Anda di halaman 1dari 59

Kedokteran Nuklir pada Pemeriksaan Nefrourologi

Ginjal

I.PENDAHULUAN

Pencitraan dengan menggunakan radionuklida pada ginjal dan saluran kemih pada kedokteran

nuklir telah menjadi aset yang sangat berharga bagi para klinisi dalam menilai kelainan ginjal

dan saluran kemih. Kombinasi yang unik untuk pemeriksan anatomi dan fungsional

menempatkan pencitraan dengan kedokteran nuklir sebagai modalitas diagnostik pilihan dalam

berbagai keadaan klinis. Aplikasi dari teknik kedokteran nuklir dalam bidang nefrourologi lebih

bervariasi bila dibandingkan dengan sistem organ yang lain.1 Lingkup dari bidang nefrourologi

mencakup dari aplikasi sidik ginjal yang terdiri dari penilaian fungsi ginjal, pemeriksaan

obstruksi, observasi fungsi dari transplantasi ginjal, penilaian hipertensi renovaskuler, deteksi

lesi metastasis dari keganasan pada ginjal, dan lain-lain. Keuntungan dari pemeriksaan

nefrourologi menggunakan teknik kedokteran nuklir adalah dapat memberikan informasi fungsi

ginjal secara non-invasif dengan dosis radiasi yang minimal. 2

Renografi dengan menggunakan radionuklida adalah salah satu teknik pemeriksaan tertua di

bidang kedokteran nuklir, yang dengan beberapa perubahan, dapat bertahan seiring dengan

berjalannya waktu. Pemeriksaan ginjal dan saluran kemih ini telah menjadi pemeriksan yang

rutin dilaksanakan di dalam praktek kedokteran nuklir dan penelitian klinis. Pemeriksaan ini

memainkan peranan yang penting di dalam pemeriksaan diagnostik ginjal dan saluran kemih.

Pengetahuan yang jelas mengenai pemeriksaan ginjal dan saluran kemih di bidang kedokteran

nuklir harus dimiliki oleh seluruh komunitas kedokteran, terutama bagi yang berminat terhadap

bidang nefrourologi. Sebaiknya para urologist dan nephrologist memahami pentingnya


pemeriksaan ginjal dan saluran kemih pada kedokteran nuklir ini, sama seperti para

pulmonologist memahami pentingnya foto rontgen dada. Pemeriksaan ginjal dan saluran kemih

pada kedokteran nuklir ini relatif mudah dilakukan, dapat diterima dengan baik oleh pasien baik

itu dewasa maupun anak-anak, dan memberikan informasi klinis yang bernilai yang tidak dapat

diberikan dari modalitas pemeriksaan diagnostik lainnya.3 Pada saat ini analisa hasil akhir dari

terapi intervensi atau operasi telah menjadi kunci dari pengobatan yang berdasarkan bukti

(evedence-based medicine) yang diperlukan oleh pasien, maka aplikasi dari pemeriksaan non-

invasif ini akan tumbuh berkembang dengan tingkat kesalahan yang kecil dan jelas. 4

Pada beberapa literatur pembahasan mengenai ginjal dan saluran kemih disatukan dengan

pembahasan sistem genital, seperti testis dan penis, Sedangkan pada beberapa literatur lain

pembahasan untuk ginjal dan sistem genitalia sudah dibuat secara terpisah. Dalam referat ini

akan dibahas mengenai bidang nefrourologi saja.

II. ANATOMI dan FISIOLOGI

Manusia memiliki sepasang ginjal berbentuk kacang yang terletak di retroperitoneal intra

abdomen. Kedua ginjal terletak setinggi vertebra Thorakal 12 hingga Lumbal 3. Pada orang

dewasa ukuran ginjal biasanya memiliki panjang sekitar 11 cm dan tebal 5 cm dengan berat 150

gram. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit di bawah ginjal kiri untuk memberi tempat bagi

hepar. 5,6
Ukuran ginjal manusia tergantung dari banyaknya jumlah nephron. Nephron adalah unit dasar

dari struktur dan fungsi ginjal. Nephron terdiri dari tubulus renal dan glomerulusnya. Setiap

manusia diperkirakan memiliki rata-rata 1 juta nephron pada satu ginjal. Jika ginjal dipotong

melintang, akan terlihat dua bagian : bagian luar yang disebut korteks, dan bagian dalam yang

disebut medula. Korteks ginjal terdiri dari glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul Bowman.

Tubulus renal terdiri dari beberapa bagian. Bagian yang paling dekat dengan glomerulus disebut

tubulus kontortus proksimal.

5,6 Ansa Henle terdiri dari tubulus kontortus proksimal, segmen tipis desenden dan segmen tebal

asenden. Segmen berikutnya adalah tubulus kontortus distal yang ukurannya lebih pendek dan

terhubung ke duktus koligentes.

5,6 Ginjal kaya akan suplai perdarahan dan persarafan. Setiap ginjal biasanya disuplai oleh satu

pembuluh darah arteri renalis yang bercabang menjadi bagian anterior dan posterior yang akan

bercabang menjadi arteri segmented lalu bercabang lagi menjadi arteri interlobar yang akan

melewati kortek ginjal. Arteri interlobar akan bercabang kembali menjadi arteri arkuata yang

kemudian akan bercabang menjadi arteri yang lebih kecil lagi yaitu arteri kortikal radiata.

Arteriol aferen berasal dari arteri kortikal radiata, kemudian diikuti oleh glomerulus dan arteriol

eferen yang berlanjut menjadi kapiler peritubular. Pembuluh darah vena berjalan paralel dengan

pembuluh darah arteri. 5,6


Gambar.1. Komponen dari nefron dan collecting systems duct. (diambil dari : buku elektronik

Medical Physiologi 2nd edition, William F. Ganong).

Ginjal banyak dipersarafi oleh persarafan simpatikus yang berasal dari saraf spinal Thorakal 10,

11, 12, dan Lumbal 1. Perangsangan serabut saraf simpatikus akan menyebabkan konstriksi

pembuluh darah ginjal dan penurunan aliran darah ke ginjal. Dinding arteriol aferen mengandung

sel juxtaglomerular yang mensekresikan renin. Sel ini secara histologis disebut sebagai makula

densa. Sel juxtaglomerular, makula densa, dan sel lacis yang berada di dekatnya disebut sebagai

juxtaglomerular apparatus. 5,6

Terdapat tiga proses yang terlibat dalam proses pembentukan urin : filtrasi glomerular,

reabsorpsi tubular, dan sekresi tubular. Filtrasi glomerular melibatkan ultrafiltrasi plasma pada

glomerulus. Cairan filtrat terkumpul di ruang antara kapsul Bowman yang kemudian mengalir ke

arah distal melalui lumen tubulus yang komposisi dan volumenya dipengaruhi oleh aktivitas dari

tubulus. Reabsorpsi tubular adalah transport zat-zat keluar dari lumen tubulus untuk kembali
masuk ke dalam pembuluh darah kapiler. Proses reabsorpsi ini melibatkan zat-zat ion yang

penting, air, zat metabolit, dan zat sisa. Sekresi tubular adalah proses transport masuk ke dalam

lumen tubulus. Zat anion dan kation organik diambil oleh sel epitel tubulus dari pembuluh darah

kapiler sekitarnya. Beberapa zat diproduksi dan disekresi oleh sel tubulus. Proses ekskresi adalah

proses eliminasi melalui urin. Secara umum, jumlah zat yang diekskresi tercermin dalam rumus :

Ekskresi = Filtrasi Reabsorpsi + Sekresi

Status fungsional dari ginjal dapat dinilai dari beberapa pemeriksaan berdasarkan konsep

clearance ginjal. Pemeriksaan-pemeriksaan ini mengukur laju filtrasi glomerular, aliran darah

ginjal, dan resorpsi dan sekresi tubulus dari beberapa zat. Beberapa dari pemeriksaan ini, seperti

pemeriksaan GFR dilakukan secara rutin di klinis. 5,6

Gambar 2. Proses yang terlibat dalam pembentukan cairan urin. (diambil dari : buku elektronik

Medical Physiology 2nd edition, William F. Ganong)

III. RADIOFARMAKA
Terdapat beberapa radiofarmaka yang dapat digunakan pada pemeriksaan ginjal dan saluran

kemih di bidang kedokteran nuklir. Penggunaan radiofarmaka ini tergantung dari aspek spesifik

fungsi ginjal yang akan diperiksa.3 Ginjal dapat melakukan banyak fungsi, oleh sebab itu

beberapa radiofarmaka telah dikembangkan untuk dapat menilai anatomi dan fungsi dari ginjal.

Pengelompokan radiofarmaka dibuat berdasarkan jenis pemeriksaan yang akan dilakukan seperti

pemeriksaan aliran darah ginjal, perfusi, dan gambaran morfologi dari ginjal, serta pemeriksaan

renografi, mengukur laju filtrasi glomerulus (GFR) dan aliran plasma ginjal efektif (ERPF).

Radiofarmaka untuk pemeriksaan ginjal harus dapat menilai fungsi ginjal secara terpisah.2

Radiofarmaka juga harus memiliki komposisi yang konstan dan murni serta nontoksik secara

radionuklida dan secara radiokimia. Radionuklida yang digunakan juga sebaiknya memiliki

waktu paruh fisik yang cukup lama untuk dapat memenuhi waktu pemeriksaan, namun juga

memiliki waktu paruh yang pendek untuk menghindari radiasi yang tidak perlu pada pasien.

Idealnya radionuklida yang dipakai adalah radionuklida yang memancarkan sinar gamma pada

kisaran energi 100-200 keV, yang sesuai dengan kamera gamma modern. 2,3

Radionuklida yang paling sering digunakan adalah technetium-99m (99mTc). 99mTc dihasilkan

dari generator yang berasal dari molybdenum-99. Untuk menghasilkan 99mTc, generator perlu

dielusi dengan cairan saline. Generator yang modern dibuat untuk menghasilkan 99mTc yang

steril untuk periode 7 hari. Waktu paruh molybdenum-99 adalah 67 hari, sedangkan 99mTc

adalah 6 jam. 99mTc merupakan pemancar sinar gamma dengan energi 140 keV. Selain itu

99mTc mudah diperoleh dan tidak rumit untuk dilabel dengan berbagai zat yang berbeda,

sehingga 99mTc sangat baik digunakan untuk pemeriksaan kedokteran nuklir pada ginjal dan

saluran kemih. 3
Sebelum 99mTc dipakai secara luas, radionuklida yang sering digunakan dalam pemeriksaan

kedokteran nuklir untuk ginjal dan saluran kemih adalah iodium seperti 131I, 125I, dan 123I.

Iodium yang paling sesuai untuk pemeriksaan kedokteran nuklir adalah 123I, karena

memancarkan sinar gamma dengan energi 159 keV dan waktu paruh 13 jam. Sayangnya 123I

diproduksi oleh cyclotron yang sangat sulit diperoleh karena harganya yang relatif lebih mahal.

123I digunakan untuk menandai ortho-iodohippurate (hippuran), radiofarmaka yang biasanya

digunakan untuk pengukuran ERPF. Saat ini 123I telah digantikan dengan131I atau 99mTc

apabila ingin menandai hippuran. 3

131I memiliki waktu paruh 8.06 hari merupakan radionuklida pemancar sinar beta dan sinar

gamma dengan tingkat energi yang dihasilkan cukup tinggi yaitu 364 keV, sehingga 131I tidak

cocok digunakan untuk pemeriksaan diagnostik namun lebih cocok bila digunakan untuk terapi.

125I memiliki waktu paruh 60 hari dan energi sebesar 30 keV sehingga juga tidak cocok

digunakan untuk pemeriksaan diagnostic. 3

Radionuklida yang lain yang dapat digunakan adalah Chromium-51 (51Cr). 51Cr memiliki

waktu paruh 27.7 hari dan memancarkan sinar gamma dengan tingkat energi sebesar 320 keV.

Biasanya 51Cr digunakan untuk menandai ethylene-diamine-tetra-acetic acid (EDTA) dan untuk

mengukur laju filtrasi glomerulus (GFR). 3

Tabel.1. Dosis radiasi untuk pemeriksaan nefrourologi pada orang dewasa.


