Anda di halaman 1dari 5

Filsafat Ilmu Pengetahuan (Philosophy of Scientific Knowledge), merupakan cabang dari Filsafat

Pengetahuan (Epistemologi). Ia kadang disebut sebagai Theory of Science, Science of Science.


Mengapa demikian (jelaskan berdasarkan istilah-istilah tersebut), dan apa yang sebenarnya yang
menjadi kajian utama/ruang lingkup kajian dari disiplin Filsafat Ilmu itu. Dan apa manfaat Filsafat
Ilmu dalam kehidupan anda sebagai seorang ilmuan. Jelaskan !

Data Ada Yanng Sudah Ada Dan Data Belum Ada:

FILSAFAT PENDIDIKAN
Pendidikan Berpikir Kritis (Relativitas Daya Nalar)
DOSEN PENGAJAR :
Prof. Dr. H. SURATNO, M.Pd

DI SUSUN OLEH :
RAUDHATUL JANNAH A1A514008
SITI SYAFAATUL KHOIRIAH A1A513222
YUSNIDA AFRILIYANTI A1A513060
REG A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2015
A. Pendidikan Berpikir Kritis
Manusia merupakan makhluk berfikir dan manusia memiliki kesadaran dalam
berfikir, dalam berfikir manusia juga menggunakan intelegensi dalam melakukan hal-hal
yang dilakukannya. Manusia dalam pendidikan ada yang berfikir secara kritis. Berfikir kritis
ini pada tataran para filosof mempunyai nilai kritikal. Artinya, memenuhi suatu standar atau
kriteria akseptabilitis (sesuatu yang dianggap baik). Robert H. Ennis, seorang filusof
menyatakan bahwa berfikir kritis adalah suatu proses berfikir reflektif yang berfokus untuk
memutuskan apa yang diyakini untuk diperbuat. Hal ini dengan artian berfikir krirtis
merupakan arahan untuk dirujukan kepada rumusan-rumusan yang memenuhi kriteria
tertentu untuk diperbuat oleh manusia. Richard Paul menyatakan bahwa berfikir kritis
merupakan suatu kemampuan dan disposisi untuk mengevaluasi secara kritis suatu
keprcayaan atau keyakinan, asumsi apa yang mendasarinya dan atas dasar pandangan
hidup asumsi tersebut terletak.
Tujuan dari pendidikan kritis adalah membuat peserta didik, secara ideologis, lebih
kritis dan memiliki pandangan untuk melakukan emansipasi. Belajar dalam kaitan kritis
posmo, adalah untuk membentuk peserta didik yang mampu menentang adanya struktur
dan hierarki pengetahuan. Pendidikan sebagai sebuah aktivitas dan struktur sosio-kultural
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan produksi dan penyebaran dasar ilmu
pengetahuan.
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Lyotard, bahwa ilmu pengetahuan
memang membutuhkan tingkat legitimasi tertentu dengan jalan pendidikan sehingga jelas
pendidikan juga bisa menjadi jembatan dalam legitimasi domain ilmu pengetahuan
tertentu. Oleh karena itu, pendidikan postmodern yang merupakan sebuah warisan bagi
pendidikan kritis mempunyai keinginan untuk mengembangkan hasrat peserta didik melalui
pengalaman sebagai respon atas kondisi ekonomi dan fragmantasi social yang
diinspirasikan oleh dasar ilmu pengetahuan yang tidak menentu, serta membatasi teknik
rasional dan sebagai media antisipasif dan konsekuensi kegagalan proyek modernisasi
pendidikan.
B. Literasi Kritis
Literasi yang dalam bahasa Inggrisnya Literacy berasal dari bahasa Latin littera (huruf) yang
pengertiannya melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang
menyertainya. Kendatipun demikian, literasi utamanya berhubungan dengan bahasa dan
bagaimana bahasa itu digunakan. Adapun system bahasa tulis itu sifatnya sekunder.
Manakala berbicara mengenai bahasa, tentunya tidak lepas dari pembicaraan mengenai
budaya karena bahasa itu sendiri merupakan bagian dari budaya. Sehingga, pendefinisian
istilah literasi tentunya harus mencakup unsur yang melingkupi bahasa itu sendiri, yakni
situasi sosial budayanya.
Literasi kritis memandang teks dan kode-kode serta wacana yang terkandung di
dalamnya sebagai teknologi manusia untuk merepresentasikan dan membentuk dunia. Teks
diipahami sebagai bentukan manusia dan peninggalan bidang sosial. Sejalan dengan hal
ini, pendekatan kritis mulai terjadi dengan cara memisahkan teks, penulis dan pembaca
secara kultur dan historis. Teks kemudian beroperasi dalam konteks sosial, kultural dan
politik yang dapat diidentifikasi. Hal ini bertujuan untuk membuat pembaca agar mampu
mengkritisi dan membuat teks sesuai dengan ketertarikan kultural dan masyarakatnya. Hal
ini juga melibatkan sebuah pemahaman akan bagaimana teks dan wacana dapat
dikonstruksi, didekonstruksi dan direkonstruksi untuk memrepresentasikan, menguji, dan
mengubah hubungan material, sosial dan semiotik.
Bentuk-bentuk literasi kritis telah mengikuti berbagai landasan teori perkembangan
(feminisme, teori ras kritis, studi kultur postmodern, poskolonial, linguistik kritis).
Perkembangan ini merupakan sebuah respon terhadap berbagai pergeseran sosial yang
terjadi di masyarakat. Akan tetapi, satu hal yang perlu dicatat adalah fokus yang telah
berubah di mana analisis kritis kini tidak hanya dilakukan terhadap teks dan genre
tradisional tetapi juga terhadap teks media, budaya populer, pekerjaan dan konsumsi
sehari-hari.

