Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ILMU LUGHOH

“SEMANTIK”
Dosen Pengampu: Arief Fiddienika S.S., M.A

Di Susun Oleh:
Kelompok 8
Oca Hidayatul Fitri 220506501032
Andi Nur Fadillah 220506500011
Sri Wahyuni 220506501023

PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-
NYA kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Semantik”
Mungkin dalam pembuatan makalah ini masih memiliki banyak
kekurangan baik dari segi penulisan, isi dan lain sebagainya. Maka kami sangat
mengharapkan kritikkan dan saran guna perbaikan untuk pembuatan makalah di
hari yang akan datang.
Atas semua ini kami mengucapkan terimakasih bagi segala pihak yang
telah ikut membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk
itu besar harapan kami pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan makalah kami kedepannya. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca terkhusus kami sebagai penulis.

Makassar, 13 Maret 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar belakang..............................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Semantik....................................................................................8
B. Makna Hakikat.............................................................................................8
C. Jenis Makna................................................................................................10
1. Leksikal, Gramatikal, Dan Kontekstual.........................................10
2. Referensial Dan Non Referensial...................................................12
3. Denotatif Dan Konotatif.................................................................13
4. Konseptual Dan Asosiatif..............................................................14
5. Kata Dan Istilah.............................................................................16
6. Idiom Dan Peribahasa. ..................................................................16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................17
Daftar pustaka........................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam berbagai kepustakaan linguistik disebutkan bidang studi linguistik
yang objek penelitiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik.
Kalau istilah ini tetap dipakai tentu harus diingat bahwa status tataran semantik
dengan tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis adalah tidak sama, sebab secara
hierarkial satuan bahasa yang disebut wacana, seperti sudah dibicarakan pada bab-
bab terdahulu, dibangun oleh kalimat; satuan kalimat dibangun oleh klausa; satuan
klausa dibangun oleh frase; satuan frase dibangun oleh kata; satuan kata dibangun
oleh morfem; satuan morfem dibangun oleh fonem; dan akhimya satuan fonem
dibangun oleh fon atau bunyi.
Dari bangun- membangun itu, kita bisa bertanya, di manakah letaknya
semantik? Semantik, dengan objeknya yakni makna, berada di seluruh atau di
semua tataran yang bangun-membangun ini: makna berada di dalam tataran
fonologi, morfologi, dan sintaksis. Oleh karena itu, penamaan tataran untuk
semantik agak kurang tepat, sebab dia bukan satu tataran dalam arti unsur satuan
lain yang lebih besar, melainkan yang berada pada semua tataran itu, meskipun
sifat kehadirannya pada tiap tataran itu tidak sama. Oleh karena itu pula,
barangkali, para linguis strukturalis tidak begitu peduli dengan masalah makna ini,
karena dianggap tidak termasuk atau menjadi tataran yang sederajat dengan
tataran yang bangun-membangun itu. Hockett (1954). misalnya, salah seorang
tokoh strukturalis menyatakan bahasa adalah suatu sistem yang kompleks dari
kebiasaan-bebiasaan. Sistem bahasa ini terdiri dari lima subsistem, yaitu
subsistem gramatika, subsistem fonologi, subsistem morfofonemik, subsistem
semantik, dan subsistem fonetik. Kedudukan kelima subsistem itu tidak sama
derajatnya. Subsistem gramatika, fonologi, dan morfofonemik bersifat sentral.
Sedangkan subsistem semantik dan fonetik bersifat periferal. Mengapa subsistem
semantik disebut bersifat periferal? Karena, seperti pendapat kaum strukturalis
umumnya, bahwa makna yang menjadi objek semantik adalah sangat tidak jelas,
tak dapat diamati secara empiris, sebagaimana subsistem gramatika (morfologi
dan sintaksis). Demikian juga dengan Chomsky, bapak linguistik transformasi,
dalam bukunya yang pertama (1957) tidak menyinggung-nyinggung masalah
makna. Baru kemudian dalam bukunya yang kedua (1965) beliau menyatakan
bahwa semantik merupakan salah satu komponen dari tata bahasa (dua komponen
lain adalah sintaksis dan fonologi), dan makna kalimat sangat ditentukan oleh
komponen semantik ini.
Sejak Chomsky menyatakan betapa pentingnya semantik dalam studi
linguistik, maka studi semantik sebagai bagian dari studi linguistik menjadi
semarak. Semantik tidak lagi menjadi objek periferal, melainkan menjadi objek
yang setaraf dengan bidang-bidang studi linguistik lainnya. Banyak perhatian
diarahkan pada semantik. Berbagai teori tentang makna bermunculan. Memang
kalau kita ingat akan teori Bapak Linguistik modern, Ferdinand de Saussure,
bahwa tanda linguistik (signe linguistique) terdiri dari komponen signifian dan
signifie, maka sesungguhnya studi linguistik tanpa disertai dengan studi semantik
adalah tidak ada artinya, sebab kedua komponen itu, signifian dan signifie,
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Laksana sekeping mata uang
logam, signifian berada di sisi yang satu dan signifie berada di sisi yang lain.
Apa sebenarnya makna itu, sebagai objek linguistik, dan bagaimana
persoalannya, secara singkat akan dibicarakan pada sub- subbab berikut ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Semantik
Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna / arti yang
terkandung dalam bahasa, kode, atau jenis lain dari representasi. Dengan kata
lain, semantik adalah studi tentang makna. Semantik biasanya berhubungan
dengan dua aspek lain: sintaks, pembentukan simbol kompleks dari simbol
yang lebih sederhana, dan pragmatis, penggunaan praktis simbol oleh rakyat
dalam konteks tertentu.
Sehingga, dapat dikatakan pula bahwa apa itu semantik adalah ilmu yang
mempelajari lambang atau tanda seperti kata yang menyatakan makna serta
hubungan dan pengaruhnya terhadap penutur atau penggunanya (manusia).
Contohnya : buku dan kitablembar kertas berjilid
B. Makna Hakikat
Banyak teori tentang makna telah dikemukakan orang. Untuk permulaan
barangkali kita ikuti saja pandangan Ferdinand de Saussure dengan teori
tanda linguistiknya. Menurut de Saussure setiap tanda linguistik atau tanda
bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau "yang
mengartikan" yang wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen signifie
atau "yang diartikan" yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang
dimiliki oleh signifian). Umpamanya tanda linguistik berupa (ditampilkan
dalam bentuk ortografis) <meja>, terdiri dari komponen signifian, yakni
berupa runtunan fonem /m/, /e/, /j/, dan /a/; dan komponen signifienya berupa
konsep atau makna 'sejenis perabot kantor atau rumah tangga'. Tanda
linguistik ini yang berupa runtunan fonem dan konsep yang dimiliki runtunan
fonem itu mengacu pada sebuah referen yang berada di luar bahasa, yaitu
"sebuah meja".
pandangan Ferdinand de Saussure bahwa makna adalah 'pengertian'
Dengan demikian, menurut teori yang dikembangkan dari atau 'konsep' yang
dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Masalah kita sekarang, di
dalam praktek berbahasa tanda-linguistik itu berwujud apa. Kalau tanda-
linguistik itu disamakan dengan kata atau leksem, maka berarti makna adalah
pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem; kalau
tanda linguistik itu disamakan identitasnya dengan morfem, maka berarti
makna itu adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem,
baik yang disebut morfem dasar maupun morfem afiks. Lihat Kridalaksana
(1989), misalnya, yang menyatakan setiap tanda-bahasa (yang dise- butnya:
penanda) tentu mengacu pada sesuatu yang ditandai (dise- butnya: petanda).
Lalu, karena afiks-afiks itu juga merupakan penanda, maka afiks itu pun
mempunyai petanda.
Memang ada juga teori yang menyatakan bahwa makna itu tidak lain
daripada sesuatu atau referen yang diacu oleh kata atau leksem itu. Hanya
perlu dipahami bahwa tidak semua kata atau leksem itu mempunyai acuan
konkret di dunia nyata. Misalnya leksem seperti agama, kebudayaan dan
keadilan tidak dapat ditampilkan referennya secara konkret.
Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata makna kata
atau leksem itu seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari
pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya. Misalnya, kata
buaya dalam kalimat (4) berikut sudah terlepas dari konsep asal dan
acuannya.
