Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Hal yang membanggakan kita bersama tentu karena perkembangan yang luar
biasa telah terjadi pada seluruh penampilan dengan intensitas (penekanan) ataupun
kekuatan pengembangan masing-masing. kami mengharapkan sebuah
perkembangan yang lebih baik akan terjadi kemasa depan dengan pendekatan
yang lebih baik terbuka tidak harus mengorbankan kekayaan bentuk/jenis/motif
yang ada pada setiap ujud seni jaranan. Diharapkan bahwa pada perkembangan
yang akan datang justru akan terbentuk kembali masing-masing bentuk/jenis
jaranan tersebut sesuai dengan kekuatan tarinya masing-masing sehingga mampu
memperkaya nilai keindahan yang ada pada keanekaragaman seni jaranan.

Perkembangan yang tak diduga adalah terjadinya perubahan besar yang telah
membedah ruang estetik seni jaranan senterewe, sampai-sampai keunikan
senterewe sebagai salah satu bentuk kesenian jaranan khas Tulungagung tidak
Nampak lagi.  Kita bersama telah mengetahui yang sebenarnya kita miliki, yaitu
keunikan jaranan senterewe – jaranan breng – jaranan pegon ataupun jaranan
jawa.  Keunikan tersebut terletak pada keragaman gerak tari – pola ritme –
kekuatan gerak – model busana maupun ukuran kepang.  Ketika para seniman
creator ataupun pimpinan grup menghendaki pola penampilan yang sudah tidak
mengindahkan keunikan yang ada pada setiap bentuk/jenis seni jaranan, justru
merupakan langkah mematikan keunikan tersebut, maka kedepan kita tidak makin
kaya dengan keunikan, tetapi justru akan kehilangan kekayaan yang unik dan
sprsifik tersebut.
Pada era tahun 1970-an, trade merk atau identitas seni jaranan Telungagung
dikenal dengan jaranan senterewe dan jaranan bring, di Kediri dikenal dengan
jaranan pegon atau jawa di trenggalek dikenal dengan jaranan turonggoyakso. 
 Meskipun saat ini berbagai bentuk/jenis jaranan tersebut sudah berkembang
ke berbagai wilayah, seyogyanya tetap melestarikan nilai-nilai yang terkandung
dalam setiap bentuk/jeins seni jaranan, karena adanya nilai-nilai yang sudah
melekat dalam setiap bentuk/jenis jaranan tersebut merupakan perbedaan kualitas
ataupun kekuatan jaranan menjadi beragam. 
Gonjang-ganjing hak paten atas beberapa kesenian Indonesia yang diakui
negara tetangga yakni Malaysia, membuat marah bangsa Indonesia. Isu tentang
hak paten Tari Pendet yang selama ini menurut bangsa Indonesia merupakan
tarian khas dari Bali dan Reog kesenian khas Ponorogo membuat orang Indonesia
kebingungan, karena hal itu sudah kesekian kalinya Malaysia secara hukum
khususnya tentang hak paten selangkah lebih maju tentang seni budaya. Itu tidak
terlepas dari minimnya perhatian pemerintah dan bangsa kita terhadap aset-aset
budaya bangsa. Namun tentu saja bagi bangsa Indonesia, Malaysia dinilai telah
melakukan kesalahan besar. Kesenian atau budaya apa lagi yang akan diakui oleh
Malaysia? Dan apa yang bisa diperbuat bangsa Indonesia?

Selain itu, peminat atau pecinta seni kuda lumping turun drastis saat ini,
masyarakat Indonesia kurang peduli dalam melestarikannya, salah satu alasannya
karena banyaknya budaya asing yang masuk di Indonesia. Maka dengan alasan-
alasan tersebut kami, melakukan observasi tentang kesenian KUDA LUMPING
guna memperkenalkan kembali tentang kesenian ini supaya lebih berkembang,
lebih dikenal, lebih diminati dan tidak tergeser oleh budaya asing. Selain itu
observasi merupakan bagian dari program akademik yang harus diselesaikan oleh
siswa.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah yang
dibahas dalam penulisan makalah ini, antara ain :
1.        Bagaimanakah sejarah Kuda Lumping?
2.        Bagaimanakah alur cerita kesenian Kuda Lumping?
3.        Bagaimanakah keragaman Materi Tari dalam Kesenian Kuda Lumping?
4.        Bagaimanakah kekuatan (kualitas) Tari Kuda Lumping?
5.        Bagaimanakah musik iringan tari kuda lumping?
6.        Bagaimanakah penyajian tari Kuda Lumping?  
7.        Bagaimanakah busana dan rias tari Kuda Lumping?
8.        Apa sajakah property atau perlengkapan dalam tarian Kuda Lumping?
9.        Apa pandangan masyarakat terhadap kesenian Kuda Lumping?

C.      Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini agar dapat bermanfaat bagi pembaca serta
penulis umumnya. Namun, tujuan khusus penulisan makalah ini diantaranya :
1.      Untuk mengetahui dan memahami sejarah tari Kuda Lumping
2.      Untuk mengetahui dan memahami alur cerita kesenian Kuda Lumping
3.      Untuk mengetahui dan memahami keragaman Materi Tari dalam Kesenian
Kuda Lumping
4.      Untuk mengetahui dan memahami kekuatan (kualitas) tari Kuda Lumping
5.      Untuk mengetahui dan memahami musik iringan tari kuda lumping
6.      Untuk mengetahui dan memahami penyajian tari kuda lumping
7.      Untuk mengetahui dan memahami busana dan riass tari kuda lumping
8.      Untuk mengetahui dan memahami property atau perlengkapan dalam tarian
kuda lumping
9.      Untuk mengetahui dan memahami pandangan masyarakat terhadap kesenian
Kuda Lumping
BAB II
PEMBAHASAN

A.      SEJARAH KESENIAN KUDA LUMPING


   Kuda Lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan menaiki kuda tiruan
yang terbuat dari anyaman bambu (kepang). Dalam memainkan seni ini biasanya
juga diiringi dengan musik khusus yang sederhana karena hanya permainan
rakyat, yaitu dengan gong, kenong, kendang dan slompret (alat musik tradisional).
Tidak diketahui secara pasti mengenai asal-usul permainan ini, karena telah
disebut oleh banyak daerah sebagai kekayaan budayanya. Hal ini terjadi karena si
pencetusnya tidak mematenkan permainan ini sehingga bisa dimainkan oleh
siapapun. Di Jawa Timur saja seni ini akrab dengan masyarakat dibeberapa
daerah, diantaranya Blitar, Malang, Nganjuk dan Tulungagung, disamping daerah-
daerah lainnya. Jika dilihat dari model permainan ini, yang menggunakan
kekuatan dan kedigdayaan, besar kemungkinan berasal dari daerah-daerah
kerajaan di Jawa. Panggung rakyat dan perlawanan terhadap penguasa.
Pada masa kekuasaan pemerintahan Jawa dijalankan dibawah kerajaan,
aspirasi dan ruang bergumul rakyat begitu dibatasi, karena perbedaan kelas dan
alasan kestabilan kerajaan. Dan dalam kondisi tertekan, rakyat tidaklah mungkin
melakukan perlawanan secara langsung terhadap penguasa. Rakyat sadar bahwa
untuk melakukan perlawanan, tidak cukup hanya dengan bermodalkan cangkul
dan parang, namun dibutuhkan kekuatan dan kedigdayaan serta logistik yang
cukup. Menyadari hal itu, akhirnya luapan perlawanan yang berupa sindiran
diwujudkan dalam bentuk kesenian, yaitu kuda lumping. Sebagai tontonan dengan
mengusung nilai-nilai perlawanan, sebenarnya kuda lumping juga dimaksudkan
untuk menyajikan tontonan yang murah untuk rakyat. Disebut sebagai tontonan
yang murah meriah karena untuk memainkannya tidak perlu menghadirkan
peralatan musik yang banyak sebagaimana karawitan. Diplih kuda, karena kuda
adalah simbol kekuatan dan kekuasaan para elit bangsawan dan prajurit kerajaan
ketika itu yang tidak dimiliki oleh rakyat jelata. Permainan Kuda Lumping
dimainkan dengan tanpa mengikuti pakem seni tari yang sudah ada dan
berkembang dilingkungan ningrat dan kerajaan. Dari gerakan tarian pemainnya
tanpa menggunakan pakem yang sudah mapan sebelumnya menunjukkan bahwa
seni ini hadir untuk memberikan perlawanan terhadap kemapanan kerajaan.
Selain sebagai media perlawanan, seni Kuda Lumping juga dipakai oleh
para ulama sebagai media dakwah, karena kesenian Kuda Lumping merupakan
suatu kesenian yang murah dan cukup digemari oleh semua kalangan masyarakat,
seperti halnya Sunan Kalijogo yang menyebarkan Islam atau dakwahnya lewat
kesenian Wayang Kulit dan Dandang Gulo, beliau dan para ulama jawa juga
menyebarkan dakwahnya melalui kesenian-kesenian lain yang salah satunya
adalah seni kuda lumping.
Bukti bahwa kesenian ini adalah kesenian yang mempunyai sifat dakwah
adalah dapat dilihat dari isi cerita yang ditunjukan oleh karakter para tokoh yang
ada dalam tarian Kuda Lumping, tokoh-tokoh itu antara lain para prajurit berkuda,
Barongan dan Celengan. Dalam kisahnya para tokoh tersebut masing-masing
mempunyai sifat dan karakter yang berbeda, simbul Kuda menggambarkan suatu
sifat keperkasaan yang penuh semangat, pantang menyerah, berani dan selalu siap
dalam kondisi serta keadaan apapun, simbol kuda disini dibuat dari anyaman
bambu, anyaman bambu ini memiliki makna, dalam kehidupan manusia ada
kalannya sedih, susah dan senang, seperti halnya dengan anyaman bambu kadang
diselipkan ke atas kadang diselipkan ke bawah, kadang ke kanan juga ke kiri,
semua sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa, tinggal manusia mampu atau tidak
menjalani takdir kehidupan yang telah digariskanNya, Barongan dengan raut
muka yang menyeramkan, matanya membelalak bengis dan buas, hidungnya
besar, gigi besar bertaring serta gaya gerakan tari yang seolah-olah
menggambarkan bahwa dia adalah sosok yang sangat berkuasa dan mempunyai
sifat adigang, adigung, adiguno yaitu sifat semaunnya sendiri, tidak kenal sopan
santun dan angkuh, simbul Celengan atau Babi hutan dengan gayanya yang
sludar-sludur lari kesana kemari dan memakan dengan rakus apa saja yang ada
dihadapanya tanpa peduli bahwa makanan itu milik atau hak siapa, yang penting
ia kenyang dan merasa puas, seniman kuda lumping mengisyaratkan bahwa orang
yang rakus diibaratkan seperti Celeng atau Babi hutan.
Sifat dari para tokoh yang diperankan dalam seni tari kuda lumping
merupakan pangilon atau gambaran dari berbagai macam sifat yang ada dalam diri
manusia. Para seniman kuda lumping memberikan isyarat kepada manusia bahwa
didunia ini ada sisi buruk dan sisi baik, tergantung manusianya tinggal ia memilih
sisi yang mana, kalau dia bertindak baik berarti dia memilih semangat kuda untuk
dijadikan motifasi dalam hidup, bila sebaliknya berarti ia memlih semangat dua
tokoh berikutnya yaitu Barongan dan Celengan atau babi hutan.