Kemampuan literasi kini sedang berada dalam periode transisi, dengan munculnya
teknologi, berbagai mode informasi dan media yang memberikan tantangan besar terhadap
tradisi lisan dan cetak di sekolah dan kehidupan sehari-hari. Yang terjadi adalah pengusaan
pluralisasi literasi atau multiple literasi. Dalam transisi ini, literasi kritis merupakan tingkat
terdalam dari keaksaraan. Hal ini merupakan sebuah proses dimana analisis dan interaksi
dengan teks terjadi ketika seseorang menantang keberadaan teks tersebut dengan cara
mempertanyakan tujuan, suara, dan biasnya. Dengan demikian literasi kritis dapat dimaknai
sebagai proses berpikir untuk melakukan refleksi dan kontradiksi dari informasi-informasi
yang diperoleh seseorang.
C. Ciri Pembelajaran Literasi
Pembelajaran literasi dicirikan dengan tiga R, yakni Responding, Revising, dan Reflecting
(Kern, 2000). Responding disini melibatkan kedua belah pihak, baik guru maupun siswa.
Para siswa memberi respon pada tugas-tugas yang diberikan guru atau pada teks-teks
yang mereka baca. Demikian pula guru memberi respon pada jawaban-jawaban siswa agar
mereka dapat mencapai tingkat kebenaran yang diharapkan. Pemberian respon atas hasil
pekerjaan siswa juga cukup penting agar mereka tahu apakah mereka sudah mencapai hal
yang dirahapkan atau belum.
Revision yang dimaksud disini mencakup berbagai aktivitas berbahasa. Misalnya, dalam
menyusun sebuah laporan kegiatan, revisi dapat dilaksanakan pada tataran perumusan
gagasan, proses penyusunan, dan laporan yang tersusun.Reflecting berkenaan dengan
evaluasi terhadap apa yang sudah dilakukan, apa yang dilihat, dan apa yang dirasakan
ketika pembelajaran dilaksanakan. Secara spesifik lagi, refleksi dapat dibagi ke dalam dua,
yaitu: dari sudut pandang bahasa reseptif (mendengarkan dan membaca) dan sudut
pandang bahasa ekspresif (berbicara dan menulis).
D. Penguasaan Literasi Kritis
Dibawah ini ketrampilan yang harus dikuasai dalam penggunaan metode berpikir kritis,
antara lain :
1) Keterampilan Menganalisis
Suatu keterampilan menguraikan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen
agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut. Dalam keterampilan tersebut tujuan
pokoknya adalah memahami sebuah konsep global dengan cara menguraikan atau merinci
globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan terperinci. Pertanyaan
analisis, menghendaki agar pembaca mengindentifikasi langkah-langkah logis yang
digunakan dalam proses berpikir hingga sampai pada sudut kesimpulan (Harjasujana,
1987: 44).
2) Keterampilan Mensintesis
Keterampilan yang berlawanan dengan keteramplian menganalisis. Keterampilan
mensintesis adalah keterampilan menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan
atau susunan yang baru. Pertanyaan sintesis menuntut pembaca untuk menyatupadukan
semua informasi yang diperoleh dari materi bacaannya, sehingga dapat menciptakan ide-
ide baru yang tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam bacaannya. Pertanyaan sintesis ini
memberi kesempatan untuk berpikir bebas terkontrol (Harjasujana, 1987: 44).
3) Keterampilan Mengenal dan Memecahkan Masalah
Keterampilan aplikatif konsep kepada beberapa pengertian baru. Keterampilan ini
menuntut pembaca untuk memahami bacaan dengan kritis sehinga setelah kegiatan
membaca selesai siswa mampu menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga
mampu mempola sebuah konsep. Tujuan keterampilan ini bertujuan agar pembaca mampu
memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam permasalahan atau ruang lingkup
baru (Walker, 2001:15).
4) Keterampilan Menyimpulkan
Kegiatan akal pikiran manusia berdasarkan pengertian/pengetahuan (kebenaran)
yang dimilikinya, dapat beranjak mencapai pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang baru
yang lain (Salam, 1988: 68). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa
keterampilan ini menuntut pembaca untuk mampu menguraikan dan memahami berbagai
aspek secara bertahap agar sampai kepada suatu formula baru yaitu sebuah simpulan.
Proses pemikiran manusia itu sendiri, dapat menempuh dua cara, yaitu : deduksi dan
induksi. Jadi, kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang memberdayakan
pengetahuannya sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan
yang baru.
5) Keterampilan Mengevaluasi atau Menilai
Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai sesuatu
dengan berbagai kriteria yang ada. Keterampilan menilai menghendaki pembaca agar
memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan menggunakan standar tertentu
(Harjasujana, 1987: 44).
Dalam taksonomi belajar, menurut Bloom, keterampilan mengevaluasi merupakan
tahap berpikir kognitif yang paling tinggi. Pada tahap ini siswa dituntut agar ia mampu
mensinergikan aspek-aspek kognitif lainnya dalam menilai sebuah fakta atau konsep.
Pengukuran indikator-indikator yang dikemukan oleh beberapa ahli di atas dapat
dilakukan dengan menggunakan universal intellectual standars. Pernyataan ini diperkuat
oleh pendapat
Paul (2000: 1) dan Scriven (2000: 1) yang menyatakan, bahwa pengukuran
keterampilan berpikir kritis dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan: "Sejauh
manakah siswa mampu menerapkan standar intelektual dalam kegiatan berpikirnya".
Universal inlellectual standars adalah standardisasi yang harus diaplikasikan dalam
berpikir yang digunakan untuk mengecek kualitas pemikiran dalam merumuskan
permasalahan, isu-isu, atau situasi-situasi tertentu. Berpikir kritis harus selalu mengacu dan
berdasar kepada standar tersebut (Eider dan Paul, 2001: 1).

Anda mungkin juga menyukai