Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

SEMIOTIKA, TANDA DAN MAKNA DALAM KOMUNIKASI


Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi

Dosen Pengampu : Ade Rina Farida, M.Si

Kelas KPI 2 F

Disusun Oleh : Kelompok 6

Ajeng Metta Aulia 11180510000271

Vikri Hala Haikal 11180510000283

M. Khalifa Imanullah 11180510000019

Rika Lusiana 11180510000209

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, serta senantiasa memberikan kesehatan, kemampuan dan kekuatan kepada
penulis untuk dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Semiatika, Tanda dan Makna
dalam Komunikasi”.

Dalam menyelesaikan makalah ini penulis berusaha semaksimal mungkin agar tulisan
ini dapat mencapai kesempurnaan, namun sebagai hamba Allah SWT yang menyadari
sepenuhnya atas segala kekurangan, kehilafan dan kesalahan.

Olehnya itu, penulis menerima kritikan dan saran dari semua yang membacanya dalam
penyempurnaan makalah ini. Semoga apa yang terdapat dalam penulisan makalah ini dapat
beramanfaat bagi pembaca utamanya bagi kami sendiri dalam pengembangan pengetahuan di
masa yang akan datang dan segalanya bernilai ibadah disisi Allah SWT, Aamiin.

Ciputat, 16 April 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Studi tentang komunikasi berkembang pesat sejak Perang Dunia I sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan adanya perubahan sosial yang
didorong oleh progresivitas dan paragmatisme abad ke-20, minat terhadap kajian komunikasi
sebagai ilmu semakin meningkat. Bahkan sebagai ilmu yang menelaah berbagai perspektif,
misalnya komunikasi politik, komunikasi manajemen, dan lainnya yang mengindikasikan
semakin ajegnya komunikasi sebagai ilmu.

Sesungguhnya hampir semua ilmuwan menegaskan bahwa ilmu komunikasi tidak


dapat dilepaskan dari tiga pendekatan filosofis. Dengan tiga pendekatan tersebut komunikasi
sebagai ilmu yang mempelajari pesan antar manusia sebagai objek telaah, hakikat dan isi dari
wujud pesan yang muncul ke permukaan. Oleh sebab itu, Ilmu Komunikasi menjadi sangat
penting untuk dipelajari dan dipahami secara mendalam.

Dalam makalah ini kami akan menjelaskan mengenai Semiotika, Tanda dan Makna
dalam Komunikasi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Semiotika ?

2. Apa Semiotika, Tanda dan Makna dalam Komunikasi ?

3. Siapakah Tokoh-Tokoh Semiotika ?

4. Apa Kategori-Kategori Tanda Semiotika ?

5. Apa Konvensi Semiotika ?

6. Bagaimana Pengorganisasian Tanda-Tanda?


BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti
tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang
terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai
sebagai suatu hal lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirene mobil yang keras meraung-
raung menandai adanya kebakaran di sudut kota.1

Lebih jelas lagi, kita banyak mengenal tanda-tanda dalam kehidupan berkeluarga dan
bermasyarakat. Misalnya, bila disekitar rumah kita ada tetangga yang memasang janur maka itu
pertanda ada ‘hajatan’ perkawinan, tetapi bila terpasang bendera warna kuning didepan rumah
dan sudut jalan maka itu pertanda ada kematian.

Bagi etnis tertentu seperti warga keturunan china di jakarta justru menggunakan warna
putih dari kain blacu untuk menandakan mereka merasa sangat kehilangan dan ditinggalkan orang
yang mereka kasihi. Bahkan di jendela atau pintu rumah mereka ada tanda garis miring satu atau
silang untuk menunjukan siapa yang meninggal.

Bila hanya ada satu garis itu berarti baru istri atau suami/ orang tua yang meninggal
sedangkan bila terdapat dua garis maka kedua orang tua/ suami istri yang ada di rumah tersebut
sudah meninggal.

1
Baca Analisis Teks Media, karya Alex Sobur Msi yang menjelaskan bahwa semiotika sebagai suatu kajian
menitikberatkan objek penelitiannya pada tanda yang pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang
menunjuk atau merujuk pada benda lain.
Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari
sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.

Pada dasarnya, analisis semiotika memang merupakan sebuah ikhtiar untuk merassakan
sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau
narasi/wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic dalam arti berupaya menentukan makna
termasuk dari hal-hal yang tersembunyi dibalik sebuah teks 2 . Maka orang sering mengatakan
semiotika adalah upaya menemukan makna ‘berita dibalik berita’.

Dengan menggunakan semiotika dalam studi media massa kita dapat mengajukan
berbagai pertanyaan : Mengapa misalnya sebuah media tertentu selalu untuk tidak mengatakan
terus menerus menggunakan frase, istilah, kalimat atau frame tertentu manakala menggambarkan
seseorang atau sekelompok orang ? Apa yang sebenarnya menjadi sebab, alasan, pertimbangan,
latar belakang dan tujuan media tersebut mengambil langkah tersebut.

Sebagai contoh, saat Habibie berkuasa Harian Kompas, dan Media Indonesia agaknya
tidak ‘mendukung’ kepemimpinan pengganti Soehartoini berbeda sekali dengan Harian
Republika Harian Republika yang seakan menjadi ‘corong’ dari Habibie menyuarakan pandangan
serta kebijakannya.

Penggunaan kata-kata ‘rezim’, ‘pemerintahan sementara’, ‘Habibie tidak legitimate’


merupakan ‘tanda’ yang memperlihatkan bagaimana sikap media massa tertentu. Saat Reformasi
bergulir, dan Habibie ‘kalah’ suara sehingga urung maju dalam pemilihan presiden dan akhirnya
Gus Dur naik menjadi presiden, situasi itu berbalik seratus delapan puluh derajat.

Republika lewat serangkaian berita dan tulisannya nampak sekali kurang mendukung
kepemimpinan kiai pentolan NU ini. Bila dirunut kebelakang melihat ada apa dibalik berita
terbukalah fakta bahwa memang sejak ada awal friksi diantara Gus Dur dengan ICMI yang
membidani kelahiran Republika. Sejak awal Gus Dur merupakan tokoh Islam yang tidak setuju
dibentuknya ICMI yang merupakan upaya pemerintah Soeharto menerangkan Islam dalam
pemerintahan.

2
Baca buku Peter L, Barger dan Thomas Luckmann (1966) “The Social ConstructionOf Reality: A Treatise in the
sociological of knowladge yang juga diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul: Tafsir Sosial Atas
Kenyataan:Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (1990).
Tanda-tanda (Sign) adalah basis atau dasar dari seluruh komunikasi kata pakar
komunikasi Littlejohn yang terkenal dengan bukunya : “Theories Human Behaviour” (1996).
Menurut Littlejohn, manusia dengan banyak hal yang bisa dikomunikasikan di dunia ini.

Sedangkan menurut teori semiotika yaitu Umberto Eco, kajian semiotika sampai
sekarang membedakan dua jenis semiotika yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi.

Semiotika Komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu
di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima
kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi dan acuan yang dibicarakan.3

Sementara, semiotika signifikasi tidak ‘mempersoalkan’ adanya tujuan berkomunikasi.


Pada jenisnya yang kedua, yang lebih diutamakan adalah segi pemahaman sesuatu tanda sehingga
proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan ketimbang prosesnya.

1.2 Semiotika, Tanda dan Makna dalam Komunikasi

Pusat dari konsentrasi ini adalah tanda. Kajian mengenai tanda dan cara tanda-tanda
tersebut bekerja disebut semiotik atau semiologi, dan kajian ini akan menyediakan fokus alternatif
didalam buku ini. Semiotika, sebagaimana kita menyebutnya, memiliki tiga wilayah kajian:

1. Tanda itu sendiri. Wilayah ini meliputi kajian mengenai berbagai jenis tanda yang berbeda,
cara-cara berbeda dari tanda-tanda didalam menghasilkan makna, dan cara tanda-tanda tersebut
berhubungan dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya
bisa dipahami didalam kerangka penggunaan atau konteks orang-orang yang menempatkan tanda-
tanda tersebut.

2. Kode-kode atau sistem di mana tanda-tanda diorganisasi. Kajian ini melingkupi bagaimana
beragam kode telah dikembangkan untuk memnuhi kebutuhan masyarakat atau budaya, atau
untuk mengeksploitasi saluran-saluran komunikasi yang tersedia bagi pengiriman kode-kode
tersebut.

3. Budaya tempat dimana kode-kode dan tanda-tanda beroperasi. Hal ini pada gilirannya
bergantung pada penggunaan dari kode-kode dan tanda-tanda untuk eksistensi dan bentuknya
sendiri.

3
Lebih jauh lagi Alex Sobur (2003) menyebut bahwa semiotika adalah ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda.
Jadi, fokus utama semiotik adalah teks. Model proses linier memberi perhatian kepada
teks tidak lebih seperti tahapan-tahapan yang lain didalam proses komunikasi: memang beberapa
diantara model-model tersebut melewatinya begitu saja, hampir tanpa komentar apapun. Hal
tersebut adalah salah satu perbedaan mendasar dari pendekatan proses dan pendekatan semiotik.
Di dalam semiotik, penerima, atau pembaca, dipandang memiliki peranan yang lebih aktif
dibandingkan sebagian besar model proses (model garbner adalah sebuah pengecualian). Semiotik
lebih memilih istilah ‘pembaca (reader)’ (juga berlaku pada foto dan lukisan) dibandingkan
‘penerima (receiver)’ karena istilah tersebut menunjukan derajat aktifitas yang lebih besar dan
juga membaca adalah sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya; jadi hal tersebut ditentukan
oleh pengalaman budaya dari pembaca. Pembaca membantu untuk menciptakan makna dari teks
dengan membawa pengalaman, sikap, dan emosi yang dimiliki ke dalam makna.

Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial, memahami dunia sebagai
suatu sistem hubungan yang memiliki unit dasar dengan ‘tanda’. Maka dari itu, semiotika
mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Ahli semiotika, Umberto Eco menyebut
tanda sebagai suatu ‘kebohongan’ dan dalam Tanda ada sesuatu yang tersembunyi dibaliknya dan
bukan merupakan Tanda itu sendiri.

Sebuah gambar atau poster, sebagaimana ditunjukan oleh poster dari British Army
(1990an) diatas memiliki sarat makna. Mengapa tokoh yang dipilih justru berasal dari kalangan
kulit hitam bukan warga kulit putih. Gambar ini menimbulkan banyak tafsiran yang sarat makna.

Saat memahami teks media, seringkali kita dihadapkan pada tanda-tanda semacam ini,
yang perlu diinterpresentasikan dan dikaji ada apa dibalik tanda-tanda itu. Tanda itu merupakan
cerminan dari realitas, yang dikonstruksikan lewat kata-kata. Menurut Saussure, persepsi dan
pandangan kita tentang realitas, dikontruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain digunakan
dalam konteks sosial.

Bila dikaitkan dengan prilaku media massa, konsep kebenaran yang dianut oleh media
massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai suatu
kebenaran. Tanpa memahami konteksnya, bisa saja ‘kebenaran’ semu yang ditampilkan media
massa seolah sebagai kebenaran sejati, padahal bisa saja kebenaran itu subjek atau paling tidak
dianggap benar oleh wartawan hingga diangkat lewat berita dihalaman medianya.

Lewat konteks pemberitaan inilah, pembaca bisa menyadari bahwa wartawan terkadang
menhidangkan ‘madu’ dalam menu beritanya kadang juga menanamkan ‘racun’ tanpa disadari
oleh pembacanya lewat cara ini, pembaca akhirnya mengerti bahwa berita yang buruk bisa
dibungkus dengan bahasa yang manis sehingga tempak samar-samar dan menyenangkan begitu
sebaliknya fakta yang sebetulnya biasa-biasa saja bisa ditulis sebegitu mencekam, begitu
menakutkan lewat penggunaan kata-kata yang meresahkan.

Pekerjaan media dan wartawan pada hakikatnya adalah pekerjaan mengonstruksikan


realitas. Isi media adalah hasil para pekerja media politik. Dan dalam proses rekonstruksi itu,
bahasa adalah perangkat dasarnya. Bahasa bukan saja sebagai alat mempresentasikan realitas
namun juga bahasa bisa menentukan ‘relief’ seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang
realitas tersebut.

Pekerjaan utama wartawan adalah mengisahkan hasil reportasenya kepada khalayak.


Dengan demikian, mereka selalu terlibat dengan usaha-usaha mengkonstruksikan realitas yakni
menyusun fakta yang dikumpulkan ke dalam sebuah bentuk laporan jurnalistik berupa berita
feature atau gabungan keduanya. Dan disinilah seringkali peran wartawan memanfaatkan bahasa
sebagai alat untuk melakukan ‘eufemisme’ atau juga ‘defemisme’. Kata-kata ‘penyesuaian harga’
sebagai ganti kenaikan harga, rawan pangan sebagai ganti ‘kelaparan’, ‘dirumahkan’ sebagai ganti
‘dipecat’, ‘wanita tuna susial’ sebagai ganti ‘pelacur’, kata kesalahan prosedur’ sebagai ganti
‘kesalahan bertindak hingga menimbulkan korban jiwa’. Itu disebut sebagai kekerasan simbolik,
manakala konstruksi media massa berbeda dengan realitas yang ada ditengah masyarakat.
Kekerasan simbolik tak hanya beroperasi lewat bahasa, namun juga terjadi pada bahasa itu sendiri
yakni pada apa yang diucapkan, disampaikan atau diekspresikan.

Semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis media dengan asumsi


bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. Teks media yang tersusun
atas seperangkat tanda itu tidak pernah membawa makna tunggal. Kenyataannya teks media
memiliki ideologi atau kepentingan tertentu, memiliki ideologi dominan yang terbentuk melalui
tanda tersebut .

Hal ini menunjukan bahwa teks media membawa kepentingan-kepentingan tertentu dan
juga kesalahan-kesalahan tertentu yang lebih luas dan kompleks. Semua media pada dasarnya
membawa bias-bias tertentu dan setiap wartawan yang memasuki sebuah lingkungan, media akan
menyerap bias-bias media itu sebagai bagian dari kerjanya bahkan mengambilnya sebagai bagian
dari ‘corporate culture’nya dia.
A. Tanda dan Makna

Semua model-model mengenai makna secara luas memiliki bentuk yang hampir sama.
Masing-masing terfokus pada tiga elemen yang dengan cara tertentu ataupun cara yang lain, pasti
terlibat didalam seumua kajian mengenai makna. Elemen-elemen tersebut adalah: 1. Tanda, 2.
Acuan dari tanda, dan 3. Pengguna tanda.

Sebuah tanda adalah sesuatu yang bersifat fisik, dapat diterima oleh indera kita;
mengacu pada sesuatu diluar dirinya; dan bergantung pada pengenalan dari para pengguna bahwa
itu adalah tanda. Kita ambil contoh yang suddah dipakai sebelumnya; menarik telinga saya sebagai
sebuah tanda didalam lelang. Pada kasus ini tanda mengacu pada tawaran saya, dan hal tersebut
diketahui oleh pelelang; telah terjadi komunikasi.

Ada dua model makna yang paling berpengaruh. Pertama adalah model dari filsuf dan
ahli logika C. S. Peirce (kita juga akan melihat varian dari Ogden dan Richards). Dan Kedua
adalah model dari ahli bahasa Ferdinand de Sausure.

Peirce (dan Ogden dan Richards) memandang tanda, acuan tanda, dan penggunaan
tanda sebagai tiga titik dari sebuah segitiga. Masih-masih terhubung secara dekat dengan dua yang
lain, dan hanya dapat dipahami di dalam kaitan dengan yang lainnya. Saussure mengambil jalur
yang sedikit berbeda. Sausure mnyatakan bahwa tanda terdiri dari bentuk fisik ditambah sebuah
konsep mental terkait, dan konsep tersebut merupakan tangkapan dari realitas eksternal. Tanda
berhubungan dengan realitas hanya melalui konsep-konsep dari orang-orang yang
menggunakannya.

B. Tanda dan Sistem

Pertanyaan sederhana yang menipu mengenai ‘Apa itu seekor kerbau/ox?’ atau untuk
membuatnya menjadi bersifat linguistik atau semiotik, ‘Apa yang kita maksudkan dengan tanda
ox/kerbau?’. Bagi Saussure pertanyaan teersebut hanya bisa dijawab dengan penjelasan melalui
hal-hal yang menurut kita bukan merupakan tanda tersebut.

Hal ini merupakan pendekatan baru terhadap pertanyaan mengenai bagaimana tanda
menghasilkan makna. Persamaan antara Saussure dan Pierce adalah mereka berdua mencari
makna didalam hubungan struktural, namun Saussuremempertimbangkan sebuah hubungan baru
antara suatu tanda dengan tanda lain yang berada didalam sistem yang sama, yaitu hubungan
antara sebuah tanda dengan tanda-tanda yang lainyang busa saja terlihat sama namun sebenarnya
berbeda. Jadi makna dari tanda man (laki-laki) ditentukan oleh bagaimana tanda tersebut
dibedakan dengan tanda-tanda lain, jadi man (laki-laki) dapat berarti non animal (bukan binatang),
atau non human (bukan laki-laki), atau not boy (bukan anak laki-laki) atau not master (bukan
tuan).

Ketika Chanel memilih seorang bintang Prancis Chaterine Deneuve untuk memberikan
citra kepada parfum perempuan Prancis tradisional yang elegan, Chaterine Deneuve menjadi
sebuah tanda didalam sebuah sistem. Dan makna dari Chaterine Deneuve sebagai sebuah tanda di
dalam sebuah sistem. Dan makna dari Chaterine Deneuve sebagai sebuah tanda ditentukan oleh
bintang-bintang cantik lainnya yang bukan Chaterine Deneuve. Dia bukan Susan Hampsire
(terlalu inggris); bukan juga Twiggy (terlalu muda, trendi, mudah digantikan); dia bukan Brigitte
Bardot (terlalu seksi yang tidak elegan); dan seterusnya.

Menurut model pemaknaan ini, Signified adalah konsep-konsep mental yang kita
gunakan untuk membagi realitas dan mengkategorikannya agar kita dapat memahaminya. Batasan
antara satu kategori dan kategori yang lain bersifat buatan, tidak alamiah, karena alam merupakan
satu kesatuan yang menyeluruh. Tidak terdapat garis antara laki-laki dan anak laki-laki sampai
ketika kita membuat batasan tersebut, dan para ahli ilmu pengetahuan secara konstan mencoba
mendefinisikan secara lebih akurat batasan antara manusia dan binatang-binatang yang lain. Jadi
konsep mental (signified) dibuat oleh manusia, ditentukan oleh budaya dan kelompok budaya
dimana mereka berada. Konsep mental adalah bagian dari sistem linguistik atau semiotik yang
digunakan oleh anggota budaya untuk saling berkomunikasi.

Jadi area dari realitas atau pengalaman dimana semua signified mengacu, ditentukan
bukan oleh sifat dasar/alami dari realitas/pengalaman, namun oleh batasan-batasan dari konsep-
konsep mental (signifieds) yang terkait didalam sistem. Oleh sebab itu, makna lebih baik
didefinisikan melalui hubugan tanda tersebut melalui realitas eksternal. Hubungan antara tanda
dengan hal-hal lain dalam sistem disebut oleh Saussure sebagai nilai. Nilai bagi Saussure adalah
hal utama yang menentukan makna.

C. Semiotik dan Makna

Semiotik melihat komunikasi sebagai penciptaan/pemunculan makna didalam pesan


baik oleh pengirim maupun penerima. Makna tidak bersifat absolut, bukan suatu konsep statis
yang bisa ditemukan terbungkus rapi didalam pesan. Makna adalah sebuah proses yang aktif ;
para ahli semiotik menggunakan kata kerja seperti; menciptakan, memunculkan atau negosiasi
mengacu pada proses ini. Negosiasi merupakan istilah yang paling berguna yang mengindikasikan
hal-hal seperti kepada-dan-dari, memberi-dan-menerima antara manusia/orang dan pesan. Makna
adalah hasil interaksi dinamis antara tanda, konsep mental (hasil interprestasi), dan objek; muncul
dalam konteks historis yang spesifik dan mungkin berubah seiring dengan waktu. Bahkan
mungkin akan berguna mengganti istilah ‘makna’ dan menggunakan istilah yang jauh lebih aktif
dari Peirce, yaitu’semiosis’ tindakan memaknai.

1.3. TOKOH-TOKOH SEMIOTIKA

1. Charles Sander Peirce

Peirce dikenal sebagai pemikir argumentatif dan filsuf Amerika yang orisinal
dan multidimensional.4 Pierce lahir dalam sebuah keluarga intelektual pada tahun 1939. Ayahnya,
Benyamin adalah seorang professor matematika pada Universitas Harvard. Pada tahun 1859 dia
menerima gelar BA, kemudian pada tahun 1862 dan 1863 secara berturut-turut dia menerima gelar
M.A dan B.Sc dari Universitas Harvard.

Teori dari Peirce seringkali disebut sebagai “grand theory” dalam semiotika.5
Hal ini disebabkan karena gagasan Peirce bersifat menyeluruh, deksripsi struktural dari semua
sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan
kembali semua komponen dalam struktur tunggal.
Sebuah tanda atau representamen menurut Charles S. Peirce6 adalah sesuatu
yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang
lain itu oleh Pierce disebut interpretan. Dinamakan sebagai interpretan dari tanda yang pertama,
pada gilirannya akan mengacu pada objek tertentu. Dengan demikian menurut Peirce, sebuah
tanda atau representamen memiliki relasi triadik langsung dengan interpretan dan objeknya.

4
Lebih lengkap baca Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (2003) hal 39. Alex dalam buku tersebut mengutip
pendapat Aart van Zoest.
5
Alex Sobur, 2001. Op.Cit. hal.97
6
Kriss Budiman, 2004. Op. Cit hal. 25
Proses ‘semios’ merupakan suatu proses yang memadukan entitas (berupa representamen) dengan
entitas lain yang disebut dengan objek. Proses ini oleh Pierce dinamakan sebagai signifikasi.

Upaya klasifikasi yang dilakukan oleh Peirce terhadap tanda memiliki kekhasan
meski tidak bisa dibilang sederhana. Peirce membedakan tipe-tipe tanda menjadi :

a. Ikon
Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda itu mudah
dikenali oleh para pemakainya.
b. Indeks
Indeks adalah tanda yang meiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di
antara representamen dan obyeknya.
c. Simbol
Simbol adalah jenis tanda yang bersifat arbiter dan konvensional sesuai
kesepakatan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat.

2. Ferdinand De Saussure

Ferdinand De Saussure merupakan peletak dasar semiotika yang lebih terfokus


pada semiotika lingusitik. “Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri lingusitik
modern dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss : Ferdinand De Saussure,” demikian pujian dari
John Lyons.7
Saussure memang terkenal dan banyak dibicarakan orang karena teorinya
tentang tanda. Meski tak pernah mencetak buah pikirannya dalam sebuah buku, para muridnya
mengumpulkan catatan-catatannya menjadi sebuah outline.

Saussure dilahirkan di Jenewa pada tahun 1857, dan dia hidup sezaman dengan
Sigmund Freud dan Emile Durkheim. Selain sebagai seorang ahli linguistik, dia juga seorang
spesialis Bahasa-bahas Indo Eropa dan Sansekerta yang menjadi smber pembaruan intelektual
dalam bidang ilmu sosial dan kemanusiaan.
Pandangannya tentang tanda sangatlah berbeda dengan pandangan para ahli
linguisitik di zamannya. Saussure justru menyerang pemahaman histiris terhadap terhadap
bahasa yang dikembangkan pada abad ke-19. Saat itu, studi bahasa hanya berfokus kepada
perilaku lingusitik yang nyata (Parole). Studi tersebut menelusuri perkembangan kata-kata dan
ekspresi sepanjang sejarah, mencari faktor-faktor yang berpengaruh seperti geografi,
perpindahan penduduk dan faktor lain yang mempengaruhi perilaku linguistik manusia.

Saussure justru mengenakan pendekatan anti historis yang melihat bahasa


sebagai sebuah sistem yang utuh dan harmonis secara internal atau dalam istilah Saussure
disebut sebagai langue. Dia mengusulkan teori bahasa yang disebut sebagai strukturalisme untuk
menggantikan pendekatan historis dari para pendahulunya. Bahasa di mata Saussure tak
ubahnya sebuah karya musik (simfoni) dan bila kita ingin memahaminya kita harus

7
Alex Sobur, Ibid hal. 43
memperhatikan keutuhan karya musik secara keseluruhan dan bukan kepada permainan
individual dari setiap pemain musik.

Sedikitnya ada lima pandangan Saussureyang terkenal yaitu :

a. Signifier (penanda) dan signified (petanda)


b. Form (bentuk) dan content (isi)
c. Langue (bahasa) dan parole (tuturan / ujaran)
d. Synchronic (sinkronik) dan Diachronic
e. Syntagmatic dan associative atau paradigmatik.8
3. Rolland Barthes

Kancah penelitian Semiotika tak bisa begitu saja melepaskan nama Roland
Barthes (1915-1980) ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna
kental strukturalisme kepada semiotika teks.9

Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari
analisisnya. Barthes menggunakan versi yang jauh lebih sederhana saat membahas model
‘glossematic sign’ (Tanda-tanda glossematic). Mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi,
Barthes mendefinisikan sebuah tanda sign sebagai sebuah sisitem yang terdiri dari (E) sebuah
ekspresi atau signifier dalam hubungannya (R) dengan content atau signified (C) : ERC.

Sebuah sistem tanda primer (primary sign system) dapat kembali menjadi
sebuah elemen dari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memiliki makna yang berbeda
ketimbang semula.

Barthes menulis :

“Such sign can become an element of a more compherensive sign system. If the
extension is one of content, the primary sign (E1R1C1) becomes the expression of a secondary sign
system.”

E2 = (E1R1C1)R2C210

Dengan begitu, primary sign adalah denotative sedangkan secondary sign


adalah salah satu dari connotative semiotics. Konsep connotative inilah yang menjadi kunci
penting dari model semiotika Roland Barthes.

4. Umberto Eco

Umberto Eco lahir pada 5 Januari 1932di Alessandria, wilayah Pedmont Italia.
Awalnya, ia belajar hukum, kemudian mempelajari filsafat dan sastra sebelum akhirnya menjadi
ahli semiotika. Sebelum menjadi intelektual di bidang semiotika, Eco mempelajari teori-teori
estetika abad pertengahan. Di Universitas Turin, Eco menulis tesisnya tentang Estetika Thomas

8
Alex Sobur, 1999 Ibid. hal. 46-54
9
Baca Winfriend Noth, Hand Book of Semiotics, Indiana University Press, 1990, hal. 310-313
10
Winfried Noth, Op. cit hal. 311
Aquinas dan meraih gelar doktor dalam bidang filsafat pada 1954 saat dia berusia 22 tahun. Dia
kemudian memasuki dunia jurnalisme sebagai editor untuk program budaya di jaringan televisi
RAI.

Dia – sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang dalam buku “Hipersemiotika


Tafsir Cultural Studies Atas matinya Makna, mnegaskan bahwa semiotika adalah teori dusta. Eco
mengatakan bahwa : ... pada prinsipnya (semiotika) adalah sebuah disiplin yang mempelajari
segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta. Definisi ini meskipun agak aneh secara
eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga dusta
tampaknya menjadi prinsip utama semiotika.

Menurut Eco, semiotika terkenal Italia itu, tanda dapat digunakan untuk
menyatakan kebenaran sekaligus juga untuk menyatakan suatu kebohongan. Semiotika menaruh
perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang
dapat diambil sebagai penanda yang yang mempunyai arti penting untuk mengganikan sesuatu
yang lain. Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu
tempat pada suatu waktu tertentu. Dengan demikian, semiotika pada prinsipnya adalah suatu
disiplin yang mempelajari apa pun yang dapat digunakan untuk menyatakan suatu kebohongan.
Jika sesuatu itu tersebut tidak dapat digunakan untuk mengatakan kebohongan, sebaliknya tidak
bisa digunakan untuk mengatakan kebenaran.11

1.4. KATEGORI-KATEGORI TANDA

A. Konsep-Konsep Dasar
Pierce dan Saussure mencoba menjelaskan cara-cara yang berbeda dari tanda
untuk memunculkan makna. Pierce membuat tiga kategori tanda, masing-masing menunjukkan
sebuah hubungan yang berbeda antara tanda dan objek, atau tanda dengan konsep mental yang
diacunya.

Pada sebuah ikon, tanda mirip dengan objek pada aspek-aspek tertentu: terlihat
atau terdengar sama seperti objek. Sedangkan pada sebuah indeks , terdapat hubungan langsung
antara sebuah tanda dengan objeknya; keduanya benar-benar terhubung. Pada sisi yang lain
sebuah simbol, tidak memiliki kemiripan maupun hubungan antara tanda dan objek: sebuah
simbol berkomunikasi hanya karena orang-orang setuju bahwa simbol tersebut mewakili sesuatu.
Sebuah foto adalah ikon, asap adalah indeks dari api, dan sebuah kata adalah simbol.

Saussure tidak berhubungan dengan indeks. Sebagai seorang ahli bahasa


Saussure memang hanya fous pada simbol, karena kata-kata merupaakan simbol. Namun para
pengikut Saussure telah menyadari bahwa bentuk fisik dari tanda (yang oleh Saussure disebut
sebagai signifier) dan konsep metal yang terkait dengan tanda (signified) dapat dikaitkan secara
ikronik maupun arbitrer. Pada sebuah hubungan ikonik, signifier terdengar seperti signified;
sedangkan di dalam sebuah hubungan arbitrer, keduanya terhubung hanya karena persetujuan di

11
Bisa dibaca dalam buku “Media Analysis Techniques” 2nd Edition karya Arthur Asa Berger, alih bahasa Setio
Budi H, Yogyakarta, 2000 hal.12
antara para penggunanya. Istilah hubungan ikonik dan arbitrer antara signifier dan signified yang
dikemukakan oleh Saussure secara tepat berkaitan dengan istilah ikon dan simbol dari Pierce.

B. Pierce dan Tanda

Pierce membagi tanda menjadi tipe-tipe ikon , indeks dan simbol. Hal tersebut
bila dimodelkan menjadi seperti sebuah segitiga. Pierce marasa bahwa model ini yang paling
berguna dan mendasar mengenai sifat dasar dari tanda.

Pierce menulis :

‘Setiap tanda ditentukan oleh objeknya, pertama, dengan menjadi bagian dari
karakter dari objek, saya menyebutnya sebagai ikon; kedua, di dalam eksistensi individualnya
benar-benar terkait dengan individual dari objek, saya menyebutnya sebagai indeks; ketiga,
dengan lebih tau kurang mendekati pasti, yaitu tanda akan diinterpretasikan sebagai objek yang
mengirimkan makna sebagai konsekuensi dari kebiasaan...saya menyebutnya sebagai sebuah
simbol.’ (di dalam zeman, 1977).

Sebuah ikon memiliki kesamaan dengan objek. Hal ini seringkali terlihat pada
tanda-tanda visual: foto dari tante saya adalah ikon: peta adalah ikon; tanda di toilet yang
melambangkan laki-laki dan perempuan adalah ikon. Namun ikon bisa juga verbal: onomatopeiae
adalah sebuah upaya untuk membuat bahasa menjadi ikonik. Kalimat dari Tennyson ‘The hum of
bees in immemorial elms’ membuat kata-kata yang bunyinya menyamai suara tawon (bees), itu
bersifat ikonik. Simponi ‘Pastoral dari Beethoven mengandung ikon musikal dari suara-suara
alam. Kita mungkin berpikir beberapa parfum adalah ikon buatan dari bau binatang
mengindikasikan gairah seksual. Model tanda dari Pierce tanda-objek-interpretant adalah sebuah
ikon karena berupaya untuk merekonstruksi dalam bentuk nyata sebuah struktur abstrak dari
hubungan antara elemen-elemen yang ada di dalamnya.

C. Saussure dan Tanda

Analisis Saussure mengenai tanda menurunkan ‘signifikansi’, hubungan antara


signified/konsep mental dengan realitas atau kalau menggunakan Peirce hubungan antartanda
dengan objek, pada posisi ke dua. Saussure lebih fokus pada hubungan antara penanda /signifier
dengan petanda signified dan antara suatu tanda dengan tanda yang lain. Istilah Saussure
‘signifies’ memiliki persamaan dengan istilah ‘interpretant’ dari Peirce, nmaun Saussure tidak
pernah menggunakan istilah ‘efek’ untuk megaitkan antara signifier / tataran fisik tanda dengan
signified / tataran mental tanda : Saussure tidak memperluar perhatiannya pada ranah pengguna.
Ketertarikan Saussure pada hubungan antara signifier dan signified telah
berkembang menjadi perhatian utama dari tradisi Eropa mengenai Semiotik. Saussure sendiri
memusatkan perhatiannya pada mengartikulasikan teori linguistik dan memberikan pernyataan
sekilas mengenai area yang mungkin untuk dipelajari yang dia sebut dengan semiologi :

Kita dapat membayangkan sebuah ilmu yng akan mempelajari kehidupan dari
tanda-tanda di dalam masyarakat... Kita menyebutnya semiologi, berasal dari kata Yunani
semeion (‘tanda’). Semiologi akan mengajari kita apa saja yang terdapat di dalam tanda, termasuk
hukum seperti apa saja yang mengatur tanda. Karena pada waktu itu hal tersebut belum ada, maka
kita tidak bisa berkata bahwa itu akan muncul: namun semiologi memiliki hak untuk ada;
tempatnya sudah tersedia sebelumnya. Linguistik hanyalah merupakan bagian dari ilmu umum
ini; dan hukum-hukum yang ditemukan oleh semiologi akan diterapan pada linguistik, yang akan
membuatnya terikat pada wilayah fenomena manusia yang sudah didefinisikan dengan baik.
Perkembangan lebih lengkap dari ilmu mengenai tanda ini bergantung pada
kerja dari pra pengikut Saussure. (Secara tidak sengaja mereka yang mengembangkannya
kebanyakan bekerja di Prancis dan menggunakan istilah semiologi).

1.5 Konvensi Semiotika

Konvensi, atau didalam istilah Peirce disebut sebagai kebiasaan memainkan variasi
peranan yang penting didalam komunikasi dan signifikasi. Pada tingkatan yang paling formal
konvensi dapa menjelaskan aturan yang mendasari bekerjanya tanda arbitrer. Terdapat sebuah
konvensi formal yang membuat CAT (Kucing) mengacu pada binatang anggun berkaki empat
bukan sebuah bagian dari pakaian. Konvensi formal pula yang menetapkan makna bahwa tiga
tanda didalam bentuk urutan tata bahasa berikut ini: CATS HUNT RATS (KUCING BERBURU
TIKUS): kita setuju bahwa kata pertama mengejar yang ketiga. Konvensi juga menentukan bahwa
S diakhir kata berarti pluralitas objek.

Terdapat pula konvensi yang bersifat sedikit lebih tidak exsplisit dan terekspresikan.
Kita telah mempelajari berdasarkan pengalaman kita bahwa gerakan lambat di televisi berarti dua
hal: bisa merupakan analisis keahlian atau kesalahan (khususnya pada program olahraga), bisa
juga penghargaan terhadap keindahan. Terkadang, seperti halnya di cabang senam putri, gerakan
lambat berarti keduanya. Pengalaman kita terhadap tanda-tanda yang kita kenal merupakan
pengalaman kita terkait konvensi yang membuat kita bisa melakukan renspon secara tepat kita
paham bahwa gerakan lambat tidak berarti bahwa para atlet lari mulai melakukan putaran dengan
lambat; dan pengalaman kita terhadap isi memberitahu kita bahwa gerakan lambat bisa berarti
bahwa kita diarahkan untuk mengapresiasi keindahan atau mengevaluasi keahlian gerakan.

Terkadang sulit untuk menetukan bagian-bagian tertentu yang diperankan konvensi dan
ikon di dalam sebuah tanda seberapa tinggi motivasi atau batasan dari tanda. Sebuah kaera televisi
melakukan zoom close up pada wajah seseorang secara konvensi berarti bahwa orang tersebut
mengekpresikan suatu emosi yang sangat kuat. Namun, zoom juga memiliki sebuah elemen
representasi atau reproduksi yang mengarahkan perhatian kita pada seseorang pada saat momen
tertentu.

Konvensi penting untuk bisa memahami tanda apapun, seberapa pun ikoniknya atau
indeksnya suatu tanda. Kita perlu mempelajari bagaimana memahami sebuah foto atau bahkan
sebuah patung lilin berukuran nyata. Konvensi adalah dimensi sosial dari tanda, terdapat
persetujuan diantara pengguna mengenai penggunaan dan renspon yang tepat terhadap sebuah
tanda. Tanda yang tidak memiliki dimensi konvensional bersifat secara murni, sehingga tanda
tersebut tidak dikomunikasikan. Jadi mungkin akan lebih membantu untuk mempertimbangkan
perbendaan antara tanda arbitrer dan ikon, atau antara simbol dan ikon/indeks, tidak sebagai
kategori-kategori yang terpisah namun sebagai suatu skala. Pada satu sisi dari skala kita, memiliki
tanda yang murni arbitrer (simbol). Sedangkan pada sisi yang lain kita memiiki tanda yang
merupakan ikon murni yang tentu saja dapat didalam praktiknya tidak mungkin eksis. Kita dapat
menggambarkan skala tersebut didalam gambar.

Pada akhir sebelah kiri dari skala adalah tanda yang 100% arbitrer, konvensional, tidak
memiliki motivasi, dn tidak dibatasi. Sedangkan ditengah merupakan tanda-tanda campuran yang
ditempatkan berdasarkan tingkatan motivasi. Sehingga tanda silang mengindikasikan rambu jalan
akan berada pada sisi yang lebih kiri dari skala dibandingkan sebuah peta yang menunjukan rambu
jalan tertentu. Tanda silang yang sebelumnya, kita mungkin bisa memperkirakan 60% arbitrer,
40% ikonik, sedangkan yang kedua mungkin 30/70%. Kita juga harus memotong satu setengah
inci bagian kanan terakhir kecuali perkembangan hologram membuat kita mungkin sebuah tanda
menjadi murni ikonik.

1.6 Pengorganisasian Tanda-Tanda Semiotika

Saussure mendefinisikan dua cara untk membuat tanda-tanda di organisasi menjadi


kode, cara yang pertama melalui paradigma adalah salah satu set (pilihna) tanda dimana satu
pilihan tanda yang digunakan dipilih dari rangkaian tanda tersebut. Satu set (serangkaian) bentuk
untuk rambu jalan segi empat, bulat, atau segitiga bentuk-bentuk dari sebuah paradigma; demikian
pula serangkaian simbol-simbol yang dapat dimasukan ke dalamnya. Cara kedua dari Saussure
adalah Sintagmatik. Sebuah sintagma adalah pesan yang merupakan kombinasi dari tanda-tanda
yang terpilih. Sebuah rambu lalu lintas adalah sebuah sintagma, kombinasi antara bentuk dan
simbol yang terpilih. Pada konteks bahasa, kita dapat mengatakan pilihan kata (vocabulary)
adalah paradigma, dan sebuah kalimat adalah sintagma. Jadi semua pesan melibatkan seleksi (dari
sebuah paradigma) dan kombinasi (menjadi sebuah sintagma).

A. Paradigma

Sebuah paradigma adalah satu rangkaian set dimana sebuah pilihan dibuat dan hanya
satu unit dari satu set rangkaian tanda tersebut yang mungkin dipilih. Contoh yang sederhana
adalah huruf-huruf dalam alfabet. Alfabet membentuk paradigma untuk bahasa tulis dan
menggambarkan dua karakteristik dasar dari paradigma.

1. Semua unit didalam paradigma harus memiliki kesamaan; mereka harus berbagi karakteristik
yang menentukan keanggotaan mereka pada sebuah paradigma. Kita harus tahu bahwa M adalah
sebuah huruf dan oleh sebab itu merupakan anggota dari paradigma alfabet. Kita secara seimbang
juga harus mengenali bahwa 5 dan juga + bukan merupakan alfabet.

2. Masing-masing unit didalam sebuah paradigma harus secara jelas berbeda dengan unit-unit
yang lain. Kita harus bisa membedakan satu tanda dengan tanda-tanda yang lain terkait dengan
signifier dan signified mereka miliki. Alat yang kita gunakan untuk membedakan suatu penanda
dengan yang lain disebut fitur pembeda/distingtif dari sebuah tanda konsep ini penting secara
analitis yang nanti kita akan bahas kembali. Pada contoh yang kita gunakan saat ini hanya perlu
menyatakan bahwa tulisan yang jelek adalah tulisan tangan yang mengaburkan fitur-fitur pembeda
dari huruf-huruf.

Setiap kali kita berkomunikasi kita harus memilih tanda dari sebuah paradigma. Kata-
kata adalah sebuah paradigma kumpulan kata (vocabulary) bahasa inggris adalah sebuah
paradigma. Kata juga dikategorikan kedalam sebuah paradigma yang lebih spesifik: paradigma
tata bahasa, seperti kata benda atau kata kerja; paradigma penggunaan bahasa bayi, bahasa hukum,
perbincangan romantis, umpatan maskulin; ataupun paradigmasuara tiga istilah dari Saussure
untuk menganalisis tanda yang membentuka paradigma dan sering kali digunakan adalah Sn, Sr,
Sd. S di sini secara konvensi mengindikasikan paradigma dan n-r-d, merupakan fitur pembeda
yang mengidentifikasikan unit-unit didalam paradigma.

Contoh yang lain dari paradigma adalah: cara mengganti sorotan kamera di televisi-
potong (cut), menghilang (fade), melembut (dissolve), hapus (wipe), dan sebagainya;
perlengkapan kepala-pelindung matahari, topi, baret, stetson dan sebagainya; gaya kursi yang kita
gunakan di ruang tamu; tipe mobil yang kita kendarai; warna cat yang kita pakai pada pintu depan.
Semua itu melibatkan pilihan-pilihan paradigmatik, dan makna dari unit yang kita pilih sangat
ditentukan oleh makna dari unit-unit yang tidak kita pilih. Kita dapat menyimpulkan dengan
mengatakan di mana ada pilihan disitu ada makna , dan makna dari yang dipilih ditentukan oleh
makna yang tidak terpilih.

B. Sintagma

Normalnya, setelah sebuah unit dipilih dari sebuah paradigma, unit tersebut akan
dikombinasikan dengan unit yang lain. Kombinasi tersebut dinamakan sintagma. Jadi, sebuah kata
(dalam bentuk tertulis) adalah sebuah sintagma visual yang terdiri dari serangkaian pilihan
paradigmatik dari huruf didalam alfabet. Sebuah kalimat adalah sebuah sintagma kata-kata. Baju
kita adalah sintagma pilihan-pilihan dari beberapa paradigma topi, dasi, kemeja, jaket, celana
panjang, kaos kaki, dan lain-lain. Cara kita menata ruangan adalah sebuah sintagma dari pilihan-
pilihan paradigma-paradigma kursi, meja, sofa, karpet, wallpapers, dan sebagainya. Seorang
arsitek mendesain sebuah rumah membuat sintagma dari gaya pintu, jendela dan sebagainya,
termasuk juga dari penempatannya. Sebuah menu adalah contoh yang bagus dari sebuah sistem
yang komplit. Pilihan-pilihan dari masing-masing makanan (paradigma) diberikan secara penuh:
setiap pelanggan mengombinasikannya menjadi sebuah hidangan: pesanan yang diberikan kepada
pelayan adalah sebuah sintagma.

Aspek penting dari sintagma adalah aturan dan konvensi yang digunakan untuk
mengombinasikan unit-unit. Pada bahasa kita menyebutkannya sebagai melodi (harmoni adalah
merupakan masalah pilihan paradigmatik); pada pakaian kita menyebutnya selera yang bagus,
atau naluri berbusana, meskipunjuga terdapat aturan formal. Contohnya, dasi kupu-kupu hitam
dengan jaket hitam dan kerah putih berarti tamu makan malam, namun dasi kupu-kupu yang sama
dengan jas berekor dan kerah putih bersayap dapat berarti ppakaian pelayan. Jadi didalam
sintagma pilihan tanda dapat dipengaruhi oleh hubungan tanda tersebut dengan tanda-tanda yang
lain; maka suatu tanda sebagian ditentukan oleh hubungan tanda tersebut dengan tanda-tanda yang
lain pada sebuah sintagma.

Bagi Saussure dan ahli linguistik struktural lain yang menjadi pengikutnya, kunci untuk
memahami tanda adalah hubungan struktural antarnada. Terdapat dua tipe hubungan struktural
paradigmatik yang terkait dengan pilihan; atau sintagmatik yang merupakan kombinasi (dari
tanda-tanda yang terpilih).

C. Lampu Lalu Lintas


Lampu lalu lintas adalah sistem komunikasi sederhana yang dapat kita gunakan untuk
mengilustrasikan berbagai konsep-konsep analitis. Gambar dibawah menunjukan bagaimana
model dari Edmund Leach (1974) mengenai hubungan-hubungan struktural dari lampu lalu lintas.
Jika kita menganalisis pemaknaan secara lengkap kita mulai dengan mengidentifikasikan
paradigma yaitu paradigma ddari lampu lalu lintas. Lampu merah disini berarti
STOP/BERHENTI, bukan BROTHEL/TEMPAT PROSTITUSI, atau RECORDING IN
PROGRESS/REKAMAN SEDANG BERLANGSUNG. Tanda tersebut bersifat arbitrer, atau
sebuah simbol, namun tidak secara keseluruhan. Secara luas merah adalah tanda bahaya yang kita
justifikasi dengan melihat beberapa elemen ikonik didalamnya. Hal tersebut bisa karena merah
merupakan warna dari darah, atau karena pada saat kita mengalami kemarahan atau ketakukan
yang ekstrem, pembesaran pembuluh darah di mata secara harfiah akan membuat kita ‘melihat
merah’. Jadi merah adalah warna krisis. Jadi jika merah, karena gabungan dari konvensi dan
motivasi berarti ‘stop’, warna-warna yang lain juga mengikuti logika ini. Hijau adalah kebalikan
dari merah didalam spektrum warna, seperti halnya GO/JALAN adalah lawan dari
STOP/BERHENTI. Warna adalah fitur yang berbeda dengan jelas, dan hijau secara jelas berbeda
dengan merah. Jika kita membutuhkan unit yang ketiga didalam sistem, kita harus memilih kuning
atau biru, karena warna-warna tersebut berada ditengah spektrum antara merah dan hijau. Biru
sudah menjadi warna bagi pelayanan gawat darurat, jadi secara natural pilihannya adalah kuning
atau amber/ jingga untuk memberi bentuk yang lebih jelas. Kemudian kita memperkenalkan
sebuah sintaks yang sederhana: jingga yang dikombinasikan dengan merah adalah sebuah makna
sintagma yang menunjukan bahwa perubahan sedang menuju ke arah GO/ JALAN; jingga itu
sendiri berarti perubahan sedang menuju STOP/BERHENTI. Aturan yang lain adalah merah tidak
akan pernah dikombinasikan dengan hijau, merah dan hijau tidak pernah saling mengikuti secara
langsung.

Jadi terdapat banyak redundansi/pengulangan untuk membangun sebuah sistem. Warna


merah adalah hal yang paling dibutuhkan: ‘on/menyala’ untuk STOP. ‘off/mati’ untuk GO.
Namun, bahkan lampu lalu lintas yang bersifat sementara harus melibatkan hijau. Hal tersebut
mencegah kemungkinan. Kesalahan untuk memaknai ‘off’ sebagai lampu sedang mengalami
kerusakan.

Sistem yang lengkap tentu saja memiliki redundansi/pengulangan yang tinggi karena
sangat penting untuk meminimalkan kesalahan penerimaan dan kemungkinanterdapatnya banyak
‘gangguan’ (matahari yang menyilaukan mata, permasalahan lalu linta lain yang harus
diperharikan).

KATEGORI-KATEGORI TANDA

D. Konsep-Konsep Dasar
Pierce dan Saussure mencoba menjelaskan cara-cara yang berbeda dari tanda
untuk memunculkan makna. Pierce membuat tiga kategori tanda, masing-masing menunjukkan
sebuah hubungan yang berbeda antara tanda dan objek, atau tanda dengan konsep mental yang
diacunya.

