Anda di halaman 1dari 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Dasar Teori
2.2.1 Obat Generik
Obat generik adalah obat yang telah habis masa patennya dan kemudian
dapat diproduksi oleh industri yang berbeda dari perusahaan inovator (patent
holding) (Davit, 2013). Pergantian generik diperkenalkan di berbagai negara
dengan alasan untuk mengurangi biaya dan meningkatkan akses obat, walaupun
peraturan dan ketersediaan obat generik berbeda-beda antar negara (Toverud,
2015).
Dalam peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, produk obat
yang beredar di Indonesia terdiri dari produk obat paten atau produk dengan nama
dagang (bermerek) dan generik berlogo. Obat generik merupakan salah satu
alternatif pilihan bagi masyarakat karena harganya lebih murah dibandingkan
harga obat dengan nama dagang. Hal ini disebabkan karena adanya penekanan
pada biaya produksi dan promosi. Persaingan harga diikuti pengendalian mutu
yang ketat akan mengarah pada tersedianya obat generik bermutu tinggi dengan
harga yang terjangkau (Permenkes RI, 1989).
Saat ini meskipun obat tradisional cukup banyak digunakan oleh
masyarakat dalam usaha pengobatan sendiri (self-medication), profesi
kesehatan/dokter umumnya masih enggan untuk meresepkan ataupun
menggunakannya. Hal tersebut berbeda dengan di beberapa negara tetangga
seperti Cina, Korea, dan India yang mengintegrasikan cara dan pengobatan
tradisional di dalam sistem pelayanan kesehatan formal. Alasan utama
keengganan profesi kesehatan untuk meresepkan atau menggunakan obat
tradisional karena bukti ilmiah mengenai khasiat dan keamanan obat tradisional
pada manusia masih kurang. Obat tradisional Indonesia merupakan warisan
budaya bangsa sehingga perlu digali, diteliti dan dikembangkan agar dapat
digunakan lebih luas oleh masyarakat (Pramono, 2002).
2.2.2 Paracetamol
Parasetamol (asetaminofen) merupakan salah satu obat analgesik dan
antipiretik yang banyak digunakan di dunia sebagai obat lini pertama sejak tahun
1950 (Sari, 2007). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara termasuk
Indonesia baik dalam bentuk sediaan tunggal maupun kombinasi dengan obat lain
seperti dalam obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual secara bebas. Oleh
karena itu, risiko untuk terjadinya keracunan akibat overdosis parasetamol
menjadi lebih besar akibat mudahnya mendapat parasetamol dan perilaku
masyarakat yang cenderung mengonsumsi obat sendiri tanpa melalui resep dokter
(Apparavoo, 2012).
Parasetamol merupakan obat bebas dan sangat mudah didapatkan,
sehingga risiko penyalahgunaan parasetamol menjadi lebih besar. Pada tahun
2006, setidaknya di Indonesia terdapat 305 jenis obat yang mengandung
parasetamol sebagai salah satu komposisinya, data ini sangat jauh meningkat
dibanding pada tahun 2002 yang hanya 60 jenis obat saja. Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM) menyebutkan, di Indonesia jumlah kasus keracunan akibat
parasetamol sejak tahun 2002-2005 yang dilaporkan ke sentra informasi
keracunan BPOM adalah sebanyak 201 kasus dengan 175 kasus diantaranya
merupakan upaya bunuh diri (Mayasari, 2007).
Menurut Food and Drug Administration (FDA), dosis aman penggunaan
parasetamol untuk dewasa dan anak yang lebih dari 12 tahun adalah maksimal 4
gram/hari. Konsumsi parasetamol dosis toksik sebesar 15 gram akan
menyebabkan kerusakan hati (hepatotoxicity) dan kerusakan hati ini akan diiringi
kerusakan organ lain, salah satunya adalah ginjal berupa nekrosis tubulus akut
(Rini et al, 2013).
