Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TELAAH PROSA
Bahasa

Oleh :

KELOMPOK 1

1. AULIANA FITRI RISFA


2. MELANI YULIA INDRA
3. REFKY MAULANA ISHAQ

Dosen Pengampu Mata Kuliah :


MEGASARI MARTIN, S.S, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SUMATERA BARAT
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia- Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa pula kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontibusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Tidak lupa pula kami mengucapkan terimakasih kepada ibu Megasari Martin, S.S,
M.Pd selaku dosen mata kuliah Telaah Prosa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
yang telah membantu kami dalam mengerjakan makalah ini. Kami juga mengucapkan
terimakasih kepada teman- teman yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca . bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari- hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu
kami sangat mengaharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Padang Panjang, 14 Mei 2022

Penyusun

i
Daftar Isi
Kata Pengantar................................................................................................................ i
Daftar Isi.......................................................................................................................... ii

Bab I Pendahuluan.......................................................................................................... 1
1.1 Latar belakang makalah.............................................................................................. 1
1.2 Rumusan masalah........................................................................................................ 1
1.3 Batasan masalah ......................................................................................................... 1
1.4 Tujuan ......................................................................................................................... 1
1.5 Manfaat........................................................................................................................ 1

Bab II Pembahasan......................................................................................................... 2
2.1 Bahasa sebagai Unsur Fiksi......................................................................................... 2
2.2 Unsur Stile................................................................................................................... 7
2.3 Percakapan dalam Fiksi............................................................................................... 10

Bab III Penutup............................................................................................................... 11


3.1 Kesimpulan.................................................................................................................. 11

Daftar Pustaka................................................................................................................. 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu. mendialogkan sesuatu, sesuatu
tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana bahasa Bahasa dalam sastra pun
mengemban fungsi utamanya fungsi komunikatif (Nurgiyantoro, 1993 1).
Sastra, khususnya fiksi, disamping sering disebut dunia dalam kemungkinan, juga
dikatakan sebagai dunia dalam kata. Hal yang disebabkan “dunia” yang diciptakan,
dibangun, ditawarkan, diabstraksikan, dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata, lewat
bahasa. Struktur novel dan segala sesuatu yang dikomunikasikan senantiasa dikontrol
langsung oleh manipulasi bahasa pengarang (Fowler, 1977:3).
1.2 Batasan Masalah
Pada pembahasan kali ini penulis membatasi masalah pada ;
1. Bahasa sebagai Unsur Fiksi
2. Unsur Stile
3. Percakapan dalam Fiksi
Maka dari itu penulis hanya berfokus dalam membahas hal yang tersebut diatas.

1.3 Rumusan Masalah


Untuk mempermudah penulis dalam membuat makalah ini maka terdapat beberapa
rumusan masalah yang membantu penulis sebagai berikut :
1. Bagaimana bahasa sebagai unsur fiksi ?
2. Apa saja unsur-unsur dari stile ?
3. Bagaimana percakapan dalan fiksi ?

1.4 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui bahasa sebagai unsur fiksi.
2. Mengetahui unsur-unsur stile.
3. Mengetahui percakapan dalam fiksi.

1.5 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dalam penulisan makalah ini ialah penulis dapat mengetahui
bagaimana bahasa sebagai unsur fiksi, bagaimana unsur-unsur stile. Penulis juga dapat
mengetahui bagaimana percakapan dalam fiksi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Bahasa sebagai Unsur Fiksi


Bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam semi lukis.
Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan
sebuah karya yang mengandung nilai lebih daripada sekedar bahannya itu sendiri.
Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra Sastra lebih dari sekadar bahasa,
deretan kata, namun unsur "kelebihan" nya itu pun hanya dapat diungkap dan
ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu.
mendialogkan sesuatu, sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat
sarana bahasa Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya fungsi
komunikatif (Nurgiyantoro, 1993 1).
Sastra, khususnya fiksi, disamping sering disebut dunia dalam kemungkinan,
juga dikatakan sebagai dunia dalam kata. Hal yang disebabkan “dunia” yang
diciptakan, dibangun, ditawarkan, diabstraksikan, dan sekaligus ditafsirkan lewat
kata-kata, lewat bahasa. Struktur novel dan segala sesuatu yang dikomunikasikan
senantiasa dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang (Fowler,
1977:3). Dalam memperoleh efektivitas pengungkapan, bahasa dalam sastra
disiasati, dimanipulasi, dan didayagunakan secermat mungkin sehingga tampil
dengan sosok yang berbeda dengan bahasa nonsastra.
a. Bahasa Sastra: Sebuah Fenomena
Pada umumnya orang beranggapan bahwa bahasa sastra berbeda
dengan bahasa non sastra, bahasa yang dipergunakan bukan dalam
(tujuan) pengucapan sastra. Namun, dalam “perbedaan”-nya itu sendiri
tidaklah bersifat mutlak, atau bahkan sulit didefinisikan. Bahasa sastra,
bagaimanapun, perlu diakui eksistensinya, keberadaannya sebab tak dapat
disangkal lagi ia menawarkan sebuah fenomena yang lain. Keberadaannya
paling tidak perlu disejajarkan dengan ragam-ragam bahasa-seperti dalam
konteks sosiolinguistik-yang lain (Nurgiyantoro. 1993 2). Seperti apa ciri
sosok bahasa sastra itu seolah-olah, masih bagaikan rumusan hipotesis
yang perlu dibuktikan kebenarannya Banyak orang telah mencoba
mengidentifikasikan dan mudah diduga, sebab bahasa sastra memang
bukan merupakan sesuatta yang bersifat eksak mereka mengemukakan

2
rumusan dan atau ciri-ciri yang berbeda Artinya tak ditemukan kata
sepakat Kata sepakat barangkali, memang tak diperlukan Yang penting
adalah kesadaran dar pengakuan kita, usaha kita untuk memanam dan
menerimanya secara wajar.

Bahasa sastra, menurut kaum Formalis Rusia adalah bahasa yang


mempunyai ciri deotomatisasi, penyimpangan dari cara penuturan yang
telah bersifat otomatis, rutin, biasa, dan wajar. Penuturan dalam sastra
selalu diusahakan dengan cara lain cara baru cara yang belum (pernah)
dipergunakan orang. Sastra mengutamakan keaslian pengucapan, dan
untuk memperoleh cara itu mungkin sampai pada penggunaan berbagai
bentuk penyimpangan, deviasi (deviation) kebahasaan. Unsur kebaruan
dan keashan merupakan suatu hal yang menentukan nilai sebuah karya
Kaum Formalis berpendapai bahwa adanya penyimpangan dari sesuatu
yang wajar itu merupakan proses sastra yang mendasar (Teeuw, 1984:
131). Penggunaan bahasa kias merupakan salah satu bentuk
penyimpangan (penyimpangan semantik), namun hal itu bukan
merupakan ciri khas bahasa sastra sebab dalam penuturan nonsastra pun
banyak dipergunakan. Namun, ia mempunyai perbedaan: dalam penuturan
sehari-hari penggunaan bahasa kias mempunyai efek mempercepat
pengertian, misalnya terlihat pada penggunaan ungkapan-ungkapan yang
telah lazim. Sebaliknya, pemakaian ungkapan-ungkapan konotatif itu pada
bahasa sastra justru memperlambat pemahaman, berefek mengasingkan
karena bentuk bentuk yang dipergunakan baru. atau lain dari yang telah
biasa (Luxenburg. 1984:6).

b. Stile dan Stiliska


1. Stile dan Hakikat Stile
Stile, (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa
dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan
sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams, 1981: 190-1). Stile ditandai
oleh cincin formal kebahasaan seperti pilihan kata struktur kalimat
bentuk-bentuk Nahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain.
Makna stile menurut Leach & Short (1981: 10), suatu hal yang pada
umumnya tak lagi mengandung sifat kontroversial, menyaran pada

