Anda di halaman 1dari 30

PENDAHULUAN

Studi bioekivalensi dirancang untuk membandingkan bioavailabilitas dari dua

atau lebih formulasi yang mengandung bahan aktif yang sama. Obat-obat tersebut

bioekivalen jika laju dan tingkat penyerapannya sama. Ketika formulasi baru obat yang

ada dikembangkan, ketersediaan hayati umumnya dibandingkan dengan formulasi

standar pencetusnya. Untuk obat generik yang dianggap bioekivalen dengan obat

pembanding, area di bawah kurva waktu terhadap konsentrasi plasma (AUC) dari obat

generik harus berada dalam 80-125% dari AUC obat pembanding.

Amiodaron adalah obat aritmia yang saat ini banyak digunakan pada keadaan

aritmia mulai dari atrial fibrilasi paroksismal sampai takiaritmia ventrikuler yang

mengancam hidup. Potensi dan kegunaan amiodaron sudah diteliti dalam beberapa uji

klinis besar. Hasil studi European Myocardial Infarction Amiodarone Trial (EMIAT)

dan Canadian Amiodaron Myocardial Infarction Arrhytmia Trial (CAMIAT)

menunjukkan bahwa pemberian amiodaron dapat menurunkan kematian akibat aritmia

dan ventrikular fibrilasi (VF) yang diresusitasi setelah kejadian infark jantung.

GESICA dan CHF-STAT, uji klinis yang meneliti pemberian amiodaron pada pasien

gagal jantung menunjukkan bahwa obat ini aman diberikan pada pasien gagal jantung.

Dengan berbagai bukti dari uji klinis ini, penggunaan amiodaron makin meningkat

dalam mengatasi aritmia. Penggunaan amiodaron ternyata juga dikaitkan dengan efek

samping yang bisa berakibat fatal. Amiodaron dan metabolitnya yang bersifat lipofilik

1
didistribusikan ke berbagai jaringan. Karena ini, efek samping amiodaron dapat

melibatkan berbagai organ seperti kulit, mata, hati, paru, saraf dan tiroid (DiMarco et.

al, 2005).

Amiodaron bersifat larut dalam lemak, memiliki afinitas yang tinggi terhadap

protein, dan didistribusikan pada berbagai organ, termasuk kelenjar tiroid, jaringan

lemak, saluran pencernaan, saluran genitourinaria, hati, paru, otot sistem saraf, dan

kulit. Waktu eliminasi yang lambat menyebabkan konsentrasi kadar amiodaron yang

tinggi dan lama pada berbagai organ, meskipun terapi sudah dihentikan. Berbagai efek

samping yang mungkin terjadi adalah gangguan fungsi tiroid (hipotiroid dan

hipertiroid), pneumonitis, fibrosis pulmoner, hiperpigmentasi kulit, dan disfungsi hati

(Mali dkk, 2014:118; Farhan dkk, 2013).

Bioequivalence dari berbagai preparat yang mengandung bahan aktif yang

sama telah menjadi penting selama beberapa tahun terakhir karena meningkatnya

substitusi generik (Hasan, 2007). Telah disarankan bahwa ketika setara generik yang

lebih murah tersedia, substitusi generik harus dipertimbangkan untuk mencapai

manfaat ekonomi (Van Wijk, 2006). Namun, kita harus mengharapkan kualitas yang

sama dan hampir identik dengan merek asli, karena pengembangan obat generik

didasarkan pada sifat farmakologis dari merek asli (Vetchy, 2007).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan bioequivalensi

Amiodarone uji dengan Amiodarone yang diproduksi oleh market leader di Indonesia

yaitu Lamda yang diproduksi oleh PHAROS Indonesia dengan nomor registrasi BPOM

DKL1021639143A1.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bioavailabilitas

Bioavailabilitas merupakan persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk

obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif

setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap

waktu dari ekskresinya dalam urin (BPOM, 2004). Sirkulasi sistemik disini mencakup

vena (kecuali vena porta) dan arteri selama fase absorpsi setelah rute per oral. Banyak

proses dilalui oleh obat sebelum obat mencapai sirkulasi sistemik seperti disolusi,

difusi, proses pengosongan pada lambung, waktu transit di usus dan absorpsi intrinsik

obat di tempatnya yang berbeda setelah obat melarut (Shargel et.al, 2012).

2.2. Bioekivalen

Beberapa obat dibuat dan dipasarkan oleh lebih dari satu pabrik farmasi. Dari studi

biofarmasetik memberi fakta yang kuat bahwa metode fabrikasi dan formulasi dengan

nyata mempengaruhi bioavailabilitas obat tersebut. Karena kebanyakan produk-produk

obat mengandung jumlah bahan obat aktif yang sama, maka dokter, farmasis dan orang

lain yang menulis resep, menyalurkan atau membeli obat harus memilih produk yang

memberikan efek terapetik yang ekivalen. Untuk memudahkan mengambil keputusan

tersebut, suatu pedoman telah dikembangkan oleh US Food and Drug Administration

3
(FDA), dimana setiap produk harus memenuhi uji secara iv vivo dan in vitro untuk

produk produk tertentu untuk memastikan produk tersebut bioekivalen dan siap

diedarkan (Shargel et.al, 2012).

Dua produk disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmasetik

atau merupakan alternatif farmasetik dan pada pemberian dengan dosis molar yang

sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama,

dalam hal efikasi maupun keamanan. Jika bioavailabilitasnya tidak memenuhi kriteria

bioekivalen maka kedua produk obat tersebut disebut bioinekivalen. Istilah-istilah lain

yang berhubungan dengan bioekivalensi yaitu ekivalensi farmasetik, alternatif

farmasetik, ekivalensi terapetik. Dua produk obat mempunyai ekivalensi farmasetik

jika keduanya mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah yang sama dan bentuk

sedian yang sama. Sedangkan dua produk obat merupakan alternatif farmasetik jika

keduanya mengandung zat aktif yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam,

ester) atau bentuk sediaan atau kekuatan. Dua produk obat mempunyai ekivalensi

terapetik jika keduanya mempuyai ekivalensi farmasetik atau merupakan alternatif

farmasetik dan pada pemberian dosis molar yang sama akan menghasilkan efikasi

klinik dan keamanan yang sebanding (Shargel et.al, 2012).

4
2.3. Amiodarone HCl

Gambar II.1 Struktur Amiodarone

Amiodaron banyak digunakan untuk aritmia atrium maupun ventricular.

Amiodaron merupakan obat anti aritmia kelas III, yang merupakan derivat dari

benzofuran yaitu 2butyl-3-benzofuranyl-4-[2-(diethylamino) ethoxy]-3,5 diiodophenyl

ketone hydrochloride; C25H29I2NO3.HCl; dengan berat molekul 681,8. Obat ini

bekerja dengan memperpanjang waktu potensial aksi sel myocardium dengan cara

menghambat aktivitas kanal Na+ K+ -ATPase, sehingga periode refrakter dari ventrikel

memanjang. Obat ini juga bekerja dengan cara menghambat reseptor adrenergik,

sehingga menurunkan kecepatan dari nodus sinaoatrial (SA) dan atrioventrikular (AV)

(Preda dkk, 2014:118; Mali dkk, 2014:109).

2.3.1. Monografi

Nama zat : Amiodarone HCl

Nama lain :(2-{4-[(2-butyl-1-benzofuran-3-yl)carbonyl]-2,6-

diiodophenoxy}ethyl)diethylamine hydrochloride.

Pemerian : Putih atau hampir putih, halus, serbuk kristal

5
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, mudah larut dalam metilen

klorida, larut dalam methanol, sedikit larut dalam etanol.

pH : 3,2 - 3,8

(British Pharmacopoeia, 2009)

2.3.2. Efek samping

Penggunaan amiodaron telah dihubungkan dengan beberapa efek samping

kardiak dan non kardiak. Amiodaron dapat menyebabkan blok pada nodus SA atau AV

sehingga dapat menyebabkan bradikardia berat dan membutuhkan alat pacu jantung

permanen. Bradikardia ini jarang terjadi dan biasanya terjadi pada pasien dengan

disfungsi nodus SA atau blok AV. Dari satu meta-analisa, amiodaron hanya dihentikan

pada 1,6% pasien karena bradikardia. Pemberian amiodaron juga dapat menyebabkan

Torsade de Pointes, namun dari beberapa studi amiodaron insidens komplikasi ini

cukup rendah (< 0,5%). Insidens komplikasi ini dihubungkan dengan keadaan

pemanjangan interval QT, hipokalemia atau toksisitas digitalis. Pada organ non

kardiak, amiodaron dapat menyebabkan fotosensitivitas di kulit, deposit mikro di

kornea, toksisitas paru, hepatotoksisitas, neuropati perifer, tirotoksikosis dan

hipotiroidisme. Pada dosis yang besar (> 400mg/hari), pneumonitis dan fibrosis paru

dapat terjadi pada 10-17% pasien. Efek pada paru ini mungkin tergantung dosis dan

jarang sekali terjadi pada dosis < 200 mg/hari. Uji klinis Amiodarone Trials Meta-

Analysis Investigators melaporkan sebanyak 1% pasien yang mendapat komplikasi ini

dengan penggunaan amiodaron selama satu tahun. Studi ini juga melaporkan

6
persentase efek samping lain yaitu 0,6% untuk toksisitas hati, 0,3% untuk neuropati

perifer, dan 0,9% untuk tirotoksikosis. Hipotiroidisme ternyata lebih sering terjadi,

yaitu sebanyak 6% pasien (Conolly et. Al, 1999).

2.3.3. Interaksi

 Kemungkinan peningkatan risiko efek samping ketika digunakan dengan agen

anestesi.

 Cimetidine dapat meningkatkan kadar amiodarone dalam serum.

 Dapat meningkatkan risiko miopati atau rhabdomiolisis bila digunakan dengan

inhibitor reduktase HMG-CoA.

2.3.4. Kontra Indikasi

Kontraindikasi amiodaron adalah : (Zimethbaum, 2007).

- Disfungsi sinus yang berat dengan bradikardia atau sinkop

- Blok jantung derajat 2 atau 3

- Hipersensitif terhadap amiodaron

- Syok kardiogenik

2.3.5. Farmakokinetika

Penyerapan amiodaron oral lambat dan bervariasi, dengan konsentrasi

amiodaron serum puncak dicapai pada 3 hingga 12 jam setelah pemberian.

Ketersediaan hayati sistemik sangat bervariasi dan berkisar antara 20 hingga 89%

7
(Shukla, 1994; Rotmensch & Belhassen, 1988; Holt, 1983) terutama karena

penyerapan yang buruk dan kemungkinan metabolisme lulus pertama yang tinggi.

Waktu paruh plasma amiodaron setelah pemberian dosis tunggal dilaporkan berada

dalam kisaran 3,2 hingga 79,7 jam. Namun, dengan penggunaan jangka panjang, waktu

paruh amiodaron berkisar antara 50 hingga 100 hari (Zhang, 1996; Latini, 1984).

Distribusi: Didistribusikan secara luas ke jaringan tubuh; terakumulasi dalam

otot dan lemak, melintasi plasenta dan memasuki ASI, pengikatan protein 96%.

Metabolisme: Hasil desethylamiodarone (juga memiliki sifat antiaritmia); dapat

menjalani daur ulang enterohepatik. Ekskresi: Terutama di feses melalui empedu;

melalui urin (sejumlah kecil amiodarone dan metabolitnya). Waktu paruh eliminasi

terminal: Sekitar 50 hari; dapat berkisar dari 20-100 hari karena distribusi jaringan yang

luas.

2.3.6. Indikasi

Efek antiaritmia amiodaron merupakan hasil interaksinya dengan sistem

konduksi jantung. Penggolongan obat antiaritmia dibagi menjadi empat kelas

berdasarkan mekanisme ionik dan reseptor obat pada proses potensial aksi di sistem

konduksi jantung. Amiodaron termasuk golongan III, yaitu obat aritimia yang terutama

bekerja di saluran K+ sehingga memperpanjang durasi potensial aksi dan interval QT.

Mekanisme kerja amiodaron juga meliputi aktivitas obat aritmia kelas I, II, dan IV

sehingga disebut sebagai obat aritmia dengan spektrum luas dan cukup efektif

digunakan pada berbagai macam aritmia. Di antaranya adalah paroksismal

8
supraventrikuler aritmia sebagai agen pilihan kedua setelah adenosin dan calcium

channel blocker nondihidropiridin, sebagai obat kardioversi untuk fibrilasi atrium, dan

sebagai pilihan utama untuk takiaritmia ventrikuler. (DiMarco et. Al, 2005).

Amiodaron direkomendasikan untuk beberapa keadaan, antara lain: terapi pada VT

tanpa nadi atau VF yang refrakter terhadap defibrilasi; terapi VT polimorfik atau

takikardia dengan QRS kompleks yang lebar yang tidak diketahui sebabnya; kontrol

VT dengan hemodinamik stabil apabila kardioversi tidak berhasil, sangat berguna

terutama bila fungsi ventrikel kiri menurun; sebagai obat tambahan pada kardioversi

supraventrikular takikardia atau paroksismal supraventrikular takikardi; dapat

digunakan untuk terminasi takikardia atrial multifokal atau ektopik dengan fungsi

ventrikel kiri yang masih baik; dapat digunakan untuk kontrol denyut jantung pada

atrial fibrilasi atau atrial flutter bila terapi lain tidak efektif (Hazinski, 2000).