(4) Dasar buaya ibunya sendiri ditipunya.
Oleh karena itu, banyak pakar mengatakan bahwa kita baru dapat
menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks
kalimatnya. Coba anda perhatikan makna kata jatuh dalam kalimat-kalimat
berikut!
(5a) Adik jatuh dari sepeda.
(5b) Dia jatuh dalam ujian yang lalu.
(5c) Dia jatuh cinta pada adikku.
(5d) Kalau harganya jatuh lagi kita akan bangkrut.
Selanjutnya para pakar itu menyatakan pula bahwa kalimat baru dapat
ditentukan apabila kalimat itu berada di dala m konteks wacananya atau
konteks situasinya. Sebagai penutur bahasa Indonesia. anda tentu memahami
apa makna kalimat (6) berikut:
(6) Sudah hampir pukul dua belas!
apabila diucapkan oleh seorang ibu asrama putri terhadap seorang
pemuda yang masih bertandang di asrama itu padahal jam sudah
menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Lain maknanya apabila kalimat
itu diucapkan oleh seorang guru agama ditujukan kepada para santri pada
siang Makna kalimat (6) itu yang diucapkan si ibu asrama tentu berarti
'pengusiran' secara halus, sedangkan yang diucapkan oleh guru agama itu
berarti 'pemberitahuan bahwa sebentar lagi masuk waktu sembahyang Zuhur'.
Kalimat (6) itu mungkin akan bermakna lain lagi apabila diucapkan oleh
seorang karyawan kantorkepada temannya pada siang hari; mungin berarti
'sebentar lagi waktu beristirahat tiba.
Satu hal lagi yang harus diingat mengenai makna ini, karena bahasa
itu bersifat arbitrer (lihat kembali Bab 3), maka hubungan antara kata dan
maknanya juga bersifat arbitrer. Kita tidak dapat menjelaskan, mengapa
benda cair yang selalu kita gunakan untuk keperluan mandi, minum, masak,
dan sebagainya disebut air, bukan ria, atau rai, atau juga sebutan lainnya.
Begitu juga dengan kata- kata lainnya; kita tidak bisa menjelaskan hubungan
kata-kata itu dengan makna yang dimilikinya.
C. Jenis Makna
Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam
kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-
macam bila dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda. Berbagai nama
jenis makna telah dikemukakan orang dalam berbagai buku linguistik atau
semantik. Kiranya jenis-jenis makna yang dibicarakan pada subbab berikuti
sudah cukup mewakili jenis- jenis makna yang pemah dibicarakan orang itu.
1. Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem
meski tanpa konteks apa pun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna
leksikal 'sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai'; pinsil
bermakna leksikal 'sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang'; dan
air bermakna leksikal 'sejenis barang cair yang biasa digunakan untuk
keperluan sehari-hari. Dengan contoh itu dapat juga dikatakan bahwa
makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan
hasil observasi indra kita, atau makna apa adanya. Kamus-kamus dasar
biasanya hanya memuat makna leksikal yang dimiliki oleh kata yang
dijelaskannya. Oleh karena itulah, barangkali, banyak orang yang
mengatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang ada dalam kamus.
Pendapat ini, kalau begitu, memang tidak salah; namun, perlu diketahui
bahwa kamus-kamus yang bukan dasar, Juga ada memuat makna-makna
lain yang bukan leksikal, seperti makna dan makna-makna yang terbentuk
secara metaforis.
Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal baru ada kalau
terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau
kalimatisasi. Umpamanya, dalam proses afiksasi prefiks ber dengan dasar
baju melahirkan makna gramatikal 'mengenakan atau memakai baju';
dengan dasar kuda melahirkan makna gramatikal 'mengendarai kuda';
dengan dasar rekreasi melahirkan makna grama- tikal 'melakukan
rekreasi'. Contoh lain, proses komposisi dasar sate dengan dasar ayam
melahirkan makna gramatikal 'bahan'; dengan dasar madura melahirkan
makna gramatikal 'asal'; dengan dasar lontong melahirkan makna
gramatikal 'bercampur'; dan dengan kata Pak Kumis (nama pedagang sate
yang terkenal di Jakarta) melahirkan makna gramatikal 'buatan'.
Sintaktisasi kata-kata adik, menendang, dan bola menjadi kalimat Adik
menendang bola melahirkan makna gramatikal: adik bermakna 'pelaku',
menendang bermakna 'aktif, dan bola bermakna 'sasaran'. Sintaktisasi
kata-kata adik, menulis, dan surat melahirkan makna gramatikal: adik
bermakna 'pelaku', menulis bermakna 'aktif, dan surat bermakna 'hasil'.
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang
berada di dalam satu konteks. Misalnya, makna kata jatuh yang
dibicarakan sebagai contoh pada kalimat (5) di atas. Contoh lain
perhatikan makna konteks kata kepala pada kalimat-kalimat (7) berikut!
(7a) Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.
(7b) Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
(7c) Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.
(7d) Beras kepala harganya lebih mahal dari beras biasa.
(7e) Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni
tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Sebagai contoh
lihat kembali kasus yang dibicarakan pada kalimat (6) di atas. Contoh lain,
kalimat (8) berikut
(8) Tiga kali empat berapa?
apabila dilontarkan di kelas tiga SD sewaktu mata pelajaran
matematika berlangsung, tentu akan dijawab "dua belas". Kalau dijawab
lain. maka jawaban itu pasti salah. Namun, kalau pertanyaan itu
dilonantarkan kepada tukang foto di tokonya atau di tempat kerjanya,
maka pertanyaan itu mungkin akan dijawab "dua ribu", atau mungkin juga
tiga ribu", atau mungkin juga jawaban lain. Mengapa bisa begitu, shab
pertanyaan itu mengacu pada biaya pembuatan pasfoto yang berukuran
tiga kali empat centimeter.
2. Makna Referensial dan Non-referensial
Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada
referensnya, atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar
adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial karena ada acuannya
dalam dunia nyata. Sebaliknya kata-kata seperti dan, atau, dan karena
adalah termasuk kata-kata yang tidak bermakna ferensial, karena kata-kata
itu tidak mempunyai referens.
Berkenaan dengan acuan ini ada sejumlah kata, yang disebut kata-
kata deiktik, yang acuannya tidak menetap pada satu maujud, melainkan
dapat berpindah dari maujud yang satu kepada maujud yang lain. Yang
termasuk kata-kata deiktik ini adalah kata-kata yang termasuk pronomina,
seperti dia, saya, dan kamu; kata-kata yang menyatakan waktu, seperti
sekarang, besok, dan nanti; dan kata-kata yang disebut ruang, seperti di
sini, di sana, dan di situ; kata-kata yang menyatakan kata penunjuk, seperti
ini dan itu. Perhatikan ketiga kata saya pada kalimat-kalimat berikut yang
acuannya tidak sama!
(9) kata Ani kepada Ali
"Tadi (10) "O, ya?" sahut Ali, "Saya juga bertemu beliau tadi
pagi." pagi saya bertemu dengan Pak Ahmad", (11) "Di mana kalian
bertemu beliau?" tanya Amin, "Saya sudah lama
Jelas, pada kalimat (9) kata saya mengacu pada Ani, pada kalimat
(10) mengacu pada Ali, dan pada kalimat (11) mengacu pada Amin.
Contoh lain, kata di sini pada kalimat (12) acuannya juga tidak sama (12)
"Tadi saya lihat Pak Ahmad duduk di sini, sekarang dia ke mana?" dengan
kata di sini pada kalimat (13). Tanya tidak berjumpa dengan beliau"
(13) "Kami di sini memang bertindak tegas terhadap para penjahat itu,"
Pak Rasyid kepada para mahasiswa itu. kata Gubernur DKI kepada para
wartawan dari luar negeri itu. jelas, kata di sini pada kalimat (12)
acuannya adalah sebuah tempat duduk; tetapi pada kalimat (13) acuannya
adalah satu wilayah DKI Jakarta Raya.
3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna
sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini
sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata babi
bermakna denotatif 'sejenis binatang yang biasa diternakkan untuk
dimanfaatkan dagingnya'. Kata kurus bermakna denotatif keadaan tubuh
seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal'. Kata rombongan
bermakna denotatif 'sekumpulan orang yang mengelompok menjadi satu
kesatuan'.
Kalau makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna
sebenamya dari sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif adalah
makna lain yang "ditambahkan" pada makna denotatif tadi yang
berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang
menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata babi pada contoh di atas,
orang yang beragama Islam atau di dalam masyarakat Islam mempunyai
konotasi yang negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila
mendengar kata itu. Kata kurus juga pada contoh di atas, berkonotasi
netral, artinya, tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan (unfavorable);
tetapi kata ramping, yang sebenamya bersinonim dengan kata kurus itu
memiliki konotasi positif, nilai rasa yang mengenakkan; orang akan
senang kalau dikatakan ramping. Sebaliknya, kata kerempeng, yang
sebenamya juga bersinonim dengan kata kurus dan ramping itu,
mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang mengenakkan; orang
akan merasa tidak enak kalau dikatakan tubuhnya kerempeng.
Dari contoh kurus, ramping, dan kerempeng itu dapat kita
simpulkan, bahwa ketiga kata itu secara denotatif mempunyai makna yang
sama atau bersinonim, tetapi ketiganya memiliki konotasi yang tidak
sama; kurus berkonotasi netral, ramping berkonotasi positif, dan
kerempeng berkonotasi negatif. Bagaimana dengan kata rombongan dan
gerombolan? Manakah yang berkonotasi positif dan mana pula yang
berkonotasi negatif?
Berkenaan dengan masalah konotasi ini, satu hal yang harus anda
ingat adalah bahwa konotasi sebuah kata bisa berbeda antara seseorang
dengan orang lain, antara satu daerah dengan daerah lain, atau antara satu
masa dengan masa yang lain. Begitulah dengan kata babi di atas;
berkonotasi negatif bagi yang beragama Islam, tetapi tidak berkonotasi
negatif bagi yang tidak beragama Islam. Sebelum zaman penjajahan
Jepang kata perempuan tidak berkonotasi negatif, tetapi kini berkonotasi
negatif.
4. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan
makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna
yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa
pun. Kata kuda memiliki makna konseptual 'sejenis binatang berkaki
empat yang biasa dikendarai'; dan kata rumah memiliki makna konseptual
'bangunan tempat tinggal manusia. Jadi, makna konseptual sesungguhnya
sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau
kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang
berada di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu
yang suci atau kesucian; kata merah berasosiasi dengan 'berani' atau Juga
'paham komunis'; dan kata buaya berasosiasi dengan 'jahat' atau juga
'kejahatan'. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau
perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk
menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat,
keadaan, atau ciri yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut.
Jadi, kata melati yang bermakna konseptual 'sejenis bunga kecil-kecil
berwama putih dan berbau harum' digunakan untuk menyatakan
perlambang 'kesucian'; kata merah yang bermakna konseptual 'sejenis
wama terang menyolok' digunakan untuk perlambang 'keberanian', atau di
dunia politik untuk melambangkan 'paham atau golongan komunis'; dan
kata buaya yang bermakna konseptual 'sejenis binatang reptil buas yang
memakan binatang apa saja termasuk bangkai' digunakan untuk
melambangkan 'kejahatan' atau 'penjahat'. Coba, anda cari asosiasi apa
yang dimiliki oleh kata kemboja, kerbau, dan monyet dalam bahasa
Indonesia!
Oleh Leech (1976) ke dalam makna asosiasi ini dimasukkan juga
yang disebut makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, dan makna
kolokatif. Maka konotatif, seperti yang sudah dibicarakan pada subbab
7.2.3, termasuk dalam makna asosiatif adalah karena kata-kata tersebut
berasosiasi dengan nilai rasa terhadap kata itu. Kata babi, misalnya,
berasosiasi dengan rasa jijik, haram, dan kotor (bagi yang beragama
Islam); kata kerempeng berasosiasi dengan rasa tidak menyenangkan; dan
kata ramping berasosiasi dengan rasa yang menyenangkan. Makna
stilistika berkenaan dengan pembedaan penggunaan kata sehubungan
dengan perbedaan sosial atau bidang kegiatan. Umpamanya, kita
membedakan penggunaan kata rumah, pondok, kediaman, kondomium,
istana, vila, dan wisma, yang semuanya memberi asosiasi yang berbeda
terhadap penghuninya. Makna afektif berkenaan dengan perasaan
pembicara terhadap lawan bicara atau terhadap objek yang dibicarakan.
Makna afektif lebih nyata terasa dalam bahasa lisan. Anda barangkali bisa
merasakan beda perasaan si pembicara dalam kedua kalimat berikut ini.
(14) "Tutup mulut kalian!" bentaknya kepada kami. (15) "Coba,
mohon diam sebentar!" katanya kepada kami.
Makna kolokatif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang
dimiliki sebuah kata dari sejumlah kata-kata yang bersinonim, sehingga
kata tersebut hanya cocok untuk digunakan berpasangan dengan kata
tertentu lainnya. Misalnya, kata tampan yang sesungguhnya bersinonim
dengan kata-kata cantik dan indah, hanya cocok atau hanya berkolokasi
dengan kata yang memiliki ciri 'pria'. Maka, kita dapat mengatakan
pemuda tampan, atau pangeran tampan, tetapi tidak dapat mengatakan
*gadis tampan atau *putri tampan. Jadi, kata tampan tidak berkolokasi
dengan kata gadis dan kata putri.
5. Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna
yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau
makna konseptual. Namun, dalam penggunaannya makna kata itu baru
menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya
atau konteks situasinya. Kita belum tahu makna kata jatuh sebelum kata
itu berada di dalam konteksnya (lihat kembali contoh kalimat (5). Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar,
dan tidak jelas. Kata tangan dan lengan sebagai kata, maknanya lazim
dianggap sama, seperti tampak pada contoh kalimat (16) dan (17) berikut
(16) Tangannya luka kena pecahan kaca.
(17) Lengannya luka kena pecahan kaca.
Jadi, kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim,
atau bermakna sama.
Berbeda dengan kata, maka yang disebut istilah mempunyai makna
yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks
kalimat. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks,
sedangkan kata tidak bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah
istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
Umpamanya, kata tangan dan lengan yang menjadi contoh di atas. Kedua
kata itu dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda.
Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan;
sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.
Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam ilmu kedokteran tidak
bersinonim, karena maknanya berbeda. Demikian juga dengan kata kuping
dan telinga. Dalam bahasa umum kedua kata itu merupakan dua kata yang
bersinonim, dan oleh karena itu sering dipertukarkan Namun sebagai
istilah dalam bidang kedokteran keduanya memiliki makna yang tidak
sama: kuping adalah bagian yang terletak di luar, termasuk daun telinga;
sedangkan telinga adalah bagian sebelah dalam. Maka itu, yang biasanya
diobati oleh dokter adalah telinga bukan kuping.
Dalam perkembangan bahasa memang ada sejumlah istilah, yang
karena sering digunakan, lalu menjadi kosakata umum. Artinya, istilah itu
tidak hanya digunakan di dalam bidang keilmuannya, tetapi juga telah
digunakan secara umum, di luar bidangnya. Dalam bahasa Indonesia,
misalnya, istilah akseptor, spiral, akomodasi, virus, dan kalimat telah
menjadi kosakata umum; tetapi istilah debil, embisil, morfem, alofon, dan
variansi masih tetap sebagai istilah dalam bidangnya, belum menjadi
kosakata umum.
6. Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat
"diramalkan" dari makna unsur-unsumya, baik secara leksikal maupun
secara gramatikal. Umpamanya, secara gramatikal bentuk menjual ru- mah
bermakna 'yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima
rumahnya'; bentuk menjual sepeda bermakna 'yang menjual menerima
uang dan yang membeli menerima sepeda'; tetapi, dalam bahasa Indonesia
bentuk menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu, melainkan
bermakna 'tertawa keras-keras'. Jadi, makna seperti yang dimiliki bentuk
menjual gigi itulah yang disebut makna idiomatikal. Contoh lain dari
makna idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna 'bekerja
keras', meja hijau dengan makna 'pengadilan', dan sudah beratap seng
dengan makna 'sudah tua'.
Biasanya dibedakan orang adanya dua macam idiom, yaitu yang
disebut idiom penuh dan idiom sebagian. Yang dimaksud dengan idiom
penuh adalah idiom yang semua unsur-unsumya sudah melebur menjadi
satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan
itu. Bentuk-bentuk seperti membanting tulang, menjual gigi, dan meja
hijau termasuk contoh idiom penuh. Sedangkan yang dimaksud dengan
idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki
makna leksikalnya sendiri. Misalnya, buku putih yang bermakna 'buku
yang memuat keterangan resmi mengenai suatu kasus'; daftar hitam yang
bermakna 'daftar yang memuat nama-nama orang yang diduga atau
dicurigai berbuat kejahatan'; dan koran kuning de- ngan makna 'koran
yang biasa memuat berita sensasi'. Pada contoh tersebut, kata buku, daftar,
dan koran masih memiliki makna leksikalnya.
Berbeda dengan idiom yang maknanya tidak dapat "diramal- kan"
secara leksikal maupun gramatikal, maka yang disebut periba- hasa
memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna
unsur-unsumya karena adanya "asosiasi' antara makna asli de- ngan
maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya, peribahasa Seperti anjing
dengan kucing yang bermakna 'dikatakan ihwal dua orang yang tidak
pernah akur. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya
anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pemah
damai. Contoh lain, peribahasa Tong kosong nyaring bunyinya yang
bermakna 'orang yang banyak cakapnya biasanya tidak berilmu. Makna ini
dapat ditarik dari asosiasi: tong yang berisi bila dipukul tidak
mengeluarkan bunyi, tetapi tong yang kosong akan mengeluar- kan bunyi
yang keras, yang nyaring.
Idiom dan peribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada di
dunia ini, terutama pada bahasa-bahasa yang penuturnya sudah memiliki
kebudayaan yang tinggi. Untuk mengenal makna idiom tidak ada jalan lain
selain dari harus melihatnya di dalam kamus; khususnya kamus peribahasa
dan kamus idiom.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna / arti yang
terkandung dalam bahasa, kode, atau jenis lain dari representasi. Dengan kata
lain, semantik adalah studi tentang makna. Semantik biasanya berhubungan
dengan dua aspek lain: sintaks, pembentukan simbol kompleks dari simbol
yang lebih sederhana, dan pragmatis, penggunaan praktis simbol oleh rakyat
dalam konteks tertentu.
Sehingga, dapat dikatakan pula bahwa apa itu semantik adalah ilmu yang
mempelajari lambang atau tanda seperti kata yang menyatakan makna serta
hubungan dan pengaruhnya terhadap penutur atau penggunanya (manusia).
Contohnya : buku dan kitablembar kertas berjilid
Semantik terbagi menjadi makna hakikat dan jenis makna, kemudian
jenis makna tersebut terbagi lagi menjadi Leksikal, Gramatikal, dan
Kontekstual; makna referensial dan non referensial; makna denotatif dan
konotatif; makna konseptual dan asosiatif; makna kata dan makna istilah,
serta makna idiom dan peribahasa. Masing-masing makna tersebut
mempunyai arti tersendiri, yang tentunya dengan adanya ilmu semantik dapat
diketahui apa saja makna dari sebuah kata.
DAFTAR PUSTAKA
Ginting, H., & Ginting, A. (2019). Beberapa Teori Dan Pendekatan Semantik.
Pendidik. Bhs. Indones. dan Sastra, 71-78.

Fauzan, R., Siahaan, D. O., & Ariyani, N. F. (2013). Rekomendasi Kasus


Penggunaan Berdasarkan Skenario Naratif Menggunakan Teknologi Semantik.
JUTIJurnal Teknol. Inf, 11(1), 32-37.

Abu Hassan, B. R. (2006). Sepet: sisi semantik, sisi sinematik. Jurnal Skrin
Malaysia,

Fatmawati, M., Darmawan, D., & Izzan, A. (2018). Analisis Semantik Kata Syukūr
Dalam Alquran. Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir,

Srudji, S. R. P. R. (2014). A SEMANTIC ANALYSIS ON AVRILLAVIGNE SONGS


(Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).

Anda mungkin juga menyukai