B.       ALUR CERITA KESENIAN KUDA LUMPING


Seni Kuda lumping merupakan jenis kesenian rakyat yang sederhana,
dalam pementasanya tidak diperlukan suatu koreografi khusus serta perlengkapan
peralatan gamelan seperti halnya karawitan, gamelan untuk mengiringi seni kuda
lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari satu buah kendang, dua buah kenong,
dua buah gong dan sebuah selompret, sajak-sajak yang dibawakan dalam
mengiringi tarian semuanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa
melakukan perbuatan baik dan selalu eling ingat pada sang pencipta.
Secara filosofis masing-masing alat musik yang digunakan dalam
mengiringi tari kuda lumping juga memiliki makna yang berbeda, kendang
berbunyi ndang…ndang…tak…ndlab mempunyai makna yen wis titiwancine
ndang-ndango mangkat ngadeb marang pengeran yang mempunyai arti kalau
sudah waktunya cepat-cepat bangun menghadap tuhanmu, dalam melakukan
ibadah jangan suka ditunda-tunda kenong ……. Slompret ……. Gong ……..
Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional Kuda
Lumping ini seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran
dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk
mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya
dilakukan di lapangan terbuka.
Umumnya, pertunjukan kuda lumping ini berisi beberapa tarian yaitu tari
Buto Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon Putri. Pada fragmen Buto Lawas,
penari berwujud kepala raksasa berwajah seram (Buto) dan badan manusia.
Fragmen selanjutnya adalah tari senterewe, biasanya ditarikan oleh para pria saja
dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi
kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian ini
menggambarkan tentang kehidupan manusia yang di dalamnya berisi keserasian,
keseimbangan dan perbedaan/ perselisihan dalam hidup. Dalam perjuangannya
meniti kehidupan, penari diganggu oleh perwujudan setan yang divisualisaskan
dengan penari topeng (thethek melek) yang berwwajah menyeramkan, lucu, cantik
yang gerakan tariannya sengaja mengecoh atau mengganggu para penari agar
berbuat kesalahan. Selanjutnya, penari yang hanyut oleh penari topeng akan
kesurupan (ndadi). Nah, pada bagian ini kadang-kadnag apresiasi pelaku seni
terkadang kurang tepat, sehingga untuk menjiwai peran ini melibatkan pihak-
pihak yang dapat membuat orang kesurupan lalu menghentikannya.
Sebenarnya tidak harus ksurupan sungguhan tetapi cukup dengan ekspresi
saja. Setelah itu ada bagian tari yang menggambarkan perwatakan manusia
berkepala naga, sebuah symbol angkara murka diperankan dengan tari barong dan
tari celengan yang mengandung maksud menggambarkan kehidupan di hari
pembalasan. Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai,
enam orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian
penutup dari seluruh rangkaian atraksi tari Kuda Lumping.

C.      KERAGAMAN MATERI TARI DALAM SENI JARANAN


Secara garis besar keragaman dalam tari jaranan dapat dipiliah sebagai
berikut :
1.   Ragam gerak tari kuda lumping (jaranan)
Ragam gerak tari jaranan merupakan serangkaian ragam gerak tari yang
menggunakan property jaran (kepang) sesuai dengan bentuk/jenis seni jranan yang
ditarikan (pegon/jawa, breng, senterewe dan lainnya). Dalam keragaman tari
tersebut tentu melekat kesan tari (kekuatan tari atau kualitas tari, pola ritmis, rasa
joged).  Kesan tari tersebut memang perlu dipertajam dengan kemampuan penari
melalui kemampuan gerak, kemampuan musikal maupun penghayatan. Penekanan
tari jaranan setidaknya membawa imajinasi seseorang yang menghidupkan gerak
gerik kuda. Karena perwujudannya dengan menggunakan property kuda, maka
dalam tarian tersebut perlu memperhatikan cara-cara menghidupkan property
tersebut, jadi tidak hanya sekedar dibawa (dipegang) untuk melakukan gerak tari.
2.      Ragam gerak tari jepaplokan
Pada umumnya ragam gerak tari jepaplokan masih sebatas dilakukan
secara improfisasi, setiap penari sebenarnya mempunyai peluang untuk
menginterpretasikan motif-motif gerak yang sesuai dengan kesan ular
(jepaplokan) tidak harus menggeliat-geliat, karena sudah menggunakan property
kepala ular, maka bagaimana menghidupkan kepala ular tersebut melalui gerak-
gerak imajinatif yang terpola dalam bentuk ragam gerak tari jepaplokan, perlu
dipola secara khusus oleh para pelatih (penata tari). Beberapa motif gerak yang
ada pada seni jaranan juga ada yang masih bisa dimanfaatkan untuk jepaplokan,
terutama pada solah kaki, termasuk dalam pengembangann ini adalah
mengembangkan pola perang (rampokan) antara jaranan dengan jepaplokan.
3.      Ragam gerak tari celengan
Pada umumnya ragam gerak tari celeng masih sebatas dilakukan secara
improfisasi, meskipun ada upaya mengembangkan solah celeng dengan kesan
wirengan tanpa menggunakan property celeng. Ada alternative yang bias
dilakukan oleh para penari ataupun para creator (penata tari) bahwa
pengembangan solah celeng dengan menggunakan property maupun tidak
menggunakan property celeng perlu memperhatikan kesan tentang celeng.  Pada
saat penari menggunakan property celeng maka yang diperlukan adalah
bagaimana menghidupkan property celeng tersebut, sedangkan pada saat tidak
menggunakan property, maka yang diperlukan adalah bagaimana seseorang
menari menirukan gerak-gerik celeng, imajinasi tentang celeng seyogyanya
melekat pada motif gerak tari yang dipola.
Pada saat menarikan celeng dengan menggunakan celeng, make penari tak
perlu seperti celeng yang menggunakan taring, tetapi cukup rias tajam untuk
membantu karakter celeng. Demikian pula pengembangan pola perang
(rampogan) antara celeng dengan jaran masih sangat diperlukan pola-pola yang
lebih efektif.
4.      Ragam gerak tari macanan/kucingan
Hadirnya tari macanan ada pula yang menyebutnya kucingan,  dengan
menggunakan property kepala ular seperti jepaplokan tetapi digigit, sehingga
kedua tangan bisa dengan bebas melakukan gerak tari merupakan sebuah
alternative memperkaya penyajian. Yang perlu mendapat perhatian dalam
penampilan tari mcanan/kucingan tersebut adalah perlunya mengembangkan pola
maupun motif ragam gerak tari macanan/kucingan melalui pendekatan imajintif
(membayangkan) sesuai dengan karakter macanan/kucingan yang dimaksudkan. 
Dalam berimajinasi (membayangkan) tesebut kita perlu pendekatan
obyektif tentang sesuatu yang kita bayangkan, misalnya tentang bentuk ataupun
prilaku obyek yang kita bayangkan (bentuk dan prilaku
macanan/kucingan). Untuk membantu pencarian ragam gerak tari
macanan/kucingan ini kita juga bisa memanfaatkan motif jurus harimau atau jurus
kucing yang ada pada seni pencak silat.  Tentu saja perlu mengubah pola ritmis
maupun tempo gerak sesuai dengan musical tari jaranan.
5.      Ragam gerak ular naga
Hadirnya tarian ular naga (barongan ?/mungkin ada sebutan lain ?)
merupakan kekayaan kretif dari para creator seni jaranan, meskipun hadirnya ular
naga tersebut masih belum tergarap secara maksimal, masih berkesan
melengkapi.  Property kepala naga yang digigit sebenarnya memberikan peluang
yang lebih leluasa untuk mengembangkan keragaman gerak tari sebagai symbol
tarian naga, untuk itu diperlukan interpretasi imajinatif agar kita mendapatkan
motif gerak tari yang simbolik.
Yang dimaksud interpretasi imajinatif adalah upaya memperkirakan secara
imajinasi (membayangkan) bagaimana gerakan ular naga.  Untuk pencarian ragam
gerak ini kita bisa juga memanfaatkan motif jurus naga atau jurus ular yang biasa
digunakan dalam seni pencak silat, tetapi pola ritmis dan pola temponya
disesuaikan dengan ritmis dan tempo musikal jaranan.
D.      KEKUATAN (KUALITAS) TARI KUDA LUMPING
Hal yang penting untuk kita simak bersama dalam permasalahan kekuatan
atau kualitas yang ada pada seni jaranan adalah pendekatan sasaran kualitas gerak
dan kepenarian. Pendekatan sasaran kualitas gerak dibangun dari capaian kualitas
yang melekat dari terbentuknya ragam gerak tari, sedangkan kekuatan ataupum
kualitas yang berhubungan dengan kepenarian adalah ukuran kualitas yang
dibangun/dibentuk oleh tubuh penari sesuai dengan kebutuhan kekuatan ataupun
kualitas gerak.
a.      Pendekatan sasaran kualitas gerak
Bagaimana ukuran baik tidaknya menari dalam seni jaranan, misalnya
ukuran baik untuk memperagakan tari jaranan, ukuran baik untuk membawakan
tari jepaplokan, ukuran baik untuk membawakan tari celengan, ukuran baik untuk
membawakan tari pada bagian rampogan dan seterusnya.  Dalam tari ngremo, dari
penilaian / pendapat beberapa sumber dapat dikumpulkan dalam konsep
ASISAPA PONGLATI (adeg – siku – sabet – pacak –polatan - nglaras -
ngayati).  Mungkin dapat menjadi bahan pertimbangan dalam membentuk kulaitas
tari dalam seni jaranan.
b.      Adeg  
Merupakan tatanan sikap tubuh dalam membentuk sikap tari, mulai dari
bagaimana memposisikan ujung kaki hingga ujung kepala.
c.       Siku
Merupakan tatanan persendian tangan dalam membentuk pose-pose atau titik-titik
gerak.
d.      Sabet

Merupakan tatanan cara melakukan gerak dari pose yang satu ke pose yang lain
atau pose berikutnya.

e.       Pacak

Merupakan tata cara melakukan gerak tubuh sehingga memberikan kesan gaya
gerak tubuh hidup.

f.       Polatan
Merupakan tata cara melakukan gerak kepala, sehingga arah hadap sesuai dengan
kebutuhan setiap arah gerak tari.

g.      Nglaras

      Merupakan upaya setiap indifidu dalam mengikuti pola irama dan tempo
sesuai dengan kecepatan setiap ragam gerak tari yang disesuaikan dengan irama
musik. Diharapkan rasa musical mengalir dalam tubuh penari,  sehingga terjadi
kesesuaian yang harmonis antara kesan ritmis yang ada dalam tubuh penari
dengan kesan ritmis yang ada pada musik iringan tari. Nglaras juga dimaksudkan
sebagai kemampuan setiap indifidu untuk memberikan nafas gerak tari.

h.      Ngayati

      Merupakan upaya setiap indifidu dalam menghidupkan perasaannya untuk


dapat mengikuti sentuhan rasa gerak yang melakat pada keragaman gerak
tari. Ngayati juga diartikan sebagai kemampuan setiap indifidu dalam mengolah
dan mengendalikan daya linuwih yang dimiliki untuk mengalirkqn
penghayatannya dalam perjalanan gerak tari sehingga gerak tari bisa menjadi
hidup.

i.        Kepenarian

      Penari merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk mendukung
sebuah penyajian seni jaranan, oleh karenanya kondisi dan kemampuan penari
sangat menentukan keberhasilan penampilan. Pertimbangan yang perlu
dikedepankan dalam hal kepenarian ini antara lain tentang jenis kelamin dan usia
penari.

j.        Penari Laki/wanita

      Penari laki-laki dan wanita secara kodrati tentu mempunyai keunikan


tersendiri, bagaimanapun kuatnya fisik wnita ketika ia membawaqkan tarian putra
tidak terpenuhi dengan sempurna, sebaliknya bagaimanapun luwesnya/femininnya
fisik kaum laki ketika ia membawakan tarian putri tidak akan terpenuhi dengan
sempurna.

k.      Penari Anak2/remaja/dewasa

      Kondisi secara umum, fisik maupun psikis (kejiwaan) tingkat usia anak-anak
akan tidak sama dengan uisa remaja/dewasa. Meskipun secara fisik kemampuan
gerak anak-anak bisa digenjot agar memiliki bentuk dan teknik yang
baik, sebaliknya pada usia remaja/dewasa tidak akan mempunyai bentuk dan
tehnik yang baik bila tidak mempunyai semangat dan spirit yang tinggi untuk
dapat menari yang baik. Hal penting yang perlu kita sikapi bersama adalah
mewujudkan kemampuan penari sesuai dengan kebutuhan penyajian seni jaranan
dengan mempertimbangan kebutuhan.

E.       MUSIK IRINGAN KUDA LUMPING


Hampir seluruh peserta sudah melengkapi alat music jaranan dengan gamelan,
ada yang mengembangkan dengan menggunakan alat music saron dan demung
adapula yang hampir menggunakan seluruh alat music gamelan kecuali rebab-
gambang-gender-suling-siter. Beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan
kembali agar warna atau karakter musik jaranan tidak tertinggal terlalu jauh,
adalah :
1.      Musik dasar

           Berbagai uapaya penggarapan bias saja dilakukan sesuai dengan kebutuhan


selama warna musik dasar tidak tertutup.  Warna musik dasar seni jaranan
dibangun melalui harmonisasi penggarapan ketuk, kempul, gong, slompret, dan
kendang. Warna musik tersebut diatas sudah membentuk karakter yang sangat
kuat sebagai musik seni jaranan.

2.      Musik isen-isen

           Musik isen-isen ataupun music tambahan yang fungsinya untuk


memberikan fariasi dan warna baru agar lebih menarik ataupun dinamis perlu
mempertimbangkan efektifitasnya, pada bagian apa yang perlu diisi dan motifnya
bagaimana, pengembngannya menggunakan vocal (tembang), pola instrumental
atau campuran. Pemanfaatan lagu-lagu campursari sebaiknya bisa dihindari, akan
lebih baik bila setiap gerup/creator menciptakan sendiri tembang isen-isen
tersebut sesuai dengan kebutuhan bagian yang diiseni, karakter lagunya
disesuaikan dengan karakter jaranan yang diperagakan (misalnya rasa
senterewe, rasa bring, rasa jawa, rasa pegon ataupun rasa turonggoyakso). Produk-
produk lagu campursari boleh saja dikumandangkan tetapi tidak pada bagian
sebagai musik pengiring, tetapi lagu campursari untuk mengisi waktu ataupun
memperkaya penyajian yang dilakukan untuk mempertunjukan (tanggapan),
bukan festival.

F.       PENYAJIAN KUDA LUMPING


Secara umum penyajian para peserta festival sudah mengalami
perkembangan yang luar biasa, beberapa catatan tentang penyajian yang perlu
dikaji kembali adalah tentang format penyajian dan gawang (pola lantai atau
formasi). Pada umumnya lintas gerak penari jaranan pada festival kearah kiri,
padahal dalam tradisi seni jaranan pada umumnya lintasan gerak tari dilakukan
kearah kanan, karena hal ini sebagai perlambang perputaran bumi dan perputaran
darah dalam tubuh manusia.  Sehingga akan lebih baik apabila disamping
lintasan-lintas baru yang dilakukan untuk pengembangan artistic penyajian,
lintasan gerak kearah kanan yang sudah mentradisi dan memiliki nilai filosofi
tersebut juga tetap dimanfaatkan (dilestarikan, dipertahankan). 
Masih adanya tampilan para gambuh dalam kemasan festival perlu
dipertimbangkan kembali sebagai totalitas penyajian, apabila gambuh hanya
berdiri dengan tidak melakukan apa-apa justru membuat penampilan kurang baik.
Kecuali peran gambuh dihidupkan melalui sebuah komposisi tari yang
memberikan kesan tertentu dalam penyajian dan masih ada sambung rapetnya
dengan bagian yang lain, mungkin akan memberikan kelebihan (ada sentuhan
baru). Seperti kita ketahui bahwa dalam festival tidak perlu ada ndadi, tetapi yang
lebih penting adalah bagaimana kita mengemas sebuah sajian seni jaranan dalam
waktu yang sepadat-padatnya (sesingkat-singkatnya) yang apik dan menarik untuk
ditonton.
a.    Format penyajian
Dalam membangun stuktur (urutan penampilan) penyajian perlu
mempertimbangkan bagaimana memulai adegan, bagaimana mengembangkan
bagian bagian adegan demi adegan dan bagaimana mengakhir adegan.
                                                                             Bagaimana memulai adegan
Misalnya dimulai dari adegan jepaplokan dengan dua penari kuda dalam
komposisi tari bersama, atau mungkin dimulai dari satu penari kuda melakukan
komposisi tunggal kemudian disusul dua penari lainnya menjadi komposisi tiga
penari kuda, dan seterusnya.
                                                                              Mengembangkan bagian
Sebelum menuju bagian berikutnya, perlu mempola adegan yang sedang kita
garap agar tidak berkesan sekedar tampil, kebanyakan hal ini terjadi pada
penggarapan adegan celeng maupun  jepaplokan.  Saat celeng ataupun jepaplokan
menari bersama penari jaranan, formasi (pola lantai) kurang dikembangkan.
d.      Merangkai dari bagian ke bagian selanjutnya
Pada umumnya perubahan adegan ataupun jalinan dari adegan yang satu ke
adegan yang lain selalu terpusat di tengah panggung, belum memanfaatkan daerah
(area) panggung bagian sudut atau agak ke sudut, bias di bagian area belakang
kiri/kanan, depan kiri/kanan ataupun di arena tengah kiri/kanan.
                                                                              Gawang (pola lantai)
Berbagai penyajian telah ada upaya mengembangkan pola gawang (formasi atau
pola lantai atau adapula yang menyebutnya komposisi), bisa dikata sudah cukup
luar biasa, mungkin sebagai bahan pertimbangan nilai-nilai filosofi pada gawang
yang sudah mentradisi perlu diopeni (dipelihara dan masih digunakan), misalnya
ada gawang papat, gawang lanjer kacang atau lanjaran kacang, gawang prapatan
maupun gawang punjer (mungkin masih ada gawang lainnya yang penulis belum
mengetahui).
Pola gawang tradisi pada seni jaranan ini sebenarnya sebagai keistimewaan
dalam budaya tradisi kita yang menunjukkan bahwa dalam kesenian kita tidak
bisa dilepaskan dengan nilai-nilai kehidupan, tidak bisa dilepaskan dengan nilai-
nilai spiritual.  Hal seperti ini hampir tidak ada pada kesenian modern.
Pemanfaatan gawang tradisi dalam garapan gawang yang baru dilakukan
dengan cara memberikan kombinasi. Nilai-nilai gawang tradisi dalam seni jaranan
yang pernah saya dapatkan dari berbagai sumber pada tahun 1970-an sebagai
berikut :
1)      Gawang papat
Gawang papat sebagai symbol tentang keblat papat lima pancer, formasinya ditata
dengan cara memposisikan dua penari di depan dan dua penari yang lain di
belakangnya.
2)      Gawang lanjaran kacang
Gawang lanjer kacang (lanjaran kacang) sebagai symbol sesuatu
perbuatan/prilaku maupun petuah akan selalu hidup secara berkelanjutan,
formasinya ditata dengan cara memposisikan penari dalam posisi berjajar
memanjang dalam bentuk diagonal/vertical maupun horizontal.
3)      Gawang prapatan
Gawang prapatan sebagai symbol harmonisasi berbagai daya/ kekuatan/nafsu
yang ada dalam diri manusia agar dalam kehidupan manusia bisa mengendalikan
hidup dengan kebaikan.  Formasi gawang ini sama dengan keblat papat, tetapi ada
peralihan penari (pergantian dua penari yang ada di sudut berhadapan).

4)      Gawang punjer
Yang dimaksudkan dengan gawang punjer atau disebut juga dengan punjer
gawang adalah dalam setiap perubahan gawang penari tetap berpedoman pada
titik pusat panggung.

G.      BUSANA DAN RIAS TARI KUDA LUMPING


a.      Secara umum
Penggunaan hiasan pada kepala (iket/tekes/irah2an/jamangan) perlu
dipertimbangkan kembali sesuai dengan spirit, motif maupun latar belakang seni
jaranan.  Untuk kebutuhan pengembanan hiasan kepala kita bisa menyimak relief
yang ada di candi-candi sekitar Kediri, Tulungagung, Blitar, Malang. Model make
up untuk celeng yang membawa property celeng tidak perlu dibubuhi taring pada
bibir, akan lebih tepat bilai hanya dengan make up tajam sesuai dengan karakter
yang Nampak pada property celeng.  Demikian pula pada make up peran
antagonis yang lain.
Untuk kebutuhan seni pertunjukan diatas panggung, bila para creator
ataupun pimpinan grup ingin mengembalikan tata busana jaranan seperti sediakala
(tanpa baju) seyogyanya dipertimbangkan aspek keindahannya, mungkin tubuh
yang kelihatan perlu dibedak (mangir atau lulur) sehingga Nampak indah dan
bersih. Banyak sekali para peserta yang mengenakan celana terlalu pendek (diatas
lutut) sehingga mengurangi keindahan, seyogyanya diupayakan celana yang
dikenakan oleh para penari sepanjang menutupi lutut (ketika dibuat jengkeng
ataupun mendak, lutut tidak Nampak).
b.      Secara spesifik
Perlu ada pengembangan yang lebih karakteristik untuk busana seni
jaranan, terutama pada jepaplokan, celeng, kucingan ataupun peran lainnya. Ada
baiknya bila warna baju juga disesuaikan dengan bentuk dan jenis jaranan,
misalnya untuk mewakili karakter jaranan senterewe yang cenderung agak lincah
itu warna apa, misalnya bisa dengan alternative penggunaan warna merah, kuning,
atau warna apa lagi ?, untuk celeng akan lebih tajam menggunakan warna hitam,
untuk jepaplokan mungkin masih relevan dengan mengenakan kaos lorek-lorek
merah-putih atau lorek lainnya dengan celana panjang yang diberi pisir merah
putih pada pinggiran memanjang kebawah.

H.      PROPERTY atau PERLENGKAPAN TARI KUDA LUMPING


1)      Kuda kepang
           Pada umumnya warna kuda kepang terdiri dari dua warna kontras, teruta
ada nuansa hitam yang lebih kuat dan ada nuansa putih yang lebih kuat, karena
warna hitam-putih ini sebenarnya merupakan symbol tentang kondisi alam, yaitu
adanya siang-malam, baik-buruk, hidup-mati.  Nilai filosofi ini sangat sayang
kalau dihilangkan, justru nilai-nilai semacam ini yang perlu difahamkan kepada
penari sebagai wawarah atau tauladan dalam hidup bermasyarakat.

2)      Cambuk (cemeti/pecut)

           Pemanfaatan cemeti dalam ragam gerak tari perlu dicermati sehingga tidak
hanya berkesan menari dengan membawa cemeti, tetapi cemeti merupakan bagian
dari sebuah komposisi tari atau keragaman tari.  Dengan demikain cara memegang
cemeti dalam berbagai pose tari perlu ditata lebih spesifik.

3)      Gongseng

Agar gongseng tidak berjatuhan saat digunakan untuk menari, maka sebelum
digunakan perlu dikontrol kondisi jahitannya.

4)      Jepaplokan

Perlu adanya pengembangan tata busana maupun bentuk jeplaplokan yang digigit
(kucingan) dan dimainkan dengan tangan agar tidak berkesan sama, hanya beda di
pegang dan digigit.

5)      Celeng

           Perlu mempertegas pengembangan tata busana maupun bentuk celeng


(penari celeng yang menggunakan property lebih menonjolkan  property celeng,
sedangkan penari yang digarap tanpa menggunakan property celeng perlu
mempertimbangkan model busana, model make up maupun model hiasan kepala
yang mewakili bleger (sosok) jeleng .

6)        PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP KESENIAN KUDA


LUMPING
   Banyak orang yang salah paham dalam memaknai seni Kuda Lumping,
mereka beranggapan bahwa para pelaku seni kuda lumping adalah pemuja roh
hewan seperti roh kuda, anggapan itu adalah salah, simbol kuda disini hanya
diambil semangatnya untuk memotifasi hidup, sama halnya dengan suporter sepak
bola di Indonesia, di kota Malang misalnya, mereka menganggap bahwa dirinya
adalah Singo Edan, seporter bola di Surabaya mereka menamakan dirinya Bajol
Ijo, bahkan Negara Indonesia sendiri menggunakan sosok hewan sebagai lambang
Negara yaitu seekor burung Garuda, yang kesemuanya itu adalah nama-nama
hewan, jadi merupakan hal yang salah bila kesenian Kuda Lumping dianggap
kelompok kesenian yang mendewakan hewan.
Sekelompok orang juga beranggapan bahwa kesenian Kuda Lumping dekat
dengan kemusyrikan karena identik dengan kesurupan atau kalap, kemenyan,
dupa dan bunga bungaan, anggapan bahwa kuda lumping dekat dengan
kemusyrikan adalah tidak benar, justru para pelaku seni Kuda Lumping berusaha
mengingatkan manusia bahwa di dunia ini ada dua macam alam kehidupan, ada
alam kehidupan nyata dan alam kehidupan gaib. Hal ini telah dijelaskan dalam
Alqur`an Surat An Nas dan manusia wajib untuk mengimaninya. Fenomena kalap
atau kesurupan bisa terjadi dimana saja dan dapat menimpa siapa saja, baik
dikalangan arena Kuda Lumping maupun tempat-tempat formal seperti sekolahan
atau pabrik, hal itu tergantung pada kondisi fisik dan psikologis individu yang
bersangkutan.
BAB III
PENUTUP
B.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
a.     Kesenian Kuda Lumping merupakan salah satu aset budaya bangsa Indonesia
yang didalamnya sarat akan filosofi hidup.
b.    Di Jawa Timur, kesenian ini telah akrab di beberapa daerah misalnya Blitar,
Tulungagung, Malang, Nganjuk dan beberapa daerah lain.
c.         Namun seiring dengan banyaknya budaya asing yang masuk di Indonesia,
kurangnya perhatian dan kepedulian pemerintah dan bangsa kita terhadap aset-
aset budaya bangsa, maka seakan kesenian Kuda Lumping kurang berkembang,
kurang diminati dan kurang dikenal oleh masyarakat.
d.        Dan bila kejadiannya kesenian–kesenian kita diakui atau dicuri oleh negara
lain, kita baru kebingungan. Oleh karena itu, sebelum ada pengakuan-pengakuan
budaya kita oleh negara-negara lain seharusnya kita lebih peduli terhadap budaya-
budaya bangsa kita sedini mungkin termasuk kesenian Kuda Lumping ini.

C.      Saran
Dalam hal ini promosi sangat diperlukan agar kesenian Kuda Lumping
lebih berkembang dan dikenal oleh masyarakat luas, serta tidak dikalahkan oleh
budaya-budaya asing. Maka kepedulian, perhatian dan tindakan nyata dari
pemerintah dan masyarakat Indonesia terutama generasi muda sangat penting
demi perkembangan dan kelangsungan hidup kesenian asli bangsa kita ini.
DAFTAR PUSTAKA

Browsing di internet dengan link http://lanangudik.blogspot.com/2009/ 12/kesenian-


jaranan.html pada 05 Juni 2017 pukul 18.03 WIB

Anda mungkin juga menyukai