Anda di halaman 1dari 122

CRITICAL BOOK REPORT

Mata Kuliah: Semiotika


Dosen Pengampu: Prof. Dr.Khairil Ansari, M.Pd.

OLEH:
Aisyah Tinus Puspa Ningrum (2213111048)
Angel Marta Siregar (2213311061)
Anisah Az-Zahra Dalimunthe (2213311021)
Diera Elika Purba (2213311024)
Dimas MMT Sihombing (2213311010)
Devani Reviel 2213311009
Florentina Sagala (2213311053)
Hotmawanti Sihaloho (2213111075)
Jessica Ananda Putri Br. Naibaho (2213311059)
Rafiqah Zainy (2213311003)
Rehna Okviyanti Marpaung (2213311022)
Reni Widya sitanggang (2213111065)
Rolina Manullang (2213111056)
Ruth Silvia Lisda J. Sitorus (2213111062)
Theresia Anggereni (2213311058)

Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Medan

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil a’lamin whassolatu whassala mu’ala ashrofil ambiya iwal


mursalin wa ala alihi wa ashabihi ajma’in. Puji syukur kehadirat Allah swt, yang dimana
berkat rahmat dan hidayah nya sehingga kami dapat menyelesaikan “Critical Book Report”
untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Semiotika yang diampu oleh Bapak Prof.
Dr.Khairil Ansari, M.Pd. Pembuatan CBR ini disusun untuk dijadikan pembelajaran dalam
mata kuliah Semiotika.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami
terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca
sehingga saya bisa melakukan perbaikan CBR sehingga menjadi makalah yang baik dan
benar.
Akhir kata kami meminta semoga makalah jurnal ini bisa memberi manfaat ataupun
inpirasi pada pembaca.

Medan, 28 Februari 2023

KELOMPOK 2

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................2
DAFTAR ISI.......................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................4
A. Latar Belakang..................................................................................................4
B. Tujuan Penulisan Critical Book Report (CBR).....................................................4
C. Manfaat Penulisan Critical Book Report (CBR)…….............................................4
D. Identitas buku…................................................................................................5
BAB II RINGKASAN ISI BUKU……........................................................................................6
2.1 Ringkasan buku utama……...............................................................................6
2.2 Ringkasan buku pembanding 1......................................................................10
BAB III PEMBAHASAN.....................................................................................................22
3.1 KELEBIHAN BUKU..........................................................................................22
3.2 KEKURANGAN BUKU.....................................................................................22
BAB IV PENUTUP............................................................................................................23
4.1 KESIMPULAN.................................................................................................23
4.2 SARAN...........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA…….....................................................................................................24

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keterampilan membuat CBR pada penulis dapat menguji kemampuan dalam meringkas
dan menganalisis sebuah buku serta membandingkan buku yang dianalisis dengan buku yang
lain serta mengkritik sebuah karya tulis yang dianalisis.
Sering kali kita bingung memilih buku referensi untuk kita baca dan pahami, terkadang
kita hanya memilih satu buku untuk dibaca tetapi hasilnya masih belum memuaskan misalnya
dari segi analisis Bahasa dan pembahasan, oleh karna itu penulis membuat CBR Semiotika
ini untuk mempermudah pembaca dalam memilih buku referensi terkhusus pada pokok
Bahasan tentang Semiotika.

B. Tujuan Penulisan Critical Book Report (CBR)


1. Memenuhi salah satu tugas Critical Book Review pada mata Semiotika.
2. Untuk mengetahui dan membandingkan substansi dari kedua buku
3. Mengembangkan kemampuan dalam analisis terhadap kelebihan dan kekurangan
suatu karya terkhusus sebuah buku
4. Dapat meningkatkan pengetahuan melalui buku yang dikritisi

C. Manfaat Penulisan Critical Book Report (CBR)


1. Mampu menjelaskan dan mengkritisi isi buku
2. Mahasiswa dapat lebih kreatif dalam mencari informasi tentang buku yang di kritisi
3. Meningkatkan kemampuan kritisasi sebuah karya
4. Meningkatkan kemampuan dalam menganalisis suatu karya baik berupa buku ataupun
karya yang lain

D. Identitas buku
4
BUKU UTAMA
a. Judul buku : Semiotika dan Hipersemiotika

b. Penulis : Taraf Amir Piliang

c. Penerbit : MATAHARI

d. ISBN : 978-602-98762-1-5

e. Kota Terbit : Bandung

BUKU PEMBANDING 1
a. Judul Buku : Semiotika

b. Penulis : Prof. Dr.Khairil Ansari, M.Pd., Prof. Dr.Amrin Saragih,M.A,Dkk

c. Penerbit : Fbs unimed press

d. ISBN : 978-602-53253-6-6

e. Kota Terbit : Jl.Willem Iskandar Psr V,Medan

BAB II

5
RINGKASAN ISI BUKU
2.1 Ringkasan buku utama
BAB I
Prolog:
Antara Semiotika dan Hipersemiotika
Ilmu pengetahuan (science) sifatnya objektif, rasional, transparan dan kejujurannya
dibedakan secara diametrikal dengan ideologi, yang oleh Marx dikatakan sebagai ilmu
tentang kesadaran palsu (false consciousness). Ideologi selalu menciptakan pada diri setiap
orang sebuah lukisan diri sebagai kebenaran, padahal semuanya adalah lukisan palsu yang
diciptakan oleh para elit ideolog. Ilmu pengetahuan, sebaliknya, tidak pernah menciptakan
kesadaran palsu seperti itu. Semiotika adalah salah satu dari ilmu, yang oleh beberapa
pemikir dikaitkan hakikatnya dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan- sebuah teori
dusta. Asumsi terhadap teori dusta inilah-serta beberapa teori lainnya yang sejenis-yang
dijadikan sebagai titik be rangkat dari sebuah kecenderungan semiotika, yang di dalam buku
ini disebut sebagai hipersemiotika.

Semiotika sebagai Teori Dusta


Semiotika yang dikemukakan oleh Umberto Eco yang mengatakan, bahwa
semiotika"...pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang
dapat digunakan untuk berdusta (lie)." Meskipun mungkin sangat mencengangkan banyak
orang, secara tegas menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika,
sehingga dusta menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri. Penjelasan Eco berikut
memperlihatkan, bahwa Eco sesungguhnya tidak sedang bermain-main dengan definisi
tersebut. Ia, sebaliknya, sedang bersungguh-sungguh menjelaskan sebuah teori semiotika.
Sebagaimana dikemukakannya lebih lanjut: "Bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk
mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan
kebenaran.
Meskipun demikian, implisit dalam definisi Eco di atas adalah, bahwa bila semiotika
adalah sebuah teori kedustaan, maka ia sekaligus adalah teori kebenaran. Sebab, bila sebuah
tanda tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, maka ia tidak dapat pula
digunakan untuk mengungkapkan kedustaan. Dengan demikian, meskipun Eco menjelaskan
semiotika sebagai teori kedustaan, implisit di dalamnya adalah teori kebenaran, seperti kata
siang yang implisit dalam kata malam.
Hipersemiotika dan Teori Palsu
Kata hipersemiotika dalam judul buku ini "Semiotika dan Hipersemiotika: Gaya, Kode
dan Matinya Makna, tentunya berkaitan dengan makna dusta seperti yang dikemukakan Eco,
meskipun tidak dengan sendirinya hipersemiotika dapat diartikan sebagai teori kedustaan.
Awalan hiper pada istilah hipersemiotika-yang bermakna melampaui-memperlihatkan, bahwa
hipersemiotika tidak sekadar teori kedustaan, akan tetapi teori yang berkaitan dengan relasi-

6
relasi lainnya yang lebih kompleks antara tanda, makna, dan realitas, khususnya relasi
simulasi.
Semiotika, sebagaimana dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure dalam Course in General
Linguistics, adalah ilmu yang mempelajari peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial."
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda
dalam penggunaannya di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, semiotika mempelajari relasi di
antara komponen-komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan
masyarakat penggunanya. Dalam hal ini, ada berbagai prinsip yang sangat mendasar pada
pemikiran Saussure mengenai teori semiotika:

Pertama, prinsip struktural. Saussure memandang relasi tanda sebagai relasi struktural,
yang di dalamnya tanda dilihat sebagai suatu kesatuan antara sesuatu yang bersifat material,
yang oleh Roland Barthes sebagai penerus Saussure disebut penanda (signifier) dan sesuatu
yang bersifat konseptual, yang disebut petanda (signified). Dalam kaitan inilah, semiotika
yang dikembangkan Saussure biasa disebut semiotika struktural, dan kecenderungan ke arah
pemikiran struktur ini disebut strukturalisme. Strukturalisme dalam semiotika tidak menaruh
perhatian pada relasi kausalitas antara suatu tanda dan causa prima-nya, antara bahasa dan
realitas yang direpresentasikannya, melainkan pada relasi secara total unsur-unsur yang ada
di dalam sebuah sistem (bahasa).
Kedua, prinsip kesatuan (unity). Sebuah tanda merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan antara bidang penanda yang bersifat konkrit atau material (suara, tulisan, gambar,
objek) dan bidang petanda (konsep, ide, gagasan, makna), seperti dua sisi dari selembar
kertas yang tidak mungkin dipisahkan. Meskipun penanda yang abstrak dan nonmaterial
tersebut bukan bagian intrinsik dari sebuah penanda, akan tetapi oleh Saussure ia dianggap
hadir (present) bersama-sama penandanya yang konkrit, dan kehadirannya adalah absolut.
Dengan demikian, ada kecenderungan metafisik pada konsep semiotika Saussure, di mana
sesuatu yang bersifat nonfisik (petanda, konsep, makna, kebenaran) dianggap hadir di dalam
sesuatu yang bersifat fisik (penanda).
Ketiga, prinsip konvensional. Relasi struktural antara sebuah penanda dan petanda, dalam
hal ini, sangat bergantung pada apa yang disebut konvensi, yaitu kesepakatan sosial tentang
bahasa (tanda dan makna) di antara komunitas bahasa. Hanya karena adanya konvensi yang
memungkinkan tanda memiliki dimensi sosial, dan dapat digunakan di dalam wacana
komunikasi sosial. Sebab, tanpa konvensi tidak akan ada komunitas bahasa, dan tidak akan
ada komunikasi. Tanda disebut konvensional, dalam pengertian, bahwa relasi antara penanda
dan peran- danya disepakati sebagai suatu konvensi sosial.
Keempat, prinsip sinkronik. Keterpakuan pada relasi struktural menempatkan semiotika
struktural sebagai kecenderungan kajian sinkronik, yaitu kajian tanda sebagai sistem yang
tetap di dalam konteks waktu yang dianggap konstan, stabil, dan tidak berubah. Penekanan
semiotika struktural pada apa yang disebut Saussure sebagai langue (atau sistem bahasa),
oleh beberapa pemikir dianggap telah melupakannya pada sifat berubah, dinamis, produktif,
dan transformatif dari parole (penggunaan bahasa secara aktual dalam masyarakat).
Kelima, prinsip representasi. Semiotika struktural dapat dilihat se bagai sebentuk
representasi, dalam pengertian sebuah tanda merepresentasikan suatu realitas, yang menjadi

7
rujukan atau referensinya. Sebuah tanda bunga, misalnya, mewakili sesuatu di dalam dunia
realitas, sehingga hubungan tanda dan realitas lebih bersifat mewakili.
Keenam, prinsip kontinuitas. Ada kecenderungan pada semiotika struktural untuk melihat
relasi antara sistem tanda dan penggunaannya secara sosial sebagai suatu continuum, yang
dalam konteks semiotika dapat disebut sebagai semiotic continuum, yaitu sebuah relasi waktu
yang berkelanjutan dalam bahasa, yang di dalamnya berbagai tindak penggunaan bahasa
selalu secara berkelanjutan mengacu pada sebuah sistem atau struktur yang tidak pernah
berubah, sehingga di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perubahan radikal pada tanda,
kode, dan makna. Perubahan hanya dimungkinkan secara sangat evolutif, yaitu perubahan
kecil pada berbagai elemen bahasa, sebagai akibat logis dari perubahan sosial itu sendiri.

Hipersemiotika dan Hiper-Realitas


Dalam upaya pemahaman yang komprehensif mengenai istilah hipersemiotika yang
digunakan dalam buku ini, awalan hiper pada istilah tersebut perlu mendaparkan perhatian
khusus. Untuk menjelaskan makna hiper tersebut dalam konteks hipersemiotika atau hiper-
realiras. kita tidak dapat bertumpu hanya pada kamus umum. Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, misalnya, istilah hiper, diartikan sebagai "di atas, "berlebihan", atau "di luar atau
terlampau melampaui batas. Mengacu pada pengertian tersebut, hipersemiotika dapat
diartikan sebagai semiotika berlebihan atau semiotika melampaui batas.
Hipersemiotika, yang berarti melampaui batas semiotika, digunakan untuk menjelaskan
sebuah kecenderungan yang berkembang pada beberapa pemikir khususnya pemikir
semiotika murakhir-yang berupaya melampaui batas oposisi biner di dalam bahasa dan
kehidupan sosial, yaitu benteng oposisi biner yang secara konvensional dibangun antara
struktur/perkembangan, konvensi/perubahan, fisika/metafisika, sinkronik/diakronik,
penanda/petanda, langue/parole, tanda/realitas. Hipersemiotika, dalam hal ini, mencoba
membongkar tembok oposisi biner ini, dan mengembangkan beberapa prinsip, yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, prinsip perubahan dan transformasi. Hipersemiotika menekankan pada
perubahan tanda ketimbang struktur tanda, produksi tanda-tanda ketimbang reproduksi kode
dan makna, dinamika pembiakan tanda yang tak berhingga ketimbang relasi yang tetap.
Reproduksi semiotik adalah relasi, yang di dalamnya tanda (penanda dan petanda/ bentuk dan
makna) selalu diproduksi ulang dalam bentuk yang sama oleh mesin reproduksi semiotik.
Kedua, prinsip imanensi. Hipersemiotika menekankan sifat imanensi sebuah tanda
ketimbang sifat transendensinya, permainan permukaan material (fisik) ketimbang kedalaman
(metafisik), permainan penanda ketimbang petanda, pengolahan bentuk ketimbang ketetapan
makna, permainan kulit (surface) ketimbang kepastian isi, penjelajahan jagat raya simulasi
ketimbang kanon-kanon representasi. Ketika rantai yang menghubungkan penanda dan
petanda, konsep atau makna dalam sebuah relasi pertandaan diputuskan, maka yang terbentuk
adalah tanda yang tidak lagi menggantungkan dirinya pada rujukan realitas, dan
mengembangkan dirinya di dalam medan permainan pure simulacrum, atau pure immanence,
yang membentuk dunia hiper-realitas.

8
Ketiga, prinsip perbedaan atau pembedaan (difference). Hipersemiotika
menekankan perbedaan ketimbang identitas, konvensi, dan kode sosial. Dalam hal ini, harus
dibedakan antara konsep perbedaan dan kebaruan (newness). Mesin pembedaan, yang raison
d'etrenya adalah memproduksi jagat raya perbedaan-perbedaan tanda, yang tidak selalu harus
baru. Sehingga, penjelajahan menelusuri puing-puing tanda masa lalu (pastiche) sangat
dirayakan di dalamnya, dalam rangka menciptakan relasi-relasi dialogis antar waktu dan antar
ruang (ruang-waktu masa lalu/masa kini/masa depan) di dalam sebuah wadah ruang yang
sama.
Keempat, prinsip permainan bahasa (language game). Hipersemiotika menekankan
permainan pada tingkat parole ketimbang langue, event ke timbang sistem, reinterpretasi
terus menerus tanda ketimbang pemba- ngunan ulang struktur. Hipersemiotika, dengan
demikian, adalah mesin permainan bahasa, yang memproduksi secara terus menerus rimba
raya permainan tanda-tanda sebagai komoditi, tanpa merasa perlu meng ikatkan diri pada
sebuah sistem yang tetap, semata dalam rangka menghasilkan keterpesonaan, kesenangan,
gairah, dan ekstasi dalam bermain itu sendiri.
Dunia hiper-realitas, dengan demikian, dapat dipandang sebagai sebuah dunia
perekayasaan (dalam pengertian distorsi) realitas lewat hypersigns, sedemikian rupa,
sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya.
Hiperrealitas menciptakan satu kondisi, yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan
keaslian; masa lalu berbaur dengan masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa: tanda
melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran,
kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan- akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu.

Konsep Tanda dalam Hipersemiotika


Konsep hiper-realitas yang dilukiskan Baudrillard tidak bisa dipisahkan dari konsep lain
yang membentuknya, yaitu konsep simulasi. Simulasi dijelaskan oleh Baudrillard adalah
"...penciptaan model-model kenyataan yang tanpa asal-usul arau referensi realitas hiper-
realitas. Akan tetapi, dalam wujud apakah model-model kenyataan tersebut diciptakan?
Model-model itu diciptakan tak lain dalam wujud randa-tanda, yang disebut secara khusus
oleh Baudrillard sebagai tanda-tanda realitas.
Kemasan tanda dan mediumnya, pada satu titik, lebih menarik perhatian setiap orang
ketimbang pesan atau makna yang disampaikannya, yang menggiring orang pada ekstasi
tanda dan medium itu sendiri, sambil melupakan pesan dan maknanya-inilah yang dikatakan
Marshall McLuhan sebagai medium is the message. Artinya, orang tenggelam di dalam
gairah pengemasan tanda itu sendiri, lewat kecanggihan teknologi simulasi dan teknologi
citraan (imagology), sehingga tanda tidak lagi mengacu pada dunia realitas.
Hipersemiotika, dengan demikian, adalah sebuah ilmu tentang pro- duksi tanda, yang
melampaui realitas, yang berperan dalam membentuk dunia hiper-realitas. Dunia hiper-
realitas, dalam hal ini, adalah dunia melampaui, yang tercipta akibat penggunaan hyper-signs
dan sistem pertandaan yang melampaui (hyper-signification) dalam penggambaran realitas,
sehingga perbedaan antara realitas/non realitas, tanda/realitas di dalamnya menjadi lebur.

9
Tanda dusta (false sign). Tanda dusta adalah tanda yang menggunakan penanda yang
salah (false signifier) untuk menjelaskan sebuah konsep yang, dengan demikian, juga salah.
Tanda [A] digunakan untuk menjelaskan realitas yang sesungguhnya adalah [B]. Kekuatan
tanda sebagai penyampai pesan dan informasi yang benar, dapat pula disalahgunakan untuk
menyampaikan informasi yang salah. Kebudayaan sesungguhnya sangat kaya dengan tanda-
tanda dusta seperti ini, yang di antaranya adalah tranvestite (memakai pakaian seks yang
berbeda), wig (rambut palsu), kamuflase (penyamaran warna), pseudo-intelektual
(penggunaan jargon atau pakaian untuk memberi kesan intelek), dan sebagainya. Tanda palsu
dapat berubah menjadi tanda menipu bila tanda yang ditampilkan sama sekali tidak
mengandung unsur kebenarannya dalam realitas.
Tanda realitas. Tanda [A] digunakan untuk menyampaikan realitas diri- nya sendiri
[A]. Dalam hal ini, berbeda dengan tanda sebenarnya- yaitu tanda yang digunakan untuk
menjelaskan sebuah realitas di luar dirinya dalam bentuk representasinya-tanda artifisial,
sama sekali tidak merepresentasikan realitas di luar dirinya. Dengan demikian, antara tanda
[A] dan realitas [A] adalah dua hal yang sama, yang di dalamnya tanda menjadi satu dengan
realitas-medium is the message.
Tanda ekstrim (superlative sign). Tanda ekstrim adalah tanda yang ditampilkan dalam
sebuah model pertandaan yang ekstrim (hyper- signification), khususnya lewat efek-efek
modulasi pertandaan dan makna yang jauh lebih besar ketimbang apa yang ada di dalam
realitas sendiri, semacam intensifikasi realitas, peningkatan efek, ekstrimitas makna
(extremity). Tanda [A"] digunakan untuk menjelaskan realitas yang sesungguhnya tak lebih
dari [A]. Ada efek pelipatgandaan (multiplicity) pada sebuah tanda-semacam multiplikasi
efek-yang menghasilkan sebuah ungkapan hiperbolis atau superlatif.

Hipersemiotika dan Postmodernisme


Hipersemiotika adalah sebuah kecenderungan melampaui semiotika konvensional
(khususnya semiotika struktural), yang beroperasi dalam sebuah kebudayaan yang di
dalamnya dusta, kepalsuan, kesemuan, kedangkalan, imanensi, permainan, artifisialitas,
superlativitas dirayakan sebagai spirit utamanya; dan sebaliknya, kebenaran, otentisitas,
kedalaman, transendensi, metafisika ditolak sebagai penghambat kreativitas dan produktivitas
budaya.
Post-modernisme adalah sebuah kecenderungan seni, sastra, arsi tektur, media, dan
budaya pada umumnya, yang merupakan sebuah ruang tempat tumbuh subur serta
membiaknya dengan tanpa batas dan pembatas berbagai bentuk hyper-signs tersebut di atas.
Post-modernisme adalah sebuah ruang hidup bagi kecenderungan hipersemiotika, yang di
dalamnya berbagai hyper-signs dikembangkan sebagai bagian tak ter pisahkan dari budaya
komoditi dan budaya konsumerisme kapitalisme.

10
BAB II
MODERNISME DAN POST-MODERNISME : TINJAUAN FILOSOFIS

Modernisme berkaitan dengan metamorfosa kondisi kehidupan dan post-modernisme


berkaitan language game yang bebas tak terbatas, bukan keefisian pesan-pesan yang ingin
dicari, melainkan ekstasi dalam language game.

Kondisi Modernitas

Hakikat peralihan modernitas menuju post-modernitas adanya permasalahan filosofis,


khususnya masalah epistemologis yang belum terjawab secara memadai. Secara singkat
konsep modernisme dikaitkan dengan fenomena dan kategori kebudayaan, khususnya yang
berkaitan dengan esteikan dan gaya. Pada akhirnya modernitas adalah argument yang sering
dikemukan oleh Gianni vattimo. Sementara Heiddeger dan Nietzsche konsep modernitas
digunakan untuk menjelaskan totalitas kehidupan.

Nietzche, Heidegger dan Postmodernisme

Perkembangan budaya postmodernisme adalah keterbukaan terhadap pluralitas modernisme.


Menurut Nietzche dan Heidegger bahwa konsep postmodernisme dikaitkan dengan nilai-nilai
yang kontradiksi yaitu mengenai nilai-nilai mitos dan aspek kehidupan.

Adorno, Benjamin dan Kebudayaan Massa

Kebudayaan massa menurut ardono merupakan produk nyata dan cara berpikir mekanistis,
instrumental dan semu kapitalisme. Menurut Benjamin kebudayaan massal merupakan
dampak sosial yang positif dari reproduksi seni yang dapat menjadi kebudayaan massal.

Baudrillard, Post Modernisme dan Akhir dari Ideologi

Baudrillard bahwa konsep akhir dari ideologi adalah adanya konsep-konsep klasik yaitu
representasi yang didalamnya disembunyikan keterputusan subjek dan objek. Sehingga

11
ideologi melingkupi bidang sosial dan simbolik. Secara singkat bahwa post modernisme
akhir dari ideologi memberikan gambaran yang komprehensif tentang relavansi filosofis seni
dan kebudayaan post-modernisme, khususnya menyangkut bahasa estetik.

BAB III
DISKURSUS POST-MODERNISME

Sejarah singkar pemikiran dan teori post-modernisme yang telah disampaikan dalam
bab terdahulu, mencerminkan bahwa para pemikir post-modern telah menyulur debat
filosofis yang sangat kompleks me- ngenai kondisi post-modern dan kehidupan post-industri.
Sebenarnya, materi yang disampaikan pada bab terdahulu hanyalah fragmen-fragmen kecil
dari sejarah pemikiran post-modernisme yang sangat kompleks, yang meskipun demikian,
merepresentasikan upaya pemikiran kembali secara besar-besaran berbagai konsep tentang
signifikasi dan makna kebudayaan post-modern dan kehidupan post-industri. Akan tetapi,
sejarah ini belum berakhir di sini. Argumentasi-argumentasi tentang kebudayaan post-
modern dan kehidupan post-industri akan berlanjut terus, dan lontaran- lontaran pemikiran
mengenai subjek ini akan terus bermunculan, yang isinya menantang pemikiran-pemikiran
yang telah ada.

Diskursus Post-modernisme
Dalam upaya mendefinisikan post-modernisme, dapat dilihat bahwa terdapat
semacam paradoks yang dihadapi oleh para kritikus dan pemikir post-modern. Charles
Jencks, sebagai contoh-dalam usahanya mendefinisikan post-modernisme-hanya
menggunakan satu istilah dari perbendaharaan istilah tersebut di atas. Jencks mendefinisikan
post- modernisme sebagai, "Eklektikisme atau adhosisme radikal.
Diskursus merupakan salah satu konsep kunci dalam filsafat post- strukturalisme,
yang melihat pentingnya sejarah dan waktu di dalam perbincangan tentang bahasa dan
praktiknya, bertentangan dengan fil- safat strukturalisme yang justru menolaknya, karena
mementingkan struktur yang melampaui kawasan sejarah. Meskipun demikian, bagi
pendukung post-strukturalisme, konsep sejarah tidak lagi sekadar meng- konotasikan
rangkaian, urutan, evolusi, atau kontinuitas, akan tetapi lebih kompleks dari ini. Diskursus
bukanlah istilah lain dari konsepsejarah yang konvensional tersebut. Diskursus, dengan
demikian, tidak bisa disamakan dengan sejarah.

Michel Foucault, seorang pemikir berkebangsaan Prancis, dan salah seorang


pendukung post-strukturalisme, menggunakan istilah diskursus dengan cara yang baru. Buku
Foucault, The Archaeology of Knowledge." barangkali merupakan satu-satunya buku yang
berbicara tentang diskursus secara inovatif. Di dalam buku ini Foucault menjelaskan
diskursus tidak dalam konteks kontinuitas sejarah, tetapi di dalam konteks diskontinuitas.

12
Apa yang dilihat Foucault di dalam satu rentang waktu adalah sesuatu yang terputus atau
sesuatu yang kontradiktif.
Berbeda dengan kaum strukturalis yang memusatkan perhatiannya pada sistem dan
struktur (misalnya sistem dan struktur bahasa) dan pada ilmu pengetahuan (misalnya ilmu
tanda arau semiotika), Foucault lebih dihantui oleh eksistensi diskursus-"...oleh kenyataan,
bahwa kata-kata tertentu diucapkan secara nyata." Foucault mengemukakan, bahwa di dalam
satu masyarakat, peristiwa-peristiwa berbeda (misalnya praktik bahasa), badan pengajaran
yang berbeda, gagasan filsafat, opini sehari-hari, berbagai institusi, praktik komersial,
penggunaan ruang dan objek, serta penggunaan tubuh semuanya berlandaskan pada
pengetahuan implisit yang khusus pada masyarakat tersebut, yang disebutnya savoir
(knowledge atau pengetahuan).
Berkaitan dengan analisis diskursus seni, sebuah pertanyaan dapat diajukan, yaitu
"apa relevansi analisis diskursus dengan praktik seni dan seni sebagai satu disiplin,
khususnya seni post-modern?" Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, analisis diskursus
adalah paradigma baru dalam upaya menjelaskan produksi dan penggunaan pengetahuan, dan
praktiknya dalam kehidupan sehari-hari. Paradigma ini, tak diragukan lagi, bisa digunakan
dalam upaya menjawab pertanyaan seni, yaitu "apa, bagaimana, kenapa, dan dalam relasi
(kekuasaan) apa objek seni ter- tentu diproduksi?" Foucault juga menekankan bahwa karya-
karyanya pada dasarnya ditujukan bagi penyusunan genealogi-menelusuri je jak-jejak sesuatu
di masa kini, ketimbang merekonstruksi masa lalu. la melihat di dalam diskursus, sebuah
model regularitas dari berbagai peristiwa, ungkapan, atau fakta-fakta. Di dalam melihat
regularitas ini. Foucault juga melihat, bahwa apa yang diproduksi di dalam hampir setiap
diskursus (terutama sangat mencolok pada masyarakat post-modern) tidak hanya subjek dan
objek, akan tetapi lebih penting lagi adalah sistem diferensi (perbedaan). Apa yang mewarnai
diskursus di dalam masyarakat konsumer dan kebudayaan post-modern adalah kebutuhan
yang terus-menerus akan diferensi, sebagai akibat dari berkembangnya logika komoditi,
yaitu, kebutuhan akan perubahan r duk, penampakan, dan gaya oleh para terus-menerus pro-
konsumer, dan kebutuhan bagi penyingkatan durasi perubahan dan daur hidup produk oleh
produsen, sebagai manifestasi dari ideologi masyarakat post-modern itu sendiri.ideologi
dalam kerangka analisis diskursus. Pengelakan ini mungkin disebabkan Foucault melihat
bahwa ideologi hanya memproduksi kontinuitas suatu gagasan, ide, atau kepercayaan, bukan
diskontinuitas sebagai ciri dari diskursus. Padahal, meskipun masyarakat konsumer sendiri
lebih ditandai oleh diskontinuitas, setidak-tidaknya masih ada kepercayaan-kepercayaan
tertentu yang melekat pada masyarakat ini. misalnya kepercayaan akan diferensi itu sendiri
(atau terhadap apa yang akan dijelaskan nanti sebagai hiper-realitas dan simulasi), yang pada
kadar tertentu sudah menjadi satu bentuk ideologi.
Seni, dalam pengertian sangat umum, di dalam era kapitalisme global dewasa ini
mempunyai peran yang sangat penting dalam men- ciptakan sistem diferensi sosial melalui
tanda dan simbol-simbol yang ditawarkannya. Salah satu tujuan seni di dalam masyarakat
kapitalisme global adalah menciptakan sistem diferensi ini. Diferensi ini sendiri
sesungguhnya adalah salah bentuk kekuasaan yang diciptakan melalui seni.

13
Matinya Sang Pengarang
Dalam diskursus modernisme pengarang (atau seniman, atau adalah figur yang sangat
penting dan sentral. Sebuah karya seni atau pencipta) teks modern selalu diidentifikasikan
dengan seniman atau pengarangnya. Sebagai contoh, bila kita memperhatikan lukisan Edvard
Munch ber judul A Scream, kita akan melihat semangat Munch dalam lukisannya, yaitu
kegelisahan, ketakutan, keterasingan, dan kesendiriannya. Munch berbicara melalui
lukisannya. Jiwa Munch memancar dalam lukisannya.
Matinya sang pengarang dalam era post-modern diiringi dengan lahirnya para
pembaca, dan berkembangnya model writerly text, yaitu teks yang menjadikan pembaca/teks
sebagai pusat penciptaan, ketimbang pengarangnya sendiri. Matinya sang pengarang, juga
diikuti dengan munculnya apa yang disebut oleh Catherine Belsey sebagai kekuatan pembaca
(reader's power)." Pada model writerly text ini, menurut Belsey, para pembaca dibebaskan
dari tirani pengarang, dan mereka berpelu- ang untuk berpartisipasi dalam menghasilkan
pluralitas makna dalam diskursus. Stanley Fish, sebagaimana disinggung oleh Belsey, men-
definisikan model produksi teks ini sebagai teks dialektik, sebagai ke- balikan dari teks
retorik, yang biasanya memberikan kepuasan pada pembacanya.

Intertekstualitas
Istilah intertekstualitas pertama kali diperkenalkan oleh Julia Kristeva, seorang
pemikir post-strukturalis Prancis, dalam bukunya Revolution in Poetic Language" dan Desire
in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art. Dalam kedua buku ini, Kristeva
membawa istilah intertekstualitas sebagai satu konsep kunci dari paham post-strukturalisme,
yang sekaligus menantang model berpikir struktur, sinkronik, dan bersistem dari paham
strukturalis. Apa yang dilihat Kristeva dalam sebuah teks atau karya seni, tidaklah
sesederhana relasi-relasi antara bentuk dan makna atau penanda dan petanda, sebagaimana
yang dipertahankan oleh semiotika konvensional. Sebaliknya, Kristeva melihat pentingnya
dimensi ruang dan waktu dalam analisis teks. Sebuah teks atau karya seni dibuat di dalam
ruang dan waktu yang konkrit.

Dekonstruksi
Dekonstruksi adalah sebuah istilah, yang digunakan untuk menerangkan lembaran
baru dalam filsafat, strategi intelektual, atau model pemahaman. yang telah dikembangkan
oleh Jacques Derrida, seorang filsuf Prancis (lahir di Aljazair 1930). Filsafat Derrida,
sebagaimana yang akan dijelaskan secara singkat dalam tulisan ini-berjalan berdampingan
dengan pemi- kiran para pendukung kelompok Tel-Quel lainnya, khususnya Barthes dan
Kristeva. Apabila Barthes menitikberatkan pemikirannya pada subjek (pengarang), dan
Kristeva pada relasi-relasi di antara teks-teks, Derrida lebih memusatkan pemikiran
filsafatnya pada makna atau lebih tepatnya kemustahilan makna dari sebuah teks.
Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah penyangkalan akan oposisi ucapan/tulisan,
ada/tak ada, murni/tercemar dan penolakan akan ke- benaran dan logos itu sendiri.
Sebaliknya, Derrida mendemonstrasikan bahwa tulisan-kalau dinilai secara benar-merupakan
prakondisi dari bahasa, dan bahkan ada sebelum ucapan oral. Kalau tulisan dilihat lebih dari

14
sekadar grafis atau prasasti dalam pengertiannya yang normal, maka tidak benar bahwa
tulisan adalah representasi palsu, atau topeng dari ucapan. Tulisan, menurut Derrida, pada
kenyataannya melepaskan diri dari ucapan dengan segala asumsi kebenaran alamiah
(logos)nya, dan dari predikat sebagai topeng dari Logos. Tulisan adalah permainan bebas
unsur-unsur dalam bahasa dan komunikasi.

Simulasi
Ketika Walter Benjamin pada tahun 1950-an mengemukakan, bahwa karya seni pada
dasarnya sah saja direproduksi-karena teknologi me- mungkinkan untuk itu-pada waktu itu
teknik reproduksi masih pada tingkat reproduksi mekanis, yang didukung oleh teknologi
generasi kedua, yaitu teknologi yang dikatakan oleh Marshall McLuhan, seba- gai
perpanjangan badan manusia. Akan tetapi, pada saat ini, teknologi mekanik telah diambil alih
oleh teknologi produksi generasi ketiga- teknologi yang digerakkan oleh mikroelektronik,
microchips, mikropro- sesor, remote control, command model, memory bank. Teknologi ini
meru- pakan perpanjangan sistem saraf manusia ketimbang anggota badan, dan dicirikan oleh
komputerisasi, otomatisasi, robotisasi, dan miniaturisasi yang membangunnya. Melalui teknik
produksi generasi ketiga ini objek dapat diproduksi dan direproduksi dalam jumlah tak
berhingga dan dengan cara yang jauh lebih kompleks. Melalui teknik produksi y advanced
ini, realitas tidak saja dapat direproduksi, akan tetapi juga dengan sangat sempurna dapat
disimulasi. Tidak hanya realitas yang dapat disimulasi, akan tetapi juga fantasi. Teknik
simulasi, dalam hal ini, berkembang semakin sempurna. Istilah simulasi digunakan oleh
Baudrillard untuk menerangkan hubungan-hubungan produksi, komunikasi, dan konsumsi
dalam ma- syarakat kapitalis konsumer Barat, yang dicirikan oleh overproduksi,
overkomunikasi, dan overkonsumsi-melalui media massa, iklan, fashion, supermarket,
industri hiburan, turisme, dan sebagainya. Istilah simulasi dalam wacana kemiliteran,
digunakan untuk me nerangkan teknik teori probabilitas terapan. Simulasi digunakan untuk
membandingkan sebuah model dengan realitas, dengan cara membuat hasil-hasil acak dari
model, biasanya melalui teknik komputer. Dalam wacana seni dan kebudayaan massa, istilah
simulasi pertama kali di- perkenalkan oleh Jean Baudrillard dalam bukunya Simulations dan
di- kembangkannya lebih jauh dalam In The Shadow of The Silent Majority dan The Ecstasy
of Communication."

BAB IV
Post-modernisme, Konsumerisme,Skizofrenoa
Dalam meninjau seni sebagai satu diskursus-sebagaimana telah dijelaskan pada bab
terdahulu-harus dilihat relasi pengetahuan dan praktik sosial yang melandasi, serta bentuk
kekuasaan yang beroperasi di balik sebuah karya seni. Di dalam masyarakat kapitalisme
global, yang disebut juga masyarakat konsumer, setidak-tidaknya terdapat tiga bentuk
kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi objek- objek seni, yaitu:
kekuasaan kapital, kekuasaan produser, serta kekuasaan media massa. Ketiga bentuk
kekuasaan ini beserta pengetahuan yang mendukung serta artikulasinya pada berbagai praktik
sosial menentukan bentuk dan gaya seni, serta produksi dan konsumsinya.

15
Konsumsi sendiri sebagai satu proses menghabiskan atau men- transformasikan nilai-
nilai yang tersimpan di dalam sebuah objek telah dikaji dari berbagai sudut pandang dan
disiplin. Konsumsi, sebagaimana akan dijelaskan pada bab ini, dapat dipandang sebagai
proses objektivikasi. yaitu proses eksternalisasi dan internalisasi diri lewat objek-objek
sebagai medianya. Di sini, terjadi proses menciptakan nilai-nilai melalui objek objek, dan
kemudian memberikan pengakuan serta menerima nilai- nilai ini. Dari sudut pandang
linguistik, konsumsi dapat dipandang sebagai proses menggunakan atau mendekonstruksi
tanda-tanda yang terkandung di dalam objek-objek oleh para konsumer, dalam rangka
menandai relasi-relasi sosial. Dalam hal ini, objek dapat menentukan status, prestise, dan
simbol-simbol sosial tertentu bagi para pemakainya. Objek membentuk perbedaan-perbedaan
sosial dan menaturalisasikannya melalui perbedaan-perbedaan pada tingkat semiotik atau
pertandaan. Di pihak lain, konsumsi dapat juga dipandang sebagai satu fenomena tak sadar
(unconscious), yang dengan demikian masuk ke dalam kawasan psikoanalisis. Dalam
pengertian psikoanalisis, konsumsi dapat dipandang sebagai satu proses reproduksi hasrat
(desire) dan reproduksi pengalaman tak sadar yang bersifat primordial. Dalam hal ini,
konsumsi mengingatkan seseorang alami kembali pada rangsangan-rangsangan pertama kali
bawah sadar secara primordial dalam bentuk kesenangan yang timbul pertama kali dalam
berhubungan dengan objek seksual yang di- (menyusui). Konsumsi adalah substitusi atau
pengganti dari kesenangan yang hilang tersebut, yang tersimpan dalam bentuk bawah sadar.
Objektivikasi adalah istilah yang digunakan oleh Daniel Miller untuk menjelaskan
pandangan Hegel tentang hubungan dialektik antara subyek dan objek. Istilah ini dijelaskan
Miller sebagai "...proses ganda, yang melaluinya subjek mengeksternalisasi dirinya melalui
suatu tin- dakan kreatif diferensiasi, dan seterusnya mengembalikan untuk diri eksternalisasi
ini melalui tindakan yang disebut Hegel sebagai sublasi (semacam pemberian pengakuan)."
Proses objektivikasi ini, menurut Miller, melibatkan hubungan di antara subjek (yang dalam
hal ini adalah manusia, dan biasanya bersifat kolektif), kebudayaan sebagai bentuk eksternal,
dan artifak sebagai objek ciptaan manusia. Dalam kaitan ini, subjek mengeksternalisasikan
dirinya melalui penciptaan objek-objek, yang dimaksudkan untuk menciptakan diferensiasi
(penciptaan perbedaan dengan objek-objek sebelumnya), dan kemudian,
menginternalisasikan (mengembalikan pada diri) nilai-nilai ciptaan tersebut melalui proses
sublasi atau pemberian pengakuan. Akan tetapi, di dalam proses sublasi ini, sang subjek
selalu merasa tidak puas dengan hasil ciptaannya sen- diri, oleh karena ia selalu
membandingkan hasil ciptaan tersebut dengan pengetahuan atau nilai absolut, yang justru
beranjak lebih jauh tat- kala ia didekati atau diacu. Sehingga, yang kemudian terjadi adalah
rasa ketidakpuasan tanpa akhir, serta penciptaan terus menerus untuk mencari
pemenuhannya. Adalah rasa ketidakpuasan abadi terhadap hasil ciptaan inilah yang
membangkitkan motivasi dan daya yang tak habis-habisnya bagi pengembangan lebih lanjut
dalam suatu dialektika penciptaan. Tampak dari pandangan Hegel tentang objektivikasi ini,
bahwa ia melihat objektivikasi sebagai satu hubungan subjek-objek yang sangat positif yaitu
ia menyiratkan dinamika subjek sebagai pencipta yang tidak pernah kering, yang mampu
mengekspresikan dirinya melalui objek-objek ciptaannya.
Apa yang segera tampak dari pandangan Hegel dan Marx tentang objektivikasi di atas
adalah kenyataan, bahwa kedua pemikir ini melihat fenomena objektivikasi di dalam kondisi
dan relasi produksi yang ber- beda. Hegel melihat objektivikasi di dalam kondisi dan relasi
produksi yang ideal. Sebaliknya, Marx melihatnya, di dalam kondisi dan relasi yang palsu.

16
Akan tetapi, baik pandangan Hegel maupun Marx tentang objektivikasi, akan mengalami
tantangan besar dan kemungkinan tidak relevan lagi digunakan dalam membicarakan relasi
subjek dan objek, arau objektivikasi, di dalam masyarakat post-industri, yang disebut juga
masyarakat konsumer. Hal ini disebabkan, bahwa telah terjadi perubahan besar dan
transformasi dalam relasi subjek dan objek itu sendiri, yang mungkin tidak terbayangkan oleh
Marx sendiri. Di dalam masyarakat konsumer, relasi antara subjek dan objek lebih tepat
dijelaskan melalui peran subjek sebagai konsumer. Maksudnya, melalui perkembangan mu
takhir dalam teknologi produksi, yaitu oromarisasi dan komputerisasi peran pekerja dapat
diminimalisasi sedemikian rupa, bahkan hampir dihilangkan sama sekali, sehingga
pemisahan dan alienasi yang dimaksud Marx dalam relasi produksi semakin kehilangan
maknanya. Bahkan, kalaupun ada pemisahan dan alienasi, orang tidak begitu ambil pusing
oleh karena selepas penat dari bekerja, orang dapat menghanyutkan diri di dalam ekstasi
konsumsi, hiburan, tontonan-di dalam ekstasi konsumerisme.
● Konsumerisme Skizofrenik
Konsumsi sebagai satu sistem diferensiasi-yaitu sistem pembentukan perbedaan-
perbedaan status, simbol, dan prestise sosial-adalah sistem yang menandai kedatangan
masyarakat konsumer. Di dalam era kon- sumerisme, masyarakat hidup di dalam satu bentuk
relasi subjek dan objek yang baru, yaitu relasi konsumerisme. Di dalam masyarakat kon-
mmer, objek objek konsumsi dipandang sebagai ekspresi diri atau eks- ternalisasi para
konsumer (bukan melalui kegiatan penciptaan), dan sekaligus sebagai internalisasi nilai-nilai
sosial budaya yang terkandung d dalamnya. Pandangan bahwa konsumsi adalah satu kegiatan
eks- ternalisasi dikemukakan oleh Judith Williamsons. Menurut William- sons, di dalam
masyarakat konsumer sekarang "Konsumsi memberikan kesempatan tertentu bagi daya
kreativitas, seperti sebuah mainan di mana seluruh bagian-bagiannya telah ditentukan, akan
tetapi kemungkinan kombinasinya berlipat ganda... Membeli dan memiliki, di dalam masya
rakat kita, memberikan rasa mengontrol. Bila Anda membeli sesuatu,Anda cenderung
merasa, bahwa Anda mengontrolnya."
Objek-objek dimuati dengan makna-makna yang digunakan untuk mengkomunikasikan
atau menandai kekuasaan tersebut. Konsumsi di sini menjadi sebuah fenomena bahasa dan p
tandaan, dan dengan demikian masuk ke dalam kawasan semiotika. Kita mengkonsumsi
objek-objek bukan sekadar menghabiskan nai guna dan nilai utilitasnya, akan tetapi, juga
untuk mengkomunikasikan makna-makna tertentu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
John Sturrock bahwa kita menggunakan objek untuk mengkomunikasikan/
merepresentasikan/menandai/mengirim pesan. Kita menggunakan per- hiasan mahal untuk
menandai kekayaan dan status sosial kita. Dalam per relasi semacam ini, kita mengontrol
objek sebagai alat dalam proses pertandaan dan komunikasi sosial. Akan tetapi, benarkah kita
mengontrol objek dalam tindakan kon sumsi Baudrillard, yang tampaknya berpandangan
skeptis dan fatalis terhadap konsumerisme, melihat kekuasaan dan daya kontrol ini sebagai
bersifat semu belaka, disebabkan perubahan radikal yang terjadi pada relasi konsumsi di
dalam masyarakat konsumer itu sendiri. Menurut Baudrillard, kita tidak lagi mengontrol
objek, akan tetapi dikontrol oleh objek-objek ini. Kita"...hidup sesuai dengan iramanya,
sesuai dengan siklus perputarannya yang tak putus-putusnya." Ketimbang menguasai simbol,
status, prestise lewat objek-objek konsumsi, kita justru terperangkap di dalam sistemnya.
Ketimbang aktif dalam tindakan penciptaan dan tindakan kreatif, para konsumer, menurut
Baudrillard justru lebih tepat disebut sebagai mayoritas yang diam, yang menempatkan

17
dirinya dalam relasi subjek-objek, bukan sebagai pencipta, melainkan layaknya jaring laba-
laba, yang menjaring dan mengkonsumsi apa pun yang ada di hadapan mereka.
Pandangan Baudrillard tentang konsumerisme ini memang cukup apa-apa. ekstrim, yang
melihat mustahilnya proses internalisasi atau pengendapan nilai-nilai di dalam masyarakat
konsumer. Akan tetapi setidak-tidaknya pada kelompok masyarakat tertentu yang mempunyai
budaya konsumsi berlebihan (conspious consumption), seperti kaum selebriti, jetset, remaja
menengah ke atas perkotaan, yang sudah mencapai tahap belanja gaya hidup, atau pada
kelompok subkultur tertentu pandangan Baudrillard campaknya menampakkan bekasnya.
Bagi kelompok masyarakat ini. apa yang dicari dalam konsumsi bukan lagi makna-makna
ideologis melalui tindakan sublasi, melainkan kegairahan dan ekstasi dalam pergantian objek-
objek konsumsi; yang dicari dalam komunikasi bukan lagi pesan- pesan dan informasi,
melainkan kegairahan dalam berkomunikasi itu sendiri, dalam bermain dengan tanda, citraan,
dan medianya.
Hal yang sangat mendasar dalam pandangan Deleuze & Guattari sesuatu tentang mesin
hasrat ini bahwa hasrat itu selalu (dan akan selalu) berupa hasrat akan sesuatu yang lain, yang
berbeda. Tidak ada hasrat untuk ses yang sama, untuk sesuatu yang telah dimiliki. Resiko
yang segera tampak dari arus hasrat perbedaan yang tak putus-putusnya ini adalah: bahwa a
dapat menenggelamkan subjek yang dikuasainya ke dalam kawa tanda, simbol, atau nilai-
nilai yang bersifat tumpang tindih, stata kontradiktif yang terkandung di dalam rangkaian
objek-objek yang berbeda. Sifat tumpang tindih, simpang siur, dan kontradiktif inilah yang
juga mencirikan produksi dan konsumsi objek-objek di dalam masyarakat kapitalisme akhir
atau masyarakat konsumer, Objek-objek konsumsi yang mengalir tak putus-putusnya dalam
kecepatan tinggi di dalam arena konsumerisme tidak pernah (dan tidak akan pernah)
memenuhi kebutuhan, sebagaimana hasrat tidak akan pernah terpenuhi oleh objek hasrat
selamanya. Produk, gaya, citraan yang datang dan pergi silih berganti, hanya menciptakan
hutan rimba tanda-tanda yang silang meyang dan saling kontradiktif, menciptakan jaringan
pertandaan tumpang tindih yang disebut Lacan sebagai 'skizofrenia. Dalam kerangka seperti
inilah, Deleuze & Guattari menyebut masyarakat kapitalis akhir sebagai skizofrenia. Menurut
Deleuze & Guattari"...skizofrenia...meng- goreskan pada tubuhnya doa-doa keterputusan, dan
menciptakan bagi dirinya dunia tangkisan tangkisan, di mana setiap perpindahan tempat
(permutasi) dianggap sebagai tanggapan terhadap situasi baru atau jawaban terhadap
pertanyaan iseng."Namun kini, di dalam masyarakat kapitalisme mutakhir, yang konstan
justru pergantian tanda, citraan, dan kode-kode tersebut.
Di dalam masyarakat konsumer, tidak saja cara dan model konsumsi yang bersifat
skizofrenik, akan tetapi, objek-objek sendiri dan gaya paya mengalir mengikuti model
skizofrenia. Hal ini dikemukakan oleh York bahwa di dalam masyarakat post-modern yang
skizofrenik, makna tidak jelas apa yang dikatakannya tentang pemiliknya. Terlalu banyak
gaya terlalu banyak pilihan...terlalu banyak lakon. Terlalu banyak tanda, terlalu banyak
peran, artinya, terlalu banyak cermin tempat orang berkaca dan menemukan citra cermin
dirinya. Namun, apa yang ditemukan sebagai refleksi diri adalah pergantian tanpa Dalam
akhir. proses identifikasi diri di hadapan cermin, apa yang dipantulkan bukan lagi rangkaian
makna-makna, akan tetapi, pergantian citra diri itu sendiri-"Aku berganti, karenanya aku
ada?"Akan tetapi, apakah kaitan antara model konsumsi skizofrenik ini dengan seni post-
modernisme? Seperti yang telah dikemukakan sebe- lum ini, dalam meninjau seni sebagai
satu diskursus, harus disoroti juga nela-selasi pengetahuan, praktik sosial, dan kekuasaan

18
yang beroperasi di balik produksi dan konsumsi seni. Konsumerisme, dapat dikatakan di sini,
adalah satu bentuk kekuasaan yang melatarbelakangi produksi dan konsumsi seni di dalam
masyarakat konsumer sekarang. Sorak sorai warna, bentuk; riuh rendah idiom dan gaya;
simpang siur tanda; dan tumpang tindih kode-kode yang menandai kedatangan seni post-
modernisme tidaklah mungkin tercipta di dalam masyarakat yang tingkat konsumsi seninya
rendah.

BAB V

Wawasan Semiotika Post-modernisme

Pada tingkat epistemologis, muncul semacam kegalauan tentang teori estetika atau
semiotika yang mampu menjelaskan cakupan, metode, dan keabsahan pengetahuan yang
digunakan dalam praktik post-modernisme sebagai landasan atau model dalam penciptaan
dan penafsiran karya. Pada tingkat metodologis muncul tuduhan-tuduhan akan praktik seni
post-modern yang dianggap irasional, (puitik), anti-metodologi (apa pun boleh), dan anti-
estetika (kitsch); namun, ironisnya, justru semua nilai- nilai rasional, metodologis, dan
estetika inilah yang ingin didekontruksi dan didevaluasi oleh post-modernisme. Tanda,
menurut linguistik Saussurean merupakan kesatuan dari dua bidang yang tak dapat
dipisahkan-seperti halnya selembar kertas- yaitu bidang penanda atau bentuk dan bidang
petanda atau makna. Menurut Coward dan Ellis ada tiga bentuk utama pertukaran, yang
melaluinya masyarakat mereproduksi sistemnya sendiri (bahasa, seksual, dan ekonomi), yang
menurut pandangan strukturalisme, masing-masing memerlukan penempatan posisinya yang
pasti secara oposisi biner (addressor – addressee, maskulin – feminin, pembeli – penjual).
Diasumsikannya, dalam bentuk imajiner, sebagai hubungan di antara benda-benda.”

