Anda di halaman 1dari 80

78

DAFTAR PUSTAKA

Demiza.radioterafi Dalam: Hilma,Soetjipto.Hemaglobin dan prognosis.


jakarta : FK UI, 1989.p.71-8
Farid Wajdi, Ramsi Lutan. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Referat.Medan
:FK USU, 1998.h. 1-20.
Ho JHC. Staging and radiotherapy of nasopharyngeal carcinoma. In : Cancer in
Asia Pacific. Vol.1. Hong Kong, 1998.p. 487-93.
Kentjono.A,Rasmi lautan. Efek samping radioterafi pada pengobatan carcino
nasofaring. Referat. Medan: FK USU,2000.h.1-16
Kentjono A,W,2003: perkembanan Terkini penatalaksanaan kkarsinoma
Nasofaring.
Pearce, Evelyn C. 2005. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Ramsi Lutan, dkk. Tinjauan tumor ganas nasofaring di poliklinik THT RS.Dr.
Pirngadi Medan tahun 1970-1979. Kumpulan naskah ilmiah Kongres
Nasional VII Perhati., Surabaya, 21-23 Agustus 1983.h. 771-8
R. Susworo, 2007. Dasar - dasar Radio Terapi
Slonane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi.EGC. Jakarta.
Stewar, C.C and Perez, C. Aeffectof Irradiation on
Radiology
Suhartono.1990.Teknik Radio Terapi
T.Yohanita, Ramsi Lutan. Pengobatan karsinoma nasofaring dengan radioterapi.
Laporan kasus. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol.XXVI No.1.
Medan : FK USU, 1996. h. 15-20.
Soetipto D. D.karsinoma nasofaring dalam tumor telinga dan tenggorokan.
Diagnosis penantalaksanaan Jakarta 1989 F.UI
Soepardi, Efiaty aisyad dan nurbaiti iskandar (2000),Buku Ajaran ilmu kesehatan
THT Edisi Empat. FK UI :Jakarta
Witte And Nell 1998 : Lin,2006 Buku tentang anatomi Fisiologi.

Universitas Sumatera Utara


61

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dibagian Radiotrapi. RS Murni Teguh Medan


dengan menggunakan alat pesawat radioterapi LINAC (linear accelerator)

Penelitian ini adalah observasional analitik dengan jumlah sampel 25 penderita


karsinoma nasofaring.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang di gunakan pada penelitian ini adalah pesawat radioterapi LINAC
(Linear accelerator)

1. UNIT TELETERAPI (LINEAR ACCELERATOR)


Type : Multy synergi dengan MLC
Treatmenttype unit : Synergi
Radiation type : Photon
Energi : 6 MV
Merk : Electa
Lokasih/ Tempat : RS.Murni Teguh Medan
Pengambilan data : Di ruang : 1.Radioterapi
2.Rekam Medik

Universitas Sumatera Utara


62

Gambar 3.0 pesawat radioterapi LINAC (linear accelerator)

2. HASIL LABORATORIUM
Bahan yang di gunakan dalam penelitian ini ada lah pasien dengan kasus
karsinoma nasofaring sebanyak 6 orang.

3. DATA REKAM MEDIS.


Data rekam medis pasien lengkap meliputin anamnesa pasien dan diagnose
klinis dokter sebelum menjalanin penyinaran. Pasien melakukan pemeriksaan
darah minimal 3 kali yaitu 1 kali sebelum penyinaran dan 2 kali setelah
penyinaran.

Universitas Sumatera Utara


63

3.3 Flow Chart Penelitian

Adapun diagram Alir pada penelitiaan ini adalah Sebagai berikut:

Start

Fraksinasi

Rekam Medis/Data Lab

Analisa

Selesai

Universitas Sumatera Utara


64

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

Dari hasil pengambilan data yang telah dilakukan dirumah sakit Umum
Murni Teguh bagian radioterapi. maka di peroleh hasil fraksinasi dalam terapi
radiasi ditujukan untuk meningkatkan efek radiasi pada jaringan karsinoma
nasopharing/kanker dan untuk menurunkan efek radiasi pada jaringan normal.
Efek samping pada jaringan normal dapat terjadi, baik akut ataupun lanjut
(kronis). Efek samping akut terkait dengan singkatnya waktu fraksinai, semakin
singkat waktu total radiasi semakin tinggi efek samping akut radiasi. Sedangkan
efek samping lanjut berkaitan dengan besarnya dosis dalam tiap fraksi, semakin
tinggi sosis per fraksi semakin tinggi efek samping lanjut. Dalam penerapannya,
system fraksinasi dibuat dengan skema yang bervariasi, yang didasarkan pada
skema dosis per fraksi, jumlah fraksi, interval waktu fraksi, ataupun berdasarkan
perubahan dosis totalnya.

- Fraksinasi dengan jumlah fraksi 5 kali perminggu. Dosis per fraksi yang
diberikan 1 x setiap hari biasanya berkisar antara 1,8 Gy 2 Gy (minggu
pertama)
- Fraksinasi dengan jumlah fraksi lebih sedikit dari konvensional (1-4 kali
perminggu) tetapi dosis per fraksi yang diberikan lebih besar (3-5 Gy) untuk
mencapai dosis total yang sama dengan faksinasi sebelumnya.
- Besaran dosis total yang diberikan tergantung dari tujuan radiasi (kuratif atau
paliatif) dan jenis histopatotoginya. Dosis kuratif umumnya 25 30 kali,
diberikan 5 kali dalam satu minggu (Senin s.d. Jumat), dengan dosis perkali
yang diberikan : 1,8 2 Gy. Dosis paliatif umumnya 5-20 kali, dengan dosis
perkali yang diberikan 2-5 Gy.
Umumnya sekali radiasi membutuhkan waktu kurang lebih 15-30 menit
mulai pasien masuk ke ruang radiasi, saat penyinaran, sampai pasien kembali ke
luar ruang radiasi. Dalam ruang pengobatan radiasi, anda akan diposisikan persis
sama sewaktu menjalani simulator. Anda diharuskan diam selama pengobatan

Universitas Sumatera Utara


65

berlangsung. Dengan pemberian secara fraksinasi diharapkan secara optimal dapat


tercapai sehinggga prinsip dalam radioterapi untuk mematikan sebanyak mungkin
sel tumor/kanker dapat dicapai tetap melindungi semaksimal mungkin jaringan
sehat disekitarnya.
Dari hasil pengambilan data yang telah dilakukan dirumah sakit Umum
Murni Teguh bagian radioterapi maka diperoleh data pasien sebanyak 6 orang
yang memenuhi metode pengamatan yaitu :

4.1.1 Tabel Dan Hubungan Nilai Hemoglobin Dan Limfosit Terhadap Dosis
Penyinaran Radioterapi

Hubungan Jumlah Hemoglobin dan Limfosit Terhadap Dosis Penyinaran


Radioterapi. Sebagai berikut ini :

Tabel 4.1 Nilai Jumlah Hemoglobin Setiap Pasien terhadap Dosis


Penyinaran Radiotrapi

P
HB
a HB HB HB HB HB HB
Jumlah (gm/dl)
s (gm/dl) (gm/dl) (gm/dl) (gm/dl) (gm/dl) (gm/dl)
Total Sebelum
i Penyinar Penyinar Penyinar Penyinar Penyinar Penyinar
Fraksinasi Penyinar
e an Ke 10 an Ke 15 an Ke 20 an Ke 25 an Ke 30 an Ke 32
an
n
A 32 12,8 12,3 11,5 12,2 10,0 9,3 8,6

B 32 13,3 12,8 12,5 11,1 10,2 9,3 8,9

C 32 13,5 12,5 11,6 10,8 13,3 10,5 9,0

D 32 12,7 11,6 10,8 11,3 10,5 9,4 8,6

E 32 13,4 12,8 12,0 11,8 10,4 9,5 8,7

F 32 13,1 13,8 12,1 10,9 12,4 10,1 9,3

Universitas Sumatera Utara


66

Dan pada table 4.2 adalah nilai normal dari hemoglobin sebagai berikut ;

Tabel 4.2 Nilai Normal Hemoglobin (figo)

No Jenis Nilai Normal Hb


1 Baru lahir 17-24 gm/dl
2 Umur Satu Minggu 15-20 gm/dl
3 Umur Satu Bulan 11-15gm/dl
4 Anak-anak 11-13 gm/dl
5 Lelaki dewasa 14-18 gm/dl
6 Wanita dewasa 12-16 gm/dl
7 Lelaki separuh usia 12.4-14.9 gm/dl
8 Wanita separuh usia 11.7-13.8 gm/dl

Dan pada table 4.3 adalah nilai normal dari limfosit sebagai berikut ini :

Tabel 4.3 Nilai Normal Limfosit (Figo)

Jenis Nilai normal


Basofil 0,4-1%
Eosinofil 1-3%
55-70%

Neutrofil Bayi Baru Lahir 61%

Umur 1 tahun 2%
20-40%

BBL 34%

Limfosit 1 th 60%

6 th 42%

12 th 38%
2-8%
Monosit
Anak 4-9%

Universitas Sumatera Utara


67

Tabel 4.4 Jumlah Limfosit Setiap Pasien terhadap Dosis


Penyinaran Radiotrapi
P
Limposit
a Limposit Limposit Limposit Limposit Limposit Limposit
Jumlah (%)
s (%) (%) (%) (%) (%) (%)
Total Sebelum
i Penyinar Penyinar Penyinar Penyinar Penyinar Penyinar
Fraksinasi Penyinar
e an Ke 10 an Ke 10 an Ke 10 an Ke 25 an Ke 30 an Ke 32
an
n
1 32 28,0 23,5 22,2 22,7 18,5 11,3 10,0

2 32 25,9 22,4 20,1 11,0 17,1 15,1 11,9

3 32 20,8 20,0 18,8 13,7 12,6 11,8 10,0

4 32 24,4 22,9 22,0 20,2 16,9 16,0 10,8

5 32 28,5 25,4 20,8 17,9 11,6 10,6 10,0

6 32 20,0 22,0 17,9 16,8 12,8 10,2 9,8

Universitas Sumatera Utara


68

Grafik Nilai Hemoglobin Pasien A terhadap


Dosis Penyinaran Radiotrapi

HB PASIEN A
14
12,8
12 12,3
11,5 11,2
10 10.0
9,3
8.6 8,6
8

6 Hemoglobin
4

0
HB Sebelum 10 15 20 25 30 32 32Jumlah Penyinaran
Penyinaran

Gambar 4.1. Gambar Grafik Hemoglobin VS Penyinaran

Grafik Nilai Limfosit Pasien A terhadap


Dosis Penyinaran Radiotrapi

Limfosit PASIEN A
30
28.0
25
23,5 22,7
22,2
20
18.5

15

11,3 Limfosit
10 10.0 10

0
Limfosit 10 15 20 25 30 32 32
Jumlah Penyinaran
Sebelum
Penyinara

Universitas Sumatera Utara


69

Hubungan antara dosis radiasi dan reproduksi hemoglobin pada


karsonoma nasofaring produksi hemoglobin dilakukan penyinaran pasein A
hemoglobinnya 12,8 gm/dl setelah itu menurun hemoglobinnya menjadi 8,6 gm/dl
di penyinaran ke 32 kali di sebabkan berkurangnya produksi hemoglobin dan
limfosit dapat disebabkan beberapa faktor yaitu variasi individu sehingga
menyebabkan kemampuan produksi darah berkurang pada penderita karsinoma
nasofaring.
Pada grafik pasien limfosit sebelum dilakukan penyinaran limfosit pasein
A 28,0 setelah penyinaran dilakukan beberapa kali sampai mencapai 32 kali
penyinaran limfosit menurun sampai 10,0 akan berkurang dan mengakibatkan
infeksi bakteri dan virus didalam tubuh.

Grafik Nilai Hemoglobin Pasien B terhadap

Dosis Penyinaran Radiotrapi

HB PASIEN B
14
13,3
12,8 12,5
12
11,1
10 10.2
9,3
8.9 8,9
8

6 Hemoglobin

0
HB Sebelum 10 15 20 25 30 32 32 Jumlah Penyinaran
Penyinaran

Universitas Sumatera Utara


70

Grafik Nilai Limfosit Pasien B terhadap


Dosis Penyinaran Radiotrapi

Limfosit PASIEN B
30

25 25,9

22,4
20 20,1
17.1

15 15,1
11.9 11,9
11.0 Limfosit
10

0
Limfosit 10 15 20 25 30 32 32
Jumlah Penyinaran
Sebelum
Penyinara

Hubungan antara dosis radiasi dan reproduksi hemoglobin pada


karsonoma nasofaring produksi hemoglobin dilakukan penyinaran pasein A
hemoglobinnya 13,3 gm/dl setelah itu menurun hemoglobinnya menjadi 8,9 gm/dl
di penyinaran ke 32 kali. Hemoglobin dan limfosit antara sebelum pemberian
radioterapi dan sesudah pemberian dosis fraksinasi radioterapi memiliki
perbedaan yang signifikan sedangkan limfosit dan hemoglobin tergolong resisten
terhadap radiasi. Di grafik limfosit di fraksinasi ke 10 limfosit semakin menurun
menjadi 11,0 setelah diperiksa limfosit naik menjadi 17,1 di karenakan pasien
kondisinya membaik, mungkin factor makanan dan dibantu obat-obat.

Universitas Sumatera Utara


71

Grafik Nilai Hemoglobin Pasien C terhadap

Dosis Penyinaran Radiotrapi

PASIEN C
16 HB

14
13,5 13.3
12,5
12
11,6
10,8 10,5
10
9.0 9
8
Hemoglobin
6

0
HB Sebelum 10 15 20 25 30 32 32 Jumlah Penyinaran
Penyinaran

Grafik Nilai Limfosit Pasien C terhadap


Dosis Penyinaran Radiotrapi

Limfosit PASIEN C
25

20,8
20 20.0
18,8

15
13,7
12.6
11,8
10 10.0 10 Limfosit

0
Limfosit 10 15 20 25 30 32 32
Jumlah Penyinaran
Sebelum
Penyinara

Universitas Sumatera Utara


72

Grafik Nilai Hemoglobin Pasien D terhadap


Dosis Penyinaran Radiotrapi

HB PASIEN D
14
12,7
12
11,6 11,3
10,8 10.5
10
9,4
9.0 8,6
8

6 Hemoglobin

0
HB Sebelum 10 15 20 25 30 32 32Jumlah Penyinaran
Penyinaran

Grafik Nilai Limfosit Pasien D terhadap


Dosis Penyinaran Radiotrapi

Limfosit PASIEN D
30

25 24,4
22.9
22.0
20 20,2
16.9
16.0
15
10.8
10,8 Limfosit
10

0
Limfosit 10 15 20 25 30 32 32
Jumlah Penyinaran
Sebelum
Penyinara

Universitas Sumatera Utara


73

Grafik Nilai Hemoglobin Pasien E terhadap

Dosis Penyinaran Radiotrapi

HB PASIEN E
16

14
13,4
12,8
12 12.0 11,8

10 10.4
9,5
8.7 8,7
8
Hemoglobin
6

0
HB Sebelum 10 15 20 25 30 32 32 Jumlah Penyinaran
Penyinaran

Grafik Nilai Limfosit Pasien E terhadap


Dosis Penyinaran Radiotrapi

Limfosit PASIEN E
30
28,5

25 25.4

20 20.8
17,9
15

11.6 Limfosit
10 10.6 10.0 10

0
Limfosit 10 15 20 25 30 32 32
Jumlah Penyinaran
Sebelum
Penyinara

Universitas Sumatera Utara


74

Grafik Nilai Hemoglobin Pasien F terhadap


Dosis Penyinaran Radiotrapi

HB PASIEN F
16

14 13,8
13,1
12 12.1 12.4
10,9
10 10,1
9.3 9,3
8
Hemoglobin
6

0
HB Sebelum 10 15 20 25 30 32 32 Jumlah Penyinaran
Penyinaran

Grafik Nilai Limfosit Pasien F terhadap


Dosis Penyinaran Radiotrapi

Limfosit PASIEN F
25

22.0
20 20.0
17.9
16,8
15
12.8
10 10.2 9.8 9,8 Limfosit

0
Limfosit 10 15 20 25 30 32 32
Jumlah Penyinaran
Sebelum
Penyinara

Universitas Sumatera Utara


75

4.2 PEMBAHASAN

Analisis data hubungan hemoglobin dan limfosit terhadap penyinaran


Radioterapi disebut juga penyinaran dan dipilih sebagai salah satu metode
pengobatan pada pasien karsinoma nasofaring. Dengan pemberian secara
fraksinasi diharapkan kondisi pasien semakin membaik karena pemberian
fraksinasi secara optimal sudah dapat dicapai. Sehingga prinsip dalam Radioterapi
untuk mematikan sebanyak mungkin sel-sel karsinoma/kanker dapat dicapai
dengan tetap melindungi semaksimal mungkin jaringan sehat disekelilingnya. Bila
hal ini menjadi semakin parah, biasanya akan ada efek rasa ingin muntah yang
muncul dan tak jarang pasien membutuhkan obat penahan rasa sakit dan
membutuhkan suplemen gizi yang lebih.
Pada kasus ini produksi Hb naik 4,24 % dan pada penderita ini Hb turun
4,07 %. Peningkatan Hb pada kasus ini dapat disebabkan oleh variasi individu
atau injeksi obat eritropoetin selama penyinaran sehingga produksi Hb
meningkat. Radiasi pengion mengganggu sistem nilai hemoglobin dan
menyebabkan penurunan jumlah total sel darah. Peningkatan produksi Hb pada
penderita setelah mendapat radiasi dapat disebabkan Gangguan sistem nilai
hemoglobin akibat penyinaran radioterapi pada kedua kasus yang diteliti
memiliki peluang yang sama besar. Besarnya penurunan sel darah
tergantung dari besarnya dosis radiasi yang diterima, jumlah sel sumsum tulang
yang terkena radiasi dan kemampuan sel sumsum tulang melakukan regenerasi.
Efek radiasi yang ditimbulkan oleh penyinaran teleterapi Cobalt 60 ini
dapat diminimalisir dengan melakukan proteksi radiasi. Pemberian dosis radiasi
secara fraksinasi bertujuan untuk mengurangi efek radiasi, karena dengan
adanya dosis fraksinasi akan memberikan kesempatan pada sel sehat untuk
meregenerasi dirinya. Simulasi yang dilakukan sebelum penyinaran untuk
menentukan luas lapangan radiasi, arah penyinaran, jarak sentrasi dan sudut
penyinaran harus cermat dan teliti sehingga terapi yang diberikan dapat
membunuh sel kanker, tetapi efek pada jaringan sehat seperti sumsum tulang
dapat diminimalisir. Penggunaan blok untuk melindungi jaringan sehat dan
penentuan marker sebagai batas-batas lapangan penyinaran juga harus sesuai
dengan kondisi tumor pasien dan jaringan sehat di sekitar tumor.

Universitas Sumatera Utara


76

Kadar hemoglobin pada pasien karsinoma nasofaring sebelum dan


sesudahmendapatkan radioterapi belum pernah diteliti sehingga pengamatan kadar
hemoglobin pada pasien karsinoma nasofaring di bangsal Telinga Hidung
Tenggorok Kepala-Leher Rumah Sakit Murni Teguh Medan sangat penting,
karena akan berdampak pada asupan makanan dan status gizi pasien yang
mendapat radioterapi. Penelitian kadar hemoglobin pasien karsinoma nasofaring
dapat mengetahui sejauh mana radioterapi berefek pada kadar hemoglobin pasien.
Penelitian lebih lanjut akan mengarah pada kadar hemoglobin pada pasien
karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah radioterapi.
Trombosit berfungsi dalam mekanisme pembekuan darah.
Trombositopenia adalah suatu kondisi dimana jumlah trombosit kurang dari
normal yang disebabkan oleh reaksi awal obat-obatan, malignansi sumsum
tulang, atau radiasi pengion yang merusak sumsum tulang. Keadaan sebaliknya
disebut trombositosis, yaitu peningkatan jumlah trombosit karena pendarahan,
terutama anemia karena kehilangan darah yang kronis, infeksi, pascabedah,
keganasan dan penyakit inflamasi (Campbell, dkk, 2002).
Diketahui rata-rata umur pasien karsinoma nasofaring yang paling banyak
adalah antara umur 49-58 tahun. sementara itu, dari hasil penelitian Dharishini
didapatkan umur yang paling banyak jumlah pasiennya adalah antara umur 40-49
tahun (Dharishini, 2011) dan penelitian Munir didapatkan umur yang paling
banyak antara umur 50-59 tahun. Pasien laki-laki lebih banyak daripada pasien
perempuan, dari teori American Cancer Society menyebutkan laki-laki 2 kali lebih
rentan daripada wanita ini kemungkinan lamanya terpapar zat-zat karsinogen yang
menimbulkan karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2011).

Universitas Sumatera Utara


77

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan di rumah sakir umum
Murni Teguh Medan bagian radioterapi, fraksinasi yang diberikan pada penderita
karsioma nasofaring mempengaruhi nilai hemoglobin dan sel darah putih limfosit.
Dimana data analisis nilai hemoglobin dan limfosit pasien penderita karsinoma
nasofaring menunjukkan adanya penurunan jumlah nilai hemoglobin baik itu
jumlah limfosit maupun sel darah (hemoglobin) peranan hemoglobin menjadi
berkurang. Anemia membuat penurunan jumlah sel darah merah yang ditandai
oleh penurunan Hb (hemoglobin). Karena Hemoglobin letaknya di dalam sel
darah merah. Akibat anemia adalah seorang menjadi merasa lemah, mudah lelah
dan tampak pucat. Dan berdasar penelitian di Murni Teguh Medan, Fraksinasi
yang di berikan pada penderita karsinoma nasofaring dapat mempengaruhi jumlah
hemoglobin dan limfosit pasien

5.2 Saran
Sebaiknya pada saat dilaksanakan penyinaran Radioterapi kepada pasien.
Dilakukan pengambilan cek darah bukan hanya pada saat sebelum dan sesusah
fraksinasi. Tetapi ada baiknya dilakukan juga pengambilan cek darah pada
pertengahan fraksinasi atau per lima kali fraksinasi. Agar dapat diketahui
perkembangan kesanggupan daya tahan tubuh pasien terhadap radiasi yang
diterima terlebih.

Universitas Sumatera Utara


15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hemoglobin

Hemoglobin adalah metaloprotein (protein yang mengandung zat besi) di


dalam sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru
ke seluruh tubuh,[1] pada mamalia dan hewan lainnya. Hemoglobin juga
pengusung karbon dioksida kembali menuju paru-paru untuk dihembuskan keluar
tubuh. Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus
heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi.

Mutasi pada gen protein hemoglobin mengakibatkan suatu golongan penyakit


menurun yang disebut hemoglobinopati, di antaranya yang paling sering ditemui
adalah anemia sel sabit dan talasemia.

Hb merupakan molekul protin di dalam sel darah merah yang bergabung


dengan oksigen dan karbon dioksida untuk diangkut melalui sistem peredaran
darah ke tisu-tisu dalam badan. ion besi dalam bentuk Fe+2 dalam hemoglobin
memberikan warna merah pada darah. Dalam keadaan normal 100 ml darah
mengandungi 15 gram hemoglobin yang mampu mengangkut 0.03 gram oksigen.

Terdapat beberapa cara bagi mengukur kandungan hemoglobin dalam


darah, kebanyakannya dilakukan secara automatik oleh mesin yang direka khusus
untuk membuat beberapa ujian terhadap darah. Di dalam mesin ini, sel darah
merah dipisahkan untuk mengasingkan hemoglobin dalam bentuk larutan.
Hemoglobin yang ini dicampur dengan bahan kimia yang mengandungi cyanide
yang mengikat kuat dengan molekul hemoglobin untuk membentuk
cyanmethemoglobin. Dengan menyinarkan cahaya melalui larutan
cyanmethemoglobin dan mengukur jumlah cahaya yang diserap (khususnya bagi
gelombang antara 540 nanometer), jumlah hemoglobin dapat ditentukan.

Universitas Sumatera Utara


16

Pada hemoglobin biasanya ditentukan sebagai jumlah hemoglobin dalam


gram (gm) bagi setiap dekaliter (100 mililiter). Aras hemoglobin normal
bergantung kepada usia, awal remaja, dan jantina seseorang itu. Normal adalah :-

Tabel 2.1 Nilai Normal Hemaglobin

No Jenis Nilai Normal HB


1 Baru lahir 17-24 gm/dl
2 Umur Satu Minggu 15-20 gm/dl
3 Umur Satu Bulan 11-15gm/dl
4 Anak-anak 11-13 gm/dl
5 Lelaki dewasa 14-18 gm/dl
6 Wanita dewasa 12-16 gm/dl
7 Lelaki separuh usia 12.4-14.9 gm/dl
8 Wanita separuh usia 11.7-13.8 gm/dl

Pada hemoglobin yang rendah merupakan satu keadaan yang dikenali


sebagai anemik. Terdapat beberapa sebab berlakunya anemia. Sebab utama
biasanya kehilangan darah (pendaraan yang terus menerus, operasi, pendarahan
kanker kolon), kekurangan vitamin (besi, vitamin B12, folate), masalah sum-sum
tulang tulang belakang (penggantian sum-sum tulang oleh darah, pemendaman
oleh rawatan dadah chemotherapy, kegagalan buah pinggang (ginjal)), dan
hemoglobin tidak normal (anemia sel sabit).

Darah merupakan bagian yang penting dalam sistem sirkulasi di dalam


tubuh manusia.Darah terdiri dari atas dua bagian yaitu bagian cair (Plasma darah)
dan sel darah.Sel darah meliputin : Eritrosit,Leukosit dan Trombosit.

Limfosit adalah jenis sel darah putih, yang merupakan bagian penting dari
sistem kekebalan tubuh. Limfosit dapat mempertahankan tubuh terhadap infeksi
karena mereka dapat membedakan sel-sel tubuh sendiri dari yang asing.

Setelah mereka mengenali bahan asing dalam tubuh, mereka memproduksi


bahan kimia untuk menghancurkan material. Dua jenis limfosit yang diproduksi
dalam sumsum tulang sebelum kelahiran. Limfosit B, juga disebut sel B, tinggal
di dalam sumsum tulang sampai mereka dewasa.

Universitas Sumatera Utara


17

Setelah dewasa, mereka menyebar ke seluruh tubuh dan berkonsentrasi


dalam limpa dan kelenjar getah bening. T limfosit, atau sel T, meninggalkan
sumsum tulang dan matang dalam timus, kelenjar ditemukan di dada. Hanya
limfosit matang dapat melaksanakan respon imun.

Semua limfosit mampu memproduksi bahan kimia untuk melawan


molekul asing. Setiap molekul diakui oleh tubuh sebagai benda asing yang disebut
antigen. Limfosit A, apakah B atau T, adalah khusus hanya untuk satu jenis
antigen. Hanya ketika antigen yang tepat ditemui apakah sel menjadi dirangsang.

Ada dua jenis utama limfosit T dan masing-masing memainkan peran yang
terpisah dalam sistem kekebalan tubuh. Sel pembunuh T mencari tubuh untuk sel
yang terinfeksi oleh antigen. Ketika sel T pembunuh mengenali antigen yang
melekat pada sel tubuh, menempel pada permukaan sel yang terinfeksi. Kemudian
mengeluarkan bahan kimia beracun ke dalam sel, membunuh kedua antigen dan
sel yang terinfeksi.

Sel T helper melepaskan bahan kimia yang disebut sitokin, ketika


diaktifkan oleh antigen. Bahan kimia ini kemudian merangsang limfosit B untuk
memulai respon kekebalan tubuh mereka. Ketika sel B diaktifkan, menghasilkan
protein yang melawan antigen, yang disebut antibodi. Antibodi spesifik hanya
untuk satu antigen, sehingga ada banyak jenis sel B dalam tubuh.

Pertama kali antigen yang dihadapi, respon imun primer, reaksi lambat.
Setelah dirangsang oleh sel T helper, sel B mulai meniru dan menjadi baik sel
plasma atau sel memori. Sel plasma menghasilkan antibodi untuk melawan
antigen, tetapi antigen juga memiliki waktu untuk berkembang biak. Pengaruh
antigen pada sel-sel tubuh yang menyebabkan gejala penyakit. Awalnya, itu dapat
mengambil hari atau bahkan berminggu-minggu untuk antibodi yang cukup untuk
diproduksi untuk mengalahkan materi menyerang.

Sel plasma terus berkembang biak dan menghasilkan antibodi selama


infeksi, tapi tidak hidup lama. Sel plasma mati dalam beberapa hari. Antibodi
tetap dalam sistem untuk sedikit lebih lama, tetapi biasanya kerusakan dalam

Universitas Sumatera Utara


18

waktu seminggu. Sel memori tetap dalam tubuh lebih lama dari sel plasma dan
antibodi, seringkali tahun. Mereka adalah penting untuk memberikan kekebalan.

Gambar 2.0 Limfosit

Keterangan Gambar :
a. Sel T Matang dalam Timus.
b. Sel T Sitotoksik secara langsung.
c. Menyerang sel-sel asing.
d. Sel T Helper merangsang sel B.
e. Sel B berubah menjadi sel Plasma.
f. Melepaskan antibody kedalam aliran darah.
g. Sel B berdiferensiasi menjadi sel Memori

Jika antigen menginfeksi tubuh lagi, sel-sel memori merespon segera.


Mereka mulai berkembang biak segera dan menjadi sel plasma. Hal ini
menyebabkan antibodi yang akan diproduksi praktis seketika. Dalam infeksi
kemudian, respon sangat cepat yang gejala dapat dicegah. Hal ini dikenal sebagai
respon imun sekunder dan apa yang memberikan kekebalan terhadap orang
penyakit.

Universitas Sumatera Utara


19

2.2 Karsinoma Nasofaring


2.2.1 Defenisi
Kanker Nasofaring adalah sejenis kanker atau tumor ganas yang tumbuh
pada nasofaring. Nasofaring adalah bagian sistem pernafasan yang terdiri dari dua
kata Naso yang berarti hidung dan Faring yang berarti tenggorokan. Jadi
Nasofaring adalah hidung bagian dalam (bagian belakang) hingga ke tenggorokan.

2.2.2 Gejala Karsinoma Nasofaring


Gejala Kanker Nasofaring Ciri-ciri atau Tanda-tanda kanker nasofaring
yang dapat kita amati yaitu kesulitan bernapas karena penyempitan pada daerah
nasofaring, tentunya juga gangguan berbicara dengan produksi suara yang
terdengar sengau, selain itu bisa juga terdapat gangguan pendengaran. Selain
gejala utama kanker nasofaring diatas, cermati juga tanda-tanada berikut ini yang
mengharuskan Anda untuk periksa ke dokter: Terdapat benjolan di hidung atau
leher. Sakit tenggorokan. Kesulitan bernapas atau berbicara termasuk suara serak
Mimisan atau keluar darah dari hidung (epistaksis) Gangguan pendengaran Infeksi
telinga yang terus datang kembali Nyeri pada telinga atau telinga berdenging Sakit
kepala Pandangan kabur atau ganda Wajah nyeri atau mati rasa Hidung tersumbat

2.2.3 Epidomologi
Kurang lebih, lima dari 100.000 penduduk Indonesia adalah pengidap
penyakit kanker nasofaring. Kanker nasofaring masuk dalam kelompok lima besar
tumor ganas yang sering dijumpai di Indonesia, bersama-sama dengan kanker
payudara, leher rahim, paru dan kulit. Kanker ini ditemukan dua kali lebih banyak
pada pria dibandingkan wanita. Di Indonesia perbandingan jumlah penderita etnis
tionghoa 3 kali lebih sering terjadi dibandingkan etnis melayu. Umumnya (sekitar
60%) kanker ini mengenai pasien yang berusia antara 25 sampai 60 tahun.
Meskipun usia bertahan hidup 5 tahun dari pasien KNF menurut perpustakaan-
50%, namun angka kematian kanker ini di Indonesia cukup tinggi. Hal ini
disebabkan sebagaian besar penderita datang dalam stadium lanjut.
Gejala penyakit kanker nasofaring biasanya hanya mimisan atau hidung
berbau. Namun pada tahap selanjutnya gejala kanker nasofaring akan membuat

Universitas Sumatera Utara


20

gangguan pada penglihatan akibat kelumpuhan otot-otot kelopak mata. Penderita


menjadi sukar atau tidak bisa membuka kelopak mata secara normal. Bisa juga
pandangan penderita mejadi ganda atau dobel. Selain itu bias juga terjadi nyeri
kepala yang menelan, tidak bisa bersuara, dan lain-lain. Secara tidak langsung hal-
hal ini mengakibatkan kondisi fisik dan sosial penderita akan menurun secara
dratis.
Yang paling berat, adalah jika melalui darah dan aliran darah limfe sel-sel
kanker menyebar (matastase) mengenai organ tubuh yang letaknya jauh seperti
tulang, paru dan hati. Gejala yang timbul adalah sesuai dengan gejala akibat
kerusakan organ-organ tersebut. Apabila didapati gejala penyerta seperti nyeri
tulang, sesak, asites, dan lain-lain, umumnya merupakan tanda suatu bahwa saat
itu penyakit sudah jauh menyebar (stadium lanjut) dan sukar diobati lagi.
Pengobatan yang dilakukan hanya bersifat meringankan penderita baik semasa
hidup maupun meninggalnya.
Infeksi virus Epstein Barr memegang peranan penting dalam timulnya
kanker nasofaring ini. Virus ini dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di
orofaring, nasofaring kelenjar parotis dan kelenjar ludah tanpa menimbulkan
gejala. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator.

2.2.4 Etiologi
Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai
penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam
tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka
waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator.
Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa
kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini
sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.

Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma


nasofaring yaitu :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.
2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti :

Universitas Sumatera Utara


21

- benzopyrenen
- benzoanthracene
- gas kimia
- asap industri
- asap kayu
- beberapa ekstrak tumbuhan
4. Ras dan keturunan
5. Radang kronis daerah nasofaring
6. Profil HLA.

2.3 Anatomi Nasopharing


Nasofaring adalah celah sempit berbentuk tabung yang di lapisin mukosa
dan berfungsi untuk menghubungkan rongga hidung ke orofaring. Sisi anterior di
batasin oleh koana posterior dan septum hidung, pada bagian dasar dibentuk oleh
permukaan atas dari palatum mole dan berhubungan dengan orofaring di setinggi
uvula.Dinding posterior nasofaring terbentudi anterior vertebra servikal I II, pre
vertebra dan bukofaringengeal, superior dari otot konstriktor faringeus serta
aponeurosis faringeal. Atap dari nasofaring di bentuk oleh tulang basis- sfenoid
dan basis oksipital dari basis cranii. Nasofaring merupakan suatu rongga dengan
dinding kaku d atas nya belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk ke
bagian faring.pada dingding nasofaring melengkung kearah superior anterior dan
terletak di bawah os sfenoid sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan
dengan ruang retrofiring otot otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring
terdapat ORIFISIUM TUBA EUSTAKIUS dan akan menggangu pendengaran
ke arah postero superior dari torus tubarius terdapat fossa rosenmuller yang
merupakan lokasih tersering karsinoma nasofaring.pada atap nasofaring sering
terlihat lipatan lipatan dinding mukosa yang di bentuk oleh jaringan lunak sub
mukosa, dimana pada usia mudadinding postero superion nasofaring umum nya
tidak rata. Hal ini sebab kan karena ada nya jaringan adenoid.
Nasofaring merupakan bagian dari histologi diliputin oleh epitelbersilia
saluran napas.variasi epitelskuamosa juga sering dtemui pada nasofaring.
Karsinoma nasofaring memiliki beberapa jalur penyebaran local dengan perluasan

Universitas Sumatera Utara


22

yang paling sering adalah rongga hidung, sinus orofaring,ruang parafaring, dan
basis cranii. Struktur orbita, vertebra servikal dan struktur pterygoid pada stadium
lanjut dapat terlibat.
Tumor dapat meluas melalui foramen laserum,ovale, atao spinosum yang
berfotensi melibat kan saraf kranial II hingga VI. Tumor dapat mencapai cranium
melalui kanalis korotikus, foramen jugularis atau kanalis hipoglosus pada kasus
yang lebih jarang.

Gambar 2.1 : Anatomi nasofaring (http//:Brain-klinik-blogspot.com,2008)

Nasofaring mendapat suplai darah dari cabang eksternal arteri karotis dengan
drainase vena menuju pleksus faringeal menuju vena jugularis interna. Persaratan
nasofaring diperoleh dari cabang saraf kranial V2, IX, dan X serta saraf simpatis.
Nasofaring kaya akan jaringan limfatik dengan beberapa jalur drainase. Level
pertama adalah kelenjar getah bening(KGB) yang berada di ruang parafaring dan
retrofiring.

Universitas Sumatera Utara


23

2.4 Patologi

Kira kira 90% karsinoma yang terdiferensi sedang 10% sebagian besar
merupakan limpoma tetapi juga bias berupa plasmacytoma. Sedang tumor yang
berasal dari kelenjar liur berupa melanoma. Rhabdomyosarcoma dan chordoma.
Karsinoma adenoid cystic pada nasofaring jarang terjadi,sedang sarcoma kadang
muncul dari embrional atau jaringan ikat. Kebanyakan limpoma nasofaring
bersifat limpoma sel mayor nonhodgkin.

Karsinoma nasofaring juga di kenal sebagai tumor ganas yang berpotensi


tinggi mengadakan metastasis regional mau pun jauh. Karsinoma nasofaring
sensitive terhadap radioterapi mau pun kemoterapi. Klasifikasi gambaran
histopatologi yang direkomendasikan di bagi menjadi 3 tipe yaitu Tipe 1 : dengan
Karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi, tipe ini dapat dibagi menjadi
diferensiasi baik, sedang dan buruk. Tipe 2 Karsinoma sel skuomosa tampa
keratinisasi. Pada tipe ini di jumpai ada nya diferensiasi, tetapi tidak ada inter
sel.Pada umum nya batas sel cukup jelas. Tipe 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi.
Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang
vesikuler,berbentuk oval atau bulat dengan nucleoli yang jelas.pada umum nya
batasan sel tidak terlihat dengan jelas.
Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa deferensiasi mempunyai sifat radiosensitive dan
mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-barr, sedangkan jenis karsinoma
selskuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitifdan tidak
menunjukkan hubungan dengan anti virus Epstein-barr.

2.5 Radang Kronis di Daerah Nasofaring.


Peradangan menyebabkan mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap
karsinogen lingkungan.
Gejala dan Tanda, Karsinoma nasofaring termasuk penyakit yang sulit
disembuhkan, maka diagnosa dan pengobatan yang sedini mungkin memegang
peranan penting untuk mengetahui gejala dini karsinoma nasofaring, karena tumor
masih terbatas di rongga nasofaring.

Universitas Sumatera Utara


24

Gejala dan tanda pada penderita karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam
beberapa kelompok, yaitu Gejala dini dan Gejala hidung . Berupa epistaksis
(mimisan) ringan atau sumbatan hidung. Untuk itu nasofaring harus diperiksa
dengan cermat kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum
ada namun tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di
bawah mukosa (creeping tumor). Tumor yang terus tumbuh menyebabkan
permukaan mukosa meninggi. Pertumbuhan tumor yang berlanjut akan meluas ke
dalam rongga nasofaring, menutupi koana dan menyebabkan hidung buntu yang
menetap. Gejala telinga, merupakan gejala dini yang timbul . Karena tempat asal
tumor dekat muara tuba eustachius (fossa rosenmuller). Gangguan dapat berupa
penyumbatan muara tuba, telinga tengah akan terisi cairan, cairan yang diproduksi
makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga,
penderita mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai
dengan gangguan pendengaran.
Gejala lanjut, gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Tumor
dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan
belakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan
gejala akibat kelumpuhan otak syaraf yang sering ditemukan adalah penglihatan
dobel, mati rasa di daerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah,
gangguan pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa
sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak, rahang tidak dapat
dibuka akibat kekakuan otot-otot yang terkena tumor. Gejala Metastasis Sel-sel
kanker dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh
yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh, sering
terjadi pada tulang, hati dan paru. Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk
benjolan di leher.

2.6 Diagnosa
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu carsinoma
pasti serta stadium tumor : Anamnesis
Mencakup keluhan nyeri kepala, suara bindeng, penglihatan ganda, pendarahan
hidung atau mulut serta nyeri tulang. Pemeriksaan fisik umum dengan menilai

Universitas Sumatera Utara


25

keadaan umum, pembesaran hati atau nyeri ketok pada tulang belakang.
Pemeriksaan lokal menilai kelainan neurologik seperti mata juling, lidah dan
mulut yang mencong, baal di wajah. Pemeriksaan regional dengan melihat
pembesaran kelenjar getah bening leher. Biopsi untuk menentukan tumor primer
atau berasal dari metastasis.Pemeriksaan patologi anatomi untuk menentukan jenis
histopatologi tumor primer. Pemeriksaan radiologi polos untuk menilai adanya
invasi intrakranial atau destruksi tulang-tulang tengkorak. CT Scan (computerized
tomography) dan MRI (Magnetic Resonance imaging) merupakan pemeriksaan
yang mutlak dilakukan untuk menentukan stadium dan tindakan. Sedang
pemeriksaan USG untuk mencari kemungkinan metastasis pada hati. Foto
Thoraks rutin dilakukan untuk kemungkinan metastasis paru. Pemeriksaan
kedokteran nuklir atas indikasi stadium lanjut dan bila ada keluhan tulang-tulang
panjang atau tulang belakang.

2.7 Stadium ( NN 2008)


Sistem klasifikasi stadium karsinoma nasofaring (KNF) yang dipakai saat
ini ada beberapa macam antara lain menurut UICC, AJCC atau sistem Ho. Pada
tahun 1997 AJCC (American Joint Committee on Cancer) AJCC mengeluarkan
sistem klasifikasi stadium terbaru yaitu edisi ke-5, menggantikan edisi ke-4
(1988). Berikut ini adalah sistem klasifikasi stadium menurut AJCC 1997 :
Stadium T (Ukuran luas tumor) T4 Tumor meluas ke intrakranial dan atau
melibatkan syaraf kranial, hipofaring, fossa infratemporal atau orbita.

Pembagian stadium berdasarkan klasifikasi TNMnya disusun sebagai berikut


seperti pada tabel 2 berikut ini :
T0 Tak ada kanker di lokasi primer
T1 Tumor terletak atau terbatas di daerah nasofaring
T2 Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau ke kavum nasi.
T2a Tanpa perluasan ke ruang parafaring
T2b Dengan perluasan ke parafaring
T3 Tumor menyeberang struktur tulang dan atau sinus paranasal
T4 Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak
atau saraf saraf otak.

Universitas Sumatera Utara


26

Tabel 2.2 Stadium KNF

Stadium KNF
T Tumor primer

T0 Tidak tampak tumor

T1 Tumor terbatas pada satu batas saja


Tumor terdapat pada dua lokasi atau lebih
T2 tetapi masih terbatas pada rongga
nasofaring
T3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring
Tumor telah keluar dari nasofaring dan
T4 telah masuk tulang tengkorak atau saraf
saraf otak
Tumor tidak jelas besarnya karena
Tx
pemeriksaan tidak lengkap
REGIONAL LIMFE NODES (N)

N0 Tidak ada pembesaraan


Terdapat pembesaraan tetapi homolateral
N1
dan masih bisa digerakkan
Terdapat pembesaraan kontralateral/
N2
bilateral dan masih dapat digerakkan
Terdapat pembesaraan, baik homolateral,
N3 kontralateral maupun bilateral yang sudah
melekat pada jaringan sekitar
METASTASE JAUH (M)

M0 Tidak ada metastase jauh

M1 Metastase jauh

- Stadium I : T1 No dan Mo
- Stadium II : T2 No dan Mo
- Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 atau T3 dan No dan Mo
- Stadium IV : T4 dan No/N1 dan Mo atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan Mo
atau T1/T2/T3/T4 dan No/N1/N3/N4 dan M

2.8 Pengobatan Karsinoma Nasofaring.


Trafi kanker nasofaring terutama meliputi operasi, kemoterapi dan
radioterafi. Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring
ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut

Universitas Sumatera Utara


27

atau pada keadaan kambuh. Operasi, Tindakan operasi pada penderita karsinoma
nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher
dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan
kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Nasofaringektomi
merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh
atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
Radioterapi, sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting
dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring (Perez C.A, 2004). Penatalaksanaan
pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa
kemoterapi. Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna
dengan menggunakan sinar pengion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor
sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak
menderita kerusakan terlalu berat.
Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap
merupakan terapi terpenting (Gunadi dan Amriatun, 1996). Strategi pengobatan
radioterapi konvensional untuk karsinoma nasofaring lokoregional lanjut adalah
radiasi eksterna dengan total dosis mencapai 66-70 Gy(gray) untuk T1-T2 dan 70-
75 Gy untuk T3-T4, selama 7 minggu, 5 kali penyinaran dalam seminggu dengan
2 Gy perfraksi. Pada saat dosis mencapai 40 Gy, medulla spinalis harus
dikeluarkan dari lapangan radiasi, sedangkan dosis untuk leher bawah dan fosa
supraklavikula dengan lapangan dari anterior sampai dengan 50 Gy dengan 2 Gy
perfraksi.

Universitas Sumatera Utara


28

2.9 Konsep Dasar Radioterapi


2.9.1 Definisi Radioterapi
Terapi radiasi merupakan terapi yang menggunakan radiasi ionisasi tinggi
yang digunakan untuk mengganggu pertumbuhan selular. Terapi ini merupakan
terapi local yang digunakan sendiri atau kombinasi dengan terapi lain (Otto,
2005).
Radioterapi adalah jenis terapi yang menggunakan radiasi tingkat tinggi
untuk menghancurkan sel-sel kanker. Baik sel-sel normal maupun sel-sel kanker
bisa dipengaruhi oleh radiasi ini. Radiasi akan merusak sel-sel kanker sehingga
proses multiplikasi ataupun pembelahan sel-sel kanker akan terhambat
(Tjkronagoro,2001).

2.9.2 Tujuan Radioterapi


Pengobatan secara radikal, sebagai terapi paliatif yaitu untuk mengurangi
dan menghilangkan rasa sakit atau tidak nyaman akibat kanker dan sebagai
adjuvant yakni bertujuan untuk mengurangi risiko kekambuhan dari kanker.
Dengan pemberian setiap terapi, maka akan semakin banyak sel-sel kanker yang
mati dan tumor akan mengecil. Sel-sel kanker yang mati akan hancur, dibawa oleh
darah dan diekskresi keluar dari tubuh. Sebagian besar sel-sel sehat akan bisa
pulih kembali dari pengaruh radiasi.

2.9.3 Jenis Radioterapi


Dikenal beberapa jenis radioterapi, yaitu radioterapi eksternal dimana
terdapat jarak antara sumber radiasi dengan kulit penderita dengan Cobalt 60 atau
linear accelerator. Lapangan operasi digambar lebih dahulu sebelumnya atau
pada hari radiasi dan penderita disuruh datang pada jam yang telah ditentukan
tanpa persiapan khusus. Brachiterapi yaitu sumber radiasi ditempelkan pada
tumor, contohnya brachiterapi intracavitair karsinoma serviks dan radiasi internal
dengan memasukkan cairan radioaktif secara oral ataupun intravena. Misalnya
dengan menggunakan Jodium 131 radioaktif untuk terapi adenokarsinoma
papiliferum dan folikular tiroid.

Universitas Sumatera Utara


29

Radioterapi merupakan suatu jenis pengobatan yang menggunakan atau


memanfaatkan sinar pengion (sinar-x,sinar gamma) dan partikel lain
(neutron,proton) untuk mematikan sel sel kanker.Penggunaan sinsr-x untuk
terapi kanker kulit sudah di rintis oleh J.E. Gilman ilmuwan eropa sejak akhir
abad 19.Cara cara penyinaran kanker tergantung pada letak kanker dan jenis
pesawat yang digunakan saat ini adalah pesawat linear accelerator
(LINAC).Metode radioterapi di sesuaikan dengan tujuan yaitu tujuannya yaitu
pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker serta sel yang telah menjalar
keseluruh tubuh yang lain atau bermetastasis ke kelenjar getah bening dengan
tetap mempertahankan sebanyak mungkin jaringan sehat di sekitar
nya.Radioterapi dengan dosip kuratif diberikan pada kanker stadium 1 sampai III
B.Sedangkan radioterapi dengan tujuan paliatif bertujuan untuk memberikan
kualitas hidup yang lebih baik dan radioterapi ini diberikan secara selektif pada
stadium IV A.
Sejarah Radioterapi penemuan sinar-x Wilhelm Conrad Rontgen (Bulan
nopember tahun 1895) merupakan suatu revolusi baru dalam dunia
kedokteran.Wilhelm Conrad Rontgen dalam penyelidikannya menemukan hampir
semua sifat sinar rontgen yaitu adalah sifat sifat fisika dan kimianya.Namun ada
satu sifat yang tidak sampai diketahuiannya yaitu sifat biologik yang dapat
merusak sel sel hidup.Sejalan dengan berjalannya waktu itu belum sampai
terpikirkan bahwa sinar ini dapat membahayakan dan merusak sel hidup
manusia.Namun pada abad ke-20 ternyata banyak pioneer menjadi korban sinar
ini.Kelainan biologic yang di akibatkan sinar-x adalah merupakan kerusakan pada
sel sel hidup yang merupakan dalam tingkat diri nya hnya sekedar perubahan
warna sampai menghitamnya kulit bahkan rambut menjadi rontok .Dosis sinar
yang terlalu tinggi dapat mengkibatkan terjadinya iritasi kulit kadang sampai
nekrosis bahkan bila dilanjutkan penyinaran bias menjadi tumor kulit.
Sejalan dengan perkembangan diagnostic mulai juga perkembangan di
bidang terapi.Sinar-x di temukan pada bulan Maret tahun 1896.Uranium di
temukan oleh Bacquere dan M.Curie secara bersamaan,namun tidak di ketahuian
apa kegunaannya.Sekitar 3 dasawarsa Radium memancarkan radiasi gamma,baru
lah digunakan untuk terapi kanker.Sekitar tahun 1951 usaha peningkatan kwalits

Universitas Sumatera Utara


30

radiasi sinar-x kilovolt menjadi radiasi gamma Co 60 di mulai.Perkembngan


teknologi didunia kedokteran talah membantu penderita penyakit kanker untuk
sembuh dari sakit yang dideritanya. Cukup banayak penderita kanker yang
berobat kerumah sakit menerima terapi radiasi. Radiasi yang diterima dapat
berupa terapi tunggal dan kadang dikombinasikan. Terapi radiasi umumnya
bertujuan untuk : kuratif yakni, secara langsung mencegah terjadinya metatase
yang jauh. Mengecilkan tumor, mengatasi pendarahan, menghilangkan gejala
neulogik akibat metatase ( Suhartono,1990 ).
Radioterapi atau disebut juga terapi radiasi adalah terapi menggunakan
radiasi yang bersumber dari energi radioaktif.
Terapi radiasi yang juga disebut radioterapi, irradiasi, terapi sinar-x, atau
istilah populernya "dibestral" ini bertujuan untuk menghancurkan jaringan kanker.
Paling tidak untuk mengurangi ukurannya atau menghilangkan gejala dan
gangguan yang menyertainya.
Tidak hanya sel kanker yang hancur oleh radiasi. Sel normal juga. Karena
itu dalam terapi radiasi dokter selalu berusaha menghancurkan sel kanker
sebanyak mungkin, sambil sebisa mungkin menghindari sel sehat di sekitarnya.
Tetapi sekalipun terkena, kebanyakan sel normal dan sehat mampu memulihkan
diri dari efek radiasi. Radiasi bisa digunakan untuk mengobati hampir semua jenis
tumor padat termasuk kanker otak, payudara, leher rahim, tenggorokan, paru-paru,
pankreas, prostat, kulit, dan sebagainya, bahkan juga leukemia dan limfoma. Cara
dan dosisnya tergantung banyak hal, antara lain jenis kanker, lokasinya, apakah
jaringan di sekitarnya rawan rusak, kesehatan umum dan riwayat medis penderita,
apakah penderita menjalani pengobatan lain, dan sebagainya.
Radioterapi disebut sebagai prosedur utama penanganan kanker otak. Buat
teman teman yang sedang menimbang pengobatan kanker otak yang mau dipilih,
maka mungkin info tentang alat/teknik radioterapi ini bisa bermanfaat :
Brachytherapy adalah radioterapi yang bersifat internal. Partikel radioaktif
(yang berbentuk biji kecil) dimasukkan lewat kateter ke dalam organ tubuh tempat
lokasi tumor berada.
Setelah berada di posisi, radioaktif kemudian segera dilepaskan untuk membakar
sel sel tumor.

Universitas Sumatera Utara


31

Brachytherapy bisa dilakukan pada kanker: prostat, payudara, usus, paru, serviks,
rektum, sarkoma, serta kanker leher dan kepala.
Teknik bedah dengan memanfaatkan sinar laser ini memungkinkan para
penderita kanker, khususnya kanker otak, tidak perlu melakukan operasi
pembedahan kepala (buka tempurung kepala) demi mengobati tumornya.
Operasi ini melibatkan penggunaan robot canggih dan sinar laser yang
diarahkan tepat ke daerah tumor tuk membakar tumornya.
Istilah lain adalah Cyberknife. Cyberknife digunakan untuk memperlambat
pertumbuhan tumor otak yang masih kecil ukurannya, tetapi posisinya sulit
dijangkau (jauh di dalam otak).
Jenis jenis tumor yang dapat diatasi dengan Cyberknife ini antara lain:
Kanker yang telah metastase ke otak (dari organ lain)
Tumor syaraf yang pertumbuhannya lambat (accoustic neuroma)
Tumor pituitari
Tumor saraf belakang (spinal cord tumor)

2.9.4 Efek Samping Radioterapi


Efek samping radioterapi bervariasi pada tiap pasien. Secara umum efek
samping tersebut tergantung dari dosis terapi, target organ dan keadaan umum
pasien. Beberapa efek samping berupa kelelahan, reaksi kulit (kering, memerah,
nyeri, perubahan warna dan ulserasi), penurunan sel-sel darah, kehilangan nafsu
makan, diare, mual dan muntah bisa terjadi pada setiap pengobatan radioterapi.
Kebotakan bisa terjadi tetapi hanya pada area yang terkena radioterapi. Radiasi
tidak menyebabkan kehilangan rambut yang total. Pasien yang menjalani radiasi
eksternal tidak bersifat radioaktif setelah pengobatan sehingga tidak berbahaya
bagi orang di sekitarnya. Efek samping umumnya terjadi pada minggu ketiga atau
keempat dari pengobatan dan hilang dua minggu setelah pengobatan selesai.
Untuk mengurangi efek samping radioterapi beberapa hal perlu dilakukan.
Bila terdapat kelelahan, pasien dianjurkan untuk tetap beraktivitas seperti biasa,
bila memang diperlukan maka aktivitas bisa dikurangi, usahakan untuk bisa tidur
nyenyak di malam hari serta beristirahat yang cukup. Bila terjadi kehilangan nafsu
makan maka sebaiknya pasien dianjurkan untuk makan segala makanan yang

Universitas Sumatera Utara


32

diinginkan, makan dalam jumlah kecil tetapi sering, hindari memakan makanan
yang kering, minum banyak air, bisa diberikan makanan suplemen untuk
meningkatkan nafsu makan. Perubahan kulit yang terjadi bisa dikurangi dengan
tidak menggunakan produk-produk pada kulit sebelum radioterapi, menggunakan
baju yang tidak terlalu sempit, menggunakan sabun yang lembut dan air hangat
pada saat membasuh tubuh, dilarang menggosok terlalu keras pada area yang
terkena radioterapi, hindari temperatur yang terlalu panas atau terlalu dingin serta
hindari sinar matahari langsung.
Pada umumnya efek samping dari radioterapi akan hilang dengan
sendirinya setelah pengobatan dihentikan. Tetapi pada beberapa kasus yang jarang
akan terjadi efek samping yang berkepanjangan karena radiasi menyebabkan
kerusakan pada organ dalam yang berhubungan atau berdekatan dengan tempat
tumor.
Sedangkan radiasi pascabedah pada umumnya sama dengan diatas dengan
kelebihan tidak menghilangkan pola gambaran histopatologik sehingga dapat
diperoleh diagnosis patologik anatomik dn stadium yang akurat.
Radiasi eksterna ini terutama diperlukan pada kasus dengan gradiasi
diferensiasi tinggi. Salah stu dari banyak penelitian melaporkan bahwa tumor
dengan gradiasi diferensiasi tinggi mempunyai kecenderungan yang tinggi pula
untuk terjadinya invasi miometrium yang dalam serta keterlibatan kelenjar getah
bening parailiakal dan dalam presentase yang lebih rendah ke paraaortal.
Brakhiterapi harus diberikan setelah radiasi eksterna pada kasus
pascabedah yang masih dijumpai sel tumor pada margin operasi.
Kombinasi pembedahan dan radioterapi telah menurunkan kemungkinan
kambuh vagina menjadi 0-8% dibandingkan apabila tidak memperoleh radiasi
pascabdeah sebanyak 218%. Kekambuhan pada pelvis tercatat sebanyak 10-
20%. Apabila pasien menjalani pembedahan saja, angka ini menurun menjadi 0-
6,5% apabila pembedahan ini diikuti dengan radiasi. Sedangkan kekambuhan
lokoregional dijumpai pada pasien yang memperoleh operasi saja sebanyak 14-
31%, tetapi menjadi 8,7%-25% apabila operasi diikuti dengan radiais.

Universitas Sumatera Utara


33

2.10 Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring (Perez C.A, 2004). Penatalaksanaan
pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa
kemoterapi. Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna
dengan menggunakan sinar pengion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor
sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak
menderita kerusakan terlalu berat.
Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap
merupakan terapi terpenting (Gunadi dan Amriatun, 1996). Strategi pengobatan
radioterapi konvensional untuk karsinoma nasofaring lokoregional lanjut adalah
radiasi eksterna dengan total dosis mencapai 66-70 Gy untuk T1-T2 dan 70-75 Gy
untuk T3-T4, selama 7 minggu, 5 kali penyinaran dalam seminggu dengan 2 Gy
perfraksi. Pada saat dosis mencapai 40 Gy, medulla spinalis harus dikeluarkan
dari lapangan radiasi, sedangkan dosis untuk leher bawah dan fosa supraklavikula
dengan lapangan dari anterior sampai dengan 50 Gy dengan 2 Gy perfraksi

2.11 Teknik Radioterapi Dapat Dilakukan Dengan Cara :


a. Radiasi Eksterna
Pengobatan kanker dengan menggunakan teknik radioterapi dapat
dilakukan dengan cara radiasi ekterna. Sumber sinar berupa sinar-X atau
radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh. Sinar diarahkan ke tumor yang akan
diberi radiasi. Besar energi yang diserap oleh suatu tumor tergantung dari :
Besarnya energi yang dipancarkan oleh sumber energi Jarak antara sumber energi
dan tumor, Kepadatan massa tumor.
Pada radiasi eksterna cakupan daerah yang memperoleh radiasi cukup
luas, meliputi bukan hanya tumor primer dan jaringan sehat sekitarnya saja tetapi
juga kelenjar getah bening setempat. Makin luas cakupan radiasi makin banyak
jaringan sehat yang terikutserta terkena radiasi. (Susworo R,2007)

Universitas Sumatera Utara


34

b Radiasi Interna
Sumber energi ditaruh di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di
dalam rongga tubuh. Adapun tujuan pemberian brakhiterapi pada karsinoma
nasofaring antara lain :
Untuk memberikan dosis boster pada tumor primer yang telah
memperoleh radiasi eksterna. Untuk menghindari kelenjar parotis serta jaringan
sehat sekitarnya memperoleh dosis berlebihan dari radiasi eksterna.
Ada beberapa jenis radiasi interna :
a. Interstitial
Radioisotop yang berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya
jarum radium atau jarum irridium.
b. Intracavitair
Pemberian radiasi dapat dilakukan dengan :After loading Suatu aplikator
kosong dimasukkan ke dalam rongga tubuh ke tempat tumor. Setelah aplikator
letaknya tepat, baru dimasukkan radioisotop ke dalam aplikator itu.
Instalasi Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh, misal : pleura
atau peritoneum.
c. Intravena
Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam vena. Misalnya I131 (Radioisotop
yang penting dari unsure iodium) yang disuntikkan IV akan diserap oleh tiroid
untuk mengobati kanker tiroid.

2.12 Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring


Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis
histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Mental
dan fisik penderita perlu dipersiapkan demikian pula keluarganya diberikan
penjelasan mengenai tindakan pengobatan ini, tujuan pengobatan, efek samping
yang mungkin timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan
Penanganan karsinoma nasofaring yang disesuaikan dengan stadiumnya
dapat dijabarkan sebagai berikut (Kentjono A.W, 2003):

Universitas Sumatera Utara


35

1) Stadium I :
Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring dan radiasi
profilaktik di daerah leher.
Stadium II : 1) Kemoradiasi, atau
Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring dan radiasi
profilatik di daerah leher.
Stadium III : 1) Kemoradiasi
2) Radioterapi dosis tinggi / teknik hiperfraksinasi ditujukan pada tumor primer
di nasofaring dan kelenjar leher bilateral (bila ada).
3) Diseksi leher mungkin dapat dikerjakan, misalnya pada tumor leher persisten
atau renkuren asalkan tumor primer di nasofaring terkontrol.
Stadium IV : 1) Kemoradiasi
2) Radioterapi dosis tinggi atau teknik hiperfraksinasi ditujukan pada tumor
primer di nasofaring dan kelenjar leher bilateral (klinis positif)
3) Diseksi leher dapat dikerjakan bila tumor leher persisten atau rekuren
asalkan tumor primer di nasofaring sudah terkontrol.
4) Kemoterapi untuk karsinoma nasofaring untuk stadium IV C
Pada stadium ini, terdapat tiga tahapan selanjutnya, yang terbagi menjadi
tahapan IVA,IVB dan IVC
Stadium IVA. Pada stadium IVA karsinoma nasofaring sudah menyebar
kebagian saraf cranial,dan tersebar di sekitaran tengkork dn tulang
dagu.karsinoma nasofaring juga kemungkinan sudah menyebar ke bagian
getah bening lainnya yang terdapat di bagian tubuh pasien.
Stadium IVB. Dengan ukuran yang lebih besar dari 6 cm. karsinoma sudah
menyebar ke area collarbonie dan juga, pada bagian atas bahu pasiennya.
Stadium IVC. Pada stadium IVC ini karsinoma sudah tersebar ke kelenjar
getah bening lainnya yang berdekatan dan kemungkinan menginfeksi
kelenjar getah bening yang berada dalam seluruh tubuh manusia.

Universitas Sumatera Utara


36

2.13 Teknik Radioterapi Karsinoma Nasofaring


1. Persiapan
Salah satu langkah dalam tahapan penatalaksanaan radioterapi adalah
menentukan batas-batas lapangan radiasi. Tindakan ini merupakan langkah yang
terpenting untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran
meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya serta kelenjar-kelenjar getah bening
regional. Untuk menentukan batas-batas lapangan radiasi serta perhitungan dosis
karsinoma nasofaring, maka perlu adanya persiapan penyinaran. Adapun
persiapan tersebut meliputi :

2. Alur Radioterapi
Konsultasi merupakan tahap paling awal dari pengobatan radioterapi.
Dokter akan menentukan dan menilai apakah Anda memang harus mendapat
terapi radiasi berdasarkan kondisi penyakit kanker anda. Pada saat konsultasi, ahli
radioterapi akan mengambil data pasien secara akurat, riwayat penyakit serta
berbagai pemeriksaan laboratorium lainnya yang mungkin diperlukan, Stimulasi
kemudian dilakukan, yakni perencanaan radioterapi yang akan diberikan. Pada
tahap ini pasien akan datang ke bagian radioterapi, kemudian berbaring dibawah
suatu mesin yang disebut stimulator. Beberapa peralatan mungkin diperlukan
untuk mencegah pasien bergerak atau merubah posisi agar pengobatan diberikan
pada tempat yang tepat. Kemudian akan dibuat beberapa tanda dan mungkin
beberapa foto rontgen yang akan diambil. Foto rontgen yang diambil itu pada
nantinya akan mempermudah ahli radioterapi untuk melakukan pengobatan di
kemudian hari, karena pasien akan mendapatkan radioterapi selama beberapa kali.
Stimulasi merupakan tahap yang penting dalam proses radioterapi. Perlindungan
dan pengaman diperlukan selama pasien menjalani pengobatan radioterapi, yang
akan melindungi sel-sel normal dari efek radiasi. Setelah persiapan selesai, pasien
masih harus menunggu beberapa hari sebelum radiasi dimulai, karena hasil
simulator akan dikirim ke ahli fisika medik untuk dihitung dan dilakukan
kalkulasi dosis serta arah penyinaran diruang TPS. Jika semua persiapan dan
perhitungan telah selesai dan disetujui oleh dokter, baru dimulailah terapi radiasi
yang sesungguhnya. Lama menunggu tergantung dari tingkat kerumitan teknik

Universitas Sumatera Utara


37

radiasi yang akan dilakukan. Pada kebanyakan tipe kanker, radiasi biasanya
diberikan dalam dosis terbagi, 5 hari berturut-turut (Senin s.d. Jumat), sehari
sekali, kurang lebih selama 6-7 minggu.

Besaran dosis total yang diberikan tergantung dari tujuan radiasi (kuratif
atau paliatif) dan jenis histopatotoginya. Dosis kuratif umumnya 25 30 kali,
diberikan 5 kali dalam satu minggu (Senin s.d. Jumat), dengan dosis perkali yang
diberikan : 1,8 2 Gy. Dosis paliatif umumnya 5-20 kali, dengan dosis perkali
yang diberikan 2-5 Gy.
Umumnya sekali radiasi membutuhkan waktu kurang lebih 15-30 menit
mulai pasien masuk ke ruang radiasi, saat penyinaran, sampai pasien kembali ke
luar ruang radiasi. Dalam ruang pengobatan radiasi, anda akan diposisikan persis
sama sewaktu menjalani simulator. Anda diharuskan diam selama pengobatan
berlangsung.

3. Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi


Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis
histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita
juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga
keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan
pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan.
Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak.
Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak
diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup\
penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor,
radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok
ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang
dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL.3,12

4. Penentuan batas-batas lapangan radiasi


Tindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk
menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah
tumor primer dan sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-

Universitas Sumatera Utara


38

kelenjar getah bening regional.3,12 Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah
dibawah ini harus disinari :
1. Seluruh nasofaring
2. Seluruh sfenoid dan basis oksiput
3. Sinus kavernosus
4. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus
dan foramen jugularis lateral.
5. Setengah belakang kavum nasi
6. Sinus etmoid posterior
7. 1/3 posterior orbit
8. 1/3 posterior sinus maksila
9. Fossa pterygoidea
10. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar
11. Kelenjar retrofaringeal
12. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan
supraklavikular.3
Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi dan
orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui
dasar
tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak
di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan
maksila atau orbit, seluruh sinus atau orbit harus disinari. Kelenjar limfe sub
mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali apabila ditemukan
limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase ke kelenjar sub
maksila. 3 Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah :
- Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi.
- Batas depan : terletak dibelakang bola mata dan koana
- Batas belakang : tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila
terdapat pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di
belakang kelenjar yang teraba.

Universitas Sumatera Utara


39

5. Prosedur radioterapi

Proses radio terapi melibatkan sejumlah dokter spesialis bedah onkologi,


dokter radiasi ongkologi, dokter ginekologi ongkologi, dekter hematologi ahli
ongkologi akan merekomendasikan prosedur dan bekerjasama dengan fisikawan
medik, Radiografer radioterapi dan teknik medis . yang betanggung jawab penuh
terhadapa pasien adalah dokter spesialis radiologi. Setelah dokter memutuskan
pasien untuk menjalani terapiradiasi maka dokter akan membuat jadwal, untuk
pelaksaan terapiradiasi.tahap selanjutkan akan dilakukan penggambaran lokasi
penyinaran atau sering disebut simulator.

6. Simulator.
Simulasi penyinaran radioterapi pada dasarnya adalah proses pencitraan
sinar-x secara fluoroskopi yang seolah-olah melakukan teknik penyinaran seperti
dengan pesawat treatment radioterapi yang sesungguhnya. Hal ini diperlukan agar
teknik penyinaran yang akan diberikan pada pasien benar-benar mencapai sasaran
secara optimal dan akurat.
Dari proses simulasi ini didapatkan beberapa parameter untuk penyinaran,
seperti; luas lapangan penyinaran, sudut dan arah sumber penyinaran, blokade
area yang harus dilindungi, teknik penyinaran, jarak sentrasi dan sudut kolimasi.
Hal-hal yang harus dimiliki sebagai syarat minimum dari pesawat
simulator adalah; memiliki gantry (C-arm) dengan x-ray tube dan image
intensifier yang terpasang berhadapan serta dapat diputar 360 derajat dari
sumbunya, memiliki kolimator yang dapat diputar 360 derajat terhadap axis
sentrasi, memiliki indikator penunjuk jarak Source Axis Distance (SAD),
memiliki meja pemeriksaan yang rata, dapat diatur naik-turun (vertical), maju-
mundur (longitudinal), digeser kiri-kanan (lateral) dan dapat diputar dari axis
sejauh 3600 (rotation).Prinsip dasar dari proses pencitraan dalam simulasi adalah;
set-up posisi simulasi (posisi pasien), lalu dilakukan fluoroskopi terhadap pasien
pada perkiraan lokasi penyinaran. Gambaran fluoroskopi diteruskan ke image
intensifier, lalu keperangkat sirkuit elektronik dan ditampilkan dimonitor
fluoroscopy (cctv). Kemudian akuisisi posisi simulasi, selanjutnya dilakukan
eksposi radiografi yang menghasilkan foto simulator (foto terapi).

Universitas Sumatera Utara


40

Terapi radiasi karsinoma nasofaring harus mencakup Clinical Target


Volume (CTV) meliputi daerah yang berpotensi terjadi infiltrasi local 1-2 cm
diluar Gross Tumor volume (GTV) yaitu tumor nasofaring itu sendiri dan semua
perluasan tumor di sekitar nasofaring termasuk kelenjar getah bening di leher
yang membesar. Sementara Planning Treatment Volume (PTV) ditentukan kurang
lebih 1 cm diluar CTV. Pada karsinoma nasofaring volume target utama lapangan
radiasi meliputi (Perez C.A, 2004) :
Pada karsinoma nasofaring volume target utama lapangan radiasi meliputi
(Perez C.A, 2004). Tumor primer Kelenjar getah bening Daerah postensial
penjalaran. Untuk penentuan lapangan radiasi terutama ditentukan oleh distribusi
tumor, ekstensi lokal dan metastasis regional, yaitu : Untuk lesi T1 dan T2
meliputi nasofaring, dasar sinus sphenoid, klifus, 1/3 posterior kavum nasi, fosa
pterigoid, dinding orofaring sampai level fosa mid tonsilar, kelenjar retrofaringeal,
kelenjar cervical bilateral dan kelenjar supraclavikula. Untuk Lesi T3 volume
target meliputi perluasan ke ruang parafaringeal, kavum nasi dan atau
orofaring.Untuk lesi T4 mencakup dasar tengkorak dan perluasannya ke intra
cranial. Lapangan opposing lateral (Susworo, 2007) : Batas atas mencakup
seluruh dasar tengkorak. Batas anterior berada di pertengahan palatum durum,
mencakup koane. Batas belakang harus mengikutsertakan rantai kelenjar getah
bening servikalis posterior dan seluruh jaringan lunak leher. Batas bawah
mencakup seluruh mandibula, kira-kira setinggi C1, C2 dan C3. Untuk
mengurangi lapangan radiasi diperlukan blok pada jaringan sehat sebagian
mukosa mulut serta sebagian gigi geligi.

Universitas Sumatera Utara


41

Gambar 2.2 Lapangan opposing lateral (Susworo,2007)

Dosis diberikan 1,8 Gy 2 Gy perfraksi yang diberikan 5 kali dalam seminggu


sehingga dosis mencapai 66 70 Gy dengan memperhatikan lapangan radiasi.
Pada saat dosis mencapai 40 Gy, medulla spinalis harus dikeluarkan dari lapangan
radiasi, berarti batas belakang maju ke arah anterior. Dengan lapangan yang
terbatas ini dosis dilanjutkan sampai mencapai 66 70 Gy tergantung pada
keadaan umum pasien serta reaksi lokal.

Gambar 2,3. Pengecilan Lapangan opposing lateral


(Susworo, 2007)

Universitas Sumatera Utara


42

Selanjutnya radiasi pada rantai kelenjar getah bening leher serta klavikula
dilakukan dari arah anterior dengan batas-batas sebagai berikut : Batas atas berada
0,5 cm caudal dari batas bawah lapangan nasofaring. Batas bawah dan lateral
mencakup seluruh fosa klavikula kiri dan kanan. Dilakukan penutupan bagian
tengah leher guna melindungi sebagian kelenjar gondok, laring dan trachea serta
medulla spinalis. Kedua sudut bawah lapangan ini ditutup guna melindungi apex
paru. Dosis diberikan dengan fraksi yang sama sehingga mencapai 40 Gy 45 Gy
yang dihitung Pada karsinoma nasofaring dengan pembesaran getah bening leher,
tidak mungkin diberikan radiasi dengan metode lapangan supraklavikula dan
lapangan oppossing kanan kiri. Pada 20 Gy pertama dapat diberikan dengan
lapangan anteroposterior dan posteroanterior dengan rentang lapangan dari sinus
frontalis sampai dengan fosa supraklavikula dengan megindahkan daerah daerah
yang perlu dilindungi. Setelah itu lapangan diubah sesuai dengan stadiumnya
dengan harapan bahwa dosis 20 Gy tersebut dapat memperkecil kelenjar sehingga
dimungkinkan pemberian radiasi laterolateral. Setelah medulla spinalis mendapat
dosis 40 Gy dilakukan pengecilan lapangan radiasi. Kelenjar yang berada di luar
lapangan radiasi setelah dilakukan pengecilan diberikan dosis kompensasi sebesar
10 Gy. (Susworo, 2007).
Upaya untuk melindungi organ-organ vital dalam lapangan radiasi
merupakan salah satu perhatian utama terapi radiasi. Hal ini bukan hanya untuk
melindungi organ-organ penting, tetapi juga menghindari radiasi yang tidak perlu
pada jaringan normal di sekitarnya.

Gambar 2,4 Nodule kelenjar lymfenodi Nasofaring (kumar)

Universitas Sumatera Utara


43

Ruang cetak (Mould room) (Susworo R, 2007)

Di ruang cetak ini dilakukan pembuatan berbagai peralatan bantu, seperti


pembuatan masker sebagai alat fiksasi pada saat radiasi eksterna kepala dan leher.
Dilakukan pula pembuatan kompensator (bolus) yang terbuat dari lilin atau wax.

TPS ( Treatment Planning System ) ( Jauhari, 2007)

Treatment Planning System atau dapat pula disebut dengan sistem


perencanaan radiasi merupakan suatu proses yang sistematik dalam membuat
rencana strategi terapi radiasi. Meliputi sekumpulan instruksi dari prosedur
radioterapi dan mengandung deskripsi fisik, serta distribusi dosis berdasar pada
informasi geometrik/topografi yang ada pada pencitraan (imajing) agar terapi
radiasi dapat diberikan secara tepat. TPS ini dalam tampilannya bisa 2D bisa juga
3D.

Tujuan sistem perencanaan radiasi 2D dan 3D adalah untuk menyesuaikan


dosis pada volume target dan mengurangi dosis untuk jaringan normal atau organ
beresiko yang ada di sekitarnya.

Sistem perencanaan terapi radiasi meliputi :

Posisi pasien terapi.

Imobilisasi.

Mengumpulkan data pencitraan pasien.

Menetapkan volume target dan organ-organ beresiko berdasarkan kumpulan data


bentuk-bentuk sinar yang didesain secara grafis dan orientasi sinar.

Bentuk lapangan yang dipilih menggunakan Biological Efek Volume (BEV)

Distribusi dosis 3 dimensi.

Kalkulasi menggunakan algoritma tiga dimensi dan perbandingan informasi yang


didapat dari Histogram Dosis Volume (DHV)

Universitas Sumatera Utara


44

TPS terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu:

Hardware. Komponen hardware terdiri dari Central Prosesor Unit (CPU), High
resolution graphics, mass storage (hard disc), disks/CD-ROM, keyboard &
mouse, high resolution graphics monitor, digitizer, laser/color printer, backup
storage facility, network connections.

Software. Komponen software terdiri dari: Input routines, bentuk dari anatomi,
beam geometry (virtual simulation), kalkulasi dosis, dosis volume histogram,
digital recontruction radiographic.

Image Acquisition.

Ada 2 faktor yang sangat berperan pada pembuatan TPS antara lain:

Simulasi atau lokalisasi daerah radiasi

Pelaksanaan simulasi ini dilakukan di ruang simulator, di sini seolah-olah


pasien dilakukan radiasi. Untuk itu jarak sumber sinar ke kulit dan posisi pasien
harus sama, baik itu di ruang simulator maupun diruang cobalt 60 /linac.

Computer Tomografi (CT) Planning/CT Simulator

CT.Scan/CT.Planning penting untuk perencanaan terapi dan merupakan


kebutuhan utama data imajing untuk 3 Dimention Radiation Therapy Treatment
Planning (3D RTTP/Perencanaan Terapi Tiga Dimensi). Perencanaan CT Scan
dalah melokalisasi tumor dengan jumlah irisan yang sangat banyak dan ketebalan
210 mm. Semakin tipis irisan maka jumlah irisan akan semakin banyak dengan
demikian kualitas pencitraan dapat meningkat.

Rincian bentuk tumor dan ukuran untuk GTV, struktur organ kritis dan
CTV, PTV dilakukan oleh staf perencanaan terapi dan ahli onkologi radiasi.
Strukturstruktur ditandai secara manual menggunakan sebuah mouse atau bentuk
lain dari digitizer. Beberapa struktur dengan batasan yang jelas misalnya kulit
dapat terkontur secara otomatis. Jika menggunakan piranti lunak yang modern
maka pemberian tanda (kontur) membutuhkan waktu sekitar 12 jam untuk
sebuah seri perencanaan terapi tiga dimensi secara lengkap.

Universitas Sumatera Utara


45

Penatalaksanaan radioterapi eksterna karsinoma nasofaring

Upaya untuk mendapatkan ketepatan lapangan radiasi adalah dengan


posisioning dan imobilisasi yang tepat. Posisi pasien telentang di atas meja
pemeriksaan, dengan mengatur posisi tubuh pasien selurus mungkin dengan
bantuan laser sebagai langkah awal untuk posisioning

Gambar 2,5. Posisi anatomi (Bente G.C 1996)

Teknik imobilisasi untuk pengobatan radiasi di daerah kepala dan leher


membutuhkan reproduksibilitas set-up yang sangat tepat, karena dekat dengan
mata, chiasma opticum, jalinan saraf dan otak, terutama jika dosis untuk daerah
sasaran melebihi toleransi organ-organ didekatnya (Bentel G.C,1996).

Dua faktor yang paling penting dalam mempertahankan posisi pasien


adalah nyaman dan tidak bergerak. Oleh karena itu dibutuhkan alat imobilisasi
pasien seperti masker kepala leher supraclavikula dan bantalan kepala. Perlu
ditekankan bahwa penggunaan masker sebagai fiksasi kepala pada radiasi
karsinoma nasofaring atau kanker kepala leher lainnya adalah mutlak untuk
menjamin ketepatan radiasi.(Susworo, 2007). Pada radiasi daerah kepala dan
leher, teknik-teknik imobilisasi yang efektif sangat penting guna menghindari
organ-organ didekatnya yang sensitif dengan radiasi.

Universitas Sumatera Utara


46

Gambar 2.6 Bantalan Kepala dan Leher (Bentel G.C 1996)

Gambar 2.7 Masker/Imobilisasi Kepala-Supraclavikula (Susworo, 2009)

Pasien biasanya sangat nyaman jika dalam posisi telentang dengan kepala
posisi netral (yaitu kening dan dagu terletak pada posisi horizontal).

Kenyamanan bantal kepala yang pas dengan ketebalan memadai dapat


membantu pasien dalam mempertahankan posisi tanpa ketegangan

Gambar 2.8 Imobilisasi Bantal Kepala yang Tidak Pas

Universitas Sumatera Utara


47

Namun jika bantal daerah leher lebih tinggi dan daerah kepala terdapat
ruang untuk bergerak maka pasien akan tidak nyaman. Meninggikan dada dengan
bantal akan membantu ekstensi kepala pasien sehingga spinal lurus dan terletak
baik dalam lapangan radiasi.

2.14 Linear accelerator (LINAC)


Linear accelerator (LINAC) adalah instrumen radioterapi yang digunakan
untuk mematikan sel tumor maupun kanker pada penderita penyakit tersebut. Ide
pengembangan linac diawali oleh eksperimen Wilhelm Conrad Rontgen (1845 -
1923) yang merujuk pada ditemukannya radiasi energi tinggi yang selanjutnya
beliau namai sinar X. Kemudian pada tahun 1899, sinar -X diaplikasikan pada
bidang kesehatan berupa terapi penyakit karsinoma untuk pertama kalinya. Hal ini
mendorong ilmuwan lain salah satunya Gebbert dan Schall untuk melakukan
inovasi baru dan berhasil meningkatkan energi sinar -X yang cukup tinggi yaitu
sekitar 150 kV. Barulah pada tahun 1930 linac pertama diperkenalkan oleh Rolf
Wideroe. Pada tahun- tahun berikutnya perkembangan linac semakin pesat hingga
saat ini setidaknya sudah terdapat 3 generasi dari linac.
Sebuah linear accelarator bekerja berdasarkan prinsip penjalaran gelombang
frekuensi radio untuk mempercepat partikel bermuatan sehingga partikel tersebut
akan memliki energi kinetik yang tinggi pada arah/track yang lurus. Proses
mempercepat partkel bermuatan tersebut dilakukan didala sebuah tabung yang
disebut accelarator waveguide. Skema sederhana dari linac diperlihatkan pada
gambar berikut :

Universitas Sumatera Utara


48

Gambar 2.9 Skematik prinsip kerja linac

Keterangan Gambar :
a. Mempercepat pratikel bermuatan sampai ke energi
b. Setelah energi yang dibutuhkan tercapai
c. Energi kinetic tinggi digunakan untuk menabur lempengan target
d. Sehingga terjadilah peristiwa bremstrahlung
e. Hasil foton menjadi energi tertentu
f. Dari proses tabrakan ini pancaran sinar-X berenergi sangat tinggi
g. Mempercepar electron hingga energinya mencapai 20 Mega Electron Volt
Untuk dapat menghasilkan foton yang selanjutnya digunakan untuk terapi radiasi,
setidaknya sebuah linac membutuhkan sumber gelombang mikro, sumber elektron
yang akan dipercepat, serta lempengan target yang akan ditumbuk.
Sumber gelombang mikro disuplai oleh komponen Magnetron ataupun Klystron.
Magnetron berfungsi sebagai osilator frekuensi yang mampu menghasilkan
gelombang mikro dengan frekuensi tinggi. Gelombang mikro tersebut digunakan
untuk menghasilkan medan magnet statis yang selanjutnya digunakan untuk
mempercepat elektron yang dihasilkan oleh elektron gun.
Berbeda dengan magnetron kylstron bukanlah penghasil gelombang mikro,
melainkan memperkuat gelombang sumber yang diberikan menggunakan sebuah
amplifier penguat frekuensi. Dari hasil penguatan frekuensi sumber tersebut, akan
dihasilkan sebuah sistem pandu gelombang dengan frekuensi mencapai 3 GHz.

Universitas Sumatera Utara


49

Khusus magnetron, pada umumnya digunakan untuk menghasilkan energi radiasi


rendah yaitu 4 6 MeV. Untuk rentang energi yang lebih tinggi digunakan
kylstron.
Selanjutnya, elektron gun merupakan sumber elektron yang akan dipercepat.
Sebuah elektron gun dilengkapi dengan filamen tungsten yang dipanaskan. Akibat
pemanasan tersebut maka akan tejadi proses emisi termionik yang mengakibatkan
munculnya arus elektron yang terlepas dari tungsten tersebut. Besarnya intensitas
elektron berbanding lurus dengan besarnya suhu pemanasan pada tungsten
tersebut.
Setelah elektron dihasilkan maka berkas elektron tersebut akan diarahkan ke
tabung pemercepat (accelerating tube) untuk dipercepat sehingga energi
kinetiknya meningkat.

Gambar 2.10 Komponen pada accelerator tube

Keterangan Gambar :
a. Tabung kaca hampa udara berbentuk cincin raksasa.
b. Di antara dua kutub magnet yang sangat kuat.
c. Penyuntikan berupa filamen panas.
d. Pemancar electron di pasang untuk menginjeksi aliran electron ke dalam
tabung pada sudut sudut tertentu.
e. Setelah elekron di suntikan ke dalam tabung terjadi dua gaya yang berkerja
pada electron tersebut.
f. Pertama membuat electron bergerak mengikutin lengkungan tabung.
g. Medan magnet partikel akan bergerak melingkar.
h. Ke dua mempercepat gerak electron hingga kecepatannya semangkin tinggi.
i. Electron akan bergerak melingkar didalam tabung beberapa kali.

Universitas Sumatera Utara


50

2.15 Prinsip Kerja Linear Accelerator


LINAC dipakai untuk mempercepat partikel bermuatan positif seperti
proton. Namun, setelah berbagai modifikasi, mesin dapat pula dipakai untuk
mempercepat partikel bermuatan negatif seperti elektron. Dalam hal ini, elektron
yang dipercepat mampu bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya
(elektron dengan energi 2 MeV bergerak dengan kecepatan 0,98 c, dengan c
adalah kecepatan cahaya). Jika elektron berenergi tinggi itu ditabrakan pada target
dari logam berat maka dari pesawat LINAC akan dipancarkan sinar-X berenergi
tinggi.
Radioterapi dapat juga dilakukan dengan menggunakan elektron berenergi
tinggi. Elektron yang dipercepat dalam LINAC dapat langsung di manfaatkan
untuk radioterapi tanpa harus ditabrakan terlebih dahulu dengan logam berat. Jadi,
LINAC dapat juga berperan sebagai sumber radiasi partikel berupa elektron cepat
yang dapat dimanfaatkan untuk radioterapi tumor. Akselerator Linear dalam
aplikasinya menggunakan teknologi gelombang mikro yang juga digunakan untuk
radar. Gelombang mikro ini dimanfaatkan untuk mempercepat elektron dalam
akselerator yang disebut wave guide.
LINAC menggunakan teknologi microwave (teknologi yang sama seperti
yang digunakan dalam radar) untuk mempercepat electron digunakan suatu alat
yang disebut sebagai wave guide, hal tersebutlah yang kemudian mengizinkan
elektron bertumbukan dengan heavy metal target. Hasil dari tumbukan antara
elektron dan metal adalah high-energy x-rays yang dihasilkan oleh metal target.
High energy x-rays tersebut kemudian akan diatur untuk kemudian diberikan pada
pasien tumor dan diatur keluarannya dari mesin yang disesuaikan dengan keadaan
dari pasien. Sinar yang keluar dari bagian accelerator disebut sebagai gantry yang
berotasi di sekeliling pasien.
Pesawat Linac menghasilkan berkas radiasi elektron yang dipercepat atau
foton sinarX bertenaga tinggi. Sebelum melakukan pengukuran output perlu
diketahui berkas mana akan diukur, karena cara pengukuran kedua berkas
tersebut tidak sama, dalam metode maupun peralatan yang digunakan untuk
pengukuran. Sebelum dilakukan pengukuran, perlu dilakukan pengecekan energi
berkas, apakah sama dengan energi berkas pada panel kontrol. Jika terdapat

Universitas Sumatera Utara


51

perbedaan maka perlu dilakukan penyesuaian energi dengan memutar tombol


pengatur.
Pengecekan energi foton yang dihasilkan pesawat Linac, perlu dilakukan
pengukuran dosis pada kedalaman 10 dan 20 cm dalam fantom air. Dari hasil
pengukuran ini ditetapkan nilai perbandingan D10/D20 -nya, lalu dicari energi
fotonnya melalu kurva D10/D20 vs energi foton. Pasien ditempatkan pada kursi
pengobatan yang dapat bergerak kesegala arah, agar dapat dipastikan pemberian
radiasi dalam posisi yang tepat. Radiasi dikirim melalui kursi pengobatan.
Akselerator Linear yang merupakan akselerator dengan partikel lurus
mangandung unsure-unsur :
1. Sumber partikel.
Tergantung pada partikel yang sedang bergerak. Proton yang dihasilkan dalam
sumber ion memiliki desain yang berbeda. Jika partikel lebih berat harus
dipercepat, misalnya ion uranium.
a. Sebuah sumber tegangan tinggi untuk injeksi awal partikel.
b. Sebuah ruang hampa pipa vakum.

Jika perangkat digunakan untuk produksi sinar-X untuk pemeriksaan atau terapi
pipa mungkin hanya 0,5 sampai 1,5 meter, sedangkan perangkat yang akan
diinjeksi bagi sebuah sinkrotron mungkin sekitar sepuluh meter panjangnya, serta
jika perangkat digunakan sebagai akselerator utama untuk investigasi partikel
nuklir, mungkin beberapa ribu meter.

1. Dalam ruang, elektrik elektroda silinder terisolasi ditempatkan, yang


panjangnya bervariasi dengan jarak sepanjang pipa.

Panjang elektroda ditentukan oleh frekuensi dan kekuatan sumber daya penggerak
serta sifat partikel yang akan dipercepat, dengan segmen yang lebih pendek di
dekat sumber dan segmen lagi dekat target.

1. Satu atau lebih sumber energi frekuensi radio, Sebuah akselerator daya yang
sangat tinggi akan menggunakan satu sumber untuk elektroda masing-masing.
Sumber harus beroperasi pada level daya yang tepat, frekuensi dan fase yang

Universitas Sumatera Utara


52

sesuai dengan jenis partikel dipercepat untuk mendapatkan daya perangkat


maksimum.
2. Sebuah sasaran yang tepat. Pada kecepatan mendekati kecepatan cahaya,
peningkatan kecepatan tambahan akan menjadi kecil, dengan energi yang
muncul sebagai peningkatan massa partikel. Dalam bagian-bagian dari
akselerator hal ini terjadi, panjang elektroda tabung akan hampir berjalan
konstan.
3. Tambahan elemen lensa magnetis atau elektrostatik Untuk memastikan bahwa
sinar tetap di tengah pipa dan elektroda nya.
4. Akselerator yang sangat panjang Akan menjaga keselarasan tepat komponen
mereka melalui penggunaan sistem servo dipandu oleh sinar laser

Tabung pemercepat dilengkapi dengan pengendali arus/ drift tube yang berfungsi
membalik polarisasi dari medan listrik. Dengan adanya proses ini akan terjadi
lompatan partikel sehingga menambah kecepatan partikel akibat pembalikan
polarisasi tersebut. Semakin banyak dan panjang drift tube yang digunakan,
semakin besar pula kecepatan akhir / energi kinetik partikel yang dihasilkan.
Namun , tentunya akan dibutuhkan konstruksi tabung yang panjang untuk
menghasilkan energi yang lebih tinggi.

Apabila energi kinetik yang dibutuhkan sudah tercapai, maka berkas elektron
dengan kecepatan tinggi ini akan arahkan untuk menumbuk lempengan logam.
Karena energi yang menumbuk lempengan logam sanagat tinggi, maka akan
dihasilkan berkas foton dari proses ini. Berkas tersebut diarahkan keluar melalui
kepala linac yang disebut gantri untuk selanjutnya di arahkan menuju target.
Setelah dihasilkan foton dengan energi tertentu, perlu diadakan pengkondisian
akan berkas tersebut dikarenakan berkas yang dihasilkan tidak menghasilkan
intensitas foton yang seragam yang artinya energinya juga tidak seragam. Selain
itu, dalam aplikasinya, geometri berkas yang dibutuhkan akan beragam, sehingga
diperlukan komponen yang bisa mengatasi kedua permasalahan tersebut.
Untuk menjadikan energi berkas foton menjadi seragam/uniform dapat digunakan
flattening filter (FF). Komponen ini bekerja dengan menyerap sebagian berkas
foton pada bagian menggunakan bahan tertentu agar intensitas dibagian tersebut

Universitas Sumatera Utara


53

berkurang dan sama dengan bagian lainnya sehingga semua bagian memiliki
intensitas energi yang merata. Berikut ilustrasinya.

(a)

(b)
Gambar 2.11 a)Profil energi tanpa FF, b) Profil energi dengan FF

Sedangkan untuk memodifikasi geometri berkas, digunakan kolimator. Prinsip


kerjanya adalah dengan meloloskan berkas foton uniform pada sebuat kerangka
sesuai dengan bentuk yang diinginkan.

Gambar 2.12 Modifikasi geometri dengan multi leaf colimator.

Universitas Sumatera Utara


54

Dari kombinasi komponen flattening filter dan colimator akan dihasilkan berkas
foton dengan intensitas seragam dan sesuai dengan geometri yang dibutuhkan.

2.16 Besaran dan Satuan Dasar dalam Dosimetri


Dosimetri merupakan kegiatan pengukuran dosis radiasi dengan teknik
pegukurannya didasarkan pada pengukuran ionisasi yang disebabkan oleh radiasi
dalam gas, terutama udara. Dalam proteksi radiasi, metode pengukuran dosis
radasi ini dikenal degan sebutan dosimetri radiasi. Selama perkembangannya,
besaran yang dipakai dalam pengukuran jumlah radiasi selalu didasarkan pada
jumlah ion yang terbentuk dalam keadaan tertentu atau pada jumlah energi radiasi
yang diserahkan kepada bahan.
Sama halnya dengan besaran-besaran fisika lainnya, radias juga
mempunyai ukuran atau satuan untuk menunjukkan besarnya pancaran radiasi dari
suatu sumber, atau menunjukkan banyaknya dosis radiasi yang diberikan atau
diterima oleh suatu medium yang terkena radiasi. Radasi mempunyai satuan
karena radiasi itu membawa atau mentransfer energi dari sumber radiasi yang
diteruskan kepada medium yang menerima radiasi. Sampai saat ini ICRP (Komisi
Internasional untuk Perlindungan Radiologi) masih tetap menggunakan besaran
makroskopis yang disebut besaran dosimetri, dan secara formal telah didifinisikan
oleh ICRU(Komisi Internasional untuk Satuan dan Pengukuran radiologi).
Pemanfaatan teknik nuklir dalam berbagai bidang selalu melibatkan pemanfaatan
radiasi yang tentu saja juga melibatkan teknik pengukuran radiasi, baik untuk
tujuan pencapaian kualitas hasil maupun keselamatan kerja. Dalam kegiatan
radiodiagnostik, irradiasi terhadap pasien harus memenuhi azas optimisisasi yang
menghendaki agar dosis yang diterima pasien dapat ditekan serendah mungkin
namun dapat diperoleh hasil gambar pencitraan dengan radiasi yang baik dan
dapat dianalisa oleh dokter. Dalam kegiatan radioterapi, dosis radiasi yang
diberikan untuk irradiasi kanker harus diatur sedemikian rupa sehingga kanker
dapat diobati tanpa memberikan efek berarti terhadap jaringan normal lainnya.
Dengan dukungan dosimetri radiasi yang baik, pemanfaatan teknik nuklir dalam
bidang kesehatan akan memberikan hasil yang terbaik, dengan efek paparan

Universitas Sumatera Utara


55

radiasi pengion yang merugikan kesehatan dapat ditekan serendah mungkin atau
bahkan dihindari sama sekali.
Dalam bidang industri, irradiasi terhadap berbagai jenis komoditas
memerlukan dosis radiasi yang berbeda-beda. Penguasaan terhadap teknik
dosimetri radiasi dosis tinggi berpengaruh sangat besar terhadap kualitas produk
yang dihasilkan. Untuk tujuan keselamatan dan kesehatan kerja, dosimetri juga
memiliki peran yang sangat besar. Daerah kerja harus selalu dimonitor tingkat
radiasinya agar keselamatan dan kesehatan kerja di tempat tersebut tetap terjamin.
Setiap pekerja radiasi harus mendapatkan pelayanan pemantauan dosis perorangan
sehingga terimaan dosis radiasi selama menjalankan tugas tetap terkontrol dan
tidak melampauai Nilai Batas Dosis (NBD) yang telah ditetapkan. Uraian di atas
menunjukkan bahwa pemahaman terhadap besaran dan satuan dasar dalam
dosimetri merupakan kunci utama untuk mencapai suksesnya pemanfaatan iptek
nuklir dalam berbagai bidang. Setiap kegiatan pemanfaatan teknik nuklir harus
didukung dengan penguasaan terhadap teknik dosimetri dan standardisasi radiasi.
Sebagai langkah awal, pemahaman terhadap besaran dan satuan dasar untuk
dosimeteri radiasi pun perlu diperkenalkan kepada setiap personil yang terlibat
dalam pemanfaatan teknik nuklir. Ada beberapa besaran dan satuan dasar yang
berhubungan dengan radiasi pengion disesuaikan dengan kriteria penggunaannya.
Berikut ini akan dibahas besaran-besaran dan satuan-satuan dasar dalam dosimetr
radiasi.
1. Dosis Serap
Radiasi dapat mengakibatkan pengionan pada jaringan atau medium yang
dilaluinya. Untuk mengukur besarnya energi radiasi yang diserap oleh medium
perlu diperkenalkan suatu besaran yang tidak bergantung pada jenis radiasi, energi
radiasi maupun sifat bahan penyerap, tetapi hanya bergantung pada jumlah energi
radiasi yang diserap persatuan massa bahan yang menerima penyinaran radiasi
tersebut. Untuk mengetahui jumlah energi yang diserap oleh medium ini
digunakan besaran dosis serap. Dosis serap didifinisikan sebagai jumlah energi
yang diserahkan oleh radiasi atau banyaknya energi yang diserap oleh bahan
persatuan massa bahan itu. Jadi dosis serap merupakan ukuran banyaknya energi
yang diberikan oleh radiasi pengion kepada medium. Meskipun dosis serap

Universitas Sumatera Utara


56

semula didifinisikan untuk penggunaan pada suatu titik tertentu, namun untuk
tujuan proteksi radiasi digunakan pula untuk menyatakan dosis rata-rata pada
suatu jaringan. Secara matematis, dosis serap (D) dirumuskan dengan :

D = dE / dm
dengan dE adalah energi yang diserap oleh medium bermassa dm.
Jika dE dalam Joule (J) dan dm dalam kilogram (kg), maka satuan dari D adalah :
J.kg-1. Dalam sistim SI besaran dosis serap diberi satuan khusus, yaitu Gray dan
disingkat dengan Gy.Sebelum satuan SI digunakan, dosis serap diberi satuan
erg/gr, dan diberi nama satuan khusus rad (radiation absorbed dose), dimana 1
rad setara dengan 100 erg/gr.
Dalam proteksi radiasi, dosis serap merupakan besaran dasar. Turunan dosis serap
terhadap waktu disebut laju dosis serap yang mempunyai satuan dosis serap
persatuan waktu. Dalam sistim SI, laju dosis serap dinyatakan dalam Gy.s-1.
Sedang satuan-satuan lain yang juga sering digunakan adalah : Gy. jam-1, Gy.
menit-1, mGy.menit-1, mGy.s-1 dan sebagainya.

2. Dosis ekivalen
Sebelumnya orang menduga bahwa radiasi dapat menyebabkan perubahan
dalam suatu sistim hanya berdasarkan pada besar energi radiasi yang terserap oleh
jaringan. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Ditinjau dari sudut efek biologi
yang ditimbulkan, ternyata efek yang timbul pada suatu jaringan akibat
penyinaran oleh bermacam-macam radiasi pengion tidak sama, meskipun dosis
serap dari beberapa jenis radiasi yang diterima oleh jaringan itu sama besar. Jadi
dalam hal ini, penyerapan sejumlah energi radiasi yang sama dari beberapa jenis
radiasi yang berbeda tidak menimbulkan efek biologi yang sama. Efek biologi
yang timbul ternyata juga bergantung pada jenis dan kualitas radiasi.
Dalam proteksi radiasi, besaran dosimetri yang lebih berguna karena berhubungan
langsung dengan efek biologi adalah dosis ekivalen. Besaran dosis ekivalen lebih
banyak digunakan berkaitan dengan pengaruh radiasi terhadap tubuh manusia atau
sistim biologi lainnya. Dalam konsep dosis ekivalen ini, radiasi apapun jenisnya
asal nilai dosis ekivalennya sama akan menimbulkan efek biologi yang sama pula

Universitas Sumatera Utara


57

terhadap jaringan tertentu. Dalam hal ini ada suatu faktor yang ikut menentukan
dalam perhitungan dosis ekivalen, yaitu kualitas radiasi yang mengenai jaringan.
Kualitas radiasi ini mencakup jenis dan energi dari radiasi yang bersangkutan.
Untuk menunjukkan kualitas dari radiasi dalam kaitannya dengan akibat biologi
yang dapat ditimbulkannya, Komisi Internasional untuk Proteksi Radiasi atau
International Commission on Radiological Protection (ICRP) melalui Publikasi
ICRP Nomor 60 Tahun 1990, memperkenalkan faktor bobot radiasi, wR.
Sebelumnya, melalui Publikasi ICRP Nomor 26 Tahun 1977, ICRP menggunakan
istilahfaktor kualitas, Q.
Dosis ekivalen pada prinsipnya adalah dosis serap yang telah dibobot,
yaitu dikalikan dengan faktor bobotnya. Faktor bobot radiasi ini dikaitkan dengan
kemampuan radiasi dalam membentuk pasangan ion persatuan panjang lintasan.
Semakin banyak pasangan ion yang dapat dibentuk persatuan panjang lintasan,
semakin besar pula nilai bobot radiasi itu. Dosis ekivalen dalam organ T yang
menerima penyinaran radiasi R (HT,R) ditentukan melalui persamaan :
HT,R = wR . DT,R
dengan DT,R adalah dosis serap yang dirata-ratakan untuk daerah organ atau
jaringan T yang menerima radiasiR, sedang wR adalah faktor bobot dari radiasi R.
ICRP melalui Publikasi ICRP Nomor 60 Tahun 1990 menetapkan nilai
wR berdasarkan pada jenis dan energi radiasinya. Mengingat faktor bobot tidak
berdimensi, maka satuan dari dosis ekivalen dalam sistim SI sama dengan satuan
untuk dosis serap, yaitu dalam J.kg-1. Namun untuk membedakan antara kedua
besaran tersebut, dosis ekivalen diberi satuan khusus , yaitu Sievert dan disingkat
dengan Sv. Sebelum digunakan satuan SI, dosis ekivalen diberi satuan Rem
(Roentgen equivalent man ataumammal) yang besarnya : 1 Sv = 100 Rem Jika
dalam konsep dosis serap dua dosis yang sama besar (dalam Gy) dari radiasi yang
kualitasnya berlainan akan menimbulkan efek biologi yang berlainan, maka dalam
konsep dosis ekivalen ini dua dosis radiasi yang sama besar (dalam Sv) dari
radiasi pengion jenis apapun akan menimbulkan efek biologi yang sama.

Universitas Sumatera Utara


58

3. Dosis Efektif
Hubungan antara peluang timbulnya efek biologi tertentu akibat
penerimaan dosis ekivalen pada suatu jaringan juga bergantung pada organ atau
jaringan yang tersinari. Untuk menunjukkan keefektifan radiasi dalam
menimbulkan efek tertentu pada suatu organ diperlukan besaran baru yang disebut
besaran dosis efektif. Besaran ini merupakan penurunan dari besaran dosis
ekivalen yang dibobot. Faktor pembobot dosis ekivalen untuk organ T
disebut faktor bobot jaringan, wT. Nilai wT dipilih agar setiap dosis ekivalen yang
diterima seragam di seluruh tubuh menghasilkan dosis efektif yang nilainya sama
dengan dosis ekivalen yang seragam itu. Jumlah faktor bobot jaringan untuk
seluruh tubuh sama dengan satu.
Dosis efektif dalam organ T, HE yang menerima penyinaran radiasi dengan
dosis ekivalen HT ditentukan melalui persamaan :
HE = wT . HT
ICRP melalui Publikasi ICRP Nomor 60 Tahun 1990 menetapkan nilai wT yang
dikembangkan dengan menggunakan manusia acuan dengan jumlah yang sama
untuk setiap jenis kelamin dan mencakup rentang umur yang cukup lebar.

4. Paparan
Paparan pada mulanya merupakan besaran untuk menyatakan intensitas
sinar-X yang dapat menghasilkan ionisasi di udara dalam jumlah tertentu.
Berdasarkan difinisi tersebut, maka paparan (X) dapat dirumuskan dengan :
X = dQ / dm
dengan dQ adalah jumlah muatan elektron yang timbul sebagai akibat interaksi
antara foton dengan atom-atom udara dalam volume udara bermassa dm. Besaran
paparan ini mempunyai satuan Coulomb per kilogram-udara (C.kg-1) dan diberi
nama khusus Roentgen, disingkat R.
Satuan Roentgen semula hanya berlaku untuk sinar-X. Namun pada tahun 1937
satuan ini didifinisikan ulang sehingga berlaku juga untuk sinar-g. Pengertian baru
dari Roentgen ini adalah bahwa : 1 R merupakan kuantitas radiasi sinar-X atau
sinar-x yang menghasilkan 1 esu ion positif atau negatif di dalam 1 cm3 udara

Universitas Sumatera Utara


59

normal (NPT). Dari difinisi baru tersebut, energi sinar-X atau sinar-gyang terserap
di dalam 1 gram udara dapat menjadi :
1 R = 87,7 (erg/gr) = 0,00877 (J/kg) satuannya adalah roentgen atau R
1 Roentgen (R) = 2,58 x 10-4 Coulomb/Kg Udara
1 Roentgen (R) = 1,610 x 10-12 Pasangan ion/gr udara.

1. Kecepatan Pemaparan
Kecepatan pemaparan (ER) adalah besar pemaparan persatua waktu.
Satuannya adalah R/Jam
ER = x
t
ER = Kecepatan pemaparan (R/jam)
x = Pemaparan (R)
2. Dosis Serap
Adosis serap (D) adalah energi rata-rata yang diberikan oleh radiasi pengion
sebesar dE kepada bahan yang dilaluinya dengan massa dm. Satuan yang
digunakan sebelumnya adalah rad. Satu rad adalah energi rata-rata sebesar
100erg yang diserap bahan dengan massa 1 gram yang didefenisikan sebagai :
1 rad : 100 erg/gr
1gray (Gy) : 100 rad
Satuan dosis erap dalam SI adalah Joule/Kg atau sama dengan gray (Gy). Satu
gray adalah dosis radiasi yang diserap dalam satu joule per kilogram.
1 gray (Gy) = 1 joule/Kg
3. Laju Dosis Serap
Adalah dosis serap persatuan waktu.satuan laju dosis serap dalam SI adalah
joule/KG.Jam atau gray/jam (GY/jam) dan dalam satuan lama adalah rad/jam.
4. Distribusi Dosis Kedalaman
Distribusi dilakukan pada pasien, dosis yang di serap akan bervariasi sesuai
dengan keadaaan,variasi ini bergantug pada banyak nya kondisi seperti ; sinar,
keadaan, luas lapngan, jark dari sumber dan sistem kolimasi sinar.demikian
juga kalkulasi dosis pada pasien melibatkan pertimbangan dalam perhatian
parameter-parameter dan efek-efek lain pada distribusi dosis kedalaman.

Universitas Sumatera Utara


60

5. Persentase dosis kedalaman


Jumlah radiasi yang diserap oleh badan atau jaringan disebut dosis serap dan
banyaknya radiasi yang diserap oleh badan atau jaringan pada suatu
kedalaman tertentu disebut persentse dosis kedalaman (PPD).
Persentase dosis kedalaman adalah hasil bagi dari dosis serap pada suatu
kedalaman tertentu (Dd) dengan dosis serap pada suatu kedalaman tertentu
dengan dosis serap pada kedalaman maksimum (Dmax) yang dinyatakan
dalam perentasi dengan rumus :

PPD = Dd x 100%
Dma

Dimana : Dd = dosis serap pada suatu kedalaman


Dmax = dosis serap pada kedalaman maksimum.
Persentase dosis kedalam dipengaruhi oleh energi, luas lapangan, SSD daan
komposisi medium yang diradiasi. Dalam praktek klinik puncak dosis serap
pada sumbu utama disebut juga dosis maksimum. Dosis maksimum dari dosis
yang diberikan atau dapat dirumuskan sebagai berikut :

Dd
Dmax = x 100%
PDD

Distribusi dosis pada sumbu utama dalam pasien atau fantom yang dikenal
sebagai PDD di normalisasikn dengan dosis maksimum (Dmax) = 100% yakni,
dosis pada kedalaman maksimum (dmax).

Universitas Sumatera Utara


12

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah yang berfungsi
sebagai media transport oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan
membawa karbon dioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru.Kadar hemoglobin
dapat dipakai salah satu indicator penurunan status gizi seseorang. Molekul
hemoglobin terdiri dari globin, dengan satu atom besi. apoprotein dan empat
gugus heme, suatu moleku organik (Kurniada,2009). Kandungan zat besi yang
terdapat dalam hemoglobin membuat darah berwarnah merah.
Hemoglobin atau Hb merupakan gabungan dari 2 kata yaitu heme (besi)
dan globin (protein).warna darah di sebabkan karena adanya hemoglobin. Kadar
Hb dalam darah manusia dewasa, pria : 13 18 g/dl, wanita 12 16 g/dl keadaan
dimana kadar Hb kurang dari nilai normal disebut sebagai anemia.Kadar
hemoglobin pada pasien karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah mendapat
radioterapi hal ini akan berpengaruh juga pada asupan makan dan gizi pasien yang
mendapat radioterapi penelitian pengaruh penyinaran radioterapi terhadap pasien
karsinoma nasofaring dapat mengetahui sejauh mana radioterapi berefek pada
kadar hemoglobin pasien. Penelitian lebih lanjut akan mengarah pada kadar
hemoglobin pada pasien karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah radioterapi.
(Hilman,2005).
Radioterapi merupakan pengobatan penyakit dengan radiasi pingion atau
disebut juga penyinaran dan dipilih sebagai salah satu metode pengobatan pada
pasien karsinoma nasofaring. Radioterapi dapat mengakibatkan penurunan status
gizi pada pasien kanker nasofaring, penelitian ini bertujuan untuk membuktikan
adanya analisis efek perubahan jumlah hemoglobin (HB) pasien radioterapi.
Dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan
frekwensi tertinggi sedangkan di daerah Rosenmuller pada nasofaring yang
merupakan daerah trassisional dimana epitelkuboid berubah menjadi epitel
skuamosa. Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih
merupakan suatu problem,hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala

Universitas Sumatera Utara


13

dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembuyi, sehinggah diagnosis
sering terlambat.
Pada stadium dini radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang
dapat diberikan secarah tunggal dan memberikan angka kesembuahan yang cukup
tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang
dikombinasi dengan radioterapi.oleh karena itu diagnose dini merupakan salah
satu tindakan yang di lakukan untuk mengetahui lebih awal dan bagaimana
penanggulangannya.( Demizu,2006).
Limfosit adalah jenis sel darah putih, yang merupakan bagian penting dari
sistem kekebalan tubuh. Limfosit dapat mempertahankan tubuh terhadap infeksi
karena mereka bisa membedakan sel-sel tubuh sendiri dari sel-sel asing. Setelah
mereka mengenali bahan asing dalam tubuh, mereka memproduksi bahan kimia
untuk menghancurkan sel asing terebut.Sebuah diagram yang menunjukkan
berbagai jenis sel darah putih, termasuk limfosit. Ada dua jenis limfosit yang
diproduksi di sumsum tulang sebelum kelahiran. Limfosit B, juga disebut sel B,
ada di dalam sumsum tulang sampai mereka dewasa. Setelah matang, mereka
menyebar ke seluruh tubuh dan berkonsentrasi dalam limpa dan kelenjar getah
bening. Limfosit T, atau sel T, meninggalkan sumsum tulang dan matang dalam
timus, kelenjar yang ditemukan didada dan Hanya limfosit dewasa dapat
melakukan respon imun. Semua limfosit mampu memproduksi bahan kimia untuk
melawan molekul asing. Setiap molekul yang di deteksi oleh tubuh sebagai benda
asing disebut antigen. setiap limfosit, apakah B atau T, spesifik hanya untuk satu
jenis antigen.

1.2 Perumusan Masalah


Bagaimana analisis pengaruh radiotrapi pada karsinoma nasofaring terhadap nilai
hemoglobin dan limfosit.

Universitas Sumatera Utara


14

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui dosis penyinaran pada pasien karsinoma nasofaring.


2. Untuk mengetahui efek pemberian dosis radioterapi terhadap hemoglobin dan
limfosit pada penderita karsinoma nasofaring.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Dapat memberikan informasi bahwa penyinaran radioterapi dapat
mempengaruhi nilai hemoglobin dan limfosit.
2. Untuk meningkatkan kesadaran pasien tentang faktor resiko terjadinya
karsinoma nasofaring.
3. Data atau informasi hasil penelitian ini dapat di manfaatkan oleh pasien karena
hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai eduksi pada pasien tentang
penyakit ini agar dapat berobat lebih awal.
4. Dapat di gunakan sebagai acuan penelitian selanjutnya.

1.5 Batasan Masalah


Penelitian ini dibatasi dengan pengaruh penyinaran terhadap nilai hemoglobin dan
limfosit pada karsinoma nasopharing.

1.6 Sistematika penulisan


Sistematik penulisan skripsi ini terdiri dari bab bab yang memuat beberapa sub
bab. Untuk memudahkan pembacaan dan pemahaman maka skripsi ini di bagi
menjadi beberapa bab yaitu:

Universitas Sumatera Utara


6

PENGARUH PENYINARAN RADIOTERAPI

TERHADAP NILAI HEMOGLOBIN DAN LIMFOSIT PADA

KARSINOMA NASOFARING

ABSTRAK

Telah dilaksanakan penelitian pengaruh penyinaran radioterapi terhadap hemoglobin


dan limfosit pada pasien karinoma nasopharing dengan menggunakan pesawat LINAC.
Dengan melakukan pengumpulan data pemeriksaan darah terhadap jumlah Hemaglobin
dan Limfosit. Nilai normal mempengaruhi system aliran hemoglobin dan hitung jenis
limfosit diharapkan berada pada nilai normal. Nilai normal mempengaruhi system aliran
hemoglobin dan limfosit. Hasil penelitian menunjukkan pada saat sebelum dan sesudah
dilaksanakan penyinaran (fraksinasi) hemoglobin dan limfosit mengalami penurunan
jumlah darah dan jumlah sel dari nilai normal. Perubahan penurunan produksi
hemoglobin akibat penyinaran. Penurunan produksi Hb pada penderita setelah
mendapat radiasi dapat disebabkan Gangguan sistem darah akibat penyinaran
radioterapi.

Universitas Sumatera Utara


7

EFFECT IRRADIATION RADIOTHERAPY


VALUE OF HEMOGLOBIN AND LYMPHOCYTES IN
NASOPHARYNGEAL CARCINOMA

ABSTRACT

Has conducted research on the effects of irradiation radiotherapy hemoglobin and


lymphocytes in patients carsinoma nasopharyngeal using LINAC plane. By
collecting data on the number of blood tests hemoglobin and lymphocytes. The
normal value system affects the flow of hemoglobin and lymphocyte counts are
expected to be in the normal value. The normal value system affects the flow of
hemoglobin and lymphocytes. Results showed before and after irradiation
implemented (fractionation) hemoglobin and decreased lymphocyte blood counts
and the number of cells of the normal value. Changes in hemoglobin production
decline due to irradiation. The decline in the production of hemoglobin in patients
after receiving radiation can be caused due to the blood system disorders
irradiation radiotherapy.

Universitas Sumatera Utara


1

PENGARUH PENYINARAN RADIOTERAPI

TERHADAP NILAI HEMOGLOBIN DAN LIMFOSIT PADA

KARSINOMA NASOFARING

SKRIPSI

Diajukan oleh :

MASLINDA SARI SIREGAR

140821029

DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


2

PERSETUJUAN

Judul : PENGARUH PENYINARAN


RADIOTERAPI TERHADAP NILAI
HEMOGLOBIN DAN LIMFOSIT PADA
KARSINOMA NASOFARING
Katagori : TUGAS AKHIR
Nama : MASLINDA SARI SIREGAR
Nomor induk Mahasiswa : 140821029
Program Studi : SARJANA (S1) FISIKA
Departemen : FISIKA
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM (MIPA) UNIVERSITAS SUMATRA
UTARA

Diluluskan di

Medan, Agustus 2016

Komisi Pembimbing :

Diketahui/Disetujui oleh

Pembimbing 1 Pembimbing II

Drs. Aditia Warman,M.Si Alaph O. Martua Damanik

NIP: 195705031983031003 NIP:197403171998031003

Diketahui Oleh

Ketua Departemen Fisika

Dr. Marhaposan Situmorang

Universitas Sumatera Utara


3

Nip. 195510301980031003

PERNYATAAN
PENGARUH PENYINARAN RADIOTERAPI TERHADAP NILAI HEMOGLOBIN DAN
LIMFOSIT PADA KARSINOMA NASOFARING

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri,kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya

Medan, Agustus 2016

MASLINDA SARI SIREGAR

140821029

Universitas Sumatera Utara


4

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa,atas berkat dan
karuniaNya sehingga penulisan laporan tugas akhir ini dengan judul PENGARUH
PENYINARAN RADIOTERAPI TERHADAP NILAI HEMOGLOBIN DAN LIMFOSIT PADA
KARSINOMA NASOFARING , dapat diselesaikan dengan baik.

Laporan ini disusun dengan percobaan-percobaan yamg dilakukan dan


disesuaikan dengan literatur yang ada, baik dari buku penunjang maupun
internet,sehingga berguna bagi semua orang yang akan memperoleh informasi laporan
ini.
Dalam penulisan laporan ini, penulis banyak mengucapkan terimakasih kepada :
Bapak Dr. Kerista Sebayang.M.S. selaku Dekan Fakultas Matematika dan
Ilmu pengetahuan alam Universitas Sumatera Utara.
Bapak Dr. Marhaposan Situmorang selaku Ketua Program studi Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatra
Utara.
Bapak Drs.Aditia Warman, MSi dan Bapak Alaph O. Maratua Damanik,
M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan
penulis,sehingga laporan ini dapat diselesaikan dengan baik.
Seluruh Dosen Pengajar Depertemen Fisika Fakultas Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Sumatra Utara
Teristimewa Ayahanda MARAIMBANG SIREGAR dan Ibunda
NURHAIDAH HASIBUAN yang telah banyak memberikan dukungan-
dukungan doa moril,material, serta kasih sayang dan kepercayaan yang
telah diberikan selama ini. Dan kepada suamiku Tony Catur Wahyudi
yang selalu memberikan dukungan, semangat dan doa.
Buat teman-teman dari PT.Socpindo yang selalu memberikan dukungan
dan bantuannya.
Teman-teman Fisika Extensi 14 khususnya Juliana mendrofa, Indah
haris,Aisyah ,Berty manogajah, Sopi dan teman - teman Fisika Eksstensi

Universitas Sumatera Utara


5

14 dan juga teman-teman yang lain sama-sama merasakan pahit manisnya


selama kuliah dan kerja sama selama masa perkuliahan.
Kepada teman-teman penulis yang namanya tidak dapat disebutkan satu
per satu, terima kasih buat dukungannya yang memberikan dalam
penulisan skripsi ini.

Dalam rancangan alat ini masih terdapat hal-hal yang perlu disempurnakan.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif bagi rakitan tugas akhir
ini sehingga menjadi peralatan yang lebih sempurna dan modern bagi dunia sains dan
teknologi.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang


membantu dalam menyelesaikan laporan skripsi ini. Semoga Tuhan selalu memberkati
kita.

Medan, Agustus 2016

Penulis Maslinda Sari Siregar

Universitas Sumatera Utara


6

PENGARUH PENYINARAN RADIOTERAPI

TERHADAP NILAI HEMOGLOBIN DAN LIMFOSIT PADA

KARSINOMA NASOFARING

ABSTRAK

Telah dilaksanakan penelitian pengaruh penyinaran radioterapi terhadap hemoglobin


dan limfosit pada pasien karinoma nasopharing dengan menggunakan pesawat LINAC.
Dengan melakukan pengumpulan data pemeriksaan darah terhadap jumlah Hemaglobin
dan Limfosit. Nilai normal mempengaruhi system aliran hemoglobin dan hitung jenis
limfosit diharapkan berada pada nilai normal. Nilai normal mempengaruhi system aliran
hemoglobin dan limfosit. Hasil penelitian menunjukkan pada saat sebelum dan sesudah
dilaksanakan penyinaran (fraksinasi) hemoglobin dan limfosit mengalami penurunan
jumlah darah dan jumlah sel dari nilai normal. Perubahan penurunan produksi
hemoglobin akibat penyinaran. Penurunan produksi Hb pada penderita setelah
mendapat radiasi dapat disebabkan Gangguan sistem darah akibat penyinaran
radioterapi.

Universitas Sumatera Utara


7

EFFECT IRRADIATION RADIOTHERAPY


VALUE OF HEMOGLOBIN AND LYMPHOCYTES IN
NASOPHARYNGEAL CARCINOMA

ABSTRACT

Has conducted research on the effects of irradiation radiotherapy hemoglobin and


lymphocytes in patients carsinoma nasopharyngeal using LINAC plane. By
collecting data on the number of blood tests hemoglobin and lymphocytes. The
normal value system affects the flow of hemoglobin and lymphocyte counts are
expected to be in the normal value. The normal value system affects the flow of
hemoglobin and lymphocytes. Results showed before and after irradiation
implemented (fractionation) hemoglobin and decreased lymphocyte blood counts
and the number of cells of the normal value. Changes in hemoglobin production
decline due to irradiation. The decline in the production of hemoglobin in patients
after receiving radiation can be caused due to the blood system disorders
irradiation radiotherapy.

Universitas Sumatera Utara


8

DAFTAR ISI

Halaman
Persetujuan .................................................................................................................... i
Pernyataan ..................................................................................................................... ii
Penghargaan .................................................................................................................. iii
Abstrak ........................................................................................................................... v
Abstrac ........................................................................................................................... vi
Daftar isi ......................................................................................................................... vii
Daftar gambar ................................................................................................................ ix
Daftar tabel .................................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan masalah .................................................................................................. 2
1.3 Tujuan penelitian ................................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................. 3
1.5 Batasan Masalah .................................................................................................... 3
1.6 Sistematika penulisan ............................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hemoglobin .............................................................................................................. 4
2.2 Karsinoma Nasofaring .............................................................................................. 8
2.1.1 Definisi ........................................................................................................... 8
2.1.2 Gejala Karsinoma Nasofaring ........................................................................ 8
2.1.3 Epidomologi ................................................................................................... 8
2.1.4 Etiologi ........................................................................................................... 9
2.3 Anatomi Nasopharing .............................................................................................. 10
2.4 Patologi .................................................................................................................... 12
2.5 Radang Kronis di Daerah Nasofaring. ...................................................................... 12
2.6 Diagnosa................................................................................................................... 13
2.7 Stadium ( NN 2008) .................................................................................................. 14
2.8 Pengobatan Karsinoma Nasofaring.......................................................................... 15
2.9 Kosep Dasar Radioterapi .......................................................................................... 17
2.9.1 Defenisi Radioterapi ...................................................................................... 17

Universitas Sumatera Utara


9

2.9.2 Tujuan Radioterapi ........................................................................................ 17


2.9.3 Jenis Radioterapi............................................................................................ 17
2.9.4 Efek Samping Radioterapi.............................................................................. 20
2.10 Radioterapi............................................................................................................. 22
2.11 Teknik Radioterapi dapat dilakukan denan cara.................................................... 22
2.12 Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring ................................... 23
2.13Teknik Radioterapi Karsinoma Nasofaring.............................................................. 25
2.14 Linear accelerator (LINAC) ..................................................................................... 36
2.15 Prinsip Kerja Linear Accelerator ............................................................................. 39
2.16 Besaran dan Satuan Dasar dalam Dosimetri.......................................................... 43
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Tempat Penelitian ................................................................................................... 50
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ...................................................................................... 50
3.3 Flow Chart Penelitian ............................................................................................. 51
BAB IV HASILDAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil ....................................................................................................................... 52
4.2 Pembahasan ......................................................................................................... 63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 65
5.2 Saran ....................................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


10

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Gambar 2.0 Limfosit ........................................................................................... 7


2. Gambar 2.1 Anatomi nasofaring ........................................................................ 11
3. Gambar 2.2 lapangan opposing lateral .............................................................. 30
4. Gambar 2.3 pengecilan lapangan opposing lteral ............................................ 30
5. Gambar 2.4 nodule kelenjar lymfenodi nasofaring ......................................... 31
6. Gambar 2.5 posisi anatomi ................................................................................. 34
7. Gambar 2.6 bantalan kepala dan leher .............................................................. 35
8. Gambar 2.7 masker/imobilisasi kepala ............................................................. 35
9. Gambar 2.8 imobilisasi bamtal kepala yang tidak pas .................................... 35
10. Gambar 2.9 Skematik prinsip kerja linac ......................................................... 37
11. Gambar 2.10 Komponen pada accelerator tube ............................................... 38
12. Gambar 2.11 profil energy tanpa FF ................................................................. 42
13. Gambar 2.12 Modifikasi geometri dengan multi leaf colimator ................... 42
14. Gambar 3.0 Pesawat Radioterapi LINAC (Linear Accelerator).................... 50

Universitas Sumatera Utara


11

DAFTAR TABEL

Halaman
1. Tabel 2.1 Nilai Normal Hemaglobin .............................................................. 5
2. Tabel 2.2 Stadium KNF ................................................................................. 15
3. Tabel 4.1 Nilai Jumlah Hemoglobin Setiap Pasien terhadap Dosis
Penyinaran Radiotrapi ..................................................................................... 47
4. Tabel 4.2 Nilai Normal Hemoglobin (Figo) ................................................... 54
5. Tabel 4.3 Nilai Normal Limfosit (Figo) .......................................................... 54
6. Tabel 4.4 Jumlah Limfosit Setiap Pasien terhadap Dosis
Penyinaran Radiotrapi ..................................................................................... 55

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai