DAFTAR PUSTAKA
BAB III
METODE PENELITIAN
Alat yang di gunakan pada penelitian ini adalah pesawat radioterapi LINAC
(Linear accelerator)
2. HASIL LABORATORIUM
Bahan yang di gunakan dalam penelitian ini ada lah pasien dengan kasus
karsinoma nasofaring sebanyak 6 orang.
Start
Fraksinasi
Analisa
Selesai
BAB IV
4.1 HASIL
Dari hasil pengambilan data yang telah dilakukan dirumah sakit Umum
Murni Teguh bagian radioterapi. maka di peroleh hasil fraksinasi dalam terapi
radiasi ditujukan untuk meningkatkan efek radiasi pada jaringan karsinoma
nasopharing/kanker dan untuk menurunkan efek radiasi pada jaringan normal.
Efek samping pada jaringan normal dapat terjadi, baik akut ataupun lanjut
(kronis). Efek samping akut terkait dengan singkatnya waktu fraksinai, semakin
singkat waktu total radiasi semakin tinggi efek samping akut radiasi. Sedangkan
efek samping lanjut berkaitan dengan besarnya dosis dalam tiap fraksi, semakin
tinggi sosis per fraksi semakin tinggi efek samping lanjut. Dalam penerapannya,
system fraksinasi dibuat dengan skema yang bervariasi, yang didasarkan pada
skema dosis per fraksi, jumlah fraksi, interval waktu fraksi, ataupun berdasarkan
perubahan dosis totalnya.
- Fraksinasi dengan jumlah fraksi 5 kali perminggu. Dosis per fraksi yang
diberikan 1 x setiap hari biasanya berkisar antara 1,8 Gy 2 Gy (minggu
pertama)
- Fraksinasi dengan jumlah fraksi lebih sedikit dari konvensional (1-4 kali
perminggu) tetapi dosis per fraksi yang diberikan lebih besar (3-5 Gy) untuk
mencapai dosis total yang sama dengan faksinasi sebelumnya.
- Besaran dosis total yang diberikan tergantung dari tujuan radiasi (kuratif atau
paliatif) dan jenis histopatotoginya. Dosis kuratif umumnya 25 30 kali,
diberikan 5 kali dalam satu minggu (Senin s.d. Jumat), dengan dosis perkali
yang diberikan : 1,8 2 Gy. Dosis paliatif umumnya 5-20 kali, dengan dosis
perkali yang diberikan 2-5 Gy.
Umumnya sekali radiasi membutuhkan waktu kurang lebih 15-30 menit
mulai pasien masuk ke ruang radiasi, saat penyinaran, sampai pasien kembali ke
luar ruang radiasi. Dalam ruang pengobatan radiasi, anda akan diposisikan persis
sama sewaktu menjalani simulator. Anda diharuskan diam selama pengobatan
4.1.1 Tabel Dan Hubungan Nilai Hemoglobin Dan Limfosit Terhadap Dosis
Penyinaran Radioterapi
P
HB
a HB HB HB HB HB HB
Jumlah (gm/dl)
s (gm/dl) (gm/dl) (gm/dl) (gm/dl) (gm/dl) (gm/dl)
Total Sebelum
i Penyinar Penyinar Penyinar Penyinar Penyinar Penyinar
Fraksinasi Penyinar
e an Ke 10 an Ke 15 an Ke 20 an Ke 25 an Ke 30 an Ke 32
an
n
A 32 12,8 12,3 11,5 12,2 10,0 9,3 8,6
Dan pada table 4.2 adalah nilai normal dari hemoglobin sebagai berikut ;
Dan pada table 4.3 adalah nilai normal dari limfosit sebagai berikut ini :
Umur 1 tahun 2%
20-40%
BBL 34%
Limfosit 1 th 60%
6 th 42%
12 th 38%
2-8%
Monosit
Anak 4-9%
HB PASIEN A
14
12,8
12 12,3
11,5 11,2
10 10.0
9,3
8.6 8,6
8
6 Hemoglobin
4
0
HB Sebelum 10 15 20 25 30 32 32Jumlah Penyinaran
Penyinaran
Limfosit PASIEN A
30
28.0
25
23,5 22,7
22,2
20
18.5
15
11,3 Limfosit
10 10.0 10
0
Limfosit 10 15 20 25 30 32 32
Jumlah Penyinaran
Sebelum
Penyinara
HB PASIEN B
14
13,3
12,8 12,5
12
11,1
10 10.2
9,3
8.9 8,9
8
6 Hemoglobin
0
HB Sebelum 10 15 20 25 30 32 32 Jumlah Penyinaran
Penyinaran
Limfosit PASIEN B
30
25 25,9
22,4
20 20,1
17.1
15 15,1
11.9 11,9
11.0 Limfosit
10
0
Limfosit 10 15 20 25 30 32 32
Jumlah Penyinaran
Sebelum
Penyinara
PASIEN C
16 HB
14
13,5 13.3
12,5
12
11,6
10,8 10,5
10
9.0 9
8
Hemoglobin
6
0
HB Sebelum 10 15 20 25 30 32 32 Jumlah Penyinaran
Penyinaran
Limfosit PASIEN C
25
20,8
20 20.0
18,8
15
13,7
12.6
11,8
10 10.0 10 Limfosit
0
Limfosit 10 15 20 25 30 32 32
Jumlah Penyinaran
Sebelum
Penyinara
HB PASIEN D
14
12,7
12
11,6 11,3
10,8 10.5
10
9,4
9.0 8,6
8
6 Hemoglobin
0
HB Sebelum 10 15 20 25 30 32 32Jumlah Penyinaran
Penyinaran
Limfosit PASIEN D
30
25 24,4
22.9
22.0
20 20,2
16.9
16.0
15
10.8
10,8 Limfosit
10
0
Limfosit 10 15 20 25 30 32 32
Jumlah Penyinaran
Sebelum
Penyinara
HB PASIEN E
16
14
13,4
12,8
12 12.0 11,8
10 10.4
9,5
8.7 8,7
8
Hemoglobin
6
0
HB Sebelum 10 15 20 25 30 32 32 Jumlah Penyinaran
Penyinaran
Limfosit PASIEN E
30
28,5
25 25.4
20 20.8
17,9
15
11.6 Limfosit
10 10.6 10.0 10
0
Limfosit 10 15 20 25 30 32 32
Jumlah Penyinaran
Sebelum
Penyinara
HB PASIEN F
16
14 13,8
13,1
12 12.1 12.4
10,9
10 10,1
9.3 9,3
8
Hemoglobin
6
0
HB Sebelum 10 15 20 25 30 32 32 Jumlah Penyinaran
Penyinaran
Limfosit PASIEN F
25
22.0
20 20.0
17.9
16,8
15
12.8
10 10.2 9.8 9,8 Limfosit
0
Limfosit 10 15 20 25 30 32 32
Jumlah Penyinaran
Sebelum
Penyinara
4.2 PEMBAHASAN
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan di rumah sakir umum
Murni Teguh Medan bagian radioterapi, fraksinasi yang diberikan pada penderita
karsioma nasofaring mempengaruhi nilai hemoglobin dan sel darah putih limfosit.
