Anda di halaman 1dari 19

2.3.

Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan


Kesudahannya:
Membaca Of Grammatology

Pada bagian ini kita akan menguraikan argumentasi Derrida sebagaimana


tertuang dalam salah satu kitab kanonnya, Of Grammatology. Pertama kita akan
melihat posisi kitab ini dalam sejarah pemikiran Derrida dan filsafat Barat secara
umum. Pada tahun 1967, Derrida menerbitkan, secara serentak, tiga buah buku, yaitu
Of Grammatology (dua buah esai tentang strukturalisme dan Rousseau), Writing and
Difference (sebelas esai tentang berbagai topik filosofis) dan Speech and Phenomena
(sebuah esai panjang tentang fenomenologi Husserl). Dalam wawancaranya dengan
Henri Ronse di tahun 1967 yang diterbitkan dalam Positions, Derrida mengatakan
bahwa Of Grammatology dapat disisipkan di tengah-tengah kumpulan esai Writing
and Difference (yaitu antara esai kelima dan keenam) dan sebaliknya, Writing and
Difference dapat pula disisipkan pada pertengahan Of Grammatology (yaitu antara
bagian pertama dan kedua)1. Ia menambahkan bahwa Speech and Phenomena dapat
ditempatkan sebagai catatan akhir yang panjang atas kedua buku di atas, atau, dapat
pula ditempatkan sebagai catatan pembuka bagi kedua buku itu 2. Dengan demikian,
Derrida menunjukkan kesaling-terkaitan antar berbagai teksnya. Teks-teksnya
membentuk semacam theoritico-textual matrix yang menunjukkan karakter
filsafatnya. Dalam ketiga teks itu telah terjalin suatu insight menyeluruh yang
meresapi seluruh permenungannya di kemudian hari. Oleh karena itu, dalam bagian
ini kita akan menguraikan argumentasi Derrida dalam Of Grammatology bersama
dengan isu-isu yang ia angkat dalam Writing and Difference. (Sementara Speech and
Phenomena, karena kerumitan dan keluasan problematika teoritisnya, akan kita bahas
tersendiri dalam bagian lain).
Of Grammatology terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, Writing before the
Letter, berisi tentang pemaparan matriks teoritis, kritik atas strukturalisme Ferdinand
Saussure dan berbagai konsep yang akan dipraktekkan dalam bagian kedua, Nature,
Culture, Writing, yang mengupas motif-motif metafisika kehadiran dalam karya-
karya Claude Lvi-Strauss dan dalam teks Rousseau, Essay on The Origin of
Language3. Bagian pertama merupakan makalah presentasinya pada seminar
Lcriture et la psychologie des peuples yang pertama kali ia publikasikan dalam
1
Jacques Derrida, Positions (Chicago: The University of Chicago Press), 1981, hlm. 4.
2
Ibid. hlm. 5.
3
Lih. Jacques Derrida, Of Grammatology (Baltimore: The Johns Hopkins University Press), 1976,
hlm. lxxxix (bagian Preface).

111
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

jurnal Critique edisi Desember 19654. Analisa tentang Strauss pada bagian kedua
merupakan makalah yang pernah dipublikasikan pada tahun 1966 5. Pada Of
Grammatology ini terdapat setidaknya dua motif utama, yaitu kritik atas
strukturalisme Saussure dan Strauss serta kritik atas metafisika kehadiran yang
meresapi sejarah filsafat Barat. Derrida berupaya mengkritik strukturalisme Lvi-
Strauss yang sedang marak diperbincangkan pada zaman itu dengan secara sekaligus
mengkritik Rousseau yang diakui oleh Strauss sebagai antropolog pertama dan
tokoh panutannya.
Kita akan bergerak mengikuti urutan argumentasi Derrida dalam Of
Grammatology dengan beberapa klarifikasi problem konseptual yang terkait dalam
Writing and Difference. Berikut adalah susunan bagian ini: pertama, kita akan
melihat latar belakang teoritis pembacaan Derrida (sebagaimana tertuang dalam buku
Of Grammatology bagian 1.1.); kedua, kita akan mengikuti pemaparannya mengenai
gramatologi dan problem tekstualitas (sebagaimana tertuang dalam Of
Grammatology bagian 1.2. dan 1.3.); ketiga, kita akan melihat analisa mengenai
Strauss (sebagaimana tertuang dalam Of Grammatology bagian 2.1.); keempat, kita
akan melihat analisa mengenai Roussau dan esainya, Essay on the Origin of
Language (sebagaimana tertuang dalam Of Grammatology bagian 2.2. hingga 2.4.);
keenam, kita akan menutup makalah ini dengan merenung sejenak mengenai relasi
strukturalisme dan postrukturalisme beserta problem metafisika. Demikianlah
persoalan yang akan kita urai kali ini.

1. LATAR BELAKANG TEORITIS OF GRAMMATOLOGY

Pada awal bukunya, yaitu dalam bagian Exergue, Derrida menguraikan tiga
poin penting yang akan ia analisa6. Yang pertama adalah problem subordinasi tulisan
di bawah tuturan yang meresapi filsafat Barat. Poin pertama ini terkait erat dengan
poin kedua, yaitu sejarah metafisika yang memprioritaskan kehadiran penuh dari
makna (yang biasanya dilakukan dengan oposisi hierarkis tuturan x tulisan). Poin
ketiga adalah kritik atas konsep sains dan ilmu pengetahuan secara umum (yang
umumnya dipandang mampu merengkuh eidos atau esensi dari kebenaran). Ketiga
poin ini dilandasi oleh insight nya tetang the closure of metaphysics (dan, Derrida
menekankan, bukan the end of metaphysics).
Derrida mengawali bagian pertama dengan menegaskan bahwa problem
bahasa bukanlah satu problem di antara berbagai problem lainnya. Problem bahasa,
alias tanda, sebaliknya, justru merupakan sesuatu yang mendasari dan memungkinkan
artikulasi berbagai problem filosofis dan ilmu serta kehidupan secara umum. Ia
melihat bahwa maraknya perdebatan mengenai bahasa pada abad ke-20, atau yang
dikenal sebagai Linguistic Turn, menunjukkan sebuah gejala (symptomp). Gejala ini
4
Lih. Ibid. hlm. lxxix. (bagian Translators Preface)
5
Lih. Ibid. hlm. lxxxiii.
6
Lih. Ibid. hlm. 3.