2.3.7. Dosis

Pada keadaan di mana efek antiaritmia amiodaron dibutuhkan cepat, dosis awal

oral (loading dose) dapat sebesar 800-1600 mg/hari dalam 3-4 dosis sedangkan secara

intravena dalam satu hari dapat diberikan sampai 1000 mg. Pada keadaan yang lebih

ringan amiodaron oral diberikan dengan dosis awal 600 mg per hari. Loading dose ini

dapat diberikan selama 7-14 hari sampai aritmia dapat dikontrol lalu diturunkan lagi

menjadi 400-800 mg/hari untuk satu sampai tiga minggu berikutnya. Besar dosis

pemeliharaan yang diberikan untuk jangka panjang tergantung dari aritmianya; pada

atrial flutter atau fibrilasi atrial dosisnya dapat lebih kecil yaitu 100 mg/hari

9
dibandingkan dengan 200-400 mg/hari untuk kontrol aritmia ventrikuler (DiMarco et.

Al, 2005).

10
BAB III

DESAIN PERCOBAAN

Penelitian ini didesain dengan Label terbuka, Acak, Dua periode, Dua

Perlakuan, Design parallel yang dilakukan pada 24 sukarelawan dewasa yang sakit.

Diujikan pada subyek sakit karena amiodarone merupakan obat aritmia yang berefek

langsung pada system kardiovaskular sehingga akan menimbulkab resiko jika

diberikan pada subyek yang sehat. Subyek dipuasakan sebelum dilakukan pengujian.

Pemberian dosis dilakukan secara acak. Subjek menerima dosis oral tunggal dari

formulasi tes Amiodarone yang dibandingkan dengan Amiodarone yang diproduksi

oleh market leader di Indonesia yaitu Lamda yang diproduksi oleh PHAROS Indonesia

dengan nomor registrasi BPOM DKL1021639143A1.

11
BAB IV

SUBJEK UJI

Subjek uji dalam pengujian ini sebanyak 36 subjek yang sehat dan memenuhi

kriteria inklusi dan eklusi. Dan subjek menandatangani informed consent dilibatkan

dalam penelitian tersebut. Studi akan dilakukan sesuai good clinical practice (GLP) dan

akan diajukan ke Komisi Etik untuk memperoleh ethical clearance.

A. Kriteria Inklusi

1. Pria berumur 18-45 tahun sesuai dengan indikasi penyakit yaitu aritmia.

2. Berat badan normal (47 – 75 kg) sesuai dengan Indeks Massa Tubuh (Body

Mass Index).

3. Body Mass Index 19 – 28 kg/m2.

4. Fungsi ginjal dan hepar normal berdasarkan pengukuran laboratorium klinik.

5. Subjek telah melewati pemeriksaan fisik, ECG, dan tes laboratorium klinik

yang meliputi: Tes biokimia, serology, pemeriksaan urin secara rutin, dan

screening obat didalam urin

6. Subjek yang ingin berpartisipasi dalam pengujian.

B. Kriteria Eklusi

1. Berpartisipasi dalam uji obat ataupun donor darah tiga bulan sebelum uji BE.

2. Alergi atau hipersensitivitas terhadap Amiodaron HCl

3. Mempunyai riwayat penyakit ginjal dan hati.

12
4. Menggunakan alkohol (lebih dari 2 unit per hari), kafein (lebih dari 5 cangkir

teh atau kopi per hari), merokok (lebih dari 10 batang per hari), atau narkoba.

5. Positif hepatitis B, HIV, atau infeksi sifilis.

6. Menyumbangkan darahnya dalam waktu 72 hari sebelum penelitian.

7. Memiliki nilai uji klinis yang abnormal: EKG, X-Ray dada, serum kreatinin,

blood urea nitrogen (BUN), AST, ALT, serum alkalin fosfatase, serum

bilirubin, glukosa plasma, kolsterol serum.

8. Glukosa atau protein positif dalam urin.

9. Sedang menjalani terapi pengobatan (vitamin, suplemen mineral, obat bebas).

C. Jumlah Subjek

Berdasarkan ketentuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, perhitungan

jumlah subjek

CV Intrasubjek (%)* Jumlah Subjek

15,0 12

17,5 16

20,0 20

22,5 24

25,0 28

27,5 34

30,0 40

13
Berdasarkan kepada koefisien variasi intrasubjek. Berdasarkan

penelitian sebelumnya, koefisien variasi intrasubjek adalah sebesar 22,5%,

sehingga apabila mengacu kepada tabel di bawah ini, diperoleh jumlah subjek

sebanyak 24 orang subjek.

Ruang lingkup mengenai penelitian ini akan dijelaskan kepada semua

sukarelawan dan masing-masing sukarelawan menandatangani informed

consent sebelum penelitian dilakukan. Penelitian akan dilakukan sesuai dengan

Good Clinical Practice (GCP). Protokol akan diajukan ke Komisi Etik untuk

mendapatkan ethical clereance.

d. Standarisasi Kondisi Pengujian

a. Puasa

1) Lama Puasa

Sebelum subjek diberikan obat dalam rangka pengambilan sempel darah.

Maka terlebih dahulu dipuasakan selama 12 jam sebelum obat diberikan. Puasa

ini bertujuan agar konsentrasi obat dalam plasma tidak terganggu oleh adanya

makanan dalam saluran sistemik bersama dengan obat.

2) Standarisasi makanan yang diberikan sebelum puasa

Makanan standar yang diberikan sebanyak 200 g terdiri dari nasi, tahu,

tempe, dengan minuman (air putih) sebanyak 200 ml. Sedangkan selama 12 jam

berpuasa, masih diperbolehkan untuk minum air putih maksimal 500 ml, kecuali

1 jam sebelum dan sesudah pemberian obat. Air yang diminum selama berpuasa

14
tidak boleh terlalu banyak dikarenakan dapat mempengaruhi kecepatan

pengosongan lambung.

3) Interaksi obat dengan makanan dan obat lain

Subjek juga diberikan penjelasan mengenai makanan dan obat yang tidak

boleh dikonsumsi 24 jam sebelum datang ke lokasi pengambilan sampel dan juga

selama periode pengambilan darah.

b. Aktivitas subjek selama berpuasa dan pengambilan sampel

Subjek selama kondisi pengambilan sampel tidak boleh melakukan aktifitas

berat yang dapat mempengaruhi waktu transit dalam saluran cerna dan aliran

darah ke usus. Pasien hanya diperbolehkan untuk duduk normal dan berdiri tanpa

melakukan aktivitas berat. Duduk normal, dalam hal ini ialah dalam ruangan

khusus yang diperuntukkan bagi subjek selama menunggu waktu pemberian obat

dan selama periode pengambilan sampel. Selama duduk, subjek dapat melakukan

kegiatan membaca, menonton, dan mengobrol.

c. Karantina subjek

Subjek akan mengalami masa karantina selama pengambilan sampel

dilakukan. Terdapat masa karantina umum dan masa karantina khusus. Pada masa

karantina umum, subjek dapat melakukan kegiatannya sehari-hari tetapi dibatasi

dengan larangan-larangan yang telah ditetapkan dan disepakati sebelumnya.

Larangan tersebut adalah larangan terhadap konsumsi obat-obatan, teh, kopi,

makanan bersantan selama masa penelitian berlangsung. Selain itu, subjek

15
dilarang melakukan kegiatan berat (seperti: lari, angkat beban, olahraga

berlebihan, dll) atau kegiatan yang dapat menimbulkan kecelakaan.

Masa karantina khusus adalah masa di mana subjek ditempatkan di suatu

tempat karantina selama dua hari. Selama masa karantina khusus, subjek

menerima asupan makanan yang telah diatur jumlah kalorinya. Masa karantina

khusus pertama dilakukan selama dua hari (waktu pengambilan darah pertama)

dan masa karantina khusus kedua dilakukan satu minggu setelah masa karantina

khusus pertama (waktu pengambilan darah kedua).

16
BAB V

CARA PENGUJIAN

Subjek diminta untuk berpuasa semalaman kecuali minum air mineral dimulai

dari pukul 18.00 sore. Dimana sampel darah diambil sebanyak 17 kali, dimulai dari

pengambilan sampel darah sebelum pemberian obat pagi hari setelah puasa semalaman.

Kemudian diberikan Obat (satu tablet obat uji atau obat pembanding) dengan 200 mL

dalam posisi duduk. Setelah pemberian obat, dilakukan pengambilan sampel darah

pada interval waktu selama 96 jam dan dianalisis dengan metode analisis HPLC dengan

detector UV.

Prosedur Pengambilan Darah

Desinfeksi dengan kapas beralkohol 70% ke tempat yang akan disuntikan.

Pasang ikatan (tourniquet) pada tangan bagian atas. Beri label identitas subjek pada

tabung. Tegangkan kulit di atas vena dengan jari tangan kiri supaya vena tidak dapat

bergerak lalu tusuk vena dengan jarum IV canula. Setelah darah terlihat mengalir dari

pembuluh darah vena ke dalam jarum tarik jarum keluar, tinggalkan plastic IV canula

di dalam pembuluh darah dan masukan pelan-pelan sampai batas yang ditentukan.

Masukan luer adapter yang sudah terpasang dengan holdernya ke dalam IV canula.

Ambil darah dengan menggunakan blood collection sampai volume yang dikehendaki.

Tutup IV canula dengan instopper. Plester IV canula dengan micropore. Catat waktu

17
saat subjek minum obat dan catat pengambilan darah. Kemudian darah dianalisis

dengan metode analisis HPLC dengan detector UV.

18
BAB VI

SAMPEL UJI DAN WAKTU SAMPLING

Sampel yang digunakan adalah darah yang diambil berupa plasma atau serum.

Sampel darah diambil pada waktu tertentu untuk menggambarkan fase absorbsi,

distribusi, dan eliminasi obat. Pengumpulan sampel dilakukan pada jam 0:00 (sebelum

obat diberikan), jam 1:00, jam 2:00, jam 3:00, jam 4:00, jam 5:00, jam 6:00, jam 7:00,

jam 8:00, jam 10:00, jam 12:00, jam 18:00, jam 24:00, jam 36:00, jam 48:00, jam

72:00, jam 96:00 mengikuti waktu administrasi obat. Sebelum pemberian dosis,

cannula iv dimasukan ke dalam vena pada lengan subjek. Sampel darah yang

digunakan :

- 1 sampel sebelum pemberian obat pada waktu nol (to)

- 2-3 sampel sebelum kadar maksimal (Cmax)

- 4-6 sampel sekitar kadar maksimal (Cmax)

- 5-8 sampel setelah (Cmax) sampai setidaknya 3 kali atau lebih waktu paruh eliminasi

obat dalam plasma.

Sampel darah di kumpulkan dalam tabel sentrifuga pre-label yang mengandung

EDTA sebagai antikoagulan. Sampel plasma dari darah sampel dipisahkan dengan

menggunakan sentifuga dengan kecepatan 2500 sampai 3000 rpm selama 5 menit.

Plasma yang terdapat pada tabung sentrifuga kemudian dipindahkan kedalam pre

labeled screw cap vials. Kemudian dilakukan pengulangan (satu set digunakan untuk

19
analisis dan set lainnya disimpan sebagai sampel replikasi, untuk digunakan pada

pengulangan analisis apabila dibutuhkan). Setiap vial mengandung kurang lebih 1mL

plasma. Kedua set tersebut disimpan dalam suhu -20oC ± 5 oC.

20
BAB VII

SENYAWA YANG AKAN DIANALISIS DAN METODE ANALISIS

Senyawa yang akan dianalisis secara prinsip bioekivalensi harus berdasarkan

pada kadar senyawa induk kerena Cmax senyawa induk lebih sensitif untuk mendeteksi

perbedaan laju absorbsi antara formulasi amiodaron uji dan amiodaron innovator dari

pada Cmax metabolit.

0.5 mL plasma blako diambil dari pre-labeled vials, sebelum pengujian dilakukan

pengukuran terhadap larutan Spiking dengan cara kurva kalibrasi dan kualiti kontrol

pada sampel dengan menggunakan plasma blank. Obat innovator amiodaron Lamda

yang diproduksi oleh PHAROS Indonesia 100 μL dalam 10 ppm dimasukan kedalam

setiap vial. Vial kemudian di vortex untuk memastikan bahwa larutan tercampur merata

kemudian dicampur dan ditambah 1mL asam hidroklorat 0.1N. Selanjutnya, kedalam

semua vial ditambahkan etil asetat dan di vortex selama 3 menit. Semua vial kemudian

disentrifuga dengan kecepatan 2000rpm selama 5 menit. Lapisan organik dipisahkan

kedalam pre-labeled vials kemudian dievaporasi sampai kering dibawah uap nitrogen

dengan suhu 50˚C. Residu kering dilarutkan dalam 0.1 mL fase gerak (mM KH2PO4:

MeOH (20:80) v/ v 0.05% TEA, pH dari fase gerak di adjust sampai 4.5 dengan

menggunakan asam orto fosfat. Sebanyak 50 µL sampel dilarutkan kemudian

disuntikan kedalam HPLC menggunakan kolom analit (Merck, Purosphere 150 mm x

21
4.5 mm i.d. 5µm) dengan laju aliran 1.5 mL/menit. Panjang gelombang detektor yang

digunakan adalah 244nm, suhu kolom analit yang digunakan 30˚C.

