Anda di halaman 1dari 133

Sosiologi

Strukturalisme
Linguistik
Historisitas, Diskursus dan State of the Art

Edisi 1

Penulis
Dr. Joni Rusmanto, M.Si
Ester Sonya Ulfaritha, M.Si

Pengantar
Prof. Drs. Kumpiady Widen, MA.,Ph.D

i
Sosiologi Strukturalisme Linguistik
Historisitas, Diskursus dan State of the Art

Edisi 1

Penulis
Dr. Joni Rusmanto, M.Si
Ester Sonya Ulfaritha, M.Si

Copyright © Dr. Joni Rusmanto, M.Si dan Ester Sonya


Ulfaritha, M.Si, 2020
All right reserved
ISBN: 978-623-93551-3-5
Layout: Rendra
Desain Sampul: @Diajeng

Cetakan I: April 2020


Penerbit
CV. Sintesa Prophetica
SINTESA BOOK

Email: sintesa.book@gmail.com
IG: sintesa_books
HP: +62 852 3294 3564

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

ii
PENGANTAR PENERBIT

S
OSIOLOGI STRUKTURALISME LINGUISTIK,
Historisitas, Diskursus dan State of the Art, adalah
sebuah topik dari sebuah teks karya ilmiah yang
disusun lebih bersifat teoritik mengenai sejarah
kemunculan gagasan tentang struktur, dinamika
diskusi hingga perdebatan menarik di kalangan
teoretisi strukturalisme. Dinamika perdebatan tersebut
melahirkan gagasan baru tentang struktur yang
dibahas yakni dalam metode bahasa atau linguistik.
Linguistik sebagai metode berfikir di dalam
menjelaskan konsep tentang struktur, sebelumnya
hanya dipahami sebagai struktur sosial, akan tetapi
hasil dinamika perdebatan itu kemudian
mengetengahkan dimensi struktural dalam metode
linguistik sebagai metodologi baru dalam memahami
struktur. Maka dari itu buku ini telah mampu
menampilkan peralihan paradigma kajian struktur
kedalam wilayah wawasan baru yakni struktur
linguistik dan dinamika peralihan metodologi
pemahaman tersebut yang kemudian disebut linguistik
turn.
Bagi para pembaca budiman, untuk memahami
strukturalisme dalam bingkai sosiologi, maka
kehadiran tulisan ini dapat membantu memperkaya,
menambah bahkan mungkin memperluas gagasan

iii
baru mengenai gagasan tentang struktur yang seolah-
olah tidak lagi didiskusikan ataupun diperdebatkan
kembali, sehingga internalisasi gagasan tentang
struktur dikalangan inteklektual pada masa kini
semakin dimaterialisasikan ke dalam konsep yang
lebih sempit dan kaku.
Singkat kata, harapan kami selaku pihak
penerbit, sekali lagi semoga buku ini sangat berguna
memperkaya khasanah intelektualitas akademik sidang
pembaca dan selamat membaca semoga bermanfaat.

iv
PENGANTAR DEKAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

B
uku yang diberi judul SOSIOLOGI
STRUKTURALISME LINGUISTIK, Historisitas,
Diskursus dan State of the Art merupakan
sebuah buku teks ilmiah, yang diramu dari beberapa
sumber referensi, membahas konsep struktur dalam
konstruksi pemikiran kaum strukturalis dalam disiplin
ilmu-ilmu sosial khususnya.
Memang harus diakui bahwa konsep struktur
yang didiskusikan para teoretisi sosial semula, pada
dasarnya di dalam disiplin sosiologi terutama sub
disiplin Antropologi adalah warisan kuat paradigma
disiplin ilmu alam yang normatif dan lebih positivistik
dalam unit analisisnya.
Dalam karya ini, Penulis membangun dan
merangkai beberapa literasi ke dalam beberapa isu
utama yang bersifat tematik dibagi ke dalam beberapa
bagian diantaranya dalam bab pertama memuat
sejarah awal konsep struktur yang dipahami
dikalangan masyarakat luas karena pengaruh dominan
pemikiran intelektualitas Eropa yakni Jean Paul Sartre
waktu itu.

v
Khalayak ramai atau yang disebut masyarakat
luas Eropa saat itu diperhadapkan pada trend labelling
kebebasan berfikir kebudayaan yang hakiki. Cara
berfikir dalam ruang kebudayaan demikian merupakan
pengaruh kuat gaya khas eksistensialisme Sartre yang
mengakar kuat dalam masyarakat bahwa berfikir
tentang kebudayaan demikian diyakini sebagai
kesadaran manusia volutaristik, dan pemahaman
semacam itu disebut struktur kesadaran yang bersifat
hakiki sebagai sifat eksistensialitas manusia.
Gaya berfikir eksistensialis Sartre seperti ini
yang menjadi cikal bakal yang melahirkan diskursus;
dialog, kritik dan perdebatan menarik tentang konsep
struktur yang dimaksud dari kalangan teoritisi
khususnya pakar linguistik Perancis yang terkenal saat
itu. Ferdinand de Saussurre adalah seorang teoritisi
linguistik populer waktu itu, telah mengawali
perdebatan teoritik menyangkut konsep struktur dan
atas analisisnya yang kuat dan mendasar mengenai
sruktur sehingga mengubah pemahaman paradigm
klasik tentang struktur menjadi lebih modern.
Paradigma kaum strukturalis klasik yang
memahami struktur sebagai struktur kesadaran yang
ber~koesistensi ke dalam paradigma struktur bahasa
atau linguistik. Jadi yang dimaksud struktur adalah
struktur bahasa bukan struktur kesadaran yang
berkoeksistensi sebagai strukstur sosial yang alami.

vi
Perubahan paradigma berfikir terhadap struktur lama
(seperti yang dipahami kaum strukturalis fungsional)
ke paradigma struktur sebagai bahasa atau metode
linguistik inilah yang kemudian disebut linguistic turn
(membalikan gagasan struktur sebagai struktur
bahasa).
Maka dari itu singkat kata, buku Sosiologi
Strukturalisme Linguistik; Historisistas, Diskursus dan
State of the Art, adalah sebuah karya teks ilmiah yang
enak dibaca dan dipahami bagi siapa saja yang
menaruh perhatian utama kepada teori-teori sosiologi
khususnya tentang sejarah, perdebatan ilmiah dan
perkembangan terakhir gagasan struktur dalam
strukturalisme.

Dekan,

Prof. Drs. Kumpiady Widen.,MA.,Ph.D

vii
PENGANTAR PENULIS DAN EDITOR

P
ada umumnya dalam literatur studi sosiologi
sangat jarang kita jumpai tulisan teks ilmiah
yang secara lebih khusus dan spesifik mengkaji
dan membahas teori-teori sosial. Hal ini sangat langka
kita temukan dalam beberapa karya teks ilmiah
sosiologi, akan tetapi sebaliknya dimana teori-teori
sosiologi sangat umum dikaji dan dibahas oleh para
teoretisi sosial tersebut.
Buku yang diberi judul Sosiologi Strukturalisme
Linguistik, Historisitas, Diskursus dan State of the Art,
merupakan salah satu upaya inteletualitas penulis
untuk mencoba mengisi kekurangan dimaksud. Dalam
teks ilmiah ini, secara lebih khusus mencoba menulis
kembali tentang teori struktur yang dikaji serta
diperdebatkan dalam sejarahnya, dan mencoba
menghadirkan dinamika dan posisi perdebatan para
teoretisi sosial sebelumnya mengenai konsep struktur
dalam metode linguistik dalam strukturalisme.
Perlu diketahui bahwa terdapat pendapat
umum menyatakan bahwa konsep struktur di dalam
berbagai literatur studi ilmu sosial menjelaskan
gagasan tentang struktur lazimnya digunakan untuk
memahami sebuah pola hubungan struktural, suatu
objek yang diasosiasi dan diabstraksikan berpola
tersubordinat, bahkan untuk mengklasifikasi dualisme

viii
pemikiran terhadap sebuah realitas yang diamati dan
dipahami.
Pengertian tentang struktur demikian,
sesungguhnya merupakan sebuah kesadaran dalam
memahami sesuatu yang bersifat dualisme, padahal
struktur yang dimaksud hanyalah pengklasifikasian
yang bersifat diferensiatif dan relasional belaka untuk
kepentingan menjelaskan konsep atas sesuatu subjek
yang ingin coba dipahami dan dimengerti dalam alam
pikiran dan kesadaran.
Memang pada dasarnya bahwa konstruksi
berfikir terhadap konsep struktur seperti itu,
merupakan sebagai pengaruh warisan kuat paradigma
positivistik dalam tradisi metodologi disiplin ilmu-ilmu
alam sebelumnya. Harus diakui bahwa disepanjang era
intelektualitas Durkheim, Robert Kees Merton, Talcott
Parson bahkan jauh sebelumnya seperti halnya Marx
dan para sosiolog sentral lainnya juga terpapar oleh
pengaruh paradigma positivistik yang begitu kuat dan
kaku sebagaimana yang telah dikembangkan dalam
disiplin ilmu-ilmu alam sebelumnya.
Dalam konteks lain misalkan, disiplin ilmu-ilmu
sosial umumnya dan sosiologi khususnya semestinya
memberikan apresiasi positif terhadap Levy Strauss
sebagai Antropolog awal karena berjasa dalam
mengembangkan, dan menerapkan konsep baru
tentang struktur dalam metode linguistik ke dalam

ix
kajian kebudayaan sebagai unit analisisnya
menggunakan konstruksi berfikir ala Ferdinand de
Saussure sebelumnya. Maka dari itu, tidaklah
berlebihan jika kemudian dapat dikatakan bahwa
ditangan Levy Strauss lah justru konsep struktur dalam
strukturalisme telah mendapatkan dimensi dan
wawasan teoritik baru, khususnya dalam
pengembangan lapangan kajian Antropologi.
Jadi dengan demikian, sekali lagi bahwa Levy
Strauss dengan berani mencoba mengaplikasikan
prosedur-prosedur linguistik ke dalam wilayah unit
analisis Antropologi sosial dan budaya. Maka dari itu,
metodologi yang digunakan Strauss itulah yang
kemudian menunjukan arti bahwa strukturalisme
linguistik dalam penerapannya kepada sub disiplin
kajian kebudayaan pada masanya telah menjadikan
Antropologi sempat lebih maju dan adekuat.
Dalam The Elementary Structure of Kindship
(1949), Strauss membandingkan secara eksplisit
tujuan-tujuannya dengan ilmu bahasa fonologi, dan
menambahkan kalau para ahli bahasa (pakar linguistik)
serta ilmuwan-ilmuwan sosial lain tidak hanya
menggunakan metode yang sama, tapi juga
mempelajari hal-hal yang sama.
Gagasan utama Staruss dalam karyanya itu
untuk menemukan dibalik segala detail peraturan
mengenai perkawinan dan kekerabatan yang pelik

x
berasal dari ratusan masyarakat dalam sebuah
kebudayaan yang ada, sejumlah kaidah logis
sederhana yang dengannya kita dapat memahami
keseluruhannya (Beilharz, 2002:261). Strukturalisme
dengan metode analisa linguistik seperti yang
dijelaskan Strauss sebelumnya, mengijinkan kita
kembali memilah apa yang kemudian disebutnya
sebagai realitas fundamental dan obyektif yang terdiri
atas sistem-sistem relasi yang merupakan produk-
produk dari proses alam pemikiran bawah sadar
(Gidden & Turner, 1987:199).
Oleh karena itu, maka strukturalisme dalam
studi bahasa atau linguistik sesungguhnya
menempatkan linguistik menjadi bidang yang paling
maju atau paradigma struktur yang lebih kuat (state of
the art) dalam lapangan kajian ilmu-llmu sosial
humaniora (Beilharz, 2002;260).
Selain itu juga untuk menanggapi berbagai
kekurangan maupun kelemahan dalam stukturalisme
linguistik serta berbagai kritik yang dilontarkan
terhadapnya, termasuk strukturalisme yang kemudian
dikembangkannya dalam Antropologi, maka dari itu
Strauss kembali mengingatkan kita bahwa
strukturalisme atau apapun yang berangkat dari hal
itu, telah dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali
baru dalam setiap perubahan ruang dan waktu.

xi
Dengan demikian, maka tulisan kecil ini yang
secara sengaja diberi judul Sosiologi Strukturalisme
Linguistik; Historisitas, Diskursus dan State of the Art,
seyogyanya dapat disambut baik untuk dimanfaatkan
sebagai salah satu sumber pengkayaan referensi teks
ilmiah tentang sejarah, diskusi bahkan pedebatan
menarik mengenai strukturalisme dan bagaimana
strukturalisme mewarnai setiap paradigma berfikir
dalam memahami khususnya dimensi kehidupan
masyarakat, politik, kebudayaan, sejarah, ekonomi,
sastra, kesenian, musik dan lain sebagainya.

Penulis dan Editor,

xii
DAFTAR ISI
Pengantar Penerbit | iii
Pengantar Dekan | v
Pengantar Penulis dan Editor | viii
Daftar Isi | xiii

BAB I. LATAR BELAKANG MASALAH | 1


A. Gagasan Umum Strukturalisme | 1
B. Sejarah Strukturalisme Eropa | 3
C. Kritik Dominasi Eksistensialisme | 5

BAB II. POKOK PERMASALAHAN | 9


A. Menggugat Eksistensialisme | 9
B. Keprihatinan Terhadap Dinamika Bahasa | 32
C. Pengembangan Struktur dalam Berbagai Kajian | 34

BAB III. PEMBAHASAN PERMASALAHAN | 39


A. Permasalahan Gagasan Struktur | 39
B. Kajian Struktur Metode LInguistik | 44
C. Penerapan Struktur Linguistik ke Antropologi | 64
D. Kritik Struktur dalam Metode Linguistik | 75

BAB IV. PERKEMBANGAN TERAKHIR (STATE OF


THE ART) | 84
A. Dinamika Strukturalisme Linguistik | 84
B. Kekuatan dan Kelemahan Struktur Antropologi | 94

xiii
C. Ikonsistensi Pengembangan Struktur Antropologi |
101

BAB V. KESIMPULAN DAN PENUTUP | 105


Daftar Pustaka | 110
Tentang Penulis | 115

xiv
BAB I
LATAR BELAKANG MASALAH

L
A. Gagasan Umum Strukturalisme
ebih sederhananya bahwa disatu pihak, gagasan
umum teoretisi sosial tentang struktur lebih
mengacu kepada pengertian struktur itu sebagai
proses pengorganisasian dan pemolaan pikiran
terhadap suatu objek yang bersifat dualisme sifatnya.
Namun, sesungguhnya pada sisi lain, gagasan tentang
struktur juga diartikan tidak lain sebagai suatu pola
berfikir tentang sebuah objek pikiran subordinat
dalam kesatuan ruang dan waktu, dan berada dalam
hubungan yang sama maupun bertentangan dalam
fungsinya. Bahkan lebih dari itu, gagasan tentang
struktur juga cenderung dipahami sebagai pengaturan
dan pengorganisasian unsur-unsur yang saling terkait
dalam suatu objek material atau sistem, atau sebuah
objek atau sistem yang terorganisasi.
Oleh karena itu, maka sesngguhnya memang
harus diakui, disepanjang gagasan tentang struktur
dikalangan teoritisi sosial umumnya menunjukan
penjelasan konsep yang berbeda-beda, antara satu
konsep dengan penjelasan konsep yang lainnya.
Dalam konsepsi klasiknya struktur lebih cenderung
dipahami sebagai struktur sosial yang terkait dengan

1
pola hubungan. Struktur juga adalah organisasi sosial
individu dalam berbagai situasi kehidupan. Struktur
sosial dapat diaplikasikan kepada orang-orang dalam
cara masyarakat sebagai suatu sistem yang diorganisir
oleh pola hubungan yang khas dan hal itu dikenal
sebagai organisasi kelompok sosial.
Para sosiolog klasik telah lama memahami sistem
kebudayaan dan masyarakat sebagai sebuah struktur
besar yang bersifat dualisme. Masyarakat dan
kebudayaan sebagai sebuah sistem terpisah dan para
individu yang diposisikan sebagai aktor yang
tindakanya selalu dikontrol dan diawasi oleh sistem
yang disebut masyarakat sebagai sebuah struktur
besar. Gagasan struktur yang dipahami dalam dimensi
klasik ini telah memahami para individu sebagai
anggota masyarakat dan budaya itu tidak dapat
bertindak secara bebas dan sukarela (volustaristik)
karena masyarakat dan kebudayaan sebagai sebuah
struktur sosial besar yang lebih otonom.
Perlu digaris bawahi bahwa dalam kacamata
teoretisi fungsionalisme awal, struktur dipahami
sebagai suatu pemolaan hubungan atau fenomena
sosial. Kondisi ini kerap dianggap sebagai pencitraan
visual, yang sama dengan kerangka atau morfologis
organisme atau penyangga suatu bangunan. Konsepsi
klasik seperti itu berhubungan dengan dualisme
subjek dan objek sosial (Demartoto; 2013

2
https://argyo.staff.uns.ac.id/2013/02/05/teori-
strukturasi-dari-anthony-iddens/). Dualisme pemikiran
tentang konsep struktur dalam perspektif klasik
semacam itu, pada dasarnya dominan dipengaruhi
paradigma kuat disilplin ilmu-ilmu alam
(Naturwissenchaften) yang lebih normatif positivistik
dalam metodologinya.
Atas dasar sejarah singkat tentang konstruksi
berfikir terhadap struktur dalam bingkai pemahaman
klasik di atas, maka yang menjadi fokus perhatian
mendasar dalam buku ini adalah secara panjang lebar
menjelaskan, mengurai, membahas, menantang secara
lugas persoalan konstruksi berfikir klasik tentang
struktur dan bagaimana warisan konstruksi dualisme
positivistik semacam itu telah melanda bahkan
berpengaruh kuat dalam konstruksi berfikirnya para
teoretisi dan ilmuwan sosial dewasa ini.

B. Sejarah Strukturalisme Eropa


Diawal sejarah kemunculanya, pembahasan
tentang struktur dan bagaimana dinamika berdebatan
cukup serius dikalangan para intelektual terutama para
teoretisi Eropa pada waktu itu. Perdebatan tersebut
diawali dan utama dalam penekanannya terhadap
konsep struktur, yang pada dasarnya bukan struktur
kesadaran akan tetapi struktur sebagai struktur bahasa

3
atau linguistik yang kemudian disebut strukturalisme
linguistik.
Sumber perdebatan intelektualitas tentang
struktur semula muncul atas suatu gagasan umum
yang menyatakan bahwa manusia memiliki kehendak
bebas (voluntarisme). Konsep tentang struktur sebagai
struktur kesadaran yang bersifat voluntaristik terjebak
dengan paradigma berfikir filsafat eksistensialisme, di
belahan dunia Eropa khususnya dan di dunia Barat
umumnya, pola berfikir semacam itu sempat menjelma
menjadi semacam trend labelling berfikir orang-orang
tentang struktur budaya.
Perlu kita ketahui bahwa konstruksi berfikir
masyarakat Barat di era itu terkait erat dengan warisan
pemikiran seorang filsuf popular yang bernama Jean
Paul Sartre yang memahami struktur sebagai sebuah
kesadaran manusia yang kemudian disebut eksistensi.
Eksistensi sebagai struktur kesadaran manusia
berkehendak bebas, adalah diciptakan dan
menghakekat sebagai sebuah kesadaran diri yang
berproses, mengada pada diri manusia dan
pemahaman tersebut kemudian disebut sebagai
struktur budaya. Dengan demikian maka eksistensi itu
merupakan struktur kesadaran yang menghakekat
menjadi apa yang dinamakan sebagai struktur
kebudayaan.

4
Struktur yang dimaksud dalam pergertian itu
tidak lain adalah sruktur dalam kesadaran yang
mengada kemudian telah diproduksi ke dalam kreasi
fisik budaya manusia yang lebih karena pada
hakekatnya manusialah yang menciptakannya. Maka
dari itu sesungguhnya manusia memiliki kehendak
bebas untuk bereksistensi melakukan apa saja
berdasarkan keinginan menurut kehendak bebasnya
yang sebebas-bebasnya (voluntarisme).
Gagasan terhadap eksistensialisme Sartre
tersebut di atas, kemudian telah menjadi trens
pemikiran yang begitu luar biasa melanda masyarakat
Eropa umumnya, terutama di negara Perancis
khususnya sebagai salah negara yang menempatkan
kebebasan manusia yang bereksistensi seperti halnya
dalam dunia budaya yang secara terus-menerus
dikembangkan menjadi ikon peradaban kultur budaya
masyarakat Perancis yang lebih masif dikembangkan
pada saat itu.

C. Kritik Dominasi Eksistensialisme


Sebagaimana sudah disinggung di atas, bahwa
kajian tentang struktur dalam sejarahnya tidak
dipisahkan dari kritik terhadap gagasan
eksistensialisme Jean Paul Sartre yang di dunia Barat
begitu luar biasa pengaruhnya. Akan tetapi terlepas
dari itu semua, trend pemikiran eksistensialis tersebut

5
bukan berarti kemudian tidak ada kritik yang
dilancarkan terhadapnya, akan tetapi justru banyak
dipermasalahkan bahkan lebih ditentang terutama dari
kalangan intelektual Perancis di Eropa saat itu.
Kritik utamanya dilancarkan oleh seorang
ilmuwan linguistik Perancis bernama Ferdinand de
Saussure dalam karya anumertanya berjudul, Cours de
linguistique générale (1916). Risalah kunci ini muncul
pada tahun 1916, disusunnya bersumber dari catatan
siswa pada program kuliah yang diberikan di
Universitas Jenewa pada tahun 1907-1911 (Cobley,
2001:118).
Dalam berberapa literatur yang dapat
dipercaya, bahwa Ferdinand de Saussure merupakan
salah seorang ahli linguistik yang mencoba
mengembangkan pemikirannya tentang struktur
secara lebih khusus dalam metode analisis bahasa.
Dalam pembahasan awalnya, Ferdinand
mendiskusikan tentang persoalan struktur,
sebagaimana yang menjadi orientasi pembahasan
para sosiolog awal perspektif tradisional seperti halnya
struktur dalam pandangan strukturalisme fungsional.
Dalam konteks ini, maka hal yang cukup
menarik dalam pembahasan Ferdinand de Saussure
yang sebelumnya memperkenalkan sentralitas
gagasan kunci tentang konsep struktur dalam ruang
bahasa, maka sejak saat itu pula pandangan tentang

6
struktur mulai mendapatkan perhatian teoritik yang
lebih serius dan lebih luas penerapannya di berbagai
bidang kajian ruang lingkup sosiologi linguistik.
Selain itu pula, bahwa sentralitas pemikiran
Ferdinand de Saussure telah membuka ruang
cakrawala baru dan aspek lebih luas mengenai
pembahasan tentang konsep struktur yang tidak lagi
hanya dipahami sebagai struktur kesadaran manusia
yang mengada (yang kemudian kita sebut eksistensi),
akan tetapi kajian struktur juga dilihat semula sebagai
supra struktur makro sebagaimana sejak lama dianut
kalangan strukturalisme fungsional.
Maka dari itu, khususnya metode bahasa
(linguistik) dilihat sebagai unsur dari struktur alam
sadar pikiran manusia. Lebih khusus dalam
pembahasan itu, bagi Saussure, bahwa bahasa adalah
suatu sistem yang tertutup (a close system) disaat
semua bagian terinterellasi (dalam Marks dan de
Courtivron, 1981:3).
Demikian juga halnya, menyangkut perhatian
yang cukup lebih menarik tidak hanya soal struktur
pada dimensi bahasa (linguistik) sebagaimana yang
dipahami Ferdinand de Saussure, namun konsep
struktur juga diperluas pengembangannya kedalam
kajian antropologi budaya seperti yang diperkenalkan
Claude Levi-Strauss (1908-1990-an) sebagai seorang
profesor Antropologi dari Universitas Sao Paulo, Brasil.

7
Pengembangan dan penerapan struktur dalam
metode bahasa ke dalam lapangan kajian antropologi
Strauss tersebut di atas, pertama kalinya diterapkan
dalam sebuah maha karyanya berjudul The Elementary
Structure of Kindship dan termasuk juga kajian struktur
dengan metode bahasa (linguistik) yang
mempengaruhi para teoretisi serta para sejarawan
baru umumnya yang mengakui sentralitas bahasa
yang memproduksi bentuk-bentuk budaya masyarakat
dan kesadaran manusia umumnya.

8
BAB II
POKOK PERMASALAHAN

U
A. Menggugat Eksistensialisme
ntuk mengetahui kejelasan pokok persoalan
tentang konsep struktur secara teoritis yang
kemudian dipermasalahkan dikalangan
teoretisi umumnya, maka terlebih dahulu harus
dipahami persoalan diseputar pemahaman masyarakat
luas tentang konsep kebudayaan yang dipahami saat
itu di Eropa. Konsep atau gagasan diseputar struktur
kebudayaan tidak lain adalah sebagai trend labeling
berfikir luas yang pada dasarnya memang seperti itu
dimaknai dalam kehidupan masyarakat Perancis.
Konsepsi klasik masyarakat luas tentang
struktur kebudayaan, tidak lepas dari latar sejarah
pengetahuan filsafat eksistensi pemikiran dan
peradaban filsuf Barat. Pengetahuan masyarakat
Perancis terhadap pengembangan selera kebudayaan
yang bereksistensi tidak terlepas dari sejarah
perjalanan pemikiran yang populer pada masanya
terutama pemahaman yang pernah diusung oleh
tokoh eksistensialis Perancis yang bernama Jean Paul
Sartre (1905–1980). Di bawah ini merupakan catatan
sejarah singkat mengenai eksistensi Sartre pada masa
kejayaan pemikirannya di Eropa.

9
Nama lengkapnya Jean Paul Charles Aymard
Sartre (1905–1980), merupakan salah seorang filosof
berkebangsaan Perancis yang pernah popular pada
masanya. Sebagai seorang filosof yang cukup disegani
karena cara berfikirnya mengusung gaya pemikiran
eksistensialis Barat maka pemikiran tersebut
belakangan dominan kuat berpengaruh terhadap para
teoretisi Eropa lainnya. Sebelum memasuki gaya khas
pemikiran Sartre yang sesungguhnya, maka terlebih
dahulu harus memahami sejarah awal tentang dunia
kehidupannya sehari-hari (everyday life).
Dalam biografi singkatnya, Sartre dilahirkan di
Kota Paris pada Tanggal 21 Juni 1905. Ayahnya
seorang perwira angkatan laut dan ibunya anak dari
seorang guru bahasa dan satra Jerman yang cukup
disegani kemudian menjadi kakek Sartre. Kakeknya
itulah yang selanjutnya turut pula membantu ibunya
membesarkan Sartre hingga menjadi seorang pemuda
yang tumbuh dewasa (Bertens, 2001:81).
Setelah ayahnya meninggal dunia, tepatnya
setelah Sartre berumur dua tahun sesudah
kelahirannya, maka selanjutnya ia dan ibunya tinggal
bersama kakeknya dan selama hidup dengan kakeknya
itu kemudian ia banyak dipengaruhi oleh gaya
pemikiran kakeknya yang pada waktu itu berprofesi
sebagai guru bahasa dan satra Jerman. Oleh sebab itu,
maka tidak mengherankan jika kemudian Sartre pun

10
mulai memahami bahasa dan teks-teks klasik Jerman
yang sudah lama terkenal dalam pemikiran sastra
maupun filosofis Jerman saat itu.
Tentang riwayat akademiknya, Sartre banyak
mengikuti berbagai iven formal terutama di Lycées,
dan pada usia sembilan belas tahun ia memasuki École
Normale Supérieure tepatnya pada tahun 1924. Pada
tahun 1929 persisnya kurang lebih lima tahun
kemudian, ia pun bertemu dengan pendamping
seumur hidupnya yaitu, Simone de Beauvoir (1908-
1986) yang kemudian tokoh tersebut menjadi
terkemuka dalam pemikiran feminis Prancis.
Setelah mengikuti pendidikan semi militer secara
singkat pada tahun 1929-1931 di negaranya, Sartre
banyak memperoleh penghargaan bergengsi di dunia
filosofi terutama berkaitan dengan metodologi
pengajarannya di sebuah lycée di lingkungan Le Havre
yang mengilhami novel awalnya berjudul Nausea (La
nausée). Selama periode tersebut, Sartre juga telah
melakukan penelitian (1933-1934) untuk belajar di
Berlin, di mana dia menjadi sangat terkesan dengan
fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938) dan
fenomenologi Martin Heidegger (1889-1976).
Pada awal 1950-an, Sartre mengembangkan
minat yang kuat terhadap Marxisme, dan segera
menetapkan filosofi eksistensialisnya pada fondasi
Marxis dalam Critique of Dialectical Reason (1960), dan

11
juga meneruskan aktivitas politiknya selama tahun
1960-an dan 1970-an. Pada tahun 1964, ia dianugerahi
Hadiah Nobel dalam bidang Sastra namun
penghargaan bergengsi yang ingin diberikan
kepadanya waktu itu ia tolak.
Perjalanannya karir intelektualnya tidak hanya
berakhir sampai disitu, melainkan Sartre lebih banyak
meluangkan waktunya untuk memberikan kegiatan
ceramah, diskusi, dialog atau berpartisipasi dalam
komite politik sehingga berkat profesinya saat itu
maka membawanya pernah melakukan perjalanan ke
Negara Austria, China, Jerman, Uni Soviet di mana dia
bertemu Nikita Khrushchev, kemudian ke Kuba
bertemu juga dengan Fidel Castro dan Che Guevara,
selanjutnya ke Yugoslavia tempat dia bertemu Josip
Tito, ke Polandia, Cekoslovakia, Italia, Jepang, Mesir,
Israel, Yunani, Amerika Serikat dan termasuk
kunjungan ke Negara Portugal.
Pada tahun 1971 sampai dengan tahun 1973,
Sartre menderita penyakit jantung dan meski secara
fisik lemah dan semi buta saat itu, tidak
menghalanginya untuk melanjutkan pekerjaan melalui
penggunaan rekaman dan penampilan di program
televisi swasta dan nasional. Perjalanan intelektualnya
itu kemudian berhenti ketika ia meninggal pada 15
April 1980 segera setelah dirawat di rumah sakit

12
karena penyakit paru-paru. Abu Sartre dimakamkan di
pemakaman Montparnasse di Paris, Perancis.
Setelah Sartre meninggal dunia, maka untuk
beberapa periode waktu selanjutnya terdapat hal yang
cukup menarik terhadap ciri khas dan gaya pemikiran
tentang eksistensialisnya waktu itu terutama ketika
dimulainya era 1960-an Negara Prancis dikenal
masyarakat dunia sebagai pusat pertumbuhan
peradaban budaya dan seni, yang kemudian ternyata
tidak hanya terdapat model bidang haute counture
(adi busana), dunia fashion, entertainer, modelling,
seni, budaya tapi juga peradaban dan intelektualitas
manusia lainnya.
Setelah Perang Dunia ke-2 berakhir, pemikiran
filsafat Barat khususnya eksistensialisme merasuki
budaya dan kesadaran intelektualitas masyarakat Barat
di Prancis. Setiap orang tidak mau ketinggalan zaman
dan berusaha untuk berfikir serta berbicara dengan
gaya khas eksistensialistis seperti yang diajarkan Sartre
pada saat itu.
Fenomena selera budaya tersebut ketika itu
tidak hanya merambah kehidupan publik semata akan
tetapi juga menjalar ke kalangan dosen-dosen muda
dan para mahasiswa di lingkungan kampus terutama
di pusat kota-kota besar Perancis saat itu (Bertens,
2001:177).

13
Maka tidaklah berlebihan jika kemudian sampai
masa kini, Negara Perancis selalu dikenal
popularitasnya oleh masyarakat dunia sebagai negara
Eropa yang selalu memproduksi dan menjadi pusat
ikon sejarah perkembangan kebudayaan modern
khususnya pada pertumbuhan budaya fashion yang
cukup dikenal.
Kita sudah disuguhkan dengan latar pemikiran
di atas tentang siapa figur panutan pemahaman
tertentu yang melatari konsepsi berfikirnya Sartre.
Maka kerangka berfikir tersebut kemudian tidak
sepenuhnya diadopsi oleh Sartre, akan tetapi
kemudian konsepsi besar pemikiran di atas telah
ditantang (challenged) atau lebih tepatnya disanggah
dan kemudian dikonstruksi ke dalam dimensi
pemikiran yang jauh lebih maju (adekuat) dari
pemahaman para pendahulunya. Dan pemahaman
baru yang dibangun Sartre tersebut di atas
sesungguhnya boleh dikatakan sebagai kekhahasan
murni berfikir yang menjadi pokok sentralitas gaya
berfikir eksistensialitasnya Sartre kemudian.
Disebutkan bahwa sebagai seorang humanis
tulen, Sartre justru pada mulanya memberikan
perhatian penuh terhadap otonomisasi individu
sebagai mahluk yang berkehendak bebas atau
voluntaristik dengan fungsi keagenannya yang
menciptakan struktur. Menurutnya manusia itu

14
merupakan makhluk yang memiliki kebebasan otonom
yang lebih luas (voluntarisme), ketimbang terikat serta
kemudian sangat dipengaruhi oleh struktur yang
dibentuk.
Dalam konteks sentralitas pemahamannya
tersebut, maka Sartre selanjutnya memahami bahwa
manusia itu adalah kebebasan itu sendiri. Oleh
karenanya, maka manusia didefinisikan sebagai
kebebasan itu sendiri. Atau dengan kata lain, manusia
juga adalah satu-satunya makhluk di mana eksistensi
mendahului eksistensi.
Penjelasan Sartre tersebut di atas, pada
dasarnya berambisi ingin menempatkan manusia
sebagai “is not what he is”, ketiadaan memisahkan
manusia dari esensinya, baru setelah ia mati dapat
dilukiskan ciri-ciri mendasar yang menandai hidupnya
(Bertens, 2001:96-97). Dalam konteks gagasan itu,
menurut Sartre maka dapat disederhanakan
pemahamannya bahwa pada manusia eksistensi
mendahului esensi menunjukan dengan baik intisari
aliran eksistensialisme atau dengan kata lain bahwa
dalam esistensialisme adalah suatu humanisme.
Sebuah gagasan cerdas yang telah dijelaskan
Sartre tersebut pada dasarnya ingin menjelaskan
secara lebih lengkap menyangkut hakekat being in
itself yang dalam konteks terjemahan bahasa
Indonesia dapat diartikan sebagai proses kemenjadian

15
pada diri manusia. Apa yang dimaksud Sartre dengan
gagasannya itu, adalah tidak lain untuk menjelaskan
bahwa pada diri manusia terdapat semacam kesadaran
mendasar yang lebih otentik diri manusia sebagai
satu-satunya mahkluk di muka bumi ini yang memiliki
dan secara lebih subjektif mampu menciptakan
bahkan menolak kesadaran dan jati diri yang muncul
dari luar, sehingga keberadaan sebagai manusia selalu
berproses dalam aktualitas diri yang direpresentasikan
dalam berbagai peristiwa hidup di setiap ruang dan
waktu.
Berdasarkan kata kunci sentralitas terhadap
kerangka pemikirannya itu, maka Sartre kemudian
menjelaskan bahwa dengan menarik perbedaan tajam
yang lebih luas antara dua elemen penting dan
mendasar tentang keberadaan. Sartre memahami
keberadaan sebagai suatu wilayah kesadaran sebagai
unsur subjektivitas sebagai keberadaan untuk dirinya
sendiri yang menurutnya sebagai unsur yang
berlawanan dengan bidang objek, atau apa yang dia
sebut sebagai tempat tersendiri. Alam objek yang
terakhir ini asing bagi kesadaran pra reflektif dan ia
berdiri sebagai sumber kesadaran yang frustratif
Seseorang ingin menjadi satu dengan dunia
luar dan orang juga memiliki keinginan untuk berada
di dunianya akan tetapi sebaliknya menurut Sartre
bahwa mereka pasti gagal melakukannya, atau mereka

16
harus benar-benar memusnahkan diri mereka sendiri
dalam prosesnya. Karena tidak ada jalan tengah di
mana seseorang bisa menjadi kesadaran yang puas
yang telah menjadi identik dengan apa yang pada
dasarnya asing bagi kesadaran itu sendiri.
Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya subjek
tidak dapat sepenuhnya menjadi objek itu sendiri.
Subjek haruslah sebagai ia satu-satunya yang selalu
merasa frustrasi dalam upayanya untuk memahami
dirinya sendiri dengan cara yang obyektif semata.
Demikian juga halnya, untuk menjadi dirinya sendiri
adalah kesadaran, dan Sartre pun kemudian
menggambarkannya sebagai makhluk sedemikian
rupa sehingga selalu berada dalam keberadaannya
sendiri.
Oleh karena itu maka keberadaannya itu harus
dipertanyakan sejauh menyiratkan adanya makhluk
selain dirinya sendiri. Sebaliknya, dengan sendirinya
(dalam hal ini maka Sartre sering merujuk secara lebih
singkat seperti yang ada pada dirinya sendiri)
mengacu pada keberadaan objek, atau dunia benda.
Di sini, kita menemukan yang sebenarnya jalan
masuk keyakinan Sartre bahwa dunia menurutnya
adalah sebuah pengalaman sehari-hari (everyday life)
tidaklah masuk akal, yang secara intrinsik tidak ada
artinya, karena ia menggambarkan keberadaan dirinya
sendiri, dunia fisik batuan, bintang, dan pepohonan

17
dalam pengertian yang dapat dijelaskan secara singkat
seperti halnya sebagai :
a) Sesuatu yang tidak diciptakan dengan
sendirinya
b) Sesuatu hal yang sifatnya masif, dalam artian
tidak pernah mengungkapkan diri
sepenuhnya sebagai sesuatu kesadaran
c) Sesuatu yang tidak dapat direalisasikan
sendiri, karena tidak dapat mengacu pada
dirinya sendiri dan solid, buram, terpaku
pada dirinya sendiri dan dipenuhi dengan
dirinya sendiri
d) Sesuatu yang dimiliki tidak ada yang rahasia,
dan tidak ada pula yang menentang
e) Sesuatu yang tidak berguna (de trop), dan
mana yang benar-benar bergantung, tidak
memiliki alasan untuk berada.
Dalam salah satu novel sebagai sebuah karya
awalnya berjudul, Nausea (1938), Sartre
menggambarkan sebuah pengalaman yang
mengungkapkan signifikansi eksistensial terhadap
dirinya sendiri, seperti menolak pemahaman total.
Dunia menurut Sartre, katakanlah seperti
berada dalam dirinya sendiri, dipenuhi dengan kualitas
yang tidak disengaja, menentang semua upaya untuk
memahami mereka sepenuhnya dengan intelektualitas
manusia. Menjadi diri sendiri itu artinya adalah

18
kehadiran fisik dari kehadiran sesuatu yang detail,
komplikasinya, dan fisik belaka, menguasai dan
melampaui semua upaya untuk menangkap
keberadaannya dalam jaringan konsep, dalam sistem
pemikiran manapun, dalam kerangka ilmiah statis
manapun, dalam serangkaian definisi kaku, atau dalam
gaya intelektualisasi apapun.
Dalam hal ini, maka dunia fisik secara agung
menentang pemahaman dan refleksi filosofis dengan
cara yang hampir mengintimidasi bahkan
melemahkan. Hal itu, adalah Yang Lain bagi pribadi
individu yang namanya manusia itu, adalah sebuah
kekuatan yang luar biasa dari pemikiran teoretis Sartre.
Dikatakan Sartre bahwa cara-cara individualitas,
kontingensi, kebetulan, dan ketidakpastian menembus
dunia, membuat dunia menjadi tempat yang tidak
masuk akal. Dengan absurditas ini,
walaubagaimanapun maka kemudian muncul
semacam kebebasan untuk memilih dalam diri sendiri.
Selain gagasan tentang kesadaran diri pra
reflektif di atas, maka Sartre juga dapat diposisikan
sebagai filsuf penting yang berjasa menghadirkan
sebuah konsep filosofis yang menyatu berkaitan
dengan hal negatif, seperti persoalan tentang
ketiadaan, negasi dan kekurangan. Salah satu
prestasinya adalah menghubungkan konsep-konsep
ini dengan pemahaman tentang apa itu menjadi

19
manusia, sejauh manusia adalah makhluk yang bebas,
dan merupakan makhluk yang selalu bertanya-tanya
dan bahkan dapat dikatakan selalu mengajukan suatu
pertanyaan dalam berbagai peritiwa disetiap
kehidupan yang dijalani.
Dalam Being and Nothingness, Sartre meneliti
apa artinya mengajukan pertanyaan khusus
memperhatikan peran negasi dan
mempertanyakannya dalam tindakan. Dia juga
menyatakan bahwa untuk pertanyaan yang tidak
benar-benar retorik, ada kemungkinan obyektif dari
jawaban negatif yang akan dimunculkan.
Lebih jauh Sartre pun menggambarkan situasi
tanya jawab yang melibatkan korelasi antara si
penanya yang tidak mengetahui jawaban atas
pertanyaan yang diajukan, bersamaan dengan relasi
antara jawaban alternatif atas pertanyaan tersebut,
salah satunya adalah jawaban negatif. Dalam konteks
itu, Sartre menunjukkan bahwa karena setiap jawaban
tidak termasuk yang lain, ada juga sebuah negasi
(pertentangan) yaitu, sebuah hubungan oposisi
(berlawanan) yang mendapatkan jawaban alternatif.
Oleh karena itu, maka Sartre pun kemudian
telah mengidentifikasi tiga (3) hal yang mendasar
menyangkut ketidakberadaan yang melekat dalam
tindakan dengan mengajukan argumentasi pernyataan
mengenai pokok pertanyaan yaitu sebagai berikut :

20
a) Terdapat ketidakpastian pena~nya
b) Terdapat kemungkinan jawaban negatif
atas pertanyaan
c) Terdapat suatu pertentangan antara dua
kemungkinan jawaban itu sendiri.
Diskusi Sartre sangat penting menyoroti
berbagai tempat di mana tidak ada yang menembus
situasi pertanyaan, dan ini kemudian pertanda tema
yang dikembangkan dalam kerangka pemikiran pos
modernisme Prancis. Gaya pikirnya terlihat di antara
celah-celah situasi untuk mengidentifikasi tempat-
tempat di mana negasi sebagai sesuatu yang non
hadir atau ketiadaan.
Jika kita mempertimbangkan situasi sama
sekali karena memiliki struktur yang diartikulasikan,
seperti kerangka, maka kita dapat memahami Sartre
karena memusatkan perhatiannya pada sendi, atau
ruang, atau titik transformasi atau transisi, diantara
kerangka-kerangka yang hanya berkutat pada fokus
perhatian pada struktur dasar yang positivistik itu
sendiri.
Pikirannya menyoroti kondisi artikulasi struktur
apa pun, yaitu, celah, jeda, celah, perpecahan, ruptur,
diskontinuitas, perbedaan dan hubungan, yang
bertentangan dengan item positif yang dibawa ke
hubungan struktural yang dalam hal ini telah terjadi
berbagai titik diskontinuitas. Kemudian, kita akan

21
melihat lebih banyak gaya berpikir yang berpusat pada
Ferdinand de Saussure dan Jacques Derrida, seperti
yang diterapkan pada struktur kata dan teks.
Selain itu sentralitas gaya berfikir Sartre juga
tidak dapat dilepaskan dari latar pemikiran yang
berasal dari filsuf Jerman kenamaan yang bernama
Edmund Husserl. Kita tahu bahwa filsuf ini jauh
sebelumnya berharap bisa membangun bidang filsafat
sebagai sains yang ketat, dengan mendasarkannya
pada fondasi yang tak terbantahkan oleh ilmuwan
lainnya.
Untuk mencapai tujuan dimaksud maka
sekaligus mengingatkan kita kembali tentang
sentralitas pemahaman kesadarannya Husserl yang
telah memperkenalkan kembali fenomenologi yang
digunakan kurang lebih satu abad sebelumnya oleh
G.W.F. Hegel mengacu pada sains tentang kesadaran
dan pengalamannya sendiri.
Sebagai pendiri fenomenologi modern, Husserl
ingin menciptakan metode yang lebih ketat untuk
melawan skeptisisme yang mendominasi daratan
Eropa pada awal abad ini. Husserl memulai karyanya
dengan dua metode, yakni satu positif dan satu
negatif. Metode positifnya yang dalam Bahasa
Jermannya disebut zu den Sachen selbst (kembali ke
halnya sendiri). Metode ini dimaksudkan untuk

22
melepaskan jalan pikiran dari apa saja yang dianggap
ideal tetapi tidak mendasarkan diri pada realitas.
Berkaitan dengan hal itu, menurut Husserl pula
bahwa hal yang terpenting adalah halnya sendiri,
bukan gagasan tentang hal tersebut. Metode yang
negatif disebut Voraussetzungslosigkeit yang mutlak
(kekurangan pengandaian yang multlak). (E,
Sumaryono, 1993:110).
Apabila kita melacak kembali jejak pikiran
Husserl, tidak lain pemahaman itu berasal dari
konstruksi berfikirnya G.W.F. Hegel mengenai
kesadaran manusia, yang menurutnya bahwa
kesadaran yang ada pada diri manusia itu tidak lain
adalah pengetahuan bersifat subyektif individu yang
disebut ilmu.
Dalam konteks itu, Edmund Husserl
menggunakan istilah Hegel sebagai nama untuk ilmu
filosofis baru. Harapannya tidak lain adalah hanya
untuk mengidentifikasi pengalaman, tingkat kesadaran
murni yang tidak mengandung pengandaian apa pun,
yang akan menjamin baginya landasan mutlak untuk
pertanyaan filosofisnya.
Dalam pencariannya terhadap landasan
filosofis yang absolut, maka Husserl mengikuti jejak
seorang filsuf terkenal jauh sebelumnya yaitu René
Descartes, yang kurang lebih sekitar dua ratus tujuh

23
puluh lima tahun sebelumnya pernah mengemukakan
sebuah pendapat seperti ini :
sudah bertahun-tahun saya melihat banyak
keyakinan yang keliru, yang saya dapatkan dari
masa muda saya yang paling awal diakui
sebagai benar, dan betapa meragukannya
semua yang saya miliki sejak dibangun atas
dasar ini. Dan sejak saat itu pula, saya yakin
bahwa saya harus secara serius berusaha
melepaskan diri dari semua pendapat yang
sebelumnya saya terima, dan mulai
membangun kembali, jika saya ingin
membangun struktur yang tegas dan
permanen dalam ilmu pengetahuan (Wicks,
2003:31).

Dalam konteks pemikirannya itu, Re’ne


Descartes pada prinsipnya berusaha mencapai
landasan filosofis yang aman dan bertahan lama
melalui proses keraguan universal, yakni suatu proses
dimana ia secara aktif menyisihkan proposisi yang
meragukan dengan harapan keragu-raguan itu
tujuannya adalah hanya untuk menolak sebuah
proposisi yang pada akhirnya akan tetap ada dan
selalu eksis disepanjang waktu.
Menurut Rene Descartes, bahwa dimensi
kelima indera kita terkadang menipu kita, itu pendapat

24
Descartes dan ia pun meragukan bukti perseptual
yang dipaparkan oleh inderanya karena kita kadang-
kadang membuat suatu kesalahan dalam penalaran
yang dilakukan oleh pikiran kita sendiri.
Dalam konteks gagasan pemikirannya itu maka
logika Descartes ingin menyatakan kepada kita bahwa
objek apa yang kita pahami dan itu telah tersampaikan
serta diteruskan langsung menuju pikiran kita,
dikonstruksi dan sekaligus direduksi melalui panca
indera kita sehingga objek yang sejatinya telanjang
diberikan pakaian baru menjadi sebuah pemahaman
yang diatributkan sebagai sebuah subjek yang telah
beridentitas dan diberi nama.
Dalam konteks itu, maka dengan demikian,
Descartes meragukan juga hasil logika apapun sampai
tiba pada sebuah kesimpulan, dan oleh karenanya,
maka ia pun kemudian menetapkan kembali semua
proposisinya itu disamping dalam pencarian awalnya
sebagai pondasi filosofis yang tak tergantikan. Hal itu,
membuatnya sedikit bekerjasama dengan membuka
diri kecuali atas kesadaran tentang dirinya sendiri,
karena dia memikirkan dirinya sendiri pada saat itu
dalam pemikiran dan keraguan (Wicks, 2003:32).
Bagi Descartes bahwa inti kesadaran yang telah
dikenal sebagai cogito Cartesian (yang artinya saya
berpikir) keadaan pikiran yang menegaskan bahwa
siapa pun yang mungkin mencoba menyebabkan

25
seseorang tertipu, itu tetap selama seseorang itu telah
menyadari diri sendiri sebagai subjek penipuan yang
mungkin terjadi dimana seseorang itu pada dasarnya
tidak dapat meragukannya (Wicks, 2003:32).
Dalam semangat yang sama terhadap metode
keraguan Descartes di atas, maka selanjutnya Husserl
seorang ahli matematika Jerman yang sedang populer
saat itu juga telah lama sudah mengembangkan
metode untuk menyingkirkan (atau menguasai) aspek
pengalaman persepsi kita yang tampaknya melibatkan
prasangka atau interpretasi.
Prosedur kerangka pemikiran Husserl, telah
dikembangkan untuk memeriksa kembali secara
cermat apa yang disajikan pada kesadaran seseorang
ketika mengalami banyak hal, dan secara imajinatif
mengupas lapisan di atas yang ia sebut sebagai
lapisan overlay interpretatif, karena seseorang bisa
menghilangkan lapisan kulit luar tersebut sebagai
bungkusan atau kulit luar untuk tiba pada keadaan
kesadaran telanjang dari esensi yang sesungguhnya
(Wicks, 2003:33).
Harapannya adalah untuk mengeksplorasi
sehingga kemudian dapat menemukan satu kerangka
kesadaran yang tidak ditafsirkan sehingga sebagai
fondasi bagi semua pengalaman manusia. Seperti
yang dijelaskan Edmund Husserl dengan memusatkan
perhatian penuh pada sifat kesadaran dalam

26
kesederhanaannya, yang bila dipahami secara
independen berasal dari komplikasi kepribadian
individu, yang mengungkapkan dirinya sebagai
kesadaran murni, atau hanya mengarahkan pada
beberapa objek yang kesadarannya disadari (Wicks,
2003:34-35).
Menurut Husserl, kesadaran adalah bersifat
dipelihara, selalu menjadi sebuah kesadaran objek.
Akan tetapi, justru Sartre sebelumnya tetap bersimpati
dengan gagasan kesadaran murni Husserlian ini, akan
tetapi sebaliknya ia sangat lebih berhati-hati
menunjukan bahwa kesadaran murni itu pastinya tidak
dapat dipahami sebagai ego diri atau substansi yang
solid dan pasti (Wicks, 2003:34-35).
Konsepsi Sartrean mengenai struktur
kesadaran yang dipersonalisasi dan berfluktuasi, dapat
kita ingat sebagaimana yang tersirat dalam pandangan
Bergson sebelumnya yang pernah menyatakan bahwa
kesadaran terutama adalah gerakan yang mengalir
sepanjang waktu. Pengesahan Sartre tentang sifat
sadar yang substansial dan tidak berubah tersebut,
memberikan alternatif pada gagasan filosofi Barat
yang tidak terpisahkan dalam sejarah filsafat Barat
(Wicks, 2003:35-31).
Dengan mengingat kembali konstruksi
pemahaman Plato (375 SM) jauh sebelumnya, di
mana ia telah lama membedakan antara objek fisik

27
yang dapat dilihat, berubah, dengan esensi dari
substansi yang tidak dapat dilihat, dan hanya mungkin,
abadi dan tidak berubah dari benda-benda itu. Jadi
dapat ditambahkan bahwa konsepsi Plato menyangkut
soal objek sebagai sesuatu tentang gagasan ide-ide
yang dipahami dalam penjelasan yang lebih sederhana
yakni korelasi antara opini (pendapat, pernyataan,
pemahaman) dan pengetahuan (mengetahui sesuati
objek yang eksis) dapat disimpulkan dalam
kesimpulan Plato mengenai teorinya tentang ide-ide
(Russell, 2002:162).
Menurut Russel (2002:163) terdapat suatu
perbedaan tajam antara “pengetahuan” dan “opini”
bahwa opini (pendapat) tentang sesuatu objek itu
bukanlah pengetahuan yang diperoleh langsung
secara eksis terhadap objek apa adanya. Sedangkan
pengetahuan tentang sesuatu objek itu adalah bersifat
langsung dan eksis, sehingga ia ada dan sesuatu objek
yang tidak eksis itu tidak dapat dikatakan sebagai
sesuatu yang ada itu adalah opini.
Demikian juga selanjutnya penjelasan
mengenai gagasan Plato di atas diformulasikan secara
lebih sederhana dalam suatu analogi konteks misalkan
boleh dikatakan bahwa seseorang dapat mengubah
pakaian seseorang, menambah atau menurunkan
berat badan, memotong rambut, memotong jari kuku
setiap saat, akan tapi dalam pandangan ini bahwa

28
orang itu tetaplah sebagai seorang pribadi, yang
mengkarakter dan mahluk berkepribadian (Wicks,
2003:31).
Terhadap pemahaman Plato di atas, maka
Sartre sebaliknya justru membantah gagasan dan
perbedaan Platonis ini, walaubagaimanapun, ia tetap
bersikukuh dan mengklaim bahwa tidak ada esensi
dari hal-hal yang tetap konstan di balik adegan atau
pertunjukan perseptual manusia sehari-hari yang
mewujud. Dengan demikian Sartre menggantikan
perbedaan antara persoalan persepsi eksterior objek
atau persepsi di luar objek sebagai sebuah persepsi
yang bertentangan dengan interior sebagai bagian
dari objek yang tersembunyi (Wicks, 2003:32).
Dalam konteks perkataan lain artinya bahwa
esensi dari objek yang tersembunyi atau tidak tanpak
dipermukaan itu berbeda antara penyajian objek yang
terbatas dan presentasi yang tak terbatas banyaknya,
yang mungkin dimiliki objek pada waktu dan tempat
lain dan pemahaman ini yang disebut sebagai
transphenomenalitas atau transendensilitas objek
(Wicks, 2003: 33).
Jadi dengan demikian, alih-alih mengacu pada
lingkaran yang tidak sempurna dan berubah-ubah
yang digambar di selembar kertas yang kontras
dengan definisi lingkaran yang esensial dan tidak
dapat diubah, maka konsepsinya adalah bahwa

29
tentang hal-hal tersebut hanyalah mengenali
sekumpulan gambar lingkaran yang dapat muncul
dengan cara yang berbeda. Untuk menjelaskan konsep
transphenomenalitas yang dimaksud Sartre di atas,
maka ia kemudian memberikan contoh sederhana
yaitu dengan membedakan perasaan sempit, yang ia
gunakan untuk merujuk pada kehadiran langsung dari
sesuatu yang kita sadari, dari perasaan yang lebih luas
(Wicks, 2003: 33).
Menurutnya bahwa kehadiran langsung yang
dimaksudkannya itu tidak lain adalah sebagai
fenomena tentang sesuatu, karena presentasi
semacam itu, sebagaimana yang ia berikan contoh
seperti halnya saat kita melihat cangkir teh,
sebenarnya merupakan cara pengalaman indrawi
bahwa objek tersebut mengungkapkan jati diri atau
esensinya kepada kita secara perseptual pada waktu
itu (Wicks, 2003: 33).
Gagasan yang lebih penting lagi, adalah bahwa
dalam pengalaman manusia terhadap beberapa objek
pada waktu tertentu, seperti cangkir teh, 'fenomena
keberadaan' mengacu pada pengalaman kita yang
lebih luar biasa dari kehebatan eksistensialitas atau
dari 'fisik mentah'. Namun, objek yang lebih luas dari
cangkir teh yang berbeda adalah tanaman teh yang
lebih luas tidak terbatas pada saat-saat ketika
seseorang kebetulan melihatnya (Wicks, 2003: 33).

30
Pada prinsipnya bahwa suatu fenomena
terhadap sebuah keadaan tertentu sesungguhnya
mencakup hal seperti yang dirasakan sekarang, dan
juga penampilan yang dimilikinya, mungkin dimiliki,
dan mungkin juga menjadi ada atau juga
kemungkinan telah menjadi ada. Maka pemahaman
inilah yang selanjutnya akan dipertanyakan bagaimana
fenomena perseptual, seperti misalnya analogi tentang
kesadaran terhadap sesuatu misalkan meneruskan
contoh dengan pemahaman terhadap sebuah cangkir
teh di atas (Wicks, 2003: 34).
Dengan demikian maka transphenomenal, tidak
mungkin persepsi terhadap semua aspek yang
mungkin muncul sekaligus dalam pengalaman tunggal
seseorang. Namun, semua kemungkinan penampakan
misalkan sebuah cangkir teh sama jenisnya, yaitu
pengalaman khusus di luar ruang dan waktu. Tidak
ada hal lain di dunia tentang pandangan anti Platonis
Sartre tersebut dalam menggambarkan realitas objek
sebagai inti kesadaran manusia yang melakukan
intepretasi terhadap segala sesuatu yang dipahami
(Wicks, 2003: 34).
Hasil dari keadaan yang ditunjukan adalah
bahwa objek perseptual tidak misterius, dan bahwa
tidak ada aspek objek perseptual yang tetap, pada
prinsipnya, tidak tersedia pada persepsi. Dia
berpendapat bahwa objek semacam itu tidak memiliki

31
konstitusi mereka yang pada dasarnya tidak dapat
ditentukan. Semuanya tentang objek persepsi dapat
dipamerkan secara umum, dan dapat dikatakan bahwa
tidak ada yang bersifat personaliti tentang mereka
(Wicks, 2003: 34).

B. Keprihatinan Terhadap Dinamika Bahasa


Selain kerangka pemikiran khas Sartre dan
sumber gagasan pokoknya yang telah mempengaruhi
gaya khas berfikirnya tertang struktur, maka
selanjutnya yang tidak kalah penting juga ikut melatari
munculnya strukturalisme adalah keprihatinan teoretisi
terhadap dinamika khususnya perkembangan bahasa
kekerabatan Indo Eropa.
Kepedulian perkembangan terhadap bahasa itu
juga dapat dikategorisasikan sebagai yang menjadi
bagian sumbangan latarbelakang munculnya
strukturalisme itu sendiri. Paul Cobley dalam The
Routledge Companion to Semiotics and Linguistics
(2001), berpendapat bahwa lahirnya strukturalisme
Perancis merupakan sebuah reaksi atas keprihatinan
pada abad sebelumnya tentang pengungkapan
sejarah dan hubungan kekerabatan bahasa khususnya
Indo Eropa.
Konteks peristiwa politik tersebut di atas
merupakan sebuah sejarah yang terus-menerus
berlangsung dan berubah. Bahasa dibedakan dari

32
waktu ke waktu, hubungan menjadi semakin tidak jelas
bahkan semakin rumit, namun dipulihkan melalui
perubahan perumusan hukum-hukum linguistik.
Dengan demikian berkaitan dengan peristiwa tersebut
maka dalam konteks ini Cobley memberikan pendapat
ulang sebagai berikut :
The history of linguistic thinking in the twentieth
century has to be seen against the background
of its concern in the preceding century with
uncovering the histories and relationship of the
Indo-European family of language. It is story of
continuous change, of language becoming
differentiated over time, of connection becoming
obscured, yet recoverable through the
formulation of “laws” of linguistics change. It is
story of a journey through time across a large
part of Asia and all of Europe.

Penting untuk kita ketahui bahwa sejarah


kajian linguistik juga berkaitan dengan kecenderungan
dinamika sistem kekerabatan bahasa Indo-Eropa yang
berkembang luas ke sebagian Asia dan wilayah Eropa
sekitarnya. Fenomena perubahan sistem bahasa itu
dapat diartikan sebagai salah satu bagian yang
menjadi cikal-bakal lahirnya struktural linguistik yang
kemudian menjadi fokus sentral bagi pengembangan
kajian strukturalisme.

33
Sebagaimana yang diketahui bersama dalam
sejarah awal kemunculannya, bahwa Ferdinand de
Sassure merupakan salah seorang ahli linguistik
berkebangsaan Swiss yang pertama membangun dan
meletakan pemikiran linguistik dalam sejarah
strukturalisme Eropa. Teorinya itu pertama kali
dirangkum dalam sebuah tulisan yang diberi judul
Cours in General Linguistics, yang dipublikasikan pada
tahun 1916 di Prancis. Cours in General Linguistics
dihimpun terutama dari berbagai hasil kegiatan
perkuliahan yang dilakukannya sejak awal (Cobley,
2001:66).

C. Pengembangan Struktur dalam Berbagai Kajian


Setelah eksistensialisme mulai surut dan
kemudian secara perlahan mulai ditinggalkan
dibelahan Benua Eropa bahkan lama-kelamaan mulai
hilang pengaruhnya, maka strukturalisme selanjutnya
mengambil tempat sebagai mode baru pengetahuan
dan pemikiran kaum filosofis Perancis. Oleh sebab itu,
maka strukturalisme sebagai aliran pemikiran filsafat
baru yang muncul pada tahun 1950 sampai 1960-an.
Dalam periode waktu tersebut, selanjutnya
strukturalisme justru menjadi lebih berkembang dan
sangat popular di Kota Perancis. Menurut Kees
Bertens, barangkali tidak ada negara di mana
strukturalisme pada saat itu sempat mencapat taraf

34
kepopularitasnnya seperti di Prancis pada masa-masa
keemasannya itu (Bertens, 2001:177).
Perlu diketahui dalam sejarahnya bahwa
perhatian dan pembahasan mendasar terhadap
konsep kunci (keyword) “struktur” pada strukturalisme
itu tidak terdapat dalam pokok struktur yang sama
sebagaimana yang telah menjadi topik pembahasan
konvensional para sosiolog yang berbasis paradigma
struktural fungsional yang umumnya beorientasi pada
struktur yang dipahami berfungsi pada elemen-
elemen sosial intergratif dan saling menunjang dalam
masyarakat sebagai unit yang saling menentukan satu
sama lain.
Dengan kata lain dapat disederhanakan, bahwa
gagasan tentang struktur yang dimaksudkan oleh
kalangan teorisi sosial sebelumnya di mana kata kunci
struktur dipahami sebagai sebuah sistem dari atas
seperti konstruksi sebuah kerangka bangunan benton
raksasa yang menaungi unit jaringan sistem di
bawahnya. Cara pandang terhadap struktur seperti itu
bukanlah diskursus yang ingin dibangun dalam
gagasan strukturalisme di Eropa.
Dalam konteks perdebatan teoritik mengenai
konsep strukturalisme, di mana pada tingkat yang
lebih umum strukturalisme dapat dipahami sebagai
sebuah upaya di kalangan intelektual belakangan
untuk menemukan struktur umum yang terdapat

35
dalam aktivitas manusia. Dengan mengikuti
pandangan Ritzer yang mengutip pendapat Spivak
(1974:iv) bahwa struktur sebagai sebuah unit yang
tersusun dari beberapa elemen dan selalu ditemukan
pada hubungan yang sama dalam suatu aktivitas yang
tergambar.
Dengan kata lain bahwa dalam perspektif
tentang struktur demikian, maka unit tidak bisa
dipecah ke dalam unsur atau elemen-elemen tunggal,
bagi kesatuan struktur tidak terlalu dipahami oleh sifat
elemen yang substantif sebagaimana ia tidak terlalu
dipahami oleh hubungannya. Oleh karenanya dalam
pembahasan Ritzer, dkk nya dalam Encyclopedia of
SOCIAL THEORY, VOLUME II (2005), menyatakan
bahwa dikalangan strukturalis saat itu, memiliki
perspektif yang berbeda dan boleh dikatakan terbalik
seratus persen dari pandangan humanisme Sartre
sebelumnya.
Pada dasarnya dikalangan strukturalis
memahami dan berfokus pada persoalan struktur
sebagai dasar yang sebenarnya dari dunia sosial. Alih-
alih memiliki otonomi dan agensi, dalam konteks
pemikiran tersebut manusia dipandang sebagai aktor
yang mendorong jika tidak ditentukan oleh struktur,
dan dari sinilah kemudian persoalan tentang struktur
menjadi perhatian penting dan mendasar dalam
pembahasan strukturalisme selanjutnya.

36
Menurut Ritzer dkk (2005;803), apabila
dipahami kembali dalam bingkai catatan sejarahnya,
maka cikal bakal strukturalisme pada awalnya bukan
lahir dalam disiplin sosiologi, melainkan dapat dilacak
dari strukturalis awal dalam berbagai disiplin ilmu
yang muncul dan sudah berkembang pada saat itu.
Banyak fokus perhatian dari apa yang mereka pahami
sebagai struktur dasar dalam masyarakat, misalnya
Marx sebelumnya berfokus pada struktur ekonomi
yang mendasari masyarakat.
Dalam kaitannya dengan pemahamannya
tersebut, maka Marx tidak hanya memahami struktur
ekonominya saja, akan tetapi kepada masyarakat
dalam artian yang lebih kompleks. Dalam perubahan
sistem perekonomian pada masyarakat yang lebih
luas, struktur tersebut harus ditemukan, dipahami dan
diubah.
Dikalangan strukturalis Marxis selanjutnya
seperti, misalkan Althusser dan Poulantzas, telah
mencoba melihat Marx sebagai salah seorang
strukturalis, alasanya karena Marx menempatkan
keprihatinannya kepada struktur ekonomi yang
mendasari lahirnya masyarakat kapitalis.
Namun, keprihatinan Marx terhadap struktur
ekonomi tersebut yang mendasari munculnya
masyarakat kapitalis, tidak terlihat dalam analisis
empiris Marxisme strukturalis selanjutnya, dan fokus

37
inilah yang selanjutnya menjadi perhatian mendasar
yang kemudian dikembangkan dalam strukturalisme
kemudian (Ritzer dkk, 2005:804).
Selain itu juga, bahwa jauh sebelumnya
terdapat pemikiran lain yang turut memusatkan
perhatian penuh terhadap gagasan tentang struktur
terutama pada struktur ketidaksadaran yakni berasal
dari pemikiran seorang tokoh paradigma psikologi
sosial yaitu Sigmund Freud yang dianggap sebagai
eksponen terkemuka dari gagasan ini kemudian.
Menurut Freud, pikiran itu penting dan tidak
hanya untuk memahami yang mendasari struktur,
tetapi juga untuk mengungkapkan segala bentuk
kegiatan yang memungkin setiap orang memiliki
kesepakatan yang lebih baik, sehingga hal ini
membentuk struktur pikiran dan tindakan mereka.

38
BAB III
PEMBAHASAN PERMASALAHAN

P
A. Permasalahan Gagasan Struktur
usat utama perhatian bahkan boleh dikatakan
sebagai yang dianggap cukup lebih menarik
menyangkut pembahasan diseputar masalah
struktur sesungguhnya adalah bagaimana rangkaian
dinamika perdebatan dan diskusi intens dari para
teoretisi di dalamnya yang lebih menarik di sepanjang
masa. Sebagaimana dalam sejarah awal munculnya
kajian tentang struktur, tema pembahasan penting
menyangkut permasalahan kajian tentang struktur
yang pada mulanya dimulai berkisar pada pemahaman
eksistensialisme sebagai sebuah struktur yang
diabstraksikan dan dimaterialisasi menjadi sebuah
bentuk perilaku kebudayaan.
Dengan demikian kajian tentang struktur yang
pada awalnya dalam tradisi pemahaman teoretisi ilmu
sosial dipahami sebagai struktur kebudayaan,
perhatian selanjutnya bergeser ke struktur bahasa atau
linguistik sebagai struktur kesadaran, sehingga dalam
strukturalisme modern lebih dikembangkan bahkan
telah mendapat pengkayaan yang lebih berarti ke
dalam konsep perpaduan pemahaman tentang konsep
struktur yang dimaksud.

39
Perubahan paradigma berfikir tentang metode
kajian struktur dari paradigma klasik ke kajian struktur
dalam metode modern khususnya ilmu bahasa inilah
yang disebut linguistic turn. Pada awalnya, bahwa
konsep tentang struktur yang tekankan oleh Jean Paul
Sartre yakni adalah bertujuan untuk memahami
kembali struktur itu lebih kepada pengertian tentang
kesadaran manusia yang bertindak secara sukarela
(voluntarisme) dan pandangan tentang struktur
tersebut kemudian disebut sebagai eksistensi dari
kebudayaan itu.
Akan tetapi pada kesempatan yang berbeda,
maka pemikiran itu selanjutnya juga sangat kuat
ditentang oleh Ferdinand de Sausure yang melihat
struktur itu tidak terletak pada struktur kesadaran
melainkan struktur pada bahasa yakni yang disebut
linguistik yang selanjutnya menjadi cikal bakal lahirnya
strukturalisme sejati pada era masa kini di Perancis.
Dan rupanya bahwa di masa Saussure itulah maka
kemudian konsep atau gagasan teoritik tentang
struktur itu langsung bergeser jauh kepada konsep
tentang bahasa atau linguistik.
Bahasa sebagai struktur juga dalam sejarah
lahirnya strukturalisme modern di Perancis juga
berpengaruh terhadap pembentukkan konsep dan
gagasan tentang strukturalisme yang melihatnya pada
unit analisis struktur itu terhadap dinamika konteks

40
perkembangan yang lebih khusus pada struktur
bahasa kekerabatan Indo Eropa.
Untuk memahami sejarah dan peristiwa
penting yang melahirkan strukturalisme Perancis
modern, maka tidak kalah perlunya adalah
mengetahui pemikiran dari salah seorang pemikir
linguistik Perancis terkenal yaitu Ferdinand de
Sausurre. Tokoh inilah yang diakui sebagai pengagas
loncatan besar paradigma strukturalisme ke dalam
struktur kesadaran bahasa.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Roy Boyne
(1996) bahwa tokoh utama strukturalisme linguistik
adalah Ferdinand de Saussure, merupakan seorang
pemikir dari Universitas Geneva sekitar tahun 1891 dan
1913 hingga tahun 1901 sebagai profesor bidang
linguisitik bahasa khusus Indo-Eropa dan Sansekerta.
Banyak diketahui bahwa dalam sejarah awal
kemunculannya, linguistik adalah istilah klasik yang
tidak terlalu luas penggunaannya. Konsep itu pada
mulanya muncul pada dunia fashion di abad
kesembilan belas ketika para sarjana mulai
membedakan antara berbagai pendekatan yang
mungkin untuk mempelajari bahasa.
Beberapa ahli, termasuk halnya Ferdinand de
Saussure, yang jauh sebelumnya tetap bersikeras
membedakan antara filologi tradisional, fokus studi
terhadap sastra dan teks-teks lainnya terutama yang

41
lahir pada periode sebelumnya dan bentuk yang lebih
umum penyelidikan yang berusaha untuk belajar
bahasa mereka sendiri, terlepas dari apakah mereka
telah menghasilkan teks penting sastra atau budaya,
atau apakah mereka hanya menghasilkan teks sama
sekali.
Sejak saat itu maka selanjutnya linguistik
muncul sebagai istilah yang lebih disukai kebanyakan
orang sebagai metode penyelidikan, yang selanjutnya
termasuk seperti yang dikembangkan dalam karya
anumerta Saussure berjudul, Cours de linguistique
générale. Risalah kunci ini muncul pada tahun 1916,
disusunnya bersumber dari catatan siswanya dari
program kegiatan perkuliahan yang diberikan di
Universitas Jenewa di tahun-tahun 1907-1911 (Cobley,
2001:118).
Dalam berberapa literatur yang dapat
dipercaya, telah disebutkan bahwa Ferdinand de
Saussure mencoba mengembangkan pemikirannya
tentang struktur secara lebih khusus kepada analisis
bahasa, budaya dan masyarakat. Dalam pandangan
awal Saussure mengenai topik perdebatan yang
kemudian melahirkan strukturalisme terutama
menyangkut diskusi tentang struktur, bahwa tema itu
sebelumnya telah menjadi orientasi dalam
pembahasan kalangan sosiolog perspektif tradisional
seperti struktural fungsional.

42
Walaupun kajian sama-sama penting tentang
masalah struktur, namun sebagaimana yang
dinyatakan Ritzer (2008:52), bahwa yang menjadi pusat
perhatian utama dalam kajian strukturalisme adalah
struktur bahasa. Struktur bahasa sebagaimana yang
ditekankan oleh kalangan strukturalis telah menggeser
orientasi pemikiran terhadap kajian para sosiolog
sebelumnya tentang struktur sosial yang dipahami
dalam bingkai supra struktur bersifat makro (grand
structure) yang melingkupi struktur atas (subordinasi
struktur). Atau dengan kata lain, struktur dalam
pengertian sistem sosial dalam konteks paradigm
kajian fakta sosial (perspektif kaum strukturalis
fungsional).
Ciri mendasar strukturalisme terutama dalam
pendekatan studi ilmu bahasa atau yang akuratnya
aspek-aspek tertentu linguistik sebagai kunci penting
bagi filsafat dan teori sosial secara keseluruhan.
Penekanan terhadap hakikat relasional totalitas-
totalitas, tesis mengenai sifat arbitrer tanda dan
memproritaskan signifier lebih dari sekedar persoalan
tentang signified.
Pendensentralisasian subjek, fokus khusus
terhadap hakikat tulisan, materi-materi tekstual, dan
sebuah minat terhadap ciri temporalitas yang secara
konstitutif berkaitan dengan hakikat objek dan
peristiwa (Giddens, dkk, (1987:196).

43
B. Kajian Struktur Metode LInguistik
Dalam maha karya Ferdinand de Saussure
berjudul, Cours de linguistique Generale (Kursus
tentang Linguistik Umum) telah menjadi acuan penting
di kalangan strukturalis dalam mengkaji struktur
bahasa atau linguistik. Karya tersebut oleh para ahli
Bahasa di Eropa dijadikan sebagai rujukan teoritis
bahkan pendekatan untuk memahami struktur bahasa
dalam kajian masyarakat, yakni melihat struktur
bahasa terletak pada tiga distingsi yang utamanya
kemudian menjadi dasar penting dalam pokok
pembahasan dalam strukturalisme.
Sangatlah perlu untuk kita ketahui, dan
sekaligus sebagai tambahan informasi singkat saja
bahwa Cours de linguistique Generale tersebut di atas
untuk pertama kalinya dipublikasikan pada tahun
1916, yakni hanya setahun setelah diterbitkannya
karya The Elementary Forms, oleh seorang sosiolog
Perancis terkenal pada masanya yang bernama Emile
Durkheim.
Berkaitan dengan sentralitas pemikiran
Ferdinand de Saussure tersebut di atas, paling tidak
mengingatkan kita kembali tentang pokok pemikiran
Email Durkheim sebelumnya tentang setiap sistem
bahasa itu sendiri sepenuhnya terpisah, unit yang
hanya dapat diidentifikasi dalam hal hubungan mereka

44
satu sama lain, dan bukan dengan referensi sistem
bahasa atau linguistik dan ekstra linguistik lainnya.
Dalam konteks pemikirannya itu, maka
selanjutnya Ferdinand de Saussure secara lebih tegas
membedakan antara bahasa, aturan sosial dan
sistemik bahasa, dan pembebasan bersyarat, contoh
pembicaraan individu atau khusus, atau ucapan. Hanya
yang pertama, tegasnya, dapat dengan tepat menjadi
objek studi ilmiah itu sendiri lebih bersifat sosial
daripada individu.
Bahasa bukan hanya sekedar alat komunikasi
yang berguna bagi pembicara, kata Saussure, itu
adalah produk yang diasimilasi secara pasif oleh
individu. Berbicara adalah tindakan individu. Tindakkan
itu adalah upaya kecerdasan intelektual yang
disengaja. Perbedaan ini merupakan antara cara
struktur terlembaga yang muncul untuk membentuk
keasyikan dalam mendefinisikan analisis strukturalis (A.
Milner, 1994: 78)
Pada kesempatan lain, misalkan Kees Bertens
(2001:179) memberikan sebuah argumentasi dan
penilaian penting tentang distingsi utama Saussure
yakni terletak pada persoalan bagaimana perbedaan
konsep penting antara significant dan signifie, serta
langage, parole dan langue dan akhirnya sinkroni dan
diakroni. Proposisi atau penjelasan kata signifiant dan
signifie, di mana Saussure telah menekankan bahwa

45
suatu tanda bahasa bermakna bukan karena
referensinya kepada benda dalam realitas.
Oleh karena itu, maka yang ditandakan dalam
tanda bahasa bukanlah mengacu pada benda sebagai
sebuah objek perhatian, melainkan konsep atau
gagasan tentang benda. Konsep itu tidak lepas dari
tanda bahasa bukan benda, tetapi termasuk tanda
bahasa itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa
populernya, tidak jarang dipikirkan orang-orang
kebanyakan bahwa konsep-konsep itu mendahului
kata-kata.
Lagi pula menurut pendapat Saussure, bahwa
tidak jarang diberi kesan kita mencari kata-kata bagi
konsep-konsep yang sudah ada dalam pikiran kita dan
dari situ timbul relasi antara kata dan benda. Padahal
makna tidak dapat dilepaskan dari kata. Suatu kata
tidak pernah merupakan bunyi saja atau sejauh
menyangkut bahasa tertulis, tidak pula pernah
merupakan coretan saja. Suatu kata adalah bunyi atau
coretan, ditambah sebuah makna (Bertens, 2001:180).
Dengan demikian maka pembedaan antara
significant dan signifie itu mempunyai konsekuensi
besar, itulah suatu langkah pertama menyajikan
kepada ilmu linguistik obyeknya sendiri. Dengan itu
telah dibuka kemungkinan untuk membersihkan
bahasa dari dari segala unsur yang “ekstra lingual”
(luar bahasawi). Karena signifie termasuk tanda bahasa,

46
makna tercantum dalam tanda bahasa sebagai sebagai
suatu unsur “lingual”.
Demikian juga halnya bahwa dalam linguistik
kita tidak perlu lagi menghiraukan realitas di luar
bahasa, karena significant adalah termasuk tanda
bahasa, dan bahkan dalam linguistik pun kita tidak
memandang subyek yang bicara. Dengan perkataan
lain, subyek bahasa telah dibersihkan dari setiap unsur
ekstra-lingual. Maka dari itu telah dimungkinkan untuk
menjadikan ilmu bahasa itu sebagai suatu ilmu yang
otonom, dimana fenomena bahasa dapat dianalisa
dan dijelaskan tanpa mendasarkan diri atas apapun
yang letaknya di luar bahasa.
Berdasarkan pokok argumentasi tersebut di
atas, maka dapat kita simpulkan, bahwa sehubungan
dengan strukturalisme secara umum, maka linguistik
Ferdinand de Saussure mengandung sejumlah
perbedaan dan tema konseptual yang berpengaruh
kuat dengan alasan argumentasi lebih mendasar yaitu
sebagai berikut :
a) Bahasa sebagai sebuah “tanda”
(misalnya bahasa isyarat) yang didasari
terhadap dua aspek penting yaitu,
antara “penanda” dan yang
“ditandakan”.
b) Pemahaman tentang bahasa “tanda”
(sebagai bahasa isyarat) adalah bersifat

47
kesewenang-wenangan dan sebagai
bahasa yang bersifat relatif.
c) Analisis fenomena bahasa ke dalam
rangkaian pemikiran yang relasinya
pada posisi biner.
d) Kehendak bersifat eksklusif dalam
hubungan antara tanda-tanda bahasa,
bertentangan dengan keprihatinan
terhadap sifat internal dari tanda itu
sendiri, atau dengan objek eksternal
yang mereka referensikan.
e) Penekanan pada hal yang bersifat
sangat holistik (sebagai lawan dari
atomistik) gaya inkuiri, yang terus
mengingat seluruh jaringan tanda-
tanda bahasa.
f) Penekanan pada makna bersifat
sinkronis (terjadi pada saat yang sama)
sebagai hal yang bersifat menentang
hubungan diakronis (terjadi lintas
waktu).
g) Perhatian kepada bahasa secara umum
(langue) yang bertentangan dengan
tindakan berbicara tertentu
(pembebasan bersyarat).
h) Perhatian pada struktur yang lebih
abstrak dan umum, atau sebagai hal

48
yang menentang pemahaman
fenomena permukaan yang dipahami
hanya bersifat sekedar lebih sementara
(Wicks, 2003:100).
Sebelum munculnya metode linguistik
Saussure dalam mengkaji struktur, pemahaman
terhadap bahasa yang berlaku adalah kata-kata yang
berfungsi terutama sebagai label untuk mengenakan
kepada hal-hal yang ditujukan dalam dunia.
Asumsinya adalah bahwa dunia sehari-hari dibagi
secara alami menjadi sekelompok benda dan sifat-sifat
bumi, matahari, bulan, pohon, batu, warna, suara,
selera, tekstur, hewan,orang dan lain-lain, bahwa
benda-benda itu semua dipersepsikan, orang
menggunakan bahasa untuk memberikan label
penamaan kepadanya (Wicks, 2003:100).
Dalam konteks pemikiran itu, pada dasarnya
bahasa tidak lain dipahami sebagai sesuatu hal yang
didasarkan pada proses menetapkan label atau atribut
hanya untuk hal-hal menyangkut properti yang sudah
ada sebelumnya. Serangkaian kata-kata yang
dtuturkan oleh para penutur bahasa tertentu dapat
dipahami sebagai bentuk deretan kosa kata yang
bersifat akumulatif untuk melayani minat komunikasi,
sebagai wujud pengingat praktis tentang sesuatu hal
yang ada didalam kehidupan manusia sehari-harinya
(Wicks, 2003:100-101).

49
Dengan lebih jauh, maka selanjutnya Ferdinand
de Saussure menawarkan pemikiran alternatif tentang
apa yang ia sebut sebagai tanda bahasa (linguistic
sign). Bahkan ia pada dasarnya menolak untuk
memahami kata-kata sebagai sesuatu yang berwujud
suara atau sebagai hal yang hanya bersifat monumen,
maka hal itu akan merujuk perhatian kita kepada
sesuatu dalam dunia disekitar sehari-hari kita.
Ferdinand de Saussure memahami bahwa sifat
dari tanda itu sendiri, mempertahankan bahwa setiap
tanda bahasa (linguistic sign) memiliki dua aspek
penting yang bersifat ganda yakni untuk memahami
makna tanda dari sebuah bahasa. Aspek yang pertama
dari tanda linguistik adalah berdasarkan materi, fisik
yaitu sebagai sebuah wujud atau bentuk suara, dan
aspek yang kedua adalah berbasis pemikiran, dan
merupakan konsep.
Maka dari itu bahwa setiap tanda linguistik
dengan demikian dianggap sebagai gambar-suara,
yang lebih menyatu bersama dengan konsep.
Mengacu pada Saussurean gambar suara sebagai
penanda dan ia merujuk pada konsep terkait sebagai
yang ditandai. Ia terkenal membandingkan gambar-
suara yang menandakan dengan konsep yang pada
gilirannya ditandai oleh gambar dan suara, yang
keduanya seperti dua sisi selembar kertas, bahwa
antara suara dan visual merupakan konsep yang tidak

50
bisa ada secara independen dari satu sama lain (Wicks,
2003:100-101).
Dalam pokok pembahasan Ferdinand de
Saussure secara lebih khusus membedakan konsep
kunci antara Langue dan Parole di dalam
strukturalisme linguistik, sekaligus mencerabut studi
akar bahasa dari ruang kontigensi dan
kontekstualitasnya.
Ferdinand de Saussure berpendapat bahwa
bahasa sebagai bagian dari bentuk struktural
menyeluruh, tidak dapat dipisahkan dari beragamnya
penggunaan yang di dalamnya tindakan ujaran
tertentu bisa diletakkan. Ferdinand de Saussure
menyatakan bahwa kata parole dapat diartikan
sebagai sisi eksekutif dari bahasa, sementara langue
sebagai sistem tanda-tanda yang di dalamnya cuma
hal-hal esensial yang menjadi pemersatu makna dan
citra-citra akuistik (Giddens dkk, 1987:197).
Penjelasan lebih jauh terhadap hal itu bahwa
konsep Langue adalah sistem tata bahasa formal yakni
sistem elemen phonic yang hubungannya ditentukan
oleh hukum yang tetap. Adanya langue
memungkinkan adanya parole. Parole dapat dipahami
sebagai suatu percakapan yang sebenarnya, cara
pembicara menggunakan bahasa untuk mengatakan
dirinya sendiri.

51
Pemakaian bahasa secara individu tak dapat
dijadikan sasaran perhatian oleh ahli bahasa yang
berorientasi ilmiah. Jadi menurut Saussure, ahli bahasa
semestinya harus melihat langue, sistem bahasa
formal, dan sebaliknya bukan melihat bahasa itu dari
sudut yang digunakan oleh aktor secara subjektif
(Ritzer & Goodman, 2010:604).
Demikian juga selanjutnya terutama penjelasan
untuk arti kata langue, semestinya kata tersebut harus
dianggap sebagai sistem. Untuk menjelaskan hal
tersebut maka, ia mengemukakan perbandingan yang
tajam antara pengertian keduanya yaitu bahwa langue
dapat dibandingkan misalnya dengan sebuah analogi
dalam memahami sebuah permainan catur.
Katakanlah untuk mengerti sebuah permainan
catur, maka sesungguhnya tidak perlu untuk
mengetahui permainan itu berasal dari Parsi.
Dengannya bahwa sejarah asal-usul permainan catur
tidak relevan untuk memahami permainan itu sendiri.
Termasuk tidaklah penting juga untuk mengetahui
bahan-bahan dari mana buah-buah catur itu dibuat,
oleh karena itu tidak menyumbang sesuatu pun untuk
pengertiannya (Ritzer & Goodman, 2010:604).
Sebagaimana halnya analogi tentang sebuah
permainan catur, bahwa permainan tersebut
merupakan suatu sistem relasi-relasi, di mana sebuah
catur mempunyai fungsinya, dan sistem itu

52
dikonstruksikan oleh aturan-aturannya. Menambah
atau mengurangi buah catur berarti mengubah sistem
secara esensial, dan seterusnya.
Demikian juga yang terjadi pada bahasa.
Bahasa itu bukan substansi melainkan bentuk saja
sebagaimana yang dikatakan Saussure yaitu le langage
n’est pas une substance mais une forme yaitu bahan
dari mana bahasa itu sendiri tidak mempunyai peranan
(Bertens, 2001:182).
Dengan demikan yang sesungguhnya adalah
bahwa apa yang paling penting dan lebih mendasar
dalam bahasa itu sendiri adalah susunan unsur-
unsurnya dalam hubungan satu sama lain, relasi-relasi
dan oposisi-oposisi yang membentuk sistem itu.
Bahasa sebagai sebuah sistem yang diidealkan,
berangkat dari penggunaan-penggunaan tertentu,
namun tetap independen dari ujaran yang terletak di
dalamnya. Dengan demikian maka isi aktual bunyi dari
bahasa dianggap tidak begitu relevan dengan analisis
langue karena fokusnya adalah hubungan-hubungan
formal antara bunyi, atau tanda dan bukan substansi
aktualnya.
Berkaitan dengan penjelasan Langue dan
Parole Ferdinand de Saussure dalam linguistik tersebut
di atas, maka selanjutnya telah terjadi kegagalan
pemahaman serta pengembangannya kemudian oleh
para ahli bahasa dikemudian hari.

53
Kekurangan hal tersebut dapat dianggap
sebagai suatu kegagalan karena alasan setidaknya
oleh ahli bahasa untuk mengatasi beberapa kesulitan
praktis dan teoretis yang tidak terselesaikan oleh
Saussure sebelumnya. Dengan kata lain, bahwa
perkembangan linguistik kontemporer masih berusaha
atau sama sekali tidak terlalu berhasil untuk mengatasi
warisan Saussurean di atas.
Walaupun demikian permasalahannya, maka
dapat dikatakan bahwa Ferdinand de Saussure sebagai
ahli linguistik dapat dibedakan dengan para teortisi
bahasa lainnya, di mana ia lebih konsisten dan secara
tegas, membedakan antara persoalan langue dan
langage. Perbedaan tersebut sama sekali tidak mudah
dipahami serta dijelaskan dalam bahasa Inggris dan
menginginkan penjelasannya menurut konsep dan
istilah-istilah yang semula sesuai dengan apa yang
diinginkan pemahamannya oleh Saussure.
Bagi Saussure, langage mencakup dalam dua
hal pengertian yaitu baik langue dan parole. Yang
terakhir adalah implementasi dalam pidato sistem
yakni sebagai langue yang dimainkan oleh pengguna
bahasa dalam tindakan komunikasi linguistik tertentu
yang diartikan sebagai parole.
Prioritas langue sejauh dengan konsepnya
linguistik Saussurean dapat diringkas dengan proposisi
bahwa jika ada episode pidato manusia yang menjadi

54
subjek penyelidikan ilmiah yang serius, hal itu harus
dikaitkan dalam contoh pertama ke dalam sistem yang
harus diprakarsai sebagai yang mendasari akan hal itu
(Saussure, 1916:38)
Generasi para ilmuwan bahasa berikutnya
menegaskan kembali pandangan Saussure di atas
yang membedakan antara langue and parole sebagai
kemampuan berbahasa versus kemampuan
penunjukan bahasa (Fromkin dan Rodman 1978:6-9).
Untuk pihak yang berpandangan skeptis,
inovasi terminologi ini tidak membuat kemajuan yang
lebih berarti dalam menyelesaikan kesulitan yang
melekat pada perbedaan itu sendiri. Hal-hal yang tidak
terbantu oleh kurangnya konsistensi antara teori-teori
yang berbeda (atau bahkan kadang-kadang dalam
teori yang sama pada kesempatan yang berbeda)
mengenai bagaimana pembedaan itu ditarik (lihat
Lakoff, 1973a).
Persis apa yang menjadi bagian dari parole
yakni diartikan sebagai sebuah tampilan atau
penunjukan bahasa dan apa yang menjadi bagian dari
langue yaitu sebagai sebuah kemampuan dalam
pemahamannya itu sesungguhnya masih tetap
diragukan.
Ferdinand de Saussure ragu-ragu untuk
menarik garis perbedaan unsur keduanya, mungkin
karena dia melihat bahwa setiap pembicara dapat

55
menerapkan kebebasan yang besar mengenai
bagaimana menggabungkan simbol-simbol bahasa ke
dalam urut-urutan sintagmatik, di mana sejumlah
besar mungkin terdapat dalam bahasa tertentu.
Dalam konteks itu, maka sesungguhnya
menjadi tidak jelas apakah kombinasi tertentu
disahkan oleh sistem bahasa atau apakah hal itu pada
dasarnya sebagai inovasi individual. Untuk alasan ini
maka Saussure melakukan pembatasan terhadap
argumentasinya tentang kedudukan atau posisi
kalimat (frase) sebagai unit langue. Dalam konteks
gagasannya itu, maka Saussure lebih tegas
memberikan sebuah argumentasi lanjutan sebagai
berikut :
bahwa syntagmas yang bersangkutan. . .
terhadap hal itu maka kita harus menyadari
bahwa tidak ada batasan yang jelas
memisahkan bahasa (langue), sebagaimana
dikonfirmasikan oleh penggunaan secara
komunal, dari ucapan (parole), yang ditandai
dengan kebebasan individu. Dalam banyak
kasus, sulit untuk menetapkan kombinasi satu
unit ke unit yang lain. Banyak kombinasi adalah
produk dari keduanya, dalam proporsi yang
tidak dapat diukur secara akurat (Saussure,
1916:179).

56
Apa yang tidak dijelaskan dari pentingnya
argumentasi Saussure tersebut di atas bahwa dalam
kasus-kasus seperti itu, seyogyanya para ahli bahasa
harus melakukan upaya penyelidikan atau penelitian
kembali mengenai apa yang harus disertakan dalam
deskripsi sistem bahasa (la langue) dan apa yang
semestinya harus ditinggalkan. Hal itu mesti sangat
penting untuk diperhatikan karena untuk memahami
perbedaan mendasar tentang arti kedua kata tersebut
dalam bahasa.
Upaya tersebut yang selanjutnya mendorong
kalangan ahli linguistik terkemuka generasi sekolah
Amerika mengusulkan perbedaan antara pentingnya
kompetensi dan kinerja yang secara naif menganggap
bahwa bahasa apa pun dapat didefinisikan sebagai
seperangkat kalimat dan mengusulkan agar deskripsi
linguistik sebagai sekelompok aturan yang
membedakan kalimat-kalimat dari kalimat-kalimat
yang bukan dikategori sebagai kalimat yaitu urutan-
urutan bentuk yang bukan grammatikal (Chomsky,
1957:13).
Istilah yang diperkenalkan Chomskyan 1957
misalnya, dengan meminjam pirantinya bahasa
matematika, secara lebih khusus mengacu pada dasar
asumsi bahwa sebuah tata bahasa terdiri dari
seperangkat peraturan yang pasti untuk menentukan

57
serangkaian kalimat yang benar dengan operasi
algoritmik eksplisit.
Sebuah kerangka penting dari pemahaman ini
disebut transformasi yakni sebagai sebuah istilah yang
dipinjam dari logika matematika. Oleh karena itu
pendekatan ini sering disebut sebagai tata bahasa
transformasional generatif (lihat tata bahasa
transformasional dan tata bahasa generatif).
Kaum generativis sekolah Amerika kemudian
memulai perdebatan panjang tentang berapa banyak
transformasi yang harus dipostulasikan untuk bahasa
tertentu dan apa sifat hipotetis mereka. Hasilnya
adalah untuk membuat tampilan linguistik seperti
konsepsi kita tentang fisika atau kimia, seperti yang
dikatakan seorang linguis (Matthews, 1979:14), yakni
mengubah tata bahasa menjadi aljabar misterius yang
formula, tidak seperti aturan tradisional di sekolah
tersebut. Buku tata bahasa tidak dapat diakses kecuali
khusus di luar pemahaman awam sama sekali.
Dengan demikian maka tidak seperti linguistik
Saussurean sebelumnya maka secara pedagogis tidak
berguna menjadi tawar-menawar. Gagasan bahwa
bahasa bisa diperlakukan hanya dengan satu kalimat
saja pasti bisa menghibur Saussure dengan baik. Rasa
malu teoritis dibuat lebih akut oleh asumsi para
generativis belakangan yang berpendapat bahwa bukti
konkret untuk hukuman tidak terdiri dari kinerja aktual

58
(pembebasan bersyarat) tetapi dalam apa yang
disebut intuisi dari penutur asli.
Kaum generativis bahasa kemudian telah
menghasilkan dilema ganda sebagai ahli bahasa. Salah
satunya adalah bagaimana mengakses apa yang
disebut intuisi dan membedakannya dari opini belaka
yang mungkin didasarkan pada semua jenis
pandangan tentang kebenaran yang dipalsukan dan
dimotivasi secara sosial.
Para penutur asli sebuah bahasa yang dapat
dikatakan bagus itu sama sekali tidak semuanya
sepakat tentang kalimat bahasa ibu mereka. Jadi,
entah beberapa anggota masyarakat yang lebih
mungkin bukan penutur asli asli, walaubagaimanapun,
lebih buruk lagi, yang semula dianggap bahasa
sekarang ternyata lebih dari satu Bahasa.
Hal yang cukup menarik tentang bahasa adalah
bahwa kata kunci gagasan linguistik dalam
strukturalisme adalah tentang relasi bahasa dan
diskursus yang dikalangan generasi Sekolah Tua
Amerika pun telah menghabiskan banyak waktu untuk
mendiskusikan kembali tentang kompetensi bahasa
dalam istilah sentencer, karena gagal memberi
perhatian yang memadai terhadap masalah dasar yang
telah ditarik perhatian Saussure bertahun-tahun
sebelumnya.

59
Ahli bahasa yang menyadari bahwa wacana
dalam kasus apapun tidak hanya serangkaian kalimat,
namun menunjukkan koherensi struktural selama
rentang sintagmatik yang jauh lebih luas,
mengesampingkan kerangka generatif dan
mengembangkan apa yang sekarang dikenal sebagai
analisis teks wacana dan wacana linguistik (van Dijk
1985; Beaugrande 1994).
Bahwa kenyataan itu telah memberi perhatian
khusus pada sifat-sifat seperti misalnya menyangkut
kohesi dan narasi, memeriksa bagaimana rangkaian
kejadian dan jenis informasi lainnya dilaporkan lebih
banyak dibicarakan atau ditulis, sampai dan termasuk
presentasi sepanjang buku. Dengan demikian maka
gerakan ini berlaku sebagai pengembangan
sintakmatik Saussurean yang dalam konteks ini bukan
dari grammar berbasis kalimat, dan hal ini adalah
Saussurean yang otentik dalam arti bahwa Saussure
tidak menempatkan batasan atas hubungan
sintagmatik linier.
Kemudian hal yang penting juga untuk
diperhatikan adalah munculnya fenomena diferensiasi
linguisti dan nama-nama Bahasa secara umum. Setelah
gagasan sederhana bahwa sebuah bahasa hanyalah
serangkaian kalimat yang ditinggalkan, masalahnya
tetap berada di tempat yang harus dicari, dalam
keseluruhan penggunaan bahasa yang beragam, jenis

60
sistem yang sebelumnya disebut Saussure sebagai
langue, sangatlah jauh berbeda dari bentuknya.
Kesulitan yang jelas entah itu berlaku bagi
Saussure maupun penerusnya adalah bahwa sistem
semacam itu tidak sesuai dengan nama bahasa yang
umum diterima seperti misalnya Inggris, Prancis, Latin
dan lain-lainya.
Maka dari itu, bahwa tidak ada jaminannya
segala sesuatu disebut, katakanlah misalnya Bahasa
Inggris tergolong dengan sistem linguistik yang sama
(langue). Juga tidak ada jaminan bahwa seseorang
yang mengaku berbicara dalam bahasa tertentu
misalnya Bahasa Inggris sebenarnya konsisten dengan
persyaratan satu sistem tertentu.
Permasalahannya tidak dapat dielakkan,
sebagaimana yang kadang-kadang dianggap, dengan
menarik perhatian masyarakat linguistik tentang
identitasnya sendiri. Jadi, misalnya, telah diklaim
dimana Bahasa Inggris adalah bahasa yang
didefinisikan mengacu pada kolektivitas pembicara
yang percaya diri dan satu sama lain bahwa mereka
adalah penutur bahasa Inggris itu sendiri (Pateman,
1983:120).
Terlepas dari sirkularitas manuver teoretis ini,
dan masalah bahasa yang menggunakan berbagai
nama bahasa, maka kriteria semacam itu secara
otomatis mengecualikan pembicara yang

61
keanggotaannya dari komunitas linguistik marjinal
bahkan berada dalam ruang perselisihan.
Gagasan yang perlu dipertegas juga adalah
tentang sistem Sinkronik dan Dakronik dalam Bahasa
sebagaimana yang dijelaskan semula oleh Ferdinand
de Saussure yang menyadari sebagian besar masalah
yang disebutkan di atas, dan kemudian mereka yang
mewarisinya mengikuti jejaknya untuk membangun
linguistik sebagai disiplin akademis yang independen.
Mayoritas penerusnya tersebut telah mengikuti jejak
setidaknya merupakan satu rasa hormat terhadap
Saussure.
Ferdinand de Saussure menarik kesimpulan
perbedaan mendasar antara apa yang ia sebut
sinkronisistik dan karakteristik kimiawi dan memberi
prioritas pada yang pertama. Dia pastinya tidak yakin
untuk mengamati bahwa studi tentang perubahan
linguistik menempati posisi yang lebih jauh tidak
menonjol dalam aktivitas ahli bahasa daripada yang
terjadi pada abad kesembilan belas.
Fenomena yang berkaitan dengan langue
adalah fenomena sinkronis artinya, kita tidak harus
menganggapnya sebagai subjek perubahan. Pada saat
itu, mereka ada pada titik waktu tertentu dan secara
sistematis saling terkait satu sama lain. Hubungan
yang bersifat statis ini pada dasarnya mendefinisikan
apa yang Saussure sebut sebagai langue.

62
Sebagian besar penerus Saussure menerima
perbedaan sinkronis-diakronis, yang masih bertahan
dengan kuat dalam linguistik awal abad kedua puluh
satu. Dalam prakteknya, apa artinya ini adalah bahwa
hal itu dianggap melanggar prinsip atau metode
linguistik untuk disertakan dalam bukti analisis
sinkronis yang sama yang berkaitan dengan keadaan
berbeda diakronis.
Jadi, misalnya, mengutip formulir Shakespeare
akan dianggap tidak dapat diterima untuk
mendukung, katakanlah, analisis tata bahasa Dickens.
Saussure sangat parah dalam penyempitannya pada
ahli bahasa yang menemukan fakta sinkronis dan
diakronis. Namun, pengaturan ketidaksadaran
sinkronis-diakronis itu tidak secara otomatis
memecahkan masalah bagaimana membedakan satu
kutub de langue dari yang lain.
Saussure sendiri menunjukkan tanda-tanda
mengkhawatirkan apakah suksesi temporal adalah
kriteria yang andal. Jika negara-negara yang berbeda
menggabungkan secara kronologis satu sama lain,
nampaknya dasar lain harus dicari untuk
mengidentifikasi sistem linguistik sehingga linguistik
sinkronis berada di garis depan penyelidikannya.
Jadi oleh karena itu, bahwa setiap ahli bahasa
yang menetapkan untuk menggambarkan sistem
linguistik tunggal L (satu langue dalam pengertian

63
Saussurean) segera harus menghadapi masalah
bagaimana menemukan dan mengenalinya. Untuk
penggunaan linguistik yang dapat diamati dicirikan di
atas semua oleh heterogenitasnya yang nyata. Kecuali
keragaman ini dapat dikurangi dalam beberapa cara,
tidak banyak harapan untuk mengidentifikasi sistem
yang koheren.

C. Penerapan Struktur Linguistik ke Antropologi


Salah satu hal yang cukup menarik khususnya
dalam pengembangan strukturalisme sebagaimana
yang sudah disinggung di atas, dimana para sejarawan
baru umumnya telah mengakui sentralitas bahasa atau
linguistik telah memproduksi bentuk-bentuk budaya
masyarakat dan kesadaran manusia pada umumnya.
Kesepakatan teoritik ilmuwan belakangan
memahami bahwa bahasa, bukan sekedar hanya
dipahami merujuk pada kata atau ungkapan tentang
individu, tetapi sesungguhnya bahasa sebagaimana
yang dijelaskan Saussure merupakan sebagai sistem
penanda (difference), di mana kata-kata individu
mendapatkan makna melalui hubungan atau relasi di
antara mereka yang bersifat diferensial.
Dalam konteks pemahaman itu maka penjelasan
istilah diferensiasi dapat dioperasikan pada makna
kata misalnya gagasan dan konsep tentang contoh
“putih”, “laki-laki”, “perempuan” dan seterusnya,

64
dapatlah dikatakan hanyalah bersifat kesewenang-
wenangan terhubung atau merujuk kepada mereka
dalam realitas, dan makna bagi mereka dibangun
melalui perbedaan pada semua kata dalam sistem.
Dalam kaitan itu, maka individu sebagai subyek
pembicara merupakan sumber dari bahasa dan
sebagai penentu arti atau makna yang dihasilkannya,
untuk berbagai sistem signifikansi yang ditunjukan,
sebagai yang mendahului dari terbentuknya kesadaran
individu.
Sentralitas gagasan Saussure tersebut di atas,
pada mulanya terinspirasi dari ide awalnya Emile
Durkheim tentang representasi kolektif. Representasi
kolektif semacam nurani kolektif (collective conscience)
yang dalam Bahasa Prancis disebut representation
berarti ide yang oleh Durkheim digunakan untuk
mengacu baik, kepada suatu konsep kolektif maupun
kekuatan sosial seperti simbol-simbol agamis, mitos-
mitos, dan lagenda-lagenda popular. Semua itu cara-
cara masyarakat mencerminkan dirinya sendiri (Ritzer,
2012:138-139).
Konsep representasi kolektif Durkheim tersebut
di atas, dikatakan tidak dapat direduksi menjadi para
individu karena mereka muncul dari interaksi-interaksi
sosial, tetapi mereka dapat dipelajari secara langsung
daripada nurani kolektif karena lebih mungkin untuk
dihubungkan kepada simbol-simbol material seperti

65
bendera, ikon-ikon, dan gambar-gambar atau
dihubungkan dengan praktik-praktik seperti ritual-
ritual (Ritzer, 2012:138-139).
Dengan demikian maka terkait dengan
sentralitas gagasan Durkheim tersebut di atas, maka
Ferdinand de Saussure berpendapat dan sekaligus
menyatakan bahwa pandangan kita tentang dunia
selalu dibentuk dan dibatasi oleh sistem yang
menandakan atau yang disebut sebagai signifying
kemudian hal itu telah disosialisasikan.
Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa
linguistik Saussurean mewakili komponen penting
metode analisis semiotik yang kemudian dikenal
sebagai strukturalisme, yakni ilmu secara sistematis
mempelajari berbagai tanda (sign). Berangkat dari
linguistik konvensional ke tanda-tanda budaya dan
pengembangannya kemudian lebih lanjut pada unit
analisa terhadap misalnya tentang pertandingan gulat,
cara memasak, sistem kekerabatan, suara burung dan
lain sebagainnya.
Demikian juga selanjutnya bahwa proyek
penting dan menarik dalam kaitan terhadap
pengembangan kajian struktur dalam metode
linguistik Saussure di atas, adalah pengembangannya
dan penerapannya dalam lapangan kajian disiplin
Antropologi yang dipopulerkan Claude Levi-Strauss.
Strauss (1908-1990-an) yang menerima jabatan

66
sebagai profesor Antropologi di Universitas Sao Paulo,
Brasil.
Demikian dikatakan bahwa dalam biografi
singkatnya, Levi Strauss pernah melarikan diri ke
Amerika Serikat, dan sejak tahun 1941-1945) mengajar
di New for Social Research, New York. Pada tahun
itulah Strauss bertemu dengan Roman Jakobson yang
berpengaruh besar dalam membentuk pandangan
linguistik dan strukturalis yang ada pada pemikiran
antropologi Levi-Strauss pada jaman sesudah perang
(Lechte, 2001:121, 122). Strauss merupakan salah
seorang ahli dalam bidang Antropologi sosial dan
budaya, mencoba mengaplikasikan prosedur-prosedur
ilmiah linguistik ke dalam wilayah analisisnya. Dengan
demikian maka, sebelum mengenal lebih jauh
strukturalisme Strauss, maka ada baiknya terlebih
dahulu kita memahami siapa Levy Strauss sebenarnya.
Dalam berbagai literatur yang ada tentang
biografi singkatnya disebutkan bahwa Claude Levi-
Strauss lahir pada tahun 1908 di Brussel, Belgia. Orang
tua Yahudi berkebangsaan Prancis dan berprofesi
sebagai seniman. Tahun 1914 keluarga tersebut
pindah ke Versailles, Prancis. Ia belajar filsafat di
Universitas Sorbonne.
Meskipun Strauss mendapatkan aggregation
yaitu sebuah pengakuan tertinggi dalam bidang
filsafat di Sorbonne pada awal tahun 1930-an,

67
keinginan kuatnyalah untuk melepaskan diri dari
ortodoksi filosofis yang saat itu sedang popular di
Paris (neo-Kantianisme, Bergsonisme, fenomenologi
dan kemudian eksistensialisme), mendorong Levi-
Strauss untuk menerima jabatan profesor Antropologi
di Universitas Sao Paulo di Kota Brasil.
Setelah mengikuti tugas kemiliteran di Prancis,
untuk menghindari pengejaran, pada akhirnya Strauss
melarikan diri ke Amerika Serikat. Sejak tahun 1941-
1945 kemudian ia sempat mengajar di New School for
Social Research, New York. Pada tahun 1941, Claude
Levy Strauss bertemu dengan seorang pemikir lainnya
yaitu Roman Jakobson yang telah berpengaruh cukup
besar dalam membentuk pandangan linguistik dan
strukturalis yang ada pada pemikiran antropologi Levi-
Strauss pada zaman sesudah perang.
Dalam strukturalisme Antropologinya,
sebagaimana yang dinyatakan Anthony Giddens &
Jonathan H. Turner, (1987:198) bahwa Strauss pernah
berpendapat: “regards structuralist linguistics as both
supplying modes of analisys that are applicable
elsewhere and providing substantive clues to the nature
of the human mind”. Claude Levy Strauss menilai
bahwa strukturalisme linguistik yang memfokuskan
kajian pada struktur bahasa atau linguistik dapat
diterapkan dan sebagai dasar atau petunjuk substantif
untuk mengkaji hakekat pikiran umat manusia.

68
Dalam The Elementary Structure of Kindship
(1949), Strauss membandingkan secara eksplisit
tujuan-tujuannya dengan ilmu bahasa fonologi, dan
menambahkan kalau para ahli bahasa dan ilmuwan
sosial tidak hanya menggunakan metode yang sama,
tapi juga mempelajari hal-hal yang sama.
Gagasan utama Strauss dalam karyanya itu
untuk menyampaikan informasi penting menyangkut
upaya ilmuwan sosial sesungguhnya harus ada upaya
untuk menemukan dibalik segala detail peraturan
mengenai perkawinan dan kekerabatan yang pelik
berasal dari ratusan masyarakat dalam sebuah
kebudayaan yang ada, sejumlah kaidah logis
sederhana yang dengannya kita dapat memahami
keseluruhannya (Beilharz, 2002:261).
Dasar pemikiran yang ingin dikembangkan
Strauss dengan menggunakan metode linguistik
dalam mengkaji struktur dalam kajian kebudayaan
adalah bahwa pada dasarnya lingusitik semacam tools
dalam upaya untuk mencoba memahami fenomena
kehidupan sosial budaya manusia dari berbagai suku
ras di muka bumi ini. Bahasa adalah merupakan alat
yang dipakai manusia untuk memahami, mengartikan
kehidupan sosialnya.
Dalam konteks itu, maka hal yang penting dari
bahasa adalah sebagai cara manusia untuk mengenali
diri dan lingkungannya, bahasa digunakan manusia

69
untuk berkomunikasi serta bergaul dalam konteks
kehidupannya, sehingga bahasa penuh dengan
makna-makna, sehingga bahasa itu juga dapat
dipahami sebagai tanda-tanda yang mempunyai
kandungan arti mendalam pada dirinya.
Perlu kita ketahui bahwa gagasan makna bahasa
dalam konteks pengertian di atas sesungguhnya
sebagai pola yang bersifat secara universal berlaku
kepada semua perilaku umat manusia dengan
berbagai sistem kebudayaan di dunia. Levi Strauss
dalam karyanya berjudul Structural Antrhopology
(1958), menegaskan bahwa terdapat suatu upaya
intelektual untuk menemukan cara yang tepat untuk
menerapkan sebuah gagasan bahwa bahasa
merupakan piranti utama dalam menguraikan realitas
kultural (Beilharz, 2002:260).
Inti dari informasi di atas ingin menegaskan
ulang inti dari penjelasan Strauss sebagaimana lebih
lanjut yang ia uraikan dalam sebuah risalah ilmiahnya
tentang The Scope of Antropology (1960) tentang
antropologi sebagai sebuah ilmu kemanusiaan yang
dapat didefinisikan sebagai cabang semiotik yang
menganalisis tanda-tanda kultural seperti mitologi,
ritual, barang-barang tembikar, seni, system
pertukaran, peraturan kekerabatan dan system
perkawinan dan lain sebagainya (Beilharz, 2002:261).

70
Lebih lanjut, Strauss juga telah memberikan
sebuah contoh penerapan argumentasinya itu dengan
secara lebih khusus mengkaji sistem kekerabatan dan
sistem perkawinan sebagaimana yang sudah
disinggung pada penjelasan di atas tentang The
Elementary System of Kinship (1949) dan memberikan
penjelasan singkat dibawah ini :
dibalik segala detail peraturan mengenai
perkawinan dan kekerabatan yang pelik yang
berasal dari ratusan masyarakat dan
kebudayaan, sejumlah kaidah logis sederhana
yang dengannya kita dapat memahami
keseluruhannya (Beilharz, 2002:261).

Pernyataan mendasar Strauss di atas, menurut


Peter Beilharz (2002:261), pada dasarnya ingin
menunjukan betapa pentingya pendekatan linguistik
yang digunakan sebagai metode berfikir peneliti
kebudayaan dalam memahami khususnya tentang
sistem kekerabatan dan perkawinan dalam
masyarakat. Dengan pendekatan bahasa dalam
memahami struktur pikiran dan kesadaran sehingga
dapat dipahami dan dimengerti struktur Bahasa
menyangkut segala pengaturan system perkawinan
dan kekerabatan dalam sebuah system kebudayaan
masyarakat yang ada.

71
Dengan demikian sekali lagi bahwa
strukturalisme dengan metode analisa linguistik
seperti yang dikatakan Strauss, mengijinkan kita
memilahkan apa yang kemudian disebutnya sebagai
realitas fundamental dan obyektif yang terdiri atas
sistem-sistem relasi yang merupakan produk-produk
dari proses alam pemikiran bawah sadar (Gidden &
Turner, 1987:199). Adanya strukturalisme dalam studi
bahasa menjadikan linguistik menjadi bidang yang
paling maju dalam lapangan ilmu-llmu sosial (Beilharz,
2002:260).
Selain itu juga, untuk menanggapi berbagai
kekurangan maupun kelemahan dalam stukturalisme
linguistik serta berbagai kritik yang dilontarkan
kepadanya, termasuk strukturalisme yang kemudian
dikembangkannya dalam Antropologi, maka Strauss
mengingatkan bahwa strukturalisme atau apapun
yang berangkat dari hal itu, telah dianggap sebagai
sesuatu yang sama sekali baru dalam setiap
perubahan waktu. Tentang hal tersebut, sekali lagi
Strauss (1978:2-3) memberikan sebuah pernyataan
penting sebagai berikut :
“I, think, is doubly false. In the first place, even in
the field of humanities, it is not new at all; we
can follow very well this trend of thought from
the Renaissance to the nineteenth century and to
the present time. But it is also wrong for another

72
reason; what we call structuralism in the field of
linguistics, or anthropology, or the like, is nothing
other than a very pale and faint imitation of
what the “hard sciences,”

Menurut Strauss, apa yang dinamakan


kehidupan sosial itu lebih mirip seperti sebuah bahasa.
Mengetahui sebuah bahasa bukan sekedar berarti
mengetahui bentuk kehidupan, atau multiflisitas
bentuk-bentuk kehidupan yang saling berjalinan.
Mengetahui bentuk-bentuk kehidupan memampukan
kita menjelaskan strategi-strategi metodologis
tertentu yang dipicu kualitas-kualitas indeksikal
konteks-konteks yang di dalamnya praktik-praktik
sosial berjalan bahkan selalu dilakukan.
Berdasarkan konsep bahasa seperti ini, maka
bahasa terbukti tidak memiliki derajat pencakupan diri
sebagaimana yang sebelumnya diklaim Saussure,
Mazhab Praha, Chomsky dan lain-lain, para ahli
tersebut tidak memahami, itu ungkap Strauss (Levi
Strauss, 1978:2).
Dalam menjelaskan sentralitas gagasan teoritik
seperti itu, maka di bawah ini adalah semacam upaya
Levi Strauss mengaplikasikan gagasan Saussure
mengenai bahasa (linguistik) dalam contoh persamaan
antara sistem linguistik dan sistem kekerabatan yakni
sebagai berikut :

73
a) Istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan kekerabatan seperti
halnya fonem dalam bahasa, merupakan
unit analisa terkecil bagi Antropolog
struktural.
b) Kekerabatan maupun fonem tidak tidak
memiliki makna di dalam diri mereka
sendiri, sebaliknya mereka mendapatkan
makna hanya ketika mereka menjadi
bagian integral sistem yang lebih besar.
Levi Strauss bahkan menggunakan sistem
oposisi biner dalam antropologi yang ia
kembangkan misalkan contoh kata
mentah dan matang sebagaimana contoh
yang pernah digunakan Saussure dalam
linguistik.
c) Levi Strauss mengakui bahwa terdapat
perbedaan empiris dari satu pengaturan
ke pengaturan lain dalam sistem fonemik
dan kekerabatan, meski perbedaan itu
dapat ditemukan dalam pengoperasian
sistem, meski sekadar secara emplisit
hukum umum (George Ritzer, 2012:1034).
Berdasarkan gagasan aplikatif Strauss terhadap
pengembangan metode linguistik dalam struktur
antropologi di atas, maka dapat dikatakan bahwa
semua gagasan Ferdinand de Saussure sebelumnya

74
dapat dikatakan sangat sejalan dengan peralihan awal
dari kajian struktur tradisional ke struktur berdasarkan
metode linguistik (linguistic turn).

D. Kritik Struktur dalam Metode Linguistik


Persoalan yang cukup menarik setelah
linguistik Saussure adalah terdapatnya kecendrungan
perdebatan baru tentang persoalan heterogenitas
bahasa. Dapat dikatakan bahwa linguistik sesudah
Saussure ingin mencoba kembali mengatasi masalah
ini. Satu langkah yang dianggap lebih maju adalah
memindahkan sistem linguistik bukan pada tingkat
yang diidentifikasi oleh label tumpul seperti Inggris,
Prancis dan lain-lain, akan tetapi pada tingkat varietas-
varietas di dalamnya.
Langkah ini sesuai dengan persepsi awam
bahwa orang yang berbicara, katakanlah, Inggris
misalnya akan menggambarkan atau
merepresentasikan diri mereka sebagai pembicara
bahasa Inggris. Dengan demikian belum tentu semua
berbicara dalam bahasa Inggris yang sama. Mereka
mungkin berbeda secara mencolok satu sama lain
dalam gaya pengucapan, tata bahasa, kosa kata dan
lain sebagainya.
Pada awalnya ahli bahasa mungkin mencoba
untuk mempersempit lingkup deskripsi linguistik
secara geografis. Jadi, seandainya jika informan dipilih

75
dari daerah tertentu, misalnya Inggris dapat terbagi
menjadi bahasa Inggris Amerika, Inggris Inggris,
Inggris Welsh, Inggris Skotlandia, dan lain-lain,
masing-masing diperlakukan sebagai varietas yang
terpisah (Trudgill dan Hannah 1982). Dalam kelompok
luas seperti itu, masih ada variasi yang berbeda secara
geografis misalnya antara New York dan New Orleans,
atau antara Bristol dan Liverpool dan seterusnya.
Lebih jauh lagi, walaupun pada masa Saussure
dan sejak saat itu para praktisi yang disebut geografis
dialek telah mencoba untuk membatasi wilayah
linguistik dengan teknik seperti merencanakan apa
yang disebut isoglos yaitu sebuah garis pada peta
yang seharusnya menandai batas-batas penyebaran
fitur geografis bahasa tertentu seperti pada kondisi
transportasi modern dan pergerakan penduduk
semakin membuat usaha semacam itu nampaknya sia-
sia.
Dapat diasumsikan bahwa bahasa tidak tinggal
di satu tempat karena penutur juga tidak tinggal atau
berdiam diri selama-lamanya di satu tempat.
Kelemahan lebih lanjut dalam upaya menjabarkan
variasi linguistik secara geografis muncul dari
kenyataan bahwa walaupun lokasi yang sangat tepat
ditunjuk untuk diselidiki, biasanya ditemukan bahwa
ucapan di masyarakat setempat jauh dari seragam,

76
bervariasi menurut faktor usia, seks dan strata sosial
dari para penutur bahasa itu sendiri.
Dengan demikian, maka katakanlah bidang
ilmu sosio linguistik misalnya merupakan sebuah
istilah umum yang sekarang digunakan untuk
menunjuk investigasi linguistik dengan keragaman
jenis ini sebagai fokus perhatian. Sebagai subdisiplin
linguistik yang hampir tidak ada di zaman Saussure,
namun dalam beberapa dekade terakhir mungkin
lebih banyak pekerjaan telah dilakukan dalam
sosio~linguistik daripada di bidang studi bahasa
lainnya (Coulmas, 1997).
Variasi bahasa yang didefinisikan secara sosial
yang diucapkan oleh kelompok sosial tertentu dalam
sebuah komunitas terkadang disebut sociolect yakni
untuk membedakannya dari dialek, berdasarkan
kriteria geografis.
Ahli bahasa tidak dapat menyetujui bagaimana
sebuah idiolek harus didefinisikan. Salah satu definisi
yang terkenal, yang berasal dari tahun 1940an, adalah
keseluruhan ujaran satu pembicara pada satu waktu
menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan satu
pembicara lain (Bloch, 1948).
Cara khas yang dapat diucapkan seseorang
dapat bervariasi sepanjang perjalanan hidup. Selain itu
juga bahwa seseorang dapat berbicara berbeda
dengan penerima yang berbeda dalam situasi yang

77
berbeda. Ini adalah fenomena linguistik yang sekarang
dikenal dengan pengertian akomodasi (Giles, 1994).
Memang harus diakui bahwa di sepanjang
lintasan sejarah strukturalisme terutama yang
berangkat dari paradigma strukturalisme linguistik
disatu sisi pernah menjadi sebuah pemahaman teoritis
yang sempat jaya pada masanya, namun pada sisi lain
kekuatan paradigma ini sempat diuji oleh beberapa
kritikan tajam yang pernah dilontarkan padanya.
Pencabaran yang pertama dilontarkan oleh
salah seorang teoritisi Jerman yang berpengaruh kuat
pada masa sesudahnya yakni Jaques Derrida. Pada
umumnya kita tahu bahwa Derrida dikalangan para
pemikir sosiologi dunia termasuk halnya bagi sosiolog
Indonesia dikenal pemikirannya mengenai
dekonstruksi.
Pemahaman dekronstruksi Derrida sebagai inti
dasar asumsinya terkait dengan gagasan yang
dikembangkan dalam strukturalisme linguistik, sempat
popular di Perancis pada masa itu. Untuk memahami
ulang konteks sejarah dekonstruksi Derrida maka ada
baiknya kita mempelajari ulang bagaimana konsep
awal Derrida tentang dekostruksi dimaksud, sehingga
kemudian ia mengusulkan dan menekankan pemikiran
dekonstruksinya itu sebagai pendekatan pengetahuan
yang paling mendasar dalam sejarah penentangan dan
mendebatkan strukturalisme.

78
Sebagaimana telah disinggung secara ekplisit
pada poin pembahasan di atas, pelbagai tipe
strukturalisme telah mendominasi pemikiran sosial di
dunia Barat terutama di Negara Prancis khususnya.
Akan tetapi segera sesudahnya berkembang reaksi
menentang terhadap strukturalisme yang dilabeli
dengan postsrukturalisme (Ritzer, 2008:56).
Menurut Ritzer, postsrukturalisme merupakan
label penamaan terhadap pemikiran setelah
strukturalisme, dan tentu saja kemudian paham baru
tersebut merupakan kelompok pemikir yang sebagian
dari mereka secara radikal menentang pemikiran
strukturalisme awal Prancis (Ritzer, 2008:57)
Tidak hanya itu saja, bahkan juga termasuk
kelompok-kelompok pemikir yang berkembang
setelah strukturalisme, ternyata mengambil jarak
dengan strukturalisme Prancis yang diasosiasikan
dengan para pemikir seperti, Ferdinand de Saussure,
Roland Barthes, Claude Levi-Strauss, Luis Althusser dan
lain sebagainya.
Sejauh yang telah diketahui, bahwa Jacques
Derrida sebagai seorang ilmuwan kenamaan Perancis
1960-an, dilahirkan di El-Biar dekat Algiers tahun 1930
dari orang tua berdarah Yahudi Sephardis (Beilharz,
2002:73). Nama Jacques Derrida tak dapat dipisahkan
dari sebuah istilah, yang diterjemahkan dalam Bahasa
Indonesia dekonstruksi (deconstruction) dan dalam

79
istilah aslinya adalah of De la grammatologie sebagai
sebuah risalah yang berisikan kritik gramatologi tajam
terhadap paham yang dikembangkan dalam
strukturalisme linguistik.
Kritiknya utamanya tersebut untuk pertama kali
ditulis dalam sebuah tulisan di jurnal Paris, Critique, I,
223, Desember 1965, halaman 1016-1042 dan
kemudian Critique, II, 224, Januari 1966, halaman 23-
53. Dan selanjutnya tulisan itu pula yang membentuk
landasan bagi bukunya Derrida yang mungkin paling
terkenal berjudul of De la grammatologie (Lechte,
2001:169).
Karya Derrida tersebut kemudian telah
dialih~bahasakan ke dalam Bahasa Inggris oleh
Gayatri Chakravorty Spivak menjadi, Of Grammatology
yang selanjutnya telah mengalami beberapa kali
cetakan pada tahun 1967 dan 1976 dan terakhir tahun
1997 diterbitkan oleh The Johnson Hopkins University
Press, Baltimore and London, USA (Lechte, 2001:192).
Dalam karyanya itu, Derrida mendasari
pemikirannya pada kajian Saussure tentang bicara dan
pada saat yang sama juga mengkritik Saussure
tentang subordinasi dan penafian yang menjadi pusat
perhatian Derrida. Kritiknya terhadap garis utama
pemikiran strukturalisme dengan apa yang ia sebut
metode dekonstruksi (deconstruction).

80
Menurut George Ritzer, dkk (1987:188) bahwa
dekonstruksi Derrida bertujuan untuk mengangkat
atau menunjukan keluar eksistensi mendasar secara
sistematik pengetahuan dasar dalam logika yang
dibentuk secara mutlak melalui bahasa (linguistik), dan
yang telah menjadi sumber dasar rujukan bagi makna
yang ditimbulkannya atau yang dihasilkannya.
Metodologi deconstruksi tidak tidak bertujuan
hanya untuk menggantikan asumsi metafisik dari
budaya Barat dan segala bentuk penyimpangannya.
Melainkan, dekonstruksi dikembangkan sebagai reaksi
tidak langsung terhadap strukturalis dan pemikiran
fenomenologis seperti Ferdinand de Saussure (1857-
1913), Claude Levi-Strauss (1908) dan termasuk
Edmund Husserl (1859-1938) jauh sebelumnya.
Walaupun dalam of De la grammatologie,
Derrida mengarahkan pembahasannya hanya kepada
struktur pemikiran mendasar terhadap epistemologis
yang membentuk kultur pemikiran filosofis Barat
dalam sudut pandang linguistik di dalamnya, namun
secara lebih khusus pada bagian ke dua dalam of De la
grammatologienya tersebut, ia mencoba hanya
memfokuskan perhatiannya itu untuk membandingkan
antara Linguistik dan Grammatologi (Giddens, dkk,
1987:189).
Dalam pembahasannya itu, Derrida juga telah
melakukan kajian dan analisis teoritisnya terutama

81
dalam karya Saussure tentang “Cours de linguistique”.
Dalam karyanya ini, pemikiran terbaik Saussure dapat
dilihat di sana, itu kata Derrida seraya memujinya.
Namun pujian atas pemikiran Saussure dan kalangan
strukturalis pada saat itu, bukan semata-mata tanpa
adanya kritikan, akan tetapi malah ditantang
sedemikian rupa oleh Derrida yang menurutnya
sebagai berikut :
We might simply say that Saussure was not a
grammatologist because, having launched the
binary sign, he did not proced to put it under
erasure. The binary opposition within the
Saussurean sign is in a sense paradigmatic of the
structure of structuralist methodology (Spivak,
(transl) viii).
Menurut Derrida kita harus yakin menempatkan
pasangan seperti antara penanda (signifier) dan yang
ditandakan (signified) dan antara sinkronik dengan
yang diakronik dalam rangka yang membedakan
strukturalisme dengan model pemikiran lainnya. Akan
tetapi, walaupun Derrida menyatakan Saussure
bukanlah seorang grammatologist, namun sebaliknya
menurut Ritzer, karena pemikiran tajam Saussure
itulah maka ranah grammatologi Derrida di atas bisa
terwujudkan (Ritzer, 2008:58).
Demikian juga halnya mengenai kritikan
grammatology Derrida terhadap strukturalisme

82
Antropologi, dimana ia tidak tinggal diam bahkan
bereaksi terhadap strukturalisme linguistik yang
diterapkan Levy Strauss kemudian dalam lapangan
ilmu Antropologi di Eropa, dan termasuk Amerika dan
wilayah sekitarnya.
Pada kesempatan lain dan paling tidak dapat
dikatakan bahwa Levi-Strauss, berhutang budi kepada
Troubetzkoy, sebagai sumber referensi studinya
tentang infra struktur sadar. Akan tetapi berbeda
halnya dengan Deridda yang meminjam konstruksi
berfikirnya Freud, di sana akan ada kesulitan di dalam
memahami pertentangan antara kesadaran dan alam
bawah sadar dalam subyek, sebagai prinsip dasar
dalam membangun sebuah studi yang lebih
terstruktur secara sederhana dan lebih sistematis.
Dijelaskan di sana bahwa alam bawah sadar
adalah sesuatu yang tidak diputuskan, selalu berubah
dan diluar jangkauan deskripsi psikis dan tidak terlibat
sepenuhnya secara konstitutif yang kemudian kita
sebut sebagai kegiatan atau aktivitas alam sadar.
Selanjutnya sebagaimana yang selalu ditunjukan
bahwa pertentangan atau oposisi antara subyek dan
obyek, yang di atasnya kemungkinan sebagai deskripsi
yang bersifat obyektif, pemikiran inilah yang juga
kemudian dipertanyakan dalam pendekatan
grammatologi.

83
BAB IV
PERKEMBANGAN
TERAKHIR STRUKTURALISME

H
A. Dinamika Strukturalisme Linguistik
al yang cukup menarik dalam pembahasan
strukturalisme modern adalah bahwa
Ferdinand de Saussure pada satu sisi
dianggap sebagai garis utama berjasa dalam
mendobrak gagasan strukturalisme konvensional ke
dalam kajian linguistik atau ke dalam ilmu bahasa
sebagai strukturalisme modern. Namun pada sisi lain,
struktur linguistik juga menjadi pusat perhatian yang
lebih serius di kalangan teoritisi kawasan Eropa
umumnya dan Perancis khususnya termasuk juga
Amerika dan sekitarnya.
Gagasan penting Saussure yang dituangkannya
dalam maha karya berjudul Cours de linguistique
générale tersebut, dan kemudian diterjemahkan dalam
berbagai bahasa, maka melalui karyanya itu pemikiran
kunci mengenai lingkaran linguistik justru semakin
banyak dikenal oleh kaum intelektualitas di berbagai
belahan dunia.
Bahkan hal yang lebih penting lagi sebagai
bentuk kemajauan pengembangan terhadap gagasan
pemikiran Saussure tersebut, terdapat upaya kaum

84
intelektualitas untuk lebih serius mengembangkan dan
sekaligus menetapkan metode linguistik bahkan
menjadikannya sebagai disiplin formal ilmu
pengetahuan dan termasuk juga upaya intektualitas
untuk kepentingan pendokumentasian berbagai
bahasa-bahasa di dunia.
Selain itu, pengembangan gagasan Saussurean
di atas juga, secara khusus untuk kepentingan
pengembangan linguistik ke dalam pembidangan sub
disiplin kajian ilmu seperti misalnya linguistik
antropologis, linguistik terapan, biolinguistik, linguistik
klinis, linguistik komputasi, linguistik kritis, linguistic
pendidikan, etnolinguistik, neurolinguistik,
pragmalinguistik, psikolinguistik, sosiolinguistik dan lain
sebagainya (Harris dalam Paul Cobley, 2001:118-120)
Dengan demikian, maka keseriusan para
ilmuwan tersebut, pada dasarnya telah mendorong
pengembangan strukturalisme linguistik ke dalam
berbagai lapangan kajian khususnya dalam sub disiplin
ilmu-ilmu sosial humaniora yang ada. Di antaranya
terdapat beberapa pemikir linguistik modern yang
dimaksud adalah seperti Roman Jakobson (1896-1982)
ahli linguistik Moskow yang kemudian menjadi
anggota berpengaruh kuat dalam lingkungan
linguistik Mazhab Praha.
Untuk diketahui bahwa di kota itulah Jakobson
mulai tertarik untuk sepenuhnya mempelajari

85
perbedaan yang dalam istilahnya yakni antara struktur
fonik dan prosidik dalam bahasa Rusia, dan bahasa-
bahasa Slavik lainnya. Pada tahun 1930-an, Roman
Jakobson bekerjasama dengan temannya, Nikolai
Trubetskoy dalam melakukan penelitian tentang pola
suara pada bahasa.
Sebagai pengikut Saussure, Trubetskoy
mengarahkan Jakobson pada gagasan bahwa suara
pada bahasa berfungsi secara diferensial, mereka tidak
memiliki makna intrinsik (Lechte, 2001:107-108).
Melalui Roman Jakobson, sebagai salah satu anggota
dari Mazhab Praha inilah, maka Levi-Strauss
mendapatkan pengaruh signifikan dalam
mengembangkan struktur lingusitik terhadap sruktur
Antropologi, yang kemudian berkembang pesat di
kawasan Amerika dan belahan dunia lainnya.
Jakobson sebagai pemikiran awalnya
menekankan dua hal penting unsur dasar struktur
bahasa yang diwakili oleh gambaran metafor retoris
(aspek kesamaan) dan metonimia (kesinambungan).
Metanomia tidak boleh dikacaukan dengan sinekdoke
(synecdoche) yang sering didefinisikan sebagai bagian
yang mewakili atau merepresentasikan
keseluruhannya. Yang ada pada sinekdoke adalah
hubungan internal antara bagian dengan keseluruhan
(layar untuk kapal), sedangkan dalam metonomia

86
hubungan yang ada bersifat eksternal (pena untuk
penulis) (Lechte, 2001:108).
Lebih jauh menurut Jakobson, bahwa berbagai
bentuk afasia sebagaimana pengertian bahasa di atas,
telah mempengaruhi fungsi bahasa, menurutnya
berarti memahami bagaimana kerusakan pada bagian
pemilihan dan substitusi kutub metaforis, atau dalam
gabungan dan kontekstualisasi kutub metonomia.
Hal itu memberikan arti bahwa yang pertama,
memperlihatkan ketidakmampuan pada tingkatan
metalinguistik, sedangkan bagian yang kedua
menunjukan makna penjelasan terjadi adanya
permasalahan dalam upaya menjaga hierarki satuan-
satuan linguistik. Pada persoalan pertama bahwa yang
hilang adalah hubungan kesamaan, sedangkan
masalah yang kedua adalah adanya kesinambungan
(Lechte, 2001:108).
Demikian juga halnya pada kesempatan lain,
Jacques Lacan (1901-1970) dapat dikatakan sebagai
tokoh yang berperan penting dalam Pengembangan
struktur linguistik pada bidang psikiatri Perancis. Lacan
berhasil mengubah seluruh orientasi psikoanalisis di
Perancis dan tempat-tempat lainnya.
Berdasarkan pengaruh gagasan Sigmund Freud
sebelumnya tentang struktur pikiran bawah sadar,
maka Lacan mengembangkan dan mengkombinasikan
dengan pemikiran Saussure mengenai pemikiran

87
bawah sadar yang terstruktur dengan cara sama
sebagai bahasa. Letak dari pemikirannya tersebut,
terutama mencoba melihat bahasa sebagai hal yang
penting dalam pembentukan individu dan juga
sebagai pusat atau cara di mana pikiran bawah sadar
itu terstruktur (Ritzer dkk, 2005:804).
Jacques Lacan mencoba mengembangkan
sebuah pemikirannya tentang mirror stage (tahap
cermin) yang menurutnya bahwa psikoanalisis itu
sebagai register imajiner (the register of the imaginary)
bahwa seorang bayi misalkan antara mulai usia enam
bulan hinggadelapan belas bulan merasa takjub akan
bayangannya sendiri di depan cermin (Beilhharz,
2002:248)
Di tempat lain, tokoh yang tidak kalah penting
dalam meletakan ulang strukturalisme itu yakni adalah
Roland Barthes (1915-1980). Sebagai seorang pemikir,
Barthes mengembangkan strukturalisme linguistik
dalam bidang semiotik Perancis dan sekitarnya. Ahli
teori semiotika baru ini merumuskan suatu teori
tentang mitos yang melandasi tulisannya di dalam
Mythologies.
Barthes menyatakan bahwa sekarang ini mitos
adalah sebuah pesan, bukan konsep, gagasan atau
objek. Lebih jauh lagi bahwa mitos didefinisikan
sebagai sebuah pertanyaan yaitu bagaimana carannya
mengutarakan pesan, oleh sebab itu, mitos dalam

88
konteks pemikiran itu adalah hasil dari wicara (parole),
bukannya bahasa langue (Lechte, 2001:192-193).
Demikian juga pandangan yang muncul dari
Noam Chomsky (1928), bisa dilihat sebagai seorang
ahli linguistik paling berpengaruh kuat dalam abad ke
dua puluh ini. Chomsky mendapat pendidikan
linguistiknya di bawah arahan Leonard Bloomfield
yang empirisme behavioristiknya mendominasi
linguistik Amerika Serikat selama tahun 1930-an dan
1940-an, serta dari Zellig Harris yang pandangan-
pandangan politiknya selama tahun 1950-an disukai
Chomsky lebih daripada gaya strukturalisme
linguistiknya.
Melalui ayahnya, yang menerbitkan sebuah
karya klasik berjudul Hebrew: The Eternal Language
(1958), Chomsky berkenalan dengan linguistik historis.
Karya pokok pertama adalah tesis Masternya, juga
tentang bahasa Ibrani (Yahudi) berjudul
Morphophonemics of Modern Hebrew (1951). Pada
mulanya Chomsky berminat juga pada logika dan
matematik, maka tidak mengherankan jika kemudian
ia lebih tertarik pada karya-karya para ahli logika
(seperti Goodman, Quine, Kripke, Lakatos, Hintikka)
dan para filsuf analitis (Austin dan Wittgestein)
daripada karya-karya filsuf atau ahli linguistik dari
yang disebut sebagai tradisi Kontinental (Lechte,
2001:86-87).

89
Oleh karena itu, singkat kata ternyata bahwa
masih banyak pemikir lain yang juga tidak kalah
pentingnya dalam mendorong perkembangan
linguistik di dalam berbagai kajian lainnya di Eropah,
dan kawasan Amerika dan wilayah disekitarnya, seperti
bidang arsitektur, kritik sastra, sejarah seperti Mitchel
Foucault, filsafat pada filsuf Marxis yakni Louis
Althusser dan lain sebagainnya (Ritzer dkk, 2005:804).
Meskipun pada diri Ferdinand de Saussure,
masih terdapat jejak mentalisme tertentu dan
ketergantungan pada psikologi, namun linguistik
belakangan pada prinsipnya tetap terpisah secara
tegas dari disiplin-disiplin ilmu lain yang mempelajari
aktivitas manusia. Maka dalam hal ini, dapat dikatakan
bahwa telah terjadi juga sebuah inkonsistensi
pengembangan strukturalisme linguistik tersebut oleh
Ferdinand de Saussure di atas.
Ilmu tentang pengucapan suku kata (fonemik)
juga dibedakan dengan tegas dari ilmu tentang bunyi
ujaran (fonetik), di mana yang kedua relatif tidak
begitu di utamakan oleh arus utama analisis linguistik
selanjutnya. Kita dapat pastikan bahwa inti dari konsep
Saussure tentang langue ditemukan suatu
inkonsistensi.
Di satu sisi, dalam konteks pemahaman itu,
bahasa dianggap sebagai sebuah fenomena psikologi,
diorganisasikan berdasarkan sifat-sifat mentalnya.

90
Sedangkan pada sisi lain, tampaknya Saussure
meminjam gagasan pokok Durkheim sebelumnya di
mana bahasa dianggap sebagai produk kolektif,
sebuah sistem representasi sosial (Giddens & Turner,
1987:197).
Apabila implikasi analisis ini ditarik lebih luas,
maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar bentuk
strukturalisme linguistik lebih mengadopsi versi
“psikologis” langue ketimbang persi sosialnya. Hal itu
menurut pemahaman Giddens dan Jonathan, H.
Turner, dengan menggunakan pendekatan ini,
Chomsky sanggup menyatukan ide-ide para ahli
bahasa Eropa dengan konsep-konsep strukturalisme
behavioristik Bloomfield dan Harris dan para ahli
bahasa lain di Amerika Serikat. Bloomfield dan Harris
berusaha memisahkan ilmu bahasa secara total dari
jenis mentalisme atau psikologisme apapun (Giddens
& Turner, 1987:197).
Dalam konteks pemahaman tersebut maka
dapat diartikan bahwa sesungguhnya linguistik adalah
menganalisis bahasa semata-mata, sebagai urut-
urutan dari bunyi-bunyi yang teratur. Analisis tidak
cuma dipusatkan pada keterlibatan interpretatif
pembicara dengan bahasa yang digunakannya.
Walaupun sudut pandang ini awalnya berbeda secara
substansial dari ilmu bahasa Saussurian karena para
pendukungnya menolak pembedaan langue dan

91
parole, namun Chomsky membuktikan adanya kaitan
erat di antara keduannya (Giddens & Turner,
1987:197).
Dengan mendefinisikan ulang pemilahan
langue dan parole sebagai pemilahan kompetensi
versus performa, dan pemisahan diri sendiri dengan
cara radikal dari behaviorisme Bloomfield dan Harris,
selanjutnya Chomsky sanggup mengaitkan kembali
basis mentalistik bahasa dengan model terpadu ilmu
bahasa formal.
Berdasarkan pemilahan kompetensi versus
performa, maka ilmu bahasa Chomskyian kemudian
lebih mengutamakan aspek sintaksis. Sasarannya
bukan untuk menjelaskan semua ujaran pembicara di
dalam komunitas bahasa tertentu, tetapi hanya
struktur-struktur sintaksis yang diidealkan pengguna
bahasa.
Dengan demikian, maka teori Chomsky
mengandeng penginterpretasian, karena
pengidentifikasian ketepatan sintaksis tergantung
kepada hal-hal yang disetujui pengguna bahasa.
Selanjutnya, Chomsky juga memprioritaskan
komponen-komponen kreatif bahasa, dalam artian
pembicara yang kompeten sanggup membangkitkan
bentuk tidak tetap kalimat-kalimat yang tidak
disesuaikan secara sintaksis. Singkat kata, menurut
uraian Giddens & Turner (1987:197) sebagai bentuk

92
penilaian singkat mereka mengenai pernyataan di atas
sebagai berikut :
It is arguable that the Chomskyan
competence-performance distinction is in
some respects superior to the langue-parole
differentiation, because Chomsky at least
has a model of the linguistic agent. As
Chomsky points out, criticizing Saussure, the
latter treated langue mainly as a respository
of “word like elements” and “fixed phrases”,
contrasting it to the more flexible character
of parole.

Gramatika transformasional Noam Chomsky,


merupakan sebuah pendekatan yang dipengaruhi oleh
sejumlah konsep Saussurian dan ilmu bahasa Mazhab
Praha sebelumnya. Lewat Mazhab itulah, maka
Jakobson mempengaruhi Levi Strauss. Dalam konteks
itu, maka dapat juga diasumsikan bahwa kelompok
Praha mengikuti konseptualisasi social languel
ketimbang aspek psikologisnya. Sementara itu disisi
lain, ilmu bahasa Chomsky menyoroti kompetensi
pembicara individual. Ilmu bahasa Mazhab Praha
mengkonsentrasikan, lebih di atas semuannya, yaitu
bahasa sebagai medium komunikasi.
Maka dari itu, secara garis besar dan juga
sebagai suatu kesimpulan terdapat tiga sumbangan

93
Noam Chomsky terhadap linguistik yaitu sebagai
berikut :
1) Mengalihkan penekanan linguistik dari tingkat
deskriptif dan induktif yang ketat (tingkat
pengkatalogan ujaran tak berkesudahan yang
kemudian menjadi sumber dasar pengambilan
kesimpulan tentang tata bahasa) ke tingkat
struktur dalam dan tingkatan kompetensi ideal
yang membuka aspek kreatif dalam bahasa.
Artinya bahwa bahasa itu lebih dari sekedar
tindakan materialnya.
2) Teoritisi pertama yang mengusulkan
pengkajian ulang pengajaran bahasa dengan
alasan bahwa kemampuan berbahasa tidak
diperoleh secara induktif melalui
pengkondisian perilaku (Lechte, 2001:86).

B. Kekuatan dan Kelemahan Struktur Antropologi


Perkembangan terakhir paradigma
strukturalisme dewasa ini paling tidak masih tetap
bertahan pada garis utama pemikiran struktur
linguistik dalam sub disiplin ilmu Antropologi yang
digagas oleh tokoh kenamaan yakni Levi Strauss.
Pengembangan paradigma dari struktur dalam
metode linguistik ke disiplin Antropologi Strauss
tentang budaya dan masyarakat, hingga saat ini masih
tetap memberikan ruang dan pengaruh yang cukup

94
signifikan (adekuat) dalam membingkai sejarah
perkembangan ilmu-ilmu sosial umumnya dan
terhadap sub bidang kajian ilmu Antropologi
khususnya.
Antusiasme yang kuat di kalangan Antropolog
maupun Sosiolog khususnya, dimana sama seperti
yang dinyatakan Albert Doja (2008:321) dalam
tulisannya berjudul; “Claude Lévi-Strauss at His
Centennial: Toward a Future Anthropology”,
dipublikasikan dalam Journal Theory Culture and
Society, bahwa pada saat ini tidak bigitu banyak kaum
Antropolog yang siap untuk berpikir tentang budaya
dan masyarakat hanya sebagai kombinasi elemen yang
terstruktur, dan kecenderungan untuk memberikan
lebih banyak agensi tentang struktur daripada pada
manusia, seperti yang sering ditunjukkan, adalah salah
satu fitur utama dari versi struktural Antropologi Lévi
Strauss, yang pastinya paling tidak cukup bermasalah.
Namun kembalinya ke perbedaan provokatif
Lévi Strauss antara suhu historis, sebagai perbedaan
heuristik daripada taksonomi antara era budaya,
mempertahankan utilitas berkelanjutan dan dapat
dikatakan sebagai metodologi yang bisa diterapkan
untuk penyelidikan Antropologi. Jika kita benar dalam
asumsi ini, maka pertentangan antara struktur dan
peristiwa (moment) atau tindakan (action) dan agensi
(agency), akhirnya dapat dianggap lebih sebagai

95
konvensi analitis daripada sebagai kondisi realitas
budaya dan sosial.
Dewasa ini secara umum tidak banyak para
ilmuwan sosial, dan khususnya para Antropolog siap
memikirkan budaya dan masyarakat, akan tetapi
sebaliknya mereka lebih menitikberatkan bahkan
menekankan masalah tersebut hanya sebagai
kombinasi elemen terstruktur, bahkan sebaliknya ada
kecenderungan untuk menekankan perhatian khusus
mereka lebih dominan kepada agensi pada struktur
dari pada pada soal manusia seperti yang sering
ditunjukkan.
Akan tetapi dari ciri utama versi Antropologi
bahwa struktur Lévi Strauss di atas dianggap oleh para
ilmuwan ilmu-ilmu sosial umumnya, paling tidak
bermasalah. Kembalinya perbedaan provokatif Lévi
Strauss antara aliran historisitas, karena perbedaan
heuristik dan bukannya taksonomi antara era budaya,
dan lebih mempertahankan kelanjutan utilitas yang
dapat dikatakan sebagai metodologi yang diterapkan
untuk penyelidikan Antropologis.
Jika hal itu benar sebagaimana dalam asumsi
berfikir semacam itu, maka pertentangan antara
struktur dan kejadian, atau tindakan dan agensi,
akhirnya dapat dianggap lebih sebagai konvensi
analitis daripada sebagai kondisi realitas budaya dan
sosial.

96
Padahal sebaliknya sebagaimana yang kita
ketahui bahwa, Levi Strauss sebelumnya telah
mengembangkan strukturalisme dalam lapangan
kajian Antropologi menjadi sebuah proyek ilmiah, dan
sekaligus sebagai seorang intelektual yang lebih maju
bahkan lebih berpengalaman dalam memahami
kehidupan manusia bila dibandingkan dengan
berbagai pengetahuan yang sudah ada jauh
sebelumnya.
Harus diakui secara lebih sungguh-sungguh
bahwa Levi Strauss sebagai Antropolog sejati telah
banyak membantu pengembangan dunia sains ilmu-
ilmu sosial dan budaya, dengan dinamika objek, teori
dan metodologi tersendiri yang khas.
Proyek yang ambisius itu kelihatannya
bertujuan ingin membangun dan menempatkan posisi
ilmu-ilmu sosial sebagai sebuah sains yang ketat dan
kekuatanya sebanding dengan disiplin ilmu-ilmu alam
yang ada. Maka dari situlah letak keunggulan
pemikiran Strauss yang mendasar di dalam
membangun disiplin ilmu-ilmu sosial sebagai sains
yang telah diakui oleh kelompok arus utama
intelektual yang ada kemudian. Dalam konteks itu,
maka sebagaimana yang dijelaskan Thomas Shalvey
(dalam Albert Doja, 2008;325) berikut ini:
“put it, the hand on the philosophical and social
scientific clock has moved once again: first, in

97
the theocentric universe, upward toward God;
then, after Nietzche, to a horizontal plane,
toward man and an historical dimension; now,
with Lévi-Strauss, downward toward the
unconscious structures.

Dikalangan kaum intelektual kontemporer


dewasa ini memberikan ruang bagi kemajuan ilmu-
ilmu sosial sebagai suatu upaya yang semestinya patut
diperhitungkan di dalam dunia sains. Hal ini terjadi
berkat pemikiran utama Levy Strauss yang lebih maju
di dalam membangun epistemologi ilmu-ilmu sosial
dalam riset ilmiah tentang struktur budaya dan
masyarakat yang ada.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa
sebagai sebuah revolusi struktural ilmiah dunia sains
dari ilmu-ilmu kemanusian (humaniora) yang sedikit
banyak sebelumnya masih berada dalam kekakuan
epistemologis. Kenyataan ini dapat kita lihat dengan
beragam kajian terhadap masyarakat dan budaya yang
masih menganut paradigm lama.
Perlu diketahui bahwa kajian tentang
masyarakat dan budaya sepertinya telah gagal bahkan
dapat dikatakan semakin mengalami jalan buntu, kaku
dan tidak berdaya. Pandangan ini sangat didukung
oleh Howard Gardner (dalam Albert Doja, 2008;325)
dengan pernyataannya sebagai berikut:

98
also recognized that the structural methods of
Lévi-Strauss constitute ‘the most significant
contemporary innovation’ in the social and
behavioural sciences, and believes that ‘one
hundred years from now Lévi-Strauss’s research
program will be seen as more right-headed than
that of his strongest critics – the true mark of an
important thinker’. Lévi-Strauss’s originality was
to challenge the dilemma of the conceptual
opposition between human nature and cultural
variety, attempting to show that one underlies
the other in the way that an abstract and
homogeneous structure may control its actual
and varied manifestations.

Dalam konteks gagasan pemikiran di atas,


paling tidak dikalangan teoritisi sosial mestinya
dengan lapang dada harus menerima bahkan
mengakui bahwa metode struktural Lévi Strauss
merupakan inovasi kontemporer paling signifikan
dalam ilmu sosial dan perilaku, dan pasti opimis
percaya bahwa seratus tahun yang akan datang
program riset Lévi Strauss semakin lebih mendapatkan
pengaruh dan kekuatan yang tidak perlu diragukan
lagi dalam pengembangannya.
Berangkat dari pemikiran itu, maka orisinalitas
pemikiran Lévi Strauss sangat unik dan lebih

99
menantang dilema oposisi konseptual antara sifat
manusia dan keanekaragaman budaya, berusaha
menunjukkan bahwa yang satu mendasari yang lain
dalam cara bahwa struktur abstrak dan homogen
dapat mengendalikan beragamnya manifestasi aktual.
Setelah bertahun-tahun kritik tajam yang
dilancarkan terhadapnya berdasarkan pemahaman
yang salah dan dangkal terhadap karya Strauss, namun
pada akhirnya ia semakin lebih populer bahkan selalu
dikenang sepanjang masa karena telah mendorong
banyak peneliti baru yang lebih mutakhir untuk
menghasilkan hipotesis lebih maju dan imajinatif, yang
kemudian dapat diuji melalui penelitian empiris dalam
masyarakat yang ada diberbagai belahan dunia.
Kenyataan itu ingin menunjukan bahwa
dampak struktural Antropologi tidak terbatas hanya
sekedar pada sebuah pengakuan semenjak ia memiliki
pengaruh pada masanya. Kontigensi sejarah, ekonomi
dan politik memberikan gambaran atau refleksi
terhadap sebuah pendekatan struktur yang dinamis.
Pernyataan ini paling tidak telah menghasilkan
perdebatan yang terjadi selama ini antara sejarahnya
dan tindakan (action), atau individu dan kelompok.
Dan realitas inilah yang paling tidak hingga saat kini
terus diteliti dan dikembangkan.

100
C. Ikonsistensi Pengembangan Struktur Antropologi
Salah seorang filsuf kontemporer yang cukup
dikenal dari Institute Jean Nicod, Kota Paris yaitu Dan
Sperber dalam sebuah karyanya berjudul, Claude Levi-
Strauss, a Precusor? Risalah singkat tersebut telah
menjelaskan bahwa perkembangan strukturalisme
masih diwarnai oleh strukturalisme Antropologi Claude
Levi-Strauss.
Akan tetapi tidak hanya itu saja, bahkan
menurutnya Levi Strauss juga dapat dikatakan masih
dianggap sebagai seorang Antropolog yang masih
dikenal selama dekade ini. Hal ini dapat kita lihat,
pemikirannya masih ditemukan dalam berbagai karya
tulisan Antropologi di berbagai toko-toko buku di
sudut-sudut kota besar yang ada di dunia seperti;
Trites Tropiques adalah karya klasiknya.
Lebih khusus lagi misalkan perkembangan
terjadi di Negara Perancis terutama di kalangan
intelektual Eropa, Strauss masih dianggap sebagai
sosok tunggal yang mengesankan, bahkan boleh
dikatakan sebagai seorang tokoh tidak ada duannya
(D,Sperber, 2008:309).
Semenjak linguistik dan Antropologi sudah
terbagi dalam perspektifnya masing-masing, maka hal
itu kemudian berdampak kepada bahasa dan budaya
dan juga budaya tentang bahasa. Levi Strauss
meminjam banyak metode linguistik, bertujuan untuk

101
menyediakan kerangka umum dan membuka
perspektif baru bagi kalangan Antropolog yang
dianggapnya masih kabur pada pemahaman alamiah
tentang bagiamana mengkaji dunia sosial yang ada (D,
Sperber, 2008:309).
Akan tetapi lain halnya pada sisi yang lain,
bahwa generalisasi dan pengembangan strukturalisme
linguistik dalam berbagai disiplin ilmu manusia yang
ada, telah disambut antusias oleh banyak kalangan,
perspektif naturalis secara umum diperlakukan bahkan
dianggap sebagai pemikiran yang tidak selayaknya
diterima.
Namun dibalik popularalitasnya itu, maka
terdapat sebuah tantangan baru yang segera akan
dihadapi Antropologi pada masa yang akan dating
sebagai sebuah sains yang maju pada era Strauss,
yaitu ancaman kesalahan pengembangan
epistemologi antropologi Strauss di atas. Ancaman itu,
sebagaimana yang dinyatakan Francoisn Wahl (D,
Sperber 2008;313) pada bagian pendahuluannya
dalam, Questce que le structuralism mengingatkan kita
bahwa apa yang mengancam strukturalisme adalah
kembali ke paradigma naturalisme.
Pengaruh pada berbagai pengembangan
penelitian disiplin Antropologi itu sendiri,
sesungguhnya tidak berdampak luas secara universal
khususnya di kalangan pengikut Straus kemudian.

102
Dampak karya Levy Strauss pada Antropologi itu
sendiri tidak sepadan dengan ketenaran universal.
Studi tentang kekerabatan telah kehilangan sentralitas
tradisionalnya pada disiplin, dan telah berfokus pada
masalah kekuasaan atau gender yang cukup jauh dari
keprihatinan Levyi Strauss.
Studi mitologi tidak mendapatkan banyak
momentum atau banyak inspirasi dari kontribusi
monumental Levi Strauss. Tidak jelas apakah ini
refleksi tentang Levi Strauss atau pada keadaan
Antropologi, yang sebagian besar tetap bersifat
teoretis dan non naturalistik. Pembaca baru,
betapapun terkesan dan terilhami mereka mungkin
dengan kecerdasan yang mencolok dan keanggunan
tulisan Levi Strauss, tidak mungkin mengalami
perasaan kegembiraan dan urgensi intelektual yang
menggerakkan banyak dari kita 40 tahun yang lalu.
Namun, sementara itu terdapat beberapa
pernyataannya sekarang menjadi kepentingan sejarah,
yang lain jauh lebih baik dari waktu mereka. Jika,
seperti yang saya yakini telah mulai terjadi, studi
tentang pikiran dan budaya menjadi satu dalam
kerangka naturalistik, maka Levi Strauss akan menonjol
sebagai cikal bakal petualangan baru ini.
Antropologi saat ini sebagian besar berkaitan
dengan pertanyaan migrasi, penyakit, kelaparan,
kemiskinan, feminisme, refleksivitas, korupsi,

103
globalisme, konflik etnis, perang saudara, hak asasi
manusia, aktivisme budaya, fenomena
fundamentalisme, dan terorisme dan seterusnya.
Terhadap beberapa kecendrungan perhatian
dalam riset Antropologi kemudian dalam ruang
lingkup tema persoalan sosial di atas, merupakan
gejala kcendrungan kebangkitan kembali
strukturalisme antropologi Levy Staruss ke posisi
sentral hampir tidak dapat bertemu langsung dan
langsung dengan semua isu-isu sosial dan politik.
Namun Antropologi struktural mungkin secara inovatif
menjelaskan dinamika sistem sosial dan praksis
kompetisi dan manuver strategis.
Kesalahpahaman sebenarnya terhadap karya
Lévi Strauss, terutama di Anglo dunia Amerika, telah
dikaburkan oleh kesalahpahaman, yang tidak
diragukan lagi diperparah oleh masalah budaya lebih
dari terjemahan linguistik dan juga keanehan mode
intelektualitas yang sedang dikembangkan dalam
masyarakat. Kesalahpahaman mendasar tentang posisi
filosofi Lévi Strausss dekat dengan bentuk idealisme
atau mentalisme. Kesalahpahaman yang paling umum,
namun menyangkut strukturalisme dan sejarah.

104
BAB V
KESIMPULAN DAN PENUTUP

P
aradigma strukturalisme linguistik yang dalam
sejarah awalnya dipelopori oleh seorang
teoretisi linguistik berkebangsaan Perancis
yakni Ferdinand de Saussure, terbilang semakin kuat
pengaruhnya di bawah penerapan dan
pengembangan struktur dalam metode linguistik atau
metodologi bahasa terutama dalam bidang kajian
Antropologi Levy Strauss.
Walaupun pada awal sejarah
perkembangannya, linguistik menjadi dasar kuat
dalam pengembangan strukturalisme, bukan berarti
bahwa studi mengenai struktur dengan metode kajian
linguistik dalam strukturalisme Antropologi hanya
sebagai satu-satunya perspektif bidang kajian yang
dikembangkan secara lebih khusus, akan tetapi
dinamika itu juga telah terjadi pada bidang disiplin
ilmu non humaniora lainnya seperti pada bidang
kajian ilmu atau sains praktis lainnya misalnya dunia
arsitektur, biologi, kimia, medis, kedokteran, fisika,
kimia dan disiplin ilmu alam fisik lainnya.
Akan tetapi sebagai sebuah pengecualian,
bahwa kemajuan strukturalisme atau studi terhadap
struktur yang lebih berarti secara massif terjadi hanya

105
dalam perkembangan metode linguistik (ilmu bahasa)
dan sebaliknya bukan pada metodologi yang lain.
Studi dalam metode lingusitik dalam strukturalisme
Antropologi hingga saat ini masih dominan
berpengaruh menjadi paradigma yang lebih adekuat
terutama dalam studi strukturalisme Antropologi Levy
Strauss.
Paradigma strukturalisme Antropologi Levy
Strauss, dalam perkembangan kajian terhadap struktur
yang sebelumnya masih terjebak pada nuansa
sosiologi struktur material besar (makro) dipahami
telah melanda disemua kalangan teoretisi fungsionalis
struktural dan termasuk juga para sosiolog klasik yang
kuat dipengaruhi oleh paradigma positivistik warisan
tradisi dari disiplin ilmu-ilmu alam yang ketat dan
kaku.
Dalam studi sosiologi misalkan kita lihat
pengaruh kuatnya dalam kajian tentang masyarakat
dari seorang ahli biokomia sekaligus Sosiolog
kenamaan bernama Robert Kees Merton tentang;
Structure of Social Actions (1949/1968), Talcott Parson
tentang The Structure of Social Action dan The Social
System (1951), termasuk juga halnya para teoritisi
paradigma strukturalis fungsional Amerika lainnya,
telah memusatkan perhatian penuh terhadap gagasan
struktur sosial sebagai sebuah hubungan sosial yang
terorganisir, struktur sebagai tindakan masyarakat

106
sebagai sebuah jaringan sistem yang mendasar bagi
kelangsungan integrasi sosial yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat (Rusmanto, Joni & Ulfaritha S.
2017:5-13).
Pembahasan terkait tentang konsep struktur
seperti yang dipahami oleh para Sosiolog Amerika di
atas, sebenarnya dipengaruhi kuat oleh paradigma
dari salah seorang Sosiolog strukturalis fungsionalis
awal yang sangat terkenal yaitu Emile Durkheim.
Sebagai Sosiolog positivistik, Durkheim memahami
masyarakat itu sebagai sebuah struktur dalam suatu
sistem jaringan besar yang kemudian disebutnya
sebagai masyarakat sebagai struktur sosial.
Masyarakat menurutnya adalah suatu sistem
dinamis dan merupakan landasan berpijak kehidupan
dan kesadaran moral bersama (moral consciousness).
Perilaku dan tindakan sosial individu dan kelompok
sosial diikat dalam sebuah sistem besar yang di
dalamnya jaringan sistem interaksi dalam perilaku
dipengaruhi oleh sistem budaya yang meliputi sistem
hukum, adat-istiadat, agama, politik, psikologi dan lain
sebagainya. Konsep masyarakat sebagai sebuah sistem
sosial besar demikian dipahami sebagai sebuah
struktur yang disebut fakta sosial atau social the fact
(Durkheim, 1974).
Pada kesempatan lain, Karl Marx misalkan
seorang sosiolog dan juga ekonom Jerman klasik

107
termasuk dikalangan pemikiran Neo Marxis
selanjutnya memahami struktur dengan lebih
berorientasi kepada supra struktur besar (macro supra
structure) berupa sistem ekonomi kapitalis yang
mendominasi sistem kehidupan masyarakat modern
(Beilharz, 2002: 269-279).
Hal yang cukup menarik bahkan dapat
dikatakan lebih maju pengembangan kajian terhadap
gagasan struktur dalam paradigma strukturalisme
linguistik di atas muncul dalam kajian akademisi
strukturalis Jerman bernama Jurgen Habermas yang
terkenal dengan pemikirannya tentang rasionalisasi
tindakan komunikatif atau komunikasi masyarakat
yang dipahami sebagai basis mendasar dalam struktur
sosial yang ada.
Basis pemahaman rasionalitas tindakan
komunikatif Habermas di atas, penekanannya lebih
kepada teori komunikasi yang tidak menyimpang,
komunikasi tanpa paksaan, membebaskan komunikasi
dari dominasi, memerdekakan komunikasi,
emansipasif termasuk menyingkirkan penghalang
komunikasi yang terjadi. Jadi yang dimaksud tindakan
komunikasi itu adalah struktur sosial atau masyarakat
(Ritzer & Goodman 2003:188).
Komunikasi tidak hanya sekedar masalah
sederhana yakni hanya menyangkut komponen
pembicaraan (speech), komponen tersebut tidak hanya

108
sekedar berbicara secara verbal akan tetapi lebih dari
itu merupakan sebuah tindakan komunikatif yakni
suatu interaksi antara individu dalam masyarakat. Atas
basis pemikirannya itu, maka Hebermas kemudian
mampu menganalisis komunikasi yang mengalami
distorsi atau sebuah komunikasi sosial dalam
kehidupan yang terdistorsi terutama pada yang
namanya struktur sosial masyarakat (Ritzer &
Goodman 2003:188).

109
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, Kees, 2001. Filsafat Barat Kontemporer Prancis.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Beilharz, Peter, 2002. Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis


Terhadap Para Filosof Terkemuka (terj, dari
Social Theory: A Guide to Central Thinkers
Penerbit Allen & Unwin Pty Ltd 8 Napier
Street, North Sydney, NSW 2059 Australia,
oleh Sigit Jatmiko), Penerbit: Pustaka Pelajar.

Cobley, Paul, (eds), 2011. THE ROUTLEDGE


COMPANION TO SEMIOTICS and
LINGUISTICS. USA: Routledge, is an imprint
of the Tylor & Francis Group

Derrida, Jacques, Of Gramatology (Corrected Edition),


Translated by Gayatri Chakravorty Spivak, The
Johns Hopkins [/niversity Press Baltimore and
London, Copyright © 1974, 1976, 1997 by
The Johns Hopkins University Press the
United States of America First American
edition, 1976

Demartoto, Argyo, TEORI STRUKTURASI DARI


ANTHONY GIDDENS,
https://argyo.staff.uns.ac.id/2013/02/05/teor
i-strukturasi-dari-anthony-giddens/

110
Doja, Albert, 2008. ”Claude Levi-Strauss at His
Centennial Toward a Future Anthropology”
Theory Culture & Society, London: Desember
2008, Vol. 25, Iss, 7/8;p, 321)

Durkheim, Emile. 1974/1991. SOSIOLOGI DAN


FILSAFAT. Ter, dari Judul Asli: Sociology And
Philosophy, oleh Dr. Soedjono
Dirdjosisworo, S.H. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

Gidden, Anthony & Turner, H. Jonathan, (eds), 1987.


SOCIAL THEORY TODAY. Stanford,
California: Stanford University Press

Harris, Roy (ed). 2001. THE ROUTLEDGE COMPANION


TO SEMIOTICS AND LINGUISTICS. Routledge
11 New Fetter Lane, London EC4P 4EE
Simultaneously published in the USA and
Canada by Routledge 29 West 35th Street,
New York, NY 10001

Harris, Roy, Linguistics After Saussure, (Page 118)


dalam Paul Cobley (editor) THE ROUTLEDGE
COMPANION TO SEMIOTICS AND
LINGUISTICS, Published in the USA and
Canada by Routledge 29 West 35th Street,
New York, 2001

Lechte, John, 2001. 50 Filsuf Kontemporer; Dari


Strukturalisme sampai Postmodernitas, terj,

111
dari judul asli; Fifty Key Contemporary
Thinkers, oleh A. Gunawan Admiranto.
Yogyakarta: Kanisius

Ritzer, George, Stepnisky, Jeffrey, Stillman, Todd, et.al


(eds), 2005. Encyclopedia of SOCIAL THEORY,
VOLUME II. London, Thousand Oaks, New
Delhi: SAGE Publications Inc

Ritzer, George, 2008. Teori Sosial Postmodern, terj, dari


judul asli; The Postmodern Social Theory,
oleh Muhammad Taufik. Yogyakarta:
Kerjasama Kreasi Wacana dengan Juxtapose
Research and Publication Study Club

………,….2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik


Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern, Edisi Kedelapan (terj, dari Judul
Asli Eight Edition SOCIOLOGICAL THEORY)
Oleh Saut Pasairibu Rh. Widada, Eka
Adinugraha. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya


dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman
Kuno hingga Sekarang, terj.,dari Judul Asli
History of Western Philosophy and its
Connection with Political and social
Circumstances from the Earliest Time to the
Present Day, Oleh Sigit Jatmiko, dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

112
Rusmanto, Joni & Ulfaritha S. Ester, 2017. SKETSA
ANATOMI TEORI SOSIAL KONTEMPORER,
Berdasarkan Parameter Pertanyaan Yang
Diajukan & Dibahas Teoretisi, Edisi 1.
Surabaya: Pustaka SAGA

Stearns, N. Peter, Fairchilds, Cissi, Lindenmeir, Adelle,


et.al, (eds), 2001. ENCYCLOPEDIA OF
EUROPEAN SOCIAL HISTORY FROM 1350 TO
2000 VOLUME I. USA: Charles Scribner’s
Sons

Strauss, Levi, 1978. Myth and Meaning. USA: University


of Toronto

Sumaryono, E. 1993. HERMENEUTIK, Sebuah Metode


Filsafat, Cetakan pertama 1993. Yogyakarta:
Kanisius

Sperber, Dan, 2008. “Claude Levi-Strauss, a Precursor?”


dalam Journal Archive Europeennes de
Sociologie (Cambridge: Aug, 2008, Vol.49,
Iss, 2:p. 309), hlm, 309

Spivak, Chakravorty, Gayatri, (translator), 1997. Of


Grammatology, Corrected Editions, Jacques
Derrida, translated from of De la
grammatologie, Jacques Derrida, (USA: The
Johns Hopkins University Press, Baltimore
and London

113
Turner, S, Bryan, (eds), 1996. The Blacwell Companion
to Social Theory. USA: Blackwell Oxford UK &
Cambridge

Marks, Elaine, dan de Courtivron, Isabelle (eds.), 1981,


New French Feminism: An Anthology. New
York: Schocken.

Milner, Andrew, 1994. Contemporary Cultural Theory.


First published in 1994 by UCL Press Second
impression 1995 UCL Press Limited University
College London Gower Street London WC1E
6BT

Wicks, Robert (eds), 2003. Modern French Philosophy


From Existentialism to Postmodernism.
(England: Oneworld Publications (Sales and
Editorial) 185 Banbury Road Oxford OX2
7AR England www.oneworld-
publications.com)

114
TENTANG PENULIS

Joni Rusmanto dilahirkan di


Kota Palangka Raya Propinsi
Kalimantan Tengah Tanggal
10 Oktober 1974. Sejak
tahun 2006 hingga sekarang
sebagai Dosen Tetap dengan
jabatan fungsional terakhir
Lektor dengan kompetensi
keilmuwan bidang Sosiologi
dan sub spesialisasi kajian
Sosiologi Gerakan Sosial atau Social Movement Studies
dan Social Resistance Perspective di Jurusan Sosiologi
Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Palangka Raya.
Pengalaman jabatan struktural tambahan pada
tahun 2008 sampai dengan 2011 sempat dipercaya
memegang tugas Sekretaris Jurusan Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Fakultas Ekonomi Universitas Palangka
Raya.
Latar belakang pendidikan Strata Satu (S1)
Jurusan Filsafat Teologi pada Tahun Ajaran 1994/1995
diperoleh dari STT GKE Banjarmasin, Kalimantan
Selatan. Pendidikan Strata Dua (S2) Sosiologi Agama
diraih pada Program Studi Agama dan Masyarakat

115
pada tahun 2002 di Universitas Kristen Satya Wacana
(UKSW) Salatiga Jawa Tengah. Menyelesaikan
pendidikan terakhir Program Doktor Studi Ilmu-ilmu
Sosial pada Tahun Akademik 2016/2017 di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
Surabaya.
Beberapa karya tulis ilmiah yang sempat
dihasilkan antara lain; Konflik Etnik Dayak dan Madura
di Kalimantan Tengah (tahun 2001), Sistem
Perladangan dalam Masyarakat Dayak Ngaju
Kalimantan Tengah; Kajian dalam Perspektif
Sosio~Kultural (dipublikasikan dalam Jurnal Tunjung
Nyaho, Unpar, edisi 1, Vol..tahun 2009), Societas
Indonesia dalam Panorama Politik, Hukum, Budaya
dan Postmodernitas (Sketsa Metodologi Pemikiran
dalam Filsafat Fenomenologis) tahun 2010,
Manyanggar: Ritus Tolak Bala dalam Masyarakat
Dayak Ngaju (Kajian dalam Perspektif The Social
Construction of Reality Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann) tahun 2009. Dayak Kalimantan: Perjuangan
Rivalitas dan Harmonisitas; Kritik Politik Pembangunan
dalam Era Postmodernitas, tahun 2010.
Karya ilmiah yang dihasilkan dalam bentuk
buku referensi maupun monografi antara lain; Gerakan
Sosial, Sejarah Perkembangan Teori antara Kekuatan
dan Kelemahannya, Cetakan Pertama, Desember 2012,
ISBN: 978-602-18597-8-0, buku berjudul SKETSA ANATOMI

116
TEORI SOSIAL KONTEMPORER, BERDASARKAN PARAMETER
PETANYAAN YANG DIAJUKAN & DIBAHAS TEORETISI, Edisi
1, Cetakan I, Maret 2012, ISBN: 978-602-6851-68-0. Buku
ini telah dipublikasi bekerjasama Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik UPR dengan Zifatama Publishing
Surabaya.
Kemudian selanjutnya sebuah karya tulis ilmiah
berjudul The Series of Social Resistance Perspective,
SOSIOLOGI POLITIK GERAKAN SOSIAL & Pengaruhnya
Terhadap Studi Perlawanan, Edisi 2, Cetakan 1
Desember 2017, ISBN 978-602-6851-94-9, diterbitkan
oleh Pustaka Saga, Surabaya, dan yang terakhir buku
berjudul FENOMENOLOGI Dalam Penelitian Ilmu
Sosial, Edisi Pertama,Cetakan ke-1 Agustus 2018, ISBN
978-602-422-634-3, diterbitkan oleh PRENADAMEDIA
GROUP (Divisi Kencana).
Karya tulis dalam bentuk Jurnal ilmiah terakhir
publikasiinternasional berjudul; “Land Reclaiming
Movement against Palm Plantation Corporation: Case
Study of Koling Village Community, Central
Kalimantan, Indonesia” (JOURNAL OF MANAGEMENT
AND ADMINISTRATIVE SCIENCES E-ISSN: 2225-7225,
08.02.2017 Published by Pakistan Society for Business
and Research Promotion, in Vol.4 No.06 published on
Feb 19, 2017.

117
Ester Sonya Ulfaritha, M.Si,
lahir di Kota Luwuk Kabupaten
Banggai Propinsi Sulawesi
Tengah pada Tanggal 27
November 1970. Pekerjaan
sehari-hari sebagai staf pengajar
tetap/ASN di Lingkungan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Palangka Raya sejak 2008 sampai sekarang. Selain
sebagai Dosen Tetap, juga memiliki tugas struktural
tambahan sebagai Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan
mulai tahun 2018 hingga sekarang.
Pernah menempuh pendidikan dan lulus
Program Studi Strata Satu (S1) Jurusan Filsafat Agama
Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) pada
Tahun Ajaran 1989/1994. Pendidikan Strata Dua (S2)
ditempuh dalam bidang Sosiologi Agama di Program
Studi Agama dan Masyarakat pada Tahun Akademik
2000/2002 di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)
Salatiga Jawa Tengah.
Beberapa karya ilmiahlainnya berjudul, Realitas
Indonesia di Era Masyarakat Postmodern (Diskursus
Agama, Politik, Hukum, Budaya dan Postmodernitas
dalam Perspektif Fenomenologi), Jurnal Sosiologi, ISSN
22396-2274, Edisi Juli-Desember 2013. Societas
Indonesia Masa Kini: Diskursus Fenomenologi tentang
Agama, Politik, Hukum, Budaya dan Postmodernitas

118
(Jurnal INOVASI, DIKLAT Keagamaan Surabaya, Jawa
Timur, ISSN 1978-4953, Vol.7, No. 04, Oktober –
Desember 2013, Hal. 457-468).

119

Anda mungkin juga menyukai