Radiofarmaka yang digunakan untuk pemeriksaan renografi dibagi menjadi dua jenis. Yang

pertama adalah Radiofarmaka jenis tubular agent. Pada Radiofarmaka jenis ini ditangkap oleh

sel-sel tubulus dan disekresikan ke dalam lumen tubulus, dan hanya sebagian kecil yang

ditangkap oleh glomerulus. Yang termasuk ke dalam golongan Radiofarmaka tubular agent

adalah 123I-hippuran, 99mTc-mercaptoacetyltrigliycine (99mTc-MAG3), dan 99mTc-ethylene

di-cysteine (EC). Radiofarmaka jenis yang kedua adalah Radiofarmaka jenis glomerular agent

dimana Radiofarmaka ini ditangkap paling dominan melalui glomerulus dan hanya sebagian

kecil yang disekresikan melalui glomerulus. Yang termasuk ke dalam golongan dari

radiofarmaka jenis ini adalah 99mTc-diethylenetetraaminepenta acetic acid (DTPA) dan 51Cr-

ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA). Karena lokasi penangkapan ginjalnya yang spesifik di

glomerulus maka radiofarmaka jenis glomerular agent ideal digunakan untuk pemeriksaan GFR
dan ERPF. 99mTc-dimercaptosuccinic acid (DMSA)ditangkap paling tinggi pada korteks ginjal,

dan merupakan radiofarmaka pilihan untuk pencitraan pencitraan parenkim ginjal tanpa melalui

pelvikalises seperti pada umumnya.

99mTc-MAG3 diperkenalkan pertama kali sejak tahun 1986, 99mTc-MAG3 telah menjadi

radiofarmaka yang berharga dan dapat diterima secara luas dalam pemeriksaan ginjal dan saluran

kemih di kedokteran nuklir. Hal ini dikarenakan 99mTc-MAG3 dapat memberikan hasil

pencitraan dan renografi yang lebih superior bila dibandingkan dengan DTPA ataupun hippuran.

Clearance ginjal dari 99mTc-MAG3 secara keseluruhan terjadi pada proses filtrasi glomerulus

dan sekresi tubular, namun sebagian besar terjadi pada sekresi tubular sedangkan pada proses

filtrasi glomerulus hanya sebagian kecil saja karena ikatannya dengan protein lebih tinggi. Pola

dari clearance ginjal pada 99mTc-MAG3 ini serupa dengan yang terjadi pada hippuran. Namun

bila dibandingkan dengan hippuran, 99mTc-MAG3 memiliki clearance plasma yang lebih

lambat, rasio ekstraksi yang lebih rendah, dan suatu volume distribusi yang lebih kecil. 99mTc

MAG3 memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak dapat mengukur secara langsung nilai dari

ERPF, namun dengan menggunakan metode sederhana dan persamaan-persamaan untuk

merubah clearance dari 99mTc MAG3 telah berhasil dilakukan. Selain itu juga 99mTc MAG3

dapat ditangkap oleh hepar, sehingga pada saat membuat region of interest (ROI) harus hati-hati

sehingga tidak mempengaruhi hasil pemeriksaan. 2,3


Tabel.2. Dosis radiasi untuk pemeriksaan nefrourologi pada anak-anak (diambil dari : .

IV. APLIKASI KLINIS

Renografi Konvensional

Renogafi atau bisa juga disebut pemeriksaan radionuklida ginjal dinamik memiliki prinsip

pemeriksaan yaitu menilai penangkapan radionuklida oleh ginjal, yang dialirkan melalui nephron

dan diekskresikan ke dalam pelvis ginjal dan kemudian melalui ureter sampai dengan kandung

kemih. Jumlah zat yang difiltrasi tergantung dari derajat ikatan protein dari radionuklida di

dalam plasma darah. Jumlah zat radionuklida yang disekresikan tergantung dari afinitas dari

tempat transport di tubulus proksimal. Perubahan pada aktivitas ginjal terhadap waktu direkam

dan kurva aktivitas terhadap waktu dari area ginjal dibuat (renogram). Berdasarkan kurva

renografi, maka akan diperoleh nilai atau hasil pengukuran yang berhubungan dengan fisiologis

ginjal, seperti fungsi penangkapan, waktu transit, dan efisiensi outflow). 7


Secara garis besar ginjal mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi ekskresi (filtrasi) dan

reabsorpsi serta sekresi. Fungsi ekskresi dilakukan oleh glomerulus, sedangkan fungsi reabsorpsi

dan sekresi dilakukan oleh sel-sel tubuli. 8 Oleh karena itu diperlukan radiofarmaka yang

spesifik untuk lokasi yang ingin diperiksa. Saat ini terdapat 3 radiofarmaka yang umum

digunakan secara rutin digunakan pada pemeriksaan renografi yaitu 99mTc-MAG3, 99m Tc-

DTPA, dan 123I-OIH (hippuran). 2,7,8

Indikasi klinis utama untuk pemeriksaan renografi adalah untuk memeriksa pasien dengan

obstruktif uropati, transplantasi ginjal, kelainan kongenital pada ginjal, trauma pada saluran

kemih, gagal ginjal akut dan kronis, atau hipertensi. Renografi juga memiliki peranan yang

penting dalam pemeriksaan pasien dengan tumor ginjal, terutama untuk menilai status fungsi

ginjal pada bagian yang bukan bagian dari tumor. 7

Dosis radiofarmaka yang disuntikkan adalah 200 MBq (5 mCi) untuk 99mTc-DTPA, 100 MBq

(2,5 mCi) untuk 99mTc-MAG3, 100 MBq (2,5 mCi) untuk 99mTc-EC, atau 80 MBq (2 mCi)

untuk 123I-hippuran. Radiofarmaka ini diberikan secara bolus. Untuk anak-anak, dosis dewasa

dibuat dengan menggunakan skala berdasarkan luas permukaan tubuh, dengan dosis minimum

20 MBq (0,5 mCi) untuk99mTc-DTPA dan 15 MBq (0,4 mCi) untuk 99mTc-MAG3. 7

Prosedur pemeriksaan pada renografi relatif mudah dan sederhana dikerjakan. Prosedur yang

diterapkan dapat diterima dengan baik oleh pasien baik dewasa maupun anak-anak. Saat ini

pemeriksaan renografi menggunakan kamera gamma. Pada saat pencitraan ginjal dan vesika
urinaria harus masuk kedalam lapang pencitraan pada kamera dengan menggunakan kollimator

jenis general-purpose atau high-sensitivity. Matrix yang cukup dalam mengambil citra adalah

64x64 pixels, dimana semakin besar matrix hasilnya akan lebih baik. Akuisisi citra biasanya

diambil dengan pencitraan dinamik menggunakan frame 10-20 detik dan lama pemeriksaan

berkisar antara 30-40 menit. Untuk persiapan pada pasien, hanya menjaga status hidrasi dari

pasien selama proses pemeriksaan renografi. Pasien dewasa disarankan untuk minum 400 mL air

20-30 menit sebelum pemeriksaan agar kedua ginjal dapat terhidrasi dengan baik.Untuk pasien

anak-anak diberikan volume cairan sesuai dengan berat badan. Tidak disarankan untuk

melakukan pemeriksaan renografi pada waktu yang bersamaan dengan pemeriksaan Intravenous

Pylelography (IVP), karena pada pemeriksaan IVP justru dibutuhkan status dehidrasi pada

pasien. Selain itu juga pada pemeriksaan IVP menggunakan media kontras yang hiperosmolar,

sehingga pada pasien yang sebelumnya telah dilakukan IVP, pemeriksan renografi harus ditunda

dahulu selama 2 minggu, agar edema sel-sel tubuli akibat penggunaan media kontras IVP

dapat mereda. Penggunaan media kontras pada IVP dapat memperburuk obstruksi anatomis dan

menimbulkan hasil yang menyulitkan untuk dinilai. Pasien harus mengosongkan vesika

urinarianya terlebih dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan renografi. Biasanya posisi pasien

pada akuisisi citra adalah supine atau tidur terlentang dengan kamera gamma berada di posterior

atau punggung pasien. Namun posisi duduk atau setengah duduk juga dapat dilakukan. Bahkan

posisi setengah duduk lebih disarankan karena posisi demikian lebih fisiologis, dimana aliran

urin menjadi lebih baik dan tidak ada pemisah antara pasien dengan kamera. Pemeriksaan

dianalisa setelah data kasar dari pencitraan digabung dan terlihat secara jelas ginjal dan vesika

urinaria. Kemudian dibuat Regions of Interests(ROI) pada kedua ginjal serta daerah di bawah

ginjal (background). Kesulitan dalam membuat ROI adalah ketika membuat ROI pada parenkim
ginjal harus tidak memasukkan aktivitas pelvis ke dalam ROI ginjal. ROI untuk background

biasanya ireguler di luar ginjal. Setelah itu akan diperoleh kurva dari aktivitas setiap area, yang

kemudian kurva aktivitas di kedua ginjal dikurangi dengan kurva aktivitas di background.

Hasilnya akan didapat kurva aktivitas terhadap waktu yang telah dikoreksi, dan ditampilkan

setelah disatukan antara citra menit ke-1 sampai ke-30. 7

Secara keseluruhan dalam menilai renografi harus dibuat dengan mengkombinasikan antara

pencitraan, renografi, hasil angka-angka, dan intervensi. Suatu bentuk pelaporan haruslah

mencantumkan data demografi, nama pemeriksaan, jenis dan dosis aktivitas radiofarmaka yang

disuntikkan. Pelaporan juga harus menjelaskan pencitraan dan kurva, data angka-angka,

kesimpulan yang terpisah dan saran untuk klinisi bila diperlukan. 7,8

Pada penilaian suatu pemeriksaan renografi, sangat membantu bila kita melihat urutan citra yang

didapat dan menganalisa kurva aktivitas terhadap waktu secara hati-hati. Pada pencitraan diniliai

penangkapan radioaktivitas oleh kedua ginjal untuk melihat kemampuan ginjal mengekstraksi

radiofarmaka. 8 Pada pencitraan normal ginjal relatif mempunyai ukuran yang sama dan selama

dua menit pertama menunjukkan distribusi radiofarmaka yang sama. Pada citra berikutnya

mungkin dapat terlihat kaliks, pelvis, dan ureter. Fungsi relatif ginjal bervariasi antara 40-60 %.

Kedua ginjal biasanya terletak pada ketinggian yang sama, walaupun ginjal kanan dapat terletak

pada posisi yang lebih rendah daripada ginjal kiri karena adanya organ hepar. Kurva normal

secara khas memperlihatkan adanya tiga fase. Fase pertama/inisial dimana terjadi peningkatan

secara cepat segera setelah penyuntikan radiofarmaka yang menunjukkan kecepatan injeksi dan

aliran darah vaskuler ke dalam ginjal. Dari fase ini dapat pula dilihat dari teknik penyuntikan
radiofarmaka, apakah bolus atau tidak. Fase ini terjadi kurang dari 2 menit. Fase kedua/sekresi

menunjukkan kenaikan yang lebih lamban dan meningkat secara bertahap. Fase ini berkaitan

dengan proses penangkapan radiofarmaka oleh ginjal melaui proses difusi lewat sel-sel tubuli

dan filtrasi glomerulus, atau keduanya ke dalam lumen tubulus. Dalam keadaan normal fase ini

mencapai puncak dalam waktu 2-5 menit. Ketika aktivitas radiofarmaka mulai meninggalkan

daerah ginjal maka dimulailah fase ketiga. Fase ketiga/ekskresi dimana tampak kurva menurun

dengan cepat setelah mencapai puncak kurva yang menunjukkan keseimbangan antara

radioaktivitas yang masuk dan meninggalkan ginjal. Fase ketiga menggambarkan terutama untuk

eliminasi radiofarmaka dari daerah ginjal. Bentuk kurva dari fase ketiga ini menggambarkan pola

urodinamik dari ginjal dan pola eliminasi melalui sistem pelvikalises menuju ke ureter dan

vesika urinaria, sehingga pada fase ini sangat sensitif untuk untuk kelainan pada saluran kemih

(pelvis, ureter, dan vesika urinaria) dan suatu bentuk kurva yang normal dapat menyingkirkan

dugaan adanya obstruksi pada saluran kemih. Bentuk kurva renografi yang normal umumnya

menggambarkan pula fungsi ginjal yang normal, walaupn mungkin ukuran ginjal kecil dan

memberikan kontibusi dari fungsi ginjal di bawah 40 %. Kelainan pada fungsi ginjal yang

terlihat pada renografi dapat disebabkan oleh perfusi ginjal yang berkurang, berkurangnya

eliminasi radiofarmaka, berkurangnya filtrasi atau kelainan fungsi seluler tubulus. 3 Bila ginjal

sudah tidak berfungsi, penangkapan radioaktivitas akan minim atau tidak ada sama sekali, dan

kurva akan berjalan datar/tidak beraturan sebab hanya menggambarkan aktivitas background

saja. Pada gambar obstruksi total, vesika urinaria tidak tampak dan fase kedua akan tampak naik

terus dan tidak terlihat adanya fase ketiga. 7

Parameter yang sering ditambahkan biasanya adalah Waktu Transit Seluruh Ginjal (Whole
Kidney Transit Time/WKTT) adalah waktu total yang dibutuhkan radiofarmaka untuk transit

melalui parenkim ginjal dan pelvis. WKTT adalah jumlah antara Waktu Transit Parenkim Rata-

rata (Mean Parenchyma Transit Time/MPTT) dan Waktu Transit Pelvis (Pelvic Transit

Time/PvTT). Nilai normal MPTT adalah 100-240 detik. Parameter yang lain adalah Indeks

Waktu Transit Parenkim (Parenchymal Transit Time Index/PTTI) dan Indeks Waktu Transit

Seluruh Ginjal (Whole Kidney Transit Time Index/WKTTI). PTTI adalah MPTT dikurangi

Waktu Transit Minimum (MinTT), nilai normal untuk PTTI adalah 10-156 detik. WKTTI adalah

WKTT dikurangi MinTT, nilai normalnya adalah 20-170 detik. 3

Renografi Diuretik

Renografi diuretik merupakan suatu metode yang telah diakui dalam pemeriksaan pasien dengan

dilatasi saluran kemih bagian atas dan follow up pasien dengan hidronephrosis. Pada

penggunaannya secara rutin di klinis, pemeriksaan ini adalah metode terpilih untuk membedakan

dilatasi yang non-obstruksi (obstruktif) dengan dilatasi yang obstruksi, dan juga berperan dalam

penatalaksaanaan pasien dengan hidronephrosis melalui pemeriksaan aliran cairan urin dan

fungsi ginjal. 10 Pasien dengan hidronephrosis atau hidroureteronephrosis yang ditemukan

dengan ultrasonography (USG) ginjal adalah kandidat untuk dilakukannya renografi diuretik

untuk menentukan apakah terdapat obstruksi atau tidak. Penyebab dari terjadinya dilatasi pada

ginjal adalah termasuk Refluks Vesikoureteral (RVU), infeksi saluran kemih (ISK), kelainan

kongenital, non-compliant bladder, dan obstruksi saluran kemih. 3


Prinsip dari pemeriksaan ini menggunakan obat furosemide karena efeknya bersifat diuretik yang

menghambat reabsorpsi garam dan air di limb asenden ansa henle. Sifat diuretiknya tergantung

dari fungsi ginjal, terutama jumlah nephron pada ginjal, deplesi dari natrium dan chloride, dan

tidak adanya hipotensi. 3

Furosemide termasuk ke dalam golongan obat loop diuretics yang menghambat secara selektif

reabsorpsi dari NaCl pada tubulus kontortus asenden tebal pada ansa Henle. Furosemide

dieliminasi dari tubuh melalui sekresi ginjal dan filtrasi glomerular dengan respon diuretik sangat

cepat pada pemberian injeksi intravena. Durasi dari kerja furosemide biasanya 2-3 jam dan

waktu paruh tergantung dari fungsi ginjal. Respon diuretik dari furosemide berhubungan secara

positif dengan ekskresinya di dalam urin. Furosemide bekerja dengan menghambat sistem

transport Na+/K+/2Cl- pada membran lumen di tubulus kontortus desenden dari ansa Henle.

Furosemide meningkatkan aliran darah ke ginjal dan menyebabkan redistribusi dari aliran darah

di dalam korteks ginjal. Selain itu furosemide juga meningkatkan jumlah volume urin dan

meningkatkan kadar potasium pada pasien dengan gagal ginjal akut. Furosemide

dikontraindikasikan bagi pasien-pasien yang alergi terhadap obat ini, juga pada pasien dengan

sirosis hepatik, gagal ginjal borderline, atau gagal jantung kongestif. 9

Pada bayi baru lahir, dimana fungsi ginjal belum matur pemeriksaan renografi diuretik sebaiknya

ditunda hingga bayi berusia 4 minggu. Sebelum usia tersebut tubulus ginjal belum dapat

merespon dari kerja obat furosemide. Menurut suatu penelitian, maturitas fungsi ginjal akan

terjadi pada tahun pertama kehidupan dan secara bertahap menjadi sempurna pada usia 2 tahun.

10
Persiapan yang perlu dilakukan pada pasien sebelum dilakukan pemeriksaan renografi diuretik

ini. Sebelum dilakukan pemeriksaan, sebaiknya dilihat kembali hasil dari USG ginjal. Hasil USG

ini akan membantu apakah hidronephrosis yang terjadi unilateral atau bilateral, atau apakah

disertai dengan dilatasi dari ureter, atau apakah ada kelainan yang lain seperti duplikasi ginjal.

Disarankan sebaiknya pasien dalam status cukup terhidrasi dengan volume urin yang cukup,

karena pada pasien dengan status hidrasi yang buruk akan memberikan hasil pada pencitraan

menjadi tidak baik serta disertai dengan penurunan fungsi ginjal dan ekskresi yang tertunda. 3,10

Pada pasien bayi atau anak-anak yang tidak dapat mengendalikan proses miksi, sebaiknya

digunakan kateter ke dalam vesika urinaria untuk memastikan aliran urin yang cukup. Untuk

menilai dari respon furosemide dibutuhkan dua faktor utama yaitu fungsi ginjal yang masih

cukup baik pada ginjal yang diperiksa (GFR > 15 mL/menit) dan status hidrasi dari pasien.

Volume urin yang mencerminkan respon dari diuretik dan status hidrasi sebaiknya diukur selama

pemeriksaan. 10

Protokol pemilihan waktu untuk penyuntikan diuretik belum distandarisasi secara universal.

10,11 Ketika pelvis ginjal berdilatasi, maka akan terlihat dari retensi radiofarmaka. Pada saat itu

furosemide diberikan untuk meningkatkan volume urin yang dikeluarkan. Di Indonesia dosis

furosemide yang dipakai adalah 20 mg (1 ampul) pada orang dewasa.8 Menurut pedoman yang

dibuat oleh Society of Nuclear Medicine dan European Nuclear Medicine Association, dosis

furosemide adalah 1 mg/Kg berat badan dan maksimum mencapai 20 mg pada anak-anak dan 40

mg pada orang dewasa. Diuretik diberikan pada saat pelvis ginjal penuh, biasanya hal ini terjadi

pada 20 menit setelah radiofarmaka disuntikkan (F+20). Respon dari diuretik dinilai secara
visual dan interpretasi kuantitatif dari pencitraan dinamik. 10

Selain dengan menggunakan protokol F+20, alternatif protokol yang lain adalah dengan

menggunakan protokol F-15 dan F+0. 11 Pada suatu penelitian, dilakukan pengukuran volume

urin pada menit 3 sampai 6 dan menit ke 15 sampai 18 setelah penyuntikan furosemide dan

hasilnya didapatkan bahwa volume urin lebih tinggi pada menit ke 15-18. Hal inilah yang

menjadi dasar dari penyuntikan furosemide pada 15 menit sebelum penyuntikan radiofarmaka F-

15 sehingga akan didapat nilai aliran urin yang maksimum pada saat penyuntikan radiofarmaka.

Dengan menggunakan teknik ini, akan dapat mengurangi jumlah hasil yang meragukan dari 17

% menjadi 3 %. 10

Pada protokol F+0, furosemide disuntikkan secara intravena segera setelah penyuntikan

radiofarmaka. Menurut beberapa penelitian, hasil yang didapat pada pemeriksaan renografi

diuretik dengan menggunakan protokol F+0 tidak berbeda jauh dengan F-15. Bahkan pada

penggunaan protokol F+0 akan mengurangi frekuensi gangguan pada saat pencitraan oleh pasien

yang disebabkan keinginan pasien untuk berkemih, dimana hal ini banyak ditemukan pada

pemeriksaan renografi diuretik dengan menggunakan protokol F-15.11 Selain itu, protokol F+0

sangat nyaman digunakan pada pasien bayi dan anak-anak, karena tidak perlu melakukan

penyuntikan sebanyak dua kali sehingga pasien menjadi lebih nyaman begitu juga dengan

petugas. 10,11
Gambar. Renografi diuretik protokol F+0 pada anak laki-laki berusia 6 bulan. (diambil dari :

Radionuclide Investigations of the Urinary Tract in the Era of Multimodality Imaging)

Renogram aktivitas terhadap waktu dengan koreksi background digunakan dalam penilaian

aliran urin dan mengukur fungsi masing-masing ginjal. Bila ginjal tidak mengalami obstruksi

maka pada kurva dapat dengan mudah dilihat pada fase pengosongan sistem saluran urin atau

fase ekskresi, sedangkan bila kurva terus naik pada fase ekskresi maka kemungkinan besar

terdapat obstruksi pada sistem saluran urin pada pasien tersebut. Dalam menilai respon ginjal

pasien terhadap furosemide juga dapat menggunakan parameter kuantifikasi yang sederhana

seperti time to peak (waktu puncak) atau waktu untuk mengekskresikan 50 % dari radiofarmaka

(peak to half). Parameter kuantitatif lainnya yang dapat digunakan untuk menilai fungsi ginjal

seperti output efisiensi, efisiensi ekskresi pelvis, Indeks Waktu Transit Parenkim, aktivitas residu

terkoreksi. Parameter kuantitatif tersebut dapat digunakan untuk menilai respon furosemide.

Selain menilai respon furosemid, mengukur fungsi ginjal juga penting karena obstruksi yang

bersifat kronis dapat menyebabkan kehilangan parenkim ginjal akibat peningkatan tekanan pada
sistem saluran kemih. 10

Tabel 1. Keterbatasan dan kesalahan yang mungkin dapat terjadi pada pemeriksaan renografi

diuretik (diambil dari : Radionuclide Investigations of the Urinary Tract in the Era of

Multimodality Imaging)

Ketika fungsi ginjal berkurang secara bermakna, maka pemeriksaan ini tidak akan dapat menilai

respon diuretik secara akurat. Hasil pencitraan juga tidak dapat dinilai bila perunut banyak

terkumpul di pelvis ginjal. Hasil dari pemeriksaan renografi diuretik tidak dapat digunakan bila

fungsi ginjal yang dinilai telah berkurang menjadi kurang dari 20 % dari total fungsi ginjal atau

ketika pelvis ginjal tidak penuh dalam waktu 60 menit sejak radiofarmaka disuntikkan. 10
Renografi Kaptopril

Pemeriksaan kedokteran nuklir pada ginjal dapat membantu para klinisi dalam menegakkan

diagnosa pada hipertensi renovaskuler (HTRV) dan berperan penting dalam penatalaksanaan

pasien-pasien hipertensi. Menurut Goldblatt, terdapat hubungan antara stenosis arteri renalis

(SAR) dengan hipertensi. Pada penelitiannya, hipertensi yang diinduksi oleh SAR akan sembuh

bila stenosisnya dihilangkan. Sebenarnya jumlah pasien dengan SAR lebih banyak dari pada

HTRV. Pada 30-50 % orang-orang dengan normotensif ternyata ditemukan memiliki SAR

tingkat sedang sampai berat dan jumlahnya akan meningkat dengan penambahan usia.

