NIM : 2250181189
Kelas :1E
Mata Kuliah : PAI
Ustad Syarif Hidayatullah menuturkan, bahwa kajian psikologi merupakan ilmu yang
mempelajari perilaku manusia. Psikologi Islam jauh berusia lebih tua dari Psikologi Barat.
Hal ini terbangun dari berbagai pendapat ahli.
Psikologi bila dipandang dari sudut ajaran agama Islam selalu mengutamakan
kebenaran dari ilahiyah. Maksudnya ialah semua elemen nan berhubungan dengan
kejiwaan harus selalu menurut pada tuntunan Al-Qur’an serta sunah dari Nabi Muhamad.
Contoh dari unsur kejiwaan ini misalnya semangat spiritual, fitrah, moral, tingkah laku,
kesopanan dan lain-lain.
Para tokoh psikologi Islam di seluruh global juga selalu mengajarkan dan memberi
teori tentang hal tersebut. Meski cara penyampaiannya berlainan atau berbeda, namun pada
inti ajarannya tetap sama.
Adapun tokoh psikologi islam antara lain, (1) Ibnu Rusyd, (2) Ibnu Sina, (3) Ibn
Qayyim Al Jauziyah, (4) Al Ghazali, (5) Al Kindi, (6) Al Farabi, (7) Ibnu Khaldu, (8) Al
Tabari, (9) Ahmed ibn Sahl Al Balkhi, (10) Ja’far As-sadiq, (11) An-Nasyaburi, (12) Ibuni
Miskawayh.
Al Ghazali
Beliau dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana, ayahnya adalah seorang
pengrajin wol sekaligus sebagai pedagang hasil tenunannya, dan taat
beragama,mempunyai semangat keagamaan yang tinggi, seperti terlihat pada simpatiknya
kepada ‘ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ‘ulama yang selalu memberi nasehat
kepada umat. Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya (imam al-
Ghazali)dan saudarnya (Ahmad), ketika itu masih kecil dititipkan pada teman ayahnya,
seorangahli tasawuf untuk mendapatkan bimbingan dan didikan.
B. Psikologi Manusia Menurut Al- Ghazali
Al- Ghazali mengatakan bahwa manusia by nature adalah spiritual goodnes (suci,
fitrah). Konsep sentralnya, manusia memiliki dua watak dasar (dual nature), baik dan
buruk. Yang menentukan manusia baik atau tidak adalah keadaan spiritualnya. Bukan
bergantung pada aspek biological determinism.
Menurut Al-Ghazali, manusia itu tersusun dari unsur materi dan immateri atau
jasmani dan rohani yang berfungsi sebagai abdi dan khalifah di bumi. Ia lebih menekankan
pengertian hakikat kejadian manusia pada rohani dan jiwa manusia itusendiri. Manusia itu
pada hakikatnya adalah jiwanya. Jiwalah yang membedakan manusia dengan makhluk-
makhluk Allah lainnya. Dengan jiwa, manusia biasa merasa, berfikir, berkemauan, dan
berbuat lebih banyak. Tegasnya, jiwa itulah menjadi hakikat yang hakiki dari manusia
karena: sifatnya yang latif, rohani, rabbani, dan abadi sesudah mati.
Al-Ghazali membagi fungsi jiwa dalam tiga bagian, sama dengan Ibnu Sina, yaitu
jiwa tumbuh-tumbuhan (nabatah), hewan (hayawanat), dan manusia (al-Insan). Masing-
masing jiwa ini memiliki daya yang tidak sama. Jiwa nabatah memiliki jiwa
makan,tumbuh, dan berkembang. Jiwa hewan memiliki jiwa gerak, tangkap, dan khayal.
Jiwa manusia memiliki jiwa daya akal, praktis, dan teoritis. Daya praktis erat hubungannya
dengan hal-hal yang bersifat badani (amal), dan daya teoritis berkaitan dengan hal-hal
yang bersifat abstrak (ilmu). Dengan kata lain, daya praktis menimbulkan akhlak, dandaya
teoritis membuahkan ilmu.
Badan itu adalah alat bagi jiwa, sedangkan badan tidak bisa memperalat jiwa. Karena
terdapat perbedaan mendasar dan besar antara jiwa dan badan dalam wujud dan hakikat,
dalam fungsi dan sifatnya juga terdapat perbedaan yang besar. Jiwa bersifat baqa, sedang
badan dalam wujudnya bersifat fana.Kalau Al-Ghazali menekankan unsur kejiwaan dalam
konsepsinya tentangmanusia, pandangnnya itu berarti hakikat, zat, dan inti kehidupan
manusiat terletak padaunsur kejiwaannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ia
sangat menaruh perhatian pada soal kebahagiaan dan kesempurnaan jiwa serta ketinggian
akhlak manusia dalam hidupnya. Menurut Hasan Langgulung, pandangan Al-Ghazali
mengenai jiwa erat hubungannya dengan ilmu jiwa (psikologi) Pemikiran-pemikirannya
tentang kejiwaandalam Islam kalau dikaji secara mendalam akan sampai pada kesimpulan
bahwa ia adalah" psikologi muslim terbesar".
Sungguhpun Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud dan hakikat jiwa jauh berbeda
dengan wujud dan hakikat badan. Hal ini berarti antara keduanya terdapat hubungan saling
mempengaruhi yang terjadi melalui al-ruh. Jiwa harus berhubungan dengan badankarena
manusia adalah makhluk metafisik.
Al-Ghazali menjadikan kasus sehat dan sakit pada badan sebagai contoh untuk
menjelaskan kasus sehat dan sakit pada jiwa. Normalitas pada akhlak merupakan
kesehatan jiwa, dan kecenderungan untuk menjauhi normalitas adalah penyakit dan
gangguan. Dari beberapa uraian Al-Ghazali tentang hubungan jiwa dengan badan
bahwayang dikehendakinya adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Dengan kata
lain, ia tidak menginginkan adanya ketidak serasian antara jiwa dalam konsep manusia dan
pendidikan, penyebabnya tidak bisa terlepas dari situasi dan kondisi yang mengitarinya,
seperti krisis yang melanda masyarakat di bidang agama, sosial, politik, intelektual,moral,
dan spiritual, maupun krisis yang melanda dirinya sendiri tidak dapat merasakan
kebahagiaan dengan kemewahan materi yang dicapai. Ditekankannya unsur kejiwaan
dalam memperbaiki masyarakat sama sekali tidak terlepas dari usahanya untuk
mengharmoniskan kedua unsur kehidupan manusia tersebut.
Sebab, dalam perjalanan hidupnya, Al-Ghazali adalah sosok manusia yang tidak
merasa puas dengan metode ilmu yang terlalu mementingkan logika. Ditengah-tengah
kemasyhurannya sebagai ilmuwan di bidang filsafat, fiqih, dan ilmu pengetahuan
umumlainnya, ia merasa kegelisahan batinnya. Di tengah kemewahan hidup dan
kelengkapan fasilitas yang di perolehnya sebagai ahli ilmu kerajaan, jiwanya merasakan
kehampaan yang mengakibatkannya menekuni dunia tasawuf secara total. Situasi dan
kandisi itu sangat mempengaruhi corak pemikirannya tentang jiwa dan hakikat kehidupan.
Al-Ghazali membagi penyakit manusia ke dalam dua kategori, penyakit fisik dan
penyakit spiritual. Dalam pandangannya, penyakit spiritual jauh lebih berbahaya
dibandingkan penyakit fisik, karena menghasilkan kebodohan dan deviasi dari Tuhan,
semacam penyakit kecanduan dihormati, hasrat kaya yang berlebih, hasud, iri hati,
takabbur, sombong, munafik, ujub, dengki dan seterusnya.
Al-Ghazali juga orang pertama yang membedakan eksternal sense (panca indera luar) dan
internal sense (panca indera dalam). Panca indera luar adalah hidung, mata, telinga, lidah
dan kulit. Sedangkan panca indera dalam adalah hiss musytharik (akal sehat, common
sense), takhayyul (imajinasi), tafakkur (refleksi), tadzakkur (ingatan), dan hâfidz
(memori). Inner sense, menurutnya, berfungsi untuk membantu seseorang mempelajari
pengalaman masa lalu dan memproyeksikannya di situasi yang akan datang.