Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KELOMPOK

MK. SEMIOTIKA
PRODI S1 SI-FBS

SEMIOTIKA
(Ferdinand De Saussure: Semiologi)

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Dosen Pengampu : Dr. M. Oky Fardian Gafari, S.Sos., M.Hum

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
Sara Angelina Manullang Nim. 2193510015
Syarah Amaliyah Usman Nim. 2193510006
Novita Aurora Gurusinga Nim. 2193510003

PROGARAM STUDI S1 SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MARET 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. M. Oky Fardian Gafari, S.Sos.,
M.Hum selaku dosen pengampu mata kuliah Semiotika, yang merupakan mata kuliah wajib
yang dipelajari di program studi Sastra Indonesia. Tidak lupa juga penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak, yang telah membagikan ilmunya dalam penulisan makalah
ini.

Makalah ini bertujuan untuk mengulas serta menjelaskan Semiologi (Ferdinand De


Saussure) kepada pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna,
maka dari itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perkembangan
makalah selanjutnya.

Jika ada kesalahan kata yang menyinggung pembaca, penulis memohon maaf sebesar-
besarnya.

Medan, Maret 2021

( Tim Penyusun )

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.......................................................................................................1

C. Tujuan..........................................................................................................................1

D. Manfaat........................................................................................................................1

BAB II.......................................................................................................................................3

PEMBAHASAN.......................................................................................................................3

A. Semiologi dan Semiotika.............................................................................................3

B. Konsep Dikotomis Dalam Oposisi Biner....................................................................4

1) Sinkronik dan Diakronik..........................................................................................4

2) Langue dan Parole...................................................................................................5

3) Penanda dan Petanda...............................................................................................6

4) Sintagmatik dan Paradigmatik.................................................................................6

5) Denotasi dan Konotasi.............................................................................................7

C. Prospek Kajian Semiologis..........................................................................................7

D. Semiologi Dalam Aplikasi..........................................................................................8

BAB III......................................................................................................................................9

PENUTUP.................................................................................................................................9

A. Kesimpulan..................................................................................................................9

B. Saran............................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama.
Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh
ilmuwan Amerika. Istilah tersebut berasal dari kata Yunani yaitu semeion yang berarti
‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda
seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Semiotik biasanya didefinisikan sebagai
teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol
sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi.

Menurut Chandler (dalam Sukyadi, 2011) pembedaan sosial dapat diamati tidak tidak
hanya dalam kode linguistik tetapi juga dari sejumlah kode-kode nonverbal. Dalam hal ini
lambang klub sepakbola yang merupakan kode nonverbal yang akan diteliti dari segi
makna dari setiap bagian yang dimunculkan dari lambang tersebut.

B. Rumusan Masalah
Rumusan makalah yang dapat diperoleh dari latar belakang diatas, diantaranya yaitu
sebagai berikut :
1. Apa pengertian semiologi dan semiotika?
2. Apa saja konsep dikotomis dalam oposisi biner?
3. Bagaimana prospek kajian semiologis?

4. Bagaimana semiologis dalam aplikasi?

C. Tujuan
Adapun tujuan makalah yang dapat disimpulkan dari rumusan masalah diatas,
diantaranya yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa itu semiologi dan semiotika
2. Untuk mengetahui apa saja konsep dikotomis dalam oposisi biner
3. Untuk mengetahui prospek kajian semiologis

4. Untuk semiologis dalam aplikasi

D. Manfaat

1
Manfaat yang dapat diperoleh dari tujuan Makalah yang dilampirkan dibagian atas,
diantaranya yaitu :
1. Memahami apa itu semiologi dan semiotika
2. Memahami apa saja konsep dikotomis dalam oposisi biner
3. Memahami prospek kajian semiologis
4. Memahami semiologis dalam aplikasi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Semiologi dan Semiotika


De Saussure dalam Budiman (2011: 3) mengatakan semiologi adalah sebuah ilmu
umum tentang tanda, yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat (a
science that studies the life if signsn within society). Semiologi merupakan terminologi
yang dapat disamakan dengan semiotika, walaupun memiliki latar historis yang berbeda.
Semiologi awalnya dikembangkan oleh ilmuan Prancis (ahli liguistik), yaitu Ferdinand de
Saussure, sebagai bagian dari keilmuwan psikologi sosial.

Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku
manusia membawa makna atau selama berfung si sebagai tanda, harus ada di belakang
sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di
sana ada sistem (de Saussure, 1988:26). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu
cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk se-miologi.
Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa.
Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan
konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain -lainya. Dalam perkembangan
terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi karya filsuf Amerika.
Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada tulisan
de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih lazim dalam
dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental.

Semiotika adalah kajian yang membahas tentang tanda. Banyak defenisi semiotika
yang dikemukakan oleh pakar dan itu sangat bervariasi. Namun, defenisi apa pun itu,
defenisi semiotika tetap berpijak pada konsep atau pengertian dasar, yakni bahwa
semiotik merupakan kajian tanda. Misalnya, Eco (1979: 7) mengatakan bahwa semiotik
berkenaan dengan segala sesuatu yang dapat dipandang sebagai tanda. Defenisi ini
memberikan pengertian bahwa suatu tanda bergantung pada pandangan individu.
Seseorang dapat memandang sesuatu sebagai tanda, yang lain mungkin tidak
memandangnya sebagai tanda.

Semiotika dikembangkan oleh filsuf Amerika (ahli logika), yaitu Charles Sanders
Pierce, sebagai cabang dari filsafat. Sebenarnya, tidak ada perbedaan yang prinsip di

3
antara keduanya. Hanya saja, semiologi dalam perkembangannya banyak dikenal di
Eropa, dipopulerkan oleh ahli yang mengikuti tradisi linguistik Saussurian. Sementara
semiotika dikembangkan oleh para ahli dari penutur bahasa Inggris, yang mengikuti
tradisi Piercian.

Persamaan konsep de Saussure dengan Pierce dapat dilihat pada pernyataan


keduanya. Pierce mengatakan bahwa seseorang hanya dapat berpikir dengan sarana tanda.
De Saussure, mempertanyakan apakah substansi bahasa sesungguhnya. Baginya tidak lain
adalah suatu sistem tanda. Dia menyadari bahwa sistem tanda yang disebut bahasa
hanyalah sebagian dari sistem tanda lebih banyak, sehingga dia merespon kondisi ini
dengan merancang teori dengan konsep-konsep terapan (Van Zoest dan Sudjiman, 1996:
vii-viii).

Model klasifikasi biner merupakan sesuatu yang umum dalam pemikiran linguistik
strukturalis Saussuran, seakan metabahasa para linguis memproduksi tanda bahasa seperti
cermin, yaitu stuktur biner dan sistem yang menjelaskannya. Barthes (2012: ix)
mengatakan, besar manfaatnya dengan hasil yang diperoleh bila mempelajari kelebihan
dari klasifikasi biner dalam wacana ilmu-ilmu sosial mutakhir. Jika benar-benar
dipahami, taksonomi ilmu sosial, akan memberi banyak informasi mengenai sesuatu yang
dapat disebut sebagai medan imajinasi intelektual zamannya.

B. Konsep Dikotomis Dalam Oposisi Biner

Konsep dikotomis Saussurian berawal dari perspektif linguistik sebagai suatu kajian
keilmuwan. Sesuatu yang khas, konsep dikotomis ini diungkapkan dalam bentuk
perlawanan atau oposisi biner (binary opposition), yaitu sinkronik dan diakronik; langue
dan parole; penanda dan petanda; sintagmatik dan paradigmatik; serta denotasi dan
konotasi.

1) Sinkronik dan Diakronik


De Saussure membedakan kajian keilmuwan berdasarkan perspektif waktu
sinkronik dan diakronik. Pendekatan sinkronik adalah pendekatan yang melihat
bahasa sebagai sistem yang berfungsi pada saat tertentu, dengan tidak perlu
memahami aspek etimologinya. Kajian bahasa dan seni dalam perspektif sinkronik
terfokus pada momen tertentu, tanpa mempersoalkan proses yang dilaluinya.
Sebaliknya, pendekatan diakronik mengkaji bahasa dan seni dalam proses waktu

4
bergerak dan berevolusi. Proses ini dapat dibedakan berdasarkan arus perubahan
waktu yang maju (prospektif) dan perubahan waktu yang mundur (retrospektif).

Terdapat sebuah konsekuensi penting dari konsep arbitrary dalam sign.


Konsekuensi ini adalah munculnya perbedaan antara studi sinkronik dan diakronik
dari bahasa. Sinkronik adalah studi mengenai system bahasa pada kondisi tertentu
dengan mengabaikan waktu. Sedangkan diakronik adalah studi mengenai evolusi
bahasa dalam setiap waktu. (Culler, 1990: 35). Kajian sinkronik bahasa dalam
pemahaman ini hanya mencoba untuk melihat sistem dan struktur dari bahasa pada
satu waktu tertentu, misalnya meneliti mengapa frasa “wanita” memiliki konotasi
yang berbeda dengan “perempuan”. Kajian diakronik bahasa sementara itu melihat
bahasa dan makna sebagai suatu entitas yang terus berubah dan memiliki sejarah,
misalnya meneliti mengenai perkembangan makna frasa “wanita” dari awal
penggunaan kata tersebut hingga sekarang.

Prinsip de Saussure sendiri memihak pada sinkronik. De Saussure


mencontohkan sinkronik dengan kata “pohon”; asal-usul kata “pohon” tidak penting
bagi penyibakan struktuk bahasa yang bersangkutan. Selanjutnya, de Saussure ini
membahas pemahaman mengenai Sinkronik dan Diakronik ini kemudian membawa kita
pada konsep langue dan parole, penanda dan pertanda, serta sintagmatik dan
paradigmatik.

2) Langue dan Parole


Langue adalah system dari bahasa dimana individu mengasimilasikan bahasa
yang ia dengar. System gramatikal yang lahir dari lingkungan social individu tersebut.
Sementara itu parole adalah kombinasi darimana individu menggunakan kode dari
system bahasa untuk mengekspresikan pemikiranya. Mekanisme psiko-sosial yang
membuatnya memperlihatkan kombinasi tersebut. (Culler, 1990: 29, 30).

Langue adalah suatu fakta sosial, seperti halnya bahasa nasioonal, dan juga
seperti kamus yang sudah ada kesepatakan bersama untuk mengkomunikasikannya.
Sebaliknya, parole merupakan penggunaan bahasa secara individual, bersifat nyata,
dengan memilih unsur-unsur tertentu dalam gaya tuturan seseorang (Sachari, 2005:
68).

5
Kehadiran langue dan parole adalah konsekuensi dari pemahaman dasar
linguistik yang bersifat dikotomis. Dalam hal ini, walaupun terlihat antara keduanya
beroposisi, namun sebetulnya saling melengkapi. Tidak akan ada parole kalau tidak
ada langue, begitu sebaliknya. Parole merupakan ungkapan individualis seseorang
dalam bertutur, termasuk dalam berbusana. Secara ringkas, ungkapan langue dan
parole dalam produk atau fasilitas keperluan sehari-hari digambarkan sebagai berikut:

Produk : Pakaian
Langue : Kain yang menutupi badan. Dipakai sesuai ketentuan yang berlaku:
ketentuan adat, ketentuan lembaga/instansi, kesepakatan kelompok,
dsb.
Parole : Ukuran, warna, dan kualitas tertentu, menggunakan merek tertentu,
digunakan sesuai cita rasa dan kepribadian seseorang.

3) Penanda dan Petanda


Dalam bahasa, penanda (signifier) adalah citra bunyi yang digunakan untuk
menyatakan makna kata yang sampai pada pikiran si penerima. Dalam wujud visual,
penanda adalah citra bentuk ketika melihat atau membaca sesuatu, dan petanda
(signified) adalah citra yang digunakan untuk menyatakan makna dari apa yang
terlihat atau terbaca. De Saussure tidak hanya tertarik dengan penanda dan petanda,
tetapi juga hubungannya satu sama lain (Ritzer, 2010: 53; Faruk, 2012: 175).

De Saussure menyatakan bahwa ciri dasar tanda bahasa adalah bersifat


arbitaritas absolut (Culler, 1996:7). Arbitaritas inilah yang membentuk signified dan
signifier secara acak atau sembarangan, sehingga orang tidak dapat lagi menjelaskan
(misalnya) sebuah rumah disebut rumah, bukan mobil. Tanda ini sifatnya
konvensional, dan pemilihannya tidak bermotivasi dan tidak ada hubungan
alamiahnya.

Contoh lain dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti tanda merah pada lampu lalu
lintas, memberi tanda bahwa semua pemakai jalan harus berhenti. Hal ini berarti,
warna merah dan tindakan berhenti merupakan satu kesatuan signified dan signifier.

4) Sintagmatik dan Paradigmatik


Relasi sintagmatik merupakan relasi yang linier, dengan kehadiran unsur-
unsurnya bersifat in praesentia. Sebaliknya relasi paradigmatik memiliki hubungan

6
asosiatif dengan kehadiran unsur-unsurnya bersifat in absentia. Dalam bahasa dapat
digambarkan, misalnya, relasi sintagmatik mengacu pada hubungan kata perkata atau
antar satuan gramatikal, yang dirangkai dalam dimensi waktu tertentu. Unsur-unsur
bahasa dimaksud dapat dipertukarkan sesuai keinginan. Relasi paradigmatik mengacu
pada hubungan unsur-unsur yang berada dalam kelompoknya sebagai bagian dari
sistem. Kelompok ini dibentuk berdasarkan kesamaan atau perbedaannya, yang
memiliki hubungan asosiatif. Dalam bahasa misalnya dengan sinonim dan
antonimnya. Dengan kata lain Sachari (2005:69-70) menjelaskan: susunan
sintagmatik merupakan susunan tanda yang bersifat linier dan terikat oleh waktu,
sedangkan susunan paradigmatik lebih bersifat meruang, dan mempunyai hubungan
asosiatif yang membentuk atau pengertian.

Sebagai contoh, memodifikasi model yang dikembangkan Budman, yakni :

Sistem tanda : sistem busana

Sintagmatik : kombinasi dari satuan yang mewakili bagian busana, setidaknya


bagian atas dan bawah, yang diwakili satu unsur. Misalnya bagian atas yaitu
kemeja, dan bagian bawah yaitu rok

Paradigamtik : bagian atas terdiri atas unsur kemeja, tanktop, blazer, jaket, dll.
Bagian bawah terdiri dari unsur rok, celana panjang, dengan berbagai
bentuk dan model.

5) Denotasi dan Konotasi


Pemaknaan denotasi dan konotasi secara luas dikembangkan oleh Roland
Barthes, yang memperluas ide dan konsen de Saussure pada kajian semua area
kehidupan sosial. Signifikansi Barthes, dan juga Levi-Strauss adalah sebagai tokoh
awal yang mencetuskan paham struktural dan mengkaji sistem tanda dalam budaya.
Menurutnya, ada titik-temu atau konvergensi antara linguistik (ilmu-ilmu bahasa)
dengan penelitian budaya, yang pada gilirannya akan memperkaya penelitian
semiologi, yaitu ilmu tentang praktik penandaan atau analisis penetapan makna dalam
budaya (Sutrisno dan Putranto, 2005: 117).

Selanjutnya, Sutrisno dan Putranto (2005:117) mengatakan: denotasi dan


konotasi, keduanya mengacu pada “tatanan makna kata”. Yang pertama pada makna
kata lugas atau literal, dalam arti menjelaskan sesuatu sebagaimana adanya (denotasi).
7
Yang lain menggunakan arti kiasan (konotasi), dan dalam arti tertentu melibatkan
semacam metabahasa. Denotasi berada dalam tingkatan proses yang lebih rendah.
Aart van Zoest (1993: 3-4) dalam bukunya yang berjudul Semiotika, menjelaskan
denotasi berkaitan dengan petunjuk langsung dari suatu tanda bahasa, yang mengarah
pada makna pertama. Sebaliknya, konotasi adalah petunjuk tidak langsung, mungkin
juga tidak disengaja oleh pengirim, yang mengarah pada makna kedua.

C. Prospek Kajian Semiologis


Konsep de Saussure tentang bahasa dan tuturan (ujaran) sudah menjadi lumrah dalam
kajian ilmu- ilmu sosial, yang dikenal dengan peralihan linguistik. Dalam berbagai
pernyataan, Roland Barthes dipandang sebagai tokoh utama yang mengembangkan
strukturalisme linguistik de Saussure pada struktur sistem tanda yang disebut semiotika.
Sebagai pengkajian struktur tanda, cakupan semiotika lebih luas dari pada struktur
linguistik, karena tidak hanya yang berkaitan dengan bahasa, tetapi juga sistem simbol
dan tanda secara luas; semua bentuk komunikasi (seperti ekpresi muka, bahasa tubuh)
naskah kesusasteraan dan semua elemen kebudayaan (Ritzer dan Goodman, 2011: 604-
605).

Aspek penandaan yang menjadi objek kajian semiotika adalah sesuatu yang terjadi
dalam kehidupan ini, terutama yang berkaitan dengan aspek budaya masyarakat : karya
seni, objek pariwisata, kegemaran berbelanja, menonton televisi, konsumerisme,
komodifikasi dan sebagainya. Jadi tidak hanya bahasa, “lingkaran linguistik” melingkupi
semua fenomena sosial dan budaya yang bisa ditafsirkan sebagai tanda dalam
pemahaman semiotika.

D. Semiologi Dalam Aplikasi

Untuk lebih memahami bagaimana pendekatan linguistik de Saussure diterapkan dalam


menganalisis sistem penandaan pada subbab ini dicontohkan dengan produk budaya
Batak, yaitu ulos dan sigale-gale (“komodifikasi produk budaya Batak dalam perspektif
semiotika Saussurian”). Contoh ini merupakan model alternatif analisis semiotika yang
dapat dikembangkan.

Dalam mengkaji komodifikasi ulos dan sigale-gale, prinsip dasar teori de Saussure
berupa distingsi: langue-parole, sinkronik-diakronik dan penanda-petanda merupakan hal
yang penting sebagai pijakan. Komodifikasi hakekatnya adalah proses “perubahan”.

8
Dalam konteks ulos dan sigale-gale, komodifikasi adalah perubahan dari nilai tradisi-
sakral mejadi modern-komersial. Dua hal ini merupakan bentuk oposisi biner.

Hal ini juga sejalan dengan prinsip strukturalisme secara umum, bahwa langue adalah
struktur dalam yang tersembunyi, yang lebih tertata dan beraturan. Sebaliknya, parole
adalah struktur luar yang kasat mata dan terkadang cenderung chaos.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa, De Saussure mengatakan


semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, yang mengkaji kehidupan tanda-tanda
di dalam masyarakat (a science that studies the life if signsn within society). Semiologi
didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa
makna atau selama berfung si sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan
konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem. Banyak
defenisi semiotika yang dikemukakan oleh pakar dan itu sangat bervariasi. Namun,
defenisi apa pun itu, defenisi semiotika tetap berpijak pada konsep atau pengertian dasar,
yakni bahwa semiotik merupakan kajian tanda.

Sebenarnya, tidak ada perbedaan yang prinsip di antara keduanya. Hanya saja,
semiologi dalam perkembangannya banyak dikenal di Eropa, dipopulerkan oleh ahli yang
mengikuti tradisi linguistik Saussurian. Sementara semiotika dikembangkan oleh para ahli
dari penutur bahasa Inggris, yang mengikuti tradisi Piercian. Persamaan konsep de
Saussure dengan Pierce dapat dilihat pada pernyataan keduanya. Pierce mengatakan
bahwa seseorang hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. De Saussure,
mempertanyakan apakah substansi bahasa sesungguhnya. Baginya tidak lain adalah suatu
sistem tanda.

Terdapat konsep dikotomis diungkapkan dalam bentuk perlawanan atau oposisi biner
(binary opposition), yaitu sinkronik dan diakronik; langue dan parole; penanda dan
petanda; sintagmatik dan paradigmatik; serta denotasi dan konotasi.

B. Saran

Setelah menguraikan berbagai macam penjelasan tentang Sosiologis ( Ferdinand de


Saussure) yang telah diambil dari berbagai literature referensi, diharapkan makalah ini
mampu menjadi acuan bagi mahasiswa agar mampu mengenal, memahami. Selain itu,
diharapkan dengan makalah ini Mahasiswa mengetahui kajian Sosiologis.

10
DAFTAR PUSTAKA

Saragih, Amrin. Dkk. 2021. Semiotika. Fbs unimed press: Medan.

_____________. 2011. Semiotik Bahasa: Tanda, Penanda dan Petanda Dalam Bahasa.
Universitas Negeri Medan: Medan.

Fanani, Fajriannoor.. Semiotika Strukturalisme Saussure. The Messenger. 2013; 5


(01):10-15.
Sartini, Ni Wayan. Tinjauan Teoritik tentang Semiotik. Universitas Airlangga.

11

Anda mungkin juga menyukai