Sebaliknya jumlah pasien yang menderita HTRV hanya kurang dari 0,5 % sampai dengan 45 %

pada pasien dengan hipertensi. Akibatnya tidak semua revaskularisasi dari SAR akan selalu

dapat menyembuhkan HTRV. Sehingga dibutuhkan suatu prosedur diagnostik untuk dapat

mendeteksi HTRV secara akurat dan secara implisit dapat memilih pasien yang dapat

disembuhkan dengan revaskularisasi. Pada saat ini metode revaskularisasi yang digunakan

adalah metode percutaneus transluminal renal angioplasty, suatu prosedur yang tidak sepenuhnya

aman dan memiliki komplikasi utama yang tidak ringan. Dan menurut beberapa penelitian, bila

dibandingkan antara angioplasty dengan terapi pengobatan maka hasilnya didapat bahwa

angioplasty lebih baik dibandingkan dengan pengobatan. Sehingga benar-benar dibutuhkan suatu

prosedur diagnostik yang optimal dalam memilih pasien yang akan dilakukan revaskularisasi. 2
Gangguan renovaskuler dapat dicurigai pada pasien-pasien dengan hipertensi yang sulit

dikendalikan atau resisten dengan pengobatan, hipertensi yang tejadi pada usia di bawah 35

tahun, perburukan fungsi ginjal selama terapi dengan ACE inhibitor, hipertensi progresif,

perburukan fungsi ginjal dengan sebab yang tidak jelas, ditemukan penyakit vaskuler pada organ

lain, penyempitan arteri renalis yang terlihat pada angiografi, dan abdominal bruit. 2

Pada saat ini banyak para klinisi yang mengunakan SAR lebih dari 50 % pada angiografi sebagai

standar emas untuk mendiagnosa RVHT, walaupun ada juga yang menggunakan SAR lebih dari

70 %. Namun perlu juga diingat bahwa SAR dapat terjadi dengan bertambahnya usia dan dapat

terjadi pada pasien-pasien nonhipertensif atau pada pasien yang tidak ditemukan penyebab

hipertensinya. Kemudian pertanyaan berikutnya adalah, apakah pasien menderita RVHT dan

dapat diharapkan sembuh dengan revaskularisasi. Bukan pertanyaan apakah pasien memiliki

SAR atau tidak. Tidak heran apabila nilai sensitifitas dan spesifisitas dari pemeriksaan renografi

kaptopril akan meningkat bila standar emas yang digunakan ada respon perbaikan dari pasien

RVHT setelah dilakukan revaskularisasi daripada menggunakan standar emas kelainan anatomi

dari SAR tersebut. 2

SAR merupakan kelainan yang murni kelainan anatomi. Menurut pedoman dari National Kidney

Foundation/Disease Outcome Quality Iniative yang disebut dengan stenosis apabila terjadinya

penyempitan pembuluh darah lebih dari 50 %, namun baru akan menimbulkan kelainan

hemodinamik secara bermakna bila stenosis terjadi lebih dari 75 %. Efek yang langsung terjadi

pada SAR dengan perubahan hemodinamik secara bermakna adalah penurunan pada tekanan
perfusi di arteriol eferen yang merangsang dari peningkatan sekresi renin oleh sel

juxtaglomerular di arteriol aferen. Kemudian hal ini akan menyebabkan peningkatan angiotensin

I yang dirubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) yang bersifat

vasokontriksi. Angiotensin II juga meningkatkan reabsorpsi natrium di tubulus proksimal dan

distal dengan merangsang peningkatan produksi dari aldosteron. Sifat angiotensin II yang

menyebabkan vasokontriksi secara luas akan menyebabkan timbulnya hipertensi sistemik dengan

peningkatan resistensi perifer total. Maka sebenarnya efek dari angiotensin II adalah mencegah -

atau minimal membatasi - penurunan dari GFR karena SAR. Dalam menegakkan diagnosa

HTRV akan tergantung pada peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin atau gangguan

hemodinamik dan fungsi ginjal. Pada ginjal yang terdapat SAR akan ditemukan peningkatan

produksi renin, memiliki GFR yang normal atau sedikit menurun, dan menunjukkan penurunan

fungsi ekskresi. Pada ginjal kontralateral, terdapat aliran darah dan GFR yang meningkat atau

normal, dan penurunan produksi renin karena negative feedback dan peningkatan fungsi

ekskresi. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa tingkat kesembuhan pasien tergantung dari

tingkat kerusakan ginjal kontralateral, oleh sebab itu lebih cepat RVHT yang disebabkan oleh

RAS diatasi, maka lebih besar peluang dari hipertensi untuk sembuh. 2
Gambar. Komponen dari system Renin-Angiotensin-Aldosteron (diambil dari : buku elektronik

Medical Physiology 2nd edition, William F. Ganong)

Kaptopril adalah salah satu obat yang termasuk ke dalam golongan ACE Inhibitor yang dapat

digunakan sebagai suatu stressor pada ginjal, memperburuk atau membuat gangguan fungsi dari

ginjal pada kasus penyakit renovaskuler tetapi bukan pada kasus hipertensi esensial. Hipertensi

esensial berhubungan dengan peningkatan vasokontriksi dari arteriol aferen korteks nephron,

yang dibawah kendali angiotensin II. Kaptopril menghambat proses ini dan meningkatkan aliran

darah sehingga memperbaiki fungsi ginjal. 2,9

Gangguan renovaskuler akan bertambah buruk jika diberikan kaptopril. Tidak ada mekanisme

pada arteriol aferen, dimana dilatasi secara maksimal yang terjadi karena autoregulasi ginjal pada
gangguan renovaskuler bukan karena mekanisme dari kaptopril. Kaptopril memiliki mekanisme

utama dalam menghambat kerja angiotensin II yang bersirkulasi dalam darah yang bersifat

vasokontriktor pada arteriol eferen di daerah juxtamedulary.

Gambar. Diagram mekanisme aksi dari ACE Inhibitor (diambil dari : Reliability of Captopril

Renography in Patients Under Chronic Therapy with Angiotensin II (AT1) Receptor

Antagonists).

Kaptopril diberikan secara oral dengan dosis 25 mg. Tekanan darah dipantau sebelum pemberian

kaptopril dan setiap interval waktu 5 menit setelah pemberian kaptopril. Jika tekanan diastolik

turun sebesar 10 mmHg atau lebih selama pemantauan, maka ini merupakan tanda bahwa efek
kaptopril sudah mulai bekerja dan pemeriksaan renografi sudah dapat dimulai. Jika hal ini tidak

terjadi maka pemeriksaan dapat dimulai 1 jam setelah pemberian kaptopril. Pasien disarankan

untuk puasa paling tidak empat jam sebelum pemberian kaptopril, namun selama puasa cairan

tetap harus masuk agar status hidrasi pada pasien tetap terjaga dengan baik. Golongan obat ACE

inhibitor lain yang dapat digunakan adalah enalapril dengan dosis 2,5 mg yang diberikan secara

intravena. 2,9

Untuk persiapan pasien pada pemeriksaan renografi kaptopril adalah pasien diperintahkan untuk

menghentikan obat ACE inhibitor selama kurang lebih 7 hari, dan untuk obat angiotensin II dan

diuretik setidaknya dihentikan selama 2 hari. Namun, waktu yang direkomendasikan menurut

literatur sangat bervariasi, mulai dari 3 minggu sampai dengan 12 jam untuk kaptopril dan 24

jam untuk enalapril. Sebaiknya waktu yang tepat untuk menghentikan konsumsi dari obat ACE

inhibitor adalah 5 kali interval dosis (3 hari untuk kaptopril dan 5 hari untuk enalapril). Hal ini

dilakukan untuk menghindari terjadinya kekurangan cairan atau dehidrasi. Sedangkan obat-

obatan antihipertensif lainnya tidak perlu dihentikan, karena tidak terlalu mempengaruhi akurasi

dari pemeriksaan renografi kaptopril. 2,7,8

Pada pemeriksaan renografi kaptopril akan diperoleh gambaran yang dapat menunjukkan retensi

aktivitas pada parenkim, dan bertahan lebih lama pada penggunaan kaptopril apabila

dibandingkan dengan hasil pemeriksaan renografi konvensional yang digunakan sebagai data

dasar. Pada pemeriksaan renografi yang menggunakan radiofarmaka tubular agent hal ini dapat

disebabkan oleh ketiadaan cairan filtrasi yang menghalangi washout dari tubular agents. Pada

penggunaan glomerular agents seperti DTPA dapat terlihat adanya penurunan yang bermakna
pada penangkapan radioaktivitas atau bahkan tidak nampak pada ginjal yang terganggu. Indeks

parameter seperti waktu transfer kortikopelvik (waktu pada saat aktivitas pertama kali muncul di

ginjal dan pelvis) dapat dicatat dan dibandingkan antara renografi konvensional dengan renografi

kaptopril. Kurva aktivitas terhadap waktu bentuknya akan memburuk bila dibandingkan dengan

renografi konvensional; terutama terdapat gangguan pada fase kedua dimana terjadi

pemanjangan waktu menuju puncak dan perburukan, atau bahkan tidak ada fase ketiga. Biasanya

fungsi ginjal akan turun sebanyak 5 %, walaupun pada beberapa literatur menyebutkan

penurunan fungsi sebesar 10 % dapat digunakan untuk mendiagnosa RVHT. MPTT dapat

meningkat menjadi lebih dari 240 detik, atau 60 detik lebih lama dari nilai normal. Jika dicurigai

terdapat gangguan renovaskuler unilateral, maka ginjal kontralateral akan menunjukkan

renografi dan parameter yang normal. 2,7,8

Pemeriksaan renografi sebaiknya dilakukan pada pasien-pasien yang mengkonsumsi ACE

inhibitor secara teratur, namun jika hasilnya abnormal maka pemeriksaan renografi konvensional

yang sebenarnya dilakukan dengan menghentikan obat ACE inhibitor selama satu minggu. Jika

hasilnya menunjukkan suatu perbaikan maka hal ini menunjukkan bahwa ACE inhibitor

memiliki pengaruh yang merugikan pada fungsi ginjal, dan menunjukkan adanya gangguan

renovaskuler. Selanjutnya pemeriksaan renografi kaptopril dapat dilakukan untuk memastikan

bahwa perburukan yang terjadi dapat disebabkan oleh ACE inhibitor. Nephropati diabetik adalah

penyebab yang umum untuk gangguan renovaskuler. Hal ini dapat disebabkan oleh penyakit

pembuluh darah kecil walaupun juga dapat disertai oleh kelainan pada pembuluh darah besar.

Penyakit pembuluh darah kecil dicurigai bila terdapat respon yang simetris pada pemberian

kaptopril. Jika responnya menunjukkan asimetris pada pemberian kaptopril, dimana ginjal yang
lebih buruk akan memiliki MPTT yang lebih panjang menjadi lebih dari 300 detik, dicurigai

adanya suatu SAR yang berarti secara fungsional. Perbaikan pada pemeriksaan renografi

konvensional sebagai data dasar dapat menunjukkan bahwa penggunaan kaptopril pada pasien

diabetes tersebut tidak akan memperburuk fungsi ginjal, yang akan membantu memperlambat

terjadinya nephropati diabetik. 7,8

Pada suatu penelitian yang mengikutsertakan 3000 pasien dengan hipertensi, diperoleh nilai

sensitivitas dan spesifisitas bervariasi antara 83 % sampai 100 % dan 62 % sampai 100 %. Pada

12 penelitian yang lain melibatkan 2291 pasien nilai rata-rata untuk sensitivitas dan spesifisitas

dalam mendeteksi SAR adalah 92,5 % dan 92,2 %. Nilai sensitivitas dari penelitian ini mungkin

meningkat disebabkan tidak semua pasien dalam penelitian ini dilakukan angiografi. Pada 2 buah

artikel yang diterbitkan di tahun 2000 menyebutkan di populasi yang menderita SAR tinggi

sekitar 20% dan 65%, nilai prediksi positif dan negatifnya juga tinggi yaitu 90 % dan 95 %.

Namun pada suatu penelitian lain, dimana populasi penderitanya rendah hanya sekitar 5 %, yang

melibatkan 667 dan 450 pasien penderita hipertensi nilai sensitifitas dan spesifisitasnya tetap

tinggi yaitu 90-100 % dan 94-95 %.2

Renografi Transplantasi Ginjal

Operasi transplantasi ginjal memiliki beberapa risiko komplikasi dari operasi tersebut.

Komplikasi tersebut diantaranya adalah rejeksi (penolakan), Acute Tubular Necrosis (ATN),

obstruksi ureter, stenosis arteri renalis, thrombosis vena renalis, infeksi, toksisitas siklosporin

dan lain sebagainya. Renografi dan teknik kedokteran nuklir lainnya telah digunakan pada
perawatan pasien transplantasi ginjal selama puluhan tahun yang lalu. Renografi pada

transplantasi ginjal digunakan untuk follow-up pada pasien-pasien pasca operasi transplantasi

ginjal. Prosedur ini digunakan untuk mendeteksi terjadinya risiko komplikasi pada pasien-pasien

tersebut. Prosedur renografi pada pasien transplantasi ginjal ini berasal dari prosedur yang sama

pada pasien non-transplantasi ginjal. 3

Renografi juga dipakai untuk menilai fungsi ginjal pada calon donor yang sehat. Renografi

konvensional dilakukan untuk memastikan bahwa ginjal yang akan didonorkan adalah ginjal

yang baik dan tidak akan membahayakan bagi pasien penerimanya. Sebelum dilakukan

renografi, creatinine clearance dipakai untuk menilai fungsi ginjal secara umum. Namun bila

hasilnya meragukan maka dapat dilakukan ranografi konvensional yang tidak terlalu invasif,

aman, dan mudah dikerjakan. Selain itu juga dapat dilakukan berulang-ulang. 3

Yang membedakan dalam prosedur renografi konvensional dengan renografi pada transplantasi

ginjal adalah posisi kamera gamma, dimana pada renografi transplantasi ginjal diletakkan di

anterior fossa iliaka di daerah abdomen bagian bawah dan pelvis. Vesika urinaria dan fossa iliaka

kontralateral dimasukkan ke dalam lapangan pencitraan. Setelah radiofarmaka disuntikkan secara

bolus, citra diambil pada interval satu detik selama 60 detik. Selanjutnya dipakai protokol

renografi konvensional dengan menggunakan frame 20 detik selama 30 menit. Setelah selesai

pencitraan, selanjutnya dibuat kurva renografi dengan membuat ROI pada ginjal dan background

terlebih dahulu. Untuk ROI latar belakang biasanya dibuat di daerah fossa iliaka kontralateral,

karena mencerminkan aktivitas jaringan di sekitar transplantasi ginjal. Namun di manapun ROI

background dibuat, prinsipnya adalah tidak membuat ROI di pelvis, ureter, dan vesika urinaria.
Dan ROI yang dibuat harus konsisten selama pemeriksaan renografi secara serial. 3,7

Parameter yang digunakan pada pemeriksaan perfusi dan renografi pada pasien transplantasi

ginjal adalah bladder appearance time, rasio ginjal-vesika urinaria, waktu puncak renografi,

indeks ekskresi, indeks perfusi, dan rasio ginjal-aorta. Paremeter ini digunakan pada renografi

transplantasi ginjal bukan dari nilainya yang absolut, namun dilihat dari perubahan nilai pada

pemeriksaan yang dilakukan secara serial. Pada renografi transplantasi ginjal tidak ada kriteria

renografi normal, karena tidak ada nilai normal yang pasti untuk menyingkirkan kemungkinan

terjadinya rejeksi atau ATN. Pada pasien yang menerima ginjal dari donor hidup yang sehat,

biasanya memberikan gambaran renografi yang normal. Walaupun renografi tidak pernah

mencapai nilai normal, perubahan aktivitas terjadi terhadap waktu dapat memberikan petunjuk

kemajuan dari kondisi pasien transplantasi ginjal. Yang perlu diperhatikan dari renografi pada

transplantasi ginjal ini adalah gambaran perfusi dan kurva renografinya karena dapat

memberikan informasi yang penting. 3

Tabel 5. Indikasi untuk Renografi Transplantasi Ginjal (diambil dari : Radionuclide

Investigations of the Urinary Tract in the Era of Multimodality Imaging).


Terdapat dua metode yang digunakan sebagai petanda fungsional dan penilaian perfusi ginjal

pada pemeriksaan renografi transplantasi ginjal secara serial, yaitu indeks perfusi dari Hilson dan

rasio ginjal-aorta dari Kirschner. Untuk indeks perfusi dari Hilson adalah menghitung indeks

perfusi ROI dibuat pada ginjal dan arteri iliaka yang kemudian dibuat kurva aktivitas terhadap

waktu. Rasio dari arteri dan ginjal digunakan sebagai indeks perfusi. Jika tidak ada aliran darah

ke ginjal yang ditransplantasi maka nilai indeks perfusi akan meningkat. Sedangkan pada metode

rasio ginjal-aorta dari Kirschner, dimana menggunakan kurva aktivitas terhadap waktu dari ginjal

dan aorta. Pada metode ini, nilai rasio akan menurun bila tidak ada perfusi ke ginjal. Kelemahan

dari kedua metode ini adalah dibutuhkan penyuntikan bolus intravena yang baik, dimana tidak

selalu dapat dilakukan pada pasien-pasien transplantasi ginjal. Metode yang lebih sedehana
adalah dengan menggunakan waktu puncak renografi dan jumlah total aktivitas pada ginjal,

vesika urinaria, kateter, dan setiap aliran urin . Lebih dekat waktu puncak pada tiga menit lebih

baik, lebih tinggi aktivitas lebih baik. 3

Parameter yang digunakan untuk menilai bahwa operasi transplantasi ginjal dikatakan berhasil

atau ginjal berfungsi dengan baik diantaranya adalah, apabila ginjal berfungsi dengan baik dan

dapat menghasilkan urin, kadar kreatinin dan ureum serum turun dan kadar kalium dalam batas

normal. Masih dalam perdebatan apakah renografi dapat digunakan secara rutin pada pasien

demikian. Beberapa tempat memakai renografi pasca operasi untuk menilai fungsi ginjal yang

ditransplantasi sebagai data dasar untuk pemeriksaan yang selanjutnya. Ini terbukti dalam

literatur bahwa renografi dapat mendeteksi adanya rejeksi sebelum terjadi perubahan pada

parameter biokimia. Namun, perlu dilakukan renografi secara serial terhadap pasien pasca

operasi transplantasi ginjal apakah itu berfungsi dengan baik atau tidak. 3

Pasien biasanya tidak memproduksi urin dan memerlukan dialisis untuk menjaga biokimia darah

berada dalam kadar yang dapat diterima. Sehingga pengukuran kadar biokimia darah tidak dapat

digunakan. Renografi dan perfusi ginjal secara rutin dilakukan dalam 24 jam pertama untuk

memastikan keberhasilan dari operasi. Pada beberapa kasus ATN dapat berlangsung selama

beberapa minggu pasca operasi. Biopsi ginjal adalah pemeriksaan yang definitif, namun dapat

memberikan morbiditas, walaupun menggunakan biopsi dengan jarum yang halus atau dengan

kontrol dari USG. Penggunaan renografi secara rutin dapat membantu menentukan waktu yang

tepat untuk dilakukan biopsi ginjal dan mengurangi jumlah biopsi yang tidak perlu. Renografi

akan memberikan gambaran perbaikan sampai ATN diatasi. Jika terjadi rejeksi, gambaran
renografi akan mengalami perburukan. Sayangnya nephrotoksisitas siklosporin juga dapat

memberikan gambaran yang sama dengan rejeksi. Sehingga perlu dilakukan biopsi ginjal pada

saat seperti ini untuk membedakan kesua keadaan ini. Gambaran DTPA pada ATN berbeda

dengan gambaran pada MAG3 atau hipuran. Karena DTPA secara murni difiltrasi dan tidak ada

sekresi pada tubulus, maka setelah fase inisial aktivitas pada ginjal akan turun secara cepat

karena filtrasi glomerulus sangat kecil. 3

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa pada transplantasi ginjal memiliki beberapa risiko

komplikasi yang dapat memberikan gambaran yang serupa pada pemeriksaan renografi.

Komplikasi tersebut dapat memberikan gambaran fase kedua dan ketiga yang memanjang akibat

dari uptake dan ekskresi yang berkurang. Sehingga pemeriksaan renografi pada transplantasi

ginjal ini bukan untuk mencari penyebab dari kegagalan transplantasi ginjal, namun untuk

memantau perkembangan fungsional dari transplantasi ginjal. Oleh sebab itu, risiko komplikasi

tersebut dapat digunakan sebagai diagnosa pembanding dari penyebab terjadinya kegagalan

fungsional dari transplantasi ginjal. Nyeri yang akut disertai dengan oligouria atau anuria

cenderung disebabkan oleh obstruksi akut atau juga trombosis akut. Jika disertai dengan pireksia

maka dapat dipikirkan sebagai suatu rejeksi (penolakan). Suatu obstruksi akut dapat disertai

dengan sistem pelvikalises yang berdilatasi. Suatu trombosis akut tidak akan memberikan

gambaran ginjal pada pemeriksaan perfusi, sedangkan rejeksi akut akan menunjukkan fungsi

ginjal dan perfusi yang berkurang. 3

Sebaiknya juga dipertimbangkan bahwa pada pasien-pasien penerima transplantasi ginjal dapat

diberikan obat-obatan yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Contoh obat-obatan tersebut
diantaranya adalah steroid, diuretik, beta adrenergik blocker, ACE Inhibitor, antibiotika

golongan aminoglikosida, dan siklosporin A. Pada dasarnya hal ini bukanlah suatu masalah,

karena pasien diberikan obat-obatan tersebut dalam dosis yang terkontrol dan tidak begitu

mempengaruhi hasil dari renografi. Namun apabila diberikan dalam dosis yang besar, maka akan

mempengaruhi dan mengganggu hasil renografi. Sebaiknya renografi dilakukan sebelum obat-

obatan tersebut diberikan. 3

CLEARANCE GINJAL

Laju Filtrasi Glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR)

Pengukuran nilai GFR dianggap sebagai suatu pemeriksaan fungsi ginjal yang sangat penting.

Hal ini didasarkan atas konsep clearance suatu zat yang secara ideal diberikan melalui

pengukuran dengan menggunakan inulin. Namun, pengukuran GFR menggunakan inulin sangat

terbatas karena sulitnya prosedur yang harus dikerjakan. Akibatnya nilai kreatinin clearance yang

sering digunakan untuk mengukur nilai GFR pada keadaan klinis dan telah diterima dengan baik

oleh para klinisi sebagai suatu metode yang baik dalam menilai fungsi ginjal. Dengan asumsi

bahwa bila nilai GFR turun hingga setengah dari nilai normal, maka kadar kreatinin di dalam

plasma akan meningkat hingga dua kali lipat dari nilai normal pada saat produksi dan ekskresi

dari kreatinin dalam keadaan seimbang.6 Namun terdapat beberapa kelemahan dari kreatinin
clearance ini. Beberapa kelemahan tersebut adalah sekresi kreatinin pada tubulus yang kecil

menyebabkan kreatinin clearance kurang akurat bila dibandingkan dengan inulin. Kreatinin

clearance membutuhkan pengambilan sampel darah dan pengumpulan urin yang akurat selama

24 jam. Hasil GFR yang diperoleh adalah hasil GFR total, bukan GFR ginjal secara terpisah.

Selain itu kreatinin clearance tidak dapat dilakukan pada keadaan klinis yang memerlukan nilai

GFR secara cepat. Dari sudut pandang klinis, nilai GFR yang diperoleh dari inulin maupun

kreatinin clearance tidaklah bermakna, namun kebutuhan untuk memperoleh nilai GFR ginjal

secara terpisah dan pada saat akut membatasi penggunaan kedua metode tersebut. Akibatnya

teknik kedokteran nuklir pada nefrourologi telah dikembangkan untuk mengatasi masalah ini dan

dapat memberikan pelayanan dalam fungsi ginjal di klinis. 2,6

Gambar. Hubungan yang terbalik antara [kreatinin] plasma dengan GFR (diambil dari : buku

elektronik Medical Physiology 2nd edition, William F. Ganong)

Laju Filtrasi Glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR) adalah jumlah filtrasi glomerulus

yang dibentuk setiap menit dalam nefron kedua ginjal. Filtrasi glomerulus terjadi akibat tekanan

di dalam kapiler yang menyebabkan filtrasi cairan melalui membran kapiler ke kapsul

Bowmans. Tekanan filtrasi glomerulus adalah tekanan netto yang memaksa cairan keluar

melalui membran glomerulus, hampir sam dengan tekanan hidrostatik glomerulus (60 mmHg)

dikurangi tekanan osmotik koloid glomerulus (32 mmHg) dan kapsula Bowmans (18 mmHg)

sehingga besarnya tekanan filtrasi normal kira-kira 10 mmHg. Koefisien filtrasi merupakan
konstanta yang besarnya 12,5 mL/menit/mmHg. Jadi didapatkan persamaan bahwa8 :

GFR = Tekanan filtrasi x Koefisiensi filtrasi

= 10 mmHg x 12,5 mL/menit/mmHg

= 125 mL/menit (protap)

Dalam penentuan GFR perlu dipahami konsep clearens ginjal yaitu kemampuan ginjal untuk

menjernihkan plasma dari berbagai macam zat. Laju clearens adalah volume yang dijernihkan

per unit waktu (mL/menit). GFR dapat diukur dengan menghitung laju clearens ginjal dari zat

khusus. Zat khusus tersebut harus memiliki sifat yang dibutuhkan dalam pemeriksaan GFR

seperti harus diekskresi secara eksklusif oleh ginjal, harus dapat difiltrasi secara bebas melalui

glomerulus, harus secara fisiologis bersifat inert, dan juga tidak direabsorpsi atau disekresi oleh

tubulus ginjal. 99mTc-DTPA hampir memenuhi semua kriteria diatas, sehingga dapat digunakan

untuk pemeriksaan GFR. 99mTc-DTPA dieliminasi secara eksklusif oleh filtrasi glomerulus.

Tiga menit setelah penyuntikan 99mTc-DTPA secara intravena, kuantitas dari radiofarmaka

yang meninggalkan ginjal dapat diabaikan sehingga dapat diasumsikan bahwa selama interval

tersebut dapat merefleksikan filtrasi glomerulus pada ginjal. 12

Indikasi klinis untuk pengukuran nilai GFR adalah untuk mencari dan menilai penyakit-penyakit

nefrourologi kronis, bersama dengan renografi sebelum operasi ginjal dan atau saluran kemih,

menilai fungsi ginjal sebelum dilakukan transplantasi ginjal, memonitor fungsi ginjal selama
menjalani pengobatan dengan obat-obatan yang berpotensi untuk terjadinya nephrotoksik, selain

itu juga dapat digunakan untuk menghitung dosis obat terutama yang diekskresikan melalui

ginjal. 8

Penggunaan penanda dari logam seperti EDTA yang ditandai dengan 51Cr memiliki clearance

plasma yang serupa dengan clearance inulin, sehingga 51Cr-EDTA dapat digunakan sebagai

standar emas alternative untuk pengukuran nilai GFR. Namun penggunaan 51Cr-EDTA juga

terbatas karena sulit diperoleh. DTPA yang ditandai dengan 99mTc saat ini digunakan sebagai

radiofarmaka pilihan pada renografi yang membutuhkan nilai GFR. 99mTc-DTPA bersifat stabil,

memiliki ikatan protein yang rendah dibersihkan melalui filtrasi glomerulus, dan tidak bekerja

pada tubulus ginjal. Berdasarkan hasil penelitian dari Klopper et al. menunjukkan bahwa 99mTc-

DTPA dapat memberikan hasil yang memuaskan untuk pengukuran nilai GFR walaupun terdapat

ikatan protein yang minimal. 2

Terdapat 4 metode teknik yang dapat digunakan untuk pengukuran nilai GFR dengan

menggunakan radiofarmaka 99mTc-DTPA. Dua diantara teknik ini membutuhkan sampel darah

yaitu teknik sampel darah multiple dan sampel darah single, yang ketiga membutuhkan

pengumpulan urin, dan yang terakhir dengan menggunakan kamera gamma. Sehingga secara

umum dapat dibagi menjadi 2 metode, pengukuran secara internal dan pengukuran secara

eksternal. Semua teknik ini harus dikerjakan sesuai dengan prosedur secara tepat, bila tidak maka

akibatnya adalah hasil yang diperoleh menjadi tidak valid.2


Teknik Sampel Darah Multipel

Beberapa penelitian mengatakan bahwa pengukuran GFR dengan 99mTc-DTPA dengan metode

penyuntikan tunggal menggunakan kecepatan hilangnya perunut di dalam plasma untuk menilai

fungsi glomerulus. Sampel darah multiple diambil dengan interval waktu 4 jam setelah

penyuntikan perunut untuk dibuat kurva analisa terhadap hilangnya 99mTc-DTPA dari dalam

darah. Kinetika 99mTc-DTPA di dalam plasma dapat dijelaskan oleh konsep dua kompartemen,

dengan pencampuran antara perunut di ruang intravaskuler dan ekstravaskuler dan perunut yang

dibersihkan melalui urin. GFR dihitung dengan mengalikan nilai konstanta clearance dari

aktivitas di dalam plasma dengan volume distribusi aktivitas, yang akan memberikan hasil

volume distribusi yang hilang secara cepat. 2

Penelitian dari Russell melaporkan akurasi terbaik dicapai untuk pengukuran GFR dengan

menggunakan 99mTc-DTPA dan teknik sampel darah multiple adalah pengambilan sampel

pertama pada 10 menit setelah perunut disuntikkan dan dilanjutkan pada interval 3-4 jam yang

kemudian dibuat kurva aktivitas terhadap waktu di dalam plasma (r=0.87). Kurva ini juga

penting untuk menghitung nilai clearance. 2

Ash dan Gilday melakukan penelitian yang sama terhadap 26 pasien, dan menunjukkan hasil

yang baik (r=0.91). Balachandran et al. mendapatkan korelasi yang dapat diterima dengan baik

antara kreatinin clearance dengan pengukuran GFR yang menggunakan 99mTc-DTPA (r=0.833).

Waller et al. menggunakan 99mTc-DTPA dan membandingkan dengan penghitungan clearance


yang sampel darahnya diambil pada jam ke-2 dan ke-4 dengan teknik pengambilan sampel darah

sebanyak 7 kali selama 4 jam dengan pengambilan yang pertama pada jam ke-1 dan dilanjutkan

setiap 30 menit. Hasilnya, diperoleh hubungan yang sempurna (r=0.996) dan lebih baik bila

dibandingkan dengan menggunakan pengambilan sampel pada jam ke-1 dan ke-2 atau jam ke-2

dan ke-3. Hal ini dipercaya karena disebabkan oleh belum terjadinya keseimbangan pada saat itu.

Teknik Sampel Darah Tunggal

Teknik ini memiliki prinsip dalam menentukan suatu hubungan semiempiris antara clearance

perunut di dalam plasma (merupakan akibat dari proses GFR) dan distribusi volume yang

merupakan aktivitas yang disuntikkan dibagi dengan aktivitas sampel di dalam plasma.

Prinsipnya adalah mengukur konsentrasi 99mTc-DTPA di dalam plasma pada waktu tertentu dan

dibandingkan dengan jumlah perunut disuntikkan dengan menggunakan teknik laboratorium in

vitro yang telah distandarisasi. Persentase perunut yang disuntikkan yang tinggal di dalam darah

pada saat itu akan lebih rendah pada pasien dengan nilai GFR yang normal bila dibandingkan

dengan pasien yang fungsi ginjalnya telah berkurang. 2

Russel et al. menunjukkan suatu metode untuk menghitung GFR total oleh teknik clearance

plasma dengan pengambilan sampel darah tunggal. Russel melaporkan bahwa waktu optimal

untuk pengambilan sampel adalah pada menit ke-180 setelah penyuntikkan 99mTc-DTPA,

walaupun waktu yang terbaik untuk pengambilan sampel sebenarnya tergantung dari kondisi
fungsi ginjal itu sendiri. Penentuan GFR dengan menggunakan teknik ini memiliki kesepakatan

yang erat dengan 51Cr-EDTA sebagai standar emas karena clearance-nya serupa dengan inulin.

Teknik sampel darah tunggal ini juga dilaporkan telah memberikan hasil yang valid pada anak-

anak dalam mengukur nilai GFR. Tauxe et al. menghitung nilai GFR pada 30 anak dengan usia

berkisar 4-16 tahun menggunakan prosedur teknik yang sama pada orang dewasa, didapatkan

hasil waktu optimal untuk pengambilan sampel darah adalah pada menit ke-91. Bahkan, teknik

ini juga dapat digunakan pada semua kondisi fungsi ginjal. 2

Teknik Clearance Cairan Urin

GFR dapat diukur berdasarkan kecepatan munculnya perunut di dalam urin, dan menurut teori

nilainya akan sama bila ditentukan dari teknik pengambilan sampel darah. Jackson et al.

membandingkan teknik ini dengan kreatinin clearance selama 24 jam pada 13 pasien dan

menemukan hubungan yang baik (r=0.968). Jackson mengukur aktivitas ekskresi di kandung

kemih pada 30 menit setelah penyuntikan perunut dan dibandingkan dengan aktivitas dalam

plasma yang diperoleh dari teknik sampel plasma pada 30 menit. Teknik ini memiliki

keuntungan dapat digunakan pada semua volume distribusi perunut dari setiap pasien. Tapi

teknik ini juga memiliki kelemahan yang penting yaitu tidak baik digunakan pada pasien dengan

retensi urin. 2
Semua nilai GFR yang diperoleh dari teknik pengambilan sampel darah dan urin tetap

membutuhkan pecitraan dengan menggunakan teknik kamera gamma untuk menentukan

persentase penangkapan dari perunut yang kemudian digunakan untuk membagi nilai GFR bagi

kedua ginjal. 2

Teknik Kamera Gamma

Keinginan untuk menghitung nilai GFR secara cepat di klinis tanpa menggunakan pengambilan

sampel darah atau urin telah membuat berkembangnya teknik pencitraan kamera gamma dengan

menggunakan 99mTc-DTPA. Alasan yang lain yang mendorong perkembangan teknik ini adalah

keinginan untuk memperoleh nilai GFR dalam bentuk terpisah bukan dalam bentuk nilai GFR

total yang akan memberikan keuntungan tersendiri. 2

Perhitungan GFR dengan teknik pencitraan kamera gamma berdasarkan prinsip bahwa jumlah

penangkapan radioaktif yang menggambarkan filtrasi radioaktif selama waktu pengukuran,

asalkan tidak terjadi ekstravasasi dan ekskresi selama waktu tersebut. 8

Penggunaan pemeriksaan GFR dengan metode ini biasanya ditujukan untuk menilai perfusi dan

fungsi ginjal serta juga untuk menilai fungsi ginjal setelah terjadi trauma. Radiofarmaka yang

digunakan adalah 99mTc-DTPA dengan dosis aktivitas sebanyak 5 mCi yang disuntikkan

melalui intravena secara bolus. 8

Tidak ada persiapan khusus terhadap pasien yang akan menjalani pemeriksaan GFR dengan
metode ini, hanya sebaiknya pasien dalam keadaan terhidrasi dengan baik. Sebelum memasuki

ruangan pemeriksaan, pasien disarankan untuk buang air kecil dahulu. Kemudian pasien

diposisikan tidur terlentang dan detektor ditempatkan sedemikian rupa sehingga ginjal dan

kandung kemih berada di lapang pandang pencitraan dari proyeksi posterior. Pencitraan

dilakukan secara dinamik dengan menggunakan matriks 128x128. Seluruh data kasar digabung,

kemudian dibuatkan ROI pada kedua ginjal dan area dibawah masing-masing ginjal untuk

substaksi latar belakang. Cacahan kedua ginjal ditentukan pada interval 2 sampai 3 menit

pertama setelah penyuntikan radifarmasi. 8

Penangkapan 99mTc-DTPA oleh ginjal dihitung dari persentasi dosis yang diberikan. GFR

kemudian dihitung dengan pengumpulan data subyek, yaitu penangkapan ginjal antara 2-3 menit

setelah penyutikan yang akhirnya akan didapatkan persentase penangkapan oleh ginjal kanan dan

kiri. Nilai normal GFR untuk metode ini adalah 125 15 ml/menit. 8

Gates, melakukan penelitian pada 51 pasien dewasa dan mendapatkan hubungan yang baik

antara 99mTc-DTPA dengan kreatinin clearance selama 24 jam (r=0.97). Gates mengembangkan

metode yang cepat untuk menentukan nilai total GFR dan juga nilai GFR secara terpisah dengan

menggunakan kamera gamma tanpa membutuhkan pengambilan sampel darah ataupun urin.

Gates menentukan akumulasi 99mTc-DTPA di dalam ginjal selama 2-3 menit setelah perunut

disuntikan dan disebut sebagai persentase dari cacahan yang disuntikan, setelah background dan

kedalaman ginjal dikoreksi terlebih dahulu. Nilai GFR total dan secara terpisah ditentukan

dengan fraksi penangkapan perunut pada setiap ginjal setelah 99mTc-DTPA ditangkap oleh

ginjal. Teknik juga sudah teruji pada penelitian Gates yang lainnya dengan menggunakan 44
pasien yang berbeda dan memperoleh hasil yang serupa dengan penelitian sebelumnya (r=0.98).

Secara umum teknik kamera gamma sedikit kurang akurat bila dibandingkan dengan

pengitungan dengan teknik in vitro, namun teknik kamera gamma unggul dalam hal mudah

dilakukan, hasilnya dapat diulang kembali, dan terbukti sesuai untuk kondisi klinis. Teknik

pengambilan sampel lebih banyak memakan waktu daripada teknik kamera gamma karena pada

teknik pengambilan sampel membutuhkan ketepatan waktu dalam pengambilan sampel darah

(diambil sampai 3 jam setelah perunut disuntikan) dan dibutuhkan tingkat ketelitian yang tinggi

dalam menganalisa sampel darah. Selain itu juga peralatan laboratorium perlu distandarisasi

secara akurat dan petugas laboratorium yang terlatih dalam menganalisa sampel darah agar

terhindar dari kesalahan hasil.

ALIRAN PLASMA GINJAL EFEKTIF (Effective Renal Plasma Flow/ERPF)

ERPF adalah bagian dari aliran plasma ginjal yang mengalami perfusi ke jaringan sekresi ginjal,

tidak termasuk fraksi kecil yang mengalami perfusi ke lemak, pelvis, dan kapsul. ERPF

merupakan salah satu parameter yang lebih dapat dipercaya untuk mendeteksi gangguan fungsi

ginjal pada penderita dengan hipertensi esensial. 8

Suatu zat yang diekstraksi secara sempurna oleh ginjal (rasio ekstraksi 100%) dapat digunakan

untuk mengukur aliran plasma ginjal total. P-Aminohippuric acid (PAH) adalah zat yang

mendekati syarat tersebut walaupun rasio ekstraksi-nya hanya 85-95 %, sehingga PAH dapat
digunakan untuk memperkirakan nilai ERPF. Namun PAH tidak dilakukan secara rutin di klinis,

karena prosedur pemeriksaannya membutuhkan waktu yang lama dan analisanya membutuhkan

analisa secara kimia atau khromatograpi. 2

Ortho-Iodohippuric acid (hippuran) adalah suatu analog dari P-Aminohippuric acid (PAH).

