111
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
jurnal Critique edisi Desember 19654. Analisa tentang Strauss pada bagian kedua
merupakan makalah yang pernah dipublikasikan pada tahun 1966 5. Pada Of
Grammatology ini terdapat setidaknya dua motif utama, yaitu kritik atas
strukturalisme Saussure dan Strauss serta kritik atas metafisika kehadiran yang
meresapi sejarah filsafat Barat. Derrida berupaya mengkritik strukturalisme Lvi-
Strauss yang sedang marak diperbincangkan pada zaman itu dengan secara sekaligus
mengkritik Rousseau yang diakui oleh Strauss sebagai antropolog pertama dan
tokoh panutannya.
Kita akan bergerak mengikuti urutan argumentasi Derrida dalam Of
Grammatology dengan beberapa klarifikasi problem konseptual yang terkait dalam
Writing and Difference. Berikut adalah susunan bagian ini: pertama, kita akan
melihat latar belakang teoritis pembacaan Derrida (sebagaimana tertuang dalam buku
Of Grammatology bagian 1.1.); kedua, kita akan mengikuti pemaparannya mengenai
gramatologi dan problem tekstualitas (sebagaimana tertuang dalam Of
Grammatology bagian 1.2. dan 1.3.); ketiga, kita akan melihat analisa mengenai
Strauss (sebagaimana tertuang dalam Of Grammatology bagian 2.1.); keempat, kita
akan melihat analisa mengenai Roussau dan esainya, Essay on the Origin of
Language (sebagaimana tertuang dalam Of Grammatology bagian 2.2. hingga 2.4.);
keenam, kita akan menutup makalah ini dengan merenung sejenak mengenai relasi
strukturalisme dan postrukturalisme beserta problem metafisika. Demikianlah
persoalan yang akan kita urai kali ini.
Pada awal bukunya, yaitu dalam bagian Exergue, Derrida menguraikan tiga
poin penting yang akan ia analisa6. Yang pertama adalah problem subordinasi tulisan
di bawah tuturan yang meresapi filsafat Barat. Poin pertama ini terkait erat dengan
poin kedua, yaitu sejarah metafisika yang memprioritaskan kehadiran penuh dari
makna (yang biasanya dilakukan dengan oposisi hierarkis tuturan x tulisan). Poin
ketiga adalah kritik atas konsep sains dan ilmu pengetahuan secara umum (yang
umumnya dipandang mampu merengkuh eidos atau esensi dari kebenaran). Ketiga
poin ini dilandasi oleh insight nya tetang the closure of metaphysics (dan, Derrida
menekankan, bukan the end of metaphysics).
Derrida mengawali bagian pertama dengan menegaskan bahwa problem
bahasa bukanlah satu problem di antara berbagai problem lainnya. Problem bahasa,
alias tanda, sebaliknya, justru merupakan sesuatu yang mendasari dan memungkinkan
artikulasi berbagai problem filosofis dan ilmu serta kehidupan secara umum. Ia
melihat bahwa maraknya perdebatan mengenai bahasa pada abad ke-20, atau yang
dikenal sebagai Linguistic Turn, menunjukkan sebuah gejala (symptomp). Gejala ini
4
Lih. Ibid. hlm. lxxix. (bagian Translators Preface)
5
Lih. Ibid. hlm. lxxxiii.
6
Lih. Ibid. hlm. 3.
112
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
113
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
suara-jiwa). Aliansi ini dilandasi oleh pandangan bahwa dalam momen tuturan,
terutama tuturan dalam hati, terjadi penghantaran makna secara tepat tanpa distorsi,
seakan makna dapat tersingkap secara langsung (immediate) dan utuh. Oposisi biner
antara tuturan x tulisan, dengan demikian, terkait dengan oposisi-oposisi biner yang
lain seperti jiwa x tubuh, interior x eksterior, alam x budaya, kesadaran x
ketaksadaran, murni x kontaminasi, kesucian x keberdosaan.
Namun Derrida tak sekedar ingin membalik hierarki dari oposisi-oposisi itu
karena jika kita sekedar membalikkan hierarki dan membiarkan skema oposisional
itu, maka kita masih terjebak sepenuhnya pada metafisika. Oleh karena itu, Derrida
juga menunjukkan bahwa dalam sejarah filsafat Barat, terdapat juga pemujaan
terhadap tulisan. Tulisan-tulisan seperti Kitab Suci, Book of Nature, mantera-
mantera spiritual, bagi Derrida juga, seperti tuturan, bersifat pneumatologis
(pneuma: nafas; jiwa)15. Inilah yang disebut sebagai tulisan alamiah (natural
writing) yang diandaikan secara immediate bersatu dengan suara dan nafas rohaniah.
Tulisan alfabet (fonetik), bagi Rousseau dan Hegel misalnya, juga dipandang sebagai
tulisan yang paling cerdas dan sempurna. Inilah yang disebut fonosentrisme, yaitu
pengutamaan tulisan fonetik di atas tulisan-tulisan hieroglif dan non-fonetik dari
bangsa-bangsa primitif. Oleh karena itu, Derrida juga mengatakan di pembukaan
bukunya bahwa kritik atas logo-fonosentrisme berarti juga kritik atas etnosentrisme
(Barat) sekaligus juga kritik atas konsep pengalaman (yang diresapi asumsi tentang
kehadiran langsung obyek pada subyek, dengan kata lain, asumsi tentang kehadiran
penuh dari asal-usul makna). Selain itu, melihat asumsi tentang kesatuan antara
kebenaran-tuturan-jiwa, Derrida juga mengatakan bahwa tanda dan divinitas lahir
bebarengan, bahwa the age of the sign is essentially theological16.
Jika Derrida nantinya menggunakan istilah writing sebagai non-originary
origin alias arche-origin dari distingsi tuturan x tulisan dan segala oposisi biner lain,
kita tahu bahwa penggunaan itu bersifat strategis. Writing dalam arti Derridean inilah
yang juga disebut sebagai diffrance dan infrastruktur kuasi-transendental (alias
kuasi-struktur yang memungkinkan realitas menampak pada kesadaran sekaligus
membuat realitas itu tidak mungkin menampak secara penuh dan utuh dalam
kesadaran). Dalam arti ini, writing lah yang memungkinkan pengalaman akan ruang
dan waktu serta seluruh realitas. Jika demikian, istoria (sejarah) tidak lagi merupakan
sekuensi waktu yang merentang secara linear menuju titik akhir yang
merekonsiliasikan segala sesuatu. Istoria yang demikian merupakan sebuah sistem
tertutup dan tertebak secara logis-rasional. Namun persis karena writing selalu
menunda kehadiran penuh dari makna, maka sejarah sebagai tulisan berarti sejarah
tanpa finalitas yang pasti dan tertebak; dengan kata lain, masa depan selalu tak
terantisipasi dalam horison masa kini. Kemenyejarahan berarti pengembaraan menuju
tujuan yang tak pasti, semacam aimless wandering.
15
Jacques Derrida, Of Grammatology, op. cit. hlm. 17.
16
Ibid. hlm. 14.
114
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
17
Ibid. hlm. 26.
18
Paul J Thibault, Re-reading Saussure: The Dynamics of Signs in Social Life (London: Routledge),
1997, hlm. 215.
19
Ferdinand de Saussure, Cours de Linguistique Gnrale sebagaimana dikutip dari Paul J Thibault,
Re-reading Saussure, op.cit. hlm. 233.
115
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
bahasa hanya ada oposisi, between them there is only an opposition.20 Perbedaan
oposisional inilah yang memungkinkan munculnya makna.
Saussure, dengan mengakui peran konstitutif perbedaan pada bahasa,
sebenarnya telah membukakan jalan menuju kritik atas metafisika kehadiran yang
berupaya mengisolasi makna pada dirinya sendiri secara utuh. Dengan mengakui
bahwa setiap tanda selalu terkait dengan tanda lainnya dalam mata rantai penandaan
sehingga makna ditentukan oleh perbedaan dan bahwa makna tidak bersifat given,
Saussure sesungguhnya telah memberikan amunisi bagi perlawanan atas metafisika.
Namun, toh, ia masih saja terjebak dalam metafisika. Ia masih saja memandang
tulisan sebagai aparatus sekunder dari bahasa dan berbicara tentang the tyranny of
writing21. Ia masih saja memandang semiologi (= ilmu tentang tanda) yang ia
ciptakan sebagai bagian dari psikologi (dan dengan itu mengaitkan kembali tanda
dengan kesadaran intuitif dan realitas psikh secara umum)22. Ia masih juga
memandang tulisan sebagai sepenuhnya eksterior dan tidak terkait dengan inner
system dari bahasa dan secara sekaligus berbahaya bagi bahasa secara umum 23.
Singkatnya, Saussure masih mendekam dalam penjara logo-fonosentrisme.
Derrida menimba insight Saussure tentang sifat konstitutif perbedaan dalam
bahasa dan meradikalisasikannya hingga masuk ke ranah kesadaran secara umum. Ia
menekankan kelabilan makna yang muncul sebagai konsekuensi dari mekanisme
perbedaan yang melahirkan makna. Jika makna hanya bisa muncul karena
perbedaannya dengan makna lain dan makna lain ini juga muncul karena
perbedaannya dengan makna yang lain lagi dan jika perbedaan yang satu juga
berbeda dari perbedaan yang lain sehingga perbedaan kedua makna yang
mengkonstitusikan suatu makna selalu didasari oleh perbedaan dengan segala makna
lain dalam rajutan tanda yang konfigurasinya selalu berubah mengikuti perubahan
relasi perbedaan antar berbagai makna satu sama lain, maka makna yang sejati, penuh
dan jelas pada dirinya itu menjadi tak mungkin. Derrida menulis: Identitas-diri dari
petanda secara tanpa henti menyembunyikan dirinya dan selalu dalam perjalanan.24
Hilangnya petanda transendental (= petanda yang memiliki identitas-diri yang
penuh dan jelas dengan sendirinya) yang memungkinkan permainan (play) tak
terbatas antar tanda inilah yang menjadi inti argumen Derrida melawan metafisika
kehadiran. Dan oleh karena kita berpikir hanya dalam tanda-tanda, maka
kontaminasi antar tanda, ketidak-otentikan, pengembaraan, selalu sudah terjadi.
Doubling, diaspora, separasi, selalu sudah terjadi. The origin has played25.
Gerak penundaan-pembedaan (defer-differ) yang memungkinkan segala
konseptualisasi, oposisi metafisis dan penampakan makna pada kesadaran (dan
20
Ibid. hlm. 234. Cetak miring berasal dari Saussure.
21
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 38.
22
Lih. Jacques Derrida, Margins of Philosophy (Sussex: The Harvester Press), 1982, hlm. 149.
23
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 34.
24
Ibid. hlm. 49.
25
Jaqcues Derrida, Ellipsis dalam Writing and Difference (London: Routledge & Kegan Paul), 1978.
hlm. 298.
116
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
sekaligus, persis karena proses penundaan-pembedaan itu tak pernah berhenti karena
konfigurasi tekstual selalu berubah bersama dengan perbedaan, membuat makna tidak
mungkin hadir secara penuh dan murni) itulah yang disebut oleh Derrida sebagai
writing alias arche-writing, arche-trace alias diffrance. Kata arche itu memiliki
arti sebagai asal-usul yang tidak mengasalkan (non-originary origin). Ia adalah
asal-usul sejauh ia memungkinkan makna dan segala konseptualisasi. Ia tidak
mengasalkan dalam arti bahwa ia sendiri selalu tertunda oleh mekanismenya sendiri;
ia tak pernah bisa mengeras menjadi pijakan yang solid karena ia selalu bergerak
dalam penundaan-pembedaan yang selalu mem-belum. (Perlu kita ingat bahwa
Derrida tidak sekedar membalik oposisi tuturan x tulisan. Ia memandang bahwa
gestur pembalikan dengan mengutamakan tulisan di atas tuturan sebagai
kekonyolan26. Jika ia mengutamakan tulisan, itu adalah istilah teknis Derrida
yang artinya bukan sintesa antara tuturan dan tulisan melainkan titik ketidakjelasan,
titik kegilaan yang memungkinkan sekaligus membatasi distingsi tuturan x tulisan.)
Fakta bahwa setiap makna memiliki jejak (trace) pada makna lainnya dan
hanya memiliki identitas dalam perbedaannya dengan antar berbagai makna lain
(sehingga identitas itu selalu tertunda karena konfigurasi makna selalu berubah
mengikuti relasi perbedaan yang tak pernah berhenti menjadi kesamaan)
menunjukkan bahwa teks (dalam arti Derridean) adalah rantai jejak yang menjadi
conditio sine qua non dari kesadaran dan pengetahuan secara umum.
Derrida juga mengatakan bahwa trace terkait erat dengan masa lalu.
Always-already-thereness dari diffrance (yang memungkinkan ruang dan waktu)
menunjukkan bahwa diffrance, sebagai arche-trace, meletak alias terinskripsikan
sebagai absolute past yang tidak bisa dihadirkan dalam masa kini 27. Oleh
karena diffrance, trace, writing adalah inskripsi pada asal-usul, maka konsep waktu
metafisis past-present-future tak bisa mengartikulasikannya. Jejak sebagai masa lalu
absolut di sini dimengerti sebagai asal-usul yang selalu tertunda dan membelum dan
oleh karenanya ia tak bisa dikonseptualisasikan alias dihadirkan dalam horison
antisipatif masa kini. Arche-writing, menurut Derrida, menandai suatu waktu
kematian (dead time). Ia adalah semacam brisure (hinge; engsel) yang menandai
ketidakmungkinan tanda, kesatuan antara penanda dan petanda, diproduksikan dalam
ranah kehadiran dan masa kini absolut.28
117
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
kehadiran. Solicit berasal dari bahasa Latin, sollicitare, yang artinya menghancurkan
bangunan secara keseluruhan. Dengan kata lain, tujuan gramatologi adalah
menghancurkan bangunan skematik-oposisional dari metafisika (dan tidak sekedar
mengganti atau membalik variabelnya saja)31. Gramatologi berproses dengan analisa
tentang tulisan dan tanda serta mempertanyakan the condition of (im-)possibility
dari sains secara umum.
Proses atau mekanisme tanda yang Derrida uraikan, seperti telah kita lihat
tadi, merupakan gestur gramatologis. Maka sebenarnya, sebagai strategi, gramatologi
adalah nama lain dari apa yang nantinya banyak dipakai dan diperluas ke berbagai
bidang oleh Derrida, yaitu strategi dekonstruksi. Sebagai strategi (Derrida menolak
menggunakan istilah metode), gramatologi ini akan kita uraikan dalam bagian 4.2.
Gramatologi ini berupaya menggugat setidaknya tiga hal: kehadiran, epistm dan
asal-usul. Namun, oleh karena ketiga hal ini diandaikan dalam setiap sains, maka
gramatologi bukanlah sains, atau, dengan kata lain, ia adalah sains yang bertujuan
untuk menunjukkan ketidakmungkinan sains, ia adalah sains yang menghancurkan
dirinya sendiri. Hal ini mengantarkan kita pada the closure of epistm bersama
dengan the closure of metaphysics32. Hal ini bukan berarti bahwa kita kembali ke arah
irasionalitas. Gramatologi dan seluruh strategi tekstual Derrida mengantarkan kita
pada ranah perbatasan, borderline, antara metafisika dan seberang metafisika. Kita,
Derrida mengatakan, tak bisa keluar sepenuhnya dari metafisika.
Sebagai ilmu, gramatologi tetap tak mungkin. Pada buku Of Grammatology
ini, gramatologi itu sendiri justru merupakan pertanyaannya, yaitu tentang ke(-
tidak-)mungkinan menemukan hukum-hukum pasti yang mengatur tulisan
(gramm)33. Hukum itu hanya bisa diketahui sebagian, yaitu gerak detour dari
diffrance/trace yang memungkinkan sekaligus membatasi bahasa dan pengetahuan
secara umum. Manuver diffrance tetap tak tertebak, undecidable. Oleh karena itu,
Derrida menulis: Grammatology, this thought, would still walled-in within
presence.34
Semangat nostalgis akan asal-usul alias Rumah yang sejati, akan pondasi yang
kokoh dan pasti, akan kesatuan primordial yang merekonsiliasikan segala sesuatu,
tidaklah muncul pertama kali pada zaman Romantik. Semangat ini barangkali sama
tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Tacitus, seorang sejarawan Romawi,
pada tahun 98 Masehi menulis suatu risalah termashyur yang berjudul Germania.
31
Ibid. hlm. 73.
32
Ibid. hlm. 93.
33
Dalam wawancaranya Derrida mengatakan: Of Grammatology is the title of a question: a question
about the necessity of a science of writing, about the conditions that would make it possible but it
also a question about the limits of this science. Lih. Jacques Derrida, Positions, op.cit. hlm. 13.
34
Jacques Derrrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 93.
118
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
119
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
penutup tentang bab Nambikwara ini nampaknya mesti saya kutip agak panjang
karena di sana terdapat referensi tentang Rousseau dan tentang state of nature.
I had gone to the ends of the earth to look what Rousseau calls the
almost imperceptible stages of mans beginnings. Behind the veil of
the over-complicated laws of the Caduveo and Bororo, I had
continued my search for a state whichas Rousseau also saysno
longer exists, has perhaps never existed, and probably will never
exist, and of which nevertheless essential to form a correct notion in
order rightly to judge our present state. I believed that, having been
luckier than Rousseau, I had discovered such a state in a moribound
society [] I had been looking for a socety reduced to its simplest
expression. That of the Nambikwara was so truly simple that all I
could find in it was individual human beings.43
Melalui bagian penutup bab Nambikwara itu kita melihat bahwa Strauss menganggap
Indian Nambikwara sebagai masyarakat alamiah yang benar-benar memiliki the
simplest expression of human being. Pada kutipan itu terlihat pula suatu kontras
antara hukum birokratis dari masyarakat modern di Caduveo dan Bororo dengan
masyarakat rimba yang murni.
Menurut Derrida, Strauss tidak hanya terjebak pada metafisika kehadiran
melainkan juga, terkadang, seperti menunjukkan jalan keluar dari metafisika. Metode
brikolase dari Strauss, misalnya, yang berproses dengan menggunakan dikotomi-
dikotomi metafisis seperti alam x kebudayaan tetapi dengan kesadaran bahwa
dikotomi-dikotomi itu tidak memadai, bagi Derrida, membukakan jalan menuju kritik
atas metafisika44. Namun Strauss masih saja mendekam dalam logosentrisme
metafisika kehadiran. Ia merasa bersalah ketika ia mengajarkan cara menulis dan
membaca pada suku Indian Nambikwara karena ia takut bahwa tulisan akan merusak
keintiman komunal suku itu dan memicu terjadinya monopoli pengetahuan dan
akhirnya perbudakan45. Strauss juga melihat bahwa masyarakat Indian Nambikwara
sudah memiliki proper name (nama diri). Ia melihat bahwa dalam nama diri
tersebut sudah terdapat kategori sosial. Tapi ia tidak melihat kaitannya dengan
tulisan alias the condition of possibility dari tulisan dan tuturan. Bagi Derrida,
proper name selalu sudah tidak proper karena nama diri hanya berfungsi melalui
klasifikasi dan klasifikasi mengandaikan struktur penundaan-pembedaan atau, dengan
kata lain, arche-writing. Maka, kata Derrida, masyarakat yang mengenal proper name
selalu sudah mengenal tulisan46. Dengan kata lain, proper name hanya bisa
berfungsi jika dan hanya jika ia mengijinkan ke-proper-annya dihapus oleh dirinya
sendiri: the self-effacement of trace.
43
Ibid. hlm. 416.
44
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 104.
45
Lih. Claude-Lvi Strauss, Tristes Tropiques, op.cit. hlm. 390-393.
46
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 109.
120
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
To think the unique within the system, to inscribe it there, such is the
gesture of the arche-writing: arche-violence, loss of the proper, of
absolute proximity, of self-presence, in truth, the loss of what has
never been taken place, of a self-presence which has never been
given but only dreamed of and always already split, repeated,
incapable of appearing to itself except in its own disappearance.47
Tak ada lagi petanda transendental, tak ada lagi Ur-Wort, tak ada lagi aku yang
unik, tak ada lagi ego transendental: kita hanya kopian dari kopian dari kopian dan
seterusnya, dan seterusnya ad nauseam. Kita tinggal gema, sinyal penghabisan yang
fana. Dan, lebih baik (atau buruk) lagi, hilangnya yang sejati itu selalu sudah terjadi,
the loss of what has never been taken place, of a self-presence which has never been
given but only dreamed of. Pada momen ketika seorang bayi dilahirkan, ia selalu
sudah tidak unik. Kita tak pernah bisa mengatakan inilah tempatku di tengah
guyuran cahya mentari dan pelukan bumi. Semangat Derridean ini, untuk sedikit
keluar dari konteks, dengan sangat baik ditampilkan oleh sebuah novel indie yang
bernafaskan Nietzscheo-Derrideo-Baudrillardean, judulnya Fight Club: Tak ada
yang statis. Segalanya sedang menuju kehancuran. [] Kita bukan sekeping salju
yang indah dan unik. Kita hanyalah sampah dunia yang menari dalam guyuran hujan
asam. Kita hanyalah sampah organik yang membusuk sama seperti semua orang, dan
kita semua bagian dari tumpukan kompos yang sama.48
Strauss, sebagai cucu-buyut dari semangat Romantik Rouseauean, masih
sangat nostalgis dalam memandang masyarakat rimba yang menari di bawah purnama
raya. Ia memandang suku Nambikwara sebagai model of original and natural
goodness49. Dengan demikian, ia pun masih terjebak dalam Orientalisme yasng
memandang masyarakat non-Eropa sebagai masyarakat yang unik, perlu di-
preservasi-kan dan dimasukkan dalam gelas kaca untuk diobservasi atau untuk
sekedar rekreasi50.
Dalam karyanya, Structural Anthropology, Strauss memandang tulisan
sebagai sebab dari ketidak-otentikan sosial dengan berkata bahwa We are no
longer linked to our past by an oral tradition which implies direct contact with others.
[] We communicate with [] written documents or administrative machinery []
47
Ibid. hlm. 112. cetak miring dari Derrida.
48
Chuck Palahniuk, Fight Club diterjemahkan oleh Budi Warsito (Yogyakarta: Jalasutra), 2006, hlm.
143 dan 181.
49
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 114.
50
Ibid. hlm. 115.
121
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
which undoubtedly vastly extend our contacts but at the same time make those
contacts somewhat unauthentic.51 Dalam kutipan itu nampak pula suatu ethic of
speech yang berlandaskan nilai-nilai keintiman, proksimitas, kehadiran langsung
makna yang tanpa distorsi. Pada momen ini, sangat menarik untuk melihat juga
pandangan Heidegger, dalam Parmenides, tentang mesin ketik. Dalam semangat yang
sama dengan Strauss (dan Saussure (dan Rousseau)), Heidegger mengatakan bahwa
writing, from its originating essence, is hand-writing. 52 Ia melihat bahwa dalam
mesin ketik, segala sentuhan alami (stroke) dari tangan menjadi hilang. Intensi
menjadi tak mudah ditangkap secara jelas. Oleh karena itu, Heidegger menulis, dalam
kaitan dengan kritik atas teknologi, bahwa Di dalam mesin ketik kita menemukan
irupsi dari mekanisme ke dalam ranah kata-kata. 53 Jadi nampak bahwa pengutukan
Heidegger atas mesin ketik dan penolakan Strauss atas tulisan (yang baginya
menyebabkan inotentisitas sosial) memiliki landasan yang sama, yaitu metafisika
kehadiran langsung dari makna yang self-identical in and for-itself. Dalam Structure,
Sign and Play Derrida menyebutkan bahwa Strauss masih terjebak pada nostalgia
akan asal-usul dan penyesalan atas artifisialitas budaya Barat dengan penekanan pada
tuturan sebagai media yang mewujudkan keintiman yang disebut Derrida sebagai
etika kehadiran, suatu ethic of archaic and natural innocence, of purity of presence
and self-presence in speech54.
122
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
ide-ide yang clear and distinct. Namun, baginya tuturan lebih mampu mempreservasi
passion ketimbang tulisan (yang hanya bisa menyalurkan ide) karena dalam tuturan
terdapat tekanan nada (tone; stroke) yang mampu menyalurkan perasaan57. Rousseau
pun mencoba berspekulasi bahwa Homer tidak menuliskan Illiad karena syair klasik
itu diciptakan untuk dinyanyikan dan bukan untuk dibaca. Namun ketika syair itu
ditulis, maka semakin sedikitlah orang yang menyanyikannya 58.
Rousseau juga membagi asal-usul geografis bahasa menjadi dua yaitu utara
dan selatan. Baginya, bahasa pertama-tama dilahirkan di daerah yang hangat, yaitu
selatan59. Ia menggambarkan bahwa bahasa dan peradaban dilahirkan di mata air pada
negeri-negeri selatan yang hangat. Di dekat sumber air, manusia berkumpul, laki-laki
dan perempuan bertemu, mencintai dan menikah, lalu berkembang menjadi keluarga
besar dan akhirnya suatu bangsa. Dalam iklim yang hangat dimana rumput dan bunga
bakung tumbuh bersama semak berry dan madu hutan, bagi Rousseau, bahasa muncul
karena passion untuk mengungkapkan sukacita akan alam raya yang indah60.