112
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

menunjukkan bahwa sejarah metafisika (historico-metaphysical epoch) mesti pada


akhirnya menempatkan bahasa sebagai totalitas dari seluruh problematika
horisonnya7. Di sini Derrida seakan ingin menunjukkan bahwa balikan linguistik
adalah suatu keniscayaan historis. Kecenderungan ini diperkuat lagi oleh
perkataannya bahwa sejarah subordinasi atas tulisan dan pengutamaan atas kehadiran
kebenaran langsung bukanlah kontingensi historis [melainkan] absolutely
necessary8. Dan kini, menurut Derrida, metafisika itu sedang menuju penghabisan
(exhaustion) nya sendiri. Apakah di sini Derrida sedang berbicara dengan nada
Heideggerean? Barangkali. Karena kita tahu, Heidegger sendiri berbicara tentang
takdir-sejarah Ada (Geschick des Sein). Namun, tentu saja, Derrida menolak jika
sejarah dalam konteks ini dipahami sebagai sekuensi waktu yang merentang secara
linear menuju titik akhir (eskhaton). Ia dengan waspada memperingatkan kita:
Sejarah dan pengetahuan, istoria dan epistm, selalu dipandang sebagai suatu gerak
detour demi tujuan untuk reapropriasi kehadiran.9 Sementara Derrida mengupayakan
suatu mutasi baru dalam pembacaan tentang sejarah, yaitu sejarah sebagai
tulisan10. Tentunya kata tulisan di sini mesti dipandang dalam kerangka istilah
Derrida. Hal ini akan kita bahas nanti setelah klarifikasi atas tema metafisika
kehadiran, logo-fonosentrisme dan motif yang mendasari subordinasi tulisan.
Pada bagian awal karyanya, De Interpretatione, Aristoteles menulis: spoken
sounds are symbols of affection in the soul, and written marks are symbols of spoken
sounds11. Derrida melihat bahwa dalam pernyataan Aristoteles itu terdapat suatu
pengandaian umum yang melandasi seluruh filsafat Barat, yaitu bahwa suara
memiliki relasi dan kedekatan (proximity) langsung dengan jiwa dan pemikiran.
Pengandaian inilah yang disebut Derrida sebagai hearing (understanding)-oneself-
speak. Dalam Cours de linguistique gnrale, Saussure menulis bahwa bahasa dan
tulisan adalah dua sistem tanda yang berbeda; yang kedua ada sepenuhnya untuk
mewakili yang pertama12. Dalam Emile, Rousseau menulis: Bahasa dibuat untuk
dituturkan; tulisan membantu sebagai suplemen bagi tuturan 13. Bahkan Heidegger
pun juga memandang bahwa bahasa adalah flower of the mouth, bahwa tuturan
adalah the spirit of language dan bahwa bahasa mesti mengakar serta merumah
pada bumi14. Melalui contoh-contoh di atas terlihat jelas bahwa tulisan selalu
ditempatkan di bawah tuturan dalam proses artikulasi/penyingkapan kebenaran.
Subordinasi tulisan di bawah tuturan itulah yang disebut sebagai logo-fonosentrisme.
Dalam subordinasi itu terdapat aliansi antara logos-phone-psikh (tuturan/kebenaran-
7
Ibid. hlm. 6.
8
Ibid. hlm. 7.
9
Ibid. hlm. 10.
10
Ibid. hlm. 8.
11
Aristoteles, De Interpretatione dalam Jonathan Barnes (ed.), The Complete Works of Aristotle Vol I
(New Jersey: Princeton University Press), 1995, hlm. 25.
12
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 30.
13
Ibid. hlm. 303.
14
Martin Heidegger, The Nature of Language dalam On the Way to Language diterjemahkan oleh Peter
D Hertz (New York: Harper & Row), 1971, hlm. 98-99.

113
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

suara-jiwa). Aliansi ini dilandasi oleh pandangan bahwa dalam momen tuturan,
terutama tuturan dalam hati, terjadi penghantaran makna secara tepat tanpa distorsi,
seakan makna dapat tersingkap secara langsung (immediate) dan utuh. Oposisi biner
antara tuturan x tulisan, dengan demikian, terkait dengan oposisi-oposisi biner yang
lain seperti jiwa x tubuh, interior x eksterior, alam x budaya, kesadaran x
ketaksadaran, murni x kontaminasi, kesucian x keberdosaan.
Namun Derrida tak sekedar ingin membalik hierarki dari oposisi-oposisi itu
karena jika kita sekedar membalikkan hierarki dan membiarkan skema oposisional
itu, maka kita masih terjebak sepenuhnya pada metafisika. Oleh karena itu, Derrida
juga menunjukkan bahwa dalam sejarah filsafat Barat, terdapat juga pemujaan
terhadap tulisan. Tulisan-tulisan seperti Kitab Suci, Book of Nature, mantera-
mantera spiritual, bagi Derrida juga, seperti tuturan, bersifat pneumatologis
(pneuma: nafas; jiwa)15. Inilah yang disebut sebagai tulisan alamiah (natural
writing) yang diandaikan secara immediate bersatu dengan suara dan nafas rohaniah.
Tulisan alfabet (fonetik), bagi Rousseau dan Hegel misalnya, juga dipandang sebagai
tulisan yang paling cerdas dan sempurna. Inilah yang disebut fonosentrisme, yaitu
pengutamaan tulisan fonetik di atas tulisan-tulisan hieroglif dan non-fonetik dari
bangsa-bangsa primitif. Oleh karena itu, Derrida juga mengatakan di pembukaan
bukunya bahwa kritik atas logo-fonosentrisme berarti juga kritik atas etnosentrisme
(Barat) sekaligus juga kritik atas konsep pengalaman (yang diresapi asumsi tentang
kehadiran langsung obyek pada subyek, dengan kata lain, asumsi tentang kehadiran
penuh dari asal-usul makna). Selain itu, melihat asumsi tentang kesatuan antara
kebenaran-tuturan-jiwa, Derrida juga mengatakan bahwa tanda dan divinitas lahir
bebarengan, bahwa the age of the sign is essentially theological16.
Jika Derrida nantinya menggunakan istilah writing sebagai non-originary
origin alias arche-origin dari distingsi tuturan x tulisan dan segala oposisi biner lain,
kita tahu bahwa penggunaan itu bersifat strategis. Writing dalam arti Derridean inilah
yang juga disebut sebagai diffrance dan infrastruktur kuasi-transendental (alias
kuasi-struktur yang memungkinkan realitas menampak pada kesadaran sekaligus
membuat realitas itu tidak mungkin menampak secara penuh dan utuh dalam
kesadaran). Dalam arti ini, writing lah yang memungkinkan pengalaman akan ruang
dan waktu serta seluruh realitas. Jika demikian, istoria (sejarah) tidak lagi merupakan
sekuensi waktu yang merentang secara linear menuju titik akhir yang
merekonsiliasikan segala sesuatu. Istoria yang demikian merupakan sebuah sistem
tertutup dan tertebak secara logis-rasional. Namun persis karena writing selalu
menunda kehadiran penuh dari makna, maka sejarah sebagai tulisan berarti sejarah
tanpa finalitas yang pasti dan tertebak; dengan kata lain, masa depan selalu tak
terantisipasi dalam horison masa kini. Kemenyejarahan berarti pengembaraan menuju
tujuan yang tak pasti, semacam aimless wandering.

15
Jacques Derrida, Of Grammatology, op. cit. hlm. 17.
16
Ibid. hlm. 14.

114
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

Karena writing menghancurkan sistem yang tertutup dan membukakan jalan


bagi (non-)sistem yang terbuka dan tak tertebak, maka Buku menjadi teks. Buku
dalam sense Derridean adalah sistem sirkulasi makna yang tertutup dan terpimpin
sedangkan teks adalah rajutan tanda yang terbuka ke segala arah dan tak tertebak.
Buku, sebagai suatu totalitas makna, adalah mekanisme reaproriasi perbedaan ke
dalam sistem, ke dalam kepemilikan (property), ke dalam ke-aku-an (ownness).
Dengan kata lain, buku adalah manifestasi dari metaphysics of the proper 17
(Eigenheit, Er-eignen, Ereignis). Melalui aktivitas writing, totalitas makna tertutup
dari buku menjadi terpecah dan terbukalah jalan menuju, meminjam istilah Karl
May dalam Winnetou, padang perburuan abadi.
Namun jangan dipahami seolah-olah awalnya ada sistem yang kukuh dan
pasti pada dirinya sendiri lantas terjadi aktivitas writing yang meretas jalan menuju
pengembaraan. Pengembaraan selalu sudah terjadi. Makna selalu sudah tak pasti.
Kematian, pembusukan, kontaminasi, ketidak-otentikan, selalu sudah terjadi.
Bagaimana hal ini dipahami? Marilah kita melihat secara lebih detil aktivitas
writing yang bagi Derrida menjadi conditio sine qua non dari pengetahuan dan
penampakan realitas pada kesadaran.

2. GRAMATOLOGI SEBAGAI SAINS TENTANG TULISAN

2.1. Tulisan, Jejak dan Diffrance


Dalam merumuskan pandangannya tentang bahasa dan konstitusi kesadaran
dalam persepsi atas realitas, Derrida banyak menimba inspirasi dari Strukturalisme
Ferdinand de Saussure (1857-1913). Seperti yang kita ketahui bersama, Saussure
membagi bahasa dalam dua aspek, yaitu signifiant (signifier; penanda) dan signifi
(signified; petanda)18. Yang kedua adalah konsep tentang sesuatu (misalnya:
Nirvana), sedangkan yang pertama adalah citra akustik dari konsep tentang
sesuatu itu (misalnya: urutan huruf N,i,r,v,a,n,a yang membentuk suatu bunyi
tertentu). Jadi, dalam pandangan Saussure, penanda adalah aspek eksterior (aspek
material seperti bunyi dan bentuk-bentuk simbolik) dari bahasa dan petanda adalah
aspek interior (makna) dari bahasa. Bagi Saussure, makna tidak muncul dengan
terberi secara alamiah. Dalam Cours de Linguistique Gnrale, ia menulis: sistem
bahasa tidak terdiri dari ide-ide ataupun bunyi-bunyi yang hadir di luar sistem bahasa,
melainkan semata dari perbedaan-perbedaan konseptual dan perbedaan-perbedaan
fonik yang muncul dari dalam sistem ini19. Bagi Saussure, di antara pelbagai tanda

17
Ibid. hlm. 26.
18
Paul J Thibault, Re-reading Saussure: The Dynamics of Signs in Social Life (London: Routledge),
1997, hlm. 215.
19
Ferdinand de Saussure, Cours de Linguistique Gnrale sebagaimana dikutip dari Paul J Thibault,
Re-reading Saussure, op.cit. hlm. 233.

115
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

bahasa hanya ada oposisi, between them there is only an opposition.20 Perbedaan
oposisional inilah yang memungkinkan munculnya makna.
Saussure, dengan mengakui peran konstitutif perbedaan pada bahasa,
sebenarnya telah membukakan jalan menuju kritik atas metafisika kehadiran yang
berupaya mengisolasi makna pada dirinya sendiri secara utuh. Dengan mengakui
bahwa setiap tanda selalu terkait dengan tanda lainnya dalam mata rantai penandaan
sehingga makna ditentukan oleh perbedaan dan bahwa makna tidak bersifat given,
Saussure sesungguhnya telah memberikan amunisi bagi perlawanan atas metafisika.
Namun, toh, ia masih saja terjebak dalam metafisika. Ia masih saja memandang
tulisan sebagai aparatus sekunder dari bahasa dan berbicara tentang the tyranny of
writing21. Ia masih saja memandang semiologi (= ilmu tentang tanda) yang ia
ciptakan sebagai bagian dari psikologi (dan dengan itu mengaitkan kembali tanda
dengan kesadaran intuitif dan realitas psikh secara umum)22. Ia masih juga
memandang tulisan sebagai sepenuhnya eksterior dan tidak terkait dengan inner
system dari bahasa dan secara sekaligus berbahaya bagi bahasa secara umum 23.
Singkatnya, Saussure masih mendekam dalam penjara logo-fonosentrisme.
Derrida menimba insight Saussure tentang sifat konstitutif perbedaan dalam
bahasa dan meradikalisasikannya hingga masuk ke ranah kesadaran secara umum. Ia
menekankan kelabilan makna yang muncul sebagai konsekuensi dari mekanisme
perbedaan yang melahirkan makna. Jika makna hanya bisa muncul karena
perbedaannya dengan makna lain dan makna lain ini juga muncul karena
perbedaannya dengan makna yang lain lagi dan jika perbedaan yang satu juga
berbeda dari perbedaan yang lain sehingga perbedaan kedua makna yang
mengkonstitusikan suatu makna selalu didasari oleh perbedaan dengan segala makna
lain dalam rajutan tanda yang konfigurasinya selalu berubah mengikuti perubahan
relasi perbedaan antar berbagai makna satu sama lain, maka makna yang sejati, penuh
dan jelas pada dirinya itu menjadi tak mungkin. Derrida menulis: Identitas-diri dari
petanda secara tanpa henti menyembunyikan dirinya dan selalu dalam perjalanan.24
Hilangnya petanda transendental (= petanda yang memiliki identitas-diri yang
penuh dan jelas dengan sendirinya) yang memungkinkan permainan (play) tak
terbatas antar tanda inilah yang menjadi inti argumen Derrida melawan metafisika
kehadiran. Dan oleh karena kita berpikir hanya dalam tanda-tanda, maka
kontaminasi antar tanda, ketidak-otentikan, pengembaraan, selalu sudah terjadi.
Doubling, diaspora, separasi, selalu sudah terjadi. The origin has played25.
Gerak penundaan-pembedaan (defer-differ) yang memungkinkan segala
konseptualisasi, oposisi metafisis dan penampakan makna pada kesadaran (dan

20
Ibid. hlm. 234. Cetak miring berasal dari Saussure.
21
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 38.
22
Lih. Jacques Derrida, Margins of Philosophy (Sussex: The Harvester Press), 1982, hlm. 149.
23
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 34.
24
Ibid. hlm. 49.
25
Jaqcues Derrida, Ellipsis dalam Writing and Difference (London: Routledge & Kegan Paul), 1978.
hlm. 298.

116
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

sekaligus, persis karena proses penundaan-pembedaan itu tak pernah berhenti karena
konfigurasi tekstual selalu berubah bersama dengan perbedaan, membuat makna tidak
mungkin hadir secara penuh dan murni) itulah yang disebut oleh Derrida sebagai
writing alias arche-writing, arche-trace alias diffrance. Kata arche itu memiliki
arti sebagai asal-usul yang tidak mengasalkan (non-originary origin). Ia adalah
asal-usul sejauh ia memungkinkan makna dan segala konseptualisasi. Ia tidak
mengasalkan dalam arti bahwa ia sendiri selalu tertunda oleh mekanismenya sendiri;
ia tak pernah bisa mengeras menjadi pijakan yang solid karena ia selalu bergerak
dalam penundaan-pembedaan yang selalu mem-belum. (Perlu kita ingat bahwa
Derrida tidak sekedar membalik oposisi tuturan x tulisan. Ia memandang bahwa
gestur pembalikan dengan mengutamakan tulisan di atas tuturan sebagai
kekonyolan26. Jika ia mengutamakan tulisan, itu adalah istilah teknis Derrida
yang artinya bukan sintesa antara tuturan dan tulisan melainkan titik ketidakjelasan,
titik kegilaan yang memungkinkan sekaligus membatasi distingsi tuturan x tulisan.)
Fakta bahwa setiap makna memiliki jejak (trace) pada makna lainnya dan
hanya memiliki identitas dalam perbedaannya dengan antar berbagai makna lain
(sehingga identitas itu selalu tertunda karena konfigurasi makna selalu berubah
mengikuti relasi perbedaan yang tak pernah berhenti menjadi kesamaan)
menunjukkan bahwa teks (dalam arti Derridean) adalah rantai jejak yang menjadi
conditio sine qua non dari kesadaran dan pengetahuan secara umum.
Derrida juga mengatakan bahwa trace terkait erat dengan masa lalu.
Always-already-thereness dari diffrance (yang memungkinkan ruang dan waktu)
menunjukkan bahwa diffrance, sebagai arche-trace, meletak alias terinskripsikan
sebagai absolute past yang tidak bisa dihadirkan dalam masa kini 27. Oleh
karena diffrance, trace, writing adalah inskripsi pada asal-usul, maka konsep waktu
metafisis past-present-future tak bisa mengartikulasikannya. Jejak sebagai masa lalu
absolut di sini dimengerti sebagai asal-usul yang selalu tertunda dan membelum dan
oleh karenanya ia tak bisa dikonseptualisasikan alias dihadirkan dalam horison
antisipatif masa kini. Arche-writing, menurut Derrida, menandai suatu waktu
kematian (dead time). Ia adalah semacam brisure (hinge; engsel) yang menandai
ketidakmungkinan tanda, kesatuan antara penanda dan petanda, diproduksikan dalam
ranah kehadiran dan masa kini absolut.28

2.2. Gramatologi sebagai (Non-)Sains tentang Tekstualitas


Penggunaan istilah gramatologi, seperti juga trace, diffrance dan
seterusnya, sebagaimana Derrida akui, memang bersifat strategis dan tidak bersifat
absolut ataupun definitif29. Nantinya istilah gramatologi tidak lagi digunakan oleh
Derrida30. Tujuan dari gramatologi adalah solisitasi (sollicitation) atas metafisika
26
Jacques Derrida, Positions, op.cit. hlm. 13.
27
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 66.
28
Ibid. hlm. 69.
29
Ibid. hlm. 70.
30
Lih. Ibid. hlm. lxxx. (bagian Translators Preface).

117
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

kehadiran. Solicit berasal dari bahasa Latin, sollicitare, yang artinya menghancurkan
bangunan secara keseluruhan. Dengan kata lain, tujuan gramatologi adalah
menghancurkan bangunan skematik-oposisional dari metafisika (dan tidak sekedar
mengganti atau membalik variabelnya saja)31. Gramatologi berproses dengan analisa
tentang tulisan dan tanda serta mempertanyakan the condition of (im-)possibility
dari sains secara umum.
Proses atau mekanisme tanda yang Derrida uraikan, seperti telah kita lihat
tadi, merupakan gestur gramatologis. Maka sebenarnya, sebagai strategi, gramatologi
adalah nama lain dari apa yang nantinya banyak dipakai dan diperluas ke berbagai
bidang oleh Derrida, yaitu strategi dekonstruksi. Sebagai strategi (Derrida menolak
menggunakan istilah metode), gramatologi ini akan kita uraikan dalam bagian 4.2.
Gramatologi ini berupaya menggugat setidaknya tiga hal: kehadiran, epistm dan
asal-usul. Namun, oleh karena ketiga hal ini diandaikan dalam setiap sains, maka
gramatologi bukanlah sains, atau, dengan kata lain, ia adalah sains yang bertujuan
untuk menunjukkan ketidakmungkinan sains, ia adalah sains yang menghancurkan
dirinya sendiri. Hal ini mengantarkan kita pada the closure of epistm bersama
dengan the closure of metaphysics32. Hal ini bukan berarti bahwa kita kembali ke arah
irasionalitas. Gramatologi dan seluruh strategi tekstual Derrida mengantarkan kita
pada ranah perbatasan, borderline, antara metafisika dan seberang metafisika. Kita,
Derrida mengatakan, tak bisa keluar sepenuhnya dari metafisika.
Sebagai ilmu, gramatologi tetap tak mungkin. Pada buku Of Grammatology
ini, gramatologi itu sendiri justru merupakan pertanyaannya, yaitu tentang ke(-
tidak-)mungkinan menemukan hukum-hukum pasti yang mengatur tulisan
(gramm)33. Hukum itu hanya bisa diketahui sebagian, yaitu gerak detour dari
diffrance/trace yang memungkinkan sekaligus membatasi bahasa dan pengetahuan
secara umum. Manuver diffrance tetap tak tertebak, undecidable. Oleh karena itu,
Derrida menulis: Grammatology, this thought, would still walled-in within
presence.34

3. STRAUSS DAN NOSTALGIA AKAN KEASLIAN

Semangat nostalgis akan asal-usul alias Rumah yang sejati, akan pondasi yang
kokoh dan pasti, akan kesatuan primordial yang merekonsiliasikan segala sesuatu,
tidaklah muncul pertama kali pada zaman Romantik. Semangat ini barangkali sama
tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Tacitus, seorang sejarawan Romawi,
pada tahun 98 Masehi menulis suatu risalah termashyur yang berjudul Germania.
31
Ibid. hlm. 73.
32
Ibid. hlm. 93.
33
Dalam wawancaranya Derrida mengatakan: Of Grammatology is the title of a question: a question
about the necessity of a science of writing, about the conditions that would make it possible but it
also a question about the limits of this science. Lih. Jacques Derrida, Positions, op.cit. hlm. 13.
34
Jacques Derrrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 93.

118
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

Dalam kitab itu, ia menganalisa fenomena kedatangan bangsa Jerman


(kebudayaannya, sifat-sifatnya, keagamaannya) yang menyeberang ke selatan dan
menempati Eropa tengah dan barat. Ia menulis, The Germans themselves I should
regard as aboriginal, and not mixed at all with other races 35. Tacitus memandang
bangsa Jerman sebagai ras yang murni dan memiliki sifat-sifat alami seperti tidak
materialistik, keberanian yang tulus, harmoni antar sesama dan alam 36. Sistem
pemerintahan yang mereka miliki, bagi Tacitus, merupakan koinonia dari oikos37.
Semua hal ini tak lagi dimiliki oleh bangsa Romawi kala itu yang sangat birokratis,
mekanis dan korup. Kisah nostalgis semacam ini terus terulang dalam sejarah
peradaban. Dalam dongeng-dongeng, masa lalu seringkali digambarkan sebagai masa
yang memiliki kemurnian primordial. Pada akhir abad ke-16, William Shakespeare
dalam karyanya, Hamlet, menulis tentang betapa murninya malam kelahiran Yesus
Kristus: Some say that ever gainst that season comes wherein our Saviours birth is
celebrated, this bird of dawning singeth all night long; and then (they say) no spirit
dare stir abroad, the night are wholesome, then no planets strike, no fairy takes, nor
witch hath power to charm, so hallowed and so gracious is that time. 38 Hasrat akan
kemurnian dan kehadiran penuh itu begitu meresap dalam sepanjang sejarah
peradaban sehingga barangkali dapat dikatakan bahwa sejarah peradaban adalah
sejarah metafisika.
Kerinduan yang akut akan Rumah, dwelling, ini juga merasuk dalam karya-
karya Claude Lvi-Strauss. Di sini kita akan mencermati deskripsinya tentang suku
Indian Nambikwara di pedalaman rimba purba Amerika Selatan dalam bukunya,
Tristes Tropiques. Dalam kitab itu, Strauss bercerita tentang pengalamannya
melakukan ekspedisi ke berbagai suku di Amerika Selatan. Di tengah rimba raya
Amazonia, ia merasakan suatu intimate communion with the vegetable world 39.
Derrida terutama memusatkan perhatiannya pada deskripsi Strauss tentang suku
Indian Nambikwara di tengah rimba Brazil. Pada bab tentang Nambikwara, Strauss
menggambarkan betapa ia terpukau oleh the authenticity of the surrounding
wilderness40. Pada suatu malam di rimba, pada samping tenda dan api unggun, ia
mencatat tentang pasangan-pasangan Indian yang duduk bermesraan di sekitar
perapian. Mereka, demikian catat Strauss, seakan ingin meraih kembali suatu
kesatuan yang telah lama hilang41. Strauss terpukau. Ia catat bagaimana mereka
memancarkan kebaikan yang mendalam (immense kindness), sesuatu yang
merupakan the most truthfull and moving expression of human love. 42 Bagian
35
Tacitus, Germania dalam Complete Works of Tacitus diterjemahkan oleh Alfred John Church (New
York: The Modern Library) 1942, hlm. 709.
36
Lih. Ibid. hlm. 710-712.
37
Ibid. hlm. 715.
38
William Shakespeare, Hamlet diedit oleh Cedric Watts (Herthfordshire: Wordsworth), 2002, hlm. 44.
39
Claude-Lvi Strauss, Tristes Tropiques diterjemahkan oleh John dan Doreen Weightman
(Harmondsworth: Penguin Books), 1976, hlm. 447.
40
Ibid. hlm. 356.
41
Ibid. hlm. 384.
42
Ibid.

119
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

penutup tentang bab Nambikwara ini nampaknya mesti saya kutip agak panjang
karena di sana terdapat referensi tentang Rousseau dan tentang state of nature.

I had gone to the ends of the earth to look what Rousseau calls the
almost imperceptible stages of mans beginnings. Behind the veil of
the over-complicated laws of the Caduveo and Bororo, I had
continued my search for a state whichas Rousseau also saysno
longer exists, has perhaps never existed, and probably will never
exist, and of which nevertheless essential to form a correct notion in
order rightly to judge our present state. I believed that, having been
luckier than Rousseau, I had discovered such a state in a moribound
society [] I had been looking for a socety reduced to its simplest
expression. That of the Nambikwara was so truly simple that all I
could find in it was individual human beings.43

Melalui bagian penutup bab Nambikwara itu kita melihat bahwa Strauss menganggap
Indian Nambikwara sebagai masyarakat alamiah yang benar-benar memiliki the
simplest expression of human being. Pada kutipan itu terlihat pula suatu kontras
antara hukum birokratis dari masyarakat modern di Caduveo dan Bororo dengan
masyarakat rimba yang murni.
Menurut Derrida, Strauss tidak hanya terjebak pada metafisika kehadiran
melainkan juga, terkadang, seperti menunjukkan jalan keluar dari metafisika. Metode
brikolase dari Strauss, misalnya, yang berproses dengan menggunakan dikotomi-
dikotomi metafisis seperti alam x kebudayaan tetapi dengan kesadaran bahwa
dikotomi-dikotomi itu tidak memadai, bagi Derrida, membukakan jalan menuju kritik
atas metafisika44. Namun Strauss masih saja mendekam dalam logosentrisme
metafisika kehadiran. Ia merasa bersalah ketika ia mengajarkan cara menulis dan
membaca pada suku Indian Nambikwara karena ia takut bahwa tulisan akan merusak
keintiman komunal suku itu dan memicu terjadinya monopoli pengetahuan dan
akhirnya perbudakan45. Strauss juga melihat bahwa masyarakat Indian Nambikwara
sudah memiliki proper name (nama diri). Ia melihat bahwa dalam nama diri
tersebut sudah terdapat kategori sosial. Tapi ia tidak melihat kaitannya dengan
tulisan alias the condition of possibility dari tulisan dan tuturan. Bagi Derrida,
proper name selalu sudah tidak proper karena nama diri hanya berfungsi melalui
klasifikasi dan klasifikasi mengandaikan struktur penundaan-pembedaan atau, dengan
kata lain, arche-writing. Maka, kata Derrida, masyarakat yang mengenal proper name
selalu sudah mengenal tulisan46. Dengan kata lain, proper name hanya bisa
berfungsi jika dan hanya jika ia mengijinkan ke-proper-annya dihapus oleh dirinya
sendiri: the self-effacement of trace.
43
Ibid. hlm. 416.
44
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 104.
45
Lih. Claude-Lvi Strauss, Tristes Tropiques, op.cit. hlm. 390-393.
46
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 109.

120
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

Maka itu, Derrida menyebut bahwa arche-writing adalah arche-violence.


Disebut sebagai arche-violence karena arche-writing, diffrance, arche-trace, selalu
bergerak melalui proses peng-inskripsi-an yang unik ke dalam sistem perbedaan
yang umum. Untuk mengerti mekanisme kekerasan ini, marilah kita mengutip
penjelasan Derrida.

To think the unique within the system, to inscribe it there, such is the
gesture of the arche-writing: arche-violence, loss of the proper, of
absolute proximity, of self-presence, in truth, the loss of what has
never been taken place, of a self-presence which has never been
given but only dreamed of and always already split, repeated,
incapable of appearing to itself except in its own disappearance.47

Tak ada lagi petanda transendental, tak ada lagi Ur-Wort, tak ada lagi aku yang
unik, tak ada lagi ego transendental: kita hanya kopian dari kopian dari kopian dan
seterusnya, dan seterusnya ad nauseam. Kita tinggal gema, sinyal penghabisan yang
fana. Dan, lebih baik (atau buruk) lagi, hilangnya yang sejati itu selalu sudah terjadi,
the loss of what has never been taken place, of a self-presence which has never been
given but only dreamed of. Pada momen ketika seorang bayi dilahirkan, ia selalu
sudah tidak unik. Kita tak pernah bisa mengatakan inilah tempatku di tengah
guyuran cahya mentari dan pelukan bumi. Semangat Derridean ini, untuk sedikit
keluar dari konteks, dengan sangat baik ditampilkan oleh sebuah novel indie yang
bernafaskan Nietzscheo-Derrideo-Baudrillardean, judulnya Fight Club: Tak ada
yang statis. Segalanya sedang menuju kehancuran. [] Kita bukan sekeping salju
yang indah dan unik. Kita hanyalah sampah dunia yang menari dalam guyuran hujan
asam. Kita hanyalah sampah organik yang membusuk sama seperti semua orang, dan
kita semua bagian dari tumpukan kompos yang sama.48
Strauss, sebagai cucu-buyut dari semangat Romantik Rouseauean, masih
sangat nostalgis dalam memandang masyarakat rimba yang menari di bawah purnama
raya. Ia memandang suku Nambikwara sebagai model of original and natural
goodness49. Dengan demikian, ia pun masih terjebak dalam Orientalisme yasng
memandang masyarakat non-Eropa sebagai masyarakat yang unik, perlu di-
preservasi-kan dan dimasukkan dalam gelas kaca untuk diobservasi atau untuk
sekedar rekreasi50.
Dalam karyanya, Structural Anthropology, Strauss memandang tulisan
sebagai sebab dari ketidak-otentikan sosial dengan berkata bahwa We are no
longer linked to our past by an oral tradition which implies direct contact with others.
[] We communicate with [] written documents or administrative machinery []
47
Ibid. hlm. 112. cetak miring dari Derrida.
48
Chuck Palahniuk, Fight Club diterjemahkan oleh Budi Warsito (Yogyakarta: Jalasutra), 2006, hlm.
143 dan 181.
49
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 114.
50
Ibid. hlm. 115.

121
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

which undoubtedly vastly extend our contacts but at the same time make those
contacts somewhat unauthentic.51 Dalam kutipan itu nampak pula suatu ethic of
speech yang berlandaskan nilai-nilai keintiman, proksimitas, kehadiran langsung
makna yang tanpa distorsi. Pada momen ini, sangat menarik untuk melihat juga
pandangan Heidegger, dalam Parmenides, tentang mesin ketik. Dalam semangat yang
sama dengan Strauss (dan Saussure (dan Rousseau)), Heidegger mengatakan bahwa
writing, from its originating essence, is hand-writing. 52 Ia melihat bahwa dalam
mesin ketik, segala sentuhan alami (stroke) dari tangan menjadi hilang. Intensi
menjadi tak mudah ditangkap secara jelas. Oleh karena itu, Heidegger menulis, dalam
kaitan dengan kritik atas teknologi, bahwa Di dalam mesin ketik kita menemukan
irupsi dari mekanisme ke dalam ranah kata-kata. 53 Jadi nampak bahwa pengutukan
Heidegger atas mesin ketik dan penolakan Strauss atas tulisan (yang baginya
menyebabkan inotentisitas sosial) memiliki landasan yang sama, yaitu metafisika
kehadiran langsung dari makna yang self-identical in and for-itself. Dalam Structure,
Sign and Play Derrida menyebutkan bahwa Strauss masih terjebak pada nostalgia
akan asal-usul dan penyesalan atas artifisialitas budaya Barat dengan penekanan pada
tuturan sebagai media yang mewujudkan keintiman yang disebut Derrida sebagai
etika kehadiran, suatu ethic of archaic and natural innocence, of purity of presence
and self-presence in speech54.

4. J.J. ROUSSEAU: ROMANTIKA ASAL-USUL DAN APORIANYA

4.1. Asal-Usul Bahasa Menurut Rousseau


Dalam karyanya, Essai sur lorigine des langues, Jean-Jacques Rousseau
(1712-1778), sang Bapak Romantisisme, menguraikan tentang asal-usul bahasa
beserta aspek-aspek esensialnya. Baginya, bahasa muncul pertama-tama tidak
didorong oleh kebutuhan pragmatis melainkan dari suatu moral need, yaitu
keinginan (passion)55. Kebutuhan untuk mengkomunikasikan perasaan satu sama
lainlah yang mendorong terciptanya bahasa. Jadi pada awalnya bahasa tidaklah
rasional melainkan lebih bersifat afektif. Namun, seiring dengan kebutuhan
pragmatis dan perkembangan peradaban, bahasa kehilangan sifat passionate nya dan
menjadi semakin rasional. It substitutes ideas for feelings. It no longer speaks to the
heart but to reason. Similarly, accent diminishes, articulation increases. 56 Jadi
aksentuasi yang penuh perasaan dalam bahasa perlahan terpinggirkan oleh artikulasi
51
Ibid. hlm. 136-137.
52
Martin Heidegger, Parmenides diterjemahkan oleh Andr Schuwer dan Richard Rojcewicz
(Bloomington: Indiana University Press), 1998, hlm. 85. Menarik untuk melihat bahwa Heidegger
menempatkan problem mesin ketik ini pada bab tentang Concealment and Forgetting.
53
Ibid.
54
Jacques Derrida, Structure, Sign and Play dalam Writing and Difference, op. cit. hlm. 292.
55
John H Moran dan Alexander Gode (penerjemah), On the Origin of Language: Jean-Jacques
Rousseau and Johann Gottfried Herder (Chicago: The University of Chicago Press), 1966, hlm. 12.
56
Ibid. hlm. 16.

122
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

ide-ide yang clear and distinct. Namun, baginya tuturan lebih mampu mempreservasi
passion ketimbang tulisan (yang hanya bisa menyalurkan ide) karena dalam tuturan
terdapat tekanan nada (tone; stroke) yang mampu menyalurkan perasaan57. Rousseau
pun mencoba berspekulasi bahwa Homer tidak menuliskan Illiad karena syair klasik
itu diciptakan untuk dinyanyikan dan bukan untuk dibaca. Namun ketika syair itu
ditulis, maka semakin sedikitlah orang yang menyanyikannya 58.
Rousseau juga membagi asal-usul geografis bahasa menjadi dua yaitu utara
dan selatan. Baginya, bahasa pertama-tama dilahirkan di daerah yang hangat, yaitu
selatan59. Ia menggambarkan bahwa bahasa dan peradaban dilahirkan di mata air pada
negeri-negeri selatan yang hangat. Di dekat sumber air, manusia berkumpul, laki-laki
dan perempuan bertemu, mencintai dan menikah, lalu berkembang menjadi keluarga
besar dan akhirnya suatu bangsa. Dalam iklim yang hangat dimana rumput dan bunga
bakung tumbuh bersama semak berry dan madu hutan, bagi Rousseau, bahasa muncul
karena passion untuk mengungkapkan sukacita akan alam raya yang indah60.
Sementara itu, di negeri-negeri utara yang dingin dimana hangat mentari hanya
muncul sesekali dalam setahun dan langit tak menawarkan hal lain selain warna
kelabu, bahasa tercipta karena kebutuhan (need) fisikal. Karena keganasan alam
utara, bahasa yang dihasilkan tidak mementingkan aspek puitis dan penghayatan
melainkan informasi yang jelas sesuai situasi tertentu (misalnya, perintah dan
organisasi dalam perburuan binatang). Rousseau menulis tentang bahasa jenis ini:
The whole point was not to make someone feel something, but to make him
understand.61
Mengutip Strabo, Rousseau menyamakan asal-usul nyanyian dan tuturan, To
speak and to sing were formerly one.62 Dan bahwa poetry was devised before prose
[] since feelings speak before reason. Ia mengatakan bahwa bahasa pertama yang
muncul pada mata air, seperti telah kita lihat tadi, adalah nyanyian 63 (alias tuturan
yang primordial). Pada momen itu, melodi, alunan nada yang muncul secara spontan
dari hati (jiwa), adalah esensi dari musik. Namun, karena pembelajaran filsafat dan
kemajuan rasio, bahasa kehilangan sifat vitalnya dan sifat passionate nya yang dapat
dinyanyikan.64 Oleh karena itu, dalam musik pun melodi diturunkan dari tahtanya
dan digantikan oleh hukum kalkulus-interval dari harmoni. Pada bab akhir esainya, ia
menggambarkan bahwa setelah rasio melakukan penindasan atas perasaan spontan
yang alamiah (yang terwujud lewat subordinasi puisi di bawah filsafat dan melodi di
bawah harmoni), bahasa pun di-usurpasi oleh pemerintah dalam suatu mekanisme

57
Ibid. hlm. 21-22.
58
Ibid. hlm. 23.
59
Ibid. hlm. 30.
60
Ibid. hlm. 46.
61
Ibid. hlm. 48.
62
Ibid. hlm. 51.
63
Ibid. hlm. 50.
64
Ibid. hlm. 68.

123
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

birokratis pemerintahan65 (yang, dalam Emile, juga merupakan mekanisme eksploitasi


dan penindasan).

4.2. Strategi Dekonstruksi


Dalam pembacaannya atas teks Rousseau, Derrida melaksanakan apa yang
dikenal sebagai deep reading, yaitu pembacaan yang memusatkan diri pada detail
teks dan sudut-sudut teks yang umumnya dianggap self-evident. Di sini kita akan
mengupas strategi dekonstruktif yang ia terapkan pada teks Rousseau dan pada teks-
teks lainnya. Secara umum dekonstruksi berlangsung melalui tiga tahap: pertama,
menampilkan skema-skema oposisi biner yang terdapat dalam teks; kedua,
membalikkan skema itu dengan menujukkan bahwa yang disubordinasikan ternyata
berperan konstitutif terhadap yang menyubordinasikan; ketiga, pembekuan dan
penghancuran hierarki dengan memperlihatkan aspek infrastruktural dari oposisi
biner itu yang bersifat undecidable. Strategi tekstual Derrida secara umum,
sebagaimana diperlihatkan oleh David Wood, terdiri dari lima kategori: grafik,
leksikal, struktural, metodologis dan self-reflective66. Pertama, aspek grafis terdiri dari
bracketting, under-erasuring, pemberian tanda petik. Kedua, level leksikal terdiri dari
penggunaan istilah-istilah yang bersifat undecidable seperti diffrance, supplment,
trace, hymen dan sebagainya. Ketiga, aspek struktural terdiri dari pengaturan kutipan
dan jukstaposisi tekstual (seperti dalam Glas). Keempat, level metodologis (kita
sebenarnya tak bisa memakai kata itu karena metode berarti jalan (hodos) menuju
pengetahuan dan dekonstruksi tidak terdiri dari suatu perangkat pembacaan, alias
jalan, yang pasti dan tunggal) terdiri dari praktik pembacaan dekonstruktif atas teks
(seperti telah kita lihat tadi). Kelima, self-reflection alias self-commentary terdiri dari
penjelasan Derrida sendiri tentang berbagai asek enigmatik dari pemikirannya.
Derrida sendiri mengakui bahwa diskursusnya tetap berpijak pada ranah
metafisis dan satu-satunya solusi adalah dengan melakukan strategic arrangement
terhadap teks metafisika yang diresapi oposisi biner67. Bagi Derrida, strategic
arrangement alias pembacaan dekonstruktif ini dapat membawa kaki kita keluar dari
metafisika (double bind: satu kaki di ranah metafisika, kaki yang lain berada di ranah
seberang metafisika). Hal ini dimungkinkan oleh karena tidak pernah ada
metaphysics as such, there is no metaphysical concept in and of itself 68. Derrida
seringkali mengulang pernyataan semacam itu. Tak pernah ada kata atau konsep yang,
pada dirinya sendiri, bersifat metafisis. Kata atau konsep itu hanya bersifat metafisis
jika dan hanya jika dirajut dalam suatu skema oposisional yang metafisis. Jadi yang
metafisis bukan konsep itu sendiri melainkan rajutan skema konseptual-oposisional
yang (celakanya) selalu sudah kita andaikan dalam setiap tindak kesadaran dan
pemikiran. Oleh karena itu, tak ada modus berbahasa yang innocence dan bebas dari
65
Ibid. hlm. 72-73.
66
David Wood, The Deconstruction of Time (New Jersey: Humanities Press International), 1991, hlm.
304-305.
67
Jacques Derrida, Force and Signification dalam Writing and Difference, op.cit. hlm. 20.
68
Jacques Derrida, Signature Event Context dalam Margins of Philosophy, op.cit. hlm. 329.

