Anda di halaman 1dari 16

UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA MERAJA OTONOMI DAERAH DIJAJAH:

Penyelenggaraan Tata Ruang, Menguntungkan atau Merugikan

MAKALAH HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH

Disusun Oleh:
Kelompok 7
Rahil Sasia Putri Harahap 110110190158
Zidna Sabrina 110110190165
Quinnashya Pradipta Early Folanda 110110190205
Aqila Alhaq Santoso 110110190208

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2021
DAFTAR ISI

ABSTRAK………………………………………………………………………………………2
BAB 1: PENDAHULUAN
A. Identifikasi Masalah...…………………………………………………………………...3
B. Tujuan……………………………………………………………………….…………...3
C. Latar
Belakang…………………………………………………………………………………3
BAB 2: PEMBAHASAN
A. Ketentuan mengenai Penataan Ruang berdasarkan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang “Penataan Ruang”..........................................................5
B. Pengaturan Tata Ruang berdasarkan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja)......................................................................................6
C. Poin-Poin Perubahan dalam Pengaturan Baru Penyelenggaraan Tata Ruang……….......9
D. Dampak Penerapan Regulasi Tata Ruang Pasca Undang-Undang Cipta Kerja
terhadap Wewenang Pusat dan Daerah………………………………………………….11
BAB 3: PENUTUPAN
A. Kesimpulan……………………………………………………………………………...13
B. Saran…………………………………………………………………..…………....…...13
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………...14

1
UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA MERAJA OTONOMI DAERAH DIJAJAH:
Penyelenggaraan Tata Ruang, Menguntungkan atau Merugikan

Oleh: Kelompok 7
Rahil Sasia Putri Harahap 110110190158
Zidna Sabrina 110110190165
Quinnashya Pradipta Early Folanda 110110190205
Aqila Alhaq Santoso 110110190208

ABSTRAK
Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
otonomi daerah merupakan pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah dalam bentuk hak dan
kewajiban untuk mengurus sendiri kepentingan daerahnya. Kelahiran Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah menggeser kewenangan-kewenangan pemerintah daerah
dalam mengatur dan menyelenggarakan kepentingan daerahnya, dalam makalah ini akan dibahas
secara menyeluruh tentang penggeseran kewenangan pemerintah daerah dalam penyelanggaraan
tata ruang akibat lahirnya UU Cipta Kerja.
Kata Kunci: wewenang, pemerintah daerah, UU Cipta Kerja, tata ruang

ABSTRACT
Based on Article 1 paragraph 5 of the Law No. 23 of 2014 concerning Regional Government,
regional autonomy is the delegation of authorities from the center to the regions in the form of
rights and obligations to manage their own regions. The birth of Law No. 11 of 2020 about Cipta
Kerja (UU Cipta kerja) has shifted the authorities of local governments in regulating and
administering regional interests, this paper will discuss thoroughly the shifting of regional
government authority in spatial planning after the birth of UU Cipta Kerja.
Keyword : authority, regional government, UU Cipta Kerja, Spatial layout

2
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah yang disusun mengenai timpangnya wewenang yang dimiliki
oleh Pemerintah Daerah pasca adanya perubahan peraturan terkait Penataan Ruang yakni
sebagai berikut:
1. Bagaimana implikasi perubahan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang “Penataan Ruang” yang diubah ketentuannya ke
dalam Pasal 17 UU Cipta Kerja?
2. Wewenang Pemerintah Daerah apa saja yang dihapus dengan adanya perubahan
ketentuan dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 ke dalam Pasal 17 UU Cipta
Kerja?

B. Tujuan
Penyusunan makalah akademik ini memiliki beberapa tujuan yang terdiri atas hal-hal
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa saja wewenang pemerintah daerah yang sebelumnya diatur
secara rigid terkait dengan penataan ruang
2. Untuk mengetahui wewenang pemerintah daerah apa saja yang kini berlaku
semenjak adanya perubahan dari terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja
3. Bertujuan sebagai sumber ilmu pengetahuan bagi penyusun maupun pembaca
makalah

C. Latar Belakang
Pengesahan UU Cipta Kerja pada bulan Oktober tahun 2020 membawa banyak
perubahan dalam hal pembagian antara wewenang pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Salah satu aspek yang mendapat banyak perubahan signifikan adalah cakupan
terhadap kewenangan pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan penataan ruang di
daerah itu sendiri. UU Cipta Kerja secara jelas memusatkan kewenangan penataan ruang
ke tangan pemerintah pusat. Dengan terbitnya aturan ini maka pelaksanaan otonomi daerah

3
terhadap penyelenggaraan penataan ruang menjadi sangat terbatas. Artinya pemerintah
daerah tidak dapat melakukan banyak improvisasi terhadap penyelenggaraan tata ruang di
daerahnya masing - masing, sedangkan yang lebih mengetahui kebutuhan tiap daerah
adalah pemerintah daerah itu sendiri, bukan pemerintah pusat.
UU Cipta Kerja juga berdampak terhadap pemenuhan aspirasi masyarakat melalui
partisipasi. Pembatasan aspirasi dalam UU Cipta Kerja sangat berbeda dengan ketentuan
pada UU Tata Ruang yang tidak melintasi waktu untuk disampaikannya aspirasi oleh
masyarakat. Hal ini akan berdampak pula terhadap birokrasi dan lembaga daerah lainnya.
Lebih lanjut pasal - pasal dalam UU Cipta Kerja mengenai kewenangan daerah dalam
penyelenggaraan tata ruang selalu diikuti oleh klausul akan diatur dalam PP. UU Cipta
Kerja telah mempersempit aspek otonomi daerah mengenai tata ruang dan memangkas
berbagai kewenangan yang sebelumnya dimiliki oleh pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan tata ruang.

4
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Ketentuan mengenai Penataan Ruang berdasarkan Undang-Undang Nomor 26


Tahun 2007 tentang “Penataan Ruang”
Ketentuan yang termuat di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
umumnya mengatur tentang bagaimana penyelenggaraan tata ruang yang wewenangnya
dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah disertai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memperkuat posisi Pemerintah Daerah untuk
melaksanakan penyelenggaraan tata ruang dan berimplikasi pada lahirnya kebijakan
sektoral daerah.1
Di dalam Undang-Undang ini khususnya di dalam BAB IV mengenai Tugas dan
Wewenang diatur secara rigid mengenai siapa saja yang melakukan tugas penyelenggaraan
penataan ruang. Bahwasanya, di dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 disebutkan dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang Kawasan strategis nasional dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah melalui
dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan.2 Selanjutnya di dalam Pasal 10 diatur secara
tersendiri mengenai wewenang dari Pemerintah Daerah Provinsi yang meliputi3:
1. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang
wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang
kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota;
2. Pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
3. Pelaksanaan penataan ruang Kawasan strategis provinsi;
4. Kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan
ruang antarkabupaten/kota
Pada ayat (2) Pasal 10 juga dijelaskan secara rigid tentang apa saja wewenang
Pemerintah Daerah Provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang di wilayah Provinsi yang

1
Ari Dafid, “Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Penataan Ruang Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Studi Kota Mataram),” Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis Dan
Investasi 9, no. 1 (2017): 029, https://doi.org/10.28932/di.v9i1.729.
2
Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
3
Ibid., Pasal 10.

5
meliputi mulai dari perencanaan tata ruang wilayah provinsi, pemanfaatan ruang wilayah
provinsi, serta pengendaliannya. Tidak hanya itu namun wewenang Pemerintah Daerah
Provinsi juga mencakup dalam penataan ruang kawasan strategis serta pemanfaatan ruang
dan pengendaliannya. Dan, dalam pelaksanaannya Pemerintah Daerah Provinsi memilik
wewenang untuk menyusun petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang pada tingkat
provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan adanya implikasi peraturan sektoral
daerah dari adanya ketentuan pelimpahan wewenang mengenai penyelenggaraan tata ruang
itu sendiri.
Pada Pasal 11 juga diatur hal yang serupa mengenai wewenang dari Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota yang pengaturannya tidak jauh berbeda dengan apa yang diatur di
dalam Pasal 10 mengenai wewenang Pemerintah Daerah Provinsi. Kemudian diatur dalam
ayat (6) Pasal 11 bahwa apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak dapat memenuhi
standar pelayanan minimal bidang penataan ruang maka Pemerintah Daerah Provinsi dapat
mengambil alih terkait langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Jika kita melihat secara keseluruhan bahwa konsep dari penataan ruang itu sendiri
bertujuan untuk menyelaraskan peraturan penataan ruang dengan peraturan-peraturan lain
yang terkait serta upaya-upaya yang efektif dalam mewujudkan pengendalian pemanfaatan
ruang. Dalam pengaturan tata ruang yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 dapat ditarik kesimpulan bahwa Undang-Undang ini memiliki tujuan dalam
memadukan serta mengintegrasikan berbagai kepentingan yang sifatnya lintas sektor,
lintas wilayah, serta lintas pemangku kepentingan.4

B. Pengaturan Tata Ruang berdasarkan Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2020 (UU
Cipta Kerja)
Pada tanggal 2 Febuari 2020, pemerintah telah mengeluarkan 49 peraturan
pelaksana yang diambil dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 mengenai Cipta

4
Amiany, “Penyelenggaran Tata Ruang Sesuai Uu No.26,” no. 26 (2018),
https://www.researchgate.net/profile/Amiany_Amiany/publication/324280720_PENYELENGGARAN_TATA_RU
ANG_SESUAI_UU_NO26_TAHUN_2007/links/5ac9ecb70f7e9bcd5197b904/PENYELENGGARAN-TATA-
RUANG-SESUAI-UU-NO26-TAHUN-2007.pdf.

6
Kerja. Yang dimana UU inilah yang sering kali disebut dengan Istilah “Omnibus Law”.
Peraturan ini mempunyai komposisi, 45 peraturan dalam bentuk peraturan pemerintah, dan
4 lainnya peraturan presiden. Dengan berlakunya UU ini tentu berdampak terhadap
implikasi pengurusan tata ruang oleh pemerintah pusat dan daerah.
Salah satunya seperti apa yang tercantum di dalam Pasal 9 ayat 2, yang dimana di
dalam ayat ini menyatakan jika terdapatnya sebuah ketentuan yang mengatur kewenangan
dan kewajiban pemerintahan pusat dalam penataan tata ruang. Tentu saja pasal ini berbeda
dari peraturan sebelumnya yang dimana tugas mengenai tata ruang ini, dilaksanakan oleh
menteri.
Di dalam UU ini pemerintah pusat juga mempunyai kewenangan dalam
mengeluarkan NPSK atau norma standar, prosedur dan kriteria. Yang dimana dalam hal
penataan ruang harus mengikuti apa diatur dalam NPSK ini. Jika mengacu pada NPSK ini
wewenang pemerintah pusat tentu saja dipersempit. Wewenang pemerintah pusat hanya
terdiri dari 3 tugas dan wewenang, yaitu pengaturan, pembinaan, dan pengawasan dalam
hal pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, kabupaten/kota.5 Jadi disini pemerintah
pusat tidak turun secara langsung, tidak seperti di peraturan sebelumnya. Dimana di
peraturan sebelumnya Pemda mempunyai wewenang dan kewajiban dalam penataan
ruang wilayah, penataan ruang kawasan strategis dan penataan ruang antar provinsi atau
kabupaten/kota.
Perlu diketahui pula bahwa UU Cipta kerja ini memperbesar jumlah denda, bagi
pelanggar pemanfaatan tata ruang. Seperti yang dapat kita lihat bahwa sebelumnya apa
yang terdapat di UU Penataan Ruang pasal 69 ayat (1) yang berbunyi:
“Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”6
Yang kemudian pada UU Cipta Kerja, diganti jumlah nominalnya menjadi, denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selanjutnya pada pasal 69 ayat (2)

5
Mohammad Januar Rizky, https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5fcb084347f1b/ini-pokok-aturan-pelaksana-
uu-cipta-kerja-soal-tata-ruang--industri-dan-perdagangan/ diakses pada 15 April 2020
6
UU Penataan Ruang pasal 69 ayat (1)

7
nominal ini juga diperbesar yang dimana untuk pidana denda sebelumnya 1,5 miliar diubah
menjadi 2,5 miliar sebagai bentuk pemanfaat ruang, dimana mengakibatkan kerugian
terhadap harta benda atau kerusakan barang. TIdak hanya itu dalam ayat (3) yang awalnya
pada UU sebelumnya besar nominal nya 5 miliar diubah nominalnya menjadi 8 miliar. Jika
melakukan suatu pelanggaran yang mengakibatkan kematian seseorang, tidak hanya itu
tetapi juga akan mendapatkan pidana penjara paling lama 15 tahun.
Seperti yang kita ketahui bahwa UU Cipta Kerja ini mengalami banyak penolakan,
ada beberapa alasan mengenai penolakan ini. Pertama, yang menjadi masalah utama
penyebab penolakan oleh berbagai golongan adalah, proses yang ada dalam pembentukan
sampai disahkannya UU ini dapat dibilang cukup terburu buru dan tertutup di melibatkan
banyak partisipasi publik. Dimana disini dalam pembentukannya pemerintah daerah tidak
ikut dilibatkan dengan alasan bahwa DPR sudah mewakili daerah. Padahal menurut UU
tersendiri bahwa dalam hal ini, sudah seharusnya melibatkan peran dan kewenangan
Pemerintah Kota.7
Kedua, UU Cipta Kerja telah berdampak secara besar terhadap peran pemerintah
daerah dalam hal kewenangan dan tugasnya. Contohnya dapat dilihat pada pasal 17 yang
dimana telah menghapus beberapa/ mempersempit kewenangan yang dimiliki oleh
pemerintah daerah mengenai tata ruang. Hal inilah yang memiliki dampak paling besar.
Dikarenakan hanya pemerintah pusat yang mempunyai wewenang dalam menentukan
tempat yang dapat digunakan sebagai lokasi pembangunan nasional, dan tidak perlu
mendapatkan persetujuan pemerintah daerah.8
Dalam penerapan sistem pembagian kekuasaan, ada yang dinamakan dengan
kewenangan pemerintahan konkruen. Hal in adalah pembagian kekuasaan permerintah
daerah dengan pemerintah pusat. Kewenangan yang dimiluki oleh pemerintah daerah,
kemudian dibagi menjadi dua yaitu wajib dan pilihan.9
Mengenai pembagian kewenangan antara pemerintah daerah dan pusat yang ada
didalam UU Ciptakerja ini, tentunya bertolak belakang dengan otonomi luas. Dapat kita

7
Yhannu Setyawan, RANCANGAN UNDANG-UNDANG OMNIBUS LAW CIPTA KERJA DALAM
PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN, Universitas Lampung, 2020
8
Hamid Adnan, Analysis of the Importance of Omnibus Law “Cipta Kerja" IIn Indonesia,Jakarta, Sipef Univ
Pancasila 2020
9
Suprawoto, 2018, Government Public Relations: Perkembangan dan Praktik di Indonesia, Prenada Media

8
lihat bahwa UU Cipta Kerja ini menerapkan sistem residual function. Karena UU ini
membatasi dan tidak memberikan wewenang kepada pemerintah daerah tidak secara luas
(general competence).Dapat dinilai bahwa sebenarnya UU Cipta Kerja ini malah lebih
condong kearah prinsip Residual function. Prinsip ini merupakan pembagian kekusaan, di
dalam sistem ini kewenangan pemerintahan daerah juga menjadi kewenangan pusat.
Dengan berlakunya NPSK juga, maka dapat dikatan bahwa terdapatnya sebuah ketentuan
yang dibuat supaya apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah sejalan dengan norma,
pedoman, standar, dan kriteria yang ditentukan pusat. 10Tentu saja dari penjabaran tersebut
dapat kita simpulkan bahwa hal ini termaksud kedalam pembatasan otonomi. Oleh karena
itu, UU Cipta Kerja ini dapat kita nilai menganut sistem pembagian kekuasaan dengan
prinsip otonomi terbatas.

