Anda di halaman 1dari 7

Nama : Via Melandy Putri

Npm : 1912011021
Matkul : Hukum Pidana
Dosen : Maya Shafira, S. H., M. H.
TUGAS ANALISIS PERBANDINGAN PERCOBAAN, PENYERTAAN, DAN
PERBARENGAN DALAM KUHP DAN RUU KUHP
A. Analisis percobaan dalam KUHP dan RUU KUHP
Percobaan/pogging di dalam KUHP sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 53-54
mengenai syarat percobaan ( pasal 53 ) dan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana
(pasal 54 ). Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku I tentang Aturan Umum, Bab
IV Pasal 53 ayat (1) dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal tersebut sebagai berikut :
Pasal 53 ayat (1): Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Pasal 54: Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Percobaan yang dapat dipidana menurut sistim KUHP bukanlah percobaan terhadap semua
jenis tindak pidana yang dapat dipidana hanyalah percobaan terhadap tindak pidana yang
berupa kejahatan saja, sedangkan percobaan terhadap pelanggaran tindak pidana tidak dapat
dipidana hal ini jelas dalam Pasal 54 KUHP.
Namun di dalam RKUHP terdapat hal-hal baru yang mengatur mengenai Percobaan yang
terdapat dalam pasal 18-20 RKUHP. Dalam Pasal 18 tidak dipidana jika setelah melakukan
permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) yaitu:
a. pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela;
b. pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat
perbuatannya. Kecuali dalam hal perbuatan telah menimbulkan kerugian atau menurut
peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat
dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.
Pasal 20 RKUHP mengatur dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya
tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek
yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak pidana dengan
ancaman pidana tidak lebih dari 1/2 (satu perdua) maksimum pidana yang diancamkan untuk
tindak pidana yang  dituju. Pidana pembantuan tidak dipidana apabila ancaman pidana hanya
berupa pidana denda kategori I ( Rp 6.000.000,00 ), seperti yang tercantum di dalam pasal 22
ayat (3) RKUHP.

Contoh kasus tindak pidana percobaan:

BOGOR, KOMPAS.com — Kasus pemerkosaan penumpang di angkutan umum hampir


terjadi lagi. MD (48), sopir angkutan kota trayek 38 Cibinong-Gunung Putri, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat, mencoba memerkosa penumpangnya, B (15), siswi kelas III SMP, di
dalam angkot. Percobaan pemerkosaan itu terjadi pada Selasa (24/1/2012) sekitar pukul
20.00. Penyidik Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bogor berhasil membekuk sopir
angkot itu pada Rabu sore. ”Pemerkosaan terhadap korban belum terjadi. Namun, pelaku
berbuat cabul kepada korban yang tidak melawan karena dia masih anak-anak dan pelaku
juga sempat mengancam korban,” tutur Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bogor Ajun
Komisaris Imron Ermawan di Cibinong, Kamis (26/1/2012). Pelaku kini terancam hukuman
15 tahun penjara karena melanggar Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak. Saat kejadian, korban naik angkot bernomor polisi F 1915 MB
yang dikemudikan pelaku di depan Rumah Sakit Bina Husada, Cibinong, untuk pulang ke
rumahnya di Gunung Putri. Di dalam angkot masih ada tujuh penumpang. Namun, satu per
satu penumpang turun sehingga tinggal tersisa korban. Saat itu, pelaku meminta korban yang
duduk di belakang pindah ke depan. Korban tidak curiga. Setelah korban duduk di depan,
MD berbuat tidak senonoh sambil membawa angkot ke tempat sepi di Kampung Tlajung,
Desa Cikeas Udik, Kecamatan Gunung Putri. Pelaku kemudian memaksa korban pindah ke
bagian belakang angkot. Dia menggunakan jok angkot sebagai alas untuk memerkosa korban,
tetapi karena melihat orang lewat dan berupaya mendekatinya, MD berhenti dan melarikan
diri dengan angkotnya dan meninggalkan korban di jalan. ”Korban pulang naik ojek, lalu
menceritakan kejadian itu kepada orangtuanya, lalu mereka melapor kepada kami.
Berdasarkan ciri-ciri pelaku dan ciri mobil, kami menangkap MD,” ujar Imron.