Data yang diperoleh dari HPLC berupa nilai AUC (luas area di bawah kurva

kadar obat terhadap waktu) sedikitnya 80% dari AUC yang diekstrapolasi ke tidak

terhingga. Selain dilihat data AUC dilihat pula estimasi waktu paruh eliminasi dari 3-

4 sampel selama fase log linear terminal.

Metode Bioanalitik

Metode bioanalitik dilakukan dengan mengikuti prinsip Good Laboratory

Practice (GLP). Metode ini digunakan untuk menetapkan kadar obat amiodaron dan

metabolitnya dalam plasma/serum, darah. terdapat beberapa persyaratan diantaranya:

- Stabilitas dalam sampel biologic pada kondisi analisis dan selama waktu penyimpanan

- Spesifisitas untuk obat yang diteliti sehingga hasilnya valid (sah) dan dapat dipercaya

- Akurasi (ketetapan)

- Limit of quantification (LOQ)

- Presisi (ketelitian)

- Reprodusibilitas.

22
BAB VIII

PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA

8.1. Analisis Data

Tujuan utama penilaian BE adalah untuk menghitung perbedaan bioavaibilitas

antara obat uji dan obat komparator, dan untuk menunjukan bahwa tidak ada perbedaan

yang bermakna secara klinik (BPOM, 2015).

Semua data subjek harus dimasukan dalam analisis statistik kecuali jika kadar

obat komparator tidak terukur atau sangat rendah. Subjek dinyatakan mempunyai kadar

obat dalam plasma sangat rendah jika AUC nya kurang dari 5% geometric mean AUC

komparator (dihitung tanpa menyertakan data outlier) (BPOM, 2015).

Observasi yang merupakan outliers tidak boleh dibuang jika tidak ada alasan

yang kuat bahwa telah terjadi kesalahan teknis. Analisis data harus dilakukan dengan

dan tanpa nilai-nilai tersebut dan harus dikaji dampaknya terhadap kesimpulan studi.

Harus dicari penjelasan medis atau farmakokinetik untuk observasi demikian (BPOM,

2015).

8.2. Kriteria Bioekivalen

Kriteria bioekivalen ditetapkan berdasarkan 2 parameter bioavaibilitas, yaitu

AUC0-t dan Cmax. Obat uji (test = T) dan obat komparator (reference = R) dikatakan

bioekivalen jika: (BPOM, 2015)

23
 Rasio nilai rata-rata geometrk (AUC)T / (AUC)R = 1,00 dengan 90% CI = 80,00

– 125,00%. Untuk obat-obat dengan indeks terapi yang sempit, interval ini

harus dipersempit (90,00 – 111,11%).

 Rasio nilai rata – rata geometrik (Cmax)T / (Cmax)R juga = 1,00 dengan 90% CI =

80,00 – 125,00%. Umumnya CV Cmax lebih besar dibanding CV AUC,

sedangkan variabilitas Cmax dinilai tidak begitu relevan secara klinik, maka

kriteria penerimaan Cmax dapat diperlebar hingga maksimum 69,84 – 143,19%.

Ketentuan ini berlaku untuk obat dengan variabilitas tinggi (High Variable

Drug Product), yaitu obat dengan CV intrasubyek Cmax dan/atau AUC >30%.

Untuk memperlebar rentang penerimaan Cmax, uji BE harus menggunakan

design replikasi (RTR atau RTRT). Tabel berikut memberikan CV intrasubyek

yang berbeda untuk menentukan rentang penerimaan Cmax.

CV Intrasubyek* (%) Batas Bawah Batas Atas

30 80,00 125,00
35 77,23 129,48
40 74,62 134,02
45 72,15 138,59
≥ 50 69,84 143,19

2
*CV (%) = 100 √𝑒 𝑆𝑊𝑅 − 1

2
√𝑒 𝑆𝑊𝑅 = MS residual dari within reference

Kriteria penerimaan BE yang diperlebar tidak berlaku untuk AUC.

24
 Perbandingan tmax dilakukan hanya jika ada klim yang relevan secara klinik

mengenai pelepasan zat aktif dari formulasinya atau kerja yang cepat atau

adanya tanda – tanda yang berhubungan dengan efek samping obat.

Nilai 90% confidence interval (CI) dari perbedaan tmax harus terletak dalam

interval yang relevan secara klinik.

Catatan:

Nilai confidence interval (CI) tidak boleh dibulatkan, maka untuk CI 80,00 –

125,00 nilainya harus minimal 80,00 dan tidak lebih dari 125,00.

8.3. Analisis statistik

8.3.1. Dari data darah

- Parameter bioavailabilitas yang dibandinqkan

untuk penilaian bioekivalensi adalah AUC, Cmax dan tmax

- Cara menghitung AUC0-t ; AUC0-∞ , t1/2

- Data yang bergantung pada kadar yakni AUC dan Cmax, harus ditransformasi

logaritmik (ln) terlebih dulu sebelum dilakukan analisis statistik karena kinetik obat

mengikuti kinetik first order sehingga dalam skala logaritmik akan diperoleh distribusi

yang normal dan varians yang homogen. Selanjutnya nilai- nilai ln AUC ke-2 produk

dibandingkan menggunakan analisis varians (ANOVA) untuk desain menyilang 2-way

yang memper- hitungkan sumber-sumber variasi berikut :

25
produk obat yang dibandingkan (Test dan Reference),periode pemberian obat (I dan

II). Demikian juga nilai-nilai ln Cmax ke-2 produk dibandingkan dengan cara yang

sama

26
27
Untuk tmax biasanya hanya dilakukan statistik deskriptif. Jika perlu dibandingkan,

digunakan statistik non-parametrik pada data yang asli (tidak ditransformasi), dengan

α = 5% ;

- Untuk ke-3 parameter tersebut di atas, selain dihitung 90% confidence intervals (90%

CI) untuk perbandingan ke-2 produk, juga dihitung statistik ringkasan seperti nilai rata-

rata arithmetic & geometrik, untuk AUC dan Cmax) atau median (untuk tmax), serta

nilai-nilai minimum dan maksimum;

- Untuk parameter-parameter lainnya seperti Cmin, Fluktuasi, t1/2, dsb., berlaku

pertimbangan- pertimbangan yang sama untuk menggunakan data yang ditransformasi

logaritmik (ln) atau yang tidak ditransformasi.

28
BAB IX

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2015. Pedoman Uji Bioekivalensi. Badan

Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta.

Bogazzi F, Bartalena L, Martino E. Approach to The Patient with amiodaron

– induced thyrotoxicosis. J Clin Endocrinol Metab. 2010; 95: 2529-35.

British Pharmacopoeia. 2009. British Pharmacopoeia Volume 1 & 2. London:

The British Pharmacopoeia Commission.

Conolly SJ. Evidence-based analysis of amiodaron efficacy and safety.

Circulation. 1999;100:2025-34.

DiMarco JP, Gersh BJ, Opie LH. 2005. Antiarrhythmic drugs and strategy. In

Opie Drug of the Heart (Sixth Edition). WB Saunders. Philadelphia

Farhan H, Albulushi A, Taqi A, Hashim AA, et al. 2013. Incidence and

pattern of thyroid dysfunction in patients on chronic amiodaron therapy :

Experience at a tertiary care centre in Oman. The Open Cardiovascular

Medicine Journal. 7 : 122-6

Hazinski, M.F., Berg, R.A., Hemphill, R., Abella, B.S., Aufderheide, T.P.,

29
Cave, D.M., Lerner, E.B., Rea, T.D., Sayre, M.R., Swor, R.A., 2010, Part 5

Adult Basic Life Support: American Heart Association Guidelines for

Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care,

Circulation, vol.22, pp.S685-S705.

Mali P, Salzman MM, Vidaillet HJ. 2014. Amiodaron Therapy for cardiac

arrhytmias : is it associated with the development of cancers. World Journal of

Cardiovascular Disease. 4 : 109-118.

Preda C, Aprotosoale AC, Petris A, Costache II. 2014. Amiodaron – induced

thyroid dysfunction – clinical picture, study on 215 cases. Rev Med Chir Soc

Med Nat Lasi. 118 (2): 359-63.

Shargel, L. Wu-Pong, S. dan Yu, A. B. C. 2012. Biofarmasetika dan

Farmakokinetika Terapan. Edisi Kelima. Penerjemah: Fasich dan Suprapti, B.

Judul buku asli: Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics. Pusat

Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga. Surabaya.

Vetchy David., Vranikova B., Jan Gajdziok,. 2015. Modern Evaluation of

Liquisolid System with Varying Amounts of Liquid Phase Prepared Using Two

Different Methods. BioMed Research International.

Zimetbaum, P. 2007. Amiodarone for Atrial Fibrillation. The New England

Journal of Medicine, 356, 935-941.

30

Anda mungkin juga menyukai