124
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

metafisika (bahkan bahasa sehari-hari yang seringkali dipandang naif dan lugu
sekalipun tetap metafisis) karena setiap modus berbahasa selalu sudah terstruktur
berdasarkan skema oposisional yang memungkinkan makna bahasa itu sendiri. Oleh
karena itu, Derrida menawarkan kemungkinan yang terbaik untuk tidak sepenuhnya
terjebak dalam metafisika, yaitu dengan melakukan suatu textual re-arrangement,
suatu re-inscription, yang mengubah rajutan skema konseptual-oposisional yang
metafisis menjadi undecidable. Itulah sebabnya Derrida masih menggunakan nama-
nama yang dianggap metafisis seperti arche, non-originary origin dan sebagainya.
Inilah yang disebut logika paleonim, yaitu menggunakan nama-nama lama (yang
dianggap termasuk dalam imperium metafisika) namun dengan menunjukkan pula
ketidak-unikan nama-nama itu dan ketidakterdugaan maknanya, sehingga nama-nama
itu menghancurkan sistem oposisi metafisis dan dirinya sendiri. Inilah yang disebut
sebagai double gesture, yaitu dengan masuk ke dalam aturan yang distruktur oleh
sistem oposisi metafisis dan mengikutinya namun melakukan pengkhianatan terhadap
sistem sehingga sistem itu roboh dan dirinya ikut mati tertimpa reruntuhan sistem itu
(karena kalau ia, nama-nama itu, masih hidup maka ia akan menjadi rezim baru;
dengan kata lain, ia mesti mati dan menjadi hantu / es spukt yang mengganggu setiap
bangunan sistemik metafisika). Itulah sebabnya Derrida disebut sebagai agen ganda
(double agent) yang tak memiliki alamat yang tetap dan selalu berpindah rumah
(bukan Rumah), seperti nomad: slash, burn and move on.

4.3. Rantai Suplementaritas: Asal-Usul yang Menghantui Rousseau


Kupasan Derrida atas teks Rousseau sungguh sangat njelimet. Siapapun yang
pernah membaca Essai-nya Rousseau lantas membaca analisa Derrida terhadapnya
pasti tak akan mengira bahwa problemnya serumit itu. Oleh karena kerumitan
argumentasi Derrida itu, kita di sini hanya akan menarik beberapa poin penting tanpa
mengikuti segala kompleksitasnya secara mendetil. Inti problem yang dikupas oleh
Derrida berkisar pada status tulisan sebagai suplemen dalam teks Rousseau.
Subordinasi Rousseau terhadap tulisan sangat tipikal: ia mengesampingkan tulisan
karena tulisan membuat makna teks menyebar (distortif) dan hanya berfungsi
membantu ingatan (seperti mnemotechnique dalam Phaedrus). Dalam Confessions, ia
menulis: All the papers which I have collected to fill the gaps in my memory and to
guide me in my undertaking, have passed into other hand, and will never return to
mine.69
Bagi Rousseau, sebagaimana tertuang dalam Emile, bahasa dibuat untuk
dituturkan, tulisan hanya membantu sebagai suplemen bagi tuturan. [] Maka seni
menulis tidak lain dari sekedar representasi pikiran70. Di sini kita dapat menarik
kesimpulan bahwa suplemen memiliki makna ganda, yaitu, di satu sisi,
penambahan untuk memenuhkan kehadiran, di sisi lain, substitusi untuk mengisi
kekosongan (ketidakhadiran). Sebagai penambahan untuk memenuhkan kehadiran,

69
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 141.
70
Ibid. hlm. 144.

125
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

tulisan menyuplemen tuturan yang tak bisa berjalan tanpa suatu kontaks langsung
antara pembicara-pendengar. Tapi sebagai substitusi untuk mengisi
ketidakhadiran/kekosongan, tulisan mesti diasumsikan eksterior terhadap sistem
internal bahasa dan mesti berbeda dari apa yang ditambahkan (karena jika sama
dengan apa yang telah tersedia, maka tak akan ada suatu penambahan). Agar dapat
menambahkan dan mengisi ke(-tidak-)hadiran, suplemen mestilah sesuatu yang-
lain71. Relasi suplementaritas inilah yang tak disadari oleh Rousseau. Oleh karena itu,
skema oposisional yang menstruktur bangunan filsafat Rousseau nampak tidak
konsisten72. Awalnya ia mengutamakan tuturan di atas tulisan, lalu ia mengutamakan
gestur di atas tuturan, lantas ia memandang bahwa gestur dan tuturan saling
menyuplemen satu sama lain. Rousseau tak pernah berhasil mendasarkan bangunan
filsafatnya pada suatu pondasi tertentu. Hal ini, menurut Derrida, disebabkan oleh
fakta infrastruktural (diffrance sebagai supplment) yang sebenarnya telah disentuh
oleh Rousseau tetapi tidak ia sadari (atau sengaja ia hindari). Sampai akhir Rousseau
tetap mengupayakan suatu pendasaran yang solid dan tunggal bagi teorinya. Akhirnya
ia mengutamakan nilai kelangsungan dan keintiman (entah itu terejawantah dalam
tuturan ataupun dalam gestur).
Setiap kali Rousseau menghadirkan sesuatu yang dianggapnya sekunder untuk
menyuplemen yang primer (tulisan-tuturan, kebudayaan-alam, masturbasi-hubungan
seksual, dan seterusnya), suplemen itu berbalik menyerang koherensi dan kemasuk-
akalan teorinya sendiri, sehingga Rousseau berjuang lagi untuk merepresinya. Dalam
momen ini terjadi pula apa yang disebut Derrida sebagai oto-afeksi (auto-
affection)73. Oto-afeksi adalah proses penegasan identitas-diri melalui konseptualisasi
atas yang-lain sebagai yang bukan aku sehingga memungkinkan pembentukan
subyektivitasku. Dengan kata lain, yang lain, entah itu tulisan, kebudayaan ataupun
masturbasi, dihadirkan untuk memenuhi dan mensubstitusi (baca: menyuplemen)
pembentukan identitasku. Mekanisme ini diandaikan berbentuk suatu sirkel atau
lingkaran penuh. Sistem lingkaran tertutup ini berlandaskan pada asumsi bahwa
yang lain yang dihadirkan untuk menyuplemen identitas diri dapat diatur secara
pasti melalui hukum-hukum logis tertentu.
Namun Rousseau tidak menyadari bahwa suplemen bisa menggila
(maddening) dan merusak keutuhan sistem. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa
suplemen, yang-lain, tidak bisa dikontrol sepenuhnya oleh ego. Justru ego-lah yang
dimungkinkan oleh yang lain (jangan buru-buru disamakan dengan orang lain);
dengan kata lain, yang lain, sebagai suplemen, sebagai diffrance, merupakan
conditio sine qua non dari ego secara umum. Pandangan oto-afektif, seperti yang
dilakukan Rousseau, adalah manifestasi dari kelupaan-akan-diffrance. Derrida
menulis: Auto-affection constitutes the same (auto) as it divides the same.74 Agar
71
Lih. Ibid. hlm. 145.
72
Lih. Robert Bernasconi, No More Stories, Good or Bad: de Mans Criticism of Derrida on Rousseau
dalam David Wood (ed.), Derrida: A Critical Reader (Oxford: Blackwell Publisher), 1992, hlm. 144.
73
Jacques Derrida, Of Grammatology, op.cit. hlm. 154.
74
Ibid. hlm. 166.

126
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

oto-afeksi berhasil, mekanisme ini membutuhkan yang-lain untuk diinternalisasikan


ke dalam yang-sama. Namun proses internalisasi ini akan berbalik menjadi petaka
bagi sistem internal makna karena yang-lain selalu membawa serta, karena
mekanisme pembedaan-penundaan dirinya, yang lain-yang lain yang akan datang
(dengan kata lain, suatu proses detour yang tanpa akhir menuju yang lain).
Mari kita mengambil contoh dari analisa Derrida. Menurut Rousseau melodi
adalah esensi dari musik sementara harmoni hanyalah sekedar suplemen bagi melodi.
Namun Derrida menunjukkan bahwa tanpa harmoni, yang terwujud melalui proses
spacing (hukum interval), tak akan ada melodi: tanpa interval tak akan ada musik,
yang ada hanya bunyi75. Namun bukan berarti bahwa Derrida mengutamakan harmoni
di atas melodi melainkan menunjukkan bahwa relasi keduanyanya bukanlah relasi
oposisi-hierarkis melainkan sebuah relasi suplementer. Rousseau, menurut Derrida,
ingin memisahkan secara radikal originarity dari supplementarity. Namun upaya ini
niscaya gagal karena origin selalu bersifat supplementary. Relasi suplementaritas ini
bukan merupakan kehadiran ataupun ketidakhadiran; ia adalah sesuatu yang
memungkinkan sekaligus membatasi distingsi tersebut. Jika demikian, apakah
suplemen merupakan asal-usul? Tidak. Ada sesuatu yang mendahului suplemen, yaitu
suplemen yang lain, lalu suplemen yang lainnya lagi, lalu suplemen yang lain-lainnya
lagi dan seterusnya. Inilah rantai suplementaritas. Jadi bukan suplemen adalah asal-
usul melainkan suplemen pada asal-usul. Derrida menulis:

The supplement is always the supplement of a supplement. One


wishes to go back from the supplement to the source: one must
recognize that there is a supplement at the source.76

Maka jelas bahwa relasi suplementer selalu sudah terjadi. Tak ada eksterioritas
(ataupun interioritas) absolut. Tak ada eksklusi total (ataupun eksklusivitas total). Ko-
implikasi, jaringan suplemen, pembedaan-penundaan, selalu sudah terjadi. Namun,
untuk (tidak) memperumit permasalahan, suplemen tidak pernah terjadi. Derrida
menulis: it has never taken place: it is never present, here and now. If it were, it
would not be what it is, a supplement, taking and keeping the place of the other. 77
Maka suplemen tak pernah ada, hadir ataupun terjadi. Apa maksudnya ini? Dalam
esainya yang ia tulis di tahun 1963, Force and Signification, Derrida mendeskripsikan
hal itu sebagai Force, suatu strange movement within language78. Dengan kata lain,
suplemen, diffrance, arche-writing, bukanlah suatu fundamentum absolutum
inconcussum. Ia bukanlah pondasi yang jelas, kokoh dan bisa ditunjuk dengan jari
melainkan suatu pergerakan yang terus berproses dengan membedakan dirinya dan
menunda identitas dirinya: ia selalu belum. Jadi: dimanakah suplemen? Tidak
dimanapun. Dimana-mana.
75
Ibid. hlm. 200.
76
Ibid. hlm. 304.
77
Ibid. hlm. 314.
78
Jacques Derrida, Force and Signification dalam Writing and Difference, op.cit. hlm. 27.

127
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

PENUTUP

Of Grammatology, walaupun tidak dapat disebut sebagai karya puncak


Derrida (karena teks-teks Derrida membentuk jalinan yang tidak memuncak pada
salah satu karya tertentu yang menjadi titik pondasi sistemik), dapat dikatakan
sebagai karya dimana Derrida untuk pertama kalinya menggelarkan horison
pemikirannya yang akan terus ia kembangkan ke berbagai segi di kemudian hari.
Melalui karyanya ini, kita dapat melihat bagaimana Derrida melakukan kritik dan
mengambil jarak terhadap apa yang saat itu sedang digemari, yaitu strukturalisme
(dengan para eksponennya seperti Strauss, Barthes, Althusser dan sebagainya).
Perbedaan paling jelas antara pemikiran Derrida dengan strukturalisme terletak pada
problem determinasi makna. Jika pada strukturalisme makna dianggap dapat
dikontrol sepenuhnya oleh manusia karena hukum-hukum yang mengatur makna itu
dapat dipahami sepenuhnya, pada pemikiran Derrida makna tidak dapat dikontrol
sepenuhnya dan kita tak dapat mengerti sepenuhnya mekanisme pemaknaan (yang
terwujud lewat detour menuju Yang Lain yang tak terduga). Selain itu strukturalisme
juga masih percaya bahwa, secara esensial, setiap realitas memiliki suatu struktur
yang koheren dan kita tinggal menemukan hukum yang mengatur struktur itu. Pada
pandangan Derrida koherensi tekstual itu justru dipertanyakan habis-habisan karena
pada anggapan itu mengeram suatu motif metafisika kehadiran (tentang as-
suchness)79.
Problem pelampauan metafisika, sebagaimana dijelaskan oleh Derrida pada
bagian awal karyanya, merupakan problem yang melandasi Of Grammatology. Dan,
sebagaimana telah kita lihat tadi, jawaban atas problem itu telah kita ketahui: kita tak
bisa sepenuhnya keluar dari metafisika tetapi kita bisa tak sepenuhnya terjebak dalam
metafisika. Jika kita berupaya keluar dari metafisika namun dengan masih
menggunakan konsep-konsep metafisis secara naif (seperti Rousseau), maka kita pasti
akan terkurung kembali dalam metafisika. Lantas bagaimana jika kita memutuskan
diri secara radikal dari ranah metafisika dengan melompat ke suatu ranah yang
diasumsikan di luar metafisika sama sekali? Gestur yang demikian ini, menurut
Derrida, juga berbahaya. Ini adalah gestur para teolog-negatif dan mistikus yang
mencoba melompat keluar sepenuhnya dari ranah metafisik (alias bahasa) dan masuk
ke ranah tanpa bahasa yang bergerak dalam intuisi (dalam arti mistik) yang murni.
Gestur in juga mengarah pada fundamentalisme dan bahkan hiper-esensialisme.
Dalam ranah filsafat Barat kontemporer, gestur semacam ini dilakukan oleh Foucault,
dalam Folie et draison (Madness and Civilization), dan Levinas, dalam Totalit et
infini. Keduanya, menurut Derrida, terjebak pada paradoks yang tipikal bagi setiap
gestur lompatan radikal keluar dari metafisika. Pada Foucault, paradoksnya adalah
bagaimana kita dapat membicarakan (dengan kata lain, me-logika-kan) kegilaan?

79
Ibid. hlm. 26.

128
2.3. Mimpi Kaum Nostalgis dan Kesudahannya

Mungkinkah kita keluar sepenuhya dari bahasa rasional (metafisika) untuk


membicarakan kegilaan dan, secara sekaligus, membuat pembaca mengerti apa yang
ia bicarakan?80 Pada Levinas, paradoksnya adalah bagaimana ia dapat memandang
Yang Lain sebagai yang sepenuhnya lain tanpa terjebak pada imperialisme (oleh)
Yang Lain? Bagi Derrida, Levinas hanya bermimpi tentang heterologi murni,
tentang perbedaan murni (sebuah mimpi yang mesti merepih pada fajar pagi,
ketika bahasa terbangun dari tidurnya) 81. Sebab, Derrida mengutip kata-kata
seseorang: Jika seseorang mesti berfilsafat, ia mesti berfilsafat; jika seseorang tidak
ingin berfilsafat, ia tetap mesti berfilsafat (dengan berkata dan berpikir). Orang selalu
berfilsafat.82
Maka cara yang paling mungkin untuk menanggulangi metafisika adalah
dengan bermain agen ganda, dengan style yang plural sehingga tak
terformalisasikan dalam formula konseptual yang definitif, dengan menjalankan
dekonstruksi tanpa akhir, dengan kata lain, dengan berresiko melakukan perjalanan
tanpa henti

80
Jacques Derrida, Cogito and the History of Madness dalam Writing and Difference, op.cit. hlm. 35.
81
Jacques Derrida, Violence and Metaphysics dalam Ibid. hlm. 151.
82
Ibid. hlm. 152.

129

Anda mungkin juga menyukai