Anda di halaman 1dari 14

Apendiks 3

Membaca Tanda, Memahami Komunikasi

Semantika sebagai sebuah cabang kelimuan memperlihatkan pengaruh yang semakin kuat dan luas
dalam satu dekade terakhir ini, termasuk Indonesia. Signifikasi semiotika tidak saja sebagai metode
kajian (deading), akan terapi juga sebagai metode penciptaan (encoding). Se- bagai metode kajian,
semionka memperlihatkan kekuatannya di dalam berbagai budang, seperti antropologi, sosiologi,
politik, kajian keagamaan. media studies, dan cultural studies. Sebagai metode penciptaan, semiotika
mempunyai pengaruh pula pada bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur,
termasuk desain komunikasi visual

Sebagai sebuah disiplin kelimuan, yaitu ilmu tentang tanda, tentunya semiotika mempunyai prinsip,
sistem, aturan dan prosedur-prosedur keilmuan yang khusus dan baku. Akan tetapi, pengertian ilmu
dalam Imu semiotika tidak dapat disejajarkan dengan ilmu alam, yang menuntur ukuran-ukuran
matemaris yang pasti untuk menghasilkan sebuah pengalan objektif sebagai kebenaran tunggal.

Mereka lalu menempatkan diri mereka sebagai otoritas tunggal atau aparat penjaga kebenaran tunggal
itu agar tidak dirusak oleh pandangan pandangan lain (the other of truth), yang dianggap keliru salah
sesat, haram dan menyimpang Mereka menganggap diri mereka sebagai pemilik dan kebenaran tunggal
itu Mereka bahkan menganggap diri mereka sebagai kebenaran itu sendiri.

Mereka tidak menyadari bahwa semotika tidak dibangun oleh ke- benaran tunggal seperti yang mereka
klaim itu. Semiotika mengajarkan tentang makna jamak (polysemy) sebagai prinsip dasar dari semiotika,
dan prinsip dasar ini juga berlaku untuk definisi ilmu semiotika itu sendin Berkaitan dengan doktrin
tanda . Doktrin tanda dari Saussure, Peirce dan Hjemsley adalah doktrin yang tidak sama, dan
pembacaan terhadap doktrin tanda mereka juga beragam

Misalnya, tidak hanya ada beragam pembacaan terhadap semiotika struktural Saussure, tetapi
pembacaan pembacaan itu malah saling bertentangan satu sama lainnya. Misalnya, beberapa pemikir,
seperti Jacques Derrida, melihat semiotika struktural Saussure sebagai semiotika yang statis, logosentris
dan tertutup. Akan tetapi, beberapa pemikir lain, seperti Paul J. Thibault-melalui pembacaan ulang yang
dilakukannya terhadap doktrin tanda Saussure-melihat semiotika Saussure sebagai semiotika yang
dinamis, kontekstual dan terbuka. Pembacaan Thibault ini jelas bertentangan dengan pembacaan
Derrida, Akan terapi. Thibault-mau- pun para pemikir semiotika lainnya-tidak pernah ada yang mengha-
ramkan untuk membaca buku Derrida, karena menyadari betul pluralitas interpretasi dalam semiotika.
Inilah cermin dari kedewasaan intelektual.

Semiotika, dengan demikian, adalah sebuah ranah keilmuan yang jauh lebih dinamis, lentur dan terbuka
bagi berbagai bentuk pembacaan dan interpretasi, bukan sebuah benteng kebenaran, yang di luar
benteng itu semuanya adalah musuh kebenaran. Semiotika pada kenyataannya adalah ilmu yang
terbuka bagi berbagai interpretasi. Dan, kita tahu bahwa logika interpretasi bukanlah logika matematika,
yang hanya mengenal kategori benar atau salah. Logika semiotika adalah logika di mana tidak diukur
berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya: interpretasi yang sara lebih masuk
akal

Semiotika Komunikasi Visual

Buku Sumbo Tinarbuko. Semiotika Komunikasi Visual adalah sebuah upaya memberikan interpretasi
terhadap keilmuan semiotika itu sendiri. yaitu semiotika sebagai metode pembacaan karya komunikasi
visual Sebagai upaya interpretasi. Sumbo di sini sedang menawarkan sebuah kebenaran tentang
semiotika komunikasi visual, di samping kebenaran kebenaran lain, yang ditawarkan oleh para penulis
lain, dengan argumen nalar dan sistematika yang dikembangkannya masing-masing. Dalam hal ini, apa
yang ditawarkan Sumbo adalah kebenaran relatif di hadapan kebenaran-kebanaran lainnya, bukan
kebenaran tunggal. Interpretasi dan kebenaran itu diharapkan dapat memperkaya khasanah
pengetahuan tentang semiotika itu sendiri, dengan menyediakan sebuah ruang pemahaman tanda yang
lebih terbuka dan dinamis.

Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah sistem semiotika khusus, dengan
perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm) yang khas, yang berbeda misalnya dari sistem
semio nika seni. Di dalam sistem semiotika komunikasi visual melekat fungsi komunikasi, yaitu fungsi
tanda dalam menyampaikan pesan dari sebuah pengirim pesan kepada para penerima tanda
berdasarkan aturan atau kode-kode tertentu. Fungsi komunikasi mengharuskan ada relasi (saru atau dua
arah) antara pengirim dan penerima pesan, yang dimediasi oleh media tertentu.

Meskipun fungsi utamanya adalah fungsi komunikasi, tetapi bentuk- bentuk komunikasi visual juga
mempunyai fungsi signifikasi, yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna. Ini
berbeda dengan bidang lain, seperti seni rupa (khususnya seni rupa modern) yang tidak mempunyai
fungsi khusus komunikasi seperti itu, akan tetapi ia memiliki fungsi signifikasi. Fungsi signifikasi adalah
fungsi di mana penanda yang benifar konkrit dimuati dengan konsep-konsep abstrak atau makna gara
umum disebut petanda. Dapat dikatakan di sini, bahwa semua muatan komunikasi dari bentuk-bentuk
komunikasi visual ditiadakan ia sebenarnya masih mempunyai muatan signifikan yaitu muatan makna.

Sebagaimana dikatakan juga oleh penulis buku ini, efektivitas pesan menjadi tujuan utama dan desain
komunikasi visual. Berbagai gerak desain komunikasi visual: iklan, fotografi jurnalistik, poster kalender
brosur. film animast, karikatur, acara televisi, video clip, web designed interaktif adalah di antara
bentuk-bentuk komunikasi visual yang melaluinya pesan-pesan tertentu disampaikan dari pihak
pengirim (desainer produser, copywriter) kepada penerima (pengamat, penonton, pemirsa)

Semiotika komunikasi mengkaji tanda dalam konteks komunikasi yang lebih luas, yang melibatkan
berbagai elemen komunikasi, seperti saluran, sinyal media, pesan, kode (bahkan juga noise). Semiotika
ko- munikasi menekankan aspek produksi tanda di dalam berbagai rantai komunikasi, saluran dan
media, ketimbang sistem tanda. Di dalam semiotika komunikasi, tanda ditemparkan di dalam rantai
komunikasi, sehingga mempunyai peran yang penting dalam penyampaian pesan.

Teks. Objek, Konteks

Meskipun objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen komunikasi yang bersifat visual,
yaitu garis, bidang, ruang, warna, bentuk dan tekstur, akan tetapi pada perkembangannya, desain
komunikasi visual juga melibatkan elemen-elemen non-visual, seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal.
Elemen-elemen yang berperan di dalam berbagai bentuk komunikasi visual mutakhir, khususnya dalam
media komunikasi elektronik, adalah kombinasi antara elemen-elemen visual, suara, bunyi dan tulisan
(text).

Kombinasi elemen-elemen visual dengan yang non-visual macam ini tampak pada desain iklan. Seperti
media komunikasi massa pada umumnya, iklan mempunyai fungsi komunikasi langsung yang berbeda
dari karya seni rupa yang mempunyai fungsi komunikasi tak langsung. Iklan mempunyai fungsi utama
penyampaian pesan, meskipun ia juga mempunyai fungsi signifikasi. Bagaimana motif penyampaian
pesan dan signifikasi dikombinasikan di dalam iklan, telah dijelaskan oleh berbagai ahli semiotika iklan,
seperti Gillian Dyer. Torben Vestergaard atan Judah Williamson."

Dari pandangan ahli-ahli semiotika periklanan tersebut di atas. dapat dilihat bahwa ada dimensi-dimensi
khusus pada sebuah iklan, yang membedakan iklan secara semiotis dari objek-objek seni pada
umumnya. yaitu bahwa sebuah iklan selalu berisikan unsur-unsur tanda berupa objek yang diiklankan;
konteks berupa lingkungan, orang atau makhluk lainnya yang memberikan makna pada objek: serta teks
(berupa tulisan) yang memperkuat makna (anchoring), meskipun yang terakhir ini tidak selalu hadir
dalam sebuah iklan. Pada iklan televisi, unsur tanda ini ditambah lagi oleh unsur bunyi (sound) dan
bahasa ucapan (speech).

Buku Semiotika Komunikasi Visual lebih memfokuskan diri pada bentuk-bentuk komunikasi visual dua
dimensi, berupa gambar-gambar diam (still images), dengan perhatian khususnya pada tiga bentuk
desain komunikasi visual, yaitu Iklan Layanan Masyarakat (ILM), kaos oblong dan rambu lalu lintas.
Meskipun dibatasi pada tiga kasus ini, terapi analisis semiotika di dalam buku ini mampu
memperlihatkan tidak saja struktur semiotika, tetapi yang lebih penting muatan lokal dari semiotika.
yaitu aneka kode kultural dan kode semantika yang bersifat indigenous.

Melalui analisis mendalamnya terhadap beberapa objek kultural tersebut di atas, buku ini
memperlihatkan dengan jelas sifat-sifat ke- terbukaan, kontekstualitas dan pluralitas dari semiotika
sebagai sebuah ilmu. Bahwa, bagaimanapun ketatnya prinsip, definisi atau struktur tanda di dalam
semiotika, tetap saja ada muatan-muatan lokal atau indigenous dari semiotika. Untuk itu, dalam
pemahaman terhadap kode-kode kul- tural yang beragam itu dituntut pikiran yang terbuka, lentur dan
inklusif. karena apa yang dianggap sebagai kebenaran di dalam sebuah kebudayaan. boleh jadi dianggap
kepalsuan di dalam kebudayaan lainnya. Semiotika menentang setiap bentuk arogansi intelektual.