Dimana data analisis nilai hemoglobin dan limfosit pasien penderita karsinoma
nasofaring menunjukkan adanya penurunan jumlah nilai hemoglobin baik itu
jumlah limfosit maupun sel darah (hemoglobin) peranan hemoglobin menjadi
berkurang. Anemia membuat penurunan jumlah sel darah merah yang ditandai
oleh penurunan Hb (hemoglobin). Karena Hemoglobin letaknya di dalam sel
darah merah. Akibat anemia adalah seorang menjadi merasa lemah, mudah lelah
dan tampak pucat. Dan berdasar penelitian di Murni Teguh Medan, Fraksinasi
yang di berikan pada penderita karsinoma nasofaring dapat mempengaruhi jumlah
hemoglobin dan limfosit pasien
5.2 Saran
Sebaiknya pada saat dilaksanakan penyinaran Radioterapi kepada pasien.
Dilakukan pengambilan cek darah bukan hanya pada saat sebelum dan sesusah
fraksinasi. Tetapi ada baiknya dilakukan juga pengambilan cek darah pada
pertengahan fraksinasi atau per lima kali fraksinasi. Agar dapat diketahui
perkembangan kesanggupan daya tahan tubuh pasien terhadap radiasi yang
diterima terlebih.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hemoglobin
Limfosit adalah jenis sel darah putih, yang merupakan bagian penting dari
sistem kekebalan tubuh. Limfosit dapat mempertahankan tubuh terhadap infeksi
karena mereka dapat membedakan sel-sel tubuh sendiri dari yang asing.
Ada dua jenis utama limfosit T dan masing-masing memainkan peran yang
terpisah dalam sistem kekebalan tubuh. Sel pembunuh T mencari tubuh untuk sel
yang terinfeksi oleh antigen. Ketika sel T pembunuh mengenali antigen yang
melekat pada sel tubuh, menempel pada permukaan sel yang terinfeksi. Kemudian
mengeluarkan bahan kimia beracun ke dalam sel, membunuh kedua antigen dan
sel yang terinfeksi.
Pertama kali antigen yang dihadapi, respon imun primer, reaksi lambat.
Setelah dirangsang oleh sel T helper, sel B mulai meniru dan menjadi baik sel
plasma atau sel memori. Sel plasma menghasilkan antibodi untuk melawan
antigen, tetapi antigen juga memiliki waktu untuk berkembang biak. Pengaruh
antigen pada sel-sel tubuh yang menyebabkan gejala penyakit. Awalnya, itu dapat
mengambil hari atau bahkan berminggu-minggu untuk antibodi yang cukup untuk
diproduksi untuk mengalahkan materi menyerang.
waktu seminggu. Sel memori tetap dalam tubuh lebih lama dari sel plasma dan
antibodi, seringkali tahun. Mereka adalah penting untuk memberikan kekebalan.
Keterangan Gambar :
a. Sel T Matang dalam Timus.
b. Sel T Sitotoksik secara langsung.
c. Menyerang sel-sel asing.
d. Sel T Helper merangsang sel B.
e. Sel B berubah menjadi sel Plasma.
f. Melepaskan antibody kedalam aliran darah.
g. Sel B berdiferensiasi menjadi sel Memori
2.2.3 Epidomologi
Kurang lebih, lima dari 100.000 penduduk Indonesia adalah pengidap
penyakit kanker nasofaring. Kanker nasofaring masuk dalam kelompok lima besar
tumor ganas yang sering dijumpai di Indonesia, bersama-sama dengan kanker
payudara, leher rahim, paru dan kulit. Kanker ini ditemukan dua kali lebih banyak
pada pria dibandingkan wanita. Di Indonesia perbandingan jumlah penderita etnis
tionghoa 3 kali lebih sering terjadi dibandingkan etnis melayu. Umumnya (sekitar
60%) kanker ini mengenai pasien yang berusia antara 25 sampai 60 tahun.
Meskipun usia bertahan hidup 5 tahun dari pasien KNF menurut perpustakaan-
50%, namun angka kematian kanker ini di Indonesia cukup tinggi. Hal ini
disebabkan sebagaian besar penderita datang dalam stadium lanjut.
Gejala penyakit kanker nasofaring biasanya hanya mimisan atau hidung
berbau. Namun pada tahap selanjutnya gejala kanker nasofaring akan membuat
2.2.4 Etiologi
Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai
penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam
tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka
waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator.
Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa
kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini
sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.
- benzopyrenen
- benzoanthracene
- gas kimia
- asap industri
- asap kayu
- beberapa ekstrak tumbuhan
4. Ras dan keturunan
5. Radang kronis daerah nasofaring
6. Profil HLA.
yang paling sering adalah rongga hidung, sinus orofaring,ruang parafaring, dan
basis cranii. Struktur orbita, vertebra servikal dan struktur pterygoid pada stadium
lanjut dapat terlibat.
Tumor dapat meluas melalui foramen laserum,ovale, atao spinosum yang
berfotensi melibat kan saraf kranial II hingga VI. Tumor dapat mencapai cranium
melalui kanalis korotikus, foramen jugularis atau kanalis hipoglosus pada kasus
yang lebih jarang.
Nasofaring mendapat suplai darah dari cabang eksternal arteri karotis dengan
drainase vena menuju pleksus faringeal menuju vena jugularis interna. Persaratan
nasofaring diperoleh dari cabang saraf kranial V2, IX, dan X serta saraf simpatis.
Nasofaring kaya akan jaringan limfatik dengan beberapa jalur drainase. Level
pertama adalah kelenjar getah bening(KGB) yang berada di ruang parafaring dan
retrofiring.
2.4 Patologi
Kira kira 90% karsinoma yang terdiferensi sedang 10% sebagian besar
merupakan limpoma tetapi juga bias berupa plasmacytoma. Sedang tumor yang
berasal dari kelenjar liur berupa melanoma. Rhabdomyosarcoma dan chordoma.
Karsinoma adenoid cystic pada nasofaring jarang terjadi,sedang sarcoma kadang
muncul dari embrional atau jaringan ikat. Kebanyakan limpoma nasofaring
bersifat limpoma sel mayor nonhodgkin.
Gejala dan tanda pada penderita karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam
beberapa kelompok, yaitu Gejala dini dan Gejala hidung . Berupa epistaksis
(mimisan) ringan atau sumbatan hidung. Untuk itu nasofaring harus diperiksa
dengan cermat kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum
ada namun tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di
bawah mukosa (creeping tumor). Tumor yang terus tumbuh menyebabkan
permukaan mukosa meninggi. Pertumbuhan tumor yang berlanjut akan meluas ke
dalam rongga nasofaring, menutupi koana dan menyebabkan hidung buntu yang
menetap. Gejala telinga, merupakan gejala dini yang timbul . Karena tempat asal
tumor dekat muara tuba eustachius (fossa rosenmuller). Gangguan dapat berupa
penyumbatan muara tuba, telinga tengah akan terisi cairan, cairan yang diproduksi
makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga,
penderita mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai
dengan gangguan pendengaran.
Gejala lanjut, gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Tumor
dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan
belakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan
gejala akibat kelumpuhan otak syaraf yang sering ditemukan adalah penglihatan
dobel, mati rasa di daerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah,
gangguan pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa
sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak, rahang tidak dapat
dibuka akibat kekakuan otot-otot yang terkena tumor. Gejala Metastasis Sel-sel
kanker dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh
yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh, sering
terjadi pada tulang, hati dan paru. Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk
benjolan di leher.
2.6 Diagnosa
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu carsinoma
pasti serta stadium tumor : Anamnesis
Mencakup keluhan nyeri kepala, suara bindeng, penglihatan ganda, pendarahan
hidung atau mulut serta nyeri tulang. Pemeriksaan fisik umum dengan menilai
keadaan umum, pembesaran hati atau nyeri ketok pada tulang belakang.
Pemeriksaan lokal menilai kelainan neurologik seperti mata juling, lidah dan
mulut yang mencong, baal di wajah. Pemeriksaan regional dengan melihat
pembesaran kelenjar getah bening leher. Biopsi untuk menentukan tumor primer
atau berasal dari metastasis.Pemeriksaan patologi anatomi untuk menentukan jenis
histopatologi tumor primer. Pemeriksaan radiologi polos untuk menilai adanya
invasi intrakranial atau destruksi tulang-tulang tengkorak. CT Scan (computerized
tomography) dan MRI (Magnetic Resonance imaging) merupakan pemeriksaan
yang mutlak dilakukan untuk menentukan stadium dan tindakan. Sedang
pemeriksaan USG untuk mencari kemungkinan metastasis pada hati. Foto
Thoraks rutin dilakukan untuk kemungkinan metastasis paru. Pemeriksaan
kedokteran nuklir atas indikasi stadium lanjut dan bila ada keluhan tulang-tulang
panjang atau tulang belakang.
Stadium KNF
T Tumor primer
M1 Metastase jauh
- Stadium I : T1 No dan Mo
- Stadium II : T2 No dan Mo
- Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 atau T3 dan No dan Mo
- Stadium IV : T4 dan No/N1 dan Mo atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan Mo
atau T1/T2/T3/T4 dan No/N1/N3/N4 dan M
atau pada keadaan kambuh. Operasi, Tindakan operasi pada penderita karsinoma
nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher
dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan
kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Nasofaringektomi
merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh
atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
Radioterapi, sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting
dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring (Perez C.A, 2004). Penatalaksanaan
pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa
kemoterapi. Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna
dengan menggunakan sinar pengion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor
sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak
menderita kerusakan terlalu berat.
Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap
merupakan terapi terpenting (Gunadi dan Amriatun, 1996). Strategi pengobatan
radioterapi konvensional untuk karsinoma nasofaring lokoregional lanjut adalah
radiasi eksterna dengan total dosis mencapai 66-70 Gy(gray) untuk T1-T2 dan 70-
75 Gy untuk T3-T4, selama 7 minggu, 5 kali penyinaran dalam seminggu dengan
2 Gy perfraksi. Pada saat dosis mencapai 40 Gy, medulla spinalis harus
dikeluarkan dari lapangan radiasi, sedangkan dosis untuk leher bawah dan fosa
supraklavikula dengan lapangan dari anterior sampai dengan 50 Gy dengan 2 Gy
perfraksi.
Brachytherapy bisa dilakukan pada kanker: prostat, payudara, usus, paru, serviks,
rektum, sarkoma, serta kanker leher dan kepala.
Teknik bedah dengan memanfaatkan sinar laser ini memungkinkan para
penderita kanker, khususnya kanker otak, tidak perlu melakukan operasi
pembedahan kepala (buka tempurung kepala) demi mengobati tumornya.
Operasi ini melibatkan penggunaan robot canggih dan sinar laser yang
diarahkan tepat ke daerah tumor tuk membakar tumornya.
Istilah lain adalah Cyberknife. Cyberknife digunakan untuk memperlambat
pertumbuhan tumor otak yang masih kecil ukurannya, tetapi posisinya sulit
dijangkau (jauh di dalam otak).
Jenis jenis tumor yang dapat diatasi dengan Cyberknife ini antara lain:
Kanker yang telah metastase ke otak (dari organ lain)
Tumor syaraf yang pertumbuhannya lambat (accoustic neuroma)
Tumor pituitari
Tumor saraf belakang (spinal cord tumor)
diinginkan, makan dalam jumlah kecil tetapi sering, hindari memakan makanan
yang kering, minum banyak air, bisa diberikan makanan suplemen untuk
meningkatkan nafsu makan. Perubahan kulit yang terjadi bisa dikurangi dengan
tidak menggunakan produk-produk pada kulit sebelum radioterapi, menggunakan
baju yang tidak terlalu sempit, menggunakan sabun yang lembut dan air hangat
pada saat membasuh tubuh, dilarang menggosok terlalu keras pada area yang
terkena radioterapi, hindari temperatur yang terlalu panas atau terlalu dingin serta
hindari sinar matahari langsung.
Pada umumnya efek samping dari radioterapi akan hilang dengan
sendirinya setelah pengobatan dihentikan. Tetapi pada beberapa kasus yang jarang
akan terjadi efek samping yang berkepanjangan karena radiasi menyebabkan
kerusakan pada organ dalam yang berhubungan atau berdekatan dengan tempat
tumor.
Sedangkan radiasi pascabedah pada umumnya sama dengan diatas dengan
kelebihan tidak menghilangkan pola gambaran histopatologik sehingga dapat
diperoleh diagnosis patologik anatomik dn stadium yang akurat.
Radiasi eksterna ini terutama diperlukan pada kasus dengan gradiasi
diferensiasi tinggi. Salah stu dari banyak penelitian melaporkan bahwa tumor
dengan gradiasi diferensiasi tinggi mempunyai kecenderungan yang tinggi pula
untuk terjadinya invasi miometrium yang dalam serta keterlibatan kelenjar getah
bening parailiakal dan dalam presentase yang lebih rendah ke paraaortal.
Brakhiterapi harus diberikan setelah radiasi eksterna pada kasus
pascabedah yang masih dijumpai sel tumor pada margin operasi.
Kombinasi pembedahan dan radioterapi telah menurunkan kemungkinan
kambuh vagina menjadi 0-8% dibandingkan apabila tidak memperoleh radiasi
pascabdeah sebanyak 218%. Kekambuhan pada pelvis tercatat sebanyak 10-
20%. Apabila pasien menjalani pembedahan saja, angka ini menurun menjadi 0-
6,5% apabila pembedahan ini diikuti dengan radiasi. Sedangkan kekambuhan
lokoregional dijumpai pada pasien yang memperoleh operasi saja sebanyak 14-
31%, tetapi menjadi 8,7%-25% apabila operasi diikuti dengan radiais.
2.10 Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring (Perez C.A, 2004). Penatalaksanaan
pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa
kemoterapi. Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna
dengan menggunakan sinar pengion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor
sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak
menderita kerusakan terlalu berat.
Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap
merupakan terapi terpenting (Gunadi dan Amriatun, 1996). Strategi pengobatan
radioterapi konvensional untuk karsinoma nasofaring lokoregional lanjut adalah
radiasi eksterna dengan total dosis mencapai 66-70 Gy untuk T1-T2 dan 70-75 Gy
untuk T3-T4, selama 7 minggu, 5 kali penyinaran dalam seminggu dengan 2 Gy
perfraksi. Pada saat dosis mencapai 40 Gy, medulla spinalis harus dikeluarkan
dari lapangan radiasi, sedangkan dosis untuk leher bawah dan fosa supraklavikula
dengan lapangan dari anterior sampai dengan 50 Gy dengan 2 Gy perfraksi
b Radiasi Interna
Sumber energi ditaruh di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di
dalam rongga tubuh. Adapun tujuan pemberian brakhiterapi pada karsinoma
nasofaring antara lain :
Untuk memberikan dosis boster pada tumor primer yang telah
memperoleh radiasi eksterna. Untuk menghindari kelenjar parotis serta jaringan
sehat sekitarnya memperoleh dosis berlebihan dari radiasi eksterna.
Ada beberapa jenis radiasi interna :
a. Interstitial
Radioisotop yang berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya
jarum radium atau jarum irridium.
b. Intracavitair
Pemberian radiasi dapat dilakukan dengan :After loading Suatu aplikator
kosong dimasukkan ke dalam rongga tubuh ke tempat tumor. Setelah aplikator
letaknya tepat, baru dimasukkan radioisotop ke dalam aplikator itu.
Instalasi Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh, misal : pleura
atau peritoneum.
c. Intravena
Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam vena. Misalnya I131 (Radioisotop
yang penting dari unsure iodium) yang disuntikkan IV akan diserap oleh tiroid
untuk mengobati kanker tiroid.
1) Stadium I :
Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring dan radiasi
profilaktik di daerah leher.
Stadium II : 1) Kemoradiasi, atau
Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring dan radiasi
profilatik di daerah leher.
Stadium III : 1) Kemoradiasi
2) Radioterapi dosis tinggi / teknik hiperfraksinasi ditujukan pada tumor primer
di nasofaring dan kelenjar leher bilateral (bila ada).
3) Diseksi leher mungkin dapat dikerjakan, misalnya pada tumor leher persisten
atau renkuren asalkan tumor primer di nasofaring terkontrol.
Stadium IV : 1) Kemoradiasi
2) Radioterapi dosis tinggi atau teknik hiperfraksinasi ditujukan pada tumor
primer di nasofaring dan kelenjar leher bilateral (klinis positif)
3) Diseksi leher dapat dikerjakan bila tumor leher persisten atau rekuren
asalkan tumor primer di nasofaring sudah terkontrol.
4) Kemoterapi untuk karsinoma nasofaring untuk stadium IV C
Pada stadium ini, terdapat tiga tahapan selanjutnya, yang terbagi menjadi
tahapan IVA,IVB dan IVC
Stadium IVA. Pada stadium IVA karsinoma nasofaring sudah menyebar
kebagian saraf cranial,dan tersebar di sekitaran tengkork dn tulang
dagu.karsinoma nasofaring juga kemungkinan sudah menyebar ke bagian
getah bening lainnya yang terdapat di bagian tubuh pasien.
Stadium IVB. Dengan ukuran yang lebih besar dari 6 cm. karsinoma sudah
menyebar ke area collarbonie dan juga, pada bagian atas bahu pasiennya.
Stadium IVC. Pada stadium IVC ini karsinoma sudah tersebar ke kelenjar
getah bening lainnya yang berdekatan dan kemungkinan menginfeksi
kelenjar getah bening yang berada dalam seluruh tubuh manusia.
2. Alur Radioterapi
Konsultasi merupakan tahap paling awal dari pengobatan radioterapi.
Dokter akan menentukan dan menilai apakah Anda memang harus mendapat
terapi radiasi berdasarkan kondisi penyakit kanker anda. Pada saat konsultasi, ahli
radioterapi akan mengambil data pasien secara akurat, riwayat penyakit serta
berbagai pemeriksaan laboratorium lainnya yang mungkin diperlukan, Stimulasi
kemudian dilakukan, yakni perencanaan radioterapi yang akan diberikan. Pada
tahap ini pasien akan datang ke bagian radioterapi, kemudian berbaring dibawah
suatu mesin yang disebut stimulator. Beberapa peralatan mungkin diperlukan
untuk mencegah pasien bergerak atau merubah posisi agar pengobatan diberikan
pada tempat yang tepat. Kemudian akan dibuat beberapa tanda dan mungkin
beberapa foto rontgen yang akan diambil. Foto rontgen yang diambil itu pada
nantinya akan mempermudah ahli radioterapi untuk melakukan pengobatan di
kemudian hari, karena pasien akan mendapatkan radioterapi selama beberapa kali.
Stimulasi merupakan tahap yang penting dalam proses radioterapi. Perlindungan
dan pengaman diperlukan selama pasien menjalani pengobatan radioterapi, yang
akan melindungi sel-sel normal dari efek radiasi. Setelah persiapan selesai, pasien
masih harus menunggu beberapa hari sebelum radiasi dimulai, karena hasil
simulator akan dikirim ke ahli fisika medik untuk dihitung dan dilakukan
kalkulasi dosis serta arah penyinaran diruang TPS. Jika semua persiapan dan
perhitungan telah selesai dan disetujui oleh dokter, baru dimulailah terapi radiasi
yang sesungguhnya. Lama menunggu tergantung dari tingkat kerumitan teknik
radiasi yang akan dilakukan. Pada kebanyakan tipe kanker, radiasi biasanya
diberikan dalam dosis terbagi, 5 hari berturut-turut (Senin s.d. Jumat), sehari
sekali, kurang lebih selama 6-7 minggu.
Besaran dosis total yang diberikan tergantung dari tujuan radiasi (kuratif
atau paliatif) dan jenis histopatotoginya. Dosis kuratif umumnya 25 30 kali,
diberikan 5 kali dalam satu minggu (Senin s.d. Jumat), dengan dosis perkali yang
diberikan : 1,8 2 Gy. Dosis paliatif umumnya 5-20 kali, dengan dosis perkali
yang diberikan 2-5 Gy.
Umumnya sekali radiasi membutuhkan waktu kurang lebih 15-30 menit
mulai pasien masuk ke ruang radiasi, saat penyinaran, sampai pasien kembali ke
luar ruang radiasi. Dalam ruang pengobatan radiasi, anda akan diposisikan persis
sama sewaktu menjalani simulator. Anda diharuskan diam selama pengobatan
berlangsung.
kelenjar getah bening regional.3,12 Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah
dibawah ini harus disinari :
1. Seluruh nasofaring
2. Seluruh sfenoid dan basis oksiput
3. Sinus kavernosus
4. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus
dan foramen jugularis lateral.
5. Setengah belakang kavum nasi
6. Sinus etmoid posterior
7. 1/3 posterior orbit
8. 1/3 posterior sinus maksila
9. Fossa pterygoidea
10. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar
11. Kelenjar retrofaringeal
12. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan
supraklavikular.3
Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi dan
orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui
dasar
tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak
di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan
maksila atau orbit, seluruh sinus atau orbit harus disinari. Kelenjar limfe sub
mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali apabila ditemukan
limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase ke kelenjar sub
maksila. 3 Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah :
- Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi.
- Batas depan : terletak dibelakang bola mata dan koana
- Batas belakang : tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila
terdapat pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di
belakang kelenjar yang teraba.
5. Prosedur radioterapi
6. Simulator.
Simulasi penyinaran radioterapi pada dasarnya adalah proses pencitraan
sinar-x secara fluoroskopi yang seolah-olah melakukan teknik penyinaran seperti
dengan pesawat treatment radioterapi yang sesungguhnya. Hal ini diperlukan agar
teknik penyinaran yang akan diberikan pada pasien benar-benar mencapai sasaran
secara optimal dan akurat.
Dari proses simulasi ini didapatkan beberapa parameter untuk penyinaran,
seperti; luas lapangan penyinaran, sudut dan arah sumber penyinaran, blokade
area yang harus dilindungi, teknik penyinaran, jarak sentrasi dan sudut kolimasi.
Hal-hal yang harus dimiliki sebagai syarat minimum dari pesawat
simulator adalah; memiliki gantry (C-arm) dengan x-ray tube dan image
intensifier yang terpasang berhadapan serta dapat diputar 360 derajat dari
sumbunya, memiliki kolimator yang dapat diputar 360 derajat terhadap axis
sentrasi, memiliki indikator penunjuk jarak Source Axis Distance (SAD),
memiliki meja pemeriksaan yang rata, dapat diatur naik-turun (vertical), maju-
mundur (longitudinal), digeser kiri-kanan (lateral) dan dapat diputar dari axis
sejauh 3600 (rotation).Prinsip dasar dari proses pencitraan dalam simulasi adalah;
set-up posisi simulasi (posisi pasien), lalu dilakukan fluoroskopi terhadap pasien
pada perkiraan lokasi penyinaran. Gambaran fluoroskopi diteruskan ke image
intensifier, lalu keperangkat sirkuit elektronik dan ditampilkan dimonitor
fluoroscopy (cctv). Kemudian akuisisi posisi simulasi, selanjutnya dilakukan
eksposi radiografi yang menghasilkan foto simulator (foto terapi).
Selanjutnya radiasi pada rantai kelenjar getah bening leher serta klavikula
dilakukan dari arah anterior dengan batas-batas sebagai berikut : Batas atas berada
0,5 cm caudal dari batas bawah lapangan nasofaring. Batas bawah dan lateral
mencakup seluruh fosa klavikula kiri dan kanan. Dilakukan penutupan bagian
tengah leher guna melindungi sebagian kelenjar gondok, laring dan trachea serta
medulla spinalis. Kedua sudut bawah lapangan ini ditutup guna melindungi apex
paru. Dosis diberikan dengan fraksi yang sama sehingga mencapai 40 Gy 45 Gy
yang dihitung Pada karsinoma nasofaring dengan pembesaran getah bening leher,
tidak mungkin diberikan radiasi dengan metode lapangan supraklavikula dan
lapangan oppossing kanan kiri. Pada 20 Gy pertama dapat diberikan dengan
lapangan anteroposterior dan posteroanterior dengan rentang lapangan dari sinus
frontalis sampai dengan fosa supraklavikula dengan megindahkan daerah daerah
yang perlu dilindungi. Setelah itu lapangan diubah sesuai dengan stadiumnya
dengan harapan bahwa dosis 20 Gy tersebut dapat memperkecil kelenjar sehingga
dimungkinkan pemberian radiasi laterolateral. Setelah medulla spinalis mendapat
dosis 40 Gy dilakukan pengecilan lapangan radiasi. Kelenjar yang berada di luar
lapangan radiasi setelah dilakukan pengecilan diberikan dosis kompensasi sebesar
10 Gy. (Susworo, 2007).
Upaya untuk melindungi organ-organ vital dalam lapangan radiasi
merupakan salah satu perhatian utama terapi radiasi. Hal ini bukan hanya untuk
melindungi organ-organ penting, tetapi juga menghindari radiasi yang tidak perlu
pada jaringan normal di sekitarnya.
Imobilisasi.
Hardware. Komponen hardware terdiri dari Central Prosesor Unit (CPU), High
resolution graphics, mass storage (hard disc), disks/CD-ROM, keyboard &
mouse, high resolution graphics monitor, digitizer, laser/color printer, backup
storage facility, network connections.
Software. Komponen software terdiri dari: Input routines, bentuk dari anatomi,
beam geometry (virtual simulation), kalkulasi dosis, dosis volume histogram,
digital recontruction radiographic.
Image Acquisition.
Ada 2 faktor yang sangat berperan pada pembuatan TPS antara lain:
Rincian bentuk tumor dan ukuran untuk GTV, struktur organ kritis dan
CTV, PTV dilakukan oleh staf perencanaan terapi dan ahli onkologi radiasi.
Strukturstruktur ditandai secara manual menggunakan sebuah mouse atau bentuk
lain dari digitizer. Beberapa struktur dengan batasan yang jelas misalnya kulit
dapat terkontur secara otomatis. Jika menggunakan piranti lunak yang modern
maka pemberian tanda (kontur) membutuhkan waktu sekitar 12 jam untuk
sebuah seri perencanaan terapi tiga dimensi secara lengkap.
Pasien biasanya sangat nyaman jika dalam posisi telentang dengan kepala
posisi netral (yaitu kening dan dagu terletak pada posisi horizontal).
Namun jika bantal daerah leher lebih tinggi dan daerah kepala terdapat
ruang untuk bergerak maka pasien akan tidak nyaman. Meninggikan dada dengan
bantal akan membantu ekstensi kepala pasien sehingga spinal lurus dan terletak
baik dalam lapangan radiasi.
Keterangan Gambar :
a. Mempercepat pratikel bermuatan sampai ke energi
b. Setelah energi yang dibutuhkan tercapai
c. Energi kinetic tinggi digunakan untuk menabur lempengan target
d. Sehingga terjadilah peristiwa bremstrahlung
e. Hasil foton menjadi energi tertentu
f. Dari proses tabrakan ini pancaran sinar-X berenergi sangat tinggi
g. Mempercepar electron hingga energinya mencapai 20 Mega Electron Volt
Untuk dapat menghasilkan foton yang selanjutnya digunakan untuk terapi radiasi,
setidaknya sebuah linac membutuhkan sumber gelombang mikro, sumber elektron
yang akan dipercepat, serta lempengan target yang akan ditumbuk.
Sumber gelombang mikro disuplai oleh komponen Magnetron ataupun Klystron.
Magnetron berfungsi sebagai osilator frekuensi yang mampu menghasilkan
gelombang mikro dengan frekuensi tinggi. Gelombang mikro tersebut digunakan
untuk menghasilkan medan magnet statis yang selanjutnya digunakan untuk
mempercepat elektron yang dihasilkan oleh elektron gun.
Berbeda dengan magnetron kylstron bukanlah penghasil gelombang mikro,
melainkan memperkuat gelombang sumber yang diberikan menggunakan sebuah
amplifier penguat frekuensi. Dari hasil penguatan frekuensi sumber tersebut, akan
dihasilkan sebuah sistem pandu gelombang dengan frekuensi mencapai 3 GHz.
Keterangan Gambar :
a. Tabung kaca hampa udara berbentuk cincin raksasa.
b. Di antara dua kutub magnet yang sangat kuat.
c. Penyuntikan berupa filamen panas.
d. Pemancar electron di pasang untuk menginjeksi aliran electron ke dalam
tabung pada sudut sudut tertentu.
e. Setelah elekron di suntikan ke dalam tabung terjadi dua gaya yang berkerja
pada electron tersebut.
f. Pertama membuat electron bergerak mengikutin lengkungan tabung.
g. Medan magnet partikel akan bergerak melingkar.
h. Ke dua mempercepat gerak electron hingga kecepatannya semangkin tinggi.
i. Electron akan bergerak melingkar didalam tabung beberapa kali.
Jika perangkat digunakan untuk produksi sinar-X untuk pemeriksaan atau terapi
pipa mungkin hanya 0,5 sampai 1,5 meter, sedangkan perangkat yang akan
diinjeksi bagi sebuah sinkrotron mungkin sekitar sepuluh meter panjangnya, serta
jika perangkat digunakan sebagai akselerator utama untuk investigasi partikel
nuklir, mungkin beberapa ribu meter.
Panjang elektroda ditentukan oleh frekuensi dan kekuatan sumber daya penggerak
serta sifat partikel yang akan dipercepat, dengan segmen yang lebih pendek di
dekat sumber dan segmen lagi dekat target.
1. Satu atau lebih sumber energi frekuensi radio, Sebuah akselerator daya yang
sangat tinggi akan menggunakan satu sumber untuk elektroda masing-masing.
Sumber harus beroperasi pada level daya yang tepat, frekuensi dan fase yang
Tabung pemercepat dilengkapi dengan pengendali arus/ drift tube yang berfungsi
membalik polarisasi dari medan listrik. Dengan adanya proses ini akan terjadi
lompatan partikel sehingga menambah kecepatan partikel akibat pembalikan
polarisasi tersebut. Semakin banyak dan panjang drift tube yang digunakan,
semakin besar pula kecepatan akhir / energi kinetik partikel yang dihasilkan.
Namun , tentunya akan dibutuhkan konstruksi tabung yang panjang untuk
menghasilkan energi yang lebih tinggi.
Apabila energi kinetik yang dibutuhkan sudah tercapai, maka berkas elektron
dengan kecepatan tinggi ini akan arahkan untuk menumbuk lempengan logam.
Karena energi yang menumbuk lempengan logam sanagat tinggi, maka akan
dihasilkan berkas foton dari proses ini. Berkas tersebut diarahkan keluar melalui
kepala linac yang disebut gantri untuk selanjutnya di arahkan menuju target.
Setelah dihasilkan foton dengan energi tertentu, perlu diadakan pengkondisian
akan berkas tersebut dikarenakan berkas yang dihasilkan tidak menghasilkan
intensitas foton yang seragam yang artinya energinya juga tidak seragam. Selain
itu, dalam aplikasinya, geometri berkas yang dibutuhkan akan beragam, sehingga
diperlukan komponen yang bisa mengatasi kedua permasalahan tersebut.
Untuk menjadikan energi berkas foton menjadi seragam/uniform dapat digunakan
flattening filter (FF). Komponen ini bekerja dengan menyerap sebagian berkas
foton pada bagian menggunakan bahan tertentu agar intensitas dibagian tersebut
berkurang dan sama dengan bagian lainnya sehingga semua bagian memiliki
intensitas energi yang merata. Berikut ilustrasinya.
(a)
(b)
Gambar 2.11 a)Profil energi tanpa FF, b) Profil energi dengan FF
Dari kombinasi komponen flattening filter dan colimator akan dihasilkan berkas
foton dengan intensitas seragam dan sesuai dengan geometri yang dibutuhkan.
radiasi pengion yang merugikan kesehatan dapat ditekan serendah mungkin atau
bahkan dihindari sama sekali.
Dalam bidang industri, irradiasi terhadap berbagai jenis komoditas
memerlukan dosis radiasi yang berbeda-beda. Penguasaan terhadap teknik
dosimetri radiasi dosis tinggi berpengaruh sangat besar terhadap kualitas produk
yang dihasilkan. Untuk tujuan keselamatan dan kesehatan kerja, dosimetri juga
memiliki peran yang sangat besar. Daerah kerja harus selalu dimonitor tingkat
radiasinya agar keselamatan dan kesehatan kerja di tempat tersebut tetap terjamin.
Setiap pekerja radiasi harus mendapatkan pelayanan pemantauan dosis perorangan
sehingga terimaan dosis radiasi selama menjalankan tugas tetap terkontrol dan
tidak melampauai Nilai Batas Dosis (NBD) yang telah ditetapkan. Uraian di atas
menunjukkan bahwa pemahaman terhadap besaran dan satuan dasar dalam
dosimetri merupakan kunci utama untuk mencapai suksesnya pemanfaatan iptek
nuklir dalam berbagai bidang. Setiap kegiatan pemanfaatan teknik nuklir harus
didukung dengan penguasaan terhadap teknik dosimetri dan standardisasi radiasi.
Sebagai langkah awal, pemahaman terhadap besaran dan satuan dasar untuk
dosimeteri radiasi pun perlu diperkenalkan kepada setiap personil yang terlibat
dalam pemanfaatan teknik nuklir. Ada beberapa besaran dan satuan dasar yang
berhubungan dengan radiasi pengion disesuaikan dengan kriteria penggunaannya.
Berikut ini akan dibahas besaran-besaran dan satuan-satuan dasar dalam dosimetr
radiasi.
1. Dosis Serap
Radiasi dapat mengakibatkan pengionan pada jaringan atau medium yang
dilaluinya. Untuk mengukur besarnya energi radiasi yang diserap oleh medium
perlu diperkenalkan suatu besaran yang tidak bergantung pada jenis radiasi, energi
radiasi maupun sifat bahan penyerap, tetapi hanya bergantung pada jumlah energi
radiasi yang diserap persatuan massa bahan yang menerima penyinaran radiasi
tersebut. Untuk mengetahui jumlah energi yang diserap oleh medium ini
digunakan besaran dosis serap. Dosis serap didifinisikan sebagai jumlah energi
yang diserahkan oleh radiasi atau banyaknya energi yang diserap oleh bahan
persatuan massa bahan itu. Jadi dosis serap merupakan ukuran banyaknya energi
yang diberikan oleh radiasi pengion kepada medium. Meskipun dosis serap
semula didifinisikan untuk penggunaan pada suatu titik tertentu, namun untuk
tujuan proteksi radiasi digunakan pula untuk menyatakan dosis rata-rata pada
suatu jaringan. Secara matematis, dosis serap (D) dirumuskan dengan :
D = dE / dm
dengan dE adalah energi yang diserap oleh medium bermassa dm.
Jika dE dalam Joule (J) dan dm dalam kilogram (kg), maka satuan dari D adalah :
J.kg-1. Dalam sistim SI besaran dosis serap diberi satuan khusus, yaitu Gray dan
disingkat dengan Gy.Sebelum satuan SI digunakan, dosis serap diberi satuan
erg/gr, dan diberi nama satuan khusus rad (radiation absorbed dose), dimana 1
rad setara dengan 100 erg/gr.
Dalam proteksi radiasi, dosis serap merupakan besaran dasar. Turunan dosis serap
terhadap waktu disebut laju dosis serap yang mempunyai satuan dosis serap
persatuan waktu. Dalam sistim SI, laju dosis serap dinyatakan dalam Gy.s-1.
Sedang satuan-satuan lain yang juga sering digunakan adalah : Gy. jam-1, Gy.
menit-1, mGy.menit-1, mGy.s-1 dan sebagainya.
2. Dosis ekivalen
Sebelumnya orang menduga bahwa radiasi dapat menyebabkan perubahan
dalam suatu sistim hanya berdasarkan pada besar energi radiasi yang terserap oleh
jaringan. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Ditinjau dari sudut efek biologi
yang ditimbulkan, ternyata efek yang timbul pada suatu jaringan akibat
penyinaran oleh bermacam-macam radiasi pengion tidak sama, meskipun dosis
serap dari beberapa jenis radiasi yang diterima oleh jaringan itu sama besar. Jadi
dalam hal ini, penyerapan sejumlah energi radiasi yang sama dari beberapa jenis
radiasi yang berbeda tidak menimbulkan efek biologi yang sama. Efek biologi
yang timbul ternyata juga bergantung pada jenis dan kualitas radiasi.
Dalam proteksi radiasi, besaran dosimetri yang lebih berguna karena berhubungan
langsung dengan efek biologi adalah dosis ekivalen. Besaran dosis ekivalen lebih
banyak digunakan berkaitan dengan pengaruh radiasi terhadap tubuh manusia atau
sistim biologi lainnya. Dalam konsep dosis ekivalen ini, radiasi apapun jenisnya
asal nilai dosis ekivalennya sama akan menimbulkan efek biologi yang sama pula
terhadap jaringan tertentu. Dalam hal ini ada suatu faktor yang ikut menentukan
dalam perhitungan dosis ekivalen, yaitu kualitas radiasi yang mengenai jaringan.
Kualitas radiasi ini mencakup jenis dan energi dari radiasi yang bersangkutan.
Untuk menunjukkan kualitas dari radiasi dalam kaitannya dengan akibat biologi
yang dapat ditimbulkannya, Komisi Internasional untuk Proteksi Radiasi atau
International Commission on Radiological Protection (ICRP) melalui Publikasi
ICRP Nomor 60 Tahun 1990, memperkenalkan faktor bobot radiasi, wR.
Sebelumnya, melalui Publikasi ICRP Nomor 26 Tahun 1977, ICRP menggunakan
istilahfaktor kualitas, Q.
Dosis ekivalen pada prinsipnya adalah dosis serap yang telah dibobot,
yaitu dikalikan dengan faktor bobotnya. Faktor bobot radiasi ini dikaitkan dengan
kemampuan radiasi dalam membentuk pasangan ion persatuan panjang lintasan.
Semakin banyak pasangan ion yang dapat dibentuk persatuan panjang lintasan,
semakin besar pula nilai bobot radiasi itu. Dosis ekivalen dalam organ T yang
menerima penyinaran radiasi R (HT,R) ditentukan melalui persamaan :
HT,R = wR . DT,R
dengan DT,R adalah dosis serap yang dirata-ratakan untuk daerah organ atau
jaringan T yang menerima radiasiR, sedang wR adalah faktor bobot dari radiasi R.
ICRP melalui Publikasi ICRP Nomor 60 Tahun 1990 menetapkan nilai
wR berdasarkan pada jenis dan energi radiasinya. Mengingat faktor bobot tidak
berdimensi, maka satuan dari dosis ekivalen dalam sistim SI sama dengan satuan
untuk dosis serap, yaitu dalam J.kg-1. Namun untuk membedakan antara kedua
besaran tersebut, dosis ekivalen diberi satuan khusus , yaitu Sievert dan disingkat
dengan Sv. Sebelum digunakan satuan SI, dosis ekivalen diberi satuan Rem
(Roentgen equivalent man ataumammal) yang besarnya : 1 Sv = 100 Rem Jika
dalam konsep dosis serap dua dosis yang sama besar (dalam Gy) dari radiasi yang
kualitasnya berlainan akan menimbulkan efek biologi yang berlainan, maka dalam
konsep dosis ekivalen ini dua dosis radiasi yang sama besar (dalam Sv) dari
radiasi pengion jenis apapun akan menimbulkan efek biologi yang sama.
3. Dosis Efektif
Hubungan antara peluang timbulnya efek biologi tertentu akibat
penerimaan dosis ekivalen pada suatu jaringan juga bergantung pada organ atau
jaringan yang tersinari. Untuk menunjukkan keefektifan radiasi dalam
menimbulkan efek tertentu pada suatu organ diperlukan besaran baru yang disebut
besaran dosis efektif. Besaran ini merupakan penurunan dari besaran dosis
ekivalen yang dibobot. Faktor pembobot dosis ekivalen untuk organ T
disebut faktor bobot jaringan, wT. Nilai wT dipilih agar setiap dosis ekivalen yang
diterima seragam di seluruh tubuh menghasilkan dosis efektif yang nilainya sama
dengan dosis ekivalen yang seragam itu. Jumlah faktor bobot jaringan untuk
seluruh tubuh sama dengan satu.
Dosis efektif dalam organ T, HE yang menerima penyinaran radiasi dengan
dosis ekivalen HT ditentukan melalui persamaan :
HE = wT . HT
ICRP melalui Publikasi ICRP Nomor 60 Tahun 1990 menetapkan nilai wT yang
dikembangkan dengan menggunakan manusia acuan dengan jumlah yang sama
untuk setiap jenis kelamin dan mencakup rentang umur yang cukup lebar.
4. Paparan
Paparan pada mulanya merupakan besaran untuk menyatakan intensitas
sinar-X yang dapat menghasilkan ionisasi di udara dalam jumlah tertentu.
Berdasarkan difinisi tersebut, maka paparan (X) dapat dirumuskan dengan :
X = dQ / dm
dengan dQ adalah jumlah muatan elektron yang timbul sebagai akibat interaksi
antara foton dengan atom-atom udara dalam volume udara bermassa dm. Besaran
paparan ini mempunyai satuan Coulomb per kilogram-udara (C.kg-1) dan diberi
nama khusus Roentgen, disingkat R.
Satuan Roentgen semula hanya berlaku untuk sinar-X. Namun pada tahun 1937
satuan ini didifinisikan ulang sehingga berlaku juga untuk sinar-g. Pengertian baru
dari Roentgen ini adalah bahwa : 1 R merupakan kuantitas radiasi sinar-X atau
sinar-x yang menghasilkan 1 esu ion positif atau negatif di dalam 1 cm3 udara
normal (NPT). Dari difinisi baru tersebut, energi sinar-X atau sinar-gyang terserap
di dalam 1 gram udara dapat menjadi :
1 R = 87,7 (erg/gr) = 0,00877 (J/kg) satuannya adalah roentgen atau R
1 Roentgen (R) = 2,58 x 10-4 Coulomb/Kg Udara
1 Roentgen (R) = 1,610 x 10-12 Pasangan ion/gr udara.
1. Kecepatan Pemaparan
Kecepatan pemaparan (ER) adalah besar pemaparan persatua waktu.
Satuannya adalah R/Jam
ER = x
t
ER = Kecepatan pemaparan (R/jam)
x = Pemaparan (R)
2. Dosis Serap
Adosis serap (D) adalah energi rata-rata yang diberikan oleh radiasi pengion
sebesar dE kepada bahan yang dilaluinya dengan massa dm. Satuan yang
digunakan sebelumnya adalah rad. Satu rad adalah energi rata-rata sebesar
100erg yang diserap bahan dengan massa 1 gram yang didefenisikan sebagai :
1 rad : 100 erg/gr
1gray (Gy) : 100 rad
Satuan dosis erap dalam SI adalah Joule/Kg atau sama dengan gray (Gy). Satu
gray adalah dosis radiasi yang diserap dalam satu joule per kilogram.
1 gray (Gy) = 1 joule/Kg
3. Laju Dosis Serap
Adalah dosis serap persatuan waktu.satuan laju dosis serap dalam SI adalah
joule/KG.Jam atau gray/jam (GY/jam) dan dalam satuan lama adalah rad/jam.
4. Distribusi Dosis Kedalaman
Distribusi dilakukan pada pasien, dosis yang di serap akan bervariasi sesuai
dengan keadaaan,variasi ini bergantug pada banyak nya kondisi seperti ; sinar,
keadaan, luas lapngan, jark dari sumber dan sistem kolimasi sinar.demikian
juga kalkulasi dosis pada pasien melibatkan pertimbangan dalam perhatian
parameter-parameter dan efek-efek lain pada distribusi dosis kedalaman.
PPD = Dd x 100%
Dma
Dd
Dmax = x 100%
PDD
Distribusi dosis pada sumbu utama dalam pasien atau fantom yang dikenal
sebagai PDD di normalisasikn dengan dosis maksimum (Dmax) = 100% yakni,
dosis pada kedalaman maksimum (dmax).
BAB 1
PENDAHULUAN
dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembuyi, sehinggah diagnosis
sering terlambat.
Pada stadium dini radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang
dapat diberikan secarah tunggal dan memberikan angka kesembuahan yang cukup
tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang
dikombinasi dengan radioterapi.oleh karena itu diagnose dini merupakan salah
satu tindakan yang di lakukan untuk mengetahui lebih awal dan bagaimana
penanggulangannya.( Demizu,2006).
Limfosit adalah jenis sel darah putih, yang merupakan bagian penting dari
sistem kekebalan tubuh. Limfosit dapat mempertahankan tubuh terhadap infeksi
karena mereka bisa membedakan sel-sel tubuh sendiri dari sel-sel asing. Setelah
mereka mengenali bahan asing dalam tubuh, mereka memproduksi bahan kimia
untuk menghancurkan sel asing terebut.Sebuah diagram yang menunjukkan
berbagai jenis sel darah putih, termasuk limfosit. Ada dua jenis limfosit yang
diproduksi di sumsum tulang sebelum kelahiran. Limfosit B, juga disebut sel B,
ada di dalam sumsum tulang sampai mereka dewasa. Setelah matang, mereka
menyebar ke seluruh tubuh dan berkonsentrasi dalam limpa dan kelenjar getah
bening. Limfosit T, atau sel T, meninggalkan sumsum tulang dan matang dalam
timus, kelenjar yang ditemukan didada dan Hanya limfosit dewasa dapat
melakukan respon imun. Semua limfosit mampu memproduksi bahan kimia untuk
melawan molekul asing. Setiap molekul yang di deteksi oleh tubuh sebagai benda
asing disebut antigen. setiap limfosit, apakah B atau T, spesifik hanya untuk satu
jenis antigen.
KARSINOMA NASOFARING
ABSTRAK
ABSTRACT
KARSINOMA NASOFARING
SKRIPSI
Diajukan oleh :
140821029
DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
PERSETUJUAN
Diluluskan di
Komisi Pembimbing :
Diketahui/Disetujui oleh
Pembimbing 1 Pembimbing II
Diketahui Oleh
Nip. 195510301980031003
PERNYATAAN
PENGARUH PENYINARAN RADIOTERAPI TERHADAP NILAI HEMOGLOBIN DAN
LIMFOSIT PADA KARSINOMA NASOFARING
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri,kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya
140821029
PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa,atas berkat dan
karuniaNya sehingga penulisan laporan tugas akhir ini dengan judul PENGARUH
PENYINARAN RADIOTERAPI TERHADAP NILAI HEMOGLOBIN DAN LIMFOSIT PADA
KARSINOMA NASOFARING , dapat diselesaikan dengan baik.
Dalam rancangan alat ini masih terdapat hal-hal yang perlu disempurnakan.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif bagi rakitan tugas akhir
ini sehingga menjadi peralatan yang lebih sempurna dan modern bagi dunia sains dan
teknologi.
KARSINOMA NASOFARING
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
Halaman
Persetujuan .................................................................................................................... i
Pernyataan ..................................................................................................................... ii
Penghargaan .................................................................................................................. iii
Abstrak ........................................................................................................................... v
Abstrac ........................................................................................................................... vi
Daftar isi ......................................................................................................................... vii
Daftar gambar ................................................................................................................ ix
Daftar tabel .................................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan masalah .................................................................................................. 2
1.3 Tujuan penelitian ................................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................. 3
1.5 Batasan Masalah .................................................................................................... 3
1.6 Sistematika penulisan ............................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hemoglobin .............................................................................................................. 4
2.2 Karsinoma Nasofaring .............................................................................................. 8
2.1.1 Definisi ........................................................................................................... 8
2.1.2 Gejala Karsinoma Nasofaring ........................................................................ 8
2.1.3 Epidomologi ................................................................................................... 8
2.1.4 Etiologi ........................................................................................................... 9
2.3 Anatomi Nasopharing .............................................................................................. 10
2.4 Patologi .................................................................................................................... 12
2.5 Radang Kronis di Daerah Nasofaring. ...................................................................... 12
2.6 Diagnosa................................................................................................................... 13
2.7 Stadium ( NN 2008) .................................................................................................. 14
2.8 Pengobatan Karsinoma Nasofaring.......................................................................... 15
2.9 Kosep Dasar Radioterapi .......................................................................................... 17
2.9.1 Defenisi Radioterapi ...................................................................................... 17
DAFTAR GAMBAR
Halaman
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tabel 2.1 Nilai Normal Hemaglobin .............................................................. 5
2. Tabel 2.2 Stadium KNF ................................................................................. 15
3. Tabel 4.1 Nilai Jumlah Hemoglobin Setiap Pasien terhadap Dosis
Penyinaran Radiotrapi ..................................................................................... 47
4. Tabel 4.2 Nilai Normal Hemoglobin (Figo) ................................................... 54
5. Tabel 4.3 Nilai Normal Limfosit (Figo) .......................................................... 54
6. Tabel 4.4 Jumlah Limfosit Setiap Pasien terhadap Dosis
Penyinaran Radiotrapi ..................................................................................... 55