Anda di halaman 1dari 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/359917554

REVIEW BUKU STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS: MITOS SEBAGAI NALAR,


MITOS SEBAGAI BAHASA

Preprint · April 2022

CITATIONS READS

0 513

1 author:

Surahmat Surahmat
Universitas Negeri Semarang
20 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Surahmat Surahmat on 13 April 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MITOS SEBAGAI NALAR, MITOS SEBAGAI BAHASA:
REVIEW BUKU STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS: MITOS DAN KARYA SASTRA
KARYA PROF. HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA

Oleh:
Surahmat
NIM 21/483385/SSA/1121

PROGRAM STUDI ILMU-ILMU HUMANIORA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2021

1
A. RINGKASAN BUKU
Buku Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra karya Prof. Heddy Shri
Ahimsa-Putra adalah salah satu buku (dalam bahasa Indonesia) paling lengkap yang
mengulas strukturalisme Levi-Strauss. Penulis bukan hanya menguraikan pokok-pokok
pemikiran Claude Levi-Strauss tetapi juga menjelaskan latar historis kemunculan dan
perkembangan gagasan sang penggagas pendekatan ini. Buku ini menjadi semakin lengkap
karena dilengkapi contoh penerapan strukturalisme Levi-Strauss dalam pengkajian mitos
dan karya sastra di Indonesia.
Sebagai sebuah paradigma dalam ilmu sosial humaniora, strukturalisme
Levi-Strauss memiliki pengaruh luas di Eropa dan Amerika. Meski demikian, hingga tahun
2000-an (atau sampai sekarang?) paradigma ini tidak terlalu familiar di Indonesia. Kondisi
demikian bisa terjadi karena dua alasan. Pertama, paradigma ini banyak diilhami oleh
linguistik, cabang ilmu yang tidak cukup populer selain di kalangan pengkajinya. Kedua,
secara epistemologis, strukturalisme Levi-Strauss berbeda dengan epistemologi positivistik
yang sudah mapan di Indonesia.
Perkembangan strukturalisme Levi-Strauss tidak bisa dipisahkan dengan perjalanan
Levi-Strauss, baik perjalanan fisik maupun intelektualnya. Pertemuan Levi-Strauss dengan
karya-karya antropolog pendahulu seperti Robert Lowie, Franz Boas, Ruth Benedict, A.L.
Kroeber, dan Ralph Linton diakuinya punya pengaruh besar dalam perkembangan
paradigma tersebut. Namun pengaruh terbesar justru diterima dari para linguis struktural
seperti Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson, dan Nikolai Sergeyevich Trubetzkoy.
Pengaruh linguistik struktural terhadap analisis Levi-Strauss bahkan menjadi kekhasan
utama yang mempengaruhi keseluruhan model analisisnyanya.
Model bahasa yang digunakan Levis-Strauss dalam analisis kebudayaan dilakukan
karena Levi-Strauss percaya kedua entitas tersebut memiliki kesebangunan (congruenity).
Menurut Levi-Strauss, bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena meterial yang
digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama
tipe/jenisnya dengan material yang membangun kebudayaan. Material tersebut adalah
relasi-relasi logis, oposisi, korelasi, dan sebagainya. Kesamaan tersebut, hemat
Levi-Strauss, membuat analisis linguistik dapat digunakan untuk menganalisis objek
kebudayaan.

1. Pengaruh Linguistik Struktural


Levi-Strauss mengambil banyak inspirasi dari ilmu linguistik yang menurutnya telah
mencapai kemajuan luar biasa, terutama setelah terbitnya buku Course de General
Linguistics karya Ferdinand de Saussure. Karya Saussure tersebut menawarkan cara
pandang baru yang membuat pengkajian bahasa menjadi sistematis dan saintifik, berbeda

2
dengan tradisi linguistik tradisional yang metafisik dan spekulatif. Saussure berhasil
mengembangkan body of knowledge linguistik yang mengubah secara radikal cara linguis
setelahnya dalam memahami dan mengkaji bahasa. Levi-Strauss sendiri menginginkan
antropologi dapat mencapai posisi ilmiah (scientific) sebagaimana yang yelah dicapai oleh
ilmu alam.
Ada sejumlah gagasan filosofis de Saussure yang mempengaruhi pemikiran
Levi-Strauss dalam mengembangkan strukturalismenya yaitu (1) hubungan petanda dan
tinanda, (2) wadah dan isi (3) sintagmatik dan paradigmatik, (4) sinkronik dan diakronik, (5)
hubungan langue dan parole.
Dalam pandangan de Saussure bahasa pada dasarnya adalah sistem tanda yang
beroperasi dengan menghubungkan dua unsur penyusunnya yaitu penanda dan tinanda.
Hubungan ini membuat suara yang secara akustik memiliki kualitas yang sama dengan
bunyi-bunyian lain memiliki makna sehingga bisa digunakan sebagai alat komunikasi.
Hubungan ini ternyata tidak sederhana karena tidak bersifat representatif bahwa kata-kata
tertentu mewakili (stand for) sesuatu yang mewakilinya. Keduanya merupakan
satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Hubungan antara wadah dan isi dimaksudkan de Saussure untuk menunjukkan
bahwa kata-kata dapat memiliki aneka kemungkinkan makna. Bentuk luar kata-kata adalah
wadah sedangkan makna atasnya adalah isi. Kata-kata yang sama dapat memiliki isi yang
berbeda jika hadir dalam distinctive form yang berbeda-beda. Identitas suatu kata muncul
karena kata tersebut memiliki perbedaan dengan kata lain, terutama dengan kata lain yang
paling berdekatan maknanya. Konsep ini kemudian mempengaruhi pemikiran bahwa isi dan
relasi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan karena isi hadir melalui relasi-relasi.
Konsep bahasa (langue) dan tuturan (parole) yang digagas Saussure
menggambarkan dualisme bahasa yang terdiri atas sistem abstrak dan realisasi konkretnya.
Bahasa sebagai langue berisi formulasi berisi aturan-aturan, norma-norma, yang bersifat
implisit yang harus dipatuhi penutur bahasa agar dapat menggunakan bahasa sebagai alat
komunikasi. Langue bersifat abstrak dan merupakan fenomena kolektif. Adapun parole
adalah gejala konkret yang merupakan aktualisasi dari langue pada situasi-situasi khusus.
Hubungan sintagmatik dan paradigmatik dalam pemikiran Saussure menjelaskan
bahwa kata menemukan maknanya dalam bentuk relasi-relasi. Relasi sintagmatik adalah
relasi kata dengan kata lain dalam suatu struktur sintaksis yang logis. Adapun relasi
paradigmatik adalah relasi sebuah kata dengan kata lain yang mungkin menggantikannya
dalam struktur sintaksis tersebut. Sementara itu, konsep sinkronis dan diakronis merupakan
pemilahan dua tipe kajian berdasarkan kala (waktu). Telaah sinkronis berkaitan dengan
kajian pada waktu tertentu. Adapun telaah diakronis berkaitan dengan kajian kebahasaan
dari berbagai kurun waktu.

3
Selain dari Saussure, Levi-Strauss dipengaruhi oleh linguis struktural lain yaitu
Roman Jakobson. Gagasan Jakobson yang menginspirasi Levi-Strauss adalah analisis
tentang fonem. Fonem diposisi sebagai satuan lambang terkecil yang menentukan makna.
Kajian tentang fonem dianggap penting karena fungsi utama suara dalam bahasa adalah
untuk memungkinkan manusia membedakan unit-unit semenatis. Sebuah fonem
menemukan identiasnya sebagai fonem akibat relasi biner dengan fonem-fonem lain.
Singkatnya, fonem dapat dipahami sifat dan keberadaannya dengan menemukan
disctinctive feature yang membuatnya berbeda dengan fonem lain. Konsep ini
mempengaruhi pemikiran Levi-Strauss ketika membaca tanda sebagai sesuatu yang
terbangun atas relasi-relasi.
Sementara itu, pengaruh pemikiran Nikolai Troubetzkoy memiliki pengaruh terhadap
analisis kebudayaan Levi-Strauss dalam membedakan dan memahami unsur-unsur sadar
dan nirsadar dalam kebudayaan. Troubetzkoy berpendapat bahwa fonem merupakan gejala
bahasa dan bukan gejala psikologis sehingga keberadaannya hanya disadari oleh pengkaji
bahasa, bukan oleh pengguna bahasa. Ketika menggunakan bahasa, para bahasa
penggunakan fonem tanpa harus menyadari keberadaannya. Keberadaan unsur nirsadar
dalam bahasa menginspirasi Levi-Strauss untuk mengembangkan pendekatan pengkajian
antropologi yang bergerak dari tataran sadar ke tataran nirsadar.

2. Empat Asumsi Dasar


Paradigma strukturalisme Levi-Strauss memiliki perbedaan mendasar dengan
paradigma yang dikembangkan sosiolog dan antropolog lainnya seperti Emile Durkheim, AR
Radcliffe-Brown, Talcot Parsons, dan Robert Merton. Perbedaan tersebut tampak dalam
empat asumsi dasar strukturalisme Levi-Strauss sebagai berikut:
a. Asumsi bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya, seperti dongeng, upacara,
sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagainya
beroperasi layaknya bahasa-bahasa. Adapun “bahasa” merupakan sistem yang
beroperasi dalam rangkaian-rangkaian relasi penanda-tinanda, isi-wadah,
sintagmatik-paradigmatik, sadar-nirsadar, dan relasi lainnya.
b. Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat
kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis yaitu kemampuan
menstrukturkan (structuring), menyusun suatu struktur, atau menemplken suatu
struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya.
c. Makna fenomena kebudayaan tertentu ditentukan oleh relasinya dengan fenomena
lain. Relasi sinkronis menentukan makna, bukan relasi diakronisnya.
d. Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau sederhanakan lagi
menjadi oposisi berpasangan (binary opposition).

4
3. Mitos, Bahasa, dan Musik
Levi-Straus menunjukkan minat yang tinggi berhadap mitos dengan menganalisis
ratusan mitos suku Indian di Amerika. Ketertarikannya terhadap mitos didasari asumsi
bahwa mitos merupakan sesuatu yang berharga karena merupakan cara bernalar manusia.
Dengan meneliti mitos ia berharap bisa mengetahui prinsip-prinsip atau dasar-dasar
universal nalar manusia. Asumsi ini didasarkan temuan bahwa mitos-mitos yang
berkembang di berbagai daerah yang bahkan tidak terhubung ternyata memiliki kesamaan.
Kesamaan ini, menurutnya, karena mitos merupakan cara berpikir manusia.
Di titik inilah mitos dapat disepadankan dengan bahasa. Bahasa dan mitos dibangun
oleh dua unsur dasar yang menggambarkan sisi kebinatangan (animality) dan kemanusiaan
(humanity) manusia. Kesepadanan antara mitos dan bahasa dapat dilihat dari dua sisi.
Pertama, bahasa dan mitos merupakan sarana atau alat untuk berkomunikasi,
menyampaikan pesan-pesan dari individu satu ke individu lain. Kedua, mengikuti teori
Saussure tentang langue dan parole, mitos juga terdiri atas unsur abstrak dan konkret.
Langue merupakan konsep-konsep abstrak yang merupakan aspek mathematical, berisi
kadiah-kadiah. Adapun parole adalah ujaran yang bersifat konkret, merupakan unsur yang
bersifat statistical. Namun demikian, Levi-Strauss juga melihat adanya perbedaan antara
bahasa dan mitos. Bahasa (hanya) memiliki sisi sinkronis dan diakronis namun mitos
memiliki sisi sinkronis, diakronis, dan pankronis.
Model bahasa yang digunakan levi-Strauss dalam analisis mitos memotivasinya
menemukan unsur dasar mitos sebagaimana linguis telah berhasil menemukan unsur
terkecil bahasa yaitu fonem. Upaya itu diwujudkan dengan menyodorkan istilah miteme
(mytheme) sebagai unsur terkecil dalam mitos. Miteme adalah kalimat-kalimat atau
kata-kata yang menunjukkan relasi atau mempunyai makna tertentu. Karena memiliki makna
(berbeda dengan fonem yang tidak memiliki makna) miteme dianggap sebagai simbol.
Posisi miteme sebagai unsur terkecil mitos membuatnya harus diketahui terlebih dahulu
dalam upaya peneliti menemukan makna mitos.
Selain bahasa, musik menjadi model yang coba digunakan Levi-Strauss untuk
menjelaskan mitos. Ia mengungkapkan bahwa mitos dan musik pada dasarnya adalah
bahasa. Kesamaan ini diperoleh karena ketika dipentaskan keduanya meminta perhatian
struktur-struktur mental yang ada pada manusia untuk keduanya memerlukan waktu untuk
mewujud. Namun demikian, mitos dan musik tidak seperti bahasa verbal karena mitos dan
musik tidak dapat dipahami sebagaimana kita memahami bahasa lisan.

4. Analisis Struktural Mitos

5
Paradigma struktural Levi-Strauss dapat digunakan untuk menganalisis mitos
dengan metode dan teknik sebagaimana ia contohkan dalam analisisnya terhadap
mitos-mitos suku Indian di Amerika. Secara garis besar teknik tersebut terdiri dari tiga
langkah yaitu menemukan miteme dan menyusun miteme tersebut secara sintagmatis dan
paradigmatis.
Miteme adalah unsur-unsur dalam konstruksi wacana mitis (mythical discourse) yang
juga merupakan satuan-satuan yang berisfat kosokbali (oppositional), relatif, dan negatif.
Miteme adalah satuan yang tidak bermakna karena hanya menemukan maknanya jika
memiliki relasi dengan miteme yang lain. Oleh karena itu, miteme sebaiknya tidak dicari
hanya dari satu cerita saja tetapi kombinasi-kombinasi cerita yang ada.
Setelah diperoleh berbagai miteme, miteme tersebut kemudian disusun dalam
relasi-relasi tertentu yang bersifat sintagmatis dan paradigmatis. Relasi sintagmatis dapat
berupa relasi naratif yang menunjukkan urut-urutan peristiwa dalam sebuah cerita. Adapun
relasi paradigmatis dapat dibentuk dalam bentuk hubungan suatu cerita dengan cerita lain
atau bagan satu dengan bagian lain dalam sebuah cerita. Kedua langkah ini diperlukan
untuk menemukan makna tersembunyi mitos, makna yang disampaikan oleh nenak moyang
bahkan secara tidak sadar.

5. Kritik terhadap Strukturalisme Levi-Strauss


Meskipun pendekatan yang ditawarkan Levi-Strauss diakui telah menawarkan
kebaruan dalam memahami dan menemukan makna mitos, namun pendekatannya juga
mendapat kritik dari antropolog lain. Kritik terhadapnya dapat dikategorikan ke dalam tiga
tipe yaitu (1) kritik terhadap perangkat dan metode analisis yang digunakan, (2) kritik
terhadap inteprestasi data etnografi, dan (3) kritik terhadap hasil analisis.
Kritik terhadap data perangkat dan metode analisis Levi-Strauss dapat dirangkum
sebagai berikut:
a. Levis-Strauss tidak selalu menggunakan konsep analitis dengan baik atau tepat,
misalnya, istilah “perbedaan” disamakan begitu saja dengan “oposisi”. (Dauglas).
Istilah opisisi dalam tulisan Levi-Strauss tidak jelas kedudukannya apakah
merupakan alat kerja (heurestic device) atau merupakan kategori-kategori yang ada
dalam pikiran masyarakat yang melahirkan mitos tersebut.
b. Levi-Strauss dinilai kurang konsisten dalam analisisnya. Ia mengatakan bahwa untuk
memahami mitos, peneliti harus memperhatikan strukturnya daripada isi ceritanya.
Namun dalam praktik analisis, dia tidak melakukan analisis dengan ketat
sebagaimana disarankannya.
c. Cara analisis yang dikerjakan Levi-Strauss bersifat reduksionis yang membuat
tafsirannya menjadi kering dan miskin. Reduksionisme dalam analisis Levi-Straus

6
disebabkan dua hal yaitu karena model komputer yang dipakainya dan adanya dua
tujuan dalam analisis wacana.
d. Cara-cara analisis Levi-Strauss ternyata tidak pernah secara tepat diformulasikan
dan hanya secara intuitif diterapkan.
Adapun kritik terhadap Levi-Strauss dalam intepretasi data etnografi adalah sebagai
berikut:
a. Paparan Levi-Strauss tentang sistem kekerabatan ternyata malah menutupi realitas
kekerabatan itu sendiri. Kritik ini disampaikan Alice Kassakoff dan John W. Adams
setelah memerika data etnografis suku Tsimshian.
b. Adams mengkritikk Levi-Strauss membangun suatu masalah yang sebenarnya tidak
ada di kalangan orang Tsimshian sendiri. Ia mengada-adakan masalah tersebut agar
hasil analisis dan tafsirnya atas kisah Si Asdiwal tampak masuk akal.
c. Thomas, Krononfeld, dan Krononfeld mengkritik Levi-Strauss ternyata berisi
generalisasi-generalisasi etnografis yang sangat diragukan kebenarannya.
Pada sisi hasil, analisis Levi-Strauss terhadap mitos suku Indian juga menuai
sejumlah kritik, antara lain:
a. Douglas mengkritik pernyataan Levi-Strauss bahwa mitos adalah komentar negatif
terhadap realitas sosial. Dengan mengatakan itu ia mengabaikan keragaman makna
mitos yang punya sikap positif terhadak kehidupan.
b. Douglas mengkritik model analisis yang dilakukan Levi-Strauss hanya berhasil
mengungkap makna yang “tidak penting”. Model analisis Levi-Strauss meninggalkan
begitu banyak sisa sehingga tidak dapat diterapkan untuk menganalisis mitos yang
lebih kompleks.
c. Tujuan Levi-Strauss untuk mengungkapkan pola pikir atau logika dasar manusia
disanksikan Douglas karena ada kemungkinkan pola pikir yang ditemukan
sebenarnya tidak ada melainkan hanya sebuah konstruksi yang lahir karena
penggunaan metode analisis tertentu (illusion produced by the method).

6. Strukturalisme Dongeng Bajo


Strukturalisme Levi-Strauss bukan hanya dapat digunakan untuk menganalisis
mitos-mitos orang Indian di Amerika tetapi juga bisa digunakan untuk menganalisis dongeng
di Indonesia. Untuk membuktikan hal itu penulis mencontohkan penerapan analisis pada
dongeng suku Bajo yaitu Pitoto’ Si Muhamma’.
Analisis struktural terhadap dongeng Pitoto’ Si Muhamma’ menghasilkan simpulan
bahwa dongeng tersebut merupakan sebuah kisah yang melambangkan secara tidak sadar
kontradiksi-kontradiksi ekonomis, sosial, dan budaya yang dialami oleh suku Bajo.
Kontradiksi tersebut laksana teka-teki yang tidak dapat diselesaikan oleh suku Bajo. Mereka

7
berada dalam kebimbangan dalam menilai mana yang lebih superior antara kehidupan di
laut dengan kehidupan di darat, mana yang lebih baik antara kehidupan orang Bajo atau
orang Bagai, mana yang lebih baik antara menikah dengan kerabat sendiri atau orang luar.
Hasil analisis berupa kontradiksi-kontradiksi ini diharapkan dapat menjadi pintu masuk
memahami persoalan budaya orang Bajo.

7. Karya Sastra Juga (Seperti) Mitos?


Strukturalisme Levi-Strauss bukan hanya bisa digunakan untuk mengenalisis mitos
tetapi juga bisa digunakan untuk menganalisis karya sastra. Untuk membuktikan itu,
strukturalisme digunakan untuk menganalisis tiga cerita yang ditulis Umar Kayam yaitu Sri
Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi. Ada dua alasan yang membuat cerita Umar Kayam
memiliki kesamaan dengan mitos sehingga dapat dianalisis dengan pendekatan ini.
Pertama, ketiga cerita karya Umar Kayam memiliki fungsi layaknya mitos yaitu ditulis untuk
memahami kontradiksi-kontradiksi dalam sebuah peristiwa dahyat yaitu Gestapu. Kedua,
ketika menulis cerita-cerita tersebut Umar Kayam tidak menempatkan diri sebagai pengamat
melainkan melibatkan diri di tengah peristiwa itu sebagai aktor yang membuat inteprestasi.
Dua alasan itulah yang membuat penulis memperlakukan cerita-cerita Umar Kayam
layaknya mitos.
Eksperimen analisis struktural terhadap karya-karya Umar Kayam menunjukkan
bahwa karya sastra yang ditulis Umar Kayam memiliki benang merah berupa
ceriteme-ceriteme. Dalam karya-karya tersebut juga terdapat pola yang menjelaskan
mengapa tokoh mengalami nasib buruk dengan jatuh pada lubang yang sama. Pola-pola
struktural dalam cerita Umar Kayam tersebut mencerminkan nalar orang Jawa dalam
memandang, menafsirkan, dan memahami kehidupan, jagat kecil, dan jagat besar
tempatnya hidup.
Simpulan ini diperoleh dari analisis genealogis yang menghubungkan penulis dengan
dengan karyanya. Posisi Umar Kayam ketika menulis ketiga cerita tersebut berada dalam
posisi liminal yaitu kawasan yang berada di antara dunia pikir-dunia ilmu dengan dunia
rasa-dunia seni. Posisi liminal Umar Kayam sebagai penulis memiliki keserupaan dengan
posisi tokoh-tokoh utama yang dianaisis yaitu Tun (dalam Sri Sumarah), Bawuk (dalam
Bawuk) dan Hari (dalam Para Priyayi) yang juga berada dalam wilayah liminal. Ketiga tokoh
tersebut memiliki kesamaan karena sama-sama hidup pada dunia ambang antara Jawa dan
bukan Jawa, antara Islam dan kafir, antara priyayi dan wong cilik, juga natara bukan PKI
dengan PKI. Kesamaan posisi dalam dunia liminal pada pengarang dan tokoh-tokoh
ceritanya inilah yang menunjukkan kada keserupaan (congruenity) nalar pengarang dengan
nalar tokoh cerita.

8
Lebih lanjut, penerapan strukturalisme Levi-Strauss dilanjutkan penulis dengan
menggunakannya pada Babad Tanah Jawi. Analisis terhadap teks ini menunjukkan adanya
sinkretisasi ajaran pra-Islam dengan Islam dalam kebudayaan Jawa dengan membangun
relasi-relasi simbolik tertentu. Relasi simbolik tersebut meliputi (1) relasi genealogis, (2)
relasi analogis, (3) relasi historis, (4) relasi profesis, dan (5) relasi kooperatif antara tokoh
yang dipandang melambangkan pra-islam, Islam, dan Jawa. Relasi ini hadir dalam berbagai
bidang kehidupan yang turut membangun kesadaran kolektif masyarakat Jawa dalam
menandang dan memahami diri dan dunianya.

8. Strukturalisme dan Perubahan


Sebagai sebuah pendekatan, paradigma strukturalisme memiliki keterbatasan
karena tidak ciciptakan untuk menjawab semua persoalan. Laksana obat, strukturalisme
bukanlah obat untuk segala jenis penyakit. Namun demikian, strukturalisme juga memiliki
potensi besar untuk digunakan pada bidang yang lebih luas daripada analisis mitos, yaitu
untuk memahami aneka jenis gejala sosial-budaya. Potensi besar ini dimungkinkan terus
digali karena strukturalisme terbukti tidak hanya dapat digunakan untuk menganalisis mitos
dan karya sastra, tetapi juga untuk menganalisis kekerabatan tetemisme, dan topeng.
Potensi penerapan strukturalisme untuk menjawab persoalan sosial budaya dapat
diterapkan dengan dua catatan. Pertama, tersedianya catatan data mengenai gejala sosial
budaya itu sendiri sudah tersedia cukup lengkap. Kedua, persoalan sosial-budaya yang
dipersoalkan juga merupakan persoalan struktural karena paradigma ini memang paling
tepat untuk mengkaji persoalan-persoalan struktural. Persoalan struktural adalah pertanyaan
yang berkaitan dengan struktur dari gejala yang dipelajari.

B. KOMENTAR
Dalam berbagai ukuran, buku Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra
karya Prof Heddy Shri Ahimsa-Putra telah mencapai kesuksesan akademis. Melalui buku ini
Prof Heddy berhasil memperkenalkan pendekatan yang awalnya tidak populer sehingga
menjadi lebih populer di Indonesia. Secara kuantitatif kesuksesan buku ini dapat dilihat dari
banyaknya kajian yang menggunakan strukturalisme Levi-Strauss sebagai pisau bedahnya
dengan menjadikan buku ini sebagai acuan. Catatan Google Scholar menunjukkan bahwa
buku ini telah dikutip sebanyak 574 kali, angka yang menunjukkan apresiasi tinggi terhadap
karya akademis. Adapun secara kualitatif kesuksesan buku ini dapat dilihat dari semakin
meningkatnya keberterimaan dan kesukaan (favorability) strukturalisme Levi-Strauss
sebagai pendekatan di kalangan peneliti sosial humaniora di Indonesia. Para peneliti yang
menggunakan strukturalisme Levi-Strauss tidak saja menerima strukturalisme sebagai
pendekatan yang baik tetapi beberapa di antaranya menjadikan pendekatan ini sebagai

9
keniscayaan yang harus diterima. Asumsi-asumsi dasar strukturalisme diterima sebagai
sesuatu yang “memang begitu seharusnya”.
Keberhasilan buku ini dipengaruhi oleh dua kemungkinan faktor yang saling
menegaskan satu sama lain yaitu faktor subjektif dan objektif. Pertama, faktor subjektif,
berkaitan dengan ketokohan Levi-Straus dan Prof Heddy sendiri sebagai akademisi yang
linuwih dalam bidang antropologi. Pemikiran dan pemikirnya adalah paket yang sulit
dipisahkan sehingga ketokohan perintis dan pengamplifikasinya sangat menentukan
keberterimaan pemikiran tersebut di masyarakat. Kedua, faktor objektif, berkaitan dengan
kualitas strukturalisme Levi-Strauss yang secara inherent memiliki keandalan sebagai
pendekatan analisis antropologi. Sebagai sebuah pendekatan, strukturalisme Levi-Strauss
memiliki keunggulan dibandingkan pendekatan lain karena mampu mengungkap struktur
tampak dan tidak tampak, struktur sadar dan nirsadar, juga relasi-relasi yang belum tentu
dapat diungkap dengan pendekatan lain.
Dari sisi teknis penulisan, kualitas dan keberterimaan buku ini juga tidak bisa
dilepaskan dengan kemampuan penulis, Prof Heddy Shri Ahimsa-Putra, menyajikan
gagasan dengan baik dan indah. Buku ini disusun mengikuti logika deduktif yang membuat
pembaca memahami konsep-konsep umum terlebih dahulu sebelum memasuki konsep
khusus. Selain itu, gaya penulisan yang lebih banyak menggunakan kalimat-kalimat pendek
membuat gagasan di dalamnya lebih mudah dicerna. Perpaduan gaya narasi dan eksposisi
juga membuat konsep-konsep yang disampaikannya lebih mudah diterima pembaca.
Meski demikian, hemat saya, buku ini mengandung sejumlah kekurangan yang layak
dipertimbangkan sebagai bahan perbaikan pada kesempatan penerbitan berikutnya.
Pertama, inkonsistensi dalam menjelaskan konsep miteme. Dalam kerangka kerja
strukturalisme Levi-Strauss miteme merupakan konsep penting (bahkan konsep kunci?)
karena dinggap sebagai satuan terkecil mitos sebagaimana fonem menjadi satuan terkecil
bahasa. Karena merupakan konsep kunci, mestinya penulis menjelaskan secara jelas dan
konsisten apa yang dimaksud miteme. Ada inkonsistensi penulis dalam menjelaskan apa itu
miteme ketika konsep tersebut dijelaskan kesepadanannya dengan satuan bahasa (hlm. 86)
dengan ketika digunakan dalam metode analisis mitos (hlm. 94). Pada bagian awal miteme
dijelaskan sebagai “... kalimat-kalimat atau kata-kata yang menunjukkan relasi atau
mempunyai makna tertentu” namun pada bagian berikutnya dijelaskan sebagai “...
unsur-unsur dalam konstruksi wacana mitis (mythical discourse) yang juga merupakan
satuan-satuan yang berisfat kosokbali (oppositional), relatif, dan negatif”.
Dua penjelasan tersebut bisa saja sama-sama tepat karena merujuk pada konsep
miteme yang sama namun diredaksionalkan dengan kalimat berbeda karena mengambil
perspektif yang berbeda pula. Dalam konteks ini, pendefinisian yang berbeda merupakan
upaya penulis memperkenalkan sebuah konsep dari berbagai sudut pandang sebagaimana

10
kisah “Orang-orang Buta dan Gajah” Mereka semua mendefinisikan gajah dengan cara
berbeda karena mereka menjangkau realitas yang sama dengan episteme yang berbeda.
Namun pada dasarnya semua definisi tersebut tepat. Meskipun mendefinisikan gajah secara
parsial, definisi mereka otentik dan bahkan bisa saling melengkapi sehingga menjadi definisi
yang lebih sempurna.
Inkonsistensi dalam mendefinisikan mitme dan unit dasar mitos tampaknya
dipengaruhi oleh pemikiran Levi-Strauss sendiri yang berkembang. Menurut Leavit (2010)
awalnya mitema dipahami sebagai unit terkecil mitos yang tererpesentasi dalam bentuk
kalimat. Unit terkecil ini sepadan dengan fonem yang merupakan satuan bunyi minimal
suatu bahasa, dan morfem, satuan minimal yang mengandung makna. Realisasi fonem
dapat beragam karena adanya alofon sedangkan morfem dapat teralisasi secara beragam
karena adanya alomorf. Namun kemudian, Levi-Strauss tak lama kemudian mengubah
definisinya, mengklaim bahwa "unit konstituen terkecil sebenarnya dari mitos", lebih
tepatnya adalah "bundel" atau kelompok atau paket atau kolom dari hubungan semacam itu
yang memiliki kesamaan. Menurut Leavit (2010) ambiguitas Levi-Strauss dalam
mendefinisikan miteme bertahan dalam karya-karya berikutnya yang membuat para
komentatornya terpecah tentang apakah akan mengambil tema mitos sebagai hubungan
tunggal yang dapat diwakili oleh sebuah kalimat atau sekumpulan hubungan semacam itu
dalam bentuk bundel atau kolom tadi.
Ambiguitas Levi-Strauss dalam menetapkan definisi miteme itu tampaknya
“menurun” dalam buku karya Prof Heddy ini. Ada dualisme definisi yang belum teratasi.
Apakah dalam tulisannya Prof Heddy merujuk mitem dalam pengertian pertama yaitu
miteme dapat ditemukan dalam satuan kalimat? Atau rujukan miteme adalah pada yang
kedua yaitu sebagai bundel kalimat-kalimat yang tampak relasinya satu sama lain?
Kedua, adanya inkonsistensi dalam metode analisis strukturalisme sebagaimana
dijelaskan halaman 94-96 dengan penerapan pada mitos-mitos orang-orang Indian Bororo
dan Tucuna (hlm. 137-158). Pada halaman 94-96 dijelaskan bahwa metode dan prosedur
penerapan strukturalisme Levi-Strauss ada dua tahap yaitu menemukan miteme dan
menyusunnya. Namun ketika digunakan dalam analisis mitos Indian Bororo dan Tucuna dua
prosedur tersebut tidak tampak jelas penerapannya. Relasi-relasi oposisi biner memang
tampak jelas dalam contoh analisis, namun bagaimana miteme-miteme tersusun, tidak
tampak sebagai prosedur yang pasti dan ketat.
Kondisi demikian tampaknya telah disadari penulis buku dengan menjelaskan bahwa
“...relasi-relasi logis yang dikemukakannya (Levi-Strauss - pen.) kadang-kadang memang
terasa begitu jauh dan sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya” (hlm. 155). Tidak
tertutup kemungkinkan, kondisi demikian merupakan suatu persoalan yang membenarkan
kritik terhadap Levi-Strauss sebagaimana disampaikan Douglas bahwa “Cara-cara analisis

11
Levi-Strauss ternyata tidak pernah secara tepat diformulasikan dan hanya secara intuitif
diterapkan.” Namun demikian, inkonsistensi ini belum diatasi dengan penjelasan yang
memadai sehingga berpotensi membingungkan pembaca.
Ketiga, dijelaskan bahwa model analisis Levi-Strauss juga dipengaruhi model
komputer (hlm. 164). Munculnya istilah “model komputer” pada bagian tersebut terasa
anakronis karena tidak pernah muncul pada bagian sebelumnya. Selain itu, istilah “model
komputer” juga merupakan istilah yang cenderung membingungkan karena tidak dijelaskan
bagaimana model tersebut beroperasi sehingga analog dengan komputer. Sebab, komputer
beroperasi dengan sistem jamak yang meliputi operasi perangkat keras, perangkat lunak,
pemrograman, dan sebagaimanya. Komputer yang dimaksudkan pada masa lalu, ketika
Levi-Strauss mengembangkan gagasannya, bisa saja realitas yang sama sekali berbeda
dengan komputer saat ini karena komputer telah mengalami perkembangan eksponensial.
Selain tiga inkonsistensi di atas, saya terkejut ketika membaca analisis tentang
Pitoto’ Si Muhamma’ yang tidak menjadikan perbedaan nama antara Daeng Manjakari (DM)
dan Muhamma’ (M) sebagai bagian dari miteme yang tidak dihubungkan dalam relasi
oposisi biner. Penulis dengan sangat jeli melihat kontradiksi antara kehidupan laut dan darat,
antara Bajo dan Bagai, juga antara pernikahan kerabat dekat dengan kerabat jauh, namun
tidak mengulas perbedaan nama Daeng Manjakari (DM) dengan Muhamma’ (M) sebagai
miteme yang penting. Padahal, nama adalah identitas manusia yang bisa menjadi pintu
masuk memahami kehidupan sosial, budaya, dan batin manusia, termasuk suku Bajo.
Menurut Bodenhorn dan Bruck (2009) nama adalah data antropologi penting karena
megimplikasikan kepribadian ideal yang ingin diwujudkan dalam sebuah masyarakat,
penilaian gender, hubungan dan migrasi antarkelompok masyarakat, memori semantik dan
biografi, kekuatan wacana, dan bahkan analisis simbolik secara lebih umum. Nama
mengandung informasi kultural dan bahkan politis penting sehingga sangat penting untuk
dilewatkan.
Nama Daeng Manjakari adalah nama nama yang mengandung khazanah adat
setempat. Adapun nama Muhammad (terlebih jika ditulis dengan huruf m dobel yang
menunjukkan berfungsinya tanda tasydid dalam bahasa Arab) adalah nama yang bercorak
Arab (Islam). Kata “Daeng” dalam nama DM telah dijelaskan sebagai bukti interaksi antara
Bajo Darat dengan orang Bugis namun nama Muhamma’ tidak mendapat perhatian sebagai
bentuk pengaruh kebudayaan Islam dalam suku Bajo Laut. Dalam kebudayaan suku Bugis
di Makassar, menurut Djaswadi (2013) “... merupakan sebutan atau gelar bagi kalangan
bangsawan (kaya), orang-orang yang dihormati, dan orang-orang yang dituakan, dalam
kehidupan sosial masyarakat suku Makassar.” Nama Daeng dan Muhamma’ sejatinya bisa
menjadi miteme karena memiliki relasi secara biner. Perbedaan nama juga merupakan

12
kontradiksi yang tidak kalah pelik dibandingkan kontradiksi lainnya (darat-laut, Bajo-Bagai,
dll).
Catatan lain yang perlu ditambahkan adalah ketidakajegan penulis ketika
menggunakan pendekatan ini dalam menganalisis karya sastra. Pada Bab VI (hlm. 297) Prof
Heddy menulis “...kebebasan pengarang yang biasa dianggap sebagai kenyataan tak
terbantah, ternyata tidak selamanya benar. Kebebasan Umar Kayam dalam menulis cerita
… ternyata merupakan kebebasan yang berada dalam suatu bingkau tertentu, suatu
‘struktur nalar’ tertentu yang bersifat nirsadar”. Pernyataan tersebut berimplikasi bahwa Prof
Heddy mengakui hubungan genetik antara karya sastra dengan penciptanya. Jika konsisten
dengan pernyataan demikian, pengarang adalah elemen yang tidak dapat dielakkan dalam
proses menafsirkan makna karya sastra sebagaimana diakui dalam hermeneutika. Akan
tetapi pada Bab VII (hlm. 302) Prof Heddy juga menulis “Dalam hal ini seniman pencipta
tidak berhak lagi dan tidak perlu melakukan campur tangan apapun terhadap tasfir tersebut,
sebab begitu sebuah karya seni selesai diciptakan tugas seniman sudah selesai”.
Dua pernyataan tersebut bisa saja dua pernyataan yang sejalan jika merujuk pada
peristiwa atau sekuen waktu yang berbeda. Pernyataan 1 yang menyatakan kaitan antara
pengarang dan karyanya adalah kaitan kreatif yang terjadi ketika pengarang berproses
menulis karya sastra. Adapun pernyataan 2 yang menyatakan ketiadaan hubungan antara
pengarang dan tafsiran atas karyanya adalah hubungan intepretatif yang terjadi ketika karya
sudah selesai ditulis. Namun di sisi lain (setidaknya dalam pandangan strukturalisme
genetis), mengaitkan karya sastra dengan pengarang (termasuk tafsiran versinya)
merupakan metode yang bukan saja sah, melainkan perlu. Terlebih jika sang pengarang
masih hidup, memproduksi karya-karya baru, melahirkan teks-teks lain yang secara genetis
memiliki kaitan dengan karya sastra tersebut. Dalam konteks ketika Prof Heddy menafsirkan
Para Priyayi, pengaruh pengarang dalam memberi tafsiran karya sastranya bisa sangat
dimungkinkan sebab pada masa Prof Heddy menuliskan makalah ini (tahun 1998) Umar
Kayam masih hidup (meninggal 16 Maret 2002).
Selain itu, catatan lain yang perlu ditambahkan adalah argumentasi penulis dalam
menyamakan mitos dengan karya sastra. Ketika memilih tiga karya Umar Kayam sebagai
objek analisis, penulis berargumen bahwa mitos dan ketiga karya tersebut memiliki
keserupaan sehingga sama-sama bisa dianalisis dengan strukturalisme. Dua argumentasi
tersebut adalah (1) karya Umar Kayam dan mitos sama-sama dibuat sebagai upayak untuk
memahami kontradiksi keadaan dan (2) Umar Kayam ketika menuliskan karyanya
menempatkan diri bukan sebagai pengamat melainkan sebagau subjek yang terlibat dalam
memberikan intepretasi. Dua argumentasi tersebut kurang meyakinkan karena tidak disertai
argumentasi yang menjelaskan perbedaan mitos dengan karya sastra. Penulis hanya
mengungkapkan fakta-fakta yang dapat mendukung pilihannya untuk menyamakan mitos

13
dan karya sastra tetapi, entah sengaja atau tidak, mengabaikan fakta lain yang
berseberangan. Fakta yang berseberangan tersebut terkait perbedaan sifat kepemilikan dan
sifat pendokumentasian mitos dan karya sastra.
Dari sisi kepemilikan ada perbedaan mendasar antara mitos dan karya sastra. Mitos
bersifat anonim dan diakui sebagai karya kolektif masyarakat sedangkan karya sastra ditulis
oleh pengarang yang jelas identitasnya. Mitos lazimnya didokumentasikan secara lisan
sehingga memungkinkannya berkembang dalam berbagai versi sedangkan karya sastra
(karya Umar Kayam) terdokumentasi dalam bentuk tulisan yang terjaga otentisitasnya. Dua
perbedaan ini tidak diulas oleh penulis ketika penulis berusaha menempatkan mitos dan
karya sastra dalam posisi yang sama.
Terakhir, saya merasa perlu memberikan catatan khusus tentang penggunaan
sumber pustaka dalam buku ini. Jika dibaca pada saat ini (tahun 2021), sebagian besar
referensi yang digunakan buku tampak sudah berusia lebih dari 30 tahun. Referensi yang
telah “berumur” ini bukan hanya pada referensi utama tetapi juga referensi sekunder yang
dimanfaatkan penulis sebagai data pendamping ketika melakukan analisis terhadap mitos
dan karya sastra. Sumber referensi tertua adalah Magic, Science, and Religion and Other
essays karya Malinowski yang bertarikh 1904. Adapun Adatrecht bundel XXXVI dan De
Standen bij de Boegineezin en Makassaren bertarikh 1933. Referensi paling baru bertarikh
2001 yang merupakan edisi perdana buku ini (Galang Press).
Kondisi demikian bisa menjadi persoalan jika dalam masyarakat yang dianalisis
(misalnya suku Bajo) telah terjadi perubahan yang membuat data-data etnografis yang
digunakan dalam buku menjadi kurang relevan. Suryenegara, dkk. (2015), berdasarkan
penelitian kasus Suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, menjelaskan adanya
perubahan dalam “pola perilaku masyarakat, interaksi sosial, nilai yang dianut
masyarakat, organisasi sosial dan susunan lembaga kemasyarakatan, serta perubahan
lapisan sosial dalam masyarakat”. Obie (2016) menunjukkan intervensi pemerintah di
pesisir Teluk Tomini, Gorontalo, berupa penetapan kawasan konservasi, serta pemberian
izin konsesi kepada swasta melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Guna Usaha
(HGU), dan usaha tambak telah menyebabkan hilangnya akses komunitas Suku Bajo
terhadap sumber daya pesisir. Kondisi ini menciptakan perubahan sosial dan budaya yang
signifikan karena “...menyebabkan kelembagaan adat semakin melemah yang
mengakibatkan memudarnya falsafah hidup selaras dengan alam, memudarnya etika
konservasi, hilangnya kearifan lokal, hilangnya identitas diri, dan hancurnya modal sosial.”
Dalam tiga dekade terakhir terjadi perubahan sosial besar yang dipicu
berkembangnya internet dan media sosial. Internet dan media sosial bukan hanya
mempengaruhi cara masyarakat berkomunikasi dan mengakses informasi melainkan juga
mempengaruhi citra diri dan identitas kolektifnya. Chaidirman (2019) menunjukkan generasi

14
View publication stats

muda suku Bajo di Kabupaten Waktobi menghadapi persoalan kecanduan gawai. Kondisi ini
menunjukkan adanya interaksi yang sangat terbuka sebagian masyarakat Suku Bajo
dengan dunia luar (bukan hanya dengan masyarakat darat, tetapi juga seluruh dunia)
melalui perantara internet. Karena internet bukan hanya alat melainkan juga pesan itu
sendiri (kata McLuhan: the medium is the messages), ada kemungkinan telah
mengakibatkan pergeseran tata nilai pada generasi muda suku Bajo, termasuk persepsinya
terhadap mitos. Kondisi ini dapat membuat mitos mengalami modifikasi baik pada aspek
struktur, proses resepsinya, maupun perannya.
Di luar berbagai catatan tersebut, buku Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya
Sastra karya Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra adalah buku berkualitas yang ditulis bukan
hanya dengan pemahaman dan ketekunan yang mendalam tetapi juga dengan gairah
keilmuan yang bergelora. Fitur-fitur kebahasaan yang digunakan penulis menunjukkan
kecintaan dan keyakinan penulis terhadap value paradigma ini. Karena ditulis dengan
perasaan semacam itulah, saya kira, gagasan di dalamnya menjadi mudah
terkomunikasikan kepada pembaca.

Referensi:
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (2012). Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra.
Kepel Press
Bodenhorn, B., & Bruck, G. vom. (n.d.). “Entangled in Histories”: An Introduction to the
Anthropology of Names and Naming. An Anthropology of Names and Naming, 1–30
C. Chaidirman, D. Indriastuti, and N. Narmi. (2019). Fenomena kecanduan penggunaan
gawai (gadget) pada kalangan remaja Suku Bajo. Holistic Nursing and Health
Science, Vol. 2, (2), pp. 33-41
Leavitt, John. (2010). Mytheme and Motif: Lévi-Strauss and Wagner. Intersections: Canadian
Journal of Music. Volume 30 (1), pp. 95-116
Obie, Muhammad . (2016). Perubahan sosial pada komunitas suku Bajo di pesisir Teluk
Tomini. Al-Tahrir, Vol. 16, No. 1, pp. 153 - 174l
Suryanegara, Ellen, dkk. (2015). Perubahan sosial pada kehidupan suku Bajo: Studi , pp.
067 -078.

15

Anda mungkin juga menyukai