Sementara itu, di negeri-negeri utara yang dingin dimana hangat mentari hanya
muncul sesekali dalam setahun dan langit tak menawarkan hal lain selain warna
kelabu, bahasa tercipta karena kebutuhan (need) fisikal. Karena keganasan alam
utara, bahasa yang dihasilkan tidak mementingkan aspek puitis dan penghayatan
melainkan informasi yang jelas sesuai situasi tertentu (misalnya, perintah dan
organisasi dalam perburuan binatang). Rousseau menulis tentang bahasa jenis ini:
The whole point was not to make someone feel something, but to make him
understand.61
Mengutip Strabo, Rousseau menyamakan asal-usul nyanyian dan tuturan, To
speak and to sing were formerly one.62 Dan bahwa poetry was devised before prose
[] since feelings speak before reason. Ia mengatakan bahwa bahasa pertama yang
muncul pada mata air, seperti telah kita lihat tadi, adalah nyanyian 63 (alias tuturan
yang primordial). Pada momen itu, melodi, alunan nada yang muncul secara spontan
dari hati (jiwa), adalah esensi dari musik. Namun, karena pembelajaran filsafat dan
kemajuan rasio, bahasa kehilangan sifat vitalnya dan sifat passionate nya yang dapat
dinyanyikan.64 Oleh karena itu, dalam musik pun melodi diturunkan dari tahtanya
dan digantikan oleh hukum kalkulus-interval dari harmoni. Pada bab akhir esainya, ia
menggambarkan bahwa setelah rasio melakukan penindasan atas perasaan spontan
yang alamiah (yang terwujud lewat subordinasi puisi di bawah filsafat dan melodi di
bawah harmoni), bahasa pun di-usurpasi oleh pemerintah dalam suatu mekanisme
57
Ibid. hlm. 21-22.
58
Ibid. hlm. 23.
59
Ibid. hlm. 30.
60
Ibid. hlm. 46.
61
Ibid. hlm. 48.
62
Ibid. hlm. 51.
63
Ibid. hlm. 50.
64
Ibid. hlm. 68.
123
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
124
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
metafisika (bahkan bahasa sehari-hari yang seringkali dipandang naif dan lugu
sekalipun tetap metafisis) karena setiap modus berbahasa selalu sudah terstruktur
berdasarkan skema oposisional yang memungkinkan makna bahasa itu sendiri. Oleh
karena itu, Derrida menawarkan kemungkinan yang terbaik untuk tidak sepenuhnya
terjebak dalam metafisika, yaitu dengan melakukan suatu textual re-arrangement,
suatu re-inscription, yang mengubah rajutan skema konseptual-oposisional yang
metafisis menjadi undecidable. Itulah sebabnya Derrida masih menggunakan nama-
nama yang dianggap metafisis seperti arche, non-originary origin dan sebagainya.
Inilah yang disebut logika paleonim, yaitu menggunakan nama-nama lama (yang
dianggap termasuk dalam imperium metafisika) namun dengan menunjukkan pula
ketidak-unikan nama-nama itu dan ketidakterdugaan maknanya, sehingga nama-nama
itu menghancurkan sistem oposisi metafisis dan dirinya sendiri. Inilah yang disebut
sebagai double gesture, yaitu dengan masuk ke dalam aturan yang distruktur oleh
sistem oposisi metafisis dan mengikutinya namun melakukan pengkhianatan terhadap
sistem sehingga sistem itu roboh dan dirinya ikut mati tertimpa reruntuhan sistem itu
(karena kalau ia, nama-nama itu, masih hidup maka ia akan menjadi rezim baru;
dengan kata lain, ia mesti mati dan menjadi hantu / es spukt yang mengganggu setiap
bangunan sistemik metafisika). Itulah sebabnya Derrida disebut sebagai agen ganda
(double agent) yang tak memiliki alamat yang tetap dan selalu berpindah rumah
(bukan Rumah), seperti nomad: slash, burn and move on.
69
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 141.
70
Ibid. hlm. 144.
125
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
tulisan menyuplemen tuturan yang tak bisa berjalan tanpa suatu kontaks langsung
antara pembicara-pendengar. Tapi sebagai substitusi untuk mengisi
ketidakhadiran/kekosongan, tulisan mesti diasumsikan eksterior terhadap sistem
internal bahasa dan mesti berbeda dari apa yang ditambahkan (karena jika sama
dengan apa yang telah tersedia, maka tak akan ada suatu penambahan). Agar dapat
menambahkan dan mengisi ke(-tidak-)hadiran, suplemen mestilah sesuatu yang-
lain71. Relasi suplementaritas inilah yang tak disadari oleh Rousseau. Oleh karena itu,
skema oposisional yang menstruktur bangunan filsafat Rousseau nampak tidak
konsisten72. Awalnya ia mengutamakan tuturan di atas tulisan, lalu ia mengutamakan
gestur di atas tuturan, lantas ia memandang bahwa gestur dan tuturan saling
menyuplemen satu sama lain. Rousseau tak pernah berhasil mendasarkan bangunan
filsafatnya pada suatu pondasi tertentu. Hal ini, menurut Derrida, disebabkan oleh
fakta infrastruktural (diffrance sebagai supplment) yang sebenarnya telah disentuh
oleh Rousseau tetapi tidak ia sadari (atau sengaja ia hindari). Sampai akhir Rousseau
tetap mengupayakan suatu pendasaran yang solid dan tunggal bagi teorinya. Akhirnya
ia mengutamakan nilai kelangsungan dan keintiman (entah itu terejawantah dalam
tuturan ataupun dalam gestur).
Setiap kali Rousseau menghadirkan sesuatu yang dianggapnya sekunder untuk
menyuplemen yang primer (tulisan-tuturan, kebudayaan-alam, masturbasi-hubungan
seksual, dan seterusnya), suplemen itu berbalik menyerang koherensi dan kemasuk-
akalan teorinya sendiri, sehingga Rousseau berjuang lagi untuk merepresinya. Dalam
momen ini terjadi pula apa yang disebut Derrida sebagai oto-afeksi (auto-
affection)73. Oto-afeksi adalah proses penegasan identitas-diri melalui konseptualisasi
atas yang-lain sebagai yang bukan aku sehingga memungkinkan pembentukan
subyektivitasku. Dengan kata lain, yang lain, entah itu tulisan, kebudayaan ataupun
masturbasi, dihadirkan untuk memenuhi dan mensubstitusi (baca: menyuplemen)
pembentukan identitasku. Mekanisme ini diandaikan berbentuk suatu sirkel atau
lingkaran penuh. Sistem lingkaran tertutup ini berlandaskan pada asumsi bahwa
yang lain yang dihadirkan untuk menyuplemen identitas diri dapat diatur secara
pasti melalui hukum-hukum logis tertentu.
Namun Rousseau tidak menyadari bahwa suplemen bisa menggila
(maddening) dan merusak keutuhan sistem. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa
suplemen, yang-lain, tidak bisa dikontrol sepenuhnya oleh ego. Justru ego-lah yang
dimungkinkan oleh yang lain (jangan buru-buru disamakan dengan orang lain);
dengan kata lain, yang lain, sebagai suplemen, sebagai diffrance, merupakan
conditio sine qua non dari ego secara umum. Pandangan oto-afektif, seperti yang
dilakukan Rousseau, adalah manifestasi dari kelupaan-akan-diffrance. Derrida
menulis: Auto-affection constitutes the same (auto) as it divides the same.74 Agar
71
Lih. Ibid. hlm. 145.
72
Lih. Robert Bernasconi, No More Stories, Good or Bad: de Mans Criticism of Derrida on Rousseau
dalam David Wood (ed.), Derrida: A Critical Reader (Oxford: Blackwell Publisher), 1992, hlm. 144.
73
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 154.
74
Ibid. hlm. 166.
126
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
Maka jelas bahwa relasi suplementer selalu sudah terjadi. Tak ada eksterioritas
(ataupun interioritas) absolut. Tak ada eksklusi total (ataupun eksklusivitas total). Ko-
implikasi, jaringan suplemen, pembedaan-penundaan, selalu sudah terjadi. Namun,
untuk (tidak) memperumit permasalahan, suplemen tidak pernah terjadi. Derrida
menulis: it has never taken place: it is never present, here and now. If it were, it
would not be what it is, a supplement, taking and keeping the place of the other. 77
Maka suplemen tak pernah ada, hadir ataupun terjadi. Apa maksudnya ini? Dalam
esainya yang ia tulis di tahun 1963, Force and Signification, Derrida mendeskripsikan
hal itu sebagai Force, suatu strange movement within language78. Dengan kata lain,
suplemen, diffrance, arche-writing, bukanlah suatu fundamentum absolutum
inconcussum. Ia bukanlah pondasi yang jelas, kokoh dan bisa ditunjuk dengan jari
melainkan suatu pergerakan yang terus berproses dengan membedakan dirinya dan
menunda identitas dirinya: ia selalu belum. Jadi: dimanakah suplemen? Tidak
dimanapun. Dimana-mana.
75
Ibid. hlm. 200.
76
Ibid. hlm. 304.
77
Ibid. hlm. 314.
78
Jacques Derrida, Force and Signification dalam Writing and Difference, op.cit. hlm. 27.
127
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
PENUTUP
79
Ibid. hlm. 26.
128
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya
80
Jacques Derrida, Cogito and the History of Madness dalam Writing and Difference, op.cit. hlm. 35.
81
Jacques Derrida, Violence and Metaphysics dalam Ibid. hlm. 151.
82
Ibid. hlm. 152.
129