Analisis kasus dan pemidanaannya:


1.Pelaku:
Berdasarkan kasus diatas maka dapat disimpulkan bahwa supir angkot telah melanggar kasus
pidana pada pasal 53 ayat (1) : “Mencoba melakukan dipidana, jika niat itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri”

2.Tindak Pidana: Tindak Pidana Percobaan


Pelaku yang berupaya mencoba memperkosa korban dan berhenti tidak jadi memperkosa
karena ada seseorang yang sedang lewat dan mendekati pelaku. Hal ini dapat dianalisis dari
kejadian di atas adalah : Sopir angkutan berencana untuk memperkosa siswi kelas III SMP.
Sopir angkot mencoba memperkosa siswi tersebut, tapi kejahatan yang dilakukan sopir
angkot belum sepenuhnya selesai, karena ditengah aksinya sopir angkot melihat orang lewat
dan berupaya untuk mendekatinya, pelaku yang berhenti dan melarikan diri dengan
angkotnya dan meninggalkan korban di jalan. Inilah yang kemudian disebut percobaan dalam
hukum pidana.

3.Akibat dari tindak pidana


 Pelaku dihukum 10 tahun penjara. Hal ini dikarenakan hukuman yang dijatuhkan hakim
yaitu 15 tahun dikurangi 1/3nya yaitu 5 tahun.

Pemidanaan percobaan tindak pidana dalam KUHP


Sanksi terhadap percobaan di atur dalam pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi
sebagai berikut:
(2) maksimal hukuman pokok atas kejahatan itu dalam hal percobaan dikurangi dengan
sepertiga.
(3) kalau kejahatan itu di ancamdengan hukuman mati atau penjaraseumur hidup, maka di
jatuhkan hukuman penjara paling lama lima belas tahun.
Hukuman bagi percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3)
KUHP dikurangi sepertiga dari hukuman pokok maksimum dan paling tinggi lima belas
tahun penjara. Didalam ayat (2) dari Pasal 53 KUHP ditentukan bahwa hukuman yang dapat
dikenakan atas perbuatan percobaan ialah maksimum hukuman pokok atas suatu kejahatan
diancam hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka terhadap perbuatan
percobaannya diancamkan hukuman maksimum lima belas tahun penjara. Dalam hal
percobaan maksimum ancaman hukuman (bukan yang dijatuhkan) pada kejahatan
dikurangkan dengan sepertiganya, ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup diganti
dengan hukuman penjara maksimum lima belas tahun, akan tetapi mengenai hukuman
tambahan sama saja halnya dengan kejahatan yang selesi dilakukan.
Tidak semua percobaan melakukan kejahatan diancam dengan sanksi. Ternyata
KUHP mencantumkan hal tersebut dengan membuat rumusan bahwa percobaan untuk
melakukan tindak pidana tertentu tidak dapat dihukum antara lain :
a.    Pasal 184 ayat (5) KUHP, percobaan melakukan perkelahian tanding antara seseorang
lawan seseorang.
b.    Pasal 302 ayat (4) KUHP, percobaan melakukan penganiayaan ringan terhadap binatang
c.    Pasal 351 ayat (5) KUHP dan pasal 352 ayat (2), percobaan melakukan penganiayaan
dan penganiayaan ringan.
d.   Pasal 54 KUHP, percobaan melakukan pelanggaran, tidak boleh dihukum.

B. Analisis penyertaan dalam KUHP dan RUU KUHP


Menurut ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, Penyertaan adalah "apabila orang yang
tersangkut untuk terjadinya satu perbuatan pidana atau kejahatan itu tidak hanya satu orang
saja, melainkan lebih dari satu orang". Penyertaan dapat terjadi sebelum perbuatan dilakukan,
yaitu dengan jalan mempengaruhi orang lain sedemikian rupa untuk melakukan perbuatan
pidana atau dengan jalan memberikan upaya kepada orang lain untuk dapat melaksanakan
perbuatan pidana yang dimaksud.
Menurut saya, perbedaan antara Penyertaan dalam KUHP dan RKUHP terletak pada
pasal-pasal yang mengaturnya. Selain itu isi ke dua nya juga memiliki perbandingan,
diantaranya sbb. Penyertaan dalam KUHP diatur dalam 2 (dua) pasal, yaitu pasal 55 dan
pasal 56 KUHP. Dari rumusan pasal tersebut, diketahui bahwa ada lima golongan peserta
tindak pidana yaitu:
1. Orang yang melakukan perbuatan (pleger).
2. Orang yang menyuruh melakukan perbuatan ( Doenpleger).
3. Orang yang turut serta melakukan perbuatan (Medepleger).
4. Orang yang menganjurkan agar perbuatan dilakukan (Uitlokker), pada KUHP lebih
dipertegas terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan saja yang
diperhitungkan beserta akibat-akibatnya.
5. Orang yang membantu perbuatan ( Medeplichtige), bahwa orang yang membantu
dipidana lebih ringan (dikurangi 1/3) dari dipembuat / pelaku.
Penyertaan dalam RKUHP diatur dalam 3 (tiga) pasal, yaitu pasal 20, 21, dan 22. Dari
rumusan pasal tersebut, diketahui bahwa:
1. Setiap orang dipidana sebagai pelaku tindak pidana jika melakukan sendiri tindak
pidana tersebut, menyuruh orang lain, turut serta melakukan, menganjurkan
melakukan tindak pidana, dan membantu perbuatan tersebut.
2. Pada RKUHP tidak dipertegas terhadap penganjur seperti pada pasal 55 ayat (2)
KUHP.
3. Adanya ketidakberlakuan lagi terhadap ketentuan orang yang membantu tindak
pidana yang hanya diancam dengan denda paling banyak kategori II.
4. Adanya peringanan hukuman mati atau pidana seumur hidup menjadi pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun terhadap orang yang membantu tindak pidana.
5. Adanya pidana untuk pembantu tindak pidana 2/3 dari maksimum ancaman pidana
pokok tindak pidana bersangkutan.
6. Pidana tambahan yang disamakan antara pembantuan tindak pidana dengan tindak
pidana bersangkutan.
7. Dijelaskan pada RKUHP pasal 22 mengenai keadaan pribadi pelaku maupun
pembantu yang dapat menghapus, mengurangi atau memperberat pidananya. Yang
sebelumnya pada KUHP tidak dijelaskan sedemikian rupa. Karena tidak semua orang
bisa dianggap cakap dalam melakukan perbuatan hukum, maka disini telah diperjelas
mengenai hal itu.
Contoh kasus penyertaan :

Jaksa Penuntut Umum (JPU), menuntut Ihsan (29), satu dari delapan pelaku perampokan
ATM di Universitas Bung Hatta, dengan hukuman 12 tahun penjara. Sedangkan Rahmad
Syamsurizal (35) bersama istrinya, Eni Erawati (36), hanya dituntut tiga tahun, karena tidak
terlibat langsung dalam perampokan yang terjadi 25 September lalu. Meski dituntut 12 tahun,
Ihsan tampak tidak terkejut saat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Padang, Senin
(21/2). Wajahnya tetap tenang. Berlainan dengan Eni, yang langsung menangis mendengar
tuntutan JPU. Dia tidak membayangkan nasib anak-anaknya, jika dia dan suaminya masuk
penjara. Dalam tuntutannya, JPU Gusnefi menyebutkan, kalau Ihsan sudah melanggar pasal
365 ayat 2 KUHP, dan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang RI nomor 12 tahun 1951 jo pasal 55
ayat 1 KUHP. Terdakwa melakukan perampokan dan memiliki senjata tanpa izin. Ancaman
hukuman 12 tahun, setimpal dengan perbuatannya,” jelas Gusnefi. Sementara, Rahmad dan
Eni tidak dihukum berat dikarenakan keduanya tidak ikut serta dalam perampokan. Keduanya
hanya menikmati hasil perampokan, serta menyediakan tempat bagi perampok untuk
berkumpul. JPU menyebutkan, Eni dan Rahmad menerima hasil rampokan senilai Rp10 juta,
yang dibelikan perhiasan emas dan uang tunai Rp1,1 juta. Setelah membacakan tuntutan,
ketiganya langsung digiring menuju sel tahanan. Ihsan, Rahmad dan Era, diberikan waktu
seminggu untuk menyusun pembelaannya secara tertulis, dan akan dibacakan pada sidang,
Senin depan. Bagaimana nasib anak-anak, kalau saya dan uda dipenjara. Mereka mau
mengadu sama siapa,? jelas Era sembari menangis.

Analisis kasus dan pemidanaannya:

Terdakwa Ihsan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, dilakukan dengan


maksud untuk mempermudah dilaksanakannya pencurian. Karena kekerasan yang dia
lakukan, menyebabkan timbulnya rasa takut atau cemas pada korban. Sehingga dia dikenakan
pasal 365 di atas. Jaksa penuntut umum juga menuntut terdakwa Ihsan dengan pasal 1 ayat
(1) UU RI No. 12 Tahun 1951 yang berbunyi : ”Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan
ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba
menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai
dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau
mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak,
dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara
sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.” Terdakwa Ihsan dikenai pasal tersebut di atas
karena dia memiliki senjata api tanpa izin. Sementara itu, dia dikenai pasal 55 ayat (1) karena
tindak pidananya ini termasuk dalam kasus penyertaan yang pelakunya lebih dari satu orang,
sehingga memenuhi rumusan pasal tersebut. Kedua terdakwa lain, Rahmad dan Eni, meski
tidak terlibat langsung dalam perampokan yang dilakukan terdakwa Ihsan, tapi mereka ikut
membantu menyediakan tempat bagi terdakwa Ihsan serta menikmati hasil rampokan. Maka,
terdakwa Rahmad dan Eni termasuk dalam istilah medeplegen (turut melakukan) dari pasal
55 ayat (1) KUHP dan memenuhi syarat bekerja sama. Bekerja sama ini terjadi sejak mereka
merancang niat untuk bekerja sama untuk melakukan perampokan.

Pemidanaan Penyertaan dalam KUHP

Pada prinsipnya KUHP menganut sistem bahwa pidana pokok untuk pembantu lebih
ringan dari pembuat. Prinsip ini terlihat didalam Pasal 57 yaitu:
1) Dalam hal pembantuan, maksimal pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi seoertiga.
2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3) Pidana tambahan untuk pembantuan sama dengan kejahatan itu sendiri.
4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang
sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.

C. Analisis Perbarengan Tindak Pidana dalam KUHP dan RUU KUHP


Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 65 KUHP adalah mengenai
pengakumulasian/penggabungan tindak pidana yang dikenal dengan nama concursus realis.
Gabungan tindak pidana ini diartikan sebagai beberapa tindak pidana yang dilakukan dalam
waktu yang berbeda dan dilakukan oleh hanya satu orang. Concursus bisa dianggap sebagai
kebalikan dari penyertaan tindak pidana, yaitu keadaan ketika satu tindak pidana dilakukan
oleh beberapa orang. Gabungan perbuatan yang dapat dihukum mempunyai tiga
bentuk, concursus ini diatur didalam KUHP Bab. VI, adalah sebagai berikut :
1. Concursus Idealis (Pasal 63 KUHP)
2. Concursus Berlanjut (Pasal 64 KUHP)
3. Concursus Realis (Pasal 65 – 71 KUHP)
KUHP mengatur perbarengan  tindak pidana dalam Bab. VI Pasal 63 – 71. Dalam
rumusan pasal maupun Bab. IX, KUHP tidak memberikan definisi perbarengan tindak pidana
(Concursus). Namun, dari rumusan pasal-pasalnya dapat diperoleh pengertian dan sistem
pemberian pidana bagi concursus sebagai berikut.
1) Concursus Idealis, adalah suatu perbuatan yang masuk kedalam banyak (Lebih dari
satu) aturan pidana. Sistem pemberian pidana dalam concursus idealis adalah
Absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat.
2) Concursus Berlanjut, adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang
atau berangsur-angsur dimana perbuatan itu sejenis berhubungan dan dilihat dalam
satu perbuatan. Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan
sistem absorbs, yaitu hanya dikenakan ancaman terberat. Dan apabila berbeda-beda,
maka dikenakan ketentuan pidana pokok yang terberat.
3)  Concursus realis adalah seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-
masing perbuatan itu berdiri sendiri. Sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis
dan tidak perlu berhubungan).
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata “perbuatan berlanjut” menurut pembuat undang-
undang masih patut diatur, hal ini seperti yang terlihat dari RUU tentang KUHP yang dibuat
oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, yakni dalam Pasal 125 RUU KUHP dinyatakan :
(1)   Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang saling berhubungan sehingga
dipandang sebagai perbuatan berlanjut dan diancam dengan ancaman pidana yang sama maka
hanya dijatuhkan satu pidana.
(2)   Jika tindak pidana perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan
pidana yang berbeda maka hanya dijatuhkan pidana pokok yang terberat.
(3)   Ketentuan mengenai penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
juga terhadap tindak pidana memalsu atau merusak mata uang dan menggunakan uang palsu
atau uang yang dirusak tersebut.

Contoh kasus perbarengan:

Liputan6.com, Magelang: Perampokan bersenjata api di Jalan Raya Gulon, Muntilan,


Magelang, Selasa (15/9) petang membuat geger warga Jawa Tengah. Perampokan tersebut
menimpa mobil jasa pengiriman uang milik PT Kelola Jasa Arta (Kejar) dengan nomor polisi
B 8399 MW. Tiga orang yang berada dalam mobil tewas seketika dengan luka tembakan.
Tiga korban tewas Agus Sutrimo, warga Kebumen, Arif Wirahadi ,30, warga Dusun Gendol,
Kelurahan Klopo, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, serta Brigadir Murdiono
seorang anggota Brimob Polda DIY, yang bertugas mengawal mobil Izusu Panther milik PT
Kejar. Sebelum terjadinya perampokan, ketiganya baru saja mengambil uang dari Bank
Danamon Kota Magelang dan Muntilan. Menurut saksi mata, sebelum mobil menabrak tiang
telepon terdengar suara rentetan tembakan. Namun, perampok tak sempat mengambil uang
yang ada dalam brankas mobil sebab warga sudah banyak yang mendekati Setelah ditangkap,
pelaku, Edi, mengakui bahwa itu telah direncanakan sebelumnya oleh Kusdarmanto. “Sehari
sebelum eksekusi, saya dan Kusdarmanto sempat rapat dua kali mau bagaimana nanti,” ujar
Edi. Saat eksekusi, Edi bertugas sebagai pembuka pintu belakang mobil PT. Kelola Jasa
Artha (Kejar) untuk mengambil uang senilai Rp 2 miliar di brankas. Sedangkan Kusdarmanto
berperan sebagai pengeksekusi tiga penumpang mobil tersebut. Menurut Kepala Satuan
Reserse Kriminal Polisi Resort Magelang Inspektur Satu Aris Suwarno, Edi Syamsul Bahri
ditangkap akan dijerat hukuman dengan pasal 339 dengan hukuman maksimal 20 tahun
penjara. Saat penangkapan, pihaknya bekerja sama dengan Polres Makassar Barat, Sulawesi
Selatan. “Kami sudah berkoordinasi sebelumnya,” ujarnya. Dua terdakwa kemudian divonis
hukuman mati. Vonis untuk Kusdarmanto dan Syamsul Bahri dijatuhkan majelis hakim
dalam sidang di Pengadilan Negeri Mungkid, Magelang, Jawa Tengah, Kamis(1/4). Majelis
hakim menilai, kedua terdakwa memenuhi unsur pasal pembunuhan berencana sehingga
pantas diganjar hukuman mati. Atas putusan ini, kedua terdakwa melalui kuasa hukumnya
menyakan naik banding.

Contoh ilustrasi kasus: dalam rentang waktu 5 tahun seseorang melakukan pencurian,
penganiayaan, dan pembunuhan. Pencurian diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun
sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP, penganiayaan diancam dengan pidana penjara
maksimal 2 tahun 8 bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP, dan pembunuhan
(Pasal 338 KUHP) diancam dengan pidana penjara maksimal 15 tahun. Ketiga tindakan
tersebut apabila diakumulasikan menjadi total 22 tahun 2 bulan, namun hal ini tidak dapat
serta merta diberlakukan terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pidana terberat di sini
adalah pidana penjara 15 tahun yang diterapkan kepada tindak pidana pembunuhan dan
sepertiga dari 15 tahun adalah 5 tahun, sehingga pidana maksimal yang dapat dikenakan
terhadap pelaku tindak pidana tersebut adalah 20 tahun meskipun secara akumulatif orang
tersebut patut dipenjara selama 22 tahun 2 bulan.

Analisis kasus dan pemidanaannya :

Berdasarkan kasus, pelaku dikenai Pasal 365 ayat (4) KUHP tentang pencurian, yaitu
“Diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling
lama duapuluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh
dua orang atau lebih dengan bersekutu. Unsur-unsurnya :
a. pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
terhadap orang. Dalam kasus, pelaku melakukan kekerasan (menembak) para korban (orang)
untuk mendahului pencurian tersebut.
b. dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal
tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau
untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.
Dalam kasus perbuatan yang dilakukan pelaku sudah direncanakan terlebih dahulu agar dapat
mencuri uang yang dijaga ketat oleh ketiga korban dengan tujuan untuk tetap menguasai
barang yang dikuasainya. Maka pasal 365 ayat (1) KUHP terpenuhi unsur-unsurnya.
Selain itu, berdasarkan kasus pelaku dikenai Pasal 340KUHP tentang pembunuhan
berencana, yaitu “Barangsiapa sengaja dan dengan terencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama duapuluh
tahun”. Unsur-unsurnya :
1. Barang siapa. Dalam kasus, kedua pelaku Edi dan Kusdarmanto
2. Sengaja dan dengan terencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain
Dalam kasus, pelaku melakukan rencana untuk membunuh korban agar tujuan mereka
(mencuri) terlaksana. Sehingga Pasal 340 KUHP terpenuhi unsur-unsurnya.
Pelaku yang melakukan tindak pidana pencurian yang didahului dengan pembunuhan
yang dilakukan berenncana ternyata tidak menyelesaikan tindak pidanyanya dengan sebab
keburu ketahuan oleh warga sekitar (bukan sebab kehendaknya sendiri). Sehingga Pasal 53
KUHP tentang percobaan, yaitu Unsur-unsurnya :
1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana Dalam kasus telah melakukan penembakan
terhadap ketiga korban dan mencoba mencuri brankas.
2. jika niat untuk itu telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan Dengan telah membunuh
dan telah hampir mencuri brankas.
3. dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri. Dengan sebab keburu ketahuan warga.
Sehingga pasal 53 KUHP ayat (1) terpenuhi unsur-unsurnya

Pemidanaan perbarengan tindak pidana dalam KUHP


Apabila seseorang melakukan beberapa tindak pidana yang berbeda pada waktu yang
berbeda, maka tindak-tindak pidana tersebut harus ditindak secara tersendiri dan dipandang
sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. Hukuman terhadap orang yang melakukan tindak-
tindak pidana tersebut kemudian dikumulasikan atau digabung namun jumlah maksimal
hukumannya tidak boleh melebihi ancaman maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.

Anda mungkin juga menyukai