DOSEN PENGAMPUH:
DISUSUN OLEH:
Aulia Dzaldzabila
BIODATA PENULIS
Terlahir dengan nama Muhamad Mufid. penulis menamatkan pendidikan dasar dan
menengah di kota kelahirannya, Cirebon. Setelah itu penulis melanjutkan pendidi kan
di Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (lulus tahun 2000). Pada 2003 penulis meraih gelar
Magister dari Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, dengan judul
tesis "Relasi Kekuasaan Seputar Penyusunan Regulasi Penyiaran: Studi Ekonomi
Politik UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran".
Semasa kuliah, suami dari Septa Apriyani Maulina ter- sebut aktif di berbagai
organisasi baik intra maupun ekstra- kampus. Kini, penulis aktif di eLSAS (Lingkar
Studi Agama dan Sosial) dan LPPMI (Lembaga Pengkajian dan Pem- berdayaan
Masyarakat Indonesia) Jakarta.
Sedangkan mengenai riwayat kerja, penulis pernah ber gabung sebagai wartawan
Radar Depok (2002) dan Buletin UI (2003). Mulai pertengahan 2004, penulis bekerja
di Litbang Media Indonesia. Setelah menyelesaikan pendidikan S2, penulis juga
mengajar sejumlah mata kuliah komunikasi pada Program Kuliah Sabtu-Minggu di
Universitas Mercu Buana Jakarta dan Sekolah Tinggi Madinatul Ilmu Depok.
BAB 1
A. PENGERTIAN KOMUNIKASI
Di antara ratusan definisi tersebut, ada baiknya kita simak beberapa di antaranya,
yaitu (lihat al. Ruben, 1992, 11: R Loose, 1909 1: DeVito, 1986.5):
2. "Communication include (10 all the procedures by which one mind may affect
another." (Komunikasi meliputi semua prosedur di mana pikiran seseorang
memengaruhi orang lain).
3. Pesan, yaitu tanda (signal) atau kombinasi tanda yang berfungsi sebagai
stimulus (pemicu) bagi penerima tanda. Pesan dapat berupa tanda atau simbol.
Sebagian dari tanda dapat bersifat universal, yakni dipahami oleh sebagian besar
manusia di seluruh dunia, seperti senyum sebagai tanda senang, atau asap sebagai
tanda adanya api. Tanda lebih besifat universal daripada simbol. Ini dikarenakan
simbol terbentuk melalui kesepakatan, seperti simbol negara. Karena terbentuk
melalui kesepakatan, maka simbol tidak bersifat alami dan tidak pula universal.
Era Tisias kemudian digantikan oleh Aristoteles (385-322 SM) dan gurunya
Plato (427-347 SM). Kedua orang tersebut merupakan figur penting dalam
mengembangkan disiplin komu nikasi. Aristoteles (dalam Ruben, 2002: 21)
mengatakan bahwa komunikasi adalah alat di mana warga masyarakat dapat ber-
partisipasi dalam demokrasi.
Jika pada masa klasik komunikasi dikembangkan oleh pemikir, memasuki abad
18, komunikasi diasuh oleh sastrawan. Pada masa ini komunikasi sudah mengenal
dasar-dasar komu- nikasi seperti gaya bicara, artikulasi (pengucapan) dan sikap tubuh
(gesture). Pada akhir abad 19, di banyak perguruan tinggi departemen rhetoric and
speech berada di bawah fakultas sastra.
Disiplin lain yang turut membentuk studi komunikasi adalah jurnalisme. Sama
seperti retorika, jurnalisme sebenarnya telah dipraktikkan sejak 3.700 tahun yang lalu
di Mesir. Julius Caesar lalu mengembangkan pola jurnalisme dengan menjual cikal
bakal koran. Pada tahun 1690 muncul koran modern pertama di AS dengan nama
Public Occurences both Foreign and Domestic. Dalam fase selanjutnya, jurnalisme
banyak ber- kembang di AS sementara teori-teori komunikasi berkembang di Eropa.