Pada sebuah ikon, tanda mirip dengan objek pada aspek-aspek tertentu: terlihat
atau terdengar sama seperti objek. Sedangkan pada sebuah indeks , terdapat hubungan langsung
antara sebuah tanda dengan objeknya; keduanya benar-benar terhubung. Pada sisi yang lain
sebuah simbol, tidak memiliki kemiripan maupun hubungan antara tanda dan objek: sebuah
simbol berkomunikasi hanya karena orang-orang setuju bahwa simbol tersebut mewakili sesuatu.
Sebuah foto adalah ikon, asap adalah indeks dari api, dan sebuah kata adalah simbol.

Saussure tidak berhubungan dengan indeks. Sebagai seorang ahli bahasa


Saussure memang hanya fous pada simbol, karena kata-kata merupaakan simbol. Namun para
pengikut Saussure telah menyadari bahwa bentuk fisik dari tanda (yang oleh Saussure disebut
sebagai signifier) dan konsep metal yang terkait dengan tanda (signified) dapat dikaitkan secara
ikronik maupun arbitrer. Pada sebuah hubungan ikonik, signifier terdengar seperti signified;
sedangkan di dalam sebuah hubungan arbitrer, keduanya terhubung hanya karena persetujuan di
antara para penggunanya. Istilah hubungan ikonik dan arbitrer antara signifier dan signified yang
dikemukakan oleh Saussure secara tepat berkaitan dengan istilah ikon dan simbol dari Pierce.

E. Pierce dan Tanda

Pierce membagi tanda menjadi tipe-tipe ikon , indeks dan simbol. Hal tersebut
bila dimodelkan menjadi seperti sebuah segitiga. Pierce marasa bahwa model ini yang paling
berguna dan mendasar mengenai sifat dasar dari tanda.

Pierce menulis :

‘Setiap tanda ditentukan oleh objeknya, pertama, dengan menjadi bagian dari
karakter dari objek, saya menyebutnya sebagai ikon; kedua, di dalam eksistensi individualnya
benar-benar terkait dengan individual dari objek, saya menyebutnya sebagai indeks; ketiga,
dengan lebih tau kurang mendekati pasti, yaitu tanda akan diinterpretasikan sebagai objek yang
mengirimkan makna sebagai konsekuensi dari kebiasaan...saya menyebutnya sebagai sebuah
simbol.’ (di dalam zeman, 1977).

Sebuah ikon memiliki kesamaan dengan objek. Hal ini seringkali terlihat pada
tanda-tanda visual: foto dari tante saya adalah ikon: peta adalah ikon; tanda di toilet yang
melambangkan laki-laki dan perempuan adalah ikon. Namun ikon bisa juga verbal: onomatopeiae
adalah sebuah upaya untuk membuat bahasa menjadi ikonik. Kalimat dari Tennyson ‘The hum of
bees in immemorial elms’ membuat kata-kata yang bunyinya menyamai suara tawon (bees), itu
bersifat ikonik. Simponi ‘Pastoral dari Beethoven mengandung ikon musikal dari suara-suara
alam. Kita mungkin berpikir beberapa parfum adalah ikon buatan dari bau binatang
mengindikasikan gairah seksual. Model tanda dari Pierce tanda-objek-interpretant adalah sebuah
ikon karena berupaya untuk merekonstruksi dalam bentuk nyata sebuah struktur abstrak dari
hubungan antara elemen-elemen yang ada di dalamnya.

F. Saussure dan Tanda

Analisis Saussure mengenai tanda menurunkan ‘signifikansi’, hubungan antara


signified/konsep mental dengan realitas atau kalau menggunakan Peirce hubungan antartanda
dengan objek, pada posisi ke dua. Saussure lebih fokus pada hubungan antara penanda /signifier
dengan petanda signified dan antara suatu tanda dengan tanda yang lain. Istilah Saussure
‘signifies’ memiliki persamaan dengan istilah ‘interpretant’ dari Peirce, nmaun Saussure tidak
pernah menggunakan istilah ‘efek’ untuk megaitkan antara signifier / tataran fisik tanda dengan
signified / tataran mental tanda : Saussure tidak memperluar perhatiannya pada ranah pengguna.
Ketertarikan Saussure pada hubungan antara signifier dan signified telah
berkembang menjadi perhatian utama dari tradisi Eropa mengenai Semiotik. Saussure sendiri
memusatkan perhatiannya pada mengartikulasikan teori linguistik dan memberikan pernyataan
sekilas mengenai area yang mungkin untuk dipelajari yang dia sebut dengan semiologi :

Kita dapat membayangkan sebuah ilmu yng akan mempelajari kehidupan dari
tanda-tanda di dalam masyarakat... Kita menyebutnya semiologi, berasal dari kata Yunani
semeion (‘tanda’). Semiologi akan mengajari kita apa saja yang terdapat di dalam tanda, termasuk
hukum seperti apa saja yang mengatur tanda. Karena pada waktu itu hal tersebut belum ada, maka
kita tidak bisa berkata bahwa itu akan muncul: namun semiologi memiliki hak untuk ada;
tempatnya sudah tersedia sebelumnya. Linguistik hanyalah merupakan bagian dari ilmu umum
ini; dan hukum-hukum yang ditemukan oleh semiologi akan diterapan pada linguistik, yang akan
membuatnya terikat pada wilayah fenomena manusia yang sudah didefinisikan dengan baik.
Perkembangan lebih lengkap dari ilmu mengenai tanda ini bergantung pada
kerja dari pra pengikut Saussure. (Secara tidak sengaja mereka yang mengembangkannya
kebanyakan bekerja di Prancis dan menggunakan istilah semiologi).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada dasarnya, analisis semiotika memang merupakan sebuah ikhtiar untuk merassakan
sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau
narasi/wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic dalam arti berupaya menentukan makna
termasuk dari hal-hal yang tersembunyi dibalik sebuah teks12. Maka orang sering mengatakan
semiotika adalah upaya menemukan makna ‘berita dibalik berita’.

12
Baca buku Peter L, Barger dan Thomas Luckmann (1966) “The Social ConstructionOf Reality: A Treatise in the
sociological of knowladge yang juga diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul: Tafsir Sosial Atas
Kenyataan:Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (1990).
Semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis media dengan asumsi bahwa
media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. Teks media yang tersusun atas
seperangkat tanda itu tidak pernah membawa makna tunggal. Kenyataannya teks media memiliki
ideologi atau kepentingan tertentu, memiliki ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda
tersebut.

Hal ini menunjukan bahwa teks media membawa kepentingan-kepentingan tertentu dan juga
kesalahan-kesalahan tertentu yang lebih luas dan kompleks. Semua media pada dasarnya
membawa bias-bias tertentu dan setiap wartawan yang memasuki sebuah lingkungan, media akan
menyerap bias-bias media itu sebagai bagian dari kerjanya bahkan mengambilnya sebagai bagian
dari ‘corporate culture’nya dia.

DAFTAR PUSTAKA

John Fiske “Pengantar Ilmu Komunikasi Edisi Ketiga” (Jakarta:Rajawali Pers 2014)

Seto, Indiwan “ Semiotika Komunikasi” (Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media 2013 )

Hoed, Benny “ Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya” ( Depok:Komunitas Bambu 2014)

Anda mungkin juga menyukai