BAB 6

Apendiks 4 Memahami Kode-kode Budaya: Semiotika dan Cultural Studies

Semiotika adalah sebuah cabang keilmuan yang memiliki lingkup kajian sang luas yang meliputi hampir
semua bidang kehidupan Sebagai displin yang berkaitan dengan tanda dan penggunaannya dalam
masyarakat, semiotika melingkupi segala bentuk tanda dan penggunaannya secara sosial, sehingga
menciptakan cabang-cabang semiotika khusus, di antaranya adalah semiotika seni, semiotika
kedokteran (medical semiotics). semiotika binatang (zoo semiotics), semiotika arsitektur, semiotika
fashion, semiotika film, semiotika sastra dan semiotika televisi.

Kebudayaan adalah bidang lain yang juga memiliki lingkup sangat has dan kompleks, yang
melingkupi budaya benda (material cab) seperti: artefak, seni, media, fashion, arsitektur, televisi, film,
video; budaya non benda (non-material culture), melingkupi norma, adat, pranata, men talitas,
kebiasaan, eros: segala bentuk tingkah laku manusia serta bahasa yang digunakan sebagai alat
komunikasi di dalamnya.

Disebabkan luasnya lingkup kedua bilang sebut di atas, maka penggunaan semiotika sebagai pendekatan
dalam memahami kebudayaan harus disertai oleh berbagai pembatasan pada tingkat epistologis dan
lingkup kajiannya. Secara epistemologis, semiotika tidak saja merupakan hagdan kaan bahasa, akan
terapi juga dari bidang kebudayaan yang lastama budaya benda. Budaya benda itu sendiri sebenarnya
merupakan bidang yang juga baan yang melibatkan semua unsur indera yan visual, suara, rasa bau dan
peraban di dalamnya

Selain itu, baik kajian semiotika maupun kebudayaan adalah bidang kajian yang selalu mengalami
perkembangan dan perubahan historisnya. Ada perkembangan mutakhir, yang di dalamnya kajian
bahasa menemukan garis singgung yang sangat erat dengan kajian kebudayaan, yaitu dengan
berkembangnya secara mutual kajian semuotika dan cultural studios sebagai kecenderungan baru dalam
kajian kebudayaan Perkembangan semiotika tidak dapat dilepaskan dari perkembangan cultural studies,
dan sebaliknya perkembangan cultural studies, salah satunya sangat dipengaruhi oleh perkembangan
semiotika, khususnya semiotika struktural.

Semiotika dan Cultural Studies

Sebelum adanya pengaruh semiotika, cara membaca kebudayaan lebih terfokus pada aspek-aspek
historis, esensial dan asal-usul objek-objek kebudayaan. Perkembangan semiotika struktural dan cultural
studies telah mengubah kecenderungan analisis kebudayaan ke arah pendekatan yang lebih menaruh
perhatian pada struktur dan sistem, yang disebur strukturalisme.

Andrew Tudor, di dalam Decoding Culture: Theory and Method in Cultural Studies, menyebut kajian
kebudayaan yang menggunakan pendekatan (semiotika) struktural semacam ini sebagai analisis
struktural kebudayaan. Tudor melihat bahwa pemikiran semiotika de Saussure me rupakan kerangka
dasar dalam pemikiran strukturalisme, yang kemudian sangat mempengaruhi kecenderungan cultural
studies pada umumnya. Perbedaan mendasar antara langue dan parole, penanda dan peranda.
paradigmarik dan sintagmatik, serra diakronik dan sinkronik, yang di- kembangkan Saussure dalam
semiotika strukturalnya, secara bersama- sama menjadi metode kunci dalam semiotika dan cultural
studies

Pengaruh pendekatan semiotika struktural telah menggeser pendekatan pendekatan tradisional dalam
kajian kebudayaan-yang berkaitan terutama dengan pembentangan makna hakiki dan nilai-nilai sebuah
artefak ke arah pembentangan struktur dan sistem, yang memungkinkan sebuah artefak nemiliki makna.
Ketimbang menjelaskan hakikat dan sejarah, pendekatan semiotika struktural memfokuskan pada
sistem kode dan konvensi yang mengatur bagaimana teks kebudayaan dikonstruksi oleh penciptanya
serta diterima dan dipahami maknanya oleh pengguna atau konsumennya.

Sebagaimana yang dijelaskan pula oleh Stuart Hall di dalam Cad Media, Language, penggunaan
semiotika struktural dalam cultural studies tidak hanya terbatas sebagai alat pemahaman atau
pembongkaran kode dan konvensi di balik objek kebudayaan (disebar proses decoding), akan tetapi juga
sebagai pendekatan dalam mengkonstrukat tanda dan makna di dalam proses penciptaan sebuah objek
kebudayaan (disebut: proses encoding). Menurut Hall, objek atau teks teks kebudayaan (seperti tele-
vist, film, dsb.) mengandung di dalamnya pesan-pesan (encoded messages), yang membentuk wacana
bermakna, yang produksinya mesti mengikuti sebuah aturan main arau konvenu tertentu.
Ferdinand de Saussure adalah salah seorang tokoh kunci pendekatan strukturalisme ini. Di dalam
pemikiran strukturalnya, Saussure, membuat perbedaan mendasar antara langue, yaitu sistem kode,
aturan dan norma- norma yang mengatur sebuah bahasa: serta parole, yaitu tindak nyata penggunaan
sistem tersebut oleh seorang individu di dalam sebuah masyarakat Pembedaan antara langue dan
parole ini merupakan fondast cara berpikir struktural, tidak saja dalam bidang linguistik, tetapi di dalam
bidang-bidang kajian yang sangat luas, seperti antropologi, sosiologi, politik, ekonomi, budaya, teologi,
arsitektur, media dan seni

Pendekatan semiotika struktural bahkan mempengaruhi analis masyarakat dan kebudayaan secara lebih
luas. Claude Levi-Strauss, misalnya, menggunakan model semiotika struktural ini untuk menjelaskan
struktur kebudayaan, seperti sistem kekerabatan, totem, tabu, menu makanan, dan mitos, yang
semuanya dianggap sebagai bahasa, dan yang dalam analisisnya bersandar pada model semiotika
struktural berdasarkan model semiotika itu pula berbagai komponen budaya benda seperti foto,
fashion, iklan, film, novel, mobil, gular sepak bola, mainán, deterjen, striptease, steak, kentang goreng
dapat dipandang sebagai fenomena bahasa yang dibangun oleh tanda, kode dan makna tertentu.

Meski pun demikian, pendekatan semiotika struktural Saussure in mendapatkan kritikan dari beberapa
kritikus, seperti Roland Barthes (akhir). Jacques Derrida dan Julia Kristeva. Derrida, misalnya, melihat
strukturalisme telah terperangkap di dalam apa yang disebutnya logo- sentrisme, yaitu terkungkungnya
bahasa ke dalam upaya mencan makna akhir (lages) dalam berbagai bentuknya, sehingga menghalang
berbagai kreativitas, inovasi dan penjelajahan baru dalam bahasa Di tangan strukturalisme, bahasa
menjadi sistem tertutup, selesai, dan tidak mentolerir perubahan. Misalnya, bagaimana kitab suci
dianggap sebagai sebuah makna akhir (determined meaning), kebenaran akhir, penutup wacana atau
lages, yang setiap interpretasi harus bersandar padanya.

Julia Kristeva menggunakan istilah intertekstualitas untuk menjelaskan kesalingbergantungan yang


kompleks antara satu (beberapa) teks dengan teks-teks sebelumnya di dalam sebuah kebudayaan. Teks
adalah mosaik kutipan-kuripan dari teks-teks yang mendahuluinya dalam relasi lintas kultural (mans-
cultural) yang kompleks. Ada pelintasan dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya di dalam suatu
ruang dialog kultural Selalu ada relasi antar teks di antara ungkapan-ungkapan lainnya: tidak ada teks
yang tidak berkaitan dengan teks-teks lainnya di dalam pelintasan kultural yang kompleks. Di dalam
intertekstualitas, dua suara, dua kode, dua cara pengungkapan bertemu di dalam ajang dialogisme, yang
tidak ada di antaranya yang bersifat dominan. Sebuah teks masa lalu terbuka bagi suatu garis dialog
dengan teks-teks masa kini dalam ajang pastiche. alegoris, atau hibrida

Semiotika post-strukturalis di atas menawarkan hubungan baru antara penanda dan petanda, antara
bentuk dan makna. Teks tidak lagi dianggap sebagai ada (being), akan tetapi proses menjadi, yang untuk
itu diperlukan inovasi, kreativitas dan produktivitas, dalam rangka mem- bentangkan segala yang tak
terpikirkan dan tak terbayangkan sebelumnya. Makna dianggap tidak pernah stabil, final, atau selesai,
tetapi selalu dalam proses menjadi dalam konstelasi permainan penanda yang tanpa akhir. Bidang
penanda dan petanda dianggap hidup di dalam struktur yang terpisah, tidak menyatu seperti selembar
kertas, sebagaimana dikatakan de Saussure. Interpretasi sebuah tanda atau teks tidak pernah berhenti.
Penanda selalu berproduksi dan berkembang biak, lewat interaksinya dengan penanda-penanda yang
berasal dan berbagai kebudayaan yang berbeda.

Kebudayaan Sebagai Teks

Penggunaan semiotika dalam analisis objek kebudayaan hanya dimungkinkan bila semua objek tersebut
dipandang sebagai serangkaian tanda bermakna. Artinya, diperlukan semacam metafora bahasa dalam
analisis kebudayaan, yaitu melihat kebudayaan sebagai fenomena bahasa. Sebagaimana dikatakan oleh
Rosalind Coward & John Ellis, dalam Language and Materialism, bahwa seluruh praktik sosial (dan
kultural) harus dipandang sebagai makna, signifikasi dan sirkuit pertukaran di antara subjek (exchange),
dan dengan demikian harus bersandar pada model bahasa (linguistics) sebagai alat membentangkan
struktur, sistem dan maknanya. Dengan perkataan lain, agar kebudayaan dapat dianalisis melalui
pendekatan semiotika, maka kebudayaan harus dilihat sebaga teks, yaitu rangkaian tanda-tanda
bermakna, yang diatur berdasarkan kode atau aturan-aturan tertentu.

Dalam pengertiannya yang luas, teks adalah setiap produk dari discourse, yaitu produk dari tindak
penggunaan dan pertukaran tanda. Teks adalah suatu wujud penggunaan tanda dalam kehidupan sosial.
yaitu berupa kombinasi seperangkat tanda, yang dikombinasikan dengan cara dan kode tertentu dalam
rangka menghasilkan makna tertentu. Wacana dalam kaitan ini, diartikan sebagai setiap tindak
penggunaan bahasa. Dengan demikian, dalam pengertiannya yang luas, teks adalah produk dari setiap
tindak penggunaan bahasa. Dalam pengertian yang lebih sempit, teks adalah pesan-pesan tertulis, yaitu
produk bahasa dalam bentuk tulisan (written text), seperti buku, novel, puisi, artikel koran. majalah,
catatan harian, prasasti, kitab suci.

Dalam pengertiannya yang luas itulah, teks didefinisikan sebagai pesan-pesan-baik yang menggunakan
tanda verbal maupun visual- yang menghasilkan teks verbal dan teks visual. seperti gambar iklan.
televini, komik, film, fashion, seni tari, teater, patung, arsitektur, tata kota Teks verbal dibedakan lagi
antara t) teks oral, yang secara sempit disebut discourse, dan 2) teks tertulis, yang secara sempit disebut
sebagai teks seperti teks sastra, paist, novel, teks hukum, surat piagam, nota, prasasti Teks visual adalah
teks, yang melibatkan di dalamnya unsur-unsur visual seperti gambar ilustrasi, foto, lukisan atau citra
rekaan komputer Di antara yang termasuk ke dalam teks visual ini antara lain: adverting text teks failion,
teks televisi, teks sent (parang, lukisan, tart, teater), teka objek (komodite), reks arsitektur Semua teks
ini adalah produk dan kebudayaan.

Dalam konteks cultunal studies, keberadaan tanda dan teks tidak dapat dilepaskan dari kanteks sosial di
mana tanda dan teks itu berada Tanda dan teks hanya dapat berfungsi bila ia digunakan oleh komunitas
atau masyarakamya. Artinya, sistem tanda dan sistem teks tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial dan
sistem budaya di mana tanda dan teks itu berada, sebagai kesatuan yang menyeluruh dan melingkupi.

Sistem Bahasa dan Sistem Budaya


Oleh karena tanda merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya, maka ia juga
merupakan bagian dari aturan-aturan sosial yang berlaku di dalam masyarakat dan kebudayaan itu. Di
satu pihak ada sistem tanda dan di pihak lain ada sistem sosial (socio-cultural system), yang keduanya
saling berkaitan dalam membentuk sebuah wacana bermakna Dalam hal ini, di dalam setiap komunitas
bahasa ada konvensi

sosial yang mengatur penggunaan tanda secara sosial yaitu pemilihan pengkombinasian dan
penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu, dan mengikuti aturan main tertentu yang disepakati
secara sosial,

Penggunaan semiotika struktural dalam analisis objek-objek kebu dayaan, baik pada tingkat tanda
maupun teks, memerlukan pemahaman mendalam terhadap konsep-konsep kunci di dalam semiotika
struktural itu sendiri. Beberapa konsep kunci tersebut merupakan elemen-clemen kunci dalam analisis
teks, sebagaimana akan dijelaskan berikut ini:

A. Langue dan Parole

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pembedaan yang dibuat Saussure antara langur dan parole sangat
penting dalam bidang cultural student. Sebagaimana dikemukakan oleh Jonathan Caller perbedaan
antara longue dan parole ini mempunyai konsekuensi yang lebih luas pada bidang bidang di luar
lingusitik disebabkan secara esensial ia merupakan perbedaan antara institusi dan event antara sistem
yang memungkinkan berbagai tindak tanduk sosial dan contoh-contoh aktual tingkah laku sendiri atau
dengan analogi yang lebih ekstrim, antars sebuah kitab dan bagaimana setiap orang mengamalkan kitab
itu

Langue adalah bahasa dalam wujud sistemnya, yang seperangkat relasi dan aturan yang mengatur
unsur-unsur tanda yang disepakati bersama di dalam masyarakat. Dalam kerangka langue in Saussure
menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti halnya selembar
kertas-yaitu, bidang penanda dan bidang petanda. Penanda adalah sesama yang bersifat material dan
konkrit, dengan perkataan lain, wujud bentuk atau ekspress dari bahasa sementara peranda adalah
sesuatu yang bersifat abstrak dan tak tertangkap indera, untuk menjelaskan konsep atau makna di balik
penanda yang konkrit in yang meskipun demikian, tak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

Parole adalah bahasa pada tingkat penggunaannya di dalam ma syarakat. Parole adalah
pengkombinasian tanda-tanda secara konkret berupa ucapan, ekspresi, gerak rubuh, tindakan, atau
produksi objek objek berlandaskan pada perbendaharaan tanda yang ada serta aturan main yang telah
disepakati bersama. Parole adalah bagaimana setiap pengendara mobil menggunakan sistem tanda lalu
lintas itu dengan caranya masing masing (ekspresi). Setiap ekspresi budaya (sastra, tan sen rupa, mfan
produk, arsitektur) adalah bahasa pada tingkat parole ini

B. Struktur Tanda
de Saussure menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti
selembar kertas, yaitu bidang penanda untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang petanda
untuk menjelaskan konsep atau makna

penanda dan konsep di baliknya. Seikat bunga yang diberikan pada seseorang (penanda) tidak bisa
dipisahkan dari konsep cinta atau kasih sayang di baliknya (petanda). Bunga yang tidak mengandung
konsep di baliknya bukanlah tanda.

Dalam kaitannya dengan model tanda ini (tanda/penanda/petanda), Saussure menekankan pentingnya
konvensi sosial yang mengatur relasi antara wujud konkrit sebuah tanda dengan konsep abstrak atau
mak- nanya Sebuah penanda mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di
antara komunitas pengguna bahasa tentang makna tersebut."

Struktur tanda Saussurean ini akan lebih sempurna bila dilengkapi dengan analisis jenis atau tipologi
tanda, yang tidak dijelaskan oleh Saussure, akan terapi oleh ahli semiotika Amerika, Charles Sander
Peirce. Peirce membedakan tiga jenis tanda, yaitu ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda yang
mempunyai hubungan keserupaan atau peniruan dengan objek rujukannya; indeks adalah tanda yang
mempunyai hubungan sebab-akibat dengan objek rujukannya; dan simbol adalah tanda yang
mempunyai hubungan arbiter dengan objeknya, yaitu hubungan yang sewenang-wenang arau artifisial.

C. Kode

Di balik sebuah tanda atau teks kebudayaan, ada kode tertentu yang mengatur pengkombinasian
elemen-elemen tanda dan maknanya. Agar mampu memproduksi makna, struktur bahasa dikendalikan
oleh aturan main tertentu, yang disepakati secara sosial. Adalah konvensi ini yang membatasi
kemungkinan pengkombinasian tanda, sehingga bahasa tidak sepenuhnya sewenang-wenang. Analisis
semiotika struktural terhadap objek-objek kebudayaan menaruh perhatian pada relasi sistemik antara
perbendaharaan tanda,

anuran pengkombinasiannya (code), serta konsep-konsep yang berkaitan dengannya. Ada kode tertentu
yang melandasi pengkombinasian elemen-elemen randa, yang berlaku di dalam sebuah komunitas
bahasa. Kode adalah seperangkat aturan atau konvensi bersama yang di dalamnya tanda-tanda dapat
dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan di- komunikasikan dari seseorang kepada orang lain.
Kode didefinisikan oleh Umberto Eco sebagai "...aturan yang menghasilkan tanda-tanda sebagai
penampilan konkritnya di dalam hubungan komunikasi." Berdasarkan definisi tersebut, kesepakatan
sosial di antara anggota komunitas bahasa menyangkut tanda dan maknanya merupakan keharusan di
dalam semio tika struktural.

D. Aksis Tanda
Di dalam setiap kebudayaan selalu ada perbendaharaan tanda (kata- kata, kamus visual, bahasa tubuh,
bahasa gesture, bahasa gambar, kamus simbol), yang dapat dipilih dan dikombinasikan berdasarkan
aturan main tertentu. Aturan main tersebut (gramar, sintaks, gramar visual, aturan gambar, gramar film,
dsb.) membatasi kemungkinan pengkombinasian tanda-tanda, sehingga mampu menghasilkan berbagai
kombinasi berbeda yang bermakna.

Prinsip perbedaan (difference) inilah yang dikatakan oleh Saussure sebagai hakikat dari bahasa. Bahasa
tak lain dari prinsip perbedaan. Perbedaan hanya dimungkinkan lewat beroperasinya dua aksis bahasa
yang disebutnya aksis paradigma dan aksis sintagma. Paradigma adalah satu perangkat tanda (kamus,
perbendaharaan kata) yang melaluinya pilihan-pilihan dibuat, dan hanya satu unit dari pilihan tersebut
yang dapat dipilih. Sintagma adalah kombinasi tanda dengan tanda lainnya dari perangkat yang ada
berdasarkan aturan tertentu, sehingga menghasilkan ungkapan bermakna."

Di dalam semiotika struktural, tanda tidak dapat dilihat hanya secara individu, akan tetapi dalam relasi
dan kombinasinya dengan tanda-tanda lainnya di dalam sebuah sistem. Menurut Roland Barthes,
analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar ini (kalimat, buku, kitab) melibatkan
apa yang disebut aruran pengkombinasian, yang terdiri dari dua aksis, yaitu aksis paradigmatik, yaitu
perbendaharaan tanda atau kata (seperti kamus), serta aksis sintagmatik, yaitu cara pemilihan dan
pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan atau kode tertentu, sehingga dapat menghasilkan
ekspresi bermakna."

Aksis bahasa yang dikembangkan Saussure dan Barthes ini sangat pen- ting dalam analisis berbagai
sistem signifikasi di dalam budaya benda. seperti sistem fashion, sistem makanan, sistem arsitektur,
sistem iklan, sistem objek, dsb.

E. Tingkatan Tanda

Ada berbagai tingkatan tanda di dalam semiotika, yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang
juga bertingkat-tingkat. Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi dan
konotasi. Denotan adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda,
atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna ekplisit, langsung dan pasti.
Denotasi adalah tingkatan pertandaan yang paling konvensional di dalam masya rakat, yaitu elemen-
elemen tanda yang maknanya cenderung disepakati secara sosial

Konorasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di
dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya, terbuka
terhadap berbagai kemungkman tahiran) la menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk
ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan,
yang disebut makna konoratif.

Selain itu, Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya akan tetapi lebih bersifat
konvensional yaitu makna-makna yang ber kaitan dengan mitos dalam pemahaman semiotika Barthes
adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter aras kunorarit) sebagai sesuatu
yang dianggap alamiah.

F. Tanda dan Mitos

Setiap kebudayaan memiliki berbagai kekayaan mitos, yang hidup dan berkelanjutan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Mitos-mitos tersebut hanya dapat hidup dan diwariskan melalui semacam
kendaraan, yaitu kendaraan bahasa dan tanda. Dengan perkataan lain, mitos selalu menampakkan
dirinya melalui tanda-tanda sebagai kendaraan semio- niknya.

Menurut Roland Barthes, mitos menampakkan dirinya pada ting- katan semiotik lapis kedua, yang
disebutnya tingkat konotatif Barthes menyebut tingkatan tanda yang penandanya mempunyai tingkat
konvensi atau kesepakatan yang tinggi-dan sebaliknya tingkat keterbukaan makna yang rendah-sebagai
denorasi, yaitu tanda yang menghasilkan makna-makna eksplisit. Sementara, tingkatan tanda yang
penandanya mempunyai ciri keterbukaan makna disebutnya konotasi, yaitu penanda yang dapat
menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implat. tersembunyi atau makna konotarif.

Mitos, menurut pandangan Barthes, beroperasi pada tingkatan tanda lapis kedua, yang maknanya
sangat bersifat konvensional yaitu disepakati (bahkan dipercayai) secara luas oleh sebuah anggota
masyarakat. Mitos, dalam pemahaman semiotika Barthes, adalah pengkodean makna dan nilai-nilai
sosial (yang sebetulnya arbiter, terbuka, plural dan komoratif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.
Artinya, mitos menambarkan atau mematok (anchorage) makna yang sebetulnya mengapung bebas dan
terbuka menjadi makna yang pasti dan terpatok.

G. Relasi Antar Tanda

Selain mitos, setiap kebudayaan juga kaya dengan berbagai per- umpamaan atau metafora yang
digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan berbagai pesan secara tidak langsung di dalam
berbagai media dan ekspresinya. Metafora banyak digunakan di dalam berbagai produk kebudayaan,
seperti iklan, film atau arsitekrar.

Di dalam semiotika, metafora dibicarakan dalam konteks relasi antar tanda, yaitu bagaimana sebuah
sistem tanda berkaitan dengan sistem- sistem tanda lainnya di dalam berbagai relasi yang kompleks.
Meskipun relasi di antara sistem-sistem tanda ini sangat terbuka luas, akan tetapi ada dua bentuk
interaksi utama yang dikenal di dalam semiotika, yaitu relasi metafora dan metonimi.

Metafora adalah model relasi antar tanda, yang di dalamnya tanda dari sebuah sistem digunakan untuk
menjelaskan makna untuk sistem lainnya. Misalnya penggunaan metafora "kepala baru" untuk
menjelaskan seseorang yang tidak mau diubah pikirannya. Metonimi adalah interaksi tanda, yang di
dalamnya sebuah tanda diasosiasikan dengan tanda lain. yang di dalamnya terdapat hubungan bagian
dengan keseluruhan. Misal nya, tanda botol (bagian) untuk mewakili pemabuk (total). Arau, tanda
mahkota untuk mewakili konsep tentang kerajaan.

Memahami Kode-kode Kebudayaan

Analisis semiotika kebudayaan beroperasi pada dua jenjang analisis. Pertama, analisis tanda secara
individual, misalnya jenis tanda, kode tanda, relasi antar tanda dan makna tanda secara individual.
Kedua, analisis tanda sebagai kelompok atau kombinasi, yaitu kumpulan tanda-tanda yang membentuk
apa yang disebut sebagai teks.

(1) Semiotika Iklan

Iklan adalah objek kebudayaan yang sangat sentral di dalam ma- syarakat informasi kapitalistik dewasa
ini, yang di dalamnya sangat intens penggunaan tanda dan citra-citra visual. Iklan, sebagai sebuah objek
semiotika, mempunyai fungsi komunikasi langsung, yaitu meng- komunikasikan pesan perusahaan atau
lembaga tertentu. Oleh sebabs itu, di dalam iklan, aspek-aspek komunikasi seperti pesan merupakan
unsur utamanya. Metoda analisis semiotika iklan secara khusus telah dikembangkan oleh berbagai
ahlinya, misalnya oleh Gillian Dyer, Torben Vestergaard dan Judith Williamson." Judith Williamsons,
misalnya, di dalam Decoding Advertisements, mengembangkan sebuah metode analisis iklan, yang
dalam pendekatannya mengkombinasikan pendekatan semio tika dan pendekatan psikoanalisis

Sebuah iklan selalu berisikan unsur-unsur tanda berupa objek yang diiklankan; konteks berupa
lingkungan, orang atau makhluk lainnya yang memberikan makna pada objek; serta teks (berupa tulisan)
yang memperkuat makna (anchoring), meskipun yang terakhir ini tidak selalu hadir dalam sebuah iklan.
Ketiga unsur utama yang membangun iklan sebagai sebuah wacana semiotika Iklan adalah sebuah ajang
permainan tanda yang selalu bermain ada tiga elemen tanda tersebut di atas yang satu sama lainnya
saling mendukung

(2) Semiotika Fashion

Fashion adalah salah satu objek kebudayaan lainnya, yang sama dengan penggunaan tanda dan citra
semiotika. Berbagai ahli semiotika. seperti Barthes telah mengembangkan semiotika khusus untuk
fashion. yang menganalisis fashion sebagai sistem tanda. Selain itu, Dick Hebdign dalam bukunya
Subculture: The Meaning of Style, mengkombinasikan metode semiotika dan metode antropologi, dalam
rangka memahami tanda-tanda fashion di kalangan kelompok-kelompok subkultur, seperti Punk,
Hippies, Skin Head, dsb. Di dalam fashion terdapat berbagai sistem, yang disebut dengan sistem fashion,
seperti sistem pakaian resni, sistem seragam militer, sistem seragam sekolah, dsb.
Meskipun demikian, fashion dapat mengalami perubahan, mulai dari yang moderent sampai yang
radikal. Perubahan tersebut mendekonstrukasi tanda, bentuk, ekspresi bahkan kode-kode fashion yang
ada sebelumnya

kombinasi baru dibuat dengan mendekonstrukasi aruran-aturan yang ada sebelumnya, seperti dapat
dilihat pada sistem pakaian resmi

(3) Semiotika Komoditi

Objek komoditi merupakan salah satu objek kebudayaan yang memperlihatkan peran yang semakin
sentral di dalam masyarakat kapitalis dewasa ini. Berbagai ahli telah mengembangkan semiotika khusus
yang menganalisis objek komoditi sebagai sistem tanda dan semiotika. Jean Baudrillard, misalnya, di
dalam The System of Object, menganalisis semio- tika objek di dalam masyarakat kapitalis, yaitu
bagaimana objek (komo- dini) berkembang tidak lagi sekadar objek yang berfungsi utilitas, akan tetapi
objek sebagai tanda (sigis objects), yang menandai starus, kelas dan prestise sosial tertentu. Bagaimana
sebuah objek komoditi dimuati dengan citra-citra tertentu, yang memberikan status pada orang yang
menggunakannya.

Secara lebih mikro, berbagai ahli semiotika produk telah mengem- bangkan semiotika khusus produk,
yang disebut semantika produk. yang lebih memfokuskan diri pada aspek makna dari sebuah produk
dalam konteks sosialnya. Beberapa ahli semantika produk, seperti Klaus Krippendorf, Charles Burnett,
Horst Ochlke, dan Susann Vihma, dalam penelitian mereka telah mengungkapkan kompleksitas tanda
dan makna pada produk.

Berbagai perkembangan objek cultural studies kontemporer, seperti media fotograf digital televisi, film,
seni rari, seni musik, fashion, asesor ide deo klip, multimedia, holograf video game, internet game virtual
reality pace memperlihatkan keluasan lingkup dan objek kajian

cultural studies tersebut, yang tidak mungkin dibentangkan seluruhnya di dalam rulisan ini. Berbagai
objek kajian cultural studies yang luas tersebut kini telah berkembang menjadi bidang kajian semiotika
khusus, seperti semiotika televisi, semiotika video, semiotika internet (cyber-semiotics).

Perkembangan di dalam objek dan lingkup cultural studies tersebut di atas tidak saja berlangsung ke
arah yang lebih kompleks, akan tetapi juga dengan tempo perubahan yang semakin cepat. Kompleksitas
dan kecepatan tempo perubahan objek kajian tersebut menuntut pula peru- bahan pada pendekatan
semiotika yang digunakan di dalamnya. Di dalam menghadapi kompleksitas perubahan tersebut
semiotika struktural sebagaimana telah dijelaskan di dalam tulisan ini-tidak memadai lagi sebagai satu-
satunya perangkat analisis kebudayaan. Perkembangan apa yang dapat disebut sebagai semiotika post-
strukturalis mungkin dapat mengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh semiotika struktural, yang
dapat menjadi bidang kajian tersendiri.[]

Anda mungkin juga menyukai