Anda di halaman 1dari 24

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Semantik Roza Afifah, S.Pd, M.Hum.

TINJAUAN SEMANTIK STRUKTURAL DALAM PENGKAJIAN MAKNA:


KAJIAN RELASI MAKNA

Oleh Kelompok 3:

NADYA DELPITA (11811123293)


RIFKA ZAHERA (11811123336)
RIZKA AULIYA JUFRI (11811123445)
SAPRUDIN (11811113535)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt, yang telah memberikan berkah, rahmat,
nikmat, dan hidayahnya sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “TINJAUAN
SEMANTIK STRUKTURAL DALAM PENGKAJIAN MAKNA: KAJIAN RELASI
MAKNA” sebagai tugas pada mata kuliah Semantik. Shalawat beserta salam tidak lupa
penulis ucapkan kepada Rasulullah saw yang telah membawa umatnya dari zaman
kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Semantik
yaitu Ibu Roza Afifah, S.Pd, M.Hum. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menyelesaikan tugas ini. Dalam makalah ini terdapat kesalahan ataupun kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar terciptanya
makalah yang lebih baik lagi kedepannya. Semoga makalah yang penulis buat dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, 4 Desember 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................1

DAFTAR ISI........................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................3

1.1 Latar Belakang ..........................................................................................3


1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................3
1.3 Tujuan........................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................5
2.1 Strukturalisme dalam Hubungannya dengan Kajian Makna.....................5
2.2 Teori Medan Makna dan Kolokasi............................................................8
2.3 Hiponimi dan Sinonimi.............................................................................11
2.4 Kontras, Oposisi, dan Antonimi................................................................18
BAB III PENUTUP.............................................................................................22
3.1 Simpulan....................................................................................................22
3.2 Saran..........................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................23

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang tidak akan pernah lepas dari arti
atau makna pada setiap perkataan yang diucapkan oleh manusia tersebut. Semantik
merupakan salah satu cabang ilmu yang dipelajari dalam studi linguistik yang
membicarakan makna yaitu makna kata dan makna kalimat.

Semantik merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu
kebahasaan. Semantik merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang
makna. Semantik merupakan satu cabang kajian falsafah yang kemudian diangkat
oleh disiplin linguistik sebagai salah satu dari komponen bahasa yang utama selain
sintaksis, morfologi dan fonologi. Ada yang mengungkapkan bahwa semantik ini
seharusnya lebih terfokus pada suatu kajian yaitu kajian yang bermakna.

Dalam ilmu linguistik, terdapat beberapa tinjauan semantik struktural dalam


pengkajian makna. Yang salah satunya yaitu tentang strukturalisme dalam
hubungannya dalam kajian makna. Secara umum, semantik struktural mengkaji
makna sebagai satu sistem dalam bahasa. Jadi bahwasanya semantik struktural
menekankan kajian pada masalah makna dalam hubungannya denagn satuan kata
maupun kelompok kata. Hubungan strukturalisme.

1.2 Rumusan Masalah

3
Berdasarkan latar belakang di atas ditemukan beberapa permasalahan di antaranya:

1. Apa itu Strukturalisme dalam Hubungannya dengan Kajian Makna?


2. Bagaimana Teori Medan Makna dan Kolokasi?
3. Apa itu Hiponimi dan Sinonimi?
4. Apa itu Kontras, Oposisi, dan Antonimi?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui tentang Strukturalisme dalam Hubungannya dengan Kajian


Makna.
2. Untuk mengetahui tentang Teori Medan Makna dan Kolokasi.
3. Untuk mengetahui tentang Hiponimi dan Sinonimi.
4. Untuk mengetahui tentang Kontras, Oposisi, dan Antonimi.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Strukturalisme dalam Hubungannya dengan Kajian Makna

Linguistik yang dikembangkan oleh saussure, selain dilatari pandangan strukturalisme


dalam filsafat yang oleh levistrauss maupun durkheim,juga digunakan sebagai dasar
dalam kajian antropologi memiliki masa yang oleh lyons disebutkanya
presussurean(lyons, 1979:231). Disebut demikian karena menurut Lyons, strukturalisme
dalam pengkajian makna sedikit banyak filosofi leibniz, w. Von Humboldt, maupun
herder. Di jerman, kajian strukturalisme pada masa awalnya juga berakar pada
pandangan filsafat yang dikembangkan Immanuel kant.

Meskipun demikian, tanpa diketahui oleh saussure sendiri, buah pikiranyalah sebenarnya
yang lebih banyak menyebabkan timbulnya revolusi dalam kajian kebahasaan.
Perubahan itu, selain disebabkan oleh wawasannya tentang pembahasaan bahasa secara
sinkronis, antara lain juga dilandasi wawasannya tentang keberadaan bahasa sebagai
suatu relasi struktural, sebagai suatu sistem unik yang berbeda antara bahasa yang satu
dengan lainnya. Sebab itulah, kajian kebahasaan dalam strukturalisme, meskipun dapat
berfokus pada unit-unit tertentu, misalnya bunyi, terminal akhirnya harus mencangkup
kesuluruhan unit yang membentuk jaringan dalam sistem bahasa itu sendiri.

Lebih lanjut, dalam kajian kebahasaan yang dilakukan oleh Saussure dapat ditemui
adanya konsep-konsep dikotomis, misalnya antara langue dengan parole. Antara form
dengan subtance, antara bunyi dengan signifikasi, antara signifiant dengan signifie,
antara relasi paradigmatik dengan sintagmatik, antara sinkronik dengan diakronik, serta
antara informasi tanda dengan informasi simantis. Konsep yang diwadahi sejumlah
istilah itu pada dasarnya juga menjadi unsur-unsur yang memiliki hubungan erat dengan

5
masalah makna sehingga hanya dengan berangkat dari jumlah unsur itulah kajian makna
dapat membuahkan hasil yang memadai.

Pandangan tersebut bagi kelompok aliran praha tidak sepenuhnya sesuai. Bagi mereka
kajian makna sebenarnya dapat dilaksanakan hanya dengan mempelajari berbagai tataran
fungsi yang terdapat di dalam unsur kebahasaan itu sendiri. Kelompok aliran praha yang
pada dasarnya juga menjadi pelanjut dari wawasan strukturalisme Saussure, berpendapat
bahwa tataran bunyi yang terkecil adalah bunyi sebagai unsur yang mampu menimbulkan
perbedaan arti. Untuk memperoleh fitur distingtif tersebut, pengkaji harus melihat dari
hubungannya baik secara sintagmatis maupun paradigmatis.

Konsep tentang makna yang memiliki hubungan erat dengan berbagai tataran fungsi atau
lazim disebut fungsionalisme. Itu pun sebenarnya juga dapat dijumpai dalam
strukturalisme Saussure. Hanya saja, dalam aliran praha, pendekatan fungsional jauh
lebih mendapatkan perhatian. Konsep fungsionalisme tersebut dalam hal ini memilki
hubungan erat dengan ciri sebagai berikut:

a. Sistematis dan simultan


b. Hierarki
c. Interchangeability
d. Pemilikan kriteria sintaktik serta
e. Kriteria kombinasi dan produktivitas

Lebih lanjut, dalam strukturalisme Saussure juga dapat ditemui adanya konsep yang telah
berkembang sejak masa pre-Saussurean, ide yang dimaksud adalah pandangan tentang
relativitas bahasa yang disampaikan oleh Humboldt. Konsep Humboldt yang lebih lanjut
dikembangkan oleh sapir dan whorf dan oleh J.B. Carrol, yang disebutnya sebagai
hipotesis sapir-whorf itu, mengandung gagasan utama bahwa bahasa sebagai simbol
realitas yang bersifat arbitrer pada dasarnya dibentuk dan membentuk konsep masyarakat
pemakainya dalam menyikapi dan memahami dunia realitas, baik melalui ciri gramatik
maupun klasifikasi semantis yang dikandungnya. Terdapat kata ketuhanan, kemanusiaan,

6
persatuan, kerakyatan maupun keadilan dibentuk dan membentuk pandangan kehidupan
bangsa indonesia. Sementara tentang klasifikasi tentang daun, ranting, dahan, cabang,
pohon, kulit, maupun akar juga membentuk konsep masyarakat bahasa-bahasa indonesia
sehubungan dengan realitas pohon.

Apabila hubungan simbol dengan referen semata-mata bersifat arbitrer, maka pemberian
ciri dan konseptualisasi realitas lewat bahasa itupun akhirnya bersifat relatif. Ciri acuan
pohon bagi masyarakat bahasa-bahasa indonesia berbeda dengan tree dalam bahasa
inggris, berbeda dengan albero dalam bahasa itali. Profesor berkebangsaan inggris atau
amerika yang bertempat tinggal di rumah keluarga indoensia, karena mereka belu
mengenal ciri maupun konseptualisasi kata kamar mandi dan gayung.relativitas bahasa
itu pada sisi lain, menurut Boas, juga ditandai oleh adanya kenyataan bahwa hubungan
antara bahasa dengan dunia luar tidak pernah mencapai titik henti secara ideal. Acuan
makna dari kamar mandi misalnya sesuai dengan perkembangan “wujud kamar mandi itu
sendiri akhirnya juga mengalami perkembangan. Begitu juga perkembangan ilu
pengetahuan dan teknologi akhirnya juga mempengaruhi relativitas dalam pemaknaan itu
sendiri.

Pandangan tentang relativitas bahasa lebih lanjut juga memberikan gambaran


keanekaragaman pemberian ciri referen acuan lambang kebahasaan dari bahasa-bahasa
yang belainan meskipun masing-masing memilki mkna dasar yang sama. Hal itulah yang
dalam perkembangannya berikutnya nanti disanggah oleh Berlin dan Kay (1969). Dua
ahli astropologi tersebut, meskipun menyutujui gagasan whorf bahwa bahasa memiliki
hubungan erat dengan pandangan masyarakat penuturnya, berpendapat bahwa ciri
referen yang diacu oleh bahasa yang berbeda-beda itu secara umum memiliki kesamaan.
Berlin dan kay mengemukakan sangahannya itu dengan bertolak dari hasil penilitiannya
tentang acuan simbol warna yang terdapat dalam dua puluh bahasa. Hasil penilitian
menunjukan bahwa meskipun kedua puluh bahasa itu memiliki struktur bunyi yang
berbeda, ciri acuan warna yang diacu, ternyata sama. Kata red dalam bahasa inggris,
merah dalam bahasa indonesia, dan abang dalam bahasa jawa misalnya masing-

7
masingnya memiliki acuan ciri warna yang sama sehingga keseluuhannya dapat
dihubungkan misalnya dengan warna darah.

Pandangan tentang relativitas bahasa tersebut, sangat relevan bila dihubungkan dengan
bentuk ekspresi khas yang dimiliki suatu bahasa, misalnya bentuk buah bibir dalam
bahasa indonesia tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa inggris lip fruit. Sebaliknya
bentuk kembang lambe dalam bahasa jawa tidak dapat diterjemahkan bunga bibir,
bengitu pula bentuk to bear fruit dalam bahasa inggris tidak dapat diterjemahkan untuk
buah beruang karna bentuk tersebut mengandung makna “membawa hasil”bahsa yang
masih serumpun, karna digunakan oleh masyarakat bahasa yang berbeda,akhirnya juga
memiliki ciri khusus dalam melabeli suatu fakta, masyarakat jawa, misalnya, rupanya
lebih prosesnya sehinga menjadi buah yang siap dipetik, sehinga bahasa jawa memiliki
kata manggar, bluluk, cengkir, degan, dan kambil. Sedangkan dalam bahasa indonesia
hanya dikenal kata kelapa muda dan kelapa.

Baik konsep relativitas bahasa yang dikembangkan oleh humboldt dan dihidupkan
kembali oleh sapir-whorf, hasil penelitian berlin dan kay maupun beberapa contoh
terakhir itu membuktikan bahwa pemberian ciri referen lewat sombolis, selain dapat
bersifat universal, juga bersifat khusus. Abstraksi suatu fakta dan konseptualisasinya,
selain bergantung pada ciri referen, juga dapat menunjuk pada subjek dan masyarakat
yang membuat abstraksi dengan berbagai latar sosial-budaya dan pandangan hidupnya.
Sebab itulah makna, selain dapat bersifat referensial juga dapat bersifat konseptual,
selain terdapat makna ekstensional juga terdapat makna intensional.

2.2 Teori Medan Makna dan Kolokasi

Harimurti (1982) menyatakan bahwa medan makna (semantic field, domain) adalah
bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang
kebudayaan atau realitas alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat
unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Sebagai contoh dikemukakan nama-nama

8
warna yang membentuk medan makna tertentu, demikian juga dengan perabot rumah
tangga, istilah pelayaran, istilah olahraga, istilah kekerabatan, istilah alat pertukangan
dan sebagainya. (Chaer, 1990: 113-114).

Istilah teori medan makna atau theory of semantic field atau field-theory berkaitan
dengan teori bahwa pembedahan kata dalam suatu bahasa memiliki medan struktur, baik
secara leksikal maupun konseptual, yang dapat dianalisis secara sinkronis, diakronis,
maupun secara paradigmatik. Teori yang semula dikembangkan oleh Herder (1772), dan
Humboldt (1836) cukup mendapat perhatian dari beberapa ahli. Salah satu hasil kajian
yang cukup berpengaruh adalah kajian dari Trier (1934). Salah satu hasil kajian Trier itu
menunjukkan bahwa dalam bahasa Jerman terdapat kata kunst dan list yang sekitar tahun
1200 memiliki makna dalam kaitannya dengan nilai etis dan nilai lain di luar etika.
Kedua kata tersebut tercakup dalam kata wisheit yang mengandung makna "pengalaman
keagamaan".

Pada tahun 1300, ketiga kata yang semula mengandung pengertian secara tumpang tindih
itu, berdiri sendiri-sendiri. Kata wisheit secara khusus mengandung makna "pengalaman
keagamaan", kunst mengandung makna "pengetahuan", dan wizzen mengandung makna
"seni".

Lebih lanjut, teori medan makna yang dikembangkan oleh Trier juga memusatkan
perhatiannya pada adanya asosiasi hubungan kata secara paradigmatik. Ujaran seperti,
Menjelang pagi perut saya lapar sekali, untung ada (------). Garis dalam kurung itu
dapat diisi roti, nasi, tempe goreng, tahu, dan sebagainya. Sejumlah kata tersebut dan
sekian lagi kata lainnya dapat diisikan di dalamnya karena kata-kata tersebut menunjuk
acuan referen "dapat dimakan" sehingga mampu menanggulangi lapar. Pada sisi lain,
pemilihan kata yang disubstitusikan itu juga harus memperhatikan frase menjelang pagi
sehingga seseorang tidak dapat secara gampang memilih kata rujak maupun pecel lele,
karena menjelang pagi tentunya menunjuk jam antara jam 03-05 pagi hari. Begitu juga
sebutan saya harus diidentifikasi karena bila saya ternyata kakek atau nenek yang sudah

9
ompong, tidak masuk akal bila garis dalam kurung itu diisi kata kacang atau jagung
goreng.

Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa teori medan makna, selain
berhubungan dengan masalah relasi makna kata dari periode yang berbeda, asosiasi
hubungan kata secara paradigmatis sesuai dengan ciri referen dan konseptualisasinya,
juga berhubungan dengan hubungan secara internal antara kata yang satu dengan kata
lainnya. Sebab itulah Lyons mengungkapkan bahwa in particular, we will assume that
field-theory is concerned with the analysis of sense (Lyons, 1979: 252).

Apabila kita meninjau keberadaan kosakata dalam bahasa Indonesia, kita juga dapat
mengetahui bahwa tebaran kosakata dalam bahasa Indonesia itu juga menggambarkan
perangkat ciri, konsepsi, dan asosiasi hubungan tertentu. Kata-kata seperti wafat, gugur,
meninggal, dan mati mampu mengasosiasikan adanya hubungan ciri yang sama.
Sementara asosiasi hubungannya dengan kata yang lain dalam relasi sintagmatis
memiliki ciri yang berbeda-beda karena seseorang tidak mungkin mengatakan Kucingku
wafat.

Dari contoh kalimat terakhir tersebut maupun dari contoh asosiasi pemilihan kata pengisi
garis dalam kurung di atas tepat diketahui pula bahwa teori medan makna memiliki
hubungan erat dengan keberadaan konseptualisasi, penyimpulan, dan penghubungan.
Ullman sehubungan dengan masalah tersebut mengungkapkan bahwa teori medan
makna pada dasarnya memang memiliki hubungan erat dengan konsep anteseden dalam
fenomenologi maupun wawasan Cassirer tentang keberadaan masa sebagai unsur inti
dalam proses berpikir (Ullman, 1977: 244). Pengertian anteseden itu sendiri adalah
penunjukan kembali suatu realitas yang telah disebutkan terlebih dahulu dengan
menggunakan lambang kebahasaan yang memiliki referensi sama atau asosiasikan
memiliki hubungan. Si manis dalam kalimat binatang kesayangannya, si manis ternyata
suka mencuri ikan, adalah anteseden dari binatang kesayangannya.

10
Kajian tentang medan makna lebih lanjut berhubungan erat dengan masalah kolokasi.
Pengertian kolokasi itu sendiri ialah asosiasi hubungan makna kata yang satu dengan
yang lain yang masing-masingnya memiliki hubungan ciri yang relatif tetap. Kata
pandangan berhubungan dengan mata, bibir, dengan senyum, serta kata menyalak
memiliki hubungan dengan anjing. Bagi Firth, masalah hubungan makna itu baru dapat
ditentukan setelah masing-masing kata berada dalam konteks pemakaian melalui
beberapa tataran analisis. (Palmer, 1981: 76).

Mengabstraksikan ciri hubungan makna kata yang satu dengan lainnya, pada dasarnya
memang tidak sederhana. Kata anjing, misalnya, juga memiliki hubungan dengan kata
binatang, bentuk umpatan, menggigit, dan sebagainya. Begitu pula kata bibir, dalam
perluasannya tidak hanya mengacu kepada organ fisik manusia, tetapi juga mengacu
pada tepi jurang, pembicaraan, rayuan, maupun mulut botol sehingga asosiasi hubungan
kesejajaran ciri maknanya dengan makna dalam kata yang lain menjadi rumit.

Sehubungan dengan kolokasi tersebut, Ullman menyebutkan terdapatnya kolokasi


sinonim yang berfungsi untuk memperjelas menekankan makna (Ullman, 1977: 153).
Bentuk tersebut, selain dijumpai dalam retorika, juga lazim digunakan oleh para
sastrawan. Dalam salah satu puisi Chairil Anwar, misalnya, dapat dijumpai kolokasi
sinonim pecah pencar, legah lapang, sama gandengan, ria bahagia, gembira girang,
maupun mandi basahkan diri. (Chairil Anwar, 1969: 22). Selain itu, kolokasi sinonim
menurut Ullman juga mampu memberikan gambaran efek kontras, baik untuk
menampilkan humor maupun gagasan serius.

2.3 Hiponimi dan Sinonimi

Menurut Saeed (2000: 68) menjelakan bahwa hyponymy is a relation of inclusion. A


hyponim includes the meaning of a more general word. Jadi, hiponimi merupakan relasi
inklusi. Suatu hiponimi mencakup makna dari suatu kata yang lebih umum. Banyak kosa
kata yang dihubungkan dengan menggunakan sistem inklusi ini dan hasil jejaring

11
semantiknya membentuk suatu hirarkhi taksonomi. Menurut Wijana (1999: 2)
menjelakan bahwa sinosimi adalah relasi kesamaan makna. Satuan kebahasaan
dimungkinkan memiliki kesamaan makna dengan satuan kebahasaan yang lain.

Sewaktu menggambarkan hubungan mana kata yang satu dengan lainnya, kita mungkin
dapat menemukan sejumlah kata yang memiliki kemiripan ciri acuan referen sehingga
keseluruhannya dapat diberi lebel umum yang berlaku bagi setiap anggota yang memiliki
kemiripan ciri acuan tersebut, kata mawar, misalnya, memiliki hubungan dengan ciri
dengan melati, dahlia, kenanga maupun nusa indah sehingga kumpulan kata yang
memiliki hubungan ciri tersebut dapat diberi julukan umum, bunga. Sejumlah kata yang
memiliki hubungan atau kemiripan ciri referen itu disebut subor-dinate. Sedangkan
julukan yang memayunginya disebut super-odinate. Hubungan antara mawar dengan
bunga disebut hiponim. Sementara hubungan antara mawar dengan melati, misalnya
disebut kohiponim. Istilah hiponimi berkaitan dengan proses perlibatan sejumlah makna
yang terkandung di dalam kata mawar, melati dan lain-lainnya ke dalam satu naungan
julukan, yakni bunga.

Apabila bentuk sinonim seperti Bandung-dengan Kota Kembang memiliki hubungan


simetris, maka hiponimi memiliki hubungan transitif (Lyons, 1979:292). Diacukan pada
ciri lain, bunga dapat juga menjadi kohiponim dari rumput, beringin dan lain-lainnya
yang keseluruhannya menunjuk pada satu julukan umum, tumbuh-tumbuhan. Seperti
telah dicontohkan di depan tumbuh-tumbuhan bisa menjadi kohiponim dari manusia
maupun hewan yang berasa di bawah satu julukan umum, makhluk. Sampai pada
tingkatan ini akhirnya dapat diketahui pula bahwa pemberian ciri secara ekstensional dari
jumlah makna kata yang mengalami hiponimi akhirnya juga tidak lepas dari titik vertikal
pada sub-ordinate, manusia maupun hewan juga memiliki juga memiliki sejumlah sub-
ordinate. Dengan demikian, hiponimi memiliki percabangan dan tata tingkat yang dapat
digambarkan seperti tampak pada bagan berikut.

12
Dari jaringan bagan itu dapat diketahui bahwa A sebagai penanda makhluk, memiliki
jaringan hubungan yang mencakup baik a= manusia, b= hewan, serta c= tumbuh-
tumbuhan. Baik a,b maupun c sebagai subordinate dari makhluk, pada tataran berikutnya
dapat menjadi superordinate dari makhluk, pada tataran berikutnya dapat menjadi
superordinate dari tingkatan subordinate berikutnya. manusia dapat menjadi
superordinate dari sebutan sejumlah ras maupun suku, ihewan dapat menjadi
superordinate dari kaming dan lembu, sementara tumbuh-tumbuhan menjadi
superordinate dari bunga dan pepohonan.

Bertolak dari situasi seperti diatas, dapat disimpulkan bahwa kata manusia, hewan,
maupun tumbuh-tumbuhan dapat memiliki kedudkan ganda. Selain menjadi subordinate,
kata-kata tersebut juga menjadi superordinate dari tataran subordinate berikutnya. Sebab
itulah, suatu kata, selain memiliki relasi umum, misalnya kata kehidupan, pertumbuhan,
dan kematian dapat dihubungkan dengan kata manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan
dengan berbagai bawahannya, juga memiliki relasi khusus. Batas antara relasi khusus
tersebut dalam pemakaian ternyata tidak selamanya konstan. Kreativitas manusia dalam
menciptakan dunia lambang ternyata bukan hanya terbatas pada penciptaan bahasa
natural seperti yang digunakan dalam kehidupan sehari hari maupun bahasa artifisial
seperti bahasa komputer maupun bahasa yang dikenal dalam logika simbolis, melainkan
juga mampu menciptakan bentuk kebahasaan yang bersifat khas dan mungkin saja
“aneh”. Bentuk kebahasaan yang bersifat khas itu dapat ditemui misalnya dalam paparan

13
kebahasaan para penyair. Bentuk khas tersebut ditandai antara lain oleh adanya bentuk
metaforis.

Metafor menjadi bentuk khas dan mungkin juga aneh karena relasi kata dalam metafor
ternyata melampaui batas relasi khusus yang telah disepakati bersama dalam komunikasi
keseharian. Kata sayap yang secara khusus memiliki relasi dengan burung, oleh
Goenawan Mohammad dihubungkan dengan tahun seperti dalam baris puisisnya, tahun
pun turun membuka sayapnya, sementara kata tidur yang sebenarnya khas milik manusia
dan binatang, oleh Chairil Anwar dihubungkan dengan tanah dan air seperti dalam baris
puisinya, dan kini tanah dan air tidur hilang ombak (Anwar, tanpa tahun: 32).

Dari dua contoh diatas, dapat diketahui bahwa metafor, selain ditandai oleh adanya
penggantian ciri relasi, penataan hubungannya pun pastilah diawali oleh adanya asosiasi,
konseptualisasi, dan analogi dengan bertolak dari ciri acuan setiap kata. Kenyataan
bahwa pemaknaan suatu kata juga tidak dapat dilepaskan dari adanya intensi, asosiasi,
maupun konseptualisasi para pemakainya, akhirnya bentuk metaforis secara khusus tidak
hanya ditemukan dalam kreasi sastra, tetapi juga dapat ditemukan dalam komunikasi
keseharian. Hanya perbedaannya apabila bentuk metaforis dalam kreasi sastra umumnya
bersifat perseorangan, maka bentuk metaforis dalam komunikasi keseharian berkaitan
dengan motivasi sosial sesuai dengan keberadaan simbol kebahasaan itu sendiri yang
bersifat arbiter (cf. Todorov, 1971: 97). Kata membelai yang memiliki hubungan secara
arbiter dengan “usapan tangan” akhirnya dapat dihubungkan dengan angin. Sementara
pemindahan hubungan itu pun tidak dilepaskan dari kemungkinan dapat tidaknya
diterima dalam komunikasi sosial.

Dari terdapatnya metafor yang dapat memiliki sifat perseorangan maupun sosial di atas,
maka Sayre dan Muller mengungkapkan bahwa all language is Metaphor (Bickerton,
1981: 45). Sementara Warren & Wellek, yang mungkin menyadari bahwa meskipun
setiap ujaran kebahasaan itu kesemuannya dapat saja mengandung sifat metaforis, tingkat
metaforisnya sebenarnya masih perlu dipilah-pilahkan. Terdapat metafor yang secara

14
khusus memiliki hubungan imaji personal, metafor yang banyak menggunakan gejala
alam, serta metafor yang telah kehilangan ketiga klasifikasi tersebut, Wallek & Warren
membrikan istilah private symbol, natural symbol, dan blank symbol (Wallek & werren,
1956). Sedangkan Wheelwright (1962), seperti diungkapkan oleh Bickerton,
memberikan istilah epifora, yakni untuk berbagai bentuk metafor yang teah bersifat
umum, serta diafora, yakni jenis metafor yang mengandung imaji secara tertutup serta
bersifat individual.

Dari sejumlah paparan di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa (1) dalam suatu
bahasa, kosa kata memiliki hubungan secara hierarkis dari yang paling khusus menuju ke
yang paling umum, atau sebaliknya dari yang paling umum menuju ke yang khusus, (2)
dari adanya klas kehiponiman dalam setiap tingkatan serta adanya garis vertikal setiap
kata menuju ke yang paling umum, relasi antarkata selain bersifat khusus juga dapat
bersiat umum. (3) spesifikasi relasi umum dengan relasi khusus juga dapat bersifat
adanya asosiasi, konseptualisasi, intensi, maupun analogi para pemakainya akhirnya
sering kali, tidak jelas; meskipun demikian (4) pelanggaran batas spesifikasi tersebut
pada dasarnya masih memperhatikan ciri acuan dasar serta daya keberhasilannya dalam
komunikasi.

Masalah lain yang menjadi bidang kajian semantik struktural ataupun semantik leksikal
ialah sinonimi. Menurut Palmer, synonymy is used to mean sameness of meaning
(Palmer, 1981: 88). Sedangkan bentuk bahasa yang mengalami dan menjadi anggota dari
sinonimi disebut sinonim. Pengertian sinonim sendiri, seperti diungkapkan Harimurti
Kridalaksana, ialah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain.
kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya yang
dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja (Kridalaksana, 1982: 154). Betulkah sinonim
mutlak itu ada ataukah yang ada sebenarnya hanya kuasisinonim, jawaban tentang hal itu
masih menunjukkan adanya berbagai perbedaan. Alasan Bloomfield setiap bentuk
kebahasaan pada dasarnya selalu memiliki ketetapan dan kekhususan makna sehingga
perbedaan fonem pun mengakibatkan adanya perbedaan makna. Pendapat Bloomfield

15
tersebut bertentangan dengan pendapat dari Jonson dari Macualay yang justru
berpendapat bahwa sinonim mutlak itu sebenarnya ada (Ullman , 1977: 144).

Apabila dihubungkan dengan makna referensial serta makna akstensional, menurut


hemat kami sinonim mutlak itu memang ada. Kata wafat, misalnya, sebagai kata yang
telah menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia, memiliki sinonim mutlak dengan
meninggal maupun mangkat. Begitu juga kalimat Aditya pergi ke Jakarta, ke Jakarta
Aditya pergi, maupun pergi ke Jakarta Aditya. Meskipun ketiga kalimat itu memiliki
struktur yang berbeda, makna atau pun informasi yang diberikannya tetap sama.

Masalahnya memang menjadi lain bila penentuan makna itu dikaitkan dengan adanya
makna intensional maupun makna kontekstual. Dalam bahasa jawa dialek Malang,
misalnya, terdapat kata hoen ‘kamu’ dan kowe ‘kamu’ yang secara referensial memiliki
makna presis sama. Disebut demikian karena koen dan kowe dapat diacukan pada referen
atau sasaran sapaan yang memiliki kondisi ikutan atau attendant condition (1) pemeran
memiliki tingkat generasi dan usia relatif sama, (2) sudah akrab atau, paling tidak,
identitas masing-masing pameran relatif sudah saling diketahui, serta (3) dalam
hubungan informal yang bersifat interpersonal (Aminuddin, 1982). Akan tetapi, dalam
kaitannya dengan intensi para pemakainya kedua kata itu ternyata memiliki nuansa yang
berbeda. Penutur yang lagi jengkel atau marah, misalnya lazim menggunakan koen, dan
bukan kowe.

Ada lima cara yang dapat digunakan dalam menentukan kemungkinan adanya sinonim.
Kelima cara yang dimaksud adalah:

1. Seperangkat sinonim itu mungkin saja merupakan kata-kata yang digunakan dalam
dialek yang berbeda-beda. Kata pena dan rika dalam bahasa Jawa dialek Surabaya
memiliki terjemahan ke dalam bahasa Indonesia yang persis sama dengan koen atau
kowe dalam bahasa Jawa dialek Malang. Akan tetapi, apabila dalam setiap dialek
masing-masing kata tersebut memiliki makna dasar berbeda-beda, kata tersebut tidak
dapat ditentukan sebagai sinonim.

16
2. Suatu kata yang semula dianggap memiliki kemiripan atau kesamaan makna, setelah
berada dalam berbagai pemakaian ada kemungkinan membuahkan makna yang berbeda-
beda.

3. Suatu kata, apabila ditinjau berdasarkan makna kognitif, makna emotif, maupun
makna evaluatif. Mungkin saja akhir-akhirnya menunjukkan adanya karakteristik
tersendiri meskipun dalam pemakaian sehari-hari semula dianggap memiliki
kesinoniman dengan kata lainnya.

4. Suatu kata yang semula memiliki kolokasi sangat ketat, misalnya antara kopi dengan
minuman, sering keli dipakai secara tumpang tindih karena masing-masingnya dianggap
memiliki kesinoniman. Hal itu tentu saja tidak benar karena masing-masing kata tersebut
jelas masih memiliki ciri makna sendiri-sendiri.

5. Akibat kekurangtahuan terhadap nilai makna suatu kata maupun kelompok kata,
sering kali bentuk kebahasaan yang berbeda-beda begitu saja dianggap sinonim.

Kelima hal diatas, sebenarnya juga merupakan butir-butir yang patut diperhatikan para
pemakai bahasa dalam kegiatan komunikasi, baik secara tulis maupun lisan. Penguasaan
sinonim secara benar, sebenarnya juga sangat berperan dalam kegiatan wicara maupun
mengarang, terutama dalam kaitanya dengan diksi. Disebut demikian karena seperti
diungkapkan oleh Collinson (Ullman, 1977: 142), kesamaan maupun kemiripan makna
bentuk kebahasaan yang satu dengan lainnya, bisa jadi masing-masing memiliki nuansa
perbedaan tertentu. Nuansa perbedaan itu dapat berhubungan dengan kenyataan bahwa:

1. Kata yang satu memiliki makna yang lebih umum dari yang lainnya.

2. Kata yang satu lebih menuansakan pengertian yang dalam dari pada lainnya sehingga
nilai intensionalitasnya lebih tinggi.

3. Kata yang satu lebih memiliki daya emotif dari pada yang lain.

4. Kata yang satu lebih bersifat netral atau umum dari pada yang lain.

17
5. Kata yang satu lebih profesional dari pada yang lain.

6. Kata yang satu lebih menuansakan kesan keindahan dari pada yang lain.

7. Kata yang satu lebih bersifat kolokial dari pada yang lain.

8. Kata yang satu lebih banyak dipengaruhi dialek warna lokal dari pada yang lain.

9. Bentuk sinonim yang satu termasuk dalam bahasa anak-anak

Dari terdapatnya sejumlah nuansa perbedaan diatas, dapat dimaklumi bila sinonim juga
banyak dimanfaatkan dalam kegiatan mengarang. Sehubungan dengan kegiatan
mengarang ataupun penataan gaya bahasa dalam ujaran, sinonim lebih membuka peluang
untuk (1) memilih kosa kata yang lebih sesuai dengan konteks tanpa harus mengubah
gagasan, (2) mengadakan variasi dalam pemakaian kosa kata sehingga ujaran maupun
karangan yang ditampilkan menjadi lebih segar, (3) memilih kosa kata yang terasa lebih
akrab dengan penanggap, serta (4) membuka peluang bagi penutur maupun pengarang
untuk menyusun paparan yang lebih memberikan kesan akademis maupun profesional.
Selain itu, terdapatnya kolokasi, hiponimi, maupun antonimi, hubungan bertentangan,
maupun polisemi dan homonimi juga perlu diperhatikan baik-baik dalam kegiatan
tuturan, baik secara lisan maupun tulis.

2.4 Kontras, Oposisi, dan Antonimi

Bertolak dari ciri sruktur suatu kosakata, kata-kata selain dapat memberikan gambaran
hubungan makna dalam kesejajaran juga dapat menunjukkan adanya relasi bertentangan.
Dari uraian di depan dapat juga disimpulkan bahwa adanya ciri relasi itu,selain
ditentukan lewat struktur luar, juga ditentukan lewat abstraksi dan konseptualisasi para
pemakaiannya. Kedua cara tersebut pada dasarnya, selain berlaku dalam menentukan
hubungan kesejajajran, misalnya dalam kolosari dan sinomini, juga berlaku dalam
menentukan hubungan kata yang memiliki relasi bertentangan. Hanya perbedaannya,

18
kalau dalam sinonim, kesamaan hubungan secara mutlak dalam satu bahasa relatif sulit
ditemukan, maka dalam bentuk relasi bertentangan, lebih mudah ditentukan.

Sesuai dengan kompleksitas maupun keragaman referen yang diacu oleh lambang
kebahasaan, jenis hubungan bertentangan antarkata akhirnya juga menunjukkan adanya
keragaman,. Ada jenis hubungan yang berlangsung secara komplementer dan tidak dapat
digradasikan, yang istilahkan oposisi, misalnya antara pria dengan wanita, serta
hubungan bertentangan yang masih dapat digradasikan, misalnya antara bentuk baik
dengan buruk yang diistilahkan antonimi. Sebab itu, apabila dalam oposisi tidak lazim
ditemui bentuk agak pria, cukup pria, maupun sangat pria, dalam antonim bentuk
tersebut masih lazim ditemukan, misalnya agak baik cukup baik, maupun sangat baik.
Istilah yang mencakup baik oposisi maupun antonimi adalah kontros (cf. Lyons, 1979 :
279 ).

Dengan demikian, dalam hubungan oposisi seperti laki-laki dan wanita, huungan
komplementer atapun dikotomi mutlak sepenuhnya dapat berlaku karena yang tidak
memiliki ciri laki-laki pastilah perempuan, atau sebaliknya, semua yang tidak memiliki
ciri perempuan adalah laki-laki. Jadi, proses berpikir dalam oposisi itu, sesuai dengan
formula di atas meliputi (1)Laki-laki adalah bukan wanita, (2) bukan wanita adalah laki-
laki, (3) wanita adalah bukan laki-laki, serta (4) bukan laki-laki adalah wanita.
Sedangkan untuk yang bukan laki-laki dan bukan wanita sulit menemukan lawan dalam
oposisi sehingga mereka tetap saja berkumpul dengan kelompoknya sendiri.

Dalam hubungan bertata tingkat atau contraries, hubungan secara dikotomi-mutlak


seperti di atas tidak dapat dilaksanakan. Disebut demikian karena meskipun (1) panas
adalah tidak dingin, (2) dingin adalah tidak panas, kedua pernyataan itu tidak dapat
dikembangkan, misalnya (1) yang tidak panas itu berarti dingin, sebab yang tidak panas
dapat berarti agak dingin, cukup dingin, dingin, serta sangat dingin atau dingin sekali,
dan tidak dikembangkan (2) yang tidak dingin adalah panas, karena tidak dingin dapat
berarti agak panas, cukup panas, panas, dan sangat panas atau panas sekali.

19
Sehubungan dengan masalah tersebut, Sapir (1944) mengungkapkan adanya grading,
yakni berbandingan ciri fakta yang diacu kata secara bertatat bertingkat. Ukuran yang
digunakan untuk menentukan batas tata tingkat itu antara bahasa yang satu dnegan satu
dengan lainnya maupun antara pemakai bahasa itu sendiribersifat relatif. Selain itu,
bentuk kebahasaan yang menandainya pun, antara bahasa yang satu dengan lainnya dapat
berbeda-beda. Beberapa unsur yang mungkin digunakan untuk menandai tata tingkat itu
dapat berupa (1) bunyi prosodi, (2) fonem, (3) bunyi kembar, (4) bunyi rangkap, (5)
imbuhan. (6) klitika, (7) kata.

Perbandingan dengan menggunakan imbuhan dapat ditemui dalam bahasa dialek Jakarta.
Misalnya untuk menyatakan lebih besar sedikit dapat digunakan bentuk besaran sedikit.
Contoh lain untuk itu adalah bentuk –er dan –est dalam bahasa Inggris. Sementara
bentuk klitika dapat ditemui dalam bentuk agak dan sangat, sedangkan pemakaian kata
dapat ditemui dalam cukup dan sekali.

Lebih lanjut, pertentangan makna yang umumnya diistilahkan antonimi, yang bentuk
atau kata-kata yang maknanya bertentangan disebut antonim, dapat bersifat positif
maupun negative, misalnya antara baik dengan buruk, pandai dengan bodoh, maupun
cepat dengan lamban. Relasi bertentangan demikian lazim disebut polaritas positif
atapun polaritas negative, bergantung pada tekanan unsur yang diperbandingkan.
Menyadari bahwa salah satu unsur yang diperbandingkan itu mungkin ada dan tidak
ada, kongkret atau mungkin abstrak, maka salah seorang tokoh aliran Praha, yakni
Trebetzkoy, membedakan relasi bertentangan dengan istilah dengan privatif, yakni bila
salah satu unsur yang diperbandingkan itu tidak ada, misalnya antara nyawa dengan tak
bernyawa, serta ekuipolen, yakni bila masing-masing unsur yang diperbandingkan itu
hadir dan menjadi ciri yang dapat diamati, misalnya antara pria dengan wanita.

Selain itu, jenis kontras seperti di atas dapat pula berasal dari sejumlah kata yang berada
dalam satu kelompok, misalnya Utara, timur, selatan dan barat maupun kanan, kiri,
depan, dan belakang. Perangkat kata yang memiliki kemungkinan dipertentangkan itu di

20
sebut ortogonal , sedangkan relasi bertentangan antarkata, misalnya antara Utara dengan
selatan serta kanan dengan kiri di sebut antipodal (Lyons, 1979 : 282). Jenis hubungan
dalam orthogonal dan antipodal yang lain misalnya dalam istilah kekerabatan atau
kinship, seperti ayah, ibu, bibi, paman, dalam warna misalnya, hitam, putih, merah,
hijau, kuning, dan biru. Dari kedua jenis orthogonal tersebut, antipodalnya misalnya
antara ayah dengan ibu serta natara hitam dan putih.

Hubungan antipodal dalam istilah kekerabatan tersebut setelah sampai pada bentuk
sapaan atau form address, selain tetap memiliki bentuk seperti yang terdapat dalam
istilah kekerabatan atau kin term, mungkin hanya mengambil bentuk sebagiannya. Dalam
hal ini dikenal adanya bentuk penuh dan bentuk singkat, misalnya antara bapak dengan
pak maupun ibu dengan bu (Aminuddin, 1982b). dalam hal demikian, mungkin sekali
akhirnya terjadi antipodal terselubung. Contoh antipodal terselubung itu dapat ditemui
misalnya antara bentuk penuh paklik dan bentuk singkat lik serta bentuk penuh bulik
dengan bentuk singkat lik dalam bahasa Jawa dialek Malang. Di sini, yang lazim dipakai
adalah bentuk singkat lik yang akhirnya mengandung dua acuan yang sebenarnya
bertentangan. Antipodal terselubung itu juga dapat ditemui pada bentuk sapaan dhe yang
mengandung acuan baik untuk jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Bentuk
seperti itu, selain mengandung antipodal terselubung, juga merupakan polisemik.

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan materi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa strukturalisme yang


dihubungkan dengan kajian makna yang dilakukan oleh para linguis bahasa untuk
mempermudah pengajaran pemaknaan dalam suatu bahasa. Dalam materi ini membahas
tentang makna yang terkandung di dalam susunan kata atau kalimat. dan
menghubungkan pengkajian makna satu dengan makna dengan yang lain. Disinilah akan
mendapatkan berbagai ragam makna yang kita kaji terhadap suatu kata atau kalimat yang
telah kita hubungkan antara makna satu dengan yang lain.

3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis dapat menyimpulkan saran sebagai berikut:
1. Makalah selanjutnya dapat membahas tentang Tinjauan Semantik Struktural dalam
Pengkajian Makna: Kajian Relasi Makna.
2. Makalah selanjutnya dapat membahas tentang Semantik, Logika, dan Tata Bahasa.
3. Makalah selanjutnya dapat membahas tentang Stilistika dan Majas.

22
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2015. Semantik Pengantar Studi Makna. Bandung: Sinar Baru


Algensindo.

Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Saeed, John I. 2000. Sematics. USA. Massachusetts: Blackwell Publishers.

Wijana, 1 Dewa Putu. 1999. Semantik Sebagai Dasar Fundamental Pengkajian


Bahasa. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Semantik 1. PPS UNS:
Surakarta.

23

Anda mungkin juga menyukai