Anda di halaman 1dari 11

BAB 5 Ferdinand The Sausure Semiologi

1. Semiologi dan Semiotika


Semiologi merupakan terminologi yang dapat disamakan dengan semiotika, walaupun
memiliki latar historis yang berbeda. Semiologi awalnya dikembangkan oleh ilmuan Prancis
(ahli linguistik), Ferdinand de Saussure, sebagai bagian dari keilmuan psikologi sosial.
Semiotika dikembangkan oleh filsuf Amerika (ahli logika), Charles Sanders Pierce, sebagai
cabang dari filsafat. Sebetulnya, tidak ada perbedaan yang prinsip di antara keduanya.
Hanya saja, semiologi dalam perkembangannya banyak dikenal di Eropa, dipopulerkan oleh
para ahli yang mengikuti tradisi linguistik Saussurian.
Sementara, semiotika dikembangkan oleh para ahli dari penutur bahasa Inggris, yang
mengikuti tradisi Piercian. De Saussure dalam Budiman (2011: 3) mengatakan, semiologi
adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam
masyarakat (a science that studies the life if signs within society).
Persamaan konsep de Saussure dengan Pierce dapat dilihat pada pernyataan keduanya.
Pierce mengatakan bahwa seseorang hanya dapat berpikir dengan sarana tanda terjalin
komunikasi. Pada sisi lain, de Saussure, mempertanyakan apakah substansi bahasa
sesungguhnya. Baginya tidak lain adalah suatu sistem tanda. Dia menyadari bahwa sistem
tanda yang disebut bahasa hanyalah sebagian dari sistem tanda yang lebih banyak, sehingga
dia merespon kondisi ini dengan merancang teori dengan konsep-konsep terapan (Van
Zoest dan Sudjiman, 1996: vii-viii). Walaupun kedua tokoh legendaris penggagas semiotika
ini hidup hampir sezaman, namun mereka tidak saling mengenal. Karenanya, mereka tidak
saling mengetahui konsep masing-masing. Pierce tidak mengenal konsep semiologi de
Saussure, dan begitu juga de Saussure tidak mengenal konsep semiotika Pierce. Baru
kemudian penerus dari masing masing tokoh ini yang mengembangkan konsep semiologi
atau semiotikanya sehingga dikenal luas.
Pergeseran pendekatan kejian keilmuan sosial berdasarkan linguistik struktural awalnya
dikenal dengan peralihan linguistik. Linguistik struktural Saussurian berkembang dalam
berbagai bidang keilmuan sosial dan humaniora. Kondisi ini telah mengubah kenyataan ilmu
sosial secara dramatis. Sebagai contoh, karya Jurgen Habermas yang membicarakan tentang
komunikasi, dan juga analisis percakapan dari sebagian etnometodologis (Ritzer, 2012: 1031-
1032). Tidak hanya itu, terlebih lagi pada perkembangan kajian tanda bahasa menjadi
kawasan tanda yang tidak berbatas, sebagaimana yang dihadapi keilmuan semiotika saat ini.
Semiotika sekarang semakin beragam ranah dan fokus kajiannya, termasuk tanda-tanda dari
bebauan (olfactory signs), dan juga merambah pada tanda dalam perilaku komunikasi hewan
(zoosemiotics). Semiotika mutakhir yang dikembangkan oleh generasi teoretisi-teoretisi yang
muncul belakangan, di samping beragam, juga sangat kompleks dalam hal istilah, isu, teori,
dan pendekatannya. Dengan kompleksitas tersebut membuatnya cenderung tidak sejalan,
karena tidak jelas batas-batasnya, Namun, sejauh semiotika berkembang, tetap dapat ditarik
kembali pada kedua induknya, yaitu tradisi semiotika Piercian atau semiologi Saussurian.
Model klasifikasi bener merupakan sesuatu yang umum dalam pemikiran linguistik
strukturalis Saussurian, seakan metabahasa para linguis memproduksi tanda bahasa seperti
cermin, yaitu struktur biner dan sistem yang menjelaskannya. Barthes (2012: ix) mengatakan,
besar manfaatnya dengan hasil yang diperolah bila mempelajari kelebihan dari klasifikasi
biner dalam wacana ilmu-ilmu sosial mutakhir. Jika benar dipahami, taksonomi ilmu sosial,
akan memberi banyak informasi mengenai sesuatu yang dapat disebut sebagai medan
imajinasi intelektual zamannya.
2. Konsep Dikotomis dalam Oposisi Biner

Konsep dikotomis Saussurian berawal dari perspektif linguistik sebagai suatu kajian
keilmuan. Sesuatu yang khas, konsep dikotomis ini diungkapkan dalam bentuk perlawanan
atau oposisi biner (binary opposition), yaitu: sinkronik dan diakronik; langue dan parole;
penanda dan petanda; sintagmatik dan paradigmatik; serta denotasi dan konotasi. Khusus
yang terakhir, berkaitan dengan denotasi dan konotasi dikembangan secara luas dan
mendalam dalam kajian Roland Barthes Dalam berbagai pernyataan, Barthes dipandang
sebagai tokoh utamayang mengembangkan gagasan strukturalisme linguistik de Saussure
pada struktur sistem tanda yang disebut semiotika (semiologi)
a. Sinkronik dan Diakronik

De Saussure membedakan kajian keilmuan berdasarkan perspektif waktu sinkronik dan


diakronik. Pendekatan sinkronik adalah pendekatan yang melihat bahasa sebagai sistem yang
berfungsi pada saat tertentu, dengan tidak perlu memahami aspek etimologinya. Kajian
bahasa dan seni dalam perspektif sinkronik terfokus pada momen tertentu, tanpa
mempersoalkan proses yang dilaluinya. Sebaliknya, pendekatan diakronik mengkaji bahasa
dan seni dalam proses waktu bergerak dan berevolusi. Proses ini dapat dibedakan
berdasarkan arus perubahan waktu yang maju (prospektif) dan perubahan waktu yang
mundur (retrospektif). Pendekatan diakronik menganalisis tanda berdasarkan komparatif-
historis, melalui proses penelusuran etimologis, pergeseran fonologis, dan seterusnya,
sehingga mengandung aspek asosiatif.
Prinsip de Saussure sendiri memihak pada sinkronik. De Saussure mencontohkan sinkronik
dengan kata "pohon"; asal-usul kata "pohon" tidak penting bagi penyibakan struktur bahasa
yang bersangkutan. Dengan ini, terlihat linguistik de Saussure di samping mengesampingkan
unsur-unsur ekstralinguistik, juga melepas objek kajiannya dari dimensi waktu dan
kesejarahan (Sutrisno dan Putranto, 2005: 130). De Saussure menjelaskan, bahasa (langue)
hanya dapat diidentifikasi melalui analisis sinkronik, sedangkan tuturan (parole) melalui
analisis diakronik (Giddens, 2009: 16).
Dalam kajian semiotika bahasa dan seni, pendekatan sinkronik digunakan untuk
mengkonstruksi pemahaman secara komprehensif berdasarkan berbagai aspek sosial budaya
yang melingkupinya, dan pendekatan diakronik berdasarkan perspektif dinamika-dialektika
historis. Selanjutnya, konsep linguistik sinkronik de Saussure ini menjadi basis
pengembangan konsep dikotomis lague dan parole, penanda dan petanda, serta sintagmatik
dan paradigmatik.
b. Langue dan Parole

Langue dan parole merupakan salah satu distingsi yang menarik, yang dikembangkan oleh
Ferdinand de Saussure, tidak hanya dipakai dalam fenomena linguistik tetapi juga dalam
konteks semiotika (semiologi), Dijelaskan bahwa langue adalah sistem formal gramatikal
bahasa, yang bersifat abstrak, la adalah sebuah sistem elemen-elemen phonic (yang
berhubungan dengan bunyi) di mana hubungannya diatur menurut hukum-hukum yang
determinan. Banyak ilmuwan bahasa (linguistik) semenjak zaman de Saussure mencurahkan
perhatian untuk menemukan hukum ini.

Dengan eksistensi langue menjadikan parole terlahir. Parole adalah wicara aktual, suatu cara
di mana pewicara setiap hari menggunakan bahasa untuk mengekspresikan diri mereka. De
Saussure mengakui signifikansi penggunaan bahasa manusia dalam cara-cara yang subjektif
dan seringkali idiosinkretis. De Saussure percaya bahwa pemakaian bahasa setiap hari
seperti parole, tidak bisa menjadi perhatian pengguna bahasa yang berorientasi secara
ilmiah. Penggunaan bahasa ilmiah harus fokus pada langue, sistem formal bahasa, tidak
pada cara-cara subjektif ketika itu digunakan oleh aktor (Ritzer, 2010: 52; Faruk, 2012: 174).
Kehadiran langue dan parole adalah konsekuensi dari pemahaman dasar linguistik yang
bersifat dikotomis. Dalam hal ini, walaupun terlihat antara keduanya beroposisi, namun
sebetulnya saling melengkapi. Tidak akan ada parole kalau tidak ada langue, begitu juga
sebaliknya. Langue adalah sumber tanda dan sistem bagi ungkapan parole. Langue adalah
sistem kode yang sudah dipahami, dan seolah disepakati bersama oleh masyarakat pemakai
bahasa dimaksud.
Kegiatan bicara (parole) memegang peranan penting, di mana sistem bahasa yang bersifat
abstrak dilahirkan oleh aktivitas bicara yang birsifat konkret ini. Sama seperti linguistik,
semiologi terjadi dalam praktik berkomunikasi. Artinya, fenomena makna berakar pada aksi
penggungkapan manusia, dan bukan bermula dari teori yang terbentuk sebelumnya
(Sudjiman dan Van Zoest, 1996: 63).
De Saussure menganalogikan dengan permainan catur. Dalam hal ini, yang penting adalah
adanya sistem dan aturan yang dipahami bersama. Di samping itu, adanya unsur-unsur yang
saling berhubungan, dengan fungsinya masing-masing (raja, ratu, pion, dsb). Sistem
permainan catur ini merupakan langue.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebuah unsur bahasa memiliki arti setelah
menentukan nilainya dalam pertentangannya (oposisinya) dengan unsur-unsur yang lain
(Sudjiman dan Van Zoest, 1996: 59).

Pejelasan lain, dapat diikuti analogi Roland Barthes yang juga digambarkan oleh Kris
Bidimam (2011: 26-27) dalam sistem busana. Setidaknya langue busana terdiri dari oposisi
kombinasi unsur-unsur yang disatukan, serta prinsip yang diterapkan dalam penyatuan
unsur tersebut sebagai suatu sistem. Oposisi dari berbagai kombinasi bentuk dan aksesoris
dapat melahirkan perbedaan makna. Misalnya, memakai jas atau rompi dalam setelan
pakaian pria akan berbeda maknanya. Sebaliknya, parole-nya adalah pilihan individu
terhadap kualitas bahan yang diinginkan (corak, warna, tekstur, dsb), serta ungkapan gaya
dan kepribadian individu dalam berpakaian, termasuk kerapian dankeserasiannya. Langue
pakaian ini merupakan ketentuan atau sistem yang berada di luar individu. lindividu tidak
punya otoritas untuk merubahnya, kalau dipaksakan, akan terjadi miskomunikasi atau
kerancuan makna. Ruang ekspresi bagi cita rasa dan kepribadian individu tersalurkan melalui
parole. Parole merupakan ungkapan individualis seseorang dalam bertutur, termasuk dalam
berbusana. Secara ringkas, ungkapan langue dan parole dalam produk atau fasilitas keperluan
sehari-hari digambarkan sebagai berikut:

c. Penanda dan Petanda

Sebagaimana telah dijelaskan, langue merupakan sebuah sistem tanda yang bersifat abstrak,
dasar untuk menjelaskan yang konkret Secara keseluruhan, dapat dilihat sebagai suatu
struktur yang terdiri atas pananda (signifier) dan petanda (signified). Dalam bahasa, penanda
adalah citra bunyi ketika si penerima mendengar kata yang diucapkan

dan petanda adalah citra bunyi yang digunakan untuk menyatakan makna kata yang sampai
pada pikiran si penerima. Relevan dengan ini, dalam wujud visual, penanda adalah citra
bentuk ketika melihat atau membaca sesuatu, dan petanda adalah citra yang digunakan untuk
menyatakan makna dari apa yang terlihat atau terbaca. De Saussure tidak hanya tertarik
dengan penanda dan petanda, tetapi juga hubungannya satu sama lain (Ritzer, 2010: 53;
Faruk, 2012: 175). Keduanya membentuk kesatuan yang saling memperkuat, yang disebut
sebagai tanda. De Saussure memahami hubungan antara penanda dan petanda sebagai
hubungan yang stabil, dan dapat dikonsep untuk membentuk tanda-tanda linguistik (Sarup,
2011: 9). Namun, de Saussure tidak terlalu tertarik dengan sesuatu yang dirujuk (referent),
karena dianggap sudah merupakan ekstra-linguistik.
Secara subtansial, penanda adalah sesuatu yang bersifat material dan terindra karena bersifar
sensoris: bunyi-bunyi, objek-objek, imaji- imaji dan sebagainya. Sebaliknya, petanda
merupakan aspek mental dari tanda, yang dinyatakan sebagai konsep yang melahirkan makna
dalam pikiran seseorang. Meskipun ke duanya dapat dibedakan, tetapi sesungguhnya saling
ketergantungan dan tidak terdipisahkan.
De Saussure menyatakan bahwa ciri dasar tanda bahasa adalah bersifat arbitaritas absolut
(Culler, 1996: 7). Arbitaritas inilah yang membentuk signified dan signifier secara acak atau
sembarangan, sehingga orang tidak dapat lagi menjelaskan (misalnya) sebuah rumah disebut
rumah, bukan mobil. Tanda ini sifatnya konvensional, dan pemilihannya tidak bermotivasi
dan tidak ada hubungan alamiahnya. Berlawanan dengan itu, ada juga tanda bahasa yang
memiliki
motivasi. Dalam hal ini, proses simbolisasi dalam alam pikiran seseorang akan membentuk
keterkaitan antara signified dan signifier. Seperti tanda merah pada lampu lalu lintas,
memberi tanda bahwa semua pemakai jalan harus berhenti. Hal ini berarti, warna merah dan
tindakan berhenti merupakan satu kesatuan signified dan signifier (Sachari, 2005: 68-69)
Tanda seperti ini banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam peraturan lalu
lintas. Konsep tanda dalam struktur linguistik Saussurian inilah kemudian, oleh Roland
Barthes dikembangkan lebih jauh menjadi konsep struktur sistem tanda yang disebut
semiotika (semiologi).

Dapat dipahami dari pemikiran de Saussure, yang menyatakan bahwa makna-makna,


pemikiran, sampai dunia sosial dibentuk oleh struktur bahasa. Bahasa merupakan sistem yang
tertutup, yang ditandai dengan adanya perbedaan (difference), dalam hal ini juga berkaitan
dengan oposisi biner. Dia mencontohkan, makna kata panas (hot) bukan berasal dari makna
intrinsik atau makna hakikinya dalam kenyataan, melainkan berasal dari keterkaitan kata
tersebut dengan oposisi binernya, yaitu dingin (cold). Hal ini memperkuat pernyataan,
bahwasanya kita berada dalam dunia dengan segala aspek sosialnya yang dibentuk oleh
struktur dan kode bahasa. Jadi, bukan eksistensial manusia yang membentuk dunia
sekitarnya, melainkan bahasa melalui peran arbiternya dalam memilih dan menggabungkan
kata.

Ada beberapa tokoh dengan berbagai pemikiran yang bervariasi di belakang pemikiran de
Saussure, namun semuanya disatukan oleh satu akar yang menjadi asumsi dasar dari kajian
mereka, yaitu linguistik struktural yang sebelumnya diperkenalkan de Saussure. Tiga prinsip
dasar yang menjadi pendekatan de Saussure tetap menjadi pijakan, dan dikembangkan tokoh
lain dalam kajiannya masing-masing, yaitu berupa distingsi: langue-parole, signifiant-
signifie, dan sinkronik-diakronik. Misalnya, terlihat pada kajian Roland Barthes tentang
tanda, dan Levi- Strauss dalam antropologi. Sebelumnya, de Saussure juga sudah
"meramalkan" bahwa model pendekatan linguistik struktural ini akan dikembangkan pada
ilmu kemanusiaan lainnya, mengingat manusia adalah animal simbolicum, dan kebudayaan
tersusun berdasarkan simbol-simbol (Sutrisno dan Putranto, 2005: 130-131).
d. Sintagmatik dan Paradigmatik
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahasa dibangun atas dasar relasi-relasi
pertandaan, salah satunya adalah relasi sintagmatik dan relasi paradigmatik. Kedua relasi ini
memperlihatkan perbedaan hubungan, di mana relasi sintagmatik merupakan relasi yang
linier, dengan kehadiran unsur-unsurnya bersifat in praesentia. Sebaliknya, relasi
paradigmatik memiliki hubungan asosiatif dengan kehadiran unsur-unsurnya bersifat in
absentia. Dalam bahasa dapat digambarkan, misalnya, relasi sintagmatik mangacu pada
hubungan kata perkata atau antar satuan gramatikal, yang dirangkai dalam dimensi waktu
tertentu. Unsur-unsur bahasa dimaksud dapat dipertukarkan sesuai keinginan. Relasi
paradigmatik mengacu pada hubungan unsur-unsur yang berada dalam kelompoknya sebagai
bagian dari sistem. Kelompok ini dibentuk berdasarkan kesamaan atau perbedaanya, yang
memiliki hubungan asosiatif. Dalam Bahasa misalnya dengan sinonim atau antonimnya.
Dengan kata lain, Sachari (2005:69-70) menjelaskan: susunan sintagmatik merupakan
susunan tanda yang bersifat linier dan terikat oleh waktu, sedangkan susunan paradigmatik
lebih bersifat meruang, dan mempunyai hubungan asosiatif yang membentuk suatu
pengertian.
Dalam penjelasan tanda terkait dengan kajian semiotika secara Budiman (2011: 28-
29) umum, banyak hal dapat dijelaskan berdasarkan relasi sintagmatik dan paradigmatik.
Barthes (2012) dan menjelaskannya dalam hal busana (fashion). Bagi perancang busana, ada
pola yang sering digunakan untuk memadu padankan (mix and match) setelan pakaian, agar
terlihat serasi. Pola ini mengacu pada istilah fashion coordinate. Hal ini analog dengan
prinsip langue, khususnya dalam mengkaji hubungan dan keterkaitan unsur-unsur
berdasarkan relasi sintagmatik dan paradigmatik.
Lebih lengkap dijelaskan berdasarkan busana wanita, yang banyak unsur ragam dan
jenisnya. Dalam setelan busana wanita, dapat dibedakan bagian atasan dan bawahannya.
Pembagian ini sudah menujukkan pada konsep relasi sintagmatik, yaitu setidaknya ada dua
unsur yang dihadirkan dalam tata busana. Salah satu dari unsur atasan misalnya kemeja, dan
salah satu dari unsur bawahan misalnya rok.
Masing-masing kelompok atasan dan bawahan ini terdiri dari bagian- bagian dengan
berbagai ragam bentuk dan model. Atasan, selain kemeja, dapat berupa tanktop, blazer, jaket
dan lainnya. Bawahan, selain rok, dapat berupa celana panjang, dan lainnya, yang masing-
masing memiliki berbagai variasi bentuk. Bagian-bagian dalam kelompok atasan atau
bawahan dimaksud memiliki relasi paradigmatik.
e. Denotasi dan Konotasi
Secara khusus, sistem pemaknaan denotasi dan konotasi akan dijelaskan secara rinci
pada bab tersendiri. Pada segmen ini hanya disampaikan sebagai kelanjutan dari prinsip
dikotonis sistem penandaan yang dikembangkan de Saussure. Sebetulnya pemaknaan
denotasi dan konotasi secara luas dikembangkan oleh Roland Barthes, yang memperluas ide
dan konsep de Saussure pada kajian semua area kehidupan sosial. Signifikansi Barthes, dan
juga Levi-Strauss adalah sebagai tokoh awal yang mencetuskan paham struktural dan
mengkaji sistem tanda dalam budaya (pioneer of structuralist approaches), Menurutnya, ada
titik-temu atau konvergensi antara linguistik (ilmu- ilmu bahasa) dengan penelitian budaya,
yang pada gilirannya akan memperkaya penelitian semiologi, yaitu ilmu tentang praktik
penandaan (signifying) atau analisis penetapan makna dalam budaya (Sutrisno dan Putranto,
2005: 117).

