Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KRITIK SASTRA: PENDEKATAN STRUKTURAL

disusun untuk memenuhi syarat mengikuti mata kuliah Kajian Prosa Fiksi

Dosen Pengampu: Nita Nurhayati S.Pd., M. Hum.

LOGO (5×5)

Oleh:

Kelompok 3 Kelas A

Apsi Nugraha (222121014)


Amalia Fauziah (222121022)
Finesha Meirylla Zahra (222121023)
Nur Azizah Puspa Tri Utami (222121031)
Mita Nurmala (222121033)
Meydita Hidayat (222121041)
Lia Mutiara (222121044)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SILIWANGI

2024
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Struktural
Dalam buku Kritik Sastra, Atar Semi menyebutkan bahwa pendekatan
struktural disebut juga sebagai pendekatan objektif. Pendekatan ini membatasi
diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal pengarang dan
pembaca. Dalam hal ini kritikus memandang karya sastra sebagai suatu
kebulatan makna, akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai
alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah sastra
dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra, yaitu tema, alur, latar,
penokohan, dan gaya bahasa. Perpaduan yang harmonis antara bentuk dan isi
merupakan kemungkinan kuat untuk menghasilkan sastra yang bermutu.
Penelaahan sastra melalui pendekatan struktural ini menjadi panutan para
kritikus aliran strukturalis, di Indonesia tercetak pada kelompok Rawamangun.

Kritik objektif memandang karya sastra sebagai karya yang


independen, bebas dari penyair, pembaca, dan dunia sekitarnya. Karya sastra
merupakan satu kesatuan utuh yang tersusun dari bagian-bagian yang
berkaitan erat dan memerlukan pertimbangan dan analisis dengan kriteria
intrinsik berdasarkan adanya kompleksitas, koherensi, keseimbangan,
integritas, dan keterkaitan antar komponen. Oleh karena itu, unsur objektif
tidak terbatas pada plot, tema, karakter, setting, gaya bahasa, sudut pandang
dan misi, tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kontinuitas,
integritas.
Menurut Aminuddin (1998, hlm. 35) ia mengatakan bahwa ketika kita
berbicara tentang anatomi fiksi, kita berbicara tentang struktur fiksi atau
unsur-unsur yang membentuk fiksi. Faktor-faktor tersebut misalnya budaya,
agama, sosial. Latar atau lingkungan, gaya bahasa, tema, tatanan.

Dalam sosiologi, antropologi, arkeologi, sejarah, filsafat, dan


linguistik, strukturalisme adalah teori umum mengenai budaya dan metodologi
yang menyiratkan bahwa unsur-unsur budaya manusia harus dipahami melalui
hubungannya dengan sistem yang lebih luas. Ia bekerja untuk mengungkap
struktur yang mendasari semua hal yang manusia lakukan, pikirkan, rasakan,
dan merasa. Atau, seperti yang dirangkum oleh filsuf Simon Blackburn,
strukturalisme adalah “keyakinan bahwa fenomena kehidupan manusia yang
tidak dimengerti kecuali melalui keterkaitan mereka. Hubungan ini merupakan
struktur, dan belakang variasi lokal dalam fenomena yang muncul di
permukaan ada hukum konstan dari budaya abstrak”.[1]
Strukturalisme di Eropa dikembangkan di awal tahun 1900-an, di
bidang linguistik struktural dari Ferdinand de Saussure berikutnya Praha,[2]
sekolah Moskow[2] dan Copenhagen linguistik. Pada akhir 1950-an dan awal
60-an, ketika linguistik struktural menghadapi tantangan serius dari orang-
orang seperti Noam Chomsky dan dengan demikian memudar di pentingnya,
array sarjana di humaniora meminjam konsep Saussure untuk digunakan
dalam bidang masing-masing studi. Antropolog Prancis Claude Levi-Strauss
dikatakan sebagai ilmuwan pertama, memicu minat yang luas dalam hal
Strukturalisme.[1]
Model strukturalis penalaran telah diterapkan dalam berbagai bidang,
termasuk antropologi, sosiologi, psikologi, kritik sastra, ekonomi dan
arsitektur. Pemikir yang paling menonjol terkait dengan strukturalisme
termasuk Levi-Strauss, ahli linguistik Roman Jakobson, dan psikoanalis
Jacques Lacan. Sebagai gerakan intelektual, strukturalisme awalnya dianggap
menjadi pewaris eksistensialisme. Namun, pada 1960-an, banyak dari prinsip
dasar strukturalisme diserang dari gelombang baru intelektual terutama dari
Prancis seperti filsuf dan sejarawan Michel Foucault, filsuf dan komentator
sosial Jacques Derrida, filsuf Marxis Louis Althusser, dan kritikus sastra
Roland Barthes.[2] Meskipun unsur pekerjaan mereka selalu berhubungan
dengan strukturalisme dan diinformasikan oleh itu, teori ini umumnya disebut
sebagai post-strukturalis. Pada 1970-an, strukturalisme dikritik karena
kekakuan dan ahistorisme. Meskipun demikian, banyak pendukung
strukturalisme, seperti Lacan, terus menegaskan pengaruh pada filsafat
kontinental dan banyak asumsi dasar dari beberapa kritikus strukturalis bahwa
pasca-strukturalis adalah kelanjutan dari strukturalisme.[3]
B. Tujuan
Tujuan Strukturalisme adalah mencari struktur terdalam dari realitas
yang tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan secara ilmiah (obyektif,
ketat dan berjarak).[4] Ciri-ciri itu dapat dilihat strukturnya:
Bahwa yang tidak beraturan hanya di permukaan, namun
sesungguhnya di balik itu terdapat sebuah mekanisme generatif yang kurang
lebih konstan.[4]
Mekanisme itu selain bersifat konstan, juga terpola dan terorganisasi,
terdapat blok-blok unsur yang dikombinasikan dan dipakai untuk menjelaskan
yang di permukaan.[4]
Para peneliti menganggap obyektif, yaitu bisa menjaga jarak terhadap
yang sebenarnya dalam penelitian mereka.[4]
Pendekatan dengan memakai sifat bahasa, yaitu mengidentifikasi
unsur-unsur yang bersesuaian untuk menyampaikan pesan.[4] Seperti bahasa
yang selalu terdapat unsur-unsur mikro untuk menandainya, salah satunya
adalah bunyi atau cara pengucapan.[4][5]
Strukturalisme dianggap melampaui humanisme, karena cenderung
mengurangi, mengabaikan bahkan menegasi peran subjek.[4]
Masa Strukturalisme
Tahun 1966 digambarkan oleh Francois Dosse dalam bukunya Histoire
du Structuralisme sebagai tahun memancarnya strukturalisme di Eropa,
khususnya di Prancis.[5][6] Perkembangan strukturalisme pada tahun 1967-
1978 digambarkan sebagai masa penyebaran gagasan strukturalisme dan
penerangan tentang konsep strukturalisme serta perannya dalam ilmu
pengetahuan.[6]
C. Ciri-ciri Strukturalisme
Ciri-ciri strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan
aktual objek melalui penyelidikan, penyingkapan tabiat, sifat-sifat yang terkait
dengan suatu hal melalui pendidikan.[7] Ciri-ciri itu bisa dilihat dari beberapa
hal; hierarki, komponen atau unsur-unsur, terdapat metode, model teoritis
yang jelas dan distingsi yang jelas.[7]
Para ahli strukturalisme menentang eksistensialisme dan fenomenologi
yang mereka anggap terlalu individualistis dan kurang ilmiah.[4] Salah satu
yang terkenal adalah pandangan Maurice Merleau-Ponty yang menentang
fenomenologi dan eksistensialisme tubuh manusia.[5] Merleau-Ponty
menekankan bahwa hal yang fundamental dalam identitas manusia adalah
bahwa kita adalah objek-objek fisik yang masing-masing memiliki kedudukan
yang berbeda-beda dan unik dalam ruang dan waktu.[5]
Tokoh-tokoh dan sumbangan bidang strukturalisme
Ferdinand De Saussure dalam linguistik.[7]
Sebagai penemu struktur bahasa, Saussure berargumen dengan
melawan para sejarawan yang menang dalam pendekatan filologi.[8] Dia
mengajukan pendekatan ilmiah, yang didekati dari sistem terdiri dari elemen
dan peraturannya dalam pembuatannya yang bertujuan menolong komunikasi
dalam masyarakat.[8] Dipengaruhi oleh Emile Durkheim dalam sebuah social
fact, yang berdasar pada objektivitas di mana psikologi dan tatanan sosial
dipertimbangkan.[8] Saussure memandang bahasa sebagai gudang (lumbung)
dari tanda-tanda diskusif yand dibagikan oleh sebuah komunitas.[8] Bahasa
bagi Saussure adalah modal interpretasi utama dunia, dan menuntut suatu ilmu
yang disebut semiologi.[7]
Levi-Strauss dalam masyarakat.[7]
Metode Strauss adalah anthropologi dan linguistik secara serempak.[7]
Unsur-unsur yang digelutinya adalah mengenai mitos, adat-istiadat, dan
masyarakatnya sendiri.[7] Dalam proses analisisnya, manusia kemudian
dipandang sebagai suatu porsi dari struktur, yang tidak dikonstitusikan oleh
analisis itu, melainkan dilarutkan dengan analisis.[7] Perubahan penekanan
dari manusia ke struktur merupakan ciri umum pemikiran strukturalis.[7]
Lev Vygotsky, Jacques Lacan dan Jean Piaget dalam psikologi.[7]
Jacques Lacan (Freudian) dalam psikologi menggambarkan pekerjaan
Saussure dan Levi-Strauss untuk menekankan pendapat Sigmund Freud
dengan bahasa dan argumen sebagai sebuah tatanan kode, bahasa dapat
mengungkapkan ketidaksadaran orang itu.[8] Hal ini menjadi masalah, bahwa
bahasa selalu bergerak dan dinamis, termasuk metafora, metonomi,
kondensasi serta pergeserannya.[8] Jean Piaget sendiri menggambarkan
strukturalismenya sebagai sebuah struktur yang terpadu, yaitu yang unsur-
unsurnya adalah anggota dari sistem di luar struktur itu sendiri.[6] Sistem itu
ditangkap melalui kognisi anggota masyarakat sebagai kesadaran kolektif.[6]
Frege, Hillbert dalam meta-logika meta-matematika.[7]
Roland Berthes menerapkan analis strukturalis pada kritik sastra
dengan menganggap berbagai macam ekspresi atau analisis bahasa sebagai
bahasa yang berbeda-beda.[7] Tugas kritik sastra adalah terjemahan, yaitu
mengekspresikan sistem formal yang telah dibentangkan penulisnya dengan
suatu bahasa.[7] Hal ini terkait dengan kondisi zamannya.[7]
Michel Foucault dalam filsafat.
Strukturalisme modern atau poststrukturalisme dalam bidang filsafat
adalah dengan mendekati subjektivitas dari generasi dalam berbagai wacana
epistemik dari tiruan maupun pengungkapannya.[8] Sebagaimana peran
isntitusional dari pengetahuan dan kekausaan dalam produksi dan pelestarian
disiplin tertentu dalam lingkungan dan ranah sosial juga berlaku pendekatan
itu.[8] Dalam disiplin ini, Focault menyarankan, di dalam perubahan teori dan
praktik dari kegilaan, kriminalitas, hukuman, seksualitas, kumpulan catatan itu
dapat menormalisasi setiap individu dalam pengertian mereka.[8]
Guenther Schiwy dalam kekristenan
Strukturalisme terkait kekristenan dalam atemporal sturkturalisme
sebenarnya cocok dengan penekanan eternalistik kekristenan.[7]
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai