Anda di halaman 1dari 6

Jurnal Ilmiah Populer BENDE

Nilai Asli Ke”Tradisional”an,


2005 No. 25 (Taman Budaya Jawa
Persoalan Mendasar
Timur Edisi Juni, Halaman 3 – 9),
Perkembangan Seni (Tari) Kita
ISSN 1693-3281/ Nasional

NILAI “ASLI KE-TRADISIONAL-AN”


PERSOALAN MENDASAR
EKSISTENSI SENI (TARI) KITA

Dr. Wahyudiyanto, M.Sn.


Pengajar pada Program Studi Seni Tari
STK Wilwatikta Surabaya
Ilustrasi

Mengangkat kembali pernyataan “kami memang ingin menawarkan nilai kethoprak


tradisional yang masih asli” ke dalam sebuah diskusi kiranya cukup menarik dalam
perspektif wacana pengkajian seni pertunjukan (tari) kita. Pernyataan tersebut dapat
dimaknai sebagai ungkapan politis dan atau sebuah komitmen. Kenapa demikian. Karena
pernyataan tersebut muncul dari seorang leader. Pimpinan perkumpulan ketoprak Siswo
Budoyo yang pernah menorehkan nama besar dalam blantika seni pertunjukan tradisional
komersial di tanah air. (lihat bende no. 18 hal. 58 draf 4 baris kedua dari bawah).
Pernyataan yang bernuansa politis dan atau komitmen tersebut sebenarnya kurang atau
kalau boleh dikatakan tidak berpihak pada harapan keberlanjutan kehidupan kesenian
kita.
Seorang leader atau pimpinan dalam konteks pemimpin tradisional, kendatipun
berangkat dari latar belakang rakyat kebanyakan, oleh para peneliti didapati ciri khas yang
selalu ingin mempersonifikasikan diri sebagai seorang pionir (priyayi). Lebih lanjut
dikatakan bahwa pemegang manajemen Kebapakan (juragan) seperti ini, manajerial yang
dibangun kurang atau bahkan tidak didukung oleh perangkat sistem yang memadai
sebagai layaknya sebuah organisasi yang melayani publik secara luas dan beragam. Oleh
karena itu sistem manajemen memusat pada pimpinan (ketua, sekretaris dan bendahara
dipegang langsung oleh manajer/pimpinan) secara psikologis telah menciptakan
karakteristik relasi yang bersifat herarkis antara majikan dan buruh, mandor dan kuli,
superior dan inferior, atasan dan bawahan yang menafikkan wacana dialogis. Pimpinan
atau manajer hanya berhubungan langsung dengan sutradara, koordinator artis dan
beberapa seksi yang berkenaan dengan penyiapan pemanggungan. Pimpinan kurang atau
bahkan nyaris tidak pernah berhubungan langsung dengan para artis seniman yang
dibawahinya, dan bahkan mungkin tak pernah melihat bagaimana awak panggungnya
ketika bermain akting di atas pentas. Semua diserahkan kepada sutradara, baik dalam hal
keartistikan, penentuan lakon cerita yang dipentaskan.
Sementara sutradara tradisional ini juga seringkali sudah merasa mampu karena
menganggap dirinya sebagai pewaris kedudukan sutradara dari para pendahulunya tanpa
ada sikap kritis sebagai koreksi bagaimana melihat prospek ke depan. Apalagi sutradara
ikut terlibat sebagai artis yang seringkali juga sebagai peran utama. Merasa bangga dengan

1
peran yang ditentukan dan dibawakan sendiri. Dalam hubungan ini maka struktur
perkumpulan kesenian panggung tradisional komersial seperti ini tanpa ada dukungan tim
kreatif, distributor, humas, dan tim evaluasi yang sebenarnya sangat efektif dalam
pengembangan studi pasar. Sistem menajemen seperti ini mengunci keterbukaan terhadap
kemungkinan-kemungkinan tindakan yang dapat menggerakkan berbagai aspek
pengembangan. Oleh karena itu sekali lagi pernyataan “kami memang ingin menawarkan
nilai kethoprak tradisional yang masih asli” merupakan politisasi dari ketidak-mampuan
mengelola pertunjukan komersial mengimbangi hiruk pikuknya media hiburan yang terus
menerus mengikuti arus global.
Namun demikian ungkapan tersebu juga bisa merupakan komitmen seorang pionir
(pemimpin yang priyayi) perkumpulan pertunjukan tradisional. Sebuah komitmen yang
berangkat dari eophoria ”adi luhung”. Adi luhung sebagai nilai filosofis yang kemudian
menjadi mitos diyakini merupakan nilai tertinggi dari sebuah kebudayaan masyarakatnya.
Kesenian sebagai kristalisasi tata nilai adi luhung etalasinya secara terus menerus
dipercaya dapat memberikan pendidikan budi pekerti, filter terhadap kebudayaan asing,
dapat menumbuhkan ketentraman, kenyamanan dan pelestariannya merupakan
penghormatan kepada sang leluhur. Dalam konteks ini maka pelestarian hanya
membutuhkan otentisitas maksimal dalam penerapan obyektifikasi material teknis dan
aspek spsikologisnya. Kreatifitas justru dianggap penyimpangan dari nilai kuno, eksotis
dan ke-asli-an.
Sudut pandang kedua-duanya itu secara terpisah atau bersama-sama juga
menjangkiti para seniman, pengelola kesenian, patron kesenian, pejabat yang mengurusi
kesenian, bahkan mahasiswa, pelaku seni yang kesemuanya berorientasi pada seni dalam
konteks seni tradisional pada umumnya. Ungkapan yang berdalih pada pelestarian
kesenian tradisional sepertinya merupakan kata sakti yang tidak dapat direvisi lagi.
Ungkapan yang sudah given, selesai dan mutlak. Lebih-lebih kata “ pelestarian seni
tradisional “ diucapkan oleh seorang yang memiliki akses kultural atau politis. Muatan yang
dibawa mengandung makna wajib bagi komunitas dibawahnya.
Terdapat Contoh-contoh menarik dari negeri seberang. Cina dan Jepang misalnya
adalah dua negara yang dalam kajian ini patut dijadikan sample tentang pelestarian budaya
(seni) tradisional. Warisan kejayaan masa lampau (termasuk seni pertunjukan) dijadikan
barang antik oleh negara sebagai aset yang harus tetap dipertahankan keasliannya. Kata
keaslian di sini benar-benar dijadikan orientasi pelestarian. Sehingga dalam cultural
history masih dapat dirunut tingkat keotentikan dan keasliannya. Bukan hanya seniman
dan komunitasnya saja, tetapi negara mempunyai komitmen yang kuat atas pelestarian
kejayaan masa lampau.
Dalam kehidupan kesenian di negara tersebut sangat disadari terdapat dikotomi
yang mendalam antara tradisional dan non tradisional. Masyarakatnya sekarang tidak mau
dibayang bayangi oleh kejayaan masa lampu dengan dalih mengembangkan kesenian
tradisionalnya. Aktualisasi diri yang individual kontemporer mendapatkan tempat yang
semestinya. Maka keaslian tradisional secara sadar oleh seniman, masyarakat dan negara
diposisikan sebagai musium hidup yang difungsikan sebagai bahan kajian atas keberadaan
budaya masa lampau. Secara ketat dipertahankan tingkat keasliannya dari pencemaran-
pencemaran kreativitas.

2
Tradisionalitas Sebagai produk hegemonik
Dalam kasus Kethoprak komersial, ludruk, wayang orang panggung, dan seni
pertunjukan (teater) tradisional sejenis hendaknya diposisikan dengan cara berbeda
dengan pelestarian seperti contoh-contoh yang baru saja diketengahkan. Hal mana harus
dimulai dari merunut kesejarahan kehidupan, asal-usul, geopolitik yang melatari
kemunculan seni pertunjukan tersebut. Lahirnya setiap kesenian (tradisional) memiliki ciri
unik yang berbeda-beda. Kalau kita ambil contoh kethoprak, maka sejarah kehadirannya
tidak dapat kita lepaskan begitu saja dari ketika kita harus mempersoalkan kehidupan
selanjutnya. Ketoprak lesung diduga sebagai awal munculnya ketoprak-kethoprak yang
datang kemudian. Sebagai awal kemunculan keberadaan ketoprak lesung sebagai
ungkapan rakyat bersifat katarsis. Tetapi pada perkembangan berikutnya ungkapan
ketoprak justru sebagai penyambung kemauan kekuasaan.
Hegemoni kekuasaan keraton kepada rakyat yang dikuasai meliputi seluruh
tatanan nilai-nilai, maka kebudayaan besar yang adi luhung menjadi tatanan umum dan
harus dipakai sebagai acuan prilaku masyarakat di lingkungan kekuasaan keraton.
Kebudayaan kecil tinggal puing-puing di pelosok-pelosok yang hampir tak terjangkau oleh
dominasi kebudayaan besar. Kethoprak yang nota bene kesenian rakyat selanjutnya justru
mendukung dan menyuarakan kebudayan besar dengan mengambil alih kekuasaan
keraton melalui cerita-cerita lakon. Cerita kethoprak menjadi istana sentris. Mengisahkan
tentang raja-raja, para satria, kehidupan para bangsawan, putra-putri di lingkungan
tembok keraton dengan berbagai dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan bagaimana
kebudayan besar harus dipelajari, ditiru dan dipakai sebagai referensi tata laku di
masyarakat terkecil sekalipun. Masyarakat di luar tembok keraton menjadi sangat
terinspirasi oleh kehadiran kethoprak tersebut.
Masyarakat inferior yang sudah tidak menganggap lagi kebudayaan superior
sebagai bentuk intervensi terhadap kebudayan kecil di masyarakatnya melihat bahwa
kekuasaan keraton dengan kebudayaanya adalah ideologi yang harus diamini dan diimani
juga. Diyakini sebagai kebudayaannya sendiri meskipun ia tinggal di desa terpencil
sekalipun. Maka dalam waktu yang relatif cepat kebudayaan keraton merasuk ke dalam
wilayah-wilayah ideologi masyarakat desa di luar tembok keraton dan menjadi kemapanan
nilai-nilai di daerah kekuasaannya.
Hegemoni yang kemudian menjadi ideologi bersama ini mengangkat perilaku
kesederhanaan kehidupan rakyat ke tingkat kebudayaan yang lebih rumit. Cita-cita untuk
menjadi priyayi tumbuh pesat meskipun pada tingkat tingkah laku: sopan santun,
menggunakan uda negara, berbahasa dengan tingkatan yang herarkhis dan sebagainya dan
sebagainya. Cita-cita itu diupayakan dengan berbagai cara seperti menirukan perilaku para
petinggi di desanya yang juga meniru para petinggi di tingkat yang lebih tinggi.
Menyaksikan hajatan-hajatan besar di perkotaan yang diadakan oleh kalangan bangsawan,
dan melalui karya-karya sastra para pujangga keraton.
Ketika kethoprak, wayang orang, hadir di tengah-tengah masyarakat umum
eophoria tentang nilai adi luhung mendapatkan jalannya untuk memasuki ruang imajinasi
masyarakat. Dambaan masyarakat umum atas nilai alus produk kebudayaan besar sebagai
acuan perilaku terpancar dari para awak kethoprak. Kendatipun sebatas di atas pentas
perilaku para awak panggung sungguh merupakan makna dari kebudayaan yang lebih
tinggi yang dapat dipakai sebagai kaca benggala kehidupan rakyat. Oleh karena itu sangat

3
wajar tatkala kethoprak hadir di ruang sosio kultural hegemonik mendapatkan tempat
yang luar biasa.
Ideologi sebagai akibat hegemoni kekuasaan secara halus menghipnotis
masyarakat. Masyarakat terpuaskan dengan kehadiran nilai-nilai di ruang imajinasi atas
kerinduan-kerinduan dan angan-angan tentang kehidupan baik dan buruk yang telah
dikonstruksi oleh kekuasaan tersebut. Dengan demikian ruang realitas dengan ruang
imajinatif menyatu dalam sebuah momen hegemonik sebuah kekuasaan. Dalam konteks ini
kebudayaan besar telah menyatukan ruang-ruang tersebut ke dalam satu dimensi yang
disebut sebagai masa kejayaan nilai-nilai. Kesenian tradisional dengan kemasannya
mendapatkan tempat dan penerimaan yang relatif besar dari masyarakatnya.
Ketika republik ini hadir dengan membawa modernisasi di segala bidang, ketika
hegemoni runtuh, kemapanan digugat, segala sesuatu sebagai produk masa lalu dianggap
usang dan Tidak berlaku lagi. Generasi baru tidak lagi mau mengenal, menghayati dan
mengamalkan warisan leluhurnya. Para kawula muda kita justru mengimani produk global
yang dibawa oleh teknologi informasi yang saat ini menjadi kiblat semua ideologi. Kapital
mendominasi seluruh ruang dari segala dimensi. Segala bentuk hiburan yang menghentak,
menyeruak memasuki hunian kita dengan berbagai tawaran model kemasan, menghibur,
merupakan pilihan-pilihan menarik dan yang penting sangat murah.
Pada kasus ini terjadi titik balik. Kesenian tradisional menjadi tertuduh sebagai
institusi yang hanya menjadi beban pemerintah karena tidak presentatif lagi. Senimannya
dicemooh karena tidak kreatif lagi, loyo, lesu darah, hanya berangan angan dan selalu
mimpi indah pada kejayaan masa lampau saja tanpa berbuat sesuatu untuk memenuhi
selera jaman. Maka dalam terminologi ini kesenian tradisional harus dilestarikan, harus
diuri-uri, dijaga dari kepunahan. Berbagai proyek negara kemudian diterapkan untuk
membangun angan-angan tersebut. Uang rakyat (atas nama negara) dikucurkan untuk
menopang terus kehidupannya. Diangkat awak wayangnya menjadi pegawai negeri.
Berbagai fasilitas diciptakan seperti festival-festival, pekan budaya, dan apa lagi bentuk
dan jenis kegiatan diperuntukkan menyangga keberlangsungan kehidupannya.
Kemandegan, keloyoan, tidak kreatif, seni nostalgik, seniman yang kaku, yang
dituduhkan pada seni pertunjukan tradisional tersebut bisa saja ditimpakan kepadanya.
Tetapi kesalahan tidak sepenuhnya melekat pada seni tradisional dan pelakunya itu.
Kesenian adalah produk Jaman, Ketika jaman bergulir maka terdapat selisih nilai yang
awal mula dibangun oleh situasi psikologis masyarakatnya. Ketika selisih semakin tajam,
maka nilai seni berseberangan dengan nilai psikologi masyarakatnya. Dan kenyataan
empiris demikian tidak cukup hanya dijawab dengan pelestarian, pengembangan yang
hanya berujung pada pengemasan bentuk fisik saja. Kalau diperlukan adalah menciptakan
budaya baru.
Stagnasi nilai-nilai di tengah masyarakat ini tidak atau kurang disadari oleh para
pemegang strategi kebudayan di tingkat lokal merupakan faktor penting penyebab
kemunduran eksistensi seni tradisional. Sebagai ekses dari budaya global yang distortif
menyebabkan perbedaan mencolok antara kondisi psikologis masyarakat dengan kenyatan
tata nilai yang tercermin dalam kesenian tradisional. Keterbelahan tata nilai inilah yang
secara berangsur-angsur dipastikan akan menggeser keberpihakan masyarakat atas tata
nilai yang dianut kepada budaya baru yang sedang dan terus menggodanya. Kondisi rapuh

4
seperti ini seni tradisional terkesan kedodoran dan kehidupannya menjadi kembang
kempis.

Tradisionalitas sebagai persoalan dasar eksistensi Seni (tari)

Baik dari sisi kualitas penggarapan, kuantitas penyajian tetap dan terus diupayakan
perbaikannya dan tingkat apresiasi masyarakat yang cukup signifikan dipakai sebagai
dasar untuk mengatakan bahwa seni tradisional tidak akan punah dari masyarakatnya.
Memang benar terlihat di permukaan bahwa seni tradisional masih lekat dengan
masyarakatnya, masih diminati penggemarnya, masih laku dalam kegiatan-kegiatan
terencana oleh institusi pemerintah. Yang perlu dicatat adalah untuk siapa kesenian
tradisional itu selalu dihadirkan. Untuk seniman sendirikah, untuk proyek negarakah, atau
untuk siapa adalah lingkaran yang sulit dikatakan.
Secara substansial ekstrim sebenarnya seni tradisional sudah mati, sudah
punah dan atau memang selayaknya harus mati dan biarkanlah punah. Tradisional adalah
istilah yang dipakai untuk membuat image hidup seni produk masa lampau sebagai
tanggung jawab moral generasi kita atas penghormatan kepada leluhur. Bukan berarti
jelek atau tidak boleh, tetapi istilah tradisional ini sebenarnya sangat menjebak kita pada
perjalanan sejarah kehidupan kita sendiri. Kata tradisional meninabobokkan para seniman
untuk tidak berlaku radikal kreatif dalam rangka membuat kebudayaannya sendiri seperti
Cina dan Jepang dicontohkan di depan. Indikasinya bahwa ruang kreatif dalam penciptaan
wacana baru dalam berkesenian selalu dibebani istilah asli dan tradisionalitas.
Ruang pemberontakan nyaris tidak ditemukan dalam wacana kebudayaan
(kesenian) kita. Tidak diakomodasikan ruang kreatif bagi penemuan bentuk baru yang
sekiranya keluar dari wacana tradisional. Yang semakin rajin dilksanakan adalah
pembinaan-pembinaan seni tradisional dengan konsep mengembangkan unsur-unsur
tradisionalitas. Pekan Budaya, Festival Budaya, pelatihan-pelatihan tari, Lomba tari,
Festival Cak Durasim dan festival-festival seni yang lain yang diselenggarakan oleh
pemerintah selalu berorientasi pada istilah tradisional. Sepertinya tidak ada kata lain yang
lebih bermutu selain mengembangkan kebudayan tradisional. Dapat dipastikan Surabaya,
Jawa Timur selalu tertinggal dalam percaturan budaya secara luas. Ramai di dalam tetapi
sepi di luar. Ada semacam kegamangan, ketakutan, ketidak beranian dan atau ketidak
mampuan melihat dan menciptakan kebudayaannya sendiri. Kata-kata politis dengan dalih
pelestarian benar-benar menjerat kita dalam melihat bagaimana sebenarnya kita
menempatkan diri di dalam jaman kita sendiri, dengan kreasi budaya sendiri, dengan
kemampuan sendiri, dengan identitas sendiri tanpa membabi buta dengan bayang-bayang
masa lampau yang sebenarnya bisa kita ambil nilainya saja dengan membuat bentuk yang
kita sendiri mesti bisa menciptakannya.
Tradisionalitas dan keaslian mestinya kita maknai sebagai spirit masa lalu yang
cerdas, inovatif dan selalu orsinil dalam menciptakan karya-karyanya (lihat karya-karya
monumental di Jawa Timur abad 10 sampai abad 17 yang selalu berbeda dengan daerah
lain) merupakan kebanggan kita sebagai pewaris sikap inovatif dan orisinalitas kekaryaan.
Yang terjadi sekarang ini adalah pengembangan unsur-unsur tradisional yang berkutat
pada bentuk fisik yang beku dan kebanggan atas hegemoni kota kepada daerah dengan

5
membina dan menyebarkan produk seni tradisi yang diangkut dari daerah ke kota dan
dikembalikan lagi ke daerah.
Ruang individual kreatif tidak segera tumbuh sebagai bentuk kesadaran kreatifitas
inovatif. Didukung tidak terakomodasinya kantong-kantong kesenian yang bersifat
pemberontakan terhadap madzab tradisional melengkapi kejumudan strategi kebudayaan
kita. Budaya seni (tari) kita sekarang ini justru marak dengan perlombaan-perlombaan,
festival-festival kreasi seni yang tidak berujung pangkal (sebagai wacana politis atau
komitmen terhadap strategi kebudayaan) dengan dikuatkan oleh penjuri hafalan yang suka
tidur di meja juri. Seni dokmatis oleh para pembina, miskin kreatif dan yang jelas kesenian
proyek.
Bukan salah ibu pertiwi mengandung seniman, bukan pula salah seniman
melahirkan kreasi seninya, tetapi bagaimana pemegang strategi kebudayaan memiliki
kemauan untuk dengan sungguh-sungguh meprioritaskan strategi kesenian sebagai ujung
kebudayaan. Kebudayaan kesenian yang bervisi nilai-nilai, bermisi merebut jiwa pelaku,
pemerhati, dan komunitasnya secara keseluruhan ke dalam substansi idealitas seni sebagai
pencerah lingkungan tanpa dikotori oleh keinginan-keinginan sepihak oleh seniman,
pengelola seni yang cap susu. Kebudayaan kota yang terus mendesak ke desa-desa telah
nyata menjadikan nilai-nilai desa terpolarisasi. Budaya kota sebagai implementasi budaya
global yang tidak atau kurang memperdulikan kesenian produk daerah (desa) adalah
kenyataan empiris. Dalam kaitan ini ke depan merupakan: peluang, tantangan dan jurang
bagi eksistensi seni (tari) kita. Mempertahankan dan hanya pengembangan fisik saja akan
mengasingkan seni daerah dari dunia global. Mengikuti pasar do’ang adalah pengingkaran
dan kekalahan atas nilai-nilai. Kreatif memegang nilai dengan bentukan baru wujud
estetikanya adalah kemungkinan kita dapat dipandang dunia sebagai pemandu seni
dengan eksistensinya yang lentur.
Surabaya, 14 Oktober 2004

Anda mungkin juga menyukai