Anda di halaman 1dari 6

Ikhwanuddin Nasution

Relasi Semiotika dengan Semantik


dan Etnografi


Halaman 99

RELASI SEMIOTIKA DENGAN SEMANTIK DAN ETNOGRAFI

Ikhwanuddin Nasution
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara


Abstract
Semiotics relation with semantics and ethnography will give the good understanding about
sociocultural aspect. Cultural signs of certain society can be same as with other society. But
as they are related to the semantics and ethnography, the signs can differ from the aim and
what being intended. Therefore, the signs are not more with denotation meaning except that
with connotation meaning. As the connotation meaning of signs related to semantics and
ethnography, there emergeness of mythology or ideology.

Key words: connotation meaning, mythology, and ideology


1. PENDAHULUAN
Semiotika telah berkembang luas setelah Saussure
menempatkannya sebagai bidang pragmatik yang
dihubungkan dengan sosial dan budaya.
Permasalahan semiotika dapat dibaca di jurnal-
jurnal ilmiah, kamus, dan ensiklopedia yang
khusus memuat hal itu. Sebaliknya, metode
semiotika telah mempengaruhi ilmu-ilmu sosial
dan pada bidang sastra dan budaya berkaitan
dengan kritik dan representasi-simbolik.
Kompleksitas semiotika sebenarnya
berpusat pada dualisme antara Saussure
(lingguistik Eropa) dengan Pierce (filsafat
Amerika). Perkembangan semiotika hingga
sekarang merupakan hasil dari dua tradisi ilmu
yang berbeda.
1. Filsafat; pemikiran filosofis mengenai
tanda sudah ada sejak Plato dan
Aristoteles kemudian dilanjutkan oleh
Aliaran Stoa, Agustin, aliran Skolastik,
Locke, Leibnis, Wolf, Lambert, Hegel,
Bolzano, hingga pada Frege, Pierce,
Wittgenstein, Husserl, Carnap, dan
Morris. Berkembang di negara-negara
Anglo-Sachsen.
2. Linguistik Eropa; meskipun berakar
dari filsafat, tetapi melepaskan diri dari
filsafat. Berawal dari Ferdinand de
Saussure kemudian Jacobson,
Trubetzkoy,
dan Hjelmslevs. Mereka ini membuka
jalan untuk berbagai penelitian ilmiah
yang bersifat semiotis. Semiotika
semacam ini berkembang terutama di
negara-negara yang berbahasa Perancis
atau beorientasi pada kebudayaan
Perancis seperti Italia, Jerman, dan Uni
Soviet (Rusia).
Tahun 1960-an kedua aliran ini justru
menjadi satu kesatuan, meskipun masih
membingungkan. Tahun 1963 Georg Klaus
memperbandingkan kedua pandangan yang
berbeda ini dan kemudian mengintegrasikannya
menjadi satu kesatuan (Trabaut 1996:6-7).
Di samping itu, adanya relasi antara
semiotika dengan semantik yang berupa ilmu
tentang arti/maksud bahasa dan etnografi yang
berusaha mempelajari peristiwa budaya dan
mendeskripsikannya. Kedua bidang ilmu ini
seakan-akan dicakup oleh semiotika modern dan
posmodernisme.

2. TOPI BASEBALL AMERIKA
Ketika semiotika diterapkan untuk meneliti tanda
dengan pendekatan sosial budaya, maka persepsi
tanda tersebut dapat membentuk berbagai makna,
bahkan dapat menjadi mitologi atau ideologi,
seperti yang pernah dilakukan Manning (2001)
dalam menganalisis topi baseball Amerika, yang
digunakan di luar permainan baseball, sehingga
membentuk makna baru. Topi-topi itu bervariasi,
baik warnanya maupun bahan bakunya. Topi
sebagai alat untuk menutup kepala ternyata dapat
membentuk karakteristik, keluarga, dan komunitas
yang membedakannya dengan komunitas lain.
Topi yang bermacam-macam warna, bahan baku,
dan bentuknya memberikan ciri tersendiri bagi
yang memakainya.
Manning (2001) melakukan pengamatan
di depan sebuah kampus di negaranya dan
menunjukkan bahwa topi yang digunakan oleh
orang-orang yang lewat di depan kampus tersebut
dapat dibeda-bedakan, sehingga membentuk ciri
dan peran orang yang menggunakannya di kampus
tersebut. Misalnya seorang profesor dapat
dibedakan dengan mahasiswa, dilihat dari topi

Ikhwanuddin Nasution
Relasi Semiotika dengan Semantik
dan Etnografi


Halaman 100
yang dipakainya. Seorang kru televisi, kontraktor,
atau pegawai kampus juga dapat dibedakan dengan
melihat topi yang dipakainya.
Topi merupakan sebuah tanda dan sebuah
tanda akan memiliki makna bila tanda tersebut
mempunyai relasi antara penanda dan petanda.
Relasi pertama itu akan menghasilkan tanda yang
dijadikan penanda pada ekspresi semiotika tingkat
kedua. Kemudian penanda tadi diberikan petanda
yang berupa sosial budaya. Hal ini jelas
digambarkan oleh Barthes (2004:161) untuk
menggambarkan mitologi yang terdapat dalam
tanda, dengan bagan:


Bahasa

Mitos
1.Penanda 2.Petanda
3.Tanda
I. Penanda

II. Petanda
III. Tanda


Berdasarkan semiologi Barthes inilah,
Manning (2001) menafsirkan pemakaian topi yang
membentuk suatu karakteristik, keluarga, dan
komunitas baru, yang membedakannya dengan
lainnya. Akhirnya, menciptakan satu ideologi atau
mitologi. Topi tidak ditafsirkan secara denotatif
tetapi konotatif. Denotasi merupakan makna yang
sebenarnya makna pada relasi kenyataan (sosial),
yang pada tingkat inilah relasi antara
semiotikadengan semantik akan tergambar.
Semantik dalam linguistik berkaitan dengan
maksud atau arti dari sebuah kata (bahasa), yang
oleh Ferdinand de Saussure dihubungkan dengan
realitas, tidak hanya kenyataan dalam ide. Relasi
inilah yang disebut oleh Saussure sebagai
semiologi. Dengan bagan berikut:

Penanda Petanda Realitas

Di samping itu, Saussure juga mempunyai
konsep tentang linguistik yang dibaginya menjadi
langue dan parole. Langue merupakan bahasa
sebagai milik masyarakat yang memiliki sistem
dan dalam semiologi langue menaruh perhatian
pada kode-kode bahasa. Parole merupakan bahasa
yang sepenuhnya individual yang dilakukan
sebagai tindakan individual-individual (Budiman
2004:38-40; Sobur 2003:50-52).
Makna denotasi bersifat langsung,
sedangkan makna konotasi bersifat tidak langsung.
Denotasi sebuah kata merupakan definisi objektif
kata tersebut, sedangkan konotasi sebuah kata
merupakan makna subjektif atau mosionalnya,
makna ini melibatkan simbol-simbol dan historis,
serta ada nilai rasa (Berger 2000:55; Sobur
2003:264).

3. RELASI SEMIOTIKA DENGAN
SEMANTIK DAN ETNOGRAFI
Perkembangan semiotika cukup cepat, hampir
semua bidang ilmu memanfaatkan ilmu ini.
Semiotika saat ini sudah merupakan semiotika
gabungan antara semiotika Saussure (lingguistik
Eropa) dengan semiotika memiliki relasi dengan
semantik dan etnografi.
Semiotika Amerika membagi tiga cabang
semiotika, terutama yang diwakili oleh Pierce,
Morris, dan Mead. Ketiga cabang ini masing-
masing menjadi suatu sistem yang berhubungan
dengan tanda, yakni:
1. Sintaksis semiotis menganalisis hubungan
antartanda. Dalam suatu sistem yang
sama, sintaksis semiotis tidak dapat
membatasi diri dengan hanya
mempelajari hubungan antartanda, tetapi
harus melihat hubungan-hubungan lain
yang pada prinsipnya bekerja sama.
Dalam situasi pembicaraan biasa tanda-
tanda dari berbagai sistem tanda berfungsi
secara bersama-sama, sistem tanda bahasa
berdampingan dengan sistem tanda
paralinguistik (getaran suara, intonasi)
dan yang lain (gerak, sikap, pancaran
mata, mimik, jarak,dll)
2. Semantik semiotis menganalisis
hubungan antara tanda, denotatum, dan
interpretasinya. Semantik ini akan
berkaitan dengan makna. Makna yang
bersifat relasional.
3. Pragmatik semiotis menganalisis
hubungan tanda dan pemakaian tanda.
Dalam pragmatik semiotis belum ada
perangkat pengertian yang tersedia.
Pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang
mendorong pengirim mempergunakan
tanda? Apa yang terjadi apabila seseorang
menerima tanda? Apa yang mendasari
penggunaan tanda dalam masyarakat
tertentu? Semuanya bersifat pragmatis.

Sumbangan penting untuk pragmatik
diberikan oleh filsuf J.L Austin (Zoest 1993:37).
Austin mempertanyakan apa sebetulnya yang
dikerjakan seseorang, ketika ia mengatakan
sesuatu? Kalau orang itu mengatakan sesuatu,
tentu saja ia selalu berbuat sesuatu, meski tidak
selalu merupakan hal yang sama. Dengan kata-kata
(tanda pada umumnya) orang itu dapat melakukan
sesuatu bahkan dapat menyebabkan terjadinya
sesuatu. Austin menyebutnya sebagai daya
ilokusioner. Zoest (1993:50) memcontohkan
peristiwa ketika dua orang sedang berjalan di
sebuah lapangan rumput dan di sana ada seekor
sapi. Yang satu berseru Sapi jantan! Yang lain

Ikhwanuddin Nasution
Relasi Semiotika dengan Semantik
dan Etnografi


Halaman 101
menangkapnya sebagai pernyataan suatu
kenyataan dan mengakatakan, Bukan tolol! Itu
sapi perah! Lalu terjadilah pertikaian semantik
antara; Ya!, Tidak!, Benar!, Salah! Mungkin juga
yang lain berseru, Sapi jantan!dengan maksud
memperingatkan kawannya. Lalu keduanya segera
berlari. Efek tersebut dapat dicapai berkat
kekuatan bahasa.
Lebih lanjut Austin (Stephanus 2001:52)
mengatakan bahwa semua ungkapan bahasa harus
dipandang sebagai tindakan. Ia membedakan
tindakan lokusi, yakni menghasilkan suatu ujaran;
tindakan ilokusi yaitu tindakan mengikat janji
dengan mengeluarkan suatu ujaran, seperti
berjanji, mengancam; dan tindakan perlokusi yakni
adanya akibat, misalnya suatu perintah
dilaksanakan oleh yang diberi perintah. Sebagai
contoh dapat dikemukakan bila seorang guru
mengucapkan kalimat, panas sekali ya, di dalam
ruangan ini. Tindakan lokusinya ialah
pengungkapan kalimat itu; tindak ilokusinya
mungkin merupakan suatu keluhan; sedangkan
tindakan perlokusinya adalah bahwa salah seorang
murid membuka jendela atau pintu sehingga ada
angin, atau menyalakan kipas angin atau mesin
pendingin udara (kalau ada).
Ketiga cabang semiotika diwujudkan oleh
Morris dalam sebuah model yang kemudian
disesuaikan oleh Klaus dengan sistem semiosis
berikut:


semantik
(makna designatum) sigmatik
(acuan, denotatum)


TANDA
tanda lain

Penafsir
(Dikutip dari Teeuw 1984:55)


Pada dimensi sintaksis, tanda
berhubungan dengan tanda-tanda lain. Dengan kata
lain, sebuah tanda akan berfungsi jika ada
hubungannya dengan tanda lain. Dimensi semantik
menunjukkan bahwa tanda memiliki konseptual
yang dihubungkan dengan referensial yang
menjadi acuan dalam kenyataan atau realita
kehidupan. Dimensi pragmatik merupakan
hubungan dengan si penafsir. Penafsir bisa saja
berbeda-beda interpretasinya terhadap sebuah
tanda. Dalam hal inilah tanda dihubungkan dengan
suatu konteks lingkungan tertentu, apakah itu
berupa karakteristik, ideologi, nitologi, atau
budaya.
Kelemahan Saussure tidak
mempertimbangkan sela antara penanda dan
petanda yang berkaitan dengan perubahan yang
ditandai, dalam jangka panjang dan hubungannya
dengan konteks budaya. Pierce, Morris, dan Mead
(aliran pragmatik) mengarahkan perhatian pada
fungsi tanda yang memiliki petunjuk komunikatif
dan menyelidiki peran sosial-budaya delam
interpretant. Di samping itu, Mead juga
menghubungkan fungsi tanda pada interaksi-
simbolik. Hal ini juga diikuti oleh Roman
Jacobson (lingkaran linguistik Moscow) dan
Umberto Eco (novelis, filosofis, dan kritikus
Italia).
Relasi semiotika dengan etnografi
terbentuk melalui interpretant tanda yang
dihubungkan dengan kebiasaaan masyarakat untuk
menafsirkan sebuah tanda atau simbol. Hubungan
itu tentunya tergantung pada penafsiran
masyarakat tertentu, dengan kata lain penafsiran
satu masyarakat dapat berbeda dengan penafsiran
masyarakat lain meskipun tanda atau simbol yang
sama. Kebanyakan hubungan ini berupa indeksikal
yakni hubungan sebab akibat dari sebuah tanda.
Misalnya lolongan anjing atau srigala pada malam
hari oleh masyarakat Meksiko Tenggara
dihubungkan dengan adanya wanita tukang sihir
yang datang pada malam itu. Untuk menafsirkan
ini Manning (2001) menghubungkannya dengan
tiga tingkatan maksud, yakni denotasi (koneksi
sempit), konotasi (koneksi luas), dan ideologi
(koneksi yang lebih luas) atau oleh Barthes (2004)
disebut mitologi.
Walaupun Barthes bertolak dari Saussure
dengan proses penandaan, sistem penanda dan
petanda, namun Barthes memberi tingkatan pada
sistem itu. Pada tingkatan itu terdapat pemaknaan
bahasa tingkat pertama adalah bahasa sebagai
objek dan pada tingkat kedua disebut metabahasa.
Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan
penanda dan petanda tingkat pertama petanda baru
yang kemudian memiliki penanda baru sendiri
dalam suatu sistem tanda baru dalam taraf yang
lebih tinggi. Sistem tanda pertama disebut
denotatif/terminologi dan sistem tanda kedua
disebut konotatif/retoris/mitologi. Sistem
pemaknaan semiotika Barthes ada pada tingkat
kedua.
Barthes (Kurniawan 2001:67) sependapat
dengan Hjemslev bahwa sistem bahasa dapat
dipilah menjadi dua sudut artikulasi, sebagai
berikut:

Konotasi metabahasa
Denotasi objek bahasa
E C
E C
E C
E C



Ikhwanuddin Nasution
Relasi Semiotika dengan Semantik
dan Etnografi


Halaman 102
Sistem bahasa biasanya mengenal tanda
dalam ekspresi (E) yang memiliki relasi (R)
dengan content (C) atau isi. Pada artikulasi
pertama (sebelah kiri), sistem primer (ERC)
mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem
kedua (ERC) R C, di sini sistem pertama
berkorespodensi dengan tingkat denotasi dan
sistem kedua dengan tingkat konotasi. Pada
artikulasi kedua (sebelah kanan), sitem primer
(ERC) mengkonstitusi tingkat isi untuk sistem
kedua E R (ERC). Di sini, sistem pertama
berkorespondensi dengan objek bahasa dan sistem
kedua dengan metabahasa (metalinguistik). Dalam
hal ini, Barthes telah menghubungkan semiotika
dengan konteks budaya atau dengan etnografi.
Relasi semiotika dengan etnografi sampai
pada kode-kode yang terdapat dalam masyarakat
pengguna tanda. Kode-kode itu sebenarnya
merupakan sistem luar dari tanda itu sendiri, yang
oleh Barthes disebut ekstra-linguistik yang
substansinya adalah objek atau imaji. Barthes
(Kurniawan 2001: 69-70; Selden 1991:80-81)
mengatakan bahwa setiap tanda terdapat lima jenis
kode, yakni:
1. Kode hermeneutik berhubungan dengan
teks-teks (enigma) yang timbul ketika
teks mulai dibaca. Siapakah tokoh ini?
Bagaimanakah peristiwa itu berlanjut?
Jadi, didaftarkan beragam istilah, teka-
teki yang dapat dibedakan, diduga,
diformulasikan, dipertahankan, dan
akhirnya disingkap. Apa sebenarnya
istilah atau teka-teki tersebut. Kode ini
disebut juga Suara Kebenaran (The
voice of Truth).
2. Kode proaretik (Suara Empirik) yang
merupakan tindakan naratif dasar.
Tindakan-tindakan yang dapat terjadi
dalam beragam sekuen yang mungkin
diindikasikan.
3. Kode semik (petanda dari konotasi atau
pembicaraan yang ketat) merupakan kode
relasi penghubung (medium relatic code)
yang merupakan sebuah konotator dari
orang, tempat, objek, yang pertandanya
adalah sebuah karakter (sifat, atribut,
predikat).
4. Kode simbolik (tema) yang bersifat tidak
stabil dan dapat dimasuki melalui
beragam sudut pendekatan. Kode ini
berhubungan dengan polaritas
(perlawanan) dan antitesis (pertentangan)
yang mengizinkan berbagai relasi dan
pembalikan. Kode simbolik ini
menandai sebuah pola yang mungkin
diikuti orang.
5. Kode budaya (suara ilmu) sebagai
referensi kepada sebuah ilmu atau
lembaga pengetahuan (fisika, psikologi,
sejarah, dll.) yang dihasilkan oleh
masyarakat. Kode ini akan mengacu pada
budaya yang ada dalam masyarakat dan
diekspresikan dalam masyarakat tersebut.

Relasi semantik dengan etnografik
terbentuk karena ahli etnografi memanfaatkan
bahasa/semantik linguistik sebagai alat untuk
menimbulkan data yang tersembunyi dalam sebuah
teks atau artifak, sedangkan data yang masih hidup
dalam tingkah laku masyarakat dipergunakan
sosiolinguistik. Kalau diberi bagan relasi semiotika
dengan semantik dan etnografi, maka akan
tergambar sebagai berikut:

etnografi






semiotika semantik
maksud/arti



4. LOOSE SEMIOTICS, POSTSEMIOTIKA,
ATAU HIPERSEMIOTIKA
Yang menarik dari tulisan Manning (2001) adanya
perkembangan semiotika yang mengarah kepada
hilangnya makna dari tanda tersebut. Tanda hanya
mereferentasikan tanda itu sendiri, atau tanda itu
tidak lagi menggambarkan suatu realita atau
kenyataan sosial. Tanda lebih jauh berkembang
meninggalkan logika semiotika itu sendiri. Hal ini
disebut Manning sebagai loose semiotics. Hal ini
dapat disebut dengan postsemiotika atau
hipersemiotika.
loose semiotics itu terjadi karena
interaksionisme-simbolik yang mempergunakan
tanda secara bebas tanpa memperhitungkan
referensi dan interpretasi. Geertz, Gusfield,
Richard Merelman, Murray Edelman, dan Lauren
Edelman ketika membuat laporan penelitian
terkadang melabrak kosa kata semiotika, yang
menjauhkan pengertian tanda dari referensi yang
dimaksud masyarakat tempat mereka meneliti.
Mereka sering mempertimbangkan interpretasi
mereka sendiri tanpa mengaitkannya dengan sosial
budaya setempat.
Pada perkembangan berikutnya, the
artificial intelligence (AI) group, justru
melepaskan semiotika itu dari logika, yang

Ikhwanuddin Nasution
Relasi Semiotika dengan Semantik
dan Etnografi


Halaman 103
menyatakan bahwa logika dapat membuat
kekeliruan. Misi AI sama dengan ilmu sosial dan
antropologi budaya yaitu berusaha melakukan
tiruan dari bagaimana orang-orang berpikir,
bagaimana asumsi budaya, tindakan, dan
praktiknya dilakukan oleh masyarakat secara
budaya penuh arti. Dalam hal ini, terlihat
bagaimana persimpangan antara semiotika dengan
semantik dan etnogrfi. Jadi, sebuah tanda ditiru
dan ditiru terus menerus, hal inilah yang disebut
oleh Jean Baudrillard simulacra atau
simulacrum.
Kekuatan simulacrum adalah kemampuannya
memproduksi tanda-tanda yang menyimpang dari
rujukan (referent) atau dari yang asli, dengan
menciptakan tanda-tanda sebagai topeng (mask),
sebuah strategi penyamaran tanda (disgusing),
yang dengan cara itulah kemampuan dunia kopi,
ikon, dan reproduksi dapat diganggu, serta
kestabilan dunia representasi dapat disubversi.
Baudrillard tidak saja melihat simulakrum sebagai
penyimpangan, deformasi, atau penyelewengan
ikonik dari realitas rujukan, ia bahkan melihatnya
tidak lagi mempunyai relasi dengan dunia realitas
itu sendiri (Piliang 2004:62).
Baudrillard (Irawanto 2003:20; Piliang
2003:42-43) menegaskan adanya empat fase
suksesi dari citra. Hal ini terjadi karena
kompleksitas relasi antara tanda, citra, dan realitas.
Fase-fase itu bertautan dengan tanda atau suksesi
citra yang berdistansi dengan objek representasi
(referent) melalui tahapan signifikan dan nilai:
1. It is the reflection of basic reality
2. It mask and preverts a basic reality
3. It masks the absence of a basic reality
4. It bears no relation to any reality
whatever; it is its own pure simulacrum

Pertama, sebuah citra dikatakan
merupakan refleksi dari realitas, yang didalamnya
sebuah tanda merepresentasikan realitas
(representation). Kedua, citra menopengi dan
memutar balik realitas, seperti yang terdapat pada
kejahatan. Ketiga, citra menopengi ketidaan
realitas, seperti yang terdapat pada ilmu sihir.
Keempar, citra tidak berkaitan dengan realitas apa
pun, disebabkan citra merupakan simulakrum
dirinya sendiri (pure simulacrum), yang prosesnya
disebut simulasi. Dalam hal ini, sebuah tanda tidak
berkaitan dengan realitas apa pun di luar dirinya,
oleh karena ia merupakan salinan (copy) dari
dirinya sendiri.
Manning juga menjelaskan bagaimana AI
menggambarkan komputer (mesin) yang dapat
menciptakan simulasi-simulasi, yang membuat
semiotika makin sulit untuk menghubungkan
sebuah tanda dengan perangkat lunak yang
terdapat dalam komputer dan dengan tanda lain.
Seseorang dapat bermain-main dengan tanda tanpa
ketakutan untuk mengubah kenyataan, sebab
kenyataan dapat diinterpretasikan atau
dimanipulasi sesuai dengan kehendak orang
tersebut, semuanya dikendalikan oleh mouse.
Ikon yang ada dalam tampilan layar
komputer juga dapat bermacam-macam dengan
makna yang berbeda-beda, tergsntung pada orang
yang mempunyai komputer tersebut. Ikon-ikon itu
dapat ditampilkan bersama-sama, tanpa ada
kaitannya satu sama lain, seperti kata-kata, gambar
bintang film, gambar keluarga, gambar kita
sendiri, gambar karton, bentuk-bentuk abstrak, dan
pemandangan. Inilah simulasi yang merupakan
perspektif perasaan dan kreasi.
Tatangan semiotika adalah banyaknya
peniruan dan tindakan pengulangan, yang bukan
berarti tidak dapat dipahami. Pemahaman
memerlukan teori fungsi tanda yang dihubungkan
pada konsep sosial dasar seperti diri, peran,
identitas, dan dasar-dasar individu lainnya. Dalam
hal ini, hubungan individu dengan kelompok
sebagai suatu kultur.
Alan Woife sependapat dengan Mead
yang menyatakan bahwa komputer bagaimanapun
juga hanyalah ciptaan manusia. Manusialah yang
memprogram, komputer hanya mengikuti aturan
dan prosedur. Hal ini menandakan suatu format
simulasi hubungan sosial dengan kecerdasan atau
intelegensi manusia. Adanya penciptaan perangkat
lunak dan perangkat keras yang seolah-olah
mengenal aturan dan prosedur. Interaksi yang
diperagakan komputer ini merupakan semiotika
sebagai sosial metalinguistik.
Layar yang ada pada komputer, televisi,
dan internet merupakan perpanjangan komunikasi,
tetapi hal ini dapat juga dimanipulasi dan dapat
dibuat efek-efek tertentu sehingga tampilan seolah-
olah nyata. Layar menampilkan objek yang
menjadi interaksi sebagai bagian dari suatu dialog
yang dilakukan dengan teknologi sesuai dengan
selera dan antropomorfemis. Layar sebagai dunia
digital sekarang ini menjadi kapsitas untuk
mengubah bentuk pesan ke dalam banyak format.

5. SIMPULAN
Semiotika yang dikaitkan dengan semantik akan
menunjukkan makna denotatif dan konotatif,
sedangkan semiotika yang dihubungkan dengan
etnografi akan mengarah pada kode-kode, yakni
kode hermeneutik, proaretik, semik, simbolik, dan
budaya. Perkembangan semiotika saat ini sudah
mencapai tingkat yang mengaburkan makna yang
biasa disebut loose semantic, hipersemiotika, dan
postsemiotika.


Ikhwanuddin Nasution
Relasi Semiotika dengan Semantik
dan Etnografi


Halaman 104
DATAR PUSTAKA

Berger, Arthur Asa. 2000. Tanda-Tanda dalam
Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya.

Barthes, Roland. 2004. Mitologi. Terj. Nurhadi dan
A. Sahabul Millah. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.

Budiman, Kres. 2004. Semiotika Visual.
Yogyakarta: Buku Baik.

Irawanto, Budi. 2003. Sastra dan Simulacra.
Dalam Sirojuddin Arif (Penyunting). Sastra
Interdisipliner. Yogyakarta: Qalam.

Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes.
Mangelang: Indonesia Tera.

Manning. Peter K. 2001. Semiotics, Semantics,
and Ethnography. Dalam Paul Atkinson,
dkk. (ed). Handbook of Ethnography.
London, Thousand Oaks, New Delhi:
SAGE Pulications.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir
Cultural Studies Atas Matinya Makna.
Yogyakarta: Jalasutra.

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas: Realitas
Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika.
Yogyakarta: Jalasutra.



Selden, Raman. 1991. Pandauan Pembaca Teori
Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.

Stephanus, Djanawai. 2001. Bahasa dan
Kekerasan. Dalam Sunjati AS, dkk (ed).
Manusia dan Dinamika Budaya.
Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM
bekerjasama dengan Bigraf Publishing.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.

Trabaut, Jurgen. 1996. Dasar-dasar Semiotika.
Diterjemahkan oleh Sally Pattynasarany.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.

Zoest, Aart van. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam
Kajian Semiotik. Penerjemah Manoekmi
Sardjoe. Jakarta: Intermasa.

Zoest, Aart van.1993. Semiotika: tentang Tanda,
Cara Kerjanya dan yang Kita Lakukan
dengannya. Penerjemah Ani Soekawati.
Jakarta: Sumber Agung

Anda mungkin juga menyukai