Sistem kepercayaan
Masyarakat Lembah Sungai Indus telah mengenal cara penguburan jenazah, tetapi, hal ini
disesuaikan dengan tradisi suku bangsanya. Di Mohenjodaro contohnya, masyarakatnya melakukan
pembakaran jenazah. Asumsi ini didapat karena pada letak penggalian Kota Mohenjodaro tidak terdapat
kuburan. Jenazah yang sudah dibakar, lalu abu jenazahnya dimasukkan ke dalam tempayan khusus.
Namun ada kalanya, tulang-tulang yang tidak dibakar, disimpan di tempayan pula. Objek yang paling
umum dipuja pada masa ini adalah tokoh “Mother Goddess”, yaitu tokoh semacam Ibu Pertiwi yang
banyak dipuja orang di daerah Asia Kecil. Mother Goddess digambarkan pada banyak lukisan kecil pada
periuk belanga, materai, dan jimat-jimat. Dewi-dewi yang lain nampaknya juga digambarkan dengan
tokoh bertanduk, yang terpadu dengan pohon suci pipala. Ada juga seorang dewa yang bermuka 3 dan
bertanduk. Lukisannya terdapat pada salah satu materai batu dengan sikap duduk dikelilingi binatang.
Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gambar lingga yang merupakan lambang Dewa Siwa.
Namun, kita juga tidak dapat memastikan, apakah wujud pada materai tersebut menjadi objek pemujaan
atau tidak. Meskipun demikian, dengan adanya bentuk hewan lembu jantan tersebut, pada masa
kemudian, bentuk hewan seperti ini dikenal sebagai Nandi, yaitu hewan tunggangan Dewa Siwa.
2.Tatanan politik
Sistem pemerintahan pada masa itu belum diketahui secara pasti.
Banyak para arkeolog memperkirakan kalau sistem pemerintahan yang dianut oleh bangsa ini
ialah Sistem pemerintahan berbentuk kerajaan. Mohenjodaro Harappa dipimpin oleh seorang raja
yang didampingi oleh penasehat, baik di bidang politik maupun keagamaan. Kekuasaan berada sepe
nuhnya di tangan raja dan diwariskan kepada keturunannya yang laki-laki
Kondisi kehidupan perpolitikan pada masa transisi (pasca Harappa hingga masa Arya),
tampaknya mulai terganggu dengan menyusutnya penduduk yang tinggal di kawasan Lembah Indus
selama paruh kedua millenium II SM. Mungkin saja terjadi karena pendukung kebudayaan Indus itu
musnah atau melarikan diri agar selamat ke tempat lain, sementara para penyerang tidak bermaksud untuk
meneruskan tata pemerintahan yang lama. Hal ini bisa terjadi karena diasumsikan tingkat peradaban
bangsa Arya yang masih dalam tahap mengembara, belum mampu melanjutkan kepemimpinan
masyarakat Indus yang relatif lebih maju, dilihat dari dasar kualitas peninggalan keb udayaan yang
mereka tinggalkan.
3. Arsitektur dan prasarana kota
Mohenjo-daro, 25 km di barat daya Larkana, adalah pusat Peradaban Lembah Indus 2600 SM-
1900 SM Mohenjo-daro memiliki bangunan yang luar biasa, karena memiliki tata letak terencana yang
berbasis grid jalanan yang tersusun menurut pola yang sempurna. Pada puncak kejayaannya, kota ini
diduduki sekitar 35.000 orang. Bangunan-bangunan di kota ini begitu maju, dengan struktur-struktur yang
terdiri dari batu-bata buatan lumpur dan kayu bakar terjemur matahari yang merata ukurannya.
Bangunan-bangunan publik di kota ini adalah lambang masyarakat yang sangat terencana. Di
dekat lumbung tersebut ada sebuah bangunan publik yang pernah berfungsi sebagai pemandian umum
besar, dengan tangga yang turun ke arah kolam berlapis bata di dalam lapangan berderetan tiang. Wilayah
permandian berhias ini dibangun dengan baik, dengan lapisan tar alami yang menghambat kebocoran, di
samping kolam di tengah-tengah. Kolam yang berukuran 12m x 7m, dengan kedalaman 2.4m ini mungkin
digunakan untuk upacara keagamaan atau kerohanian.
Di dalam kota, air dari sumur disalurkan ke rumah-rumah. Beberapa rumah ini dilengkapi kamar
yang terlihat ditetapkan untuk mandi. Air buangan disalurkan ke selokan tertutup yang membarisi jalan-
jalan utama. Pintu masuk rumah hanya menghadap lapangan dalam dan lorong-lorong kecil. Ada berbagai
bangunan yang hanya setinggi satu dua tingkat.
Mohenjo-daro adalah sebuah kota yang cukup terlindungi. Walau tak ada tembok, namun terdapat
menara di sebelah barat pemukiman utama, dan benteng pertahanan di selatan. Perbentengan tersebut, dan
struktur kota-kota lain di Lembah Indus seperti Harappa, menimbulkan pertanyaan apakah Mohenjo-daro
memang pusat administrasi. Harappa dan Mohenjo-daro memiliki arsitektur yang mirip, dan tidak
berbenteng kuat seperti situs-situs lain di Lembah Indus. Jelas sekali dari tata ruang di semua situs-situs
Indus, bahwa ada suatu pusat politik atau administrasi, hanya saja tidak jelas lagi sejauh mana jangkauan
dan fungsi pusat administrasi tersebut.
Mohenjo-daro telah dimusnahkan dan dibangun kembali setidaknya tujuh kali. Setiap kali, kota
baru dibangun terus di atas kota lama. Banjir dari Sungai Indus diduga menjadi penyebab utama
kerusakan. Kota ini terbagi atas dua bagian, yaitu benteng kota dan kota hilir. Kebanyakan wilayah kota
hilir masih belum ditemukan. Di benteng kota terdapat sebuah pemandian umum, struktur perumahan
besar yang dirancang untuk menempatkan 5.000 warga, dan dua buah dewan perhimpunan besar.
Mohenjo-daro, Harappa dan peradaban masing-masing, lenyap tanpa jejak dari sejarah sampai ditemukan
kembali pada 1920-an. Penggalian besar-besaran dilakukan di situ pada 1920-an, namun tidak ada
penggalian secara mendalam yang dilakukan lagi sejak tahun 1960-an.
o CITADEL
- Citadel Mohenjodaro terletak di tengah (pusat) kota, untuk tempat kegiatan keagamaan dan pemerintah
-Citadelnya meliputi tangki, pemandian umum granary(lumbung raksasa),
hall(ruang raksasa), dan struktur kediaman yang besar.
Berikut merupakan peninggalan sejarah di Mohenjodaro berupa artefak dan patung
Sumber bacaan
T.S.G. Mulya. 1952. India:sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan.Jakarta: Balai Pustaka.
Burton Stein. 2010. History of India. UK: Black Well’s.