Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENGANTAR LINGUISTIK UMUM


Tataran Semantik: Hakikat Makna dan Jenis Makna

Oleh :

REFKY MAULANA ISHAQ


NIM : 21120009

Dosen Pengampu Mata Kuliah :


Dr. Novelti. M, Hum

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SUMATERA BARAT
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia- Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa pula penulis
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontibusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Tidak lupa pula kami mengucapkan terimakasih kepada ibu Dr. Novelti. M. Hum
selaku dosen mata kuliah pengatar linguistik umum prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang telah membantu penulis dalam mengerjakan makalah ini. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada teman - teman yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca, bahkan penulis berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari - hari.
Bagi penulis sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Untuk itu
penulis sangat mengaharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Padang Panjang, 27 Desember 2021

Penulis

i
Daftar Isi
Kata Pengantar................................................................................................................ i
Daftar Isi.......................................................................................................................... ii

Bab I Pendahuluan.......................................................................................................... 1
1.1 Latar belakang makalah.............................................................................................. 1
1.2 Rumusan masalah........................................................................................................ 1
1.3 Batasan masalah ......................................................................................................... 1
1.4 Tujuan ......................................................................................................................... 1
1.5 Manfaat........................................................................................................................ 1

Bab II Pembahasan......................................................................................................... 2
2.1 Hakikat Makna .......................................................................................................... 2
2.2 Jenis Makna................................................................................................................. 3

Bab III Penutup............................................................................................................... 7


3.1 Kesimpulan.................................................................................................................. 7

Daftar Pustaka................................................................................................................. 8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam berbagai kepustakaan linguistik disebutkan bidang studi linguistik yang objek
penelitiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik. Semantik dengan
objeknya yakni makna, berada di seluruh atau di semua tataran yang bangun-membangun
ini: makna berada didalam tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Oleh karena itu,
penamaan tataran untuk semantik agak kurang tepat, sebab dia bukan satu tataran dalam
arti unsur pembangun satuan lain yang lebih besar, melainkan merupakan unsur yang
berada disemua tataran itu, meskipun sifat kehadirannya pada tiap tataran tidak sama.
Hockett (1954), salah seorang tokoh strukturalis menyatakan bahwa bahasa adalah
suatu sistem yang kompleks dari kebiasaan-kebiasaan. Sistem bahasa ini terdiri lima
subsistem, yaitu subsistem gramatikal, subsistem fonologi, subsistem morfofonemik,
subsistem semantik, dan subsistem fonetik. Kedudukan kelima subsistem itu tidak sama
derajatnya. Subsistem gramatikal, fonologi, dan morfofonemik bersifat sentral.
Sedangkan subsistem semantik dan fonetik bersifat periferal.

1.2 Batasan Masalah


Pada pembahasan kali ini penulis membatasi masalah pada ;
1. Hakikat makna.
2. Jenis makna.
Maka dari itu penulis hanya berfokus dalam membahas hal yang tersebut diatas.

1.3 Rumusan Masalah


Untuk mempermudah penulis dalam membuat makalah ini maka terdapat beberapa
rumusan masalah yang membantu penulis sebagai berikut :
1. Bagaimana hakikat makna berdasarkan tataran semantik ?
2. Apa saja jenis makna pada tataran semantik ?

1.4 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui hakikat makna di tataran semantik.
2. Mengetahui jenis-jenis makna ditataran semantik.

1.5 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dalam penulisan makalah ini ialah penulis dapat mengetahui
bagaimana hakikat makna menurut tataran semantik dan penulis dapat mengetahui jenis
– jenis makna di tataran semantik.

1
BAB II
PEMBAHASAN

Dalam berbagai kepustakaan linguistik disebutkan bidang studi linguistik


yang objek penelitiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran
linguistik. Semantik dengan objeknya yakni makna, berada di seluruh atau di
semua tataran yang bangun-membangun ini: makna berada didalam tataran
fonologi, morfologi, dan sintaksis. Oleh karena itu, penamaan tataran untuk
semantik agak kurang tepat, sebab dia bukan satu tataran dalam arti unsur
pembangun satuan lain yang lebih besar, melainkan merupakan unsur yang
berada disemua tataran itu, meskipun sifat kehadirannya pada tiap tataran
tidak sama.
Hockett (1954), salah seorang tokoh strukturalis menyatakan bahwa
bahasa adalah suatu sistem yang kompleks dari kebiasaan-kebiasaan. Sistem
bahasa ini terdiri lima subsistem, yaitu subsistem gramatikal, subsistem
fonologi, subsistem morfofonemik, subsistem semantik, dan subsistem
fonetik. Kedudukan kelima subsistem itu tidak sama derajatnya. Subsistem
gramatikal, fonologi, dan morfofonemik bersifat sentral. Sedangkan subsistem
semantik dan fonetik bersifat periferal.
Kaum strukturalis pada umumnya berbependapat bahwa makna yang
menjadi objek semantik adalah sangat tidak jelas, tak dapat diamati secara
empiris, sebagaimana subsistem gramatikal (morfologi dan sintaksis).
Chomsky, bapak linguistik transformasi, dalam bukunya yang kedua (1965)
beliau menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu komponen dari tata
bahasa (dua komponen lain adalah sintaksis dan fonologi), dan makna kalimat
sangat ditentukan oleh komponen semantik ini.
Sejak Chomsky menyatakan betapa pentingnya semantik dalam studi
linguistik, maka studi semantik sebagai bagian dari studi linguistik menjadi
semarak. Semantik tidak lagi menjadi objek periferal, melainkan menjadi
objek yang setaraf dengan bidang-bidang studi linguistik lainnya. Berbagai
teori tentang makna bermunculan. Kalau kita ingat teori Bapak Linguistik
modern, Ferdinand de Saussure, bahwa tanda linguistik (signe linguistique)
terdiri dari komponen signifian dan signife, maka sesungguhnya studi
linguistik tanpa disertai dengan studi semantik adalah tidak ada artinya, sebab
kedua komponen itu, signifian dan signifie, merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan.

2. 1 Hakikat Makna
Banyak teori tentang makna telah dikemukakan orang. Pandangan
Ferdinand de Saussure dengan teori tanda linguistiknya. Menurut de Saussure
setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu
komponen signifian atau “yang mengartikan” yang wujudnya berupa runtunan
bunyi, dan komponen signifie, atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa
pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian). Tanda linguistik ini

2
yang berupa runtunan fonem dan konsep yang dimiliki runtunan fonem pada
sebuah referen yang berada di luar bahasa. Richard dan Ogdent (1923)
ditampilkan dalam sebuah bentuk segitiga yang disebut segitiga makna, atau
segitiga Richard dan Ogdent.
Dengan demikian, menurut teori yang dikembangkan dari pandangan
Ferdinand de Saussure bahwa makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang
dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Kalau tanda-linguistik itu
disamakan identitasnya dengan kata atau laksem, maka berarti makna adalah
pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau laksem; kalau tanda
linguistik itu disamakan identitasnya dengan morfem, maka berarti makna itu
adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik yang
disebut morfem dasar maupun morfem afiks. Pada Kridalaksana (1989),
mislanya, yang menyatakan setiap tanda-bahasa (yang disebut penanda) tentu
mengacu pada sesuatu yang ditandai (yang disebut petanda). Lalu, karena
afiks-afiks itu juga merupakan penanda, maka afiks itupun mempunyai
petanda.
Ada teori yang menyatakan bahwa makna itu tidak lain dari pada sesuatu
atau referen yang diacu oleh kata atau laksem itu. Hanya perlu dipahami
bahwa tidak semua kata atau laksem itu mempunyai acuan konkrit di dunia
nyata. Dalam penggunaanya dalam pertuturan yang nyata makna kata atau
laksem itu seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian
atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya.
Oleh karena itu, banyak pakar mengatakan bahwa kita baru dapat
menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks
kalimatnya. Selanjutnya para pakar itu menyatakan pula bahwa makna
kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada didalam konteks
wacananya atau konteks situasinya. Satu hal lagi yang harus diingat mengenai
makna ini, karena bahasa itu bersifat arbitrer, maka hubungan antara kata dan
maknanya juga bersifat arbitrer.
2. 2 Jenis – Jenis Makna
Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam
kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-
macam bila dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda. Berbagai nama
jenis makna telah dikemukakan orang dalam berbagai buku linguistik atau
semantik.
2. 2. 1 Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontestual.
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski
tanpa konteks apa pun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal
‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Dengan contoh itu
dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebernarnya,
makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, atau makna apa adanya.
Pada kamus-kamus dasar biasanya hanya memuat makna leksikal yang
dimiliki oleh kata yang dijelaskannya. Oleh karena itu, banyak yang
mengatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang ada dalam kamus,

3
pendapat ini tidak salah, namun perlu diketahui bahwa kamus-kamus yang
bukan dasar, juga ada yang memuat makna-makna lain yang bukan leksikal,
seperti makna kias dan makna-makna yang terbentuk secara metaforis.
Makna gramatika baru ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi,
reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Umpamanya, dalam proses afiksasi
prefiks ber- dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan
atau memakai baju’.
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau yang berada didalam
satu konteks. Misalnya, makna kata kepala yang dibicarakan sebagai contoh
‘Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu’. Makna konteks dapat
juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan
penggunaan bahasa itu.
2. 2. 2 Makna Referensi dan Non-referensial
Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada
referensnya, atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar
adalah termasuk kata-kata yang tidak bermakna referensial karena ada
acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya kata-kata seperti dan, atau, dan
karena adalah termsauk kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena
kata-kata itu tidak mempunyai referens.
Berkenaan dengan acuan ini ada sejumlah kata yang disebut kata-kata
deiktik, yang acuannya tidak menetap pada suatu maujud, melainkan
berpindah dari maujud yang satu ke maujud yang lain. Yang termasuk kata-
kata deiktik ini adalah kata-kata yang termasuk pronomina, seperti, dia, saya,
dan kamu. Kata-kata yang menyatakan ruang, seperti; di sini, di sana, dan di
situ. Kata-kata yang menyatakan waktu, seperti; sekarang, besok, dan nanti.
Dan kata-kata yang disebut kata penunjuk, seperti ini dan itu.
2. 2. 3 Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya
yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama
dengan makna leksikal. Umpamanya, kata babi bermakna denotatif ‘sejenis
binatang yang biasa diternakkan untuk dimanfaatkan dagingnya’.
Kalau makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya
sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif adalah makna lain yang
“ditambahkan” pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai
rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut.
Umpamanya kata kurus berkonotasi netral, artinya, tidak memiliki nilai rasa
yang mengenakkan. Tetapi kata ramping, yang sebenarnya bersinonim
dengan kata kurus itu memiliki konotasi positif, nilai rasa yang
mengenakkan, akan tetapi kata kerempeng, yang sebenarnya juga bersinonim
kata kurus dan ramping itu mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang
tidak mengenakkan.
Dari contoh diatas dapat disimpulkan, bahwa kata itu secara denotatif
mempunyai makna yang sama atau bersinonim, tetapi memiliki konotasi yang
tidak sama. Mengenai masalah konotasi ini satu hal yang harus diingat adalah

4
bahwa konotasi sebuah kata bisa berbeda antara seseorang dengan orang lain.
Antara satu daerah dengan derah lain, atau anatara satu masa dengan masa
yang lain.
2. 2. 4 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna
asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang
dimiliki oleh sbeuha leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata
Kuda memiliki makna konseptual ‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa
dikendarai’. Jadi makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna
leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata
berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada
diluar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci dan
kesucian. Makna asosiasi ini sebenarnya sama dengan lambang atau
perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan
konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang
ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut. Jadi, kata melati yang
bermakna konseptual ‘sejenis bunga kecil-kecil bewarna putih dan berbau
harum’ digunakan untuk menyatakan perlambangan ‘kesucian’.
Oleh Leech (1976) kedalam makna asosiasi ini dimasukkan juga yang
disebut makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, dan makna kolokatif.
Makna konotati termasuk makna asosiatif adalah karena kata-kata tersebut
berasosiasi dengan nilai rasa terhadap kata itu. Makna stilistika berkenaan
dengan pembedaan penggunaak kata sehubungan dengan perbedaan sosial
atau bidang kegiatan. Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara
terhadap lawan bicara atau terhadap objek yang dibicarakan, makna afektif
lebih terasa dengan bahasa lisan. Makna kolotatif berkenaan dengan ciri-ciri
makna tertentu yang dimiliki sebuah kata dari sejumlah kata-kata yang
bersinonim sehingga kata tersebut hanya cocok untuk digunakan berpasangan
dengan kata tertentu lainnya.
2. 2. 5 Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna yang
dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna
konseptual. Namun, dalam penggunaanya makna kata itu baru menjadi jelas
kalau kata itu sudah berada didalam konteks kalimatnya atau konteks
situasinya. Dapat dikatakan bahwa makna kata masi bersifat umum, kasar, dan
tidak jelas.
Berbeda dengan kata, maka yang disebut istilah mempunyai makna yang
pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat.
Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan
kata tidak bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya
digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
Dalam perkembangan bahasa memang ada sejumlah istilah, yang karena
sering digunakan, lalu menjadi kosakata umum. Artinya, istilah itu tidak

5
hanya digunakan didalam bidang keilmuannya, tetapi juga telah digunakan
secara umum, di luar bidang keilmuannya.
2. 2. 6 Makna Idiom dan Makna Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari
makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal.
Umpanya secara gramatikal bentuk menjual sepeda bermakna ‘yang menjual
mendapat uang dan yang yang membeli menerima sepeda’, tetapi dalam
bahasa Indonesia bentuk menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu
melainkan bermakna ‘tertawa keras-keras’. Jadi, makna seperti yang
dimmiliki bentuk menjual gigi itulah yang disebut makna idiomatikal.
Biasanya dibedakan adanya dua macam idiom, yaitu idiom penuh, adalah
idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan,
sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Sedangkan
Idiom sebagian, adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki
makna leksikalnya sendiri. Misalnya, buku putih yang bermakna ‘buku yang
memuat keterangan resmi mengenai suatu kasus’.
Berbeda dengan idiom yang maknanya tidak dapat “diramalkan” secara
leksikal maupun gramatikal, maka yang disebut peribahasa memiliki makna
yang masih dapat ditelusuri atau dilacak makna unsur-unsurnnya karena
“asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai bahasa. Umpanya,
peribahasa Seperti anjing dengan kucing yang bermakna ‘dikatakan ihwal dua
orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa anjing dan
kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak penah damai.
Idiom dan peribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada di dunia ini,
terutama pada bahasa-bahasa yang penuturnya sudha memiliki kebudayaan
yang tinggi. Untuk mengenal makna idiom tidak ada jalan lain selain dari
harus melihatnya didalam kamus; khususnya kamus peribahasa dan kamus
idiom.

6
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan pembahasan terhadap beberapa sumber referensi
sehingga dapat disimpulkan bahwa sebuah tataran semantik awalnya tidak
disebutkan didalam ilmu linguistik karena semuanya memiliki makna tetapi
berdasarkan buku yang ditulis Chomsky (1965) semantik dikatakan bahwa
semantik merupakan bagian dari tata bahasa. Didalam tataran semantik yang
menjadi objek kajiannya adalah makna kata itu. Tedapat beragam makna kata
yang sangat beragam.

7
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai