Disusun oleh:
Kelompok 5
Elida Widyas Putri
Jimmi Micael Ginting
. Ratih Rahmadani (2202451004)
Syahrum Makhfirah
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan karunia
dan rahmat- Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul FERDINAND
DE SAUSSURE: SEMIOLOGI. Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Dosen Dr.
Wahyu Tri Atmojo, M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Semiotika.
Penulis berharap makalah ini dapat digunakan seperlunya sebagaimana bagi
pembaca bila hendak menjadikan referensi untuk mengkaji ilmu semiotika terkhususnya
Semiologi Ferdinand de Saussure.
Penulis juga menyadari bahwa tugas ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh
karena itu penulis meminta maaf jika ada kesalahan dalam penulisan, serta penulis juga
mengharap kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan tugas ini. Akhir kata
penulis ucapkan terima kasih, semoga dapat bermanfaat dan bisa menambah
pengetahuan bagi pembaca.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
1
1. Semiologi dan Semiotika
Semiologi merupakan terminologi yang dapat disamakan dengan semiotika,
walaupun memiliki latar historis yang berbeda. Semiolog awalnya dikembangkan oleh
ilmuan Prancis (ahli linguistik), Ferdinand de Saussure, sebagai bagian dari keilmuan
psikologi sosial. Semiotika dikembangkan oleh filsuf Amerika (ahli logika), Charles
Sanders Pierce, sebagai cabang dari filsafat. Sebetulnya, tidak ada perbedaan yang
prinsip di antara keduanya. Hanya saja, semiologi dalam perkembangannya banyak
dikenal di Eropa, dipopulerkan oleh para ahli yang mengikuti tradisi linguistik
Saussurian. Sementara, semiotika dikembangkan oleh para ahli dari penutur bahasa
Inggris, yang mengikuti tradisi Piercian. De Saussure dalam Budiman (2011: 3)
mengatakan, semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, yang mengkaji
kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat (a science that studies the life if signs within
society).
Semiotika sekarang semakin beragam ranah dan fungsi kajiannya termasuk tanda
tanda dari bebauan dan juga pada tanda dalam lerilaku komunikasi hewan .Semiotika
mutakhir yang dikembangkan oleh generasi teoretisi-teoretisi v muncul belakangan, di
samping beragam, juga sangat kompleks dalam ba istilah, isu, teori, dan pendekatannya.
Dengan kompleksitas terseb membuatnya cenderung tidak sejalan, karena tidak jelas
batas-batasnya Namun, sejauh semiotika berkembang, tetap dapat ditarik kembali pada
kedua induknya, yaitu tradisi semiotika Piercian atau semiologi Saussurian. Model
klasifikasi bener merupakan sesuatu yang umum dalam pemikiran linguistik strukturalis
Saussurian, seakan metabahasa para linguis memproduksi tanda bahasa seperti cermin,
yaitu struktur biner dan menjelaskannya. mengatakan, manfaatnya dengan hasil yang
diperolah bila mempelajari kelebíhan dari klasifikasi biner dalam wacana ilmu-ilmu
sosial mutakhir. Jika benar dipahami, taksonomi ilmu sosial, akan memberi banyak
informasi mengenai sesuatu yang dapat disebut sebagai medan imajinasi intelektual
zamannya. Terkait dengan itu, subbab ini juga bermaksud mengembangkan prinsip
klasifikasi terhadap elemen semiologi dirujuk dari linguistik struktural, yang
dikelompokkan menjadi empat konsep utama: langue dan parole, penanda dan petanda,
sintagmatik dan paradigmatik, serta denotasi dan konotasi.
2. Konsep Dikotomis dalam Oposisi Biner
Konsep dikotomis diungkapkan dalam bentuk perlawanan atau oposisi biner
(binary opposition), yaitu sinkronik dan diakronik, langue dan parole, penanda dan
petanda, sintagmatik dan paradigmatic, serta denotasi dan konotosi.
a. Sinkronik dan diakronik
De Saussure membedakan kajian keilmuan berdasarkan perspektif waktu
yang sinkronik dan diakronik. Telaah sinkronik artinya mempelajari suatu bahasa
pada suatu kurun waktu tertentu saja. Sedangkan telaah secara diakronik adalah
2
telaah bahasa sepanjang masa, atau sepanjang zaman bahasa itu digunakan oleh
para penuturnya. Studi linguistik sinkronik biasa disebut juga linguistik deskriptif,
karena berupaya mendeskripsikan bahasa secara apa adanya pada suatu masa
tertentu. Linguistik diakronik berupaya mengkaji bahasa pada masa yang tidak
terbatas. Kajian ini biasanya bersifat historis dan komparatif karena itu dikenal
juga dengan linguistik historis komparatif. Tujuannya untuk mengetahui sejarah
struktural bahasa itu beserta dengan segala bentuk perubahan dan
perkembangannya. Pernyataan seperti, “kata pena dulu berarti ‘bulu angsa’,
sekarang berarti alat tulis bertinta” adalah pernyataan yang bersifat diakronik.
Dalam kajian semiotika bahasa dan seni, pendekatan sinkronik digunakan
untuk mengkonstruksi pemahaman secara komprehensif berdasarkan berbagai
aspek sosial budaya yang melingkupinya, dan pendekatan diakronik berdasarkan
perspektif dinamika-dialektika historis. Selanjutnya, konsep linguistik sinkronik
de Saussure ini menjadi basis pengembangan konsep dikotomis lague dan parole,
penanda petanda, serta sintagmatik dan paradigmatik.
b. Langue dan Parole
Menurut Saussure, bahasa memiliki dua aspek yakni aspek langue dan
aspek parole. Langue merupakan fakta sosial dan sistem abstrak yang secara
kolektif diketahui, disadari dan seolah telah disepakati bersama oleh semua
pemakai bahasa tersebut danmenjadi panduan bagi praktik berbahasa di
masyarakat. Sementara aspek parole yakni praktik berbahasa di dalam kehidupan
masyarakat atau wujud ujaran seorang individu pada suatu saat tertentu. Dalam
analisis atas bahasa harus selalu dibedakan kedua aspek itu.
Hubungan antara langue dan parole yang saling berkaitan satu sama
orang lainlah kita belajar bahasa ibu kita. Bahasa ibu melembaga di dalam otak
3
kita hanya melalui urutan pengalaman yang takterhitung jumlahnya. Dengan kata
4
material dan terindra karena bersifat sensoris : bunyi bunyi, objek objek ,
imajinasi dan sebagainya. Sebaliknya petanda merupakan aspek mental dari tanda
yang dintatakan sebagai konsep yang melahirkan makna dalam pikiran seseorang,
meskipun ke duanya dapat di bedakan tetapi sesunggugnya saling ketergantungan
dan tidak terpisahkan
Sebagai contoh kita ambil kata “kursi”Kata ini terdiri dari komponen
penanda yakni berupa runtutan fonem /k/u/r/s/i; dan komponen petanda berupa
konsep atau makna „sejenis tempat duduk‟. Tanda linguistik ini berupa runtutan
fonem dan konsep yang dimiliki runtutan fonem itu yang mengacu pada sebuah
referen yakni „sebuah kursi‟. Digambarkan sebagai berikut
Signifié/signifiéd /petanda(makna)
Signe lingistique (kata)
k/u/r/s/i
Saussure berpendapat bahwa ciri dasar tanda bahasa adalah arbitraritas
(kesemenaan). Hubungan antara signifiant dan signifié disebutnya bersifat
arbitrer,sewenang-wenang atau tidak ada hubungan wajib antara keduanya.
Lambang yang berupa bunyi itu tidak memberi”saran” atau “petunjuk”apapun
untuk mengenal konsep yang diwakilinya. Andaikata ada hubungan wajib antara
lambang dengan yang dilambangkannya,tentu lambang yang dalam bahasa
Indonesia berbunyi rumah, di Inggris orang jugaakan menyebut rumah, sehingga
di muka bumi ini tidak akan ada bermacam-macam bahasa.
d. Sintagmatik dan Paradigmatik
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahasa dibangun atas dasar relasi-
relasi pertandaan, salah satunya adalah relasi sintagmatik dan relasi paradigmatik.
5
Kedua relasi ini memperlihatkan perbedaan hubungan, di mana relasi sintagmatik
merupakan relasi yang linier, dengan kehadiran unsur-unsurnya bersifat in
praesentia. Sebaliknya, relasi paradigmatik memiliki hubungan asosiatif dengan
kehadiran unsur-unsurnya bersifat dapat digambarkan, misalnya, relasi
sintagmatik mangacu pada hubungan kata perkata atau antar satuan gramatikal,
dirangkai dalam dimensi waktu tertentu.
Unsur-unsur bahasa dimaksud dapat dipertukarkan sesuai keinginan Relasi
paradigmatik mengacu pada hubungan unsur-unsur yang berada dalam
kelompoknya sebagai bagian dari sistem. Kelompok ini dibenht berdasarkan
kesamaan atau perbedaanya, yang memiliki hubungan asosiatif. Dalam Bahasa
misalnya dengan sinonim atau antonimnya Dengan kata lain, Sachari (2005:69-
70) menjelaskan: susunan sintagmatik merupakan susunan tanda yang bersifat
linier dan terikat oleh waktu, sedangkan susunan paradigmatik lebih bersifat
meruang dan mempunyai hubungan asosiatif yang membentuk suatu pengertian.
Sistem tanda Sintagmatik Paradigmatik
System busana Kombinasi dari satuan Alternatif yang
yang mewakili bagian- ber[ptensi mewakili
bagian buasana, unsur dari bagian busana.
setidaknya bagian atas Bagian atas terdiri dari
dan bawah, yang unsur kemeja, tanktop,
diwakili salah satu unsur. blazer, jaket, dan
Misalnya bagian atas lainnya. Bagian bawah
diwakili oleh kemeja dan terdiri dari rok, celana
bagian bawah diwakili dengan beragam bentuk
oleh rok. mode. Setiap unsur
dalam bagian dimaksud,
umunya tidak dapat
dipakai dalam waktu
yang bersamaan.
Variasinya dapat
mengubah makna
pakaian.
6
petunjuk tidak langsung , mungkin juga tidak di sengaja oleh pengirim yang
mengarah pada makna kedua.
3. Prospek Kajian Semiologi