Anda di halaman 1dari 3

Pascatrukturalisme vs Pascamodernisme- Serupa tapi Tak Sama

17 November 2012 17:12:29 Diperbarui: 24 Juni 2015 21:09:47 Dibaca : 652 Komentar : 0 Nilai : 0


PASCASTRUKTURALISME

Pascastrukturalisme paling baik dipahami sebagai perbaikan dan perkembangan dari strukturalisme.

“Poststructuralism is best understood as refinement and outgrowth of structuralis rather than as an


opposing school of thought” (Smith, 2001: 117)

Pascastruturalisme tidak bisa dikatakan sebagai oposisi dari strukturalisme atau anti strukturalisme
karena pada faktanya pascastrukturalisme masih mengacu pada strukturalisme itu sendiri. Hal ini
paling nampak nyata pada dekonstruksi yang dilakukan Derrida terhadap teori tanda de Saussure.
Bagaimanapun pascastrukturalisme tidak bisa serta merta dilepaskan dari strukturalisme.
Pascastrukturalisme tidah bersifat tunggal, dalam artian terdapat banyak pendekatan-pendekatan di
dalamnya. Oleh karena itu, sifat yang ditemukan pada salah satu tokoh pascastrukturalis mungkin
tidak ditemukan pada tokoh pascastrukturalis yang lain.

“structuralism and postructuralism : two commonalities...” (Smith, 2011: 118)

Strukturalisme dan pascastrukturalisme merupakan dua kesamaan, yakni sama-sama bersangkutan


dengan struktur. Hanya saja kedua belah pihak memiliki cara pandang yang berbeda terhadap
struktur tersebut. Seperti pendahulunya, pascastrukturalisme menggunakan lingistik dan model teks
dari kebudayaan. Hal ini terlihat pada karya-karya Levi Strauss, Barthes dan Lacan.

Pada masa strukturalisme kebudayaan merupakan struktur yang  bersifat statis. Pascastrukturalisme
mengubahnya menjadi lebih dinamis dengan hadirnya teori strukturasi Giddens yang memuat
konsep pelaku (agency) sebagai pengubah struktur. Isu yang marak pada era pascastrukturalis
adalah hubungan manusia dan masyarakat yang disung Giddens melalui teori strukturasi.

Tokoh pascastruktural yang paling terkemuka, antara lain Michael Foucault dan Jacques Derrida.
Berbicara tentang Derrida, terkadang tidak mudah untuk mengidentifikasikan apakah ia seorag
pascatrukturalis ataukah pascamodernis. Hal ini terjadi karena terkadang ia berpikir lebih ke arah
pascamodernisme dibandingkan ke arah pascastrukturalisme. Akan tetapi karya Derrida muncul dari
tradisi strukturalis yang diubah olehnya. Karya inilah yang mengindikasikan bahwa Derrida
merupakan kaum pascastrukturalis. Perubahan tradisi strukturalis ini dikenal dengan konsep
dekonstruksi. Dekonstruksi Derrida dilatarbelakangi juga terhadap ketidakpuasannya pada
metafisika kehadiran dan logosentrisme, yakni kecenderungan metafisika untuk mengukuhkan
kebenaran absolut terhadap bahasa. Konsekuensi dekonstruksi Derrida terhadap metafisika
kehadiran dan logosentrisme adalah adanya pemaknaan teks yang bersifat cair (bergantung pada
konteks).

Seperti yang Derrida (1976) katakan, dekonstruksi bertugas untuk membongkar (deconstruire)
struktur-struktur metafisis dan retoris yang bermain dalam teks, bukan untuk menolak atau
menyingkirkan struktur-struktur yang ada, melainkan untuk mendeskripsikannya kembali dengan
cara lain. “Tidak ada sesuatu pun di luar teks” mengacu pada konsep ketiadaan pusat, sehingga
dalam pembacaan atau interpretasi terhadap teks bukan sekedar mereproduksi apa yang dituliskan
penulis melalui teks. Cara mendeskripsikan teks yaitu dengan memanfaatkan penanda bukan
sebagai kunci transendental yang akan membuka pintu gerbang jalan kebenaran, akan tetapi yang
memegang peranan penting disini adalah pembaca sebagai pemikir aktif yang bebas memberikan
makna.
Dekonstruksi bisa dijelaskan melalui cara kerja différance. Différancemerupakan wujud
dekonstruksi terhadap kemapanan yang bertujuan untuk memperbaiki pradigma dalam
strukturalisme (Hoed, 2011: 79). Arti dari différance sendiri berada pada posisi menggantung,
antara dua kata “to differ” (berbeda) dan “to defer” (menunda). (Al Fayyadl, 2004: 110)

PASCAMODERNISME

Pascamodernisme tidak bisa disamakan dengan pascastrukturalis. Pascamodernisme secara umum


merupakan aliran yang menampik prinsip estetika dan dalil-dalil keilmuan yang lahir dan sudah
mantap pada masa pascastrukturalisme. Pascamodernitas muncul dalam bentuk analisis dan
advokasi. Kita akan melihat para tokoh posmodernisme aada yang menggambarkan (analisis) ada
yang mengadvokasikan posmodernisme. Pascamodern terdiri dari beberapa dimensi. Dimensi
tersebut mengacu pada seni dan karya yang menolak bentuk modernisme. Setidaknya terdapat 3
ranah yang menjadi fokus pascamodernisme, yakni 1) arsitektur, 2) sastra, 3) teori sosial dan 4)
ekonomi.

“Postmodernism has several dimensions. It refers, first to an aesthetic and artistic style that rejects
the aesthetic and artistic codes of modernism.” (Smith, 2001: 214)

Ciri-ciri asritektur pada masa posmodern, yakni 1) menekankan pada kesan “playful”  atau
“menyenangkan”  ketimbang “serius”; 2) lebih bersifat eklektik, hibrida, dan adhoc ketimbang
menjurus ke keseragaman; 3) terkadang  berwujud copy ketimbang bersifat “signature”; 4)
estetikanya terlihat tidak selalu menyatu, tetapi terpisah-pisah; 5) harus dapat berkomunikasi
dengan “orang kebanyakan”  (ordinary people). Salah satu toko arsitektur posmodern yang
terkemuaka adalah Charles Jencks yang melancarkan kritiknya terhadap estetika arsitektur modernis
yang dianggapnya sudah ketinggalan jaman.  Seni pascamodernis lebih bersifat menyenangkan,
menggabungkan berbagai produk seni yang ada dan lebih individual.

Pada masa pascamodern terjadi pergolakan teori sosial yang hebat. Yang paling ditekankan adalah
penolakan terhadap grand narratives(teori besar) hasil pemikiran kaum strukturalis dan
pascatrukturalis yang mendominasi saat itu. Adalah Jean-François Lyotard yang mengusung
konsep the decline of grand narratives. Ia menganggap grand narrtives kehilangan kredibilitasnya
dan tidak memperhatikan lagi penyatuan penggunaannya. Lebih lanjut ia juga mengemukakan
bahwa grand narratives tidak lagi memperhatikan apakah sebuah teori itu merupakan spekulasi
ataukah pembebasan.

“The grand narrative has lost its credibility, regardless of what mode of unification it uses,
regardless of whether it is a speculative narrative or a narrative of emancipation” (1984: 37,
dalam Smith, 2001: 219)

Pada masa ini, seni dan karya sastra cenderung lebih menyenangkan dan terfragmentasi. Hal ini
dilakukan agar karya sastra lebih mudah dibaca tanpa harus menguasa pengetahuan yang lebih
mendalam tentang sastra. Banyak karya merupakan campuran dan pinjaman di era
pascamodernisme. Hal ini nampak melalui karya sastra yang menggabungkan antara grand
narratives dan intertekstualitas. Semua hal itu bergantung pada kuasa si pembuat karya. Di dalam
karya sering juga tidak terdapat pesan moral yang jelas. (Smith, 2001: 218). Peran wacana
(discourse) dan teks makin dominan dalam konstruksi struktur masyarakat.
KESIMPULAN

Pascastrukturalisme dan pascamodernisme merupakan dua aliran yang berbeda. Memang pada
praktiknya terdapat kerancuan diantara keduanya mengingat tokoh pascastrukturalis juga ada yang
merupakan tokoh posmodernis, misalnya Derrida. Perbedaan hakiki diantara keduanya adalah latar
belakang kemunculan dan tujuan. Latar belakang munculnya pascastrukturalisme adalah
ketidakpuasan terhadap strukturalisme yang memandang struktur bersifat statis dan juga tentang
konsep oposisi biner yang menempat salah satu yang “lebih”. Meskipun demikian kaum
pascastrukturalis tidak bisa dikatakan sebagai kaum anti strukturalis, mereka hanya memperbaiki
yang dianggap kurang pada strukturalisme.

Di sisi lain posmodernisme merupakan wujud penolakan terhadap segala bentuk modernitas.
Posmodernisme menolak konstruksi modernitas yang sudah mantap. Kaum posmodernis menolak
adanyagrand narratives yang dikembangkan oleh kaum strukturalis dan pascastrukturalis. Dari sini
nampak jelas bahwa ada perbedaan konsep berpikir dari kaum pascamodernis dan pascastrukturalis.

Referensi

Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS

Hoed, Benny H. 2011. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu

Smith, Phillip. 2001. Cultural Theory an Inroduction. Massachusets: Balckwell Publishing

Anda mungkin juga menyukai