Di dalam upaya memahami produksi tanda dan makna dalam kebudayaan post-
modern, ketiga bentuk pertukaran tersebut di atas menjadi tiga unsur yang tak dapat
dipisahkan dan saling mengisi, yaitu makna seksual menjadi komoditi, komoditi menjadi
media berfungsinya kode bahasa baru, dan seterusnya. Menurut Ferdinand de Saussure,
sebuah tanda terdiri dari penanda dan petanda. Penanda mengacu pada petanda, yang
selanjutnya mengacu pada referensi atau realitas. Dalam pandangan Saussurean, makna
adalah apa-apa yang ditandakan (petanda), yakni kandungan isi. Menurut Saussure, hubungan
antara penanda dan petanda bersifat arbitrer (diadadakan), sebab tidak ada keterkaitan logis,
misalnya, antara kata pohon dan sebatang pohon yang nyata.

Disebabkan oleh penekanannya pada konvensi dan kode ini, semiotika yang
dikembangkan oleh Saussure cenderung menampakkan semangat idealismenya.
Strukturalisme sebagaimana terlihat dari unsur katanya sendiri adalah satu kecenderungan
dan aliran pemikiran yang berupaya menyingkap struktur berbagai aspek pemikiran,
ungkapan, dan tingkah laku manusia. Karakteristik dari pendekatan strukturalisme ini adalah:
ia tidak menaruh perhatian pada mekanisme sebab-akibat dari satu fenomena. Sebaliknya, ia
lebih menaruh perhatian pada konsep bahwa satu totalitas yang kompleks dapat dilihat
sebagai satu perangkat unsur- unsur yang saling berkaitan satu sama lain. Sebuah unsur hanya
bermakna.

Inti dari pemikiran strukturalisme yang diprakarsai oleh Saussure dapat dijelaskan
secara ringkas sebagai berikut, bahwa: 1) Strukturalisme Wawasan Semiotika Post-
modernisme tidak menganggap penting kajian subjek sebagai pencipta (tanda, kode), tetapi

19
melihatnya lebih sebagai pengguna tanda dan kode yang telah tersedia, 2) strukturalisme
tidak menaruh perhatian pada hubungan sebab akibat, dan lebih memusatkan perhatian pada
kajian tentang relasi struktur, dan 3) strukturalisme tidak menganggap penting pertanyaan
tentang sejarah, waktu, dan perubahan pada struktur, dan lebih memusatkan perhatian pada
kajian tentang sistem pada satu penggal waktu tertentu.

Berdasarkan konsep tentang struktur ini, Saussure mengemukakan, bahwa bahasa


tidak hanya bisa dikaji secara diakronik dalam pengertian perkembangan tanda dan
maknanya secara historis, akan tetapi dapat juga dikaji secara sinkronik dalam pengertian
sebagai satu hubungan di antara seperangkat unsur-unsur dalam wadah waktu yang ahistoris.
Harland menyebut tanda-tanda yang dikembangkan di dalam diskursus post-modernisme
sebagai tanda-tanda anti-sosial, yaitu tanda- randa yang memiliki tiga kualitas utama, yaitu: ia
berubah, berkembang biak, dan bersifat materi.

Apa yang dikritik oleh Marx sebagai kualitas mistik dan fetis yang melekat pada
komoditi kapitalisme-yaitu objek-objek yang tidak memiliki kekuatan apa-apa dianggap
mempunyai daya pesona melalui tanda-tanda dan simbol- simbol yang ditawarkannya, seperti
layaknya sebuah patung berhala pada masyarakat primitif-kini, itu justru yang menguasai
diskursus ekonomi dan sosial di dalam masyarakat kapitalisme global.

Sebaliknya, pada karya-karya post-modernisme, apa yang disebut tanda itu bersifat
sangat mendua, dan mempunyai hubungan yang tidak harmonis dengan fungsilah bisa
merupakan bentuk ironis dari fungsi: merupakan penopengan, pemutarbalikan, pelecehan,
plesetan dari fungsi. Oleh karena sifatnya yang mendua, ironik, dan kontradiktif ini, maka
Baudrillard lebih cenderung mengatakan, bahwa “penanda itu sudah mati di tangan post-
modernisme, disebabkan keterpesonaannya pada permainan penanda (misalnya ornamentasi),
yang oleh modernisme dianggap sebagai parasit dari fungsi berlebihan, sampah, aneh,
ornamentasi, mubazir, kitsch.”

Post-modernisme mengambil tanda-tanda dari periode klasik maupun modern, bukan


dalam rangka menjunjung ting makna-makna ideologis dan spiritualnya, akan tetapi untuk
menciptakan satu rantai pertandaan yang baru dengan menanggalkan makna-makna
konvensional tersebut, dan lalu menghanyutkan diri dalam ajang per mainan bebas penanda-
penanda, sebagaimana yang dikemukakan Derrida dan Baudrillard. Post-modernisme
mengembangkan satu prinsip baru pertandaan, yaitu form follows fun.

Kode Estetik Post-modernisme

Berdasarkan semiotika struktural yang dikembangkan Saussure, Roland Barthes


mengembangkan dua sistem pertandaan bertingkat, yang disebutnya sistem denotasi dan
konotasi. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai
penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda dan konsep abstrak yang ada di
baliknya. Pada sistem konotasi atau sistem pertandaan tingkat kedua- rantai penanda/petanda
pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain
pada rantai pertandaan lebih tinggi.

Pada tingkat denotasi, para pembaca mungkin bisa menyingkapkan makna yang sama
dengan apa yang dimaksudkan pengarang; akan tetapi, pada tingkat konotatif atau pada
tingkat ideologis, para pembaca mungkin saja mengikuti jalur dan jejak unit kebudayaan
yang berbeda dengan jalur yang diikuti pengarang, sehingga kemungkinan besar mereka akan

20
menangkap makna-makna konotatif yang berbeda sama sekali. Ini memperlihatkan, bahwa di
dalam produksi dan konsumsi teks atau dis- kursus tidaklah mudah memastikan nilai
komunikatif sebuah teks, disebabkan keanekaragaman jalur kebudayaan tersebut di atas.

Dari ke 48 tema-tema itu Barthes menghasilkan konstruksi lima macam kode berbeda,
atau yang disebutnya secara lebih populer kode yang lima, yaitu kode hermeneutik, semantik,
simbolik, proairetik, dan kultural. Kode cara hermeneutik adalah kode yang mengandung
unit-unit tanda yang secara bersama-sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan
berbagai dialektik pertanyaan-respons, yang di dalam prosesnya jawaban atau kesimpulan
(cerita) ditangguhkan, sehingga menimbulkan semacam enigma. Kode semantik adalah kode
yang berada pada kawasan penanda, yakni penanda khusus yang memiliki konotasi, atau
penanda yang materialitasnya sendiri tanpa rantai pertandaan pada tingkar ideologis-sudah
menawarkan makna konotasi. Kode simbolik adalah kode yang juga mengatur aspek tak
sadar dari randa, dan dengan demikian merupakan kawasan dari psikoanalisis. Kode
proairerik adalah kode yang mengatur alur satu cerita atau narasi. La disebut juga kode aksi.
Kode kebudayaan adalah kode yang mengatur dan membentuk suara sara kolektif dan
anonim dari pertandaan, yang berasal dari pengalaman manusia dan tradisi yang beraneka
ragam.

Teks post-modernisme adalah sebuah jaringan kutipan tanda-tanda dan kode-kode


yang berasal dari berbagai periode, tempat, dan kebudayaan yang berbeda-beda. Barthes
merupakan metode dalam menggali, mengangkat kembali, dan mengkombinasikan fragmen-
fragmen kutipan dan tanda-tanda mela- lui satu proses yang disebut Coward & Ellis sebagai
rekoleksi sirkuler.

Metode Penyingkapan Kode

Penyingkapan kode (decoding) di dalam pengertian semiotika, secara sederhana berarti


pencarian kode tertentu, yang membentuk bahasa, dan dengan demikian berfungsi sebagai
pembentuk makna dari ekspresi tersebut. Penyingkapan kode, dengan demikian, berarti
pencarian makna-makna yang dikodekan.

Dalam upaya memahami serta menyingkap tanda dan kode seni post-modernisme,
penyesuaian dan pengombinasian metode perlu kiranya dilakukan, khususnya memperluas
pengertian ruang. Pendekatan tersebut di atas lebih sesuai digunakan untuk memahami dan
menyingkap tanda dan kode-kode spost-modernisme, oleh karena di dalam seni post-
modernisme sendi kawasan yang tersedia bagi relasi pertandaan yang final, selesai, stabil
seperti yang diinginkan strukturalisme semakin sempit. Di antara idiom-idiom estetik post-
modernisme yang plural, model pertandaannya lebih cenderung berupa penanda/penanda
(pastiche, parodi) atau penanda por excellence (kitsch, camp, skizofrenia) sebagaimana yang
akan dijelaskan pada bab berikut ini.

BAB VI

Gaya, Estetika, Post-modernisme

"Ambil estetika form follows function Bauhaus yang efisien, dan beri ia sebuah plesetan
besar. Kini, form-follows-function-follows-fun." Swatch Complete Collection 1983-1991

21
"Aku berbicara melalui pakaianku." Umberto Eco dalam Dick Hebdige, Subkultur: Arti
Gaya. Routledge, 1979: hlm. 100.
Di dalam wacana post-modernisme, gaya merupakan sebuah istilah yang sangat
penting, disebabkan eksistensi post-modernisme itu sendiri sangat bergantung pada
perubahan dan pergantian gaya secara konstan dalam satu percepatan tertentu. Post-
modernisme dapat digambarkan sebagai satu wacana, yang di dalamnya, mengalirnya gaya
secara konstan dalam kecepatan tinggi menjadi mutlak. Namun, berkaitan dengan
pendefinisian gaya, dapatkah dihasilkan satu definisi gaya yang mencakup setiap aspek seni
dan kebudayaan, setiap tempat, dan setiap periode?
Di dalam The Concise Oxford Dictionary of Literary Terms, gaya didefinisikan
sebagai "...cara tertentu menggunakan bahasa yang karak- teristik seorang pengarang,
mazhab, periode, atau genre Suatu gaya dapat dicirikan oleh sintaks, citraan, irama,
penggunaan figur, atau oleh sifat-sifat bahasa lainnya. Perbedaan pada kategori-kategori gaya
dibuat berdasarkan pengarang atau seniman tertentu (Ciceronian), periode (Vic- torian,
Renaisans), atau profesi (jurnalistik, ilmiah). Di zaman Renai- sans, gaya dikelompokkan
menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkatan sosialnya, yaitu gaya tinggi, gaya menengah,
dan gaya bawah. Meyer Schapiro, sebagaimana yang dikutip oleh Walker, mende- finisikan
gaya sebagai "...bentuk...elemen, kualitas, dan ekspresi yang konstan dalam karya seni
seorang individual atau satu kelompok gaya, lebih dari itu, adalah satu sistem bentuk...uraian
mengenai gaya mengacu kepada tiga aspek seni, yaitu elemen-elemen atau motif-motif
bentuk, hubungan, dan kualitas bentuk (mencakup kualitas yang disebut ekspresi). Definisi
Schapiro, dalam hal ini, hanya menyorot permukaan atau kualitas formal dari objek seni,
tanpa menyinggung apa yang ter sembunyi di belakang bentuk tersebut, yaitu yang disebut
kandungan makna. Judith Genova, di lain pihak, mengemukakan, bahwa "...gaya diciptakan
melalui perkawinan antara bentuk dan kandungan isi, dengan cara tertentu, sehingga bentuk
mengekspresikan, yaitu secara metaforik menggambarkan kandungan isi."
Tampak di sini, bahwa perbedaan definisi gaya Schapiro dan Genova terletak pada
cara keduanya memberi makna pada suatu karya. Pendekatan formalistik Schapiro
menempatkan makna sebagai sesuatu yang bersifat internal pada satu objek seni, yaitu,
makna terbentuk sebagai konsekuensi logis dari pertalian antara satu elemen bentuk dan
elemen lainnya dalam satu karya seni. Genova, di lain pihak, melihat bahwa ada sesuatu yang
abstrak di luar bentuk dan tidak bersifat intrinsik pada bentuk itu sendiri, misalnya nilai-nilai
sosial, kebudayaan, mitos, religi, atau ideologi. Dua definisi yang saling kontradiktif ini
menemparkan gaya pada posisi-posisi sosial yang saling bertentangan. Di satu pihak, gaya
dalam pandangan formalisme-sebagaimana halnya seni formalistik sendiri-mempunyai status
yang otonom, yaitu terlepas dari ikatan-ikatan dan representasi sosial; di lain pihak, dalam
pandangan semiotika-linguistik, ia justru merupakan satu agen dari ideologi tertentu.

Seakan-akan untuk menengahi konflik definisi antara Schapiro dan Genova, Susan
Sontag, mengemukakan, bahwa gaya, dari sudut pandang teknis, "...tak lebih dari idiom
tertentu yang digunakan (seniman) untuk menyusun bentuk seninya."4 Oleh sebab itulah,
menurut Sontag, masa- lah yang ditimbulkan oleh konsep gaya mengacu lebih daripada seka-
dar masalah bentuk, yang lebih jauh melingkupi masalah kehendak (will) di balik bentuk
tersebut-sebuah konsep yang sebelumnya telah dipopulerkan oleh Nietzsche. Bagi Nietzsche,

22
adalah kehendak akan kekuasaanlah yang melatarbelakangi praktik-praktik seni pada
umumnya. Seni tidak saja merupakan satu representasi dari kekuasaan, akan tetapi lebih dari
itu, ia adalah satu bentuk kekuasaan itu sendiri. Michel Foucault melihat bahwa hubungan
kekuasaan selalu menyertai satu bentuk wacana apa pun, termasuk wacana seni. Ada bentuk-
bentuk kekuasaan khusus yang beroperasi pada setiap wacana seni, dan juga pada setiap
gaya yang dihasilkannya. Hal ini akan dijelaskan pada bab selanjutnya. Di antara definisi-
definisi gaya yang kontradiktif tersebut di atas,
Nicos Hadjinicolaou, dengan caranya sendiri mengelompokkan tiga ka- tegori gaya,
yaitu: 1) gaya sebagai satu organisasi bentuk yang khusus, yang di dalamnya tercakup
pendekatan formalis Schapiro, 2) gaya sebagai daya artistik. Dalam hal ini, gaya tidak
dikaitkan semata dengan sifat- sifat formal, akan tetapi justru dengan kekuatan spiritual yang
terdapat dalam sejarah. Kekuatan spiritual ini, menurut Wladimir Weidle, hanya berasal dari
satu-satunya sumber, yaitu agama Gaya, dalam hal ini, merupakan bahasa visual suatu
agama, yang merepresentasikan nilai-nilai spiritual agama tersebut. 3) Gaya muncul langsung
dari masyarakar yang memproduksinya. Pengkajian bentuk, dalam hal ini, harus disertai
dengan pengkajian landasan ekspresi yang mempunyai dasarnya pada faktor- faktor budaya,
sosial, dan agama. Pengelompokan gaya ini menyirarkan adanya satu spektrum dalam
penggayaan, yaitu adanya intensitas yang berbeda-beda pada setiap gaya tentang kandungan
formal, kehendak, atau sosialnya.
Dalam kaitannya dengan masyarakat, Hadjinicolaou, ketimbang menggunakan istilah
gaya, lebih cenderung menggunakan istilah ideologi visual-sebuah istilah yang sebetulnya
mencakup sebagian dari pengertian gaya. Ideologi visual, menurut Hadjinicolaou, adalah
"...cara tertentu elemen-elemen formal dan tematik satu gambar dipadukan pada satu
keperluan yang khusus. Perpaduan ini merupakan satu bentuk khusus ideologi kelas sosial
secara keseluruhan." Perpaduan elemen-elemen formal dan tematik secara khusus tersebut
sekaligus merupakan satu wacana ideologi, di mana individu-individu dapat mengekspresikan
cara mereka mengkaitkan kehidupan mereka dengan kondisi eksistensinya. Berbeda dengan
gaya, yang bisa merupakan gaya individu (yaitu gaya seorang seniman tertentu, misalnya
Goethe), gaya regional (merupakan representasi dari satu daerah tertentu pada periode
tertentu, misalnya gaya Venesia), gaya nasional (misalnya gaya Itali), atau gaya
Internasional, ideologi visual berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan dari gaya satu
kelompok sosial. Sejalan dengan pandangan Marx tentang proses ideologi, yang melihatnya
secara hakiki sebagai satu proses perjuangan kelas yang abadi dalam satu masyarakat,
pandangan Hadjinicolaou mengenai ideologi visual juga menyiratkan adanya perjuangan
kelas yang abadi melalui visual. Gaya, di lain pihak, tidak selalu merupakan representasi dari
perjuangan kelas semacam ini. Gaya, misalnya, bisa merupakan satu wahana bagi perebutan
posisi yang bersifat individual dalam satu sistem sosial. Bahkan, melalui peranannya dalam
wacana post-modernisme yang bersifat pluralistik dan indeterminan, gaya dapat merupakan
satu bentuk sinkretisme, yaitu penyerapan berbagai elemen gaya yang berasal dari berbagai
seniman, kebudayaan, periode, atau ideologi yang berbeda- bahkan bersifat kontradiktif satu
sama lainnya menjadi satu ramuan gaya yang baru.

Pendekatan Gaya Modernisme

23
Di dalam wacana modernisme, pandangan tentang gaya berkaitan dengan beberapa
konsep estetika oleh beberapa pendukung modernisme. Adolf Loos, misalnya, mengajukan
satu ungkapan "ornament was crime" ungkapan yang digunakan oleh Loos untuk mengkritik
gaya sebelum modernisme. Bagi pendukung modernisme seperti Loos, ornamen yang
cenderung bersifat figuratif, natural, tradisional, dan menyandang makna kebudayaan atau
mitologis tertentu bertentangan dengan kon- sep seni modern yang menyanjung tinggi
kualitas-kualitas fungsional, rasional, efisiensi. Modernisme menolak ornamentasi sebagai
satu bentuk ekspresi gaya, disebabkan kecenderungannya pada definisi gayanya sendiri yang
bersifat formal.
Nikolaus Pevsner, salah seorang pendukung modernisme yang lain- nya, melihat gaya
sebagai satu upaya eksplorasi formal terhadap elemen- elemen yang terdapat pada teknologi
modern, seperti mesin. Menurut Pevsner, "Gerakan modern dalam arsitektur, agar menjadi
ekspresi yang sepenuhnya dari abad kedua puluh, harus memiliki...kepercayaan pada ilmu
pengetahuan dan teknologi, pada ilmu pengetahuan sosial dan perencanaan rasional, dan pada
kepercayaan romantis pada kecepatan dan deru mesin." Kepercayaan modernisme terhadap
kualitas-kualitas formal serta nilai-nilai fungsional, rasional ilmu pengetahuan dan tekno- logi
semacam ini sebagai suatu kebenaran, telah menjauhkan modernisme itu sendiri dari nilai-
nilai sosial, spiritual, dan mitologis yang justru bersifat arasional. Bentuk, dalam pandangan
modernisme, tak lebih dari manifestasi kualitas-kualitas formal, rasional, dan fungsional ini-
form follows function. Dalam konteks arsitektur, secara sinis dan ekstrim Robert Venturi,
Denise Scott Brown, dan Steven Izenour mengatakan, bahwa bentuk, dalam pandangan
modernis tak lebih dari hasil dari satu proses logis, di kebutuhan-kebutuhan operasional dan
teknik-teknik operasional dipadukan," Arsitektur, dalam hal ini, lebih sebagai ekspresi logika
dan mana rasionalitas fungsi ketimbang ekspresi personalitas.
Pendukung modernis bahwa hanya ada satu cara mengartikulasikan ungkapan estetik,
yaitu melalui penerjemahan elemen-elemen fungsi pada bentuk. Modernis percaya meringkas
bahasa estetik seni menjadi bahasa universal fungsi. Melalui jeringkasan ini modernis
melecehkan perbedaan perbedaan pada ke budayaan, tempat, waktu, dan individual. Penganut
modernis tertentu melecehkan kemajemukan bahasa, kekayaan tradisi, keabadian mitos, dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan spiritual masa lalu. Para modernis tertentu yang ekstrim,
meringkas estetika seni menjadi tak lebih dari garis-garis geometris/vertikal/horizontal;
permukaan yang bersih dan halus; dan bentuk-bentuk kotak yang monoton. Melalui
peringkasan ini, tidak ada perbedaan yang mencolok antara estetika lemari es dan lemari
arsip- yang ada adalah penyeragaman esterika.
Pendekatan modernis terhadap gaya memang banyak mendapat kecaman tajam dari
beberapa kritikus. Pendekatan modernis, misalnya, dikecam sebagai melecehkan nilai-nilai
kemanusiaan seperti keunikan pribadi, perbedaan kepercayaan-disebabkan kepatuhannya
terhadap logika ilmu pengetahuan dan teknologi. Marshall Berman, seorang kri tikus
Amerika, mengemukakan bahwa wacana modernisme, melalui gaya yang diciptakannya telah
menghadapkan umat manusia pada satu paradoks. Modernisme menjanjikan pengembaraan
dalam kebaruan, pertumbuhan, keotentikan, kekuasaan, dan transformasi diri kita sen- diri.
Modernisme berupaya untuk menyatukan umat manusia melalui universalisme nilai-nilai dan
gaya-gaya yang diciptakan; namun, sekaligus melecehkan, dan bahkan menghancurkan nilai-
nilai etnisitas, kelas, nasionalitas, agama, atau ideologi. Modernisme ingin menyatukan umat
manusia. Akan tetapi, yang dihasilkan tak lebih dari kesatuan dalam ketidaksatuan-kesatuan

24
paradoks." Untuk mendukung argumen Ber- man, John Thackara menegaskan, bahwa praktik
modernisme...mem- perlakukan semua tempat dan semua orang dengan cara yang sama,
sebuah pendekatan yang dianggap mengancam identitas individual dan tradisi lokal."
Pendekatan modernis terhadap gaya adalah menganggap gaya sebagai satu semangat zaman-
zeitgeist-yang bersifat universal, yang melingkupi segala tempat yang berbeda, kebudayaan
yang berbeda dan segala bentuk kehidupan sosial yang berbeda-wacana ini adalah semacam
imperialisme dalam gaya.

BAB VII
Dari Konsep-konsep Post-modernisme Menuju Estetika Post-
modernisme
“...dunia tak lebih dari sebuah parodi...segala sesuatu yang tampak adalah parodi
sesuatu yang lain, atau parodi sesuatu yang sama dalam bentuk yang menyimpang.”
Georges Bataille
‘Solar Anus’ dalam Visions of Excess,
University of Minnesota Press, 1985, him. 5

“Seni di zaman kita hiruk-pikuk dengan himbauan untuk diam.”


Susan Sontag
“The Aesthetics of Silence’ dalam Against Interpretation,
Anchor Books, New York, hal. 187

Tampaknya, diskursus post-modernisme adalah diskursus yang menghindarkan


diri dari definisi, yang menjauhkan dirinya dari pembicaraan tentang kebenaran diri
sendiri, yang melakukan parodi terhadap dirinya sendiri.
Yang ingin dilakukan dalam tulisan ini adalah mencoba mengambil prinsip atau
idiom-idiom estetik dari keanekaragaman kebu- dayaan yang mengelilinginya, dari
kegalauan epistemologis yang me warnai produksi dan reproduksi objek-objek
estetiknya. Dalam hal ini, dapat dikemukakan argumen, bahwa di tengah-tengah
ekstasi (Barthes), diam (Hassan, Sontag), transparansi (Foucault), imanensi
(Baudrillard), indeterminansi (Rorty), dan skizofrenik (Deleuze & Guattari) yang
mewarnai diskursus post-modern, ada kategori-kategori kebudayaan, idiom-idiom
estetik yang dapat diambil, dikembangkan, diperluas, di- perdalam dan diterapkan
dalam praktik-praktik kebudayaan yang lebih luas, khususnya seni. Tujuan dari
penggalian idiom-idiom dan bahasa estetik ini, bukanlah untuk mencari terminal
terakhir atau tapal batas terluar dari diskursus estetika post-modernisme-terminal atau
tapal batas, di mana bahasa estetik post-modern tidak punya ruang gerak lebih jauh
lagi, akan tetapi, hanya untuk pembuka wawasan, bagi penjelajahan idiom-idiom yang
lebih kaya. Lima idiom estetik yang akan dijelaskan berikut ini pastiche, parodi,
kitsch, camp, dan skizofrenia, adalah sebagian saja dari kemungkinan penjelajahan
estetik dalam diskursus seni post-modernisme.

25
1. Pastiche
Pastiche didefinisikan di dalam The Concise Oxford Dictionary of Literary
Terms, sebagai “...karya sastra yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari
berbagai penulis lain atau dari penulis tertentu di masa lalu.” Sebagai karya yang
mengandung unsur-unsur pinjaman, pastiche mempunyai konotasi negatif sebagai
miskin kreativitas, orisinalitas, keoten- tikan, dan kebebasan. Pastiche seringkali
dikaburkan dengan kategori-kategori estetik yang sejenis, misalnya parodi, burlesque,
travestry, plagiarisme, kutipan, alusi dan satir. Perbedaan antara pastiche dan parodi,
terutama terletak pada model relasinya dengan teks atau karya yang menjadi rujukan.
Parodi, dalam hal ini, mencari, menggali, dan menonjolkan perbedaan-perbedaan
dengan teks rujukan. Sebaliknya, pastiche, menurut Hutcheon, “...lebih beroperasi
berdasarkan prinsip kesamaan dan keberkaitan.” Oleh sebab itu, pastiche adalah satu
bentuk parodi terhadap sejarah, atau menurut Umberto Eco, ia merupakan suatu
“...perang terhadap sejarah...sebab, sejarah tidak dapat diulangi. Sejarah harus dibuat.”
Teks-teks pastiche menjadikan masa lalu sebagai patron, semata didorong oleh apa
yang dimaksud oleh Levi-Strauss sebagai semangat bricolage, atau yang dikatakan
Baudrillard sebagai semangat simulasi-yang menekankan aspek-aspek yang tampak,
atau permukaan dari objek-objek sejarah ketimbang nilai transendentalnya.
Dalam kaitannya dengan konsep pastiche sebagai salah satu bahasa estetik yang
penting dari post-modernisme, klasifikasi post- modernisme Fredric Jameson, yang
dibuatnya berdasarkan kriteria kanon atau patron gaya masa lalu, mungkin lebih dapat
diterima.
2. Parodi
Robert Venturi, Denise Scott Brown & Steven Izenour membuka tulisan mereka
Learning From Las Vegas dengan mengutip Richard Poirier: “Substansi bagi seorang
penulis tidak hanya melingkupi realitas realitas yang ia anggap ditemukannya;
substansi mengandung lebih dari sekadar realitas-realitas ini yang disediakan
untuknya oleh literatur dan idiom-idiom dari zamannya sendiri dan oleh citraan-
citraan yang masih memiliki vitalitas dalam literatur masa lalu. Berkaitan dengan
gaya. seorang penulis dapat mengekspresikan perasaannya tentang substansi ini
dengan cara imitasi-bila substansi ini mendapatkan tempat di dalam dirinya, atau
dengan cara parodi, bila tidak.”
Ada dua kesimpulan yang dapat ditarik dari kutipan di atas berkenaan dengan
parodi, yaitu: 1) parodi adalah satu bentuk dialog (menurut pengertian Bakhtin), yaitu,
satu teks bertemu dan berdialog dengan teks lainnya, dan 2) tujuan dari parodi adalah
untuk mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan
dengan intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk. Oleh sebab itu, dalam
parodi tampak dengan jelas adanya unsur- unsur kesengajaan dalam menyilangkan
dua bahasa, sebagaimana halnya dua gaya, dua sudut pandang bahasa dan akhirnya
dua subjek yang berbicara. Dengan kata lain, dialog dalam parodi terjadi secara
disengaja.
Secara historis, parodi sebenarnya bukanlah fenomena estetika yang baru sama
sekali. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bakhtin, parodi sudah ada sejak era

26
kebudayaan Romawi, yang menjadikan objek-objek kebudayaan Abad Pertengahan
yang serius sebagai sasaran parodinya. Sejarah parodi ini terjadi berulang lagi di
dalam era post-modern, meskipun dengan segala dimensi dan nuansa barunya.
Sebagaimana halnya Romawi memparodi keseriusan objek kebudayaan Abad
Pertengahan, post-modern memparodi keseriusan objek kebudayaan modernisme,
baik dalam kesusasteraan, seni rupa, dan arsitektur. Dalam bidang seni rupa dan
arsitektur, apa yang menjadi sasaran parodi tidak saja karya, seniman atau arsitek
tertentu, akan tetapi juga konvensi ikonik gaya. Sebagai contoh, karya James Wines,
Indeterminate Facade (1975) dalam bidang arsitektur. Dalam arsitektur ini, parodi
memanifestasikan dirinya melalui relasi-relasi konvensi/ikonik gaya modernisme
secara umum, yaitu bentuk kotak, garis vertikal/horizontal, warna hitam, abu-abu, dan
sebagainya. Sang arsitek secara langsung menyindir atau membangun satu sense of
humor dari kekakuan, gaya modernisme tersebut.
3. Kitsch
Istilah kitsch berakar dari bahasa Jerman, verkitschen (membuat murah) dan
kitschen, yang berarti secara harfiah “memungut sampah dari jalan”. Oleh sebab itu,
istilah kitsch sering ditafsirkan sebagai sampah artistik, atau selera rendah (bad taste).
Dalam sudut pandang ilmu bahasa struktural, kitsch menurut Eco adalah
"...stylemes yang di-abstraksikan dari konteks asalnya dan disisipkan ke dalam satu
konteks yang strukturnya secara umum tidak memiliki karakter homogenitas dan
kepentingan yang sama sebagaimana konteks asalnya, sedangkan hasilnyaadalah
karya yang diciptakan secara segar yang mampu menghasilkan pengalaman baru.”
Terdapat banyak cara karya-karya menjadi kitsch, sebagaimana yang dijelaskan
oleh para penulis di atas. Pertama, pengalihan saru elemen atau totalitas elemen
dalam karya seni, sastra, atau arsitektur dari status dan konteks asalnya sebagai seni
tinggi dan digunakan dengan status dan konteks barunya sebagai kebudayaan massa.
Misalnya, sebuah handuk bergambar Monalisa, sebuah teko berbentuk patung Rodin,
atau sebuah piring berukirkan motif karya William Morris. Kedua, peminjaman
elemen-elemen tertentu dari barang konsumer, yang ditanggalkan dari konteks dan
status asalnya sebagai produk massa dan dialihkan ke dalam konteks dan statusnya
sebagai seni tinggi. Misalnya, patung berbentuk ikonik botol Coca Cola, bangunan
berbentuk ikonik sepatu, atau lukisan berbentuk ikonik elemen-elemen iklan. Ketiga,
imitasi bahan, yaitu peng- gunaan bahan-bahan tiruan untuk memberikan efek dan
kesan bahan alamiah. Misalnya, meja yang dilapis veneer serat kayu, patung miniatur
Beethoven dari bahan plastik, produk-produk yang dilapis imitasi, seperti emas, perak,
dan lain-lain. Keempat, transformasi dan idolisasi ikon, simbol, atau lambang dari
objek-objek subkultur dan objek kultus menjadi objek-objek seni dan barang
konsumer. Sama seperti jenis kitsch yang terdahulu, pada objek semacam ini juga
terjadi demitoisasi, dan peredupan aura. Misalnya, patung miniatur Yesus, simbol-
simbol klub olahraga, lambang-lambang Hippies yang dijadikan motif dalam produk
konsumer dan benda seni lainnya. Kelima, objektivikasi mitos, yaitu pengabadian
objek-objek atau tokoh-tokoh mitos atau yang telah menjadi mitos dalam bentuk
objek-objek seni atau barang konsumer. Dalam hal ini, ada mitos Einstein, John
Lennon, Marilyn Monroe, Muhammad Ali, Citroen. Ada pula mitos pahlawan cerita

27
fantasi (science fiction), seperti Superman, Batman, Micky Mouse, dan sebagainya.
Berdasarkan jenis- jenis dan contoh-contoh di atas, dapat dilihat bahwa sebenarnya
kitsch bukanlah fenomena unik dan hak prerogatif kebudayaan post-modern. Kitsch
sebenarnya hidup bersamaan dengan kebudayaan tinggi, meskipun ditolak di dalam
diskursus modernisme.
4. Camp
Meskipun sering dikelirukan dengan kitsch, camp berbeda dengan kitsch. Tidak
seperti kitsch, camp bukanlah satu bentuk selera rendah atau sampah artistik. Esai
Susan Sontag yang ditulis tahun 1964 berjudul “Notes on Camp” adalah satu upaya
pertama dalam memberikan semacam kajian kebudayaan mengenai apa yang
dimaksud dengan camp. Menurut Susan Sontag, camp adalah satu model esterisisme-
satu cara melihat dunia sebagai satu fenomena estetik, namun estetik bukan dalam
pengertian keindahan atau keharmonisan, melainkan dalam pengertian keartifisialan
dan penggayaan. Estetisisme semacam ini dapat dipandang positif dalam hal
peranannya terhadap pengembangan gaya, oleh karena ia adalah semacam
pemberontakan menentang gaya elit kebudayaan tinggi.
Perkembangan konsep estetisisme-sebagaimana ia diistilahkan di Inggris, atau
dekadensi di Prancis-tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat industri,
yang kemajuannya sangat bergantung pada produksi komoditi. Apa yang ditawarkan
camp sebetulnya adalah antiresis dari konsep kemajuan itu sendiri.
Meskipun demikian, perkembangan camp itu sendiri di dalam era post-modern
tidak terlepas dari beberapa krisis dan ketidakpastian yang mewarnai perkembangan
masyarakat post-modern-krisis dan kegalauan epistemologis, ketidakpastian nilai,
kekacauan makna. Camp justru tumbuh di dalam dan memberikan sumbangan
terhadap krisis kebudayaan post-modern ini. Perkembangan camp post-modern,
menurut Peter York, telah dimulai sejak perkembangan machomania di Amerika
tahun 1970-an, yaitu kecenderungan kaum gay Amerika memparodi mitologi “lelaki
keras” -macho. Kecenderungan camp post-modernadalah kecenderungan mengangkat
kembali ideal-ideal camp masa seperti Art Nouveau, Art Deco, ornamen, androgyne,
bentuk artifisial. Androgyne, pada bahasa estetik post-modernisme dibelokkan sedikit
dari asal camp-nya, menjadi satu kategori bahasa estetik yang disebut perversi.
Perversi, menurut Louis Kaplan, adalah satu bentuk penyimpangan dalam gaya, tara
cara, dan penggunaan benda-benda, yang memberikan citraan yang keliru tentang ciri
seksual. Estetika perversi, dalam hal ini, adalah satu bentuk estetika yang prinsipnya
adalah, penataan bentuk- bentuk tertentu yang dapat memberikan konotasi seksual
yang keliru atau menyimpang.
5. Skizofrenia
Skizofrenia adalah sebuah istilah psikoanalisis, yang pada awalnya di- gunakan
untuk menjelaskan fenomena psikis dalam diri manusia. Akan retapi, kini terutama
dalam diskursus intelektual di Barat-istilah ini digunakan secara metaforik untuk
menjelaskan fenomena yang lebih luas, termasuk di antaranya fenomena bahasa
(Lacan), fenomena sosial ekonomi, sosial politik (Deleuze & Guattari), dan fenomena
estetik (Jameson).

28
Jacques Lacan, seorang ahli psikoanalisis, sebagaimana yang dikutip oleh
Fredric Jameson, mendefinisikan skizofrenia sebagai “...putusnya rantai pertandaan,
yaitu, rangkaian sintagmatis penanda yang ber- tautan dan membentuk satu ung-
kapan atau makna.” Definisi skizofrenik Lacan berkaitan dengan tantangan para
pemikir post-strukturalis terhadap pe mikiran linguistik struktural Saussure, yang
mengatakan, bahwa makna itu semata merupakan hubungan logis antara penanda dan
petanda. Menurut pandangan para pemikir post-strukturalis (Barthes, Derrida,
Deleuze & Guattari), makna tidak dihasilkan berdasarkan hubungan yang pasti ini.
Dalam kaitan ini, petanda. yang dalam pemikiran strukturalis dikatakan sebagai
makna dari satu ungkapan, oleh para pemikir post-strukturalis dikatakan hanya
sebagai efek makna, yaitu efek yang ditimbulkan sebagai akibat dari pergerakan atau
dialog antara satu penanda dan penanda lainnya.
Di dalam konteks masyarakat post-industri, perkembangan bahasa skizofrenia,
menurut Baudrillard, adalah sebagai akibat dari “...munculnya keacakan dan
interkoneksi informasi dan jaringan-jaringan komunikasi yang tanpa batas dan bersifat
imanen.” Masyarakat post-industri yang dicirikan oleh komunikasi, produksi, dan
konsumsi melimpahruah iklan, televisi, fashion, dan sebagainya-terbuka akan segala
jenis penanda, segala jenis makna, namun tidak dapat lagi merefleksikan kembali
makna- makna tersebut dalam kehidupan spiritual. Mereka hidup di dalam kegalauan
hutan rimba tanda-tanda dan makna-makna, yang di dalamnya satu tanda dan tanda-
tanda lainnya, atau satu makna dan makna-makna lainnya yang bersifat kontradiktif
bisa hidup berdampingan di dalam diskursus dan komunikasi masyarakat post-
industri, di dalam bahasa estetik. Di dalam diskursus seni post-modern, bahasa estetik
skizofrenia merupakan salah satu bahasa yang dominan, meskipun bahasa tersebut
sudah ada pada era sebelumnya. Bahasa skizofrenia post-modern ada- lah bahasa yang
dihasilkan dari persimpangsiuran penanda, gaya, dan ungkapan dalam satu karya,
yang menghasilkan makna-makna kon- tradiktif, ambigu, terpecah, atau samar-samar.

BAB VIII
Menyingkap Kode Bahasa Estetik Post-modernisme

Masyarakat kontemporer, kata Heidegger, sampai pada satu zaman yang di dalamnya
eksistensi manusia tak lebih dari citraan. Citraan itu sendiri di dalam masyarakat kita
menemukan bentuknya yang ironis, yang di dalamnya lebih diutamakan permainan bebas
tanda dan kode- kode ketimbang kebenaran, pesan dan makna-makna ideologis di balik
citraan itu. Kode juga kini telah mencapai titik indeterminansinya, ketika ia bukan lagi
berfungsi sebagai paradigma, konvensi, atau aturan main yang final, yang membentuk
struktur seperti yang terdapat, misalnya, pada permainan catur, melainkan berfungsi seperti
perspektif topografis, tempat bertemu dan berinteraksinya berbagai kutipan yang kontradiktif
sekalipun, sehingga membentuk apa yang disebut Barthes sebagai ilusi atau fatamorgana
struktur.' Dunia kontemporer kita, seperti yang dilukiskan Heidegger, di- penuhi oleh gambar
dan citraan. Adalah di zaman kontemporer kita bahwa gambar dan citraan mendominasi
dunia penampakan, sehingga dapat dikatakan ia kini telah menjadi semacam alam kedua kita

29
(gambar yang dimaksud Heidegger adalah dalam pengertiannya yang luas, yang mencakup
lukisan, foro, televisi, iklan, produk, arsitektur). Sebuah gam- bar, kara Williamsons, dapat
merepresentasikan tidak hanya sebuah peristiwa, akan tetapi seperangkat peristiwa...ia
menyingkap masa lalu. menjanjikan masa depan, atau berisikan sebuah cerita yang
melingkupi.
Karya Charles Jencks untuk Alessi, Tea Pot (1983), adalah sebuah karya pastiche, yang
mengangkat kembali kode kultural dari kebudayaan klasik. Istilah klasik sendiri didefinisikan
di dalam Oxford Dictionary of Current English sebagai sesuatu "...yang memiliki nilai atau
posisi yang diakui mempunyai bakuan literatur, seni, dan kebudayaan Yunani dan Latin
Kuno." Bakuan-bakuan ini selanjutnya menjadi kanon estetik yang digunakan secara
berulang dari zaman ke zaman. Salah satu aspek yang menonjol dari peminjaman kembali
kanon-kanon klasik pada seni post- modern-seperti pada karya Jencks-adalah cara
mentransposisikan kanon dan kode-kodenya ke dalam konteks kebudayaan kontemporer. C.
Browlin membedakan dua jenis peminjaman atau daur ulang gaya masa lalu, yaitu: 1)
peminjaman dengan tujuan tertentu, yaitu penggalian secara sadar permainan, distorsi, atau
kejanggalan pada kanon atau kode estetik, dan 2) pengungkapan keindahan personal, yakni
menggunakan kode kultural klasik sebagai inspirasi. Karya Jencks dapat diklasifikasikan
sebagai pastiche atau peminjaman dengan tujuan tertentu, sebab di da lamnya dapat
ditemukan distorsi, permainan atau kejanggalan seperti yang dikatakan, Browlin. Elemen-
elemen bentuk dan kode-kode estetik Doria, Ionia dan Korinria yang digunakan oleh Jencks
pada karyanya, sepintas tampak sebagai bentuk yang akrab, yakni sebagai bentuk yang
mengandung unsur-unsur identitas dan simbolik Helenisme.
seperti yang terjadi pada peminjaman unsur-unsur pada umumnya, bentuk tersebut
tampak akrab sekaligus tidak akrab. Bentuk tersebut dibangun oleh elemen-elemen
konvensional yang digunakan kembali dengan cara yang sedikit tak konvensional, melalui
distorsi kode-kode kulturalnya. Elemen-elemen bentuk tersebut dibuat tak konvensional
melalui apa yang dikatakan Venturi, Brown & Izenour sebagai...distorsi bentuk...perubahan
skala...perubahan konteks." Elemen-elemen Doria, lonia, dan Korintia yang digunakan Jencks
sangat didistorsi secara pro- porsional; skalanya dibuat dalam bentuk miniatur: dan
konteksnya yang disimpangkan dari konteks awalnya sebagai elemen arsitektur. Apa yang
dilakukan Jencks, dengan demikian, adalah mendistorsi kode kebudayaan klasik itu sendiri.
klasik itu sendiri. Relasi masa lalu, masa kini, dan masa mendatang di dalam sebuah
gambar atau citraan bisa bersifat naratif yakni penempatannya sebagai satu urut-urutan aksi
secara historis, sehingga membentuk satu rentang: awal-pertengahan-akhir, Akan tetapi,
relasi tersebut bisa juga bersifat anti-naratif atau skizofrenik-yaitu samar-samar atau
terputusnya ran- tai historis yang membangunnya. Rantai atau urut-ururan historis ini,
menurut Barthes, menyiratkan adanya logika di dalam aksi (praksis) dan tindak tanduk
manusia. Dalam hal ini, istilah Aristoteles, proairesis, digunakan untuk menjelaskan
kemampuan manusia secara rasional untuk memperkirakan hasil atau akibat dari satu
tindakannya, yang di dalamnya ada satu kesadaran yang tertanam tentang rentang atau rantai
waktu dengan segala hubungan sebab akibatnya. Di dalam teks atau gambar naratif,
kesadaran akan rantai waktu ini dapat terlihat secara eksplisit. Akan tetapi, ketika rantai
waktu tersebut beserta kode-kode yang terkandung di dalamnya terputus, maka sebuah teks
atau gambar berubah wujud menjadi antinaratif.

30
Fragmen-fragmen representasi lukisan atau figur-figur lukisan Picasso, kini menjadi
elemen-elemen marjinal, setelah dihajar, dengan menempatkannya di pinggir gambar. Apa
yang didekonstruksi oleh Tisna melalui etsa ini adalah petanda waktu. Fragmen-fragmen
gambar yang bersifat eklektik sebagai satu rangkaian penanda dengan sengaja dihilangkan
dimensi waktunya, sehingga menjadi satu rangkaian penanda yang disebut Baudrillard
sebagai penanda murni. Oleh sebab itu, karya ini tidak saja merupakan parodi terhadap
Picasso, tetapi sekaligus parodi terhadap kode-kode narasi dan semiotika konvensional.
Parodi, kata Linda Hutcheon, merupakan"...: ...sebuah sintesis formal, sebuah penyatuan
antara teks latar belakang (teks yang diparodi) dengan teks parodi itu sendiri... Tekstual
ganda ini berfungsi dalam menghasilkan diferensi.
Pada karya Tisna, fragmen-fragmen penanda (manusia-manusia yang menghajar secara
kolektif) justru dengan sengaja dihilangkan petanda waktunya (makna historisnya) dan
kemudian digiring ke penanda lain, yaitu fragmen-fragmen lukisan Picasso, dalam relasi
sebab-akibat. Akan tetapi, sekali lagi, hubungan sebab akibat ini pun dihilangkan dimensi
waktunya, atau dibongkar kode-kode proairetiknya. Di sini—di dalam kode proairetik etsa
Tisna-berbagai fragmen kutipan dari berbagai waktu, tempat dan kebudayaan yang berbeda
saling bertemu, berinteraksi. dan berdialog, dan membentuk sebuah perspektif baru, yang
ahistoris- sebuah ilusi struktur, yang secara bersama-sama menghajar Picasso. Akan tetapi,
mengapa harus menghajar? Mengapa harus Picasso? Tisna, tampaknya ingin berargumen
melalui karyanya bahwa Picasso adalah seorang figur modernisme, yang banyak mencuri
objek, elemen atau idiom-idiom dari berbagai kelompok masyarakat primitif, kelompok etnis,
dan kelompok masyarakat lainnya, dan menemparkan dirinya sebagai layaknya seorang
antropolog, yang mengidentifikasi, mengumpulkan, menilai, dan kemudian mengadilinya
berdasarkan ukuran dan kriteria- kriteria modern dan humanisnya. Picasso, dalam hal ini
mewakili ke- cenderungan etnosentrisme dan Erosentrisme pengetahuan yang do- minan
dalam diskursus modernisme-gagasan, bahwa pengetahuan Barat atau Eropa dapat digunakan
untuk berbicara mengenai atau me representasikan subjektivitas kebudayaan lain yang
beraneka ragam. Di sini, kebudayaan-kebudayaan lain yang marjinal dinilai menurut
kacamata Barat yang bersifat hegemonik. Edward Said menyebut dis- kursus seperti ini
sebagai diskursus orientalisme, yaitu diskursus yang bukannya memvisualisasikan dan
merepresentasikan kebenaran tentang kebudayaan non-Barat, tetapi mengadilinya
berdasarkan pengetahuan Barat.
Elemen atau fragmen-fragmen randa dari sebuah gambar atau objek seni tidak saja
mampu membangun rantai naratif atau relasi kultural, akan tetapi juga dapat
merepresentasikan relasi tak sadar (unconscious) dan dalam hal ini, gambar atau objek ini
masuk ke dalam kawasan psikoanalisis. Arti sebuah objek bagi seseorang tidak bisa
dilepaskan dari pengalaman-pengalaman tak sadar dan primordial orang tersebut dengan
objek-objek di masa lalu. Bagi Freud, pengalaman tak sadar dan primordial manusia ini lebih
bersifat seksual, yang menjadikan relasi Oedipus Complex sebagai modelnya. Oleh
karenanya, objek- objek pengalaman tak sadar ini juga berupa objek-objek seksual. Jacques
Lacan, berupaya membongkar pandangan-pandangan Freud tentang tak sadar ini, dan
merekonstruksinya kembali sebagai satu fenomena bahasa, sehingga ia mengatakan, bahwa
ketaksadaran itu terstruktur seperti struktur bahasa." Lacan melihat bahwa sebagai satu
fenomena bahasa, perjalanan ketaksadaran manusia terbagi atas dua tahapan umum, yaitu
tahapan imajiner dan tahapan simbolik. Di dalam setiap tahapan ini berlangsung apa yang

31
disebutnya identifikasi. Imajiner berkaitan dengan pengalaman identifikasi intuitif, afektif,
emosional; berbagai rangsangan serta pengalaman konseptual yang mengalir tanpa batas dan
dengan kondisi tumpang tindih, fluktuatif, dan silang-menyilang sebelum ia ditambatkan
secara tetap pada orde simbolik. Orde simbolik, dalam hal ini, adalah tahap alienasi atau
terpecahnya subjek, yaitu tahap ia kehilangan bagian dari dirinya yang sesungguhnya, dengan
mengidentifikasikan dirinya pada orde simbolik, yaitu konvensi, kode, tabu dalam kehidupan
seksual, kekerabatan, dan sosial. Di antara tahap-tahap di dalam imajiner ini adalah tahap
citra cermin (mirror image), yang telah dijelaskan pada bab terdahulu, dan tahap identifikasi
narsistik (identifikasi primer), yang di dalamnya subjek hidup di alam mendua (double).
Masyarakat dan strukturnya, menurut Lacan, selalu mengikuti model institusi keluarga
seperti ini, dengan bapak sebagai simbol dari hukum yang melarang sang anak bersatu
dengan ibu (dalam tahap imajiner atau natural)," Meskipun demikian, pengalaman-
pengalaman pada tahap imajiner/fantasi/narsisisme akan tersimpan terus di dalam alam tak
sadar sang subjek, dan selalu berupaya muncul dan menemukan media artikulasinya di
sepanjang perjalanan kehidupan. Di dalam semiotika, fenomena psikoanalisis tersebut di atas
diatur oleh kode simbolik, seperti yang dikatakan Barthes. Kode simbolik, menurut Barthes,
merupakan kode anti-tesis, yaitu kode pertentangan, pengutuban. Selain itu, ia juga
merupakan kode paradoksisme" atau kode kemenduaan (double), sebagaimana yang
dijelaskan oleh Lacan. la bagaikan dua barisan tentara yang saling bertempur, tetapi sekaligus
bagaikan seorang yang melihat citra dirinya di sebuah cermin. Kode simbolik yang dimaksud
Barthes, dengan demikian, melingkupi sekaligus tahap imajiner dan simbolik dalam
psikoanalisis Lacan.
Di atas masing-masing cermin tersebut terdapat gambar fotografi sosok wanita yang
saling memandang saru sama lain dalam relasi narsistik. Artinya, apa yang dilihat oleh sosok
wanita ter- sebur sebagai refleksi dirnya adalah jamaknya, yakni citraan fantasi yang ideal
dari sosok dirinya, dan dalam memandang itu, ia menikmati keindahan tubuhnya. Relasi
narsistik pada karya Bloom ini adalah relasi pandangan (gaze) yang dijelaskan Lacan sebagai
relasi seseorang " memandang dirinya sedang memandang dirinya." Di dalam memandang
citraan diri di dalam cermin, apa yang dilihat oleh sosok wanita di dalam karya Bloom
tersebut adalah kawasan luar (representasi ideal), namun, dalam kondisi mendua ini, sekali
sang subjek (sosok wanita tersebut) menerima representasi tersebut sebagai kebenaran yang
sesungguhnya dari dirinya, maka representasi ideal tersebut menjadi miliknya-artinya
menjadi kebenaran semu dirinya.
Dalam menjanjikan kebenaran ini, sebuah teks atau lukisan mengajak kita menelusuri
jalan-jalan berliku, yang penuh dengan tanda tanya, yang jawabannya ditangguhkan, diulur-
ulur, penuh jebakan, jawaban palsu yang pada akhirnya menggiring kita ke arah satu
jawaban, satu kebenaran, atau malah meninggalkan kita dalam keadaan tanpa jawaban-tanpa
kebenaran. Ketika sebuah teks atau lukisan masuk ke dalam jalan berliku- liku ini, maka ia
memasuki kawasan kode hermeneutik, sebagaimana yang dijelaskan oleh Barthes. Menurut
Barthes, kode ini mengajak kita menafsirkan berbagai ungkapan pertanyaan, tanggapannya,
serta berbagai cuplikan peristiwa di dalam teks atau gambar yang merumuskan pertanyaan
atau menunda jawabannya, atau bahkan membentuk enigma, dan menggiring kita ke arah
jawaban." Untuk memahami kode hermeneutik ini, kita harus menelusuri setiap sudut teks
atau lukisan, untuk menemukan jawaban atau kebenaran yang dijanjikan itu.

32
Lukisan Agus Suwage, Kebenaran (1994), dengan segera mengingatkan kira pada
konsep enigma Barthes, serta konsep kebenaran lukisan Derrida. Pertama, judul lukisan
sendiri, Kebenaran, segera menghadapkan kita pada satu pertanyaan, satu teka-teki, tentang
arti kata kebenaran itu dalam lukisan. Apakah ia berarti "inilah kebenaran," atau "ada
kebenaran di dalam lukisan," atau "inilah nasib kebenaran," atau pencari kebenaran," arau...
tafsiran lainnya yang tanpa ujungnya. Pada lukisan Agus Suwage sendiri, terdapat tiga
fragmen tanda-tanda utama, yang sepertinya ber- kaitan dengan konsep kebenaran. Pancaran
cahaya di latar belakang merupakan satu penanda yang maknanya bisa jadi kebenaran.
Tangga yang panjang merupakan penanda ikonik, yang berarti jalan menuju kebenaran. Dua
bekas jejak tapak kaki-sebagai penanda indeks-di aras anak tangga dan menuju ke arah
cahaya, yang boleh jadi berarti jejak para pencari kebenaran." Akan tetapi, apakah benar
demikian? Bukankah jejak tersebut juga bisa berarti jejak para penginjak kebenaran?"
Bukankah di balik tangga mungkin ada ribuan anak tangga lagi, yang bisa berarti "jalan
menuju kebenaran itu sulit, berliku-liku atau malah mustahil, seperti yang dikemukakan
Derrida? Karya Suwage ini, pada tingkat tertentu, bisa dikatakan beridiom parodi, dengan
kemungkinan maknanya "kebenaran itu mustahil" atau "kebenaran telah diinjak-injak.
Sebuah objek dapat mewakili realitas melalui penandanya yang bersifat material.
Dalam hal ini, realitas itu sendiri adalah referensi dari tanda. Akan tetapi, lebih jauh lagi,
sebuah objek dapat menjadi copy, replika, tiruan, atau duplikasi dari referensi itu sendiri. Ia
menjadi ikon dari realitas, menjadi simulasi. Dalam hal ini, antara tanda dan referensi
perbedaannya sangat tipis sekali, sehingga boleh dikatakan bahwa tanda itu sendiri adalah
referensi. Bisa juga terjadi, bahwa sebuah tanda sama sekali tidak mengacu pada satu
referensi atau realitas tertentu, oleh karena ia sendiri adalah fantasi, ilusi, atau halusinasi,
yang mengubah wujudnya seakan-akan ia adalah realitas-ia adalah realitas semu. hiper-
realitas. Simulasi menurut Baudrillard, adalah "...penciptaan lewat model-model, suatu
realitas yang tanpa asal-usul atau referensi."" Akan tetapi, simulasi juga berarti "...duplikasi
realitas, dengan menggunakan media reproduksi yang berbeda."" Objek atau tanda yang
merupakan reproduksi ikonik realitas, baik realitas masa kini (kehidupan sehari-hari) atau
realitas masa lalu (dinosaurus, suku primitif), dengan demikian, masuk ke dalam kawasan
simulasi. Sebagai satu idiom estetik, objek- objek yang tidak berbeda dengan referensinya
disebut Baudrillard sebagai objek-palsu atau kitsch, yakni objek yang merupakan simulasi,
copy, faksimili, atau stereotip dari realitas." Kitsch adalah estetika simulasi yang
mereproduksi objek-objek dengan skala yang menjadi lebih besar atau lebih kecil; ia
mengimitasi material; ia meniru bentuk-bentuk dan mengkombinasikannya secara tak
harmonis atau sumbang; ia mengulang- ulangi fashion tanpa masuk ke dalam sistemnya.
Karya patung Jeff Koons, Ushering in Banality (1988), adalah se buah contoh dari
karya kitsch dan simulasi sejati. Bentuk, komposisi dan penyelesaian akhir dari patung ini
mengingatkan kita pada objek sehari-hari, pada souvenir, pada selera rakyat, pada selera
murahan, pada banalitas. Ia mengingatkan kita pada sesuatu yang dilihat sehari-hari, sesuatu
yang akrab, sesuatu yang familiar. Karya ini adalah duplikasi dari objek dan lingkungan
keseharian. Salah satu prinsip kitsch atau reproduksi yang tampaknya digunakan dalam karya
Koons-selain dari duplikasi- adalah mempermainkan skala. Karya yang sepintas tampak
seperti se- ukuran benda-benda souvenir ini, pada kenyataannya berukuran jauh lebih besar.
Koons sendiri dalam satu wawancara dengan Art & Design mengemukakan bahwa apa yang

33
ingin ia capai melalui karyanya bukanlah gagasan-gagasan ideal formalisme-komposisi,
keharmonisan, kesatuan, kekontrasan-akan tetapi, keakraban bentuk dengan masyarakatnya.
Dengan perkataan lain, Koons mengumpulkan fragmen kode-kode kebudayaan yang
sudah ada, meng- kombinasikannya secara eklektik atau acak, yang kemudian tanpa
menghiraukan kaidah-kaidah formalistik-menghasilkan sesuatu yang ringan, dangkal,
populer, banal, namun komunikatif. Pada karya Koons dapat dilihat bahwa sosok babi
bukanlah sebuah mimesis dari realitas babi sebagai unsur alam, melainkan tiruan ikonik dari
babi-babian souvenir, seperti yang tampak dalam penggunaan pita pada leher sang babi. Di
sini, penanda (sosok babi) merupakan duplikasi dari penanda lain (babi souvenir), sehingga ia
tak lebih dari penanda dari penanda seperti yang dikatakan Baudrillard. Sosok malaikat dan
sosok representasi pekerja modern-yang sama-sama mengingatkan kita pada citra souvenir-
menghasilkan satu kesumbangan.

BAB IX

Gaya dan Proses Seni Post-modernisme


“Para konsumer kini mencari sesuatu yang personal, bermain dan menyenangkan pada objek
objek yang mereka beli. Akibatnya, objek harus dimuati kualitas sensual: selain dapat
dimengerti, ia juga harus dapat dirasakan” Francois Burkhardt
Pada bab ini, perhatian lebih dikhususkan pada upaya mencari dan menemukan relevansi
antara konsep, kategori, kode, dan makna-makna yang telah diuraikan pada bab sebelum ini
terhadap praktik dan proses seni. Perhatian pada bab ini lebih ditujukan pada upaya
penjelajahan kemungkinan menghasilkan model umum penggunaan kode dan muatan makna
ke dalam bahasa estetik seni, yang menjadikan idiom-idiom estetik post-modernisme sebagai
titik berangkat. Meskipun demikian, perlu dicatat di sini, bahwa istilah model yang
digunakan di sini bukanlah semacam metode, prosedur, atau teknik seni. Melainkan absurd
untuk menciptakan metode bagi pengembangan gaya. Model yang dimaksud di sini adalah
semacam titik berangkat dalam perjalanan menjelajahi ide, gagasan, konsep, serta idiom-
idiom estetik yang lebih kaya. Yang menjadi landasan dan premis utama dalam penciptaan
model ini adalah kondisi dan kenyataan, bahwa telah terjadi satu peralihan besar dalam cara
seni dijelaskan dan didefinisikan sebagai saru diskursus di dalam masyarakat post-modern.
Banyak perubahan yang terjadi pada elemen diskursus (seniman, subjek, media massa,
konsumeri kapitalisme, kekuasaan) yang mempengaruhi dan membentuk totalita diskursus
seni. Di dalam totalitas diskursus ini terjadi diskontinuitas serta perubahan besar perhatian
seni, dari penggalian aspek teknik, fangs, dan formal menuju pada penjelajahan dan
permainan bebas bahasa, ke arah gagasan seni sebagai satu pluralitas tanda.

Post-modernisme dan Pendekatan Semiotika Seni


Ada dua aspek utama yang perlu dipertimbangkan dalam proses seni, yaitu aspek objektif dan
aspek subjektif. Aspek objektif berkaitan dengan pertimbangan berbagai faktor yang
membatasi proses pengembangan seni, seperti teknologi, teknik, material, konvensi, kode
bahasa. Aspek subjektif berkaitan dengan kemampuan artistik dan daya kreativitas seniman,
yang dibentuk oleh kebudayaan, mitos, kepercayaan, ideologi atau ketaksadaran seniman itu

34
sendiri. Pendekatan modernisme ter- hadap seni, sebagaimana telah dikupas sebelum ini,
lebih memusarkan perhatian pada aspek formal dan fungsional. Pendekatan post-modern,
sebaliknya lebih menekankan aspek permainan tanda dan kode-kode- memandang objek
sebagai mosaik tanda-tanda. Pandangan objek dan objek seni sebagai mosaik tanda-baik
dalam konteks politik ekonomi dan sosiokultural-telah dikembangkan oleh para pemikir
sosial, bahasa. maupun seni, seperti Barthes, Eco dan Baudrillard, seperti yang telah
disinggung pada bab sebelum ini.
Untuk mengkaji objek seni sebagai tanda, sama artinya menganggapnya sebagai komponen
dari bahasa. Bahasa sendiri merupakan komponen dari sosial dan kebudayaan. Objek seni,
dalam hal ini, adalah komponen dari kebudayaan benda (material culture). Untuk
mempelajari objek seni sebagai tanda sama artinya dengan mempelajari kebudayaan, di mana
objek tersebut berada. Objek seni, dalam hal ini, dapat dikaji sebagai unit kebudayaan.
Dengan demikian, ia berfungsi sebagai tanda, yang mempunyai referensinya pada fenomena
kultural. Dengan memandang objek seni, kita bisa melihat bahwa ia merupakan milik
lingkungan tertentu, kelompok masyarakat tertentu, tradisi tertentu, dan cara berpikir tertentu.
Dapat dikatakan, bahwa objek seni menyatakan pertaliannyadengan sesuatu melalui
bentuknya. Untuk mempelajari objek seni sebagai tanda adalah untuk menemukan kode-kode
yang mengaturnya yang ada pada satu komunitas, kebudayaan atau ruang tertentu.
Pandangan Barthes tentang objek sebagai persilangan kode yang lima telah dijelaskan pada
bab sebelum ini. Kode itu sendiri beraneka ragam bentuk, asal dan latar belakang sosial
budayanya. Menurut Eco, kode in sendiri dapat menjadikan referensinya berbagai unit
kebudayaan, yang menurutnya bisa berupa apa saja, mulai dari orang, tempat, perasaan,
fantasi bahkan halusinasi. Pendapat Eco ini, memberikan gambaran tentang kelenturan kode,
yang tidak harus rasional, konvensional, normal dan stabil seperti yang dikemukakan
pendukung Saussurean, akan tetapi membuka wawasan bagi ketidakbiasaan, abnormalitas,
dan irasional.

 Pemuatan Kode dan Makna pada Bahasa Estetik


Dalam proses pemuatan kode makna ke dalam objek seni, ada dua aspek seni yang perlu
dipertimbangkan yaitu: 1) aspek denotasi dan penampakan objek, yang mengacu pada sifat-
sifat gestalt dan keinderaan yang melekat pada objek, dan 2) aspek konotasi dan konsep
objek, yang mengacu pada gagasan, citraan, pengalaman, dan nilai-nilai objek seni.
Di dalam upaya pemuatan makna tertentu pada objek seni, setidak- tidaknya ada tiga aspek
yang harus diperhatikan, yaitu:
1) kode, yaitu cara tertentu memilih, menyusun, dan mengkombinasikan tanda-tanda
(apakah menurut relasi penanda/petanda, penanda/penanda, atau penanda
parexcellence);
2) makna yang diharapkan (bisa konvensional, kontradiktif atau ironis); dan
3) Ekspresi atau idiom, yakni cara elemen-elemen bentuk dan tanda dikombinasikan
sehingga menghasilkan totalitas bentuk, baik yang berupa elemen linguistik maupun
non-linguistik.

35
Berkaitan dengan pemuatan kode makna pada objek seni ini-sebagaimana yang telah
disinggung sebelumnya ada kecenderungan pada diskursus seni post-modern untuk
mengembangkan bentuk murni atau penanda murni dalam rangka menciptakan diferensi
objek. Selain itu, gagasan tentang seniman sebagai jenius dan karya seni sebagai sesuatu yang
otentik yang menjadi ciri dari modernisme kini ditinggalkan di dalam seni post-modern. Seni
post-modern lebih bersifat eklektik atau berkode ganda (double coded)-sebagaimana yang
dikemukakan Jencks. Proses seni yang pada era modern berkaitan dengan pencarian
kebaruan, kini dirumuskan dalam cara yang baru. Ada beberapa model teks post-modern
yang telah dijelaskan pada Bab 4. Akan tetapi model- model tersebut secara umum dapat
dijelaskan dengan menggunakan istilah yang dikemukakan Bakhtin, yaitu dialogis berbagai
teks dan idiom bertemu saling berinteraksi dalam membentuk satu atau beberapa teks baru.
Menurut Linda Hutcheon, berbagai elemen sebuah teks (atau karya seni) dapat disusun
melalui dua jalur garis, yaitu: “garis horizontal, berupa dialog pengarang dengan pembaca
potensialnya, dan garis vertikal berupa dialog antara teks itu sendiri dengan teks-teks lainnya.
Di dalam seni-bila dapat dibuat analogi-dialog pertama adalah antara seniman dengan
kelompok konsumernya, dan dialog kedua adalah antara karya seninya dengan berbagai
sumber bahan baku seni- baik berupa realitas, konsep, karya lain, imajinasi, halusinasi, ilusi,
dan sebagainya. Dialog antara seniman dengan konsumer potensialnya dapat dibuat dengan
melibatkan personalitas pembaca dan dengan melibatkan mereka di dalam permainan bahasa
atau pencarian makna secara dialogis. Dialog antara karya seni dengan bahan bakunya
mengharuskan seniman mempunyai berbagai sumber informasi. Sebagaimana yang
dikemukakan Hutcheon, agar cakap di dalam model produksi teks intertekstual atau dialogis,
seorang pengarang atau seniman membutuhkan banyak keahlian, keterampilan, pemahaman
kritis, dan seringkali kecerdasan. Ja harus mempunyai khazanah pengetahuan bak
ensiklopedi, terpelajar, memahami kebudayaan, ...menghabiskan waktunya dengan beling dan
sampah-sampah kebudayaan.”
Sumber informasi atau ensiklopedi seniman intertekstual dapatdijelaskan melalui contoh
berikut:
1. Material dari kebudayaan masa lala: Mesir Kuno, Helenisme, Renaisans, dan
sebagainya:
2. Material dari idiom dan gaya masa lalu: Ekspressionisme, Kubisme, Surrealisme, dan
sebagainya:

36
3. Material dari seniman tertentu: da Vinci. Michelangelo, Picasso, dan sebagainya:
4. Material dari kebudayaan sehari-hari: olahraga. Hiburan, turisme, supermarket,
komputer, sikat gigi, tiket sinema, sapu bdi, dan seterusnya;
5. Material dari kehidupan individu dan sosial: imaji- nasi, fantasi, ilusi, bawah sadar,
arketip, simbolik.
Bila dikaitkan dengan idiom-idiom estetik post-modernisme yang telah dijelaskan pada Bab
7. Dapat dilihat bahwa idiom-idiom ini di hasilkan berdasarkan sistem informasi dan asumsi
makna tertentu, yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Dalam proses pengkodean makna ke dalam bahan estetika post- modernisme, idiom-idiom
estetik itu juga-dalam berbagai kedalaman- mengandung kode-kode yang dikembangkan
Barthes. Kode yang lima. Dan hubungannya dengan makna dan ekspresi atau idiom-idiom
tersebut dapat digambarkan melalui diagram berikut:

37
Sebagaimana yang dapat dilihat dari diagram di atas, kode yang lima dapat diekspresikan
melalui berbagai konsep dan idiom estetik post-modernisme. Meskipun demikian, ini tidak
berarti, bahwa idiom tertentu, akan mengacu secara stabil pada satu kode tertentu, akan tetapi
ia bisa mengandung beberapa kode sekaligus secara dinamis dan plural. Misalnya, pastiche
dapat mengandung kode semantik, proairetik, dan kultural sekaligus. Sebaliknya kode sendiri
dapat diekspresikan melalui berbagai idiom estetik. Kelenturan relasi pertandaan dan kode
semacam ini sekaligus menggambarkan seni post-modern sebagai satu karya terbuka (open
work) yang membuka pintu lebar-lebar bagi kombinasi dialog dan permainan tanda, kode,dan
idiom-idiom yang tak terbatas.

BAB X
EPILOG: SETELAH KEMATIAN MAKNA
Ini adalah semacam terowongan mistis yang terbentuk - ketika buku itu lahir - di mana
penulis dan pembaca hidup bersama dalam keheningan, dalam retorika keheningan. Menurut
Roland Barthes, lahirnya pembaca – bersamaan dengan lahirnya buku – berujung pada
kematian pengarang, yaitu dengan menciptakan ruang bagi pembaca untuk menafsirkan
secara bebas, ketika ia tidak lagi bergantung pada penafsiran dari penulis.
Sebenarnya, ini hanyalah metafora yang digunakan Barthes untuk menjelaskan berbagai
kemungkinan interpretasi yang terbuka bagi pembaca sebelum sebuah karya tanpa campur
tangan penulis. Meskipun demikian, penulisnya sendiri tidak pernah mati. Padahal, kelahiran
pembaca adalah kelahiran baru bagi penulis. Dengan kata lain, pengarang merasa terlahir
kembali ketika karyanya dibaca, dipahami, disalahpahami, ditanggapi, dikritik, didiamkan,
atau ditolak.
Pluralisme/Relativisme
Post-modernisme adalah sebuah wacana yang dibangun oleh pluralitas ideologis yang di
dalamnya berbagai keyakinan dan kepercayaan, hidup bersama-sama di dalam ruang dan
waktu yang sama. Ada penghargaan di dalamnya akan pluralitas agama, suku, etnis, gaya,
gaya hidup. Postmodernisme dibentuk oleh warna-warni pandangan, kecenderungan,
keyakinan, ide, gagasan, citra, tanda, dan makna, yang semuanya menemukan habitatnya
masing-masing di dalam rimba raya perbedaan.
Di satu pihak, kecenderungan yang melihat pluralitas di dalam kerangka penghargaan akan
fragmentasi, pluralitas, dan heterogenitas, yang disebut pluralisme; di pihak lain,
kecenderungan yang melihat pluralitas secara radikal pada tingkat yang lebih individual, yang

38
menekankan pada hak, kebebasan, dan kedaularan individu, yang disebut relativisme. Istilah
pluralitas harus dibedakan dengan pluralisme.
Pluralitas adalah kenyataan adanya kemajemukan (agama, suku, ras, bangsa, bahasa, budaya)
di sebuah tempat, lokasi, atau daerah yang sama. Berbagai warna-warni keyakinan,
kepercayaan, gaya hidup, dan ideologi hidup di dalam sebuah ruang waktu yang sama.
Pluralisme, adalah kecenderungan atau pandangan yang menghargai kemajemukan, serta
penghormatan terhadap sang lain (the others) yang berbeda-beda dan beraneka warna, yang
membuka diri terhadap keyakinan-keyakinan berbeda tersebut, serta yang melibatkan diri
secara aktif di dalam sebuah proses dialog, debat, atau argumentasi di dalamnya, dalam
rangka mencari persamaan-persamaan (common belief) sambil tetap menghargai perbedaan-
perbedaan yang ada.
Relativisme, sebaliknya, adalah sebuah pandangan bahwa nilai dan kebenaran ditentukan
oleh pandangan hidup dan kerangka berpikir setiap individu atau masyarakat, yang di
dalamnya semua hal (pandangan, nilai, keyakinan, kebenaran, makna) mengandung
kebenaran relatif. Persoalan benar/salah, baik/buruk, moral/amoral, halal/haram, indah/jelek,
semuanya bersifat relatif. Artinya, tidak ada hal yang benar secara absolut; dan sebaliknya,
tidak ada hal yang salah secara absolut, semuanya mengandung kebenarannya masing-masing
yang relatif, di dalam keunikan ruangnya masing-masing. Di dalam konteks agama,
relativisme agama berarti bahwa semua agama benar. Di dalam konteks ideologia politik,
relativisme politik berarti, bahwa semua ideology adalah benar.
Berkaitan dengan kecenderungan pluralisme dan relativisme di dalam wacana post-
modernisme ini, Pauline Marie Rosenau menjelaskan dua kecenderungan utama yang
membangun wacana post-modernisme. Pertama, yang disebutnya post-modernisme skeptis,
yaitu sebuah kecenderungan yang melihat secara skeptis berbagai bentuk penghancuran
fondasi, berbagai dekonstruksi batas-batas, berbagai indeterminasi, yang melihat dunia
sedang digiring ke arah proses penghancuran dirinya sendiri (self destruction). Kedua, post-
modernisme afirmatif, yang melihat segala hal secara relatif, yang mengapresiasi segala
bentuk ekspresi, yang menerima segala bentuk kebenaran, yang mentolerir segala bentuk
kontradiksi, yang memberi tempat segala bentuk subversi dan pelanggaran kode-anything
goes.
Berbagai kecenderungan relativisme dan afirmatif di dalam wacana post-modernisme
memang telah dilukiskan di dalam buku ini. Akan tetapi, tidak bisa ditafsirkan bahwa buku
ini sendirinya merupakan ajakan ke arah relativisme, ke arah penisbian setiap hal, ke arah
pembenaran dan afirmasi setiap kecenderungan, ke arah penerimaan secara moral setiap
bentuk ekspresi.
Apapun boleh/Apapun tidak boleh
Salah satu kecenderungan tekstual yang berkembang di dalam wacana post-modernisme
adalah dekonstruksi, yang oleh Derrida dijelaskan sebagai sebentuk pencairan, peleburan,
atau pembongkaran terhadap berbagai konvensi sosial, konsensus moral, kode kultural,
makna transendental, atau kebenaran ilahiah, yang sebelumnya disepakati bersama.
Dekonstruksi adalah pencairan, peleburan, atau pembongkaran berbagai batas (sosial, moral,
kultural, seksual), khususnya yang sebelumnya dibangun berdasarkan model oposisi biner
(jiwa/tubuh, penanda/ petanda, speech/ writing, langue/ parole, tanda/realitas,

39
feminin/maskulin), sedemikian rupa, sehingga menciptakan semacam peleburan batas atau
ketidakpastian kategori.
Dengan dibongkarnya setiap batas-misalnya batas baik/buruk, benar/salah, moral/amoral-
maka, yang tercipta adalah dunia tanpa tabir pembatas,artinya dunia ketelanjangan
(transparency). Dunia ketelanjangan adalah dunia yang di dalamnya tidak ada lagi batas-batas
moralmengenai baik/buruk, benar/salah, pantas/ tak pantas.
Dikarenakan apa pun boleh, post-modernisme berkembang ke arah overexpose, yaitu
kegandrungan semiotisasi (menjadikan sebagai tanda) apa pun yang dapat disemiotikkan.
Segala sesuatu (politik, agama, seksualitas, tubuh, anak-anak, bahkan kematian)
disemiotisasikan dalam bentuk oversemioticisation, segala sesuatu dijadikan sebagai tanda
dalam bentuk oversignification, segala sesuatu dikomunikasikan dalam bentuk
overcommunication.Ketika apa pun boleh dijadikan sebagai tanda di dalam wacana
oversignified-yang berubah dan berganti dalam kecepatan tinggi-maka makna itu sendiri
tidak mungkin lagi ditangkap, dan nilai-nilai di baliknya tidak bisa lagi dicerna, disebabkan
segala sesuatu kini telah terkontaminasi oleh opositnya-kepalsuan dalam kebenaran, fantasi
dalam realitas.
Konsensus/Disensus
Di dalam setiap penilaian, secara konvensional diperlukan semacam kesepakatan bersama
atau konsensus dalam sebuah komunitas mengenai indah/tidak indah, seni/kitsch, baik/buruk,
benar/ salah, berguna/tak berguna, human/inhuman, dan sebagainya, sehingga
dimungkinkannya berlangsung penilaian. Dalam menilai, memutuskan atau mengadili
sesuatu-bersalah/tak bersalah, lulus/tak lulus, juara/ tak juara-biasanya diperlukan kriteria
semacam ini sebagai pijakan atau fondasi, yang tanpanya tidak ada penilaian, penjurian atau
pengadilan.
Ada berbagai pandangan yang berkembang, mengenai perlu atau tidaknya sebuah konsensus
bersama dan kriteria dalam sebuah penilaian (hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan
seni). Jurgen Habermas, misalnya, berbicara mengenai perlunya konsensus universal di
dalam penilaian yang dilandasi oleh prinsip komunikativotard, sebaliknya, berbicara
mengenai ketidakmungkinan konsensus (disensus), yaitu ketidakmungkinan mencari sebuah
kriteria universal dalam segala bentuk penilaian, di dalam dunia yang dibangun oleh Narasi-
narasi Kecil, yang kini harus dilihat dalam bingkai inkomensurabilitas satu sama lainnya.
Sementara, ada pemikir seperti John Rawls, yang berbicara mengenai konsensus tumpang
tindih (overlapped consensus), di antara elemen-elemen masyarakat yang plural, demi
menjaga keadilan di antara mereka, sehingga kontradiksi sifat universalitas maupun
individualitas kriteria harus dicarikan jalan tengahnya.
Perdebatan antara Habermas dan Lyotard mengenai standar universal (Narasi Besar) dan
konsensus dalam mengatur berbagai kelompok masyarakat yang plural, telah menyulut satu
perdebatan lain menyangkut keadilan. Bagi Habermas, yang disebut adil (just) adalah
terciptanya sebuah ruang publik yang membuka peluang bagi setiap orang untuk
berpartisipasi secara bebas dan setara di dalam sebuah perdebatan yang bertujuan untuk
mencapai konsensus menyangkut norma-norma yang mengatur tingkah laku mereka, tanpa
ada dominasi, pemaksaan, dan kekerasan di dalamnya. Norma-norma dilegitimasi oleh

40
konsensus universal yang legitimasinya sendiri dilandasi oleh kondisi-kondisi perbincangan
rasional.
Di antara perdebatan yang tidak pernah selesai antara pendukung konsensus/disensus atau
Narasi Besar/Narasi Kecil, John Rawls menawarkan sebuah konsep keadilan yang
berlandaskan pada konsensus tumpang tindih. Bagi Rawls, keadilan adalah kepatutan
(fairness). Artinya, di antara pihak-pihak yang plural harus dibangun landasan rasionalitas
dan keikhlasan mutual (disinterested). Akan tetapi tidak berarti bahwa pihak-pihak tersebut
bersifat egois, yaitu orang yang memiliki hanya kepentingannya sendiri (interest), misalnya
terhadap kekayaan, prestise, atau kekuasaan. Akan tetapi, dalam pengertian mereka tidak
(patut) mengejar kepentingan yang menjadi kepentingan orang lain. Perbedaan kepentingan,
untuk itu, tidak bisa diselesaikan lewat konsensus universal, melainkan konsensus-konsensus
yang tumpang tindih satu sama lainnya, sesuai dengan pertimbangan kepentingan yang ada
dan kepatutan yang membangunnya (overlapped consensus).
Dekonstruksi/Rekonstruksi
Dekonstruksi adalah sebuah kecenderungan hipersemiotika, berupa gerakan melepaskan diri
dari determinasi (dan penjara) logosentrisme, transendensi, metafisika, dan teologi, dengan
membentangkan ruang bagi kreativitas, dinamisitas, dan produktivitas tanda, khususnya
produktivitas tafsiran. Derrida menggunakan istilah differance untuk menjelaskan proses
permainan bebas penanda, yaitu berupa pergerakanatau interaksi dari satu penanda ke
penanda lainnya, dengan melepaskan diri dari determinasi dan fondasi-fondasi metafisis.
Dekonstruksi telah membuka ruang bagi permainan bebas bahasa (language game),
permainan bebas tanda, yang telah menggiring wacana post-modernisme ke arah sikap yang
merayakan tanda ketimbang makna, penanda ketimbang petanda, citra ketimbang kebenaran
(logos). Dekonstruksi telah melepaskan setiap tanda dari penjara logos, transendental,
metafisis, dan teologisnya; dengan perkataan lain, ia telah menciptakan kondisi matinya
metafisika. Agar dekonstruksi benar-benar dapat menciptakan dinamika, kreativitas, dan
produktivitas tafsiran yang berguna bagi kemajuan manusia, maka perlakuan baru
terhadapnya diperlukan. Dekonstruksi harus diikuti dengan rekonstruksi.
Rekonstruksi, dalam hal ini, dapat ditafsirkan sebagai proses penataan ulang secara terus
menerus struktur, yang juga didekonstruksi secara terus-menerus. Artinya setiap proses
dekonstruksi (berupa pencairan, peleburan, dan pembongkaran) harus diikuti dengan
rekonstruksi, yang untuk itu diperlukan semacam durasiatautenggang waktu (time span) bagi
hidupnya struktur beserta konsensus atau konvensi-konvensi yang membangunnya. Jadi, ia
bukan permainan bebas pembongkaran di sembarang waktu.
Decoding/Encoding
Makna yang dikodifikasi (encoded meaning) tidak selalu berbanding lurus dengan makna
yang dipahami (decoded meaning). Dengan demikian, hasil pembacaan kode tidak dengan
sendirinya dapat dijadikan sebagai model penciptaan kode. Bila ini dilakukan-tanpa ada
upaya interpretasi lebih lanjut-maka bahasa hanya akan memerangkap setiaporangpada
proses reproduksi tanda, yaitu pengulangan-pengulangan tanda dan makna, yang tidak
memungkinkan adanya perubahan, transformasi,dan kreativitas tanda. Di dalamnya, tidak
akan tercipta produksi tanda,dalam pengertian hal-hal baru (makna) yang dapat
ditawarkanolehdunia pertandaan.

41
Produksi adalah proses konstruksi sebuah pesan, lewat penerapan kode-kode tertentu
(encoding). Proses produksi melibatkan gagasan, makna, ideologiaan kode-kode sosial,
pengetahuan yang digunakan di dalam produksi, keterampilan teknis, ideologicofesional,
pengetahuan institusional, definisi, dan asumsi-asumsi (moral, kultural, ekonomis, politis,
atau spiritual), asumsi tentang konsumen (pendengar, pemirsa, pembaca, pemakai).
Order/Disorder
Perbincangan mengenai semiotika dan hipersemiotika dapat dilihat secara metaforis sebagai
perbincangan mengenai relasi keberaturan (order) dan ketidakberaturan (disorder) di dalam
teori chaos. Berdasarkan teori chaos, dunia tidak bisa dilihat secara parsial dan dikotomis-
sebagai keberaturan semata, atau ketidakberaturan semata-melainkan kesalingberkaitan yang
mutual di antara kedua unsur tersebut. Dunia dibangun berdasarkan prinsip keanekargaman,
pluralitas, diversitas, multiplisitas, dan perbedaan-perbedaan yang sangat kaya dan kompleks,
tetapi sekaligus kesatuan, keseimbangan, dan kesamaan tujuan.
Dalam kaitannya dengan semiotika dan hipersemiotika, teori chaos yang menjelaskan relasi
di antara kondisi order dan disorder dapat digunakan dalam melihat relasi di antara kedua
kecenderungan semiotika ini. Berdasarkan analogi dengan teori chaos ini, semiotika
struktural yang dikembangkan de Saussure dapat dilihat sebagai si pembangun order dalam
bahasa (lewat istilah-istilah kode, konvensi, keseimbangan); sementara, hipersemiotika yang
dikembangkan oleh Derrida dan para pendukung post-strukutralis lainnya, dapat dilihat
sebagai si perusak order, dengan perkataan lain si pembuat disorder dalam bahasa (lewat
istilah-istilah dekonstruksi, indeterminasi, differance, permainan bebas).
POSTSCRIPT
Metode Hipersemiotika: Menjelajah Tanda-tanda yang Melampaui
Teori hipersemiotika (hypersemiotics) dalam ilmu semiotika masih relative baru, dalam
proses menjadi (ideas in progress), dan masih memerlukan berbagai pengujian.Teori hipersemiotika
merupakan kritik terhadap teori semiotika konvensional dan khususnya semiotika struktural.
Hipersemiotika juga dipandang sebagai metode, khususnya sebagai metode pembacaan teks (reading)
atau penyingkapan kode- kode tanda (recoding).
Hipersemiotika merupakan kritik atau upaya melampaui semiotika, dalam pengertian
melampaui prinsip prinsip baku dan konvensialnya.hipersemiotika juga merupakan upaya untuk
menggoyahkan yang berkesatuan, tetap, dan stabil. Maka, sangat penting melihat kembali konsep-
konsep dasar dalam semiotika,dan kemudian melihat bagaimana hipersemiotika melampauinnya

Semiotika dan Hipersemiotika.


Dijelaskan dibuku de Saussure bahwa tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari
dua bidang seperti halnya selembar kertas yaitu bidang pola suara (sound pattern), yaitu image suara
yang diproduksi didalam otak dan konsep, yaitu makna, kesan, atau penyimpulan yang bersifat
abstrak.itu merupakan sebuah kesatuan (unity) yang tak dapat dipisahkan Prinsip kesatuan inilah yang
di antaranya kemudian ditolak di dalam hipersemiotika. Struktur tanda yang tetap, stabil dan tak
berubah ini kemudian hari dikembangkan oleh Roland Barthes menjadi penanda (signifier) atau
bentuk, ekspresi dan bidang petanda (signified), atau konsep arau makna, yang membentuk
keseluruhan tanda.
Semiotika strukturalis memandang tanda sebagai struktur yang mengikat. Misalnya, ketika
saya berbicara, saya harus mengikuti aturan main bahasa Indonesia secara ketat, patuh dan normatif).

42
Post-strukturalisme memiliki pandangan sebaliknya. Tanda, me- nurut pandangan post-strukturalisme,
tidak dibangun oleh prinsip kon- sensus, tetapi disensus. Dapat dilihat di sini, bahwa semiotika pada
hakikatnya adalah tegangan antara konsensus dan disensus, antara aturan dan pelanggaran, antara
kode dan kreativitas. Bila kita cenderung bergerak ke ekstrim kiri maupun kanan, kita akan
menghadapi tuduhan-tuduhan di atas.Di dalam pandangan semiotika struktural, bahasa dan tanda
bekerja di dalam dua model ontologis, yaitu bahasa sebagai sistem (langue) dan bahasa sebagai
praktik (parole). Salah satu struktur tertutup yang membangun sistem bahasa dalam pandangan
Saussure adalah struktur perbedaan (difference). Perbedaan dan keberbedaan (differenciation) adalah
fondasi utama bahasa, di mana makna di dalam bahasa hanya diperoleh melalui prinsip ini.
Dalam semiotika struktural, struktur dipandang sebagai sesuatu yang tidak dipengaruhi oleh
waktu, sejarah, perubahan dan pergantian. Strukturalisme melihat sistem bahasa sebagai sesuatu yang
melampaui waktu (beyond time), dalam pengertian bagaimanapun berbeda ekspresi bahasa,
kombinasi kata, dan konteks berbicara, struktur bahasa tidak akan pernah berubah. Struktur bahasa,
dengan demikian, dianggap tak mewaktu (timelessness), yaitu tak berubah, statis dan abadi.Semiotika
dalam pandangan pemikir post-strukturalis tidak lagi menaruh perhatian pada struktur dan sistem
tanda, akan tetapi pada peristiwa bahasa (event), bahasa sebagai praktik, dinamika tanda dalam
praktik bahasa, pembentukan subjek dalam praktik bahasa, serta peranan- nya dalam perubahan
bahasa.
Konsep hipersemiotika, dengan demikian, merupakan sintesis se kaligus perluasan semantik
dari beberapa konsep post-strukturalis dan hiper-realitas yang telah dikembangkan oleh berbagai
pemikir, seperti Derrida, Kristeva, Deleuze, dan Baudrillard, dengan menaruh perhatian pada
implikasi-implikasinya dalam pemahaman baru tentang tanda.

Trans-Semiotika
Sebagai kritik terhadap strukturalisme, post-strukturalisme memiliki setidaknya dua orientasi
kritik. Di satu pihak, ia merupakan kritik terhadap relasi antara teks dan penciptanya (author); di pihak
lain, kritik terhadap relasi struktural antara teks, makna dan kebenaran. Post-strukturalisme adalah
pandangan yang melampaui teks (beyond text), dalam pengertian ketidakpercayaannya pada sifat
kesatuan.Salah satu pandangan dalam teori post-strukturalisme tentang lintas pertandaan ini adalah
intertekstualitas, sebagaimana yang dikembangkan oleh Julia Kristeva. Sebagaimana telah dijelaskan
di bagian lain buku ini, intertekstualitas adalah pandangan yang melihat teks sebagai jejaring relasi
antar teks, baik berupa referensi, kutipan, percampuran, persilangan atau hibriditas. Sebagai contoh,
sebuah skripsi, tesis, disertasi, artikel jurnal arau buku, bukanlah sebuah kesatuan utuh elemen-elemen
yang ada di dalam dirinya sendiri, tanpa campur tangan unsur-unsur lain dari sumber-sumber
eksternal.
Intertekstualitas disebut sebagai persilangan pada tingkat tanda. bahasa, ekspresi, kode,
konsep atau makna. Pada tingkat tanda, hiper- semiotika merupakan fenomena lintas semiotik (trans-
semiotic), di mana tanda-tanda lintas ruang-waktu bersilangan. Prinsip pengalihan dan persilangan
dalam interstekstualitas menyebabkan tanda, kode dan maknanya menjadi ganda bahkan jamak.
Bahwa bunga berarti cinta menjadi sebuah aturan, dengan pengertian sesuatu yang mengharuskan kita
mengikuti prinsip-prinsip dasarnya.Di dalam intertekstualitas yang dibangun bukan tanda yang ber-
kesatuan atau uruh, tetapi semacam jejaring semiotik (semiotic web), yaitu persilangan lintas canda.
Di dalam semiotika struktural, ada kepercayaan pada prinsip ke- satuan utuh (unity), di mana sebuah
tanda dipandang sebagai kesatuan utuh antara elemen-elemen penanda dan petandanya. Sebagai
contoh. ada kesatuan utuh antara seikat bunga dengan makna cinta, di mana antara bunga dan cinta itu
menyatu seperti selembar kertas, yang tidak bisa dipisahkan.
Dalam kaitannya dengan pertandaan dan peran subjek di dalamnya. Kristeva membedakan
dua model pertandaan dan penciptaan makna dalam semiotika. Pertama. signifikasi (signification),

43
yaitu model pen- ciptaan makna yang dilembagakan dan dikendalikan secara sosial lewat kode-kode
sosial yang mapan. Tanda di sini berfungsi sebagai refleksi dari konvensi dan kode-kode sosial yang
ada..Subjek di dalam signifikasi hanya berfungsi sebagai pengguna arau operator bahasa, dengan
mengi- kuti segala barasan, aturan dan kode-kodenya. Kedua, signifiansi (signi france), yaitu model
penciptaan yang tanpa batas dan tak terbatas, berupa pelepasan segala bentuk potensi dan imajinasi
bahasa dalam diri manusia. Signifiansi merupakan sebuah perjalanan menuju batas-batas terjauh dari
subjek, batas terjauh dari konvensi moral, tabu dan kesepakatan sosial lainnya.
Roland Barthes, meskipun pada awal karisnya merupakan pemikir semiotika struktural, pada
perkembangan intelektual selanjutnya justru menentang pemikiran strukturalnya sendiri, di dalam
sebuah ajang otokritik (self-criticism). Bagi Barthes, dengan melenyapkan segala bentuk pembatas
(struktur, sistem, konvensi tabu, moral), dengan bersikap tidak acuh terhadap hierarki sosial. maka
dengan cara demikianlah setiap subjek pengguna bahasa dapat mencapai apa yang disebut Barthes
sebagai kepuasan teks (the pleasure of the text).Menurut Kristeva, di dalam bahasa puitis, ada
semacam keheterogenan (beterogeneousness) makna dan pertandaan. yang bersifat tak pasti, dinamis
dan plural. Bahasa puitis bersifat revolusioner seringkali tumbuh di dalam kondisi sosial yang
mengalami kehampaan, penekanan, represi, krisis atau pembusukan. Krisis yang melanda lembaga-
lembaga keluarga. negara dan agama, menumbuhkan kecemasan terhadap keberadaan dan
keberlanjutan nilai-nilai, baik nilai-nilai kultural, sosial maupun spiritual.
Semiotika struktural mengandaikan adanya relasi linear yang melihat relasi tanda (Sr-Sd)
sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan tidak dapat diterima di dalam intertekstualitas. Ini karena
bahasa puitis sebagai bahasa interteks mengandaikan sebuah "peruangan" (spatialization) dan korelasi
elemen-elemen bahasa yang membangun sifat ganda, bukan dalam pengertian relasi antara
penanda/petanda, tetapi relasi tanda dengan tanda-tanda lain, relasi kode dengan kode-kode lain, relasi
"yang satu dengan yang lain (other)" Keruangan (spatiality) dan peruangan merupakan prinsip
esensial intertektualitas, yang di dalamnya berbagai sumber bahasa, tanda, ideologi dan kebudayaan
saling bertemu, ber- interaksi dan bersilangan satu sama lainnya.

Dekontruksi Tanda
Dekonstruksi merupakan reaksi terhadap kecenderungan struk turalisme dalam semiotika,
terutama yang dikembangkan Saussure Derrida melihat bahwa strukturalisme terlalu bersifat sempit
(narrow) dan derivatif. karena terlalu bersifat representatif.Karena penanda dan petanda dipandang
sebagai dua sisi dari se lembar kertas yang tak dapat dipisahkan, di dalam strukturalisme ada
penghargaan yang setara antara penanda dan petanda.
Semiotika mengenal pula tanda palsu (pseudo sign), yaitu tanda- tanda yang bersifat tidak
tulen, tiruan, berpretensi, gadungan, yang di dalam proses pertandaannya, ia menciptakan semacam
reduksionisme realitas lewat reduksi penanda atau reduksi petanda. Penanda berpretensi seperti
sebenarnya (ails), padahal palsu penanda berpretenai menjelaskan sebuah realitas padahal
menyembunyikannya. kajian makna dan kono tasi di dalam hipersemiotika lebih menekankan
dinamika makna, yaitu bagaimana tanda dan makna (penanda dan petanda) bergerak, ber bah,
berpindah bersilangan bercampu bermas, berkawin silang bersimbiosis arau bahkan meniadakan
dirinya sendiri
1. Melihat demen-elemen pembanguin tanda secara keseluruhan, baik dari segi penanda,
materialitas, teknik dan medianya.
2. Menyingkap elemen-elemen denotasi, yaitu bagaimana sebuah pe nanda menunjuk atau
menggambarkan sebuah objek atau realitas di luar dirinya.
3. Menyingkap elemen penanda-hiper, yaitu elemen-elemen tanda yang melampaui teks,
struktur, bentuk, kode dan realitas itu sendiri. dengan melihat relasinya dengan objek atau
realitas yang dilampaui.

44
4. Membongkar kode-hiper, yaitu kode-kode yang melampaui kode kode yang baku,
konvensional, tetap dan mengikat secara sosial
5. Konotasi yang berkembang dalam konteks tanda yang melampaui konotasi-konotasi yang
ada, baik secara sosial, politik, kultural mau- pun spiritual.

Dalam dekonstruksi sebuah penanda tidak diikat dengan sebuah peranda (konsep, makna, arti)
secara tetap, pasti dan permanen, tetapi dibiarkan terbuka bagi berbagai bentuk permainan penanda,
tanpa perlu diikat oleh sebuah makna yang tetap (logos). Bila strukturalisme melihat struktur tanda
sebagai "kesatuan yang tak dapat dipisahkan antara penanda dan petanda seperti dua sisi dari selembar
kertas", dekonstruksi menolak pandangan macam ini. Derrida menolak relasi simetris
penanda/petanda (Sr/Sd) sebagai sebuah kenis- cayaan struktur bahasa, dengan menawarkan relasi
tanda sebagai relasi "penanda dan penanda" (signifier of signifier).

Hypersign
Dalam pandangan hipersemiotika, tanda tidak hanya bisa melampaui struktur-sebagaimana
yang dipahami dalam dekonstruksi-tetapi dapat melampaui entitas-entitas yang lebih kompleks:
melampaui alam, fungsi, kodrat, kondisi, keadaan, realitas, termasuk struktur. Kata depan hiper
digunakan di sini untuk menjelaskan segala yang melampaui segala sesuatu yang lainnya. Konsep
tanda-hiper (hypersign) digunakan untuk menjelaskan segala tanda yang melampaui segala sesuatu
yang ditandai.
Dalam terminologi yang umum, simulakra dijelaskan sebagai sesuatu yang tampak atau
dibuat tampak seperti sesuatu yang lainnya, dengan perkataan lain sebuah salinan (copy). Akan tetapi,
pada tingkat ontologis, para pemikir mengajukan kritik terhadap pandangan umum ini, dengan
mengajukan berbagai perbedaan ontologis. Dalam konteks semiotika, konsep salinan-ikon yang
diunggulkan Plato, men- jelaskan relasi kesamaan atau keserupaan antara tanda dengan apa yang
ditandai, atau persisnya antara penanda dan petanda.
Konsep hipersemiotika menjelaskan keberadaan tanda yang melam- pai relaai simetris
"kesamaan", "keserupaan" atau "salinan antara tanda dan realitas. Karena sebuah tanda melampaui
realitas yang direpresentasikannya, diperlukan di sini konsep tanda yang lebih khusus. Istilah tanda-
hiper (hypersign) digunakan untuk menggantikan istilah tanda (sign) yang lebih bersifat umum.
Dalam pandangan semiotika struktural, tanda adalah kombinasi antara penanda dan petanda, dalam
dua tingkatan tanda.

Metode Hipersemiotika
Pengertian metode dalam konsep metode hipersemiotika harus ditem- patkan dalam
pengertian yang khusus, sebagai kesulitan atau dilema yang dihadapi dalam penulisan buku ini. Bila
kita membicarakan metode dalam pengertian konvensional (atau struktural), kita harus melihatnya
sebagai alat (tool)-seperti palu-yang dapat digunakan memalu jenis paku apa pun, di tempat mana pun
dan di waktu kapan pun. Palu (metode) menjadi alat universal, dengan asumsi, bahwa yang kita
hadapi adalah paku yang berfungsi sama menyatukan dua atau lebih bidang (kayu, tembok, plastik).
Akan tetapi, ketika yang kita hadapi adalah paku yang tidak lagi berfungsi sebagai sarana
penyatu bahan bangunan, tetapi sebagai tusuk konde, maka palu sebagai sebuah alat (metode) tidak
relevan lagi untuk menangani objek yang sudah berbeda fungsi. Palu hanya berfungsi selama paku
yang akan dipalu berada di dalam konteks yang sesuai dengan fungsi palu itu sendiri. Akan tetapi,
yang kita hadapi justru paku yang selalu berubah-ubah konteks dan keberadaannya. Untuk
memecahkan dilema di atas, satu-satunya jalan adalah mengembangkan sebuah metode yang juga
terbuka, dalam pengertian metode yang dapat direvisi, dikoreksi atau dimodifikasi sesuai dengan
dinamika dalam praktik pertandaan itu sendiri.

45
Sebagai sebuah metode, hipersemiotika memiliki berbagai sifat, langkah dan prosedur yang
dimiliki oleh metode semiotika umum. meskipun ada beberapa perbedaannya. Perbedaan mendasar
adalah pada objek tanda itu sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, metode hipersemiotika
melingkupi hanya objek-objek tanda yang mengandung unsur melampaui, baik yang melampaui teks
(intertekstualitas), melam- paui struktur (dekonstruksi) dan melampaui realitas pada umumnya
(hypersign). Untuk tanda yang bersifat interteks, diperlukan data-data tanda asli yang dikutip di dalam
sebuah teks,
Berdasarkan pemahaman diatas, prosedur dalam pembacaan atau analisis tanda dalam
hipersemiotika dapat dijelaskan sebagai berikut
1. Melihat elemen-elemen pembangun tanda secara keseluruhan, baik dari segi penanda,
materialitas, teknik dan medianya.
2. Menyingkap elemen-elemen denotasi, yaitu bagaimana sebuah pe nanda menunjuk atau
menggambarkan sebuah objek atau realitas di luar dirinya.
3. Menyingkap elemen penanda-hiper, yaitu elemen-elemen tanda yang melampaui teks,
struktur, bentuk, kode dan realitas itu sendiri, dengan melihat relasinya dengan objek atau
realitas yang dilampaui.
4. Membongkar kode-hiper, yaitu kode-kode yang melampaui kode- kode yang baku,
konvensional, tetap dan mengikat secara sosial.
5. Konotasi yang berkembang dalam konteks tanda yang melampaui konotasi-konotasi yang
ada, baik secara sosial, politik, kultural mau- pun spiritual.

Akan tetapi, bagaimanapun perlu dikemukakan beberapa kelemahan dari metode hipersemiotika.
Pertama, karena objek-objek tanda dikaji melalui metode ini adalah tanda-tanda yang dinamis,
bergerak. yang dapat berpindah, bercampur dan bersilangan, baik pada tingkat penanda, kode dan
maknanya, maka metode ini harus dapat mengantisipasi kecepatan perubahan ini, dengan
memodifikasi dirinya. Kedua, karena ia merupakan sintesis dari cara pikir intertekstualitas,
dekonstruksi dan hiper-realitas, diperlukan pembedaan-pembedaan tertentu dalam memahami ketiga
karakter tanda ini. Ketiga, metode ini tidak dapat digunakan untuk memahami fenomena-fenomena
tanda yang konvensional, yang tidak mengandung elemen-elemen yang melampaui.

Apendiks I
Analisis Semiotika Sebagai Pendekatan dalam Metode Penelitian Interpretatif

Semionka adalah babicabang keilmuan yang memperlihatkan pengaruh semakin penning


sejak empar dekade yang lain, ndak saja sebagai metode kanan decoding) akan tetapi juga sebagai
metode penciptaan (encoding). Semiotika telah berkembang menjadi model atau paradigma bagi
berbaga hidang keilmuan yang sangat luas, yang menciptakan cabang-cabang monika khusus di
antaranya adalah semaotika binatang (too semiotics) semacka kedokteran (medical semiotics),
semiotika arsitektur semuorika sami semionka lon, semiotika film, semiotika sastra semiotika televi
dan termasuk semiotika desain
Di dalam bidang desain pada khususnya semiotika digunakan hagai paradigma-baik dalam pembacaan
maupun penciptaan-de sebabkan ada kecenderungan akhir-akhir ini dalam wacana desain untuk

46
melihat objek-objek desain sebagai fenomena bahasa, yang di dalamnya terdapat tanda, pesan yang
ingin disampaikan, anaran atau kode yang mengatur sera orang orang yang terlibat di dalamnya
sebagai subjek bahasa (audience reader, wier)
Berdasarkan pada perkembangan paradigma baru tersebut peng gunaan semionka sebagai metode
dalam penelitian desain haruslah berangkat dan prinsip bahwa desain sebagai objek penelitian tidak
saja mengandung di dalamnya berbagai aspek fungsi utilitas, teknis, produksi dam ekonomis, akan
tetapi juga aspek komunikasi dan informasi, yang didalam nya desain berfungsi sebagai medium
komunikasi.

1. Tingkat Penelitian semiotika


Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam Course in General Linguistics,
sebagai "ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Implisit dalam
definisi Saussure adalah prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main
arau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya
secara kolektif.
Saussure juga menjelaskan perbedaan antara dua model analisis dalam penelitian bahasa, yaitu
analisis diakronik dan analisis sinkronik. Analisis diakronik adalah analisis tentang perubahan
historis bahasa, yaitu bahasa dalam dimensi waktu, perkembangan dan perubahannya. Analisis
sinkronik adalah analisis yang di dalamnya kita mengambil irisan sejarah dan mengkaji struktur
bahasa hanya pada satu momen waktu tertentu saja, bukan dalam konteks perubahan historisnya.
Apa yang disebut pendekatan strukturalisme dalam bahasa, adalah pendekatan yang melihat
hanya struktur bahasa, dan mengabaikan konteks waktu, perubahan dan sejarahnya.

Level sintaksis Semantik pragmatik


Sifat Penelitian tentang Penelitian makna Penelitian efek tanda
struktur tanda tanda
Elemen Penanda / petanda Struktural Reception
sintagma / sistem Kontekstual Exchange
konotasi / denotasi Denotasi Discourse
metafora / metonomi Konotasi Efek
Ideologi/ mitos

2. Elemen-elemen Dasar Semiotika


Penggunaan metode semiotika dalam penelitian desain harus didasarkan pada pemahaman yang
komprehensif mengenai elemen-elemen dasar semiotika. Elemen dasar dalam semiotika adalah
tanda (penanda/petanda), aksis tanda (sintagma/sistem), tingkatan tanda (denotasi/konotasi), serta
relasi tanda (metafora/metonimi).
1. Komponen Tanda
Penggunaan semiotika sebagai metode pembacaan di dalam berbagai cabang keilmuan
dimungkinkan, oleh karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai diskursus
sosial, politik, ekonomi, budaya, seni dan desain sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pen-
dangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka ia
dapat pula dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan, oleh karena luasnya pengertian tanda
itu sendiri. Saussure, misalnya, menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan

47
dari dua bidang-seperti halnya selembar kertas-yaitu bidang penanda untuk menjelaskan bentuk
atau ekspresi; dan bidang petanda untuk menjelaskan konsep atau makna.

PENANDA + PETANDA = TANDA


2. Aksi Tanda
Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya secara individu, akan
tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lainnya di dalam sebuah sistem.
Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar ini (kalimat, buku, kitab) me-
libatkan apa yang disebut aturan pengkombinasian yang terdiri dari dua aksis, yaitu aksis
paradigmarik, yaitu perbendaharaan tanda atau kata (seperti kamus), serta aksis sintagmatik, yaitu
cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan atau kode tertentu, sehinga
dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.
Cara pengkombinasian tanda-tanda biasanya dilandasi oleh kode tertentu yang berlaku di dalam
sebuah komunitas bahasa. Kode adalah seperangkat aturan atau konvensi bersama yang di
dalamnya tanda-tanda dapat dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan dikomunikasikan
dari seseorang kepada orang lain. Kode, menurut Umberto Eco, di dalam A Theory of Semiotics,
adalah "...aturan yang menghasilkan tanda-tanda sebagai penampilan konkritnya di dalam
hubungan komunikasi." Implisit dalam pengertian kode tersebut di atas adalah adanya
kesepakatan sosial di antara anggota komunitas bahasa tentang kombinasi seperangkat tanda dan
maknanya.
Aturan main pertama dalam bahasa, menurut Saussure adalah: bahwa di dalam bahasa hanya ada
prinsip perbedaan. Misalnya, tidak ada hubungan keharusan antara kata topi dan sebuah benda
yang kita pakai sebagai penutup kepala kita: apa yang memungkinkan terjadinya hubungan adalah
perbedaan antara topi, tapi, tepi, kopi, dan seterusnya. Kata-kata mempunyai makna disebabkan di
antara kata-kata tersebut ada perbedaan, disebabkan mereka berada di dalam relasi perbedaan.
Jadi, yang pertama-tama dilihat di dalam kajian strulturalisme bahasa adalah relasi, bukan hakikat
tanda itu sendiri.
Perbedaan dalam bahasa, menurut Saussure hanya dimungkinkan lewat beoperasinya dua aksis
bahasa yang disebutnya aksis paradigma dan aksis sintagma. Paradigma adalah satu perangkat
tanda (kamus, perbendaharaan kata) yang melaluinya pilihan-pilihan dibuat, dan hanya satu unit
dari pilihan tersebut yang dapat dipilih. Sintagma adalah kombinasi tanda dengan tanda lainnya
dari perangkat yang ada berdasarkan aturan tertentu, sehingga menghasilkan ungkapan ber-
makna.

3. Semiotika untuk Bidang Desain Khusus


Penggunaan metode semiotika dalam penelitian desain-disebabkan semakin kompleks dan
luasnya perkembangan desain itu sendiri pada kenyataanya tidak dapat lagi menggunakan satu
model umum semiotika, disebabkan berbedanya aspek, sifat atau nature bidang-bidang desain
tertentu, misalnya perbedaan pada dimensinya (a atau 3 dimen Ada satu kondisi khusus di dalam
bidang-bidang desain tertentu yang memerlukan metode semiotika yang spesifik. Berikut ini
dikemukakan dua contoh bidang desain yang memiliki aspek semiotis yang berbeda, yaitu iklan
dan desain produk.
1. Semiotika Iklan

48
Iklan, sebagai objek semiotika, mempunyai perbedaan mendasar dengan desain yang bersifat tiga
dimensional, khususnya desain produk Iklan, seperti media komunikasi massa pada umumnya,
mempunyai fungsi komunikasi langsung, sementara desain produk mempunyai fungsi komunikasi
yang tidak langsung. Oleh sebab itu, di dalam iklan, aspek-aspek komunikasi seperti pesan
merupakan unsur utama iklan, yang di dalam desain produk hanya merupakan salah satu aspek
saja dari berbagai aspek utama lainnya (fungsi, manusia, produksi). Metode analisis semiotika
iklan secara khusus telah dikembangkan oleh berbagai ahlinya, misalnya oleh Gillian Dyer,
Torben Vestergaard dan Judith Williamson.
Dari pandangan ahli-ahli semiotika periklanan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa ada dimensi-
dimensi khusus pada sebuah iklan, yang membedakan iklan secara semiotis dari objek-objek
desain lainnya. yaitu bahwa sebuah iklan selalu berisikan unsur-unsur tanda berupa objek yang
diiklankan; konteks berupa lingkungan, orang atau makhluk lainnya yang memberikan makna
pada objek; serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna (anchoring), meskipun yang
terakhir ini tidak selalu hadir dalam sebuah iklan.
2. Semiotika Produk
Penggunaan metode semiotika dalam penelitian mengenai desain produk juga harus
mempertimbangkan dimensi-dimensi khususnya, sehingga dapat dijadikan sebagai fokus
penelitian. Sebagaimana diketahui, perbedaan mendasar antara desain produk dan desain lainnya,
khususnya desain iklan adalah: bahwa pada sebuah produk ada fungsi utilitas di samping fungsi
komunikasi. Dalam berbagai kondisi desain produk, semiotika tidak hanya beroperasi pada
dimensi komunikasi ini saja, akan tetapi sekaligus pada dimensi fungsi.
Selain itu, di dalam desain produk penggunaan semiotika-baik dalam proses penciptaan maupun
penelitian-lebih difokuskan pada aspek makna dari sebuah produk, sehingga metode semiotika
yang di gunakan lebih dikenal dengan istilah semantika produk. Beberapa ahli semantika produk,
seperti Klaus Krippendorf, Charles Burnett, Horst Hoelke, dan Susann Vihma, dalam penelitian
mereka telah meng ungkapkan kompleksitas tanda dan makna pada desain produk tersebut.

49
4. Semiotika komunikasi

Semiotika komunikasi mengkaji tanda atau signal dalam konteks ko- munikasi yang lebih luas,
yaitu yang melibatkan berbagai elemen ko- munikasi. Peirce melihat tanda (representamen)
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda
(interpretant). Tanda, menurut pandangan Peirce adalah..something which stands to somebody for
something in some respect or capacity"" Tampak pada definisi Peirce ini peran subjek
(somebody) sebagai bagian tak terpisahkan dari pertandaan, yang menjadi landasan bagi
semiotika komunikasi. Semiotika komunikasi, menurut Umberto Eco dalam A Theory of
Semiotics, adalah semiotika yang menekankan aspek produksi tanda, ketimbang sistem tanda." Di
dalam semiotika komunikasi, tanda atau signal ditempatkan di dalam rantai komunikasi, sehingga
mempunyai peran yang penting dalam komunikasi.
Peirce melihat subjek sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses signifikasi. Model
triadic Peirce (representamen + objek + interpretan = tanda) memperlihatkan peran besar subjek
dalam proses transformasi bahasa. Tanda dalam pandangan Peirce selalu berada di dalam proses
perubahan tanpa henti, yang disebut proses semiosis tak berbatas, yaitu proses penciptaan
rangkaian interpretan yang tanpa akhir."
Peirce melihat subjek sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses signifikasi. Model
triadic Peirce (representamen + objek + interpretan = tanda) memperlihatkan peran besar subjek
dalam proses transformasi bahasa. Tanda dalam pandangan Peirce selalu berada di dalam proses
perubahan tanpa henti, yang disebut proses semiosis tak berbatas, yaitu proses penciptaan
rangkaian interpretan yang tanpa akhir."

5. Metode Semiotika Interpretatif


Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelum ini, metode semiotika yang digunakan dalam
berbagai penelitian, termasuk penelitian desain, mempunyai berbagai model analisisnya yang
spesifik, sesuai dengan karakter objek (desain) yang akan diteliti.
Metode semiotika pada dasarnya bersifat kualitatif-interpretatif (interpretation), yaitu metode
yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya, serta bagaimana peneliti
menafsirkan dan memahami kode (decoding) di balik tanda dan teks tersebut. Metode analisis
teks adalah salah satu dari metode interpretatif tersebut. Akan tetapi, sebagaimana dapat dilihat
nanti, ada metode-metode yang me rupakan perluasan dari metode semiotika, yang bersifat lebih
kualitatif- empiris, yang memfokuskan dirinya pada subjek pengguna teks (pembaca, penonton,
pemakai).
1. Metode Analisis Teks
Metode semiotika pada dasamya beroperasi pada dua jenjang analisis. Pertama, analisis tanda
secara individual, misalnya jenis tanda. mekanisme atau struktur tanda, dan makna tanda secara
individual. Kedua, analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi, yaitu kumpulan
tanda-tanda yang membentuk apa yang disebut sebagai teks. Teks dalam pengertiannya yang
paling sederhana adalah "kombinasi tanda tanda”.
Analisis tanda-tanda di dalam kelompok atau kombinasinya di- sebut analisis teks. Semiotika
teks, dalam hal ini, tidak berhenti hanya menganalisis tanda (jenis, struktur, makna) secara
individu, akan tetapi melingkupi pemilihan tanda-tanda yang dikombinasikan ke dalam kelompok

50
atau pola-pola yang lebih besar (teks), yang di dalamnya direpresentasikan sikap, ideologi atau
mitos tertentu yang melatarbela kangi kombinasi tanda-tanda tersebut.
6. Metodesemiotika empiris
Ada berbagai metode penelitian yang telah dikembangkan, yang pada dasarnya merupakan
perluasan dari metode semiotika, yang dianggap dapat menutupi berbagai kelemahan metode
analisis teks yang sangat bergantung pada reks sebagai objek penelitian tunggalnya. Di antara
merode ini adalah metode analisis isi, semantic differential, dan etnografi. Fokus di antara
metode-metode ini tidak lagi pada teks (misalnya: iklan, produk, pakaian, interior) akan tetapi
pada manusia sebagai pengguna teks, serta lingkungan yang membentuk sebuah teks.
1. Content Analysis
Metode analisis isi memang masih memfokuskan diri pada teks sebagai objek penelitiannya, akan
tetapi, di dalamnya teks dianalisis secara empiris pada tingkat denotasi, bukan konotasi. Artinya,
dalam memahami sebuah teks atau desain, tidak lagi digunakan interpretasi semantik untuk
membentangkan makna sebuah tanda, akan tetapi ukuran-ukuran tertentu yang bersifat kuantitatif,
misalnya frekuensi ke- munculan tanda. Meskipun demikian, penggabungan pendekatan kuali
tatif dan kuantitatif sering pula dilakukan pada metode analisis isi ini."
Tabel berikut yang dibuat oleh tim peneliti Kajian Informasi, Pen- didikan dan Penerbitan
Sumatera (KIPPAS) mengenai kekerasan sim- bolik pada berita surat kabar di Sumatera
merupakan satu contoh dari penggunaan metode analisis isi dalam menganalisis media."
2. Semantic Differential
Untuk menutupi berbagai kelemahan metode analisis teks, yang terlalu terfokus pada teks itu
sendiri (serta tanda-tanda yang ada di dalamnya), dan mengabaikan subjek pengguna bahasa
(yang disebut oleh Pierce sebagai interpretan), dikembangkan metode analisis tanda dan makna,
yang sebaliknya memfokuskan dirinya pada manusia sebagai subjek pengguna bahasa (pemakai,
penonton, pengamat, pembaca). Fokus metode ini adalah pada makna yang dipahami secara
langsung oleh pembaca sebuah teks. Di dalam semiotika dikenal setidak-tidaknya empar dimensi
makna, yaitu: struktural, kontekstual, denotatif dan konotatif. yang masing-masing mempunyai
model-model analisisnya sendiri.
Charles E. Osgood mengembangkan sebuah metode semantik yang mengkhususkan diri pada
analisis makna pada tingkat dimensi konotarif, yaitu berbagai kemungkinan makna yang beraneka
ragam (polysemy) pada orang-orang yang beraneka ragam pula latar belakang budaya, suku, ras,
agama, umur dan tingkat intelektualitas mereka. Osgood menyebur metodenya semantic
differential
Metode semantic differential mengkaji berbagai aspek psikis pada manusia pengguna tanda atau
produk, seperti perasaan, sikap atau emosi terhadap konsep tertentu, yang direpresentasikan lewat
tanda atau produk tertentu. Dengan demikian, jelas metode ini tidak mengkaji konsep arau
petanda pada tingkat denotasi, akan tetapi pada tingkat yang lebih dalam, yang oleh Roland
Barthes disebut tingkat konotasi.
Pada metode tersebut, subjek yang diteliti (sample) disediakan ber- bagai pasangan kata sifat yang
bersifat biner, yang jumlahnya berkisar antara delapan sampai lima belas, misalnya
maskulin/feminin, panas/ dingin, kuat/lemah, dan seterusnya. Kemudian di antara dua konsep
oposisi tersebut, subjek diminta memaknai sebuah objek atau konsep. dengan mengisi salah satu
posisi makna dari tujuh spektrum makna yang ada. Berikut adalah sebuah contoh penggunaan
semantic differential, yang menjelaskan reaksi masyarakat dalam memaknai gambar halaman

51
depan surat kabar Mirror, yang melukiskan sebuah konflik antara polisi Inggris dan orang-orang
kulit hitam di London."
3.Etnografi dan Etho-semiotics
Semiotika sering dikritik bergerak terlalu jauh antara teks dan struktur sosial, dan mengabaikan
fakta bahwa ada hubungan yang tak dapat dipisahkan antara teks dan masyarakat pembaca
(penonton, pemirsa, pengguna). Kajian etnografi dikembangkan dalam rangka meneliti proses
sosial ini untuk menguji pembacaan semiotika terhadap teks oleh peneliti, dengan
membandingkannya dengan pembacaan konkrit yang dilakukan oleh masyarakat sendiri.
Misalnya, makna film seri kartun Tsubasa tidak lagi diinterpretasikan oleh seorang peneliti, akan
tetapi diperoleh langsung dari anak-anak atau orang dewasa yang menonton acara tersebut, lewat
teknik observasi dan wawancara mendalam (indepth interview).
Metode etnografi meneliti mengenai dimensi sosial sebuah teks, tidak dalam skala komunikasi
sosiopolitik yang makro, akan tetapi pada tingkat kehidupan sehari-hari yang konkrit, dengan cara
mengamati langsung masyarakat dalam proses komunikasi mereka, dan menggali makna dari
mereka secara mendalam. Meskipun dalam hal ini, muncul sebuah masalah bahwa, apakah
peneliti dalam hal ini hanya sebagai pengamat (observer) atau terlibat langsung dalam komunikasi
dan diskusi (participation).
Bila metode etnografi melibatkan peneliti di dalam proses diskusi, maka ia tidak dapat lagi
disebut empiris, disebabkan beroperasinya berbagai pendapat subjektif di sana. Dalam hal ini,
yang sesungguhnya terjadi adalah perluasan mode analisis interpretatif dari teks ke arah
masyarakat yang membacanya, dan makna yang mereka dapatkan dari nya. Ini merupakan
perluasan metode semiotika, yang dapat disebut etno-semiotika.
Di dalam komunikasi, sebuah teks sesungguhnya tidak bisa dipisah- kan dari struktur sosial
masyarakatnya, yaitu bagaimana makna teks tersebut menyebar di dalam masyarakat. Metode
analisis teks mengkaji teks sebagai satu objek yang otonom, yang tidak perlu dikaitkan dengan
masyarakat penggunanya. Sementara, etno-semiotika justru menggali makna teks tersebut dari
masyarakat pembacanya.
Ketika sebuah teks dilihat dalam dimensi sosialnya, maka di sini diperlukan dua tingkat analisis,
yaitu: pertama, analisis makro, yang berkaitan dengan konteks relasi sosiopolitik dan institusi di
balik teks. Semiotika yang dikembangkan oleh Barthes, misalnya, menghubungkan sebuah teks
dengan struktur makro (mitos, ideologi) sebuah masyarakat. Kedua, analisis mikro, menyangkut
pengalaman langsung dalam kehidupan sehari-hari masyarakat berhadapan dengan teks. Etno-
semiotika adalah satu metode yang menghubungkan pembacaan teks dengan kehidupan sehari-
hari yang bersifat mikro tersebut. Oleh sebab itu, ia mengkaji tanda dan bahasa tidak lagi pada
tingkat sintaktik semata akan tetapi juga tingkat semantik dan pragmatik."

52
Apendiks II
Iklan, Informasi atau simulasi?:
Konteks sosial dan kultural iklan

Perkembangan iklan dan periklanan di dalam masyarakat konsumer dewasa ini telah memunculkan
berbagai persoalan sosial dan kultural mengenai iklan, khususnya mengenai tanda yang digunakan,
citra yang ditampilkan, informasi yang disampaikan, makna yang diperoleh, serta bagaimana
semuanya mempengaruhi persepsi, pemahaman dan tingkah laku masyarakat. Apakah sebuah iklan
menampilkan realitas tentang sebuah produk yang ditawarkan, atau sebaliknya topeng realitas.
Kontroversi yang berkembang di seputar keberadaan iklan berkaitan dengan kenyataan bahwa di
dalam iklan seringkali terdapat jurang antara apa yang dilukiskan tentang sebuah produk, dengan
realitas produk itu yang sesungguhnya. Iklan, seringkali menampilkan realitas yang tidak
sesungguhnya dari sebuah produk. Iklan menampilkan realitas palsu. Dengan cara yang demikian,
iklan telah melakukan sebuah kebohongan terhadap publik.
Ketimbang memberikan lukisan yang nyata tentang realitas, iklan justru terperangkap di dalam skema
permainan tanda, dalam rangka menciptakan citra palsu sebuah produk, yaitu citra yang
sesungguhnya tidak merupakan bagian integral, substansial, atau fungsional produk tersebut, akan
tetapi-lewat kemampuan retorika sebuah iklan-citra- citra tersebut justru menjadi model rujukan
dalam mengkonsumsi se- buah produk.
Perkembangan iklan dan periklanan di dalam masyarakat konsumer dewasa ini telah memunculkan
berbagai persoalan sosial dan kultural mengenai iklan, khususnya mengenai tanda yang digunakan,
citra yang ditampilkan, informasi yang disampaikan, makna yang diperoleh, serta bagaimana
semuanya mempengaruhi persepsi, pemahaman dan tingkah laku masyarakat. Apakah sebuah iklan
menampilkan realitas tentang sebuah produk yang ditawarkan, atau sebaliknya topeng realitas.
Persoalan sosial dan kebudayaan yang diakibatkan oleh iklan antara lain: 1) persoalan kredibilitas
informasi, disebabkan berbaurnya realitas dan simulasi, atau realitas dan ilusi di dalam komunikasi; 2)
persoalan nilai informasi (etis, moral, agama), sebagai akibat seringnya iklan memberikan informasi
yang salah, dan 3) persoalan makna informasi disebabkan intensifnya penggunaan makna-makna
palsu di berbagai iklan, dan 4) psikologi informasi, disebabkan kemampuan iklan untuk
menggerakkan seorang individu untuk bertindak dengan pola tertentu.
Berkaitan dengan berbagai problematika di seputar keberadaan iklan tersebut di atas, tulisan ini
mencoba menganalisis iklan-khususnya relasi sosial dan budaya di balik sebuah iklan-dengan
menggunakan pendekatan cultural studies, khususnya pendekatan semiotika dan content analysis.
Beberapa sampel iklan dicoba didekonstruksi makna semiotiknya, kandungan isi dari apa yang
disampaikan, dan kemudian melihat relasi sosio-kultural yang ada di baliknya.

Informasi dan Disinformasi pada Iklan

Sebagai bahasa komunikasi, iklan mempunyai struktur bahasanya sendiri. Penipuan yang sering
dituduhkan pada iklan-bagaimanapun-harus disampaikan lewat bahasa. Iklan menipu lewat bahasa.
Secara struktural iklan terdiri dari tanda-tanda, yaitu unsur terkecil bahasa yang rerdiri dari penanda,
yaitu sesuatu yang bersifat materi berupa gambar, foto atau ilustrasi, dan petanda, yaitu konsep atau

53
makna yang ada di balik penanda tersebut, yang semuanya dapat digunakan untuk melukiskan realitas
atau, sebaliknya, memalsukan realitas.
Sebuah iklan biasanya terdiri dari tiga elemen tanda, yaitu gambar objek atau produk yang diiklankan,
gambar benda-benda di sekitar objek yang memberikan konteks pada objek tersebut, serta tulisan atau
teks, yang memberikan keterangan tertulis, yang satu sama lainnya saling mengisi dalam menciptakan
ide, gagasan, konsep atau makna sebuah iklan. Selain itu, iklan mempunyai tingkatan-tingkatan
makna yang kompleks, mulai dari makna yang eksplisit, yaitu makna berdasarkan apa yang tampak
(denotative), serta makna lebih mendalam, yang berkaitan dengan pemahaman-pemahaman ideologi
dan kultural (connotative).
Sebagai kombinasi antara gambar dan teks, sebuah iklan jelas menghasilkan sebuah informasi, yaitu
berupa representasi pengetahuan tertentu. yang disampaikan lewat mediasi elemen-elemen tanda
sebuah iklan. Dalam hal ini, ketika informasi yang ditawarkan sebuah iklan dikaitkan dengan realitas,
yaitu dunia kenyataan di luar iklan (di dalam masyarakat yang konkrit), maka sebuah iklan dapat
menjadi mirror of reality, yaitu menceritakan tentang sebuah lukisan kenyataan; atau sebaliknya,
menjadi distorted mirror of reality, yaitu refleksi dari sebuah realitas yang palsu atau menyesatkan
(deceptive).
Beberapa analisis sampel iklan cetak berikut in dapat memberikan gambaran sepintas mengenai kaitan
antara tampilan sebuah iklan, cara kombinasi elemen-elemen tandanya (object/context/text), konsep
atau makna yang dihasilkan darinya, informasi yang diberikannya, serta bagai- mana makna dan
informasi ini berkaitan dengan berbagai relasi yang ada di dalam masyarakat dan budayanya.
Iklan rokok tampak meningkatkan resiko dampak merokok bagi setiap orang, dengan mempengaruhi
citra tentang perokok dan mero- kok. Merokok, sebagaimana dikatakan Strausberger, diglamorkan.
Pe- rokok dilukiskan sebagai bebas (independent), sehat, berjiwa muda, dingin, atletis, seksi, jantan
(macho) dan petualang; sementara, akibat buruk atau efek samping yang merugikan tidak pernah
diperlihatkan. Bahkan, pengaruh iklan telah menggiring orang untuk tidak peduli lagi pada efek-efek
merusak dari rokok.' Citra tentang perokok dan merokok yang hampir sama juga digunakan pada
berbagai iklan-iklan rokok di Indonesia, mungkin akibat pengaruh dari iklan-iklan Amerika.
Glamorisasi juga terjadi pada iklan-iklan minuman keras, seperti bir. Citra-citra tentang bersenang-
senang, fun, seksi, sukses, kuat, perkasa, seringkali digunakan untuk melukiskan gambaran seorang
peminum bir atau minuman keras lainnya. Studi di Amerika memperlihatkan penggunaan citra-citra
seksual, serta figur selebritis (bintang film, model, pengusaha besar, pengacara besar, politikus)
sebagai pembenaran, telah meningkatkan pengaruh iklan bir, anggur atau minuman keras lainnya pada
anak-anak muda. Anak-anak yang menonton tayangan iklan ten- tang minuman beralkohol itu
cenderung berpikiran positif terhadap minuman tersebut. Meskipun belum dilakukan penelitian di
Indonesia, tampaknya gambaran yang muncul tentang dampak iklan minuman keras ini pada
masyarakat, tidak akan jauh berbeda.
Iklan jelas efektif dalam mempengaruhi persepsi orang-orang ten- tang sebuah produk. Logikanya,
mustahil sebuah perusahaan mau me- ngeluarkan dana puluhan, sampai ratusan miliar rupiah untuk
iklan, bila sebuah iklan tidak bisa mengubah persepsi dan hasrat membeli pada masyarakat.
Celakanya, informasi yang diberikan iklan justru sering menggiring orang pada persepsi yang salah
tentang sebuah produk.

54
Logika Bahasa, Citra dan Makna pada Iklan

Perkembangan iklan dan periklanan biasanya mempunyai hubungan timbal balik dengan perubahan
pada masyarakatnya sendiri. Di dalam masyarakat konsumer dewasa ini berkembang berbagai logika
baru konsumsi, yang secara mendasar mengubah model hubungan antara manusia (yang
mengkonsumsi) dan objek atau produk (yang dikonsumsi). Di dalam masyarakat tersebut, objek
berkembang sedemikian rupa, sehingga tidak lagi terikat pada logika utilitas, fungsi dan kebutuhan,
melainkan pada apa yang disebut sebagai logika tanda dan logika citra. Adalah tanda dan citra-yang
ditampilkan lewat berbagai media iklan yang mengarahkan orang untuk membeli. Kini, yang dibeli
orang adalah tanda, citra atau tema yang ditawarkan di balik sebuah produk, bukan lagi nilai utilitas
produk tersebut.
Tanda-tanda dimobilisir ke dalam berbagai bentuk komoditi ber- dasarkan logika perbedaan dalam
bentuk yang baru, yaitu perbedaan yang dihasilkan lewat permainan bebas tanda. Perbedaan, dalam
hal ini, menunjuk pada fenomena bahasa. Di dalam teori semiotika Saussure, perbedaan adalah
sebuah cara dalam pengorganisasian tanda dan mak- na di dalam sebuah sistem pertandaan
(signification). Sebuah tanda bermakna tertentu disebabkan ia tidak bermakna yang lain. Sebuah iklan
rokok berbeda dengan iklan rokok lainnya, disebabkan yang satu menawarkan Superioritas, yang satu
menawarkan Sensualitas, meskipun kedua kualitas itu sesungguhnya tidak ada pada rokok itu.
Konsumsi menjadi sebuah sistem tanda-seperti bahasa-yang menciptakan perbedaan kultural secara
terus menerus, melalui produk- produk yang dikonsumsi bedasarkan nilai tandanya. Metafora-
metafora dikerahkan di dalam iklan untuk memberikan makna pada sebuah produk, misalnya
metafora meminum bir seperti menikmati wanita; menghisap rokok seperti menghirup kebebasan.
Padahal, metafora- metafora tersebut hanyalah ilasi-sebuah metafora kosong,
Di dalam iklan, tanda-tanda digunakan secara aktif dan dinamis, sehingga orang tidak lagi membeli
produk untuk pemenuhan kebutuhan, melainkan membeli makna-makna simbolik, yang menempatkan
kon sumer di dalam struktur komunikasi yang dikonstruksi secara sosial oleh sistem
produksi/konsumsi (produser, marketing, iklan.). Konsumer dikondisikan untuk lebih terpesona
dengan makna-makna simbolik ini ketimbang fungsi utilitas sebuah produk. Konsumer, misalnya, di
kondisikan untuk membeli citra sukses sebuah bir, ketimbang nilai guna bir itu sendiri (yang
sesungguhnya justru merusak kesehatan). Sebuah iklan biasanya menawarkan sebuah citra, yang
dalam kon-
teks bahasa iklan dapat dijelaskan sebagai gambaran mental dari se- suatu yang sebenarnya tidak ada.
Citra mempunyai peran yang sangat penting, sebagai pendefinisi hubungan sosial. Citra digunakan
untuk mengorganisir relasi konsumsi, serta relasi sosial yang terbentuk di dalam proses konsumsi
tersebut (status sosial, kelas sosial, prestise sosial). Marx menggunakan istilah fetisisme komoditi
untuk menjelaskan sesuatu yang bersifat abstrak (konsep, citra, makna, tema) yang digunakan untuk
menjelaskan relasi sosial. Sebuah produk dapat menjelaskan posisi sosial seseorang yang
menggunakannya (kelas, status, prestise).
Pencitraan (imagology), atau teknologi citra adalah sebuah strategi penting di dalam sistem
periklanan, yang di dalamnya konsep, gagasan. tema atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada
sebuah produk, untuk dijadikan sebagai memori publik, dalam rangka mengendalikan diri mereka.
W.F. Haug, salah seorang filsuf budaya Frankfurt School. menggambarkan di dalam Critique of
Commodity Aesthetics: Appearance. Sexuality and Advertising in Capitalist Society (1983),
bagaimana komoditi di dalam masyarakat kapitalis, berkaitan secara langsung dengan domain citra,
yaitu, bagaimana citra digunakan sebagai alat untuk mengendalikan massa konsumer. Komoditi
merupakan sebuah wacana pengendalian selera, gaya, gaya hidup, tingkah laku, aspirasi, serta
imajinasi-imajinasi kolektif masyarakat secara luas (massa) oleh para elit (kapitalis), lewat berbagai

55
citra yang diciptakan, yang sesungguhnya tidak berkaitan dengan substansi sebuah produk yang
ditawarkan. Ilusi dan manipulasi adalah cara yang digunakan untuk mendominasi selera masyarakat,
agar mereka tergerak membeli sebuah produk. Salah satu bentuk ilusi dan manipulasi yang menonjol
di dalam iklan, menurut Haug, adalah penggunaan efek- efek sensualitas-penggunaan representasi
tubuh dan organ-organ tu buh perempuan, untuk menciptakan citra sensualitas, sebagai cara untuk
merangsang hasrat membeli.
Citra akhirnya menjadi instrumen utama dalam menguasai ke- hidupan jiwa (inner life), membentuk
dan mengarur tingkah Laku setiap orang yang dipengaruhinya. Rangkaian citra kemudian menjadi
landasan rasional dalam memilih sebuah produk: dalam menentukan baik/buruk. benar/salah,
berguna/tak berguna. Citra menjadikan sebuah benda yang tidak berguna menjadi sangat berguna,
sebuah benda yang tidak diperlukan menjadi perlu, sebuah benda yang tidak dibutuhkan menjadi
dipengaruhinya: kesempurnaan diri, rubuh, kepribadian. Setiap c diarahkan untuk gandrung membeli
sebuah produk disebabkan image produk, ketimbang nilai-nilai substansial dan fungsional produk
tersebut.

Iklan dan Konstruksi Gaya Hidup

Di dalam masyarakat konsumer dewasa ini, memproduksi sebuah produk tidak dapat lagi menjadi
proses yang berdiri sendiri. Memproduksi sebuah produk harus diiringi dengan memproduksi
tontonan yang mengiringi produk tersebut. Iklan adalah salah satu media tontonan tersebut, yang di
dalamnya produk diciptakan sebagai serangkaian tontonan yang dis dengan berbagai tanda, citra dan
makna.
Tontonan, kata Guy Debord di dalam Society of the Spectacle, adalah sebuah ...relasi sosial di antara
orang-orang yang diperantarai oleh citra. Tontonan dan citra, secara bersama-sama merumuskan dan
me ngendalikan relasi simbolik di antara kelompok-kelompok sosial, baik berupa hubungan kelas,
status, atau gaya hidup. Setiap orang memper- lihatkan realitas sosial dan relasi sosialnya lewat
berbagai media tontonan (objek, fashion). Tontonan adalah cara manusia memaknai hidup, atau
mendefinisikan tujuan hidup.
Iklan adalah sebentuk tontonan yang mengiringi sebuah produk, yang menawarkan citra-citra sebagai
acuan nilai dan moral masyarakat (baik/buruk, benar/salah). Padahal, citra-citra tersebut, sebagaimana
yang dikatakan oleh Haug, sesungguhnya adalah rangkaian ilusi-ilusi yang disuntikkan pada sebuah
komoditi, dalam rangka mengendalikan konsumer, seperti sebuah suntikan bius. Konsumer, dengan
demikian, menjadi konsumer ilusi, yaitu konsumer yang membeli ilusi ketimbang barang yang
mengkonsumsi relasi sosial (status, prestise) ketimbang fungsi produk. Salah satu bentuk ilusi yang
sering dieksploitasi di dalam iklan adalah ilusi-ilusi yang berasal dari penggunaan tubuh (libidinal
power). Tubuh-dan potensi sensualitasnya-dijadikan sebagai sebuah elemen tontonan dalam rangka
menarik perhatian konsumer pada pan- dangan pertama.
Iklan adalah sebuah sistem tontonan yang utama di dalam sistem produksi-konsumsi masyarakat
konsumer. Iklan merumuskan citra sebuah produk, dan hubungan sosial di baliknya (stanas, prestise,
kelas sosial). Iklan menciptakan ilusi-ilusi tentang sensualitas, kehidupan se- lebritis, gaya hidup
ekslusif, gaya hidup Hollywood, gaya hidup bebas, kehidupan petualang, manusia pemberani, kota
legenda, hunian bergaya Western, dan sebagainya, di balik sebuah komoditi. Ilusi-ilusi ini kemu- dian
diberikan wadahnya di dalam apa yang disebut sebagai ruang gaya hidup.
Iklan, dengan demikian, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penciptaan gaya hidup. Iklan
menjadi perumus gaya hidup. Gaya hidup dapat dijelaskan sebagai pola penggunaan waktu, ruang,

56
uang dan barang karakteristik sebuah kelompok masyarakat. Pola-pola tersebut dimuati dengan tanda
dan makna simbolik tertentu, yang menciptakan perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok
lainnya. Konsumsi, dalam hal ini. menjadi semacam teater sosial, yang di dalamnya para aktor
(konsumer) memainkan peran tertentu (gaya hidup) di atas sebuah panggung sosial (mall, ruang pesta,
tempat liburan), dengan berbagai tema cerita yang dimainkan (Fantasi Hollywood, Kota Legenda,
Mitos Madonna). Iklan berperan dalam menaturalisasikan tema-tema tersebut.
Iklan mengkonstrusi masyarakat konsumer menjadi kelompok- kelompok gaya hidup, yang pola
kehidupan mereka diatur berdasarkan tema, citra dan makna simbolik tertentu. Setiap kelompok gaya
hidup menciptakan ruang sosial, yang di dalamnya gaya hidup dikonstruksi. Pierre Bourdieu
menggunakan istilah habitus untuk menjelaskan semacam kebiasaan (habit) yang berkembang di
dalam setiap kelompok gaya hidup, yang menyebabkan seorang anggota kelompok gaya hidup
tertentu lebih memilih Hard Rock Café sebagai bagian budaya makannya, ketimbang R.M. Ponyo;
lebih memilih belanja di Sogo ketimbang Pasar Ular.9
Ruang sosial masyarakat konsumer diisi oleh kombinasi antara media, citra dan tempat belanja (mall),
yang secara bersama-sama mem- bentuk gaya hidup konsumerisme. Ruang konsumsi dicirikan oleh
peng kombinasian elemen-elemen gaya hidup dengan cara yang baru, yang di dalamnya disatukan
berbagai kegiatan waktu senggang, kesenangan, permainan, hiburan dan konsumsi.
Ruang konsumsi menjadi tempat setiap orang mengembangkan ber bagai perilaku konsumer dan
berbagai kebiasaan kultural (babit) yang kompleks. Ruang konsumsi menjadi ajang eksperimentasi
sosial, per- ubahan tingkah laku, pembentukan watak sosial, penciptaan konsep diri. pergantian
berbagai indentitas, sehingga menjadikannya seperti sebuah Teater Kehidupan. Ruang konsumsi lalu
menjadi sebuah ajang dari a yang dikatakan oleh Mikhail Bakhtin sebagai carnivalism, yaitu sebuah
apa ajang permainan tanda, permainan gaya dan permainan makna 10 Ruang konsumsi adalah sebuah
ruang tempat terjadinya permainan
tanda dan perang tanda yang tidak ada akhirnya, di antara l kelompok gaya hidup. Perang tanda
tersebut menciptakan kondisi te perangkapnya konsumer di dalam keharusan perubahan dan
perbedaan tanda yang tidak ada hentinya. Konsumer kemudian digiring untuk belanja gaya hidup
yang dirumuskan oleh sebuah iklan dan barang, ketimbang belanja fungsi sebuah barang. Gaya hidup
mengkondisikan setiap orang untuk membeli ilusi-ilusi tentang status, kelas, posisi sosial, prestise,
yang dikomunikasikan secara intensif lewat iklan-iklan hidup. gaya berbagai

Iklan, Fetisisme dan Simulasi

Dalam fenomena iklan dan citra yang ditawarkan di dalamnya, selalu saja ada celah yang membatasi
antara penampilan sesuatu dan makna yang sesungguhnya. Ada sebuah jurang yang memisahkan
antara citra sebuah produk yang dirampilkan dan realitas produk yang sesungguhnya. Di dalam
terminologi ekonomi-politik ada sebuah konsep yang di- gunakan untuk menjelaskan jurang atau
celah tersebut, yang pertama kali diperkenalkan oleh Karl Marx di dalam The Capital, yaitu konsep
fetisisme komoditi.
Fetisisme adalah kondisi yang di dalamnya sebuah objek mempunyai makna yang tidak sesuai dengan
realitas objek itu yang sesungguhnya. Istilah fetish sendiri berasal dari bahasa Portugis feitico, yang
berarti pesona, daya pikat atau sihir. Marx menggunakan istilah ini untuk menjelaskan segala sesuatu
yang dipuja tanpa alasan akal sehat." Ter masuk ke dalamnya adalah pemujaan terhadap ikon-ikon
modern, seperti rambur Elvis Presley, jaket Michel Jackson atau tas Madonna, yang dianggap

57
mempunyai kekuatan atau pesona tertentu, sehingga untuk memperolehnya orang mau membeli
dengan harga yang sangat mahal.
Pada fenomena komoditi-dan peran iklan di dalam komunikasi- nya-istilah fetisisme komoditi
digunakan untuk menjelaskan situasi memuat sesuatu dengan kekuatan atau daya pesona, yang
sesungguhnya tidak dimilikinya. Kita menganggap sebuah produk mempunyai ke kuatan atau daya
pesona, padahal sesungguhnya tidak. Sebotol bir di anggap mempunyai kekuatan untuk menjadikan
seorang pria menjadi jantan, perkasa atau bebas, meskipun pada kenyatannya tidak ada sub- stansi apa
pun yang ada pada produk tersebut yang dapat menciptakan kualitas-kualitas tersebut.
Singkatnya, fetisisme komoditi adalah sebuah fenomena, yang di dalamnya seseorang melihat makna
sesuatu sebagai bagian inheren dari eksistensi fisiknya, padahal pada kenyataannya makna tersebut
semata diciptakan lewat integrasinya ke dalam sistem makna." Seperti yang dikatakan oleh Marx,
fetisisme komoditi adalah fenomena melihat se suatu sebagai mempunyai nilai yang inheren pada
dirinya, padahal nilai tersebut diciptakan oleh manusia. Analisis Marx ini sangat penting da lam
pemahaman kita mengenai bagaimana sebuah produk atau barang mengkomunikasikan relasi sosial
(kelas, status, kondisi, peran, ting. kat, prestise) yang beroperasi di dalam sebuah konteks sosial. Marx
menggunakan istilah mistifikasi untuk menjelaskan tampilan palsu atau makna palsu pada sebuah
produk, yang sebenarnya sudah mempunyai makna tertentu (yang otentik) di dalam masyarakat.
Rokok dikatakan membangun pria jantan, padahal dalam masyarakat rokok dianggap sebagai salah
satu penyebab kematian. Inheren di dalam fetisisme komo- diti adalah proses menampilkan makna
palsu sebuah produk, sementara menyembunyikan makna sesungguhnya (disavowal). Fetisisme
komoditi, dalam hal ini, dengan mudah menggiring setiap orang pada apa yang disebut Marx sebagai
kesadaran palsu.
Bagaimana sebuah iklan menampilkan makna palsu atau realitas palsu dari sebuah produk yang
diiklankan merupakan sebuah diskusi yang cukup luas lingkupnya, dan merupakan kajian yang
berkaitan dengan pesan sebuah iklan. Kepalsuan atau fetis yang ditampilkan oleh sebuah iklan begitu
banyak jenis, metode, mekanisme, gaya, isi dan bahasanya. Sut Jhally. Stephen Kline dan William
Leiss, misalnya, di dalam riset mereka tentang fetisisme komoditi yang bertema "Magic in the Market
Place: An Empirical Test for Commodity Fetishism, dengan menggunakan metode analisis isi,
mengidentifikasi secara umum dua kategori muatan fetisisme komoditi di dalam iklan-iklan pada
umumnya, yaitu Kategori A dan Kategori B.14 Di dalam kategori A, misalnya, ada delapan jenis
fetisisme (kepalsuan) komoditi.

APENDIKS III
Membaca Tanda, Memahami Komunikasi
Semantika sebagai sebuah cabang kelimuan memperlihatkan pengaruh yang semakin
kuat dan luas dalam satu dekade terakhir ini, termasuk Indonesia. Signifikasi semiotika tidak
saja sebagai metode kajian (deading), akan terapi juga sebagai metode penciptaan (encoding).
Se- bagai metode kajian, semionka memperlihatkan kekuatannya di dalam berbagai budang,
seperti antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan. media studies, dan cultural studies.
Sebagai metode penciptaan, semiotika mempunyai pengaruh pula pada bidang-bidang seni
rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk desain komunikasi visual
Sebagai sebuah disiplin kelimuan, yaitu ilmu tentang tanda, tentunya semiotika
mempunyai prinsip, sistem, aturan dan prosedur-prosedur keilmuan yang khusus dan baku.
Akan tetapi, pengertian ilmu dalam Imu semiotika tidak dapat disejajarkan dengan ilmu alam,
yang menuntur ukuran-ukuran matemaris yang pasti untuk menghasilkan sebuah pengalan
objektif sebagai kebenaran tunggal.

58
Mereka lalu menempatkan diri mereka sebagai otoritas tunggal atau aparat penjaga
kebenaran tunggal itu agar tidak dirusak oleh pandangan pandangan lain (the other of truth),
yang dianggap keliru salah sesat, haram dan menyimpang Mereka menganggap diri mereka
sebagai pemilik dan kebenaran tunggal itu Mereka bahkan menganggap diri mereka sebagai
kebenaran itu sendiri.
Mereka tidak menyadari bahwa semotika tidak dibangun oleh ke- benaran tunggal
seperti yang mereka klaim itu. Semiotika mengajarkan tentang makna jamak (polysemy)
sebagai prinsip dasar dari semiotika, dan prinsip dasar ini juga berlaku untuk definisi ilmu
semiotika itu sendin Berkaitan dengan doktrin tanda . Doktrin tanda dari Saussure, Peirce dan
Hjemsley adalah doktrin yang tidak sama, dan pembacaan terhadap doktrin tanda mereka
juga beragam
Misalnya, tidak hanya ada beragam pembacaan terhadap semiotika struktural Saussure,
tetapi pembacaan pembacaan itu malah saling bertentangan satu sama lainnya. Misalnya,
beberapa pemikir, seperti Jacques Derrida, melihat semiotika struktural Saussure sebagai
semiotika yang statis, logosentris dan tertutup. Akan tetapi, beberapa pemikir lain, seperti
Paul J. Thibault-melalui pembacaan ulang yang dilakukannya terhadap doktrin tanda
Saussure-melihat semiotika Saussure sebagai semiotika yang dinamis, kontekstual dan
terbuka. Pembacaan Thibault ini jelas bertentangan dengan pembacaan Derrida, Akan terapi.
Thibault-mau- pun para pemikir semiotika lainnya-tidak pernah ada yang mengha- ramkan
untuk membaca buku Derrida, karena menyadari betul pluralitas interpretasi dalam semiotika.
Inilah cermin dari kedewasaan intelektual.
Semiotika, dengan demikian, adalah sebuah ranah keilmuan yang jauh lebih dinamis,
lentur dan terbuka bagi berbagai bentuk pembacaan dan interpretasi, bukan sebuah benteng
kebenaran, yang di luar benteng itu semuanya adalah musuh kebenaran. Semiotika pada
kenyataannya adalah ilmu yang terbuka bagi berbagai interpretasi. Dan, kita tahu bahwa
logika interpretasi bukanlah logika matematika, yang hanya mengenal kategori benar atau
salah. Logika semiotika adalah logika di mana tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya,
melainkan derajat kelogisannya: interpretasi yang sara lebih masuk akal

Semiotika Komunikasi Visual


Buku Sumbo Tinarbuko. Semiotika Komunikasi Visual adalah sebuah upaya
memberikan interpretasi terhadap keilmuan semiotika itu sendiri. yaitu semiotika sebagai
metode pembacaan karya komunikasi visual Sebagai upaya interpretasi. Sumbo di sini sedang
menawarkan sebuah kebenaran tentang semiotika komunikasi visual, di samping kebenaran
kebenaran lain, yang ditawarkan oleh para penulis lain, dengan argumen nalar dan
sistematika yang dikembangkannya masing-masing. Dalam hal ini, apa yang ditawarkan
Sumbo adalah kebenaran relatif di hadapan kebenaran-kebanaran lainnya, bukan kebenaran
tunggal. Interpretasi dan kebenaran itu diharapkan dapat memperkaya khasanah pengetahuan
tentang semiotika itu sendiri, dengan menyediakan sebuah ruang pemahaman tanda yang
lebih terbuka dan dinamis.
Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah sistem semiotika
khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm) yang khas, yang
berbeda misalnya dari sistem semio nika seni. Di dalam sistem semiotika komunikasi visual

59
melekat fungsi komunikasi, yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan dari sebuah
pengirim pesan kepada para penerima tanda berdasarkan aturan atau kode-kode tertentu.
Fungsi komunikasi mengharuskan ada relasi (saru atau dua arah) antara pengirim dan
penerima pesan, yang dimediasi oleh media tertentu.
Meskipun fungsi utamanya adalah fungsi komunikasi, tetapi bentuk- bentuk komunikasi
visual juga mempunyai fungsi signifikasi, yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep,
isi atau makna. Ini berbeda dengan bidang lain, seperti seni rupa (khususnya seni rupa
modern) yang tidak mempunyai fungsi khusus komunikasi seperti itu, akan tetapi ia memiliki
fungsi signifikasi. Fungsi signifikasi adalah fungsi di mana penanda yang benifar konkrit
dimuati dengan konsep-konsep abstrak atau makna gara umum disebut petanda. Dapat
dikatakan di sini, bahwa semua muatan komunikasi dari bentuk-bentuk komunikasi visual
ditiadakan ia sebenarnya masih mempunyai muatan signifikan yaitu muatan makna.
Sebagaimana dikatakan juga oleh penulis buku ini, efektivitas pesan menjadi tujuan
utama dan desain komunikasi visual. Berbagai gerak desain komunikasi visual: iklan,
fotografi jurnalistik, poster kalender brosur. film animast, karikatur, acara televisi, video clip,
web designed interaktif adalah di antara bentuk-bentuk komunikasi visual yang melaluinya
pesan-pesan tertentu disampaikan dari pihak pengirim (desainer produser, copywriter) kepada
penerima (pengamat, penonton, pemirsa)
Semiotika komunikasi mengkaji tanda dalam konteks komunikasi yang lebih luas, yang
melibatkan berbagai elemen komunikasi, seperti saluran, sinyal media, pesan, kode (bahkan
juga noise). Semiotika ko- munikasi menekankan aspek produksi tanda di dalam berbagai
rantai komunikasi, saluran dan media, ketimbang sistem tanda. Di dalam semiotika
komunikasi, tanda ditemparkan di dalam rantai komunikasi, sehingga mempunyai peran yang
penting dalam penyampaian pesan.

Teks. Objek, Konteks


Meskipun objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen komunikasi yang
bersifat visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna, bentuk dan tekstur, akan tetapi pada
perkembangannya, desain komunikasi visual juga melibatkan elemen-elemen non-visual,
seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal. Elemen-elemen yang berperan di dalam berbagai
bentuk komunikasi visual mutakhir, khususnya dalam media komunikasi elektronik, adalah
kombinasi antara elemen-elemen visual, suara, bunyi dan tulisan (text).

Kombinasi elemen-elemen visual dengan yang non-visual macam ini tampak pada
desain iklan. Seperti media komunikasi massa pada umumnya, iklan mempunyai fungsi
komunikasi langsung yang berbeda dari karya seni rupa yang mempunyai fungsi komunikasi
tak langsung. Iklan mempunyai fungsi utama penyampaian pesan, meskipun ia juga
mempunyai fungsi signifikasi. Bagaimana motif penyampaian pesan dan signifikasi
dikombinasikan di dalam iklan, telah dijelaskan oleh berbagai ahli semiotika iklan, seperti
Gillian Dyer. Torben Vestergaard atan Judah Williamson."
Dari pandangan ahli-ahli semiotika periklanan tersebut di atas. dapat dilihat bahwa ada
dimensi-dimensi khusus pada sebuah iklan, yang membedakan iklan secara semiotis dari

60
objek-objek seni pada umumnya. yaitu bahwa sebuah iklan selalu berisikan unsur-unsur tanda
berupa objek yang diiklankan; konteks berupa lingkungan, orang atau makhluk lainnya yang
memberikan makna pada objek: serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna
(anchoring), meskipun yang terakhir ini tidak selalu hadir dalam sebuah iklan. Pada iklan
televisi, unsur tanda ini ditambah lagi oleh unsur bunyi (sound) dan bahasa ucapan (speech).
Buku Semiotika Komunikasi Visual lebih memfokuskan diri pada bentuk-bentuk
komunikasi visual dua dimensi, berupa gambar-gambar diam (still images), dengan perhatian
khususnya pada tiga bentuk desain komunikasi visual, yaitu Iklan Layanan Masyarakat
(ILM), kaos oblong dan rambu lalu lintas. Meskipun dibatasi pada tiga kasus ini, terapi
analisis semiotika di dalam buku ini mampu memperlihatkan tidak saja struktur semiotika,
tetapi yang lebih penting muatan lokal dari semiotika. yaitu aneka kode kultural dan kode
semantika yang bersifat indigenous.
Melalui analisis mendalamnya terhadap beberapa objek kultural tersebut di atas, buku
ini memperlihatkan dengan jelas sifat-sifat ke- terbukaan, kontekstualitas dan pluralitas dari
semiotika sebagai sebuah ilmu. Bahwa, bagaimanapun ketatnya prinsip, definisi atau struktur
tanda di dalam semiotika, tetap saja ada muatan-muatan lokal atau indigenous dari semiotika.
Untuk itu, dalam pemahaman terhadap kode-kode kul- tural yang beragam itu dituntut pikiran
yang terbuka, lentur dan inklusif. karena apa yang dianggap sebagai kebenaran di dalam
sebuah kebudayaan. boleh jadi dianggap kepalsuan di dalam kebudayaan lainnya. Semiotika
menentang setiap bentuk arogansi intelektual.

APENDIKS IV
Memahami Kode-kode Budaya: Semiotika dan Cultural Studies
Semiotika adalah sebuah cabang keilmuan yang memiliki lingkup kajian sang luas yang
meliputi hampir semua bidang kehidupan Sebagai displin yang berkaitan dengan tanda dan
penggunaannya dalam masyarakat, semiotika melingkupi segala bentuk tanda dan
penggunaannya secara sosial, sehingga menciptakan cabang-cabang semiotika khusus, di
antaranya adalah semiotika seni, semiotika kedokteran (medical semiotics). semiotika
binatang (zoo semiotics), semiotika arsitektur, semiotika fashion, semiotika film, semiotika
sastra dan semiotika televisi.
Kebudayaan adalah bidang lain yang juga memiliki lingkup sangat has dan kompleks,
yang melingkupi budaya benda (material cab) seperti: artefak, seni, media, fashion, arsitektur,
televisi, film, video; budaya non benda (non-material culture), melingkupi norma, adat,
pranata, men talitas, kebiasaan, eros: segala bentuk tingkah laku manusia serta bahasa yang
digunakan sebagai alat komunikasi di dalamnya.
Disebabkan luasnya lingkup kedua bilang sebut di atas, maka penggunaan semiotika
sebagai pendekatan dalam memahami kebudayaan harus disertai oleh berbagai pembatasan
pada tingkat epistologis dan lingkup kajiannya. Secara epistemologis, semiotika tidak saja
merupakan hagdan kaan bahasa, akan terapi juga dari bidang kebudayaan yang lastama
budaya benda. Budaya benda itu sendiri sebenarnya merupakan bidang yang juga baan yang
melibatkan semua unsur indera yan visual, suara, rasa bau dan peraban di dalamnya

61
Selain itu, baik kajian semiotika maupun kebudayaan adalah bidang kajian yang selalu
mengalami perkembangan dan perubahan historisnya. Ada perkembangan mutakhir, yang di
dalamnya kajian bahasa menemukan garis singgung yang sangat erat dengan kajian
kebudayaan, yaitu dengan berkembangnya secara mutual kajian semuotika dan cultural
studios sebagai kecenderungan baru dalam kajian kebudayaan Perkembangan semiotika tidak
dapat dilepaskan dari perkembangan cultural studies, dan sebaliknya perkembangan cultural
studies, salah satunya sangat dipengaruhi oleh perkembangan semiotika, khususnya semiotika
struktural.
Semiotika dan Cultural Studies
Sebelum adanya pengaruh semiotika, cara membaca kebudayaan lebih terfokus pada
aspek-aspek historis, esensial dan asal-usul objek-objek kebudayaan. Perkembangan
semiotika struktural dan cultural studies telah mengubah kecenderungan analisis kebudayaan
ke arah pendekatan yang lebih menaruh perhatian pada struktur dan sistem, yang disebur
strukturalisme.
Andrew Tudor, di dalam Decoding Culture: Theory and Method in Cultural Studies,
menyebut kajian kebudayaan yang menggunakan pendekatan (semiotika) struktural semacam
ini sebagai analisis struktural kebudayaan. Tudor melihat bahwa pemikiran semiotika de
Saussure me rupakan kerangka dasar dalam pemikiran strukturalisme, yang kemudian sangat
mempengaruhi kecenderungan cultural studies pada umumnya. Perbedaan mendasar antara
langue dan parole, penanda dan peranda. paradigmarik dan sintagmatik, serra diakronik dan
sinkronik, yang di- kembangkan Saussure dalam semiotika strukturalnya, secara bersama-
sama menjadi metode kunci dalam semiotika dan cultural studies

Pengaruh pendekatan semiotika struktural telah menggeser pendekatan pendekatan


tradisional dalam kajian kebudayaan-yang berkaitan terutama dengan pembentangan makna
hakiki dan nilai-nilai sebuah artefak ke arah pembentangan struktur dan sistem, yang
memungkinkan sebuah artefak nemiliki makna. Ketimbang menjelaskan hakikat dan sejarah,
pendekatan semiotika struktural memfokuskan pada sistem kode dan konvensi yang mengatur
bagaimana teks kebudayaan dikonstruksi oleh penciptanya serta diterima dan dipahami
maknanya oleh pengguna atau konsumennya.
Sebagaimana yang dijelaskan pula oleh Stuart Hall di dalam Cad Media, Language,
penggunaan semiotika struktural dalam cultural studies tidak hanya terbatas sebagai alat
pemahaman atau pembongkaran kode dan konvensi di balik objek kebudayaan (disebar
proses decoding), akan tetapi juga sebagai pendekatan dalam mengkonstrukat tanda dan
makna di dalam proses penciptaan sebuah objek kebudayaan (disebut: proses encoding).
Menurut Hall, objek atau teks teks kebudayaan (seperti tele- vist, film, dsb.) mengandung di
dalamnya pesan-pesan (encoded messages), yang membentuk wacana bermakna, yang
produksinya mesti mengikuti sebuah aturan main arau konvenu tertentu.
Ferdinand de Saussure adalah salah seorang tokoh kunci pendekatan strukturalisme ini.
Di dalam pemikiran strukturalnya, Saussure, membuat perbedaan mendasar antara langue,
yaitu sistem kode, aturan dan norma- norma yang mengatur sebuah bahasa: serta parole, yaitu
tindak nyata penggunaan sistem tersebut oleh seorang individu di dalam sebuah masyarakat
Pembedaan antara langue dan parole ini merupakan fondast cara berpikir struktural, tidak saja

62
dalam bidang linguistik, tetapi di dalam bidang-bidang kajian yang sangat luas, seperti
antropologi, sosiologi, politik, ekonomi, budaya, teologi, arsitektur, media dan seni
Pendekatan semiotika struktural bahkan mempengaruhi analis masyarakat dan
kebudayaan secara lebih luas. Claude Levi-Strauss, misalnya, menggunakan model semiotika
struktural ini untuk menjelaskan struktur kebudayaan, seperti sistem kekerabatan, totem, tabu,
menu makanan, dan mitos, yang semuanya dianggap sebagai bahasa, dan yang dalam
analisisnya bersandar pada model semiotika struktural berdasarkan model semiotika itu pula
berbagai komponen budaya benda seperti foto, fashion, iklan, film, novel, mobil, gular sepak
bola, mainán, deterjen, striptease, steak, kentang goreng dapat dipandang sebagai fenomena
bahasa yang dibangun oleh tanda, kode dan makna tertentu.
Meski pun demikian, pendekatan semiotika struktural Saussure in mendapatkan kritikan
dari beberapa kritikus, seperti Roland Barthes (akhir). Jacques Derrida dan Julia Kristeva.
Derrida, misalnya, melihat strukturalisme telah terperangkap di dalam apa yang disebutnya
logo- sentrisme, yaitu terkungkungnya bahasa ke dalam upaya mencan makna akhir (lages)
dalam berbagai bentuknya, sehingga menghalang berbagai kreativitas, inovasi dan
penjelajahan baru dalam bahasa Di tangan strukturalisme, bahasa menjadi sistem tertutup,
selesai, dan tidak mentolerir perubahan. Misalnya, bagaimana kitab suci dianggap sebagai
sebuah makna akhir (determined meaning), kebenaran akhir, penutup wacana atau lages,
yang setiap interpretasi harus bersandar padanya.
Julia Kristeva menggunakan istilah intertekstualitas untuk menjelaskan
kesalingbergantungan yang kompleks antara satu (beberapa) teks dengan teks-teks
sebelumnya di dalam sebuah kebudayaan. Teks adalah mosaik kutipan-kuripan dari teks-teks
yang mendahuluinya dalam relasi lintas kultural (mans-cultural) yang kompleks. Ada
pelintasan dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya di dalam suatu ruang dialog kultural
Selalu ada relasi antar teks di antara ungkapan-ungkapan lainnya: tidak ada teks yang tidak
berkaitan dengan teks-teks lainnya di dalam pelintasan kultural yang kompleks. Di dalam
intertekstualitas, dua suara, dua kode, dua cara pengungkapan bertemu di dalam ajang
dialogisme, yang tidak ada di antaranya yang bersifat dominan. Sebuah teks masa lalu
terbuka bagi suatu garis dialog dengan teks-teks masa kini dalam ajang pastiche. alegoris,
atau hibrida
Semiotika post-strukturalis di atas menawarkan hubungan baru antara penanda dan
petanda, antara bentuk dan makna. Teks tidak lagi dianggap sebagai ada (being), akan tetapi
proses menjadi, yang untuk itu diperlukan inovasi, kreativitas dan produktivitas, dalam
rangka mem- bentangkan segala yang tak terpikirkan dan tak terbayangkan sebelumnya.
Makna dianggap tidak pernah stabil, final, atau selesai, tetapi selalu dalam proses menjadi
dalam konstelasi permainan penanda yang tanpa akhir. Bidang penanda dan petanda dianggap
hidup di dalam struktur yang terpisah, tidak menyatu seperti selembar kertas, sebagaimana
dikatakan de Saussure. Interpretasi sebuah tanda atau teks tidak pernah berhenti. Penanda
selalu berproduksi dan berkembang biak, lewat interaksinya dengan penanda-penanda yang
berasal dan berbagai kebudayaan yang berbeda.
Kebudayaan Sebagai Teks
Penggunaan semiotika dalam analisis objek kebudayaan hanya dimungkinkan bila
semua objek tersebut dipandang sebagai serangkaian tanda bermakna. Artinya, diperlukan

63
semacam metafora bahasa dalam analisis kebudayaan, yaitu melihat kebudayaan sebagai
fenomena bahasa. Sebagaimana dikatakan oleh Rosalind Coward & John Ellis, dalam
Language and Materialism, bahwa seluruh praktik sosial (dan kultural) harus dipandang
sebagai makna, signifikasi dan sirkuit pertukaran di antara subjek (exchange), dan dengan
demikian harus bersandar pada model bahasa (linguistics) sebagai alat membentangkan
struktur, sistem dan maknanya. Dengan perkataan lain, agar kebudayaan dapat dianalisis
melalui pendekatan semiotika, maka kebudayaan harus dilihat sebaga teks, yaitu rangkaian
tanda-tanda bermakna, yang diatur berdasarkan kode atau aturan-aturan tertentu.
Dalam pengertiannya yang luas, teks adalah setiap produk dari discourse, yaitu produk
dari tindak penggunaan dan pertukaran tanda. Teks adalah suatu wujud penggunaan tanda
dalam kehidupan sosial. yaitu berupa kombinasi seperangkat tanda, yang dikombinasikan
dengan cara dan kode tertentu dalam rangka menghasilkan makna tertentu. Wacana dalam
kaitan ini, diartikan sebagai setiap tindak penggunaan bahasa. Dengan demikian, dalam
pengertiannya yang luas, teks adalah produk dari setiap tindak penggunaan bahasa. Dalam
pengertian yang lebih sempit, teks adalah pesan-pesan tertulis, yaitu produk bahasa dalam
bentuk tulisan (written text), seperti buku, novel, puisi, artikel koran. majalah, catatan harian,
prasasti, kitab suci.
Dalam pengertiannya yang luas itulah, teks didefinisikan sebagai pesan-pesan-baik yang
menggunakan tanda verbal maupun visual- yang menghasilkan teks verbal dan teks visual.
seperti gambar iklan. televini, komik, film, fashion, seni tari, teater, patung, arsitektur, tata
kota Teks verbal dibedakan lagi antara t) teks oral, yang secara sempit disebut discourse, dan
2) teks tertulis, yang secara sempit disebut sebagai teks seperti teks sastra, paist, novel, teks
hukum, surat piagam, nota, prasasti Teks visual adalah teks, yang melibatkan di dalamnya
unsur-unsur visual seperti gambar ilustrasi, foto, lukisan atau citra rekaan komputer Di antara
yang termasuk ke dalam teks visual ini antara lain: adverting text teks failion, teks televisi,
teks sent (parang, lukisan, tart, teater), teka objek (komodite), reks arsitektur Semua teks ini
adalah produk dan kebudayaan.
Dalam konteks cultunal studies, keberadaan tanda dan teks tidak dapat dilepaskan dari
kanteks sosial di mana tanda dan teks itu berada Tanda dan teks hanya dapat berfungsi bila ia
digunakan oleh komunitas atau masyarakamya. Artinya, sistem tanda dan sistem teks tidak
dapat dilepaskan dari sistem sosial dan sistem budaya di mana tanda dan teks itu berada,
sebagai kesatuan yang menyeluruh dan melingkupi.

Sistem Bahasa dan Sistem Budaya


Oleh karena tanda merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya,
maka ia juga merupakan bagian dari aturan-aturan sosial yang berlaku di dalam masyarakat
dan kebudayaan itu. Di satu pihak ada sistem tanda dan di pihak lain ada sistem sosial (socio-
cultural system), yang keduanya saling berkaitan dalam membentuk sebuah wacana
bermakna Dalam hal ini, di dalam setiap komunitas bahasa ada konvensi
sosial yang mengatur penggunaan tanda secara sosial yaitu pemilihan pengkombinasian
dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu, dan mengikuti aturan main tertentu yang
disepakati secara sosial,

64
Penggunaan semiotika struktural dalam analisis objek-objek kebu dayaan, baik pada
tingkat tanda maupun teks, memerlukan pemahaman mendalam terhadap konsep-konsep
kunci di dalam semiotika struktural itu sendiri. Beberapa konsep kunci tersebut merupakan
elemen-clemen kunci dalam analisis teks, sebagaimana akan dijelaskan berikut ini:
A. Langue dan Parole
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pembedaan yang dibuat Saussure antara langur
dan parole sangat penting dalam bidang cultural student. Sebagaimana dikemukakan oleh
Jonathan Caller perbedaan antara longue dan parole ini mempunyai konsekuensi yang lebih
luas pada bidang bidang di luar lingusitik disebabkan secara esensial ia merupakan perbedaan
antara institusi dan event antara sistem yang memungkinkan berbagai tindak tanduk sosial
dan contoh-contoh aktual tingkah laku sendiri atau dengan analogi yang lebih ekstrim, antars
sebuah kitab dan bagaimana setiap orang mengamalkan kitab itu
Langue adalah bahasa dalam wujud sistemnya, yang seperangkat relasi dan aturan yang
mengatur unsur-unsur tanda yang disepakati bersama di dalam masyarakat. Dalam kerangka
langue in Saussure menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua
bidang seperti halnya selembar kertas-yaitu, bidang penanda dan bidang petanda. Penanda
adalah sesama yang bersifat material dan konkrit, dengan perkataan lain, wujud bentuk atau
ekspress dari bahasa sementara peranda adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan tak
tertangkap indera, untuk menjelaskan konsep atau makna di balik penanda yang konkrit in
yang meskipun demikian, tak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Parole adalah bahasa pada tingkat penggunaannya di dalam ma syarakat. Parole adalah
pengkombinasian tanda-tanda secara konkret berupa ucapan, ekspresi, gerak rubuh, tindakan,
atau produksi objek objek berlandaskan pada perbendaharaan tanda yang ada serta aturan
main yang telah disepakati bersama. Parole adalah bagaimana setiap pengendara mobil
menggunakan sistem tanda lalu lintas itu dengan caranya masing masing (ekspresi). Setiap
ekspresi budaya (sastra, tan sen rupa, mfan produk, arsitektur) adalah bahasa pada tingkat
parole ini

B. Struktur Tanda
De Saussure menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua
bidang seperti selembar kertas, yaitu bidang penanda untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi
dan bidang petanda untuk menjelaskan konsep atau makna penanda dan konsep di baliknya.
Seikat bunga yang diberikan pada seseorang (penanda) tidak bisa dipisahkan dari konsep
cinta atau kasih sayang di baliknya (petanda). Bunga yang tidak mengandung konsep di
baliknya bukanlah tanda.
Dalam kaitannya dengan model tanda ini (tanda/penanda/petanda), Saussure
menekankan pentingnya konvensi sosial yang mengatur relasi antara wujud konkrit sebuah
tanda dengan konsep abstrak atau mak- nanya Sebuah penanda mempunyai makna tertentu
disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa tentang makna
tersebut."
Struktur tanda Saussurean ini akan lebih sempurna bila dilengkapi dengan analisis
jenis atau tipologi tanda, yang tidak dijelaskan oleh Saussure, akan terapi oleh ahli semiotika

65
Amerika, Charles Sander Peirce. Peirce membedakan tiga jenis tanda, yaitu ikon, indeks dan
simbol. Ikon adalah tanda yang mempunyai hubungan keserupaan atau peniruan dengan
objek rujukannya; indeks adalah tanda yang mempunyai hubungan sebab-akibat dengan
objek rujukannya; dan simbol adalah tanda yang mempunyai hubungan arbiter dengan
objeknya, yaitu hubungan yang sewenang-wenang arau artifisial.

C. Kode
Di balik sebuah tanda atau teks kebudayaan, ada kode tertentu yang mengatur
pengkombinasian elemen-elemen tanda dan maknanya. Agar mampu memproduksi makna,
struktur bahasa dikendalikan oleh aturan main tertentu, yang disepakati secara sosial. Adalah
konvensi ini yang membatasi kemungkinan pengkombinasian tanda, sehingga bahasa tidak
sepenuhnya sewenang-wenang. Analisis semiotika struktural terhadap objek-objek
kebudayaan menaruh perhatian pada relasi sistemik antara perbendaharaan tanda,anuran
pengkombinasiannya (code), serta konsep-konsep yang berkaitan dengannya. Ada kode
tertentu yang melandasi pengkombinasian elemen-elemen randa, yang berlaku di dalam
sebuah komunitas bahasa. Kode adalah seperangkat aturan atau konvensi bersama yang di
dalamnya tanda-tanda dapat dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan di-
komunikasikan dari seseorang kepada orang lain. Kode didefinisikan oleh Umberto Eco
sebagai "...aturan yang menghasilkan tanda-tanda sebagai penampilan konkritnya di dalam
hubungan komunikasi." Berdasarkan definisi tersebut, kesepakatan sosial di antara anggota
komunitas bahasa menyangkut tanda dan maknanya merupakan keharusan di dalam semio
tika struktural.

D. Aksis Tanda
Di dalam setiap kebudayaan selalu ada perbendaharaan tanda (kata- kata, kamus
visual, bahasa tubuh, bahasa gesture, bahasa gambar, kamus simbol), yang dapat dipilih dan
dikombinasikan berdasarkan aturan main tertentu. Aturan main tersebut (gramar, sintaks,
gramar visual, aturan gambar, gramar film, dsb.) membatasi kemungkinan pengkombinasian
tanda-tanda, sehingga mampu menghasilkan berbagai kombinasi berbeda yang bermakna.

Prinsip perbedaan (difference) inilah yang dikatakan oleh Saussure sebagai hakikat dari
bahasa. Bahasa tak lain dari prinsip perbedaan. Perbedaan hanya dimungkinkan lewat
beroperasinya dua aksis bahasa yang disebutnya aksis paradigma dan aksis sintagma.
Paradigma adalah satu perangkat tanda (kamus, perbendaharaan kata) yang melaluinya
pilihan-pilihan dibuat, dan hanya satu unit dari pilihan tersebut yang dapat dipilih. Sintagma
adalah kombinasi tanda dengan tanda lainnya dari perangkat yang ada berdasarkan aturan
tertentu, sehingga menghasilkan ungkapan bermakna."

Di dalam semiotika struktural, tanda tidak dapat dilihat hanya secara individu, akan tetapi
dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lainnya di dalam sebuah sistem. Menurut
Roland Barthes, analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar ini

66
(kalimat, buku, kitab) melibatkan apa yang disebut aruran pengkombinasian, yang terdiri dari
dua aksis, yaitu aksis paradigmatik, yaitu perbendaharaan tanda atau kata (seperti kamus),
serta aksis sintagmatik, yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan
aturan atau kode tertentu, sehingga dapat menghasilkan ekspresi bermakna."
Aksis bahasa yang dikembangkan Saussure dan Barthes ini sangat pen- ting dalam analisis
berbagai sistem signifikasi di dalam budaya benda. seperti sistem fashion, sistem makanan,
sistem arsitektur, sistem iklan, sistem objek, dsb.

E. Tingkatan Tanda
Ada berbagai tingkatan tanda di dalam semiotika, yang memungkinkan untuk
dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat. Barthes menjelaskan dua tingkat dalam
pertandaan, yaitu denotasi dan konotasi. Denotan adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada
realitas, yang menghasilkan makna ekplisit, langsung dan pasti. Denotasi adalah tingkatan
pertandaan yang paling konvensional di dalam masya rakat, yaitu elemen-elemen tanda yang
maknanya cenderung disepakati secara sosial
Konorasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda,
yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti
(artinya, terbuka terhadap berbagai kemungkman tahiran) la menciptakan makna-makna lapis
kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti
perasaan, emosi atau keyakinan, yang disebut makna konoratif.
Selain itu, Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya akan tetapi lebih bersifat
konvensional yaitu makna-makna yang ber kaitan dengan mitos dalam pemahaman semiotika
Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter aras
kunorarit) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.

F. Tanda dan Mitos


Setiap kebudayaan memiliki berbagai kekayaan mitos, yang hidup dan berkelanjutan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mitos-mitos tersebut hanya dapat hidup dan
diwariskan melalui semacam kendaraan, yaitu kendaraan bahasa dan tanda. Dengan
perkataan lain, mitos selalu menampakkan dirinya melalui tanda-tanda sebagai kendaraan
semio- niknya.
Menurut Roland Barthes, mitos menampakkan dirinya pada ting- katan semiotik lapis kedua,
yang disebutnya tingkat konotatif Barthes menyebut tingkatan tanda yang penandanya
mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi-dan sebaliknya tingkat
keterbukaan makna yang rendah-sebagai denorasi, yaitu tanda yang menghasilkan makna-
makna eksplisit. Sementara, tingkatan tanda yang penandanya mempunyai ciri keterbukaan
makna disebutnya konotasi, yaitu penanda yang dapat menghasilkan makna lapis kedua yang
bersifat implat. tersembunyi atau makna konotarif.
Mitos, menurut pandangan Barthes, beroperasi pada tingkatan tanda lapis kedua, yang
maknanya sangat bersifat konvensional yaitu disepakati (bahkan dipercayai) secara luas oleh
67
sebuah anggota masyarakat. Mitos, dalam pemahaman semiotika Barthes, adalah pengkodean
makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter, terbuka, plural dan komoratif) sebagai
sesuatu yang dianggap alamiah. Artinya, mitos menambarkan atau mematok (anchorage)
makna yang sebetulnya mengapung bebas dan terbuka menjadi makna yang pasti dan
terpatok.

G. Relasi Antar Tanda


Selain mitos, setiap kebudayaan juga kaya dengan berbagai per- umpamaan atau
metafora yang digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan berbagai pesan secara tidak
langsung di dalam berbagai media dan ekspresinya. Metafora banyak digunakan di dalam
berbagai produk kebudayaan, seperti iklan, film atau arsitekrar.
Di dalam semiotika, metafora dibicarakan dalam konteks relasi antar tanda, yaitu bagaimana
sebuah sistem tanda berkaitan dengan sistem- sistem tanda lainnya di dalam berbagai relasi
yang kompleks. Meskipun relasi di antara sistem-sistem tanda ini sangat terbuka luas, akan
tetapi ada dua bentuk interaksi utama yang dikenal di dalam semiotika, yaitu relasi metafora
dan metonimi.
Metafora adalah model relasi antar tanda, yang di dalamnya tanda dari sebuah sistem
digunakan untuk menjelaskan makna untuk sistem lainnya. Misalnya penggunaan metafora
"kepala baru" untuk menjelaskan seseorang yang tidak mau diubah pikirannya. Metonimi
adalah interaksi tanda, yang di dalamnya sebuah tanda diasosiasikan dengan tanda lain. yang
di dalamnya terdapat hubungan bagian dengan keseluruhan. Misal nya, tanda botol (bagian)
untuk mewakili pemabuk (total). Arau, tanda mahkota untuk mewakili konsep tentang
kerajaan.
Memahami Kode-kode Kebudayaan
Analisis semiotika kebudayaan beroperasi pada dua jenjang analisis. Pertama, analisis tanda
secara individual, misalnya jenis tanda, kode tanda, relasi antar tanda dan makna tanda secara
individual. Kedua, analisis tanda sebagai kelompok atau kombinasi, yaitu kumpulan tanda-
tanda yang membentuk apa yang disebut sebagai teks.
(1) Semiotika Iklan
Iklan adalah objek kebudayaan yang sangat sentral di dalam ma- syarakat informasi
kapitalistik dewasa ini, yang di dalamnya sangat intens penggunaan tanda dan citra-citra
visual. Iklan, sebagai sebuah objek semiotika, mempunyai fungsi komunikasi langsung, yaitu
meng- komunikasikan pesan perusahaan atau lembaga tertentu. Oleh sebabs itu, di dalam
iklan, aspek-aspek komunikasi seperti pesan merupakan unsur utamanya. Metoda analisis
semiotika iklan secara khusus telah dikembangkan oleh berbagai ahlinya, misalnya oleh
Gillian Dyer, Torben Vestergaard dan Judith Williamson." Judith Williamsons, misalnya, di
dalam Decoding Advertisements, mengembangkan sebuah metode analisis iklan, yang dalam
pendekatannya mengkombinasikan pendekatan semio tika dan pendekatan psikoanalisis
Sebuah iklan selalu berisikan unsur-unsur tanda berupa objek yang diiklankan; konteks
berupa lingkungan, orang atau makhluk lainnya yang memberikan makna pada objek; serta
teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna (anchoring), meskipun yang terakhir ini tidak

68
selalu hadir dalam sebuah iklan. Ketiga unsur utama yang membangun iklan sebagai sebuah
wacana semiotika Iklan adalah sebuah ajang permainan tanda yang selalu bermain ada tiga
elemen tanda tersebut di atas yang satu sama lainnya saling mendukung
(2) Semiotika Fashion
Fashion adalah salah satu objek kebudayaan lainnya, yang sama dengan penggunaan tanda
dan citra semiotika. Berbagai ahli semiotika. seperti Barthes telah mengembangkan semiotika
khusus untuk fashion. yang menganalisis fashion sebagai sistem tanda. Selain itu, Dick
Hebdign dalam bukunya Subculture: The Meaning of Style, mengkombinasikan metode
semiotika dan metode antropologi, dalam rangka memahami tanda-tanda fashion di kalangan
kelompok-kelompok subkultur, seperti Punk, Hippies, Skin Head, dsb. Di dalam fashion
terdapat berbagai sistem, yang disebut dengan sistem fashion, seperti sistem pakaian resni,
sistem seragam militer, sistem seragam sekolah, dsb.
Meskipun demikian, fashion dapat mengalami perubahan, mulai dari yang moderent sampai
yang radikal. Perubahan tersebut mendekonstrukasi tanda, bentuk, ekspresi bahkan kode-
kode fashion yang ada sebelumnya kombinasi baru dibuat dengan mendekonstrukasi aruran-
aturan yang ada sebelumnya, seperti dapat dilihat pada sistem pakaian resmi.
(3) Semiotika Komoditi
Objek komoditi merupakan salah satu objek kebudayaan yang memperlihatkan peran yang
semakin sentral di dalam masyarakat kapitalis dewasa ini. Berbagai ahli telah
mengembangkan semiotika khusus yang menganalisis objek komoditi sebagai sistem tanda
dan semiotika. Jean Baudrillard, misalnya, di dalam The System of Object, menganalisis
semio- tika objek di dalam masyarakat kapitalis, yaitu bagaimana objek (komo- dini)
berkembang tidak lagi sekadar objek yang berfungsi utilitas, akan tetapi objek sebagai tanda
(sigis objects), yang menandai starus, kelas dan prestise sosial tertentu. Bagaimana sebuah
objek komoditi dimuati dengan citra-citra tertentu, yang memberikan status pada orang yang
menggunakannya.
Secara lebih mikro, berbagai ahli semiotika produk telah mengem- bangkan semiotika khusus
produk, yang disebut semantika produk. yang lebih memfokuskan diri pada aspek makna dari
sebuah produk dalam konteks sosialnya. Beberapa ahli semantika produk, seperti Klaus
Krippendorf, Charles Burnett, Horst Ochlke, dan Susann Vihma, dalam penelitian mereka
telah mengungkapkan kompleksitas tanda dan makna pada produk.
Berbagai perkembangan objek cultural studies kontemporer, seperti media fotograf digital
televisi, film, seni rari, seni musik, fashion, asesor ide deo klip, multimedia, holograf video
game, internet game virtual reality pace memperlihatkan keluasan lingkup dan objek kajian
cultural studies tersebut, yang tidak mungkin dibentangkan seluruhnya di dalam rulisan ini.
Berbagai objek kajian cultural studies yang luas tersebut kini telah berkembang menjadi
bidang kajian semiotika khusus, seperti semiotika televisi, semiotika video, semiotika internet
(cyber-semiotics).
Perkembangan di dalam objek dan lingkup cultural studies tersebut di atas tidak saja
berlangsung ke arah yang lebih kompleks, akan tetapi juga dengan tempo perubahan yang
semakin cepat. Kompleksitas dan kecepatan tempo perubahan objek kajian tersebut menuntut
pula peru- bahan pada pendekatan semiotika yang digunakan di dalamnya. Di dalam

69
menghadapi kompleksitas perubahan tersebut semiotika struktural sebagaimana telah
dijelaskan di dalam tulisan ini-tidak memadai lagi sebagai satu-satunya perangkat analisis
kebudayaan. Perkembangan apa yang dapat disebut sebagai semiotika post-strukturalis
mungkin dapat mengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh semiotika struktural, yang dapat
menjadi bidang kajian tersendiri.

APENDIKS 5
WAWASAN SEMIOTIKA POST-MODERNISME
Penafsiran, pencarian, dan perumusan makna-makna di dalam ke- budayaan post-modern,
pada kenyataannya, tidak saja menghadapkan para pemikir pada masalah metodologis, akan
tetapi juga epistemologis. Pada tingkat epistemologis, muncul semacam kegalauan tentang
teori estetika atau semiotika yang mampu menjelaskan cakupan, metode, dan keabsahan
pengetahuan yang digunakan dalam praktik post-modernisme sebagai landasan atau model
dalam penciptaan dan penafsiran karya. Pada tingkat metodologis muncul tuduhan-tuduhan
akan praktik seni post-modern yang dianggap irasional, (puitik), anti-metodologi (apa pun
boleh), dan anti-estetika (kitsch); namun, ironisnya, justru semua nilai- nilai rasional,
metodologis, dan estetika inilah yang ingin didekontruksi dan didevaluasi oleh post-
modernisme.
Berhadapan dengan tuduhan-tuduhan kegalauan, kekacauan, dan anarki yang ditujukan
pada praktik post-modernisme-khususnya di dalam seni-tulisan ini mengklaim, bahwa-dalam
kepekatan tertentu -terdapat landasan teoretis atau setidak-tidaknya model strategi intelektual
yang menopang praktik penafsiran dan produksi makna- makna (atau anti-makna) dalam seni
post-modern. Tulisan ini juga mengklaim bahwa penafsiran makna-makna semiotika pada
karya seni post-modern harus dilakukan pada tingkat pragmatik, yaitu tingkat produksi dan
konsumsi tanda-tanda pada karya tersebut. Ia juga harus ditinjau di dalam kerangka analisis
yang disebut Michel Foucault sebagai diskursus, yang di dalam konteks masyarakat
konsumer, dapat dijelaskan sebagai cara tertentu menyusun pengetahuan seni, praktik seni di
dalam model produksi-konsumsi komoditi, peranan dan hubungan subjektivitas, hubungan
kekuasaan yang beroperasi di balik pengetahuan dan praktik seni serta kesalingberkaitan di
antara keduanya.
Dalam praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim oleh pengirim kepada penerima pesan
diatur melalui seperangkat konvensi atau kode, yang didefinisikan Umberto Eco sebagai
"...aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkrit dalam sistem komunikasi."
Bila rantai pertandaan terputus, terjadi gangguan dalam reproduksi baha- sa, sehingga
menghasilkan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai ba- hasa skizofrenia-salah satu bahasa
dominan dalam diskursus seni post-modernisme. Seksualitas, sebagaimana yang telah dikaji
oleh Freud, terdiri dari dua kategori yang bersifat oposisi duaan sebagai satu persyaratan bagi
reproduksi manusia, yaitu sang pemilik phallus (simbol bapak) dan yang mendambakan
phallus (simbol reproduksi). Namun, ketika muncul kategori-kategori seks yang kini semakin
beraneka ragam (androgyne, masochism, pervert, dan sebagainya), maka sistem reproduksi
tersebut akan mengalami gangguan. Dalam sistem reproduksi ekonomi, Karl Marx juga
menjelaskan bagaimana hubungan jual beli barang yang didasarkan pada nilai utilitas,
diganggu oleh apa yang disebut ko- moditi dalam sistem kapitalisme. Adalah karena

70
dipertukarkan demi keuntungan (disebut Marx sebagai nilai tukar) dalam kapitalisme ko-
moditi tak lagi menjadi sekadar objek utilitas (disebut Marx sebagai nilai guna), akan tetapi
dilihat sebagai objek yang memiliki kualitas mistik tertentu-objek yang dimuati dengan
makna-makna yang memberikan status kepada individu yang memakainya. Relasi ini disebut
Marx sebagai fetisisme komoditi yaitu ...hubungan sosial tertentu antara manusia yang
diasumsikannya, dalam bentuk imajiner, sebagai hubungan di antara benda-benda."
Di dalam upaya memahami produksi tanda dan makna dalam kebudayaan post-modern,
ketiga bentuk pertukaran tersebut di atas menjadi tiga unsur yang tak dapat dipisahkan dan
saling mengisi, yaitu makna seksual menjadi komoditi, komoditi menjadi media berfungsinya
bahasa, praktik seksual menghasilkan kode bahasa baru, dan seterusnya. Selain itu,
disebabkan oleh perkembangan media massa, seksual, dan komoditi yang semakin kompleks
baik dalam bentuk dan ragamnya di dalam masyarakat konsumer, semiotika konvensional
tidak dapat lagi mengantisipasi perkembangbiakan tanda di dalam media massa; model
psikoanalisis Freud tak efektif lagi dalam menganalisis perkembangbiakan model seksual;
sebagaimana model kritik politik ekonomi Marx tidak relevan lagi dalam menganalisis
perkembangbiakan komoditi yang telah bersifat total dewasa ini. Berkaitan dengan perlunya
peninjauan kembali pendekatan semiotika dalam memahami objek-objek seni post-modern di
dalam masyarakat konsumer, Michel Foucault, menyinggung tentang keabsahan metode atau
teori epistemologi tertentu dalam melingkupi periode historis yang berbeda. Bagi Foucault,
tidak masalah bila metode atau teori epistemologi tertentu melingkupi pemikiran periode
masa lalu yang sudah mapan-mengklasifikasi dan mempelajari strukturnya; namun, timbul
masalah bila teori yang sama melingkupi pemikiran dan konsep- konsep dalam masyarakat
kontemporer, disebabkan ia melingkupi pula pikiran sang pemikir sendiri yang tengah
berkembang.
Dalam kaitannya dengan semiotika sebagai satu perangkat kajian, Richard Harland
memberikan contoh permasalahan epistemologis, yaitu masalah yang timbul ketika metode
semiotika diterapkan tidak hanya terhadap masyarakat dari periode yang berbeda, akan tetapi
terhadap masyarakat kontemporer. Antropologi struktural dan semio- tika struktural telah
berhasil dalam melingkupi sistem pertandaan masyarakat-masyarakat, yang struktur dan
sistem nilainya terutama di atur berlandaskan mitos, kekerabatan, totem, atau ideologi
tertentu yang mapan. Akan tetapi, masalahnya akan berbeda, apabila metode yang sama
diterapkan untuk melingkupi sistem pertandaan masyarakat konsumer sekarang ini, yang di
dalamnya nilai sangat dipengaruhi oleh sistem percepatan perubahan atau diferensi sebagai
ideologi kapitalisme mutakhir. Bagaimana para ahli semiotika dapat menafsirkan atau
menerapkan konsep tanda yang bersifat stabil dan pasti di dalam kebudayaan post- modern,
yang di dalamnya pemikiran sang ahli semiotika dibentuk dan dipengaruhi oleh irama
kecepatan perubahan penampakan-pada iklan, fashion, televisi, media massa, produk
konsumer; oleh permainan bahasa yang bersifat ironik dan skizofrenik, yang tentunya tidak
mapan.
Disebabkan oleh penekanannya pada konvensi dan kode ini, se- miotika yang
dikembangkan oleh Saussure cenderung menampakkan semangat idealismenya. Hal ini
disebabkan oleh pemahaman Saussure sendiri, yang tampaknya melihat individu sebagai
subjek tak lebih dari pengguna kode-kode sosial yang telah tersedia baginya. Berdasarkan
pemahaman semacam ini, Saussure tidak tertarik untuk mengkaji bahasa dari sejarah
perkembangan dan artikulasinya, melainkan lebih memusatkan dirinya pada kajian struktur

71
yang menopang bahasa itu sendiri. Strukturalisme-sebagaimana terlihat dari unsur katanya
sen- diri adalah satu kecenderungan dan aliran pemikiran yang berupaya".. menyingkap
struktur berbagai aspek pemikiran, ungkapan, dan tingkah laku manusia." Karakteristik dari
pendekatan strukturalisme ini adalah: ia tidak menaruh perhatian pada mekanisme sebab-
akibat dari satu fenomena. Sebaliknya, ia lebih menaruh perhatian pada konsep bahwa satu
totalitas yang kompleks dapat dilihat sebagai satu perangkat unsur- unsur yang saling
berkaitan satu sama lain. Sebuah unsur hanya bermakna ketika ia dikaitkan dengan perangkat
unsur-unsur secara total. Oleh sebab itu, apa yang ingin disingkap dalam analisis struktural,
bukanlah hakikat suatu unsur, melainkan relasi yang menghubungkan masing- masing unsur.
Dengan demikian, apa yang disebut makna suatu unsur pada satu kondisi pengungkapan
tertentu tidak bisa disingkap melalui tampilan formal unsur-unsur itu sendiri, melainkan
melalui hubungan pertandaan/relasional antara unsur-unsur tersebut dengan lain di dalam satu
totalitas.

Buku anumerta Saussure merupakan fondasi dalam perkembangan paham strukturalisme di


berbagai disiplin, khususnya semiotika. Ber- dasarkan konsep tentang struktur ini, Saussure
mengemukakan, bahwa bahasa tidak hanya bisa dikaji secara diakronik-dalam pengertian
perkembangan tanda dan maknanya secara historis, akan tetapi dapat juga dikaji secara
sinkronik dalam pengertian sebagai satu hubungan di antara seperangkat unsur-unsur dalam
wadah waktu yang ahistoris. Kajian sinkronik ini dijelaskan lebih lanjut oleh Saussure
dengan meng- gunakan dua konsep penting yang saling berkaitan, yaitu langue dan parole.
Langue (language) adalah sistem bahasa, atau bahasa sebagai satu sistem bentuk. Ia adalah
totalitas dari sistem dan konvensi bahasa. Siapa pun individu yang menggunakannya, sistem
ini sudah tersedia melampaui penggunanya. Para pengguna bahasa bukan pencipta konvensi.
Meskipun para pengguna bahasa beraneka ragam gaya, pilihan, dan kombinasi katanya, ini
tidak akan mempengaruhi sistem. Sistem tidak akan berubah. Parole, di lain pihak, adalah
realitas penggunaan bahasa, yaitu pengungkapan bahasa secara nyata, yang melibatkan
pemilihan dan pengombinasian khazanah kata-kata dan kode yang tersedia, untuk
menyatakan makna tertentu. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa
Saussure beranggapan langue merupakan prasyarat bagi parole adalah sistem yang
memungkinkan penggunaan bahasa secara nyata.
Dalam upaya menyingkap kode dan tanda seni post-modernisme, tampaknya perlu
dilakukan peninjauan kembali terhadap semiotika struktural sebagai satu pendekatan dalam
analisis tanda, disebabkan permasalahan epistemologis yang muncul, seperti yang
dikemukakan oleh Faucault sebelum ini. Peninjauan kembali dan pembaharuan ter- hadap
semiotika struktural ini telah ditawarkan oleh para pemikir post- strukturalis, seperti Derrida,
Foucault, Barthes, Kristeva, Deleuze & Guattari, dan Baudrillard. Dalam berhadapan dengan
teks-teks yang tak konvensional (seperti post-modernisme), para pemikir post-strukturalis ini
mengembangkan model pendekatan linguistik yang cenderung mene- kankan aspek diskursus
dari sebuah teks. Ia lebih menyoroti aspek produksi dan penggunaan tanda-tanda secara nyata
pada satu komunitas bahasa tertentu ketimbang konvensi yang menopangnya. Ia cenderung
menekankan produktivitas, perubahan historis, serta ketidakstabilan makna-makna (plural)
ketimbang mempertahankan makna ideologis yang cenderung mapan. Kecenderungan
semacam ini, menurut Richard Harland, disebabkan adanya kecondongan pada teks-teks
seperti post modernisme ini untuk menggunakan kode-kode semiotika konvensional, di mana

72
penggunaan tanda-tanda lebih dicirikan oleh sifat yang ironis, bahkan cenderung anarkis, dan
dalam hal tertentu tak bertanggung jawab. Harland menyebut tanda-tanda dikembangkan
yang di dalam tidak diskursus post-modernisme sebagai tanda-tanda anti-sosial, yaitu tanda-
tanda yang memiliki tiga kualitas utama, yaitu: ia berubah, berkembang biak, dan bersifat
materi.
Model relasi pertandaan kedua, yang dapat disebut penanda simulasi dikembangkan oleh
Jean Baudrillard." Di dalam buku ini, Baudrillard mengembangkan pisau analisis yang
bermata dua. Konsep pertandaan simulasi Baudrillard merupakan kritik terhadap konsep
fetisisme komo- diti dan politik ekonomi Marx, sekaligus serangan terhadap konsep
semiotika struktural Saussurean. Terhadap Marx, Baudrillard melihat kebuntuan teori-teori
politik ekonominya serta ketidakmampuannya dalam melihat dan meramalkan perubahan
status komoditi sebagai tanda di dalam masyarakat kapitalisme global yang semakin
kompleks dan bersifat dominan. Apa yang dilihat Baudrillard di dalam masyarakat ini adalah
penjajahan tanda-tanda dan kode-kodenya ke dalam hampir setiap komoditi, yakni
berubahnya status komoditi sebagai dispenser tanda- oleh Marx sebagai kualitas mistik dan
fetis yang melekat pada komoditi tanda dan kekuasaan (kesenangan, kapitalisme-yaitu objek-
objek yang tidak memiliki kekuatan apa-apa status, simbol). Apa yang dikritik dianggap
mempunyai daya pesona melalui tanda-tanda dan simbol- simbol yang ditawarkannya, seperti
layaknya sebuah patung berhala pada masyarakat primitif-kini, itu justru yang menguasai
diskursus ekonomi dan sosial di dalam masyarakat kapitalisme global.
Pada tingkat semiotika, dan lebih jauh lagi pada tingkat diskursus mapan, oleh karena apa
yang didambakan oleh para konsumer di dalam kapitalisme bukan lagi makna-makna
ideologis yang bersifat konvensional dan melainkan permainan bebas dan tanpa batas atas
penanda, dengan makna yang bersifat ironis dan kode-kode yang tidak stabil dan berubah-
ubah, dengan tempo dan percepatan perubahan yang tinggi-menurut Baudrillard tidak ada
gunanya lagi menyingkapkan makna atau petanda. Petanda tersebut tidak menarik perhatian
serta daya pesona lagi. Ia sudah tidak berfungsi lagi-"petanda sudah mati!" kata Baudrillard.
Di dalam relasi pertandaan semacam ini, petanda-kalaupun ada lebih berfungsi sebagai alibi,
yang memberikan peluang bagi permainan bebas penanda. "Anda boleh saja membeli fungsi
sebuah sikat gigi, akan tetapi yang kami inginkan adalah Anda terpesona oleh permainan
bentuk permukaannya!" Bagi Baudrillard, penanda-dalam wujud simulasinya tak lebih dari
duplikasi, copy, atau faksimili dari petanda ia adalah sebuah penanda murni. Artinya, acuan
referensinya adalah dirinya sendiri, bukan realitas di luar dirinya, seperti yang dikatakan
Saussure. Bila Saussure, di dalam relasi pertandaannya (penanda/petanda) menganggap
petanda sebagai satu sisi dari sekeping uang logam, yang tidak bisa dipisahkan dari sisi
lainnya yaitu petanda, Baudrillard sebaliknya berargumen, yang penting adalah permainan
bebas penanda (permukaan, tanpa referensi di luar dirinya), dalam wujud simulasi, di mana
petanda diserap sepenuhnya oleh penanda. Berkaitan dengan penanda simulasi ini, dalam
kaitannya dengan permainan tanda di dalam kebudayaan post-modern, Fredric Jameson
mengemukakan bahwa di dalam kebudayaan post-modern"... referensi dan realitas secara
bersama-sama lenyap, dan bahkan makna (petanda) dihadapkan pada satu masalah. Kita
dibiarkan di dalam per- mainan acak penanda-penanda yang kita sebut post-modernisme,
yang tidak lagi menghasilkan karya-karya monumental seperti modernisme, akan tetapi
secara tak henti-hentinya mengaduk-aduk fragmen-fragmen teks sudah ada.

73
Bila relasi pertandaan simulasi Baudrillard ini dibandingkan dengan relasi pertandaan
dalam diskursus seni dari berbagai zaman, maka secara umum dapat dibedakan antara tiga
zaman dan tiga model relasi pertandaan yang berbeda, sebagai berikut :

ERA PRINSIP RELASI PERTANDAAN

Klasik / Pramodernisme Form Follows Meaning Penanda/Makna Ideologis

Modernisme Form Follows Function Penanda/Fungsi

Penanda/Penanda Makna
Post-modernisme Form Follows Fun
Ironis
Di dalam era klasik atau pramodernisme, seni merupakan satu ritual yang sudah mapan
secara konvensional melalui kombinasi tanda- diskursus s yang berfungsi menyampaikan
pesan-pesan ideologis atau spi- tanda dan kode-kodenya. Pada Abad Pertengahan, misalnya,
seni lebih banyak diwarnai oleh upaya semiotika dalam menyampaikan wahyu, ajaran atau
kebenaran, lewat ikon-ikon. Plato mengatakan, bahwa seni mendahului sebuah karya seni.
Dari sini dapat dilihat bahwa apa yang adalah upaya representasi mimesis dari realitas-
realitas/alam yang secara umum berkembang pada era pramodernisme adalah paham
idealisme dalam seni. "Bahwa pada sebuah batu, dewa, atau Tuhan telah menanamkan
makna-makna. Apa yang dilakukan sang seniman tak lain dari menyingkapkan dan menggali
makna-makna yang sudah tertanam ini." Oleh sebab itu, diskursus seni pramodern secara
umum dapat digambarkan melalui sebuah prinsip: form follows meaning, yang di dalamnya
bentuk (penanda) selalu bermuara pada makna-makna ideologis atau spiritual yang telah
tersirat.
Di dalam era modern, khususnya pada seni modernisme, seni berubah menjadi satu
diskursus yang menolak keterkaitannya pada makna-makna ideologis atau spiritual yang telah
disiratkan tersebut. Seni berupaya menolak makna-makna yang berasal dari luar seni itu
sendiri. Ia berupaya melepaskan diri dari perangkap mitos, tradisi, kepercayaan, konvensi
sosial. Sebagai sebuah relasi pertandaan, seni modernisme menolak merujukkan seni pada
referensi realitas sosial. Sebagai penggantinya, modernisme mengajukan prinsip form follows
function, yang di dalamnya setiap ungkapan bentuk (penanda) pada akhirnya akan
menyandarkan maknanya pada aspek fungsi dari satu objek. Istilah fungsi di dalam objek
pakai mengacu pada nilai utilitas yang dapat diberikan oleh objek. Di dalam seni murni,
fenomena fungsi ini dapat dijelaskan melalui istilah lain, yaitu formalisme. Di dalam
ungkapan seni formalisme, sebuah bentuk dikatakan bermakna, bukan berdasarkan relasi
strukturalnya dengan realitas di luar bentuk tersebut, melainkan relasi formal di antara
elemen-elemen (garis, bidang, ruang, warna) yang membangun bentuk tersebut, dan sekaligus
menentukan fungsinya.
Berdasarkan semiotika struktural yang dikembangkan Saussure, Roland Barthes
mengembangkan dua sistem pertandaan bertingkat, yang di- sebutnya sistem denotasi dan
konotasi." Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai
penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda dan konsep abstrak yang ada di
baliknya. Pada sistem konotasi-arau sistem pertandaan tingkat kedua- rantai penanda/petanda
pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain

74
pada rantai pertandaan lebih tinggi. Menurut Barthes, pada tingkat denotasi, bahasa
menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang
makna tandanya segera tampak ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya.
Sebaliknya, pada tingkat konotasi, bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya
bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi.
Makna tersembunyi ini adalah makna, yang menurut Barthes, merupakan kawasan dari
ideologi atau mitologi. Apa yang segera tampak dari rantai pertandaan bertingkat Barthes ini
adalah pandangan strukturalnya bahwa apa pun bentuk pertandaan denotatif, ia pada akhirnya
harus mengandung di dalam dirinya rantai pertandaan dan makna-makna ideologi. Akan
tetapi, pada tulisan-tulisan periode post-strukturalisnya, Barthes sendiri membongkar sistem
pertandaannya.Barthes, misalnya, merombak rantai pertandaan sedemikian rupa, sehingga
tingkatan per- tandaan menjadi tidak absolut lagi, atau bahkan terbalik sama sekali.
Sebagaimana yang dikemukakannya"...denotasi bukanlah makna tingkat pertama, ia hanya
seakan-akan seperti itu; dalam kesemuan seperti itu, denotasi sesungguhnya tak lebih dari
konotasi.
Istilah kode di dalam The Concise Oxford Dictionary of Literary Terms didefinisikan
sebagai "...seperangkat aturan atau konvensi secara kolektif, yang melaluinya tanda-tanda
dapat dikombinasikan, agar yang memungkinkan sebuah pesan dapat dikomunikasikan dari
seseorang dimiliki ke orang lainnya." Istilah kode mendapatkan tempat yang penting di dalam
semiotika struktural, oleh karena kode adalah cara bagaimana tanda-tanda dalam sebuah teks
dapat mengangkat makna-makna kon- vensional yang sudah ada. Di sini, tidak ada tempat
bagi permainan kode-kode. Berkaitan dengan eksistensi sebuah kode, Umberto Eco
mengemukakan bahwa sebuah kode hanya dapat dikatakan eksis, bila ada seperangkat
kemungkinan makna yang dapat dihasilkannya, yang dapat diperkirakan makna tersebut
berdasarkan relasi antara penanda dan petandanya." Apa pun tanda-tanda yang digunakan dan
bagaimanapun cara ia dikombinasikan lewat kode-kode, makna-makna tertentu harus
diasumsikan dari pengombinasian kode-kode tersebut. Dalam kaitan antara kode dengan
produksi teks, Eco menjelaskan lebih lanjut konsep ...penga- kode tersebut. Menurut Eco,
dalam memproduksi sebuah teks"... rang harus bergantung pada seperangkat kode yang
menentukan makna ungkapan yang digunakannya. Untuk menjadikan teksnya komunikatif,
sang pengarang harus berasumsi, bahwa rangkaian kode tempat ia me- nyandarkan teksnya
harus sama dengan kode-kode yang dimiliki dan dipahami secara kolektif oleh para calon
pembacanya."
Pengarang, dalam hal ini, harus mengandaikan model calon pembaca teksnya, yang
diperkirakan dapat memahami makna-makna, dengan cara yang sama pengarang
memahaminya. Meskipun demikian, oleh karena kode-kode ini sendiri berasal dari berbagai
segmentasi kebudayaan atau unit kebudayaan yang berbeda-beda dan dapat saling
mempengaruhi satu sama lainnya (seperti tempat, orang, benda, perasaan, keadaan, fantasi,
halusinasi, ilusi, harapan atau ide-ide) terdapat kemungkinan tidak se- suainya antara apa
yang dimaksud pengarang dan apa yang dipahami dan dikonotasikan oleh para pembaca.
Menurut Eco, "Bermacamragamnya kode, konteks, dan situasi, memperlihatkan kepada kita,
bahwa pesan yang sama dapat dipahami kodenya dari sudut pandang yang berbeda, dan
dengan referensi pada sistem-sistem konvensi yang beragam." Pada tingkat denotasi, para
pembaca mungkin bisa menyingkapkan makna yang sama dengan apa yang dimaksudkan
pengarang: akan tetapi, pada tingkat konotatif atau pada tingkat ideologis, para pembaca

75
mungkin saja mengikuti jalur dan jejak unit kebudayaan yang berbeda dengan jalur yang
diikuti pengarang, sehingga kemungkinan besar mereka akan menangkap makna-makna
konotatif yang berbeda sama sekali. Ini memperlihatkan, bahwa di dalam produksi dan
konsumsi teks atau dis- kursus tidaklah mudah memastikan nilai komunikatif sebuah teks, di-
sebabkan keanekaragaman jalur kebudayaan tersebut di atas.
Dalam kaitannya dengan keanekaragaman jalur kebudayaan tersebut serta pengaruhnya
terhadap keanekaragaman produksi teks, teori tentang kode yang dikemukakan oleh Barthes
sangatlah berguna, khususnya dalam memahami kode-kode bahasa estetik. Di dalam
bukunya. Barthes mengembangkan teori kodenya dengan konstruksi atau membongkar teks
Balzac, Sarrasine, yaitu dengan mecahnya menjadi beberapa bagian untuk dikaji,
memberinya nomor dan kemudian merekonstruksinya kembali menjadi 48 tema. Dari ke- 48
tema-tema itu Barthes menghasilkan konstruksi lima macam kode berbeda, atau yang
disebutnya secara lebih populer kode yang lima, yaitu kode hermeneutik, semantik, simbolik,
proairetik, dan kultural. Kode hermeneutik adalah kode yang mengandung unit-unit tanda
yang secara bersama-sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai cara dialektik
pertanyaan-respons, yang di dalam prosesnya jawaban atau kesimpulan (cerita)
ditangguhkan, sehingga menimbulkan semacam enigma. Di dalam novel, misalnya, pembaca
digiring dari satu pertanyaan ke pertanyaan lain (misalnya siapakah sang pembunuh?") dan
kesimpulan baru ada pada akhir cerita. Kode semantik adalah kode yang berada pada
kawasan penanda, yakni penanda khusus yang memiliki konotasi, atau penanda yang
materialitasnya sendiri tanpa rantai pertandaan pada tingkat ideologis-sudah menawarkan
makna konotasi. Sebagai contoh, makna konotatif yang terdapat pada nama, misalnya
Pariyem. Di dalam komunitas bahasa Jawa, akhiran yem pada nama seseorang, sudah
langsung menawarkan konotasi, tidak saja konotasi femininitas, akan tetapi juga asal
geografis dari nama, yaitu ndeso. Kode simbolik adalah kode yang mengatur kawasan anti-
tesis dari tanda-tanda, di mana satu ungkapan atau tanda meleburkan dirinya ke dalam
berbagai substitusi, keanekaragaman penanda dan referensi, sehingga menggiring kita dari
satu kemungkinan makna ke kemungkinan lainnya dalam indeterminansi Kode simbolik
adalah kode yang juga mengatur aspek tak sadar dari tanda, dan dengan demikian merupakan
kawasan dari psikoanalisis. Kode proairetik adalah kode yang mengatur alur satu cerita atau
narasi. la disebut juga kode aksi. Setiap aksi dalam satu cerita dapat dipilah lagi menjadi sub-
bagiannya yang secara berurutan, dan urutan-urutan ini hanya dapat dilihat dalam proses
membaca satu aksi dalam konteks totalitasnya. Aksi tertentu berdasarkan logika tertentu
seorang pembaca memperkirakan aksi sebelum dan aksi berikutnya. Kode kebudayaan adalah
kode yang mengatur dan membentuk suara- memampukan suara kolektif dan anonim dari
pertandaan, yang berasal dari pengalaman manusia dan tradisi yang beraneka ragam. Unit-
unit kode ini dibentuk oleh beraneka ragam pengetahuan dan kebijaksanaan yang bersifat
kolektif.
Bagi Barthes, proses berkarya adalah proses silang menyilangnya lima kode tersebut di
atas, yang menciptakan semacam jaringan kode- kode, yang disebutnya topos." Sebuah teks
yang dibentuk oleh topos, meskipun demikian, bukanlah teks yang monolitik, stabil, dan
otonom yang memiliki makna ideologis yang mapan-akan tetapi, tak lebih dari jaringan
kutipan, fragmen tanda dan kodenya yang sudah ada sebelumnya, yang asal-muasalnya sudah
tidak jelas lagi. Menurut Barthes, sebuah teks terbentuk dari "...banyak sekali fragmen dari
sesuatu yang telah dibaca, dilihat, dilakukan, dialami; kode adalah kebangkitan dari yang

76
telah ada tersebut." Kode-kode Barthes tersebut di atas, dalam kaitannya dengan dis- kursus
seni, sangatlah berguna sebagai alat dalam memahami tanda dan bahasa estetik post-
modernisme, yang salah satu strateginya adalah penggunaan kembali unsur-unsur dan idiom-
idiom masa lalu yang sudah ada, sudah ditulis, dibaca, diungkapkan dalam ajang
eklektikisme tanda dan kode-kode. Tanda dan kode-kode di dalam teks post-modernisme
tersebut tidak mengandaikan satu kesatuan teks yang monolitik dan homogen, akan tetapi
menggiring ke arah kontradiksi dan anti-tesis tanda. Sebuah teks post-modernisme bukanlah
sebuah produk selesai, yang dihasilkan melalui satu kode yang hegemonik, dan stabil,
sehingga menjadi sebuah teks Grand Recit-melainkan, sebuah perspektif yang berisikan
fragmen-fragmen dari suara-suara, dari teks-teks lain yang beraneka ragam, dari kode-kode
yang tumpang tindih. Sebuah teks post-modernisme bukanlah sebuah recit yang
menghasilkan makna tunggal atau pesan tunggal pengarang (seperti pada teks modernisme)
melainkan, sebuah ruang multidimensional, yang di dalamnya berbaur, bercampur aduk dan
berinteraksi berbagai macam tulisan, yang tak satu pun di antaranya yang orisinil. Teks post-
modernisme adalah sebuah jaringan kutipan tanda-tanda dan kode-kode yang berasal dari
berbagai periode, tempat, dan kebudayaan yang berbeda-beda. Tidak hanya pluralisme tanda
yang ditawarkan oleh teks post-modernisme, tetapi, yang lebih penting, jaringan interaksi,
dialog, dan persinggungan dari tanda-tanda yang berasal dari periode, tempat, dan
kebudayaan yang berbeda ini. Pluralisme tanda di dalam post-modernisme harus diiringi oleh
eklektikisme tanda dan kode. Kode yang lima yang dikembangkan Barthes merupakan
metode dalam menggali, mengangkat kembali, dan mengkombinasikan fragmen-fragmen
kutipan dan tanda-tanda mela- lui satu proses yang disebut Coward & Ellis sebagai rekoleksi
sirku- satu peluang ler." Rekoleksi tanda atau idiom-idiom estetik yang telah terkubur di
bawah monumen modernisme, tampaknya, merupakan bagi penjelajahan ke dalam
kemungkinan-kemungkinan estetik melalui permainan tanda dan kode, yang mampu
menghasilkan pluralitas tekstual.
Penyingkapan kode (decoding) di dalam pengertian semiotika, secara sederhana berarti
pencarian kode tertentu, yang membentuk satu ekspresi bahasa, dan dengan demikian
berfungsi sebagai pembentuk makna dari ekspresi tersebut. Penyingkapan kode, dengan
demikian, berarti "pencarian makna-makna yang dikodekan."" Adalah Judith Williamsons
yang mengembangkan seperangkat metode penyingkapan kode pada objek-objek
kebudayaan, khususnya iklan." Meskipun Williamsons lebih memusatkan perhatiannya pada
diskursus periklanan dan media massa, akan tetapi metodenya sangat relevan dalam
menyingkap kode- kode objek kebudayaan pada umumnya. Pendekatan Williamsons dalam
memahami kode lebih banyak dipengaruhi oleh post-strukturalisme ketimbang
strukturalisme, oleh karena ia tidak terlalu terpengaruh oleh semata struktur. Sebaliknya, ia
melihat pentingnya relasi historis pada tanda, yakni relasi masa lalu, masa kini, dan masa
mendatang dari tanda.
Williamsons mengawali tulisannya dengan mengemukakan pan- dangannya tentang objek
(khususnya iklan) sebagai tanda atau sebagai fenomena semiotika. Sebagai sebuah tanda,
objek bertindak sebagai atau mewakili sesuatu, apakah sesuatu itu berupa konsep atau
perasaan. Dalam hal ini sejalan dengan konsep semiotika struktural-sebuah objek berfungsi
sebagai penanda, yang mewakili secara konkrit petanda, dan secara bersama-sama
membangun sebuah tanda. Akan tetapi, pe tanda ini-bila dalam pandangan linguistik
Saussurean diklaim sebagai makna-dalam pandangan Williamsons, ia dapat (dan hanya

77
dapat) menghasilkan makna tertentu, bila ada penerima tanda atau manusia konkrit yang
dalam sistem kepercayaannya dan situasinya menerima tanda-ia memahami petanda sebagai
makna. Dalam hal ini, menurut Williamsons, ...sebuah tanda mewakili sesuatu untuk
seseorang.
Apabila konsep ruang individual yang dimaksud Williamsons di- tarik garis lurus dengan
konsep ruang yang dikembangkan oleh para pemikir post-strukturalis, seperti Barthes (ruang
multidimensional), Derrida (ruang differance), Kristeva (ruang intertekstualitas), Baudrillard
(ruang hiper-realitas), maka kita dapat melihat relevansi pendekatan Williamsons pada
khususnya, dan pendekatan post-strukturalis pada umumnya dalam menyingkap tanda dan
kode-kode bahasa estetik post- modernisme, yang berada tidak saja di kawasan multidimensi
tanda, kode, dan makna, akan tetapi juga multidimensi ruang dan individu yang mendiami
ruang. Bila Barthes dan Kristeva melihat karya atau tulisan sebagai sebuah ruang multi-
dimensional-layaknya sebuah topografis yang penuh dengan aneka ragam kontur kutipan
tanda-tanda, yang di atasnya terjadi satu hubungan intertekstualitas: pengarang-kutipan- teks,
konsep ruang Williamsons berkaitan dengan multidimensi pem- bacaan atau penyingkapan
makna sebuah teks, yang di dalamnya terbentuk hubungan penanda-pembaca petanda.
Dalam upaya memahami serta menyingkap tanda dan kode seni post-modernisme,
penyesuaian dan pengombinasian metode perlu kira- nya dilakukan, khususnya memperluas
pengertian ruang. Pengertian ruang dalam relasi pertandaan harus diperluas kawasannya,
sehingga ia melingkupi ruang individual, ruang kutipan dan ruang simulasi. Ke-
anekaragaman konsep pertandaan, ruang, dan subjektivitas ini meng- gambarkan dinamika
dalam pemahaman tanda dan kode seperti yang dikemukakan Williamsons, dan sekaligus
pluralitas tekstual post-modernisme itu sendiri. Pendekatan tersebut di atas lebih sesuai digu-
nakan untuk memahami dan menyingkap tanda dan kode-kode seni post-modernisme, oleh
karena di dalam seni post-modernisme sendiri, kawasan yang tersedia bagi relasi pertandaan
yang final, selesai, stabil seperti yang diinginkan strukturalisme semakin sempit. Di antara
idiom idiom estetik post-modernisme yang plural, model pertandaannya lebih cenderung
berupa penanda/penanda' (pastiche, parodi) atau penanda par excellence' (kitsch, camp,
skizofrenia) sebagaimana yang akan dijelaskan pada bab berikut ini.

APENDIKS 6
GAYA, ESTETIKA, POST-MODERNISME
Di dalam The Concise Oxford Dictionary of Literary Terms, gaya didefinisikan sebagai
"...cara tertentu menggunakan bahasa yang karak- teristik seorang pengarang, mazhab,
periode, atau genre" Suatu gaya dapat dicirikan oleh sintaks, citraan, irama, penggunaan
figur, atau oleh sifat-sifat bahasa lainnya. Perbedaan pada kategori-kategori gaya dibuat
berdasarkan pengarang atau seniman tertentu (Ciceronian), periode (Vic- torian, Renaisans),
atau profesi (jurnalistik, ilmiah). Di zaman Renai- sans, gaya dikelompokkan menjadi tiga
kelompok berdasarkan tingkatan bawah.

78
Sosialnya, yaitu gaya tinggi, gaya menengah, dan gaya b Meyer Schapiro, sebagaimana
yang dikutip oleh Walker, mende- finisikan gaya sebagai "...bentuk...elemen, kualitas, dan
ekspresi yang konstan dalam karya seni seorang individual atau satu kelompok. " Definisi
Schapiro, dalam hal ini, hanya menyorot permukaan atau kualitas formal dari objek seni,
tanpa menyinggung apa yang ter- sembunyi di belakang bentuk tersebut, yaitu yang disebut
kandungan makna. Judith Genova, di lain pihak, mengemukakan, bahwa "...gaya diciptakan
melalui perkawinan antara bentuk dan kandungan isi, dengan cara tertentu, sehingga bentuk
mengekspresikan, yaitu secara metaforik menggambarkan kandungan isi."
Seakan-akan untuk menengahi konflik definisi antara Schapiro dan Genova, Susan Sontag,
mengemukakan, bahwa gaya, dari sudut pandang teknis, "...tak lebih dari idiom tertentu yang
digunakan (seniman) untuk menyusun bentuk seninya."Oleh sebab itulah, menurut Sontag,
masa- lah yang ditimbulkan oleh konsep gaya mengacu lebih daripada seka- dar masalah
bentuk, yang lebih jauh melingkupi masalah kehendak (will) di balik bentuk tersebut-sebuah
konsep yang sebelumnya telah dipopulerkan oleh Nietzsche. Bagi Nietzsche, adalah
kehendak akan kekuasaanlah yang melatarbelakangi praktik-praktik seni pada umumnya.
Seni tidak saja merupakan satu representasi dari kekuasaan, akan tetapi lebih dari itu, ia
adalah satu bentuk kekuasaan itu sendiri. Michel Foucault melihat bahwa hubungan
kekuasaan selalu menyertai satu bentuk wacana apa pun, termasuk wacana seni. Ada bentuk-
bentuk kekuasaan khususyang beroperasi pada setiap wacana seni, dan juga pada setiap gaya
yang dihasilkannya. Hal ini akan dijelaskan pada bab selanjutnya. Di antara definisi-definisi
gaya yang kontradiktif tersebut di atas, Nicos Hadjinicolaou, dengan caranya sendiri
mengelompokkan tiga kategori gaya, yaitu: 1) gaya sebagai satu organisasi bentuk yang
khusus, yang di dalamnya tercakup pendekatan formalis Schapiro, 2) gaya sebagai daya
artistik. Dalam hal ini, gaya tidak dikaitkan semata dengan sifat- sifat formal, akan tetapi
justru dengan kekuatan spiritual yang terdapat dalam sejarah. Kekuatan spiritual ini, menurut
Wladimir Weidle, hanya berasal dari satu-satunya sumber, yaitu agama Gaya, dalam hal ini,
merupakan bahasa visual suatu agama, yang merepresentasikan nilai-nilai spiritual agama
tersebut. 3) Gaya muncul langsung dari masyarakat yang memproduksinya. Pengkajian
bentuk, dalam hal ini, harus disertai dengan pengkajian landasan ekspresi yang mempunyai
dasarnya pada faktor- faktor budaya, sosial, dan agama. Pengelompokan gaya ini
menyiratkan adanya satu spektrum dalam penggayaan, yaitu adanya intensitas yang berbeda-
beda pada setiap gaya tentang kandungan formal, kehendak, atau sosialnya.
Di dalam wacana modernisme, pandangan tentang gaya berkaitan dengan beberapa konsep
estetika oleh beberapa pendukung modernisme. Adolf Loos, misalnya, mengajukan satu
ungkapan "ornament was crime"- ungkapan yang digunakan oleh Loos untuk mengkritik
gaya sebelum modernisme. Bagi pendukung modernisme seperti Loos, ornamen- yang
cenderung bersifat figuratif, natural, tradisional, dan menyandang makna kebudayaan atau
mitologis tertentu bertentangan dengan kon- sep seni modern yang menyanjung tinggi
kualitas-kualitas fungsional, rasional, efisiensi. Modernisme menolak ornamentasi sebagai
satu bentuk ekspresi gaya, disebabkan kecenderungannya pada definisi gayanya sendiri yang
bersifat formal.
Nikolaus Pevsner, salah seorang pendukung modernisme yang lain- nya, melihat gaya
sebagai satu upaya eksplorasi formal terhadap elemen- elemen yang terdapat pada teknologi
modern, seperti mesin. Menurut Pevsner, "Gerakan modern dalam arsitektur, agar menjadi
ekspresi yang sepenuhnya dari abad kedua puluh, harus memiliki... kepercayaan pada ilmu

79
pengetahuan dan teknologi, pada ilmu pengetahuan sosial dan perencanaan rasional, dan pada
kepercayaan romantis pada kecepatan dan deru mesin. Kepercayaan modernisme terhadap
kualitas-kualitas formal serta nilai-nilai fungsional, rasional ilmu pengetahuan dan tekno- logi
semacam ini sebagai suatu kebenaran, telah menjauhkan modernisme itu sendiri dari nilai-
nilai sosial, spiritual, dan mitologis yang justru bersifat arasional. Bentuk, dalam pandangan
modernisme, tak lebih dari manifestasi kualitas-kualitas formal, rasional, dan fungsional ini-
form follows function.
Pendekatan modernis terhadap gaya memang banyak mendapat kecaman tajam dari
beberapa kritikus. Pendekatan modernis, misalnya, dikecam sebagai melecehkan nilai-nilai
kemanusiaan-seperti keunikan pribadi, perbedaan kepercayaan-disebabkan kepatuhannya
terhadap logika ilmu pengetahuan dan teknologi. Marshall Berman, seorang kri- tikus
Amerika, mengemukakan bahwa wacana modernisme, melalui gaya yang diciptakannya telah
menghadapkan umat manusia pada satu paradoks." Modernisme menjanjikan pengembaraan
dalam kebaruan, pertumbuhan, keotentikan, kekuasaan, dan transformasi diri kita sen- diri.
Modernisme berupaya untuk menyatukan umat manusia melalui universalisme nilai-nilai dan
gaya-gaya yang diciptakan; namun, sekaligus melecehkan, dan bahkan menghancurkan nilai-
nilai etnisitas, kelas, nasionalitas, agama, atau ideologi. Modernisme ingin menyatukan umat
manusia. Akan tetapi, yang dihasilkan tak lebih dari kesatuan dalam ketidaksatuan-kesatuan
paradoks." Untuk mendukung argumen Ber- man, John Thackara menegaskan, bahwa praktik
modernisme "...mem- perlakukan semua tempat dan semua orang dengan cara yang sama,
sebuah pendekatan yang dianggap mengancam identitas individual dan tradisi
lokal."Pendekatan modernis terhadap gaya adalah menganggap gaya sebagai satu semangat
zaman-zeitgeist-yang bersifat universal, yang melingkupi segala tempat yang berbeda,
kebudayaan yang berbeda dan segala bentuk kehidupan sosial yang berbeda-wacana ini
adalah semacam imperialisme dalam gaya.
Di dalam masyarakat post-industri dan kebudayaan post-modern, pan- dangan tentang gaya
sebagai satu zeitgeist yang berlaku universal me- nimbulkan permasalahan epistemologis
tentang gaya itu sendiri. Hal ini disebabkan perkembangan post-modernisme itu sendiri
diwarnai oleh fragmentasi kebudayaan, segmentasi kelompok-kelompok sosial, dan
kemajemukan gaya yang menyertainya. Pendekatan modernis ter- hadap gaya yang
menjunjung tinggi kebaruan dan keotentikan, serta menekankan formalisme dan
fungsionalisme tidak relevan lagi untuk digunakan sebagai alat untuk mengkaji karya-karya
post-modernisme, yang justru cenderung bersifat ironis, skizofrenik, hibrid, bahkan sin-
kretis. Masalahnya adalah nilai-nilai formal dan fungsional tidak lagi menjadi kandungan isi
utama dalam karya-karya post-modernisme. Karya-karya post-modernisme lebih cenderung
memiliki kandungan isi yang bersifat majemuk. Post-modernisme membuka pintu lebar-lebar
bagi berinteraksi dan bersimpang siurnya berbagai gaya dari berbagai seniman, periode,
kebudayaan-bahkan yang bersifat kontradiktif sekalipun membentuk kontur-kontur gaya yang
bersifat sinkretis, eklektik, atau hibrid. Pendekatan post-modernisme terhadap makna satu
gaya pun cenderung menekankan makna majemuk (polysemy) dan bukan makna tunggal -
(monosemy).
Penolakan pendekatan modernis terhadap gaya telah dimanifestasikan melalui beberapa
gerakan seni dan desain pada dekade 60-an. Di antara gerakan ini adalah gerakan Memphis,
yang diprakarsai oleh Ettore Sot- tsass di Milan. Gerakan yang dijuluki anti-estetik ini
merupakan satu gerakan menentang pendekatan fungsionalisme dalam seni dan desain.

80
Strategi gaya mereka yang penting adalah absurditas proses produksi massa; mengangkat
kembali fungsi ornamen. memparodi keterbatasan dan memperkenalkan kembali bahasa-
bahasa simbolik dan metafora dalam seni dan desain.

2.2 Ringkasan Buku Pembanding


BAB I
Sejarah Semiotik, Prinsip, Pandangan dan Teori
1. Tradisi Semiotika
Tradisi Semiotika diawali pada masa Yunani Kuno yaitu Filsuf Plato (428-348 SM)
dan diteruskan muridnya Aristoteles (384-322)SM). Ketika itu terjadi perdebatan antara
"tanda natural" dengan "tanda konvensional" Mereka menguji kajian terhadap tanda tawa dan
tangis. Penelitian ini menghasilkan perbedaan tanda dari aspek penanda dan petanda. Hasil
pengamatan Zeno seorang filsuf aliran Atoa membuktikan tangis seseorang yang terlihat
dalam bentuk penampilannya merupakan penandanya. Hal ini disebabkan ekspresi tangis
secara secara cepat dapat diamati melalui gerak, penampilan, suara, dan nadanya. Di balik
ekspresi itulah lahiriah itu terdapat makna, maksud, dan tujuan menangis yang menjadi
penandanya (Santoso, 1993:8). Tanda alamiah adalah tanda- tanda yang ditemukan di alam,
seperti gejala fisik, pergesekan daun-daun, warna, tumbuhan, dan sinyal yang dikeluarkan
binatang untuk merespon keadaan fisik dan emosional tertentu. Kemudian tanda
konvensional adalah tanda yang dibuat oleh manusia, seperti kata, isyarat, dan simbol.
2. Definisi Semiotik
Ada beberapa pendapat mengenai asal kata semiotik yang keduanyadari bahasa
Yunani, pertama adalah seme yang berarti "penafsiran tanda", sedangkan yang kedua adalah
semeion yang berarti "tanda"..(2009: 523). Semiologi menurut Saussure adalah kajian
mengenai tanda dalam kehidupan sosial manusia, mencakup apa saja tanda tersebut dan
hukum apa yang mengatur terbentuknya tanda. Hal ini menunjukkan bahwa tanda dan makna
dibalik tanda terbentuk dalam kehidupan sosial dan terpengaruhi oleh sistem (atau hukum)
yang berlaku di dalamnya.
Adapun "semeion" menurut Saussure secara terminologi Semiotika adalah ilmu yang
mempelajari secara luas objek-objek peristiwa dan kebudayaan sebagai tanda. Tanda adalah
sesuatu yang terdiri atas sesuatu yang lain atau menambah dimensi yang berbeda pada
sesuatu dengan memakai apa pun yang dapat dipakai untuk mengartikan sesuatu hal lainnya.
Selanjutnya Saussure menggunakan pendekatan Linguistik dalam mengkaji tanda-tanda itu.
Tanda dalam konsep linguistik dapat berupa huruf, kata, kelompok kata, kalimat, dan
wacana. Sementara dalam konsep Seni, tanda dapat berupa gambar, lambang, simbol, gerak,
bunyi, nada, tempo, dan lagu. Ketika ada lukisan di atas kanvas ada sebuah gambar hutan.
penikmat seni atau kurator akan menafsirkan gambar itu dengan berbagai makna sesuai
dengan aliran yang dianut dalam kajian bidang seni itu.
Van Zoest dalam (Hidayat) menjelaskan bahwa semiotika mengkaji tanda,
penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda Pengertian ini mencakup
semua tanda termasuk semiotik. Kemudian penggunaan tanda itu dalam berbagai konteks

81
situasi masih tetap kajian Semiotik. Selanjutnya, sesuatu yang terkait dengan tanda dalam arti
mengikuti tanda itu juga tetap masih dalam kajian Semiotik.
Semiotika adalah studi tentang tanda-tanda. Konsep tanda ini untuk melihat bahwa
makna muncul ketika ada hubungan atau hubungan antara ditandai (signified) dan tanda
(signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide
atau penanda (signified).
Bab II

Semiotika dan Kebudayaan Kontemporer

1. Defenisi

Budaya adalah segala upaya manusia dalam suatu kelompok untuk membuat hidupnya
lebih baik. Budaya merupakan aktivitas atau kegiatan yang dipelajari dan terkait dengan
kelompok. Hal ini berimplikasi bahwa budaya terkait dengan kebersamaan. Dengan
demikian, berjalan dan berbicara bukanlah budaya karena setiap anak yang terlahir normal,
sehat dan tidak cacad akan mampu berjalan dan berbicara. Kedua kegiatan itu terkait dengan
aspek biologis. Selanjutnya berlajan dan berbicara adalah capaian individu. Berbeda dengan
itu gaya atau cara berjalan cepat dalam satu kompetisi gerak jalan adalah budaya.

Budaya dapat bersifat material atau nirmaterial. Yang dimaksud dengan budaya material
adalah budaya konkret, yakni budaya yang dapat diinderai (dilihat, didengar, dicium, diraba,
dikecap), seperti makanan, pakaian, perumahan, bahasa, seni: musik, tari, rupa, sastra, kriya,
dan lain- lain. Yang termasuk ke dalam budaya nirmateri adalah budaya mental atau budaya
abstrak yang tidak dapat diinderai, seperti yang umunya terdapat di benak, perasaan dan
kalbu manusia, seperti sikap, pandangan hidup, pengidealan/ideologi, cara bertindak, cara
menghargai atau menilai sesuatu, keyakinan dan lain-lain.

Budaya kontemporer adalah produk atau proses beraktivitas atau berpikir manusia yang
dipelajari dan berlangsung pada suatu kurun waktu tertentu. Budaya kontemoprer
berlangsung pada suatu kurun waktu, yang berimplikasi bahwa budaya itu potensial berubah
pada satu kurun waktu atau zaman. Unsur waktu merupakan hal penting dalam budaya
kontemporer. Keberadaan suatu budaya ditentukan oleh waktu dan tempat. Misalnya, bentuk
pakaian pada tahun 1960an di Indonesia berbeda dengan pakaian tahun 1980an dan 2000an.
Demikian juga bahasa Indonesia yang digunakan tahun 1920an, 1950an, 1980an dan saat ini
2018 berbeda.

82
2. Area Kajian Semiotika

Kajian semiotika mencakupi area yang sangat luas dan budaya kontemporer merupakan
satu arena atau bagian. Cakupan semiotik yang luas ini memberikan kesan bahwa hampir
tidak ada kehidupan yang terlepas dari semiotik. Namun demikian, dengan merujuk Eco
(1979:9), bidang kajian semiotik diidentifikasi mencakupi 19 bidang berikut ini. a.
Zoosemiotics

Zoosemiotics adalah kajian tentang tingkah laku hewan. Para pakar hewan, misalnya, para
pegawai kebun binatang atau polisi khusus kehutanan dapat mengindentifikasi tingkah laku
hewan dan memahami makna tingkah laku hewan, sebagai penanda dan petanda yang
diwakilinya. Misalnya, jika kucing mengeong dengan nada dan frekuensi tertentu pakar
tentang perilaku hewan itu dapat mengetahui bahwa kucing sedang menjalani fase kehidupan
birahi yang siap untuk bereproduksi.

Dengan sifat dan perilaku hewan itu yang diamati manusia, manusia membangun budaya
berupa pengetahuan tentang atau yang terkait dengan tingkah laku hewan secara ikonik,
indeksikal dan simbolik. Dengan kata lain, tingkah laku hewan diidentifikasi sebagai
berhubungan dengan kegiatan atau budaya manusia. Berikut ini adalah contoh zoosemiotics
yang terkait dengan kehidupan atau budaya manusia. Dalam budaya Simalungun jika
enggang paruh panjang yang berwarna hitam putih bersuara meraung dan melengking di
tengah hari di suatu kampung. itu adalah penanda bahwa tidak lama lagi akan ada orang yang
meninggal di kampung itu. Dalam budaya Melayu di Asahan dan Batubara diyakini bahwa
jika ayam jantan atau ayan jago berkokok saat matahari setinggi galah atau sekitar pukul 9
pagi atau menjelang tengah hari, itu penanda ada anak gadis yang hamil tidak syah-tidak
memiliki suami yang syah di sekitar kampung itu. Jika ayam berkokok pertama kali, itu
penanda malam hari masih lama berlangsung karena diperkirakan saat itu pukul 2 pagi. Pada
kokok ayam kedua seseorang (Muslim) diharapkan bangun dan mengambil wudu karena
waktu sembahyang subuh sudah dekat. Burung bence (bahasa Jawa di Sumatra) yang
bersuara di malam hari adalah penanda ada pencuri yang berkeliaran dan akan membungkar
rumah. Burung birik-birik (bahasa Simalungun) yang bersuara di malam hari bermakna ada
begu ganjang (hantu raksasa atau gondoruo-bahasa Jawa) yang melintas. Jika balang horbou
(belalang kerbau) masuk ke dalam rumah seorang Simalungun dan belalang itu bersuara, itu
merupakan penanda bahwa satu dari anggota keluarganya atau keluarga jauhnya akan
meninggal dunia. Demikian juga jika kupu-kupu atau rama-rama masuk ke dalam rumah

83
seseorang dalam keyakinan Simalungun dan Melayu di Sumatra Utara, itu adalah penanda
akan ada tamu ke rumah orang itu. Peribahasa yang mengatakan anjing mengonggong tidak
menggigit adalah semiotik yang bertaut dengan tingkah laku hewan.

Demikian juga kalau tidak ada berada tidak tempua bersarang rendah adalah peribahasa
yang bertaut dengan zoosemiotics. Peribahasa anak harimau tidak akan menjadi kambing
juga terkait dengan perilaku hewan. Bagi masyarakat yang bergama Islam saat bulan puasa
sering disindirkan bahwa ada orang yang mengamalkan puasa ular dan puasa harimau. Orang
yang puasa ular adalah orang yang saat puasa Ramadan itu sebagian besar waktunya tidur
seperti ular. Beranalogi dengan itu seseorang yang melaksanakan puasa harimau adalah orang
yang selalu atau cepat marah, seperti harimau Dua sifat itu sering digunakan untuk menyindir
orang yang tidak melaksanakan ibadah puasa dengan baik.

b. Olfactory Signs

Olfactory Signs adalah kajian tentang bau atau aroma. Bau atau aroma befungsi sebagai
penanda sesuatu makna atau petanda, Rangkaian bau dan aroma ini bermanfaat untuk
pembuatan minyak wangi atau parfum. Misalnya, bau tertentu merupakan penanda bagi
petanda Pada dasaranya perusahaan parfum telah memberi aroma tertentu untuk menandai
laki-laki, perempuan, remaja perempuan atau lelaki. Aroma parfum juga dikaitkan dengan
waktu, misalnya aroma tertentu digunakan untuk beraktifitas siang hari, senja atau malam.
Demikian juga dengan bau parfum yang digunakannya, kepribadian seseorang dapat
düdentifikasi.

c. Tactile Communication

Tactile Commulcation mencakupi kajian tentang perilakukomunikasi yang selanjutnya


bertaut dengan perilaku dengan tujuan menyampaikan sesuatu pesan. Kajian ini mencakupi
pelukan, usapan, ciuman, kecupan, cubitan, tepukan, dan perilaku lain. Setiap perilaku itu
memiliki makna yang berbeda dari satu budaya ke budaya lain. Ada perilaku yang dibolehkan
dalam satu budaya, ada pula yang terlarang di budaya lain. Misalnya, ciuman memiliki
makna tertentu: ciuman di pipi penanda bersahabat, akrab dan rindu, ciuman di bibir berarti
ciuman birahi atau bernafsu, ciuman di kening berarti ciuman sayang dan ciuman di tangan
berarti hormat.

84
d. Code of Taste

Code of Taste menunjukkan makna rasa makanan oleh pengecapan. Umumnya kajian ini
bertaut dengan makanan. Hampir semua etnis di Indonesia memiliki makna terhadap
makanan mereka. Misalnya, di Sumatra Utara etnis Batak dan Melayu memiliki makanan
yang bernilai budaya dengan berbagai rasa, seperti asam, manis, kelat, asin, pedas, pahit dan
lain sebagainya. Bagi suku Melayu, misalnya rasa pahit dalam makanan adat bermakna
sesorang akan menghadapi hidup yang penuh dengan kepahitan.

Masyarakat Simalungun juga memiliki makanan yang dikenal sebagai dayok ni ura atau
(masakan ayam diura ala Simalungun) atau dayok binatur (ayam yang dimasak dengan cara
Simalungun dan diatur seperti layaknya ayam masih hidup). Demikian juga dalam
masyarakat Karo dan Mandailing di Sumatra Utara setiap rasa dalam makanan adat memiliki
makna dan merupakan semiotik. Khusus dalam tradisi dan adat masyarakat Simalungun,
dayok ni ura merupakan makanan adat yang bermakna semiotik luas. Bahan utamanya adalah
ayam dengan umur dan ukuran tertentu, biasanya tidak boleh ayam yang sudah tua. Ayam ini
dipanggang sampai renyah dan sesudah itu diberi saus yang dibuat dari santan kelapa (rasa
lemak), holat (kelat) dari pohon jorlang atau buah saoh muda, kincong (asam) dan jahe
(pedas), garam, dan bumbu lainnya. Ayam yang telah dipanggang diberi saus dan diberikan
kepada pengantin yang baru saja memulai kehidupan berumah tangga. Makanan dayok ni ura
memiliki makna budaya dan unsur filosofis. Dayok ni ura adalah simbol kehidupan. Rasa
lemak santan, kelat holat, garam, asam siala adalah penanda atau simbol kehidupan yang
penuh dengan kesejahteraan, asam garam dan kelatnya kehidupan.

e. Paralinguistics

Paralinguistics adalah kajian tentang ciri suprasegmental dan tingkah laku yang menyertai
komunikasi verbal yang cenderung membudaya. Dengan merujuk Eco (1979: 12), yang
selanjutnya merujuk Trager (1964) kajian paralinguistics mencakupi (1) perangkat suara yang
terkait dengan jenis kelamin, umur, kesehatan dan (2) perilaku bahasa yang terbagi ke dalam
dua kategori,yakni (a) kualitas suara, misalnya tingi. rendah bunyi, kontrol suara oleh bibir,
kontrol tekak, kontrol ujaran dan (b) ujaran yang selanjutnya terbagi ke tiga subkategori,
yakni (i) penanda ujaran, seperti tawa, tangisan, rintihan (whimpering), ratapan, lolongan
(whining), uapan (yawning), dan sendawa (belching), (ii) penanda ucapan, misalnya kuat
suara, tingginya suara, lamanya suara, dan (iii) sertaan ucapan, yakni suara yang mengikuti

85
ketika melakukan teriakan, sengauan, gerutuan (grunt). Kajian paralinguistics juga
mencakupi kajian genderang dan siulan yang menyertai komunikasi verbal.

Dalam sejumlah budaya etnis di Indonesia berbagai tawa dapat merealisasikan petanda
yang berbeda: ada tawa yang menyatakan gembira, lucu, marah, bangga, dan mengejek
dengan masing-masing tawa ditandai dengan lamanya atau durasinya, interval tawa, dan
kuat- lemahnya suara. Dalam budaya bangsa-bangsa di Asia sendawa biasa saja dilakukan
yang bermakna orang itu telah kenyang setelah bersantap dan merupakan ucapan terima ksih
terhadap orang yang menyediakan makanan, sementara dalam budaya pemakai bahasa
Inggris sendawa tidak dikehendaki dan menganggu dalam pergaulan. Dalam budaya dan
bahasa Jawa penekanan dan perubahan bunyi vokal menjadi penanda dari petanda 'arti'
positif, komparatif dan superlatif. Misalnya, ekspresi hidangan itu enak, hidangan itu enak
(dengan intonasi naik), hidangan itu uenak masing-masing berarti positif, komparatif dan
superlatif.

f. Semiotik Kesehatan

Semiotik Kesehatan (medical semiotics) menunjukkan tanda dalam kesehatan, yang


mencakupi dua hal yakni kajian tentang tanda (signs) atau gejala (symptons) akan terjadinya
penyakit dan penyakit yang sudah diderita. Cara seseorang berbicara, bintik hitam di
kulitnya, wajah pucat dan gejala-gejala dalam diri seseorang.

g. Kinesic dan Proxemics

Kinesik dan procemik adalah kajian tentang isyarat yang digunakan ketika berbicara. Kajian
kinetik dan posemik juga mencakupi gerakan ritual agama. Misalnya, Ketika seseorang tidak
tahu apa yang harus dikatakan atas pernyataan seseorang dia mengangkat bahu dan
melebarkan senyumannya secara khusus mencakup makna jarak antara penutur dan petutur.

h. Musical Codes

Musical codes adalah kajian tentang suara musik secara semiotik mencakupi kuatnya,
cepatnya, dan lamanya suara, serta hal lain sebagainya. Dalam beberapa peribahasa atau
ungkapan bunyi musik dikaitkan dengan perilaku manusia seperti bagaimana gendangnya,
begitulah tarinya kita buat dalam menyelesaikan masalah ini dan genderang perang telah
ditubuh.

86
i.Aesthetic Text

Teks ini merupakan keindahan suatu bidang teks seni yang mencakupi kajian tentang
berbagai aspek seperti teks puisi prosa dan drama puisi mengenai cinta dengan susunan kata
dalam puisi itu membentuk gambar hati.

j. Komunikasi Massa

Komunikasi massa merupakan bidang cakupan semiotik misalnya, verba material menjadi
penanda berita kejadian dan verba relasional menjadi penanda berita ucapan dan keadaan.

k. Rhetoric

Retorik adalah kajian tentang makna komunikasi satu teks. Misalnya Ketika menulis surat
dinas kepada atasan atau bawahan seseorang harus membuat rujukan terhadap pesan yang
akan disampaikan. Sehingga teks retorik sebagai penanda yang baik dan sebagai syarat
keamanan.

l. Formalized Language

Formalized languages mencakupi berbagai disiplin ilmu seperti matematika kimia, fisika
biologi dan cabang ilmu pengetahuan lainnya dengan demikian simbol dalam kimia seperti
ca, fe komahe, k adalah penanda nomenklatur unsur kimia.

m. Written language, unknown alphabet, dan secret codes

Pada kajian simulatif ini mencakupi penanda dalam tulisan alfabet asing, dan kode rahasia.
Misalnya orang awam dapat memahami makna ekspresi itu tetapi mereka tidak tahu rujukan
ucapan tersebut dengan demikian keadaannya dalam situasi tersebut dapat disampaikan
dengan kode gambar.

n. Natural language

Bahasa adalah bagian dari kajian semiotik bahasa natural ini digunakan secara alamiah penuh
dengan, penanda dan petanda.

o. Komunikasi Visual

Komunikasi visual direalisasikan dengan penanda yang diidentifikasi melalui Indra mata.
Contohnya kajian komunikasi visual mencakupi pertanda yang disampaikan melalui gambar,
warna lokasi atau letak suatu benda dan konteksnya.

87
p. System of Object

System of Object merupakan kajian terhadap hubungan suatu benda dengan yang lain.
Misalnya letak rumah seseorang di tepi bukit dalam masyarakat Simalungun menjadi
penanda bahwa pemilik Rumah itu memiliki kekuatan gaib atau dukun yang disegani.

q. Plot Structure

Plot Structure adalah kajian tentang pola sesuatu khususnya karya sastra titik misalnya dalam
sebuah cerita anak durhaka semua anak durhaka tenggelam di dalam laut titik kajian struktur
juga mencakup letak sesuatu.

r. Teori Teks

Kajian tentang teks suatu karya sastra atau pemakaian bahasa juga merupakan bidang kajian
semiotik. Teks yang ditulis dengan kalimat yang sederhana tetapi dengan pemadatan kosakata
tidak sama maknanya dengan teks yang ditulis dengan kalimat majemuk dan juga dengan
penurunan pemakaian kata per klausa.

s. Kode Budaya

Di dalam budaya terdapat penanda suatu kegiatan, informasi dan keadaan titik misalnya
seseorang yang baru mengalami musibah kematian dalam etnis China menggunakan pakaian
dengan warna tertentu dan penanda pada baju yang digunakan selama masa tertentu.

3. Beberapa Contoh Budaya Kontemporer

a. Virtual

Budaya virtual adalah penanda dari petanda "budaya daring yang dengan cepat menyebarkan
informasi, foto, video, teks verbal dan nonverbal”. Budaya virtual ini juga merupakan
penanda dari petanda budaya maju, zaman now dan modern.

b. Grab Uber, Traveloka dan Go-jek

Modus transfer dan angkutan atau pengantaran bar dan jasa zaman now merubah sebagai
turunan dari budaya viral. Peran agen perjalanan yang biasanya dikenal sebagai travel agen

88
kini telah dikurangi secara signifikan atau mungkin juga Traveloka yakni pemesanan tiket,
kereta api dan bus melalui sarana viral.

c. Media Sosial

Pemberitaan yang semula dilakukan oleh surat kabar, radio, televisi dan otoritas pemberitaan
kini sudah sebagian besar digantikan oleh media sosial yang virtual seperti YouTube BBM
WhatsApp, LINE, Facebook dan Instagram.

d. Budaya mental kebebasan berekspresi

Kaitan dengan budaya material kontemporer virtual saat ini budaya nirmaterial kontemporer
berupa budaya mental kebebasan berpendapat dan berinteraksi berkembang titik setiap orang
dapat mempertualkan pengalamannya dan tanggapannya terhadap pemirahan orang lain:
dalam hitungan detik apa yang terjadi pada seseorang dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia
melalui sarana virtual dan dalam hubungan detik pula orang lain dapat memberikan pendapat
atau komentar terhadap pemviralan tersebut.

e. Budaya Semu

Pada saat ini berkembang budaya semu yaitu setiap kesempatan yang membuat orang
berkumpul sebelumnya seperti masa senggang atau santai dapat berhubungan dengan mitra
bicara masing-masing dari tempat jauh atau di tempat lain. Dengan budaya kontemporer
virtual saat ini budaya mental yang diakibatkannya manusia berupaya mengontrol dan
menguasai yang lain hingga kondisi saat ini adalah siapa yang menguasai viral dialah
pemegang hagemoni budaya zaman now.

Bab III Ruang Lingkup Semiotik


1. Ruang Lingkup Semiotika
a. Ruang Lingkup semiotika menurut Charles Morris ada tiga, yaitu: semiotika sintaktik,
semiotika semantik, dan semiotika pragmatik.
b. Ruang lingkup Semiotika menurut Umberto Eco (2009) ada dua yaitu semiotika alamiah
(Natural Semiotic) dan semiotika konvensional (konventional semiotic).
c. Ruang lingkup semiotika menurut Ferdinand de Saussure didasarkan pada Linguistik di
bawah teori tanda secara umum yang disebutnya semiologi. Untuk Ruang lingkup Semiotika
beliau membagi atas dua, yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda).
d. Raung lingkup Semiotika menurut Roman Jacobson (1896-1982) yakni konsep “tanda
termotivasi” dengan istilah denotasi dan konotasi. E. Ruang lingkup Semiotika menurut
Charles Sander Peirce ada tiga, yaitu (1) sign, (2) objek, dan (3) interpretant.

89
(1) Semiotik Sintaktik.
Semiotik Sintaktik adalah kajian hubungan diantara tanda-tanda. Sintaktik
adalah cabang dari semiotik yang berhubungan dengan sifat-sifat formal tanda dan
symbol. Sintaktik berkaitan dengan “aturan yang mengatur kata-kata digabungkan
untuk membentuk frasa dan kalimat”. Analisis aspek sintaksis berupa analisis
terhadap satuan-satuan linguistik. Analisis ini dapat mengacu pada tata bahasa.
(2) Semiotik Semantik.
Analisis aspek semantik dapat berupa analisis denotasi, konotasi, majas, dan
isotopi. Semantik berbicara tentang bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang
ditunjuknya atau apa yang ditunjukkan oleh tanda-tanda. Semiotik menggambarkan
dua dunia, yakni dunia benda dan dunia tanda, serta mencerahkan hubungan diantara
kedua dunia tersebut.
(3) Semiotik Pragmatik
Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh
yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan dalam batas
perilaku subjek. Analisis aspek pragmatik berupa analisis terhadap pengujaran yang
terlaksana dalam rangka komunikasi yang menuntut kehadiran pengirim dan
penerima. Cabang ini memiliki pengaruh yang paling penting dalam teori komunikasi,
karena tanda-tanda dan sistem tanda dilihat sebagai alat komunikasi manusia. Oleh
karena itu pragmatik saling melengkapi dengan tradisi sosial budaya.
a. Paradigmatik dan Sintagmatik
Paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur dalam suatu deretan
kata (benda, kerja) untuk menerangkan. Adapun Sintagmatik adalah hubungan
antara unsur-unsur dalam suatu urutaan linear atau membujur.
b. Denotasi dan Konotasi
Denotasi adalah makna sebuah kata atau tanda yang sebenarnya yang
belum mendapatkan makna tambahan. Konotasi adalah makna dari sebuah
kata atau tanda yang sudah mendapatkan makna tambahan yang mengandung
sikap sosial, pribadi, jenis kelamin, dan usia.
c. Sinkronik dan Diakronik
Sinkronik bermakna gambaran peristiwa yang terjadi dalam suatu
masa atau era yang merujuk pada satu titik tertentu biasanya masa kini.
Sedangkan diakronis adalah gambaran peristiwa yang yang terjadi dalam masa
yang tidak terbatas sepanjang masa (Kridalaksana, 1983, Danasi, 2004).

BAB IV
Tipologi Tanda Charles pierce

90
Sign in something which stands to somebady for something in some respect or capacity

(Little John 1998)

I define a sign as anything which is so determined by something else, called its Object,
and so determines an effect upon a person, which effect I call its interpretant, that the
letter is thereby mediately determined by the former (Pierces Theory of Sign)
Pernyataan di atas menjadi dasar penjelasan teori Pierce tentang Tipologi Tanda yang
merupakan bagian penting Semiotika. Charles Pierce menyatakan bahwa konsep
semiotika bergantung pada sign atau tanda-tanda. Cara berpikir atau logika Jelaskan
oleh tanda. Bahkan penginterpretasian membutuhkan tanda. Tanda menjadi dasar dari
seluruh pemahaman Pierce tentang semiotika. Pierce menjelaskan bahwa bahasa adalah
sistem tanda. Pengertian sistem tanda dalam hal ini digunakan sebagai alat untuk
bernalar. Maka bisa disebut, Pierce mencetuskan Tipologi Tanda sebagai proses
bernalar manusia, bahkan proses berpikir manusia, dan proses menanda. Hal ini
dikaitkan dengan latar belakang Pierce yang merupakan seorang filsuf dan ahli logika.
Pierce kemudian merinci tanda yang dimaksud ke dalam 10 macam, yaitu:
1. Qualisign merupakan kualitas suatu tanda. Jika ada tanda "suara meninggi"
menunjukkan "orang marah" atau sebaliknya "suara melemah" mungkin
menunjukkan "sedang bersedih" atau "sedang was-was", "wajah memerah"
mungkin sebagai tanda "malu" atau "akan marah".
2. Inconic Sinsign adalah tanda yang menunjukkan kemiripan. Misalnya foto,
gambar, peta, dan lain-lain. Antara tanda dan objek menunjukkan
kemiripan.
3. Rhematic Indexical Sinsign adalah tanda yang dibuat karena adanya
pengalaman sebelumnya. Misalnya dibuat tanda Jangan Masuk - Tanah
Longsor di Musim Hujan. Tanda dibuat karena sudah pernah ada korban
tanah longsor.
4. Decint Sinsign adalah tanda petunjuk yang muncul sebelum objek yang
ditunjuk. Istilah pada lalu lintas disebut Rambu Peringatan. Misalnya tanda
yang menyatakan "100 meter ke depan ada restauran". Atau "belok kiri ada
rumah sakit".
5. Iconic Legisign adalah tanda yang berlaku umum, yang sudah disepakati
secara konvensional. Seperti rambu lalu lintas. Karena mengandung aturan
konvensional, maka setiap ada objek atau tanda yang dimaksud wajib
dipatuhi oleh subjek yang melihat.

91
6. Rhematic Indexical Legisign adalah tanda yang menunjuk secara khusus.
Misalnya gambar wanita dan pria di toliet. Tanda ini pada mulanya hanya
berupa tanda panah untuk atas untuk pria, dan tanda panah bawah untuk
wanita. Tanda ini berkembang saat ini dengan banyak tanda lain, yang lebih
variatif dan kreatif, akan tetapi bermakna sama.
7. Design Indexical Legisign adalah tanda yang dibuat untuk memberitahukan
kondisi atau situasi subjek. Misalnya di depan pintu tertulis "sedang rapat".
Contoh lain mobil yang menyalakan lampu hazard berarti ada masalah
dengan pengemudinya.
8. Rhematic Symbol adalah tanda konvensional. Tanda yang diakui semua
orang secara bersama-sama. Misalnya gambar rumah. Semua orang pasti
menyetujui itulah gambar rumah.
9. Dicent Symbol adalah tanda yang menghubungkan tanda dengan pembaca.
Artinya, apa yang dimaksud tanda, harus dilaksanakan pembaca. Misalnya
tanda petunjuk "Belok Kanan", maka pembaca harus belok ke kanan.
10. Argument adalah tanda yang diberikan berdasarkan alasan nyata.
Misalnya karena tempat lagi direnovasi dan sementara akan pindah, maka
Buatlah tanda "sedang renovasi, pindah sementara ke...".

Berdasarkan objeknya, Pierce membagi Tanda ke dalam tiga kategori. yaitu


Ikon, Indeks dan Simbol.
 Ikon adalah objek yang hampir sama atau mirip dengan objek yang sebenarnya.
Artinya antara objek asli dengan ikon mempunyai kesamaan yang berdekatan.
Contoh sehari-hari yang bisa dilihat adalah miniatur, peta, lukisan wajah, dan
lain-lain.
 Indeks adalah tanda yang ada karena adanya hubungan kausal. Pada indeks,
tanda dan acuan memiliki kedekatan eksistensial atau terjadi karena adanya
hubungan sebab akibat. Misalnya matahari dan panas. Matahari mengakibatkan
suhu panas. Atau keluarnya abu vulkanik sebagai tanda gunung aktif.
 Simbol merupakan tanda yang berkaitan dengan acuan dan referensi nya. Tanda
dan acuan ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum. Artinya simbol
ada berdasarkan acuan konvensional. Misalnya salah satu jenis mobil yang
diproduksi Toyota adalah Kijang.

92
Pierce berpendapat bahwa tidak semua karakteristik objek sesuai dengan
tanda yang dimaksud. Pierce menyimpulkan tipologi tanda sebagai penunjuk pada
hubungan makna. Menurut Pierce pengertian tipologi tanda adalah tanda yang
dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu, dalam beberapa hal atau kapasitas.
Teori Pierce tentang segitiga semiotika kemudian dikembangkan oleh Ogden
dan Richards (1923) dengan mencetuskan "triangel semantic". segitiga yang
mempunyai sudut "tanda", "pikiran atau referensi" dan "acuan". Tanda adalah
objek yang akan ditafsir. Pikiran atau referensi adalah ciri dari tanda. Sedangkan
acuan adalah objek yang dimaksud sesuai ciri yang terdapat pada pikiran atau
referensi.
Sebagai contoh, mengapa cinta sering dilambangkan dengan bunga ros
merah? Jika dimasukkan ke dalam segitiga makna, maka jawabannya Bunga ros
memiliki ciri-ciri: merah, merekah, indah, harum dan lembut. Sesuai dengan ciri-
ciri tersebut cinta dilambangkan. Banyak cerita yang mempunyai simbol yang bisa
diinterpretasikan. Seperti dongeng "Bremen Town Musician" dengan kisah empat
binatang yang menjadi pemusik. Keempat binatang tersebut jika diinterpretasikan
akan menjadi empat karakter manusia yang relevan pada zaman dongeng tersebut
ditulis kembali. Dalam dongeng tersebut salah satu tokohnya adalah keledai tua
yang sudah tidak bisa bekerja lagi karena tenaganya sudah mulai habis.
Dalam menginterpretasi suatu tanda, hendaknya dengan argumen yang tepat
dan benar, sehingga objek yang diacu dapat berterima. Satu tanda bisa saja
diinterpretasikan dengan beberapa objek yang berbeda, hanya perlu ciri atau
identifikasi yang tepat pada interpretasi, agar objek yang diacu sejalan dengan
tanda.

BAB 5
Ferdinand The Sausure Semiologi
1. Semiologi dan Semiotika
Semiologi merupakan terminologi yang dapat disamakan dengan semiotika, walaupun
memiliki latar historis yang berbeda. Semiologi awalnya dikembangkan oleh ilmuan Prancis
(ahli linguistik), Ferdinand de Saussure, sebagai bagian dari keilmuan psikologi sosial.
Semiotika dikembangkan oleh filsuf Amerika (ahli logika), Charles Sanders Pierce, sebagai
cabang dari filsafat. Sebetulnya, tidak ada perbedaan yang prinsip di antara keduanya. Hanya
saja, semiologi dalam perkembangannya banyak dikenal di Eropa, dipopulerkan oleh para
ahli yang mengikuti tradisi linguistik Saussurian.
Sementara, semiotika dikembangkan oleh para ahli dari penutur bahasa Inggris, yang
mengikuti tradisi Piercian. De Saussure dalam Budiman (2011: 3) mengatakan, semiologi
adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam
masyarakat (a science that studies the life if signs within society).
Persamaan konsep de Saussure dengan Pierce dapat dilihat pada pernyataan keduanya. Pierce
mengatakan bahwa seseorang hanya dapat berpikir dengan sarana tanda terjalin komunikasi.
Pada sisi lain, de Saussure, mempertanyakan apakah substansi bahasa sesungguhnya.

93
Baginya tidak lain adalah suatu sistem tanda. Dia menyadari bahwa sistem tanda yang disebut
bahasa hanyalah sebagian dari sistem tanda yang lebih banyak, sehingga dia merespon
kondisi ini dengan merancang teori dengan konsep-konsep terapan (Van Zoest dan Sudjiman,
1996: vii-viii). Walaupun kedua tokoh legendaris penggagas semiotika ini hidup hampir
sezaman, namun mereka tidak saling mengenal. Karenanya, mereka tidak saling mengetahui
konsep masing-masing. Pierce tidak mengenal konsep semiologi de Saussure, dan begitu juga
de Saussure tidak mengenal konsep semiotika Pierce. Baru kemudian penerus dari masing
masing tokoh ini yang mengembangkan konsep semiologi atau semiotikanya sehingga
dikenal luas.
Pergeseran pendekatan kejian keilmuan sosial berdasarkan linguistik struktural awalnya
dikenal dengan peralihan linguistik. Linguistik struktural Saussurian berkembang dalam
berbagai bidang keilmuan sosial dan humaniora. Kondisi ini telah mengubah kenyataan ilmu
sosial secara dramatis. Sebagai contoh, karya Jurgen Habermas yang membicarakan tentang
komunikasi, dan juga analisis percakapan dari sebagian etnometodologis (Ritzer, 2012: 1031-
1032). Tidak hanya itu, terlebih lagi pada perkembangan kajian tanda bahasa menjadi
kawasan tanda yang tidak berbatas, sebagaimana yang dihadapi keilmuan semiotika saat ini.
Semiotika sekarang semakin beragam ranah dan fokus kajiannya, termasuk tanda-tanda dari
bebauan (olfactory signs), dan juga merambah pada tanda dalam perilaku komunikasi hewan
(zoosemiotics). Semiotika mutakhir yang dikembangkan oleh generasi teoretisi-teoretisi yang
muncul belakangan, di samping beragam, juga sangat kompleks dalam hal istilah, isu, teori,
dan pendekatannya. Dengan kompleksitas tersebut membuatnya cenderung tidak sejalan,
karena tidak jelas batas-batasnya, Namun, sejauh semiotika berkembang, tetap dapat ditarik
kembali pada kedua induknya, yaitu tradisi semiotika Piercian atau semiologi Saussurian.

Model klasifikasi bener merupakan sesuatu yang umum dalam pemikiran linguistik
strukturalis Saussurian, seakan metabahasa para linguis memproduksi tanda bahasa seperti
cermin, yaitu struktur biner dan sistem yang menjelaskannya. Barthes (2012: ix) mengatakan,
besar manfaatnya dengan hasil yang diperolah bila mempelajari kelebihan dari klasifikasi
biner dalam wacana ilmu-ilmu sosial mutakhir. Jika benar dipahami, taksonomi ilmu sosial,
akan memberi banyak informasi mengenai sesuatu yang dapat disebut sebagai medan
imajinasi intelektual zamannya.
2. Konsep Dikotomis dalam Oposisi Biner

Konsep dikotomis Saussurian berawal dari perspektif linguistik sebagai suatu kajian
keilmuan. Sesuatu yang khas, konsep dikotomis ini diungkapkan dalam bentuk perlawanan
atau oposisi biner (binary opposition), yaitu: sinkronik dan diakronik; langue dan parole;
penanda dan petanda; sintagmatik dan paradigmatik; serta denotasi dan konotasi. Khusus
yang terakhir, berkaitan dengan denotasi dan konotasi dikembangan secara luas dan
mendalam dalam kajian Roland Barthes Dalam berbagai pernyataan, Barthes dipandang
sebagai tokoh utamayang mengembangkan gagasan strukturalisme linguistik de Saussure
pada struktur sistem tanda yang disebut semiotika (semiologi)
a. Sinkronik dan Diakronik

94
De Saussure membedakan kajian keilmuan berdasarkan perspektif waktu sinkronik dan
diakronik. Pendekatan sinkronik adalah pendekatan yang melihat bahasa sebagai sistem yang
berfungsi pada saat tertentu, dengan tidak perlu memahami aspek etimologinya. Kajian
bahasa dan seni dalam perspektif sinkronik terfokus pada momen tertentu, tanpa
mempersoalkan proses yang dilaluinya. Sebaliknya, pendekatan diakronik mengkaji bahasa
dan seni dalam proses waktu bergerak dan berevolusi. Proses ini dapat dibedakan
berdasarkan arus perubahan waktu yang maju (prospektif) dan perubahan waktu yang
mundur (retrospektif). Pendekatan diakronik menganalisis tanda berdasarkan komparatif-
historis, melalui proses penelusuran etimologis, pergeseran fonologis, dan seterusnya,
sehingga mengandung aspek asosiatif.
Prinsip de Saussure sendiri memihak pada sinkronik. De Saussure mencontohkan sinkronik
dengan kata "pohon"; asal-usul kata "pohon" tidak penting bagi penyibakan struktur bahasa
yang bersangkutan. Dengan ini, terlihat linguistik de Saussure di samping mengesampingkan
unsur-unsur ekstralinguistik, juga melepas objek kajiannya dari dimensi waktu dan
kesejarahan (Sutrisno dan Putranto, 2005: 130). De Saussure menjelaskan, bahasa (langue)
hanya dapat diidentifikasi melalui analisis sinkronik, sedangkan tuturan (parole) melalui
analisis diakronik (Giddens, 2009: 16).
Dalam kajian semiotika bahasa dan seni, pendekatan sinkronik digunakan untuk
mengkonstruksi pemahaman secara komprehensif berdasarkan berbagai aspek sosial budaya
yang melingkupinya, dan pendekatan diakronik berdasarkan perspektif dinamika-dialektika
historis. Selanjutnya, konsep linguistik sinkronik de Saussure ini menjadi basis
pengembangan konsep dikotomis lague dan parole, penanda dan petanda, serta sintagmatik
dan paradigmatik.
b. Langue dan Parole

Langue dan parole merupakan salah satu distingsi yang menarik, yang dikembangkan oleh
Ferdinand de Saussure, tidak hanya dipakai dalam fenomena linguistik tetapi juga dalam
konteks semiotika (semiologi), Dijelaskan bahwa langue adalah sistem formal gramatikal
bahasa, yang bersifat abstrak, la adalah sebuah sistem elemen-elemen phonic (yang
berhubungan dengan bunyi) di mana hubungannya diatur menurut hukum-hukum yang
determinan. Banyak ilmuwan bahasa (linguistik) semenjak zaman de Saussure mencurahkan
perhatian untuk menemukan hukum ini.

Dengan eksistensi langue menjadikan parole terlahir. Parole adalah wicara aktual, suatu cara
di mana pewicara setiap hari menggunakan bahasa untuk mengekspresikan diri mereka. De
Saussure mengakui signifikansi penggunaan bahasa manusia dalam cara-cara yang subjektif
dan seringkali idiosinkretis. De Saussure percaya bahwa pemakaian bahasa setiap hari seperti
parole, tidak bisa menjadi perhatian pengguna bahasa yang berorientasi secara ilmiah.
Penggunaan bahasa ilmiah harus fokus pada langue, sistem formal bahasa, tidak pada cara-
cara subjektif ketika itu digunakan oleh aktor (Ritzer, 2010: 52; Faruk, 2012: 174).

95
Kehadiran langue dan parole adalah konsekuensi dari pemahaman dasar linguistik yang
bersifat dikotomis. Dalam hal ini, walaupun terlihat antara keduanya beroposisi, namun
sebetulnya saling melengkapi. Tidak akan ada parole kalau tidak ada langue, begitu juga
sebaliknya. Langue adalah sumber tanda dan sistem bagi ungkapan parole. Langue adalah
sistem kode yang sudah dipahami, dan seolah disepakati bersama oleh masyarakat pemakai
bahasa dimaksud.
Kegiatan bicara (parole) memegang peranan penting, di mana sistem bahasa yang
bersifat abstrak dilahirkan oleh aktivitas bicara yang birsifat konkret ini. Sama seperti
linguistik, semiologi terjadi dalam praktik berkomunikasi. Artinya, fenomena makna berakar
pada aksi penggungkapan manusia, dan bukan bermula dari teori yang terbentuk sebelumnya
(Sudjiman dan Van Zoest, 1996: 63).
De Saussure menganalogikan dengan permainan catur. Dalam hal ini, yang penting adalah
adanya sistem dan aturan yang dipahami bersama. Di samping itu, adanya unsur-unsur yang
saling berhubungan, dengan fungsinya masing-masing (raja, ratu, pion, dsb). Sistem
permainan catur ini merupakan langue.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebuah unsur bahasa memiliki arti setelah
menentukan nilainya dalam pertentangannya (oposisinya) dengan unsur-unsur yang lain
(Sudjiman dan Van Zoest, 1996: 59).

Pejelasan lain, dapat diikuti analogi Roland Barthes yang juga digambarkan oleh Kris
Bidimam (2011: 26-27) dalam sistem busana. Setidaknya langue busana terdiri dari oposisi
kombinasi unsur-unsur yang disatukan, serta prinsip yang diterapkan dalam penyatuan unsur
tersebut sebagai suatu sistem. Oposisi dari berbagai kombinasi bentuk dan aksesoris dapat
melahirkan perbedaan makna. Misalnya, memakai jas atau rompi dalam setelan pakaian pria
akan berbeda maknanya. Sebaliknya, parole-nya adalah pilihan individu terhadap kualitas
bahan yang diinginkan (corak, warna, tekstur, dsb), serta ungkapan gaya dan kepribadian
individu dalam berpakaian, termasuk kerapian dankeserasiannya. Langue pakaian ini
merupakan ketentuan atau sistem yang berada di luar individu. lindividu tidak punya otoritas
untuk merubahnya, kalau dipaksakan, akan terjadi miskomunikasi atau kerancuan makna.
Ruang ekspresi bagi cita rasa dan kepribadian individu tersalurkan melalui parole. Parole
merupakan ungkapan individualis seseorang dalam bertutur, termasuk dalam berbusana.
Secara ringkas, ungkapan langue dan parole dalam produk atau fasilitas keperluan sehari-hari
digambarkan sebagai berikut:
c. Penanda dan Petanda
Sebagaimana telah dijelaskan, langue merupakan sebuah sistem tanda yang bersifat abstrak,
dasar untuk menjelaskan yang konkret Secara keseluruhan, dapat dilihat sebagai suatu
struktur yang terdiri atas pananda (signifier) dan petanda (signified). Dalam bahasa, penanda
adalah citra bunyi ketika si penerima mendengar kata yang diucapkan

dan petanda adalah citra bunyi yang digunakan untuk menyatakan makna kata yang sampai
pada pikiran si penerima. Relevan dengan ini, dalam wujud visual, penanda adalah citra
bentuk ketika melihat atau membaca sesuatu, dan petanda adalah citra yang digunakan untuk

96
menyatakan makna dari apa yang terlihat atau terbaca. De Saussure tidak hanya tertarik
dengan penanda dan petanda, tetapi juga hubungannya satu sama lain (Ritzer, 2010: 53;
Faruk, 2012: 175). Keduanya membentuk kesatuan yang saling memperkuat, yang disebut
sebagai tanda. De Saussure memahami hubungan antara penanda dan petanda sebagai
hubungan yang stabil, dan dapat dikonsep untuk membentuk tanda-tanda linguistik (Sarup,
2011: 9). Namun, de Saussure tidak terlalu tertarik dengan sesuatu yang dirujuk (referent),
karena dianggap sudah merupakan ekstra-linguistik.
Secara subtansial, penanda adalah sesuatu yang bersifat material dan terindra karena bersifar
sensoris: bunyi-bunyi, objek-objek, imaji- imaji dan sebagainya. Sebaliknya, petanda
merupakan aspek mental dari tanda, yang dinyatakan sebagai konsep yang melahirkan makna
dalam pikiran seseorang. Meskipun ke duanya dapat dibedakan, tetapi sesungguhnya saling
ketergantungan dan tidak terdipisahkan.
De Saussure menyatakan bahwa ciri dasar tanda bahasa adalah bersifat arbitaritas absolut
(Culler, 1996: 7). Arbitaritas inilah yang membentuk signified dan signifier secara acak atau
sembarangan, sehingga orang tidak dapat lagi menjelaskan (misalnya) sebuah rumah disebut
rumah, bukan mobil. Tanda ini sifatnya konvensional, dan pemilihannya tidak bermotivasi
dan tidak ada hubungan alamiahnya. Berlawanan dengan itu, ada juga tanda bahasa yang
memiliki
motivasi. Dalam hal ini, proses simbolisasi dalam alam pikiran seseorang akan membentuk
keterkaitan antara signified dan signifier. Seperti tanda merah pada lampu lalu lintas,
memberi tanda bahwa semua pemakai jalan harus berhenti. Hal ini berarti, warna merah dan
tindakan berhenti merupakan satu kesatuan signified dan signifier (Sachari, 2005: 68-69)
Tanda seperti ini banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam peraturan lalu
lintas. Konsep tanda dalam struktur linguistik Saussurian inilah kemudian, oleh Roland
Barthes dikembangkan lebih jauh menjadi konsep struktur sistem tanda yang disebut
semiotika (semiologi).

Dapat dipahami dari pemikiran de Saussure, yang menyatakan bahwa makna-makna,


pemikiran, sampai dunia sosial dibentuk oleh struktur bahasa. Bahasa merupakan sistem yang
tertutup, yang ditandai dengan adanya perbedaan (difference), dalam hal ini juga berkaitan
dengan oposisi biner. Dia mencontohkan, makna kata panas (hot) bukan berasal dari makna
intrinsik atau makna hakikinya dalam kenyataan, melainkan berasal dari keterkaitan kata
tersebut dengan oposisi binernya, yaitu dingin (cold). Hal ini memperkuat pernyataan,
bahwasanya kita berada dalam dunia dengan segala aspek sosialnya yang dibentuk oleh
struktur dan kode bahasa. Jadi, bukan eksistensial manusia yang membentuk dunia
sekitarnya, melainkan bahasa melalui peran arbiternya dalam memilih dan menggabungkan
kata.

Ada beberapa tokoh dengan berbagai pemikiran yang bervariasi di belakang pemikiran de
Saussure, namun semuanya disatukan oleh satu akar yang menjadi asumsi dasar dari kajian
mereka, yaitu linguistik struktural yang sebelumnya diperkenalkan de Saussure. Tiga prinsip
dasar yang menjadi pendekatan de Saussure tetap menjadi pijakan, dan dikembangkan tokoh

97
lain dalam kajiannya masing-masing, yaitu berupa distingsi: langue-parole, signifiant-
signifie, dan sinkronik-diakronik. Misalnya, terlihat pada kajian Roland Barthes tentang
tanda, dan Levi- Strauss dalam antropologi. Sebelumnya, de Saussure juga sudah
"meramalkan" bahwa model pendekatan linguistik struktural ini akan dikembangkan pada
ilmu kemanusiaan lainnya, mengingat manusia adalah animal simbolicum, dan kebudayaan
tersusun berdasarkan simbol-simbol (Sutrisno dan Putranto, 2005: 130-131).
d. Sintagmatik dan Paradigmatik
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahasa dibangun atas dasar relasi-relasi
pertandaan, salah satunya adalah relasi sintagmatik dan relasi paradigmatik. Kedua relasi ini
memperlihatkan perbedaan hubungan, di mana relasi sintagmatik merupakan relasi yang
linier, dengan kehadiran unsur-unsurnya bersifat in praesentia. Sebaliknya, relasi
paradigmatik memiliki hubungan asosiatif dengan kehadiran unsur-unsurnya bersifat in
absentia. Dalam bahasa dapat digambarkan, misalnya, relasi sintagmatik mangacu pada
hubungan kata perkata atau antar satuan gramatikal, yang dirangkai dalam dimensi waktu
tertentu. Unsur-unsur bahasa dimaksud dapat dipertukarkan sesuai keinginan. Relasi
paradigmatik mengacu pada hubungan unsur-unsur yang berada dalam kelompoknya sebagai
bagian dari sistem. Kelompok ini dibentuk berdasarkan kesamaan atau perbedaanya, yang
memiliki hubungan asosiatif. Dalam Bahasa misalnya dengan sinonim atau antonimnya.
Dengan kata lain, Sachari (2005:69-70) menjelaskan: susunan sintagmatik merupakan
susunan tanda yang bersifat linier dan terikat oleh waktu, sedangkan susunan paradigmatik
lebih bersifat meruang, dan mempunyai hubungan asosiatif yang membentuk suatu
pengertian.
Dalam penjelasan tanda terkait dengan kajian semiotika secara Budiman (2011: 28-
29) umum, banyak hal dapat dijelaskan berdasarkan relasi sintagmatik dan paradigmatik.
Barthes (2012) dan menjelaskannya dalam hal busana (fashion). Bagi perancang busana, ada
pola yang sering digunakan untuk memadu padankan (mix and match) setelan pakaian, agar
terlihat serasi. Pola ini mengacu pada istilah fashion coordinate. Hal ini analog dengan
prinsip langue, khususnya dalam mengkaji hubungan dan keterkaitan unsur-unsur
berdasarkan relasi sintagmatik dan paradigmatik.
Lebih lengkap dijelaskan berdasarkan busana wanita, yang banyak unsur ragam dan
jenisnya. Dalam setelan busana wanita, dapat dibedakan bagian atasan dan bawahannya.
Pembagian ini sudah menujukkan pada konsep relasi sintagmatik, yaitu setidaknya ada dua
unsur yang dihadirkan dalam tata busana. Salah satu dari unsur atasan misalnya kemeja, dan
salah satu dari unsur bawahan misalnya rok.
Masing-masing kelompok atasan dan bawahan ini terdiri dari bagian- bagian dengan
berbagai ragam bentuk dan model. Atasan, selain kemeja, dapat berupa tanktop, blazer, jaket
dan lainnya. Bawahan, selain rok, dapat berupa celana panjang, dan lainnya, yang masing-
masing memiliki berbagai variasi bentuk. Bagian-bagian dalam kelompok atasan atau
bawahan dimaksud memiliki relasi paradigmatik.
e. Denotasi dan Konotasi
Secara khusus, sistem pemaknaan denotasi dan konotasi akan dijelaskan secara rinci
pada bab tersendiri. Pada segmen ini hanya disampaikan sebagai kelanjutan dari prinsip
dikotonis sistem penandaan yang dikembangkan de Saussure. Sebetulnya pemaknaan

98
denotasi dan konotasi secara luas dikembangkan oleh Roland Barthes, yang memperluas ide
dan konsep de Saussure pada kajian semua area kehidupan sosial. Signifikansi Barthes, dan
juga Levi-Strauss adalah sebagai tokoh awal yang mencetuskan paham struktural dan
mengkaji sistem tanda dalam budaya (pioneer of structuralist approaches), Menurutnya, ada
titik-temu atau konvergensi antara linguistik (ilmu- ilmu bahasa) dengan penelitian budaya,
yang pada gilirannya akan memperkaya penelitian semiologi, yaitu ilmu tentang praktik
penandaan (signifying) atau analisis penetapan makna dalam budaya (Sutrisno dan Putranto,
2005: 117).

Selanjutnya, Sutrisno dan Putranto (2005:117) mengatakan: denotasi dan konotasi,


keduanya mengacu pada "tatanan makna kata" (orders of signification). Yang pertama pada
makna kata lugas atau literal, dalam arti menjelaskan sesuatu sebagaimana adanya (denotasi).
Yang lain menggunakan arti kiasan (konotasi), dan dalam arti tertentu melibatkan semacam
metabahasa. Denotasi berada dalam tingkatan proses yang lebih rendah. Aart van Zoest
(1993: 3-4) dalam bukunya yang berjudul Semiotika, menjelaskan denotasi berkaitan dengan
petunjuk langsung dari suatu tanda bahasa, yang mengarah pada makna pertama. Sebaliknya,
konotasi adalah petunjuk tidak langsung, mungkin juga tidak disengaja oleh pengirim, yang
mengarah pada makna kedua.
Menurut Barthes, tanda-tanda dalam aktivitas budaya memiliki kaitan yang kompleks
dengan reproduksi ideologi, jadi bukanlah sesuatu yang polos murni (innocent). Dalam
perkembangannya, Barthes mengangkat interpretasi tentang berbagai fenomena dan
menghubungkannya dengan kajian yang bernuansa Marxis, misalnya ideologi dan pemujaan
terhadap komoditas (commodity fetishism). Terkait dengan hal ini, pada bagian akhir
bukunya yang berjudul Mythologies (1957), Barthes mengatakan, kita perlu menghubungkan
studi abstrak tentang tanda-tanda (semiotik) dengan penalaran sosiologis mengenai
bagaimana bentuk-bentuk konkret dan fungsi tanda-tanda abstrak tersebut (Sutrisno dan
Putranto, 2005: 119).
Lebih jauh, dalam pemahaman terhadap tanda dan kode, Barthes mengatakan tidak
ada makna yang definitif, selalu terbuka kemungkinan berbagai interpretasi. Dalam teori
budaya, ketika seseorang melakukan pembacaan (reading), tidak hanya melakukan
interpretasi buku, teks, atau objek budaya, namun lebih jauh mencakup proses di mana orang
bisa memaknai simbol, mitos, dan ideologi di sekelilingnya secara terbuka. Dengan
demikian, akan lahir multi interpretasi. Dengan prinsipnya ini, Barthes membuka jalan bagi
postrukturalisme yang kemudian lahir, yang melampaui strukturalisme klasik, sehingga
eksistensi Barthes sendiri bergeser pada postrukturalisme.
3. Prospek Kajian Semiologis
Konsep de Saussure tentang bahasa dan tuturan (ujaran) sudah menjadi lumrah dalam
kajian ilmu-ilmu sosial, yang dikenal dengan peralihan linguistik. Lingkup sosiologis konsep
bahasa dan tuturan ini di antarnya dikembangkan oleh Roland Barthes dan Claude Levi-
Strauss. Dalam berbagai pernyataan, Roland Barthes dipandang sebagai tokoh utama yang
mengembangkan strukturalisme linguistik de Saussure pada struktur sistem tanda yang
disebut semiotika. Sebagai pengkajian struktur tanda, cakupan semiotika lebih luas dari pada
struktur linguistik, karena tidak hanya yang berkaitan dengan bahasa, tetapi juga sistem

99
simbol dan tanda secara luas; semua bentuk komunikasi (seperti ekspresi muka, bahasa
tubuh), naskah kesusasteraan, dan semua elemen kebudayaan (Ritzer dan Goodman, 2011:
604-605). Barthes juga mengembangkan beberapa istilah yang berkaitan dengan tanda, yaitu:
sinyal, ikon, indeks, simbol, dan alegori (Van Zoest, 1993: 23-24).
Signifikansi Barthes ini luar biasa, karena mengembangkan ide-ide de Saussure pada
semua area kehidupan sosial. Barthes dalam Ritzer (2010: 54) mengatakan: Semiologi....
bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya: image, gestur, suara
musik, objek, dan segala yang terkait dengan semuanya, yang membentuk isi ritual, hiburan
konvensi atau publik. Jadi ini merupakan, jika tidak bahasa-bahasa, sekurang-kurangnya
sistem signifikansi.

Aspek penandaan yang menjadi objek kajian semiotika adalah segala sesuatu yang
terjadi dalam kehidupan ini, terutama yang berkaitan dengan aspek budaya masyarakat: karya
seni, objek pariwisata, kegemaran berbelanja, menonton televisi, konsumerisme,
komodifikasi, dan sebagainya. Jadi tidak hanya bahasa, "lingkaran linguistik" melingkupi
semua fenomena sosial dan budaya yang bisa ditafsirkan sebagai tanda dalam pemahaman
Sebagaimana Barthes, karya-karya Levi-Strauss juga banyak merujuk semiotika.
pada konsep-konsep de Saussure. Levi-Strauss memperluas kajian de Saussure
tentang bahasa ke persoalan-persoalan antropologis, misalnya sistem kekerabatan, dan juga
mitos dalam masyarakat primitif. Contoh: sistem pertalian keluarga (kinship) dalam
masyarakat tradisi, dianalogikan sebagai sistem komunikasi, dan dengan demikian dapat
dikaji dengan analisis struktural. Dalam hubungan pernikahan misalnya, saling memberi dan
menerima suami-istri, juga bisa dianalisis sebagaimana dalam pertukaran kata dan tanda
dalam bahasa. Kajian ini membuka pintu untuk menerapkan seluas-luasnya linguistik
struktural Saussurian pada semua bentuk komunikasi. Inovasi utamanya adalah
rekonseptualisasi fenomena sosial yang amat luas. Hal ini merupakan pertukaran sosial yang
dapat dipelajari berdasarkan antropologi struktural (Ritzer, 2010: 54).
Melalui kajiannya ini, Levi-Strauss hendak menunjukkan bahwa manusia sebagai
subjek tidak seotonom seperti yang dibayangkan eksistensialis Sartre, dan juga fenomenologi
Husserl. Menurut Levi-Strauss, manusia tidak selalu bertindak sadar dan membuat pilihan
subjektivitasnya dalam kebebasan, tetapi ada "struktur" yang tidak sepenuhnya disadari
menentukan tindakan dan pilihan-pilihan partikular dari setiap individu. Dia dengan tegas
mengatakan: tujuan akhir ilmu kemanusiaan bukanlah untuk membentuk manusia, melainkan
untuk meluruhkannya. Sehubungan dengan itu, sebagai seorang antropolog, dia berkeyakinan
bahwa tugas disiplin ilmu adalah untuk mempelajari "struktur terdalam" yang tersembunyi di
balik ungkapan-ungkapan individual, yang dipermukaan terlihat "kacau", tidak bisa
diramalkan, dan bahkan tidak terpola (Sutrisno dan Putranto, 2005: 125- 126).
Levi-Strauss juga mengkaji pemikiran beberapa tokoh, yaitu Marx dan Freud, serta
keilmuan geologi dalam upaya pencariannya untuk memperkaya kajian strukturalismenya.
Namun, model dasar strukturalisme antropologi Levi-Strauss tetap linguistik struktural
Saussurian. Dia meyakini bahwa elemen atau material untuk membentuk bahasa sama tipe
atau jenisnya dengan elemen atau material yang digunakan untuk membentuk budaya, yaitu:

100
relasi logis, oposisi, korelasi, dan sejenisnya. Bahasa merupakan kondisi awal bagi
kebudayaan, keduanya hasil pemikiran manusia yang memiliki korelasi.
Berikutnya adalah beberapa ilustrasi korelasi pemikiran Levi-Strauss dengan contoh
persamaan antara sistem linguistik (bahasa) dan sistem kinship (budaya). Pertama, bagi
antropolog struktural, terma yang dipergunakan untuk mendeskripsikan kinship dianalogikan
sebagai fonem dalam bahasa, merupakan unit dasar analisis. Kedua, baik terma kinship mau-
pun fonem memiliki maknanya sendiri. Malahan, seperti longue de Saussure, keduanya
mendapatkan makna jika keduanya bagian yang integral dari sistem yang luas. Dalam kajian
antropologinya, Levi-Strauss tetap menggunakan sistem oposisi biner (contoh: the Raw and
the Cooked), yang banyak digunakan de Saussure dalam linguistik. Ketiga, Levi-Strauss
mengakui adanya variasi empiris dari setting ke setting dalam sistem fonemik dan kinship,
namun variasi ini tetap bisa dilacak dengan operasi hukum umum, bahkan pada operasi
hukum yang tersembunyi (Ritzer, 2010: 54-55). Hasil penelitian Levi-Strauss yang sudah
dibukukan; "Struktur- Struktur Elementer Kekerabatan", menjelaskan tentang sistem
kekerabatan dan perkawinan suku primitif. Dijelaskannya, aturan atau sistem yang diikuti
oleh orang primitif sama dengan aturan atau sistem bahasa, terdiri dari relasi- relasi dan
oposisi-oposisi. Misalnya dalam kekerabatan: suami> <istri, bapak> <anak, saudara laki-
laki> <saudara perempuan, dan seterusnya. Kekerabatan juga merupakan suatu sistem
komunikasi, sebagaimana bahasa, sistem kekerabatan tidak sepenuhnya dijalankan dengan
aturan-aturan yang disadari.
Mitos juga merupakan sistem komunikasi. Sebagaimana bahasa memiliki unsur
seperti fonem yang disusun, mitos juga memiliki unsur terkecil yang disebut mitem
(mythems). Makna mitos dikonstruksi dari makna-makna mitem, yang sekaligus
merefleksikan bagaimana mitem tersusun membentuk kesatuan struktural. Mitem-mitem ini
juga dieksplorasi lebih jauh oleh Levi-Strauss untuk menemukan oposisi binernya, agar
memperoleh pengertian tentang struktur dalam sistem kemasyarakatan tertentu.
Kesimpulannya adalah, logika dalam pemikiran mitologis sama ketatnya dengan sains
modern. Dia menolak anggapan bahwa pemikiran primitif lebih rendah, dan menjelaskan
bahwa sains dan magis merupakan dua model paralel untuk mendapatkan pengetahuan.
Kajian Levi-Strauss tentang mitos, sistem kekerabatan, adat perkawinan, dan simbol-simbol
kebudayaan etnis dan primitif, memberi sumbangan pemikiran yang sangat berharga bagi
kajian budaya (Sutrisno dan Putranto, 2005: 137 dan 140). Kecenderungan perkembangan
bahasa dan tuturan dalam lingkup sosiologis dan kultural ini, memperlihatkan betapa luas
perkebangannya pada ranah ekstra-linguistik dan metalinguistik.
4. Semiologi dalam Aplikasi
Untuk lebih memahami bagaimana pendekatan linguistik de Saussure diterapkan
dalam menganalisis sistem penandaan, pada subbab ini dicontohkan dengan produk budaya
Batak, yaitu ulos dan sigale-gale ("komodifikasi produk budaya Batak dalam perspektif
semiotika Saussurian"). Contoh ini merupakan model alternatif analisis semiotika yang dapat
dikembangkan. Secara kontekstual, semotika (semiologi) de Saussure sangat relevan
dielaborasi untuk mengkaji permasalahan komodifikasi ulos dan sigale-gale sebagai produk
budaya Batak, bentuk kearifan lokal Sumatera Utara, terutama dengan melihatnya sebagai
teks-teks bahasa visual. Bahasa dimaksud merupakan tanda-tanda yang mengandung makna.
Dalam pemahaman luas, produk ulos, segale-gale, dan produk budaya lainnya adalah bagian

101
dari bahasa, di mana semua unsur-unsurnya merupakan struktur yang dapat dibaca sebagai
teks-teks bahasa visual.
Dalam mengkaji komodifikasi ulos dan sigale-gale, prinsip dasar teori de Saussure
berupa distingsi: langue-parole, sinkronik-diakronik, dan penanda-petanda merupakan hal
yang penting sebagai pijakan. Komodifikasi hakekatnya adalah proses "perubahan". Dalam
konteks ulos dan sigale-gale, komodifikasi adalah perubahan dari nilai tradisi-sakral menjadi
modern- komersial. Dua hal ini merupakan bentuk oposisi biner.
Produk tradisi Batak masa lalu, yang berkaitan dengan aspek kebahasaan (langue)
memiliki tata nilai dan tata aturan baku. Masyarakat menerimanya dan menjalankannya
dengan kerelaan tanpa banyak interpretasi, sebagaimana orang memahami bahasa yang sudah
dibakukan di dalam kamus. Sebaliknya, perubahan produk budaya sekarang, yang berkaitan
dengan aspek tuturan atau ujaran (parole), tidak lagi memiliki tata nilai dan tata aturan yang
baku, selalu berubah dan berkembang, sehingga melahirkan berbagai interpretasi,
sebagaimana karakter budaya kontemporer. Dalam konteks ini, lebih jauh, prinsip parole
menjadi dasar dalam pemahaman budaya kontemporer dalam khasanah posmodernisme
dengan teori postrukturalisme.
Antara langue dengan parole di samping merupakan oposisi biner, juga memiliki
relasi diferensial. Adanya langue memungkinkan berkembangnya parole. Produk tradisional
(ulos dan sigale-gale) sebagai langue, menjadi dasar bagi lahir dan berkembangnya produk
modern dan kontemporer yang dinyatakan sebagai parole. Keduanya berkaitan erat, langue
perlu agar parole dapat saling dipahami dan menghasilkan segala dampaknya. Sebaliknya
parole perlu agar langue terumuskan, karena secara historis, fakta parole sering mendahului
(de Saussure, 1988: 86). Oleh sebab itu, agar dapat memahami perubahan produk budaya
Batak sekarang, tidak bisa lepas dari pemahaman terhadap produk tradisi Batak masa lalu.
Hal ini juga sejalan dengan prinsip strukturalisme secara umum, bahwa langue adalah
struktur dalam yang tersembunyi, yang lebih tertata dan beraturan. Sebaliknya, parole adalah
struktur luar yang kasat mata dan terkadang cenderung chaos. Struktur luar atau permukaan
yang seolah tidak beraturan, belum terpola, sehingga sulit dipahami dan diprediksi,
sebetulnya dapat dijelaskan berdasarkan struktur dalam atau langue yang menyembunyikan
realitas sesungguhnya. Karena struktur dalam memiliki mekanisme generatif yang relatif
konstan. Dalam kaitannya dengan kajian ini, untuk dapat menjelaskan struktur permukaan
(parole) dari fenomena komodifikasi budaya tradisi, adalah dengan mengungkap struktur
dalamnya (langue), yaitu nilai-nilai tradisi ulos atau sigale-gale Batak masa lalu.
Berdasarkan perspektif waktu sinkronik dan diakronik, proses komodifikasi produk
budaya Batak meliputi keduanya. Model kajian ini, di samping membahas bagaimana
eksistensi dan perkembangan produk masa lalu dan masa sekarang, juga proses komodifikasi
yang terjadi dalam rentang waktu perubahan sosial dan budaya masyarakatnya. Lebih dari itu,
karena proses komodifikasi pada prinsipnya adalah "perubahan", sangat relevan dilihat dalam
konteks diakronik. Dengan prinsip diakronik, kajian komodifikasi budaya Batak berkaitan
dengan aspek kesejarahan dalam proses perubahan yang terjadi. Kajian ini menjelaskan
perkembangan dan perubahan budaya beserta dampak yang dilahirkannya, mulai dari
keberadaan produk tradisi masa lalu, melewati masa penjajahan dan kemerdekaan, sampai
pada era masyarakat mengalami modernisasi dan berkembangnya daerah Batak (Danau Toba)
menjadi daerah pariwisa

102
Semua bentuk ungkapan budaya masa lalu dan sekarang, beserta aspek sosial budaya
yang melingkupinya, memiliki unsur penanda (signifiant) dan petanda (signifie), yang
beroperasi dalam sistem relasi-relasi dan oposisi- oposisi. Keberadaan unsur penanda dan
petanda ini tidak terlepas dari aspek ideologi (Althusser: 1984: 47), mulai dari ideologi
agama dan kayakinan pada masa lalu, sampai ideologi ekonomi pada era kapitalisasi
sekarang ini. Dalam konteks struktur penanda dan petanda, kajian ini melihat bagaimana
struktur tanda pada produk budaya tradisi masa lalu, dan bagaimana struktur tanda pada
produk budaya masa sekarang. Dengan ini, terlihat bagaimana perubahan sistem pertandaan
(signifikasi) yang terjadi dalam rentang waktu tertentu.
Substansi komodifikasi ulos dan sigale-gale dalam konteks sistem pertandaan adalah
bagaimana membandingkan produk tradisi masa lalu dengan produk sekarang. Dalam
perbandingan ini, komodifikasi tentunya memperlihatkan perubahan-perubahan, yang
memberi dampak pada berbagai aspek kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Perubahan
yang terjadi dalam hal ini akan melahirkan perbedaan. Hal ini sejalan dengan ungkapan de
Saussure bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang dihubungkan dengan struktur
perbedaan. Jadi, komodifikasi merupakan bentuk struktur perbedaan antara produk masa lalu
yang bersifat sakral- magis dengan produk sekarang yang bersifat komersial. Misalnya:
struktur penanda-petanda produk masa lalu, dapat dibedakan dengan struktur penanda-
petanda produk masa sekarang. Apa yang digambarkan ini, menjelaskan bagaimana struktur
penandaan langue-parole, sinkronik- diakronik, dan penanda-petanda beroperasi sebagai
suatu sistem bahasa dan tanda pada komodifikasi produk budaya Batak. Secara khusus dalam
model kajian ringkas ini, komodifikasi ulos yang dibahas adalah jenis "ragi idup", yang
dirinci berdasarkan bentuk, fungsi, dan maknanya, dikaji dalam kaitannya dengan dampak
terhadap persepsi dan respon masyarakat, dunia usaha dan pemerintah.
BAB VI
TEORI METAFORA DAN METONIMI ROMAN JAKOBSON
Yusnizar Heniwaty, M.Hum., Ph.D.
1. Defenisi Metafora dan Metonimi
Secara defenisi, metafora adalah penggunaan dalam bahasa ataupun kata-kata, frase,
maupun kalimat yang di gunakan untuk mengungkapkan kepada personal ataupun kelompok
secara langsung dan bukan dengan arti yang sebenarnya. Sedangkan metonimi adalah bentuk
ungkapan perlambangan yang diguanakan dalam bahasa keseharian, dimana ketika
berkomunikasi menghadirkan dua konsep yang saling bertalian, sehingga manakala satu
konsep dikomunikasikan, maka muncul konsep lain yang menjadi acuannya. Secara
sederhana dapat dikatakan, metafora akan membandingkan sesuatu yang memiliki kedekatan
makna, sedangkan metonimi kedekatan acuan, atau metafora memiliki perbandingan dan
persamaan, sedangkan metonimi adalah berdampingan dan berdekatan.
Dalam cara pandang semiotic, metafora dan metonimi merupakan bentuk yang paling
penting dari penggunaan bahasa figuratif. Metafora merupakan alat penghias, dicoratif divice.
(Cruse, 2000:202). Saeed menambahkan, metafora dipandang sebagai pemakaian bahasa
yang mencapai tingkat yang tercanggih dalam bahasa sastra dan puisi. Dalam semantik
leksikal makna metonimi adalah makna baru yang dibangun berdasarkan adanya hubungan
kontiguitas atau asosiatif. "Pheerein" Arti kata metafora secara etimologis, terbentuk dari

103
perpaduan dua kata dari bahasa Yuanai "meta" (di atas) dan (mengalihkan/memindahkan).
Dalam bahasa Yunani Modern, kata metafora juga bermakna "transfer" atau "transport".
Dengan demikian, metafora adalah pengalihan citra, makna, atau kualitas sebuah ungkapan
kepada suatu ungkapan lain (Classe: 2000:941).
Dengan demikian metafora merupakan kekuatan bahasa yang menghadirkan cara pandang
untuk melakukan penghalusan secara simbolik, mencari metafora dari sebuah kata dan
kemudian menjelaskan bagaimana pengaruhnya terhadap pembaca. Metafora juga merupakan
bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding seperti
bagai, laksana, seperti, dan sebagainya Sedangkan metonimi merupakan kemampuan bahasa
merujuk pada sinonim atau anonimnya serta kaitannya dengan konsep lain. Metafora (kiasan)
mengidentifikasi hubungan antara benda dengan objek yang dipandang. Perumpamaan adalah
metaphora yang menggunakan kata-kata "seperti" atau "bagaimana" untuk mengungkapkan
mengidentifikasikan pola hubungan sejajar Metonimia diturunkan dari bahasa Yunani meta
yang berarti menunjukan perubahan dan anoma yang berarti nama. Dengan demikian,
metonimia adalah suatu gaya yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal
lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu
untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk
akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Berbeda halnya dengan metafora,
metonimia muncul dengan kata-kata yang telah diketahui dan saling berhubungan.
Metonimia merupakan sebutan pengganti untuk sebuah objek atau perbuatan dengan atribut
yang melekat pada objek atau perbuatan yang bersangkutan.
2. Apa itu Metafora
Para ahli semiotic menjelaskan tentang apa itu Metafora yang memiliki arti adalah kiasan
yang mengandung unsur-unsur yang kadang-kadang tidak disebutkan secara explisit. Selain
itu metafora juga merupakan suatu alat atau imajinasi puitis dan tulisan retoris yang lebih
merupakan bahasa yang tidak bisa dibandingkan dengan bahasa yang umum. Lebih jauh lagi,
metafora secara tipikal dipandang sebagai karakteristik suatu bahasa itu sendiri, sebagai
sesuatu yang lebih berhubungan dengan kata-kata dibandingkan dengan peikiran dan
tindakan (George Lakoff dan Mark Jhonson (1980:3).
Secara umum dapat dikatakan metafora merupakan hal-hal umum yang terjadi dalam
kehidupan pada setiap peristiwa/keadaan (tidak hanya dalam bahasa, namun dalam setiap
tindakan dan pemikiran). Ada beberapa contoh dalam kiasan yang menyatakan tentang retoris
dikemukakan atau dijelaskan. Klimaks, Anti klimaks, Antitesis, Apostrof, Eufemisme,
Seruan, Hiperbola Litotes, Similie, Metonimi, Conceit, Ironi, Onomatopei, Oksimoron,
Paradoks Personifikasi, Pertanyaan retorik, sinekdoke. Kesemua contoh kiasan ini merupakan
alat metaforis untuk menjelaskan hal-hal yang mau diungkapkan, sehingga metafora dapat
dikatakan bersifat stilistik, karena ia merupakan alat untuk membuat cara berkomunikasi
yang lebih prosais dan literal. Dengan demikian tampak jelas bahwa metafora mendominasi
komunikasi sehari-han dan merupakan sumber dari banyak praktis simbolik (Marcel Danesi,
2010, 168).
a. Klasifikasi Metafora
Metafora dapat diklasifkasikan dalam berbagai kelompok sesuai dengan banyaknya
sudut pandang dan kriteria yang bisa digunakan sebagai landasan. Dalam penjelasan
ini diuraikan klasifikasi yang diacu dari bidang sastra. Klasifikasi berdasarkan unsur

104
fungsional Sintaksis dari segi Sintaksis Wahab (1995:72) membagi metafora kedalam
tiga kelompok, yaitu metafora nominatif, metafora predikatif, dan metafora kalimat.
b. Klasifikasi Larson (1998: 274-275) membedakan metafora dalam dua kelompok
metafora mati (dead metafohor) dan metafora dan metafora hidup (live metafor).
Metafora mati digunakan pendengar atau pembaca tidak memikirkan makna literal
kata-kata pembentuknya, tetapi langsung memikirkan makna idiomatik ungkapan itu
secara Ingsung. Metafora Hidup adalah metafora yang dibentuk oleh penulis atau
pembicaraan pada saat dia ingin menjelaskan sesuatu yang kurang dikenal dengan
membandingkannya kepada sesuatu yang sudah dipahami.
3. Apa itu Metonimi
Metonimia adalah majas atau gaya bahasa yang menggunakan kata untuk mewakili sesuatu
yang lain dari makna kata aslinya berdasarkan pertalian yang dekat dari keduanya.
Metonimia tidak hanya dapat digunakan menggunakan merk atau label saja. Keraf (2010,
hlm. 142) berpendapat bahwa metonomia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan
kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Intinya,
majas ini menggunakan kata yang bertalian dengan kata yang sebenarnya ingin diungkapkan.
Selanjutnya Altenbernd (dalam Pradopo, 2013, hlm. 77) mengemukakan bahwa metonomia
adalah penggunaan bahasa sebagai atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat
berhubungan dekat dengannya untuk menggantikan objek tersebut.
4. Roman Jakobson
Roman Jakobson seorang ahli linguistik dari abad 20, merupakan pelopor analisis
struktural bahasa dan salah satu ahli bahasa yang paling berpengaruh. Jakobson lahir di Rusia
pada tanggal 11 Oktober 1896 dari keluarga keturunan Yahudi, yang sudah tertarik dengan
bahasa pada usia yang sangat muda. la belajar di Institut Lazarev Bahasa-bahasa Oriental dan
kemudian di Fakultas Sejarah-Philologi Universitas Moskow. Sebagai seorang mahasiswa,
dia adalah tokoh terkemuka dari Moscow Linguistic Circle dan ambil bagian dalam dunia
aktif seni avant-garde di Moskow. Jakobson, di sisi lain, telah berhubungan dengan karya
Ferdinand de Saussure, dan mengembangkan sebuah pendekatan yang berfokus pada cara di
mana struktur bahasa berfungsi sebagai fungsi dasar (pendekatan sinkronis) untuk
mengkomunikasikan informasi antar penutur.
5. Pemikiran Roman Jakobson
Pemikiran Roman Jakobson dalam bukunya berjudul Linguistics and Poetics menyebutkan
bahwa metafora berfungsi sebagai media pengungkapan perasaan manusia misalnya rasa
sedih, gembira, marah, kesal. dan sebagainya. Fungsi tersebut juga bisa disebut sebagai
fungsi emotif (Jakobson, 1960:4). Metafora juga berfungsi sebagai penyampai pesan atau
amanat tertentu, pengungkapan gagasan, perasaan, kemauan, dan tingkah laku seseorang.
Fungsi ini disebut juga dengan fungsi puitik (Jakobson: 1960:17). Fungsi metafora ini
dipahami dari proses pembacaannya terhadap literatur khususnya puisi, bagi Jakobson,
metafora bergantung pada sumbu paradigma sedangkan metonimi bergantung pada sumbu
sintagma; keduanya mewakili dua prosedur yang berbeda: prosedur yang pertama adalah
penggantian dengan kemiripan dan yang kedua penggantian dengan kontinguitas/hubungan
(Eco, 2009: 418).

105
Makna akan muncul dari hubungan tanda satu dengan tanda-tanda lais yang hadir secara
laten tersebut. Semakin kuat suatu tanda menghadirkan tanda-tanda lain yang laten tersebut,
semakin kuat pula tanda tersebut menghadirkan makna. Misalnya. Kata "lapar", dapat diganti
dengan "perut keroncongan" (perut kok bisa main keroncong ?) dan frasa "sepeda motor"
dalam contoh di atas dapat diganti dengan prasa "kuda besi" (kuda yang terbuat dari besi ?)
sehingga, contoh kalimat di atas dapat diubah seperti berikut "perut saya keroncongan dan
tepat di tepi jalan ada warung makan tegal. Maka saya menepikan kuda besi, masuk ke
warung tersebut, dan memesan nasi ayam serta es jeruk" contoh lain, misalnya kita pakai kata
"manis:. Wajah gadis itu manis "wajah kok manis"? yang manis itu es atau permen atau gula.
Wajah itu "cantik". Akan tetapi, kata "manis" dalam "wajah gadis itu manis," menghadirkan
kata "cantik". Frase "perut keroncongan menghadirkan kata "lapar", dan, frasa "kuda besi"
menghadirkan frasa "sepeda motor".
Metonimia menurut Roman jakobson menjelaskan bahwa metonimia memuat hubungan
langsung antara ungkapan verbal dan isinya dalam satu kalimat sebagai hubungan antar tanda
secara sintamatik. Analoginya adalah seperti "hubungan tetangga". Tanda dihubungkan
dengan tanda lain di sekitarnya sehingga menghasilkan rangkaian sintagma. Hubungannya
ibarat sebuah gerendel rantai yang saling terkait satu dengn yang lain; bergandengan dengan
kirinya. Hubungannya berurutan/berangkaian yang satu mengikuti yang lain.
6. Makna menurut Roman Jakobson

Roman jakobson menekankan bahwa makna terletak pada penanda bukan pada pertanda ia
juga membagi 3 macam jenis penerjemahan: 1). Penerjemahan intralingual. 2) penerjemahan
interlingual, 3) penerjemahan intersemiotik.
 Intralingual:
Penulisan teks dengan kata-kata yang berbeda (memparafrase) pengungkapan makna
dengan cara berbeda.
Penulisan ulang makna teks ke dalam satu teks lain dalam bahasa yang sama.
 Interlingual:
Penulisan ulang makna dari teks ke dalam teks lain dengan bahasa yang berbeda
 Intersemiotik:
Mengungkap makna dari suatu teks tulis ke dalam sistem tanda
Metafora retoris : kesamaan
Metonimi : kesinambungan
Berdasarkan Roman Jakobson, Gustav Blanke (1973:18) membedakan makna menjadi 6
kelompok yaitu;
1. Makna intralingual-paradigmatis yang memiliki hubungan sistemis antara kata-
dengan kata-kata lain dalam suatu sistem bahasa. Pakar lingusitik menyebutnya
dengan Grammen, Klassemen, Kolligationen, Kolokationen, dan Stellenwerten.

106
2. Makna referensial merupakan makna dalam suatu pembicaraan. Pakar linguistik
menyebutnya dengan Denotation, Sememen dan Semen.
3. Makan asosiatif adalah makna yang berasal dari imaji penutur
4. Makna afektif dan emotif adalah tujuan dari sebuah pembicaraan dan respon dari
lawan bicara yang mengandung perasaanatau emosi.
5. Makna situatif atau pragmatismelah makna yangtimbuldarikonteks atau situasi.
6. Makna stilistis atau puitis merupakan makna yangmemilikiefek estetik, yaitu efek
yang ditimbulkan olehinterpretasiataustillemen.
Jakobson membagi fungsi dari makna vaitu, 1)fungsi referensial, pengacu pesan; 2)
fungsi emotif, pengungkap keadaan pembicara; 3) fungsi konatif, untuk meotivasi dan
mempengaruhi orang lain agar bersikap dan berbuat sesuatu; 4) fungsi metalingual, penerang
terhadap sandi atau kode yang digunakan; 5) fungsi fatis.Pembuka,pembentuk, pemelihara,
hubungan atau kontak antarapembicaradenganpenyimak;dan 6) fungsi fuitis. Penyandi pesan.
D. Metafora dan Metonimi dalam Aplikasi
Metafora dan metonimi menjadi pendekatan ilmu yang digunakan dalam
bidang seni tari, sebagai salah satu cara mengungkapkan imajinasi berdasarkan hal-
hal yang dialami. Penjelasan Jacobson bahwa Metafora tidak mengacu pada makna
sebenarnya, tetapi menjadi suatu bentuk simbolisasi dari arti yang ingin disampaikan
sebagai hubungan antar tanda secara paradigmatik. Pemahaman metafora ini, dapat
digunakan dan memberi peluang pada koreografer (pencipta tari) untuk
menterjemahkannya dalam melihat sesuatu dari sudut pandang lain.Para koreografer
akan memberikan variasi yang imajinatif untuk mengungkapkan ekspresi bersumber
dari sebuah peristiwa. Satu peristiwa, menjadi sumber karya kedalam sebuah karya
tari merupakan inovasi baru, dengan berbagai bentuk karya, yang merubah sudut
pandang yang akan menghasilkan karya yang berbeda.
BAB VI
TEORI METAFORA DAN METONIMI ROMAN JAKOBSON
Yusnizar Heniwaty, M.Hum., Ph.D.
1. Defenisi Metafora dan Metonimi
Secara defenisi, metafora adalah penggunaan dalam bahasa ataupun kata-kata, frase,
maupun kalimat yang di gunakan untuk mengungkapkan kepada personal ataupun kelompok
secara langsung dan bukan dengan arti yang sebenarnya. Sedangkan metonimi adalah bentuk
ungkapan perlambangan yang diguanakan dalam bahasa keseharian, dimana ketika
berkomunikasi menghadirkan dua konsep yang saling bertalian, sehingga manakala satu
konsep dikomunikasikan, maka muncul konsep lain yang menjadi acuannya. Secara
sederhana dapat dikatakan, metafora akan membandingkan sesuatu yang memiliki kedekatan
makna, sedangkan metonimi kedekatan acuan, atau metafora memiliki perbandingan dan
persamaan, sedangkan metonimi adalah berdampingan dan berdekatan.
Dalam cara pandang semiotic, metafora dan metonimi merupakan bentuk yang paling
penting dari penggunaan bahasa figuratif. Metafora merupakan alat penghias, dicoratif divice.
(Cruse, 2000:202). Saeed menambahkan, metafora dipandang sebagai pemakaian bahasa
yang mencapai tingkat yang tercanggih dalam bahasa sastra dan puisi. Dalam semantik

107
leksikal makna metonimi adalah makna baru yang dibangun berdasarkan adanya hubungan
kontiguitas atau asosiatif. "Pheerein" Arti kata metafora secara etimologis, terbentuk dari
perpaduan dua kata dari bahasa Yuanai "meta" (di atas) dan (mengalihkan/memindahkan).
Dalam bahasa Yunani Modern, kata metafora juga bermakna "transfer" atau "transport".
Dengan demikian, metafora adalah pengalihan citra, makna, atau kualitas sebuah ungkapan
kepada suatu ungkapan lain (Classe: 2000:941).
Dengan demikian metafora merupakan kekuatan bahasa yang menghadirkan cara pandang
untuk melakukan penghalusan secara simbolik, mencari metafora dari sebuah kata dan
kemudian menjelaskan bagaimana pengaruhnya terhadap pembaca. Metafora juga merupakan
bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding seperti
bagai, laksana, seperti, dan sebagainya Sedangkan metonimi merupakan kemampuan bahasa
merujuk pada sinonim atau anonimnya serta kaitannya dengan konsep lain. Metafora (kiasan)
mengidentifikasi hubungan antara benda dengan objek yang dipandang. Perumpamaan adalah
metaphora yang menggunakan kata-kata "seperti" atau "bagaimana" untuk mengungkapkan
mengidentifikasikan pola hubungan sejajar Metonimia diturunkan dari bahasa Yunani meta
yang berarti menunjukan perubahan dan anoma yang berarti nama. Dengan demikian,
metonimia adalah suatu gaya yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal
lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu
untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk
akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Berbeda halnya dengan metafora,
metonimia muncul dengan kata-kata yang telah diketahui dan saling berhubungan.
Metonimia merupakan sebutan pengganti untuk sebuah objek atau perbuatan dengan atribut
yang melekat pada objek atau perbuatan yang bersangkutan.
2. Apa itu Metafora
Para ahli semiotic menjelaskan tentang apa itu Metafora yang memiliki arti adalah kiasan
yang mengandung unsur-unsur yang kadang-kadang tidak disebutkan secara explisit. Selain
itu metafora juga merupakan suatu alat atau imajinasi puitis dan tulisan retoris yang lebih
merupakan bahasa yang tidak bisa dibandingkan dengan bahasa yang umum. Lebih jauh lagi,
metafora secara tipikal dipandang sebagai karakteristik suatu bahasa itu sendiri, sebagai
sesuatu yang lebih berhubungan dengan kata-kata dibandingkan dengan peikiran dan
tindakan (George Lakoff dan Mark Jhonson (1980:3).
Secara umum dapat dikatakan metafora merupakan hal-hal umum yang terjadi dalam
kehidupan pada setiap peristiwa/keadaan (tidak hanya dalam bahasa, namun dalam setiap
tindakan dan pemikiran). Ada beberapa contoh dalam kiasan yang menyatakan tentang retoris
dikemukakan atau dijelaskan. Klimaks, Anti klimaks, Antitesis, Apostrof, Eufemisme,
Seruan, Hiperbola Litotes, Similie, Metonimi, Conceit, Ironi, Onomatopei, Oksimoron,
Paradoks Personifikasi, Pertanyaan retorik, sinekdoke. Kesemua contoh kiasan ini merupakan
alat metaforis untuk menjelaskan hal-hal yang mau diungkapkan, sehingga metafora dapat
dikatakan bersifat stilistik, karena ia merupakan alat untuk membuat cara berkomunikasi
yang lebih prosais dan literal. Dengan demikian tampak jelas bahwa metafora mendominasi
komunikasi sehari-han dan merupakan sumber dari banyak praktis simbolik (Marcel Danesi,
2010, 168).
c. Klasifikasi Metafora

108
Metafora dapat diklasifkasikan dalam berbagai kelompok sesuai dengan banyaknya
sudut pandang dan kriteria yang bisa digunakan sebagai landasan. Dalam penjelasan
ini diuraikan klasifikasi yang diacu dari bidang sastra. Klasifikasi berdasarkan unsur
fungsional Sintaksis dari segi Sintaksis Wahab (1995:72) membagi metafora kedalam
tiga kelompok, yaitu metafora nominatif, metafora predikatif, dan metafora kalimat.
d. Klasifikasi Larson (1998: 274-275) membedakan metafora dalam dua kelompok
metafora mati (dead metafohor) dan metafora dan metafora hidup (live metafor).
Metafora mati digunakan pendengar atau pembaca tidak memikirkan makna literal
kata-kata pembentuknya, tetapi langsung memikirkan makna idiomatik ungkapan itu
secara Ingsung. Metafora Hidup adalah metafora yang dibentuk oleh penulis atau
pembicaraan pada saat dia ingin menjelaskan sesuatu yang kurang dikenal dengan
membandingkannya kepada sesuatu yang sudah dipahami.
3. Apa itu Metonimi
Metonimia adalah majas atau gaya bahasa yang menggunakan kata untuk mewakili sesuatu
yang lain dari makna kata aslinya berdasarkan pertalian yang dekat dari keduanya.
Metonimia tidak hanya dapat digunakan menggunakan merk atau label saja. Keraf (2010,
hlm. 142) berpendapat bahwa metonomia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan
kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Intinya,
majas ini menggunakan kata yang bertalian dengan kata yang sebenarnya ingin diungkapkan.
Selanjutnya Altenbernd (dalam Pradopo, 2013, hlm. 77) mengemukakan bahwa metonomia
adalah penggunaan bahasa sebagai atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat
berhubungan dekat dengannya untuk menggantikan objek tersebut.
4. Roman Jakobson
Roman Jakobson seorang ahli linguistik dari abad 20, merupakan pelopor analisis
struktural bahasa dan salah satu ahli bahasa yang paling berpengaruh. Jakobson lahir di Rusia
pada tanggal 11 Oktober 1896 dari keluarga keturunan Yahudi, yang sudah tertarik dengan
bahasa pada usia yang sangat muda. la belajar di Institut Lazarev Bahasa-bahasa Oriental dan
kemudian di Fakultas Sejarah-Philologi Universitas Moskow. Sebagai seorang mahasiswa,
dia adalah tokoh terkemuka dari Moscow Linguistic Circle dan ambil bagian dalam dunia
aktif seni avant-garde di Moskow. Jakobson, di sisi lain, telah berhubungan dengan karya
Ferdinand de Saussure, dan mengembangkan sebuah pendekatan yang berfokus pada cara di
mana struktur bahasa berfungsi sebagai fungsi dasar (pendekatan sinkronis) untuk
mengkomunikasikan informasi antar penutur.
5. Pemikiran Roman Jakobson
Pemikiran Roman Jakobson dalam bukunya berjudul Linguistics and Poetics menyebutkan
bahwa metafora berfungsi sebagai media pengungkapan perasaan manusia misalnya rasa
sedih, gembira, marah, kesal. dan sebagainya. Fungsi tersebut juga bisa disebut sebagai
fungsi emotif (Jakobson, 1960:4). Metafora juga berfungsi sebagai penyampai pesan atau
amanat tertentu, pengungkapan gagasan, perasaan, kemauan, dan tingkah laku seseorang.
Fungsi ini disebut juga dengan fungsi puitik (Jakobson: 1960:17). Fungsi metafora ini
dipahami dari proses pembacaannya terhadap literatur khususnya puisi, bagi Jakobson,
metafora bergantung pada sumbu paradigma sedangkan metonimi bergantung pada sumbu
sintagma; keduanya mewakili dua prosedur yang berbeda: prosedur yang pertama adalah

109
penggantian dengan kemiripan dan yang kedua penggantian dengan kontinguitas/hubungan
(Eco, 2009: 418).
Makna akan muncul dari hubungan tanda satu dengan tanda-tanda lais yang hadir secara
laten tersebut. Semakin kuat suatu tanda menghadirkan tanda-tanda lain yang laten tersebut,
semakin kuat pula tanda tersebut menghadirkan makna. Misalnya. Kata "lapar", dapat diganti
dengan "perut keroncongan" (perut kok bisa main keroncong ?) dan frasa "sepeda motor"
dalam contoh di atas dapat diganti dengan prasa "kuda besi" (kuda yang terbuat dari besi ?)
sehingga, contoh kalimat di atas dapat diubah seperti berikut "perut saya keroncongan dan
tepat di tepi jalan ada warung makan tegal. Maka saya menepikan kuda besi, masuk ke
warung tersebut, dan memesan nasi ayam serta es jeruk" contoh lain, misalnya kita pakai kata
"manis:. Wajah gadis itu manis "wajah kok manis"? yang manis itu es atau permen atau gula.
Wajah itu "cantik". Akan tetapi, kata "manis" dalam "wajah gadis itu manis," menghadirkan
kata "cantik". Frase "perut keroncongan menghadirkan kata "lapar", dan, frasa "kuda besi"
menghadirkan frasa "sepeda motor".
Metonimia menurut Roman jakobson menjelaskan bahwa metonimia memuat hubungan
langsung antara ungkapan verbal dan isinya dalam satu kalimat sebagai hubungan antar tanda
secara sintamatik. Analoginya adalah seperti "hubungan tetangga". Tanda dihubungkan
dengan tanda lain di sekitarnya sehingga menghasilkan rangkaian sintagma. Hubungannya
ibarat sebuah gerendel rantai yang saling terkait satu dengn yang lain; bergandengan dengan
kirinya. Hubungannya berurutan/berangkaian yang satu mengikuti yang lain.
6. Makna menurut Roman Jakobson

Roman jakobson menekankan bahwa makna terletak pada penanda bukan pada pertanda ia
juga membagi 3 macam jenis penerjemahan: 1). Penerjemahan intralingual. 2) penerjemahan
interlingual, 3) penerjemahan intersemiotik.
 Intralingual:
Penulisan teks dengan kata-kata yang berbeda (memparafrase) pengungkapan makna
dengan cara berbeda.
Penulisan ulang makna teks ke dalam satu teks lain dalam bahasa yang sama.
 Interlingual:
Penulisan ulang makna dari teks ke dalam teks lain dengan bahasa yang berbeda
 Intersemiotik:
Mengungkap makna dari suatu teks tulis ke dalam sistem tanda
Metafora retoris : kesamaan
Metonimi : kesinambungan
Berdasarkan Roman Jakobson, Gustav Blanke (1973:18) membedakan makna menjadi 6
kelompok yaitu;

110
7. Makna intralingual-paradigmatis yang memiliki hubungan sistemis antara kata-
dengan kata-kata lain dalam suatu sistem bahasa. Pakar lingusitik menyebutnya
dengan Grammen, Klassemen, Kolligationen, Kolokationen, dan Stellenwerten.
8. Makna referensial merupakan makna dalam suatu pembicaraan. Pakar linguistik
menyebutnya dengan Denotation, Sememen dan Semen.
9. Makan asosiatif adalah makna yang berasal dari imaji penutur
10. Makna afektif dan emotif adalah tujuan dari sebuah pembicaraan dan respon dari
lawan bicara yang mengandung perasaanatau emosi.
11. Makna situatif atau pragmatismelah makna yangtimbuldarikonteks atau situasi.
12. Makna stilistis atau puitis merupakan makna yangmemilikiefek estetik, yaitu efek
yang ditimbulkan olehinterpretasiataustillemen.
Jakobson membagi fungsi dari makna vaitu, 1)fungsi referensial, pengacu pesan; 2)
fungsi emotif, pengungkap keadaan pembicara; 3) fungsi konatif, untuk meotivasi dan
mempengaruhi orang lain agar bersikap dan berbuat sesuatu; 4) fungsi metalingual, penerang
terhadap sandi atau kode yang digunakan; 5) fungsi fatis.Pembuka,pembentuk, pemelihara,
hubungan atau kontak antarapembicaradenganpenyimak;dan 6) fungsi fuitis. Penyandi pesan.
D. Metafora dan Metonimi dalam Aplikasi
Metafora dan metonimi menjadi pendekatan ilmu yang digunakan dalam
bidang seni tari, sebagai salah satu cara mengungkapkan imajinasi berdasarkan hal-
hal yang dialami. Penjelasan Jacobson bahwa Metafora tidak mengacu pada makna
sebenarnya, tetapi menjadi suatu bentuk simbolisasi dari arti yang ingin disampaikan
sebagai hubungan antar tanda secara paradigmatik. Pemahaman metafora ini, dapat
digunakan dan memberi peluang pada koreografer (pencipta tari) untuk
menterjemahkannya dalam melihat sesuatu dari sudut pandang lain.Para koreografer
akan memberikan variasi yang imajinatif untuk mengungkapkan ekspresi bersumber
dari sebuah peristiwa. Satu peristiwa, menjadi sumber karya kedalam sebuah karya
tari merupakan inovasi baru, dengan berbagai bentuk karya, yang merubah sudut
pandang yang akan menghasilkan karya yang berbeda.

BAB VII
SEMIOTIKA ROLAND BARTHES
Dr. Pulumun P.Ginting, M.Sn

1. Semiotika
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinan de Saussure (1857-
1913) dan Charles Sander Pierce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu
semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di
Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Pierce filsafat.
Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Semiologi menurut Saussure
didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa
makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada dibelakangnya sistem pembedaan dan
111
konvensi yang memungkinkan makna itu. Dimana ada tanda disana ada sistem (Sumbo,
2008:11-12).
Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat
dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda disana ada sistem. Artinya,
sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra
kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk aspek lainnya yang disebut
signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung dalam aspek
pertama. Jadi, petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek penanda.
(Sumbo, 2008: 11-13, Marianto, 2006:135-138).
Selanjutnya, menurut Pierce, tanda ialah suatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain
dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce
disebut obyek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi
bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah
pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat
berfungsi sebagai tanda apabila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu
pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. hubungan ketiga unsur yang
dikemukkan Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotik. (Sumbo, 2008: 13-14).
Tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal
dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda antara tanda dengan acuannya ada
hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Indeks adalah
ada hubungan kedekatan eksistensi, contoh, tanda panah penunjuk panah bahwa disekitar
tempat itu ada bangunan tertentu. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya
berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan. (Sumbo, 2008: 14).
2. Semiotika Roland Barthes

a. Denotasi dan Konotasi

Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. la berpendapat bahwa


konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan
pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi berlangsung tatkala tanda bertemu
dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi takala makna
bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif .
Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama.
Penanda tatanan pertama merupakan tanda denotasi. Lewat unsur verbal dan visual, diperoleh
dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang terdapat pada semiosis tingkat pertama dan
makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya. Pendekatan semiotika terletak
pada tingkat signified. maka pesan dapat dipahami secara utuh. (Sumbo, 2008: 15).
Barthes berpendapat bahwa kita dapat berbicara tentang dua sistem pemaknaan:
denotasi dan konotasi. Denotasi adalah level makna deskriptif dan literal dan secara virtual
dimiliki semua anggota suatu kebudayaan. Jadi, 'babi' bermakna denotatif konsep binatang
ternak yang berguna dan berwarna merah muda dengan moncong dan ekor, dan seterusnya.

112
Sedangkan konotasi adalah makna dibangun oleh penanda yang mengaitkan dengan aspek
budaya yang lebih luas; keyakinan, sikap, kerangka kerja dan ideologi suatu bangunan sosial.
Makna menjadi persoalan asosiasi tanda dengan kode makna budaya lain. Jadi, 'babi' bisa
bermakna konotatif polisi nakal atau seseorang chauvinist laki-laki. Menurut sub-kode atau
leksikon yang digunakan. (Barker, 2006: 72).
Meskipun mitos adalah konstruksi budaya, tapi ia bisa tampak sebagai kebenaran
universal yang telah ada sebelumnya dan melekat pada nalar awam. Mitos kemudian mirip
dengan konsep ideologi, yang katanya, bekerja pada level konotasi. Benar, Volosinov (1973)
berpendapat bahwa ranah ideologi terkait dengan arena tanda. Dimana ada tanda maka disitu
ada ideologi. (Barker, 2006: 72). Bagi Barthes, mitos adalah sistem semiologis urutan kedua
atau meta bahasa. Mitos adalah bahasa kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama.
Tanda pada sistem pertama (penanda dan petanda) yang membangun makna denotatif
manjadi penanda pada urutan kedua mitologis konotatif. (Barker, 2006: 72). Alih-alih
memiliki makna denotatif, tanda dikatakan oleh karya Barthes belakangan ini memiliki sifat
polisemik, yaitu, ia banyak membawa makna potensial. Hasil, teks dapat ditafsirkan lewat
berbagai cara.
Jika kita menggunakan kerangka teori Barthes untuk memahami budaya (teks), maka
kita dapat memahami budaya dari dua sistem pemaknaan: denotasi dan konotasi. Denotasi
adalah level makna deskriptif dan literatur secara virtual dimiliki semua anggota kebudayaan.
Misalnya kata "tikus" mengandung makna binatang pengerat. Akan tetapi pada tataran
konotatif makna dikonstruksi oleh penanda yang dikaitkan dengan aspek sosial-budaya.
Dengan demikian makna menjadi permasalahan asosiasi tanda dengan kode makna budaya
lain. Tikus dapat berarti pada koruptor yang membobol uang negara, dapat berarti orang yang
banyak anak dan lain-lain. (Lubis, 2006: 184).
B .Mitos
Menurut Barhes, segala sesuatu yang tetap, mapan, stabil merupakan mitos. Mitos
merupakan pemaknaan yang dibekukan oleh kekuasaan. Ketika manusia memaknai sesuatu
sesuai dengan 'makna resmi' yang seolah-olah inheren secara ilmiah dalam tanda, maka ia
telah tenggelam dalam mitos. (Takwin, 2009: 105).
Mitos menurut Barthes, berbeda dengan makna mitos yang selama ini kita kenal (cerita
tentang dewa-dewi yang dipercayai oleh masyarakat pendukungnya), di sini Barthes
mengemukakan mitos sebagai suatu jenis ujaran (a type of speech). Yang dimaksudkan
dengan ujaran disini adalah yang mengandung pesan. Mitos dapat berupa apa saja, bukan
hanya berbagai jenis tulisan, melainkan juga gambar-gambar, fotografi, film, iklan, mode,
pertunjukan, dan lain- lain. Semua ini dapat mendukung mitos.
Mitos tidak dapat ditentukan oleh objek maupun materinya, karena setiap materi dapat
mengandung makna. Anak panah yang diletakkan sebagai suatu tantangan, juga merupakan
suatu mitos. Sejak awal jelas harus dijelaskan bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi,
mitos membawakan pesan. Hal ini menyebabkan kita menentukan bahwa mitos bukanlah
merupakan suatu objek, suatu konsep ataupun suatu gagasan, mitos adalah suatu cara untuk
memaknai suatu bentuk. (Zaimar dalam Pudentia (ed.), 2008: 344).
Barthes mengemukakan bahwa seseorang pada sebuahfoto, yang diambil pada masa
yang lalu, dapat dianggap hadir di sini, di masa kini, di hadapan kita. Ia, menurut Barthes,

113
telah ada dalam foto itu, artinya, ia akan masih akan ada, sebagaimana layaknya sesuatu yang
hidup. Di dalam dunia seni, representasi masa lalu melalui citraan atau gambar dapat dilihat
dari berbagai cara, serta mempunyai bermacam-macam makna. Objek atau peristiwa-
peristiwa masa lalu dapat digunakan sebagai refrensi imajiner, tempat sebuah seni
mengidentifikasikan dirinya secara dialogis.
Dalam hal ini, masa lalu tersebut berfungsi sebagai apa yang disebut Derrida penanda
dari petanda, atau jejak-jejak penanda yang tanpa akhir, disebabkan kita tak akan pernah
sampai pada sebuah petanda yang akhir, yakni makna atau kebenaran. Mengambil elemen-
elemen dari masa lalu-dengan cara dan kombinasi seperti apa pun- berarti mengambil
sekaligus kode-kode cultural yang ada di balik realitas masa lalu tersebut (Piliang, 2003:
208).
Prinsip utama mitos adalah 'mengubah sejarah menjadi alamiah' (turn history into
nature). Dapat dipahami mengapa para 'konsumen' mitos tidak menyadari adanya motivasi
dan kepentingan yang termanifestasi secara tersembunyi (terselubung) dalam suatu mitos.
Tujuan utama Barthes dalam buku yang berjudul Imaji Musik Teks, bukan melacak dari
mana teks itu berasal (kritisisme historis), atau bahkan pada bagaimana teks itu dibuat
(analisis struktural), melainkan melihat teks itu sebagai sesuatu yang belum selesai,
bagaimana ia menguncup, bagaimana ia mekar lewat kode-kode apa saja teks itu bersuara
(Barthes 2010: 128).
Tanda adalah pesan yang dihasilkan oleh imaji bunyi. Jika dikaitkan hal tersebut
dengan sebuah ensambel musik, maka tanda imaji bunyi itu dimainkan oleh pemain musik
yang mana musik itu memiliki konsep tersendiri yang dapat dimengerti dan digunakan oleh
pemain itu sendiri. Lagu atau melodi yang dihasilkan oleh instrumen pembawa melodi adalah
kumpulan dari beberapa nada, ritem dihasilkan oleh instrtumen perkusi sehingga mengucup
menjadi sebuah frase musik dan akan berkembang menjadi sebuah komposisi.
Partikel bunyi dasar' adalah tubuh ketika suara itu dinyanyikan, tangan ketika suara itu
ditulis, dan lidah ketika suara itu diucap. Ketika saya menangkap atau merasakan 'partikel
bunyi dasar' tersebut dalam sebuah musik lalu berusaha menteorikannya (pengawinan teks
dengan karya), ini berarti bahwa saya menyususn skema evaluasi baru yang tentu saja akan
bersifat individual (saya bertekat untuk mendengarkan kontak antara saya denga tubuh pria
atau perempuan yang sedang bernyanyi atau bermain musik dan kontak itu bersifat erotis),
tetapi sama sekali tidak 'subjektif (bukan 'subjek psikologis yang ada dalam diri saya yang
sedang mendengarkan musik: kenikmatan klimaks diharapkan tidak memperkuat
mengekspresikan - subjek psikologis ini tetapi dapat memberangusnya. (Barthes 2010: 196-
197).
Seandainya kita dapat menyuling atau menciptakan 'estetika' tertentu tentang
kenikmatan musikal, maka kita tak diragukan lagi dapat merekatkan kembali keretakan
tonalitas yang disebabkan oleh modernitas. (Barthes 2010: 198).

BAB VIII
SIMULACRA PERPEKTIF JEAN BAUDRILLARDA

114
a. Fakta dan Informasi
Hubungan antara fakta dan informasi potensial disamarkan. Misalnya, rokok atau merokok sangat
membahayakan kesehatan. Akan tetapi, pada iklan rokok ditelevisi ditampilkan bahwa para perokok
atau yang terkait dengan rokok itu sehat, kuat, segar dan bugar. Seorang laki-laki kekar dan tegap
ditampilkan berkenderaan mobil canggih dan terjatuh dari pesawat tetap selamat.
Terkait dengan iklan rokok di program televisi ditampilkan seseorang meluncur dengan mobil sebagai
ranger dan melompat melewati lembah dan sampai di puncak bukit. Walapun tidak ada aktivitas
merokok ditampilkan, begitu pemuda ranger Itu sampai di puncak bukit, merek rokok ditampilkan.
Kesannya adalah merokok membuat orang sehar dan bugar dan hal ini berlawanan dengan informasi
atau pengetahuan yang lazim diketahui: merokok membunuhmu dan merusak kesehatan. Demikian
juga halnya dalam iklan pembalut wanita, daya serap pembalut wanita itu ditunjukkan dengan cairan
yang berwarna biru (yang seharusnya berwarna merah).

b. Informasi dan Entertainment


Hubungan antara informasi dapat berubah. Dengan kata lain dapat dibuat kesenjangan antara
informasi dan entertainment. Misalnya, di media sosial seperti You Tube atau Face Book berita yang
menunjukkan banjir, perang, pembunuhan atau penipuan digunakan menjadi wadah menampilkan
iklan. Demikian juga dalam tayangan You Tube ditampilkan dua sisi: pemerintah di satu sisi sebagai
pemenang pemilu dan di sisi lain para oposisi yang memberikan kritik terhadap dikebijakan
pemerintah. Kedua sisi saling baku hantam dalam suasana 'perang verbal'. Setelah perang verbal
berhenti seorang pengiklan menampikan tawaran bisisnya berupa penjualan emas batangan dan antan.
Fakta ini menunjukkan bahwa informasi dijadikan entertaiment dan ajang promosi bisnis. Begitu juga,
banjir dan longsor yang menelan korban jiwa digunakan yang seharusnya membuat hati terenyuh,
sedih dengan empati yang mendalam digunakan untuk mengiklankan perusahaan asuransi.

c. Entertainment dan Politik


Hiburan atau entertainment potensial diubah menjadi arena politik. Misalnya, pertandingan sepak
bola, tinju atau catur dapat digunakan menjadi arena politik dengan partai politik A mendukung satu
tim atau petinju dan partai politik B mendukung tim atau perinju lainnya yang berlawan. Dalam satu
iklan seorang pemain golf memukul bola dan bola jatuh ke pelimbahan. Seorang gadis cantink
pengiring pegolf itu atau caddy berupaya mengambil bola dari pelimbahan dan dicegah pegolf dan
menyatakan, "Kita akan hijaukan wilayah ini", yakno moto satu partai politik dalam kampanye
pemilu. Fakta itu menunjukkan bahwa entertainment digunakan sebagai sarana politik untuk
kampanye. Yang sangat menyentuh hati adalah kiriman (papan) bunga kepada seseorang yang
mengalami kemalangan karena kematian. Ucapan turut belasung kawa atau dukacita ditampilkan dan
di akhir ucapan itu tertulis dari "Drs. Fulan calon anggora DPR.... Kemalangan potensial digunakan
untuk kampanye politik.
Melalui proses penyampaian atau penyiaran yang berulang-ulang di media para pemirsa atau
pendengar akan terpengaruh kesan atau citra yang disampaikan dalam simulacra sehingga masyarakat
akan terpengaruh untuk mencoba mengikuti atau melakukan hal yang ditampilkan dalam simulacra.
Masyarakat cenderung membeli produk, bekerja dan bahkan memilih calon presiden, gubernur atau
bupati yang 'diiklankan' melalui simulacra. Dengan kata lain, simulacra mengaburkan dan mengikis
perbedaan antara yang nayta dengan imajiner dan yang benar dengan yang palsu. Dengan demikian,
simulacra potensial mengubah yang buruk menjadi baik atau sebaliknya.

115
Yang membuat istilah simulacra ini adalah Jean Baudrillard, seorang filosof atau tepatnya seorang
sosiolog politik Prancis yang dilahirkan pada 29 Juli 1929 di Reims, Prancis timur laut.
Baudrillarddikenal sebagai filosof komunikasi yang dalam karya dan pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh filsafat Marxisme. Baudrillard mendefinisikan simulacra sebagai suatu teks yang
nampak nyata dari berbagai sisi tetapi sesungguhnya adalah rekayasa yang mencampur unsur nilai,
fakta, tanda, citra dan kode. Orang cenderung mengatakan bahwa simulera adalah suatu kebohongan
yang tampil seperti kebenaran yang nyata. Dengan kata lain, simulacra adalah kebenaran buatan.
Misalnya, dalam situasi pilkada (seperti keadaan atau situasi yang sudah sering kita alami di negara
kita Indonesia) pers dan media sosial berupaya membangun imaji ataukesan seserang calon yang
diungggulkan oleh media atau perusahaan pers itu. Berbagai cara dilakukan dengan menciptakan teks
verbal atau nonverbal yang bertujuan menampilkan sisi terbaik dari calon unggulan itu (walaupun
sesungguhnya calon itu bukan yang baik). Dalam kondisi dan situasi kita saat ini di Indonesia peran
buzzer, influencer dan pendukung yang membuat teks verbal atau nonverbal terhadap peran politik
atau sosial seorang yang didukung merupakan contoh operasional simulacra. Secara alamiah
kebaikansemu yang didedahkan dari calon itu kepada khalayak secara nyata dalam bentuk teks adalah
kenyaataan.
Kenyataan itu ditampilkan dengan menggunakan survey pendapat umum dan wawancara dari dua sisi
(pro dan konta), tampilan si calon yang diunggulkan dibuat alamiah dan nyata. Survey itu
menunjukkan bahwa calon unggulan itu sangat disukai masyarakat karena memiliki dan manampilkan
ciri kepribadian yang diinginkan atau diharapkan oleh khalayak pemilih pada zamannya, Demikiann
juga wawancara yang dilakukan menampilkan dua sisi positif dan negatif. Akan tetapi, sisi positif
dengan berbagai cara diupayakan agar lebih menonjol. Penampilan dua sisi positif dan negatif itu
tampil wajar dan menjadi kenyataan. Tampilan buatan itu membuat situasi bahwa calon. unggulan itu
luar biasa dan layak pilih. Pada kenyataannnya calon dengan kepribadian yang kebaikan dan
keutamaannya direkayasa dalam teks verbal dan non-verbal memiliki pribadi yang berbeda. Dengan
kata lain, teks yang menampilkan kenyataan itu bisa berbeda atau bahkan bertentangan dengan
kepribadian asli atau awal dari calon yang diunggulkan itu. Peran para buzzer dan influencer atau
pendukung memantapkan aktivitas simulacra.

2. Elaborasi
Simulacra mencakupi tiga penahapan secara sistematis, yakni (1) simulasi, (2) simulacra dan (3)
hiperrealitas. Dalam ketiga tahapan itu prinsip dan kaidah semiotika berlangsung.
(1) Simulasi adalah suatu keadaan dengan objek berupa benda, aktivitas atau sifat yang nyata-nyata
diwakilli dengan sesuatu tanda yang lain yang dapat berupa benda, aktivitas atau sifat. Hubungan
semiotika antara kenyataan yang terwakili atau petanda dan yang mewakili atau penanda dapat
bersifat ikonik, indeksikal, atau simbolik. Pada saat yang sama hubungan semiotik itu dapat pula
bersifat lazim atau tidak lazim. Misalnya, dalam konteks pencitraan seorang calon unggulan dalan
suatu pilkada, ditampilkan atau disimulasikan ciri kejujurannya dengan simulasi bahwa sejak kecil si
calon sudah dikenal jujur yang dimulasikan dengan peristiwa berupa saat dia menemukan tas tangan
kecil yang berisi uang dan perhiasan yang mahal terjatuh di jalan yang sepi dan menyerahkan dompet
temuan itu kepada polisi untuk disampaikan atau dikembalikan kepada pemilik tas tangan itu.

116
(2) Simulacra adalah pembentukan realitas baru dari suatu kenyataan yang secara realistis ada. Dalam
konteks pilkada simulasi tentang calon unggulan di media massa atau media sosial akan menjadi fakta
atau kenyataan baru bagi khalayak media itu. Demikian juga pemberitaan dalam surat kabar atau
televisi tentang pribadi seseorang akan menjadi realitas bagi khlayak. Di Indonesia, misalnya, apa-apa
yang diberitakan di surat kabar akan dianggap oleh pembaca sebagai suatu kebenaran atau kenyataan.
Kenyataan baru ini yang muncul di dunia maya atau dunia virtualdan menggantikan sifat atu ciri asli
sesuatu disebut simulacra. Dengan kata lain, simulacra adalah kenyataan buatan baru dari suatu
originalitas.

(3) Hiperealitas adalah tampilan beberapa atau berbagai realitas baru terhadap sesuatu objek
semiotika. Satu media yang memberitakan personalitas seseorang akan menjadi kenyataan dalam
dunia maya. Semakin banyak dan semakin kerapa media membuat kenyaatan buatan itu, kenyataan itu
menjadi kenyataan yang sangat besar dan menjadi milik umum. Demikian juga semakin banyak sifat
atau ciri sesuatu yang dipublikasi oleh satu atau banyak media massa atau sosial, publikasi itu menjadi
hiperrealitas.
Cyberspace merupakan arena simulacra dan para buzzer, influencer danpendukung adalah penggerak
simulacra secara operasional.. Secara teoretis prinsip redoundancysemiotika berlangsung dalam
simulacra, dengan pengertian sebagai berikut. Pada tahap pertama suatu 'arti' direalisasikan dengan
satu ekspresi. Unsur 'arti' dan ekspresi itu membentuk satu fusi dengan ekspresi dan fusi itu menjadi
'arti' pada tahap kedua. Usur 'arti' dan ekspresei pada tahap kedua itu membentuk fusi lagi dan
menjadi unsur 'arti pada tahap ketiga dan demikianlah seterusnya direalisaikan ke ke ekspresi yang
lain yang lebih banyak dan bervariasi. Beberapa dan berbagai ekspresi baru ini pada tahap ketiga
menjadi hiperealitas. Dengan demikian simulasi, simulacra dan hiperrealitas merupakan satu
rangkaian proses semiotika. Berikut adalah beberapa contoh simulacra dalam berbagai aspek budaya.

(1) Pada tahap awal ada benda yang dalam semiotika dikenal sebagai 'arti', yakni (beras). Pada tahap
pertama 'arti' (beras) direalisasikan oleh bunyi [boras] dalam bahasa Indonesia lisan dan atau huruf
<<beras>> dalam bahasa tulisan. Inilah semiotik pada tahap pertama. Unsur 'arti' (beras) menyatu atau
membentuk fusi dengan [bǝras] dan <<beras>>. Pada tahap kedua secara spesifik kata dengan huruf
<<beras>> dipadukan dengan <<miskin>> menjadi <<beras miskin>> yang merupakan realisasi dari
arti 'beras untuk orang miskin'. Pada tahap ini beras sebagai benda biasa telah diubah dengan
menautkannya dengan kata miskin. Pada tahap ketiga <<beras untuk orang miskin>> disingkat
menjadi <<raskin>> dan masih menjadi ekspresi dai arti 'beras untuk orang miskin' Pada tahap
berikutnya, <<raskin>> menjadi penanda gejala sosial kemiskinan' atau 'beban. ekonomi' bagi
pemerintah. Kata raskin menjadi kenyataan yang dibuat dalam simulacra ini.

(2) Singkatan ASEAN adalah semiotik dengan bentuk penuh Associataion of South East Asian
Nations pada tahap pertama adalah simulasi. Akronim ASEAN mewakili 10 negara di Asia Tenggara.
Selanjutnya, muncul akronim AEC sebagai Asean Economic Community dan AFTA sebagai Asean
Free Trade Area. Semuanya AEC dan AFTA merupakan hiperrealitas tentang kesepuluh negara Asia
Tenggara itu.

(3) Di wilayah pantai timur Sumatra Utara pada awalnya ada ekspresel atau teks dengan dialek
Melayu kojo yang berarti 'bekerja dengan menangkap ikan ke laut. Seseorang yang kojo bermakna dia
pergi ke laut dan menangkap ikan. Jika seseorang melakukan kojo pada saat itu akan mendapat

117
imbalan atau upah R1000. Selanjutnya, ada istilah tak kojo yang berarti 'seseorang tidakk pergi ke laut
menangkap ikan tetapi memasarkan ikan tangkapan ke pajak/pasar' yang pada saat itu mendapat
imbalan atau upan Rp500. Jadi jika seseorang melakukan keduanya kojo dan tak kojo dengan ekspresi
kojo tak kojo akan mendapat Rp1500, yakni penambahan upah pada kedua aktifitas itu, yakni Rp1000
ditambah Rp500. Ini pada tahap pertama. Pada tahap kedua ekspresi kojo tak kojo Rp1500 menjadi
satu fusi dan membawa makan kemalasan bagi orang Melayu' sebab kerja atau tidak bekerja sama
saja akan mendapat upah Rp1500. Pada tahap ketiga ekspresi kojo tak kojo Rp1500 menjadi penanda
Melayu khusunya Melayu di Tanjungbalai atau Asahan.

(4) Pada tahap awalnya pada saat Perang Dunia II di Amerika diperlukan kenderaan untuk segala
tujuan yang dikenal sebagai kenderaan untuk semua tujuan atau kenderaan untuk tujuan umum atau
general purpose vehicle. Lalu general purpose vehicle ini disingkat menjadi GP vehicle atau
diucapkan Jeep pee vehicle. Pada tahap kedua bunyi jeep pee itu disingkat menjadi jeep saja dan kini
dikenal sebagai kenderaan yang dapat dipakai dan digunakan di medan atau area kota, desa, dan
rimba.

(5) Pada awalnya ada uang yang dapat digunakan untuk membeli makanan atau barang. Orang
biasanya memakan makanan. Dengan uang makanan dapat dibeli. Pada tahap kedua ada ekspresi dia
memakan uang kantor. Ini adalah simulacra karena memakan uang itu menjadi kenytaan yang selalau
digunakan. Pada dasarnya tidak ada seorangpun yang dapat memakan uang dan kalau uang dimakan
apalagi dalam bentuk koin, materi uang itu dapat merusah pencernaan seseorang

(6) Dalam kenyataannya secara umum orang di luar Sumatra Utara menganggap bahwa orang Batak
itu merupakan etnis yang garang, keras dan tegas. Ini adalah hasil simulacra dan hiperrealitas yang
terbentuk dalam perspektif berbagai suku lain di luar Sumatra Utara. Hiperrealitas itu terealisasi di
semua siaran atau program televisi di Indonesia. Demikian juga di dalam fiksi seperti novel, jika
seorang tokoh dalam fiksi memiliki sifat garang, keras dan tegas penokohan itu ditandai dengan
penamaan orang Batak seperti nama Tigor, Tagor, Togar dan nama tipikal Batak lainya. Simulacra
atau hiperrealitas ini sebenarnya tidak identik dengan aslinya orang Batak Orang Batak seperti sub-
Batak Simalungun, Karo dan Mandailing dikenal sebagai etnis Batak yang lemah lembut dan lemah
gemalai dalam berbicara. bertindak dan bertingkah laku. Akan tetapi simulacra Batak itu telah
menjadi hiperrealitas terutama bagi etnis lain di luar Sumatra Utara yang menyatakan bahwa Batak itu
garang, keras dan tegas tanpa perasaan sungkan.

(7) Pada suatu waktu terjadi gerhana bulan seperti yang terjadi pada saat ini (31 Januari 2018). Dari
pengamatan masyarakat secara turun temurun gerhana bulan berakibat pada alam semesta seperti
fauna dan flora. Di Simalungun masyarakat percaya bahwa gerhana bulan berakibat kepada kualitas
buah kelapa dan penetasan telur ayam oleh induknya. Buah kelapa yang keropos dan isinya tidak
sempurna didawakan sebagai dimakan oleh gerhana bulan atau dalam bahasa Simalungun dikatakan
ipangan bulanatau ipangan akkalaha. Demikian juga ayam (kampung) yang sedang mengerami telur
akan gagal menetas menjadi anak ayam. Oleh karena itu para orang tua menganjurkan jika terjadi
gerhana bulan, ayam yang sedang mengerami dibangunkan supaya penetasan telur itu baik dan tidak
ada gangguan atau tidak ipangan bulan. Diyakini jika induk ayam yang sedang mengerami itu terjaga
dan tidak tertidur telur yang dierami akan menetas dengan baik. Efek dari pengaruh gerhana bula itu
telah menjadi simulacra di Simalungun. Setiap buah kelapa yang keropos dan tidak sempurna saat
dibelah ketika akan mengukur kelapa dikatakan ipangan bulan walaupun tidak terjadi gerhana bulan.

118
Demikian juga jika jumlah telur yang ditetaskan induk ayam sangat sedikit atau jika jumlah tulur yang
dierami ayam lebih banyak tidak menetas menjadi anak ayam dikatakan ipangan bulan. Pengaruh itu
menjadi hiperrealitas bagi masyarakat Simalungun.

(8) LGBT (lesbian, gay, bisex and transexual) pada aslinya adalah perilaku deviasi yang terlarang
dalam semua ajaran agama karena konsekuensi medis dan sosial-budaya yang diakibatkannya. Akan
tetapi, dengan berbagai (upaya) kampanye melalui media tradisional dan virtual, LGBT menjadi
alamiah dengan pengertian bahwa LGBT adalah hal yang alamiah. Kenyataan baru buatan manusia
ini menjadi tersebar ke banyak negara dan bangsa dan ada kemungkinan akan menjadi hiperrealitas.
(9) Dalam suatu anekdot dikisahkan bahwa di suatu desa nun jauh di pedalaman dekat Sipirok
tinggallah seorang kakek atau Oppung dengan cucunya yang lazim dpanggil dengan nama si Ucok
yang cerdas dan berusia 5 tahun. Dengan kecerdasannya si Ucok pada usianya itu selalu ingin tahu,
lasak dan berbuat yang aneh-aneh sebagai realisasi kreatifnya. Si Ucok mengambil spidol dan
menulisi dinding rumah, mengambil pulpen si Oppung dan menulis kertas, dan mengambil kaca mata
si Oppung dan mencobanya. Si Oppung jadi kewalahan dan karena sayangnya kepada cucunya si
Oppung selalu menyindir si cucu saja dan tidak pernak memarahi si Ucok, apalagi si Ucok anak
yatim. Oppung hanya bertanya Siapa mengambil buku Oppung? Siapa menulisi dinding ini Ucok?
Siapa mengotori lantai ini Ucok? Sebagai cara menyindir si Ucok atas perbuatannya yang sangat
kreatif itu. Si Ucok hanya dan akan menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan Bukan aku Oppung
sebagai sangghan terhadap tudukan si Oppung. Oleh karena kebiasan itu Si Ucok membangun satu
makna bahwa pertanyaan siapa yang...Ucok? atau Ucok siapa yang...? bermakna 'menuduh dan
memarahi si Ucok secara tidak langsung. Inilah makna yang dibangun si Ucok dibenaknya dalam
proses pembangunan makna melalui simulacra di benak si Ucok. Pada saat si Ucok sudah besar día
pindak ke Medan dan belajar mata pelajaran Sejarah. Oleh ibu gurunya di Ucok ditanya Siapakah
yang menadatangani teks proklamasi Ucok? Si Ucok menjawab Bukan aku Ibu Guru! Pada hari
berikutnya si Ucok tidak mau bersekolah lagi. Oppungnya bertanya Mengapa kau tidak sekolah
Ucok? Dengan sedih si Uccok menjawab Aku dituduh ibu guru menandatangani teks proklamsi,
Oppung!

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 KELEBIHAN BUKU
Buku Utama:

119
1) Dilihat dari aspek tampilan buku (face value), buku ini memiliki tampilan yang menarik,
berlatar warna biru dan hitam yang dominan secara keseluruhan membuat dan kesan elok
serta rapi. Tampilan buku terkesan sederhana yang menarik.
2) Dari aspek layout dan tata letak serta tata penulisan termasuk penggunaan font, buku ini
memiliki tata letak dan layout yang tepat, ukuran font juga sudah bagus, tidak terlalu kecil
ataupun besar, tata penulisan juga rapi. Lalu, banyak space yang menarik karena susunan
antar paragraf yang ditawarkan sangan bagus dan terkesan sangat rapi.
3) Dari aspek tata bahasa yang digunakan sangat bagus, penggunaan kata baku yang tepat,
tidak bertele-tele dan jelas sehingga tidak membuat pembaca kebingungan akan arti kata yang
digunakan.
4) Dari aspek isi buku, dalam buku ini juga banyak sekali penjabaran mengenai pendapat
para ahli mengenai topik yang dibahas, secara keseluruhan materi yang dipaparkan secara
keseluruhan sangat memudahkan pembaca untuk memahami lebih banyak penjelasan dan
pendapat dari tokoh terhadap setiap topik bahasan sehingga dapat memperluas wawasan
pembaca.
5) Pembahasan di dalam buku sangat terstruktur sehingga pola pikir pembaca menjadi
terarah. Materi yang sudah sangat terperinci dalam buku ini sangat cocok untuk dibaca dan
dipelajari oleh mahasiswa sehingga mahasiswa punya pandangan lebih luas terhadap setiap
topik yang dibahas.

Buku Pembanding:
1) Dilihat dari aspek tampilan buku (face value), buku ini memiliki tampilan yang menarik,
berlatar warna warni pada sampul buku membuat kesan menarik dan cerah. Secara
keseluruhan tampilan terlihat sangat bagus.
2) Dari aspek layout dan tata letak serta tata penulisan termasuk penggunaan font, buku ini
memiliki tata letak dan layout yang tepat, ukuran font juga sudah tepat, tidak terlalu kecil
ataupun besar, tata penulisan juga rapi. Warna yang ditawarkan juga terang serta penambahan
gambar pada setiap judul dan halaman awal bab menambah kesan menarik.
3) Dari aspek tata bahasa : tata bahasa yang digunakan sangat bagus, penggunaan kata baku
yang tepat dan jelas. Penggunaan kalimatnya yang sederhana dan mudah dipahami membuat
pembaca tidak bosan.
4) Dari aspek isi buku, dalam buku ini terdapat penjabaran dari pendapat para ahli mengenai
topik bahasan disertai dengan contohnya. Banyak terdapat tabel dan gambar beserta
penjabarannya yang membuat pembaca lebih mudah memahami isi buku.
5) Pembahasan di dalam buku sangat terarah dan ringkas sehingga pola pikir pembaca
menjadi lebih fokus pada materi. Materi yang sudah sangat terperinci dalam buku ini sangat
cocok untuk dibaca dan dipelajari oleh mahasiswa sehingga mahasiswa mudah untuk
memahami isi buku. Secara keseluruhan buku ini memang cocok dijadikan sebagai buku ajar.

3.2 KEKURANGAN BUKU


Buku Utama:

120
1) Dilihat dari aspek tampilan buku (face value), buku ini memiliki tampilan yang menarik
dan sederhana tetapi latar yang hanya menggunakan 2 warna dasar terkesan terlalu sederhana
apalagi untuk pembaca yang menyukai buku-buku dengan cover yang ramai dan lebih
berwarna.
2) Dari aspek layout dan tata letak serta tata penulisan termasuk penggunaan font, buku ini
memiliki tata letak dan layout yang tepat tetapi kurang menarik. Ada beberapa font yang
berbeda pada beberapa penulisan sehingga mengurangi kesan kerapian. Lalu, setiap paragraf
pada buku terlalu panjang dan memiliki kesan yang terlalu kaku sehingga pembaca bosan dan
enggan melanjutkan membaca.
3) Dari aspek tata bahasa : tata bahasa yang digunakan bagus tetapi memang masih ada
beberapa kesalahan penulisan kata, hal itu sangat dimaklumi karena hanya sedikit dan tidak
pada kata-kata yang menonjol. Namun, bahasa yang digunakan masih banyak dari kata-kata
ilmiah yang sulit dipahami dan perlu mencari arti lebih jauh ketika membaca, terkadang hal
ini membuat pembaca lebih sulit memahami topik yang sedang dibahas.
4) Dari aspek isi buku, dalam buku ini juga banyak penjabaran mengenai pendapat para ahli
mengenai yang dibahas tetapi terjadi kebingungan karena banyaknya pendapat yang
dijabarkan dan membuat pembaca sedikit bingung.

Buku Pembanding :
1) Dilihat dari aspek tampilan buku (face value), buku ini memiliki tampilan yang menarik
tetapi latar sangat sederhana membuat tampilan kurang menarik minat pembaca dalam sekali
melihat.
2) Dari aspek layout dan tata letak serta tata penulisan termasuk penggunaan font, buku ini
memiliki tata letak dan layout yang tepat tetapi kurang menarik. Penggunaan font besar
sehingga setiap halaman terkesan terlalu kosong. Pada bagian akhir buku, banyak halaman
dengan penggunaan font yang tidak jelas, penulisannya berbayang dan sulit untuk dibaca
terutama pada halaman 127 hingga 137.
3) Dari aspek tata bahasa : tata bahasa yang digunakan bagus, ada kesalahan penulisan kata,
namun hal itu bisa dimaklumi.
4) Dari aspek isi buku, dalam buku ini terdapat kalimat yang bertele-tele. Banyak kalimat
yang terus berulang pada setiap bab meskipun topik yang dibahas sudah berganti, banyak
paragraf yang terkesan terlalu bertele-tele dan terkesan berputar-putar pada satu bahasan yang
hanya berbeda makna dalam kalimat tersebut padahal secara keseluruhan materi yang
dipaparkan sangat bagus dan mendetail.

BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN

121
Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda. Semiotika berasal dari kata
Yunani 'semeion' yang artinya tanda. Kata semiotika diturunkan dari bahasa Inggris, yaitu
semiotics. Nama lain semiotika adalah semiology. Keduanya memiliki arti yang sama, yaitu
sebagai ilmu tentang tanda. Baik semiotika atau semiology berasal dari bahasa Yunani, yaitu
semeion, yang berarti tanda.
Tanda adalah sesuatu yang dapat dilihat atau diamati yang dimana didalamnya
terdapat makna sebagai bentuk interpretasi pesan yang dimaksud. Semiotika adalah salah satu
cabang ilmu linguistik yang memiliki arti 'ilmu bahasa'. Sebuah tanda adalah semua hal yang
dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu
yang lain.
Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari
sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda (Sobur,
2001). Semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda
memrepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan, kondisi diluar tanda-tanda itu
sendiri.
Menurut Littlejohn, (2009: 53) dalam bukunya Teori Komunikasi Theories of Human
Communication edisi 9, Semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang
terkandung dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui
bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan.
Semiotik menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam teori
komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda
merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu
sendiri.

4.2 SARAN
Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang telah ditelaah, maka terdapat saran yang
disampaikan untuk penulis. Sehingga kedua buku ini dapat diterbitkan lagi dengan
melakukan perbaikan-perbaikan seperti dengan menggunakan kata-kata dan istilah-istilah
yang mudah dimengerti oleh pembaca. Dan sebaiknya penulis membaca ulang tentang
penambahan-penambahan kata yang sulit dipahami. agar mahasiswa dapat mengerti lebih
luas lagi tentang semiotika.

DAFTAR PUSTAKA
Piliang, A. Yasraf. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika . Bandung: Matahari.
Saragih, Amrin dkk. 2023. Semiotika . Medan: FBS Unimed Press.

122

Anda mungkin juga menyukai