Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM ANALISIS FARMASI

KLT-SPEKTROFOTODENSITOMETRI

IDENTIFIKASI KANDUNGAN BKO (PARASETAMOL) DALAM


SEDIAAN JAMU DENGAN METODE KLT-SPEKTRODENSITOMETRI

DISUSUN OLEH:

GELOMBANG IV

KELOMPOK 1

Ni Putu Juli Martasari 19021063


Ni Putu Mitha Angelia Ningsih 19021064
Ni Putu Mitha Meliani 19021065
Ni Putu Widiantari 19021066
Ni Wayan Yuniantari 19021067

PROGRAM STUDI FARMASI FARMASI KLINIS

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

DENPASAR

2021

PRAKTIKUM IV
KLT-SPEKTROFOTODENSITOMETRI

IDENTIFIKASI KANDUNGAN BKO (PARASETAMOL) DALAM


SEDIAAN JAMU DENGAN METODE KLT-SPEKTRODENSITOMETRI

I. TUJUAN
I.1 Mengetahui prinsip dan cara pemisahan sampel dengan menggunakan
metode KLT
I.2 Mampu mengidentifikasi BKO pada sediaan jamu

II. TINJAUAN PUSTAKA


Jamu adalah obat tradisional berbahan alami warisan budaya yang telah
diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi untuk kesehatan.
Pengertian jamu dalam Permenkes No. 003/Menkes/Per/I/2010 adalah bahan
atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,
sediaan serian (generik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun
temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman dan
dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat
(Biofarmaka IPB, 2013).
Obat tradisional kemasan yang diproses secara modern juga sering
menimbulkan masalah bagi konsumen, seperti penambahan bahan berbahaya
atau bahan kimia obat. Walaupun bukan berarti obat tradisional yang diproses
oleh industri rumah tangga bebasa dari permasalahan ini, tetapi memang kasus
pemalsuan obat tradisional, juga penambahan bahan kimia obat lebih banyak
terjadi pada obat tradisional yang dikemas secara modern. Oleh karena itu,
konsumen harus berhati-hati dalam memilih obat tradisional, termasuk herbal,
baik yang dibuat oleh industri rumah tangga atau dikemas secara modern
(Yuliarti Dan Nurheti, 2010).
Beberapa bahan kimia obat yang sering ditambahkan dalam jamu tersebut
adalah dexamethason dan parasetamol yang khasiat dari dexamethason adalah
analgetik dan antiradang kuat. Dexamethason sering mengakibatkan myopathy
(otot menyusut dan nyeri) pada penggunaan oral, juga menekan adrenal agak
kuat. Sedangkan efek samping parasetamol adalah kerusakan darah, kerusakan
hati dan ginjal (Tjay, T.H., Rahardja. K., 2007).
Definisi obat tradisional menurut Undang-Undang No. 23 tahun 1992
adalah bahan atau ramuan atau bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan-bahan
tersebut yang secara turun- temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman.
Berdasarkan keputusan Kepala Badan POM RI No.HK.00.05.4.2411
tentang ketentuan pokok dan pengelompokan dan penandaan obat bahan alam
Indonesia, obat tradisional dikelompokkan menjadi tiga, yaitu jamu, obat
herbal terstandar, dan fitofarmaka (Suharmiati, Handayani. L., 2006). Obat
tradisional dilarang mengandung: Etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam
bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan pengenceran;
1. Bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat
obat;
2. Narkotika atau psikotropika; dan/atau
3. Bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau
berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan.

Parasetamol

Parasetamol atau asetaminofen adalah salah satu antipiretik dan analgetik


yang banyak digunakan di seluruh dunia. Parasetamol biasa digunakan untuk
mengatasi nyeri ringan dan sedang seperti sakit kepala, mialgia dan nyeri
postpartum (Katzung, 2012). Selain itu parasetamol menjadi pilihan untuk
pasien yang tidak dapat diobati dengan obat anti inflamasi non steroid seperti
penderita asma bronkial, penyakit ulkus peptikum, hemofilia, alergi salisilat,
perempuan hamil atau menyusui (Bebenista dan Nowak, 2014). Parasetamol
di Indonesia telah menggantikan penggunaan salisilat sebagai penghilang
nyeri (Wilmana dan Gan, 2007).

Menurut Tjay dan Rahadja (2010), derivate-asetanilida adalah metabolit


dari fenasetin yang dahulu banyak digunakan sebagai analgetik. Khasiatnya
analgetik dan antipiretik tetapi tidak untuk antiradang. Pada umumnya
dianggap sebagai antinyeri yang paling aman untuk swamedikasi. Efek
analgetiknya diperkuat oleh kodein dan kofein kira-kira dengan 50%.
Parasetamol adalah inhibitor lemak COX-1 dan COX-2 di jaringan perifer dan
tidak memiliki efek antiinflamasi (Katzung, 2012), dapat dilihat struktur dari
parasetamol pada Gambar 1 dibawah ini :

Gambar 1. StrukturKimia Parasetamol (Katzung, 2012)

Struktur Kimia Parasetamol

BM : 151,16

Rumus Molekul : C8H9NO2

Pemerian : Serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit


pahit.

Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium


hidroksida 1N; mudah larut dalam etanol (FI. V,
2014). Sedikit larut dalam air sangat mudah larut
dalam alcohol, sangat sedikit larut dalam
diklorometana. Larut 1:20 dalam air mendidih, 1:10
dalam alcohol, dan 1:15 dalam sodium hidroksida
1N (Sweetman, 2009)

Wadah Dan Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus


cahaya. Simpan dalam suhu ruang, hindarkan dari
kelembapan dan panas. (FI. V, 2014) dalam wadah
tertutup rapat, tidak tembus cahaya (FI IV, 1995)

Para-aminofenol toksisitasnya lebih rendah dibandingkan anilin dan


turunan meta dan orto. Acetaminofen dapat menurunkan toksisitasnya jika
dilakukan asetilasi gugus amino dari para-aminofenol, pada dosis terapi relatif
aman tetapi pada penggunaan jangka panjang dengan dosis yang lebih besar
dapat menyebabkan methemoglobin dan hepatotoksik (Siswandono, 2008).

Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi menyangkut metode pemisahan yang didasarkan
atas distribusi diferensial komponen sampel diantara dua fase, yaitu
fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Fase
diam dapat berupa cairan yang terikat pada permukaan padatan
(kertas atau suatu adsorben) sedangkan fase gerak dapat berupa
cairan yang disebut dengan eluen atau pelarut (Alimin dan Irfan,
2007). Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk
kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis.
KLT adalah teknik pemisahan zat dengan menggunakan adsorben
(fase stasioner) berupa lapisan tipis seragam yang disalutkan
(dilapisi) pada permukaan bidang datar berupa pelat aluminium,
lempeng kaca, atau pelat plastik. Pengembangan kromatografi terjadi
ketika fase gerak tertapis melewati adsorben (Deinstrop, 2007).
Berbeda dengan kromatografi kolom yang mana fase diamnya
diisikan atau dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis,
fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang
datar didukung oleh lempeng kaca, plat alumunium atau plat plastik.
Peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk melaksanakan
pemisahan dan analisis sampel dengan metode KLT cukup sederhana
yaitu sebuah bejana tertutup (chamber) yang berisi pelarut dan
lempeng KLT. Dengan optimasi metode dan menggunakan
instrumen komersial yang tersedia, pemisahan yang efisien dan
kuantifikasi yang akurat dapat dicapai (Wulandari,2011).

Pada Kromatografi Lapis Tipis, identifikasi awal suatu senyawa


didasarkan pada perbandingan nilai Rf dibandingkan Rf standar.
Faktor retardasi (Retardation factor = Rf) merupakan parameter yang
digunakan untuk menggambarkan migrasi senyawa dalam KLT.
Nilai Rf merupakan parameter yang menyatakan posisi spot (noda)
pada fase diam setelah dielusi (Wulandari, 2011). Harga Rf
ditentukan dengan membandingkan jarak migrasi noda analit dengan
jarak migrasi fase gerak/eluen. Yang dirumuskan sebagai berikut:

Rf

Nilai Rf terbesar adalah 1 dan yang terkecil adalah 0. Namun


nilai Rf terbaik antara 0,2 – 0,8 untuk deteksi UV dan 0,2 – 0,9 untuk
deteksi visible serta 20 – 80 untuk Rf relative pada deteksi UV
(Wulandari, 2011).

III.ALAT DAN BAHAN


III.1 Alat
1. Neraca analitik
2. Sendok tanduk
3. Kertas Perkamen
4. Kertas saring
5. Botol vial
6. Labu ukur 10 ml
7. Bulb filler
8. Labu anjang r
9. Beaker glass
10. Oven
11. Pipet ukur
12. Chamber
13. Spektrofotodensitometer
14. Alat sentrifugasi
15. Plat KLT silika gel 90 F254
16. Pipet tetes
17. Batang pengaduk
18. Mortir dan stamper
19. Pipet 2 μL
20. Sudip
III.2 Bahan
1. Serbuk paracetamol
2. Metanol
3. Serbuk Curcuma domesticate rhizome
4. Serbuk Curcumae rhizome
5. Serbuk Zingiber officinale rhizome
6. Tablet parasetamol
7. Toluena
8. Etil asetat
9. Asam asetat glasial

IV. PROSEDUR PRAKTIKUM


IV.1 Pembuatan Larutan Stok Parasetamol 1 mg/mL
Timbang 10 mg serbuk parasetamol kemudian masukkan ke beaker
glass, tambahkan anjang dan aduk hingga larut, masukkan ke dalam
labu ukur 10 mL, tambahkan anjang hingga tanda batas dan digojog
hingga homogeny, masukkan ke dalam botol vial, tutup dan berikan
label
IV.2 Pembuatan Larutan Seri Standar Parasetamol konsentrasi 100
µg/mL
Pipet larutan standar parasetamol sebanyak 0,5 mL larutan baku
parasetamol 1 mg/mL dengan pipet ukur dan dimasukkan ke dalam labu
ukur 5 Ml, tambahkan anjang hingga tanda batas lalu digojog hingga
homogen dan dipindahkan ke dalam botol vial lalu diberikan label
IV.3 Pembuatan Larutan Sampel
Ditimbang serbuk Curcuma domesticate anjang 200 mg, serbuk
Curcumae anjang 200 mg, dan serbuk Zingiber officinale anjang 100
mg. Masing-masing serbuk ditimbang sebanyak tiga kali, dibungkus
dengan kertas perkamen, dan diberi label I, II, dan III,gerus tablet
parasetamol. Kemudian ditimbang serbuk tablet parasetamol 200 mg,
sebanyak tiga kali dan diberi label I, II, dan III, Serbuk yang telah
ditimbang dan diberi label dicampur dalam mortir dan digerus dengan
stamper hingga homogen, Tiga campuran serbuk ditimbang anjang dan
masing-masing dilarutkan dengan 10 mL anjang dalam beaker glass,
Sampel dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi selama 10 menit untuk
masing-masing sampel dengan kecepatan 2000 rpm untuk satu sampel,
lalu disaring menggunakan kertas saring, Tiga larutan sampel siap
ditotolkan pada plat KLT
IV.4 Pembuatan Fase Gerak
Pipet anjang sebanyak 6,5 mL, etil asetat dipipet sebanyak 3,5 mL,
asam asetat glasial dipipet sebanyak 0,02 mL. Ketiga larutan tersebut
dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, Digojog homogen, dimasukkan
ke dalam botol gelap dan ditutup dengan aluminium foil
IV.5 Identifkasi Parasetamol dengan Metode KLT
Spektrofotodensitometri
Gunakan plat KLT Aluminium Silika Gel 90 F254 9 cm x10 cm untuk
menetapkan kadar parasetamol dan natrium diklofenak,lakukan
pencucian plat KLT dengan menggunakan pelarut anjang dan
diaktivasi pada suhu ±1080C selama 10 menit,jenuhkan chamber
menggunakan fase gerak anjang : etil asetat : asam asetat glasial (6,5 :
3,5 : 0,02 v/v/v) sebanyak 10 Ml, Ditotolkan larutan baku sebanyak 2 µL
kemudian larutan sampel plat tersebut dielusi dalam Chamber yang telah
dijenuhkan dengan fase gerak, Plat dikeringkan dengan cara diangin-
anginkan selama 10 menit lalu dianalisis dengan menggunakan
spektrofotodensitometer, Plat dimasukkan kedalam CAMAG TLC-
SCANNER 3, kemudian discan dengan anjang gelombang 2 45 nm dan
273 nm, Dilakukan identifikasi terhadap puncak senyawa parasetamol
dan natrium diklofenak untuk mengetahui nilai Rf dan di identifikasi
parasetamol dari nilai Rf dan spektrumnya
V. SKEMA KERJA

V.1Pembuatan Larutan Stok Parasetamol 1 mg/mL

Ditimbang 10 mg serbuk parasetamol kemudian dimasukkan ke beaker


glass, ditambahkan anjang dan diaduk hingga larut

Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, ditambahkan anjang hingga


tanda batas dan digojog hingga homogen

Dimasukkan ke dalam botol vial, ditutup dan diberikan label

V.2Pembuatan Larutan Seri Standar Parasetamol konsentrasi 100 µg/mL


Dipipet larutan standar parasetamol sebanyak 0,5 mL larutan baku
parasetamol 1 mg/mL dengan pipet ukur dan dimasukkan ke dalam labu
ukur 5 mL

Ditambahkan anjang hingga tanda batas lalu digojog hingga homogen


dan dipindahkan ke dalam botol vial lalu diberikan label

V.3Pembuatan Larutan Sampel


Ditimbang serbuk Curcuma domesticate anjang 200 mg, serbuk
Curcumae anjang 200 mg, dan serbuk Zingiber officinale anjang 100
mg. Masing-masing serbuk ditimbang sebanyak tiga kali, dibungkus
dengan kertas perkamen, dan diberi label I, II, dan III

Digerus tablet parasetamol. Kemudian ditimbang serbuk tablet


parasetamol 200 mg, sebanyak tiga kali dan diberi label I, II, dan III

Serbuk yang telah ditimbang dan diberi label dicampur dalam mortir
dan digerus dengan stamper hingga homogen

Tiga campuran serbuk ditimbang anjang dan masing-masing dilarutkan


dengan 10 mL anjang dalam beaker glass

Sampel dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi selama 10 menit
untuk masing-masing sampel dengan kecepatan 2000 rpm untuk satu
sampel, lalu disaring menggunakan kertas saring

Tiga larutan sampel siap ditotolkan pada plat KLT

V.4Pembuatan Fase Gerak


Dipipet anjang sebanyak 6,5 mL, etil asetat dipipet sebanyak 3,5 mL,
asam asetat glasial dipipet sebanyak 0,02 mL. Ketiga larutan tersebut
dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml

Digojog homogen, dimasukkan ke dalam botol gelap dan ditutup dengan


aluminium foil

V.5Identifkasi Parasetamol dengan Metode KLT Spektrofotodensitometri


Digunakan plat KLT Aluminium Silika Gel 90 F254 9 cm x10 cm untuk
menetapkan kadar parasetamol dan natrium diklofenak

Dilakukan pencucian plat KLT dengan menggunakan pelarut anjang


dan diaktivasi pada suhu ±1080C selama 10 menit

Dijenuhkan chamber menggunakan fase gerak anjang : etil asetat :


asam asetat glasial (6,5 : 3,5 : 0,02 v/v/v) sebanyak 10 mL

Ditotolkan larutan baku sebanyak 2 µL kemudian larutan sampel plat


tersebut dielusi dalam Chamber yang telah dijenuhkan dengan fase
gerak

Plat dikeringkan dengan cara diangin-anginkan selama 10 menit lalu


dianalisis dengan menggunakan spektrofotodensitometer

Plat dimasukkan kedalam CAMAG TLC- SCANNER 3, kemudian


discan dengan anjang gelombang 245 nm dan 273 nm

Dilakukan identifikasi terhadap puncak senyawa parasetamol dan natrium


diklofenak untuk mengetahui nilai Rf dan di identifikasi parasetamol dari
nilai Rf dan spektrumnya
VI. DATA PENGAMATAN

10 cm

8 cm

6cm

4 cm

Jamu baku parasetamol

Berikut adalah hasil dari identifikasi BKO pada Jamu Pegal Linu XXXX dengan
sistem kromatografi yang sama dengan pengujian praktikum materi 4 sebelumnya.
- Didapatkan kromatogram seperti diatas
- Serta dilakukan juga identifikasi spektrum dimana didapatkan data sebagai
berikut:
No Spot Kemiripan dengan spektrum baku parasetamol
1 A 95%
2 B 99%
3 C 50%
Maka tentukanlah:
1. Rf dan HRf dari masing-masing spot
2. Tentukan apakah ada BKO parasetamol pada sediaan jamu? Jelaskan
alasan kalian!

PERHITUNGAN :

Rf dan HRf

- Rf

Rfa = 8 / 10 = 0,8

Rfb = 6 / 10 = 0,6

Rfc = 4 / 10 = 0,4

- HRf

HRfa = 0,8 x 100 = 80

HRfb = 0,6 x 100 = 60

HRfc = 0,4 x 100 = 40

VII. PEMBAHASAN
Definisi obat tradisional menurut Undang-Undang No. 23 tahun
1992 adalah bahan atau ramuan atau bahan berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran
dari bahan-bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan
untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 007 Tahun 2012 Tentang
Registrasi Obat Tradisional, bahwa obat tradisional dilarang
mengandung bahan-bahan yang berbaya bagi tubuh manusia
(Saputra,2015).
Sampai saat ini Badan POM masih menemukan beberapa produk
obat tradisional yang didalamnya dicampuri bahan kimia obat (BKO).
Bahan kimia obat (BKO) di dalam obat tradisional inilah yang menjadi
titik pemasaran bagi produsen. Hal ini kemungkinan disebabkan
kurangnya pengetahuan produsen akan bahaya mengkonsumsi bahan
kimia obat secara tidak terkontrol baik dosis maupun cara
penggunaannya atau bahkan semata-mata demi meningkatkan
penjualan karena konsumen menyukai produk obat tradisional yang
bereaksi cepat. Konsumen yang tidak menyadari adanya bahaya dari
obat tradisional yang dikonsumsinya, apalagi memperhatikan adanya
kontra indikasi penggunaan beberapa bahan kimia bagi penderita
penyakit tertentu maupun interaksi bahan obat yang terjadi apabila
pengguna obat tradisional sedang mengkonsumsi obat lain, tentunya
sangat membahayakan.
Pada praktikum ini dilakukan identifikasi paracetamol dalam obat
tradisional tepatnya pada jamu pegal linu xxx dilakukan dengan
metode kromatografi lapis tipis (KLT). Praktikum ini bertujuan
mengetahui prinsip dan cara pemisahan sampel dengan menggunakan
metode KLT serta mampu mengidentifikasi BKO pada sediaan jamu.
Pemilihan metode KLT ini dikarenakan salah satu dari banyak tehnik
kromatografi yang sering digunakan untuk menganalisi bahan
analgesik. Pelarut yang digunakan pada praktikum ini adalah
methanol.
Hal yang pertama dilakukan dalam praktikum ini yaitu pembuatan
larutan stok Paracetamol 1mg/ml, pembuatan larutan seri standar
Paracetamol konsentrasi 100ug/ml, pembuatan larutan sampel,
pembuatan fase gerak, dan yang terakhir identifikasi Paracetamol
dengan metode KLT Spektrofotodensitometri. Praktikum identifikasi
paracetamol dengan metode KLT Spektrofotodensitometri ini
menggunakan plat KLT Aluminium Silika Gel 90 F254 9cm x 10cm.
Kemudian setelah itu dilakukan pencucian plat KLT dengan
menggunakan pelarut metanol dan diaktivasi pada suhu +- 108°C
selama 10 menit. Lalu dilakukan penjenuhan chamber menggunakan
fase gerak toluena : etil asetat : asam asetat glasial (6,5 : 3,5 : 0,02
v/v/v) sebanyak 10mL. Tujuan dari penjenuhan chamber adalah untuk
menyamaratakan tekanan uap dengan daya kapasitas agar berjalan
dengan baik tidak ada berkelak - kelok. Setelah itu ditotolkan larutan
baku sebanyak 2ul kemudian larutan sampel plat tersebut dielusi dalam
chamber yang telah dijenuhkan dengan fase gerak. Tahap selanjutnya
plat dikeringkan dengan cara diangin - anginkan selama 10 menit lalu
dianalisis dengan menggunakan spektrofotodensitometri, kemudian
plat dimasukkan kedalam CAMAG TLC - SCANNER 3, kemudian di
scan dengan panjang gelombang 245nm. Pemilihan panjang
gelombang 245nm dikarenakan secara teoritis panjang gelombang
maksimum paracetamol 245nm maka dari itu panjang gelombang
245nm sangat tepat digunakan pada praktikum ini. Dan tahap yang
terakhir dilakukan identifikasi terhadap puncak senyawa Paracetamol
untuk mengetahui nilai Rf dan di identifikasi Paracetamol dari nilai Rf
dan spektrumnya. Di dapatkan data sebagai berikut:
10 cm

A
8 cm

6cm

Jamu baku parasetamol

Setelah didapatkan data seperti diatas kemudian dilakukan perhitungan


untuk mencari nilai Rf dan HRf didapatkan nilai Rf a yaitu 0,8; nilai Rf b yaitu
0,6; nilai Rf c yaitu 0,4. Sedangkan nilai HRf berturut - turut adalah nilai HRf a
yaitu 80; nilai HRf b yaitu 60; nilai HRf c yaitu 40.

Berdasarkan data spektrum yang di dapatkan dimana spot A memiliki 95%


kemiripan dengan spektrum baku paracetamol, spot B memiliki 99% kemiripan
dengan spektrum baku paracetamol, sedangkan pada spot C memiliki 50%
kemiripan dengan spektrum baku paracetamol. Jika dikaitkan nilai Rf dengan
spektrum maka terdapat BKO Paracetamol pada jamu pegal linu XXXX karena
dapat dilihat dari Rf spot B yang menunjukkan adanya BKO dengan kimiripan
99% pada spektrum
DAFTAR PUSTAKA

Bebenista, M.J., Dan Nowak, J.Z. 2014. Paracetamol: Mechanism Of Action,


Application And Safety Concern. Pholis Pharmaceutical Society.

Biofarmaka IPB. 2013. Quality Of Herbal Medicine Plants And Traditional


Medicine. Diakses Dari http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-
article/587-Quality-of-herbal-medicine-plants-and-traditional-
medicine- 2013.

Deinstrop, E. 2007. Applied Thin-Layer Chromatography. 2nd ed. Weinheim:


Wiley-VCA.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi
IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar Dan Klinik Edisi 10. EGC,
Jakarta.

Kemenkes RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor


003/MENKES/PER/I/2010. Tentang Saintifikasi Jamu Dalam
Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Direktorat


Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Saputra, S.A. (2015). Identifikasi Bahan Kimia Obat Dalam Jamu Pegal Linu
Seduh Dan Kemasan Yang Dijual Di Pasar Bandar. Jurnal wiyata.
Vol. 2: 190-191.

Siswandono dan Bambang Soekardjo. 2008. Kimia Medisinal Edisi 2. Surabaya:


Erlangga

Sweetman, S.C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference, Thirty Sixth
Edition. Pharmaceutical Press, New York

Suharmiati, Handayani, L. 2006. Cara Benar Meracik Obat Tradisional. Agro


Media Pustaka. Jakarta.

Tjay, T.H., Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. PT. Elex Media Komputindo.
Jakarta.

Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992, Tentang Kesehatan. Penerbit Ariloka;


Surabaya : 2000.

Wilmana, P.Freedy Dan Sulistia Gan. 2007. Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-


Inflamasi Nonsteroid Dan Obat Gangguan Sendi Lainnya Dalam
Famakologi Dan Terapi. Jakarta: Departemen Farmakologi Dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Wulandari, L. 2011. Kromatografi Lapis Tipis. Jember: PT. Taman Kampus


Presindo.
Yuliarti, Nurheti. 2010. Cantik, Sehat, Bugar Dengan Herbal Dan Obat
Tradisional. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai