Anda di halaman 1dari 5

epistemologi/bab 4/donny danardono

Bab 4
Jacques Derrida:
Realitas Sebagai “Rangkaian-Teks”

Apabila para pemikir modern (rasionalisme, empirisme, Kantianisme,


Hegelianisme, dst) memikirkan “kebenaran-pengetahuan” sebagai keidentikan antara apa
yang dipikirkan dengan realitas di luar pikiran, maka bagi Jacques Derrida tak ada
kebenaran di luar teks dan atau jalinan teks (texere). Tak mungkin manusia berpikir di luar
dan tanpa menjalinkan teks-teks. Bahkan, setiap teks sebenarnya tak lebih dari metafora
sesuatu yang hendak dinyatakan oleh teks tersebut. Metafora adalah sebuah alias, sebuah
cara mempersamakan sesuatu dengan hal yang bisa lebih bisa dimengerti oleh manusia,
bukan sesuatu itu sendiri. Dengan demikian, metafora menolak kemungkinan
“obyektivitas” dan “universalitas” sebuah pendapat.
Cara berpikir tersebut membuat Derrida - yang dilahirkan dalam keluarga Yahudi
di Aljazair pada 1930 dan meninggal di Perancis pada 2004 - dikategorikan sebagai filsuf
yang meradikalkan gagasan linguistic-turn atau gagasan untuk membuktikan validitas
pernyataan tak lebih dari validitas analisa bahasa. Dalam analisa bahasa, Derrida memang
meradikalkan pemikiran Ferdinand deSaussure melalui berbagai istilah kunci seperti
metafora, jejak/bekas (trace), dekonstruksi, différance, dan gramatologi. Berbagai istilah kunci
tersebut dapat kita temui pada setidaknya dua bukunya, yaitu Writing and Difference dan
Of Grammatology.

Semiotika Saussure: tak alamiahnya relasi antara Tanda dan Makna, dan Strukturalisme
Saussure menolak anggapan tentang adanya hubungan alamiah antara teks dengan
makna teks.1 Baginya, teks dan maknanya dikonstruksikan secara sosial dan secara begitu
saja (arbitrer) untuk kemudian dikonvensikan. Kata POHON tidak secara alamiah mengacu
pada tumbuhan berbatang besar, berdahan dan berdaun. Sebenarnya, bisa saja tumbuhan
tersebut dinamai dan dimaknai lain. Konsekuensi dari pemikiran Sausurre adalah
“realitas” hanya akan hadir dan dapat dimanfaatkan oleh manusia sejauh manusia
menamai dan memaknainya. Tak ada realitas, obyektivitas dan universalitas yang
keberadaannya mendahului bahasa. Misalnya, karena di Jawa orang memiliki gradasi
nama/makna bagi beras, yaitu “padi-beras-gabah-menir-nasi”, maka orang Jawa bisa
menggunakan semua itu dalam produk dan fungsi yang berbeda-beda. Tidak demikian
dengan orang Barat yang hanya memiliki kategori rice untuk menamai padi, beras dan nasi
(tidak ada menir; dan menyebut gabah bukan dengan satu istilah khusus yang positif, tapi
dengan istilah negatif agar tetap mengacu pada teks “rice”: unhulled rice). Atau sebaliknya,
karena orang Eropa menganggap teh sebagai minuman yang berasal ramuan tumbuh-
tumbuhan (herbal), sementara orang Indonesia menganggap teh sebagai hanya minuman dari
daun pohon teh, maka rasa minuman teh di Eropa lebih bervariasi daripada di Indonesia.
Misalnya ada strawberry tea, blackberry tea, teh kayu manis, teh limau, dll.
Namun demi membatasi aspek kesewenang-wenangan (ke-arbitrer-an) dalam
mengkaitkan kata dan maknanya - yang potensial menimbulkan konflik - maka Saussure
mengusulkan pentingnya aspek sinkronik (kecocokan, keselarasan) dan diakronik
(historisitas, asal-usul) dari teks dan makna teks. Maksudnya, kalau orang bicara tentang
“teh”, maka tidak dapat dilepaskan dari aspek kesesuaiannya dengan sesuatu yang telah
(masa lalu) disepakati tentang bentuk dan fungsi tumbuhan tertentu. Hanya melalui dan
1
Christopher Norris, 1982, Deconstruction: Theory and Practice, London, Routledge, hal. 25.

1
epistemologi/bab 4/donny danardono

dalam aspek sinkronik-diakronik ini, maka keharmonisan hubungan antara kata dan
makna dapat dipertahankan, dan setiap orang akan mampu berbahasa dan berkomunikasi.
Dengan kata lain, kedua aspek inilah yang secara struktural mengatur (baca:
menundukkan) keliaran tafsir seseorang saat berbahasa.
Menurut Saussure kepatuhan struktural ini dimungkinkan, karena pada
hakekatnya semua bahasa adalah bahasa lisan (parole), bahasa yang mengutamakan bunyi
(fonetik). Dalam bahasa lisan, makna kata telah tersimpan rapi dalam bunyi atau tuturan.
Melalui bunyi atau tuturan-lah orang dapat membedakan atau menangkap makna kata.
Sementara bahasa tulis, menurut Saussure, hanyalah turunan dari bahasa lisan. Begitulah
bagaimana Saussure menundukkan subyektivitas pada struktur bahasa. Saussure
kemudian dikenal sebagai salah satu tokoh strukturalisme, sebuah aliran pemikiran yang
menunjukkan betapa dalam hidup ini tafsir dan kehendak manusia dibatasi oleh struktur.

Semiotika Derrida: metafora, dan jejak/bekas (trace)


Derrida tidak setuju dengan strukturalisme Saussure. Bagi Derrida bahasa tulis
adalah inti dari semua bahasa, termasuk bahasa lisan. Sebab, huruf dan kata tidak hanya -
dan tidak selalu berhasil - dibedakan dalam bunyi/tuturan, tapi terutama dalam tulisan. 2
Misalnya, kata sale (jual) dan sail (berlayar), fine (bagus) dan find (ditemukan), rice (beras)
dan rise (terbit) merupakan pasangan-pasangan kata dengan bunyi yang sama, tapi punya
makna yang berbeda, dan perbedaan itu hanya jelas bila kata-kata tersebut dituliskan atau
dijajarkan dengan kata-kata lain. Begitulah tutur Derrida, kata (dan makna kata) hanya
akan hadir bila terlebih dulu disusun berdasarkan rangkaian huruf alfabetis yang -
walaupun seandainya pada awalnya belum dituliskan - setidaknya sudah dibayangkan
bentuk fisik dan perbedaan masing-masing huruf tersebut (ideo-grafis).
Konsekuensi dari menganggap bahasa sebagai bahasa tulis adalah seorang harus
membaca, dan membaca berarti membaca dalam kesendirian, dan membaca dalam
kesendirian berarti mencegah kemungkinan menangkap makna kata (yang dituliskan)
hanya dengan membaca kata tersebut. Seringkali makna sulit diingat, dan baru bisa
dimengerti ketika mengkaitkannya dengan kata-kata yang lain. Misalnya, kata “kucing”
bisa berarti sejenis binatang, tapi juga bisa berarti nama sebuah kota di pulau Kalimantan.
Hanya dengan mengkaitkan kata “kucing” dalam rangkaian kata, maka seseorang bisa
memahami apakah yang dimaksud adalah “kucing” binatang atau kota di Kalimantan.
Maka, makna kata (kalimat) “Ia digigit kucing” berbeda dari “Ia pergi ke Kucing”. Derrida
memang berusaha mengembalikan istilah teks dalam bahasa Latinnya: texere yang berarti
tenunan.
Memahami arti kata melalui texere membuat Derrida berpikir, bahwa tak mungkin
ada atau mempertahankan keharmonisan hubungan antara kata dengan maknanya melalui
strategi sinkronisasi dan diakronisasi. Sebaliknya Derrida mengusulkan sebuah istilah untuk
memahami hubungan antara kata dan maknanya yang hanya bisa dipahami dalam texere,
yaitu jejak/bekas (trace). Dengan ini dia mau menyatakan, bahwa “makna kata” hanya bisa
diraih apabila seseorang membaca “sebuah kata” dalam “kaitannya dengan kata-kata lain”.
Cara membaca seperti ini akan membuat orang tahu, bahwa “makna kata” tak lebih dari
jejak/bekas (trace) kata-kata yang lain dalam sebuah kalimat atau diskursus. Jadi “sebuah
kata” tidak pernah bisa menyimpan “makna-nya” secara rapi dan pasti seperti yang
dinyatakan oleh Saussure lewat strategi sinkronik dan diakronik. Kucing (binatang) hanya
bisa dibedakan dari Kucing (kota di Kalimantan) bila dibaca dalam rangkaian kata-kata

2
Jacques Derrida, 1982, Of Grammatology, Baltimore, The John Hopkins University Press, hal. 55-56.

2
epistemologi/bab 4/donny danardono

yang lain. Makna Kucing (binatang maupun kota) hanya bisa dihadirkan sebagai jejak/bekas
(trace) dari rangkaian kata-kata yang lainnya (texere).
Untuk itu pula Derrida menolak upaya para pemikir modern yang berusaha
membedakan tanda dari simbol. Sebab baik tanda maupun simbol hanya bisa dimengerti
dalam kaitannya dengan rangkaian tanda dan rangkaian simbol. Rangkaian tanda dan simbol
tersebut merupakan pengejawantahan texere. Dan akibatnya dengan mudah tanda berubah
jadi simbol atau sebaliknya simbol berubah jadi tanda. Misalnya, tanda (signfier) “palu dan
arit” untuk memaknai dua buah alat pertukangan dan pertanian, tapi bila digabungkan
akan men-simbol-kan komunisme. Atau tanda (signifier) salib yang semula berarti alat untuk
menghukum mati mereka yang derajat sosialnya rendah di zaman Romawi, kemudian
menjadi simbol Kristen dan akhirnya juga menjadi simbol Palang Merah.
Begitulah bagaimana Derrida membuktikan, bahwa makna kata hanya bisa ditemui
dalam rangkaian teks-teks (texere) atau dengan kata lain makna kata hanya sebuah
jejak/bekas (trace). Tidak ada makna transendental yang kehadirannya mendahului teks dan
rangkaian teks. Dengan demikian, metafisika (misalnya, ide tentang “realitas, obyektivitas,
universalitas, esensi, substansi, kausalitas, tuhan”) sebenarnya hanya ilusi. Tak ada
“realitas, obyektivitas, universalitas, esensi, substansi, kausalitas, dan tuhan” yang
kehadirannya mendahului bahasa manusia. Ketiganya hanya akan hadir dan bermakna
dalam hidup manusia, ketika melalui bahasa ketiganya di-nama-i, dimasukkan dalam
jalinan teks-teks (texere) dan di-makna-i.

Dekonstruksi, difference, dan gramatologi


Dengan kata lain, menurut Derrida, “kebenaran” metafisis (anggapan tentang
“ada” yang kehadirannya mendahului manusia dan bahasa manusia atau logosentrisme)
sebenarnya hanya mungkin diwujudkan dengan mempraktekkan strategi berbahasa
tertentu yang menjadi ciri khas modernisme, yaitu oposisi-biner. Sebagai sebuah strategi
modern, oposisi-biner merupakan strategi (politis) untuk menunjukkan kalau setiap “ada”
(realitas) merupakan pasangan-pasangan kategori yang seakan-akan alamiah dan yang
kehadirannya mendahului bahasa manusia. Melalui anggapan tentang “sifat alamiah” ini
mau ditunjukkan betapa berbagai kategori tersebut tanpa campur tangan manusia telah
hadir secara oposisional dan hirarkis, dimana kategori yang satu dianggap lebih baik, lebih
penting atau lebih unggul dibandingkan kategori-kategori pasangannya, dan kedua
kategori itu tak mungkin dipertukarkan. 3 Itulah sebabnya dalam berbagai epistemologi
(ilmiah dan populer) modern setiap orang bertutur dengan membuat kategorisasi biner
yang beroposisi: siang-malam, pria-perempuan, negara-rakyat, baik-buruk, heteroseksual-
homoseksual, kodrati-adikodrati, tubuh-jiwa, subyektivitas-obyektivitas, partikular-
universal, atau surga-neraka. Derrida menyebut makna kata yang terkesan alamiah,
transendental dan kehadirannya mendahului bahasa ini sebagai logosentrisme (kebenaran
metafisis atau sentralitas logos/rasio yang keberadaannya terletak di luar bahasa).
Untuk membongkar ilusi logosentrisme dan oposisi-biner (yang dianggap wujud dari
logosentrisme) Derrida menawarkan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah sebuah strategi
membongkar “relasi antara kata dan maknanya” untuk menunjukkan ketidakstabilan,
ketidakpastian, arbitrer, ambiguitas dan paradoks hubungan keduanya. Sehingga melalui
dekonstruksi, teks yang ter-represi dalam kedudukannya di oposisi-biner akan tampil secara
wajar. Dengan kata lain dekonstruksi merupakan strategi bagi teks yang terepresi untuk
menemukan strategi perlawanan yang unik (tak universal). Sebab - secara linguistik,
budaya dan politik - identitas suatu kategori dianggap hanya bisa dimengerti dalam kaitan
3
Ibid., hal. 82-83.

3
epistemologi/bab 4/donny danardono

dengan identitas pasangan-(lawan)-nya. Misalnya, kata “pria” hanya bisa dimaknai dalam
kaitannya dengan “perempuan”. Begitu juga kata “negara” hanya bermakna bila ada kata
“rakyat”. Makna kata pria dan negara tidak bisa diperoleh dari kata itu sendiri. Karena itu
“pria-perempuan” atau “negara-rakyat” tidak oposisional dan hirarkis, tapi saling
mengandaikan. Jadi, teks pria adalah the différance (the other, yang lain) dari teks perempuan,
dan begitu sebaliknya:

…deconstruction is not simply a strategic reversal of categories which otherwise remain


distinct and unaffected. It seeks to undo both a given order of priorities and the very
system of conceptual opposition that makes that order possible. (…). Deconstruction is
better provided with texts, like Saussure’s, which forground the problematic status of
writing precisely by adopting a traditional perspective. A repressed writing then
reasserts itself most forcibly through the detours and twists of implication discovered
in Saussure.4

Begitulah bagaimana Derrida menawarkan strategi membaca dan berwacana secara


baru, yaitu dekonstruksi. Melalui dekonstruksi - menurutnya - manusia akan berwacana dan
melahirkan kebenaran-kebenaran “epistemologis” (ilmiah dan populer) secara wajar (fair)
dan sekuler (non-metafisis, bukan non-theis). Manusia tidak lagi membentuk
pengetahuannya dengan mendasarkan diri pada ilusi metafisis yang hanya melahirkan
logosentrisme (sentralitas logos/rasio yang keberadaannya terletak di luar bahasa), yang
dalam prakteknya hanya menghasilkan kebenaran yang reduktif saat memahami
“realitas”, dan yang memiliki konsekuensi menaklukkan dan merusak “realitas” (manusia
dan alam). Untuk itu sebagai ganti dari logosentrisme Derrida menawarkan gramatologi
(kebenaran pengetahuan yang di dasarkan pada kaitan teks/texere atau huruf -> arti grama
adalah kata).
Jadi dekonstruksi bukan pembongkaran makna kata yang menuju – seperti yang
dikatakan oleh Friederich Nietzsche - ke nihilisme atau atheisme. Ia adalah strategi
mengangkat “kebenaran-kebenaran” yang tertindas; dan pada akhirnya ia merupakan
strategi untuk menunjukkan tak mungkinnya “kebenaran” alamaiah. Kebenaran
modernisme selalu dikonstruksikan secara oposisi-biner.
Dekonstruksi juga menunjukkan bahwa “kebenaran” yang dikonstruksikan secara
sosial tak akan menghantar manusia menuju kebenaran sejati atau kebenaran universal.
Bahkan tak ada konsep manusia yang universal. Deklarasi Universal HAM PBB 1948 hanya
sebuah cara untuk membentuk pengertian tertentu tentang manusia. Bukan satu-satunya
cara. Itu sebabnya kelompok wanita di PBB merasa Deklarasi HAM Universal PBB tak bisa
melindungi dan mewujudkan HAM para wanita dan mereka menawarkan Konvensi
Cedaw (Convention on the Elimination of All Discriminations Against Women) yang oleh
pemerintah Indonesia diratifikasi menjadi UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang “Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita”.
Namun, menyatakan bahwa tak ada konsep kemanusiaan universal tidak sama
dengan mengatakan “pembunuhan” manusia oleh fasisme Hitler atau “pengorbanan”
manusia dalam tradisi-tradisi agama tertentu adalah “kebenaran-kebenaran” yang hanya
bisa dipahami dalam kekhususan budaya mereka. Ini adalah pandangan relatifisme
budaya. Derrida anti pada relatifisme budaya. Baginya tujuan dekonstruksi adalah
menunjukkan keambiguan, ketidakpastian dan paradoks sebuah teks (kebenaran), dan
akhirnya menunjukkan setiap teks (kebenaran) modern hanya bisa hadir dengan menindas
4
Ibid., hal. 31.

4
epistemologi/bab 4/donny danardono

teks-teks lain yang dianggap inferior. Jadi tujuan utama dekonstruksi adalah menunjukkan
tak ada “kebenaran” yang tidak menindas. Juga, tak ada “konsep keadilan” tertentu yang
tidak menindas. Menurut Derrida, “kebenaran” dan “keadilan” (begitu juga dengan tuhan)
yang benar dan adil hanyalah “dekonstruksi” itu sendiri. Dengan kata lain, Derrida mau
menunjukkan, karena kehidupan ini dibentuk oleh teks-teks dan jalinan teks, maka
kehidupan ini selalu tidak-pasti, ambigu dan paradoks. Namun, manusia modern
(rasional) selalu berusaha mengatasi ketidakpastian, keambiguan dan paradoks kehidupan
ini dengan berbagai norma (agama, sopansantun, moral, ilmiah, dan hukum), yaitu dengan
menjatuhkan sanksi-sanksi agama, budaya, moral, psikologis, dan hukum pada mereka
yang dianggap “menyimpang” dari kebenaran. Namun, tak semuanya berhasil. Sebab
semua norma itu dibentuk dengan dan dalam teks.
Karena itu, di era postmodern yang paling berharga hanyalah “niat baik” (niat
untuk tak menindas atau merugikan orang lain) dan “kejujuran” (keberanian mengakui
kesalahan dan ambiguitas hidup), bukan “kebenaran”. Inilah yang disebut oleh Carol
Gilligan sebagai ethics of care (etika kepedulian) 5 dan disebut oleh Michel Foucault sebagai
care for the self (kepedulian pada diri sendiri). 6 Keduanya merupakan etika yang titik
tolaknya adalah kebahagiaan diri (eudaimonisme Aristotelian), sebuah kebahagiaan yang
hanya akan terwujud bila seseorang tak mendiskriminasikan dan menghancurkan yang
lain (manusia, binatang dan lingkungan). Sebab tak seorangpun bisa hidup di luar
lingkungan sosial dan alam.

5
Carol Gilligan, 1982, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development, Cambridge,
Harvard University Press.
6
Michel Foucault, 1997, “The Ethics of the Concern of the Self as a Practice of Freedom” dalam
Michel Foucault – Ethics: Essential Works of Foucault 1954-1984 (Paul Rabinow, ed.), London, Penguin
Books, hal. 281-301.

Anda mungkin juga menyukai