Anda di halaman 1dari 24

RINGKASAN BUKU

"KOMUNIKASI DAN REGULASI PENYIARAN"

DOSEN PENGAMPUH:

Dr. A. Nurkidam, M.Hum

DISUSUN OLEH:

Aulia Dzaldzabila

KOMUNNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

IAIN PAREPARE TAHUN 2022


TENTANG BUKU

JUDUL BUKU : Komunikasi dan Regulasi Penyiaran

PENULIS : Muhamad Mufid, M.Si

PENERBIT : Prenada Media

DESAIN COVER : Jakarta Putra Grafika

Dicetak Di Kharisma Putra Utama Offset

Cetakan ke-1, Agustus 2005

BIODATA PENULIS

Terlahir dengan nama Muhamad Mufid. penulis menamatkan pendidikan dasar dan
menengah di kota kelahirannya, Cirebon. Setelah itu penulis melanjutkan pendidi kan
di Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (lulus tahun 2000). Pada 2003 penulis meraih gelar
Magister dari Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, dengan judul
tesis "Relasi Kekuasaan Seputar Penyusunan Regulasi Penyiaran: Studi Ekonomi
Politik UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran".

Semasa kuliah, suami dari Septa Apriyani Maulina ter- sebut aktif di berbagai
organisasi baik intra maupun ekstra- kampus. Kini, penulis aktif di eLSAS (Lingkar
Studi Agama dan Sosial) dan LPPMI (Lembaga Pengkajian dan Pem- berdayaan
Masyarakat Indonesia) Jakarta.

Sedangkan mengenai riwayat kerja, penulis pernah ber gabung sebagai wartawan
Radar Depok (2002) dan Buletin UI (2003). Mulai pertengahan 2004, penulis bekerja
di Litbang Media Indonesia. Setelah menyelesaikan pendidikan S2, penulis juga
mengajar sejumlah mata kuliah komunikasi pada Program Kuliah Sabtu-Minggu di
Universitas Mercu Buana Jakarta dan Sekolah Tinggi Madinatul Ilmu Depok.
BAB 1

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN: SEBUAH TINJAUAN TEORETIS

A. PENGERTIAN KOMUNIKASI

Secara etimologi (bahasa), kata "komunikasi berasal dari Bahasa Inggris


"communication" yang mempunyai akar kata dari bahasa Latin "comunicare"
(Weekley, 1967: 338). Kata "comunicare" sendiri memiliki tiga kemungkinan arti
yaitu;

1. "to make common atau membuat sesuatu menjadi umum.

2. "cum+munus" berarti saling memberi sesuatu sebagai hadiah.

3. "cum munire yaitu membangun pertahanan bersama.

Sedangkan secara epistemologis (istilah), terdapat ratusan uraian eksplisit


(nyata) dan implisit (tersembunyi) untuk meng gambarkan definisi komunikasi.
Dalam Oxford English Dicti- onary yang ditulis tahun 1959 terdapat 12 definisi
komunikasi (Ruben, 1992: 11).

Di antara ratusan definisi tersebut, ada baiknya kita simak beberapa di antaranya,
yaitu (lihat al. Ruben, 1992, 11: R Loose, 1909 1: DeVito, 1986.5):

1. "Communication means that information is passed from one place to another


(Komunikasi adalah informasi yang disampaikan dari satu tempat ke tempat lain).

2. "Communication include (10 all the procedures by which one mind may affect
another." (Komunikasi meliputi semua prosedur di mana pikiran seseorang
memengaruhi orang lain).

3. "The transmission of information, ideas, emotion, skills, etc. by the use of


symbol-word, pictures, figures, graph, etc." (Pemindahan informasi, ide, emosi,
keterampilan, dan lain- lain dengan menggunakan simbol-seperti kata, foto, figur dan
grafik).

4. "The imparting, conveying or exchange of ideas, knowledge, or information


whether by speech, writing or signs." (Memberi meyakinkan atau bertukar ide,
pengetahuan atau informasi baik melalui ucapan, tulisan atau tanda).
5. Komunikasi adalah proses pertukaran informasi yang biasanya melalui sistem
simbol yang berlaku umum.

6. Komunikasi adalah, "proses atau tindakan menyampaikan pesan (message)


dari pengirim (sender) ke penerima (receiver), melalui suatu medium (channel) yang
biasanya mengalami gangguan (noise). Dalam definisi ini, komunikasi haruslah
bersifat intentional (disengaja) serta membawa perubahan.

Secara mendasar, komunikasi mempunyai enam unsur sebagai berikut:

1. Komunikasi melibatkan hubungan seseorang dengan orang lain atau


hubungan seseorang dengan lingkungannya, baik dalam rangka pengaturan atau
koordinasi.

2. Proses, yakni aktivitas yang nonstatis, bersifat terus-menerus. Ketika kita


bercakap-cakap dengan seseorang misalnya, kita tentu tidak diam saja. Di dalamnya
kita membuat perencanaan, mengatur nada, menciptakan pesan baru,
menginterpretasikan pesan, merespons atau mengubah posisi tubuh agar terjadi
kesesuaian dengan lawan bicara.

3. Pesan, yaitu tanda (signal) atau kombinasi tanda yang berfungsi sebagai
stimulus (pemicu) bagi penerima tanda. Pesan dapat berupa tanda atau simbol.
Sebagian dari tanda dapat bersifat universal, yakni dipahami oleh sebagian besar
manusia di seluruh dunia, seperti senyum sebagai tanda senang, atau asap sebagai
tanda adanya api. Tanda lebih besifat universal daripada simbol. Ini dikarenakan
simbol terbentuk melalui kesepakatan, seperti simbol negara. Karena terbentuk
melalui kesepakatan, maka simbol tidak bersifat alami dan tidak pula universal.

4. Saluran (channel), adalah wahana di mana tanda dikirim. Channel bisa


bersifat visual (dapat dilihat) atau aural (dapat didengar).

5. Gangguan (noise), segala sesuatu yang dapat membuat pesan menyimpang,


atau segala sesuatu yang dapat mengganggu diterimanya pesan. Gangguan (noise)
bisa bersifat fisik, psikis (kejiwaan) atau semantis (salah paham).

6. Perubahan, yakni komunikasi menghasilkan perubahan pada pengetahuan,


sikap atau tindakan orang-orang yang terlibat dalam proses komunikasi.

B. SEJARAH DISIPLIN ILMU KOMUNIKASI


Semua makhluk hidup pada dasarnya berkomunikasi. Jangankan manusia yang
diberkahi akal budi, binatang saja pada dasarnya melakukan komunikasi dengan
sesamanya. Komunikasi sebagai praktik sudah ada seiring dengan diciptakannya
manusia, dan manusia menggunakan komunikasi dalam rangka melaku- kan aktivitas
sosialnya. Karenanya manusia tidak mungkin tidak berkomunikasi. Sedangkan
komunikasi sebagai disiplin ilmu baru berkembang pada awal abad 15. Berikut kita
akan mem- bahas sejarah perkembangan disiplin ilmu komunikasi.

Masa Awal Pembentukan Disiplin Komunikasi

Sepanjang terekam dalam literatur, teoretisasi komunikasi dimulai sejak masa


Yunani Kuno. Ketika itu Corax mengajarkan teori berbicara di depan pengadilan,
yang kemudian dianggap sebagai cikal bakal keterampilan persuasi (membujuk).
Salah satu murid Corax yang terkenal adalah Tisias, yang kemudian mengambil
istilah rhetoric sebagai nama bagi keterampilan tersebut.

Era Tisias kemudian digantikan oleh Aristoteles (385-322 SM) dan gurunya
Plato (427-347 SM). Kedua orang tersebut merupakan figur penting dalam
mengembangkan disiplin komu nikasi. Aristoteles (dalam Ruben, 2002: 21)
mengatakan bahwa komunikasi adalah alat di mana warga masyarakat dapat ber-
partisipasi dalam demokrasi.

Jika pada masa klasik komunikasi dikembangkan oleh pemikir, memasuki abad
18, komunikasi diasuh oleh sastrawan. Pada masa ini komunikasi sudah mengenal
dasar-dasar komu- nikasi seperti gaya bicara, artikulasi (pengucapan) dan sikap tubuh
(gesture). Pada akhir abad 19, di banyak perguruan tinggi departemen rhetoric and
speech berada di bawah fakultas sastra.

Disiplin lain yang turut membentuk studi komunikasi adalah jurnalisme. Sama
seperti retorika, jurnalisme sebenarnya telah dipraktikkan sejak 3.700 tahun yang lalu
di Mesir. Julius Caesar lalu mengembangkan pola jurnalisme dengan menjual cikal
bakal koran. Pada tahun 1690 muncul koran modern pertama di AS dengan nama
Public Occurences both Foreign and Domestic. Dalam fase selanjutnya, jurnalisme
banyak ber- kembang di AS sementara teori-teori komunikasi berkembang di Eropa.

a. Periode 1900-1930

Periode ini disebut juga 'masa perkembangan speech and journalism', yakni
masa berkembangnya disiplin komunikasi yang ditandai dengan berdirinya organisasi
dan jurnal komu- nikasi. Pada tahun 1909 berdiri organisasi komunikasi pertama di
Amerika Serikat, the Eastern State Speech Association (sekarang menjadi the Eastern
Communication Association). 20 tahun kemudian terbentuk organisasi profesional
komunikasi, Communication Association. Perkembangan ini disusul pener bitan
jurnal komunikasi pertama, the Quarterly Journal of Speech. Puncak dari sintesis
komunikasi dan jurnalisme ditandai dengan dibukanya kursus jurnalism di University
of Wisconsin pada tahun 1905, yang dilanjutkan dengan perkembangan teknologi
radio (1920-an) dan televisi (1940-an).

b. Periode 1930-1950

Periode ini bisa disebut sebagai masa "persilangan komunikasi dengan disiplin
ilmu lain". Memang sejak awal pembentukannya, disiplin ilmu komunikasi tidak
terlepas dari persilangan disiplin lain seperti filsafat dan teknologi. Namun
persilangan yang terjadi pada era ini adalah persilangan komu- nikasi dengan disiplin
ilmu sosial dan psikologi. Dalam bidang antropologi misalnya, gerak tubuh (gesture)
dan partisipasi kultural dijadikan salah satu penjelasan tentang pola komunikasi suatu
masyarakat. Studi ini kemudian turut memperkaya teore- tisasi komunikasi non-
verbal. Percampuran juga terjadi dalam bidang psikologi berupa penggunaan teori
psikologi seperti minat, persuasi, sikap, dan pengaruh untuk menjelaskan bagai- mana
dinamika yang terjadi dalam berkomunikasi.

Akhir tahun 1950 muncul sejumlah tulisan penting. Tulisan ini tidak saja
semakin membentuk komunikasi sebagai sebuah disiplin ilmu, tapi juga meletakkan
kerangka berpikir sebagai pijakan mengembangkan ilmu komunikasi, seperti teori
Lasswell, Shannon-Weaver, Schramm dan Katz-Lazarfel.

Pada tahun 1948 Lasswell memperkenalkan pola komuni- kasi yang mengatakan
bahwa proses komunikasi meliputi "who says what to whom in what channel with
what effect", atau "siapa berkata apa kepada siapa dengan menggunakan saluran apa
serta menimbulkan pengaruh apa".

Setahun setelah Lasswell memublikasikan teorinya, Claude Shannon


memunculkan teori baru tentang pola komunikasi yang merupakan hasil penelitian
Shannon di perusahaan Bell Telephone. Teori ini kemudian dikenal dengan pola
komunikasi Shannon-Weaver.

Perkembangan komunikasi kemudian dilanjutkan dengan munculnya teori


Wilbur Schramm. Schramm yang oleh Alwi Dahlan, salah satu pakar komunikasi
Universitas Indo- nesia, disebut sebagai salah satu dari empat 'bapak komunikasi
dunia' pada tahun 1954 menulis artikel dengan judul 'How communi-cation work.
Dalam artikel tersebut Schramm mengajukan tiga model komunikasi.

Teori komunikasi lalu makin berkembang ketika pada tahun 1955, ilmuwan
politik Elihu Katz dan Paul Lazarfeld memapar kan konsep komunikasi dua tahap
melalui buku Personal Influence. Model komunikasi Katz-Lazarfeld dikembangkan
atas dasar penelitian yang dilakukan kedua ilmuwan tersebut ketika mendapati bahwa
tidak semua informasi yang disalurkan melalui media massa tidak semuanya sampai
atau berpengaruh bagi penerima. Secara spesifik, keduanya mendapati bahwa pesan
politik yang disampaikan melalui radio dan media cetak ternyata diabaikan oleh
mereka yang hendak mengambil keputusan dalam suatu coting

Untuk menjawab masalah tersebut keduanya mengatakan bahwa terdapat


pengaruh interpersonal (pribadi) dengan. komunikasi massa. Mereka mengatakan
bahwa pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voter) lebih ter-
pengaruhi oleh individu lain daripada informasi yang disediakan media massa. Studi
mereka juga menunjukkan bahwa terdapat orang-orang tertentu yang mempunyai
pengaruh bagi orang lain (opinion leader).

c. Periode 1960

Periode 1960-an adalah masa di mana ilmuwan mulai berusaha


mengintegrasikan retorika, speech, jurnalisme, media massa dan ilmuwan sosial
lainnya. Ilmuwan sosiologi misalnya, mengembangkan teori komunikasi dari teori-
teori sosial seperti dinamika kelompok dan hubungan sosial. Begitu pun pakar ilmu
politik. Mereka mengembangkan teori tentang pengaruh komunikasi dalam
pengelolaan pemerintahan, propaganda dan pembentukan opini publik. Sedangkan
ilmuwan administrasi mengembangkan teori komunikasi dari perspektif (sudut
pandang) disiplin mereka seperti teori manajemen, kepemim- pinan dan networking
komunikasi. Pada periode ini bermun- culan model komunikasi baru, seperti model
komunikasi Berlo, Dance dan Watzlawick-Beavin-Jakson.