Pada sebagian kasus, kerusakan ginjal bisa terjadi tanpa adanya
kerusakan hepar dan dosis yang dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada
ginjal lebih rendah dibanding hepar (Mazer dan Perrone 2008). Stres oksidatif
telah dilaporkan sebagai mekanisme utama dalam patogenesis kerusakan hati dan
ginjal yang diinduksi oleh penggunaan dalam jumlah besar parasetamol pada
hewan percobaan (Ramadhan dan Schaalan, 2011).
Parasetamol juga disebut dengan asetaminofen telah digunakan secara
luas sebagai obat analgesik dan antipiretik. Penggunaan akut parasetamol dengan
dosis yang berlebih berpotensi menyebabkan gagal hati dan ginjal yang fatal dan
pada beberapa kasus hingga menyebabkan kematian (Lorz et al, 2004).
Nefrotoksisitas akut oleh parasetamol dicirikan dengan perubahan
morfologi dan fungsional dari ginjal yang dibuktikan dengan kerusakan tubulus
proksimal pada manusia dan binatang percobaan, sedangkan penggunaan
parasetamol dosis terapi berisiko menyebabkan gagal ginjal akut pada pecandu
alkohol. Oleh karena itu, pemakaian parasetamol telah direkomendasikan hanya
untuk jumlah dan waktu yang terbatas (Lorz et al, 2005).
2.2.3 Bodrex
Bodrex merupakan salah satu jenis obat bebas untuk mengatasi sakit
kepala yang sudah sangat di kenal dan di percaya lebih dari 45 tahun oleh
masyarakat di Indonesia kemudian produsen berinovasi melakukan perluasan
merk dengan meluncurkan Bodrex Flu dan Batuk. Setiap tablet lapis duanya
mengandung paracetamol 600 mg dan kofein 50 mg. Kandungan paracetamol
berfungsi sebagai analgesik yang mampu meredakan rasa sakit kepala dan gigi,
sekaligus bekerja sebagai antipiretik untuk turunkan demam. bodrex mampu
mengatasi sakit kepala, sakit gigi, dan demam. Uniknya bodrex dapat diminum
sebelum makan sehingga aktivitas Anda dapat terus berjalan tanpa hambatan.
2.2.4 Noza
NOZA KAPLET mengandung Triprolidine, Pseudoephedrine HCl, dan
Paracetamol, digunakan untuk meringankan gejala flu seperti demam, sakit
kepala, hidung tersumbat dan bersin-bersin Tiap kaplet berisi: Triprolidine HCl
2,5 mg Pseudoephedrine HCl 30 mg Paracetamol 500 mg
2.2.5 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan kromatografi planar, yang
fase diamnya berupa lapisan seragam (uniform) pada permukaan bidang datar
yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium, atau plat plastik.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran senyawa
menjadi senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya (Sastrohamidjojo,
1991). Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan
sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya. KLT dapat digunakan untuk
memisahkan senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida-lipida dan
hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat
berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang
diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi, dan
isolasi senyawa murni skala kecil.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) suatu metode yang cepat dan mudah
untuk mengetahui derajat kemurnian suatu sampel maupun identifikasi sampel
dengan menggunakan standar baku. KLT ini praktis untuk analisis dalam skala
kecil karena metode ini hanya membutuhkan bahan yang relatif sedikit dan waktu
yang tidak banyak. Kemurnian suatu sampel uji dapat diketehui dari spot noda
yang timbul pada plat yang dibandingkan dengan baku standar atau jumlah
puncak pada kromatogram KLT (Handayani et al, 2005).
Pelaksanaan analisis dengan KLT diawali dengan menotolkan larutan
sampel dalam jumlah kecil pada fase diam (lempeng KLT), untuk membentuk
zona awal. Kemudian sampel dikeringkan. Bagian fase diam yang terdapat zona
awal dicelupkan ke dalam fase gerak (pelarut tunggal ataupun campuran dua
sampai empat pelarut murni) di dalam chamber. Komponen-komponen sampel
bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda sesuai dengan fase gerak dan fase
diam yang dipilih. Hal ini disebut dengan pengembangan kromatogram. Ketika
fase gerak telah bergerak sampai jarak yang diinginkan, fase diam diambil, fase
gerak yang terjebak dalam lempeng dikeringkan, dan zona yang dihasilkan
dideteksi secara langsung (visual) atau di bawah sinar ultraviolet (UV) baik
dengan atau tanpa penambahan pereaksi penampak noda yang cocok (Wulandari,
2011).
Menurut Mulja dan Suharman (1995), pada kromatogram KLT dapat
dihitung faktor retardasi (Rf) yang dirumuskan sebagai berikut:
Zat yang ditempuh zat terlarut
Rf =
Zat yang ditempuh fase gerak
Retardation factor (Rf) merupakan parameter karakteristik KLT. Harga
Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak senyawa dari titik awal dan
jarak tepi muka pelarut dari titik awal (Roth, 1994). Angka Rf berjarak antara 0,00
sampai 1,00 dan hanya dapat ditemukan dua desimal (Stahl, 1985).
Harga Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan harga Rf
standar. Pengukuran yang sering dipakai lainnya menggunakan pengertian R x atau
Rstd yang didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak yang digerakkan oleh
senyawa yang tidak diketahui dengan jarak yang digerakan oleh senyawa standar
yang diketahui (Hardjono, 1983).
Pada KLT, identifikasi awal suatu senyawa didasarkan pada
perbandingan nilai Rf dibandingkan Rf standar. Nilai Rf umumnya tidak sama
dari laboratorium ke laboratorium bahkan pada waktu analisis yang berbeda
dalam laboratorium yang sama, sehingga perlu dipertimbangkan penggunaan Rf
relatif yaitu nilai Rf noda senyawa dibandingkan noda senyawa lain dalam
lempeng yang sama. Faktor-faktor yang menyebabkan nilai Rf bervariasi meliputi
dimensi dan jenis ruang, sifat dan ukuran lempeng, arah aliran fase gerak, volume
dan komposisi fase gerak, kondisi kesetimbangan, kelembaban, dan metode
persiapan sampel KLT sebelumnya. Konfirmasi identifikasi dapat diperoleh
dengan mengerok noda dalam lempeng kemudian analit dalam lempeng dielusi
dan dideteksi dengan spektrometri inframerah (IR), spektrometri Nuclear
Magnetic Resonance (NMR), spektrometri massa, atau metode spektrometri lain
jika senyawa hasil elusi cukup tersedia (Wulandari, 2011).
Kelebihan Metode Kromatografi Lapis Tipis adalah sebagai berikut :
a) Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis.
b) Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi
warna, fluorosensi atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet.
c) Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending),
atau dengan cara elusi 2 dimensi.
d) Dapat untuk memisahkan senyawa hidrofobik (lipid dan hidrokarbon)
yang dengan metode kertas tidak bisa
e) Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan
ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.
f) Hanya membutuhkan sedikit pelarut
g) Waktu analisis yang singkat (15-60 menit)
h) Investasi yang kecil untuk perlengkapan (Biaya yang dibutuhkan ringan).
i) Preparasi sample yang mudah
j) Kemungkinan hasil palsu yang disebabkan oleh komponen sekunder
tidak mungkin
k) Kebutuhan ruangan minimum
Analisis kromatografi lapis tipis banyak digunakan karena :
1) Waktu yang diperlukan untuk analisis senyawa relatif pendek
2) Dalam analisis kualitatif dapat memberikan informasi semi kuantitatif
tentang konstituen utama dalam sampel
3) Cocok untuk memonitor identitas dan kemurnian sampel
4) Dengan bantuan prosedur pemisahan yang sesuai, dapat digunakan untuk
analisis kombinasi sampel terutama dari sediaan herbal.
2.2.6 Metode Pemisahan pada Kromatografi
Metode pemisahan pada kromatografi merupakan aspek penting dalam
bidang analisis karena sampel yang akan digunakan memiliki campuran dari
berbagai senyawa. Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran didasarkan
atas perbedaan distribusi dari komponen-komponen campuran tersebut di antara
dua fase, yaitu fase diam (padat atau cair) dan fase gerak (cair atau gas) yang
menyebabkan terjadinya perbedaan migrasi dari masing-masing komponen
(Wulandari, 2011).
Perbedaan migrasi merupakan hasil dari perbedaan tingkat afinitas
masingmasing komponen dalam fase diam dan fase gerak. Afinitas senyawa
dalam fase diam dan fase gerak ditentukan oleh sifat fisika kimia dari masing-
masing senyawa (Wulandari, 2011).
Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan migrasi komponen-
komponen dalam sampel meliputi faktor pendorong migrasi analit dan faktor
penghambat migrasi analit. Faktor pendorong migrasi meliputi gaya gravitasi,
elektrokinetik, dan hidrodinamik. Faktor penghambat migrasi meliputi friksi
molekul, elektrostatik, adsorbsi, kelarutan, ikatan kimia dan interaksi ion. Adanya
gaya gravitasi yaitu gaya yang menarik benda selalu menuju ke bawah,
elektrokinetik yaitu pergerakan molekul karena adanya listrik dan hidrodinamik
yaitu pergerakan suatu cairan, dapat mendorong pergerakan molekul analit
sehingga mempercepat migrasi analit. Sedangkan adanya friksi molekul yaitu
gaya yang muncul dengan arah gerakan yang berlawanan dengan arah gerakan
molekul, adanya elektrostatik yaitu gaya yang dikeluarkan oleh medan listrik
statik (tidak berubah/bergerak) terhadap objek bermuatan yang lain, adanya sifat
adsorbsi yaitu suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida, cairan maupun gas
pada suatu padatan atau cairan (zat penjerap, sorben) dan membentuk suatu
lapisan tipis pada permukaan, adanya kelarutan analit, adanya ikatan kimia dan
atau interaksi ion antara analit fase diam dan fase gerak dapat menghambat
pergerakan molekul analit (Wulandari, 2011).
2.2.7 Fase Diam Fase
stasioner atau fase diam yang digunakan untuk KLT merupakan agen
penyerap mikro partikel dengan diameter di antara 10 dan 30 mm. Semakin kecil
ukuran partikel dan semakin sempit jarak antar partikel, semakin bagus pula
proses kromatografi dalam hal efisiensi dan resolusinya (Kealey dan Haines,
2002). Berbagai macam bentuk plat KLT tersedia di atas lapisan kaca, plastik dan
alumunium foil plat-plat tersebut dibentuk dengan ukuran 20 X 20 cm. ketebalan
lapisan paling umum untuk analisis KLT adalah 250 µm, tetapi pada fase diam
berbahan selulosa dan poliamida sering kali dalam ketebalan 100 µm (Sherma dan
Fried, 2003).
2.2.8 Fase Gerak
Disamping pemilihan fase diam, pemilihan fase gerak adalah faktor yang
memiliki pengaruh terbesar pada kromatografi lapis tipis. Hanya ada beberapa
kasus yang memiliki sistem eluen yang hanya terdiri dari satu komponen saja.
Biasanya terdiri dari berbagai macam campuran eluen hingga enam komponen
eluen yang digunakan, dan komponen eluen tersebut harus memiliki penampilan
tanpa tandatanda keruhan (Hahn-Deinstrop, 2006). Sistem fase gerak ini memiliki
fungsi-fungsi utama yakni: Memisahkan campuran zat yang akan dianalisis,
Memindahkan zat-zat yang akan dipisahkan di seluruh lapisan fase diam,
Memberikan nilai Rf pada jarak menengah, atau bila memungkinkan pada jarak
yang dekat, Memberikan selektivitas yang memadahi untuk campuran zat yang
akan dipisahkan.
Sistem pelarut (fase diam) yang ditempatkan di dalam bejana
pengembangan dapat memisahkan, melepaskan beberapa komponen kedalam
poripori sorben (fase diam) yang mana hal tersebut dapat membentuk carian fase
diam. 24 Dalam kesetimbangan ini maka terbentuklah fase gerak, hal ini ada
kaitannya dengan komponen-komponen tertentu jika dibandingkan dengan sistem
pelarut. Beberapa sistem pemisahan dapat dibentuk karena ada komponen-
komponen yang memiliki polaritas yang berbeda sehingga terjadi interaksi dengan
fase diam yang polar. Komponen yang paling polar dari sistem pelarut akan
terkumpul lebih dekat dengan tempat penotolan awal (Hahn, 2006).
Salah satu pertanyaan yang lebih sulit dalam semua KLT adalah
bagaimana memilih sistem pelarut yang paling sesuai. Sebelum memulai
pencarian sendiri untuk sistem pelarut, disarankan untuk melakukan pencarian
literatur. Namun, meskipun publikasi dari spesialis dan monograf dari farmakope
menawarkan saran yang berguna, sayangnya mereka juga menyediakan resep
untuk sistem pelarut (fase gerak) yang komponennya sangat beracun atau
karsinogenik dan karena itu tidak boleh digunakan (Hahn, 2006).
2.3 Uraian Bahan
2.3.1 Alkohol 70% (Pubchem, 2021)
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Alkohol, Etanol, Etil alkohol, Methanol, Etanol
Rumus Molekul : C2H5OH
Berat Molekul : 46,07 g/mol
Rumus Struktur :
Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan
mudah bergerak; baukhas; rasa panas. Mudah
terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak
berasap
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P
dan dalam eter P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya, ditempat sejuk, jauh dari nyala api
Kegunaan : Pensteril alat laboratorium, pelarut, dan penstabil

2.3.2 Etil Asetat (Minarni, 2013)


Nama resmi : ETYL ACETAT
Nama lain : Hidroksimetana, metil alcohol, metal hidrat
Berat Molekul : C4H8O2 /32
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, bau khas, tidak


beracun mudah meguap, dan tidak higroskopis
Kelarutan : Dapat melarutka air hingga 3% dan larut dalam
air hingga kelarutan 8% pada suhu kamar,
kelarutanya meningkat pada suhu yang lebih
tinggi. Namun senyawa ini tidak stabil dalam air
yang mengandung basa dan asam.
Khasiat : Sebagai pengikat senyawa
non polar Kegunaan : Sebagai pelarut non polar
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, jauh dari api.
Kegunaan : Sebagai eluen
2.3.3 Metanol (Pubchem, 2021)
Nama Resmi : Methanol
Nama Lain : Methanol, methyl alcohol, wood alcohol, carbinol
Rumus Molekul : CH3OH
Berat Molekul : 32.042 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : cairan tidak berwarna yang cukup mudah


menguap dengan bau menyengat yang agak manis
seperti etil alkohol.
Kelarutan : Larut dalam aseton, kloroform, larut dengan
etanol, eter, benzena, sebagian besar pelarut
organik dan keton
Penyimpanan : Simpan wadah tertutup rapat di tempat yang
kering dan berventilasi baik.
Kegunaan : Metanol digunakan dalam campuran rekahan
hidrolik, sebagai dehidrator gas alam; bahan bakar
untuk pembangkit listrik (bahan bakar metil);
bahan baku untuk pembuatan protein sintetik
dengan fermentasi terus menerus; sumber
hidrogen untuk sel bahan bakar, pemanjang
minyak pemanas rumah.
2.3.4 n-Heksana (Ditjen POM, 1979)
Nama resmi : HEXAMINUM
Nama lain : Heksamina
Berat Molekul : C6H14 / 140,19 g/mol
Rumus Struktur :
Pemerian : Hablur mengkilap, tidak berwarna atau serbuk
hablur putih, tidak berbau, rasa membakar dan
manis kemudian agak pahit. Jika di panaskan
dalam suhu ± 26oC menyublim
Kelarutan : Larut dalam 1,5 bagian air, dalam 12,5 ml etanol
(95%) P dan dalam lebih kurang 10 bagian
kloroform P
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai eluen
2.3.5 Paracetamol (Ditjen POM RI, 1979)
Nama resmi : ACETHAMINOPHENUM
Nama lain : Asetaminofen
Berat Molekul : C8H9NO2
Rumus Struktur :

Pemerian : Hablur atau serbuk putih, tidak berbau, rasa pahit


Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7
bagian etanol (95%)p,dalam 13 bagian aseton p,
dalam 40 bagian gliserol p, dalam 9 bagian
propilenglikol p, larut dalam larutan alkali
hidroksida
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindungi
dari cahaya
Kegunaan : Analgetikum, antipiretikum
DAPUS
Apparavoo P (2012). Penggunaan parasetamol oleh pelajar SMA dan tukang
becak. Universitas Sumatera Utara.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1989, Materia Medika Indonesia,
Jilid V, Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Dwiastuti, Rini. dkk. 2013. Ilmu Perilaku Konsumen. Malang. UB Press.
Gupta S. K., Sharma, A., and Bengal W., 2015, Dynamic properties of
Escherichia coli, World Journal Of Pharmacy And Pharmaceutical
Sciences, 4 (07), 296–307.
Hahn-Deinstrop, 2007. Applied Thin-Layer Chromatographic. Willey-VCH
Verlag GmbH & Co. KGaA, Germany; p.23-25
Handayani et al, 2005. Kromatografi lapis tipis untuk penentuan kadar hesperidin
dalam kulit jeruk. jurnal penelitian saintek
Hardjono., 1983. Kromatografi. Laboratorium Analisa Kimia Fisika Pusat,
UGM. Yogyakarta. Hal 32-34.
Kealey, D. dan Haines, P.J. 2002. Instant Notes: Analytical Chemistry. BIOS
Scientific Publisher Limited. New York.
Mayasari, N. 2007. Memilih Makanan yang Halal. Tanggerang. Quntum Media.
Mulja, M., dan Suharman, 1995, Analisis Instrumental, Cetakan I, 26-32,.
Airlangga University Press, Surabaya.
Pramono, S., 2002, Kontribusi bahan obat alam dalam mengatasi krisis bahan
obat di Indonesia, Jurnal Bahan Alam Indonesia, 1(1), 18-20.
Ramadan BK, Schaalan MF (2011). The renoprotective effect of honey on
paracetamol – induced nephrotoxicity in adult male albino rats. Life Sci J,
8 (3): 589-596.
Roth, H. J. & Blaschke, G., 1994, Analisis Farmasi, (Kisman, S. & Ibrahim, S.,
penerjemah), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, pp. 367-373
Sari. 2007. Keefektifan Model Pembelajaran Problem Posing dibanding
Kooperatif tipe CIRC (Cooperative Integrated Reading and Compotition)
pada Kemampuan Siswa Kelas VII Semester 2 SMP Negeri 16 Semarang
dalam Menyelesaikan Soal Cerita Materi Pokok Himpunan Tahun
Pelajaran 2006/2007. Skripsi Jurusan Matematika. Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. UNNES.
Sastrohamidjojo, H., 1991, Kromatografi, edisi II, 26 – 36, Liberty Press,.
Yogyakarta.
Stahl, E., 1985, Analisis Obat Secara kromatografi dan Mikroskopi,
diterjemahkan oleh. Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, 3-17, ITB,
Bandung.
Toverud, E. L., Hartmann, K., & Håkonsen, H. (2015). A Systematic Review of
Physicians’ and Pharmacists’ Perspectives on Generik Drug Use: What
are the Global Challenges?. Applied health economics and health policy,
13(1), 35-45.
 Wulandari, Lestyo. (2011).Kromatografi Lapis Tipis. Jember: PT. Taman
Kampus. Presindo

Anda mungkin juga menyukai