Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN NON STERIL


PRAKTIKUM III (EMULSI)

Oleh
KELAS A4C
KELOMPOK II
1. Ni Putu Juli Martasari (19021063)
2. Ni Putu Mitha Angelia Ningsih (19021064)
3. Ni Putu Mitha Meliani (19021065)
4. Ni Putu Widiantari (19021066)
5. Ni Wayan Yuniantari (19021067)
6. Novela Paulina Trihuldan Aun (19021068)
7. Nur Wahyuni (19021069)

Nama Asdos : Ni Wayan Serina Arsita Putri


Nama Dosen : Ni Putu Wintariani, S. Farm., M. Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2021
TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN NON STERIL
PRAKTIKUM III (EMULSI)
I. Tujuan Praktikum
Mengetahui dan menguasai pembuatan sediaan emulsi.
II. Dasar Teori

Emulsi merupakan suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamika


dengan kandungan paling sedikit dua fase cair yang tidak dapat bercampur,
satu diantaranya didispersikan sebagai globula dalam fase cair lain.
Ketidakstabilan kedua fase ini dapat dikendalikan menggunakan suatu zat
pengemulsi/emulsifier atau emulgator. Terdapat beberapa jenis emulsi, mulai
dari yang sederhana hingga kompleks (Pawlik et al., 2013). Sistem emulsi
minyak dalam air (M/A) atau oil in water (O/W) adalah sistem emulsi dengan
minyak sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase pendispersi. Emulsi
tersebut dapat ditemukan dalam beberapa bahan pangan yaitu mayonnaise,
susu, krim dan adonan roti. Berkebalikan dengan M/A, emulsi air dalam
minyak (A/M) atau water in oil (W/O) adalah emulsi dengan air sebagai fase
terdispersi dan minyak sebagai fase pendispersi. Jenis emulsi ini dapat
ditemukan dalam produk margarin dan mentega (Winarno, 1997).

Emulsi rangkap (duplex emulsion) merupakan jenis emulsi yang lebih


kompleks dibandingkan emulsi W/O dan O/W. Emulsi rangkap merupakan
emulsi yang tersusun oleh mikrostruktur kompleks dimana droplet yang
terdispersi mengandung droplet dengan ukuran lebih kecil di bagian
dalamnya. Metode emulsifikasi ini digunakan dalam industri farmasi,
kosmetik, pangan dan pemisahan kimiawi. Jenis emulsi ini terdiri dari emulsi
ganda (double emulsion) dan emulsi berkelipatan (multiple emulsion) (Aserin,
2008)

Emulsi adalah sediaan berupa campuran terdiri dari dua fase cairan dalam
sistem dispersi; fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dalam fase
cairan lainnya, umumnya dimantapkan oleh zat pengemulsi (emulgator)
(Anonim, 1978). Di bidang farmasi dua cairan yang tidak saling bercampur
tersebut biasanya berupa minyak dan air. Ketika minyak dan air dikocok
bersamaan, terjadi pencampuran, namun bila pengocokan dihentikan akan
terjadi pemisahan yang cepat menjadi dua lapisan cairan. Untuk menghasilkan
emulsi yang stabil, ditambahkan zat ketiga, yaitu emulgator (White, 1964).

Semua zat pengemulsi bekerja dengan membentuk film di sekeliling butir-


butir tetesan yang terdispersi. Film ini bekerja mencegah koalesen dan
terpisahnya cairan dispers sebagai fase terpisah (Anief, 1999).

Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat memperlambat dan


mencegah proses oksidasi. Senyawa ini dapat menstabilkan senyawa radikal
bebas yaitu dengan cara bereaksi dengan elektron bebas pada kulit terluar dari
radikal bebas sehingga terbentuk senyawa yang relatif stabil (Jawanmardi,
2003).

Berdasarkan ukuran partikel yang terdisperi, emulsi dapat diklasifikasikan


menjadi makroemulsi (ukuran tetesan 1,5- 100 μm); nanoemulsion (ukuran
droplet 50- 200 nm) dan mikroemulsi (ukuran tetesan <100 nm) (Roohinejad
et al., 2018).

Formulasi emulsi cair-cair adalah umum dalam industri makanan dan


farmasi. Memasukkan ekstrak tumbuhan dalam bentuk emulsi saat ini lebih
menarik perhatian di bidang penelitian karena pentingnya terapeutik mereka.
Minyak bunga matahari dan wijen digunakan untuk persiapan emulsi
kosmetik karena minyak ini mengandung persentase tinggi vitamin E. Emulsi
kosmetik yang mengandung vitamin E sangat bermanfaat sebagai produk
perawatan kulit karena memiliki daya tahan yang sangat baik dalam perawatan
kulit (Tanriverdi & Evren, 2017).

Mikroemulsi adalah larutan stabil termodinamika yang jernih dan


merupakan campuran isotropik dari minyak, air dan surfaktan, yang sering
dikombinasikan dengan kosurfaktan (Flanagan & Harjinder, 2006).
Mikroemulsi unik dari emulsi konvensional dalam banyak hal, perbedaan
utama adalah bahwa emulsi konvensional secara termodinamik tidak stabil
dan memiliki masa hidup terbatas setelah emulsi tersebut rusak (Ashish &
Jyotsna, 2013). Mikroemulsi saat ini menarik bagi ilmuwan farmasi karena
potensi mereka yang besar untuk bertindak sebagai drug delivery system
dengan menggabungkan berbagai molekul obat khusus BCS Kelas-II dan
Kelas-IV (Lawrence & Rees, 2000).

Terdapat 2 tipe emulsi ganda yaitu water-in-oil-in-water (W/O/W) yang


merupakan tipikal emulsi dimana air terdispersi dalam minyak lalu minyak
tersebut didispersikan kembali dalam air sehingga disebut emulsi air-dalam-
minyak-dalam- air, dan oil-in-water-in-oil (O/W/O) yang merupakan
kebalikannya dan disebut pula dengan emulsi minyak-dalam-air-dalam-
minyak (Aserin, 2008)

Dalam suatu emulsi, salah satu fase cair biasanya bersifat polar sedangkan
yang lainnya relatif non polar. Penetuan tipe emulsi tergantung pada sejumlah
faktor. Jika rasio volume fasa sangat besar atau sangat kecil, maka fasa yang
memiliki volume lebih kecil seringkali merupakan fasa terdispersi (Shelbat-
Othman & Bourgeat-Lami, 2009). Berdasarkan tipenya emulsi dibagi menjadi
empat yaitu:

1. Oil in water (o/w): fase minyak terdispersi sebagai tetesan dalam


keseluruhan fase luar air (Winarno, 1997).
2. Water in oil (w/o): fase air terdispersi sebagai tetesan dalam fase luar
minyak (Winarno, 1997).
3. Oil in water in oil (o/w/o): tetesan minyak yang terdispersi dalam tetesan
air yang kemudian terdispersi dalam fasa minyak kontinyu (Attama et al.,
2016).
4. Water in oil in water (w/o/w): fase air terdispersi dalam fase air yang
mengandung polimer kemudian membentuk emulsi air dalam minyak
(w/o). Emulsi yang terbentuk kemudian ditambahkan ke fasa berair kedua
(mengandung surfaktan) dan diaduk terus menerus untuk membentuk
emulsi (Attama et al., 2016).

Tipe-tipe mikroemulsi sama halnya dengan emulsi dapat berupa oil in


water (o/w), water in oil (w/o), atau campuran keduanya yang dikenal sebagai
fase bikontinu (o/w/o dan w/o/w). Pada tahun 1948, Winsor mengidentifikasi
empat tipe secara umum fase kesetimbangan, berdasarkan hal ini mikroemulsi
dibagi menjadi empat jenis, yaitu:
1. Tipe I: oil-in-water (O/W) mikroemulsi dibentuk dari surfaktan pelarutnya
lebih disukai pada fase air. Fase air kaya surfaktan menyertai fase minyak
dan surfaktan ada sebagai monomer pada konsentrasi kecil.
2. Tipe II: water-in-oil (W/O) mikroemulsi dibentuk dari surfaktan
pelarutnya lebih disukai pada fase minyak. Fasa minyak yang mengandung
surfaktan bergabung dengan fase air yang lebih rendah dan menciptakan
kesetimbangan.
3. Tipe III: Surfaktan ditambahkan ke fase bagian tengan yang
dikombinasikan dengan fase air dan minyak kemudian membentuk tiga
fase mikroemulsi. Dalam mikroemulsi ini, baik air dan minyak adalah fase
yang kurang surfaktan.
4. Tipe IV: larutan isotropik (single micellar) diformulasikan dengan
menambahkan surfaktan dan alohol (amfifilik) secukupnya. Tipe IV ini
merupakan perpanjangan dari Tipe III pada konsentrasi tinggi surfaktan,
dimana fase tengahnya memuai dan menjadi fase tunggal.

Berbeda dengan emulsi pembuatan mikroemulsi dibagi menjadi dua


metode, yaitu:

1. Metode Fase Inversi

Fase inversi mengubah sistem o/w menjadi w/o yang dibentuk dari
penambahan kelebihan fase terdispersi (Fase Inversi Konsentrasi) atau respon
terhadap temperatur (Fase Inversi Temperatur) ketika surfaktan non ionik
digunakan untuk mengubah kelengkungan spontan dari surfaktan yang
membawa sistem mendekati tegangan permukaan minimal dan membentuk
tetesan minyak yang terdispersi. Metode ini membuat perubahan fisik secara
drastis dalam sistem sepert ukuran partikel (Karasulu, 2008).

2. Metode Fase Titrasi

Metode fase titrasi dapat juga disebut sebagai metode emulsifikasi


spontan. Mikroemulsi dibuat dengan mendispersikan jumlah obat yang
diperlukan dalam jumlah minyak yang tepat yang diperlukan untuk pelarutan
obat. Mikroemulsi terbentuk bersama dengan berbagai struktur terkait, seperti
emulsi, misel, kubik, heksagonal dan gel berbeda dan dispersi minyaknya

(Ghosh & Murthy, 2006).

Mikroemulsi telah diterapkan banyak aplikasi tetapi aplikasi dalam


makanan dibatasi oleh jenis surfaktan yang digunakan untuk memfasilitasi
pembentukan mikroemulsi. Banyak surfaktan tidak diizinkan dalam makanan;
banyak lagi yang hanya dapat ditambahkan pada level rendah sekitar 20% dari
(Rukmini et al., 2012). Mikroemulsi menggunakan ko-surfaktan mungkin
tidak cocok digunakan dalam makanan karena alkohol rantai pendek atau
menengah dapat menyebabkan toksisitas dan iritasi (Flanagan & Harjinder,
2006) serta ko-surfaktan dapat menyebabkan kerusakan mikroemulsi pada
pengenceran karena partisi dari ko-surfaktan keluar dari wilayah dalam ke fase
kontinu (Warisnoucharoen et al., 2000).

Menentukan jenis emulsi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

1. Metode konduktivitas listrik

Aliran listrik dihantarkan oleh emulsi m/a karena adanya zat-zat ionic
dalam air.

2. Metode fluoresensi

Minyak dapat berfluoresensi di bawah sinar UV, emulsi m/a menunjukkan


pola titik-titik, sedangkan emulsi a/m berfluoresensi seluruhnya (Lachman et
al., 1994).

3. Metode pewarnaan

Jenis emulsi ditentukan dengan penambahan zat warna tertentu, dilihat di


bawah mikroskop. Misalnya, bila emulsi ditambah larutan sudan III (larut
dalam minyak) terjadi warna merah maka jenis emulsi adalah a/m, sedangkan
bila ditambah larutan metilen blue (larut dalam air) terjadi warna biru maka
tipe emulsi adalah m/a.

4. Metode pengenceran fase


Bila ditetesi dengan air emulsi segera dapat diencerkan, maka jenis emulsi
adalah emulsi m/a, sedangkan bila tidak, jenis emulsi adalah emulsi a/m. Hal
ini dapat juga dilihat di bawah mikroskop (Anief, 1999).

Pemberian lemak-lemak atau minyak-minyak secara peroral, baik sebagai


obat yang diberikan tersendiri atau sebagai pembawa untuk obat-obat yang
larut dalam minyak dapat diformulasikan sebagai emulsi minyak dalam air
(m/a). Emulsi untuk pemberian intravena dapat dalam bentuk m/a, sedangkan
untuk pemberian intramuskular dapat diformulasikan dalam bentuk a/m jika
obat yang larut air dibutuhkan untuk depot terapi. Untuk penggunaan luar
dapat digunakan tipe m/a atau a/m (Aulton, 1988).

Tujuan emulsi adalah untuk membuat suatu sediaan yang stabil dan rata
dari dua cairan yang tidak dapat bercampur, untuk pemberian obat yang
mempunyai rasa lebih enak, serta memudahkan absorpsi obat (Ansel, 1989).

Beberapa teori emulsifikasi berikut menjelaskan bagaimana zat


pengemulsi bekerja dalam menjaga stabilitas dari dua zat yang tidak saling
bercampur:

a. Teori tegangan permukaan

Emulsi terjadi bila ditambahkan suatu zat yang dapat menurunkan


tegangan antar muka diantara dua cairan yang tidak tercampurkan, sehingga
mengurangi tolak-menolak antara kedua cairan tersebut dan mengurangi tarik-
menarik antarmolekul dari masing-masing cairan, atau menyebabkan cairan
menjadi tetesan-tetesan yang lebih kecil.

b. Teori orientasi bentuk baji

Emulsi terjadi bila ditambahkan suatu zat yang terdiri dari bagian polar
dan non polar. Karena kedua cairan yang akan dibuat emulsi berbeda pula
muatannya, maka zat ini akan menempatkan dirinya sesuai dengan
kepolarannya.

c. Teori film plastic


Emulsi terjadi bila ditambahkan zat yang dapat mengelilingi antarmuka
kedua cairan, mengelilingi tetesan fase dalam sebagai suatu lapisan tipis atau
film yang diadsorpsi pada permukaan dari tetesan tersebut. Semakin kuat dan
semakin lunak lapisan tersebut maka emulsi yang terbentuk akan semakin
stabil (Anief, 1999; Ansel, 1989).

Berdasarkan penggunaannya, emulsi dibagi dalam 2 golongan, yaitu:

1. Emulsi untuk pemakaian dalam


Emulsi untuk pemakaian dalam meliputi per oral dan injeksi intravena.
2. Emulsi untuk pemakaian luar
Emulsi untuk pemakaian luar digunakan pada kulit atau membran mukosa,

seperti linimen, losion, dan krim (Anief, 1999).

A. Metode Pembuatan
Emulsi dapat dibuat dengan metode-metode di bawah ini:
1) Metode Gom Kering (metode kontinental /metode 4:2:1)

Metode ini khusus untuk emulsi dengan zat pengemulsi gom kering.
Basis emulsi (corpus emuls) dibuat dengan 4 bagian minyak, 2 bagian air
dan 1 bagian gom, lalu sisa air dan bahan lain ditambahkan kemudian.
Caranya, minyak dan gom dicampur, dua bagian air kemudian
ditambahkan sekaligus dan campuran tersebut digerus dengan segera dan
dengan cepat serta terus-menerus hingga terdengar bunyi “lengket”, bahan
lainnya ditambahkan kemudian dengan pengadukan.

2) Metode Gom Basah (metode inggris)

Metode ini digunakan untuk membuat emulsi dengan musilago atau


gom yang dilarutkan sebagai zat pengemulsi. Dalam metode ini digunakan
proporsi minyak, air dan gom yang sama seperti pada metode gom kering.
Caranya, dibuat musilago kental dengan sedikit air, minyak ditambahkan
sedikit demi sedikit dengan diaduk cepat. Bila emulsi terlalu kental, air
ditambahkan lagi sedikit agar mudah diaduk dan bila semua minyak sudah
masuk, ditambahkan air sampai volume yang dikehendaki.
3) Metode Botol

Metode ini digunakan untuk membuat emulsi dari minyak-minyak


menguap yang juga mempunyai viskositas rendah. Caranya, serbuk gom
arab dimasukkan ke dalam suatu botol kering, ditambahkan dua bagian air
kemudian campuran tersebut dikocok dengan kuat dalam wadah tertutup.
Minyak ditambahkan sedikit demi sedikit sambil terus mengocok
campuran tersebut setiap kali ditambahkan air. Jika semua air telah
ditambahkan, basis emulsi yang terbentuk bisa diencerkan sampai
mencapai volume yang dikehendaki (Anief, 1999; Ansel, 1989).

B. Pemilihan Zat-zat Tambahan


Zat-zat tambahan yang umumnya ditambahkan pada formula suatu emulsi
diantaranya:
1) Antioksidan

Antioksidan adalah zat yang berfungsi untuk mencegah oksidasi dari


fase minyak yang terdapat dalam suatu sediaan emulsi. Contoh zat yang
biasa digunakan sebagai antioksidan adalah BHA (butylated
hydroxyanisole), BHT (butylated hydroxytoluene) dan tokoferol.

2) Humektan

Humektan adalah zat yang ditambahkan untuk mengurangi penguapan


air baik dari kemasan produk ketika tutupnya terbuka atau dari permukaan
kulit pada saat digunakan. Humektan ditambahkan pada emulsi untuk
pemakaian luar. Contoh zat yang biasa digunakan sebagai humektan
diantaranya propilenglikol, gliserol dan sorbitol (Aulton, 1988).

3) Pengawet

Pengawet digunakan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme.


Suatu pengawet harus efektif terhadap kontaminasi dari mikroorganisme
patogen dan cukup dapat melindungi emulsi selama digunakan pasien.
Pengawet harus mempunyai toksisitas rendah, stabil terhadap pemanasan
dan selama penyimpanan, tercampurkan secara kimia, memiliki rasa, bau,
dan warna yang lemah. Contoh pengawet diantaranya asam benzoat dan
turunannya, metil paraben (nipagin), dan propil paraben (nipasol),
benzalkonium klorida, fenil merkuri nitrat (Anief, 1999; Ansel, 1989).

4) Pemberi rasa

Pemberi rasa digunakan untuk memberi rasa enak sekaligus pewangi


ke dalam suatu sediaan emulsi oral. Contoh pemberi rasa diantaranya
minyak kayu manis, minyak jeruk, minyak permen, vanili. Pemanis
digunakan untuk memberikan rasa manis pada sediaan emulsi oral. Contoh
pemanis diantaranya dekstrosa, sukrosa, natrium sakarin, sorbitol, gliserin.

5) Pewarna

Zat pewarna digunakan untuk mewarnai sediaan farmasi untuk tujuan


estetika dan sebagai pembantu sensori untuk pemberi rasa yang digunakan.

6) Pendapar

Zat pendapar digunakan untuk menahan perubahan pH pada


pengenceran dan penambahan asam atau basa. Contoh pendapar
diantaranya kalium metafosfat, kalium dihirogen fosfat, dan natrium asetat
(Ansel, 1989).

C. Syarat pemilihan

Pemilihan zat pengemulsi sangat penting dalam menentukan keberhasilan


pembuatan suatu emulsi yang stabil. Agar berguna dalam preparat farmasi, zat
pengemulsi harus mempunyai kualitas tertentu, diantaranya harus dapat
dicampurkan dengan bahan formulatif lainnya, tidak mengganggu stabilitas
dari zat terapeutik, tidak toksik dalam jumlah yang digunakan, serta
mempunyai bau, rasa, dan warna yang lemah (Ansel, 1989; Gennaro, 1990).

D. Penggolongan
Zat pengemulsi dapat digolongkan berdasarkan sumber sebagai berikut:
1) Golongan karbohidrat, seperti gom, tragakan, agar dan pektin.
2) Golongan protein, seperti gelatin, kuning telur, dan kasein.
3) Golongan alkohol berbobot molekul tinggi, seperti stearil alkohol, setil
alkohol, gliseril monostearat, kolesterol, dan turunan kolesterol.
4) Golongan surfaktan (sintetik), bisa yang bersifat anionik, kationik, dan
nonionik.
5) Golongan zat padat terbagi halus, seperti bentonit, magnesium hidroksida,
dan alumunium hidroksida (Ansel, 1989).
E. Kestabilan Fisika

Beberapa hal yang dapat menyebabkan ketidakstabilan emulsi secara


fisika diantaranya:

1) Creaming

Creaming adalah terpisahnya emulsi menjadi dua lapisan, dimana lapisan


yang satu mengandung butir-butir tetesan (fase terdispersi) lebih banyak
daripada lapisan yang lain dibandingkan keadaan emulsi awal. Walaupun
masih boleh, terbentuknya cream tidak baik dilihat dari nilai estetika sediaan,
sehingga sebisa mungkin harus dicegah. Beberapa hal yang dapat mencegah
pembentukan cream yaitu:

a. Memperkecil ukuran tetes-tetes cairan yang terdispersi


b. Meningkatkan viskositas fase luar/fase kontinyu 3) Memperkecil
perbedaan kerapatan antara kedua fase cairan
c. Mengontrol konsentrasi fase terdispersi
d. Laju creaming dinyatakan dalam hukum Stokes sebagai berikut:
i . d 2 ( ρ−ρ0 )
v=
ii .18 π 0
dimana v adalah laju creaming (cm/detik), d adalah diameter globul fase
terdispersi (cm), ρ adalah kerapatan fase terdispersi (g/mL), ρ0 adalah
kerapatan medium dispersi (g/mL), g adalah percepatan gravitasi (m/s),
dan η0 adalah viskositas medium dispersi (Poise).
e. Koalesensi (breaking)

Koalesensi adalah peristiwa penggabungan globul-globul minyak sebagai


fase dalam menjadi lebih besar yang menyebabkan emulsi tidak terbentuk
kembali (pecah). Hal ini dikarenakan koalesensi bersifat ireversibel.

f. Inversi
Inversi adalah peristiwa berubahnya jenis emulsi dari m/a menjadi a/m
atau sebaliknya (Aulton, 1988; Gennaro, 1990).

F. Kestabilan Kimia

Dalam suatu sistem emulsi, zat aktif serta zat-zat tambahan yang
digunakan harus tercampurkan secara kimia. Sebagai contoh, penambahan
alkohol dapat menyebabkan emulsi dengan koloid hidrofilik mengalami
pengendapan sedangkan perubahan pH yang drastis dapat mengakibatkan
pecahnya emulsi.

G. Kestabilan Biologi

Kontaminasi emulsi oleh mikroorganisme dapat mempengaruhi sifat


fisikokimia sediaan, seperti perubahan warna dan bau, perubahan pH,
hidrolisis lemak dan minyak, serta pecahnya emulsi. Oleh karena itu, perlu
penambahan zat pengawet antimikroba untuk mencegah pertumbuhan
mikroorganisme (Aulton, 1988; Gennaro, 1990).

III Alat Dan Bahan


1. Alat
1. Cawan porselen
2. Blender
3. Sudip
4. Mortir dan stamper
5. Gelas ukur
6. Beaker glass
7. Batang pengaduk
2. Bahan
1. Minyak ikan
2. Air
3. Sirup simplex
4. Aquadest
3. Formulasi

R/ Minyak ikan 40 ml
Air 20 ml
PGA 10 ml
Sirup simplex 40 %
Aqua ad 200 ml

IV. PEMERIAN BAHAN


1. Minyak Ikan (Oleum Iecoris)

Rumus molekul :-
BM :-
Pemerian : cairan, kuning pucat, bau khas, agak manis, tidak
tengik, rasa khas
Kelarutan : sukar larut dalam etanol (95%) P, mudah larut
dalam kloroform P, dalam eter P, dan dalam eter
minyak tanah P
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, terisi penuh, terlindung
dari cahaya
Khasiat : sumber vitamin A dan vitamin D
(FI III 1979, halaman 457)
2. PGA (Gummi Acaciae/ Gom Akasia/ Gom arab)

Rumus molekul :-
BM : 240.000-580.000
Pemerian : hampir tidak berbau, rasa tawar seperti lender
Kelarutan :mudah larut dalam air, menghasilkan larutan yang
kental dan tembus cahaya. Praktis tidak larut dalam etanol
(95%) P
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik
Khasiat : zat tambahan

(FI III 1979, halaman 279)

3. Sirup simplex (Sirupus Simplex/ Sirop gula)

Pemerian : cairan jernih, tidak berwarna, rasa manis


Kelarutan :-
Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat, di tempat sejuk
Khasiat : pemanis

(FI III 1979, halaman 567)


4. Aquadest

Rumus molekul : H2O


BM : 18,02
Pemerian : cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
mempunyai rasa
Kelarutan :-
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik
Khasiat : zat tambahan (pelarut)
(FI III 1979, halaman 96)
V. Cara Kerja

Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan

Kalibrasi botol 100 ml

Ditimbang bahan keseluruhan sesuai perhitungan

Dibuat corpus emulsi dengan memasukkan minyak ikan 20 ml kedalam


mortir yang kering dan ditambahkan PGA 5 ml lalu gerus sampai
homogen.
Ditambahkan 10 ml air sekaligus, digerus dengan cepat hingga berbentuk
corpus emulsi (Putih susu)

Tambahkan 20 ml sirup simplex, aduk ad homogeny.

Dimasukkan kedalam botol dan tambahkan aquadest ad 100 ml, dikocok


dan diberi etiket putih.

VI. Uji Kualitas


a. Uji Kestabilan
b. Uji Organoleptis

Disiapkan sediaan emulsi yang telah dibuat

Uji organoleptis dari suatu sediaan emulsi meliputi keseragaman


bau, warna, kontaminasi oleh benda asing (seperti rambut, tetesan
minyak dan kotoran) serta penapilan dievaluasi secara visual

c. Uji Viskositas

Disiapkan sediaan emulsi yang akan dilakukan uji viskositas ke


dalam beaker glass

Nyalakan Viscometer Brokfield dan siapkan alat-alatnya


Pilihlah no spindle yang sesuai dengan viskositas bahan sediaan
yang akan diperiksa dan hubungkan dengan rotornya secara hati –
hati

Turunkan spindle ke dalam sediaan emulsi sampai tanda batas


tercelup

Siapkan rpm yang dikehendaki dengan no spindle yang


digunakan, mulailah dari rpm yang rendah

Nyalakan viskometernya dan baca skala viskositas dan % torque.


Lakukan hal yang sama dengan menaikkan besarnya rpm (rentang
% torque yang boleh digunakan adalah 10 – 100%)

d. Uji pH

Disiapkan sediaan emulsi yang akan diukur pH nya ke dalam


wadah yang sudah disiapkan

Celupkan elektrode pH meter ke dalam sediaan emulsi yang telah


dibuat

Setelah elektrode tercelup, nyalakan pH meter kemudian


didiamkan hingga layar pada pH meter menunjukkan angka yang
stabil
VII. Pengambilan Bahan
1. Ol. Iecoris : 50g
2. Gumi Arabici : 15g
- Air PGA : 1,5 ×15=22,5 mL
3. Glycerol : 5g
4. Aquae : 37,5 mL
- Sisa Air : 37,5 mL−22,5 mL=15 mL

VIII. Hasil Pengamatan


a. Sediaan Emulsi yang dibuat di laboratorium
1. Uji Organoleptis
- Bau : Amis
- Warna : putih susu
- Rasa : Minyak Ikan
2. Uji pH
- Menggunakan pH meter = 7,8
- Menggunakan Kertas Lakmus = 5
3. Uji Kekentalan (Viskositas)

Spindle S63, speed 20 rpm 1716 cP 28,6%


Spindle S63, speed 30 rpm 1608 cP 40,2%
Spindle S63, speed 50 rpm 1385 cP 57,7%
Spindle S63, speed 60 rpm 1280 cP 64,0%
Spindle S63, speed 100 rpm 1165 cP 97,1%

b. Sediaan Emulsi yang ada di pasaran (Scott’s Emulsion)


1. Uji Organoleptis
- Bau : khas jeruk
- Warna : orange kehitaman
- Rasa : manis
2. Uji pH
- Menggunakan pH meter = 7,0
- Menggunakan kertas lakmus = 3
3. Uji Kekentalan (Viskositas)

Spindle S63, speed 20 rpm 2622 cP 43,7%


Spindle S63, speed 30 rpm 1912 cP 47,8%
Spindle S63, speed 50 rpm 1325 cP 55,2%
Spindle S63, speed 60 rpm 1094 cP 54,7%
Spindle S63, speed 100 rpm 717,6 cP 59,8%
IX. Pembahasan

Emulsi adalah sistem dua fase yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan
yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Jika minyak yang merupakan fase
terdispersi dan larutan air merupakan fase pembawa, sistem ini disebut emulsi
minyak dalam air. Sebaliknya jika air atau larutan yang merupakan fase
terdispersi dan minyak atau bahan seperti minyak merupakan fase pembawa,
sistem ini disebut emulsi air dalam minyak. Emulsi dapat distabilkan dengan
penambahan bahan pengemulsi yg mencegah koalesensi, yaitu penyatuan tetesan
kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya menjadi satu fase tunggal yang memisah
(Depkes RI, 1995).

Formulasi pada praktikum kali ini diganti menggunakan formulasi baru


yaitu Oleum lecoris Acelli (minyak ikan) 50 ml, Gummi Arabici (PGA) 15 ml,
Glycerol (gliserin) 5 gr, Aquadest (Air) 37,5. Pada praktikum teknologi non steril
kali ini adalah membuat sediaan emulsi. Tujuan dari percobaan ini adalah
mengetahui dan menguasai pembuatan sediaan emulsi. Pembuatan sediaan emulsi
menggunakan zat aktif yaitu minyak ikan dan menggunkan emulgator alam yaitu
Pulvis Gummi Acaciae atau gom arab. Pembuatan emulsi minyak lemak biasanya
dibuat dengan emulgator gom arab. Gom arab yang digunakan adalah separuh
jumlah minyak lemak. Sedangkan air yang digunakan adalah 1,5 x berat PGA.
PGA merupakan emulgator yang mudah larut dalam air, sehingga dapat
menghasilkan emulsi yang baik, serta viskositas yang dihasilkan cukup tinggi.
Digunakan gliserin dalam formulasi, karena gliserin memiliki multi fungsi selain
sebagai stabilisator emulsi, gliserin juga dapat berfungsi sebagai pengawet,
pemanis, dan juga dapat meningkatkan viskositas.

Langkah yang dilakukan dalam pembuatan emulsi adalah gliserin yang


sudah ditimbang dicampurkan dengan PGA kemudian diblender, saat masih
diblender tambahkan air, kemudian tambahkan minyak ikan sedikit demi sedikit,
setelah itu tambahkan sisa air lalu di blender sampai diperoleh campuran yang
kental dan berwarna putih tulang.
Suatu sediaan emulsi perlu dilakukan kontrol kualitas untuk memastikan
bahwa sediaan yang dibuat telah memenuhi syarat. Dalam percobaan ini kontrol
kualitasnya meliputi uji organoleptis,uji viskositas dan uji pH dimana tujuan dari
uji ini untuk membandingkan sediaan yang dibuat pada saat praktikum dengan
sediaan yang bererdaran dipasaran yaitu menggunakan scotts emulsion. Uji
organoleptis dilakukan untuk mengetahui keseragaman warna,bau, dan rasa pada
emulsi sehingga didapat hasil:

1. Uji organoleptis

Sediaan yang dibuat

- Warna : Putih susu


- Bau : Amis
- Rasa : Minyak ikan
Sediaan dipasaran ( Scoott’s emulsion )
- Warna : Orange
- Bau : Khas jeruk
- Rasa : Jeruk, manis

Uji kualitas yang dilakukan pertama yaitu uji organoleptis, dimana


uji ini dilakukan dengan cara mengevaluasi dari keseragaman warna, bau,
dan rasa. Berdasarkan hasil pengamatan, emulsi yang dibuat pada saat
praktikan memiliki warna putih susu, bau yang amis, dan rasa seperti
minyak ikan. Jika dibandingkan dengan emulsi yang dipasaran (Scoott’s
emulsion) ada perbedaan pada bau, rasa dan warna. Dimana emulsi
dipasaran memiliki warna orange, bau khas jeruk, dan rasa jeruk serta
manis.

2. Uji viskositas
Dilakukan dengan mengukur viskositas sediaan dengan
menggunakan Viskometer Brookfield. Pada Viskometer ini nilai viskositas
didapatkan dengan mengukur gaya puntir sebuah rotor silinder (spindle)
yang dicelupkan ke dalam sampel. Viskometer Brookfield memungkinkan
untuk mengukur viskositas dengan menggunakan teknik dalam viscometri.
Alat ukur kekentalan (viscosimeters) dapat mengukur viskositas melalui
kondisi aliran berbagai bahan sampel yang diuji. Untuk dapat mengukur
viskositas sampel dalam Viskometer Brookfield, bahan harus diam di
dalam wadah sementara poros bergerak sambil direndam dalam cairan
(Atkins, 1994).
Prinsip kerja dari Viscometer Brookfield yaitu semakin kuat
putaran semakin tinggi viskositasnya sehingga hambatannya semakin
besar. Pada metode ini sebuah spindle dicelupkan ke dalam cairan yang
akan diukur viskositasnya. Gaya gesek antara permukaan spindle dengan
cairan akan menentukan tingkat viskositas cairan, semakin kuat putaran
semakin tinggi viskositasnya sehingga hambatannya semakin besar.
Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan hasil sebagai berikut
Sediaan Emulsi yang dibuat di laboratorium

Spindle S63, speed 20 rpm 1716 cP 28,6%

Spindle S63, speed 30 rpm 1608 cP 40,2%

Spindle S63, speed 50 rpm 1385 cP 57,7%

Spindle S63, speed 60 rpm 1280 cP 64,0%

Spindle S63, speed 100 rpm 1165 cP 97,1%

Sediaan Emulsi yang ada di pasaran (Scott’s Emulsion)

Spindle S63, speed 20 rpm 2622 cP 43,7%

Spindle S63, speed 30 rpm 1912 cP 47,8%

Spindle S63, speed 50 rpm 1325 cP 55,2%

Spindle S63, speed 60 rpm 1094 cP 54,7%

Spindle S63, speed 100 rpm 717,6 cP 59,8%

Berdasarkan hasil pengamatan yang didapatkan emulsi diuji


menggunakan spindle ukuran 63 karena larutan tersebut memiliki daya alir
Newton, dimana aliran newton berarti bersifat cair tidak terlalu kental
(encer) serta tidak akan merubah nilai viskositas. Pada uji ini kontrol
kecepatan pada alat diatur mulai dari kecepatan terendah yaitu 20 rpm
hingga 100 rpm (20,30,50,60,100 Rpm), pengujian dilakukan sebanyak 5
kali pada kecepatan berbeda.
Kemudian saat spindle mulai berputar, maka pada penampang alat
akan terlihat harga viskositas zat dalam cP (centipoises). Harga dari
viskositas akan muncul jika persentase skala yang muncul ≥ 0. Jika skala
tidak menunjukkan angka, menampilkan angka negative atau error, dan
skala yang ditampilkan dibawah 10 % berarti alat tersebut tidak mampu
mengukur viskositas sampel pada kecepatan yang telah ditentukan karena
viskositas terlalu besar atau kecepatan gerak spindle terlalu kecil (Martin,
1993).
Berdasarkan hasil larutan yang memiliki konsentrasi paling tinggi
pada percobaan adalah emulsi pasaran dengan viskositas yang tinggi dan
yang terendah adalah emulsi praktikan yang memiliki viskositas rendah
dalam percobaan. Selain itu kecepatan putaran (pengadukan) dapat
mempengaruhi viskositas dimana semakin cepat Rpm nya semakin
menurun viskositas zat tersebut. Adanya gaya antar molekul (ikatan
hydrogen) juga mempengaruhi viskositas, jika gaya antar molekul kuat
maka viskositas akan semakin tinggi.
Dari grafik perbandingan kecepatan putar (rpm) dengan viskositas
menunjukkan bahwa semakin besar rpm semakin menurun viskositasnya
(cP) menandakan bahwa sampel (emulsi di pasaran) dan sampel (emulsi
praktikum) yang diuji sama-sama mempunyai viskositas stabil karena pada
saat proses pemutaran bahan sediaan semakin cepat dan lama diaduk maka
sediaan semakin encer dari keadaan sebelumnya.
3. Uji pH

Dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus dan pH meter.


Kertas lakmus adalah suatu kertas dari bahan kimia yang akan berubah
warna jika dicelupkan kedalam larutan asam atau basa. Warna yang
dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kadar pH dalam larutan yang ada.
Sedangkan pH meter adalah PH meter adalah sebuah alat elektronik yang
berfungsi untuk mengukur pH suatu cairan. Sebuah pH meter terdiri dari
sebuah elektrode yang terhubung ke sebuah alat elektronik yang mengukur
dan menampilkan nilai pH. Menghasilkan :

Sediaan yang dibuat

- 5 (kertas lakmus)
- 7,8 ( pH meter)
Sediaan dipasaran ( Scoott’s emulsion )
- 3 (kertas lakmus)
- 7,0 (pH meter)

Berdasarkan hasil pengamatan nilai pH yang diukur dengan pH


meter yaitu emulsi di pasaran (Scoott’s emulsion) 7,0 yang bersifat netral
dan emulsi yang dibuat praktikan dengan nilai pH 7,8 bersifat basa,
sedangkan pada pengukuran pH menggunakan kertas lakmus pH emulsi di
pasaran yaitu pH 3 yang bersifat asam dan emulsi yang dibuat praktikan
yaitu pH 5. Pada uji pH yang dilakukan menunjukkan bahwa nilai pH
termasuk tinggi, hal ini dapat memperlambat oksidasi lipid sehingga
kestabilan emulsi mengalami kenaikan. Ph suatu sediaan tergantung dari
komponen penyusun baik zat aktif maupun tambahan.
X. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat diambil yaitu :
1. Uji kualitas yang dilakukan pertama yaitu uji organoleptis,
dimana uji ini dilakukan dengan cara mengevaluasi dari
keseragaman warna, bau, dan rasa. Berdasarkan hasil
pengamatan, emulsi yang dibuat pada saat praktikan memiliki
warna putih susu, bau yang amis, dan rasa seperti minyak ikan.
Jika dibandingkan dengan emulsi yang dipasaran (Scoott’s
emulsion) ada perbedaan pada bau, rasa dan warna. Dimana
emulsi dipasaran memiliki warna orange, bau khas jeruk, dan rasa
jeruk serta manis.
2. Yang kedua ada uji viskositas Berdasarkan hasil pengamatan
yang didapatkan emulsi diuji menggunakan spindle ukuran 63
karena larutan tersebut memiliki daya alir Newton, dimana aliran
newton berarti bersifat cair tidak terlalu kental (encer) serta tidak
akan merubah nilai viskositas. Pada uji ini kontrol kecepatan pada
alat diatur mulai dari kecepatan terendah yaitu 20 rpm hingga 100
rpm (20,30,50,60,100 Rpm), pengujian dilakukan sebanyak 5 kali
pada kecepatan berbeda.
3. Berdasarkan hasil pengamatan nilai pH yang diukur dengan pH
meter yaitu emulsi di pasaran (Scoott’s emulsion) 7,0 yang
bersifat netral dan emulsi yang dibuat praktikan dengan nilai pH
7,8 bersifat basa, sedangkan pada pengukuran pH menggunakan
kertas lakmus pH emulsi di pasaran yaitu pH 3 yang bersifat asam
dan emulsi yang dibuat praktikan yaitu pH 5. Pada uji pH yang
dilakukan menunjukkan bahwa nilai pH termasuk tinggi, hal ini
dapat memperlambat oksidasi lipid sehingga kestabilan emulsi
mengalami kenaikan. Ph suatu sediaan tergantung dari komponen
penyusun baik zat aktif maupun tambahan.

Xl. SARAN

Sebaiknya alat-alat di dalam laboratorium lebih diperbanyak lagi untuk


mempermudah dan mengoptimalkan kelancaran praktikum.Dalam melakukan
praktikum praktikan wajib meguasai materi percobaan yang akan dipraktikumkan,
supaya dalam pengerjaan praktikum yang berlangsung berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA

Aulton M.E. 1988. Pharmaceutics: The Science Of Dosage Form Design: Health
Science Book. Churchill Livingstone. New York.

Anief. 1999. Ilmu Meracik Obat, Cetakan Ke-7. 71-73. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta

Ansel H.C. And Ibrahim F. 1989. Pengantar Sediaan Farmasi. Penerbit


Universitas Indonesia.

Atkins, P.W. 1994. Kimia Fisika Jilid I. jakarta : Erlangga.

Attama, A.A., J, N.R.-O., E, M.U. & E, B.O. 2016. Nanomedicined For The Eye:
Current Status And Future Development. 1st Ed. United States:
Academia Press.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen

Kesehatan Republik Indonesia.

Flanagan, J. & Harjinder, S. 2006. Microemulsions: A Potential Delivery System


For Bioactives In Food. Critical Reviews In Food Science And
Nutrition, 46(3), Pp.221-37.
Gennaro, A.R. 1990. Remingtons Pharmaceuticals Sciences, 18th Ed. Mack Publ.
Co, Easton.

Ghosh, P.K. & Murthy, R.S. 2006. Micro Emulsions: A Potential Drug Delivery
System. Curr Drug Deliv, 3(2), Pp.167- 80

Javanmardi, J.; C. Stushnoff; E. Locke & J.M. Vivianco. 2003. Antioxidant


Activity And Total Phenolic Content Of Iranian Ocimum Accessions.
Journal Food Chemistry Vol 83.

Karasulu, H.Y. 2008. Microemulsion As Novel Drug Carriers: The Formation,


Stability Applications And Toxicity. Expert Opin Drug Deliv. 5(1),
Pp.119- 35.

Lachman, L., & Lieberman, H. A. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi Industri,
Edisi Kedua. 1091-1098. UI Press. Jakarta.

Lawrence, M.J. & Rees, G.D. 2000. Microemulsion-Based Media As Novel Drug
Delivery System. Adv Drug Deliv Rev, 45(6), Pp.89-121.

Martin alfred, Swarbick James, Arthur Cammarata. 1993. Farmasi Fisik Edisi 3
Jilid 2. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Pawlik, T. M., D. J. Lucas, A. Haut, E. Dodson, R. Wolfgang And C. L. Ahuja.


2013. Assesing Readmission After General, Vascular And Thoracic
Surgery Using ACS-NSQIP. Annals Of Surgery, 258(3), 430-439.
Roohinejad, -S., Koubaa, -M., Barba, F., -J., Sal- Joughnian, -S., Amid, -M.,
Greiner, -R. 2018. Application Of Seaweeds To Devel- Op New Food
Products With Enhanced Shelf-Life, Quality And Health-Related
Beneficial Properties. Fo

Rukmini, A., Hastuti, P., Raharjo, S. & Supriyadi, S. 2012. Formulation And
Stability Of Water-In-Virgin Coconut Oil Microemulsion Using
Ternary Food Grade Nonionic Surfactants. International Food
Research Journal, 19(1), Pp.259-64.

Shelbat-Othman, N. & Bourgeat-Lami, E. 2009. Use Of Silica Particles For The


Formation Of Organic−Inorganic Particles By Surfactant-Free
Emulsion Polymerization. Langmuir, 25(17), Pp.10121-33.

Tanriverdi, T. & Evren, A.Y. 2017. Preparation And Characterization Of Herbal


Emulsion Formulations. Marmara Pharmaceutical Journal, 21(4),
Pp.756- 61.

Warisnoucharoen, W., Lansley, A.B. & Lawrence , J. 2000. Onionic Oil-In-Water


Microemulsions: The Effect Of Oil Type On Phase Behavior.
International Journal Of Pharmaceutics, 198, Pp.7-27.

White , R.F. 1964. Pharmaceutical Emulsions And Emulsifying Agent 4th Edition.
The Chemist And Drugist, London, Pp. 4-62, 118-120.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan Dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

LAMPIRAN

Alat

Beaker glass, Cawan porselen,


Gelas ukur, Batang pengaduk

Mixer

Viskometer brookfield
Spindel

pH meter dan Kertas lakmus

Bahan

Aquadest, PGA, Gliserin, Minyak


ikan
Emulsi industri

Pembuatan Emulsi

Pencampuran PGA dan aquadest,


dimixer hingga membentuk
mucilago

Penambahan minyak ikan, dimixer


hingga membentuk corpus emulsi
Penambahan sisa aquadest,
dimeixer hingga homogen

Penambahan gliserin, dimixer


hingga homogen

Sediaan emulsi yang dibuat

Uji Organoleptis
Emulsi Industri

Emulsi Praktikum

Uji pH Menggunakan ph Meter

Emulsi Industri

Emulsi Praktikum
Menggunakan Kertas Lakmus

Emulsi Industri

Emulsi Praktikum

Uji Viskositas Emulsi Industri

20 Rpm
30 Rpm

50 Rpm

60 Rpm
100 Rpm

Emulsi Praktikum

20 Rpm
30 Rpm

50 Rpm

60 Rpm

100 Rpm

Anda mungkin juga menyukai