Anda di halaman 1dari 11

Etnisitas, Kreativitas, dan EKSPRESI Jurnal Ilmiah ISI

2005 Identitas Dalam Wacana Yokyakarta Volume 14, Tahun 5,


Seni Budaya 2005. Halaman 119 – 136) ISSN:
Di Jawa Timur. 1411-4305/Nasional

ETNISITAS KREATIVITAS DAN IDENTITAS


DALAM WACANA SENI BUDAYA DI JAWA TIMUR 1

Dr. Wahyudiyanto, M.Sn.


Pengajar pada Program Studi Seni Tari
STK Wilwatikta Surabaya

Prawacana
Istilah etnisitas, kreativitas dan identitas pada dasawarsa terakhir sering
terdengar. Istilah itu kembali muncul dan marak pada diskusi budaya di berbagai forum.
Sadar atau tidak acap kali kita terseret pada ruang yang pada saat mana eksistensi negara
menguat. Identitas misalnya, buru-buru istilah ini muncul ketika persoalan modern dan
modernisme memporak porandakan kemapanan budaya dalam kerangka nation state di
“dunia timur”.
Tatkala kebudayaan sudah dianggap mantap, stabil dan padu kemudian digantikan
oleh sebuah pengalaman baru yang penuh keraguan, ketidakpastian dan ketidakjelasan.
Ketika generasi sudah tidak menganggap lagi apa-apa yang diwarisi oleh generasi
sebelumnya karena terlampau silau oleh “makhluk” yang namanya modern, maka
nasionalisme menjadi goyah, identitas kehilangan unikumnya. Masyarakat kemudian
berlomba-lomba mengejar idealitas modern seakan-akan segala yang dimilikinya
ketinggalan jauh di belakang kebudayaan masyarakat modern. Gelombang besar yang
menuju perubahan-perubahan meletakkan nasionalisme dalam posisi kritis. Isu tentang
identitas selanjutnya muncul kembali sebagai filter terhadap merembes-derasnya arus
modernitas yang serentak memasuki setiap jengkal hunian manusia 2.
Etnisitas atau budaya lokal dengan segala persoalan yang melingkupinya sebagai
hak atas milik masyarakat domestik -- Dunia Timur--yang oleh faham orientalisme-nya
Edward Said dianggap sebagai yang eksotik, marjinal, misterius, supranatural, memikat
dan inferior apabila dihadapkan pada kebudayaan barat yang superior3 justru terangkat
ke permukaan dijadikan model sebagai ciri adati yang indigeneous. Indigeneous –-dalam
pengertian positif-- adalah budaya suku bangsa, tata nilai suku bangsa, dan kearifan lokal
(lokal wisdom) yang mempunyai nilai universal 4 itulah sebagai pijakan kenapa etnisitas

1 Makalah telah dipresentsikan pada Seminar Nasional dalam rangka Festival Kesenian Indonesia III
yang diselenggarakan oleh tujuh (7) Perguruan Tinggi Seni se Indonesia di Sekolah Tinggi Kesenian
Wilwatikta Surabaya.
2 Wahyudiyanto. Nilai Kepahlawanan Dalam Tari Ngremo, dalam Jurnal Seni dan Desain,
Universitas Negeri Malang. 2002, p. 3.
3 Djuli Djatiprambudi. Seni (Rupa) dan Politik Identitas, dalam Jurnal Seni dan Budaya, Surabaya

UNESA, 2002, p. 36.


4 Sri Hastanto. Peran Serta Masyarakat dalam Indiginasi Budaya Indonesia, Makalah Seminar Seni

Pertunjukan Indonesia Seri II di STSI Surakarta. 2002. p. 1.


1
dijadikan identitas dalam kerangka ‘nation state’. Identitas yang kemunculannya
merupakan mata rantai masa lalu dengan hubungan-hubungan sosial, kultural, ekonomi,
dan bahkan politik, keseluruhannya tercermin dalam kesenian. Seni sebagai entitas
bermuatan tata nilai khas yang terbangun dalam ruang dan waktu relatif lama dalam suatu
masyarakat itu 5, menempatkan seni etnik sebagai filter terhadap rembesan budaya global.
Dalam konteks kegiatan indiginasi seni budaya, nilai kreativitas selalu
dikedepankan sebagai isu sentral untuk melanggengkan obyektifikasi etnisitas. Tanpa
adanya sentuhan kreatif dari para pelaku seni, kelangsungan seni etnik tidak mempunyai
nilai etalatif sebagai tuntutan kehidupannya sendiri. Keberadaannya dipastikan ter-
marjinalkan dalam arti yang sebenarnya dan kemungkinan kepunahan tidak dapat
dihindari.
Kesadaran identitas yang segera timbul meskipun motivasinya berangkat dari
wacana politik kekuasaan atau setidaknya dari titik itu ternyata dapat membuka ruang
lebih luas yang dapat dimasuki tindakan kreatif inovatif. Tindakan itu dilakukan untuk
menjaga eksistensi keberlanjutan kesenian etnik tersebut. Kelalaian menggeluti kesenian
etnik yang cukup lama disebabkan oleh kesibukan kita sendiri mengejar modernisme
mengakibatkan nasib kesenian etnik dirasakan cukup memprihatinkan. Oleh karenanya
dengan maraknya wacana etnisitas muncul ke permukaan menunjukkan geliatnya
meskipun dianggap belum optimal karena satu dan lain hal yang berkaitan dengan
anggapan adanya kekeliruan penanganannya.
Kekayaan seni budaya etnik menunjukkan kemajemukan yang merupakan ciri
khas negara Indonesia. Penghayatan dan penerimaan yang mendalam terhadap
kemajemukan merupakan modal utama bagi bertumbuh-jayanya sebuah negara bangsa 6.
Dengan kata lain pluralisme budaya dengan dukungan apresiasi secara jernih produk-
produk kebudayaan (seni) yang dihasilkan pendukungnya dapat memberikan kontribusi
yang berarti dalam kelangsungan hidup bangsa.
Pertanyaan mendasar kemudian menyeruak ketika proses globalisasi mendera
seluruh hunian manusia dengan menyatunya produksi kapital dan budaya melampaui
batas-batas geografis dan geopolitis suatu negara. Masih perlukah wacana identitas
diangkat dalam wacana global. Sementara arus mengarah menuju penyatuan dunia baru
yaitu: dunia global”. Kesedaran tentang pluralisme budaya nampaknya menepis
pertanyaan itu. Guliran baru yang sedang hangat dan terus diperbincangkan hingga kini,
yakni multikultural yang termasuk di dalmnya perbenturan antara global dan lokal untuk
memperebutkan ruang-ruang publik lokal bagi berbagai komunitas untuk menegaskan
kembali identitasnya.
Multikultural menganggap bahwa kenyataan dunia adalah keragaman budaya.
Universalitas budaya tidak mungkin dapat dicapai dengan penyeragaman budaya menjadi
tunggal, seperti diambisikan oleh modernisme. Konsep Bhinneka Tunggal Ika
mengisyaratkan berbeda-beda yang hidup dalam payung Wawasan Nusantara. Bersatu
dalam keragaman yang harus diletakkan dalam praktik-praktik budaya untuk

5 Djuli Djatiprambudi. Seni (Rupa) dan Politik Identitas, dalam Jurnal Seni dan Budaya, Surabaya
UNESA, 2002, p. 37.
6 Ayu Sutarto. Menjinakkan Globalisasi Tentang Peran Strategi Produk-produk Budaya Lokal,

Universitas Jember. 2002. p. 9.


2
membolehkan beragam kebudayaan hidup bersama dalam damai dan keterbukaan untuk
interpretasi 7.
Munculnya slogan-slogan seperti: Solo Berseri, Jombang Beriman, Sragen Asri yang
sementara waktu telah marak dengan menghidupkan kembali etnisitas sebagai dukungan
kultural yang meskipun lebih bersifat politis merupakan penegasan kembali dari konsep
Wawasan Nusantara. Dimunculkannya kembali wacana etnisitas yang kreatif sebagai
politik identitas sebenarnya merupakan upaya sebagai negara bangsa untuk mengeliminir
rembesan budaya global yang cenderung mengikis lokal wisdom tersebut. Dengan
demikian berarti bahwa secara fungsional identitas berelasi dengan ancaman budaya luar
yang cenderung bersifat instabilitas nilai-nilai moral. Ia dibentuk melalui proses sosial.
Sekali identitas mengkristal, ia akan terus dipelihara, dimodifikasi atau bahkan diubah
sama sekali melalui hubungan sosial tersebut.

Problematika
Terdapat tiga format besar untuk memahami persoalan etnisitas, yaitu:

1) kekuatan Universalisme kebudayaan,


2) hegemoni negara dan
3) kekuatan indigeneous8.

Universalisme kebudayaan satu sisi mempengaruhi lahirnya kebudayaan negara.


Di sisi lain melahirkan kembali kebudayaan indigeneous. Ketiga arus besar ini
mempengaru-hi arah perkembangan seni di Indonesia pada umumnya.
Universalisme kebudayaan seperti dibicarakan sebelumnya adalah dari cita-cita
modernisme. Kesadaran modernisme yang kemunculannya sejak abad 16 diawali oleh
gerakan pemikiran dan gambaran tentang ‘dunia baru’. Gerakan pemikiran yang
diinspirasikan oleh Descartes kemudian dikokohkan oleh gerakan pencerahan,
selanjutnya menjelma menjadi sains dan kapitalisme yang mengabdikan dirinya hingga
abad 20 9. Fenomena globalisasi tersebut terjadi lebih didorong oleh kekuatan modal dan
politik yang mengalir dari Eropa Barat ke hampir seluruh penjuru dunia khususnya negara
Dunia Ketiga ini yang selanjutnya memperkuat suatu sistem yang disebut “Sistem Dunia”.
Sebagian besar negara Dunia Ketiga dikendalikan oleh Eropa Barat dengan mekanisme
‘sistem dunia’, yang meliputi mekanisme perdagangan, industri, dan teknologi. Kekuatan
besar yang bertumpu pada dominasi faktor ekonomi dan teknologi dalam pencapaian
pembangunan inilah yang kemudian perkembangan dan pembangunan sosial, budaya, dan
politik terjadi.
Dalam konteks Indonesai, arus globalisasi dan universalisme kebudayaan yang
diimpikan oleh modernisme berpengaruh besar bagi tatanan sosio-ekonomi, politik dan
budaya. Perjalanan ekonomi bergerak dari desa ke kota kedua. Dari kota kedua ke kota
utama (pusat). Selanjutnya dari kota utama Indonesia bergerak lagi ke kota-kota ‘pusat’ di
negara dunia I. Begitu pula sebaliknya pengaruh hegemoni Negara Dunia I ke Negara

7 Sal Murgianto. Multikulturalisme Dalam Seni Pertunjukan, “Ragam Bentuk dan Motif”, Jurnal
MSPI,
Bandung MSPI, 1999. p. 75.
8 Aribowo. Perspektif Globalisasi dalam Memahami Posisi Seni Pertunjukan, Makalah Temu

Seniman Jawa Timur, di STKW Surabaya. 1999. p. 1.


9 Bambang Sugiharto. Posmodernisme, Yogyakarta, Kanisius. 1996. p. 29.

3
Dunia III, utamanya Indonesia memunculkan konsep pendidikan, demokrasi, hubungan
daerah dan pusat, nation state, pola berperilaku modern, pola konsumsi tinggi dan segala
peradaban modern lainya seringkali banyak dipengaruh oleh universalisme kebudayaan.
Dalam tatanan seperti ini maka desa dan atau daerah seringkali dianggap sebagai basis
bahan baku bagi Negara Dunia I dan sekaligus sebagai pasar bagi barang jadi negara pusat.
Desakan ekonomi politik universalisme ini kadangkala membongkar tatanan ekonomi,
politik, dan budaya pedesaan.
Gejala besar seperti ini berdampak pada pertumbuhan keseniannya. Kesenian
sakral misalnya kemudian dikembangkan untuk memenuhi aspek komersial yang profan.
Gejala seni instan berorientasi pada kepentingan ekonomi internasional menjadi kuat
sekali. Dari sini masyarakat seni hidup mulai didesak untuk berubah. Sementara arus
negara hegemonik melahirkan gejala kebudayaan negara yang orientasi kebudayaan,
sosial, juga sangat diwarnai oleh kepentingan ekonomi. Dari sini ada kesejajaran antara
kecenderungan universalisme kebudayaan dan kebudayaan negara, yakni kekuatan
hegemoni yang melahirkan format seni instan dengaan idiom “seni pariwisata”.
Indigeneous sebagai idiom dalam masyarakat pedesaan sebenarnya mulai
berkembang. Gerakan ini merupakan gejala resistensi budaya yang diakibatkan oleh
menguatnya pola pembangunan yang ketika menggunakan pijakan mainstream
kapitalisasi mengalami kesulitan mendasar yakni masyarakat tidak mandiri dan semakin
tergantung. Kurun waktu yang panjang telah mensubordinasi kesenian sehingga kesenian
kecenderungan besar mendukung kekuasaan negara dan kapitalisme. Saat ini—setelah
era reformasi dan diteruskan dengan otonomi daerah—seni terasa semakin lamban untuk
mengembalikan fungsi seni yang sewajarnya. Kesenian khususnya seni etnik atau tradisi
pedesaan masih menggantungkan kehidupannya dari pengelolaan birokrasi negara. Ini
yang menjadikan masyarakat seni hidup dalam problem yang dilematis. Keadaan ini lebih
dikuatkan oleh selain problem sosiologis dalam pengertian terjadinya perubahan sosial
tetapi juga problem cara pandang dan pemahaman kita yang semakin berkembang.
Sebenarnya periode reformasi dan kemudian otonomi daerah merupakan
kesempatan untuk tumbuh kembang kesenian sebagaimana mestinya (sebagai kesenian
dengan otonominya). Namun karena ketidak-mandirian masyarakat seni dalam
mengembangkan potensi etnisitas-nya itu, kesenian tetap saja menjadi objek kepentingan
tertentu, sementara makna-makna kesenian sebagai ekspresi tata nilai masyarakat kurang
mendapat perhatian dan cenderung terabaikan.

Unikum
Jawa Timur sebagai kesatuan kultur, mempunyai ciri khas. Ciri khas itu antara lain
adalah ‘sangat‘ demokratis ‘lincah’, ‘gembira’ dan spontan tetapi terkendali oleh sifat
religiusnya baik sebagai peninggalan Majapahit (Hindu) maupun Giri (Islam). Kultur Jawa
Timur yang demikian itu didukung oleh suku bangsa Jawa dan Madura yang di dalamnya
terdapat beragam ekspresi 10. Secara menyebar terdapat sentra-sentra seni dan budaya
yang sangat beragam. Apabila dikelompokkan seluruhnya terdapat tujuh ciri/sentra corak
seni budaya. Masing-masing budaya tersebut adalah 1) Seni khas Jawa Tengahan

10Suripan Sadi Hutomo. Tari Pergaulan Jawa Timur Mencari Konsep dalam Wacana Tari Indonesia,
Surabaya, DKJT, 2001. P. 21.
4
(Mataraman) yang meliputi Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, Pacitan, 2) Sentra corak
seni Topeng meliputi: Malang, Madura, 3)Sentra corak seni Ngremo dan sejenisnya
berkembang di Surabaya, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo dan juga Malang, 4) Corak
pesisiran seperti Gresik, Tuban, 5) sentra osing, Banyuwangi 6) sentra Pendalungan yang
meliputi Pasuruan, Pribolinggo, Bondowoso, Lumajang, Jember dan 7) sentra Tengger.
Ekspresi budaya lokal yang sangat beragam tersebut adalah aset potensial bangsa.
Dan yang sedemikian itu baru sebagian saja dari keseluruhan keragaman budaya lokal di
seluruh wilayah Indonesia. Sebagai lokal wisdom merupakan modal untuk membangun
kembali karakter masyarakat yang saat ini cenderung dapat dikategorikan sebagai
‘gelandangan secara kultural’ yakni meninggalkan tradisinya sendiri sementara tidak
mampu masuk ke dalam budaya Barat yang sesungguhnya, misalnya: tingkat etos kerja,
kedisiplinan, penghargaan terhadap orang lain dan sebagainnya.
Sebagai ekspresi, budaya lokal menghadirkan keberagaman yang khas. Dari
ekspresi keseniannya, sebenarnya kita dapat mengenali bagaimana watak, tingkah laku
dan pola hidup masyarakatnya. Di dalam keragaman dan keniscayaan perbedaan itu
sebenarnya terdapat nilai-nilai. Kesamaan nilai-nilai dari salah satu suku bangsa atau
etnis tertentu dengan suku bangsa atau etnis yang lain itu memperlihatkan bahwa
sebenarnya ada hubungan budaya satu sama lain, sehingga kerekatan hubungan
masyarakat di Indonesia yang sejak waktu lama itu bisa dipahami karena dalam
perbedaan itu terdapat hubungan budaya.
Berbicara mengenai budaya lokal ada dua peran strategis yang dapat diagendakan
untuk meraih kemanfa-atan. Peran strategis pertama adalah peran yang bermuatan politis
dan peran kedua adalah peran yang bermuatan ekonomis 11.
Peran yang bermuatan politis berkaitan dengan adat istiadat, budi pekerti, sikap
dan pandangan hidup, sopan santun dan perilaku sosial politik yang produktif dan
kondusif bagi bertumbuhnya harmoni, toleransi dan apresiasi terhadap kemajemukan
yang semua ini dapat digali dari kearifan yang bersumber dari nilai luhur budaya daerah.
Penghayatan dan penerimaan mendalam terhadap kemajemukan merupakan modal yang
signifikan bagi pertumbuhan nasionalisme. Dengan bahasa lain kemajemu-kan etnisitas
atau pluralisme budaya dengan segala produk-produk kebudayaan dapat memberikan
kontribusi yang berarti dalam kelangsungan hidup bangsa, memper-kokoh integrasi dan
integritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila kondisi ini diperjuangkan
dengan sungguh-sungguh maka identitas sebagai sikap nasionalisme yang berakar pada
kearifan lokal akan terwujud.
Peran strategis yang bermuatan ekonomis dimaksudkan adalan berkaitan dengan
pemanfaatan dan pemberdayaan keindahan alam dan produk-produk budaya lokal seperti
kerajinan rakyat, kesenian rakyat, perta-pesta rakyat, upacara-upacara tradisional dan
produk-produk sejenisnya.
Produk budaya lokal yang berupa kesenian, di Jawa Timur memperlihatkan
kekayaan yang melimpah. Selain disebutkan sebelumnya dengan berbagai sentra budaya,
terdapat pula kesenian yang berkembang di wilayah Jawa Timur seperti etnik Cina, Arab
dan kesenian kontemporer. Kesenian etnik yang disebut juga sebagai kesenian rakyat di
Jawa Timur sebagian besar telah terangkat ke permukaan mengisi dialektika kebudayaan.

11Ayu Sutarto. Mendjinakkan Globalisasi ‘Tentang Peran Strategi Produk-produk Budaya Lokal’,
Universitas Jember. 2002. p. 68.
5
Antara universalisme kebudayaan, kebudayaan negara dan kebudayaan indigeneous
berinteraksi satu sama lain untuk saling memperebutkan ruang publik. Perebutan itu
tidak saja pada tataran simbolik tetapi telah membentuk relasi baru dalam kehidupan
sehari-hari.
Di Surabaya sebagai salah satu kota besar di Jawa Timur, kehidupan ekonomi dan
politik sangat mendominasi aktifitas masyarakat. Kegiatan seni budaya juga tidak kalah
penting telah dan terus menerus ditingkatkan volume keterlibatannya dalam kehidupan
membudaya. Hal ini diusahakan karena kesenian sebagai aset pengembangan tata nilia
kesuku bangsaan yang memiliki sifat universal telah nyata mampu membentuk karakter
dan kepribadian yang khas. Ketika ekonomi dan politik mendominasi aktivitas
masyarakat dengan sendirinya kesenian sangat diwarnai pertumbuhannya oleh
kehidupan ekonomi dan politik. Dengan kata lain bahwa kesenian kreatif selanjutnya
bermunculan sebagai jawaban atas kondisi yang berlangsung. Kenyataan ini haarus
dihadapi oleh para pelaku seni untuk mempertahankan eksistensi itu sendiri. Perubahan-
perubahan bentuk dan tema seni tak dapat dihindari. Seni tradisi rakyat (etnik)
mengalami perkembangan (stilisasi dan atau distorsi) dalam kerangka penyesuaian.

Praktik Budaya
Bagaimana dan dari mana kreativitas seni budaya itu dimulai. Untuk kepentingan
siapa seni dikatakan sebagai seni etnik dalam kerangka kreativitas kalau selanjutnya
dihubungkan dengan identitas. Pertanyaan-pertanyaan ini meskipun sudah ditemukan
jawabannya di dalam proses reaktualisasi seni etnik dalam kebutuhan membudaya,
namun masih perlu untuk diangkat kembali sebagai penegasan seputar istilah etnisitas,
kreativiatas dan identitas dalam perspektif kebulatan eksistensi budaya seni etnik itu
sendiri. Penegasan ini dirasakan cukup signifikan karena diperlukan sebagai formulasi
tata nilai. Adapun tata nilai itu diserap dari keragaman fikiran, keyakinan, dan
pemahaman bersama terhadap idealitas eksistensi seni etnik di dalam wacana
kebudayaan secara menyeluruh. Formulasi tata nilai tersebut dimaksudkan sebagai bahan
yang dapat dipakai sebagai acuan dalam mencari format-format baru dan atau untuk
mendaur ulang bagaimana sebenarnya konsep-konsep pembinaan-pembinaan seni
budaya itu bisa dan laik untuk diterapkan.
Mencermati kembali bagaimana memahami persoalan etnisitas yang tetap sebagai
identitas pada suatu wilayah budaya kalau ternyata dihadang oleh tiga persoalan
mendasar. Pada satu sisi Universalisme yang menghendaki penyatuan budaya menjadi
budaya global meskipun slogan tentang multikultural telah menjadi euphoria di kalangan
akademisi dan sebagian praktisi-praktisi seni etnik. Satu sisi lagi negara dengan
kemampuan hegemoninya menyeret seni indigeneous berupaya dijadikan sebagai
kebudayaan negara (seperti bahasa Indonesia) yang tentu saja lokal wisdom terkikis
digantikan oleh serat-serat nilai yang temporer sifatnya. Pada sisi yang lain seni
indigeneous yang mencoba untuk berlaku resistensi terhadap kekuatan hegemoni negara
tidak berdaya karena negara telah menciptakan budaya ketergantungan kepada pelaku-
pelaku seni di wilayah negara itu sendiri. Ketergantungan tersebut sangat mendasar
diciptakan karena meliputi, politik, ekonomi, dan ideologi yang berdampak pada
kerapuhan pertahanan budaya apabila negara melepaskan tali pengikat ketergantungan
tersebut.

6
Era otonomi meskipun secara konsepsional memberi keleluasaan para pelaku-
pelaku seni etnik untuk berkreasi mengembangkan jati diri etnisitasnya ternyata tidak
serta merta dapat diakses dengan baik. Budaya tergantung kepada negara telah mendarah
daging, eksistensi seni jadi lumpuh, pelaku seni dan atau senimannya tidak mampu
berkreasi apabila tidak mendapatkan suntikan dana dari negara ( di tingkat propinsi ),
apalagi para petinggi di tingkat dua kurang dan bahkan tidak ada perhatian pada
kehidupan seni budaya, sibuk mengurusi golongannya, para dewan ramai untuk mencari
pengembalian kekayaan yang sudah dikeluarkan untuk pencalonannya, maka setelah
menjadi anggota dewan berlomba-lomba mendapatkan sesuatu yang mestinya sebagai
hak rakyat, oleh sebab itu pada suatu kesempatan Ayu Sutarto menjuluki sebagai dewan
yang brensek 12. Dengan kata lain bahwa kenyataan seni etnik telah dijadikan sebagai
obyek negara dengan kalkulasi proyek pembinaan kesenian. Seni tidak semakin kukuh
dalam akar budayanya tetapi menjadi semacam seni instan yang habis ketika
penyelenggaraan festival atau pekan budaya berakhir. Sang juara menjadi seni kota yang
selanjutnya dirujuk oleh seni-seni daerah lain untuk dijadikan model pada acara pekan
budaya pada tahun berikutnya dan berikutnya lagi.
Kooptasi seni budaya oleh negara di tingkat lokal Jawa Timur begitu kuat tidak lain
untuk kepentingan yang lebih luas yakni bagaimana bisa menghadirkan seni negara
ditingkat lokal tersebut mampu bersaing di tingkat nasional. Memenangkan satu model
kesenian etnik pada tingkat lokal saja sebenarnya telah membunuh kemampuan etnik-
etnik yang lain yang sebenarnya pada tingkat daerah telah dijadikan model daerahnya
tetapi karena dianggap tidak mampu menyandang predikat nomor satu di tingkat propinsi
maka seni tersebut tidak saja mati tetapi menciptakan beban bagi para seniman. Di
hadapan petinggi di daerahnya derajat mental seniman menjadi runtuh, tidak berguna dan
dampak psikologis membawa keterpurukan kreativitas seniman. Kebanggan atas seni
miliknya menjadi kikis, kepercayaan terhadap diri menjadi rendah.
Problem kehidupan seni etnik menjadi sangat rumit ketika seni etnik dijadikan
ajang pertandingan. Keinginan negara yang begitu kuat untuk dapat dikatakan sebagai
pembina seni di tingkat nasional berdampak pada kelesuan yang fatal bagi banyak
kesenian di daerah meskipun mampu hanya membawa satu model seni yang dianggap
terbaik di wilayah propinsinya. Pembinaan adalah kata politis yang selalu didengungkan
oleh aparatus negara yang mengurusi kesenian di wilayah kekuasaannya. Hal itu tidak
atau kurang disadari bahwa ternyata di kemudian hari hasil-hasil pembinaan atau produk-
produk seni yang dimotivasi oleh kehendak perorangan yang dikuatkan oleh peraturan
perundangan dan kebijakan-kebijakan program pembangu-nan bidang seni budaya
membawa dampak ketergantungan ideologi.
Sebuah penelitian yang cukup menghentak yang dilakukan oleh pembina seni itu
sendiri. Sebuah disertasi yang mengungkap peristiwa pembinaan kesenian selama orde
baru di jawa timur. Penelitian yang dilakukan untuk melihat hasil pembinaan kesenian
selama orde baru telah dilakukan oleh pembina seni itu sendiri. Dengan kata lain meneliti
hasil kerjanya sendiri. Dalam kesimpulan ditemukan bahwa selama orde baru telah terjadi
kooptasi atau keberpihakan yang dominan negara terhadap kesenian sehingga kesenian
yang beragam menjadi seragam, lebih berorientasi pada estetika mekanik, gerak lebih

12Lihat Ayu Sutarto,. Mendjinakkan Globalisasi ‘Tentang Peran Strategi Produk-produk Budaya
Lokal’, Universitas Jember. 2002
7
dominan dari pada penggalian-penggaalian nilai filosofi dan historikalnya. Kesimpulan
yang lebih tragis yang dapat dicermati adalah kreativitas seni terpasung 13.
Mencermati kesimpulan dalam penelitian tersebut dapat disimak bahwa telah
terjadi kerawanan dalam perkembangan kesenian etnik. Penanganan yang cenderung
pada kemauan politik negara yang kurang mempertimban-gkan aspek ketahanan lokal
wisdom telah dilakukan dengan kekuatan perundangan atau kebijakan-kebijakan politik.
Disadari bahwa terjadi kooptasi atau pembinaan yanga bersifat “top down”, Negara lebih
mengambil peran aktif, inisiatif untuk menentukan ke arah mana kesenian akan dibentuk.
Sementara pelaku seni yang nota bene memiliki etnisitas seninya justru tidak mengambil
peran penting dalam tumbuh dan kembangnya seni miliknya, pasif dan pasrah kepada
para pembina-pembina yang datang dari kota. Londisi yang lebih fatal adalah seniman
daerah malah mengundang seniman dari kota untuk terlibat secara tekni terhadap garap
seni daerahnya sehingga tanpa pertimbangan nilai filosofis, historis, dan hanya mengacu
pada koreografis model seni kota, oleh karenanaya seluruh seni di daerah menjadi satu
model yaitu seni kota.
Kreativitas merupakan kata kunci untuk tumbuh kembangnya seni etnik.
Kreativitas tentu dimaknai sebagai pola pertahanan nilai-nilai lokal wisdom dengan
kemampuan daya serap terhadap budaya global yang dengan serentak menghentak ke
dalam bilik setiap orang yang paling rahasia sekalipun. Budaya-budaya yang nampak baru
bagi komunitas atau individu yang datang dengan kelugasan, keseronokan dan mungkin
dengan kehalus-rayuan memang telah sementara dijadikan komoditas sebagian besar
lapisan masyarakat, dan ini belum sepenuhnya dapat ditangkap sebagai bentuk pengikisan
budaya lokal. Bukan berarti semuanya jelek dan atau harus ditolak, tetapi kelenturan
budaya bangsa untuk menghadapi budaya baru nampaknya belum mampu menunjukkan
sikap akomodatifnya yang pada ujungnya menciptakan budaya singkretik. Yang sampai
pada tataran empiris adalah peminjaman budaya-budaya baru tersebut secara terus
menerus. Model busana adalah contoh kongkrit telah melanda gaya berpakaian para
muda-mudi di daerah-daerah dan di desa terpencil sekalipun. Pergaulan yang cenderung
bebas antar muda mudi dan ini lebih dipacu oleh model-model hiburan pertunjukan yang
sangat mudah didapat dan bisa dikonsumsi setiap saat karena sarana telah disediakan
oleh pasar. Dalam terminologi ini sering didapati kasus-kasus perkosaan, pesta seks,
narkoba dan pada gilirannya menjurus pada tindakan kriminalitas adalah wujud dari
peminjaman budaya-budaya baru tersebut.
Peminjaman budaya (cultiral Borowing) seperti ini dalam banyak kasus
kebudayaan sering mewujudkan kebudayaan baru. Namun demikian bahwa sebuah
kebudayaan baru sekalipun dibutuhkan strategi-strategi untuk mewujudkan agar dalam
proses pembentukannya tidak atau sedikit mungkin dapat menimbulkan ketegangan-
ketegangan sosial. Ketika kebudayaan baru terbentuk pada giliriannya akan membentuk
nilai-nilai baru pula dan pada ujungnya akan teraktualisasikan dalam wujud kesenian.
Kenyataan ini telah terjadi di belahan bumi manapun, dan ketika telah menyentuh
kebudayaan lokal yang telah berurat-akar maka yang terjadi adalah kalau bukan
ketegangan-ketegangan sosial akibat tarik menariknya kepentingan politik identitas,
setidaknya terjadi hanya pemolesan wujud fisik kesenian sebagai wujud pembaruan.
Nilai-nilai kearifan lokal tidak terperhatikan dan mungkin terpasung habis karena

13 Jarianto. Perkembangan Seni Pertunjukan di Jawa Timur, Disertasi Untag Surabaya. 2004.
8
kesadaran atas pertahananya tidak tumbuh dalam setiap pribadi masyarakat
pendukungnya.
Identitas dalam era global meskipun tidak selalu signifikan untuk diwacanakan
tetapi masih ada relevansinya dengan pembangunan kerekatan budaya dalam satu kultur
tertentu. Kesenian yang sangat kental dengan nilai-nilai yang dapat menunjukkan satu
unikum tertentu sebenarnya sangat efektif untuk mengenalkan lokalitas budaya tertentu
tersebut, sehingga identitas meskipun sebenarnya merupa-kan sarana kekuasaan politik
negara dirasakan cukup efektif dalam membangun karakter, kerekatan, dan sekaligus
kebanggana budaya sendiri. Kebanggan sebagai bentuk rasa memiliki budaya sendiri
dalam wacana berkesenian di Jawa Timur secara kongkrit telah dinyatakan dalam
tindakan nyata. Maraknya kegiatan-kegiatan kesenian dalam forum festival, perlombaan
dan pekan-budaya yang seluruh pembiayaannya telah disangga oleh pemerintah baik
pemerintah propinsi ataupun pemerintah daerah merupakan upaya untuk terus
menghidupkan keberadaan kesenian lokal tersebut, dan pada suatu keinginan, Jawa Timur
pernah bermaksud menciptakan seni tari khas Jawa Timur dengan sebutan subaraga,
merupakan perpaduan ciri etnik yang tersebuar di wilayah Jawa Timur. Namun demikian
keinginan itu tidak dapat terpenuhi karena dengan suatau alasan bahwa ciri-ciri etnik
tersebut mempunyai kandungan nilai khas yang tidak dapat dipertautkan begitu saja
sekedar untuk memenuhi keinginan sesaat. Seandainya terjadi maka Subaraga tidak
punya tanah tempat berpijak, akar sebagai penyangga tumbuh kembangnya karena harus
dipelihara oleh unsur-unsur etnik yang beragam tersebut.
Berbagai pembinaan telah diupayakan jauh pada masa orde baru sampai otonomi
daerah ini. Secara gradual antar pemerintah propinsi dan pemerintah daerah (utamanya
pada masa otonomi daerah ini) saling menguatkan program-progam pembinaan kesenian
daerah. Begitu bersemangatnya pemerintah di wilayah Jawa Timur ini maka setiap daerah
berlomba-lomba untuk menjadikan daerahnya sebagai kota festival. Kota Sidoarjo,
misalnya pada tahun 2004 dan dilanjutnkan tahun 2005 ini memposisikan daerahnya
sebagai kota festival budaya setelah melihat kemeriahan dan kepadatan Surabaya sebagai
pusat kegiatan penyelenggaraan festival-festival budaya.
Pada titik ini seperti yang disebut oleh Aribowo bahwa kesenian daerah dapat
disejajarkan dengan bahan mentah untuk olahan pabrik. Kesenian daerah diproduksi
dengan kemampuan kreativitas komunitasnya di desa-desa di seluruh wilayah daerah
yang memiliki kantong-kantong kesenian. Selanjutnya kreasi-kreasi kesenian tersebut di
lombakan, difestivalkan, di wilayah pemerintah tingkat II. Hasil dari penjaringan di tingkat
dua dengan berbagai pola atau bentuk kejuaraan, produk yang masuk dalam kategori
terbaik, nomor 1 dan seterusnya berhak untuk tampil dalam kegiatan lomba, dan atau
festival di wilayah Propinsi tingkat I. Kesenian daerah yang mampu berlomba pada
tingkat propingsi inilah selanjutnya berhak untuk tampil di tingkat nasional dan atau
dapat mewakili sebagai duta budaya di dunia internasional. Inilah harapan-harapan akan
capaian-capaian yang selalu dijadikan target oleh pembina-pembina, pelaku-pelaku dan
tidak kalah pentingnya adalah pengelola kesenian oleh pemerintah daerah sekalipun
berupaya untuk memoles, memodifikasi, dan atau mungkin mengganti warna, bau dan
tidak mustahil rasa kesenian tersebut untuk disesuaikan dengan kehendak event-event
atau patronase yang membutuhkan.
Keberhasilan telah diraih oleh para pembina-pembina seni, berarti keberhasilan
dipihak pemerintah daerah (baik pemerintah propinsi dan pemerintah daerah tingkat II).
9
Sebagai pemegang kebijakan atas bertanggung-jawabnya terhadap kegiatan-kegiatan
pergelaran seni yang telah menjadi bagian dari program-programnya. Di samping itu juga
sebagaian besar masyarakat seni yang terlibat di dalamnya turut merasakan hasil-hasil
yang telah dicapai baik oleh yang menyandang predikat juara atau yang tidak sekalipun.
Setidaknya telah ikut berpartisipasi dalam meramaikan penyelenggaraan-
penyelenggaraan pentas seni milik daerahnya untuk mendukung program-program
pememrintah meskipun pulang ke daerah masih menyisakan beban mental karena
kembali ke daerah tidak membawa hasil seperti yang diharapkan.
Kehidupan kesenian di Jawa Timur tidak pernah dapat dilepaskan dari kesertaan
pemerintah daerah dalam menumbuh kembangkan. Kenyataan inilah yang sebenarnya
membawa dampak setidaknya terdapat dua sisi yang saling berseberangan. Pertama dapat
dimaknai sebagai nilai posistif dilihat dari kenyataan ramainya pertunjukan-pertunjukan
kesenian daerah di Jawa Timur melalui festival-festival. Kedua dapat disebut sebagai
dampak negatif karena ketergantungan pelaku seni pertunjukan kepada patronase,
artinya: seniman, pelaku seni, berpartisipasi dalam kegiatan pertunjukan kesenian karena
didukung dananya oleh pemerintah. Tidak ada kegiatan festival berarti tidak adan
pertunjukan kesenian kecuali seni ritual dikomunitasnya.
Mengakhiri tulisan ini dapat diketengahkan suatu contoh bagaimana kesenian
daerah di Jawa Timur dilestarikan karena dianggap sebagai ciri khas semangat
masyarakat Jawa Timur. Sentra budaya Ngremo adalah sebagai cotoh yang dimaksud pada
tulisan ini. Sebagai wujud artikulasi nilai masyarakat Surabaya dan sekitarnya, tari
Ngremo mencapai keunggulan khas Jawa Timur (Surabaya) yang sampai saat ini dijadikan
pilar budaya lokal genius sebagai identitas budaya kota pahlawan. Pada awal
pertumbuhannya tari Ngremo hadir bersama pertunjukan ludruk dan sampai saat ini
keberadaanya melampaui perkembangan teater tradisional khas Jawa Timur itu sendiri.
Melalui tangan-tangan seniman kreatif, tari Ngremo berkembang cepat dan mampu
menyesuaikan berbagai situasi dan kondisi. Selanjutnya kita mengenal tari Ngremo
tempel (yang tumbuh bersama kesenian lain seperti wayang kulit, tayub, kentrung dan
sebagainya), Ngremo Surabayan, Jombangan, Malangan dan paling mutakhir adalah
Ngremo Jugag.
Perubahan terjadi pada aspek fisual artistik, kinestetik, tematik, dan filosofis.
Perubahan unsur-unsur fisual, pola ruang gerak, fungsi dan dinamisasi musikal adalah
penyesuaian kebutuhan ungkapannya. Berbagai bentuk tari Ngremo tersebut merupakan
wujud dari tindakan kreatif dari para seniman Ngremo untuk memperlakukan Ngremo
agar tetap kontekstual. Kenapa demikian, karena Ludruk mengalami antiklimak
perkembangan karena beku tidak kunjung berubah. Sementara tari Ngremo selalu
berubah dari waktu ke waktu mengikuti selera jaman.
Perkembangan tari Ngremo yang sangat subur dan menyebar luas melampaui area
wilayahnya karena selain memiliki kearifan lokal dan adanya hubungan universal nilai-
niali, Ngremo mendapatkan penanganan yang kreatif. Terpelihara, dan lahir dari
kesadaran kolektif. Ia mendapat-kan apresiasi yang mendalam dari masyarakat secara
luas. Oleh karena itu tari Ngremo sebagai khasanah etnisitas telah melalui perjalanan
kreatif para senimannya mencapai predikat prestisius sebagai simbol budaya khas Jawa
Timur dan telah nyata dijadikan identitas khas seni kota Surabaya.

Simpulan
10
Atas dasar pembahasan tersebut di atas pada akhir dari tulisan ini dapat disarikan
sebagai berikut. Kesenian sebagai bagian dari institusi budaya secara keseluruhan saling
terkaiat dan memfungsikan di antara institusi budaya yang ada. Proses kebudayaan dalam
konteks kegiatan politik pemerintahan di Jawa Timur, telah memfungsikan kesenian
sebagai bagian dari sistem kekuasaan. Wacana identitas oleh pemerintah telah
dimanfaatkan untuk membangun kehidupan kesenian yang tersebar di wilayah. Kesenian
di Jawa Timur yang cukup beragam dengan sebutan budaya etnik dikenai sentuhan kreatif
atas nama pembinaan kesenian. Pembinaan kesenian merupakan realisasi dan solusi dari
kenyataan kondisi rapuh seni etnik untuk diangkat sebagai terapi terhadap cultural shock
yang serentak datang.
Identitas yang merupakan alat politik untuk menumbuhkan kebanggaan, kecintaan
terhadap budaya sendiri menghendaki kreativitas dalam memperlakukan etnisitas seni
budaya yang dipunyai. Maka pemerintah di Jawa Timur mengambil peran aktif dalam
menciptakan kondisi tumbuh berkembangnya seni budaya yang dirasakan
menggembirakan. Peran aktif pemerintah dalam kegiatan kreatif kesenian ini satu sisi
membawa nilai positif dengan maraknya kegiatan pentas seni pertunjukan dan budaya
secara umum juga membawa dampak negatif dilihat dari sisi ketergantungan seniman dan
atau pelaku-pelaku dalam eksisitensi berkeseniannya.

DAFTAR PUSTAKA

Aribowo. 1999. Perspektif Globalisasi dalam Memahami Posisi Seni Pertunjukan, makalah
Temu Seniman Jawa Timur, di STKW Surabaya
Djatiprambudi, Djuli. 2002. Seni (Rupa) dan Politik Identitas dalam Jurnal seni dan
Budaya, Surabaya, UNESA.
Hastanto, Sri. 2002. Peran Serta Masyarakat dalam Indiginasi Budaya Indonesia Makalah
Seminar Seni Pertunjukan Indonesia seri II di STSI Surakarta.
Sularso, Dedi. . 2002.`Marginal dan Globalisasi Tentang Peran Strategis Produk- Produk
Budaya. Universitas Jember.
Hutomo, Suripan Sadi. 2001. Tari Pergaulan Jawa Timur Mencari Konsep dalam Wacana
Tari Indonesia, Surabaya, DKJT.
Murgianto, Sal. 1999. Multikulturaisme dalam Seni Pertunjukan, ‘Ragam Bentuk dan
Motif’, Jurnal MSPI. Bandung, MSPI.
Sutarto, Ayu. 2002. Menjinakkan Globalisasi Tentang Peran Strategi Produk-produk Budaya
Lokal, Universitas Jember.
Sugiharto, Bambang. 1996. Posmodernisme, Yogyakarta. Kanisius.
Timple A Dale. Kreativitas, Seni Ilmu dan seni Manajemen Analisis Kreatif, Jakarta.
Gramedia.
Lutan, Rusli. 1999. Keniscayaan Pluralitas Budaya Daerah, Analisis Dampak Sistem Nilai
Budaya Terhadap Eksistensi Bangsa. Bandung, Aksara.
Wahyudiyanto. 2002. Nilai Kepahlawanan Dalam Tari Ngremo. Jurnal Seni dan Desain,
Malang. Universitas Negeri Malang.

11

Anda mungkin juga menyukai