Anda di halaman 1dari 8

Tugas 1

Mata Kulih: Filsafat Ilmu


-

Gabariel Holen
Gaudensius Dennys
Marshinta Valentine

FILOSOFI DAN PEMIKIRAN JOHN DEWEY TENTANG PENDIDIKAN


1;

Pengantar
Isu-isu di bidang pendidikan selalu menarik untuk diperbincangkan. Fakta itu selaras

dengan munculnya sejumlah pemikir dan ahli di bidang pendidikan; salah satunya adalah
John Dewey seorang filsuf kebangsaan Amerika. Ia lahir di Burlington, Vermont 20 Oktober
1859 dan meninggal di New York, 01 Juni 1952. Sepanjang hidupnya, Dewey dikenal
sebagai pendidik dan pengkritik sosial melalui sejumlah karyanya seperti Psychology (1891),
Outlines of a Critica Theory of Etics (1891, The Study Of Etics: A Syllabus (1894), My
Pedagogic Creed (1897), The School and Society (1903), dan Logical Conditions of a
Scientific Treatment of Morality (1903), dan sebagainya.
Dalam karya-karyanya tersebut, Dewey tampaknya sangat tertarik dengan tema dan
metafora evolusi. Hal itu jelas mengindikasikan bahwa Dewey adalah seorang pengikut
Carles Darwin. Sebagaimana Darwin, gagasan Dewey juga dinilai sangat berat oleh sejumlah
pemikir, bahkan William James mencirikan pandangan Dewey sebagai yang terkutuk
(damnable). Meskipun demikian, pemikiran Dewey sebenarnya banyak mempengaruhi
perkembangan filsafat, politik, pendidikan, religiusitas dan kesenian di Amerika. Sementara
dalam tulisan ini, penulis mencoba merangkum filosofi dan pemikiran John Dewey tentang
pendidikan sebagaimana diuraikan Nel Noddings dalam bukunya, Philosophy of Education.1
2;

Orientasi Filosofi John Dewey (Dewey's Philosophical Orientation)


Hampir semua cabang filsafat dipelajari John Dewey. Dari semuanya itu, filsafat

pendidikanlah yang paling digemari Dewey. Baginya, filsafat pendidikan adalah yang paling
mendasar dan penting dari semunya karena cabang ilmu yang lain bergantung padanya.
Dewey pun menyebut filsafat pendidikan sebagai filsafat hidup.

1 Nel Noddings, The philosophical and educational thought of John Dewey, dalam Philosophy of Education
(California: Stanford University) hlm. 22-33.

Sementara filosofi pendidikan John Dewey sangat dipengaruhi oleh metode dialektika
filsuf Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel.2 Akan tetapi, banyak pengamat menilai bahwa
pemikiran Dewey bukan benar-benar sintesis melainkan sesuatu (ciptaan) baru. Penilaian
tersebut tentu saja berdasarkan pola pikir Dewey yang tampak sebagai filsuf naturalistik.3 Di
mana ia berusaha mencari penjelasan dari fenomena alam, benda dan peristiwa yang dapat
diakses indra. Dia menolak hal-hal yang bermuatan supranatural; bahkan ia mendifinikan
Allah dalam cita-cita, rencana, dan tindakan manusia.
Selain menolak hal-hal yang bersifat supranatural, Dewey juga menolak hal-hal yang
bersifat transenden. Dengan kata lain, Dewey menolak hal-hal yang tidak bisa diamati atau
ketakjelasan jika ditelusuri. Atas penolakannya terhadap sesuatu yang bersifat supranatural
dan transendental, Dewey sering diberi label behavioris. Sementara ditilik dari
pandangannya, banyak pemikir mengkaitkan Dewey dengan Sanders Peirce, William James,
dan George Herbert Mead; yang tak lain seorang filsuf pragmatis. Nel Noddings sendiri
melihat bahwa dari pilihan katanya yang bermuatan peyoratif (yang merendahkan), Dewey
adalah seorang filsuf naturalistik.
Maksud dan Tujuan Pendidikan (The Meaning and Aims of Education)
John Dewey sering mengatakan bahwa pendidikan itu identik dengan perkembangan.
Akan tetapi banyak yang bertanya, apa tujuan perkembangan? Dewey menegaskan bahwa
perkembangan adalah akhir itu sendiri. Sementara yang bertanya, berkembang ke arah
mana? bagi Dewey mereka tidak konsisten dengan konsep perkembangan. Perkembangan
selalu ke arah yang lebih dan tidak harus membuat konsep yang kaku dengan menentukan
arahnya.
Nel Noddings menilai bahwa Dewey tengah mengikuti gaya pemikiran Darwin, yaitu
dengan menganalogikan perkembangan dengan hidup. Darwin mengatakan bahwa tujuan
hidup adalah kehidupan yang lebih, Dewey juga mengatakan tujuan perkembangan adalah
perkembangan yang lebih. Dewey khawatir bahwa kehidupan siswa untuk beberapa
kemungkinan masa depan yang lebih baik sering dikorbankan untuk sesuatu yang sistematis.
Artinya, pendidikan dianggap memiliki tujuan luar sana di suatu tempat di luar kepentingan
dan tujuan siswa saat ini. Untuk menghindari pandangan ini Dewey menegaskan bahwa
pengalaman dapat diartikan sebagai mendidik hanya jika menghasilkan perkembangan.
3;

2 Hegel percaya bahwa kenyataan adalah proses dialektis. Jika dinyatakan sebuah pendapat, pendapat itu akan
ditentang oleh pendapat lainnya. Lalu karena tak puas dengan oposisi itu, kita berusaha memperdamaikannya
dengan pendapat yang lebih lengkap. Tahap pertama disebut tesis yang memunculkan tahap kedua (antitesis).
Akhirnya keduanya diperdamaikan dalam sintesis. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai
Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2004), Hlm. 180-181.
3Sikap dasar seorang naturalistic yaitu monistik (alam semesta merupakan satu-satunya realitas),
antisupernaturlistik, proilmiah, humanistic (manusia merupakan salah satu perwujudan alamiah dari alam
semesta), lihat Lorens Bagus, Naturalisme, dalam Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm.690-691

Pandangan Dewey di atas memang mengundang banyak perdebatan. Di satu sisi


semua orang tentu senang dengan gagasan hidup memiliki tujuan lebih. Di sisi lain, orang
juga tidak senang dengan gagasan yang kabur; perkembangan hanya mengarah pada
perkembangan lebih lanjut. Oleh karena itu, haruskah kita menguraikan makna normative
perkembangan? Bagi Nel Noddings, Dewey tentu saja tidak keberatan jika kita
mengupayakan hal itu. Akan tetapi, upaya kita tidak memuncak dalam gagasan tunggal,
tempat semua perkembangan di arahkan. Dengan kata lain, Dewey menolak sentralitas
gagasan.
Dalam konteks pendidikan, Dewey menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah
pendidikan lebih. Dalam hal ini, Dewey sebenarnya tidak menyangkal adanya tujuan tertentu
dalam pendidikan. Dalam proses pembelajaran, siswa dan guru mencoba untuk mencapai
sesuatu namun tujuan itu sifatnya tidak tetap. Artinya, tujuan itu dipertahankan selama
fungsinya memadai untuk proses pembelajaran. Sebaliknya jika gagal, kita mesti
menggantinya dengan tujuan yang lebih relevan. Akan tetapi, R. S. Peters, seorang filsuf
analitik Inggris menganggap gagasan Dewey keliru sebab tujuan bagi Peter memiliki
keterkaitan dengan alasan sebuah tindakan. Mungkin kita pernah bertanya, apa tujuan Anda
melakukan hal itu? Artinya tujuan menunjukkan target dan harus ada perhatian untuk bias
mewujudkannya. Hal itu akan dijelaskan secara terperinci oleh Dewey dalam tema, Peran
Siswa dalam Pendidikan. Secara singkat Dewey mengatakan tidak hanya guru yang memiliki
tujuan untuk kegiatan yang mereka pilih; siswa juga harus terlibat dalam menetapkan tujuan
pembelajaran mereka sendiri.
4; Pandangan Dewey tentang psikologi (Deweys Phsicology)
Dengan menolak penjelasan supranatural dan transendental, John Dewey terdengar
seperti seorang behavioris, meskipun oposisinya terhadap stimulus-respon psikologi tampak
sangat jelas. Aliran psikologi ini mengklaim bahwa semua prilaku manusia dapat dijelaskan
dalam respon terkondisi (tak terkondisi) terhadap rangsangan lingkungan. Artinya,
lingkungan mengontrol kita, sebaliknya kita tidak bisa mengontrolnya. Bagi Dewey,
organisme manusia tidak hanya menanggapi rangsangan dari luar tetapi juga secara aktif
memilih rangsangan dan respon dengan cara yang sejalan dengan tujuan. Oleh karena itu,
dalam konteks pendidikan Dewey mendesak siswa sebagai organisme aktif agar terlibat
dalam

pembentukan

tujuan

pembelajaran

mereka

sendiri

serta

menggarisbawahi

keyakinannya pada hubungan antara tujuan dan aktivitas.


Dalam karyanya, How We Think, Dewey menjelaskan bahwa fenomena terkenal yaitu
imitasi pada anak tidak sesederhana yang kelihatan. Anak-anak tidak hanya meniru tetapi
juga memilih. Ketika anak-anak meniru, mereka sebenarnya telah mengadopsi bentuk
perilaku tertentu untuk tujuan mereka sendiri. Anak kecil yang meniru lukisan atau tempaan
3

ayahnya sedang mencoba untuk mencapai sesuatu. Oleh karena itu, imitasi tidak boleh
dipermainkan atau dianggap hanya "lucu." Sebagian besar adalah karya nyata dari masa
kanak-kanak.
Dewey pun menganggap anak-anak sebagai pengamat tang cukup cerdik. Mengingat
fakta bahwa anak-anak sering mengembara di filosofi yang linglung (mengagetkan). Di
sekolah dan masyarakat ada rangkap empat ketertarikan anak, yaitu membuat sesuatu
(konstruksi), mencari tahu (inqury), mengekspresikan diri secara artistik, dan berkomunikasi.
Banyak pendidik, menggunakan empat ketertarikan itu dalam pembuatan kurikulum sekolah
dasar dan tidak perlu dibagi berbagai disiplin ilmu, Inggris, sejarah, dan lain-lain. Dalam
perjalannya, anak-anak bisa belajar tentang banyak disiplin ilmu tradisional asalkan guru
menata pengalaman yang sesuai untuk mereka.
Ada beberapa poin penting yang perlu diingat tentang pemikiranl Dewey. Pertama, ia
tidak pernah mengklaim bahwa orang bisa atau sebaiknya bergerak persis seperti urutan
dalam ulasannya. Kedua, beberapa teori pendidikan memotong model pemikiran Dewey
dengan menghilangkan tahap konsekuensi yang menjalani. Misalnya, pada tahun 1970,
program matematika komputerisasi di mana siswa bisa membaca masalah kata (memasukkan
situasi bermasalah) dan menciptakan sebuah persamaan untuk menyelesaikannya. Jika
persamaan itu memadai, komputer memaafkan siswa dari kesalahannya itu lewat jawaban
dan cukup mempresentasikan masalah berikutnya. Hal itu mungkin sangat berguna bagi para
ahli tapi tidak bagi peserta didik.
5;

Teori Dewey Tentang Ilmu Pengetahuan


Apa artinya mengetahui sesuatu? Sebuah pertanyaan dasar ketika topik ilmu

pengetahuan diuraikan. Socrates pun bergumul dengan masalah ini dan memutuskan bahwa
klaim pengetahuan mencakup kebenaran yang diklaim. Jika A mengklaim mengetahui p (p
adalah beberapa proposisi atau dalil), maka untuk yakin dengan klaim tersebut p harus benar.
Sebaliknya jika p salah, kita tidak membenarkan A mengetahui p. Kriteria sebuah kebenaran
adalah jika proposisi yang kita klaim tahu menjadi bagian dari semua. Artinya, proposisi
benar sebelum penyelidikan dimulai. Dengan kata lain, pandangan ini yakin bahwa
kebenaran ada sebelum penyelidikan dimulai dan kebenaran setelah melakukan penyelidikan
hanya menambah pundi-pundi pengetahuan manusia.
Dewey dalam pendekatan naturalistiknya menegaskan bahwa pengetahuan lebih besar
dari kebenaran. Dia berargumen bahwa pengetahuan dianggap benar atau tepat sebagai tubuh
informasi dan keterampilan tempat di mana kita menerapkan inteligisitas dalam penyelidikan.
4

Sementara kebenaran adalah hasil akhir dari peneyelidikan dan proposisi sebagai hasil dari
penyelidikan secara hati-hati atau sari pati dari sebuah penyelidikan komprehensif. Dengan
pertimbangan, proposisi yang didapat menghasilkan bukti yang meyakinkan atau kebenaran
pernyataannya dapat dijamin (warranted assertions).
Banyak filsuf yang merasa keberatan dengan pemikiran Dewey di atas. Oleh karena
itu, Nel Noddings mencoba menguraikan gagasan Dewey menjadi sedikit lebih masuk akal.
Nel mengatakan bahwa ingat bahwa filsafat Dewey adalah naturalistik. Dia ingin
menghindari ketergantungan pada entitas yang tak terobservasi,

yang kekeliruan efek

observasinya bisa teramati. Akan tetapi, Anda mungkin bertanya, mengandaikan beberapa
materi adalah salah, mungkinkah itu menjadi pengetahuan? Dewey mengatakan, Ketika
sebuah proposisi tampaknya salah, kita tidak lagi menggunakannya dalam memandu
penyelidikan.
Perhatikan contoh berikut:
Seorang siswa menggunakan rumus matematika

x+ y= x + y

untuk menyelesaikan

beberapa soal matematika. Ketika dia menggunakan rumusan yang salah itu, dia yakin itu
sebuah kebenaran dan itu memenuhi syarat ilmu pengetahuan. Padahal seorang siswa
matematika sebaiknya menguji rumus tersebut, yaitu:
Jika,

x+ y= x + y maka,

4+ 9= 4 +9 = 13

Akan tetapi kita tahu (setelah melewati penyelidikan) bahwa


Jadi,

4=2 dan 9=3

4+ 9=2+3=5 bukan 13
Contoh di atas menggambarkan dua poin penting dalam teori dan pedagogi John

Dewey tentang pegetahuan. Pertama, manusia pada setiap tahap kematangan menggunakan
materi dari pengalaman sebelumnya dalam memandu penyelidikannya sekarang ini. Kedua,
kita diingatkan bahwa pemecahan masalah sejatinya melibatkan konsekuensi dari pembuatan
dan pengujian sebuah hipotesis.
6;

Demokrasi dan Pendidikan


Pembicaraan

John

Dewey

tentang

demokrasi

dimulai

dengan

pandangan

naturalistiknya bahwa manusia adalah makhluk social yang ingin berkomunikasi. Keinginan
itu mendorong pembentukan nilai-nilai umum. Artinya Dewey tidak memulai dengan
gagasan atau nilai yang telah ada; tidak ada kebenaran-kebenaran kekal dan tidak ada
pedoman Tuhan dalam pengembangan prilaku manusia. Bagi Dewey dorongan untuk
berkomunikasi mendahului penciptaan budaya.

Dalam konteks pendidikan, Dewey mengatakan bahwa sekolah tidak perlu


mempersiapkan siswa untuk komunikasi dengan menuangkan ke dalam mereka nilai-nilai
budaya

dan

pengetahuan

tertentu.

Sebaliknya,

anak-anak

harus

didorong

untuk

berkomunikasi, menanyakan, dan membangun nilai-nilai dan pengetahuan. Dalam hal ini,
Dewey tentunya tidak menyangkal bahwa setiap budaya memiliki nilai-nilai yang ingin
diteruskan atau disebarkan. Akan tetapi, "transmisi atau penyaluran," bagi Dewey sebaiknya
melewati (went well beyond) proses penceritaan dan pengujian. Artinya, budaya
mentransmisikan nilai-nilai dengan menyediakan bagi anak-anak sejumlah pengalaman
sehingga nilai-nilai itu nyata dan signifikan bagi kehidupan mereka sendiri. Misalnya,
sekolah tidak dapat mempersiapkan siswa untuk kehidupan demokrasi dengan hanya
memberikan informasi massa yang akan digunakan pada waktu tertentu di kemudian hari.
Sebaliknya, sekolah mempersiapkan siswa untuk kehidupan demokrasi dengan melibatkan
mereka dalam bentuk hidup demokratis yang sesuai dengan tingkat hidup mereka.
Barangkali dengan menganalogikan metode pedagogis saat ini, yaitu "pendekatan
bahasa sepenuhnya," gagasan Dewey di atas akan tampak lebih jelas. Dalam pendekatan
bahasa secara keseluruhan, kita tidak berusaha mempersiapkan anak-anak untuk aktivitas
bahasa ke depannya yaitu dengan mengajarkan bit suara, ejaan, tata bahasa, dan sejenisnya.
Sebaliknya, kita memasukkan anak-anak dalam pengalaman bahasa. Kami mendorong
mereka untuk mengikuti tujuan mereka sendiri dalam komunikasi. Anak-anak dibantu untuk
menulis cerita mereka sendiri kemudian menyimak hal yang sama dari teman sekelas mereka.
Intinya, anak-anak berbicara dan mendengarkan, membaca dan menulis demi tujuan
berkomunikasi mereka sekarang ini. Demikian pula, untuk belajar berpartisipasi dalam
kehidupan demokrasis. Siswa bekerja sama dalam masalah umum (menetapkan aturan kelas,
pengujian dan mengevaluasi ide-ide untuk perbaikan kehidupan kelas) dan belajar serta
berpartisipasi dalam pembangunan tujuan untuk pembelajaran mereka sendiri. Dengan
demikian, partisipasi siswa dalam hidup demokratis lebih berfungsi dan bias menjadi sarana
menuju pencapaian hidup demokratis di kemudan hari.
Dari perspektif di atas, Dewey tidak melihat demokrasi hanya sebagai sistem
pemerintahan di mana setiap orang menilai dan keputusan mayoritas berlaku. Bagi Dewey,
demokrasi adalah cara hidup yang terkait, di mana keputusan dibuat berdasarkan proses
penyelidikan bersama. Ada dua kriteria pengembangan demokrasi menurut Dewey. Pertama,
demokrasi ditandai dengan sadar berkomuniksasi dan menyampaikan sejumlah kepentingan
atau ketertarikan. Kriteria kedua adalah ujian (crucial test). Apakah orang-orang
berkomunikasi secara bebas melintasi garis kelas, agama, ras dan daerah? Jika itu tidak ada,
6

demokrasi terancam punah. Hal ini mungkin tepat untuk menjawab pandangan yang
mengatakan pluralisme mengancam demokrasi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Dewey melihat demokrasi sebagai bentuk
"hidup yang berkaitan atau bersinanggungan" sesuai dengan metode ilmu pengetahuan, dan ia
sangat tertarik pada hubungan antara demokrasi dan pendidikan. Proses pembelajaran harus
diselenggarakan secara demokratis; sebagai tempat di mana bentuk terbaik

dari hidup

bersama atau bersinangungan dipraktekkan. Sekolah adalah masyarakat kecil di mana anakanak belajar meningkatkan perkebangan mereka sendiri, orang lain, dan seluruh masyarakat.
7;

Kedudukan Pokok Persoalan


Membahas tentang kedudukan sebuah persoalan berarti kita membicarakan tentang

fakta-fakta yang diamati, diceritakan, dibacakan, ide-ide yang disarankan, serta


perkembangan situasi yang memiliki tujuan. Pernyataan itu pun mesti dipahami dalam
konteks studi pembuatan kurikulum.
Beberapa filsuf menganggap nilai-nilai tradisional tidak diperlukan lagi dalam
pembuatan sebuah kurikulum. Akan tetapi, Dewey menyarankan agar sebuah kurikulum tidak
meninggalkan unsur-unsur tradisional tetapi diajarkan dan dijadikan sebagai unsur pokok
materi.

Artinya,

menggunakannya

unsur-unsur

tradisional

dipresentasikan

sehingga

siswa

dapat

sebagai tujuan melalui beberapa situasi problematic. Unsur-unsur

tradisonal tetap diperlakukan dan menjadi bagian dari kurikulum sejauh itu pada hakikatnya
digunakan siswa dalam penyelidikan.
Dalam hal ini, kurikulum bagi dewey, adalah bukan sebuah tubuh materi yang
menjanjikan sebelum instruksi dan penyelidikan. Oleh karena itu, sejarah dan geografi
memiliki peranan yang signifikan ketika berbicara tentang pendidikan. Dengan catatan, kedua
hal tersebut dipresentasikan sebagai tubuh dari fakta-fakta yang tak bertalian. Artinya, sejarah
dan geografi dalam pemikiran Dewey sebaiknya dimasukkan dalam kurikulum sebagai jalan
untuk menjelaskan aktivitas manusia dan memperluas hubungan sosial atau memecahkan
masalah sosial. Akan tetapi, untuk mempertahankan dua sekaligus (sejarah dan geografi)
membutuhkan informasi dan imaginasi yang terlatih. Ketika ikatan atau hubungan hancur,
penyajian geografi itu sediri menjadi campur aduk dan potongan-potongan yang tak terkait
pun sering ditemukan.
Dewey menginginkan siswa memikir-mikir melebihi peristiwa dan aktivitas
manusia. Mengapa sebagian orang bisa menjadi saudagar? Apa mungkin menjelaskan
pertumbuhan sebuah kota besar pada pertemuan 3 sungai? Apa yang dimiliki arus lautan dan
7

angin sehingga berpengaruh terhadap aktivitas hidup mnusia? Mengapa kita menemukan
pertanian berkembang di satu sisi gunung namun di sisi lainnya tidak? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut gagasan Dewey bahwa garis antara dispilin sebaiknya jagan terlalu kaku. Dewey
menginginkan siswa mengalami secara personal kurikulum terpadu.
8;
1;

Penilaian Atas Pemikiran John Dewey


Penerimaan
Dilihat dalam berbagai sudut pandang, Nel Noddings mengatakan bahwa banyak

filsuf saat ini yang setuju dengan gagasan John Dewey; terutama tentang siswa sebagai
subyek aktif mengejar tujuan mereka sendiri dan penolakan atas pemutlakan serta pencarian
kepastian dalam ilmu pengetahuan. Tidak hanya itu, banyak penyidik atau ahli dari zaman
pencerhan awal atau renaisans yang juga membenarkan anjuran Dewey agar demokrasi
terbentuk dalam partisipasi pembelajaran siswa.
Bantahan
Pemikiran John Dewey ternyata tidak hanya dinilai benar tetapi juga dinyatakan
ambigu. Menurut Nel Noddings, ambiguitas pemikiran John Dewey diungkapkan sendiri oleh
pendukungnya. Sebagai contoh, bisakah kita berbicara secara jelas tentang makna sebuah
perkembangan tanpa penspesifikasian tujuan yang jelas? Apa sebenarnya arti dari
pengalaman; jika melihat Dewey di satu pihak mengartikannya secara personal dan di pihak
lain mengartikannya sebagai budaya atau kultur? Adakah gagasan tentang Allah jika tidak ada
kesatuan kehidupan? Bantahan lain dan mungkin yang lebih besar adalah bahwa Dewey lebih
menekankan pemikiran Ilmiah daripada masalah ras, suku dan gender untuk mencari solusi
sebuah persoalan.
9; Penutup
2;

Banyak pemikiran Dewey yang diuraikan pada bagian ini masih menggantung dan
mungkin akan dijelaskan secara terperinci di bab selanjutnya. Meskipun demikian, sejumlah
filosofi dan pemikiran Dewey tentang pendidikan pada bagian ini setidaknya memberi titik
terang bahwa sekolah dapat membantu masyarakat untuk mengembangkan individu-individu
yang memiliki kejelasan, lebih bertanggung jawab tentang apa artinya hidup dalam
masyarakat demokratis.

Anda mungkin juga menyukai