Hippuran pertama kali dilabel dengan 131I dan selanjutnya dengan menggunakan 125I dan 123I.

Hippuran memiliki clearance yang lebih tinggi dibandingkan dengan radiofarmaka yang lainnya,

walaupun clearance hippuran diperkirakan 10 % lebih rendah dari PAH namun secara klinis

berguna untuk mengukur ERPF. Hippuran memiliki struktur dan sistem transport aktif yang

mirip dengan PAH. Hippuran telah digunakan secara luas sebagai suatu tubular function agent

karena memiliki nilai efisiensi ekstraksi yang lebih tinggi dari radiofarmaka yang digunakan

pada pemeriksaan GFR, dan memberikan rasio ginjal terhadap background yang lebih tinggi

sehingga dapat mendeteksi penyakit ginjal yang ringan dan yang tidak dapat dideteksi oleh

radiofarmaka untuk GFR. 2 Hippuran juga digunakan untuk pemeriksaan ginjal dan saluran

kemih pada bayi dan anak-anak. 2,3

Namun, penggunaan hippuran yang dilabel dengan 123I tidak diterima secara luas di Amerika

Serikat karena harganya yang mahal, sulit didapat dan dapat juga diganti dengan 99mTc sebagai

alternatif untuk tubular secretory function agent. 2,3

Pemeriksaan ERPF ini diindikasikan untuk menilai perfusi dan fungsi ginjal, menilai fungsi

ginjal setelah trauma, dan uji saring pada pasien hipertensi esensial. Radiofarmaka yang

digunakan adalah 131I-hippuran sebanyak 300 uCi atau 99mTc-MAG3 dengan dosis aktivitas
sebanyak 5 mCi yang disuntikkan secara intravena secara bolus. 8

Pada pemakaian radiofarmaka 131I-hippuran , penderita sebelumnya diberi larutan lugol 10 tetes

untuk memblok jaringan tiroid agar tidak menangkap 131I. Penderita harus dalam keadaan

terhidrasi dengan baik dengan cara diberikan minum 500 mL sebelum pemeriksaan. Kandung

kemih penderita diusahakan dalam keadaan kosong dengan buang air kecil terlebih dahulu sebelu

dilakukan pemeriksaan. 8

Pasien diposisikan terlentang dengan detektor ditempatkan sedemikian rupa sehingga ginjal dan

kandung kemih berada dalam lapang pandang pencitraan dari proyeksi posterior. Teknik

pencitraan dilakukan secara dinamik dengan matriks 128x128. Setelah itu seluruh data kasar

digabung, kemudian dibuat ROI pada kedua ginjal serta dibawah kedua ginjal untuk substraksi

latar belakang, didapatkan kurva aktivitas terhadap waktu. Pengukuran penangkapan ginjal

radiofarmaka dilakukan pada 1-2 menit setelah titik injeksi dari kurva renografi yang

mencerminkan total ERPF pada masing-masing ginjal. 8

Pemeriksaan ERPF dengan metode lain adalah dengan cuplikan plasma tunggal, menggunakan

131I-hippuran 44 menit setelah penyuntikan. Fraksi filtrasi (FF) adalah rasio antara GFR dan

ERPF yaitu fraksi dari plasma dalam glomerulus yang ditransfer ke daerah kapsula Bowmans

sebagai filter. Nilai normal FF adalah 18-22 % atau berkisar yang berarti jumlah filtrasi

glomerulus adalah kurang lebih seperlima jumlah plasma yang melalui ginjal. Nilai GFR

berkisar 20 % dari ERPF. 2 Pada penyakit jantung kongestif nilai FF meningkat. Pada

glomerulopati karena nilai GFR menurun maka FF juga menurun. 8


Nilai normal untuk ERPF adalah 491 817 ml/menit/1,73 m2 untuk pria, dan 439-745

ml/menit/1,73 m2 untuk wanita. 8

V. PEMERIKSAAN RENOGRAFI PADA PEDIATRIK

Pemeriksaan ginjal dengan menggunakan kedokteran nuklir adalah prosedur yang cukup sering

dilakukan, terutama pada anak-anak. Pemeriksaan kedokteran nuklir ini diperlukan dalam

mendiagnosa awal dan follow-up dari penyakit genito-urinary pada anak-anak, seperti infeksi

saluran kemih (ISK), hidronephrosis neonatal, dan reflux vesikoureteral. 7

Pada bayi baru lahir, parameter fungsi ginjal seperti GFR dan aliran plasma ginjal rendah, dan

akan meningkat dari 30 mL/min/1.73 m2 luas permukaan tubuh pada saat lahir dan menjadi

mendekati nilai normal dewasa pada usia dua tahun. Pada saat baru lahir, tubulus ginjal kurang

matur bila dibandingkan dengan glomerulus, namun maturitas tubulus lebih cepat dari pada

glomerulus. Imaturitas ginjal pada bayi baru lahir akan mempengaruhi penggunaan pemeriksaan

renografi selama bulan pertama kehidupan. 7

Pada bayi, besarnya ruang ekstravaskuler akan mengakibatkan rendahnya konsentrasi plasma

untuk berdifusi dari setiap zat yang disuntikkan. Hal inilah, bersama dengan tingkat imaturitas

ginjal, yang dapat menjelaskan mengapa sidik ginjal pada neonatus dengan menggunakan
99mTc-DTPA akan memberikan penangkapan ginjal yang buruk, aktivitas background yang

tinggi dengan rasio signal-to-noise yang rendah dan waktu transit pada ginjal yang cepat. 7

Bila menggunakan 99mTc-MAG3 yang memiliki ikatan protein yang tinggi (90 %) akan

menyebabkan konsentrasi plasma yang tinggi dan distribusi ruang ekstravaskuler yang rendah.

Jika ditambahkan dengan nilai efisiensi ekstraksi 99mTc-MAG3 yang lebih besar dari 99mTc-

DTPA, maka akan memberikan hasil pencitraan ginjal yang lebih baik dan rasio signal-to-noise

yang tinggi. Oleh sebab itu, 99mTc-MAG3 adalah radiofarmaka pilihan dalam pemeriksaan

ginjal dinamik pada anak-anak, terutama yang dibawah usia 2 tahun. Sidik ginjal dinamik

dengan kualitas yang tinggi dapat dialakukan dengan menggunakan 99mTc-MAG3 pada usia 2

sampai 4 minggu setelah lahir. 7

Pada pemeriksaan pediatrik, dosis radiofarmaka harus menggunakan skala. Untuk kenyamanan

sebaiknya Berat Badan perlu diketahui. Namun, fraksi dosis yang digunakan berdasarkan luas

permukaan tubuh. 7

SIDIK GINJAL DENGAN MENGGUNAKAN 99mTc-DMSA

Massa ginjal fungsional dapat ditunjukkan dengan menggunakan 99mTc-DMSA, suatu

radiofarmaka yang akan ditangkap oleh sel-sel tubulus proksimal di korteks ginjal dan nephron

juxtamedullary setelah diekstraksi dari ruang peritubular, dan setelah filtrasi serta reabsorbsi.

99mTc-DMSA disimpan pada tubulus proksimal dan selanjutnya tidak akan dilepas. 7,10
Pemeriksaan dengan menggunakan 99mTc-DMSA dilakukan untuk mendeteksi adanya luka

parut pada ginjal dalam melakukan follow-up dari ISK pada anak-anak, mendeteksi adanya

keterlibatan parenkim selama demam pyelonephritis akut, menilai fungsi relative ginjal ketika

satu ginjal memiliki fungsi yang buruk atau terdapat lesi desak ruang, mendeteksi adanya

kelainan kongenital seperti ginjal dupleks abnormal, ginjal kecil, ginjal displastik, dan ginjal

tapal kuda. Selain itu sidik ginjal dengan menggunakan 99mTc-DMSA dapat juga membedakan

antara pseudotumor dengan tumor, mendeteksi adanya ektopik ginjal, serta dapat dilakukan

untuk pemeriksaan ginjal radiologis pada pasien-pasien yang alergi terhadap zat kontras.

Gambar. Pemeriksaan sidik ginjal dengan menggunakan 99mTc-DMSA pada anak laki-laki

berusia 5 bulan. Dari pencitraan tampak adanya scarring yang luas pada pole bawah ginjal kanan

(diambil dari jurnal : Renal Cortical Scintigraphy and Diuresis Renography in Infants and
Children).

Pada persiapan radiofarmakanya, 99mTc-DMSA harus dicampur kembali dengan 99mTc-

pertechnetate dan harus sudah digunakan dalam waktu 30 menit. Jika terjadi oksidasi maka akan

mengurangi reabsorbsi pada tubulus dan meningkatkan ekskresi cairan urin, maka harus berhati-

hati dalam persiapan radiofarmaka agar tidak terjadi oksidasi. Obat harus disiapkan berdasarkan

instruksi dari pabrik yang membuatnya.7

Sebelum dilakukan pemeriksaan pasien atau orang tua dari pasien dijelaskan mengenai prosedur

pemeriksaan. Tidak diperlukan persiapan khusus pada orang dewasa. Persiapan anestesi pada

kulit sebelum penyuntikan disarankan untuk dilakukan pada anak-anak. Dosis 99mTc-DMSA

pada orang dewasa adalah 80-100 MBq (2-2,5 mCi) disuntikkan secara intravena. Untuk bayi

dan anak-anak, dosis dikoreksi dengan menggunakan skala berdasarkan luas permukaan tubuh,

namun dosis minimal sebesar 15 MBq (0,4 mCi) dapat diberikan. 7,10

Pencitraan dapat dilakukan antara 2 dan 4 jam setelah penyuntikan. Anak-anak harus diposisikan

senyaman mungkin pada saat menghadap kamera, dan dalam posisi supine atau duduk bila perlu

menggunakan tempat tidur khusus yang dapat menjaga anak-anak atau bayi agar tidak bergerak

pada saat pencitraan. 7,10

Pada orang dewasa, akuisisi gambar diambil secara posterior, anterior, oblik posterior kiri dan

kanan. Pada anak-anak, akuisisi gambar posterior dirasa sudah cukup dan akuisisi gambar
anterior diperlukan bila satu atau kedua ginjal terdapat kelainan posisi. Akuisisi gambar pelvis

diambil bila satu atau kedua ginjal tidak terlihat. 7

Secara normal kontur ginjal halus dan dikelilingi oleh kontras diantara bagian korteks luar dan

bagian medial dari ginjal. Pencitraan yang terlihat seperti coretan dan contour ginjal yang

lembut menunjukkan bahwa pasien bergerak pada saat akuisisi gambar. 7

Gambaran varian normal pada pemeriksaan sidik ginjal dengan 99mTc-DMSA dapat ditemukan

suatu kontur ginjal yang rata tanpa adanya lesi, terutama pada sisi lateral atas pada ginjal kiri.

Pada anak-anak yang lebih muda, ginjal mungkin akan berbentuk segitiga dengan sisi luar yang

rata. Slender kidney dengan ciri aksis transversal yang pendek pada akuisisi gambar posterior

adalah normal dan hal ini disebabkan karena ginjal yang berotasi. Terkadang aksis transversa

ginjal pada pole atas lebih pendek sehingga dapat memberikan gambara seperti buah pear. Pada

pole atas terkadang tampak seperti hipoaktif karena kontras di bawah kolom Bertin hiperaktif,

hal ini juga dapat disebabkan oleh pergerakan pada saat respirasi. Jumlah dan ukuran dari kolom

Bertin berbeda pada setiap pasien. 7,10

Sedangkan gambaran yang abnormal pada pemeriksaan sidik ginjal dengan 99mTc-DMSA

adalah fungsi relative ginjal diluar dari nilai normal yaitu 45-55 %. Sering ditemukan daerah

dengan penangkapan yang kurang, tanpa gangguan pada korteks. Kelainan ini dapat ditemukan

pada pielonephritis akut yang telah sembuh atau berkembang menjadi lesi permanen. Kaliks

yang berdilatasi dapat menyebabkan gangguan pada parenkim, hal ini dapat disebabkan oleh

kista atau lesi desak ruang. Dalam mendiagnosa suatu luka parut membutuhkan defek pada
korteks dan defek penangkapan parekim. Jumlah dan lokasi defek perlu dilaporkan. Waktu

pencitraan merupakan suatu hal yang penting. Pencitraan pada saat ISK dapat menunjukkan

defek karena infeksi pada ginjal. Sedangkan pencitraan tiga, atau mungkin enam bulan kemudian

akan menunjukkan apakah defek yang terjadi ini telah sembuh atau bahkan telah menjadi luka

parut. Luka parut dapat ditemukan tanpa adanya refluk vesikoureter, dan refluk dapat ditemukan

tanpa adanya luka parut. Fungsi ginjal yang buruk juga akan meningkatkan penangkapan pada

hepar. Suatu pemeriksaan radiologi IVP yang dicurigai adanya suatu lesi desak ruang yang

menunjukkan pemeriksaan sidik ginjal 99mTc-DMSA yang normal disebut pseudotumor. 7,10

SISTOGRAFI

Refluks Vesicourether (RVU) didiagnosa sejak awal kehidupan karena hidronephrosis yang

terdeteksi pada masa prenatal atau didiagnosa pada masa kanak-kanak setelah terjadi penyakit

infeksi saluran kemih (ISK). Strategi penatalaksanaan termasuk dengan pengobatan konservatif

dengan profilaksis antibiotik dan follow-up, atau dengan operasi antirefluks. Secara umum,

neonatus diobati secara konservatif karena diharapkan RVU dapat terkoreksi secara spontan pada

45-70 % kasus.Koreksi spontan diharapkan terjadi pada usia 2 tahun awal kehidupan.

Komplikasi jangka panjang, seperti insufisiensi renal, hipertensi, dan komplikasi lain yang

berhubungan dengan kehamilan, berhubungan dengan terjadinya luka parut setelah pielonefritis.

Strategi diagnostik termasuk pencitraan dengan menggunakan 99mTc-DMSA untuk mendeteksi

adanya luka parut dan Voiding Cystourethrography (VCUG) untuk mendiagnosa dan

menentukan derajat intensitas dari refluks. 10


Tabel. Klasifikasi refluks. (diambil dari : Radionuclide Investigations of the Urinary Tract in the

Era of Multimodality Imaging).

Pemeriksaan Sistografi terdiri dari dua jenis pemeriksaan, yaitu sistografi secara langsung dan

tidak langsung. Sistografi secara langsung adalah suatu pemeriksaan yang merupakan metode

alternatif untuk VCUG dengan paparan radiasi yang lebih rendah. Pemeriksaan ini sama

invasifnya dengan pemeriksaan VCUG, karena menggunakan kateter kandung kemih namun

lebih sensitif bila dibandingkan dengan VCUG karena akuisisi pencitraan yang berlanjut selama

fase pengisian dan perkemihan. Sistografi secara langsung memberikan informasi dibawah

kondisi nonfisiologis, berbeda dengan pemeriksaan sistografi secara tidak langsung. 10

Sistografi secara tidak langsung biasanya dilakukan setelah renografi konvensional dengan
menggunakan 99mTc-MAG3 atau 123I-OIH sehingga memberikan informasi dalam kondisi

fisiologis tanpa harus menggunakan kateter kandung kemih dan memberikan paparan radiasi

yang juga lebih rendah bila dibandingkan dengan VCUG. Sensitifitas dan spesifisitas dari

pemeriksaan sistografi secara tidak langsung lebih rendah bila dibandingkan dengan VCUG dan

sistografi secara langsung, namun masih cukup untuk digunakan sebagai metode follow-up pada

kasus RVU. Berdasarkan pedoman pemeriksaan sistografi harus dilakukan pada anak yang sudah

terlatih untuk buang air kecil di toilet sendiri. Namun berdasarkan pengalaman beberapa ahli,

pemeriksaan sistografi secara tidak langsung ini juga mudah dilakukan pada neonatus dan bayi

dan dapat memberikan informasi tambahan pada renografi tanpa menambahkan dosis radiasi

tambahan atau prosedur invasif. Kelemahan dari pemeriksaan sistografi baik langsung maupun

secara tidak langsung yang utama adalah tidak dapat memberikan informasi anatomi atau

memberikan derajat dari RVU. 10

Gambar. Pada gambar G adalah pemeriksaan sistografi secara tidak langsung menunjukkan
Refluks Vesikoureteric (RVU) pada sistem saluran kemih bagian bawah kanan dan kiri. (diambil

dari :

Fungsi dari saluran kemih adalah membawa cairan urin dari duktus kolekting ginjal melalui

kalises, pelvis ginjal, ureter, kandung kemih, dan akhirnya ke saluran pembuangan. Kandung

kemih hanya sebagai organ penyimpan saja. Pemacu kontraksi dibantu oleh tekanan hidrostatik

dan tekanan nefron yang mendorong urin dari kaliks minor ke pelvis ginjal distal dan ureter. 8

Kerja normal dari katup ureterovesical junction bergantung kepada masuknya ureter ke kandung

kemih, panjang yang sesuai dari ureter intramural, kontraksi otot ureterotrigonal dan kerja

aktivitas peristaltik ureter. Pasase urin retrograde biasanya disebabkan oleh refluks vesiko

ureteral. 8

Radiofarmaka disuntikkan ke kandung kemih dalam keadaan penuh. Dengan memberikan

tekanan di kandung kemih dengan cara mengedan, maka bila terjadi gangguan kerja katup,

tekanan yang meningkat di dalam kandung kemih akan menyebabkan terjadinya aliran

radiofarmaka ke arah proksimal. 7,8

Radiofarmaka yang digunakan biasanya adalah 99mTc-pertechnetate dengan aktivitas 1 mCi,

disuntikkan langsung ke dalam kandung kemih untuk teknik metode sistografi secara langsung

atau melalui kateter yang didorong oleh NaCl 0,9 % sebanyak 500 mL (sistografi retrograde). 8
Untuk persiapan yang perlu dilakukan sebelum pasien menjalani pemeriksaan adalah pasien

disarankan untuk minum yang banyak sampai kandung kemih penuh. Setelah itu dilakukan

tindakan aseptik di daerah pubis kemudian spuit 20 cc disuntikkan langsung ke dalam kandung

kemih, aspirasi urin untuk memastikan jarum masuk ke dalam kandung kemih. 99mTc-

pertechnetate sebanyak 1 mCi disuntikkan ke dalam kandung kemih melalui jarum yang sudah

dipastikan masuk ke kandung kemih. 7,8

Untuk pemeriksaan yang menggunakan kateter, kandung kemih harus kosong kemudian melalui

kateter kandung kemih diisi air dengan tekanan hidrostatik 70-90 cmH20 yang telah dicampur

dengan 99mTc-pertechnetate. Pasien diposisikan duduk pada pispot dengan detektor ditempatkan

di belakang bokong pasien sedemikian rupa sehingga bagian permukaan atas kandung kemih,

ureter dan ginjal berada dalam lapang pandang detektor. Pencitraan dilakukan secara statik

dengan matriks 256 x 256. Pencitraan diambil saat penderita mengedan tanpa buang air kecil

(BAK), mengedan dengan BAK, kemudian setelah BAK. 7,8

Penilaian adanya refluks berdasarkan sistem gradasi, sebagai berikut 8 :

1. Ringan (derajat 1 dan 2), tampak radioaktivitas di distal ureter.

2. Sedang (derajat 3), radioaktivitas di sistem pelvokalises.

3. Berat (derajat 4 dan 5), radioaktivitas berlebih terlihat di sistem koleksi ginjal.
VI.KESIMPULAN

Pemeriksaan kedokteran nuklir merupakan suatu metode pemeriksaan dalam membantu para

klinisi untuk mendiagnosa dan juga melakukan follow-up pada pasien. Dalam memilih metode

pemeriksaan yang tepat bagi pasien maka para klinisi haruslah mengetahui apa kelebihan dan

kelemahan dari metode pemeriksaan yang dipilih, agar pasien tidak dibebankan oleh

pemeriksaan penunjang yang tidak perlu. Pemeriksaan kedokteran nuklir di bidang nefrourolgi

banyak dipakai oleh para klinisi terutama oleh ahli ginjal dan hipertensi dalam menentukan

diagnosa sekaligus menentukan fungsi ginjal dalam melakukan follow-up pasien. Namun

pemeriksaan kedokteran nuklir pada nefrourologi juga dapat dimanfaatkan oleh klinisi yang lain.

Apabila dikombinasikan dengan metode pemeriksaan yang lain maka akan memberikan

informasi yang sangat bermanfaat bagi para klinisi dalam melakukan follow-up terhadap pasien.

Peranan prosedur pemeriksaan kedokteran nuklir dalam pemeriksaan fungsi ginjal dan kelainan

saluran kemih sudah dipahami dengan baik. Paparan radiasi yang rendah, dan prosedur

pemeriksaan yang sederhana dalam persiapan pasien sehingga pemeriksaan kedokteran nuklir ini

menjadi mudah dikerjakan. Selain itu para klinisi juga perlu mengetahui tentang patofisiologi

dari ginjal dan juga perlu mengetahui keterbatasan dan kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi

pada pemeriksaan kedokteran nuklir ini, agar para klinisi dapat memberikan data yang akurat

mengenai perfusi dan fungsi dari ginjal dan saluran kemih. Selama peranan pemeriksaan

kedokteran ini dapat dipahami dengan baik dan jelas di antara metode pemeriksaan-pemeriksaan
yang lainnya dalam menilai kelainan saluran kemih, maka pemeriksaan kedokteran nuklir untuk

ginjal dan saluran kemih akan terus berlanjut untuk memberikan informasi yang penting bagi

penatalaksanaan dan perawatan pasien pada bidang nefrourologi.

Apabila dikerjakan dengan prosedur yang benar maka pemeriksaan renografi adalah suatu

metode diagnostik yang sensitive dalam mendeteksi, menilai, dan mengelompokkan sejumlah

penyakit pada ginjal. Manipulasi dengan obat-obatan dapat meningkatkan sensitivitas dalam

mendeteksi dan menilai kondisi dari suatu penyakit. Pemeriksaan renografi ini juga dapat

memberikan beberapa parameter fungsi ginjal secara akurat. Bila dikombinasikan dengan hasil

pemeriksaan dengan metode yang lain, maka akan memberikan hasil yang maksimal dalam

bidang diagnosa.

VII.DAFTARPUSTAKA

1. John C. Harbert MD, Mary P. Andrich, M.D., Patrick J. Peller, M.D. The Genitourinary

System. In: John C. Harbert WCE, Ronald D. Neumann., ed. Nuclear Medicine Diagnosis and

Therapy. New York: Thieme Medical Publisher, Inc. 1996:713-43.

2. Henkin RE. Genitourinary. In: Allan Ross HK, ed. Nuclear Medicine. Philadelphia,

Pennsylvania: Mosby, Inc. 2006:1004-108.

3. HJ. Testa MPFF, MC Prescott, MB. Clinician's Guide to Nuclear Medicine Nephrourology.
1st edition ed. London: British Nuclear Medicine Society 1996.

4. Britton KE. Kidney and urinary tract. In: M.N Maisey KEB, B.D. Collier, ed. Clinical Nuclear

Medicine. Third edition ed. London: Chapman & Hall Medical 1998:389-437.

5. George A. Tanner PD. Kidney Function. In: Rodney A. Rhoades PDaGAT, Ph.D., ed. RENAL

PHYSIOLOGY AND BODY FLUIDS.

6. Ganong WF. Review of Medical Physiology. In: Janet Foltin JM, Jim Ransom, and Karen

Davis., ed. Formation & Excretion of Urine McGraw-Hill Companies, Inc. 2003.

7. IAEA. Nuclear Medicine Resources Manual. Sales and Promotion Unit, Publishing Section

International Atomic Energy Agency 2006.

8. Johan S. Masjhur. Buku Pedoman Tatalaksana Diagnostik dan Terapi Kedokteran Nukir. In:

Nuklir K, ed.:41-54.

9. Katzung edisi 8

10. Ariane Boubakery JOP, Jean-Yves Meuwly, and Angelika Bischof-Delaloye. Radionuclide

Investigations of the Urinary Tract in the Era of Multimodality Imaging. THE JOURNAL OF

NUCLEAR MEDICINE. 2006 November 2006;Vol. 47:181936.


11. Yiyan Liu M, PhD; Nasrin V. Ghesani, MD; Joan H. Skurnick, PhD; and Lionel S. Zuckier,

MD. The F+0 Protocol for Diuretic Renography Results in Fewer Interrupted Studies Due to

Voiding Than the F-15 Protocol. THE JOURNAL OF NUCLEAR MEDICINE. 2005 Apr. 19,

2005;Vol. 46:131720.

12. Lele R. Radionuclide in Nephrourology. Principle and Practice of Nuclear Medicine and

Correlative Medical Imaging. 1st edition ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher (P)

LTD. 2009:275-312.

Diposting oleh Komunitas Kedokteran Nuklir Indonesia di 1:05 AM

Anda mungkin juga menyukai