C. Poin-Poin Perubahan dalam Pengaturan Baru Penyelenggaraan Tata Ruang


UU Omnibus Law Ciptaker telah membatasi ruang gerak pemerintah daerah dalam
mewujudkan tujuan dari otonomi daerah itu sendiri yakni menjalankan otonomi yang
seluas-luasnya dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan
umum, dan daya saing daerah.11 Lebih lanjut, keberadaan UU Omnibus Law Ciptaker
semakin memperlihatkan sifat sentralisasi dalam hal penyelenggaraan otonomi daerah.
Sedangkan, dengan beragamnya corak kehidupan masyarakat di tiap daerah di Indonesia,
akan sulit bagi pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan masing - masing daerah
secara serentak dan seragam. Kelemahan kelemahan dari politik sentralisasi antara lain:
Pertama, dengan terpusatnya kekuasaan kepada negara (dalam hal ini pemerintah pusat),
akan membuat negara tersebut secara struktural bergerak ke arah despotisme.12 Kedua,
dalam hal memenuhi keperluan penetrasi politik maka dilakukanlah sentralisasi.13 Ketiga,
dengan diterapkannya sentralisasi hanya akan membuat suatu negara semakin mengarah
pada kondisi antidemokrasi.14

10
Manan, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum FH UII.
11
Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
12
Judith N.Skhlar, Montesquieu Penggagas Trias Politika, (Jakarta : Grafiti), 1996.
13
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintah Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika), 2016.
14
Fadillah Putra, Devolusi: Politik Desentralisasi sebagai media Rekonsiliasi Ketegangan Politik Negara - Rakyat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1996

9
Peraturan - peraturan yang memperbarui aspek penyelenggaraan tata ruang tertuang
di dalam pasal 17 UU Omnibus Law Ciptaker, dimana ketentuan - ketentuan di dalam pasal
tersebut menggantikan ketentuan yang sebelumnya terdapat di dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pemerintah berdalih bahwa perubahan ini
dilakukan semata - mata untuk melakukan penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan
Berusaha serta memberikan kepastian dan kemudahan bagi Pelaku Usaha dalam
memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.15 Subs`tansi perubahan yang
terdapat di dalam UU Omnibus Law Ciptaker dapat dilihat pada tabel berikut:16

Dalam ketentuan Pasal 17 UU Omnibus law Ciptaker terdapat limitasi terhadap


kewenangan Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota yakni
hanya sebatas pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan
ruang wilayah. Sedangkan sebelumnya Pasal 10 ayat 2 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang

15
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
16
RM. Petrus Natalivan Indradjat, “Implikasi Uu No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
Terhadap Penyelenggaraan Penataan Ruang”, (http://bappeda.jabarprov.go.id/wp-
content/uploads/2020/12/20201211-Implikasi-UU-CK-terhadap-Penyelenggaraan-Penataan-Ruang.pdf diakses pada
Jumat, 16 April 2021 pukul 22.08)

10
Penataan Ruang mengatur bahwa Pemda Provinsi berwenang terhadap perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. Lebih lanjut,
ketentuan bahwa pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota
memiliki kewenangan untuk menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana
umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah
provinsi serta mengenai arahan peraturan zonasi untuk sistem provinsi yang disusun dalam
rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi, dan petunjuk pelaksanaan
bidang penataan ruang juga dihapuskan dalam UU Omnibus law Ciptaker.
UU Omnibus law Ciptaker secara tegas mengatur bahwa penyelenggaraan penataan
ruang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Selain itu pelimpahan wewenang yang
diberikan kepada daerah harus dilaksanakan dilaksanakan sesuai dengan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan
penataan ruang. Dimana, wewenang pemerintah daerah sesuai NSPK yang diterbitkan oleh
pemerintah pusat hanya meliputi tiga hal. Pertama, pengaturan, pembinaan, dan
pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, kabupaten/kota.
Kedua, pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi. Ketiga, kerja sama penataan ruang
antarprovinsi dan fasilitasi kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.

D. Dampak Penerapan Regulasi Tata Ruang Pasca Undang-Undang Cipta Kerja


terhadap Wewenang Pusat dan Daerah
Seperti yang telah diketahui, dalam Pasal 10 dan 11 Undang-Undang No. 26 Tahun
2007 (UU Tata Ruang), pemerintah daerah masih memiliki wewenang untuk
melaksanakan penataan kawasan strategis di daerahnya masing-masing. Namun
kewenangan tersebut telah dihapus dalam UU Cipta Kerja, yang mana dalam peraturan
tersebut pemerintah daerah hanya memiliki kewenangan sebatas pengaturan, pembinaan,
pengawasan, dan pelaksanaan penataan ruang. Hal tersebut otomatis akan berdampak pada
proses partisipasi masyarakat, begitu juga pada aspek lainnya seperti birokrasi dan lembaga
daerah lainnya. Kewenangan pemerintah daerah dapat diambil alih oleh pemerintah pusat
tanpa memperhatikan partisipasi masyarakat dikarenakan dalam UU Cipta Kerja telah
disebutkan bahwa ruang partisipasi masyarakat paling lama adalah hanya terbatas pada 4
bulan sejak mendapat persetujuan substansi dari pemerintah pusat. Lebih lanjut lagi, UU

11
Cipta Kerja ini juga bertentangan dengan Pasal 65 UU Tata Ruang yang melibatkan
masyarakat tanpa dibatasi waktu untuk menyampaikan aspirasinya. Sama halnya dengan
Pasal 2 PP No 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah yang menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat dalam penyusunan
Peraturan dan Kebijakan Daerah salah satunya adalah meliputi Rencana Tata Ruang, yang
mana dalam PP tersebut tidak terdapat pembatasan waktu untuk masyarakat dalam
berpartisipasi dan menyampaikan aspirasinya.

12
BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
Mengenai UU Cipta Kerja sendiri memberi dampak perubahan yang cukup
signifikan dalam pembagian tugas antara pemerintah daerah dan pusat dalam sektor tata
ruang. Sebenarnya yang menjadi permasalahan pokok pada regulasi nasional dalam sektor
tata ruang ini meliputi masalah perizinan pada daerah yang tidak sejalan dengan institusi.
Akan tetapi dapat dinilai bahwa penetapan sentralisasi kewenangan dalam UU Cipta Kerja
ini , yang diberikan terhadap pemerintah pusat malah akan menambah permasalahan
karena dinilai mempersulit dan mempersempit kewenangan pemerintah daerah.
B. Saran
Dikarenakan UU ini sudah disahkan, namun masih terdapat penolakan dan pasal
pasal yang dinilai bermasalah, terdapat hal yang dapat dilakukan oleh presiden. Salah
satunya adalah pembatalan UU baru tersebut, serta memberikan wadah untuk golongan
yang melakukan penolakan untuk memberikan aspirasi mereka terkait UU ini. Walaupun
saat sudah diketuk palu UU ini tidak dapat lagi dibatalkan. Tetapi pemerintah dapat
memberlakukan peraturan baru pengganti undang undang dalam bentuk peraturan
pemerintah pengganti undang-undang.

13
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Fadillah Putra, 1996, Devolusi: Politik Desentralisasi sebagai media Rekonsiliasi Ketegangan
Politik Negara - Rakyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Judith N. Skhlar, 1996, Montesquieu Penggagas Trias Politika, Jakarta : Grafiti.
Manan, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Penerbit Pusat Studi
Hukum FH UII.
Siswanto Sunarno, 2016, Hukum Pemerintah Daerah, Jakarta: Sinar Grafika.
Suprawoto, 2018, Government Public Relations: Perkembangan dan Praktik di Indonesia,
Prenada Media

Jurnal
Amiany, 2018, Penyelenggaraan Tata Ruang Sesuai UU No. 26 Tahun 2007, Universitas
Palangkaraya.
Dafid, Ari, 2017, Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penataan Ruang Setelah Berlakunya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Studi Kota
Mataram), Dialogia ludrica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi 9, No. 1: 029.
Mandey Fernando, Rommy, 2015, Penegakan Hukum Tata Ruang Dalam Pengendalian
Pemanfaatan Ruang yang Dilaksanakan Oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi
Utara, Journal of Chemical Information and Modeling 3, No. 9: 1-8.
Yhannu Setyawan, 2020, RANCANGAN UNDANG-UNDANG OMNIBUS LAW CIPTA KERJA
DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, Universitas Lampung.
Hamid Adnan, 2020, Analysis of the Importance of Omnibus Law “Cipta Kerja" In Indonesia,
Jakarta, Sipef Univ Pancasila.

Media Elektronik
Mohammad Januar Rizky, https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5fcb084347f1b/ini-pokok-
aturan-pelaksana-uu-cipta-kerja-soal-tata-ruang--industri-dan-perdagangan/ diakses pada
15 April 2020

14
Instrumen Hukum
Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang
Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

15

Anda mungkin juga menyukai