3
pengertian cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh
pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu, dan sebagainya. Dengan
demikian, stile dapat bermacam-macam sifatnya, ia tergantung konteks
di mana dipergunakan, selera pengarang, namun juga tergantung apa
tujuan penuturan itu sendiri. Stile pada hakikatnya merupakan teknik,
teknik pemilihan ungkapan kebahasan yang dirasa dapat mewakili
sesuatu yang akan diungkapkan.
Stile: Masalah Struktur Lahir Bentuk ungkapa kebahasaan
seperti yang terlihat dalam sebuah novel merupakan suatu bentuk
performansi (kinerja) kebahasaan seseorang pengarang. la merupakan
pernyataan lahiriah dari sesuatu yang bersifat batiniah. Jika hal itu
dikaitkan dengan teori kebahasaan nya Saussure, yang membedakan
antara langue dengan parole, stile merupakan suatu bentuk parole.
Langue merupakan sistem kaidah yang berlaku dalam suatu bahasa,
sedangkan parole merupakan penggunaan dan perwujudan sistem,
seleksi terhadap sistem, yang dipergunakan oleh penutur (pengarang)
sesuai dengan konteks dan atau situasi. Parole adalah bentuk
performansi kebahasaan yang telah melewati proses seleksi dari
keseluruhan bentuk kebahasaan. Untuk melakukan pilihan terhadap
suatu bentuk performansi kebahasaan, pengarang, tentu saja, memiliki
kompetensi terhadap bahasa yang bersangkutan, dan itulah langue.

2. Stilistika dan Hakikat Stiliska.


Stilistika (stylistics) menyaran pada pengertian studi tentang
stile (lecch dan short, 1981: 13), kajian terhadap wujud performansi
kebahasaan, khusunya yang terdapat dalam karya sastra. Kajian
stilistika itu sendiri sebenarnya dapat ditunjukan terhadap berbagai
ragam penggunaan bahasa, tak terbatas dalam sastra saja (chapman,
1973: 13), namun biasanya stilistika lebih sering dikaitkan dengan
bahasa sastra. Analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk
menerangkan sesuatu, yang pada umumnya dalam dunia kesastraan
untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan
maknanya (Leech & Short, 1981: 13; Wellek & Warren, 1956 180). Di
samping itu, ia dapat juga bertujuan untuk menentukan seberapa jauh
4
dan dalam hal apa bahasa yang dipergunakan itu memperlihatkan
penyimpangan, dan bagaimana pengarang mempergunakan tanda-
tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus (Chapman, 1973: 15).
Stilistika kesastraan, dengan demikian, merupakan sebuah
metode analisis karya sastra (Abrams, 1981:192). Ia dimaksudkan
untuk menggantikan kritik yang bersifat subjektif dan impresif dengan
analisis stile teks kesastraan yang lebih bersifat objektif dan ilmiah.
Analisis dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda
linguistik yang dipergunakan seperti terlihat dalam struktur lahir.
Metode (teknik) analisis ini akan menjadi penting karena dapat
memberikan informasi tentang karakteristik khusus sebuah karya.
Tanda-tanda stilistika itu sendiri dapat berupa (a) fonologi,
misalnya pola suara ucapan dan irama, (b) sintaksis, misalnya jenis
struktur kalimat, (c) leksikal, misalnya penggunaan kata abstrak atau
konkret, frekuensi penggunaan kata benda, kerja, sifat, dan (d)
penggunaan bahasa figuratif, misalnya bentuk-bentuk pemajasan,
permainan struktur, pencitraan, dan sebagainya.
Estetika ataukah Linguistika. Kajian stilistika juga
dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan antara aprsiasi estetis
(perhatian kritikus) di satu pihak dengan deskripsi linguistik (perhatian
linguis) dipihak lain. Barangkali, kita akan memeprsoalkan: dari
manakah kita akan memulai, estetika ataukah linguistik ? Hal ini
sebenarnya merupakan sebuah lingkaran, lingkaran filologis, lingkaran
pemahaman (Leech & Short, 1981: 13).
Dualisme, Monisme, dan Pluralisme. Stile biasanya
diidentifikasi sebagai perbedaan antara apa yang dikatakan dengan
bagaimana cara mengatakan, atau antara isi dengan bentuk teks. Unsur
isi menunjuk pada informasi, pesan, atau makna proposisional, sedang
bentuk merupakan variasi cara penyajian informasi yang berkualitas
estetis, atau yang mampu membangkitkan tanggapan emosional
pembaca. Kelompok yang berpandangan bahwa stile merupakan cara
menulis, cara berekspresi, dan membedakannya dengan unsur isi
disebut (aliran) dualisme. Aliran Monisme adalah kelompok yang tak
membedakan unsur bentuk dan isi serta memandang keduanya sebagai
5
satu kesatuan – misalnya berdasarkan apa yang dikatakan Flaubert
bahwa Stile itu sebagai tak berbeda halnya dengna tubuh dan jiwa:
bentuk dan isi adalah satu (Lecch & Short, 1981:15). Pendekatan
Analisis Pluralisme mendasarkan diri pada fungsi-fungsi bahasa,
misalnya fungsi bahasa menurut Jakobson yang yang terdiri dari enam
macam: referensial, emotif, konitif, patik, puitik, dan metalinguistik,
atau fungsi menurut Halliday yang terdiri dari tiga fungsi: ideasional,
tekstual, dan interpersonal (Leech & Short, 1981:33).
Analisis Stilistika: Metode Kuantitatif. Berbagai tanda
linguistik yang terwujud dalam bentuk ungkapan bahasa sebuah fiksi,
seperti dikemukakan di atas, menjadi sarana pembentuk stile, dan hal
itulah yang menjadi objek analisis stilistika. Dibandingkan analisis
kebahasaan bahasa nonsastra, stilistika kesastraan terlihat lebih
beragam dan kompleks, karenanya lebih sulit, dan hal itu tampak
dalam kegiatan pengumpulan data (Chapman, 1973:13). Analisis
stilistika, berdasarkan yang dikatakan Wellek & Werren (1956:180),
dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, memulai dengan analisis
secara sistmatik terhadap sistem dan tanda-tanda linguistik dan
kemudian menginterpretasikannya sebagai satu keseluruhan makna,
tentu saja hal itu dalam hubungannya dengan tujuan estetis sebuah
karya. Kedua, bukan dalam pertentangannya, analisis dilakukan
dengan mengkaji semua bentuk khusus linguistik yang menyimpang
dari sistem yang berlaku umum.

c. Stile dan Nada


Nada (tone), nada pengarang (authorial tone) dalam pengertian yang
luas, dapat diartikan sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang
(tersirat, implied author) terhadap pembaca dan terhadap (sebagian)
masalah yang dikemukakan. Sebelumnya, Kenny (1966: 69) juga telah
mengemukakan bahwa nada merupakan ekspresi sikap, sikap pengarang
terhadap masalah yang dikemukakan dan terhadap pembaca. Dalam
bahasa lisan, nada dapat dikenali melalui intonasi ucapan, misalnya nada
rendah dan lemah lembut, santai, meninggi dan sengit, dan sebagainya.
Dalam bahasa tulis, di pihak lain, nada akan sangat ditentukan oleh
6
kualitas stile. Oleh karena itu, Kenny mengemukakan bahwa stile adalah
sarana, sedangkan nada adalah tujuan Salah satu kontribusi penting dari
stile adalah untuk membangkitkan nada (Kenny. 1966: 57).
Nada memang ada hubungannya dengan intonasi, lagu, dan tekanan
kalimat, walau dalam bahasa tulis sekalipun. Orang yang menbaca sebuah
novel, walau hanya dalam hati, akan memberikan intonasi secara berbeda
terhadap kalimat-kalimat dengan ekspresi yang berbeda pula. Ungkapan
kebahasaan yang mempergunakan pola-pola intonasi tertentu dalam
bentuk kalimat-kalimat tertentu akan sanggup membangkitkan kesan nada
yang tertentu pula (Fowler, 1977:63).
2.2. Unsur Stile
Abrams (1981: 193) mengemukakan bahwa unsur stile terdiri dari unsur
fonologi sintaksis, leksikal, retorika (rhetorical), yang berupa karakteristik
penggunaan bahasa figuratif, pencitraan dan sebagainya. Di pihak lain, Leech &
Short (1981: 75-80) mengemukakan bahwa unsur stile (ia memakai istilah stylistic
categories) terdiri dari unsur (kategori) leksikal, gramatikal, figures of speech, dan
konteks dan kohesi.
a. Unsur Leksikal
Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dengan diksi, yaitu
yang mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang
sengaja dipilih oleh pengarang. Mengingat bahwa karya fiksi adalah dunia
dalam kata, komunikasi dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-kata,
pemilihan kata-kata tersebut tentulah melewati pertimbangan-
pertimbangan tertentu untuk memperoleh efek tertentu, efek ketepatan
(estetis). Masalah ketepatan itu sendiri secara sederhana dapat
dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna, yaitu apakah diksi mampu
mendukung tujuan estetis karya yang bersangkutan, mampu
mengkomunikasikan makna, pesan, dan mampu mengungkapkan gagasan
seperti yang dimaksudkan oleh pengarang.
Masalah pemilihan kata, menurut Chapman (1973: 61), dapat melalui
pertimbangan-pertimbangan formal tertentu. Pertama, pertimbangan
fonologis, misalnya untuk kepentingan alitrasi, irama dan efek bunyi
tertentu, khususnya dalam karya puisi. Dalam fiksi walau tak seintensif
seperti halnya dalam sajak, unsur fonologs mungkin juga dipertimbangkan
7
pengarang. Kedua, pertimbangan dari segi mode. bentuk, dan makna yang
dipergunakan sebagai sarana mengkonsentrasikan gagasan.
b. Unsur gramatikal
Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur
kalimat. Dalam kegiatan komunikasi bahasa, juga jika dilihat dari
kepentingan stile, kalimat lebih penting dan bermakna dari pada sekedar
kata walau kegayaan kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh
pilihan katanya. Sebuah gagasan, pesan (back struktur batin), dapat
diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat (baca: struktur lahir) yang
berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Dalam Rilema, kaka berbungan
dan berurutan secara linier yang kemudian dikenal dengan sebutan
sintagmatik. Hubungan tersebut dapat dilihat dalam bentuk realisasi
grafologis kalimat dalam bentak baris-bris sepesta posda halaman buku.
Untuk menjadi sebuah kalima hubungan sintagmatik kata-kata tersebut
harus gramatikal, sesuai dengan sistem kadah yang berlaku dalam bahasa
yang bersangkut. Secara teoretis jumlah kata yang berhubungan secara
sintagmatik dalam sebuah kalimat tak terbatas, dapat berapa saja sehingga
mungkin panjang sekali. Secara formal, memang tak ada batas berapa
jumlah kata yang seharusaya dalam sebuah kalimat (Chapman, 1973 45).
c. Retorika
Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh
efek estetis. Ia dapat diperoleh melalui kreatifitas pengungkapan bahasa,
yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk
mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan bahasa dalam sastra, seperti
telah dibicarakan di atas, mencerminkan sikap dan perasaan pengarang,
namun sekaligus dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan
pembaca yang tercermin dalam nada. Untuk itu, bentuk pengungkapan
bahasa haruslah efektif: mampu mendukung gagasan secara tepat
sekaligus mengandung sifat estetis sebagai sebuah karya seni. Retorika,
pada dasarnya, berkaitan dengan pembicaraan tentang dasar-dasar
penyusunan sebuah wacana yang efektif.
1. Pemajasan
Pemajasan (figure of speech) merupakan teknik pengungkapan
bahasa penggayabahasaan, yang maknanya tak menunjuk pada
8
makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada
makna yang ditambahkan, makna yang tersirat Jadi ia merupakan
gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan
memanfaatkan bahasa kias. Sebenarnya masih ada hubungan
makna antara bentuk harfiah dengan makna kiasnya, namun
hubungan itu bersifat tak langsung atau paling tidak ia
membutuhkan tafsiran pembaca. Memahami pengungkapan
pengungkapan bahasa kias, kadang-kadang, memerlukan perhatian
tersendiri, khususnya untuk menangkap pesan apa sesungguhnya
yang dimaksudkan oleh pengarang. Penggunaan bentuk-bentuk
kiasan dalam kesastraan, dengan demikian, merupakan salah satu
bentuk penyimpangan kebahasaan, yaitu penyimpangan makna.
2. Penyiasatan Struktur
Keefektifan sebuah wacana sangat dipengaruhi oleh bangunan
struktur kalimat secara keseluruhan, bukan semata-mata oleh
sejumlah bangunan dengan gaya tertentu. Namun, memang dari
semua unsur gramatikal yang ada itu sering terdapat sejumlah
bangunan struktur tertentu yang menonjol, yang mampu
memberikan kesan lain. Pembicaraan tentang struktur kalimat
sebagai bagian retorika ini lebih ditujukan pada bangunan struktur
kalimat yang menonjol tersebut struktur yang barangkali
merupakan suatu bentuk penyimpangan namun yang sengaja
disusun secara demikian oleh penulisnya untuk memperoleh efek
tertentu, khususnya efek estetis dan efeknya terhadap pembaca,
atau pendengar jika berupa pidato.
3. Pencitraan
Dalam dunia kesastraan dikenal adanya istilah citra (image)
dan penciman (magiery) yang keduanya menyaran pada adanya
reproduksi mental. Ciura merupakan sebuah gambaran pengalaman
indera yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai
pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata. Pencitraan,
di pihak lain, merupakan kumpulan citra, the collection of images,
yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan
indera yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan
9
deskripsi secara harfiah maupun secara kias (Abrams, 1981; 78;
Kenny, 1966: 64). Macam pencitraan itu sendiri meliputi kelima
indera manusia: citraan penglihatan (visual), pendengaran
(auditoris), gerakan (kinestetik), rabaan (uktil termal), dan
penciuman (olfaktori), namun pemanfaatannya dalam sebuah karya
tak sama intensitasnya.
d. Kohesi
Antara bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain, atau kalimat
yang satu dengan yang lain, terdapat hubungan yang bersifat mengaitkan
antarbagian kalimat atau antarkalimat itu. Bagian-bagian dalam sebuah
kalimat, atau kalimat-kalimat dalam sebuah alinea, yang masing-masing
mengandung gagasan, tidak mungkin disusun secara acak. Antarunsur
tersebut secara alami dihubungkan oleh unsur makna unsur semantik.
Hubungan semantik merupakan bentuk hubungan yang esensial dalam
kohesi yang mengaitkan makna-makna dalam sebuah teks (Halliday &
Hasa, 1989: 73). Hubungan itu mungkin bersifat eksplisit yang ditandai
oleh adanya kata penghubung, atau kata kata tertentu yang bersifat
menghubungkan, namun mungkin juga hanya berupa hubungan kelogisan,
hubungan yang disimpulkan (oleh pembaca) (infered connection),
hubungan implisit Hubungai tersebut dalam ilmu bahasa disebut kohesi
(cohesion, keutuhan).