Pada tahun 1960 David Berlo meluncurkan buku The Process of


Communication. Dalam buku tersebut Berlo me- ngatakan bahwa terdapat unsur
kontrol dalam setiap elemen tradisional komunikasi. Berlo menunjuk keterampilan,
sikap. pengetahuan, kultur, dan sistem sosial sebagai unsur kontrol untuk memahami
komunikasi. Berlo juga mengatakan bahwa yang terpenting dalam memahami
komunikasi tidak terletak pada kata-kata yang diucapkan, tapi bagaimana seseorang
meng- interpretasikan kata-kata tersebut. Karenanya kemudian Berlo menekankan
bahwa komunikasi mesti dilihat sebagai proses.

Kemudian pada tahun 1967 Frank Dance mengembang- kan pola komunikasi
berbentuk spiral untuk menunjukkan kompleksitas komunikasi berikut proses
evolusinya. Komu- nikasi menurut Dance melibatkan perubahan dan penilaian yang
ada. Karenanya komunikasi adalah proses.

Bertepatan dengan gagasan Dance, Paul Watzlawick, Janet Beavin dan Don
Jackson menulis Pragmatic of Human Commu- nication, yang berisi gambaran
pandangan umum tentang komunikasi dari sudut pandang psikiatri (ilmu penyakit
jiwa), Pada dasarnya model komunikasi ini menekankan proses komunikasi antara
dua individu yang meliputi proses menerima dan memberi pesan.

Komunikasi menurut model ini akan terjadi jika pesan secara sengaja
disampaikan. Komunikasi dengan demikian memiliki karakter terus-menerus
(ongoing) dan kumulatif sehingga memunculkan istilah "one cannot not
communicate" atau "seseorang tidak dapat tidak berkomunikasi.

d. Periode 1970

Periode ini disebut pula masa perkembangan dan spe- sialisasi (growth and
specializatin). Periode ini dimulai dari tahun 1960 yang mencapai puncaknya pada
1970-an. Periode ini ditandai dengan perkembangan berbagai disiplin ilmu
komunikasi seperti interpersonal communication berkembang dari studi komunikasi
non-verbal. Begitu juga dengan studi retorika, public speaking, debat, jurnalisme,
iklan dan public relation, teori informasi dan sistem komunikasi, keduanya jug
berkembang pesat menjadi studi yang terpisah.

Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul pula berbagai cabang kajian


ilmu komunikasi seperti komunikasi lintas budaya, komunikasi organisasi,
komunikasi politik, komunikasi antar-individu dan komunikasi bisnis.

Kesemuanya perkembangan tersebut juga ditopang oleh pesatnya pertumbuhan


jurnal dan publikasi komunikasi Selama kurun waktu 1970-an tidak kurang dari 17
publikasi baru ber-munculan, di samping beberapa jurnal akademik Menjelang tahun
1950 Ruben mencatat (2002: 36) tak kurang dari 1329 buku komunikasi atau terkait
komunikasi diterbitkan. Perkembangan minat komunikasi periode ini juga di- dorong
oleh kenyataan bahwa bidang komunikasi juga bisa menopang biaya hidup seseorang,
yakni dengan membuat produk atau jasa komunikasi yang kemudian dijual.
e. Periode 1980-1990

Periode ini disebut pula sebagai era informasi (infor mation age). Periode ini
ditandai oleh:

1. Informasi sebagai komoditas

Pada masa ini informasi dan pesan dilihat sebagai barang komoditas ekonomi
yang dapat diperjualbelikan. Periode ini juga ditandai munculnya perusahaan-
perusahaan besar yang bergerak dalam bisnis informasi seperti IBM, AT&T dan
Xerox Komunikasi pada era ini menjadi nafas perkembangan bidang telekomunikasi,
percetakan, industri komputer, bank, pe- nelitian dan hiburan. Setengah dari tenaga
kerja negara maju seperti AS, Jepang, Swedia, dan Inggris bahkan bekerja pada
sektor komunikasi-informasi.

2. Tumbuhnya Media Massa Baru

Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi komputer, media massa juga


mengalami perubahan signifikan. Media massa baru yang mengadopsi teknologi
komputer ter- sebut memungkinkan proses pengiriman dan penerimaan pesan
menjadi lebih hemat waktu, mudah, dan efektif.

Televisi pada masa ini tidak hanya berfungsi sebagai medium melihat
penyebaran program, namun televisi pada masa tersebut juga bisa berfungsi sekaligus
sebagai piranti sistem jaringan kabel, video game dan layar komputer. Begitu pula
dengan telepon. Jika sebelumnya telepon diciptakan sebagai perangkat berkomunikasi
orang per orang, maka pada masa tersebut telepon dapat digunakan untuk
berkomunikasi massal.

3. Penguatan hubungan interdisiplin

Studi pengiriman dan penerimaan pesan oleh individu, kelompok, organisasi,


kultur, dan masyarakat pada era ini me libatkan wilayah studi lain, seperti:

• Psikologi kognitif; fokus pada persepsi, interpretasi, pe- nyimpanan, dan


penggunaan informasi.

• Studi kebudayaan; fokus pada pengaruh historis, sosial dan kultural terhadap
pembentukan, pengiriman, interpretasi, dan penggunaan pesan.
• Ekonomi; fokus pada produksi dan konsumsi informasi sebagai entitas
ekonomi.

• Ilmu komputer, fokus pada penyimpanan, penggunaan kem bali (retrieval),


manipulasi, dan pengiriman informasi.

• Jumalisme, fokus pada sumber informasi, isi, komunikasi publik, dan media.

•Marketing, fokus pada kebutuhan pengguna (user) untuk menggunakan pesan,


produk, dan jasa.

f. Teori Komunikasi pada Masa Kini

Seiring dengan perkembangan zaman, teori komunikasi hingga kini masih terus
berkembang. Straubhaar (2003: xiii). seorang teoretisi komunikasi dari University of
Texas, AS, mengatakan komunikasi kekinian adalah komunikasi yang termediasi oleh
teknologi dalam berbagai bentuk jenis media baru. Media baru tersebut sejatinya
adalah media massa yang mengalami perubahan konsep secara cepat seiring dengan
percepatan teknologi komputer, Internet, dan telekomunikasi digital. Tumbuhnya
media baru juga diikuti oleh meningkatnya akumulasi konsumsi informasi. Di negara
maju seperti AS, rata-rata orang menonton TV adalah 2600 jam per tahun, atau setara
dengan 325 hari efektif kerja.

C. PENYIARAN SEBAGAI KOMUNIKASI MASSA

"Just a minute! Something's happening.! Ladies and gentlemen, this is terrific.


The end of the thing is beginning to flake off! The top is beginning to rotate like a
screw! The thing must be metal! This is the most terrifying thing I have ever
witnessed! Wait a minute. Someone is crawling out of the hollow top.. Someone or...
something. I can see peering out of that black two luminous discs.. are they eyes? It
might be a face. It might be..."

Petikan di atas adalah bagian dari naskah drama radio yang dimainkan oleh
Orson Welles dan Mercury Theater pada 30 Oktober 1938 yang disiarkan oleh CBS
Radio Studio One di New York. Secara keseluruhan, drama yang bertema invasi dari
Mars tersebut menggambarkan adanya sebuah makhluk luar angkasa, tepatnya dari
Mars, ke Bumi.

Drama Orson yang berdurasi satu jam tersebut ternyata ketika itu membawa efek
jauh dari yang dibayangkan. Segera setelah drama selesai, berbondong-bondong
masyarakat me- ngungsi ke stasiun CBS dengan membawa berbagai perabot. Jalan-
jalan dipenuhi suasana histeris. Gereja penuh dengan orang yang mendadak
mengadakan kebaktian. Semuanya me- ngira bahwa cerita drama tersebut adalah
sungguhan. Baru setelah Orson dan pihak studio menjelaskan duduk perkara se-
benarnya, masyarakat kembali tenang. Tak pelak, kejadian ter sebut menyadarkan
ilmuwan tentang betapa besar pengaruh penyiaran terhadap pembentukan masyarakat.

Penyiaran, pada hakikatnya adalah salah satu keterampilan dasar manusia ketika
berada pada posisi tidak mampu untuk menciptakan dan menggunakan pesan secara
efektif untuk berkomunikasi. Penyiaran dalam konteks ini adalah alat untuk
mendongkrak kapasitas dan efektivitas komunikasi massa.

Dalam teori media dan masyarakat massa (lihat Barran & Davis, 2000: 48)
misalnya dikatakan bahwa media memiliki sejumlah asumsi untuk membentuk
masyarakat, yakni:

1. Media massa (tak terkecuali penyiaran) memiliki efek yang berbahaya


sekaligus menular bagi masyarakat. Untuk meminimalisir efek ini di Eropa pada
masa 1920-an, penyiaran dikendalikan oleh pemerintah, walaupun ternyata kebijakan
ini justru berdampak buruk di Jerman dengan digunakannya penyiaran untuk
propaganda Nazi.

2. Media massa memiliki kekuatan untuk memengaruhi pola pikir rata-rata


audiennya. Bahkan pada asumsi berikutnya dalam teori ini dikatakan bahwa ketika
pola pikir seseorang sudah terpengaruh oleh media, maka semakin lama pengaruh
tersebut semakin besar.

3. Rata-rata orang yang terpengaruh oleh media, dikarenakan ia mengalami


keterputusan dengan institusi sosial yang sebelumnya justru melindungi dari efek
negatif media. Relevan dengan hal tersebut John Dewey, seorang pemikir pendidikan,
misal nya pernah berkata bahwa efek negatif media dapat disaring melalui
pendidikan.

Penggunaan media sebagai wahana komunikasi sudah di lakukan oleh manusia


sejak tahun 20.000 SM dalam bentuk pahatan di dinding gua atau asap api sebagai
simbol komunikasi. Revolusi media semakin pesat ketika pada tahun 1.500 M
Johannes Gutenberg memperkenalkan mesin cetak. Revolusi komunikasi pada
puncaknya menciptakan masyarakat informasi (information society).
Di Indonesia, radio merupakan alat komunikasi penting sejak negara ini baru
berdiri. Kepemilikan pesawat radio naik dengan pesat, hingga mencapai setengah juta
yang berlisensi pada pertengahan 1950-an. Radio digunakan secara luas di bidang
pendidikan, terutama pendidikan politik, seperti mem- persiapkan para calon pemilih
untuk pemilu pertama pada 1955. Indonesia yang merdeka mengikuti kebijakan
pemerintah Jepang dalam hal monopoli siaran. Sampai terbentuknya Orde Baru,
terdapat 39 stasiun RRI di seluruh Indonesia, menyiarkan kepada lebih dari satu juta
radio berlisensi. Kota-kota besar menerima program regional dan nasional RRI.

Studi tentang penyiaran sebagai komunikasi massa mesti pula melihat berbagai
teori tentang efek komunikasi massa Di antara teori yang menjelaskan hal tersebut
adalah teori stimulus-respons, teori two step flow dan teori difusi inovasi (Sendjaja,
1998: 188).

1. Teori Stimulus-Respons

Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa efek merupa kan reaksi terhadap
situasi tertentu. Dengan demikian, se seorang dapat mengharapkan sesuatu atau
memperkirakan sesuatu dengan sejumlah pesan yang disampaikan melalui penyiaran.
Teori ini memiliki tiga elemen, yakni (a) pesan (stimulus); (b) penerima (receiver);
dan (c) efek (respons).

Prinsip teori stimulus kemudian memunculkan teori turunan yang disebut teori
jarum hipodermiks, yaitu teori klasik mengenai proses terjadinya efek media massa.
dalam teori ini, isi media dipandang sebagai obat yang disuntikkan ke dalam
pembuluh audien, yang kemudian diasumsikan akan bereaksi seperti yang
diharapkan.

Teori stimulus-respons juga memandang bahwa pesan dipersepsikan dan


didistribusikan secara sistemik dan dalam skala yang has Pesan, karenanya, tidak
ditujukan kepada orang dalam kapasitasnya sebagai individu, tapi sebagai bagian dari
masyarakat. Untuk mendistribusikan pesan sebanyak mungkin. penggunaan teknologi
merupakan keharusan. Sedangkan individu yang tidak terjangkau oleh terpaan pesan,
diasumsikan tidak akan terpengaruh oleh isi pesan.

Kelemahan teori stimulus-respons adalah penyamarataan individu.


Bagaimanapun, pesan yang sama akan dipersepsi secara berbeda oleh individu dalam
kondisi kejiwaan yang berbeda. Karenanya, pada tahun 1970, Melvin DeFleur me-
lakukan modifikasi terhadap teori stimulus respons dengan teorinya yang dikenal
sebagai individual difference theory. De Fleur mengatakan bahwa pesan-pesan media
berisi sti- mulus tertentu yang berinteraksi secara berbeda-beda sesuai dengan
karakteristik pribadi individu

2. Teori Komunikasi Dua Tahap

Teori ini berasal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Paul Lazarsfeld
mengenai efek media massa dalam kampanye pemilihan presiden di Amerika Serikat
tahun 1940 (Sendjaja, 1998: 189). Studi tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa
proses stimulus-respons bekerja dalam menghasilkan efek media massa. Namun hasil
penelitian menunjukkan sebalik- nya; efek media massa ternyata rendah, dan asumsi
stimulus- respons tidak cukup menggambarkan realitas audien media massa dalam
menyebarkan arus informasi dan pembentukan pendapat umum.

Lazarsfeld kemudian mengajukan gagasan mengenai komunikasi dua arah (two


step-flow communication), yakni pengaruh media massa tidak secara langsung
mengenai individu, tapi terlebih dahulu sampai ke pemuka pendapat (opinion leader)
sebagaimana telah dijelaskan pada bagian perkembangan komunikasi.

3. Teori Difusi Inovasi

Seperti dalam teori dua tahap. pada teori difusi inovasi pengaruh media juga
dipandang tak secara langsung mengenai individu, tetapi terdapat sumber non-media
yang turut me- mengaruhi efektivitas pesan media. Hanya saja dalam teori ini,
pengaruh non-media tidak merujuk pada opinion leader. tapi kepada siapa saja yang
bisa memengaruhi, seperti tetangga atau teman. Karenanya, difusi melibatkan
pengetahuan, per suasi, keputusan, dan konfirmasi.

BAB 2

SEJARAH PENYIARAN DUNIA

A. RADIO

Perkembangan radio dimulai dari penemuan phonograph (gramofon), yang juga


bisa digunakan memainkan rekaman, oleh Edison pada tahun 1877. Pada saat yang
sama James Clerk Maxwell dan Helmboltz Hertz melakukan ekperimen elektro-
magnetik untuk mempelajari fenomena yang kemudian di- kenal sebagai gelombang
radio. Keduanya menemukan bahwa gelombang radio merambat dalam bentuk
bulatan, sama seperti ketika kita menjatuhkan sesuatu pada air yang tenang. Riak
gelombang yang dihasilkan akibat benda yang jatuh ter- sebut secara sederhana dapat
menggambarkan bagaimana gelombang radio merambat. Jumlah gelombang radio
diukur dengan satuan Hertz.

Adalah Marconi, orang yang kemudian memanfaatkan kedua penemuan di atas


untuk mengembangkan sistem komunikasi melalui gelombang radio pada tahun 1896.
Usaha Marconi ketika itu baru berhasil pada tahap mengirimkan gelombang radio
secara on and off (nyala dan mati), sehingga baru bisa menyiarkan kode telegraf. Lee
De Frost lalu me- nemukan vacuum tube pada tahun 1906. Vacuum tube mampu
menangkap signal radio sekalipun lemah. Pada tahun yang sama Reginald Fessenden
menciptakan penyiaran pertama dengan menggunakan telepon sebagai mikrofon.
Siaran radio secara reguler dimulai pada tahun 1912 oleh Charles Herrold.

Sampai di sini, siaran radio belum dilihat sebagai kegaitan ekonomi. Baru pada
tahun 1919 Frank Conrad secara reguler pendirian stasiun baru radio. Menghadapi
kenyataan ini peraturan kepemilikan diperlonggar, sehingga memungkinkan jaringan
untuk memiliki lebih banyak stasiun radio. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1962
FCC merevisi peraturan penggunaan ranah FM untuk siaran komersial. Revisi
tersebut mendorong lahirnya 3.000 stasiun baru di seluruh Amerika Serikat pada
tahun 1963 (lihat www.tvhandbook.com). Selain munculnya stasiun baru,
perkembangan stasiun radio FM juga terjadi melalui perpindahan kepemilikan. Pada
tahun 1996 tak kurang dari 4400 stasiun radio di AS berpindah kepemilik an, di mana
700 di antaranya adalah pemindahtanganan dari pemilik stasiun radio lokal ke
jaringan stasiun radio.

B. TELEVISI

Suatu hari di tahun 1922, seorang remaja berusia 15 tahun Philo Farnsworth
mengemudikan sebuah traktor maju mundur mengikuti alur yang ada di sebuah
ladang di Idaho, AS. Gambar yang dihasilkan menginspirasi Farnsworth untuk
menciptakan serangkaian gambar elektronik sebagaimana dalam alur ladang Pada
tahun 1927 Farnsworth dan AT&T mendemonstrasikan penemuan televisi dihadapan
publik. Sejak itu, televisi men- jadi media massa.

Pertanyaan yang kemudian menarik untuk dielaborasi adalah "Kapan pertama


kali penyiaran televisi diadakan? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan sangat relatif
dan terkait bagaimana kita mendefinisikan televisi, penyiaran dan per- tama. Televisi
tidak ditemukan oleh satu orang, namun atas penemuan berbagai orang baik yang
bekerja sendiri atau dalam tim. Straubhaard (2002: 229) misalnya mengatakan bahwa
penyiaran televisi pertama dilakukan oleh Charles Jenkins (AS) dan John Logie Baird
ketika mereka bekerja secara terpisah untuk melakukan uji coba transmisi siaran pada
tahun 1925.

Penyiaran televisi ke rumah pertama dilakukan pada tahun 1928 secara terbatas
ke rumah tiga orang eksekutif General Electric, menggunakan alat yang sangat
sederhana. Sedangkan penyiaran televisi secara elektrik pertama kali dilakukan pada
tahun 1936 oleh British Broadcasting Corporation. Sedangkan di Jerman penyiaran
TV pertama kali terjadi pada tanggal 11 Mei tahun 1939. Stasiun televisi itu
kemudian diberi nama Nipko, sebagai penghargaan terhadap Paul Nipko, ilmuwan
terkenal Jerman dan salah seorang penemu alat televisi.

Fenviaran televisi pertama kali di AS sendiri baru di lakukan pada tahun 1939
secara berlangganan oleh NBC dan CBS. Baik NBC atau CBS sama-sama memulai
penyiaran secara komersial. Hal ini berbeda dengan perkembangan TV d Indonesia,
di mana penyiaran dimulai dari TV publik (TVB) baru kemudian diikuti oleh stasiun
TV komersial (dengan munculnya RCTI). NBC memulai uji coba penyiaran pada
bulan April 1935, dari atap gedung Empire State Building Sementara CBS baru pada
tahun 1937 mengalokasikan da US$2 juta untuk melakukan uji coba sistem TV, dan
berhasil melakukan siaran publik pada tahun 1939.

Perkembangan televisi terhambat selama Perang Dunia II, karena bahan baku
komponen pesawat televisi dialokasikan ke industri alat perang. Setelah perang
selesai pada tahun 1945, penyiaran televisi kembali menggeliat. Ketika itu AT&T
menemukan teknologi baru penyiaran jaringan televisi dengan kabel coaxical dengan
menu utama seputar olahraga. Pada tahun 1948 telah ada satu juga set televisi di AS
dengan stasiun mencapai 50 buah. Atas pertimbangan banyaknya jumlah stasiun
televisi FCC (Federal Communi cation Comision) lalu menghentikan izin operasional
stasiun barn. Setelah frekuensi ditata ulang, FCC kembali meng- izinkan
operasionalisasi siaran stasiun baru. Stasiun TV pun melonjak menjadi 106 buah
empat tahun setelah pembekuan. Jumlah pesawat televisi juga meroket hingga
mencapai 15 juta pada tahun 1952.

BAB 3
RADIO

A. REGULASI RADIO

Untuk memperoleh gambaran tentang regulasi radio sebelum masa reformasi ada
baiknya kita kembali lihat hasil studi yang telah dilakukan oleh Krishna Sen dan
David T Hill. Dalam buku mereka yang dipublikasikan oleh Institut Studi Arus
Informasi (ISAI) Jakarta dikatakan bahwa regulasi radio sudah sering mengalami
perubahan. Pada tahun 1967 misalnya, rezim Orba mencoba mengatur broadcaster
non-pemerintah dengan memisahkan stasiun-stasiun hobi yang lebih kecil dengan
yang lebih mapan. Satu tahun kemudian, segera setelah resmi menjadi Presiden,
Soeharto memerintah suatu tindakan keras membatasi dan mengatur radio-radio
berbasis kampus serta radio mahasiwa lainnya.

Pada 1970, stasiun radio swasta disahkan, namun dengan kewajiban radio swasta
untuk merelai berita RRI. Pemerintah juga membatasi wilayah transmisi dan
mengatur isi siaran. Selama 1970-an, stasiun komersial tumbuh pesat sehingga, dalam
dekade berikutnya, siaran non-pemerintah menjadi sinonim dengan stasiun komersial.

Ketika itu pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerin- tah No. 55 Tahun 1976
tentang Radio Siaran Non-Pemerintah. Inti regulasi tersebut meletakan kriteria
pendiri perusahaan siaran radio non-Pemerintah dan menyediakan kerangka
kebijakan radio Orba. Fungsi sosial radio digambarkan sebagai, "alat pendidik, alat
penerangan, dan alat hiburan. Selanjutnya dikatakan bahwa, "radio tidak
dipergunakan untuk kegiatan politik". Peraturan yang sama melarang modal (atau
bantuan) asing dan mengharuskan para pemilik stasiun haruslah Warga Negara
Indonesia yang pernah terlibat PKI atau Gerakan tak 30 September, dan bukan
pengurus partai politik atau organi- sasi masa apa pun.

Sebuah surat Keputusan Menteri Perhubungan tahun 1971 memberikan


kewenangan atas stasiun non-pemerintah kepada gubernur dan Kopkamtib setempat.
Sebuah surat ke- putusan Menpen pada tahun yang sama menekankan penting- nya
muatan radio lokal, menyatakan bahwa 'siaran bersifat lokal, bukan nasional, dan
bahwa 'sifat, isi, dan tujuan siaran men- cerminkan hubungan erat dengan keadaan
serta pertumbuhan daerah jangkauan siaran (Sen & Hill, 2000: 99). Setelah 1982,
siaran gelombang pendek oleh radio swasta mulai berkurang. Stasiun semakin
mengincar AM, dan sejak 1987, FM, yang lebih jelas untuk menawarkan transmisi
yang lebih jelas untuk jarak jarak pendek. Regulasi pemerintah menetapkan kekuatan
maksimal transmisi, yang membatasi wilayah siaran hingga kira kira 100 km untuk
FM dan 300-400 km untuk stasiun AM Implementasi dari kebijakan pemerintah ini
merupak tanggung jawab Badan Pembina Siaran Non-Pemerintah di daerah,
BPRSNPD, yang ditunjuk oleh gubernur dan terdiri atas para birokrat provinsi.
Semua stasiun harus melapor bulanan kepada badan itu.

B. ORGANISASI INDUSTRI

Sebagaimana telah disinggung, pada Desember 1974 perwakilan 173 stasiun


radio non-pemerintah dari 37 l secara resmi membentuk Persatuan Radio Siaran
Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI), dengan tujuan untuk "memajukan siara radio
swasta di Indonesia dan membantu pemerintah me nyukseskan pembangunan di
bidang informasi pendidikan dan hal-hal sosial budaya.

Maka atas prakarsa tokoh-tokoh Persatuan Radio Siaran Jakarta didukung tokoh-
tokoh asosiasi atau tokoh radio siaran swasta berbagai daerah, digagas, dipersiapkan
sampai berhasil diselenggarakan Kongres Pertama Radio Siaran Swasta se- Indonesia
yang melahirkan organisasi "Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonésia"
disingkat PRSSNI di Balai Sidang Senayan Jakarta, pada tanggal 16-17 Desember
1974, dihadiri 227 orang peserta, mewakili 173 stasiun radio siaran swasta dari 34
kota di 12 provinsi saat itu. Pada Munas ke IV PRSSNI di Bandung tahun 1983, kata
"Niaga" diganti "Nasional", se- hingga menjadi Persatuan Radio Siaran Swasta
Nasional Indonesia tetap disingkat PRSSNI.

Dalam AD/ART PRSSNI dikatakan bahwa tujuan PRSS- NI adalah,


"mewujudkan dan meningkatkan peran anggota dalam mencerdaskan dan
menyejahterakan bangsa, dengan memperjuangkan dan membela kepentingan
anggota, serta turut menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pe ngembangan
industri media radio". Sedangkan visi PRSSNI adalah. "mewujudkan sinergi
antarradio siaran swasta nasional Indonesia dalam bentuk asosiasi perusahaan media
radio yang berupaya secara terus-menerus ke arah kemajuan industri media radio"

Pada 1977 Menteri Penerangan secara resmi mendekla- rasikan PRSSNI sebagai
satu-satunya asosiasi stasiun radio swasta yang diakui. Pada 1996, asosiasi ini
memiliki jumlah anggota 449 AM dan 241 FM secara nasional. Fer Maret 2004
tercatat sebanyak 821 Badan Penyelenggara radio siaran swasta berizin resmi (Ditjen
Postel Deperhub RI) menjadi anggota PRSSNI, di antaranya sebanyak 483 stasiun
bekerja pada jalur FM, dan 338 stasiun bekerja pada frekuensi AM, tersebar di 28
Provinsi di Indonesia.

Tahun 1985, sebuah keputusan Menpen meninggikan otoritas asosiasi itu,


dengan mewajibkannya "membantu pe- merintah dalam pembinaan dan pengawasan
radio-radio siaran swasta di Indonesia". Tercatat bahwa pada tahun 1989 anak
perempuan Presiden Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana (Tatut) pernah terpilih
sebagai ketua umum PRSSNI. Tutut menjabat ketua umum PRSSNI hingga tahun
1995.

RUU Penyiaran tahun 1997 menghapuskan sebagian per- aturan mengenai


kepemilikan dan manajemen stasiun radio. Seiring dengan deregulasi ekonomi
Indonesia pada tahun 1980, para pengusaha-terutama lingkar mereka yang berada di
lingkar kekuasaan Cendana-mulai tertarik untuk terjun di dunia bisnis radio.

C. PASAR

Masih menurut Sen dan Hill (2000), tingkat kepemilikan pesawat radio
melonjak sepanjang 1970-an bersamaan luasan di bidang pasar barang-barang
konsumen umumnya, ketika Indonesia pulih dengan cepat dari kejatuhan ekonominya
pada 1960-an. Antara 1970 dan 1980 jumlah pesawat radio yang digunakan
meningkat lebih enam kali lipat. Pada 1970 terdapat 2,5 juta pesawat, tahun 1980 ada
15 juta, dan tahun 1994 menjadi 28,8 juta pesawat. Lebih dari 3,1 radio portable
terjual di tahun 1995 saja, menjadikan Indonesia salah satu pasar terbesar radio.

Pada 1994, terdapat sekitar 15 radio untuk setiap 100 orang Indonesia, yang
secara kasar sama dengan Fhilipina, namun kurang separuh dari Malaysia dan
seperempat dari Singapura. Angka kepemilikan radio per kepala dibanding jumlah
pen- duduk lebih rendah di wilayah pedesaan/pedalaman tetap jauh lebih tinggi
daripada kepemilikan televisi atau angka langganan media cetak, dan bahwa radio
adalah medium massa utama bagi banyak wilayah pedesaan di Indonesia.

Industri periklanan Indonesia juga berkembang pesat. Pendapatan radio naik


awal 1980-an setelah perorangan iklan televisi nasional. Di tahun 1990-an, setelah
lahirnya televisi swasta, persentase bagian iklan radio menurun dari 9,7% ke 4,1%
antara 1991 dan 1996, namun jumlah iklan naik sehingga penghasilan radio tetap
bertambah dari Rp 100 miliar ke Rp 190 miliar pada periode yang sama.

Dalam studinya, Sen& Hill (2000) juga mengatakan bahwa tingkat jasa khusus
dan lokal yang diberikan oleh radio swasta dicontohkan oleh Radio Terunajaya yang
kecil di Pameung- peuk, Garut, satu-satunya stasiun radio untuk 4 kecamatan
pedesaan yang tersebar sepanjang 30 km pantai Selatan Jawa Barat. Berlokasi di
wilayah perbukitan, dengan komunikasi dan transportasi yang lemah, jauh dari jalan
beraspal, daya tarik khusus stasiun itu adalah siarannya yang berupa peng- umuman
komunitas maupun perorangan. Para penduduk desa menggunakan stasiun itu untuk
menyiarkan pesan penting dari satu desa ke desa lainnya.

Karena hanya ada sedikit hiburan alternatif, seseorang di desa sasaran tujuan
diperkirakan selalu mendengarkan siaran radio, dan akan menyampaikan pesan
tersebut kepada yang dituju. Di antara siaran-siaran regulernya yang lain, serta musik
pop Indonesia dan Sunda. Meskipun berukuran kecil, pasar Radio Terunajaya yang
diperkirakan berjumlah 140 ribu orang memungkinkan bertahan secara komersial.
Dibangun pada tahun 1991 dengan modal Rp 100 juta, radio itu mengalami BEP
setelah dua tahun karena kekuatan ceruk pasarnya dan identifikasi komunitas yang
kuat.

Sebaliknya, jaringan radio pemerintah RRI menempatkan banyak sumber daya


untuk menjangkau lebih banyak pen- dengar nasional. Ekspansi jangkauan siaran RRI
dilakukan melalui pembangunan stasiun-stasiun siaran dan fasilitas relai, yang
semakin meningkat setelah peluncuran satelit Palapa pad 1976 dan Palapa generasi B
pada 1983. Hingga tahun 1990-an, dengan 52 stasiun RRI mampu menjangkau 81%
Wilayah Indonesia dan 92% penduduknya.

Awal dekade '90, RRI berusaha mengembangkan jaringan nasional kedua,


Programa Nasional 2', lebih dikenal dengan ProFM, yang dioperasikan sebagai
jaringan komersial, ber kolaborasi dengan sebuah konglomerat bisnis swasta besar
Jaringan ini tidak terikat oleh konvensi-konvensi RRI lama mengenai penempatan
iklan hanya di sela-sela yang program, dan berusaha menanamkan citra muda yang
lebih fashionable. Pada saat stasiun-stasiun komersial swasta tak diizinkan bersiaran
dari luar studio, Pro2FM membeli mobil Outside Broadcast (OB Van) yang
digunakan untuk siaran langsung dari luar untuk membuktikan motonya 'menyajikan
informasi lebih awal'.

Mengutip data Bisnis.com, belanja iklan media radio selama kurun waktu 1996-
2002 belanja iklan radio mengala peningkatan meyakinkan. Jika pada 1986 belanja
iklan media radio hanya Rp 23 miliar, ternyata dalam waktu sepuluh tahun berikutnya
meningkat delapan kali lipat dengan nilai Rp 189 miliar. Periode enam tahun
berikutnya, juga terlihat pe tumbuhan meyakinkan, yakni 1997 Rp 206 miliar, 1998
Rp 136 miliar, 1999 Rp 187 miliar, pada 2000 Rp 257 miliar, 2001 Rp 341 miliar,
dan 2002 menjadi Rp 658 miliar.

BAB 4

TELEVISI

PERKEMBANGAN TELEVISI

Usulan untuk memperkenalkan televisi muncul jauh di tabon 1953, dari sebuah
bagian di Departemen Penerangan, didorong oleh perusahaan-perusahaan AS,
Inggris, Jerman. Jepang, yang berlomba-lomba menjual hardware-nya. Men- jelang
Asian Games ke-4 di Jakarta pada 1962, Soekarno dan kabinet akhirnya yakin akan
perlunya televisi, dengan alasan reputasi internasional Indonesia tergantung pada
Pekan Olah- raga yang disiarkan, terutama ke Jepang (yang telah memiliki televisi
sejak awal 1950-an).

Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memasukkan proyek media massa


televisi ke dalam proyek pembangunan Asian Games IV di bawah koordinasi urusan
proyek Asean Games IV Tanggal 25 Juli 1961, Menteri Penerangan mengeluar kan
SK Menpen No. 20/SK/M/1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi
(P2T). Satu tahun sebelum SK Menpen tersebut, sebenarnya telah ada ketetapan
MPRS No.II/MPRS/ 1960, yang dalam Bab I lampiran A dinyatakan pentingnya pem.
bangunan siaran televisi untuk kepentingan pendidikan nasional (Dirjen RTF, 1995:
88).

Pada 23 Oktober 1961, Presiden Soekarno yang sedang berada di Wina


mengirimkan teleks kepada Menpen Maladi untuk segera menyiapkan proyek televisi
(saat itu waktu y siapan hanya tinggal 10 bulan) dengan agenda utama: (1) mem- per-
hangun studio di eks AKPEN di Senayan (TVRI sekarang); (2) membangun dua
pemancar, 100 watt dan 10 Kw dengan tower 50 meter; dan (3) mempersiapkan
software (program serta tenaga.

Siaran televisi dimulai dengan bantuan ahli dan perawatan Jepang serta latihan
daripada ahli Inggris, di bawah Organizing Committee Asian Games ke-4. Tanggal
17 Agustus 1962, TVRI mulai mengadakan siaran percobaan dengan acara HUT
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia XVII dari halaman Istana Merdeka Jakarta,
dengan pemancar cadangan berkekuatan 100 watt. Tanggal 24 Agustus 1962, TVRI
mengudara untuk pertama kalinya dengan acara siaran langsung upacara pembukaan
Asian Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno. Indonesia menjadi negara
keempat di Asia yang memiliki siaran televisi, setelah Jepang, Filipina dan Thailand
(Panjaitan, 1999. 3).

Selanjutnya pada tanggal 20 Oktober 1963, dikeluarkan Keppres No. 215/1963


tentang pembentukan Yayasan TVRI dengan Pimpinan Umum Presiden RI. Pada Bab
I Pasal 3 Kep- pres tersebut dikatakan bahwa Yayasan TVRI merupakan pe- ngelola
tunggal pertelevisian di seluruh Indonesia. Sementara Pasal 4 dan Pasal 5
menjelaskan bahwa, "keberadaan TVRI di- tujukan sebagai alat hubung masyarakat
dalam melaksanakan pembangunan mental, khususnya manusia sosialis Indonesia".

Untuk melaksanakan misi TVRI, Presiden Soekarno me- ngebarkan Keppres


No. 218 Tahun 1963 tentang Pemungutan Sumbangan luran untuk Membantu
Pembayaran Yayasan TVRI sebagai pelengkap Keppres No. 215 Tahun 1963.
Dengan ke- tentuan ini, setiap pemilik pesawat televisi di seluruh wilayah Indonesia
wajib mendaftarkan pesawatnya di kantor TVRI Kompleks Gelora Bung Karno,
sebesar Rp.300,- tiap pesawat. Sedangkan untuk pesawat penerima televisi yang
digunakas oleh dan untuk instansi yang berwenang menyelenggarakan siaran televisi
atau menyediakan televisi umum serta pesawat televisi yang merupakan barang
dagangan, tidak terkena wajib iuran tersebut.

Pemerintah lalu mengeluarkan Keputusan Menteri Pe nerangan No.


121/Kep/Menpen/1969 yang mengatakan bahwa apabila terjadi pelanggaran terhadap
ketentuan iuran, pesawat televisi dikenai denda sebesar 25% dari total iuran yang
harus dibayar. Apabila terjadi penunggakan selama tiga bulan secara berturut-turut
maka pesawat televisi disegel, atau bahkan pe- swat televisi dapat disita pihak
berwenang (lihat Panjaitan, 1999: 8).

Tahun 1963 TVRI mulai merintis pembangunan stasiun daerah, yang dimulai
dengan Stasiun Yogyakarta. Stasiun baru ini mulai siaran pada akhir tahun 1964.
Segera setelah itu, TVRI berturut-turut mendirikan Stasiun Medan, Surabaya
Makassar, Manado, dan Denpasar.

Tahun 1974, TVRI diubah menjadi salah satu bagian dari organisasi dan tata
kerja Departemen Penerangan, yang diberi status Direktorat, langsung bertanggung
jawab pada Direktur Jenderal Radio, TV, dan Film Departemen Penerangan RI.
Sebagai alat komunikasi pemerintah, tugas TVRI adalah untuk menyampaikan policy
pemerintah kepada rakyat. Satu tahun kemudian, dikeluarkan SK Menpen No. 55
Bahan siaran/KEP/ Menpen/1975, TVRI memiliki status ganda yaitu selain sebagai
Yayasan Televisi RI juga sebagai Direktorat Televisi, sedang manajemen yang
diterapkan yaitu manajemen perkantoran/ birokrasi.

Memasuki tahun 1975, selain berstatus sebagai yayasan, TVRI juga ditetapkan
sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Penerangan dengan diterbitkannya
SK Menteri Penerangan No. 55B Tahun 1975, yang kemudian diperbarui oleh SK
Menpen No. 230A tahun 1984 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Penerangan yang di dalamnya mengatur Direktorat Televisi yakni di bawah
Direktorat Jenderal RTE.

Pada 1976, Indonesia meluncurkan sebuah satelit staran domestik Palapa, diikuti
pada 1983 dengan Satelit Palapa B2 Teknologinya memang Amerika, namun nama
satelitnya me rupakan simbol Jawa, atau tepatnya diambil dari sumpah Gah Mada,
Mahapatih kerajaan Majapahit Abad XIV di Jawa Tengah Satu tahun setelah
peluncuran Palapa I, secara bertahap di beberapa ibu kota provinsi dibentuklah
Stasiun-stasiun Pro duksi Keliling atau SPK, yang berfungsi sebagai perwakilan di
daerah, bertugas memproduksi dan merekam paket acara untuk dikirim dan disiarkan
melalui TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Di samping itu, TVRI kemudian menjadikan
stasion daerah menjadi stasiun relai dari TVRI Jakarta.

Jika dibuat periodisasi perkembangan TVRI, maka paling sedikit kita bisa
membagi menjadi tiga. Pertama, era 1962 sampai 1975. TVRI yang terlahir secara
formal 24 Agustus 1962, ditetapkan badan hukumnya sebagai Yayasan melalui
Keppres RI No. 215/1963 pada 20 Oktober 1963. Kedua, status hukum era 1975
hingga 1999. TVRI pada periode ini memiliki d peran, yakni sebagai yayasan dan
juga sebagai Unit Pelaksana Teknis Departemen Penerangan. Ketiga, era reformasi.
Setelah beberapa waktu statusnya mengambang seiring dengan di likuidasinya
Deppen, berdasarkan SK Presiden RI No. 335/ M/1999 tentang Pembentukan Kabinet
Persatuan Nasional.

Likuidasi Departemen Penerangan berimplikasi pada ketidakjelasan status


TVRI. Betul bahwa melalui PP No. 153 Tahun 1999 pemerintah menetapkan Badan
Informasi dan Komunikasi Nasional sebagai pengganti Deppen, tetapi dalam Pasal 25
PP 153 dikatakan bahwa aset TVRI tidak termasuk dalam aset BIKN. Kondisi
ketidakjelasan status hukum TVB tersebut kemudian diatasi dengan dikeluarkannya
PP No. 36 Tahun 2000. Dalam regulasi yang dikeluarkan pada tanggal 7 Juni 2000
tersebut dikatakan bahwa TVRI berbadan huk Perusahaan Jawatan (Perjan).

Terhitung 15 April 2003, pemerintah lalu mengalihkan badan hukum TVRI


menjadi perseroan (Sinar Harapan, 16/04/03). Penandatanganan akta pendirian dan
anggaran dasar PT TVRI ini mempertegas PP No. 9 Tahun 2000 yang hakikat- nya
merupakan izin prinsip mengenai pengalihan status dari Perusahaan Jawatan ke
Perseroan Terbatas. Badan hukum tera- khir, memungkinkan menempatkan orientasi
TVRI lebih pada ranah komersial, walaupun terbukti bahwa hingga tulisan ini
disusun perolehan iklan TVRI sangat kecil bila dibandingkan dengan stasiun swasta.

Tentu saja perubahan badan hukum tersebut bertentang- an dengan semangat


UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Dalam regulasi tersebut dikatakan bahwa
TVRI harus diubah menjadi lembaga penyiaran publik. Tetapi, sesuai dengan pasal
peralihan bahwa ada waktu toleransi bagi TVRI sebelum benar- benar menjadi
lembaga penyiaran publik. Berbagai pihak mengkritik kebijakan ini. Garin Nugroho,
misalnya, mengata- kan bahwa "gagasan menjadikan TVRI sebagai perusahaan yang
lepas dari pemerintah dan berhak mencari dana sendiri sungguh tidak relevan dengan
riwayatnya. Pijakan sejarah dan kultur SDM TVRI tidak bisa diajak bekerja sebagai
swasta." (What Kompas, 14 Maret 2003).

Sejatinya, semangat untuk menjadikan TVRI sebagai TV publik telah


diisyaratkan dalam berbagai kebijakan seputar TVRI PP No. 36 Tahun 2000 tentang
status Perjan TVRI misal- nya, secara eksplisit mengatakan bahwa tujuan Perjan
adalah untuk, menyelenggarakan kegiatan penyiaran televisi sesuai dengan prinsip-
prinsip televisi publik yang independen, netral, mandiri dan program siarannya
senantiasa berorientasi kepada kepentingan masyarakat serta tidak semata-mata men-
cari keuntungan (Pasal 6). Juga dikatakan bahwa untuk men- capai maksud dan
tujuan tersebut Perjan menyelenggarakan kegiatan usaha jasa penyiaran publik dalam
bidang informasi, pendidikan dan hiburan, serta usaha-usaha terkait lainnya yang
dilakukan dengan standar kualitas yang tinggi (Pasal 7).

Anda mungkin juga menyukai