Bab 4
Jacques Derrida:
Realitas Sebagai “Rangkaian-Teks”
Semiotika Saussure: tak alamiahnya relasi antara Tanda dan Makna, dan Strukturalisme
Saussure menolak anggapan tentang adanya hubungan alamiah antara teks dengan
makna teks.1 Baginya, teks dan maknanya dikonstruksikan secara sosial dan secara begitu
saja (arbitrer) untuk kemudian dikonvensikan. Kata POHON tidak secara alamiah mengacu
pada tumbuhan berbatang besar, berdahan dan berdaun. Sebenarnya, bisa saja tumbuhan
tersebut dinamai dan dimaknai lain. Konsekuensi dari pemikiran Sausurre adalah
“realitas” hanya akan hadir dan dapat dimanfaatkan oleh manusia sejauh manusia
menamai dan memaknainya. Tak ada realitas, obyektivitas dan universalitas yang
keberadaannya mendahului bahasa. Misalnya, karena di Jawa orang memiliki gradasi
nama/makna bagi beras, yaitu “padi-beras-gabah-menir-nasi”, maka orang Jawa bisa
menggunakan semua itu dalam produk dan fungsi yang berbeda-beda. Tidak demikian
dengan orang Barat yang hanya memiliki kategori rice untuk menamai padi, beras dan nasi
(tidak ada menir; dan menyebut gabah bukan dengan satu istilah khusus yang positif, tapi
dengan istilah negatif agar tetap mengacu pada teks “rice”: unhulled rice). Atau sebaliknya,
karena orang Eropa menganggap teh sebagai minuman yang berasal ramuan tumbuh-
tumbuhan (herbal), sementara orang Indonesia menganggap teh sebagai hanya minuman dari
daun pohon teh, maka rasa minuman teh di Eropa lebih bervariasi daripada di Indonesia.
Misalnya ada strawberry tea, blackberry tea, teh kayu manis, teh limau, dll.
Namun demi membatasi aspek kesewenang-wenangan (ke-arbitrer-an) dalam
mengkaitkan kata dan maknanya - yang potensial menimbulkan konflik - maka Saussure
mengusulkan pentingnya aspek sinkronik (kecocokan, keselarasan) dan diakronik
(historisitas, asal-usul) dari teks dan makna teks. Maksudnya, kalau orang bicara tentang
“teh”, maka tidak dapat dilepaskan dari aspek kesesuaiannya dengan sesuatu yang telah
(masa lalu) disepakati tentang bentuk dan fungsi tumbuhan tertentu. Hanya melalui dan
1
Christopher Norris, 1982, Deconstruction: Theory and Practice, London, Routledge, hal. 25.
1
epistemologi/bab 4/donny danardono
dalam aspek sinkronik-diakronik ini, maka keharmonisan hubungan antara kata dan
makna dapat dipertahankan, dan setiap orang akan mampu berbahasa dan berkomunikasi.
Dengan kata lain, kedua aspek inilah yang secara struktural mengatur (baca:
menundukkan) keliaran tafsir seseorang saat berbahasa.
Menurut Saussure kepatuhan struktural ini dimungkinkan, karena pada
hakekatnya semua bahasa adalah bahasa lisan (parole), bahasa yang mengutamakan bunyi
(fonetik). Dalam bahasa lisan, makna kata telah tersimpan rapi dalam bunyi atau tuturan.
Melalui bunyi atau tuturan-lah orang dapat membedakan atau menangkap makna kata.
Sementara bahasa tulis, menurut Saussure, hanyalah turunan dari bahasa lisan. Begitulah
bagaimana Saussure menundukkan subyektivitas pada struktur bahasa. Saussure
kemudian dikenal sebagai salah satu tokoh strukturalisme, sebuah aliran pemikiran yang
menunjukkan betapa dalam hidup ini tafsir dan kehendak manusia dibatasi oleh struktur.
2
Jacques Derrida, 1982, Of Grammatology, Baltimore, The John Hopkins University Press, hal. 55-56.
2
epistemologi/bab 4/donny danardono
yang lain. Makna Kucing (binatang maupun kota) hanya bisa dihadirkan sebagai jejak/bekas
(trace) dari rangkaian kata-kata yang lainnya (texere).
Untuk itu pula Derrida menolak upaya para pemikir modern yang berusaha
membedakan tanda dari simbol. Sebab baik tanda maupun simbol hanya bisa dimengerti
dalam kaitannya dengan rangkaian tanda dan rangkaian simbol. Rangkaian tanda dan simbol
tersebut merupakan pengejawantahan texere. Dan akibatnya dengan mudah tanda berubah
jadi simbol atau sebaliknya simbol berubah jadi tanda. Misalnya, tanda (signfier) “palu dan
arit” untuk memaknai dua buah alat pertukangan dan pertanian, tapi bila digabungkan
akan men-simbol-kan komunisme. Atau tanda (signifier) salib yang semula berarti alat untuk
menghukum mati mereka yang derajat sosialnya rendah di zaman Romawi, kemudian
menjadi simbol Kristen dan akhirnya juga menjadi simbol Palang Merah.
Begitulah bagaimana Derrida membuktikan, bahwa makna kata hanya bisa ditemui
dalam rangkaian teks-teks (texere) atau dengan kata lain makna kata hanya sebuah
jejak/bekas (trace). Tidak ada makna transendental yang kehadirannya mendahului teks dan
rangkaian teks. Dengan demikian, metafisika (misalnya, ide tentang “realitas, obyektivitas,
universalitas, esensi, substansi, kausalitas, tuhan”) sebenarnya hanya ilusi. Tak ada
“realitas, obyektivitas, universalitas, esensi, substansi, kausalitas, dan tuhan” yang
kehadirannya mendahului bahasa manusia. Ketiganya hanya akan hadir dan bermakna
dalam hidup manusia, ketika melalui bahasa ketiganya di-nama-i, dimasukkan dalam
jalinan teks-teks (texere) dan di-makna-i.
3
epistemologi/bab 4/donny danardono
dengan identitas pasangan-(lawan)-nya. Misalnya, kata “pria” hanya bisa dimaknai dalam
kaitannya dengan “perempuan”. Begitu juga kata “negara” hanya bermakna bila ada kata
“rakyat”. Makna kata pria dan negara tidak bisa diperoleh dari kata itu sendiri. Karena itu
“pria-perempuan” atau “negara-rakyat” tidak oposisional dan hirarkis, tapi saling
mengandaikan. Jadi, teks pria adalah the différance (the other, yang lain) dari teks perempuan,
dan begitu sebaliknya:
4
epistemologi/bab 4/donny danardono
teks-teks lain yang dianggap inferior. Jadi tujuan utama dekonstruksi adalah menunjukkan
tak ada “kebenaran” yang tidak menindas. Juga, tak ada “konsep keadilan” tertentu yang
tidak menindas. Menurut Derrida, “kebenaran” dan “keadilan” (begitu juga dengan tuhan)
yang benar dan adil hanyalah “dekonstruksi” itu sendiri. Dengan kata lain, Derrida mau
menunjukkan, karena kehidupan ini dibentuk oleh teks-teks dan jalinan teks, maka
kehidupan ini selalu tidak-pasti, ambigu dan paradoks. Namun, manusia modern
(rasional) selalu berusaha mengatasi ketidakpastian, keambiguan dan paradoks kehidupan
ini dengan berbagai norma (agama, sopansantun, moral, ilmiah, dan hukum), yaitu dengan
menjatuhkan sanksi-sanksi agama, budaya, moral, psikologis, dan hukum pada mereka
yang dianggap “menyimpang” dari kebenaran. Namun, tak semuanya berhasil. Sebab
semua norma itu dibentuk dengan dan dalam teks.
Karena itu, di era postmodern yang paling berharga hanyalah “niat baik” (niat
untuk tak menindas atau merugikan orang lain) dan “kejujuran” (keberanian mengakui
kesalahan dan ambiguitas hidup), bukan “kebenaran”. Inilah yang disebut oleh Carol
Gilligan sebagai ethics of care (etika kepedulian) 5 dan disebut oleh Michel Foucault sebagai
care for the self (kepedulian pada diri sendiri). 6 Keduanya merupakan etika yang titik
tolaknya adalah kebahagiaan diri (eudaimonisme Aristotelian), sebuah kebahagiaan yang
hanya akan terwujud bila seseorang tak mendiskriminasikan dan menghancurkan yang
lain (manusia, binatang dan lingkungan). Sebab tak seorangpun bisa hidup di luar
lingkungan sosial dan alam.
5
Carol Gilligan, 1982, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development, Cambridge,
Harvard University Press.
6
Michel Foucault, 1997, “The Ethics of the Concern of the Self as a Practice of Freedom” dalam
Michel Foucault – Ethics: Essential Works of Foucault 1954-1984 (Paul Rabinow, ed.), London, Penguin
Books, hal. 281-301.