a. Periode 1900-1930
Periode ini disebut juga 'masa perkembangan speech and journalism', yakni
masa berkembangnya disiplin komunikasi yang ditandai dengan berdirinya organisasi
dan jurnal komu- nikasi. Pada tahun 1909 berdiri organisasi komunikasi pertama di
Amerika Serikat, the Eastern State Speech Association (sekarang menjadi the Eastern
Communication Association). 20 tahun kemudian terbentuk organisasi profesional
komunikasi, Communication Association. Perkembangan ini disusul pener bitan
jurnal komunikasi pertama, the Quarterly Journal of Speech. Puncak dari sintesis
komunikasi dan jurnalisme ditandai dengan dibukanya kursus jurnalism di University
of Wisconsin pada tahun 1905, yang dilanjutkan dengan perkembangan teknologi
radio (1920-an) dan televisi (1940-an).
b. Periode 1930-1950
Periode ini bisa disebut sebagai masa "persilangan komunikasi dengan disiplin
ilmu lain". Memang sejak awal pembentukannya, disiplin ilmu komunikasi tidak
terlepas dari persilangan disiplin lain seperti filsafat dan teknologi. Namun
persilangan yang terjadi pada era ini adalah persilangan komu- nikasi dengan disiplin
ilmu sosial dan psikologi. Dalam bidang antropologi misalnya, gerak tubuh (gesture)
dan partisipasi kultural dijadikan salah satu penjelasan tentang pola komunikasi suatu
masyarakat. Studi ini kemudian turut memperkaya teore- tisasi komunikasi non-
verbal. Percampuran juga terjadi dalam bidang psikologi berupa penggunaan teori
psikologi seperti minat, persuasi, sikap, dan pengaruh untuk menjelaskan bagai- mana
dinamika yang terjadi dalam berkomunikasi.
Akhir tahun 1950 muncul sejumlah tulisan penting. Tulisan ini tidak saja
semakin membentuk komunikasi sebagai sebuah disiplin ilmu, tapi juga meletakkan
kerangka berpikir sebagai pijakan mengembangkan ilmu komunikasi, seperti teori
Lasswell, Shannon-Weaver, Schramm dan Katz-Lazarfel.
Pada tahun 1948 Lasswell memperkenalkan pola komuni- kasi yang mengatakan
bahwa proses komunikasi meliputi "who says what to whom in what channel with
what effect", atau "siapa berkata apa kepada siapa dengan menggunakan saluran apa
serta menimbulkan pengaruh apa".
Teori komunikasi lalu makin berkembang ketika pada tahun 1955, ilmuwan
politik Elihu Katz dan Paul Lazarfeld memapar kan konsep komunikasi dua tahap
melalui buku Personal Influence. Model komunikasi Katz-Lazarfeld dikembangkan
atas dasar penelitian yang dilakukan kedua ilmuwan tersebut ketika mendapati bahwa
tidak semua informasi yang disalurkan melalui media massa tidak semuanya sampai
atau berpengaruh bagi penerima. Secara spesifik, keduanya mendapati bahwa pesan
politik yang disampaikan melalui radio dan media cetak ternyata diabaikan oleh
mereka yang hendak mengambil keputusan dalam suatu coting
c. Periode 1960
Kemudian pada tahun 1967 Frank Dance mengembang- kan pola komunikasi
berbentuk spiral untuk menunjukkan kompleksitas komunikasi berikut proses
evolusinya. Komu- nikasi menurut Dance melibatkan perubahan dan penilaian yang
ada. Karenanya komunikasi adalah proses.
Bertepatan dengan gagasan Dance, Paul Watzlawick, Janet Beavin dan Don
Jackson menulis Pragmatic of Human Commu- nication, yang berisi gambaran
pandangan umum tentang komunikasi dari sudut pandang psikiatri (ilmu penyakit
jiwa), Pada dasarnya model komunikasi ini menekankan proses komunikasi antara
dua individu yang meliputi proses menerima dan memberi pesan.
Komunikasi menurut model ini akan terjadi jika pesan secara sengaja
disampaikan. Komunikasi dengan demikian memiliki karakter terus-menerus
(ongoing) dan kumulatif sehingga memunculkan istilah "one cannot not
communicate" atau "seseorang tidak dapat tidak berkomunikasi.
d. Periode 1970
Periode ini disebut pula masa perkembangan dan spe- sialisasi (growth and
specializatin). Periode ini dimulai dari tahun 1960 yang mencapai puncaknya pada
1970-an. Periode ini ditandai dengan perkembangan berbagai disiplin ilmu
komunikasi seperti interpersonal communication berkembang dari studi komunikasi
non-verbal. Begitu juga dengan studi retorika, public speaking, debat, jurnalisme,
iklan dan public relation, teori informasi dan sistem komunikasi, keduanya jug
berkembang pesat menjadi studi yang terpisah.
Periode ini disebut pula sebagai era informasi (infor mation age). Periode ini
ditandai oleh:
Pada masa ini informasi dan pesan dilihat sebagai barang komoditas ekonomi
yang dapat diperjualbelikan. Periode ini juga ditandai munculnya perusahaan-
perusahaan besar yang bergerak dalam bisnis informasi seperti IBM, AT&T dan
Xerox Komunikasi pada era ini menjadi nafas perkembangan bidang telekomunikasi,
percetakan, industri komputer, bank, pe- nelitian dan hiburan. Setengah dari tenaga
kerja negara maju seperti AS, Jepang, Swedia, dan Inggris bahkan bekerja pada
sektor komunikasi-informasi.
Televisi pada masa ini tidak hanya berfungsi sebagai medium melihat
penyebaran program, namun televisi pada masa tersebut juga bisa berfungsi sekaligus
sebagai piranti sistem jaringan kabel, video game dan layar komputer. Begitu pula
dengan telepon. Jika sebelumnya telepon diciptakan sebagai perangkat berkomunikasi
orang per orang, maka pada masa tersebut telepon dapat digunakan untuk
berkomunikasi massal.
• Studi kebudayaan; fokus pada pengaruh historis, sosial dan kultural terhadap
pembentukan, pengiriman, interpretasi, dan penggunaan pesan.
• Ekonomi; fokus pada produksi dan konsumsi informasi sebagai entitas
ekonomi.
• Jumalisme, fokus pada sumber informasi, isi, komunikasi publik, dan media.
Seiring dengan perkembangan zaman, teori komunikasi hingga kini masih terus
berkembang. Straubhaar (2003: xiii). seorang teoretisi komunikasi dari University of
Texas, AS, mengatakan komunikasi kekinian adalah komunikasi yang termediasi oleh
teknologi dalam berbagai bentuk jenis media baru. Media baru tersebut sejatinya
adalah media massa yang mengalami perubahan konsep secara cepat seiring dengan
percepatan teknologi komputer, Internet, dan telekomunikasi digital. Tumbuhnya
media baru juga diikuti oleh meningkatnya akumulasi konsumsi informasi. Di negara
maju seperti AS, rata-rata orang menonton TV adalah 2600 jam per tahun, atau setara
dengan 325 hari efektif kerja.
Petikan di atas adalah bagian dari naskah drama radio yang dimainkan oleh
Orson Welles dan Mercury Theater pada 30 Oktober 1938 yang disiarkan oleh CBS
Radio Studio One di New York. Secara keseluruhan, drama yang bertema invasi dari
Mars tersebut menggambarkan adanya sebuah makhluk luar angkasa, tepatnya dari
Mars, ke Bumi.
Drama Orson yang berdurasi satu jam tersebut ternyata ketika itu membawa efek
jauh dari yang dibayangkan. Segera setelah drama selesai, berbondong-bondong
masyarakat me- ngungsi ke stasiun CBS dengan membawa berbagai perabot. Jalan-
jalan dipenuhi suasana histeris. Gereja penuh dengan orang yang mendadak
mengadakan kebaktian. Semuanya me- ngira bahwa cerita drama tersebut adalah
sungguhan. Baru setelah Orson dan pihak studio menjelaskan duduk perkara se-
benarnya, masyarakat kembali tenang. Tak pelak, kejadian ter sebut menyadarkan
ilmuwan tentang betapa besar pengaruh penyiaran terhadap pembentukan masyarakat.
Penyiaran, pada hakikatnya adalah salah satu keterampilan dasar manusia ketika
berada pada posisi tidak mampu untuk menciptakan dan menggunakan pesan secara
efektif untuk berkomunikasi. Penyiaran dalam konteks ini adalah alat untuk
mendongkrak kapasitas dan efektivitas komunikasi massa.
Dalam teori media dan masyarakat massa (lihat Barran & Davis, 2000: 48)
misalnya dikatakan bahwa media memiliki sejumlah asumsi untuk membentuk
masyarakat, yakni:
Studi tentang penyiaran sebagai komunikasi massa mesti pula melihat berbagai
teori tentang efek komunikasi massa Di antara teori yang menjelaskan hal tersebut
adalah teori stimulus-respons, teori two step flow dan teori difusi inovasi (Sendjaja,
1998: 188).
1. Teori Stimulus-Respons
Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa efek merupa kan reaksi terhadap
situasi tertentu. Dengan demikian, se seorang dapat mengharapkan sesuatu atau
memperkirakan sesuatu dengan sejumlah pesan yang disampaikan melalui penyiaran.
Teori ini memiliki tiga elemen, yakni (a) pesan (stimulus); (b) penerima (receiver);
dan (c) efek (respons).
Prinsip teori stimulus kemudian memunculkan teori turunan yang disebut teori
jarum hipodermiks, yaitu teori klasik mengenai proses terjadinya efek media massa.
dalam teori ini, isi media dipandang sebagai obat yang disuntikkan ke dalam
pembuluh audien, yang kemudian diasumsikan akan bereaksi seperti yang
diharapkan.
Teori ini berasal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Paul Lazarsfeld
mengenai efek media massa dalam kampanye pemilihan presiden di Amerika Serikat
tahun 1940 (Sendjaja, 1998: 189). Studi tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa
proses stimulus-respons bekerja dalam menghasilkan efek media massa. Namun hasil
penelitian menunjukkan sebalik- nya; efek media massa ternyata rendah, dan asumsi
stimulus- respons tidak cukup menggambarkan realitas audien media massa dalam
menyebarkan arus informasi dan pembentukan pendapat umum.
Seperti dalam teori dua tahap. pada teori difusi inovasi pengaruh media juga
dipandang tak secara langsung mengenai individu, tetapi terdapat sumber non-media
yang turut me- mengaruhi efektivitas pesan media. Hanya saja dalam teori ini,
pengaruh non-media tidak merujuk pada opinion leader. tapi kepada siapa saja yang
bisa memengaruhi, seperti tetangga atau teman. Karenanya, difusi melibatkan
pengetahuan, per suasi, keputusan, dan konfirmasi.
BAB 2
A. RADIO
Sampai di sini, siaran radio belum dilihat sebagai kegaitan ekonomi. Baru pada
tahun 1919 Frank Conrad secara reguler pendirian stasiun baru radio. Menghadapi
kenyataan ini peraturan kepemilikan diperlonggar, sehingga memungkinkan jaringan
untuk memiliki lebih banyak stasiun radio. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1962
FCC merevisi peraturan penggunaan ranah FM untuk siaran komersial. Revisi
tersebut mendorong lahirnya 3.000 stasiun baru di seluruh Amerika Serikat pada
tahun 1963 (lihat www.tvhandbook.com). Selain munculnya stasiun baru,
perkembangan stasiun radio FM juga terjadi melalui perpindahan kepemilikan. Pada
tahun 1996 tak kurang dari 4400 stasiun radio di AS berpindah kepemilik an, di mana
700 di antaranya adalah pemindahtanganan dari pemilik stasiun radio lokal ke
jaringan stasiun radio.
B. TELEVISI
Suatu hari di tahun 1922, seorang remaja berusia 15 tahun Philo Farnsworth
mengemudikan sebuah traktor maju mundur mengikuti alur yang ada di sebuah
ladang di Idaho, AS. Gambar yang dihasilkan menginspirasi Farnsworth untuk
menciptakan serangkaian gambar elektronik sebagaimana dalam alur ladang Pada
tahun 1927 Farnsworth dan AT&T mendemonstrasikan penemuan televisi dihadapan
publik. Sejak itu, televisi men- jadi media massa.
Penyiaran televisi ke rumah pertama dilakukan pada tahun 1928 secara terbatas
ke rumah tiga orang eksekutif General Electric, menggunakan alat yang sangat
sederhana. Sedangkan penyiaran televisi secara elektrik pertama kali dilakukan pada
tahun 1936 oleh British Broadcasting Corporation. Sedangkan di Jerman penyiaran
TV pertama kali terjadi pada tanggal 11 Mei tahun 1939. Stasiun televisi itu
kemudian diberi nama Nipko, sebagai penghargaan terhadap Paul Nipko, ilmuwan
terkenal Jerman dan salah seorang penemu alat televisi.
Fenviaran televisi pertama kali di AS sendiri baru di lakukan pada tahun 1939
secara berlangganan oleh NBC dan CBS. Baik NBC atau CBS sama-sama memulai
penyiaran secara komersial. Hal ini berbeda dengan perkembangan TV d Indonesia,
di mana penyiaran dimulai dari TV publik (TVB) baru kemudian diikuti oleh stasiun
TV komersial (dengan munculnya RCTI). NBC memulai uji coba penyiaran pada
bulan April 1935, dari atap gedung Empire State Building Sementara CBS baru pada
tahun 1937 mengalokasikan da US$2 juta untuk melakukan uji coba sistem TV, dan
berhasil melakukan siaran publik pada tahun 1939.
Perkembangan televisi terhambat selama Perang Dunia II, karena bahan baku
komponen pesawat televisi dialokasikan ke industri alat perang. Setelah perang
selesai pada tahun 1945, penyiaran televisi kembali menggeliat. Ketika itu AT&T
menemukan teknologi baru penyiaran jaringan televisi dengan kabel coaxical dengan
menu utama seputar olahraga. Pada tahun 1948 telah ada satu juga set televisi di AS
dengan stasiun mencapai 50 buah. Atas pertimbangan banyaknya jumlah stasiun
televisi FCC (Federal Communi cation Comision) lalu menghentikan izin operasional
stasiun barn. Setelah frekuensi ditata ulang, FCC kembali meng- izinkan
operasionalisasi siaran stasiun baru. Stasiun TV pun melonjak menjadi 106 buah
empat tahun setelah pembekuan. Jumlah pesawat televisi juga meroket hingga
mencapai 15 juta pada tahun 1952.
BAB 3
RADIO
A. REGULASI RADIO
Untuk memperoleh gambaran tentang regulasi radio sebelum masa reformasi ada
baiknya kita kembali lihat hasil studi yang telah dilakukan oleh Krishna Sen dan
David T Hill. Dalam buku mereka yang dipublikasikan oleh Institut Studi Arus
Informasi (ISAI) Jakarta dikatakan bahwa regulasi radio sudah sering mengalami
perubahan. Pada tahun 1967 misalnya, rezim Orba mencoba mengatur broadcaster
non-pemerintah dengan memisahkan stasiun-stasiun hobi yang lebih kecil dengan
yang lebih mapan. Satu tahun kemudian, segera setelah resmi menjadi Presiden,
Soeharto memerintah suatu tindakan keras membatasi dan mengatur radio-radio
berbasis kampus serta radio mahasiwa lainnya.
Pada 1970, stasiun radio swasta disahkan, namun dengan kewajiban radio swasta
untuk merelai berita RRI. Pemerintah juga membatasi wilayah transmisi dan
mengatur isi siaran. Selama 1970-an, stasiun komersial tumbuh pesat sehingga, dalam
dekade berikutnya, siaran non-pemerintah menjadi sinonim dengan stasiun komersial.
Ketika itu pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerin- tah No. 55 Tahun 1976
tentang Radio Siaran Non-Pemerintah. Inti regulasi tersebut meletakan kriteria
pendiri perusahaan siaran radio non-Pemerintah dan menyediakan kerangka
kebijakan radio Orba. Fungsi sosial radio digambarkan sebagai, "alat pendidik, alat
penerangan, dan alat hiburan. Selanjutnya dikatakan bahwa, "radio tidak
dipergunakan untuk kegiatan politik". Peraturan yang sama melarang modal (atau
bantuan) asing dan mengharuskan para pemilik stasiun haruslah Warga Negara
Indonesia yang pernah terlibat PKI atau Gerakan tak 30 September, dan bukan
pengurus partai politik atau organi- sasi masa apa pun.
B. ORGANISASI INDUSTRI
Maka atas prakarsa tokoh-tokoh Persatuan Radio Siaran Jakarta didukung tokoh-
tokoh asosiasi atau tokoh radio siaran swasta berbagai daerah, digagas, dipersiapkan
sampai berhasil diselenggarakan Kongres Pertama Radio Siaran Swasta se- Indonesia
yang melahirkan organisasi "Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonésia"
disingkat PRSSNI di Balai Sidang Senayan Jakarta, pada tanggal 16-17 Desember
1974, dihadiri 227 orang peserta, mewakili 173 stasiun radio siaran swasta dari 34
kota di 12 provinsi saat itu. Pada Munas ke IV PRSSNI di Bandung tahun 1983, kata
"Niaga" diganti "Nasional", se- hingga menjadi Persatuan Radio Siaran Swasta
Nasional Indonesia tetap disingkat PRSSNI.
Pada 1977 Menteri Penerangan secara resmi mendekla- rasikan PRSSNI sebagai
satu-satunya asosiasi stasiun radio swasta yang diakui. Pada 1996, asosiasi ini
memiliki jumlah anggota 449 AM dan 241 FM secara nasional. Fer Maret 2004
tercatat sebanyak 821 Badan Penyelenggara radio siaran swasta berizin resmi (Ditjen
Postel Deperhub RI) menjadi anggota PRSSNI, di antaranya sebanyak 483 stasiun
bekerja pada jalur FM, dan 338 stasiun bekerja pada frekuensi AM, tersebar di 28
Provinsi di Indonesia.
C. PASAR
Masih menurut Sen dan Hill (2000), tingkat kepemilikan pesawat radio
melonjak sepanjang 1970-an bersamaan luasan di bidang pasar barang-barang
konsumen umumnya, ketika Indonesia pulih dengan cepat dari kejatuhan ekonominya
pada 1960-an. Antara 1970 dan 1980 jumlah pesawat radio yang digunakan
meningkat lebih enam kali lipat. Pada 1970 terdapat 2,5 juta pesawat, tahun 1980 ada
15 juta, dan tahun 1994 menjadi 28,8 juta pesawat. Lebih dari 3,1 radio portable
terjual di tahun 1995 saja, menjadikan Indonesia salah satu pasar terbesar radio.
Pada 1994, terdapat sekitar 15 radio untuk setiap 100 orang Indonesia, yang
secara kasar sama dengan Fhilipina, namun kurang separuh dari Malaysia dan
seperempat dari Singapura. Angka kepemilikan radio per kepala dibanding jumlah
pen- duduk lebih rendah di wilayah pedesaan/pedalaman tetap jauh lebih tinggi
daripada kepemilikan televisi atau angka langganan media cetak, dan bahwa radio
adalah medium massa utama bagi banyak wilayah pedesaan di Indonesia.
Dalam studinya, Sen& Hill (2000) juga mengatakan bahwa tingkat jasa khusus
dan lokal yang diberikan oleh radio swasta dicontohkan oleh Radio Terunajaya yang
kecil di Pameung- peuk, Garut, satu-satunya stasiun radio untuk 4 kecamatan
pedesaan yang tersebar sepanjang 30 km pantai Selatan Jawa Barat. Berlokasi di
wilayah perbukitan, dengan komunikasi dan transportasi yang lemah, jauh dari jalan
beraspal, daya tarik khusus stasiun itu adalah siarannya yang berupa peng- umuman
komunitas maupun perorangan. Para penduduk desa menggunakan stasiun itu untuk
menyiarkan pesan penting dari satu desa ke desa lainnya.
Karena hanya ada sedikit hiburan alternatif, seseorang di desa sasaran tujuan
diperkirakan selalu mendengarkan siaran radio, dan akan menyampaikan pesan
tersebut kepada yang dituju. Di antara siaran-siaran regulernya yang lain, serta musik
pop Indonesia dan Sunda. Meskipun berukuran kecil, pasar Radio Terunajaya yang
diperkirakan berjumlah 140 ribu orang memungkinkan bertahan secara komersial.
Dibangun pada tahun 1991 dengan modal Rp 100 juta, radio itu mengalami BEP
setelah dua tahun karena kekuatan ceruk pasarnya dan identifikasi komunitas yang
kuat.
Mengutip data Bisnis.com, belanja iklan media radio selama kurun waktu 1996-
2002 belanja iklan radio mengala peningkatan meyakinkan. Jika pada 1986 belanja
iklan media radio hanya Rp 23 miliar, ternyata dalam waktu sepuluh tahun berikutnya
meningkat delapan kali lipat dengan nilai Rp 189 miliar. Periode enam tahun
berikutnya, juga terlihat pe tumbuhan meyakinkan, yakni 1997 Rp 206 miliar, 1998
Rp 136 miliar, 1999 Rp 187 miliar, pada 2000 Rp 257 miliar, 2001 Rp 341 miliar,
dan 2002 menjadi Rp 658 miliar.
BAB 4
TELEVISI
PERKEMBANGAN TELEVISI
Usulan untuk memperkenalkan televisi muncul jauh di tabon 1953, dari sebuah
bagian di Departemen Penerangan, didorong oleh perusahaan-perusahaan AS,
Inggris, Jerman. Jepang, yang berlomba-lomba menjual hardware-nya. Men- jelang
Asian Games ke-4 di Jakarta pada 1962, Soekarno dan kabinet akhirnya yakin akan
perlunya televisi, dengan alasan reputasi internasional Indonesia tergantung pada
Pekan Olah- raga yang disiarkan, terutama ke Jepang (yang telah memiliki televisi
sejak awal 1950-an).
Siaran televisi dimulai dengan bantuan ahli dan perawatan Jepang serta latihan
daripada ahli Inggris, di bawah Organizing Committee Asian Games ke-4. Tanggal
17 Agustus 1962, TVRI mulai mengadakan siaran percobaan dengan acara HUT
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia XVII dari halaman Istana Merdeka Jakarta,
dengan pemancar cadangan berkekuatan 100 watt. Tanggal 24 Agustus 1962, TVRI
mengudara untuk pertama kalinya dengan acara siaran langsung upacara pembukaan
Asian Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno. Indonesia menjadi negara
keempat di Asia yang memiliki siaran televisi, setelah Jepang, Filipina dan Thailand
(Panjaitan, 1999. 3).
Tahun 1963 TVRI mulai merintis pembangunan stasiun daerah, yang dimulai
dengan Stasiun Yogyakarta. Stasiun baru ini mulai siaran pada akhir tahun 1964.
Segera setelah itu, TVRI berturut-turut mendirikan Stasiun Medan, Surabaya
Makassar, Manado, dan Denpasar.
Tahun 1974, TVRI diubah menjadi salah satu bagian dari organisasi dan tata
kerja Departemen Penerangan, yang diberi status Direktorat, langsung bertanggung
jawab pada Direktur Jenderal Radio, TV, dan Film Departemen Penerangan RI.
Sebagai alat komunikasi pemerintah, tugas TVRI adalah untuk menyampaikan policy
pemerintah kepada rakyat. Satu tahun kemudian, dikeluarkan SK Menpen No. 55
Bahan siaran/KEP/ Menpen/1975, TVRI memiliki status ganda yaitu selain sebagai
Yayasan Televisi RI juga sebagai Direktorat Televisi, sedang manajemen yang
diterapkan yaitu manajemen perkantoran/ birokrasi.
Memasuki tahun 1975, selain berstatus sebagai yayasan, TVRI juga ditetapkan
sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Penerangan dengan diterbitkannya
SK Menteri Penerangan No. 55B Tahun 1975, yang kemudian diperbarui oleh SK
Menpen No. 230A tahun 1984 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Penerangan yang di dalamnya mengatur Direktorat Televisi yakni di bawah
Direktorat Jenderal RTE.
Pada 1976, Indonesia meluncurkan sebuah satelit staran domestik Palapa, diikuti
pada 1983 dengan Satelit Palapa B2 Teknologinya memang Amerika, namun nama
satelitnya me rupakan simbol Jawa, atau tepatnya diambil dari sumpah Gah Mada,
Mahapatih kerajaan Majapahit Abad XIV di Jawa Tengah Satu tahun setelah
peluncuran Palapa I, secara bertahap di beberapa ibu kota provinsi dibentuklah
Stasiun-stasiun Pro duksi Keliling atau SPK, yang berfungsi sebagai perwakilan di
daerah, bertugas memproduksi dan merekam paket acara untuk dikirim dan disiarkan
melalui TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Di samping itu, TVRI kemudian menjadikan
stasion daerah menjadi stasiun relai dari TVRI Jakarta.
Jika dibuat periodisasi perkembangan TVRI, maka paling sedikit kita bisa
membagi menjadi tiga. Pertama, era 1962 sampai 1975. TVRI yang terlahir secara
formal 24 Agustus 1962, ditetapkan badan hukumnya sebagai Yayasan melalui
Keppres RI No. 215/1963 pada 20 Oktober 1963. Kedua, status hukum era 1975
hingga 1999. TVRI pada periode ini memiliki d peran, yakni sebagai yayasan dan
juga sebagai Unit Pelaksana Teknis Departemen Penerangan. Ketiga, era reformasi.
Setelah beberapa waktu statusnya mengambang seiring dengan di likuidasinya
Deppen, berdasarkan SK Presiden RI No. 335/ M/1999 tentang Pembentukan Kabinet
Persatuan Nasional.