Selanjutnya, Sutrisno dan Putranto (2005:117) mengatakan: denotasi dan konotasi,


keduanya mengacu pada "tatanan makna kata" (orders of signification). Yang pertama pada
makna kata lugas atau literal, dalam arti menjelaskan sesuatu sebagaimana adanya (denotasi).
Yang lain menggunakan arti kiasan (konotasi), dan dalam arti tertentu melibatkan semacam
metabahasa. Denotasi berada dalam tingkatan proses yang lebih rendah. Aart van Zoest
(1993: 3-4) dalam bukunya yang berjudul Semiotika, menjelaskan denotasi berkaitan dengan
petunjuk langsung dari suatu tanda bahasa, yang mengarah pada makna pertama. Sebaliknya,
konotasi adalah petunjuk tidak langsung, mungkin juga tidak disengaja oleh pengirim, yang
mengarah pada makna kedua.
Menurut Barthes, tanda-tanda dalam aktivitas budaya memiliki kaitan yang kompleks
dengan reproduksi ideologi, jadi bukanlah sesuatu yang polos murni (innocent). Dalam
perkembangannya, Barthes mengangkat interpretasi tentang berbagai fenomena dan
menghubungkannya dengan kajian yang bernuansa Marxis, misalnya ideologi dan pemujaan
terhadap komoditas (commodity fetishism). Terkait dengan hal ini, pada bagian akhir
bukunya yang berjudul Mythologies (1957), Barthes mengatakan, kita perlu menghubungkan
studi abstrak tentang tanda-tanda (semiotik) dengan penalaran sosiologis mengenai
bagaimana bentuk-bentuk konkret dan fungsi tanda-tanda abstrak tersebut (Sutrisno dan
Putranto, 2005: 119).
Lebih jauh, dalam pemahaman terhadap tanda dan kode, Barthes mengatakan tidak
ada makna yang definitif, selalu terbuka kemungkinan berbagai interpretasi. Dalam teori
budaya, ketika seseorang melakukan pembacaan (reading), tidak hanya melakukan
interpretasi buku, teks, atau objek budaya, namun lebih jauh mencakup proses di mana orang
bisa memaknai simbol, mitos, dan ideologi di sekelilingnya secara terbuka. Dengan
demikian, akan lahir multi interpretasi. Dengan prinsipnya ini, Barthes membuka jalan bagi
postrukturalisme yang kemudian lahir, yang melampaui strukturalisme klasik, sehingga
eksistensi Barthes sendiri bergeser pada postrukturalisme.
3. Prospek Kajian Semiologis
Konsep de Saussure tentang bahasa dan tuturan (ujaran) sudah menjadi lumrah dalam
kajian ilmu-ilmu sosial, yang dikenal dengan peralihan linguistik. Lingkup sosiologis konsep
bahasa dan tuturan ini di antarnya dikembangkan oleh Roland Barthes dan Claude Levi-
Strauss. Dalam berbagai pernyataan, Roland Barthes dipandang sebagai tokoh utama yang
mengembangkan strukturalisme linguistik de Saussure pada struktur sistem tanda yang
disebut semiotika. Sebagai pengkajian struktur tanda, cakupan semiotika lebih luas dari pada
struktur linguistik, karena tidak hanya yang berkaitan dengan bahasa, tetapi juga sistem
simbol dan tanda secara luas; semua bentuk komunikasi (seperti ekspresi muka, bahasa
tubuh), naskah kesusasteraan, dan semua elemen kebudayaan (Ritzer dan Goodman, 2011:
604-605). Barthes juga mengembangkan beberapa istilah yang berkaitan dengan tanda, yaitu:
sinyal, ikon, indeks, simbol, dan alegori (Van Zoest, 1993: 23-24).
Signifikansi Barthes ini luar biasa, karena mengembangkan ide-ide de Saussure pada
semua area kehidupan sosial. Barthes dalam Ritzer (2010: 54) mengatakan: Semiologi....
bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya: image, gestur, suara
musik, objek, dan segala yang terkait dengan semuanya, yang membentuk isi ritual, hiburan
konvensi atau publik. Jadi ini merupakan, jika tidak bahasa-bahasa, sekurang-kurangnya
sistem signifikansi.

Aspek penandaan yang menjadi objek kajian semiotika adalah segala sesuatu yang
terjadi dalam kehidupan ini, terutama yang berkaitan dengan aspek budaya masyarakat: karya
seni, objek pariwisata, kegemaran berbelanja, menonton televisi, konsumerisme,
komodifikasi, dan sebagainya. Jadi tidak hanya bahasa, "lingkaran linguistik" melingkupi
semua fenomena sosial dan budaya yang bisa ditafsirkan sebagai tanda dalam pemahaman
Sebagaimana Barthes, karya-karya Levi-Strauss juga banyak merujuk semiotika.
pada konsep-konsep de Saussure. Levi-Strauss memperluas kajian de Saussure
tentang bahasa ke persoalan-persoalan antropologis, misalnya sistem kekerabatan, dan juga
mitos dalam masyarakat primitif. Contoh: sistem pertalian keluarga (kinship) dalam
masyarakat tradisi, dianalogikan sebagai sistem komunikasi, dan dengan demikian dapat
dikaji dengan analisis struktural. Dalam hubungan pernikahan misalnya, saling memberi dan
menerima suami-istri, juga bisa dianalisis sebagaimana dalam pertukaran kata dan tanda
dalam bahasa. Kajian ini membuka pintu untuk menerapkan seluas-luasnya linguistik
struktural Saussurian pada semua bentuk komunikasi. Inovasi utamanya adalah
rekonseptualisasi fenomena sosial yang amat luas. Hal ini merupakan pertukaran sosial yang
dapat dipelajari berdasarkan antropologi struktural (Ritzer, 2010: 54).
Melalui kajiannya ini, Levi-Strauss hendak menunjukkan bahwa manusia sebagai
subjek tidak seotonom seperti yang dibayangkan eksistensialis Sartre, dan juga fenomenologi
Husserl. Menurut Levi-Strauss, manusia tidak selalu bertindak sadar dan membuat pilihan
subjektivitasnya dalam kebebasan, tetapi ada "struktur" yang tidak sepenuhnya disadari
menentukan tindakan dan pilihan-pilihan partikular dari setiap individu. Dia dengan tegas
mengatakan: tujuan akhir ilmu kemanusiaan bukanlah untuk membentuk manusia, melainkan
untuk meluruhkannya. Sehubungan dengan itu, sebagai seorang antropolog, dia berkeyakinan
bahwa tugas disiplin ilmu adalah untuk mempelajari "struktur terdalam" yang tersembunyi di
balik ungkapan-ungkapan individual, yang dipermukaan terlihat "kacau", tidak bisa
diramalkan, dan bahkan tidak terpola (Sutrisno dan Putranto, 2005: 125- 126).
Levi-Strauss juga mengkaji pemikiran beberapa tokoh, yaitu Marx dan Freud, serta
keilmuan geologi dalam upaya pencariannya untuk memperkaya kajian strukturalismenya.
Namun, model dasar strukturalisme antropologi Levi-Strauss tetap linguistik struktural
Saussurian. Dia meyakini bahwa elemen atau material untuk membentuk bahasa sama tipe
atau jenisnya dengan elemen atau material yang digunakan untuk membentuk budaya, yaitu:
relasi logis, oposisi, korelasi, dan sejenisnya. Bahasa merupakan kondisi awal bagi
kebudayaan, keduanya hasil pemikiran manusia yang memiliki korelasi.
Berikutnya adalah beberapa ilustrasi korelasi pemikiran Levi-Strauss dengan contoh
persamaan antara sistem linguistik (bahasa) dan sistem kinship (budaya). Pertama, bagi
antropolog struktural, terma yang dipergunakan untuk mendeskripsikan kinship dianalogikan
sebagai fonem dalam bahasa, merupakan unit dasar analisis. Kedua, baik terma kinship mau-
pun fonem memiliki maknanya sendiri. Malahan, seperti longue de Saussure, keduanya
mendapatkan makna jika keduanya bagian yang integral dari sistem yang luas. Dalam kajian
antropologinya, Levi-Strauss tetap menggunakan sistem oposisi biner (contoh: the Raw and
the Cooked), yang banyak digunakan de Saussure dalam linguistik. Ketiga, Levi-Strauss
mengakui adanya variasi empiris dari setting ke setting dalam sistem fonemik dan kinship,
namun variasi ini tetap bisa dilacak dengan operasi hukum umum, bahkan pada operasi
hukum yang tersembunyi (Ritzer, 2010: 54-55). Hasil penelitian Levi-Strauss yang sudah
dibukukan; "Struktur- Struktur Elementer Kekerabatan", menjelaskan tentang sistem
kekerabatan dan perkawinan suku primitif. Dijelaskannya, aturan atau sistem yang diikuti
oleh orang primitif sama dengan aturan atau sistem bahasa, terdiri dari relasi- relasi dan
oposisi-oposisi. Misalnya dalam kekerabatan: suami> <istri, bapak> <anak, saudara laki-
laki> <saudara perempuan, dan seterusnya. Kekerabatan juga merupakan suatu sistem
komunikasi, sebagaimana bahasa, sistem kekerabatan tidak sepenuhnya dijalankan dengan
aturan-aturan yang disadari.
Mitos juga merupakan sistem komunikasi. Sebagaimana bahasa memiliki unsur
seperti fonem yang disusun, mitos juga memiliki unsur terkecil yang disebut mitem
(mythems). Makna mitos dikonstruksi dari makna-makna mitem, yang sekaligus
merefleksikan bagaimana mitem tersusun membentuk kesatuan struktural. Mitem-mitem ini
juga dieksplorasi lebih jauh oleh Levi-Strauss untuk menemukan oposisi binernya, agar
memperoleh pengertian tentang struktur dalam sistem kemasyarakatan tertentu.
Kesimpulannya adalah, logika dalam pemikiran mitologis sama ketatnya dengan sains
modern. Dia menolak anggapan bahwa pemikiran primitif lebih rendah, dan menjelaskan
bahwa sains dan magis merupakan dua model paralel untuk mendapatkan pengetahuan.
Kajian Levi-Strauss tentang mitos, sistem kekerabatan, adat perkawinan, dan simbol-simbol
kebudayaan etnis dan primitif, memberi sumbangan pemikiran yang sangat berharga bagi
kajian budaya (Sutrisno dan Putranto, 2005: 137 dan 140). Kecenderungan perkembangan
bahasa dan tuturan dalam lingkup sosiologis dan kultural ini, memperlihatkan betapa luas
perkebangannya pada ranah ekstra-linguistik dan metalinguistik.
4. Semiologi dalam Aplikasi
Untuk lebih memahami bagaimana pendekatan linguistik de Saussure diterapkan
dalam menganalisis sistem penandaan, pada subbab ini dicontohkan dengan produk budaya
Batak, yaitu ulos dan sigale-gale ("komodifikasi produk budaya Batak dalam perspektif
semiotika Saussurian"). Contoh ini merupakan model alternatif analisis semiotika yang dapat
dikembangkan. Secara kontekstual, semotika (semiologi) de Saussure sangat relevan
dielaborasi untuk mengkaji permasalahan komodifikasi ulos dan sigale-gale sebagai produk
budaya Batak, bentuk kearifan lokal Sumatera Utara, terutama dengan melihatnya sebagai
teks-teks bahasa visual. Bahasa dimaksud merupakan tanda-tanda yang mengandung makna.
Dalam pemahaman luas, produk ulos, segale-gale, dan produk budaya lainnya adalah bagian
dari bahasa, di mana semua unsur-unsurnya merupakan struktur yang dapat dibaca sebagai
teks-teks bahasa visual.
Dalam mengkaji komodifikasi ulos dan sigale-gale, prinsip dasar teori de Saussure
berupa distingsi: langue-parole, sinkronik-diakronik, dan penanda-petanda merupakan hal
yang penting sebagai pijakan. Komodifikasi hakekatnya adalah proses "perubahan". Dalam
konteks ulos dan sigale-gale, komodifikasi adalah perubahan dari nilai tradisi-sakral menjadi
modern- komersial. Dua hal ini merupakan bentuk oposisi biner.
Produk tradisi Batak masa lalu, yang berkaitan dengan aspek kebahasaan (langue)
memiliki tata nilai dan tata aturan baku. Masyarakat menerimanya dan menjalankannya
dengan kerelaan tanpa banyak interpretasi, sebagaimana orang memahami bahasa yang sudah
dibakukan di dalam kamus. Sebaliknya, perubahan produk budaya sekarang, yang berkaitan
dengan aspek tuturan atau ujaran (parole), tidak lagi memiliki tata nilai dan tata aturan yang
baku, selalu berubah dan berkembang, sehingga melahirkan berbagai interpretasi,
sebagaimana karakter budaya kontemporer. Dalam konteks ini, lebih jauh, prinsip parole
menjadi dasar dalam pemahaman budaya kontemporer dalam khasanah posmodernisme
dengan teori postrukturalisme.
Antara langue dengan parole di samping merupakan oposisi biner, juga memiliki
relasi diferensial. Adanya langue memungkinkan berkembangnya parole. Produk tradisional
(ulos dan sigale-gale) sebagai langue, menjadi dasar bagi lahir dan berkembangnya produk
modern dan kontemporer yang dinyatakan sebagai parole. Keduanya berkaitan erat, langue
perlu agar parole dapat saling dipahami dan menghasilkan segala dampaknya. Sebaliknya
parole perlu agar langue terumuskan, karena secara historis, fakta parole sering mendahului
(de Saussure, 1988: 86). Oleh sebab itu, agar dapat memahami perubahan produk budaya
Batak sekarang, tidak bisa lepas dari pemahaman terhadap produk tradisi Batak masa lalu.
Hal ini juga sejalan dengan prinsip strukturalisme secara umum, bahwa langue adalah
struktur dalam yang tersembunyi, yang lebih tertata dan beraturan. Sebaliknya, parole adalah
struktur luar yang kasat mata dan terkadang cenderung chaos. Struktur luar atau permukaan
yang seolah tidak beraturan, belum terpola, sehingga sulit dipahami dan diprediksi,
sebetulnya dapat dijelaskan berdasarkan struktur dalam atau langue yang menyembunyikan
realitas sesungguhnya. Karena struktur dalam memiliki mekanisme generatif yang relatif
konstan. Dalam kaitannya dengan kajian ini, untuk dapat menjelaskan struktur permukaan
(parole) dari fenomena komodifikasi budaya tradisi, adalah dengan mengungkap struktur
dalamnya (langue), yaitu nilai-nilai tradisi ulos atau sigale-gale Batak masa lalu.
Berdasarkan perspektif waktu sinkronik dan diakronik, proses komodifikasi produk
budaya Batak meliputi keduanya. Model kajian ini, di samping membahas bagaimana
eksistensi dan perkembangan produk masa lalu dan masa sekarang, juga proses komodifikasi
yang terjadi dalam rentang waktu perubahan sosial dan budaya masyarakatnya. Lebih dari itu,
karena proses komodifikasi pada prinsipnya adalah "perubahan", sangat relevan dilihat dalam
konteks diakronik. Dengan prinsip diakronik, kajian komodifikasi budaya Batak berkaitan
dengan aspek kesejarahan dalam proses perubahan yang terjadi. Kajian ini menjelaskan
perkembangan dan perubahan budaya beserta dampak yang dilahirkannya, mulai dari
keberadaan produk tradisi masa lalu, melewati masa penjajahan dan kemerdekaan, sampai
pada era masyarakat mengalami modernisasi dan berkembangnya daerah Batak (Danau Toba)
menjadi daerah pariwisa
Semua bentuk ungkapan budaya masa lalu dan sekarang, beserta aspek sosial budaya
yang melingkupinya, memiliki unsur penanda (signifiant) dan petanda (signifie), yang
beroperasi dalam sistem relasi-relasi dan oposisi- oposisi. Keberadaan unsur penanda dan
petanda ini tidak terlepas dari aspek ideologi (Althusser: 1984: 47), mulai dari ideologi
agama dan kayakinan pada masa lalu, sampai ideologi ekonomi pada era kapitalisasi
sekarang ini. Dalam konteks struktur penanda dan petanda, kajian ini melihat bagaimana
struktur tanda pada produk budaya tradisi masa lalu, dan bagaimana struktur tanda pada
produk budaya masa sekarang. Dengan ini, terlihat bagaimana perubahan sistem pertandaan
(signifikasi) yang terjadi dalam rentang waktu tertentu.
Substansi komodifikasi ulos dan sigale-gale dalam konteks sistem pertandaan adalah
bagaimana membandingkan produk tradisi masa lalu dengan produk sekarang. Dalam
perbandingan ini, komodifikasi tentunya memperlihatkan perubahan-perubahan, yang
memberi dampak pada berbagai aspek kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Perubahan
yang terjadi dalam hal ini akan melahirkan perbedaan. Hal ini sejalan dengan ungkapan de
Saussure bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang dihubungkan dengan struktur
perbedaan. Jadi, komodifikasi merupakan bentuk struktur perbedaan antara produk masa lalu
yang bersifat sakral- magis dengan produk sekarang yang bersifat komersial. Misalnya:
struktur penanda-petanda produk masa lalu, dapat dibedakan dengan struktur penanda-
petanda produk masa sekarang. Apa yang digambarkan ini, menjelaskan bagaimana struktur
penandaan langue-parole, sinkronik- diakronik, dan penanda-petanda beroperasi sebagai
suatu sistem bahasa dan tanda pada komodifikasi produk budaya Batak. Secara khusus dalam
model kajian ringkas ini, komodifikasi ulos yang dibahas adalah jenis "ragi idup", yang
dirinci berdasarkan bentuk, fungsi, dan maknanya, dikaji dalam kaitannya dengan dampak
terhadap persepsi dan respon masyarakat, dunia usaha dan pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai