlands Burgerleijk Wetboek), yang mencantumkan daftar hitam dan
daftar abu-abu klausula baku yang berisi klausula eksonerasi.
Demikian pula dalam Pasal 18 UU No 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen yang telah melarang 8 macam klausula baku yang
berisi klausula eksonerasi. Selain itu Pasal 18 UU tersebut melarang klausula
yang letak, bentuk, maupun pengungkapannya tidak mudah dibaca, tidak jelas,
dan sukar dimengerti.
Kontrak baku yang dirancang, dibuat, ditetapkan, digandakan, serta
disebarluaskan secara sepihak oleh pembuat kontrak menyebabkan terjadinya
pelanggaran terhadap beberapa prinsip penting dalam hukum kontrak pada
umumnya, antara lain prinsip keseketikaan (contemporaneous) dan prinsip
tidak menyalahgunakan keadaan (undue influence) Prinsip keseketikaan
menyatakan bahwa para pihak dalam sebuah kontrak harus telah mengetahui
119

dan memahami ketentuan dan persyaratan dalam kontrak, sebelum atau


setidak-tidaknya pada saat kontrak ditutup oleh para pihak.
Berhubung kontrak baku ditutup oleh penutup kontrak secara cepat dan
massal (tiket pesawat dan parker), isi klausula baku dalam kontrak baku pada
umumnya hanya diketahui oleh perancang atau pembuat. Kondisi tersebut
menunjukan bahwa kontrak baku jelas melanggar atau bertentangan dengan
prinsip contemporaneous.
Selain itu , kontrak baku pada umumnya memanfaatkan undue influence
yaitu keadaan (kelemahan,keraguan, atau keadaan tertekan) pihak penutup
kontrak sehingga perilaku atau keputusan pihak tersebut berubah secara tidak
bebas demi keuntungan pihak pembuat kontrak. Misalnya dalam kontrak
kredit mobil baru menjelang hari raya, pada umumnya pembuat kontrak baku
memanfaatkan kehendak penutup kontrak yang kuat untuk segera memiliki
mobil dengan menyodorkan segala macam dokumen yang telah dibakukan
untuk segera ditandatangani oleh penutup kontrak. Adapun indikasi undue
influence dalam kontrak baku antara lain :
1. isi kontrak baku tidak masuk akal, tidak patut, bertentangan dengan
kemanusiaan (unfair contract term).
2. pihak penutup kontrak baku dalam keadaan tertekan.
3. pihak penutup kontrak baku tidak memiliki pilihan lain, kecuali menerima
isi kontrak baku walaupun dirasakan memberatkan.
4. hak dan kewajiban para pihak tidak seimbang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam perjanjian baku
kedudukan kreditur dan debitur tidak seimbang. Posisi monopoli pihak
kreditur membuka peluang luas baginya untuk menyalahgunakan
kedudukannya. Pengusaha hanya mengatur hak-haknya saja dan tidak
kewajibannya. Dari segi lain perjanjian baku hanya memuat sejumlah
kewajiban-kewajiban yang harus dipikul debitur.Di dalam Negara kita yang
berdasarkan Pancasila, perjanjian baku ini tidak boleh dibiarkan tumbuh
secara liar. Dua elemen yang menghimbau kita untuk menertibkan perjanjian
baku ini yaitu :
120

- Pelanggaran oleh kreditur terhadap asas kebebasan berkontrak yang


bertanggung jawab, di dalam hukum perjanjian.
- Mencegah agar kreditur, sebagai pihak yang kuat ekonominya tidak
mengeksploitasi debitur sebagai pihak yang lemah ekonominya.
Bagaimana langkah yang dapat diambil untuk mengatasi masalah-
masalah yang terdapat di dalam perjanjian baku di Indonesia. Menurut
Mariam Darus ada beberapa hal yang dapat ditempuh, yaitu :
1) Mengatur perjanjian baku dengan Undang-undang
2) Menciptakan hukum perjanjian baku melalui yurisprudensi tetap atas
klausul yang terdapat dalam perjanjian baku sehingga menjadi pedoman
bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3) Melalui pengawasan pemerintah dapat berupa aturan administratif yang
bersifat preventif. Misalnya seluruh perjanjian baku yang dipergunakan
sebelum diperlakukan terhadap masyarakat. Hendaknya ditempatkan
terlebih dahulu di dalam Berita Negara atau didaftarkan di instansi yang
berwenang.
BAB IV
PERKEMBANGAN DALAM HUKUM BENDA

C. URAIAN
1. Pendahuluan
Di dalam hukum perdata, benda lazimnya disebut sebagai objek hak
(zaak) yang berhadapan dengan subyek hak yaitu badan pribadi atau
(persoon). Hukum benda adalah hukum yang mengatur hubungan subjek
hukum dengan benda, yang menimbulkan hak kebendaan. Hukum benda
merupakan bagian dari Hukum harta kekayaan yang diatur dalam Buku II
KUH Perdata Pasal 499 sampai dengan Pasal 1232, meliputi pengertian benda
dan macam-macam benda serta pengertian hak kebendaan, macam-macam
hak kebendaan dan hukum waris.
Hukum benda yang termuat dalam Buku II BW adalah hukum yang
mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan benda, sedangkan hukum
perikatan yang termuat dalam Buku III BW (Pasal 1233 sampaii dengan Pasal
1864) adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang
dengan seseorang lain. Hubungan hukum antara orang dengan benda yang
diatur dalam pasal-pasal Buku II BW menimbulkan hak atas benda atau hak
kebendaan (zakelijk recht), yakni hak yang memberikan kekuasaan langsung
kepada seseorang yang berhak untuk menguasai sesuatu benda di dalam
tangan siapapun juga benda itu berada. Hak kebendaan tu bersifat mutlak yang
berarti bahwa hak seseorang atas benda itu dapat dipertahankan atau berlaku
terhadap siapapun juga dan setiap orang siapapun juga harus menghormatinya.
Jadi tidak setiap orang tidak boleh menganggu atau merintangi penggunaan da
penguasaan hak itu. Jadi pada zakelijk recht tetap ada hubungan yang
langsung antara orang yang berhak dengan benda bagaimanapun juga ada
campur tangan pihak lain (Wirjono Projodikoro, 1973: 13).
Hubungan hukum antara seseorang dengan seseorang yang diatur dalam
pasal-pasal buku III BW menimbulkan hak terhadap seseorang atau hak
60

perseorangan (Persoonlijk recht) yaitu hak yang memberikan kekuasaan


kepada seseorang yang berhak untuk menuntut seseorang tertentu yang lain
agar berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian hak
perseorangan bersifat relatif (nisbi) yang berarti bahwa hak perseorangan ini
hanya berlaku terhadap seseorang tertentu saja yang mempunyai hubungan
hukum. Maka pada persoonlijk recht ini senantiasa ada hubunga antara
seseorang dengan seseorang lain tertentu meskipun ada terlihat suatu benda
dalam hubungan hukum itu. Perbedaan lain antara hak kebendaan dengan hak
perseorangan juga berhubungan erat dengan soal penggugatan di muka hakim,
dimana gugatan harus didasarkan secara benar. Suatu gugatan yang
seyogyanya didasarkanpada perbuatan melanggar hukum jangan didasarkan
pada perjanjian. Hukum romawi mengaakan perbedaan gugatan menjadi dua
bagian besar yaitu actiones in rem yang dapat diajukan terhadap stiap orang
dan actiones in persoonam yang hanya dapat diajukan terhadap orang-orang
tertentu saja (Wirjono Projodikoro, 1973: 13-14).
Jumlah hak kebendaan adalah terbatas yakni terbatas pada apa yang
hanya disebut dalam Buku II BW saja, karenanya pasal-pasal yang termuat
dalam Buku II BW itu bersifat memaksa (dwingend recht) artinya tidak dapat
dikesampingkan. Oleh karena itu jumlah hak kebendaan terbatas dimana orang
tidak dapat menciptakan hak kebendaan yang lain daripada apa yang telah
ditentukan dalam Buku II BW itu dan peraturan mengenai hak kebendaan
yang termuat dalam Buku II itu bersifat memaksa, maka dikatakan hukum
benda itu menganut sistem tertutup. Sedangkan perikatan (Buku III BW) itu
menganut sistem terbuka.Hal ini berarti bahwa masyarakat diberi kebebsan
untuk membuat perjanjian yang berisi dan macam apapun asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

2. Pengertian dan Macam-macam Benda


Menurut Pasal 499 KUH Perdata,pengertian benda atau ”zaak” adalah
’segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik”. Yang dapat menjadi
objek hak milik dapat berupa barang dan dapat pula berupa hak, seperti hak
61

cipta, hak paten dan lain-lain. Ketentuan tersebut memberi gambaran bahwa
segala yang dapat dimiliki manusia itulah benda, dengan demikian yang tidak
dapat dimiliki contohnya laut, bulan, bintang dan sebagainya bukanlah benda.
Apabila melihat ketentuan Pasal 580, 511 BW ternyata zaak (benda) disini
bukan hanya barang berwujud saja tetapi juga meliputi bunga,perutangan dan
penagihan, hak pakai hasil, hak pakai atas kebendaan bergerak, andil, obligasi.
Hal ini menunjukkan bahwa zaak dalam arti bagian daripada harta kekayaan
(vermogens bestanddeel).
Di luar KUH Perdata/BW (Buku II) perkataan zaak dipakai dalam arti
yang lain lagi, jadi bukan berarti benda yaitu sebagai berikut :
a. Kepentingan (belang),Pasa; 1354 KUH Perdata/BW mengatur
mengenai pengurusan kepentingan orang lain (zaakwarneming).
Zaakwarneming ada jika orang dengan sukarela, tanpa mendapat
pesanan untuk itu, menyelenggarakan zaak seorang lain dengan atau
tanpa diketahui orang ini dan sebagainya.
b. Perbuatan hukum (Rechtshandeling), Pasal 1792 BW mengatur
mengenai pemberian kuasa (lastgeving). Pemberian kuasa adalah
suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada
seseorang lain dan orang ini menerimanya, untuk melakukan sesuatu
zaak (perbuatan hukum) bagi pemberi kuasa.
c. Kenyataan Hukum (Rechtsfeit), Pasal 1263 BW tentang perutangan
dngan syarat menunda ialah perutangan yang tergantung atas suatu
kejadian yang akan datang dan tidak pasti atau dari suatu zaak
(kenyataan hukum) yang sudah terjadi, tetapi belum diketahui oleh
para pihak (F.X Suhardana, 2001: 149).
Terjadi kerancuan dalam menggunakan istilah “zaak” dalam
KUHPerdata karena “zaak” dapat berarti benda berwujud atau dapat juga
berarti bagian dari harta kekayaan. Selain itu terdapat dua arti “zaak” adalah:
1) Di lapangan hukum kebendaan dengan dilakukannya penyerahan
benda maka pada umumnya dapat menjadi objek hak milik.
Misalnya kamar yang disewakan, jika dianggap bagian dari rumah
62

berarti bahwa bagian tersebut tidak dapat dilakukan penyerahan,


karena ditinjau dari sudut hukum benda merupakan bagian dari
eigendom (hak milik) atas rumah tersebut.
2) Ditinjau dari hukum kekayaan relatif yaitu hukum perikatan maka
“kamar” tersebut dijadikan objek sewa-menyewa, dengan
demikian kamar dianggap “zaak” dalam pengertian hukum
perikatan
Contoh lain : Kasus yang telah diputus oleh Hoge Raad (HR) 27 Mei
1910.
- Pagar disewa untuk reklame (iklan) uang sewa dibayar tiap bulan.
Sengketa dialihkan sebagai perjanjian sewa dan hal itu dianggap
sebagai perjanjian yang tidak sah. Alasannya untuk sahnya
perjanjian sewa, harus ada “zaak” yg dijadikan objek. Sesuai bunyi
pasal 1548 KUHPerdata maka sewa menyewa adalah suatu
perjanjian yang memberikan kenikmatan atas suatu “zaak”pada si
penyewa. Dalam kasus tersebut yang disewakan adalah luasnya,
bukan “zaak” sehingga perjanjian sewa menyewa tersebut oleh
keputusan Hoge Raad, dianggap tidak sah.
- Para ahli hukum keberatan terhadap keputusan tersebut dengan
berpendapat: luasnya pagar bukan zaak dalam pengertian Pasal 1548
KUHPerdata. Perjanjian tersebut tetap sah yaitu atas dasar Pasal
1338 KUHPerdata dan termasuk pada perjanjian innominat (tak
bernama)
Menurut sistem hukum perdata sebagaimana diatur dalam KUH Perdata
sebagaimana diatur dalam KUH Perdata dapat dibedakan tujuh macam benda
sebagi berikut :
a. Barang-barang yang berwujud (lichamelijk) dan barang-barang yang
tidak brwujud (onlichamelijk)
b. Barang-barang yang bergerak dan barang-barang yang tidak bergerak
c. Barang-barang yang dapat dipakai habis (verbruik baar) da barang-
barang yang tidak dapat dipakai habis (onverbruik baar)
63

d. Barang-barang yang sudah ada (legen woordige zaken) dan barang-


barang yang masih akan ada (toekomstige zaken)
e. Barang yang akan ada dibedakan :
- Barang-barang yang pada suatu saat sama sekali belum ada,
misalnya: panen yang akan datang.
- Barang-barang yang akan ada relatif yaitu barang-barang yang
pada saat itu sudah ada tetapi bagi orang-orang yang tertentu
belum ada, misalnya barang-barang yang sudah dibeli tetapi
belum diserahkan.
f. Barang-barang yang dalam perdagangan (zaaken in de handel) dan
barang-barang di luar perdagangan (zaken buiten de handel)
g. Barang-barang yang dapat dibagi dan barang-barang yang tidak
dapat dibagi (Sofwan, 1980: 19).
Dari pembagian-pembagian tersebut di atas yang paling penting ialah
pembedaan benda yang bergerak daan yang tidak bergerak, sebab pembagian
ini mempunyai akibat yang sangat penting dalam hukum. Akibat tersebut
berkaitan dengan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi masing-
masing jenis benda tersebut berkaitan dengan perbuatan sebagai berikut :
penyerahan (Levering), penyitaan (beslag), daluwarsa (Verjaaring),
pembebanan (bezwaring) dan bezit. Selain itu pembagian benda yang penting
lagi adalah benda terdaftar dan tidak terdaftar. Menurut Sri Sudewi
Mascjchoen (1980: 50 dan 53) menyatakan bahwa perbedaan benda bergerak
dan benda tetap juga mempunyai arti penting dalam lapangan hukum pajak,
yang membedakan pajak kekayaan atas benda bergerak dan benda tetap, pajak
pendapatan atas hasil penjualan benda bergerak dan penjualan benda tetap.
Contoh benda terdaftar misalnya kendaraan bermotor, tanah, kapal,
perusahaan, hak cipta, hak tanggungan, fidusia, telapon, dan lain-lain.
Sedangkan benda tidak terdaftar (benda tidak atas nama) adalah benda-benda
bergerak yang tidak sulit pembuktian pemilikannya karena berlaku asas ” yang
menguasai dianggap sebagai pemiliknya”, seperti alat-alat rumah tangga,
pakaian, perhiasan, hewan-hewan peliharaan dan lain-lain. Arti penting
64

pembedaan ini terletak pada pembuktian pemilikannya (untuk ketertiban


umum). Benda terdaftar dibuktikan dengan tanda pendaftaran atau sertifikat
atau nama pemiliknya (Abdulkadir Muhammad, 1990: 131).
KUH Perdata/BW tidak mengenal pembedaan antara benda terdaftar dan
tidak terdaftar tetapi BW baru (NBW) mengenalnya. Benda terdaftar ada yang
atas nama dan ada yang tidak atas nama. Sebaliknya benda atas nama yang
terdaftar dan ada yang tidak terdaftar. Benda terdaftar dan atas nama ialah
benda yang dibuktikan dengan tanda pendaftaran atas sertifikat atas nama
pemiliknya misalnya tanah, rumah, hak cipta dan lain-lain. Sedangkan benda
terdaftar tidak atas nama, misalnya hak tanggungan, fidusia dan lain-lain,
dibukukan dengan suatu akta.
Pembagian benda yang terdaftar dan tidak terdaftar dikenal beberapa
waktu kemudian setelah BW dikodifikasikan dan diberlakukan. Benda-benda
yang harus didaftarkan diatur dalam pelbagi macam peraturan yang terpisah-
pisah seperti peraturan tentang pendaftaran tanah, peraturan tentang
pendaftaran kapal, peraturan tentang pendaftaran kendaraaan bermotor dan
lain sebagainya. Adanya peraturan-peraturan hukum tersebut untuk lebih
menjamin adanya kepastian hukum dan kepastian hak atas benda-benda yang
didaftarkan tersebut, juga mempunyai kaitan erat dengan usaha pemerintah
untuk memperoleh pendapatan yaitu dengan melakukan pungutan-pungutan
wajib seperti pajak, iuran dan sebagainya terhadap pemilik-pemilik atau
pemakai-pemakai benda yang didaftarkan (Riduan Syahrani, 2000: 124).

3. Perkembangan Hukum Benda


Materi yang diatur dalam Buku II Tentang Benda, Hukum Benda dan
Hukum Waris. Pasal 528 KUHPerdata mengatur hak waris identik dengan
hak kebendaan. Sedangkan Pasal 584 KUHPerdata/BW menyatakan bahwa
“waris” adalah salah satu cara memperoleh hak kebendaan
Berlakunya UUPA serta akibatnya terhadap Hukum Pertanahan Nasional dan
Buku II BW
65

Menurut UUPA, Hukum Agraria adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan


hukum yang mengatur hubungan hukum dengan bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya Dictum UUPA mencabut
Buku II KUHPerdata Tentang Benda sepanjang yg mengatur mengenai bumi,
air serta kekayaan alam yg terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-
ketentuan mengenai hipotik.
Akibat terhadap Buku II KUHPerdata tentang benda menurut Sri
Soedewi yaitu :
a. Ada pasal-pasal yg masih berlaku penuh yaitu Hukum Waris
b. Ada pasal-pasal yang tidak berlaku yaitu yang mengatur mengenai bumi,
air serta kekayaan yg terkandung di dalamnya
c. Ada pasal-pasal yg masih berlaku yaitu hipotik tetapi tidak penuh
Berlakunya UU Hak Tanggungan (UUHT) atas Hukum Pertahanan Nasional
dan akibat-akibatnya terhadap Buku II KUHPerdata
Adanya UUHT No.4 Tahun 1996 merupakan realisasi Pasal 51 UUPA. Hak
Tanggungan dapat dibebankan pada:
- Hak Milik → Pasal 25 UUPA
- Hak Guna Usaha → Pasal 36 UUPA
- Hak Guna Bangunan → Pasal 39 UUPA
Pasal 57 UUPA sebelum berlaku UUHT, tetap berlaku ketentuan Hipotik dan
Creditverband. Sedangkan Staablad 1908 – 542 diubah Staablad 1937 – 190.
Dengan berlakunya UUHT berarti telah tercipta unifikasi penentuan tentang
jaminan.

4. Macam-macam Hak Kebendaan


a. Hak-hak kebendaan yang memberi kenikmatan
1) Hak Milik
Pengertian hak milik terdapat di dalam Pasal 570 KUHPerdata
sebagai berikut : ”Hak milik adalah hak untuk menikmati benda itu
dengan sebebas-bebasnya, asal tidak bertentangan dengan undang-
undang atau peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang
66

mempunyai wewenang untuk itu dan asal tidak mengganggu hak orang
lain, kesemuanya dengan tidak mengurangi kemungkinan akan
pencabutan hak milik untuk kepentingan umum dengan pembayaran
pengganti kerugian yang layak dan menurut ketentuan undang-undang.
Dengan hak milik meru[akan hak yang paling utama jika dibandingakan
dengan hak yang lain. Pengertian hak milik dalam Pasal 570 KUH
Perdata ini hanya berlaku untuk benda bergerak, karena hak milik atas
barang tak bergerak berupa tanah dan segala sesuatu yang melekat pada
tanah itu telah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria No 5 Tahun
1960 (Djaja S Meliala, 2007: 29).
Di dalam sejarahnya hak milik adalah hak yang tak dapat diganggu
gugat (doir inviolable et sacre), akan tetapi dalam perkembangannya
sifat tak dapat diganggu gugat tidak dapat dipertahankan karena ada
beberapa pembatasan hukum misalnya oleh hukum administrasi negara,
hukum tetangga, tidak boleh menimbulkan gangguan bagi orang lain,
tidak boleh melakukan penyalahgunaan hak (misbruik van recht),
pelanggaran terhadap hal-hak tersebut dapat dikenai sanksi.
Pasal 571 KUH Perdata dan Pasal 574 KUHPerdata memberikan
lagi dua hak kepada pemilik suatu benda yaitu :
- Untuk benda berupa tanah, hak untuk memanfaatkan tanah
tersebut secara vertikal, yaitu untuk memperoleh hak atas
tanaman atau bangunann di atasnya serta untuk memperoleh
harta karun yang terletak di bawah tanah tersebut.
- Hak milik dipertahankan dalam kedudukannya sebagai pemilik,
dalam hal benda tersebut lepas dari penguasaannya (hak
revindicatie).
Pasal 584 KUH Perdata mengatur 5 (lima) cara untuk memperoleh hak
milik atas benda yaitu pemilikan/pendakuan, perlekatan, lampau
waktu/daluwarsa, pewarisan dan penyerahan/levering. Sifat memperoleh
hak milik dapat dilakukan secara originair (occupatio) dan derivatief
(traditio). Mengenai hapusnya hak milik dapat terjadi karena :
67

- Orang lain memperoleh hak milik itu dengan salah satu cara
untuk memperoleh hak milik.
- Musnahnya benda
- Pemilik melepaskan haknya atas benda tersebut.
2) Bezit
Menurut pasal 529 KUH Perdata yang dimaksud dengann bezit
adalah kedudukan berkuasa ialah kedudukan seseorang yang menguasai
suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri maupun dengan perantaraan
orang lain dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang
yang memiliki kebendaan itu. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan
bahwa bezit adalah kewenangan untuk mempertahankan atau menikmati
benda yang dikuasainya sebagaimana layaknya seorang pemilik. Dengan
demikian atas suatu benda yang tidak diketahui pemiliknya secara pasti,
seorang pemegang kedudukan berkuasa dapat dianggap sebagai pemilik
dari kebendaan tersebut (Djuhaendah Hasan, 1996: 62).
Terhadap benda bergerak berwujud berlaku asas sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1977 (1) KUH Perdata : ”pemegang benda
bergerak adalah pemilik dari benda itu”. Sedangkan untuk benda tidak
bergerak hanya mengakui pihak yang namanya terdaftar dalam daftar
pemegang hak sajalah yang merupakan pemilik dari benda tidak
bergerak tersebut.
Syarat adanya bezit yaitu harus ada hubungan antara orang yang
bersangkutan dengan bendanya (corpus) dan hubungan itu harus
dikehendaki oleh orang tersebut (animus). Selain itu bezit mempunyai
dua fungsi yaitu polisionil dan zakenrechtelijk.
3) Hak Memungut Hasil dan Hak Pakai
Hak memungut hasil adalah hak kebendaan yang mengambil hasil dari
barang milik orang lain seakan-akan ia sendiri pemiliknya dengan
kewajiban memelihara barang tersebut sebaik-baiknya (Pasal 756 KUH
Perdata). Hak memungut hasil dapat diperoleh karena undang-undang
68

maupun karena kehendak pemilik (Pasal 759 KUH Perdata).Hapusnya


hak memungut hasil ditentukan dalam Pasal 807 KUH Perdata.
Mengenai hak pakai, Pasal 818 KUH Perdata menentukan hak
pakai dan hak mendiami diperoleh dan berakhir dengan cara yang sama
seperti hak pakai hasil. Hak pakai dibedakan antara barang bergerak dan
barang tak bergerak. Hak pakai barang bergerak diatur dalam Buku II
KUHPerdata sedangkan hak pakai barang tak bergerak diatur dalam UU
Pokok Agraria yaitu UU No 5 Tahun 1960 (Pasal 41-43).
b. Hak Kebendaan yang Memberikan Jaminan
Menurut Pasal 1131 KUH Perdata, maka yang dimaksud dengan
jaminan adalah meliputi seluruh kekayaan debitur baik yang sudah ada
maupun yang akan ada di kemudian hari sehingga tanpa harus
diperjanjikan secara khusus benda-benda tersebut sudah menjadi jaminan
bagi seluruh utang-utang debitur. Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata
menentukan barang-barang itu menjadi jaminan khusus bagi semua
kreditur terhadapnya; hasil pnjualan barang-barang itu dibagi menurut
perbandingan piutang masing-masing kecuali diantara para kreditur itu ada
alasan-alasan sah untuk didahulukan.
Dari kedua ketentuan ini dapat diketahui bahwa ada dua macam
jaminan yaitu jaminan yang ditentukan oleh undang-undang disebut
jaminan umum dan jaminan yang timbul karena perjanjian disebut jaminan
khusus. Jaminan khusus dapat dibedakan lagi menjadi jaminan kebendaan
dan jaminan perorangan.
Jaminan kebendaan meliputi gadai, hipotik, hak tanggungan dan
fidusia. Sedangkan jaminan perorangan meliputi perjanjian penanggungan
(Pasal 1820 KUHPerdata), perjanjian tanggung menanggung (Pasal 1278
KUHPerdata), perjanjian garansi ({asal 1316 KUH Perdata).
1) Gadai
Diatur dalam Pasal Buku II KUH Perdata Pasal 1150-Pasal 1160.
Pasal 1150 KUH Perdata menyebutkan pengertian gadai adalah suatu
hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang
69

diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya sebagai jaminan


atas hutangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk
mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului
kreditur-kreditur lain , dengan pengecualian biaya penjualan sebagai
pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau
penguasaan dan biaya penyelematan barang itu yang dikeluarkan
setelah barang itu digadaikan, dan yang harus didahulukan.
Dari ketentuan Pasal 1150 KUHPerdata maka terlihat bahwa
pihak yang terlibat dalam perjanjian gadai terdiri dari dua pihak yaitu
pemberi gadai (debitur) dan pemegang gadai (kreditur). Jika barang
gadai dipegang oleh pihak ketiga maka ia disebut pihak III- pemegang
gadai. Obyek gadai adalah barang bergerak baik yang berwujud
maupun tidak berwujud dan bisa dipindahtangankan.
Perjanjian gadai ini pada hakekatnya merupakan perjanjian
asesoir artinya merupakan perjanjian tambahan terhadap perjanjian
pokok yaitu perjanjian pinjam meminjam uang. Selanjutnya perjanjian
gadai tidak sah jika benda gadai tetap di tangan si penerima gadai ini
berarti bahwa benda gadai keluar dari kekuasaan si pemberi gadai dan
harus berada d tangan si peneriman (pemegang) gadai atau pihak
ketiga yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Hukum adat juga mengenal perjanjian gadai, namun berbeda
dengan gadai dalam KUH Perdata. Gadai dalam hukum adat bukan
merupakan perjanjian asesoir tetapi perjanjian yang berdiri sendiri.
Ciri-ciri gadai dalam hukum adat adalah :
- Hak menebus tidak mungkin daluwarsa
- Penerima gadai dapat mengulanggadaikan benda gadai (benda
gadai ada di tangan pemegang gadai).
- Benda gadai tidak dapat secara otomatis menjadi milik si
pemegang gadai
- Apabila gadai tidak ditebus maka untuk dapat memilikinya
diperlukan suatu transaksi yang baru (J S Meliala, 2007: 44).
70

Untuk tanah pertanian terdapat ketentuan Pasal 7 Perpu No


56/1960 yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang
pada waktu mulau berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7
(tujuh) tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada
pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai
dipanen, dengan tiada hak untut menuntut pembayaran
uang tebusan.
(2) Mengenai hak gadai yang mulai berlakunya peraturan ini belum
berlangsung 7 (tujuh) tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk
memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada
selesai dipanen dengan membayar uang tebusan yang besarnya
dihitung menurut rumus: .... dan seterusnya,
Bagaimana dengan gadai dalam perum pegadaian ? Menurut Pasal 8
PP No 103 Tahun 2000 tentang Perum Pegadaian. Gadai dalam Perum
Pegadaian ini mempunyai sifat yang berbeda dengan gadai menurut
KUH Perdata. Pihak Perum Pegadaian dapat menderita kerugian pada
waktu eksekusi, karena tanggung jawab debitur disana hanyalah
sebesar barang gadainya saja. Debitur tidak dapat dipaksa untuk
membayar jumlah yang disebut dalam surat hutang, tetapi ia berhak
untuk menebusnya. Harta benda debitur yang lain tidak dapat diambil
untuk pelunasan hutang gadai di rumah gadai.
Hak gadai merupakan hak kebendaan sehingga hak gadai tetap
akan ada meskipun kepemilikan atas benda itu jatuh ke tangan orang
misalnya karena pewarisan. Jika seorang pemegang gadai kehilangan
benda gadai itu maka is berhak menuntut kembali benda itu dari
tangan siapapun benda itu berada sebelum tenggang waktu 3 (tiga)
tahun. Hak menuntut ini terdapat dalam Pasal 1977 ayat (2) KUH
Perdata (J Satrio, 1991: 108).
2) Hipotek
71

Hipotek menurut Pasal 1162 KUH Perdata merupakan hak


kebendaan atas barang tak bergerak milik debitur yang dipakai sebagai
jaminan. Hipotek diatur dalam Buku II KUH Perdata Bab XXI.
Hipotek ini sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 29 KUH Perdata
UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, sehingga sekarang
hipotek yang ada hanya untuk :
- Kapal-kapal isi kotor 20 m3 dan terdaftar (Pasal 314 KUHD)jo
Pasal 49 UU Pelayaran (UU No 21 Tahun 1992).
- Pesawat terbang dan helikopter
Memasang hipotek atau kuasa memasang hipotek harus dilakukan
dengan akta notaris. Pasal 1168 KUH Perdata menentukann bahwa
hipotek hanya dapat dilakukan oleh pemilik barang (asas nemo plus
yuris). Jaminan hipotek hanya berisi hak untuk pelunasan utang saja
dan tidak mengandung hak untuk menguasai atau memiliki benda
namun dapat m memperjanjikan menjual atas kekuasaan sendiri
barang tersebut jika debitur wanprestasi (Pasal 1178 ayat (1) dan (2)
KUHPerdata.
3) Hak Tanggungan
Pengertian hak tanggungan menurut UU No 4 Tahun 1996 diatur
dalam Pasal 1 butir 1 yang menyatakan bahwa hak tanggungan adalah
hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lain.
Obyek hak tanggungan yang disebutkan dalam Pasal 4 jo Pasal
27 UU Hak Tanggungan yaitu :
a. Yang ditunjuk oleh UUPA sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) huruh
a,b,c, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA
72

yaitu hak atas tanah yang terdapatdalam UUPA yakni hak milik,
hak guna usaha dan hak guna bangunan.
b. Yang ditunjuk oleh UU No 16 Tahun 1985 tentang rumah susun
yaitu :
- Rumah susun yang berdiri di atas tanah hak milik, hak gunan
bangunan dan hak pakai dan yang diberikan oleh negara, dan
- Hak milik atas satuan rumah susun yang bengunannya berdiri di
atas tanah hak-hak yang disebut di atas.
c. Yang ditunjuk oleh UU Hak Tanggungan (Pasal 4 ayat (2)
d. Hak pakai atas tanah hak milik yang akan diatur kemudian dengan
peraturan pemerintah (Pasal 4 ayat (3) UUHT)
Disamping itu objek hak tanggungan tidak hanya tanahnya saja tetapi
dapat juga berikut dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanah
seperti yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat 4 UU Hak Tanggungan
berikut penjelasannya yang menyatakanbahwa objek hak tanggungan
adalah hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang
telah ada atau yang akan ada yang merupakan milik pemegang hak atas
tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Hak tanggungan ini
juga dapat dibebankan terhadap hak pakai atas tanah negara yang
menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut
sifatnya dapat dipindahtangankan. (Pasal 4 ayat 7 UUHT).
Apabila debitue cedera janji, pemegang hak tanggungan pertama
mempunyai hak untul menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambilpelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Selanjutnya ekskusi hak
tanggungan diatur dalam Pasal 20 dan 21 UUHT.
Mengenai hapusnya hak tanggungan diatur dalam Pasal 18
UUHT sebagai berikut :
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan.
b. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan.
73

c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan Ketua


Pengadilan Negeri.
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.
4) Fidusia
Fidusia atau fiduciare Overdracht (FEO) ialah jaminan hak
milik berdasarkan kepercayaan yang merupakan suatu bentuk jaminan
atas benda bergerak disamping gadai yang lahir dari yurisprudensi
yang sekarang telah diatur dalam UU No 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia. Jaminan fidusia ini timbul dalam praktek berkenaan
dengan adanya ketentuan Pasal 1152 (2) KUH Perdata tentang Gadai
yang mensyaratkan bahwa kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak
boleh berada pada pihak debitur. Ketentuan ini mengakibatkan si
debitur tidak dapat mempergunakan benda yang dijaminkannya untuk
keperluan usahanya. Dengan demikian dalam fidusia, yang diserahkan
adalah hak milik atas benda jaminan sedangkan benda jaminan tetap
dikuasai oleh debitur dan penyerahab seperti ini namanya
(Constitutum Possesorium) (Djaja Meliala S. 200760).
Selanjutnya UU No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Pemukiman, yang menetapkan bahwa pemilik bangunan yang bukan
pemilik hak atas tanah, dapat menjaminkan bangunan dengan fidusia
(Pasal 15 ayat 1 jo ayat 2a). Sebelumnya untuk rumah susun atau
apartemen dapat dibebani fidusia jika tanahnya hak pakai atas tanah
negara, namun sekarang hak pakai ini tlah menjadi obyek hak
tanggungan. UUHT tidak menyatakan mencabut fidusia dalam UU
Perumahan dan Pemukinan sebagaimana halnya mencabut fidusia
dalam UU Rumah Susun.
UU No 42 tahun 1999 kuhusnya Pasal 1. menyebutkan sebagai
berikut Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas
dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik
benda. Pasal 1 ayat (2) UU No 42 Tahun 1999 menyatakan ”Jaminan
74

fidusia adalah jaminan benda bergerak baik yang berwujud maupun


yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan
yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam UU No 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada
dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
hutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepeda
penerima fidusia terhadap kreditur lainnya”.
Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 3 UUJF mennyatakan
bahwa bangunan di atas tanah hak milik orang lain yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan dapat dijadikan jaminan fidusia.
Pertanyaannya adalah benda tidak bergerak dan bangunan yang mana
yang tidak dapat dijadikan obyek hak tanggungan ? Ada dua hal yang
perlu diperhatikan yaitu terhadap : (Djaja S. Meliala, 2007: 64-66)
a) Bangunan di atas tanah milik orang lain
b) Tanah-tanah yang belum bersertifikat
Ad 1.
Undang-undang Pokok Agraria menganut asas Horizontale Schelding
(asas pemisahan horisontal) sehingga dapat terjadi bahwa pemilik
tanah belum tentu (bukan) menjadi pemilik bangunan yang ada di
atasnya. Bagi seorang pemilik tanah yang bukan pemilik bangunan
yang ada di atasnya, dapat mengagunkan tanah tersebut dengan hak
tanggungan supaya tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Sebaliknya bagaimana dengan pemilik bangunan yang bukan pemilik
tanah yang berada di bawahnya ? UUHT tidak mengaturnya tetapi
sebelumnya UU No 4 Tahun 1999 tentang Perumahan dan Pemukinan
(Pasal 15 ayat 1) telah menetapkan bahwa pemilik bangunan yang
bukan pemilik hak atas tanah dapat menjaminkan bangunan tersebut
dengan lembaga jaminan fidusia.
Ad. 2
Mengenai tanah adat yang belum ada sertifikatnya, Penjelasan Uumum
butir 5 UUHT untuk tanah-tanah adat yang belum ada sertifikatnya
75

(belum terdaftar) yang bukti pemilikannya baru Letter C dan lain-lain,


tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan. Oleh karena itu ada
pendapat bahwa terhadap tanah yang belum bersertifikat dapat
dibebani fidusia. Pendapat ini sejalan dengan jurisprudensi Mahkamah
Agung No 3216/K/Perd/1984. Kemudian juga searah dengan
Penjelasan Pasal 8 UU No 10/1998 tentang Perubahan Atas UU No 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, yang antara lain menyatakanbahwa
tanah yang kepemilikannya didasarkan kepada hukum adat yaitu tanah
yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk dll yang sejenis dapat
digunakan sebagai agunan.
Namun demikian dalam menyalurkan kredit bank harus menganut
prinsip kehati-hatian. Sementara itu di lain pihak ada pendapat lain
yang menolak untuk menerima lembaga fidusia dipergunakan sebagai
jaminan atas tanah yang belum bersertifikat karena bentuk ini tidak
sesuai dengan sistem yang ada. Fidusia hanya dapat dipergunakan
untuk barang bergerak saja. Hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran
adanya ketidakpastian hukum. Apabila debitur cidera janji, obyek
jaminan fidusia tidak dapat dieksekusi baik secara parate eksekusi
maupun dengan titek eksekutorial karena tidak mempunyai sertifikat
jaminan. Namun demikian ada pula bank yang memberikan kredit
dengan hak jaminan fidusia terhadap tanah yang belum terdaftar.
Tetapi tindakan ini dilakukan sebelum berlakunya UUJF karena
dengan berlakunya UU No 42 tahun 1999, jaminan fidusia tidak dapat
dibebankan terhadap tanah-tanah yang belum bersertifikat.
Sebenarnya persoalan obyek fidusia mengenai tanah belum terdaftar
telah mendapat jawaban dalam UUHT yankni dengan menggunakan
Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan (SKMHT) yang diikuti
dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat-
lambatnya tiga bulan setelah diberikan (Tan kamelo, 2006: 125).

5. Penyerahan (Lavering)
76

Penyerahan adalah cara memperoleh hak milik yang penting dan paling
sering dilakukan dalam masyarakat. Hak milik atas benda dapat diperoleh
melalui penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan
hak milik dan dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap
kebendaan itu. Dengan demikian ada 2 (dua) syarat untuk memperoleh hak
milik berdasarkan penyerahan (Kartini Mulyadi & Gunawan Widjaja, 2004:
78) yaitu :
a. Adanya peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik misalnya
jual beli, tukar menukar, hibah dan lain-lain.
b. Dilakukannya penyerahan itu sendiri oleh seorang yang berhak untuk
berbuat bebas terhadap kebendaan yang akan dialihkan tersebut.
Dalam hubungannya dengan Pasal 584 KUHPerdata maka hanya
seorang pemilik sajalah yang dapat mengalihkan hak milik atas suatu benda,
Ketentuan ini adalah merupakan pelaksanaan dari suatu asas hukum yang
disebut asas Nemoplus Yuris yang berarti seseorang hanya boleh mengalihkan
aoa yang menjadi haknya dan tidak boleh melebihi apa yang menjadi haknya.
Ketentuan tentang penyerahan(levering) ini diatur dalam Pasal 612,613,616
KUHPerdata). Penyerahan benda bergerak yang berwujud dilakukan dengan
penyerahan nyata (feitelijke levering) yaitu penyerahan dari tangan ke tangan
tetapi ada kalanya penyerahan itu yakni tidak perlu dilakukan yakni dalam hal
Pasal 612 ayat (2) KUH Perdata yaitu : (Kartini Mulyadi & Gunawan
Widjaja, 2004: 185)
a. Penyerahan dalam bentuk traditio brevi manu yang berarti
penyerahan tangan pendek. Misalnya seorang penyewa yang telah
menguasai kebendaan yang diperjualbelikan kemudian membeli
kebendaan yang semula disewa olehnya tersebut. Oleh karenanya
penyerahan fisik sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 612 ayat (1)
KUH Perdata tidak lagi diperlukan.
b. Penyerahan dalam bentuk traditio longa manu atau penyerahan
secara tangan panjang. Dalam hal ini kebendaan yang
diperjualbelikan berada di tangan seorang pihak ketiga yang dengan
77

tercapainya kesepakatan mengenai kebendaan yang dijual itu akan


menyerahkannya kepada pembeli. Jadi dalam hal ini penyerahan
tidak dilakukan sendiri oleh penjual melainkan oleh pihak ketiga
yang pada umumnya adalah orang yang ditunjuk dan dipercaya oleh
pembeli maupun penjual secara bersama-sama.
c. Penyerahan dengan constitutum possessorium atau penyerahan
dengan tetap menguasai kebendaan yang dijual. Hal ini dapat terjadi
misalnya A menjual kebendaan tertentu berupa mobil kepada B
tetapi mobil tersebut tidak diserahkan oleh A kepada B karena A
kemudian menyewa mobil dati B.
Sedangkan untuk penyerahan benda bergerak tak berwujud diatur dalam Pasal
613 KUH Perdata.
Hukum perlu memastikan kapan saat berpindahnya kepemilikan dari
suatu benda objek perjanjian. Jika misalnya terjadi perjanjian jual beli atas
suatu benda kapankah kepemilikan atas benda objek jual beli tersebut
berpindah dari pihak penjual ke pihak pembeli. KUH Perdata Indonesia
memberlakukan sistem kontrak sebagai perjanjian obligatoir yaitu suatu
oerjanjian yang ketika selesai perjanjian dibuat belum menyebabkan
perpindahan hak milik atas benda objek perjanjian. Jadi baru sebatas adanya
hak dan kewajiban saja. Agar suatu hak milik berpindah dari pihak yang satu
ke pihak yang lain dalam perjanjian tersebut masih memerlukan perjanjian
lain yang disebut dengan ”perjanjian riil”. Perjanjian riil inilah yang disebut
sebagai ”penyerahan” hak atau dalam bahasa belanda dinamakan ”lavering”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KUH Perdata memisahkan antara
perjanjian obligatoir dengan penyerahan hak atas objek perjanjian maka tidak
tepat asas yang terdapat dalam Pasal 1460 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa risiko dari suatu jual beli ada pada pihak pembeli. Mestinya jika
perjanjian obligatoir belum memindahkan hak milik sebelum penyerahan
maka setelah perjanjian jual beli dilakukan, risiko masih di tangan penjual
karena kepemilikan benda masih di tangan penjual. Risiko baru berpindah ke
tangan pembeli setelah berpindahnya kepemilikan benda ke tangan pembeli
78

yakni setelah adanya penyerahan. Kesalahan juga terjadi dalam Pasal 1471
KUH Perdata yang menyatakan bahwa jual beli barang orang lain adalah batal
dan dapat memberikan dasar untuk penggantian biaya, kerugian dan bunga
jika si pembeli tidak telah mengetahui bahwa barang-barang itu kepunyaan
orang lain. Perjanjian jual beli atas benda yang masih milik orang lain
seyoguanya tidak perlu dilarang karena sifat perjanjian menurut KUH Perdata
hanya obligatoir saja yakni dengan perjanjian tersebut baru menimbulkan hak
dan kewajiban dan belum memindahkan hak milik, karenanya yang penting
adalah pada waktu dilakukan penyerahan benda hak milik sudah harus
menjadii milik penjual (Munir Fuady, 2005: 176).
Jika dalam sistem KUH Perdata mengenal dua tahap dalam suatu
transaksi yakni tahap perjanjian obligatoir dan tahap penyerahan,
bagaimanakah hubungan antara kedua tahap tersebut jika misalnya perjanjian
obligatoirnya tidak sah atau batal, apakah penyerahan hak juga ikut batal.
Untuk itu dalam ilmu hukum dikenal dua teori sebagai berikut :
a) Teori Kausal
Dalam teori kausal bahwa titel kepemilikan atas benda baru sah jika
dilakukan oleh pemilik yang sah dan dilakukan secara sah pula. Dengan
demikian sahnya kepemilikan bergantung pada sahnya penyerahan benda,
sahnya penyerahan benda bergantung pada sahnya perjanjian obligatoir.
Jadi antara perjanjian obligatoir dan perjanjian riil (penyerahan)
mempunyai hubungan keabsahan. Hubungan antara keduanya merupakan
hubungan sebab akibat maka konsekuensinya kalau sebabnya tidak sah
maka akibat yang muncul juga tidak sah. Hal itu berarti bahwa menurut
teori kausal agar penyerahan menjadikan yang menerima penyerahan
sebagai pemilik dari benda yang diserahkan kepadanya maka rechtitelnya
harus sah. Kalau hubungan hukum yang menjadi dasar penyerahan tidak
sah sehingga batal atau dibatalkan maka penyerahan yang dilakukan
sebagai pelaksanaan rechtitel adalah juga tidak sah sehingga penyerahan
itu tidak berhasil menjadikan yang menerima penyerahan sebagai pemilik.
Contoh :
79

A menjual sepeda motor merk Honda dan telah menyerahkannya


kepada B, kemudian ternyata bahwa jual beli itu batal/dibatalkan
(rechtstitelnya). Maka menurut teori kausal maka penyerahan sepeda
motor dari A kepada B tidak menjadikan B sebagai pemilik sepeda
motor tersebut. Jadi walaupun sepeda motor sudah di tangan B tetapi
hak miliknya masih ada pada A.
Dalam contoh tersebut rechtstitelya adalah perjanjian jual beli, karena jual
belinya batal maka pembayaran dari pembeli (B) kepada penjual (A) atas
dasar jual beli tersebut merupakan pembayaran yang tidak terhutang. Atas
dasar Pasal 1359 KUHPerdata pembeli berhak untuk menuntutnya kembali
sebagai pembayaran tak terhutang dari A. Untuk teori ini jika dipraktekan
dalam bidang perdagangan sangat tidak praktis karena harus menyelidiki
terlebih dahulu keabsahan title kepemilikan dan keabsahan perjanjian
obligatoirnya.Karena itu muncullah Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata yang
menyatakan :
”Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang
tidak harus dibayar kepada si pembawa,maka barang siapa yang
menguasainya dianggap sebagai pemiliknya”.
Ketentuan Pasal 1977 (1) KUH Perdata haruslah dianggap sebagai
kekecualian dari ketentuan yang berlaku umum bahwa titel kepemilikan
atas benda bergantung dari keabsahan peralihan benda tersebut. Menurut
Pasal 1977 (1) KUH Perdata tersebut siapapun yang menguasai benda
bergerak meskipun diperoleh secara tidak sah atau diperoleh dari orang
yang tidak sah, orang yang menguasai benda bergerak tersebut tetap
dianggap memiliki benda tersebut secara sah sehingga dapat dengan sah
menjualnya atau mengalihkannya kepada pihak lain
b) Teori Abstrak
Menurut teori abstrak, keabsahan kepemilikan benda tidak bergantung dari
keabsahan transaksi obligatornya. Jadi bisa saja jika perjanjian
obligatornya tidak sah, tetapi jika dilakukan penyerahan benda secara sah.
Titel kepemilikan atas benda tersebut sudah sah. Teori abstrak lebih
80

menonjol peranannya kalau telah terjadi serangkaian transaksi, sebelum


diketahui, bahwa ada transaksi awal yang mengandung cacad dan
karenanya dibatalkan.
Misalnya A menjual kepada B, B menjual kepada C dan C menjual lagi
kepada D. Kalau transaksi antara A dan B cacad dan dibatalkan maka
menurut teori kausal hak milik atas objek jual beli masih ada pada A da A
berhak umtuk merevindikasinya dari tangan pemegang yang terakhir yaitu
B. Sedangkan dalam teori abstrak, hak milik atas objek jual beli tetap ada
pada D. Hak tuntut A hanya bisa ditujukan kepada B.
Kesimpulannya pada peristiwa dimana rechtstitel penyerahannya ,engandung
cacad maka kalau tuntutan ditujukan langsung kepada penerima penyerahan,
lebih patut diterapkan teori kausal. Kalau tuntutan ditujukan kepada pihak
ketiga yang menerima penyerahan dengan itikad baik, lebih patut diterapkan
teori abstrak.
BAB III
ADOPSI DAN KONSEKUENSI HUKUMNYA

C. URAIAN
1. Pendahuluan
Keluarga mempunyai peranan penting sebagai kelompok sosial dan
masyarakat terkecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak, akan tetapi
tidak tertutup kemungkinan adanya orang tua yang belum memiliki anak
setelah lama berkeluarga berusaha mengangkat anak sebagai pengganti anak
kandungnya, atau ada orang tua yang ingin mengangkat anak orang lain
sebagai bentuk kepedulian sosial meskipun mereka memiliki anak kandung.
Biasanya mereka mengangkat anak-anak saudara mereka untuk yang kurang
mampu secara ekonomi, meskipun demikian banyak juga pengangkatan anak
yang dilakukan meskipun tidak ada hubungan persaudaraan antara anak
angkat dengan calon orang tua angkat. Dalam kenyataan ketiga unsur
tersebut tidak selalu terpenuhi sehingga kadang-kadang dalam satu keluarga
tidak mempunyai anak.
UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM telah mencantumkan tentang hak
anak,pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga dan
Negara untuk memberikan perlindungan pada anak. Hal ini berarti orang tua
tidak akan menelantarkan atau menyia-nyiakan anaknya. Kondisi ekonomi
sosial yang kurang mendukung sangat mempengarhi kondisi perekonomian
keluarga dan berdampak pada kesejahteraan rakyat Indonesia.Dalam
kenyataannya masih banyak kita jumpai anak-anak terlantar, yatim piatu dan
anak penyandang cacat dengan permasalahan mereka yang kompleks
sehingga memerlukan penanganan, pembinaan dan perlindungan baik dari
pemerintah maupun masyarakat. Salah satu solusi untuk menangani
permasalahan anak dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang
tua yang mampu untuk melaksanakan pengangkatan anak. Tujuan
pengangkatan anak adalah untuk kepentingan terbaik bagi anak, dan harus
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau
38

berdasarkan pada kebiasaan setempat, mengingat banyaknya penyimpangan


dalam pengangkatan anak tanpa melalui prosedur yang benar dengan cara
pemalsuan data, perdagangan anak bahkan jual beli organ tubuh anak.
Dilihat dari eksistensi keluarga sebagai kelompok masyarakat,
menyebabkan tidak kurangnya mereka yang menginginkan anak, karena
alasan emosional terjadilah perpindahan anak dari satu kelompok keluarga ke
kelompok keluarga yang lain (Muderis Zaeni, 1995: 8). Tujuan seseorang
melakukan pengangkatan anak antara lain adalah untuk meneruskan
keturunan, manakala dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan
dengan harapan supaya ada yang memelihara di hari tua, untuk mengurusi
harta kekayaan sekaligus sekaligus menjadi generasi penerusnya.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni
sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia 18 (delapan belas)
tahun. Hal ini bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh,
menyeluruh dan komprehensif. UU Perlindungan anak juga harus
meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan
asas-asas non diskriminatif, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk
hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan terhadap
pendapat anak. Pengangkatan anak merupakan salah satu upaya atau
pebuatan hukum yang memiliki fungsi efektif dalam perlindungan anak,
terutama terhadap anak-anak terlantar, anak terbuang, anak dari keluarga
kurang mampu dan lain-lain.
Islam sudah mengenal pengangkatan anak sejak zaman Rasulullah
Muhammad SAW karena Rasulullah SAW juga mengangkat seorang anak,
Zaid bin Haristah. Dalam pengangkatan anak dalam Islam, nasab (keturunan
karena pertalian darah) tidak boleh dihilangkan. Nasab anak angkat tetaplah
mengacu pada ayah kandungnya. Zaid tidak disebut atau dipanggil dengan
Zain bin Muhammad, tetapi Zaid bin Haristah. Jadi, anak angkat dalam Islam
tetaplah dinisbatkan kepada ayah kandungnya. Sebagaimana firman Allah
SWT dalam Quran Surat Al Ahzab Ayat 5, yang artinya “Panggillah mereka
(anak-anak angkat) menurut (nama) bapaknya, hal itu lebih adil pada sisi
39

Allah SWT. Kalau kamu tiada mengetahui bapaknya, mereka menjadi


saudara kamu dalam agama dan maula(pengabdi) kamu. Dan tiada dosa
atasmu apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu. Dan adalah Alah Maha Pengampun lagi Maha
Penyanyang.
Ketentuan hukum yang mengatur adopsi atau pengangkatan anak antara
lain :
1) Hukum Adat
2) Hukum Islam
3) Stb 1917 No 129
4) Jurisprudensi
5) UU Kewarganegaraan (UU No 12 Tahun 2006 )
6) UU Kesejahteraan Anak
7) UU Perlindungan Anak (UU No 23 Tahun 2002)
8) PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
9) Dalam KUH Perdata semula tidak mengenal adopsi, semenjak tahun 1956
BW mengaturnta tetapi tidak ada penyesuaian dengan ke dalam KUH
Perdata. Dalam NBW diatur dalam Buku I Titel 12, Pasal 227 s/d Pasal
232.
Dalam Pasal 39 ayat (2) UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak juga disebutkan, pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orang tua kandungnya. Dalam Pasal 40 ayat (1) ditegaskan, orang tua angkat
wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan
orang tua kandungnya, tetapi tentu saja, pemberitahuan ini dilakukan dengan
memperhatikan kesiapan si anak. Menurut hukum formal di dalam Islam,
pengangkatan anak mengacu pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam
KHI pasal 171 huruf h disebutkan, anak angkat adalah anak yang dalam hal
pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung-jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan.
40

Setelah berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dalam Pasal 49


dinyatakan : ”Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang: a. Perkawinan....”Penjelasan Huruf a Pasal 49 ini antara lain
menyatakan: ”Yang dimaksud dengan ”perkawinan” adalah ha-hal yang diatur
dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku
yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:...penetapan asal usul anak dan
penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 UU No 3 Tahun 2006 tersebut, apakah
tidak terjadi dualisme dalam kewenangan pengangkatan anak, antara
Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Agama”? Pertanyaan tersebut dapat
dimaklumi karena dengan aturan tersebut terkesan ada dua badan peradilan
yang berwenang mengurusi adopsi anak, yaitu PA dan Pengadilan Negeri
(PN). Lantas, bagaimana kalau anak yang diangkat berbeda agama dengan
orang tua angkat? Siapakah yang berwenang diantara kedua badan peradilan
itu? Inilah yang membuat sang hakim ingin mempertegas dualisme
kewenangan pengangkatan anak.

2. Pengertian Adopsi
Pengangkatan anak disebut juga adopsi yaitu “penciptaan hubungan
orang tua-anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak
mempunyai hubungan (keluarga)”, (The creation of a parent child
relationship by judicial order betwen two parties who usually unrelated)
(Black Law Dictionary, 2001: 20). Pengangkatan anak dalam istilah Arab
disebut tabanni atau tabanni ath-thifl, yaitu menjadikan seseorang sebagai
anak (Ahmad Mukhtar, tt: 178). Menurut Aris Gosita (1989: 44),
pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk
dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri, berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama dan sah menurut hukum
yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.
41

Adopsi juga merupakan suatu perbuatan hukum yang memberi


kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti seorang anak
yang sah atau anak yang tadinya tidak mempunyai hubungan darah dengan
ayah atau ibu angkatnya setelah adopsi dianggap sebagai anak sendiri.
Definisi Anak Angkat menurut Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 jo. Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan :”Anak angkat adalah anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah
atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tuanya
angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”.
Mengenai pengangkatan anak menurut hukum adat, tidak ada
keseragaman, ada daerah yag memutuskan hubungan dengan orang tua
kandungnya sendiri dan ada daerah yang tidak. Misalnya di daerah Jawa Barat
dan Jawa Tengah, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan
keperdataan dengan orang tua kandungnya sendiri. Oleh karena itu di daerah
ini dikenal istilah anak angkat menerima “air dari dua sumber” atau”dua
sumur”. Dalam adat Aceh pengangkatan anak sudah lama dipraktekkan. Anak
angkat dalam adat Aceh dikenal dengan istilah aneuk geutueng. Anak-anak ini
biasanya adalah anak-anak saudara mereka yang kurang mampu, diambil
untuk dipelihara dan diasuh. Pada masyarakat yang sistem kekerebatannya
patrilinel, misalnya pada masyarakat batak, maka pengangkatan anak itu
menyebabkan putusnya hubungan keperdataan dengan orang tua kandungnya
dan anak yang bersangkutan memakai nama keluarga (marga) orang tua
angkatnya. Jika hal ini dihubungkan dengan UU Perlindungan Anak, yang
menegaskan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah
antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya, maka pada
masyarakat Batak dapat terjadi seorang anak angkat akan memakai atau
mempunyai dua marga yang berbeda, yaitu marga orang tua angkatnya dan
orang tua kandungnya (Djaja S Meliala, 2007: 117).
42

Selama ini perkara permohonan pengangkatan anak menjadi


kewenangan absolut Pengadilan Negeri dengan hukum terapan Stb No 129
Tahun 1917 yang filosofinya berasal dari masyarakat Tionghoa dan membawa
konsekuensi yuridis yang sangat bertentangan dengan hukum Islam. Untuk itu
maka umat Islam menuntut melalui lembaga legislatif agar diberi saluran
hukum untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam, kemudian lahirlah UU No 3 Tahun 2006 yang memberi
kewenangan absolut kepada Pengadilan Agama untu menerima, memeriksa
dan mengadili serta menyelesaikan perkara “asal usul anak berdasarkan
hukum Islam’.

3. Hukum Pengangkatan Anak Menurut Staatsblad 1917 Nomor 129


Dalam KUH Perdata (BW) tidak ditemukan satu ketentuan pasal pun
yag mengatur masalah adopsi tapi BW hanya mengatur tentang pengakuan
anak luar kawin. Pasal 5 Stb 129 mengatur siapa saja yang boleh mengadopsi :
a. Seorang laki-laki beristri atau telah pernah beristri tak mempunyai
keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena
kelahiran mauun keturunan karena pengangkatan anak, maka bolehlah ia
mengangkat seorang anak laki-laki. Pengangkatan anak perempuan tidak
sah. Ayat 2 menyebutkan bahwa pengangkatan anak yang demikian harus
dilakukan oleh seorang laki tersebut bersama-sama dengan istrinya atau
jika dilakukannya setelah perkawinannya dibubarkan oleh dia sendiri .
b. Ayat 3 menyebutkan apabila kepada seorang perempuan janda yang tidak
telah kawin lagi, oleh suaminya telah meninggal dunia dengan surat wasiat
telah menyatakan tak menghendaki pengangkatan anak oleh istrinya maka
pengangkatan itu pun tak boleh dilakukannya. Dari ketentuan dia atas,
maka yang boleh mengangkat anak adalah sepasang suami istri yang tidak
mempunyai anak laki-laki, seorang duda yang tak mempunyai anak laki-
laki ataupun seorang janda yang tidak mempunyai anak laki-laki , asal saja
janda yang bersangkutan tidak ditinggalkan berupa amanah, yaitu berupa
surat wasiat dari suaminya yang menyatakan tidak menghendaki
43

pengangkatan anak. Disini tidak diatur secara kongkret mengenai batasan


usia dan oang yang belum berkawin untuk mengangkat anak.
Pada Pasal 6 dan 7 Stb 129 Tahun 1917 mengatur tentang siapa saja
yang dapat diadopsi :
a. yang boleh diadopsi hanyalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang
tidak beristri dan tidak beranak, serta yang tidak telah diangkat oleh
orang lain.
b. Pasal 7 ayat (1) mnyebutkan orang yang diangkat harus paling
sediktnya 18 tahun lebih muda daripada suami dan paling sedikitnya
pula 15 tahun lebih muda daripada si istri atau si janda yang
mengangkatnya.
c. Asal 7 ayat (2) mengemukakan, bahwa apabila yang diangkat adalah
seorang keluarga sedarah, baik yang sah maupun yang keluarga luar
kawin, maka keluarga tadi karena angkatannya terhadap moyang
kedua belah pihaj bersama harus memperoleh derajat keturunan yang
sama pula dengan derajat keturunannya sebelum ia diangkat.
Syarat dan tata cara pengangkatan anak diatur dalam Pasal 8 sampai 10
Stb 1917 Nomor 129, dimana dalam Pasal 8 menyebutkan empat syarat untuk
pengangkatan anak yaitu :
1) Persetujuan orang yang mengangkat anak.
2) Jika anak yang diangkat itu adalah lahir dari orang tuanya, maka
diperlukan izin dari orang tuanya yang mengakui sebagai anaknya,
manakala anak itu sama sekali tidak diakui sebagai anak, maka harus ada
persetujuan dari walinya dan dari Balai Harta Peninggalan selaku
penguasa wali.
3) Jika anak yang diangkat itu adalah lahir di luar perkawinan, maka
diperlukan izin dari orangtuanya yang mengakui sebagai anaknya,
manakala anak itu sama sekali tidak diakui sebagai anak, maka harus ada
persetujuan dari walinya serta dari Balai Harta peninggalan. Jika
anaknya yang akan diangkat sudah berusia 19 tahun, maka diperlukan
pula persetujuan pula dari anak itu sendiri.
44

4) Manakala yang akan mengangkat anak itu seorang perempuan janda,


maka harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari
almarhum suaminya, atau jika tidak ada saudara laki-laki atau ayah yang
masih hidup, atau jika mereka tidak menetap di Indonesia, maka harus
ada persetujuan dari anggota laki-laki dari keluarga almarhum suaminya
dalam garis laki-laki sampai derajat keempat.
Menurut Pasal 10 Stb 1917 No 129 , pengangkatan anak harus
dilakukan dengan akta notaris dan ketentuan lain yang penting untuk
diperhatikan adalah Pasal 11 dan Pasal 14. Pasal 11 menyatakan bahwa
adopsi karena hukum menyebabkan orang yang diadopsi memakai nama
orang tua angkatnya. Kemudian Pasal 14 menyatakan adopsi karena hukum
menyebabkan putusnya hubungan keperdataan antara anak yang bersangkutan
dengan orang tua kandungnya sendiri.
Staatsblad 1917 Nomor 129 tidak mengatur hak-hak yang kemungkinan
dapat diperoleh orang tua angkat terhadap anak angkatnya, misalnya hak
nafkah apabila orang tua angkat di kemudian hari kurang mampu,hak waris
jika anaknya meninggal lebih dulu, namun berdasarkan penafsiran acontrario
orang tua angkat dapat mmperoleh hak-hak dari anak angkatnya sebagaimana
hak-hak anak angkat dari orang tua angkatnya.
Dari ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengangkatan
anak hanya boleh dilakukan oleh oleh sepasang sami istri yang tidak
mempunyai anak laki-laki, seorang duda yang tidak mempunyai anak laki-laki
atau seorang janda yang tidak mempunyai anak laki-laki, sepanjang almarhum
suaminya tidak meninggalkan surat wasiat yang isinya tidak menghendaki
jandanya melakukan pengangkatan anak, kemudian yang boleh diangkat anak
hanyalah orang Tionghoa laki-laki yang tidk beristri dan tidak beranak dan
belum diangkat oleh orang lain.Dalam perkembangan yurisprudensi di
Indonesia, telah diperkenankan untuk mengadopsi anak laki-laki dan anak
perempuan . Demikian pula seorang perempuan yang belum menikah dapat
mengadopsi anak laki-laki atau anak perempuan (Djaja S.Meliala, 2007: 116).
45

4. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam


Hukum Islam memperkenankan dilakukannya pengangkatan anak
sepanjang tidak diagkat sebagai anak kandung (R.Soeroso, 2003: 196).
Pengangkatan anak menurut Hukum Islam adalah dalam arti
terbatas,maksudnya terbatas pada pemberian nafkah pendidikan dan
memenuhi segala kebutuhannya, tidak boleh memutuskan hubungan anak
dengan orang tua kandungnya. Disinilah letak perbedaan antara hukum adat
dengan hukum Islam di beberapa daerah. Hukum Islam memperkenankan
dilakukan pengangkatan anak sepanjang tidak diangkat sebagai anak kandung.
Dalam kajian Hukum Islam Mahmud syaltut, mengemukakan ada dua
pengertian ”pengangkatan anak”. Pertama mengambil anak orang lain untuk
diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang tanpa diberikan
status ’anak kandung” kepadanya.Cuma ia diperlakukan oleh orang tua
angkatnya sbagai anak sendiri. Kedua mengambil anak orang lain sebagai
anak sendiri dan ia diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak
memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi
harta peninggalan serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat
dan orang tua angkatnya itu. Pengertian yang pertama itulah konsepsi definitif
yang dikembangkan hukum Islam sedangkan pengertian kedua adalah
konsepsi adopsi Arab Jahiliyah atau Konsepsi Staatsblad 129/1917 yang telah
dibatalkan oleh Al-ahzab ayat 5 tersebut (Fauzan, 2007: 38).
Para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam tidak
mengakui lembaga pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum seperti
yang pernah dipraktekan masyarakat Jahiliyah dalam arti terlepasnya ia dari
hukum kekerabatan orang tua angkatnya. Hukum Islam hanya mengakui
bahkan menganjurkan pengangkatan dalam arti pemungutan dan pemeliharaan
anak dalam artian status kekerabatannya tetap berada di lingkungan di luar
lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak
mempunyai akibat hukum apa-apa, ia tetap anak dan kerabat orang tua
kandungnya berikut dengan segala akibat hukumnya (Fauzan, 2007: 43). Hal
ini sejalan dengan UU Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa
46

pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang


diangkat dengan orang tua kandungnya karena orang tua angkat hanya sebatas
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak
tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
Perbedaan (prinsip) inilah yang melatarbelakangi tidak dicantumkannya
mengenai pengangkatan anak dalam UU No 4 Tahun 1979 (UU Kesejahteraan
Anak ). Hanya dalam Pasal 12 UU Kesejahteraan Anak dikatakan :
(1) Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan
mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.
(2) Kepentingan kesejahteraan anak yang termaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dngan PP.
(3) Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang
dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Menurut Hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa
dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok dalam kewarisan
Islam adalah hubungan darah / nasab / keturunan (Hilman Hadikusuma, 1983:
78). Dengan kata lain bahwa peristiwa pegangkatan anak menurut hukum
kewarisan Islam, tidak membawa pengaruh hukum terhadap status anak
angkat, yakni bila bukan merupakan anak sendiri, tidak dapat mewarisi dari
orang yang setelah mengangkat anak tersebut (Zakiah Darodjat 1986:64).
Hal ini, tentunya akan menimbulkan masalah dikemudian hari apabila
dalam hal warisan tersebut tidak dipahami oleh anak angkat, dikarenakan
menurut hukum Islam, anak angkat tidak berhak mendapatkan pembagian
harta warisan dari orang tua angkatnya. Menyangkut hak waris anak angkat
mengacu pada Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam,
dimana anak angkat dan ayah angkat masing-masing mendapat harta warisan
berupa wasiat wajibah. Jika si anak angkat meninggal dunia, maka ayah
angkat secara otomatis berhak mendapatkan wasiat wajibah dari harta warisan
si anak angkat tersebut. Sebaliknya, jika ayah angkat meninggal dunia dan
meninggalkan warisan, si anak angkat juga berhak mendapat wasiat wajibah
47

dari harta warisan tersebut. Wasiat wajibah adalah dimana seseorang dalam
hal ini baik ayah angkat maupun anak angkat hanya mendapat 1/3 (sepertiga)
dari harta warisan anak angkatnya atau ayah angkatnya.

5. Pengangkatan Anak menurut UU Perlindungan Anak (UU No 23 Tahun


2002) dan PP No 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak
Pengertian anak menurut UU No 23 Tahun 2002 adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam
kandungan. anakPerlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Setiap anak berhak untuk diasuh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasa
dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 39 UU No 23 tahun 2002 berbunyi sebagai berikut :
(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya.
(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat.
(4) Pengangkatan oleh WNA hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Selanjutnya Pasal 40 UU No 23/2002 menyatakan :
(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan pada anak angkatnya mengenai
asal-usulnya dan orang tua kandungnya.
48

(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dmaksud
dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang
bersangkutan.
Definisi Pengangkatan Anak menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 adalah sebagai berikut : ”Pengangkatan
Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan, seorang anak dari
lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat”. Dari definisi diatas,
dapat kita ketahui bahwa pengangkatan anak, haruslah mengandung unsur-
unsur sebagai berikut :
a) Merupakan suatu perbuatan hukum;
b) Diimana perbuatan tersebut harus mengalihkan seorang anak;
c) Dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak
tesebut;
d) Anak tersebut harus tinggal kedalam keluarga orang tua angkat.
Mengenai jenis pengangkatan anak terdiri atas 2 (dua) macam yakni :
1) Pengangkatan anak antar warga negara Indonesia; dan
2) Pengangkatan anak antara warga negara Indonesia dengan warga negara
Asing.
Menurut UU No 62 Tahun 1958 Pasal 2 disebutkan bahwa anak asing
yang belum berumur 5 tahun yang diangkat oleh seorang WNI memperoleh
kewarganegaraan RI apabila pengangkatan itu dinyatakan sah oleh Pengadilan
Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat anak itu. Pasal 5 ayat (2)
UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan berbunyi anak WNI yang
belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA
berdasarkan penetapan Pengadilan yang tetap diakui sebagai WNI.

6. Syarat dan Tata Cara Pengangkatan Anak


49

Syarat pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia menurut


Ketentuan PP No 54 Tahun 2007 adalah sebagai berikut :
 Syarat Bagi Calon Anak Angkat
a. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam Lembaga Pengasuhan Anak;
dan ;
d. Memerlukan perlindungan khusus.
 Syarat Bagi Calon Orang Tua Angkat
a. Sehat jasmani dan rohani;
b. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55
(lima puluh lima tahun);
c. Beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan;
e. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. Tidak merupakan pasangan sejenis;
g. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang
anak;
h. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i. Memperoleh persetujuan anak dan ijin tertulis orang tua atau wali
anak;
j. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
k. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
l. Tidak mengasuh calon anak selama 6 bulan sejak ijin pengasuhan
diberikan;
m. Memperoleh ijin Menteri dan/atau Kepala Instansi Sosial.
Syarat Pengangkatan Anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga
Negara Asing :
 Apabila Anak Warga Negara Indonesia VS Orang Tua Warga Negara
50

Asing, maka :
a) Memperoleh ijin tertulis dari pemerintah Negara asal Pemohon melalui
kedutaan atau perwakilan negara pemohon melalui kedutaan atau
perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia;
b) Memperoleh ijin dari Menteri;
c) Melalui Lembaga Pengasuhan Anak;
d) Orang tua Warga Negara Asing tersebut telah bertempat tinggal di
Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun;
e) Mendapat persetujuan tertulis dari Pemerintah Negara pemohon;
f) Membuat pernyataan tertulis bahwa akan melaporkan perkembangan
anak kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui
Perwakilan Republik Indonesia setempat;
g) Memenuhi syarat-syarat seperti yang termuat dalam persyaratan
pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia.
 Apabila Anak Warga Negara Asing VS Orang Tua Warga Negara
Indonesia
a) Memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah Republik Indonesia;
dan
b) Memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah Negara Asal Anak.
Tata Cara Pengangkatan Anak antar WNI maupun antara WNI dengan WNA
sebagai berikut :
1. Tata Cara Pengangkatan Anak antar Warga Negara
Indonesia
a. Melengkapi syarat-syarat pengangkatan anak;
b. Mengajukan pengajuan permohonan Penetapan Pengangkatan Anak ke
Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) atau ke Pengadilan
Negeri (bagi yang beragama Non Islam);
c. Setelah Majelis Hakim mempelajari berkas tersebut, Majelis akan
mengeluarkan Penetapan;
d. Kemudian Pengadilan akan meneruskan Salinan Penetapan tersebut
kepada Instansi terkait seperti Dephukham, Depsos, Deplu, Depkes,
51

Kejaksaan dan Kepolisian.


Tata Cara Pengangkatan Anak Antara Warga Negara Indonesia dengan
Warga Negara Asing sebagai berikut :
a. Melengkapi syarat-syarat pengangkatan anak;
b. Mengajukan pengajuan permohonan Putusan Pengangkatan Anak ke
Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) atau ke Pengadilan
Negeri (bagi yang beragama Non Islam);
c. Setelah Majelis Hakim mempelajari berkas tersebut, Majelis akan
mengeluarkan Putusan;
d. Kemudian Pengadilan akan meneruskan salinan putusan tersebut
kepada Instansi terkait seperti Dephukham, Depsos, Deplu, Depkes,
Kejaksaan dan Kepolisian.

7. Pencatatan dan Akibat Hukumnya


Penetapan Pengadilan Negeri tentang Pengangkatan Anak adalah salah
satu dokumen hukum pengangkatan anak yang sangat penting. Dengan
ditetapkannya seorang anak menjadi anak angkat maka dapat dipandang
bahwa anak angkat tersebut seolah-olah sebagai anak kandung dari orang tua
angkatnya karena telah terputus hubungan nasabnya dengan orang tua
kandungnya dan segala hak dan kewajibannya dipersamakan dengan anak
kandung. Orang tua angkat menjadi wali penuh terhadap anak angkatnya
termasuk menjadi wali nikah dan anak angkat memiliki hak waris
sebagaimana hak waris yag dimiliki anak kandung, dapat menghabiskan
seluruh harta warisan orang tua angkatnya dan juga hak waris orang tua dan
saudara kandung orang tua angkat jika orang tua angkat tidak memiliki anak
namun anak angkat tidak sah jika dinikahi oleh orang tua angkatnya.
Selanjutnya penetapan pengangkatan anak tersebut didaftar ke Kantor
Catatan Sipil untuk memperoleh semacam akta kelahiran yang memuat
peristiwa atau kejadian hukum yang timbul antara anak angkat dengan orang
tua angkatnya.Dengan lahirnya surat ”Akta Pengangkatan Anak” dari Kantor
Catatan Sipil tersebut maka ”Akta Kelahiran Anak” tersebut dari orang tua
52

kandungnya secara serta merta menjadi gugur atau hapus dengan sendirinya
(Fauzan, 2007: 45).
Namun setelah lahirnya UU No 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama
memiliki kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa dan mengadili
perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam. Menurut
hukum Islam pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan hukum atau
hubungan nasab dengan orang tua kandungnya. Anak angkat dalam hukum
Islam juga tidak menjadikan anak angkat sebagai anak kandung sehingga
dipersamakan hak-hak dan kewajiban seperti anak kandung dari orang tua
angkatnya. Beberapa akibat hukum lain dari pengangkatan anak menurut
Hukum Islam adalah :
a. Anak angkat tetap dipanggil (bin/binti) dengan nama ayah atau orang tua
kandungnya.
b. Orang tua angkat tidak menjadi wali nikah anak angkatnya jika anak
angkat perempuan.
c. Anak angkat tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya dan anak
angkat dapat memperoleh harta warisan orang tua angkatnya melalui
lembaga wasiat yang jumlahnya tidak melebihi sepertiga harta warisan.
d. Anak angkat boleh dinikahi orang tua angkatnya.
Langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintahnya terkait dengan
kemungkinan pencatatan akta kelahiran anak angkat yang telah ditetapkan
Pengadilan Agama adalah dengan membuat catatan pinggir pada akta
kelahiran anak bahwa anak yang bersangkutan sekarang telah menjadi anak
angkat dari X misalnya sehingga kewajiban serta perwalian anak beralih
menjadi tanggung jawab orang tua angkatnya.
Suatu perbuatan hukum akan selalu menimbulkan akibat hukum pula
dari perbuatan itu. Dalam perbuatan hukum berupa pengangkatan anak,
mempunyai konsekuensi terhadap harta benda, keluarga yang dilakukan
dengan tanpa suatu bukti tertulis bahwa telah benar-benar dilakukan suatu
perbuatan hukum. Hal ini akan menimbulkan permasalahan terutama
53

mengenai beban pembuktian di hari kemudian apabila terjadi suatu sengketa.


Akibat hukum dari pengangkatan anak dapat dibagi menjadi 2 macam, yakni :
 Akibat Hukum terhadap anak angkat
Anak angkat mempunyai hak dalam hal pewarisan harta kekayaan orang
tua angkatnya. Perihal pewarisan terhadap anak angkat dari orang tua
angkatnya dapat dibedakan sebagai berikut :
a) Anak yang diangkat masih mempunyai hubungan keluarga dengan
orang tua yang mengangkatnya, maka hak waris dengan dua
kemungkinan :
(1) Bagi pengangkatan anak yang sama sekali tidak mempunyai
keturunan selain anak yang diangkat, maka hak yang mewaris
sejajar sebagaimana hak mewaris anak kandungnya sendiri. Semua
harta kekayaan orang tua angkatnya jatuh pada anak angkatnya
sepanjang harta itu gono-gini.
(2) Bagi sebuah hubungan yang telah mempunyai anak namun masih
mengangkat anak, maka hak mewaris anak angkat menjadi
berkurang dan hal ini biasanya dilakukan dengan musyawarah
keluarga tersebut.
b) Bagi seorang anak yang diangkat oleh sebuah keluarga dengan tidak
ada hubungan kekeluargaan, maka mempunyai kedudukan yang lebih
berarti atas hak yang ada pada anak angkat tersebut.
 Akibat Hukum Terhadap Orang Tua Angkat
Sebagaimana halnya dalam pengangkatan anak, hak dan kewajiban orang
tua angkat dengan anak yang diangkat harus pula seimbang sehingga
keharmonisan dan keadilan hukum dapat tercipta. Hak dari orang tua
angkat adalah sebagaimana maksud ketika ia melakukan pengangkatan
anak sesuai dengan latar belakang dan tujuan dari pengangkatan anak itu.
Dalam hal kewajiban orang tua angkat sebagaimana diuraikan sebelumnya
adalah memelihara, mendidik, mengasuh dan membesarkannya dengan
baik serta memenuhi segala kebutuhannya layaknya anak kandung sendiri.
54

8. Penutup
Adanya Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan
pengangkatan anak yang mencakup ketentuan umum, jenis pengangkatan
anak, syarat-syarat pengangkata anak, tata cara pengangkatan anak dan
bimbingan, pengawasan dan pelaporan dalam pelaksanaan pengangkatan
anak, pengawasan pelaksanaan pengangkatan anak yang dimaksudkan agar
pengangkatan anak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan
kepentingan terbaik bagi anak.
Menyangkut kewenangan Pengadian Negeri dan Pengadilan Agama
dalam menetapkan pengangkatan anak sebenarnya tidak ada dualisme.
Pengadilan Agama hanya berwenang mengurusi adopsi anak di kalangan umat
Islam. Di luar adopsi menurut hukum Islam, kewenangan ada di tangan PN,
termasuk adopsi antar negara (intercountry adoption). Kewenangan
Pengadilan Agama menetapkan asal usul anak malah sudah disinggung dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sejak 1991. Pasal 103 KHI menyebutkan
bahwa asal usul anak dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau bukti lain.
Jika akta kelahiran atau bukti lain tidak ada, maka yang berwenang
menetapkan asal usul anak adalah Pengadilan Agama.
Menurut ketentuan umum dalam kompilasi Hukum Islam Pasal 171
bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari
orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
Atas dasar pengertian tersebut jelaslah bahwa yang dilarang menurut Hukum
Islam adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal. Dari
sini terlihat adanya titik persilangan menurut ketentuan hukum adat, yang
menghilangkan atau memutuskan kedudukan anak angkat dengan orang tua
kandungnya sendiri. Hal ini bersifat prinsip dalam lembaga Adopsi karena
adanya ketentuan yang menghilangkan hak-hak ayah kandung dan dapat
merombak ketentuan-ketentuan mengenai waris.
55

Dengan demikian, adopsi yang dilarang menuntut ketentuan dalam


hukum Islam adalah seperti dalam pengertian aslinya, yakni menurut versi
Hukum barat yaitu mengangkat anak secara mutlak. Dalam hal ini adalah,
memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain kedalam
keluarganya yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya sebagai anak
sendiri, seperti hak menerima warisan sepeninggalnya dan larangan kawin
dengan keluarganya sehingga sejak putusan diucapkan oleh pengadilan maka
orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula
segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat.
Anak angkat juga berhak atas warisan orang tua angkat sesuai dengan
hukum waris yang dianut yakni :
a) Bila menggunakan lembaga adat, penentuan warisan bagi anak angkat
tergantung kepada hukum adat yang berlaku.
b) Dalam hukum Islam pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum
dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris-
mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua
kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya.
c) Dalam Stb 1917 No 129, akibat hukum dan pengangkatan anak adalah anak
tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan
sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat, artinya
akibat pengangkatan anak maka terputus segala hubungan perdata yang
berpangkal pada keturunan karena kelahiran yaitu antara orang tua kandung
dan anak tersebut.
BAB V
PERKEMBANGAN DALAM HUKUM PERJANJIAN

A. Pengertian dan Sistem Hukum Perjanjian/Kontrak

Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu


contract of law sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
overeenscomstrecht. Menurut Salim (2003: 4) bahwa hukum kontrak adalah
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau
lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Definisi ini
didasarkan pada pendapat Van Dunne yang tidak hanya mengkaji kontrak
pada tahap kontraktual semata-mata, tetapi juga harus diperhatikan perbuatan
sebelumnya yaitu mencakup pracontractual dan post contractual.
Pracontractual merupakan penawaran dan penerimaan sedangkan post
contractual adalah pelaksanaan perjanjian. Dari definisi di atas dapat
dikemukakan bahwa unsur-unsur yang tercantum dalam kontrak adalah :
a. Adanya kaidah hukum
b. Subjek hukum
c. Adanya prestasi
d. Kata sepakat
e. Akibat hukum
Hukum kontrak diatur dalam Buku III KUH Perdata yang terdiri atas 18
bab dan 631 pasal. Dimulai pasal 1233 KUHPerdata sampai dengan Pasal
1864 KUH Perdata. Perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa,
persekutuan, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap
dan abadi, untung-untungan, pemberian kuasa, penanggung utang, dan
perdamaian merupakan perjanjian yang bersifat khusus, yang di dalam
berbagai kepustakaan hukum disebut dengan perjanjian nominaat. Perjanjian
nominaat adalah perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata. Diluar KUH
Perdata terdapat perjanjian lain seperti francise, beli sewa, joint venture,
production sharing, kontrak karya, leasing dan sebagainya dimana perjanjian
84

ini disebut perjanjian innominaat yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup
dan berkembang dalam masyarakat.
Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system),
artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang
sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Hal ini
dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1)
yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan
Menurut Pasal 1233 KUH Perdata : “Perikatan lahir karena suatu
perjanjian atau karena undang-undang”. Perikatan yang timbul karena undang-
undang selanjutnya dibagi lagiatas perikatan yang timbul semata mata karena
undang-undang dan perikatan yang timbul dari undang-undang dan perbuatan
manusia. Kemudian perikatan yang timbul dari undang-undang karena
perbuatan manusia dibagi lagi atas perbuatan menurut hukum dan perbuatan
melawan hukum. Para ahli hukum berpendapat bahwa sumber perikatan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1233 KUH Perdata kurang lengkap
karena masi hada sumber perikatan lain yaitu doktrin hukum yang tidak
tertulis dan keputusan hakim.
Dari kedua sumber perikatan itu, maka yang terpenting ialah perikatan
yang timbul karena perjanjian. Oleh karena para pihak mempunyai kebebasan
untuk membuat segala perikatan sepanjang tidak bertentangan dengan UU,
kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1338 ayat (1) jo 1337 KUHPerdata).
Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan pengertian perjanjian sebagai
berikut :”Perjanjian adalah segala perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”. Pengertian perjanjian
85

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1313 kurang lengkap dan mempunyai


kelemahan-kelemahan antara lain : (Abdulkadir Muhammad, 1982: 78)
a. Rumusan ini hanya cocok untuk perjanjian sepihak karena kata
“mengikatkan” hanya datang dari salah satu pihak.
b. Pengertian perjanjian terlalu luas, karena tidak disebutkan mengikatkan
diri terbatas dalam lapangan hukum kekayaan, sehingga dapat pula
mencakup perjanjian perkawinan dalam lapangan hukum keluarga.
c. Tanpa menyebut tujuan sehingga para pihak mengikatkan diri tidak jelas
untuk apa?
Dengan demikian pengertian perjanjian dapat dirumuskan sebagai berikut :
“perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih
saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan
hukum kekayaan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri perikatan atau perjanjian
ialah :
a. Para pihak (subjek) selalu dua orang atau lebih
b. Debitur wajib melaksanakan prestasi.
c. Prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan
d. Prestasi harus mungkin dan halal
e. Prestasi dapat berupa satu kali atau terus menerus seperti dalam
perjanjian sewa menyewa
f. Kadang-kadang perikatan atau perjanjian tidak berdiri sendiri artinya
masih harus diikuti dengan tindakan lain seperti dalam perjanjian
jual beli yang diiluti dengan lavering dan balik nama (mutasi).
g. Untuk memenuhi kewajibannya debitur bertanggung jawab menurut
Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.
h. Menimbulkan hak perorangan
i. Pada umumnya pemenuhan prestasi dapat dipaksakan melalui
pengadilan.
j. Terletak dalam lapangan hukum harta kekayaan.
86

Walaupun perikatan dan perjanjian mempunyai ciri-ciri yang sama,


namun ada perbedaannya. Perbedaannya bahwa perikatan adalah suatu
pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit.
Kita tidak dapat suatu perikatan, hanya dapat membayangkannya dalam alam
pikiran kita, tetapi kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun
mendengarkan perkataan-perkatannya (Subekti, 1979: 82). Oleh karena
perikatan disamping bersumber pada perjanjian juga bersumber pada undang-
undang maka bukan berarti pengertian perikatan lebih luas dari pengertian
perjanjian. Yang benar bahwa perjanjian adalah lebih luas dari perikatan
karena perjanjian itu sendiri berisi perikatan. Bahwa yang perlu diperhatikan
bahwa perikatan adalah suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) dan karena itu
tidak ada wujudnya, sedangkan yang keliahatan kalau ia berupa perjanjian
tertulis adalah perjanjiannya.

1. Sumbur Hukum Kontrak


Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu sumber hukum materiil dam sumber hukum formal (Algra, dkk, 1975:
74). Sumber hukum materiil ialah tempat dari mana hukum itu diambil
Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan
hukum, misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi sosial ekonomi,
tradisi, hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional dan keadaan
geografis. Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh kekuatan
hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan
hukum formal itu berlaku. Sumber hukum formil meliputi undang-undang,
perjanjian antarnegara,yurisprudensi, dan kebiasaan. Sumber hukum kontrak
yang berasal dari undang-undang antara lain :
a. Algemene Bepalingan van Wetgeving (AB)
b. KUH Perdata (BW)
c. KUHD
d. UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
87

e. UU No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi


Sumber hukum lain adalah traktat yaitu suatu perjanjian yang dibuat antara
dua negara atau lebih dalam bidang keperdataan khususnya kontrak. Ini erat
kaintannya dengan perjanjian internacional. Contohnya : perjanjian bagi hasil
yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia
Company tentang perjanjian bagi hasil tembaga dan emas. Sedangkan
yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk yudikatif yang
berisi kaidah dan peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang
berperkara contohnya putusan HR 1919 tentang pengertian perbuatan
melawan hukum (Salim, 2003: 15-17).

2. Kata Sepakat, Penawaran dan Penerimaan Penawaran


 Menurut Hukum Kontrak Indonesia
Dalam hukum Eropa Kontinental, syarat sahnya perjanjian diatur dalam
Pasal 1320 KUH Perdata atau Pasal 1365 NBW Belanda. Syarat sah perjanjian
dalam KUH Perdata adalah (Salim, 2003: 33-34) :
a. Kesepakatan (Toesteming) kedua belah pihak
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang
atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai adalah pernyataannya,
karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara
terjadinya persesuaian pernyataan kehendak yaitu dengan :
1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;
2) Bahasa yang sempurna secara lisan;
3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan;
4) Bahasa isyarat asal dapat diterima pihak lawan;
5) Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan
(Sudikno Mertokusumo, 1987: 7).
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata mngatakan
bahwa perjanjian adalah satu perbuatan yang bersisi dua (een tweezijdige
rechtshandeling) untuk menimbulkan persesuaian kehendak guna
melahirkan akibat hukum. Yang dimaksudkan dengan satu perbuatan
88

hukum yang bersisi dua ialah penawaran aanbod,offer) dan penerimaan


(aanvaarding, acceptance). Penawaran dan penerimaan itu masing-masing
pada hakekatnya adalah perbuatan hukum. Sejak abad 19 kebebasan
berkontrak digerogoti karena adanya campur tangan pemerintah dan
masyarakat. Maka timbullah pendapat bahwa kewajiban yang timbul dari
perjanjian itu makin lama tidak ditentukan oleh kata sepakat, tetapi
ditentukan oleh apa yang dianggap layak atau patut oleh masyarakat. Oleh
karena itu yang penting dalam suatu perjanjian ialah itikad baik dan bukan
kata sepakat. Hal ini tampak apabila ada kehendak yang bebas. Itikad baik
merupakan dasar kehidupan bersama. Pada hakekatnya yang menyebabkan
perjanjian itu mengikat bukanlah kata sepakat melainkan itikad yang
terdapat dalam janji yang diberikan dalam tahap prakontraktual. Sifat
yuridis suatu perjanjian terletak pada pernyataan prakontraktual para pihak
dan bukan pada isi perjanjian.
Bicara tentang persesuaian kehandak, yaitu sepakat mereka yang
mengikatkan diri, timbullah masalah apabila antara keterangan atau
pernyataan (kehendak) dengan kehendaknya sendiri. Kalau perjanjian hal
itu atas dasar apa dan kalau tidak terjadi perjanjian apa akibatnya.?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh tiga teori yaitu :
- Teori kehendak ;
- Teori pernyataan atau keterangan dan ;
- Teori kehendak
Persesuaian kehendak yang menimbulkan perjanjian terjadi pada
hakekatnya kalau penawaran pihak yang satu sampai pada pihak yang lain
dan penerimaan pihak yang lain sampai pada pihak yang satu. Kapan
momentum terjadinya persesuaian kehendak itu ? Pertanyaan ini dijawab
oleh teori 1) teori ungkapan, 2) teori pengiriman, 3) teori pengetahuan, 4)
teori penerimaan.
b. Kecakapan Bertindak
Kacakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan
89

menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan


perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana ditentukan oleh undang-
undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan
hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah
berumur 21 tahun dann atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang
untuk melakukan perbuatan hukum :
- Anak di bawah umur (minderjarigheid).
- Orang yang ditaruh di bawah pengampuan dan
- Istri (Pasal 1330 KUH Perdata)Akan ttapi dalam perkembangannya
istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam
Pasal 31 UU No 1 Tahun 1974 jo SEMA No 3 Tahun 1963.
c. Adanya Objek Perjanjian (Onderwerp der Overeenskomst)
Bahwa objek perjanjian adaah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah
apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur
Prestasi berupa memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat
sesuatu
d. Adanya causa yang halal
Dalam pasal 1320 KUH Perdatatidak dijelaskan pengertian orzaak (causa
yang halal). Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa
yang terlarang. Suatu sebab sudah terlarang apabila bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
 Menurut Hukum kontrak Amerika
Di dalam hukum kontrak Amerika ditentukan empat syarat sahnya kontrak
yaitu:
1) Adanya offer dan acceptance (Penawaran dan penerimaan)
2) Meeting of Minds (Persesuaian kehendak)
3) Consideration (Konsiderasi)
4) Competent Parties and Legal Subject Matter (kamampuan hukum
para pihak dan pokok persoalan yang sah)
Ad. 1,
90

Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya offer (penawaran) dan acceptance
(penerimaan). Offer adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan
seseuatu secara khusus pada masa yang akan datang. Penawaran ini ditujukan
kepada setiap orang. Yang berwenang mengajukan penawaran adalah setiap
orang yang layak dan memahami apa yang dimaksudkan. Ada 5 (lima) syarat
penawaran :
a. Adanya konsiderasi (prestasi)
b. Sesuai undang-undang
c. Under one of the special rules relating to the revocation of a unilateral
contract,
d. Under doctrine of promissory estoppel dan
e. By virtue of a sealed instrument.
Penawaran yang disampaikan kepada para khalayak akan menghasilkan dua
macam kontrak yaitu kontrak bilateral dan unilateral. Kontrak bilateral yaitu
kontrak yang diadakan antara dua orang dan kedua belah pihak harus
memenuhi janjinya. Sedangkan kontrak unilateral adalah penawaran yang
membutuhkan tindakan saja karena berisi satu janji dari satu pihak saja, Pada
prinsipnya penawaran tetap terbuka sepanjang belum berakhirnya waktu atau
belum dicabut. Suatu penawaran akan berakhir apabila :
- Si pemberi tawaran (penawaran) atau penerima tawaran sakit ingatan
atau meninggal dunia sebelum terjadi penerimaan penawaran.
- Penawaran dicabut dalam hal ini pihak penawar harus memberitahukan
sebelum penawaran diterima. Jika suatu penawaran ditentukan dalam
waktu tertentu maka penawaran tersebut tidak dapat dicabut sebelum
waktunya berakhir, dan
- Penerima tawaran tidak menerima tawaran, tetapi membuat suatu
contra penawaran.
Acceptance adalah kesepakatan dari pihak penerima dan penawar tawaran
untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh penawar. Penerimaan yang
harus disampaikan penerima tawaran kepada penawar tawaran. Penerimaan
itu harus bersifat absolut dan tanpa syarat atas tawaran itu. Penerimaan yang
91

belum disampaikan pemberi tawaran, belum berlaku sebagai penerimaan


penawaran.
Ad. 2.
Penawaran dan penerimaan antara kedua belah pihak dapat menghasilkan
bentuk luar dari sebuah kontrak, tetapi tidak berarti bahwa kontrak itu
dikatakan sah. Yang harus diperhatikan supaya kontrak itu dikatakan sah
adalah metting of mind, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara
para pihak tentang objek kontrak. Apabila objeknya jelas maka kontraknya
dikatakan sah. Persesuaian kehendak itu harus dilakukan secara jujur, tetapi
apabila kontrak itu dilakukan dengan adanya penipuan (fraud), kesalahan
(mistake), paksaan (durress), dan penyalahgunaan keadaan (undue influence)
maka kontrak itu menjadi tidak sah dan kontrak itu dapat dibatalkan (Jess S
Rafhael, 1962: 15).
Ad. 3
Supaya kontrak dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan mengikat
haruslah didukung dengan konsiderasi (concideration). Menurut sejarahnya
bahwa doktrin konsiderasi sudah berumur ratusan tahun. Ini tidak dianggap
sebagai unsur penting untuk membuat kontrak. Dulu semua hak yang
dilaksanakan dibagi menjadi sejumlah kategori yang terbatas. Untuk
pelanggaran masing-masing kategori pengadilan menyediakan formulir yang
dikenal sebagai surat perintah (writ). Setelag berbagai macam writ ada,
pengadilan enggan untuk menggandakannya. Yang tersisa dalam kontrak
adalah writ perjanjian. Writ ini baru dapat dilaksanakan hanya setelah dibuat
secara tertulis dan dibuat di atas segel oleh para pihak yang mengadakan
kontrak. Kontrak yang dibuat dengan writ dinamakan perjanjian (kovenan)
dan bersifat mengikat para pihak. Kendati demikian sejalan dengan
pertumbuhan perdagangan dan perniagaan, desakan untuk pelaksanaan
kontrak yang sah tidak perlu dibuat di atas segel. Untuk itu pengadilan
memeriksa writ yang ada untuk melihat apakah bisa digunakan atau tidak.
Mengenai pengertian konsiderasi itu sendiri belum ada kesepakatan para ahli.
Ada ahli yang mengartikan bahwa konsiderasi merupakan motive atau alasan
92

untuk membuat kontrak (Blacklaw Dictionary, 1983: 277). Jesse S Raphael


mengartikan konsiderasi adalah :
“Penghentian hak (sah) oleh satu pihak dengan imbalan janji dari pihak
lain. Jika seorang membuat janji dengan menghentikan salah satu hak
dari yang mendapat janji, janji tadi secara sah mengikat karena ditunjang
oleh konsiderasi.” (Jesse S Raphael, 1962: 18).
Pendapat lain mengatakan bahwa konsiderasi yaitu prestasi, yaitu sebagai
sesuatu yang diberikan, dijanjikan, atau dilakukan secara timbal balik.
Perbuatan, sikap tidak berbuat atau janji dari masing-masing pihak adalah
harga bagi yang telah dibeli oleh pihak lainnya (Abdulkadir Muhammad,
1986: 99).
Ad. 4.
Competent parties adalah kemampuan dan kecakapan dari subyek hukum
untuk melakukan kontrak. Sedangkan legal subject matter yaitu keabsahan
dari pokok persoalan. Di dalam sistem hukum Amerika pengadilan
membedakan kemampuan tentang legalitas dari seorang untuk membuat
kontrak. Masing-masing negara bagian tidak sama ada yang menentukan 21
tahun untuk semua jenis kelamin ada juga yang menentukann 21 tahun untuk
laki-laki dan 18 tahun untuk perempuan. Sedangkan yang tidak wenang
membuat kontrak adalah orang di bawah umur dan orang gila.

3. Momentum Terjadinya Kontrak


Bahwa dalam perjanjian, antara penawaran dan akseptasi, selalu ada
selang suatu jangka waktu tertentu, bisa singkat tetapi bisa juga memakan
waktu lama. Pada prinsipnya penawaran menjadi batal, kalau ditolak pihak
lain, dan sebelum diakseptir oleh pihak lain, penawaran tersebut dapat ditarik
kembali. Pendapat tersebut dapat menimbulkan masalah yaitu apakah dalam
hal sesudah akseptasi, tetapi sebelum jawaban tersebut sampai pada pihak
yang menawarkan dan orang yang menawarkan mengirimkan verita misal
melalui telegram, yang menyatakan penarikan kembali penawarannya maka
ada lahir perjanjian atau tidak ¿ Ini semua bergantung dari jawaban kapan kita
93

dapat menganggap telah terjadi/lahir perjanjian. Ketetapan mengenai kapan


perjanjian timbul mempunyai arti yang penting bagi :
- Penentuan risiko
- Kesempatan penarikan kembali penawaran.
- Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa.
- Menentukan tempat terjadinya perjanjian (J. Satrio, 2001: 255).
Di dalam KUH Perdata tidak disebutkan secara jelas tentang momentum
terjadinya kontrak. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata hanya disebutkan cukup
dengan adanya konsesnsus para pihak. Mengenai penetapan
lahirnya/timbulnya perjanjian telah menimbulkan beberapa teori yaitu :
a. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)
Menurut teori pernyataan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak
yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.
Jadi dilihat dari pihak yang menerima yaitu pada saat baru menjatuhkan
ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi.
Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap terjadinya
kesepakatan secara otomatis.
b. Teori Pengiriman (Verzendtheorie)
Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menerima penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini,
bagaimana hal ini bisa diketahui. Bisa saja, walau sudah dikirim tetapi tidak
diketahui oleh pihak yang menawarkan.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)
Untuk mengatasi kelemahan teori pengiriman, orang lalu menggeser saat
lahirnya perjanjian sampai pada jawaban akseptasi diketahui oleh orang
yang menawarkan. Pada saat surat jawaban diketahui isinya oleh orang
yang menawarkan maka perjanjian itu ada. Teori ini sebenarnya yang
paling sesuai dengan prinsip bahwa perjanjian lahir atas dasar pertemuann
dua kehendak yang dinyatakan (pernyataan kehendak) dan kedua
pernyataan kehendak itu harus dapat dimengerti oleh pihak yang lain.
d. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie).
94

Sebagai jawaban atas kekurangan teori pengetajuan muncullah teori lain


yaitu teori penerimaan. Disini saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah
surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka, menentukan saat
lahirnya sepakat, yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat
si penerima surat.
Pada uraian diatas dikemukakan bahwa momentum terjadinya perjanjian
yaitu pada saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara
kreditur dan debitur. Namun ada kalanya tidak ada persesuaian antara
pernyataan dan kehendak. Ada tiga teori yang menjawab ketidaksesuaian
antara kehendak dan pernyataan yaitu : (Salim, 2003: 41-42).
a. Teori kehendak (wilstheorie)
Menurut teori ini bahwa perjanjian terjadi apabila ada persesuaian antara
kehendak dan pernyataan, Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah
yang menyebabkan terjadinya perjanjian. Kelemahan teori ini
menimbulkan kesulitan apabila tidak ada persesuaiann antara kehendak
dan pernyataan.
b. Teori pernyataan (verklaringtheorie)
Menurut teori pernyataan, kehendak merupakan proses batiniah yang tidak
diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian
adalah pernyataan.
c. Teori kepercayaan (vertrowenstheorie)
Menurut teori ini tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi
pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan
perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar
dikehendaki. Kelemahan ini teori kepercayaan itu sulit dinilai.
Ada tiga alternatif pemecahan dari kesulitan yang dihadapi dari ketiga
teori di atas sebagai berikut :
1) Dengan tetap dipertahankannya teori kehendak, yaitu menganggap
perjanjian itu terjadi apabila tidak ada persesuaian antara kehendak
dan pernyataan. Pemecahannya : akan tetapi pihak lawan berhak
mendapat ganti rugi karena pihak lawan mengharapkannya.
95

2) Dengan tetap beroegang pada teori kehendak, hanya dalam


pelaksanaannya kurang ketat, yaitu dengan menganggap kehendak
itu ada.
3) Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjiann baku (standart
contract).

4. Intrepretasi dalam Kontrak


Penafsiran tentang kontrak diatur dalam Pasal 1342 sampai dengan Pasal
1351 KUH perdata. Pada dasarnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak
haruslah dapat dimengerti dan dipahami isinya. Namun dalam kenyataannya
banyak kontrak yang isinya tidak dimengerti oleh para pihak. Dari uraian di
atas dapat dikemukakan bahwa isi perjanjian dibedakan menjadi dua macam
yaitu : (Salim, 2003, 34)
(1) Kata-katanya jelas dan
(2) Kata-katanya tidak jelas,sehingga menimbulkan bermacam–macam
penafsian .
Dalam Pasal 1342 KUH Perdata disebutkan bahwa apabila kata-katanya jelas
maka tidak diperkenankan untuk menyimpang dari dengan jalan
penafsiran.Ini berarti bahwa para pihak harulah melaksanakan isi kontrak
tersebut dengan itikad baik. Apabila kata-katanya tidak jelas, dapat dilakukan
penafsiran terhadap isi kontrak yang dibuat para pihak (Salim, 2003: 34)
sebagai berikut :
1) Jika kata- kata dalam kontrak memberikan berbagai macam penafsiran
maka harus menyelidiki maksud para pihak yang membuat perjanjian
(pasal 1343 KUHPerdata).
2) Jika suatu janji memberikan berbagai penafsiran, maka harus
diselidiki pengertian yang memungkinkan perjanjian itu dapat
dilaksanakan (Pasal 1344 KUHPerdata).
3) Jika kata-kata dalam perjanjian diberikan 2 macam pengertian maka
harus dipilih pengertian yang paling selera dengan sifat perjanjian
(Pasal 1345 KUHPerdata). Apabila terjadi keraguan-keraguan, maka
96

harus ditafsirkan menurut kebiasaan dalam negeri atau tempat


dibuatnya perjanjian (pasal 1346 KUHPerdata).
4) Jika ada keraguan-keraguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian
orang yang meminta diperjanjikan sesuatu hal, dan keuntungan orang
yang mengingatkan dirinay untuk itu (Pasal 1345 KUHPerdata).

6. Fungsi Kontrak dan Biaya Dalam Pembuatan Kontrak


Fungsi kontrak dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu fungsi yuridis
dan fungsi ekonomis fungus yuridis kontrak adalah fungsi dapat memberikan
kepastian hukum bagi para pihak. Sedangkan fungsi ekonomis adalah
menggetakan (hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih
rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.
Pada dasarnya setiap pembuatan perjanjian memerlukan biaya. Biaya-
biaya itu meliputi: (Salim, 2003: 35-36).
1. Biaya penelitian, meliputi biaya penentuan hak milik yang diinginkan dan
biaya penentuan bernegoisasi ;
2. Biaya negoisasi, meliputi penyimpanan, biaya penulisan kontrak, dan biaya
tawar menawar dalam uraian yang rinci;
3. Biaya monitoring, yaitu biaya yang menyelidikan tentang objek ;
4. Biaya pelaksanaan, meliputi biaya persidangan dan arbutrase;
5. Biaya kekeliruan hukum, yang merupakan biaya sosial. Biaya ini akan
muncul apabila hakim membuat kesalahan dalam memutus suatu kasus.
Hal ini akan membuat kesalahan pada kasus-kasus berikutnya.
BAB VII
PERJANJIAN BAKU (STANDAR)

C. Uraian
1. Pengertian Perjanjian Baku
Perjanjian baku telah dipakai secara luas di dalam praktek kehidupan
ekonomi di Indonesia. Di dalam perjanjian standar terdapat beberapa masalah
hukum antara lain :
- “Adanya”
- “kekuatan mengikatnya”
- “ketidakadilan yang dilakukan kepada debitur”
Sebagai suatu kenyataan ia harus diterima, akan tetapi dari segi negatifnya
harus diatasi, bagaimana solusinya ?
Menurut M.M. Djojodiguno , “Hukum adalah suatu proses penataan
yang terus menerus memperbaharui dirinya secara langsung oleh masyarakat
atau melalui penguasa untuk perbuatan dan tingkah laku anggota-anggotanya
dalam hubungan patembayan yang bertujuan untuk menjadi dasar dan
memelihara ketertiban, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.”
Hukum antara lain berfungsi mengabdi masyarakat, menjaga agar gerak
masyarakat berjalan dengan lancar, kepentingan-kepentingannya terpenuhi.
Jika kepentingan masyarakat berubah maka hukum harus diperbaharui dan
hukum yang tidak sesuai dengan tugas pengabdiannya harus dibuang atau
ditinggalkan.
Perjanjian baku dialihbahasakan dari istilah : Standaard contract (bahasa
Belanda), Standard voorwaarden (bhs Belanda), Standardvertrag (bahasa
Jerman), Standardized contract (bahasa Inggris). Pengertian Perjanjian
Standar menurut beberapa sarjana antara lain :
1) Menurut Hondius
“Perjanjian baku adalah konsep janji-janji tertulis disusun tanpa
membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah tak
terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu.”
110

2) Mariam Darus Badrulzaman


Perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.
3) Soedikno Mertokusumo
Perjanjian baku adalah perjanjian yang secara apriori dibuat oleh salah
satu pihak (Pihak penyusun).

2. Aspek-aspek Hukum Mengenai Perjanjian Baku


Menurut Soedikno Mertokusumo, perjanjian standar ini istilah awalnya
disebut contract de adhesion. Para pihak dalam perjanjian ini adalah pihak
penyusun yang lebih unggul baik dari segi ekonomi maupun psikologis dan
pihak adherent. Dari perjanjian tersebut terlihat bahwa kedudukan penyusun
dan adherent tidak seimbang karena yang membuat adalah salah satu pihak
yaitu pihak penyusun, selanjutnya pihak adherent biasanya tinggal
menandatangani yang istilahnya dikatakan sebagai stikken of slikken :
tercekik/menelan sedangkan Adherent sama dengan mengikat.
Soedikno Mertokusumo mengatakan bahwa perjanjian standar ini
merupakan perjanjian yang tidak berperikemanusiaan dan memungkinkan
penyalahgunaan. Pembukaan perjanjian tersebut diperuntukan bagi hubungan
–hubungan hukum (rechts verhoudingen) “sejenis” bagi mereka yang
membutuhkannya.
Contoh perjanjian standar/baku :
Membuka rekening di bank, mencuci pakaian di binatu, perjanjian
asuransi, perjanjian pengangkutan,mengirimkan surat melalui titipan kilat,
mencetak foto dll, dimana debitur akan menerima tanda terima yang berisi
perjanjian baku.
Walaupun dikatakan perjanjian standar dilihat dari segi negatifnya
merupakan perjanjian yang tidak berperikemanusiaan dan memungkinkan
penyalahgunaan keadaan namun perjanjian standar tetap dubutuhkan oleh
masyarakat. Mengapa? Alasannya :
 Kelahiran perjanjian baku antara lain :
111

Merupakan akibat dari perubahan susunan masyarakat. Masyarakat


sekarang bukan lagi merupakan kumpulan individu tetapi merupakan
kumpulan dari sejumlah ikatan kerjasama (organisasi). Perjanjian baku
lazimnya dibuat oleh organisasi perusahaan (menurut F.A.J Gras)
 Latar belakang timbulnya perjanjian baku karena perubahan keadaan
sosial ekonomi masyarakat. Perusahaan besar, perusahaan semi
pemerintah atau perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam
suatu organisasi yang untuk kepentingannya mereka menentukan syarat-
syarat tertentu secara sepihak. Pihak lawan (waderpartij) yang pada
umumnya mempunyai kedudukan yang lemah karena ketidaktahuannya
hanya menerima apa yang disodorkan hanya menerima apa yang
disodorkan (menurut Pitlo).
 Tujuan pembuatan perjanjian standar ini adalah untuk menghemat biaya,
waktu, tenaga, prosedur dan penyederhanaannya.
Perjanjian baku biasanya dibuat dalam bentuk formulir dengan
bermacam-macam bentuk, ada yang panjang terdiri dari beberapa lembar
folio, ada yang hanya terdiri dari satu lembar folio dan ada pula yang lebih
kecil dari itu. Hurufnya dicetak kecil yang kadang-kadang diperlukan
kacamata untuk membacanya.
Pada asasnya bentuk sebuah perjanjian adalah bebas dan terikat pada
bentuk tertentu. Tetapi dalam prakteknya perjanjian baku tumbuh sebagai
perjanjian yang tertulis, dalam bentuk formulir.
Alasannya :
 Perbuatan-perbuatan hukum sejenis yang selalu terjadi secara berulang-
ulang dan teratur yang mengakibatkan banyak orang, menimbulkan
kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian tersebut terlebih dahulu
dan kemudian dibakukan dst, dicetak dalam jumlah banyak sehingga
mudah menyediakannya setiap saat jika masyarakat membutuhkan. Disini
terlihat sifat konfeksi/massal.
112

Perjanjian massal ini diperuntukan bagi setiap debitur yang melibatkan


perjanjian sejenis itu tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antara debitur
yang satu dengan yang lainnya
Sehubungan dengan sifat missal dan kolektif perjanjian baku VERA
BOLGER menamakannya sebagai “take it or leave it.” ANSON, menyatakan
pula bahwa :
“The standard form contract is the rule. He must either accept the terms
of this contract in toto or go without.”
Jika debitur menyetujui salah satu syarat-syaratnya, maka debitur hanya
mungkin bersikap menerima atau tidak menerima sama sekali; kemungkinan
untuk mengadakan perubahan “isi” sama sekali tidak ada.
F.A.J GRAS dalam penelitiannya selama 3 tahun terhadap perjanjian
baku melalui pendekatan sosiologi hukum menyimpulkan bahwa perjanjian ini
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat modern yang mempergunakan
“organisasi” dan “planning” sebagai pola hidup. Perjanjian ini isinya
direncanakan terlebih dahulu oleh pihak yang berkepentingan (pihak
penyusun) karena mereka mengharapkan agar apa yang dikehendakinya akan
menjadi kenyataan sehingga perjanjian baku ini tidak lain merupakan
rasionalisasi hubungan-hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat
modern.
Dengan menggunakan perjanjian baku ini pengusaha akan memperoleh
efisiensi waktu, tenaga dan biaya.
Dari gejala-gejala perjanjian baku yang terdapat di masyarakat , menurut
Mariam Darus perjanjian ini dapat dibedakan dalam empat jenis :
a) Perjanjian baku sepihak
b) Perjanjian baku timbal balik
c) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah
d) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notasi atau advokat
yang di dalam kepusatakan Belanda jenis keempat ini disebut contract
model.
113

Untuk materi ini kita haya membatasi perhatian hanya kepada perjanjian
baku sepihak (eenzijdige standaarddontract) saja. Perjanjian baku sepihak di
dalam keputusan Belanda dinamakan “perjanjian adhesi”. Contoh perjanjian
standar adalah tiket pengangkutan, formulir cuci cetak foto dan sebagainya.
Dari contoh formulir cetak foto terlihat adanya pengalian tanggung jawab
yang disebut dengan “klausula eksenorasi ’’ atau “ exennoratie clausul”.
Apakah klausula eksenorasi selalu dituangkan dalam perjanjian standar
atau dalam perjanjian standar memuat klausula eksenorasi? Klausula
eksenorasi selalu dituangkan dalam perjanjian standar tetapi tidak selalu
perjanjian standar memmuat klausula eksenorasi.
Dari contoh yang ada, dapat disimpulkan ciri-ciri perjanjian baku
sebagai berikut :
- Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya kuat.
- Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian.
- Terdorong oleh kebutuhan debitur terpaksa menerima perjanjian itu.
- Bentuk tertentu (tertulis).
- Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan kolektif.
Permasalahan dalam perjanjian standar :
1) Apakah dengan ciri-ciri perjanjian baku dapat dikatakan “perjanjian”
sebagaimana ditentukan dalam KUHPerdata (terutama apabila diikatkan
dengan Pasal 1320KUHPerdata)?
2) Apakah perjanjian standar dapat memungkinkan terjadinya
penyalahgunaan keadaan? (dihubungkan dengan ada tidaknya kata
sepakat)
“Sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah asas esensial dari
hukum perjanjian. Asas ini dinamakan asas konsensualisme yang menentukan
“adanya” (raison d’etre het beataanwaarde) perjanjian. Asas konsensualisme
yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti “kemauan”
(will) para pihak untuk saling berprestasi, adanya kamauan untuk saling
mengingatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen)
114

bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini bersumber pada nilai
norma.
Asas konsensualisem ini mempunyai hubungan erat dengan asas
kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas kekuatan mengikat yang
terdapat didalam Pasal 1338 KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak ini
berhubungan dengan kebebasan untuk menentukan :
- Isi perjanjian
- Dengan siapa perjanjian itu diadakan.
Meninjau masalah “ada” dan “kekuatan mengikatnya” perjanjian baku secara
teoritis yuridis, perjanjian ini tidak memenuhi elemen-elemen yang
dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata.
Pada dasarnya perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku
diadakan tidak memberikan kesepakatan pada debitur untuk mengadakan “real
bargaining” dengan pengusaha (kreditur), Bahwa didalam perjanjian baku
terjadi pelanggaran terhadap asas kebebasan kontrak. Tetapi ada beberapa ahli
hukum yang tidak memberiakn dukungan terhadap perjanjian baku ini yaitu :
1) SLUIJTER
Mengatakan perjanjian baku ini bukan perjanjian, sebab kedudukan
pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-
undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha didalam
perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian.
2) PITLO
Mengatakan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwangcontract).

Walaupun secara teoritis yuridis perjanajian baku ini tidak memenuhi


ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun
kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalan dengan arah yang berlawanan
dengan hukum. Apakah kebutuhan masyarakat harus menghindarkan diri
terhadap hukum? Untuk memecahkan masalah diatas ada beberapa sarjana
yang mengemukakan alasan untuk menerima perjanjian baku yang
115

motivasinya tidak lain untuk melayani kebutuhan masyarakat dan bukan


sebaliknya. Beberapa sarjana yang berpendapat menerima perjanjian baku:
1) STEIN
Bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian , berdasarkan fiksi
adanya kemauan dan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada
perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu berarti ia
secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut .
2) ASSER RUTTEN
“setiap orang yang mendatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi
dan apa yang ditandatanganinya .jika orang membubuhkan tanda tangan
pada suatu formulir perjanjian baku , tanda tangan itu membangkitkan
kepercayaan bahwa yang bertada tangan mengetaui dan menghendaki isi
formulir yang ditandatangani . tidak mungkin seseorang menda tangani apa
yang tidak diketahui sisnya”.
3) HONDIUS
Perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat , berdasrkan kebiasaan
yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.
Adanya yang dikemukakan oleh Stein , Asser dan Hondius sebagai alasan
untuk menerima perjanjian baku hukum berfungsi untuk melayani kebutuhan
masyarakat dan bukan sebaliknya .
Di Perancis, Salleiles adalah seorang pelopor atau di perancis yang
mempertahankan eksisensi perjanjian standar .bahwa perjanjian standar bukan
merupakan perjanjian biasa tetapi merupaka hubungan hukum (sui generis)
yaitu perjanjian yang lain dari pada yang lain sehingga tidak perlu lagi di
permasalahkan ada tindakannya kata sepakat. bagi penulis di Perancis
menganggep perjanjian standar bukan merupakan masalah segingga perjanjian
standar bisa diterima dalam lalu lintas hukum .
Pendapatan lain, di dalam perjanjian standar ada kata sepakatnya yakni
yang terdapat di dalam salah satu bagaiannya yaitu perjanjian pokok karena
disitu disebutkan ada para pihak dan ada kata sepakat. sedangkan syarat-syarat
umumnya (klausula eksonerasi) yang menentukan secara apiori adalah si
116

penyusun. dengan demikian di dalam syarat umumnya tidak terdapat di dalam


syarat umum tidak ada kata sepakat namun syarat nmumnya tidak berdiri
sendiri .

3. Penerapan perjanjian baku terhadap kontrak-kontrak


Sutan Ramy Sjahdenini mengenali sah tindaknya dan prokontra
perjanjian baku menyatakan : “Keabsahan berkaku perjanjian baku tidak perlu
lagi dipersolahkan oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan
kenyataan yaitu dengan telah dipekainya perjanjian kbaku secara meluas
dalam dunia disnis sejak lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan itu terbentuk
karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri.Dunia
bisnis tidak dapat berlangsung tanpa perjajian baku. Perjanjian baku
diperlukan oleh dan karena itu diterima oleh masyarakat .
R. Subekti menyatakan :
“Semua perikatan yang telah dibuat berdasarkan kesepakatan bersama
diantaran para pihak, yang sama-sama cakap bertindak ,mengenai suatu obyek
yang tertentu , berdasarkan atas causa yang halal adalah mengikat secara sah
bagi pihak -pihak yang bersangkutan sebagaimana layaknya suatu undangan –
undangan .”
Dengan diakuinya asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme
tersebut , berarti manusia diakui harkatnya sebagai subyek yang terhormat
yang dapat memelihara atau memegang teguh kata- kata atua janjianya
Pengaturan isi perjanjian tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak ,
akan tetapi perlu diawasi pemerintah seagai pengemang kepentingan individu
dan kepentingan masyarakat .melalui penerobosan hukum perjanjian oleh
pemerintah terjadi pergeseran hukum perjanjian ke bidang hukum publik .
melalui campur tangan pemerintah ini terjadi pemasyarakatan
(vermaatschappeljking) hukum perjanjian. Menurut Mariam Darus , hukum
perdata sebagai induk hukum perjanjian adalah hukum yang mengatur
kepentingan . Rumusan ini mendorong kita untuk membahas bagaimana
system hubungan individu dan masyarakat di mana hukum Perdata Nasional .
117

- Di Indonesia yang primar adalah masyarakat , individu terikat dalam


masyarakat , hukum bertujuan mencapai kepentingan individu yang
selaras , serasi dan seimbang dengan kepentingan masyarakat.
- Di brat yang primair adalah individu , individu terlepas dari masyarakat
hukum bertujuan untuk mencapai kepentingan individu.
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam
hukum perjanjian . kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendakan bebas,
pancaran hak asai manusia . Di dalam perjanjian nasional , asas kebebasan
berkontrak yang bertanggung jawab ini tetap perlu di pertahan kan . Dengan
asa ini sifat manusia yang universal dapat dipelihara yaitu “ pengembangan
kepribadaian“ untuk mencapai dan batin yang serasi , selaras dan
keseimbangan kepentingan masyarakat.
Permasalahan lain dalam Pejanjian Baku tersebut , apakah asas
konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak tersebut masih dipenuhi ?Isi
perjanjian baku yang sangat menonjol yang perlu mendapat perhatian khusus
adalah yang berkaitan dengan “pembatasan pertanggung jawaban” dari
kreditur. Dalam perpustakaan asing hal ini dinamakan “ exonnerasi klausule”
(Belanda ) atau “exempton clause ” (Inggris).
Menurut Johanes Gunawan,berhubung kontrak baku telah dirancang,
dibuat, ditetapkan, digandakan, serta disebarluaskan secara sepihak oleh salah
satu pihak, sedangkan pihak lainnya hanya menerima atau menolak (take or
leave it), tidak mengherankan bila kontrak baku acapkali mengandung
klausula baku (klausula eksonerasi) yang berisi ketentuan dan persyaratan
yang :
a. mengurangi atau menghapuskan tanggung jawab pembuat kontrak atas
akibat hukum tertentu, misalnya ganti rugi akibat wanprestasi.
b. membatasi atau menghapuskan kewajiban tertentu pembuat kontak.
c. menciptakan kewajiban tertentu yang kemudian dibebankan kepada pihak
lain, misalnya menciptakan kewajiban memberi ganti rugi kepada pihak
ketiga yang terbukti mengalami kerugian.
118

Di dalam perjanjian baku tersebut klausul dari perjanjian telah


ditetapkan sebelumnya secara sepihak oleh pihak yang satu yaitu pihak yang
umumnya dapat dikatakan sebagai pihak yang menentukan karena mempunyai
bargaining position yang jauh diatas pihak lainnya, baik dalam kedudukan
ekonomis maupun pengetahuan atau pengalaman yang menyangkut obyek
perjanjian, sedangkan pihak yang lema (adherent) tidak diajak merundingkan
persyaratan dari perjanjian tersebut. Malah pada umumnya pihak yang
lainnya tersebut sewaktu dibuatnya perjanjian tersebut tidak memahami sama
sekali klausul yang termuat dalam perjanjian baku tersebut selain karena
tidak/belum pernah membaca perjanjian tersebut, bahkan kadang-kadang
tidak ikut menandatangani perjanjian baku tersebut (misalnya perjanjian
Angkutan Penumpang Pesawat Udara).
Klausula baku yang merupakan klausula eksonerasi jelas telah
merugikan pihak penutup kontrak atau penerima penawaran, karena ia harus
bertanggung jawab atas akibat hukum tertentu dan memikul kewajiban
tertentu yang menurut hukum bukan merupakan tanggung jawab atau
kewajibannya. Pada banyak system hukum klausula baku misalnya di dalam
buku VI Pasal 236 dan 237 KUH Perdata Baru Negeri Belanda (Nieuw
Nederlands Burgerleijk Wetboek), yang mencantumkan daftar hitam dan
daftar abu-abu klausula baku yang berisi klausula eksonerasi.
Demikian pula dalam Pasal 18 UU No 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen yang telah melarang 8 macam klausula baku yang
berisi klausula eksonerasi. Selain itu Pasal 18 UU tersebut melarang klausula
yang letak, bentuk, maupun pengungkapannya tidak mudah dibaca, tidak jelas,
dan sukar dimengerti.
Kontrak baku yang dirancang, dibuat, ditetapkan, digandakan, serta
disebarluaskan secara sepihak oleh pembuat kontrak menyebabkan terjadinya
pelanggaran terhadap beberapa prinsip penting dalam hukum kontrak pada
umumnya, antara lain prinsip keseketikaan (contemporaneous) dan prinsip
tidak menyalahgunakan keadaan (undue influence) Prinsip keseketikaan
menyatakan bahwa para pihak dalam sebuah kontrak harus telah mengetahui
119

dan memahami ketentuan dan persyaratan dalam kontrak, sebelum atau


setidak-tidaknya pada saat kontrak ditutup oleh para pihak.
Berhubung kontrak baku ditutup oleh penutup kontrak secara cepat dan
massal (tiket pesawat dan parker), isi klausula baku dalam kontrak baku pada
umumnya hanya diketahui oleh perancang atau pembuat. Kondisi tersebut
menunjukan bahwa kontrak baku jelas melanggar atau bertentangan dengan
prinsip contemporaneous.
Selain itu , kontrak baku pada umumnya memanfaatkan undue influence
yaitu keadaan (kelemahan,keraguan, atau keadaan tertekan) pihak penutup
kontrak sehingga perilaku atau keputusan pihak tersebut berubah secara tidak
bebas demi keuntungan pihak pembuat kontrak. Misalnya dalam kontrak
kredit mobil baru menjelang hari raya, pada umumnya pembuat kontrak baku
memanfaatkan kehendak penutup kontrak yang kuat untuk segera memiliki
mobil dengan menyodorkan segala macam dokumen yang telah dibakukan
untuk segera ditandatangani oleh penutup kontrak. Adapun indikasi undue
influence dalam kontrak baku antara lain :
1. isi kontrak baku tidak masuk akal, tidak patut, bertentangan dengan
kemanusiaan (unfair contract term).
2. pihak penutup kontrak baku dalam keadaan tertekan.
3. pihak penutup kontrak baku tidak memiliki pilihan lain, kecuali menerima
isi kontrak baku walaupun dirasakan memberatkan.
4. hak dan kewajiban para pihak tidak seimbang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam perjanjian baku
kedudukan kreditur dan debitur tidak seimbang. Posisi monopoli pihak
kreditur membuka peluang luas baginya untuk menyalahgunakan
kedudukannya. Pengusaha hanya mengatur hak-haknya saja dan tidak
kewajibannya. Dari segi lain perjanjian baku hanya memuat sejumlah
kewajiban-kewajiban yang harus dipikul debitur.Di dalam Negara kita yang
berdasarkan Pancasila, perjanjian baku ini tidak boleh dibiarkan tumbuh
secara liar. Dua elemen yang menghimbau kita untuk menertibkan perjanjian
baku ini yaitu :
120

- Pelanggaran oleh kreditur terhadap asas kebebasan berkontrak yang


bertanggung jawab, di dalam hukum perjanjian.
- Mencegah agar kreditur, sebagai pihak yang kuat ekonominya tidak
mengeksploitasi debitur sebagai pihak yang lemah ekonominya.
Bagaimana langkah yang dapat diambil untuk mengatasi masalah-
masalah yang terdapat di dalam perjanjian baku di Indonesia. Menurut
Mariam Darus ada beberapa hal yang dapat ditempuh, yaitu :
1) Mengatur perjanjian baku dengan Undang-undang
2) Menciptakan hukum perjanjian baku melalui yurisprudensi tetap atas
klausul yang terdapat dalam perjanjian baku sehingga menjadi pedoman
bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3) Melalui pengawasan pemerintah dapat berupa aturan administratif yang
bersifat preventif. Misalnya seluruh perjanjian baku yang dipergunakan
sebelum diperlakukan terhadap masyarakat. Hendaknya ditempatkan
terlebih dahulu di dalam Berita Negara atau didaftarkan di instansi yang
berwenang.
1

A. Uraian Materi
1. Pengertian Hukum Perdata
Pada dasarnya menurut isinya hukum dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
macam yaitu hukum publik dan hukum privat (hukum perdata). Apakah
hukum perdata, apabila kita melihat definisi hukum perdata di berbagai buku
tentang hukum perdata maka kita akan menemukan berbagai pendapat dari
berbagai sarjana yang masing-masing berbeda. Namun perbedaan tersebut
tidak berarti ada pertentangan yang tajam melainkan menunjukkan adanya
perbedaan penekanan dan bukan perbedaan yang prinsipiil.
Kata perdata bersal dari kata pradoto (bahasa jawa kuno) yang berarti
bertengkar atau berselisish sehingga secara letterlijk dapat dikatakan bahwa
hukum perdata berarti hukum pertengkaran atau hukum
perselisihan.Beberapa pakar memberikan pengertian hukum perdata sebagai
berikut :
a. Sri Sudewi Masjchoen : “Hukum perdata ialah hukum yang mengatur
kepentingan antara warga negara yang satu dengan warga negara yang
lain”.
b. Sudikno Mertokusumo mengartikan hukum perdata : “hukum antar
perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perorangan yang
satu terhadap yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan dalam
pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan masing-masing
pihak”.
Dari kedua definisi ini dapat dilihat bahwa hukum perdata diberi arti
mengatur kepentingan/perlindungan antara orang yang satu dengan orang
yang lain. Di dalam ilmu hukum kita mengenal subyek hukum bukan hanya
orang (manusia) tetapi juga badan hukum. Oleh karenanya dapat diartikan
bahwa hukum perdata adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum
yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan dalam pergaulan masyarakat
(Salim HS 2003: 6).
2

Meskipun hukum perdata mengatur kepentingan perseorangan


namun tidak berarti semua hukum perdata tersebut secara murni mengatur
kepentingan perseorangan, melainkan karena perkembangan masyarakat,
banyak bidang-bidang hukum perdata yang telah diwarnai sedemikian rupa
oleh hukum publik, misalnya bidang perkawinan, ketenagakerjaan dan
sebagainya.
Selanjutnya hukum perdata dapat dibedakan dalam arti tertulis dan
tidak tertulis. Hukum perdata tertulis yaitu Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, sedangkan yang tidak tertulis ialah hukum adat. Hubungan hukum
perdata tertulis dan tidak tertulis terletak pada Pasal 1339 KUH Perdata dan
Pasal 1347 KUHPerdata. Hukum perdata ada dalam arti sempit dan dalam
arti luas. Hukum perdata dalam arti sempit ialah Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, sedangkan dalam arti luas ialah KUHPerdata dan
KUHDagang, serta peraturan perundang-undangan lainnya. Asas lex
specialis derogat legi generalis terdapat dalam hubungan hukum perdata
dalam arti sempit dengan hukum perdata dalam arti luas sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 KUH Dagang. Hukum perdata juga dapat
dibedakan dalam arti materil dan dalam arti formil. Hukum perdata dalam arti
materil adalah KUH Perdata dan dalanm arti formil adalah Hukum Acara
Perdata. Hukum materil mengatur hak dan kewajiban sedangkan hukum
formil mengatur bagaimana caranya menjalankan dan mempertahankan hak
dan kewajiban (Djaja S Meliala, 2007: 14).