2.3. Percakapan dalam Novel


a. Narasi dan Dialog
Sebuah karya fiksi umum nya dikembangkan dalam dua bentuk penuturan:
narasi dan dialog. Kedua bentuk tersebut hadir secara bergantian sehingga
cerita yang ditampilkan menjadi tidak bersifat monoton, tersa fariatif, dan
segar.
b. Unsur Pragmatik dalam Percakapan
Percakapan yang hidup dan wajar, walau hal itu terdapat dalam sebuah
nofel, adalah percakapan yang sesuai dengan konteks pamakaiannya,
percakapan yang mirip dengan situasi nyata penggunaan bahasa. Bentuk
percakapan yang demikian bersifat pragmatik. Istilah pragmatik itu sendiri
mungkin diartikan pada beberapa pengertian yang berbeda, namun intinya
10
adalah mengacu pada (telaah) penggunaan bahasa yang mencerminkan
kenyataan. Dalam situasi nyata, orang mempergunakan bahasa tak hanya
berurusan dengan unsur bahasa itu sendiri, melainkan juga mempertimbangkan
unsur-unsur lain yang di laur konteks bahasa: konteks ekstralinguistik
c. Tindak Ujar
Salah satu hal yang penting dalam interpretasi percakapan secara
pragmatik, konsep yang menghubungkan antara makna percakapan dengan
konteks, adalah konsep tindak ujar (speech acts), sebuah konsep yang
dikembangkan oleh Austin (1962) dan Searle (1969) (lewat Leech & Short,
1981: 290). Konsep tersebut berangkat dari adanya kenyataan bahwa, jika
seseorang mengucapkan kalimat-kalima dalam percakapan yang dilakukan
umumnya disertai oleh adanya perform acts yang berbeda-beda. Misalnya,
penampilan tindak ujar yang berupa penjelasan, pernyataan, permintaan,
perintah, dan sebagainya. Bagaimana dan apa wujud penampilan tindak ujar
para pelaku percakapan ditentukan oleh konteks percakapan itu sendiri yang
tentunya juga tergantung pada "keperluan".

11
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra Sastra lebih dari sekadar
bahasa, deretan kata, namun unsur "kelebihan" nya itu pun hanya dapat diungkap
dan ditafsirkan melalui bahasa. Dalam memperoleh efektivitas pengungkapan,
bahasa dalam sastra disiasati, dimanipulasi, dan didayagunakan secermat mungkin
sehingga tampil dengan sosok yang berbeda dengan bahasa nonsastra.
Pada umumnya orang beranggapan bahwa bahasa sastra berbeda dengan
bahasa non sastra, bahasa yang dipergunakan bukan dalam pengucapan sastra.
Seperti apa ciri sosok bahasa sastra itu seolah-olah, masih bagaikan rumusan
hipotesis yang perlu dibuktikan kebenarannya Banyak orang telah mencoba
mengidentifikasikan dan mudah diduga, sebab bahasa sastra memang bukan
merupakan sesuatta yang bersifat eksak mereka mengemukakan rumusan dan atau
ciri-ciri yang berbeda Artinya tak ditemukan kata sepakat Kata sepakat
barangkali, memang tak diperlukan Yang penting adalah kesadaran dar pengakuan
kita, usaha kita untuk memanam dan menerimanya secara wajar.
Bahasa sastra, menurut kaum Formalis Rusia adalah bahasa yang mempunyai
ciri deotomatisasi, penyimpangan dari cara penuturan yang telah bersifat otomatis,
rutin, biasa, dan wajar. Penggunaan bahasa kias merupakan salah satu bentuk
penyimpangan , namun hal itu bukan merupakan ciri khas bahasa sastra sebab
dalam penuturan nonsastra pun banyak dipergunakan.
Kajian stilistika itu sendiri sebenarnya dapat ditunjukan terhadap berbagai
ragam penggunaan bahasa, tak terbatas dalam sastra saja , namun biasanya
stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra. Tanda-tanda stilistika itu
sendiri dapat berupa fonologi, misalnya pola suara ucapan dan irama, sintaksis,
misalnya jenis struktur kalimat, leksikal, misalnya penggunaan kata abstrak atau
konkret, frekuensi penggunaan kata benda, kerja, sifat, dan penggunaan bahasa

12
figuratif, misalnya bentuk-bentuk pemajasan, permainan struktur, pencitraan, dan
sebagainya.
Pemajasan merupakan teknik pengungkapan bahasa penggayabahasaan, yang
maknanya tak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya,
melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat Jadi ia merupakan
gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa
kias.

Dalam situasi nyata, orang mempergunakan bahasa tak hanya berurusan dengan
unsur bahasa itu sendiri, melainkan juga mempertimbangkan unsur-unsur lain
yang di laur konteks bahasa: konteks ekstralinguistik

13
DAFTAR PUSTAKA

Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press

14

Anda mungkin juga menyukai