2. Perkembangan dan Perubahan Terhadap KUH Perdata


Hukum perdata di Indonesia sampai saat masih beraneka ragam
(pluralistis), dimana masing-masing golongan penduduk mempunyai hukum
perdata sendiri kecuali bidang-bidang tertentu yang suda hada unifikasi.
Keanekaragaman hukum perdata di Indonesia ini sebenarnya sudah
berlangsung lama bahkan sejak kedatangan Belanda di Indonesia. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 timbul
pertanyaan bagaimana Indonesia akan menentukan politik hukumnya agar
3

tidak terjadi kevacuman hukum yang bisa menimbulkan ketidakpastian dan


kekacauan dalam masyarakat.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 Konstitusi RIS dan UUDS 1950
ada dimuat aturan peralihan. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
menentukan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar
ini”. Jadi berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dan Peraturan
Pemerintah No 2 Tahun 1945 maka keadaan hukum perdata pada tanggal 17
Agustus 1945 diteruskan berlakunya di Indonesia. Dengan adanya peraturan
peralihan tersebut di atas, maka segala peraturan hukum peninggalan
pemerintah Hindia Belanda seperti IS, BW, Wv dan sebagainya dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Bagaimana kedudukan BW (Burgerlijk Wetboek) pada waktu
sekarang? Apakah BW tersebut masih bisa dianggap berlaku sebagai sebuah
kitab undang-undang (kodifikasi) di Indonesia ? Menteri Kehakiman
Sahardjo S.H., pada rapat Kerja Badan Perancang Lembaga Pembinaan
Hukum Nasional bulan Mei 1962 melontarkan suatu problema hukum :
“Apakah BW sebagai kodifikasi tidak telah habis masa berlakunya pada saat
kita memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945?” Sahardjo
berpendapat bahwa BW tidak lagi sebagai undang-undang melainkan sebagai
suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak
tertulis. Dengan kata lain BW bukan lagi sebagai wetboek tetapi rechtboek
yang hanya dipakai sebagai pedoman (Saleh Adiwinata, 1985: 32).
Menanggapi persoalan yang dikemukakan Menteri Kehakiman
Sahardjo SH tersebut, Prof Mahadi SH berpendapat sebagai berikut :
a. BW sebagai kodifikasi sudah tidak berlaku lagi
b. Yang masih berlaku ialah aturan-aturannya yang tidak bertentangan
dengan semangat serta suasana kemerdekaan.
c. Diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrin untuk menetapkan aturan
mana yang masih berlaku dan aturan mana yang tidak dipakai lagi.
4

d. Tidak setuju diambil suatu ttindakan legislatif untuk menyatakan bahwa


aturan-aturan BW dicabut sebagai aturan-aturan tertulis. Tegasnya tidak
setuju, untuk menjadikan aturan-aturan BW yang masih bisa berlaku
menjadi hukum kebiasaan (hukum adat)
Kemudian gagasan Sahardjo yang menganggap BW bukan lagi sebagai
wetboek tetapi rechboek ini kemudian dibawa ke dalam Konggres Majelis
Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI-sekarang LIPI) II yang diadakan di
Yogyakarta pada bulan Oktober 1962. Kemudian terdengar banyak sekali
suara-suara dari para sarjana hukum di Indonesia yang menyetujui gagasan
tersebut, Sebagai konskuensi dari gagasan ini maka Mahkamah Agung
menganggap tidak berlaku lagi antara lain pasal-pasal berikut dari Burgerlijk
Wetboek dengan mengeluarkan Surat Edarán Mahkamah Agung No 3 Tahun
1963 yang ditanda tangani Wirjono Projodikoro tersebut beberapa pasal BW
dinyatakan tidak berlaku lagi. Beberapa pasal yang dinayatakan tidak berlaku
antara lain:
1) Pasal-pasal 108 dan 110 BW tentang wewenang seorang istri untuk
melakukan perbutan hukum dan untuk menghadap di pengadilan tanpa
izin dan bantuan suami.
2) Pasal 284 ayat (3) BW mengenai pengakuan anak yang lahir di luar
perkawinan oleh seorang perempuan Indonesia asli. Dengan demikian
pengakuan anak itu tidak lagi berakibat putusnya hubungan hukum
antara ibu dan anak sehingga tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan
di anatara semua warga negara Indonesia.
3) Pasal 1682 BW yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan
dengan akta notaris.
4) Pasal 1579 BW yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa
barang si pemilik barang tidak dapat menghentikan persewaan dengan
mengatakan, bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali
apabila pada waktu membentuk persetujuan sewa menyewa ini
dijanjikan diperbolehkan.
5

5) Pasal 1238 BW yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu


perjanjian hanya dapat diminta di muka hakim, apabila gugatan ini
didahului denganpenagihan tertuis.
6) Pasal 1460 BW tentang risiko seorang pembeli barang, pasal mana
menentukan bahwa suatu barangg tertentu yang sudah dijanjikan dijual
sejak saat itu adalah tanggung jawab pembeli, meskipun penyerahan
barang itu belum dilakukan.
7) Pasal 1603 x ayat (1) dan ayat (2) BW, yang mengadakan diskriminasi
antara Eropah di satu pihak dan bukan Eropah di lain pihak mengenai
perjanjian perburuhan.
Selanjutnya perkembanngan dan perubahan terhadap KUH Perdata lainnya
antara lain :
a) UU Pokok Agraria (UUPA) yaitu UU No 5 Tahun 1960 yang
menyataka mencabut Buku II KUHPerdata sepanjang yang mengatur
tentang bumi,air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
kecuali ketentuan mengenai hipotik.
b) UU No 4/1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga,
berlaku tanggal 21 Pebruari 1961. Undang-undang ini menyatakan
tidak berlaku lagi Pasal 6,7,8,9 dan 10 KUHPerdata. Kemudian
undang-undang ini pun sekarang sudah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku oleh UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
c) UU Perkawinan (UU No 1 Tahun 1974)
d) UU PT (UU No 40 Tahun2007)
e) UU No 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001
tentang Yayasan.
f) UU Hak Tanggungan (UU No 4 Tahun 1996).
g) UU tentang Jaminan Fidusia (UU No. 42 Tahun 1999).
h) UU tentang HAM, UU No 39 Tahun 1999.
i) UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
j) UU tentang Perlindungan Anak, UU No 23 Tahun 2002
6

k) UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No


23 Tahun 2004)
l) UU tentang Kewarganegaraan RI (UU No 12 Tahun 2006)
m) UU tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk , UU No 23
Tahun 2006) yang menyatakan antara lain mencabut dan tidak berlaku
lagi Buku Kesatu Bab Kedua Bagian Kedua dan Bab Ketiga KUH
Perdata dan UU No 4 Tahun 1961.
Dengan demikian pada waktu sekarang BW bukan lagi sebagai Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku secara menyeluruh seperti
mulai diberlakukan pada tanggal 1 Mei 1848, akan tetapi beberapa bagian
ketentuan yang terdapat di dalamnya sudah tidak berlaku lagi, baik arena
adanya peraturan perundang-undangan nasional di lapangan perdata ysng
menggantikannya maupun karena dikesampingkan dan mati oleh putusan-
putusan hakim yang merupakan yurisprudensi karena ketentuan-ketentuan
BW itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan
kemajuan jaman sekarang.

3. Tentang Orang
a. Subyek Hukum
Subjek hukum adl pendukung hak dan kewajiban. Pendukung hak
dan kewajiban itu disebut orang. Orang dalam arti hukum terdiri dari
manusia pribadi, dan badan hukum. Manusia pribadi adalah subjek hukum
dalam arti bilogis, sebagai gejala alam, sebagai makhluk budaya yang
berakal, berperasaan dan berkehendak. Badan Hukum adl subjek hukum
dalam arti yuridis, sebagai gejala dalam hidup bermasyarakat, sebagai
badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, mempunyai hak dan
kewajiban seperti manusia pribadi. Dalam perkembangan perundang-
undangan sekarang ini, yang dinamakan subyek hukum itu bukan lagi
dalam pengertian yang tradisional (konvensional) yaitu manusia dan badan
hukum, tetapi manusia dan korporasi.
Perbedaan prinsip Badan Hukum dgn manusia pribadi;
7

 Manusia pribadi adalah makhluk ciptaan Tuhan, mempunyai akal,


perasaan, kehendak dan dapat mati. Sedangkan badan hukum adalah
ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum dan dapat dibubarka
oleh pembentuknya.
 Manusia pribadi mempunyai kelamin, sehingga ia dapat kawin,
dapat beranak, sedangkan badan hukum tidak.
 Manusia pribadi dapat menjadi ahli waris, sedangkan badan hukum
tidak dapat.
Pengakuan terhadap manusia pribadi sebagai subjek hukum dapat
dilakukan sejak ia masih dalam kandungan ibunya asalkan ia lahir dalam
keadaan hidup. Hal ini penting artinya apabila kepentingan si anak
menghendaki missal dalam menerima waris atau hibah.Jadi pengakuan
manusia menjadi subyek hukum sejal ia lahir sampai meninggal dunia.
Badan hukum adalah subjek hukum ciptaan manusia pribadi
berdasarkan hukum yang diberi hak dan kewajiban seperti manusia pribadi
Menurut ketentuan pasal 1653 KUH Perdata ada tiga macam klasifikasi
badan hukum berdasarkan eksistensinya, yaitu ;
1) Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah, seperti badan
pemerintahan, perusahaan negara
2) Badan hukum yang diakui pemerintah, seperti PT, Koperasi
3) Badan Hukum yang diperbolehkan atau untuk suatu tujuan tertentu
yang bersifat ideal, seperti yayasan (pendidikan, sosial, keagamaan
dll)
Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah adalah badan hukum
yang sengaja diadakan oleh pemerintah untuk kepentingan pemerintah,
baik lembaga negara maupun perusahaan milik negara. Badan hukum ini
dibentuk oleh pemerintah dengan UU atau dengan Peraturan Pemerintah.
apabila dibentuk dengan UU, maka pembentuk badan hukum tersebut
adalah presiden bersama DPR RI. Apabila dibentuk dengan PP, maka
pembentuk badan hukum itu adalah presiden sebagai kepala pemerintahan.
8

Badan hukum yang diakui oleh pemerintah adalah badan hukum


yang dibentuk oleh pihak swasta atau pribadi warga negara untuk
kepentingan pribadi pembentuknya sendiri, tetapi badan hukum tersebut
mendapatkan pengakuannya menurut UU. Pengakuan itu diberikan oleh
pemerintah karena isi anggaran dasarnya tidak dilarang oleh UU, tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan badan hukum itu tidak akan
melanggar UU. Pengakuan tersebut diberikan pemerintah melalui
pengakuan ADnya.
Badan hukum yang diperbolehkan adalah badan hukum yang tidak
dibentuk oleh pemerintah dan tidak pula memerlukan pengakuan menurut
UU, tetapi diperbolehkan karena tujuannya bersifat ideal di bidang sosial,
pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, keagamaan. Badan hukum ini
selalu berupa yayasan. Untuk mengetahui apakah anggaran dasar badan
hukum itu dilarang oleh UU, tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, maka akta pendiriannya memuat anggaran dasar yang harus
dibuat di muka notaris, karena notaris adalah pejabat resmi berdasarkan
UU.
Dilihat dari wewenang hukum yang diberikan kepada badan hukum
dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam, yaitu :
1) Badan hukum publik (kenegaraan), yaitu badan hukum yang
dibentuk oleh pemerintah, diberi wewenang menurut hukum
publik, misalnya departemen pemerintahan, propinsi, lembaga-
lembaga negara seperti MPR,DPR,MA dan sebagainya.
2) Badan hukum privat (keperdataan), yaitu badan hukum yang
dibentuk oleh pemerintah atau swasta, diberi wewenang menurut
hukum perdata.badan hukum keperdataan ini mempunyai
bermacam ragam tujuan keperdataan.
Dilihat dari segi tujuan keperdataan yang hendak dicapai oleh badan
hukum itu, maka badan hukum keperdataan dapat diklasifikasikan menjadi
3 macam, yaitu ;
9

1) Badan hukum yang bertujuan memperoleh laba terdiri dari


perusahaan negara, yaitu Perum, Persero, Perjan, PT
2) Badan hukum yang bertujuan memenuhi kesejahteraan para
anggotanya yaitu koperasi.
3) Badan hukum yang bertujuan bersifat ideal di bidang sosial,
pendidikan dan ilmu pengetahuan, kebudayaan, keagamaan. Ada
pemisahan antara kekayaan badan hukum dan kekayaan pribadi
pengurusnya. Termasuk dalam jenis ini adalah yayasan, organisasi
keagamaan, wakaf.
b. Catatan Sipil
Lembaga catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan
mengadakan pendaftaran, pencatatan serta pembuktian yang selengkap-
lengkapnya dan sejelas-jelasnya serta memberi kepastian hukum yang
sebesar-besarnya atas peristiwa kelahiran, pengakuan, perkawinan dan
kematian (Nyoman Budijaya, 1987: 9).
Semula di Indonesia dalam praktek penyelenggaraan catatan sipil
terdapat hambatan karena adanya pembagian golongan penduduk
sebagaimana diatur dalam Pasal 131 jo Pasal 163 I.S, tetapi kemudian
dengan Instruksi Presidium Kabinet Ampera tanggal 27 Desember 1966,
No 31/U/IN/12/1966 dinyatakan bahwa dalam pencatatan sipil tidak lagi
dikenal adanya golongan-golongan penduduk dan kantor catatan sipil
terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia. Selanjutnya perkembangan
lembaga ini setelah berlakunya UU No 1 Tahun 1974 jo PP No 9 Tahun
1975 (Pasal 2). Pasal 2 PP No 9 tahun 1975 menyebutkan :

(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan


perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai
Pencatat sebagaimana dimaksud dalamm UU No 32 Tahun 1954
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

(2) Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan


perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
10

agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada


Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksudkan dalam berbagai
perundang-undanfan mengenai pencatatan perkawinan.
Ada lima akta catatan sipil yaitu akta perkawinan, akta kelahiran,
akta perceraian, akta kematian, dan akta pengakuan anak. Akta ini dapat
dipergunakan sebagai alat bukti yang kuat atas peristiwa atau kejadian
sebagaimana tersebut dalam akta itu sendiri atau dengan kata lain, untuk
memperoleh kepastian hukum tentang status keperdataan seseorang yang
mengalami peristiwa hukum tersebut dan membantu memperlancar
aktivitas Pemerintah di bidang kependudukan (Suroso, 2003: 155).
Dalam UU No 23 Tahun 2006 tentang Adminduk mengenal
pencatatan akta catatan sipil sebagai berikut :
1) Pencatatan kelahiran (Pasal 27)
2) Pencatatan lahir mati (Pasal 33)
3) Pencatatan Perkawinan (Pasal 34, 36 dan 37)
4) Pencatatan Pembatalan Perkawinan (Pasal 39)
5) Pencatatan Perceraian (Pasal 40)
6) Pencatatan Pembatalan Perceraian (Pasal 43)
7) Pencatatan Kematian (Pasal 44)
8) Pencatatan Pengangkatan Anak (Pasal 47 dan 48)
9) Pencatatan Pengakuan Anak (Pasal 49)
10) Pencatatan Pengesahan anak (Pasal 50)
11) Pencatatan Perubahan Nama (Pasal 52)
12) Pencatatan Perubahan Status kewarganegaraan (Pasal 53 dan 54)
13) Pencatatan Peristiwa penting lainnya (pasal 56 ayat 1)
c. Domisili
Tempat tinggal atau domisili adalah tempat dimana seseorang
tinggal/berkedudukan serta mempunyai hak dan kewajiban hukum.
Tempat tinggal dapat berupa wilayah atau daerah dan dapat pula berupa
rumah kediaman (kantor) yang berada dalam wilayah tertentu. Tempat
tinggal manusia pribadi, disebut tempat kediaman sedangkann untuk
11

badan hukum, disebut tempat kedudukan (Abdulkadir Muhammad,


1990: 35).
Menurut Sri Soedewi Masjchoen sofwan domisili atau tempat
kediaman itu adalah “tempat di mana seseorang dianggap hadir mengenai
hal melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajibannya juga meskipun
kenyataannya dia tidak di situ” Menurut kitab Undang-undang Hukum
Perdata tempat kediaman itu seringkali ialah rumahnya, kadang-kadang
kotanya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap orang dianggap
selalu mempunyai tempat tinggal di mana ia sehari-harinya melakukan
kegiatannya atau di mana ia berkediaman pokok. Kadang-kadang
menetapkan tempat kediaman seseorang itu sulit, karena selalu berpindah-
pindah (banyak rumahnya). Untuk memudahkan hal tersebut dibedakan
antara tempat kediaman hukum (secara yuridis) dan tempat kediaman yang
sesungguhnya. Tempat kediaman hukum adalah: “Tempat dimana
seseorang dianggap selalu hadir berhubungan dengan hal melakukan hak-
haknya serta kewajiban-kewajibannya, meskipun sesungguhnya mungkin
ia bertempat tinggal di lain tempat. Bagi orang yang tidak mempunyai
tempat kediaman tertentu,maka tenpat tinggal dianggap di mana ia
sungguh-sungguh berada.
Menurut KUH Perdata ada 4 (empat) macam tempat tinggal yaitu :
1) Tempat tinggal hukum (Pasal 17 (1) KUH Perdata)
2) Tempat tinggal senyatanya (Pasal 17 ayat (2) KUH Perdata)
3) Tempat tinggal yang dipilih (pasal 24 KUHPerdata)
4) Tenpat tinggal wajib (Pasal 21 dan 22 KUH Perdata)
Dengan berlakunya UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dikenal satu jenis domisili yaitu “rumah
aman” atau tempat tinggal sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 22
butir c UU No 23 Tahun 2004.
Mengapa perlu ditetapkan tempat tinggal seseorang ? Hal ini penting
dalam beberapa hal antara lain:
12

1. Tempat seseorang harus mempertanggunggjwabkan perbuatannt\ya


jika ia melakukan perbuatan melawan hokum
2. Tempat seseorang melangsungkan perkawinannya (Pasal 76 KUH
Perdata).
Dengan berlakunya UU Adminduk UU No 23 Tahun 2006. Ketentuan
tentang domisili sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal
25 KUH Perdata sudah dinyatakan tidak berlaku.
Di dalam UU Adminduk diatur juga mengenai “Pendaftaran
Penduduk” dalam Bab IV, bagian Kesatu, Nomor Induk Kependudukan
pada Pasal 13 yang berbunyi :
(1) Setiap penduduk wajib memiliki NIK
(2) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku seumur hidup
dan selamanya yang diberikan oleh pemerintah dan diterbitkan
oleh instansi pelaksana kepada setiap penduduk setelah dilakukan
pencatatan biodata.
(3) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam
setiap dokumen kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan
paspor, surat ijin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, polis
asuransi, sertifikat hak atas tanah, dan penerbitan dokumen
identitas lainnya.
(4) ………dan seterusnya.
Pengertian NIK (Nomor Induk Kependudukan) berdasarkan UU
Adminduk adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik dan khas,
tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk
Indonesia. Selanjutnya yang dimaksud dokumen kependudukan meliputi :
a. Biodata Penduduk ; b. Kartu Keluarga; c. Kartu Tanda Penduduk; d.
Surat Keterangan Kependudukan; e. akta Pencatatan Sipil (Pasal 59
ayat 1).
Berapa lama masa berlakunya KTP seorang penduduk? Untuk
warganegara Indonesia berlaku selama 5 (lima) tahun (Pasal 64 ayat (4)
butir a), penduduk yang berusia 60 tahun lebih diberi KTP yang berlaku
13

seumur hidup (Pasal 64 ayat (5)). Selanjutnya setiap penduduk yang


dengan sengaja mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota
keluarga lebih dari satu KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat
(6) dipidana pnjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
d. Kewarganegaraan
UU Kewarganegaraan yang pertama sebagai pelaksanaan Pasal 26
UUD 1945, adalah UU No 3 Tahun 1946 yang telah mengalami perubahan
melalui UU No 6 jo UU No 8 Tahun 1947 dan UU No 11 tahun 1948. UU
ini menganut asas ius soli yaitu asas tempat kelahiran. Kemudian UU
tersebut diganti dengan UU No 62 Tahun 1058 yang menganut asas ius
sanguinis (keturunan), walaupun dalam hal-hal tertentumasih menganut
asas ius soli. Asas ius soli dipakai oleh UU No 62 Tahun 1958 sebagai
kekecualian untuk mencegah apatride yaitu khusus untuk anak-anak yang
lahir di wilayah Indonesia,yang kedua orang tuanya tidak diketahui atau
orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau mungkin belum
mendapat kewarganegaraan.
Pada prinsipnya UU Kewarganegaraan No 62 Tahun 1958 mengatur
tentang memperoleh kewarganegaraan dan kehilangan kewarganegaraan.
UU No 62 tahun 1958 inipun sekarang sudah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku uleh UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang mulai
berlaku 1 Aguatus 2006. UU No 12 Tahun 2006 ini menganut asas ius
sanguinis dan asas ius soli terbatas yaitu terbatas bagi anak-anak. UU No
12 Tahun 2006 mengatur 5 (lima) hal yaitu :
1) Siapa yang menjadi warga negara Indonesia (Pasal 2 dan 4)
2) Syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik
Indonesia (Pasal 8 s/d 22)
3) Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia (Pasal 23 s/d
30)
4) Syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan
Indonesia (Pasal 31 s/d 35)
14

5) Ketentuan Pidana (Pasal 36 s/d 38)


Perubahan mendasar dari UU No 12 Tahun 2006 adalah asas
persamaan di dalam hukum yang tercermin dalam Pasal 2 yang
berbunyi sebagai berikut : “bangsa Indonesia asli adalah orang
Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak dilahirkan dan
tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.
Demikian pula terhadap anak hasil perkawinan campuran baik yang
lahir dari perkawinan yang sah maupun anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah (Pasal 4). UU No 12 Tahun 2006 ini juga
menerapkan asas kewarganegaraan ganda (bi[atride) terbatas bagi
anak-anak (Djaja S. Meliala, 22010: 59-61).
Apa pengaruhnya UU kewarganegaraan ini terhadap hukum
perdata? Kewarganegaraan dapat membatasi kecakapan berhak
seseorang juga berkaitan dengan hukum keluarga dalam hal
pengangkatan anak dan anak luar kawin dalam bidang perkawinan
campuran, kedudukan anak dari perkawinan campuran dan hukum
waris.
BAB II
PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA

A. Uraian Materi
1. Hukum Perkawinan
a. Pengertian dan Syarat- syarat Perkawinan
Pengertian perkawinan menurut pasal 26 KUH Perdata berbunyi :
“Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-
hubungan perdata”. Dari pasal tersebut diketahui bahwa perkawinan
hanya semata-mata merupakan perjanjian perdata, tidak ada kaitannya
dengan agama yang dianut oleh para pihak sebagaimana dinyatakan
dalam Psal 81 KUHPerdata. Pasal 81 KUH Perdata menyebutkan :”Tidak
ada suatu upacara keagamaan boleh dilakukan, sebelum kedua belah
pihak kepada pejabat agama mereka membuktikan, bahwa perkawinan di
hadapan pegawai pencatat sipil telah berlangsung”. Oleh karena itu dulu
melangsungkan perkawinan cukup di hadapan pegawai pencatat sipil.
Berbeda dengan KUH Perdata, UU No 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan merumuskan pengertian perkawinan dalam Pasal 1 sebagai
berikut : “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “.
Selanjutnya Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 berbunyi sebagai berikut
: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa untuk menentukan sah tidaknya suatu perkawinan
adalah agama yang dianut oleh calon mempelai (Subekti, 1990: 3).
Namun demikian perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Beberapa asas hukum yang dianut dalam UU Perkawinan ini
adalah :
1) Asas persetujuan kedua belah pihak
21

2) Asas kesetaraan gender


3) Asas persatuan bulat
Syarat-syarat perkawinan menurut KUH Perdata meliputi syarat intern
atau absolut yang diatur dalam Pasal 27 s/d Pasal 49 KUH Perdata dan
syarat ekstern atau syarat formal yang diatur dalam Pasal 50 s/d Pasal 84
KUH Perdata. Asas intern meliputi antara lain asas monogami, harus ada
kata sepakat kedua calon mempelai, mempunyai batas umur untuk pria 18
tahun dan untuk wanita 15 tahun.untuk anak sah yang belum dewasa
untuk kawin memerlukan ijin dari ayah dan ibunya. Di dalam KUH
Perdata untuk memberikan ijin perlu dibedakan antara orang yang belum
dewasa yaitu belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin dan orang
yang sudah dewasa tetapi belum mencapai 30 tahun.
Mengenai syarat-syarat perkawinan menurut UU No 1 Tahun 1974
meliputi :
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kdua calon mempelai
(Pasal 6 ayat
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tua (Pasal 6 ayat 2)
3) Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun(Pasal 7 ayat
1)
4) Dalam hal penyimpangan terhadap Pasal 7 ayat 1, dapat meminta
dispensasi ke pengadilan, (Pasal 7 ayat 2)
5) Larangan perkawinan karena hubungan keluarga yang dekat (Pasal 8).
Tentang akta perkawinan menurut Pasal 100 KUH Perdata
menentukan bahwa sebuah perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan
cara lain kecuali dengan akta perkawinan yang dibuat oleh pegawai
catatan sipil yang melangsungkan perkawinan tersebut.Dalam UU
Perkawinan ketentuan tentang akta perkawinan diatur dalam Pasal 11 dan
12 PP No 9 Tahun 1975. Untuk calon mempelai yang beragama Islam
menurut UU No 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya UU No 22
22

Tahun 1946 tentang Pencatatan NTR di luar Jawa dan Madura, untuk
perkawinan yang dilangsungkan menurut agama Islam pun sebenarnya
diharuskan mempunyai kutipan Akta Nikah. Namun Pasal 7 ayat 2
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan dalam hal perkawinan tidak
dapat dibuktikan dengan akta nikah dapat diajukan itsbat nikahnya ke
Pengadilan Agama.
b. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
Pencegahan dan pembatalan perkawinan dapat dilakukan jika para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Tentang pencegahan dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 59 s/d Pasal
70 dan dalam UU No 1 Tahun 1974 (diatur dalam Pasal 13 s/d Pasal 21).
Orang-orang yang dapat mencegah perkawinan sebagaimana diatur dalam
Pasal 14 s/d Pasal 16 UU No 1 Tahun 1974 adalah :
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dank e bawah
dari salah seorang calon mempelai ;
2) Saudara dari salah seorang calon mempelai ;
3) Wali nikah dari salah seorang calon mempelai ;
4) Wali dari salah seorang calon mempelai ;
5) Pengampu dari salah seorang calon mempelai ;
6) Pihak-pihak yang berkepentingan ;
7) Suami atau istri dari salah seorang calon mempelai ;
8) Pejabat yang ditunjuk (Riduan Syahrani, 1992: 93).
Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah
hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan
juga kepada Pegawai Pencatat Perkawinan (Pasal 17 ayat (1) UU No 1
Tahun 1974).
Apabila pencegahan perkawinan telah terlanjur diajukan ke
pengadilan namun masih dimungkinkan untuk ditarik kembatli atau dapat
dicabut dengan putusan pengadilan (Pasal 18 UU No 1 Tahun 1974).
Akibat adanya pencegahan perkawinan maka perkawinan tidak dapat
23

dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut (Pasal 19 UU No 1


Tahun 1974)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW tidak mengatur mengenai
pengertian pembatalan perkawinan. Pembatalan perkawinan yang
dimaksud disini ialah dapat dibatalkan bukannya dalam pengertian batal
demi hukum (nietig), tetapi tentu saja untuk itu harus dipenuhi syarat-
syarat tertentu serta menimbulkan akibat hukum. Pasal 22 UU No 1
Tahun 1974 menentukan bahwa perkawinann dapat dibatalkan apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Sedangkan syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 s/d
Pasal 12 (F.X. Suhardana, 2001: 99-100).
Mengenai pembatalan diatur dalam Pasal 85 s/d Pasal 99a KUH
Perdata, UU Perkawinan Pasal 22 s/d 28, dan PP No 9 Tahun 1975 Pasal
37 dan 38. Pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinnan
menurut Pasal 22 s/d Pasal 28 UU No 1 Tahun 1974 sebagai berikut :
1) Para keluarga dalam garis keturunann lurus ke atas dari suami atau
istri;
2) Suami atau istri ;
3) Pejabat yang berwenang ;
4) Pejabat yang ditunjuk ;
5) Jaksa.
Batalnya perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan (Pasal 37
PP No 9 Tahun 1975). Pembatalan suatu perkawinan dapat dilakukan
tidak saja terhadap perkawinan yang dilangsungkan dengan tidak
memenuhi persyaratan perkawinan tetapi juga terhadap perkawinan yang
dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak
berwenang atau perkawinan itu dilaksanakan oleh wali nikah yang tidak
sah atau tanpa dihadiri oleh dua orang saksi. Juga apabila perkawinan itu
dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau terjadi salah
sangka mengenai diri suami atau istri.
24

Pembatalan suatu perkawinan mempunyai akibat hukum yang


khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 95. 96 dan Pasal 97 KUH
Perdata. Pasal 95 KUHPerdata berbunyi sebagai berikut : “Suatu
perkawinan walaupun telah dinyatakan batal, mempunyai segala akibat
perdatanya, baik terhadap suami istri, meupun terhadap anak-anak
mereka, bila perkawinan itu dilangsungkan dengan itikad baik oleh kedua
suami istri itu”.
c. Akibat Hukum Dari Perkawinan
1) Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Suami Istri Menurut KUH
Perdata dan UU No 1 Tahun 1974
Akibat hukum dari perkawinan yang menyangkut suami istri diatur
dalam Pasal 30 s/d Pasal 34 UU No 1 tahun 1974 yaitu sebagai
berikut :
a) Suami istri memikul kewajiban hukum untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
b) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,
setia dan member bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
c) Hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama masyarakat.
d) Suami istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
e) Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah
tangga sesuai dengan kemampuannyadan istri wajib mengurus
rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
f) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
Pasal 103 sampai dengan Pasal 118 KUH Perdata mengatur akibat
hukum perkawinan terhadap suami istri. Perkawinan menimbulkan
akibat hukum pada suami istri, mereka harus saling setia, tolong
menolong dan bantu membantu.
KUH Perdata/BW menetapkan suami adalahkepala dalam
persatuan suami istri (Pasal 105 KUH Perdata). Kewenangan yang
25

demikian dikenal dengan marital macht. Dengan demikian suami


diperkenankan mengurus :
- Harta kekayaan bersama,
- Sebagian besar kekayaan milik istrinya,
- Menentukan tempat kediaman bersama.dan
- Persoalan-persoalan yang menyangkut kekuasaan orang tua.
Asas ini bermaksud agar suami menjaga kesatuan dalam perkawinan
disamping harus ikut mengurus harta kekayaan istri (Prawirohamidjojo
dan Safioedin, 1982: 69), tetapi dengan berlakunya UU No 1 tahun
1974 yang bertanggung jawab atas keluarga dan kehidupan keluarga
adalah suami istri.
2) Akibat Hukum dari Perkawinan Terhadap Harta Perkawinan
Menurut ketantuan UU No 1 Tahun 1974, Pasal 35 s/d Pasal 37
diatur mengenai harta benda dalam perkawinan. Pasal 35 UU No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri serta harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.
Apabila dibandingkan dengan ketentuan di dalam KUH
Perdata/BW khususnya Pasal 119 s/d 121 terdapat perbedaan. Dalam
KUH Perdata. Jika tidak terdapat perjanjian kawin maka terjadi
persatuan harta demi hukum sehingga baik harta bawaan maupun harta
yang didapat selama perkawinan , semuanya menjadi harta persatuan.
Sedangkan dalam UU No 1 Tahun 1974 yang menjadi harta bersama
hanyalah harta yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan lainnya
tetap tetap dikuasai masing-masing kecuali ditentukan lain yaitu
dijadikan harta bersama. Jika suami istri ingin mengatur sendiri
mengenai akibat perkawinan terhadap harta kekayaan, suami istri dapat
mengadakan perjanjian kawin yang dibuat secara tertulis dan disahkan
26

oleh pegawai pencatatan perkawinan pada waktu atau sebelum


perkawinan dilangsungkan. Selain itu UU No 1 Tahun 1974 juga
mengatur ketentuan bahwa suami maupun istri berhak menggunakan
harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak
3) Akibat Hukum dari Perkawinan Terhadap Keturunan
KUH Perdata mengenal tiga macam anak yaitu anak sah, anak
luar kawin yang diakui dan anak luar kawin yang tidak diakui. Anak
yang sah menurut Pasal 250 KUH Perdata adalah anak yang dilahirkan
atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh suami sebagai
bapaknya. Terhadap keabsahan dari anak, suami dapat menyangkalnya .
Hal itu diatur dalam beberapa pasal dari KUH Perdata yaitu Pasal 252
s/d 254, namun dalam hal-hal tertentu suami tidak dimungkinkan
menggunakan hak ingkar tersebut yaitu dalam :
a) Suami sebelum perkawinan telah mengetahui bahwa istrinya
mengandung;
b) Pada waktu anak dilahitkan dan ia ikut hadir waktu akta
kelahiran dibuat dan ia ikut menandatangai akta itu.
c) Anak tidak hidup waktu waktu dilahirkan (Pasal 251 KUH
Perdata).
UU No 1 Tahun 1974 juga mengatur tentang siapa yang berwenang
untuk memutuskan sah tidaknya status yang disandang oleh seorang
anak. Namun untuk dapat melakukan itu harus ada permohonan dari
pihak yang berkepentingan (Pasal 44 ayat (2)). Untuk membuktikan
mengenai asal- usul anak, dapat dilakukan dengan :
a) Akta kelahiran yanh autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang.
b) Jika hal itu tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan
penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi
syarat.
27

c) Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut maka instansi pencatat


kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang
bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang
bersangkutan (F.X. Suhardana, 2001: 107).
Anak luar kawin menurut UU No 1 tahun 1974 tetap mempunyai
hubungan hukum dengan ibunya, sedangkan dalam KUH Perdata/BW
hubungan hukum itu ada hanya dengan orang yang mengakuinya saja.
Namun dengan adanya hasil putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2011
terkait dengan pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimohonkan Aisyah Mochtar
(Machica Mochtar) dan anaknya, Muhammad Iqbal Ramadhan bin
Moerdiono.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian, bahwa
Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang menyatakan `Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya`
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau
alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya".
MK berpendapat, pokok permasalahan hukum mengenai anak yang
dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal
meaning) frasa "yang dilahirkan di luar perkawinan" perlu memperoleh
jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula
permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.Hakim
Konstitusi Ahmad Fadlil, saat membacakan pertimbangannya,
mengatakan bahwa secara alamiah, tidaklah mungkin seorang
perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan
spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui
cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan
28

terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil
manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu
kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki
hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat
dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan
hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan
kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak
dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap
lelaki tersebut sebagai bapaknya. Apalagi jika berdasarkan
perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan
bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu. Anak
dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya
ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian
adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai
bapak," katanya. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur atau
administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan
perlindungan hukum.

2. Perkawinann Beda Agama


Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang
terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini
sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap
problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan
campuran, perkawinan sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara
pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun
perkawinan campuran dan perkawinan beda-agama sama sekali berbeda,
bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga
menyebabkan perkawinan beda-agama. Hal ini disebabkan karena pasangan
yang lintas negara juga pasangan lintas agama
(http://hukumonline.com/detail.asp?id=15656&cl=Berita)
29

Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau


pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang
melaksanakan perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah
lain di kemudian hari, terutama untuk perkawinan beda-agama. Misalnya saja,
pengakuan negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian
harta ataupun masalah warisan. Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti
berkembangnya gaya hidup kumpul kebo atau hidup tanpa pasangan yang
terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya perkawinan beda-agama.
Biasanya, untuk mencegah terjadinya perkawinan beda-agama yang masih
belum diterima dengan baik oleh masyarakat, biasanya salah satu pihak dari
pasangan tersebut berpindah agama atau mengikuti agama salah satu pihak
sehingga perkawinannya pun disahkan berdasarkan agama yang dipilih
tersebut . Walaupun demikian, di tengah-tengah masyarakat, pro-kontra
pendapat terjadi sehubungan dengan perkawinan beda-agama ini. Salah satu
pendapat mengatakan bahwa masalah agama merupakan masalah pribadi
sendiri-sendiri, sehingga negara tidak perlu melakukan pengaturan yang
memasukkan unsur-unsur agama. Namun, di pihak lain, ada yang berpendapat
bahwa perkawinan beda-agama dilarang oleh agama sehingga tidak dapat
diterima.
Menurut pendapat yang berpegag teguh pada Pasal 2 UU No 1 Tahun
1974 sebenarnya tidak mengatur perkawinan beda agama tetapi secara implisit
diatuur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 yang berbunyi :
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”. Oleh karena itu data disimpulkan bahwa
itu tergantung kepada agama yang dianut calon mempelai apakah agamnya
memperkenankan atau tidak dilangsungkannya perkawinan beda agama
dengan memperhatikan Pasal 8 butir f UU No 1 tahun 1974, tentang larangan
perkawinan yang berbunyi :”Perkawinan dilarang antara dua orang yang
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.” Di bawah ini akan diuraikan tentang perkawinan beda agama
30

menurut masing-masing agama yang ada di Indonesia (Djaja S. Meliala, 2007:


135-138) sebagai berikut :
a) Menurut Agama Islam
Hukum Islam melarang dengan mutlak perkawinan antar agama bagi
wanita Islam. Sedangkan bagi pria Islam terdapat perbedaan pendapat
diantara para ahli hukum Islam yang dapat dibagi ke dalam tiga golongan
yaitu :
- melarang secara mutlak
- memperkenankan secara mutlak
- memperkenankan dengan syarat-syarat tertentu.
Larangan perkawinan ini diatur dalam Alquran dan hadits yang meliputi
larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlalu dekat; larangan
perkawinan karena hubungan susuan; larangan perkawinan karena
hubungan semenda; larangan perkawinan dengan bekas istri yang diilian;
larangan merujuk bekas istri yang telah dijatuhi talak tiga; kecuali setelah
istri tersebut kawin lagi dengan orang lain dan kemudia ia bercerai pula
dengan suaminya terakhir; larangan memperistri dua orang perempuan
yang bersaudara; larangan beristri lebih dari empat orang; larangan
mengawini wanita yang bersuami; larangan perkawinan karena perbedaan
agama kecuali bagi laki-laki muslim. Seorang laki-laki muslim dihalalkan
mengawini wanita non muslim asalkan dari golongan kitabiyah.
b) Menurut Agama Kristen Protestan
Pada dasarnya agama Protestan memandang perkawinan sebagai
persekutuan pria dan wanita yang berarsaskan pada ciptaan Tuhan serta
untuk meneruskan keturunannya> Gereja protestan umumnya menghindari
perkawinan beda agama. Hanya dalam keadaan yang tidak dapat dihindari,
Gereja dapat mengijinkannya dengan catatan harus memenuhi persyaratan
tertentu. Sikap dan syarat-syarat untuk masing-masing gereja Protestan
adalah berbeda-beda
c) Menurut Agama Katolik
31

Dalam agama Katolik juga sedapat mungkin menghindari perbedaan


agama. Hanya dalam hal tertentu, dalam keadaan yang tidak dapat
dihindari, gereja dapat mengijinkan perkawinan beda agama dengan
memberkatinya di dalam gereja setelah mendapat dispensai Bapak Uskup.
d) Menurut Agama Budha
Menurut ajaran agama Budha setiap agama adalah baik dan setiap manusia
bebas untuk memeluk agamanya masing-masing menurut keyakinannya
sehingga tidak menjadi persoalan apabila seseorang yang beragama Budha
hendak menikah dengan seseorang yang bukan beragama Budha sehingga
apabila ada permohonan untuk melangsungkan perkawinan beda agama
antara seorang yang beragama budha dengan yang bukan beragama budha
dapat dikabulkan.
e) Menurut Agama Hindu
Agama Hindu melarang perkawinan beda agama terutama jika pihak laki-
laki yang beragama Hindu, karena berbeda agama berarti berbeda prinsip
hidup. Namun bila kedua calon mempelai tetap bersikukuh untuk
melangsungkan perkawinannya, upaya penyelesaian yang ditempuh
menuruit agama Hindu adalah salah satu calon mempelai yang bukan
beragama Hindu harus disucikan terlebih dahulu sesuai ajaran agama
Hindu yang didasarkan kepada Kitab suci Weda.
f) Menurut Agama Kong Hu Chu
Berdasarkan Keppres RI No 6/2000 tentang Pencabutan Inpres No 14
/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan adat istiadat Cina, maka agama
Kong Hu Chu merupakan agama keenam yang diakui secara resmi di
Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan pada prinsipnya agama Kong
Hu Chu sama dengan agama Budha artinya dapat memperkenankan
perkawinan beda agama.
g) Perkawinan Adat menurut Kepercayaan
Aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukanlah agama,
sehingga tidak berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Dengan demikian perkawinan antara sesama penganut aliran
32

kepercayaan yang berbeda aliran bukanlah perkawinan beda agama,


demikian pula antara penganut aliran kepercayaan dengan pemeluk agama
tertentu.
Pasal 66 Undang-undang Perkawinan (UU No. 1/1974), yang menyatakan :
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI), Peraturan Perkawinan Campuran
(Stb. 1819 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak
berlaku.

3. Perkawinan Campuran
Sebelum berlakunya Undang-undang Perkawinan, tentang perkawinan
campuran ini diatur dalam Peraturan Perkawinan Campuran (regeling op de
Gemende Huwelijken, disingkat GHR) Stb 1898 Nomor 158.
Pasal 1 GHR : perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang
yang di Indoesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan.
Pasal 2 GHR: Seorang perempuan (istri) yag melakukan perkawinan
campuran, selama pernikahan itu belum putus, maka si perempuan (istri)
tunduk kepada hukum yang berlaku untuk suaminya baik hukum publik
maupun hukum sipil.
Pasal 6 (1) GHR : Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang
berlaku untuk si suami, kecuali ijin dari kedua belah pihak calon mempelai
yang selalu harus ada.
Pasal 7 ayat (2) GHR : Perbedaan agama, bangsa atau asal usul sama sekali
bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan itu.
Setelah berlakunya Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974,
pengertian perkawinan campuran diatur dalam Pasal 57 sebagai berikut : yang
dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
33

berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak


berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 59 ayat (2) UU No 1 tahun 1974
menyebutkan :”Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia
dilakukan menurut UU Perkawinan ini. Pasal 29 UU No23 Tahun 2002, UU
Perlindungan Anak :
(1) Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara RI dan
WNA, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak
memperoleh kewarganegaraan dari ayah dan atau ibunya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal terjadinya perceraian dari perkawinan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), anak berhak untuk memilih atau
berdasarkankan putusan pengadilan berada dalam pengasuhan
salahsatu dari kedua orang tuanya.
(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan san ibunya
berkewargangaraan RI, demi kepentingan terbaik anak atau atas
permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status
kewarganegaraan RI bagi anak tersebut.
Pengertian perkawinan campuran sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
57 UU Perkawinan dihubungkan dengan Pasal 2 (1) UU Perkawinan di satu
pihak, jika dibandingkan dengan Peraturan Perkawinan Campuran Stb 1898
Nomor 158 pada pihak lain menimbulkan beberapa masalah dan salah satu
pertanyaannya adalah bagaimana dengan perkawinan beda agama. Dari
ketentuan Pasal 57 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dapat
disimpulkan bahwa perkawinan beda agama tidak lagi termasuk perkawinan
campuran sehingga bagi mereka yang berpegang teguh kepada bunyi Pasal 2
(1) UU No 1 Tahun 1974 berpendapat Peraturan Perkawinan Campuran Stb
1898 No 158 tidak dapat lagi diterapkan perkawinan beda agama. Di lain
pihak Mahkamah Agung berpendirian bahwa dalam hal terjadinya perkawinan
beda agama, Peraturan Perkawinan Campuran Stb 1898 No 158 masih tetap
berlaku (Djaja S. Meliala, 2007: 131).
34

4. Perkawinan Di Luar Negeri


Pasal 56 Undang-undang Nomor 1/1974, menentukan :
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang
warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar
ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah
Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkandi kantor
Perkawinan tempat tinggal mereka.
Pasal 59 (2) Undang-undang.

Anda mungkin juga menyukai